Paraplegia
-
Upload
adhyanovic-hadi-pradipta -
Category
Documents
-
view
165 -
download
0
description
Transcript of Paraplegia
I. PENDAHULUAN
Paraplegia merupakan paralysis permanen dari tubuh yang disebabkan oleh luka atau penyakit yang dipengaruhi oleh medulla spinalis.
Pada luka medulla spinalis tulang belakang, biasanya rusak di suatu tempat di sepanjang tulang belakang tersebut akan sembuh, tetapi jaringan saraf pada medulla spinalis tidak dapat sembuh. Kerusakan saraf inilah yang menyebabkan kehilangan permanent pada fungsi dan berakibat pada kondisi yang disebut paraplegia.
II. DEFINISI
Paraplegia adalah kondisi dimana bagian bawah tubuh (extremitas bawah) mengalami kelumpuhan atau paralysis yang disebabkan karena lesi transversal pada medulla spinalis.
III. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medulla spinalis dalam setahun di Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Dari jumlah di atas, penyebab terbanyak karena kecelakaan mobil. Diikuti karena terjatuh, luka tembak dan cedera olah raga. Penyebab non traumatic yang paling sering menyebabkan paraplegi adalah tumor tulang belakang.
IV. PENYEBAB
Penyebab yang paling umum dari kerusakan medulla spinalis adalah :
1. Trauma
Seperti kecelakaan motor, jatuh, luka ketika berolahraga (khususnya menyelam ke perairan dangkal), luka tembakan dan juga bisa karena kecelakaan rumah tangga.
2. Penyakit
Motorneuron disease : keluhan berupa kelemahan otot, seperti pada otot yang cepat letih dan lelah, yaitu pada jari-jari tangan.
Polimiositosis bilateral : keluhan berupa kelemahan / keletihan pada otot– otot disertai mialgia ataupun sama sekali bebas nyeri atau rasa pegal/ linu / ngilu. Polimiositosis juga dapat menyebabkan kelemahan keempat anggota gerak.
Poliradikulopatia / polineuropatia bilateral : keluhan berupa kelemahan otot – otot tungkai.
Miopatia bilateral : keluhan berupa tidak dapat mengangkat badannya untuk berdiri dari sikap duduk taupun sikap sujud.
Distropia bilateral : kelemahan otot sesuai dengan penyakit herediter umumnya, yaitu sejak kecil.
Sindroma Miastenia Gravis : dimulai dengan adanya ptosis unilateral atau bilateral.
V. GAMBAR ANATOMI
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang dikelompokkan menjadi :
7 vertebra cervical atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk. 12 vertebra thorakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang thoraks
atau dada.
5 vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal atau pinggang.
5 vertebra sacralis atau ruas tulang selangkang membentuk sacrum.
4 vertebra koksigeus atau ruas tulang tungging membentuk tulang koksigeus.
VI. DIAGNOSA
1. ANAMNESA
1. Bagaimana kekuatan otot pada extremitas bawah ?2. Bagaimana “rasa – rasa” yang dialami pada extremitas bawah ? Apakah merasa
seperti tebal atau kesemutan ?
3. Bisa buang air kecil atau tidak ?
4. Bisa buang air besar atau tidak ?
5. Apakah pernah kecelakaan / jatuh yang mengenai tulang belakang ?
6. Tumor ? Infeksi ? Gangguan vaskuler ?
2.PEMERIKSAAN
a. Inspeksi
Pasien dalam kondisi berbaring
b. Palpasi
Sistem Motorik
Penilaian kekuatan otot merupakan salah satu pemeriksaan yang harus dilakukan pada pemerikasaan paraplegi. Kekuatan otot dapat diperiksa baik pada waktu otot melakukan suatu gerakan (power, kinetik) atau pada waktu menahan atau menghambat atau melawan gerakan (statik). Kadang kelemahan otot baru diketahui bila penderita disuruh melakukan serentetan gerakan pada satu periode (endurance). Untuk melakukan pemeriksaan kekuatan otot harus diketahui fungsi masing – masing otot yang diperiksa.
Pada paraplegia didapatkan kekuatan otot yang menurun pada kedua tungkai.
Penilaian kekuatan otot :
Nilai Kontraksi Persentase
0 Tidak ada
1 Ada, tanpa gerakan yang nyata 0 – 10 %
2 Dapat menggeser / menggerakkan lengan tanpa beban dan tahanan
11 – 25 %
3 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat dan tanpa tahanan
26 – 50 %
4 Dapat mengangkat lengan dengan tahanan ringan 51 – 75 %
5 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat dengan beban tahanan berat
76 – 100 %
Sistem Sensorik
Untuk menentukan level dari paraplegia terutama digunakan sistem sensoris, bukan motoris.
Defisit sensorik pada sindrom paraplegia karena trauma, gangguan spinovaskuler, proses autoimunologik atau proses maligna, satu atau beberapa segmen medulla spinalis rusak sama sekali. Lesi yang seolah memotong medulla spinalis dinamakan lesi transversal. Bilamana lesi transversal berada di bawah Intumesensia servikobrakialis, maka timbulah paralysis kedua tungkai (paraplegia) yang disertai hiperstesia pada permukaan badan dibawah tingkat lesi (hiperstesia paraplegia).
Pada paraplegia spastika ada batas defisit sensorik sedangkan pada paraplegia flaksida tidak memperlihatkan batas defisit sensorik yang jelas.
Refleks
Pada kelumpuhan lower motor neuron (LMN) tidak menunjukkan reflek patologis sedangkan pada kelumpuhan Upper Motor Neuron menunjukkan refleks patologis.
a. Reflek Superficial
1. Reflek Kulit Dinding Perut
Kulit dinding perut digores dengan ujung gagang palu refleks atau ujung kunci. Refleks kulit dinding perut menghilang pada lesi piramidalis. Hilangnya refleks ini yang berkombinasi dengan meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas bagi lesi di susunan piramidal.
2. Reflek Kremaster dan Reflek Skrotal
Penggoresan dengan pensil, ujung gagang palu refleks atau ujung kunci terhadap kulit bagian medial akan dijawab dengan elevasi testis ipsilateral. Refleks kremaster menghilang pada lesi di segmen L I – II, juga pada usia lanjut.
3. Reflek Gluteal
Refleks ini terdiri dari gerakan reflektorik otot gluteus ipilateral bilamana digores atau ditusuk dengan jarum atau ujung gagang palu refleks. Refleks gluteal menghilang jika terdapat lesi di segmen L IV – S I.
4. Reflek Anal Eksterna
Refleks ini dibangkitkan dengan jalan penggoresan atau ketukan terhadap kulit atau mukosa daerah perianal.
5. Reflek Plantar
Penggoresan terhadap kulit telapak kaki akan menimbulkan ekstansi serta pengembangan jari – jari kaki dan elevasi ibu jari kaki.
b. Reflek Patologik
Reflek patologik yang sering diperiksa di dalam klinik ialah “Ekstensor Plantar Response” atau tanda Babinski.
Metode-metode Perangsangan :
1. Refleks Chaddock
Penggoresan terhadap kulit dorsum pedis pada bagian lateralnya atau penggoresan terhadap kulit di sekitar malcolus eksterna.
2. Refleks Oppenheim
Pengurutan dari proksimal ke distal secara keras dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os. telunjuk dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi
os. tibia atau pengurutan itu dilakukan dengan menggunakan sensi interfalangeal jari telunjuk dan jari tengah dari tangan yang mengepal.
3. Refleks Gordon
Cara membangkitkan Ekstensor Plantar Response ialah dengan menekan betis secara keras.
4. Refleks Scaeffer
Cara membangkitkan respon tersebut adalah dengan menekan tendon Achilles secara keras.
5. Refleks Gonda
Respon patologik tersebut diatas timbul pada penekukan (plantar fleksi) maksimal dari jari kaki keempat.
6. Refleks Bing
Dibangkitkan dengan memberikan rangsangan tusuk pada kulit yang menutupi metatarsal kelima.
c. Perkusi
1. Refleks otot dinding perut (bagian atas T8-9, tengah T9-10, bawah T11-12)
Sikap :
Pasien berbaring terlentang dengan kedua tangan lurus di samping badan.
Stimulasi :
Ketukan pada jari yang ditempatkan pada bagian atas, tengah dan bawah dinding perut.
Respons :
Otot perut yang mengganjal.
2. Refleks tendon lutut (L 2-3-4, N. Femoralis)
Sikap :
Pasien duduk dengan kedua kakinya digantung
Pasien duduk dengan kedua kakinya ditapakkan di lantai
Pasien berbaring terlentang dengan tungkainya difleksikan di sendi lutut
Stimulasi :
Ketukan pada tendon Patella
Respons :
Tungkai bawah berekstensi
3. Refleks Biseps Femoralis (L4-5,S1-2, N.Ischiadicus)
Sikap :
Pasien berbaring terlentang dengan tungkai ditekuk ke lutut.
Stimulus :
Ketukan pada jari di pemeriksa yang ditemoatkan pada tendon M. Biseps femoralis
Respons :
Kontraksi M.biceps femoralis
4. Refleks Tendon Achilles (L5,S1-2, N.Tibialis)
Sikap :
1. Tungkai ditekuk di sendi dan kaki didorsofleksikan2. Pasien Berlutut dengan kedua kaki bebas
Stimulus :
Ketukan pada tendon Achilles
Respons :
Plantarfleksi kaki
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
RO : Ditemukan fraktur vertebrae Laboratorium :
a) Darah : Tidak spesifik
b) Urine : Ada infeksi, sehingga leukosit dan eritrosit meningkat
VII. PENGOBATAN
a. Obat
Jika terjadi contasio / transeksi / kompresi medulla spinalis, maka dapat kita terapi dengan :
Metyl Prednisolon 30 mg/kg BB bolus intravena selama 15 menit, dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg BB 45 menit setelah bolus selama 23 jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset.
Tambahkan profilaksis strees ulkus : Antacid / antagonis H2.
Sedangkan apabila terdapat comotio medulla spinalis fraktur atau dislokasi tidak stabil harus disingkirkan. Jika pemulihan sempurna, pengobatan tidak diperlukan.
Antibiotik pada umumnya untuk menyembuhkan infeksi saluran kemih. Beberapa orang menggunakan jus buah cranberry dan pengobatan dari tumbuhan lainnya untuk pencegahan.
b. Fisioterapi
Terdiri dari :
Alat bantu
Pada penyakit paraplegia, kita dapat menggunakan alat bantu terapi yang dinamakan “Giger MD”. Dimana merupakan suatu terapi dinamis koordinasi yang efisien untuk melatih pasien dengan lesi CNS.
Pemanasan
Dengan air hangat atau sinar.
Latihan
Disebut dengan Range Of Motion (ROM) untuk mengetahui luas gerak sendi.
c. Operasi
Dengan menggunakan teknik Harrison roda stabilization (Instrumen Harrison) yaitu mengguakan batang distraksi baja tahan karat untuk mengoreksi dan stabilisasi deformitas vertebra.
Prinsip dasar teknik Harrison dalam perawatan trauma deformitas spinal adalah adanya kemauan dan dukungan dari pasien mengikuti rehabilitasi sejak dini dan untuk mencegah deformitas yang lebih parah.
Tindakan operasi diindikasikan pada kasus :
Reduksi terbuka pada dislokasi Cedera terbuka dengan benda asing atau tulang dalam canalis spinalis
Lesi parsial medulla spinalis dengan hemamielia yang progresif
Dapat juga kita lakukan tindakan segera pada cedera medulla spinalis, tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada medulla spinalis yang diperburuk dengan penanganan yang kurang tepat, efek hipotensi atau hypoxia pada jaringan saraf yang sudah terganggu, yaitu :
Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan Beri bantal, guling atau bantal pasir pada sisi pasien untuk mencegah pergeseran
Tutupi dengan selimut untuk menghindari kehilangan hawa panas badan
Bawa pasien ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas penanganan kasus cedera medulla spinalis
d. Saran
Perawatan vesica urinaria dan fungsi defekasi
Perawatan kulit untuk menghindari terjadinya ulcus dekubitus
Nutrisi yang adekuat Control nyeri : analgetik, obat anti inflamasi non steroid, anti konvulsi, codein, dll.
e. Psikoterapi sangat penting, terutama pada pasien yang mengalami sekuel neurologist berat dan permanen.
.
DAFTAR PUSTAKA
Mardjono, Mahar DR.Prof., Sidharta, Priguna DR.Prof. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat. Hal : 20 – 27, 35, 85.
Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. Neurologis Klinis dalam Praktek Umum. Hal 7
Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Hal : 115 – 131, 434 – 443.