Patogenesis Wheezing

15
2.4 PATOGENESIS WHEEZING Pada wheezing terdapat dua jenis wheezing mengenai timbulnya suara wheezing berdasarkan letak obstruksinya yaitu: (1)wheezing pada obstruksi saluran napas intrathorakal, dan (2)wheezing pada penyempitan ekstratorakal. Wheezing yang terjadi akibat obstruksi saluran napas intrathorakal terutama pada ekspirasi karena saluran napas, sesuai dengan perubahan intrathorakal , cenderung melebar pada inspirasi dan menyempit pada ekspirasi .Peningkatan resistensi intrathorakal biasanya terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan bronkus karena tekanan dari luar, kontraksi otot bronkus, penebalan lapisan mukus, atau sumbatan lumen oleh mucus, hal ini benyak terjadi pada asma atau bronchitis kronis. Obstruksi intrathorakal terutama mengganggu proses ekspirasi karena saat inspirasi tekanan intrathorakal menurun sehingga melebarkan jalan pernapasan. Perbandingan waktu ekspirasi dan inspirasi akan meningkat. Ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktulus alveolus (emfisema sentrilobular) menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian tengah pernapasan akan terdorong kearah

Transcript of Patogenesis Wheezing

Page 1: Patogenesis Wheezing

2.4 PATOGENESIS WHEEZING

Pada wheezing terdapat dua jenis wheezing mengenai timbulnya suara

wheezing berdasarkan letak obstruksinya yaitu: (1)wheezing pada obstruksi

saluran napas intrathorakal, dan (2)wheezing pada penyempitan ekstratorakal.

Wheezing yang terjadi akibat obstruksi saluran napas intrathorakal

terutama pada ekspirasi karena saluran napas, sesuai dengan perubahan

intrathorakal , cenderung melebar pada inspirasi dan menyempit pada

ekspirasi .Peningkatan resistensi intrathorakal biasanya terjadi akibat penyempitan

atau penyumbatan bronkus karena tekanan dari luar, kontraksi otot bronkus,

penebalan lapisan mukus, atau sumbatan lumen oleh mucus, hal ini benyak terjadi

pada asma atau bronchitis kronis.

Obstruksi intrathorakal terutama mengganggu proses ekspirasi karena saat

inspirasi tekanan intrathorakal menurun sehingga melebarkan jalan pernapasan.

Perbandingan waktu ekspirasi dan inspirasi akan meningkat. Ekspirasi yang

terhambat akan melebarkan duktulus alveolus (emfisema sentrilobular)

menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian tengah

pernapasan akan terdorong kearah inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan

kapasitas residu fungsional dan dibutuhkan tekanan intrathorakal untuk

melakukan ekspirasi karena komplians dan resistensi meningkat. Akibatnya,

terjadi penekanan bronkiolus sehingga tekanan jalan napas semakin meningkat.

Obstruksi akan menurunkan kapasitas pernapasan maksimal (V max) dan FEV1 .

Kejadian ini penting dimengerti pada penderita (misal) asma karena pasien

dengan penyakit asma ketika asma kambuh, pasien akan gugup karena merasa

sesak napas dan makin berusaha inspirasi sebanyak-banyaknya, oleh karena itu

bagi dokter atau perawat harus bisa menenangkan terlebih dahulu kejiwaan

pasien, karena ketika gugup dan inspirasi kuat makin memperburuk kondisi

mereka.

Page 2: Patogenesis Wheezing

Jika wheezing yang terdengar pada saat inspirasi menunjukkan adanya

penyempitan saluran napas ekstrathorakal, misal pada trakea bagian atas atau

laring. Peningkatan resistensi ekstrathorakal, misalnya pada kelumpuhan pita

suara, edema glotis, dan penekanan trakea dari luar(tumor/struma). Pada

trakeomalasia, dinding trakea melunak dan mengalami kolaps saat inspirasi.

1. Patogenesis Asma

Konsep inflamasi kronis adalah paling berperan dalam patogenesis asma.

Konsep tersebut menyatakan bahwa asma adalah suatu proses inflamasi kronis

yang khas, melibatkan dinding saluran respiratori , dan menyebabkabn terbatasnya

aliran udara serta meningkatkan reaktivitas saluran respiratori (1).

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T

oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang

melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II

pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan

Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik

terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan

yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.

Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah

pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,

sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah

menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan

pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang

efektif (1).

Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif

terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien

dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut

berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat

dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T,

Page 3: Patogenesis Wheezing

basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran

respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel

T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami

polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat

terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti

IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini

terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(1).

Gambar 1. Patogenesis Asma

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari

obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas

bronkus(1).

GejalaFaktor Risiko

Hiperaktivitas

Bronkus

Obstruksi

Bronkus

Faktor Risiko Faktor Risiko

Inflamasi

Page 4: Patogenesis Wheezing

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag

alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal

menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan

oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan

memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi

yang terjadi(1).

Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik (3)

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan

serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit

dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti

leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis

memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya

menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).

Page 5: Patogenesis Wheezing

a. Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos

bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi

seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan

oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan

asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang

ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari

otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas.

Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret

yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari

mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler(2).

Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas

adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan

volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks.

Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara

pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua

paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal,

secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak

optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan

timbulnya kelelahan dan gagal nafas(2).

Page 6: Patogenesis Wheezing

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

b. Hiperaktivitas saluran respiratori

Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang

menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun

dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi

sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai

tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot

polos tersebut(2).

c. Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.

Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian

elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan

kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan

pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur

filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi

hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik(2).

Page 7: Patogenesis Wheezing

d. Hipersekresi mukus

Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa

peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan

dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja

tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal

datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel

inflamasi yang mengalami lisis(2).

Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu

mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan

mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel

Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena

adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.

Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh

mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,

kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(2).

Page 8: Patogenesis Wheezing

2. Patogenesis Bronkiolitis

Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas

atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran

nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. Infeksi Virus pada epitel bersilia

bronkioulus menyebabkan respon inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi

bronkiolus akibat edema, sekresi mucus timbunan debris seluler/ sel sel mati yang

terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema

submukosa(5).

Gambar. Respon inflamasi seluler pada infeksi virus saluaran nafas.

Page 9: Patogenesis Wheezing

Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,

mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga

mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga

dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan

kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas

juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan

produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,

bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran

nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,

menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta

meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan

kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,

atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.4

Gambar 2. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis

Page 10: Patogenesis Wheezing

Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis

bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan

anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon

proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang

berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap

penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga

pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap

infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.

3. Patogenesis Wheezing Benda asing

Benda Asing di Trakea dan Bronkus Disamping gejala batuk dan dengan tiba-

tiba yang berulang dengan rasa tercekik, rasa tersumbat di tenggorok, terdapat

gejala patognomonik yaitu audible slap, palpaory thud dan asthmatoid wheeze

(nafas berbunyi pada saat ekspirasi). Benda asing di trakea yang masih dapat

bergerak, pada saat benda itu sampai di karina, dengan timbulnya batuk, benda

asing itu akan terlempar ke laring. Selain itu terdapat juga gejala suara serak,

dispne, dan sianosis, tergantung pada besar benda asing serta lokasinya.

Batuk-batuk, wheeze dan demam adalah gejala yang umum pada penderita

terinhalasi benda asing. Diagnosis wheezy bronchitis haruslah dipertanyakan

lebih dalam pada anak-anak, bila hal ini terjadi tiba-tiba tanpa didahului oleh

gejala selesma, atau bila sebelumnya tidak ada serangan seperti ini, atau tidak

terdapat riwayat alergi serta bila rhonkhi pada inspirasi dan ekspirasi yang tidak

menyeluruh pada kedua paru(6).

Page 11: Patogenesis Wheezing

DAFTAR PUSTAKA

1. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.

dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar

Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.

h.85-96.

2. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno

B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

3. Busse, Williams M.D Advance immunology asthma Engl J Med, Vol. 344,.

www.nejm.org

4. Orenstein DM, Bronchiolitic. Dalam Nelson WE, Editor Nelson, Textbook

of Pediatric, 15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484-85.

5. Zain, Magdalena sidhartani.Bronkiolitis. Buku Ajar Respirologi Anak.

Edisi pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. Hal. 334-343

6. Sugito, HMM Tarigan dkk, Benda Asing di Saluran Nafas Bagian Ilmu

Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara UPF Paru Rumah

Sakit Dr Pirngadi, Medan Edisi Khusus No. 80, 1992