Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

49
REFRAT INTERNA PATOGENESIS DAN MANAJEMEN OSTEOPOROSIS Oleh : Fitriana Darmastuti G0004101 Anesy Putri Ampaisa G0005035 Rizkiyani Astuti G0007224 Rr. Theodora Ratih G0007225 Fatimah Az-zahrah G0007505 Pembimbing : dr. Arifin S., Sp.PD, FINASIM

Transcript of Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Page 1: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

REFRAT INTERNA

PATOGENESIS DAN MANAJEMEN OSTEOPOROSIS

Oleh :

Fitriana Darmastuti G0004101

Anesy Putri Ampaisa G0005035

Rizkiyani Astuti G0007224

Rr. Theodora Ratih G0007225

Fatimah Az-zahrah G0007505

Pembimbing :

dr. Arifin S., Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

S U R A K A R T A

2011

Page 2: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Osteoporosis merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandai

pengurangan massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitas

tulang yang meningkat, sehingga resiko fraktur menjadi lebih besar

(Kaniawati, 2003)

Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit

degeneratif dan metabolik termasuk osteoporosis akan menjadi masalah

musculoskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-

negara berkembang termasuk Indonesia. Pada survey kependudukan tahun

1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai

9,2 %, meningkat 50 % dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian,

kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan

juga akan meningkat.

Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak masa

tulang dicapai pada usia 30 – 34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang

pasca menopause adalah 1,4 % / tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik

Reumatologi RSCM mendapatkan faktor risiko esteoporosis yang meliputi

umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor

proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat berat badan lebih /

obesitas dan latihan yang teratur.

Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan

merupakan problema pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di klinik

menjadi penting karena problema fraktur tulang, baik fraktur yang disertai

trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang

jelas.

Berbagai masalah yang cukup prinsipil masih harus dihadapi oleh

Indonesia dalam penatalaksanaan osteoporosis yang optimal, seperti tidak

meratanya alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya

2

Page 3: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan standar untuk

osteoporosis di Indonesia (Setiyohadi, 2007)

B. Tujuan

Penulisan refrerat ini bertujuan untuk mengetahui tentang penyakit

osteoporosis, terutama mengenai patogenesis dan manajemen dari

osteoporosis

3

Page 4: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tulang

1. Anatomi Tulang

Diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk

silinder. Bagian ini tersususn dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan

yang besar.

Metafisis adalah bagian tulang yang melebar didekat ujung akhir

batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang

spongiosa yang mengandung sel-sel hematopoetik. Sumsum merah

terdapat juga dibagian epifisis dan diafis tulang. Pada orang dewasa,

aktifitas hematopoietik menjadi terbatas hanya pada sternum dan krista

iliaka, walaupun tulang-tulang yang lain masih berpotensi untuk aktif lagi

bila diperlukan. Sumsum kuning yang terdapat pada diafisis tulang orang

dewasa terutama terdiri dari sel-sel lemak. Metafisis juga menopang sendi

dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan

ligamen pada epifisis.

Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada

anak-anak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa. Bagian

epifisis langsung perbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu

dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti.

a. Periosteum

Periosteum merupakan lapisan pertama dan selaput terluar tulang

yang tipis. Periosteum mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan

tulang), jaringan ikat dan pembuluh darah. Periosteum merupakan

tempat melekatnya otot-otot rangka (skelet) ke tulang dan berperan

dalam memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang rusak.

b. Tulang kompak (korteks)

4

Page 5: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Tulang kompak merupakan lapisan kedua pada tulang yang

memiliki tekstur halus dan sangat kuat. Tulang kompak memiliki

sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat

dan Calsium Carbonat) sehingga tulang menjadi padat.

Tulang kompak paling banyak ditemukan pada tulang kaki dan

tulang tangan. Delapan puluh persen tulang di tubuh dibentuk oleh

tulang kompak. Sel tulang kompak berada di lakuna dan menerima

nutrisi dari kanalikulus yang bercabang di seluruh tulang kompak dan

disalurkan melalui kanal havers yang mengandung pembuluh darah. Di

sekeliling tiap kanal havers, kolagen tersusun dalam lapisan konsentris

dan membentuk silinder yang disebut osteon (sistem Havers) atau

disebut juga tulang keras.

Setiap sistem Havers terdiri dari saluran Havers, yaitu suatu

saluran yang sejajar dengan sumbu tulang. Disekeliling sistem havers

terdapat lamella-lamella yang konsentris dan berlapis-lapis. Pada

lamella terdapat rongga-rongga yang disebut lakuna. Di dalam lakuna

terdapat osteosit. Dari lakuna keluar saluran-saluran kecil yang menuju

ke segala arah disebut kanalikuli yang berhubungan dengan lakuna

lain. Di antara sistem havers terdapat lamella interestial yang lamella-

lamellanya tidak berkaitan dengan sistem havers. Pembuluh darah dari

periosteum menembus tulang kompak melalui saluran volkman yang

berhubungan dengan pembuluh darah saluran havers. Kedua saluran

ini arahnya saling tegak lurus.

c. Tulang Spongiosa

Pada lapisan ketiga disebut dengan tulang spongiosa, berada di

dalam korteks dan membentuk sisa 20% tulang di tubuh. Tulang

spongiosa memiliki banyak rongga. Rongga tersebut diisi oleh

sumsum merah yang dapat memproduksi sel-sel darah. Tulang

spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis tulang yang disebut trabekula.

Trabekula terdiri dari spikulum / lempeng, dan sel-sel terletak di

permukaan lempeng. Nutrien berdifusi dari cairan ekstrasel tulang ke

5

Page 6: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

dalam trabekula. Lebih dari 90 % protein dalam matriks tulang

tersusun atas kolagen tipe I.

d. Sumsum Tulang (Bone Marrow)

Lapisan terakhir tulang yang paling dalam adalah sumsum tulang.

Sumsum tulang wujudnya seperti jelly yang kental dan dilindungi oleh

tulang spongiosa. Sumsum tulang berfungsi memproduksi sel-sel darah

yang ada dalam tubuh.

Gambar 1. Struktur tulang

Gambar 2. Sistem kanalis Haversi

6

Page 7: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

2. Histologi Tulang

Tulang terdiri dari komponen matriks dan sel. Matriks tulang terdiri dari

komponen organik dan anorganik. Sedangkan sel tulang terdiri dari sel

osteoprogenitor, osteoblas, osteoklas, dan osteoid.

a. Matriks Anorganik

Merupakan 50% dari berat kering matriks. Terdiri dari mineral kalsium,

fosfat, bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium, natrium. Kalsium dan fosfat

membentuk Kristal hidrosiapatit dengan komponen Ca10(PO4)6(OH)2.

Ion permukaan hidrosiapatit berhidrasi dan selapis air dan ion terbentuk di

sekitar kristal. Lapisan ini, yaitu lapisan hidrasi membantu pertukaran ion

antara kristal dan cairan tubuh.

b. Matriks Organik

Matriks organik mengandung kolagen tipe I, glikosaminoglikan sulfat,

asam hialuronat, glikoprotein osteokalsin dan osteoponin yang berikatan

erat dengan kristal kalsium selama mineralisasi tulang dan sialoprotein

yang mengikat osteoblas pada matriks ekstraselular melalui integrin

protein membrane plasma.

c. Osteoprogenitor

Merupakan embryonic mesenchymal cells, sehingga menjaga

kemampuan mitotik (sangat berpotensi untuk berdiferensiasi menjadi

Osteoblas). Berada pada bagian dalam periosteum, lapisan canal harvest,

dan di dalam endosteum (Junquiera, 2007).

d. Osteoblas.

Berasal dari sel mesenkimal, berada di permukaan tulang,dan

merupakan sel yang bertanggung jawab dalam proses formasi (pemben-

tukan) tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai

matriks organik (osteoid) (Setiyohadi, 2007).

Ketika sedang aktif menyintesis osteoid, osteoblas mensekresikan

sejumlah besar alkali fosfatase yang memegang peranan penting dalam

7

Page 8: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian dari

alkali fosfatase akan memasuki aliran darah. Dengan demikian, maka

kadar alkali fosfatase dalam darah merupakan indikator yang baik tentang

tingkat pembentukan tulang (Carter, 2005).

Selain itu, osteoblas juga berperan memulai proses resorpsi tulang

dengan cara membersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi

melalui berbagai proteinase netral yang dihasilkannya. (Junquiera, 2007).

e.Osteosit

Adalah osteoblas matur, terletak di lakuna, memiliki juluran

sitoplasma yang berperan dalam transmisi signal dan stimuli dari satu sel

dengan sel lainnya dan juga dengan bone lining cells di permukaan tulang.

Osteosit mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dan fosfat dalam

tulang dan darah. Setelah osetoblas menyintesis osteoid, osteoblas akan

langsung berubah menjadi osteosit dan terbenam dalam osteoid yang

disintesisnya (Setiyohadi, 2007).

f. Osteoklas

Adalah sel-sel besar berinti banyak yang termasuk dalam turunan sel

makrofag mononukleus-monosit. Sel ini bertanggung jawab terhadap

proses resorpsi tulang dengan menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang

memecahkan matriks tulang dan beberapa asam yang melarutkan mineral

tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah. (Carter,

2005).

8

Page 9: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Gambar 3. Osteoblas, Osteosit, Osteoklas

2. Remodelling Tulang

Selama kehidupan proses resorpsis dan formasi tulang terus

berlangsung. Pada awalnya pembentukan tulang lebih cepat dibanding

dengan resorpsi, yang menghasilkan tulang mejadi besar, berat dan padat.

Setelah pertumbuhan berhenti dan puncak massa tulang tercapai, maka

proses remodeling tulang akan dilanjutkan pada permukaan endosteal. Osteoklas

akan melakukan resorpsi tulang, sehingga meninggalkan rongga yang disebut

lacuna Howship pada tulang trabekular atau cutting cone pada tulang kortikal.

Setelah resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi tulang pada

rongga yang ditinggalkan osteoklas, membentuk matriks tulang yang disebut

osetoid, dilanjutkan dengan mineralisasi primer dan mineralisasi sekunder

sehingga tulang menjadi keras.

Pada tulang dewasa, formasi tulang hanya akan terjadi bila didahului

9

Page 10: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

dengan proses resorpsi tulang. Sehingga urutan proses yang terjadi pada

remodeling adalah aktifasi-resorpsi-formasi (ARF).

3. Regulasi Osteoblas dan Osteoklas

Osetoblas berasal dari stromal stem cell , untuk diferensiasi dan maturasi

osteoblas dibutuhkan faktor pertumbuhan local seperti fibroblast growth factor

(FGF), bone morphogenetic proteins (BMPs) dan Wnt proteins. Selain itu juga

dibutuhkan faktor transkripsi yaitu Core binding factor 1 (Cbfa) atau Runx2 dan

Osterix (Osx).

Sedangkan osteoklas, berasal dari sel hemopoetik/fagosit mononuclear.

Diferensiasinya di fase awal membutuhkan factor transkripsi PU-1, dan MiTf

yang akan merubah sel progenitor menjadi sel-sel seri myeloid. Selanjutnya

dengan rangsangan M-CSF, sel-sel ini berubah menjadi sel-sel monositik yang

berproliferasi mengekspresikan reseptor RANK. Selanjutnya, dengan adanya

RANK ligand (RANKL) sel ini berdiferensiasi menjadi osteoklas. Setelah

melalui proses resorpsi, osteoklas akan mengalami apoptosis dengan pengaruh

estrogen.

Membran plasma osteoblas kaya akan fosfatase alkali dan memiliki

reseptor untuk hormon paratiroid dan prostaglandin. Selain itu osteoblas juga

mengekspresikan reseptor estrogen dan vitamin D, CSF-1, dan reseptor anti

nuclear factor kB ligand (RANKL) dan osteoprotegrin (OPG). Perlekatan OPG

pada RANKL akan menghambat perlekatan RANKL terhadap RANK di

permukaan osteoklas, sehingga akan menghambat maturasi osteoklas dan

resorpsi tulang. Ekspresi OPG di sel stromal dan osteoblas akan ditingkatkan

oleh TGF β.

10

Page 11: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

4. Faktor Yang Mempengaruhi Regulasi Osteoblas dan Osteoklas

Hormon Pertumbuhan ( Growth Hormone, GH ).Hormon ini merupakan efek langsung dan tidak langsung terhadap osteoblas

untuk meningkatkan remodeling tulang dan pertumbuhan tulang endokondral.

Defisiensi GH pada manusia akan menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang.

Efek GH langsung pada tulang adalah melalui interaksi dengan reseptor GH pada

permukaan osteoblas, sedangkan efek tidak langsungnya melalui produksi insulin-

like growth factor-1 ( IGF-1 ).

Insulin-like Growth Factor-1 dan 2 ( IGF-1 dan IGF-2 ).IGF merupakan growth hormone-dependent polypeptides. IGF I mempunyai efek

merangsang sintesis matriks dan kolagen tulang dan juga merangsang replikasi

sel-sel turunan osteoblas, juga menurunkan degradasi kolagen tulang. IGF I

memegang peranan penting pada formasi tulang dan juga berperan

mempertahankan massa tulang. Berbagai faktor sistemik dan lokal turut berperan

mengatur sintesis IGF-1 oleh osteoblas antara lain estrogen, PTH, PGE2 dan BMP-

2, sedangkan PDGF dan glukokortikoid menghambat ekspresi IGF-1 dan 1,25

(OH)2D3, TGFb dan FGF-2 memiliki efek stimulator dan inhibitor ekspresi IGF-1.

Di dalam sirkulasi, IGF akan terikat pada IGF binding proteins (IGFBPs).

Bone Morphogenetic Proteins ( BMPs ).

Merupakan anggota superfamili TGFβ disintesis oleh sel-sel seri osteoblas dan

berperan pada diferensiasi osteoblas. Selain itu BMPs juga berperan pada osifikasi

endokondral dan kondrogenesis.

Protein Wnt.

Memiliki aktivitas yang sama dengan BMP dan menginduksi diferensiasi sel.

Signal Wnt yang optimal pada osteoblas membutuhkan lipoprotein receptor-

related protein 5 (LRP 5). LRP 5 diekspresikan oleh osteoblas dan sel stromal dan

distimulasi oleh BMP. Mutasi yang menyebabkan inaktifasi LRP 5 yang

menyebabkan penurunan densitas tulang sedangkan mutasi yang menyebabkan

LRP 5 resisten terhadap inaktifasi menyebabkan peningkatan massa tulang.

TGF β.

Berfungsi menstimulasi replikasi preosteoblas, sintesis kolagen dan menghambat

resorpsi tulang dengan cara menginduksi apoptosis osteoklas.

11

Page 12: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Fibriblast Growth Factors ( FGFs ).

FGF 1 dan 2 bersifat angiogenik dan berperan pada neovaskularisasi,

penyembuhan luka dan reparasi tulang. FGF 1 dan 2 akan merangsang replikasi

sel tulang sehingga populasi sel tersebut meningkat dan memungkinkan terjadinya

sintesis kolagen tulang. FGF juga memiliki peran kecil pada resorpsi tulang, yaitu

meningkatkan ekspresi MMP 13 yang berperan pada degradasi kolagen dan

remodeling tulang.

Platelet-Derived Growth Factor ( PDGF ).

PDGF berfungsi merangsang replikasi sel dan sintesis kolagen tulang. Selain itu,

PDGF-BB juga berperan meningkatkan jumlah osteoklas dan menginduksi

ekspresi MMP 13 oleh osteoblas.

Vascular Endothelial Growth Factors ( VEGF ).

Merupakan polipeptida yang berperan pada angiogenesis yang sangat penting

pada perkembangan skeletal. VEGF berperan sangat penting pada osifikasi

endokondral. Selama osifikasi endokondral, terjadi invasi pembuluh darah ke

dalam rawan sendi selama mineralisasi matriks, apoptosis kondrosit yang

hipertrofik, degradasi matriks dan formasi tulang.

Sitokin

Diantara group sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara lain adalah:

IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary

Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF), Granulocyte

Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan Macrophage-Colony

Stimulating Factor (M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL-18, dan interferon-γ,

merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis.

Hormon paratiroid (PTH)

Berperan merangsang resorpsi tulang secara tidak langsung, karena osteoklas

tidak memiiki reseptor PTH. Efeknya melalui peningkatan produksi Cbfa, yang

akan meningkatkan ekspresi RANKL oleh sel osteoblas.

Insulin

Mempunyai peranan dalam merangsang sintesis matriks tulang dan pembentukan

tulang rawan. Selain itu, insulin juga sangat penting pada mineralisasi tulang yang

12

Page 13: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

normal, dan merangsang produksi IGF I oleh hati. Peranan insulin pada sintesis

matriks terutama pada fungsi diferensiasi osteoblas,

1,25-Dihydroxyvitamin D3 [1,25(OH)2D3], merupakan hormon yang disintesis

secara primer oleh ginjal dan mempunyai fungsi yang sama dengan PTH, yaitu

merangsang resorpsi tulang dan efek ini berlangsung melalui peningkatan ekspresi

RANKL oleh osteoblas. Selain itu, 1,25(OH)2D3 dapat meningkatkan sintesis

osteokalsin oleh osteoblas, menghambat sintesis kolagen tulang, meningkatkan

ikatan IGF I pada pada reseptornya yang terdapat di sel-sel turunan osteoblas dan

merangsang selected IGF binding proteins yang dapat memodifikasi aksi dan

konsentrasi IGF.

Kalsitonin

Merupakan inhibitor yang poten terhadap efek resorpsi tulang dari osteoklas,

Selain itu, kalsitonin juga menyebabkan pemecahan osteoklas menjadi sel

mononuklear dan menghambat pembentukan osteoklas.

Glukokortikoid

Mempunyai efek merangsang resopsi tulang, melalui penurunan absorbsi kalsium

yang kemudian akan diikuti oleh peningkatan PTH. Pemberian glukokortikoid

jangka pendek pada konsentrasi fisiologik, akan merangsang sintesis kolagen

tulang. Pada pemberian jangka panjang dapat menurunkan replikasi tulang sel

preosteoblastik, sehingga jumlah osteoblas menurun dan pembentukan matriks

tulang terhambat. Selain itu, glukokortikoid juga menghambat sintesis IGF I oleh

sel tulang.

Hormon tiroid

Berperan merangsang resorpsi tulang. Hal ini akan menyebabkan pasien

hipotiroidisme akan disertai hiperkalsemia dan pasien pasca-menopause yang

mendapat supresi tiroid jangka panjang akan mengalami osteopenia.

Prostaglandin

PGE2 pada dosis rendah berperan merangsang formasi tulang, sedangkan pada

dosis tinggi berperan meningkatkan resorpsi tulang tanpa menghambat formasi

tulang. Pada fase resorpsi tulang, produksi PGE2 akan meningkat, sedangkan

pada formasi tulang, produksi PGE2 akan menurun.

13

Page 14: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Estrogen

Estrogen merupakan hormon yang berperan sebagai regulator pertumbuhan dan

homeostasis tulang yang cukup penting. Estrogen dapat memiliki efek langsung

maupun tak langsung kepada tulang. Efek langsung estrogen adalah melalui

perantaraan sitokin. Efek tidak langsungnya adalah homeostasis kalsium

(regulasi absoprsi kalsium usus, modulasi kalsitriol, ekskresi Ca di ginjal, serta

sekresi hormon PTH).

Selain itu, estrogen berperan dalam menurunkan sekresi sitokin pro-inflamasi oleh

monosit darah serta sumsum tulang seperti IL-1, TNF α, dan IL-6. Sitokin pro-

inflamasi ini berguna untuk menstimulasi perekrutan dan aktivitas osteoklas

melalui peningkatan ekspresi RANKL dan menurunkan ekspresi OPG. RANKL

menstimulasi RANK untuk mengaktivasi faktor transkripsi NF-κB yang

mengaktivasi dan mempertahankan kehidupan osteoklas. OPG dan RANK(L)

bekerja secara antagonis. Selain dipengaruhi oleh estrogen dan sitokin pro-

inflamasi, OPG dan RANK(L) juga dipengaruhi oleh hormon lain (paratiroid,

testosteron, glukokortikoid), vitamin D, dan faktor pertumbuhan (seperti BMP).

Oleh karena itu, penurunan estrogen meningkatkan aktivitas osteoklas sehingga

terjadi laju turn-over tulang yang sangat tinggi sedangkan aktivitas osteoblas

tidak dapat mengejar aktivitas osteoklas

14

Page 15: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

B. Osteoporosis

1. Definisi

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh

penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang

sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National

Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai

penyakit tulang sistemik yang di tandai oleh compromised bone strength

sehingga tulang mudah patah (Setiyohadi, 2007).

Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara nyata

yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang (Hortono, 2000).

2. Faktor Resiko

a) Riwayat Keluarga

Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang.

Disamping itu keluarga juga berpengaruh dalam hal kebiasaan makan dan

aktifitas fisik. Ras kaukasia dan oriental lebih sering terkena osteoporosis dari-

pada kulit hitam dan polinesia.

b) Jenis Kelamin

Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh

hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35

tahun.

c) Usia

Tiap peningkatan 1 dekade, risiko menigkat 1,4 -1,8 kali karena tulang

menjadi berkurang kekuatan dan kepadatannya. Berkurangnya massa tulang

mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai 35 tahun. Patah tulang meningkat

pada wanita usia >45 tahun, sedangkan pada laki-laki patah tulang baru

meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa tulang sampai 3-6%

pertahun terjadi pada 5-10 tahun pertama pascamenopause. Pada usia lanjut

penyusutan terjadi sebanyak 1% per tahun. Namun, pada wanita yang

memiliki faktor risiko penyusutan dapat terjadi hingga 3% per tahun. Selain

itu, pada usia lanjut juga terjadi penurunan kadar 1,25 (OH)2D yang

15

Page 16: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

disebabkan oleh kurangnya masukan vitamin D dalam diet, gangguan absorpsi

vitamin D, dan berkurangnya vitamin D dalam kulit.

d) Aktifitas Fisik

Kurang berolahraga dapat menghambat proses pembentukan tulang sehingga

kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak bergerak dan olah

raga, maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa. Aktivitas fisik

harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh dan penekanan pada aksis

tulang untuk meningkatkan respon osteogenik dari estrogen.

e) Status Gizi

Zat gizi dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi tulang. Perawakan kurus

cenderung memiliki bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor risiko

terjadinya kepadatan tulang yang rendah.

f) Kebiasaan Konsumsi Asupan Kalsium

Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen utama

pembentuk tulang. Sebagai mineral terbanyak, berat Ca yang terdapat pada

kerangka tulang orang dewasa kurang lebih 1 kilogram. Penyimpanan mineral

dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak Bone Mass atau PBM) sekitar

umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini jika massa tulang tercapai dengan

kondisi maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia

berikutnya.

g) Kebiasaan Merokok

Zat nikotin di dalam rokok mempercepat penyerapan tulang dan membuat

kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang.

h) Penyakit Diabetes Mellitus

Orang yang mengidap DM lebih mudah mengalami osteoporosis. Pemakaian

insulin merangsang pengambilan asam amino ke sel tulang sehingga

meningkatkan pembentukkan kolagen tulang.

3. Klasifikasi Osteoporosis

a. Osteoporosis primer, terjadi akibat kekurangan massa tulang yang terjadi

karena faktor usia secara alami. Osteoporosis primer ini terdiri dari dua

bagian:

16

Page 17: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Tipe I ( Post Menopausal)

Pada masa menopause, fungsi ovarium menurun sehingga produksi hor-

mon estrogen dan progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam proses

mineralisasi tulang dan menghambat resorpsi tulang serta pembentukan

osteoklas melalui produksi sitokin. Ketika kadar hormon estrogen darah

menurun, proses pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami

ketidakseimbangan. Pengeroposan tulang menjadi lebih dominan

(Wirakusumah, 2007).

Tipe II (Senile)

Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun, karena menurunnya absorbsi

kalsium, vitamin D, dan produksi estrogen yang berhubungan dengan makin

bertambahnya usia.

Karakteristik Tipe I Tipe IIUmur (tahun) 50-75 >70Perempuan: Laki-laki 6:1 2:1Tipe kerusakan tulang Terutama trabekular Trabekular dan kortikalBone turnover Tinggi RendahLokasi fraktur terbanyak

Vertebra, radius distal

Vertebra, kolum femoris

Fungsi PTH Menurun MeningkatEfek estrogen Terutama skeletal Terutama ekstraskeletalEtiologi utama Defisiensi estrogen Penuaan, defisiensi

estrogenTabel 1. Karakteristik Osteoporosis tipe I dan II

b. Osteoporosis sekunder

Dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang disebabkan oleh penyakit

tertentu, konsumsi obat-obatan, dan gaya hidup yang mempengaruhi

kepadatan massa tulang. Contoh penyebab osteoporosis sekunder antara lain:

Penyakit endokrin: hiperparatiroidisme, hipertirodisme, hipogonadisme

Penyakit saluran cerna yang menyebabkan kurangnya absorbsi kalsium,

fosfor, dan vitamin D di usus.

Konsumsi obatan-obatan: kortikosteroid (lebih dari 6 bulan), aromatase

inhibitor, pengganti hormon tiroid

17

Page 18: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Penyakit keganasan (leukimia, multiple mieloma)

Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga

4. Patogenesis

Patogenesis utama dari osteoporosis meliputi: (a) kegagalan untuk mencapai

kerangka kekuatan optimal selama pertumbuhan dan perkembangan, (b)

resorpsi tulang yang berlebihan yang mengakibatkan hilangnya massa tulang

dan gangguan arsitektur, dan (c ) kegagalan untuk menggantikan tulang yang

hilang akibat cacat dalam pembentukan tulang.

a. Patogenesis Osteoporosis Tipe 1

Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama

pada dekade awal setelah menopause, sehingga insiden fraktur, terutama

fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang

terutama pada tulang trabecular, karena memiliki permukaan yang luas dan

hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan

formasi tulang, keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone

turnover.

18

Page 19: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh

bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuclear, seperti IL-1, IL-6, dan

TNF-α yang berperan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut,

sehingga aktivitas osteoklas meningkat.

Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan

absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain

itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa

1,25(OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan 1,25(OH)2D

di dalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan

meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tidak

diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat

meningkatkan absorbsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi

vitamin D. Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause,

maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga

osteoporosis akan semakin berat.

b. Patogenesis Osteoporosis Tipe II

Pada dekade kedelapan dan sembilan kehidupan, terjadi

ketidakseimbangan remodeling tulang, di mana resorpsi tulang meningkat,

sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan

menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang, dan

peningkatan risiko fraktur yang independen terhadap BMD. Penyebab

penurunan fungsi osteoblast pada orang tua, diduga karena penurunan kadar

estrogen dan IGF-1.

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang

tua karena asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi

dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan

timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin

meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada

orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.

Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting

sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki

19

Page 20: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

maupun perempuan. Demikian juga kadar testosterone pada laki-laki.

Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa

tulang. Estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan

estrogen dan progesterone mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang

trabecular pada laki-laki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan

trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita. Penipisan

trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang, sedangkan

putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang

berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu

menopause.

20

Page 21: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Dengan bertambahnya usia, kadar testosterone pada laki-laki akan

menurun sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan

meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan

testosterone membentuk kompleks yang inaktif.

Penurunan hormone pertumbuhan (GH) dan IGF-1, juga berperan

terhadap peningkan resorpsi tulang. Tetapi penurunan kadar androgen adrenal

(DHEA dan DHEA-S) ternyata menunjukkan hasil yang kontroversial

terhadap penurunan massa tulang pada orang tua.

5. Gambaran Klinis

Osteoporosis disebut dengan silent disease karena gejala muncul setelah

beberapa dekade. Beberapa gejala yang khas pada osteoporosis adalah:

Patah tulang akibat trauma yang ringan terutama pada vertebra,

pergelangan tangan, pinggul, humerus, dan tibia

Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang.

Adanya deformitas tulang, leg-length inequality

6. Pemerikasaan Penunjang

Pengukuran densitas tulang merupakan kriteria utama untuk menegakkan

diagnosis dan monitoring osteoporosis dengan densitometri, computed

tomography scan (CT Scan), atau ultrasound.

Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan mineral

tulang adalah sebagai berikut:

a. Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar–X

berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan

pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang dan

jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang

mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-x

yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk

mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2%

mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan

hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal

dibandingkan dengan metode ultrasounds. Satuan : gr/cm2.

21

Page 22: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

b. Peripheral Dual-Energy X-ray Absorptiometry (P-DEXA), merupakan

hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota

badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur kepadatan

tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha.

c.Dual Photon Absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk

menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang

dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat

rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama. Satuan : gr/cm2.

d.Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika

hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan

untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat,

mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu

kelemahan ultrasounds adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral

tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Satuan : gr/cm2.

e.Quantitative Computed Tomography (QCT), adalah suatu model dari CT-

scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Pada umumnya

pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karena sangat mahal,

menggunakan radiasi dengan dosis tinggi dan kurang akurat dibandingkan

dengan DEXA, P-DEXA atau DPA. Satuan : gr/cm2.

untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri, digunakan kriteria WHO, yaitu:

Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa

tulang orang dewasa muda (T-score)

Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-

score.

Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.

(Raisz, 2005).

7. Penatalaksanaan

Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja

osteoklas (antiresorptif) dan / atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator

tulang). Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya

bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah

22

Page 23: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

estrogen, anti estrogen, bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk

stimulator tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan

vitamin D tidak mempunyai efek anti resorptif maupun stimulator tulang,

tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses

formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan

produksi PTH (hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan

pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif. (Setiyohadi, 2007).

a. Edukasi dan pencegahan

Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk

memelihara kekuatan, kelenturan, dan koordinasi system neuromuscular

serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan

yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda

maupun berenang.

Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari

maupun suplementasi

Hindari merokok dan minum alkohol

Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada

laki-laki dan menopause awal pada wanita

Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada pasien yang sudah

pasti osteoporosis

Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan pasien terjatuh, misalnya

lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat

menyebabkan hipotensi ortistatik ( Rosen, 2005; Setiyohadi, 2007).

b. Latihan dan program rehabilitasi

Dengan latihan yang teratur, pasien akan menjadi lebih lincah, tangkas

dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga

akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan

biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang.

Pada pasien yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan

adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah

23

Page 24: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

osteoporosis, maka latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian

ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan beban yang adekuat

(Rosen, 2005; Setiyohadi, 2007).

c. Estrogen

Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya vagina)

dan saluran cerna. Pemberian estradiol transdermal akan mencapai kadar yang

adekuat di dalam darah pada dosis 1/20 dosis oral. Estrogen oral akan

mengalami metabolism terutama di hati. Estrogen yang beredar di dalam

tubuh sebagian besar akan terikat dengan sex hormone-binding globulin

(SHBG) dan albumin, hanya sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru

fraksi inilah yang aktif. Estrogen akan diekskresi lewat saluran empedu,

kemudian direabsorpsi kembali di usus halus (sirkulasi enterohepatik). Pada

fase ini, estrogen akan dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif dan di

ekskresikan lewat ginjal.

Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti

resorptifnya adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17β- estradiol oral 1-

2 mg/hari, 17β- estradiol transdermal 50 µg/hari, 17β- estradiol perkutan 1,5

mg/hari, dan 17β- estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan.

d. Raloksifen

Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek seperti

estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan

endometrium dan payudara. Golongan preparat ini disebut juga selective

estrogen receptor modulators (SERM Mekanisme kerja raloksifen terhadap

tulang, sama dengan estrogen, tidak sepenuhnya diketahui dengan pasti, tetapi

diduga melibatkan TGFβ3 yang dihasilkan oleh osteoblas dan osteoklas yang

berfungsi menghambat diferensiasi osteoklas dan kehilangan massa tulang.

Aksi raloksifen diperantarai oleh ikatan raloksifen pada reseptor

estrogen, tetapi mengakibatkan ekspresi gen yang diatur estrogen yang

berbeda pada jaringan yang berbeda. Dosis yang direkomendasikan untuk

mencegah osteoporosis adalah 60 mg/hari (Rosen, 2005).

24

Page 25: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

e. Bisofasfonat

Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan

osteoporosis, baik sebagai pengobatan alternative setelah terapi pengganti

hormonal pada osteoporosis pada wanita, maupun pengobatan osteoporosis

pada laki-laki dan osteoporosis akibat steroid.

Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan

cara berikatan pada permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas

dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di bawah

osteoklas. Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi aktivasi

precursor osteoklas, diferensiasi precursor osteoklas menjadi osteoklas yang

matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan

apoptosis osteoklas.

Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklas dengan

cara merangsang osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat

osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Pemberian bisfosfonat

oral akan di absorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk, kurang dari

5 % dari dosis yang di minum. Jumlah yang diabsorpsi juga tergantung pada

dosis yang diminum. Absorpsi juga akan terhambat bila bisfosfonat diberikan

bersama-sama dengan kalsium, kation divalent lainnya dan berbagai minuman

lain kecuali air.

Sekitar 20-50 % bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada

permukaan tulang setelah 12-24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan

beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada didalam tulang

selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi.

Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan mengalami

metabolism didalam tubuh dan akan diekskresikan dalam bentuk utuh melalui

ginjal, sehingga pemberiannya pada pasien gagal ginjal harus berhati-hati.

Beberapa preparat bisofasfonat

Etidronat

Untuk terapi osteoporosis, etidronat dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari

selama 2 minggu, dilanjutkan dengan suplementasi kalsium 500 mg/hari se-

25

Page 26: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

lama 76 hari. Siklus ini diulang tiap 3 bulan. Pemberian secara siklik bertujuan

untuk mengatasi gangguan mineralisasi akibat pemberian etidronat jangka

panjang terus menerus.

Klodronat

Klodronat dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 1 bulan dilan-

jutkan dengan suplementasi kalsium selama 2 bulan. Siklus ini dapat diulang

setiap 3 bulan. Pemberian klodronat jangka panjang terus menerus juga akan

mengganggu mineralisasi tulang.

Pamidronat

Biasanya diberikan melalui infuse intravena.

Alendronat

Merupakan aminobisfosfonat yang sangat poten. Dapat diberikan dengan

dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu, karena tidak menganggu

mineralisasi tulang.

Risedronat

Merupakan bisfosfonat generasi ketiga yang poten, untuk terapi osteoporosis

diperlukan dosis 5 mg/hari secara kontinu.

Asam Zoledronat

Merupakan bisfosfonat terkuat yang saat ini ada. Sediaan yang ada adalah se-

diaan intravena yang harus diberikan per drip selama 15 menit untuk dosis 4

mg. Untuk pengobatan osteoporosis cukup diberikan dosis 4 mg per tahun.

(Favus, 2010).

f. Kalsitonin

Kalsitonin adalah suatu peptide yang terdiri dari 32 asam amino, yang

dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat resorpsi tulang

oleh osteoklas.Sekresi kalsitonin secara akut diatur oleh kadar kalsium dalam

darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Kadar

kalsitonin wanita lebih rendah daripada pria. Kalsitonin juga akan

meningkatkan ekskresi kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan

menimbulkan hipokalsemia dan hipofosfatemia.

26

Page 27: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

Dosis yang dianjurkan untuk pemberian intra nasal adalah 200 U per hari.

Kadar puncak di dalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit, dan

akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Pada sekitar separuh pasien yang

mendapatkan kalsitonin lebih dari 6 bulan, ternyata terbentuk antibody yang

akan mengurangi efektivitas kalsitonin (Rosen, 2005).

g. Natrium Fluorida

Natrium fluoride merupakan stimulator tulang yang sampai sekarang

belum disetujiui oleh FDA tapi tetap digunakan di beberapa megara. Saat ini

tersedia 2 preparat, yaitu natrium fluoride (NaF) dalam bentuk tablet salut

yang bersifat lepas lambat, dan tablet monofluorofosfat (MFP).

Fluorida merupakan mitogenik terhadap osteoblas yang aksinya

membutuhkan ketersediaan faktor pertumbuhan. Berbeda dengan efek anti

resorptif yang sangat lambat, pemberian fluoride akan meningkatkan massa

tulang spinal secara dramatic dan linier rata-rata 9% per tahun selama 4 tahun.

Walau demikian, ternyata pemberian fluoride akan menyebabkan penurunan

densitas pada tulang kortikal sehingga meningkatkan risiko fraktur tulang

perifer. Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian fluoride secara siklik

(ada massa bebas fluoride) atau dengan mengkombinasikannya dengan

kalsium dan vitamin D.

Dosis NaF di bawah 30-40 mg/hari ternyata tidak memberikan efek

terapetik yang nyata, tetapi dosis di atas 75-80 mg/ hari akan menyebabkan

kelainan tulang.

Efek samping lain selain peningkatan risiko fraktur perifer adalah iritasi

lambung dan arthralgia yang mungkin berhubungan dengan mikrofraktur atau

remodeling tulang yang terlalu cepat. Untuk mengatasi iritasi lambung, dapat

digunakan tablet salut NaF atau preparat MFP.

h. Hormon Paratiroid

Hormon paratiroid berfungsi untuk mempertahankan kadar kalsium di

dalam cairan ekstraselular dengan cara merangsang sintesis 1,25 (OH)2D di

ginjal, sehingga absorbs kalsium di usus meningkat. Selain itu juga

merangsang formasi tulang.

27

Page 28: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

h. Vitamin D

Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg

kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur

nonspiral sampai 50% (Dawson-Hughjes, 1997). Vitamin D diindikasikan

pada orang-orang tua yang tinggal di Panti Werda yang kurang terpapar sinar

matahari, tetapi tidak diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar

sinar matahari.

i. Kalsitriol

Penelitian Galagher (2001) mendapatkan bahwa pemberian kalsitriool 0,25

mg, 2 kali perhari selama ternyata meningkatkan BMD pada daerah lumbal

hanya 1,7%, dan tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan

osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat

hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium

peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme

sekumder, baik akibat hipokalsemia, maupun akibat gagal ginjal terminal.

j. Kalsium

Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena

mengandung kalsium elemen 400 mg/gram, disusul kalsium fosfat yang

mengandung kalsium elemen 230 mg/ gram, kalsium sitrat yang mengandung

kalsium elemen 211 mg/ gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium

elemen 130 mg/ gram dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium

elemen 90 mg/ gram.

k. Fitoestrogen

Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktivitas estrogenic. Ada

banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavon dan

lignans. Isoflavon yang berefek estrogenic antara lain genistein, daidzein dan

gliklosidanya yang banyak ditemukan pada golongan kacang-kacangan

(Leguminosae) seperti soy bean dan red clover. Sampai saat ini belum ada

bukti dari clinical trial bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati

osteoporosis (Alekel, 2000; Potter 1998).

28

Page 29: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

l. Terapi Kombinasi

Kombinasi antara 2 antiresorptif atau antiresorptif dan stimulator tulang,

ternyata memberikan hasil yang menjanjikan. Tujuan terapi kombinasi adalah

untuk mendapatkan efek maksimal 2 macam obat yang berbeda

mekanismenya dan mendapatkan efek ekstraskeletal khusus dari masing-

masing obat tersebut.

Kombinasi etidronat dengan estrogen memberikan hasil yang baik, baik

pada wanita yang baru mengalami menopause, maupun pada wanita dengan

osteoporosis pasca menopause. Pada wanita yang baru mengalami menopause,

pemberian kombinasi estrogen dan etidronat selama 4 tahun ternyata dapat

meningkatkna BMD pada daerah lumbal sebesar 10,9% sedangkan pada

daerah leher femur 7,25%.

Kombinasi estrogen dan risedronat juga menunjukkan hasil yang sangat

baik, dimana penelitian 1 tahun kombinasi tersebut menunjukkan peningkatan

BMD lumbal sebesar 5,2% dan daerah leher femur sebesar 2,6%, sedangkan

pasien yang hanya mendapatkan estrogen menunjukkan peningkatan BMD

lumbal hanya 4,8% dan BMD leher femur hanya 1,8%.

Kombinasi alendronate dan raloksifen juga telah diteliti selama 1 tahun

pada 330 pasien osteoporosis pasca menopause. Peningkatan BMD lumbal

pada kelompok alendronate sendiri adalah 2%, raloksifen sendiri 4,3% dan

kombinasi mencapai 5,2%.

Kombinasi PTH dengan estrogen atau kalsitonin, atau bisfosfonat atau

SERM juga menunjukkan hasil yang sangat baik.

Dari penelitian-penelitian ini, ternyata kombinasi obat-obat osteoporosis

ternyata memberikan hasil yang cukup baik dibandingkan pemberian obat-

obat tersebut secara tersendiri (Rosen, 2005).

m. Pembedahan

Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur,

terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada

terapi bedah pasien osteoporosis adalah :

29

Page 30: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

- Pasien osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, sebaikknya segera dilakukan

sehingga dapat dihindari imobilisasi lama dan komplikasi fraktur.

- Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga

mobilisasi pasien dapat dilakukan sedini mungkin.

- Asupan kalsium tetap harus diperhatikan, agar mineralisasi kalus sempurna.

- Pengobatan medikamentosa osteoporosis dengan bifosfonat, atau raloksifen,

atau terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin, tetap harus diberikan.

Evaluasi Hasil Pengobatan

Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang

pemeriksaan densitometry setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai

peningkatan densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan

maupun penurunan densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap

berhasil, karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan.

Selain mengulang pemeriksaan densitas massa tulang, maka pemeriksaan

petanda biokimia tulang juga dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan.

Penggunaan petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih cepat

yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan. Yang dinilai adalah

penurunan kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang (Setiyohadi,

2007).

30

Page 31: Patogenesis Dan Manajemen Osteoporosis

DAFTAR PUSTAKA

Carter, Michael. 2005. Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi. Dalam:

Patofosiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC

Favus, Murray. J. 2010. Bisphosphonates for Osteoporosis. In: N Engl J Med

2010; 363:2027-2035. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMct1004903

( 16 Januari 2012)

Jilka, Robert. 1995. Bone Marrow, Cytokines, and Bone Remodeling: Emerging

Insights into the Pathophysiology of Osteoporosis. In: N Engl J Med 1995;

332:305-311. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199502023320506

(16 Januari 2012).

Junqueira. 2007. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC

Hortono M., 2000. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Jakarta: Puspa Swara

Kaniawati, M., Moeliandari, F, 2003, Penanda Biokimia untuk

Osteoporosis.Forum Diagnosticum Prodia Diagnostics Educational Services.

Raisz, Lawrence G (1). 2005. Screening for Osteoporosis. In: N Engl J Med 2005;

353:164-171. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp042092 ( 16

Januari 2012)

Raisz, Lawrence G (2). 2005. Pathogenesis of osteoporosis: concepts, conflicts,

and prospects. In: Journal Clinical Investigation 2005;115(12):3318–3325.

http://www.jci.org/articles/view/27071. (16 Januari 2012)

Rosen, Clifford. 2005. Postmenopausal Osteoporosis. In: N Engl J Med 2005;

353:595-603. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp043801 ( 16

Januari 2012)

Setiyohadi, Bambang (1). 2007. Osteoporosis. dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, Jilid II Edisi IV. Jakarta: Departmen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

Setiyohadi, Bambang (2). 2007. Struktur dan Metabolisme Tulang. dalam: Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi IV. Jakarta: Departmen Ilmu

Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

31