Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...
Transcript of Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...
Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim Inggris dalam Kebijakan Prevent Duty Inggris 2015
Amy Darajati Utomo dan Ani Widyani Soetjipto
1. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Depok, Jawa Barat, Indonesia 16424 2. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Depok, Jawa Barat, Indonesia 16424
E-mail: [email protected]
Abstrak
Di era War on Terror, terdapat metafora penyeimbangan: antara keamanan dan HAM. Jika diperhatikan, penyeimbangan yang terjadi sebenarnya adalah antara keamanan mayoritas dan hak-hak minoritas. Salah satu contoh minoritas yang dikorbankan HAM-nya demi keamanan adalah minoritas Muslim di Inggris. Prevent Duty, adalah bagian dari kebijakan kontra-terorisme Inggris yang berfokus pada pencegahan dan pendeteksian calon-calon teroris. Dalam kebijakan ini, Muslim Inggris lebih banyak menjadi sasaran pengawasan dan pelaporan, dan menjadi korban dari diskriminasi tidak langsung. Fokus ini berdampak signifikan, karena hal sederhana yang Muslim kenakan atau lakukan bisa dianggap sebagai tanda-tanda kerentanan akan menjadi teroris. Diskriminasi ini memperparah kondisi Muslim Inggris sebagai minoritas yang mengalami subordinasi dan kesenjangan sosial-ekonomi. Menggunakan metode representasi historis dan konsep orientalisme, penelitian ini menyimpulkan bahwa representasi Muslim sebagai yang rentan sekaligus ekstremis, memungkinkan diskursus perlindungan yang justru diskriminatif terhadap Muslim dalam Prevent Duty. Kata kunci: Muslim Inggris; kontra-terorisme; hak atas perlakuan non-diskriminatif; representasi; orientalisme
The Paradox of Human Rights and Counter-Terrorism: Discrimination of British Muslims in Prevent Duty 2015
Abstract
In the era of War on Terror, a rebalancing metaphor between security and human rights persist. Deeper into the metaphor, however, the rebalancing that happens in reality is between the security of majority and the rights of minority. One example of such minority is the British Muslims. As one of the UK counter-terrorism strategy, Prevent Duty focuses on the eradication of future terrorists. In practice, British Muslims experience indirect discrimination, since the Duty focuses in the reporting of Muslims. The impact is significant, since every simple thing a Muslim does or say can be reported as a sign of radicalization. The discrimination alienates further the already suffering Muslims, with the inequality they face in economy and social aspects. Using the method of historical representation and orientalism, this research concludes that the vulnerable and extremist representations of Muslim enable the discriminatory ‘safeguarding’ discourse in Prevent Duty. Keyword(s): British Muslim; counter-terrorism; rights to non-discrimination; representation; orientalism. Pendahuluan
Metafora penyeimbangan semakin terasa setelah 9/11 dan War on Terror, di mana
HAM cenderung dikorbankan demi keamanan (Moeckli, 2007: 2). Pada praktiknya, yang
terjadi adalah HAM kelompok minoritas dikorbankan demi keamanan mayoritas (Ignatieff,
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
dalam Moeckli, 2007: 9). Salah satu contoh minoritas tersebut adalah minoritas Muslim di
Eropa. Muslim tidak hanya dianggap berbeda, tetapi juga berbahaya, terlihat dari bagaimana
diskursus ‘terorisme baru’ mengkonstruksikan Islam sebagai sumber teror (Spalek, 2011:
200). Amnesty International mencatat bahwa terjadi tren penerapan hukum kontra-terorisme
‘Orwellian’ di Uni Eropa (EU) yang melanggar HAM. Justifikasi pemerintah-pemerintah EU
tersebut sama: untuk menjaga keamanan. Masalahnya adalah kebijakan tersebut banyak
memfokuskan secara tidak proporsional dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok
minoritas—salah satunya minoritas Muslim (Amnesty International, 2017).
Adanya ancaman teroris dari kelompok seperti Daesh dan Al-Qaeda tidak
terbantahkan. Akan tetapi, bukan berarti semua Muslim di dunia adalah teroris. Fokus
terhadap serangan ekstremis Islam juga mengabaikan ancaman dari ekstremis kanan. Selama
14 tahun terakhir di Eropa, tercatat 94 orang tewas dan 260 orang luka-luka karena serangan
ekstremis kanan-jauh. Sebagai perbandingan, serangan ekstremis Islam menewaskan ‘hanya’
16 orang dan melukai 65 orang (Leville, The Guardian, 2016). Maka, patut dipertanyakan
mengapa justru minoritas Muslim yang menjadi fokus perhatian dalam kebijakan kontra-
terorisme? Keamanan seperti apa (atau lebih tepatnya: keamanan siapa?) yang diupayakan
dalam diskursus penyeimbangan?
Salah satu contoh kebijakan kontra-terorisme yang diskriminatif terhadap Muslim
adalah Prevent. Sebagai bagian dari kebijakan kontra-terorisme Inggris, Prevent
memfokuskan pada pencegahan individu menjadi teroris atau mendukung terorisme. Fokus
terhadap ideologi ekstremisme terlihat dalam tiga tujuan Prevent: merespon tantangan
ideologi dari terorisme dan ekstremisme serta dari para pendukung pandangan tersebut;
kedua, memberikan bantuan untuk mencegah individu yang rentan terjerat terorisme dan
memberikan saran serta dukungan yang sesuai; ketiga, melakukan kerjasama dengan berbagai
sektor (meliputi pendidikan, kepolisian, agama, badan amal, situs daring, dan kesehatan)
dalam menangkal radikalisasi (HM Government, 2015). Dari ketiga tujuan tersebut, bisa
disimpulkan bahwa Prevent berfokus pada tataran ‘hearts and minds.’ Fokus ini tidak
berubah selama perkembangan Prevent, yang pertama kali dimulai pada tahun 2007 dengan
Prevent Pathfinder, direvisi dalam Prevent Review 2011, dan diwajibkan melalui Prevent
Duty 2015.
Masalahnya, tidak mudah untuk menilai bagaimana pemikiran individu, dan kaitan
antara pemikiran dan tindak terorisme. Hal ini menyebabkan kerancuan dalam menilai
individu mana yang dianggap mencurigakan dan berbahaya. Kerancuan ini pun terlihat dalam
berbagai istilah kunci yang digunakan Prevent. Radikalisasi hanya didefinisikan sebagai
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
‘proses di mana individu mulai mendukung ekstremisme garis keras (violent) atau
bergabung dengan kelompok teroris’ (UK Parliament, 2016). Tetapi tidak dijelaskan dengan
gamblang sejauh apa ‘dukungan’ yang bisa diberikan untuk dianggap radikal.
Kerancuan serta basis ilmiah yang tidak mumpuni terus bertahan dari awal diterapkan
Prevent hingga kini status hukumnya diperkuat menjadi Prevent Duty melalui Counter-
Terrorism and Security Act (CTSA) 2015. Prevent Duty yang menugaskan sektor-sektor
publik, termasuk sekolah, PAUD, universitas, dan rumah sakit, “untuk memperhatikan (to
have due regard to) kebutuhan mencegah ketertarikan individu ke dalam terorisme.” Berbeda
dengan peraturan sebelumnya—yang lebih berupa panduan dan bersifat sukarela—Prevent
kini adalah duty, atau kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh institusi publik dan para
stafnya. Setelah Prevent Duty, gejala sekecil apapun cenderung dilaporkan, karena mereka
bisa dihukum. Di sisi lain, tidak ada konsekuensi jika mereka salah melapor. Hal ini
menyebabkan peningkatan jumlah laporan pada tahun 2015, yaitu 3.994 orang, meningkat
dua kali lipat dari tahun sebelumnya (Asquith, Huffington Post, 2016). Dari jumlah tersebut,
hanya 20 persen individu yang memang memiliki hubungan ke jaringan terorisme (HM
Government, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa ribuan orang telah salah dilaporkan. Orang-
orang tak bersalah yang dilaporkan tersebut terkena dampak psikis yang tidak sedikit.
Fokus terhadap pelaporan ekstremisme Islam terlihat dari statistik: 70% dari referral
pada tahun 2015 adalah yang berhubungan dengan ekstremisme Islam (HM Government,
2016). Patut diperhatikan bahwa Muslim Inggris hanya berjumlah 5 persen populasi Inggris.
Dibandingkan dengan jumlah referral untuk ekstremisme kanan yang 15%, bisa disimpulkan
bahwa Muslim lebih mungkin dilaporkan ke Prevent. Hal ini menunjukkan adanya
diskriminasi tidak langsung terhadap Muslim Inggris, di mana kebijakan yang berlaku
umum justru memfokuskan kepada kelompok tertentu. Tindakan sederhana yang jika
dilakukan orang lain takkan dipermasalahkan, bagi Muslim akan berpotensi menyebabkan
mereka dicap sebagai teroris. Ini memperparah keadaan minoritas Muslim Inggris yang
memang sebelumnya sudah dianggap sebagai ‘other’, sebagai ‘masyarakat kelas dua’ yang
sudah sering menjadi korban rasisme dan diskriminasi (Henderson, 2017).
Hak atas perlakuan non-diskriminatif tercantum dalam seluruh kesepakatan HAM
internasional, yang juga sudah diratifikasi Inggris. Perlindungan dari diskriminasi adalah
fondasi komitmen perlakuan setara dalam hukum HAM internasional, seperti yang tercantum
dalam UDHR dan pasal 14 European Convention for the Protection of Human Rights and
Fundamental Freedoms (ECHR).
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Selain diskriminatif, perlu dipertanyakan mengenai efektifitasnya. Menurut Maina Kiai
(dalam Gayle, The Guardian, 2016), pelapor khusus PBB untuk hak kebebasan berkumpul,
yang menyatakan bahwa “dengan memecah belah, menstigmatisasi, dan mengalienasi
sekelompok populasi, Prevent Duty bukannya melawan ekstremisme, justru bisa
mempromosikannya.”
Maka, menarik untuk membahas mengapa Prevent diperkuat menjadi Prevent Duty
2015, meskipun dampak diskriminatif telah begitu terasa dan diragukan efektivitasnya.
Kewajiban yang ditetapkan kepada masyarakat umum pun menambah dimensi baru dalam
kebijakan kontra-terorisme. Oleh karena itu, rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai
berikut:
"Bagaimana hak atas perlakuan non-diskriminatif Muslim Inggris dilanggar dalam
Prevent Duty 2015?"
Dalam logika pospositivis, bertanya “how” atau “bagaimana” bukan berarti kausal,
akan tetapi merujuk pada deskripsi mendalam atas suatu tindakan atau mempertanyakan
“bagaimana mungkin” (Wendt, 1998:105). Maka, yang menjadi fokus adalah properti-
properti apa yang menyusun suatu tindakan, bukan apa yang mendahului suatu tindakan.
Melalui rumusan masalah tersebut, akan dipaparkan elemen-elemen apa saja yang
membentuk justifikasi pemerintah Inggris dalam membatasi hak atas perlakuan non-
diskriminatif minoritas Muslim melalui Prevent Duty 2015.
Tinjauan Teoretis
Terdapat dua konsep utama yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu
hak atas perlakuan non-diskriminatif dan orientalisme.
Hak atas Perlakuan Non-Diskriminatif
Hak atas perlakuan non-diskriminatif bermakna lebih dari sekedar kesetaraan formal
atau kesetaraan konsisten. Perlakuan yang sama justru bisa berdampak negatif untuk
kelompok tertentu. Maka, ada pembedaan yang mungkin diizinkan. Ada tiga kriteria yang
harus dipertimbangkan untuk membedakan apakah perlakuan tersebut sah (legitimate) atau
tidak (Moeckly, 2010: 74-78; dan Stanford dan Ahmed, 2016: 43-51): diatur oleh hukum
(prescribed by law), memiliki tujuan yang sah (legitimate aim), dan proporsional. HAM
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
bukanlah kemewahan atau sekedar tambahan untuk strategi kontra-terorisme, HAM
seharusnya menjadi dasar strategi tersebut.
Orientalisme
Terdapat tiga prinsip orientalisme (Grovogui, 2007: 254). Pertama, orientalisme
menekankan adanya peradaban-peradaban yang terpisah, tak setara, dan hirarkis. Kedua,
orientalisme menekankan adanya kebutuhan untuk menjaga batas antarperadaban dengan
membela nilai peradaban Barat melawan peradaban yang rusak. Ketiga, orientalisme
menekankan adanya usaha untuk mendorong Orient membantu menyebarkan nilai-nilai
progresif Barat. Representasi Orient menjustifikasi otoritas dan dominasi Barat, baik di era
penjajahan maupun hingga sekarang.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang menekankan kata-kata (words)
dibandingkan kuantifikasi dalam koleksi dan analisis datanya (Bryman, 2012:36) Penelitian
ini menggunakan metode representasi historis (historical representations) yang dirumuskan
oleh Kevin C. Dunn. Metode ini menggabungkan analisis diskursus dan penelitian historis
untuk melihat pertarungan dalam artikulasi dan sirkulasi narasi. Karena beberapa representasi
diterima sebagai ‘kebenaran’ dan yang lain tidak, penting untuk mempertanyakan bagaimana
struktur pengetahuan tertentu menjadi dominan. Representasi memungkinkan aktor untuk
‘mengetahui’ suatu objek dan bertindak atas apa yang mereka ‘tahu’. Pemahaman diskursif
inilah yang menjadi panduan aktor dalam bertindak. Oleh karena itu, representasi memiliki
dampak politik yang signifikan. Tindakan tertentu dimungkinkan dalam diskursus tertentu,
sementara tindakan lain menjadi tak terpikirkan (Dunn, 2008:80).
Terdapat empat langkah dalam menganalisa data menggunakan metode representasi
historis (Dunn, 2009: 90-91). Pertama, identifikasi berbagai diskursus berbeda yang
merepresentasikan merepresentasikan Muslim Inggris; bahasa, ilustrasi dan perbandingan
yang digunakan. Kedua, pemetaan kontestasi diskursus. Dalam tahap ini, akan
diidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam artikulasi dan sirkulasi diskursus. Ketiga,
kontekstualisasi representasi serta diskursus dalam struktur makna yang lebih besar.
Pertanyaan utama dalam langkah keempat adalah bagaimanakah diskursus dominan
memungkinkan suatu kebijakan dan praktik menjadi mungkin? Dalam tahap ini peneliti
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
akan menelusuri perkembangan representasi dan nilai intensitas sirkulasi dan penerimaan
sosialnya. Jika disimpulkan, penerapan metode penelitian dan teori menjadi sebagai berikut:
Bagan 1 : Kerangka Penelitian
Sumber: Olahan Penulis
Hasil Penelitian
Dalam bagian ini, akan dibahas mengenai tiga langkah pertama dari metode
representasi historis: kontekstualisasi, identifikasi diskursus, dan kontestasi aktor.
Kontekstualisasi
Dari proses penelitian yang dijalankan, peneliti menyimpulkan bahwa memang
terdapat konteks diskriminasi terhadap minoritas di Inggris. Terdapat anggapan bahwa
minoritas adalah ‘warga negara kelas dua’, menjadi korban dari rasisme baru warisan kolonial
(Kundnani, 2014: 100). Kecurigaan terhadap other telah menjadi elemen integral atas
penciptaan dan legitimasi imperialisme dan kolonialisme Inggris. Wacana yang menjadikan
Islam berbeda dan inferior telah menjadi bagian dari sejarah ini. Proses dominasi dan
Kasus: Diskriminasi Muslim Inggris dalam Prevent Duty 2015
Metode Representasi Historis
Parameter 2007 Prevent Pathfinder
2011 Prevent Review 2015 Prevent Duty
Data Dokumen resmi, media, literatur, budaya populer
Kerangka Konsep
Hak atas perlakuan non-diskriminatif Orientalisme
Analisis
Identifikasi Diskursus
Kontestasi Aktor
Kontekstualisasi Dampak Diskursus
Dominan pada Kebijakan
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
eksploitasi Muslim juga telah menjadi bagian dari sejarah imperial Inggris. Akibatnya di
akhir abad 20, dalam khayalan sosial modern Inggris, terdapat repertoar kepercayaan,
perasaan, dan kecenderungan perilaku yang siap dimobilisasi untuk memicu permusuhan
terhadap Muslim Inggris (Alam dan Husband, 2013, 245).
Terdapat dua momen bersejarah yang mendorong representasi Muslim Inggris
menyeruak dari identitas minoritas lainnya. Pertama, kontroversi Rushdie yang menjadi
momen penting konstruksi Muslim Inggris menjadi other (Poynting dan Mason, 2007; Allen
2010), dan tereksklusi dari Britishness (Faimau, 2016:2). Kedua, kerusuhan 2001 mendorong
terbentuknya konstruksi bahwa perbedaan Muslim Inggris adalah perbedaan yang berbahaya
dan ‘harus ditangani’.
Tidak lama setelah kerusuhan 2001 di London, terjadi serangan 9/11 di AS. Serangan
9/11 memicu pemikiran orientalis: bahwa Islam/Orient adalah kekuatan yang mistis dan
berbahaya (Bonino, 2016, 20). Asosiasi Islam dengan terorisme dan kekerasan ini sesuai
dengan asumsi Clash of Civilization, yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang
terprogram untuk fanatisme, tidak berubah selama berabad-abad, dan isinya bisa diketahui
dengan pembacaan teks relijius. Terorisme dianggap sebagai hasil dari pembacaan literal teks
klasik Islam (Kundnani, 2015). Diskursus ini disebut sebagai ‘Terorisme Islam’, bentuk
‘terorisme baru’ yang berbeda dengan ancaman terorisme sebelumnya karena dimotivasi oleh
agama, dan dianggap tidak bisa diajak bernegosiasi (Jackson, 2007). Pilihannya adalah untuk
mengalahkan atau dikalahkan, karena ancaman terorisme Islam mengancam keberlangsungan
Barat, “nilai-nilai kebebasan dan demokrasi kita” (Blair, 2001). Dalam ‘terorisme Islam’,
‘kita’ hanyalah mempertahankan diri dari serangan fanatisme, karena ‘kita’ tidak bersalah;
‘mereka’ menyerang karena membenci ‘nilai dan budaya Barat’.
Konstruksi ‘terorisme Islam’ tidak hanya terbatas pada sekelompok ekstremis, tetapi
juga pada seluruh Muslim. Dengan mengasosiasikan agama sebagai faktor utama yang
mendorong terorisme, mudah untuk menganggap bahwa Muslim di seluruh dunia sama saja.
Semua Muslim dianggap anti-demokrasi, anti-modernitas. Mantan PM Inggris, Tony Blair,
misalnya, mempertanyakan “bagaimana Islam bisa cocok dengan dunia modern’ (Moosavi,
2014, 650).
Pemahaman terorisme baru yang menganggap terorisme disebabkan oleh
kecenderungan Islam yang ‘anti-modern’, mendorong pemerintah AS untuk melaksanakan
transformasi kultural—karena Muslim dianggap tidak bisa melakukannya tanpa bantuan
Barat. Maka dimulailah War on Terror, perang mahal dan berdarah melawan teroris dan
pengubahan rejim yang dipimpin AS dan Inggris (Kundnani, 2015). Inggris ikut terlibat
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
dalam invasi Irak dan Afghanistan bersama AS. Saat menjustifikasi peran Inggris dalam War
on Terror, perdana mentri Inggris saat itu, Tony Blair, menyatakan bahwa Inggris bermaksud
untuk mengadili pelaku 9/11, serta untuk mengalahkan ekstremisme Islam (Blair, 2001).
Tony Blair sendiri telah diperingatkan sebelum invasi Irak, bahwa invasi tersebut akan
meningkatkan risiko terjadinya serangan teroris di Inggris (Gregory dan Wilkinson, 2005).
Saat terjadi serangan 7/7, Blair menyatakan bahwa serangan 7/7 dipengaruhi ‘ideologi jahat’,
sama sekali tidak dipengaruhi oleh ketidakadilan yang dilakukan Barat. Pemahaman seperti
ini mengabaikan konteks politik dan sosial yang mendorong para pelaku serangan 7/7
(Kundnani, 2015: 43).
Peristiwa 9/11 dan 7/7 meningkatkan isu kontra-terorisme dalam daftar prioritas
pemerintah Inggris. CONTEST mulai dirumuskan sejak tahun 2002, sebagai singkatan dari
Counter- Terrorism Strategy. Prevent secara resmi diluncurkan pada bulan April 2007.
Sesuai namanya, Prevent bertujuan untuk “mencegah orang menjadi teroris”. Dana dan
program Prevent Pathfinder di tingkat domestik secara eksplisit ditargetkan kepada
komunitas Muslim (Thomas, 2010, 450). Di tahun pertama, Prevent melibatkan lebih dari
44.000 pemuda Muslim (HM Government, 2011, 8). Hal ini tak pelak mengundang berbagai
kritik, terutama dari Muslim Inggris yang merasa dicurigai sebagai calon teroris. Mengingat
derasnya kritik, pemerintah melakukan peninjauan Prevent yang dipimpin oleh Lord Carlile,
Peninjau Independen Legislasi Terorisme. Menurut peninjauan tersebut, permasalahan dan
kontradiksi dalam Prevent jauh melebihi dampak positifnya dan oleh karena itu Prevent harus
direvisi (CLG, 2010).
Meskipun fokus kepada Muslim telah dikritik, kenyataannya Prevent tetap
memfokuskan kepada Muslim. Pemerintah Inggris mengakui bahwa Prevent memang
difokuskan kepada Muslim hingga saat ini, karena ancaman terbesar adalah dari teroris yang
mengatasnamakan Islam (NPCC, 2017). Memang, dalam konteks menjelang Prevent Duty,
terjadi beberapa kasus terorisme yang kemudian meningkatkan level ancaman menjadi ‘parah
(severe)’. Pada tahun 2013, terjadi pembunuhan tentara Lee Rigby di Woolwich. Tahun
2014, terjadi insiden Trojan Horse yang memicu investigasi besar-besaran ke sekolah-
sekolah Islam. Sementara tahun 2015 dibuka dengan serangkaian aksi teror: Charlie Hebdo
dan beberapa lainnya di Perancis, peluncuran video oleh Daesh (ISIS) yang membantai pilot
Jordan, serta berita tiga siswi Inggris yang bergabung dengan Daesh di Suriah, diasumsikan
untuk menjadi pengantin bagi anggota Daesh (Durodie, 2016, 27).
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Identifikasi Diskursus
Berlatarbelakang konteks tersebut, terdapat tiga diskursus representasi Muslim yang
diidentifikasi dalam perkembangan Prevent, sesuai prinsip-prinsip orientalisme.Pertama,
diskursus ‘Muslim ekstremis’ di mana Prevent memfokuskan pada ekstremisme Islam dan
menggeneralisasi Muslim sebagai ekstremis. Dalam CONTEST, 124 dari 125 halaman
menjelaskan tentang terorisme Islam (HM Government, CONTEST, 2016). Dari keseluruhan
dokumen Prevent Review, penjelasan tentang ekstremisme kanan-jauh hanya sebanyak tiga
paragraf.
Fokus tersebut juga terlihat dalam respon pemerintah terhadap dua kelompok ekstremis,
Al-Muhajiroun dan English Defence League (EDL). Dua kelompok sama-sama mendukung
kekerasan dan terhubung dengan organisasi violent. EDL terhubung dengan kelompok kanan-
jauh neo-Nazi. Akan tetapi, jika dilihat pola penahanan anggota kedua kelompok, terlihat
bahwa meskipun kejahatan yang dilakukan sama, anggota Al-Muhajiroun akan ditahan di
bawah peraturan terorisme, sementara EDL dan aktivis kanan-jauh lainnya akan didakwa
karena mengganggu ketertiban (Ahmed, 2015). Fokus terhadap Muslim ini menunjukkan
bahwa Muslim dianggap lebih berbahaya.
Contoh lainnya adalah dalam perbandingan respon pemerintah terhadap dua serangan
teroris: pembunuhan Lee Rigby dan Mohammed Salem. Baik pembunuhan Lee Rigby dan
Mohammed Saleem sama-sama dilatarbelakangi motif politik: Lee Rigby karena kebijakan
luar negeri Inggris, Mohammed Saleem karena ideologi ekstremis kanan. Yang langsung
disebut sebagai terorisme adalah pembunuhan Lee Rigby. Saat pelaku serangan Woolwich
masih berusaha diidentifikasi oleh pihak berwajib pun, media dan pemerintah telah dengan
sigap menggunakan istilah teroris. Segera setelah berita tewasnya Lee Rigby, pemerintah
Inggris langsung membuat satuan tugas khusus; sementara kasus Mohammed Salem tidak
begitu mendapat perhatian (Kundnani, 2015, 164).
Dari perbandingan respon pemerintah terlihat bagaimana pemerintah menganggap
teroris Muslim lebih berbahaya dibandingkan teroris kulit putih. Terasa pula bagaimana
korban Muslim tidak dihargai secara setara dengan korban kulit putih. Serangan terorisme
terhadap Muslim tidak dianggap sebagai serangan terhadap ‘kita’, sementara serangan oleh
Muslim dianggap serangan terhadap ‘kita’. Ini sesuai dengan prinsip orientalisme pertama,
yang membedakan antara Barat dan Islam, ‘kita’ dan ‘mereka’.
Tony Blair pernah menyatakan bahwa harus terdapat penyeimbangan kembali antara
hak para tersangka dengan hak mayoritas yang mematuhi hukum (Blair, 2006). Dalam
Strategi Keamanan Nasional Inggris dinyatakan bahwa negara akan melindungi keamanan
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
dan kebebasan mayoritas, dan negara terpaksa menghilangkan kebebasan beberapa: mereka
yang mengancam ‘kita’ (HM Government, 2010:23). Pernyataan seperti ini membedakan
antara ‘kita’ yang berhak dilindungi dan ‘mereka’ yang status perlindungannya bermasalah
karena berpotensi mengancam ‘kita’. Pemikiran seperti ini juga terlihat dalam pembahasan
Prevent Duty, di mana perdana menteri saat itu, David Cameron menyatakan bahwa
“kebebasan ekstremis harus dihambat” (Whitehead, 2015).
Semua orang berhak atas praduga tak bersalah. Akan tetapi, saat sekelompok
minoritas sudah dikonstruksikan sebagai ‘other’ yang mengancam, maka mudah untuk
mengabaikan prinsip praduga tak bersalah tersebut. Dampaknya, Muslim digeneralisasi
sebagai calon-calon teroris, dan harus selalu membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Bonino, bahwa Muslim Inggris diduga bersalah hingga terbukti
sebaliknya (Bonino, 2016, 395).
Diskursus kedua, ‘Muslim rentan’ di mana Muslim dianggap rentan teradikalisasi
(vulnerable to radicalization) karena nilai Islam yang dianut, dan kerentanan Muslim
mengancam nilai-nilai Inggris. Dalam konteks Prevent, kerentanan adalah kondisi yang
memudahkan radikalisasi (HM Government, 2011: 8). Gagasan kerentanan ini
mengindikasikan bahwa teroris kurang rasional, kurang tahan menghadapi ‘hasutan’ dari
‘ideologi jahat’, bahwa tidak ada orang berakal sehat yang mungkin menjadi teroris
(Richards, 2011, 144.). Kerentanan semakin ditekankan dalam Prevent Review : pemerintah
mengakui bahwa komunitas Muslim telah dianggap lebih rentan terhadap radikalisasi (HM
Government, 2011, 15).
Meskipun dalam panduan Prevent disebutkan berbagai faktor yang mungkin
mendorong ekstremisme, tetapi dalam berbagai pernyataan pemerintah dan dalam penerapan
Prevent, yang difokuskan adalah ‘ideologi jahat ekstremisme Islam’ sebagai akar masalah
(HM Government, 2011b:40–44). Seseorang yang menjadi teroris dianggap dikarenakan
berbagai faktor individual yang menyebabkan dirinya rentan dan termakan hasutan ekstremis.
Tindak terorisme bukan lagi dianggap sebagai ekspresi agensi politik, dan konteks kebijakan
luar negeri tidak diperhatikan (Coppock dan McGovern, 2014, 240).
Penekanan terhadap ideologi berlanjut hingga Prevent Duty disahkan melalui CTSA
2015. Fokus terhadap ideologi ini dikritik karena menyebabkan fokus terhadap relijiusitas
Muslim. Muslim menjadi ‘tersangka’ saat mereka dianggap ‘memilih’ identitas Islam
dibandingkan identitas Inggris. Muslim seakan diharuskan untuk hanya memiliki satu
identitas Inggris saja, mengabaikan komponen identitas interkultural dan inter-etnis yang
diadopsi Muslim (Lynch, 2013, 244).
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Untuk mengatasi kerentanan, Muslim didorong untuk menjadi “lebih Inggris” (Miah,
2015, 55; Lynch, 2013, 248). Pemerintah pun sering mengkonstruksi identitas Inggris sebagai
hal yang berlawanan dengan identitas Muslim (Moosavi, 2015, 659). Selain itu, survey
menunjukkan bahwa 61 persen masyarakat Inggris menganggap Islam tidak cocok dengan
nilai-nilai Inggris (Hirsch, 2015). Hal ini sesuai dengan argumen orientalis, bahwa nilai-nilai
Barat lebih superior dibandingkan nilai-nilai Orient (Grovogui, 2007, 254). Nilai-nilai
peradaban Barat harus dibela agar jangan sampai dipengaruhi oleh peradaban yang rusak.
Untuk menjaga superioritas tersebut, maka batas antar-peradaban harus dijaga. Untuk
Muslim, nilai dan identitas Inggris bukanlah hal yang bisa diperdebatkan, semata
harus diterima(Ansari, 2014, 166).
Jika disimpulkan, Muslim direpresentasikan sebagai other, yang berbahaya sekaligus
rentan. Konstruksi dalam Prevent memfokuskan kepada Muslim, yang karena ‘ideologi jahat’
bisa berubah menjadi ekstremis sewaktu-waktu di masa depan. Secara bersamaan, Muslim
dikonstruksikan sebagai kelompok yang rentan dari ‘cuci otak’ ideologi ekstremis, sehingga
harus selalu diawasi gerak-geriknya. Representasi Muslim yang rentan sekaligus ekstremis
berbahaya sesuai dengan prinsip pertama dan kedua dalam orientalisme: terdapat peradaban
terpisah dan hirarkis (Barat/Islam) dan sedang terjadi perang nilai antara kedua peradaban
tersebut, sehingga nilai-nilai ‘kita’ harus dipertahankan.
Sesuai prinsip orientalisme, konstruksi yang terjadi bukan hanya ke Muslim, tetapi
juga terhadap Inggris. Inggris dikonstruksikan dengan representasi yang berlawanan dan
lebih positif. Hal ini misalnya terlihat dalam pengabaian faktor kebijakan luar negeri
menyebabkan Inggris ‘semata mempertahankan diri’, yang memungkinkan konstruksi Inggris
sebagai yang diserang (under attack). Masyarakat Inggris yang diserang adalah masyarakat
‘baik-baik’, terdiri dari warga negara yang baik, beradab, taat hukum (law-abiding), moderat
dan sekuler, berbeda dengan para ekstremis yang dikonstruksikan sebagai jahat, biadab, dan
tidak taat hukum (Hickman, et al., 2011, 22).
Asosiasi Muslim dengan kerentanan juga mengkonstruksikan Inggris sebagai yang
memiliki ketahanan (resilient). Terdapat penekanan terhadap Britishness dan satu bangsa
yang tunggal sedang terancam, dengan anggapan bahwa nilai ‘kita’ berlawanan dengan
ekstremis Muslim. Konstruksi ini juga sesuai dengan label Muslim selama ini yang ‘kurang
Inggris’, sehingga lebih rentan teradikalisasi (Hickman, et al., 2011, 23). Jika digambarkan,
representasi Muslim Inggris adalah sesuai bagan berikut:
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Bagan 2. Representasi Muslim Inggris
Sumber: Olahan Penulis
Sementara diskursus ketiga, ‘pencarian Muslim moderat’ sesuai dengan prinsip
orientalisme di mana Barat mendorong Orient untuk menyebarkan nilai-nilai progresif Barat.
Dalam diskursus ini, pemerintah berusaha mendorong Muslim yang ‘moderat’ untuk
melawan ‘ekstremis’. Dalam Prevent, Muslim dibagi menjadi dua kelompok: kelompok
ekstremis dan ‘Muslim moderat’ (Jackson, 2007, 395). Kelompok ‘Islam moderat’
diharapkan akan mendorong sikap dan nilai yang lebih progresif (Thomas, 2010, 450),
mendorong komunitas Muslim untuk bersatu di bawah nilai-nilai Inggris dan mengisolasi
ekstremis (Kundnani, 2009, 20).
Klasifikasi moderat dan ekstremis tidak cukup menjelaskan masyarakat Muslim yang
begitu beragam. Akan tetapi, pemerintah berkeras mendorong dan mengembangkan ‘Islam
moderat’, melalui intervensi interpretasi agama. Hal ini dilakukan dengan dukungan terhadap
akademisi dan organisasi Islam tertentu, serta pengarahan terhadap masjid-masjid dan
pembuatan silabus sekolah Islam (Moosavi, 2015, 658). Pemerintah pun mensponsori
kampanye Radical Middle Way untuk mensosialisasikan pesan-pesan Islam moderat melawan
propaganda ekstremis yang disebut sebagai “Islam yang sesat”. Kampanye tersebut
mencakup seminar, debat, dan acara budaya untuk mempromosikan “nilai-nilai Islam
sebenarnya” (Awan, 2012, 1159.).
Intervensi agama oleh pemerintah ini menunjukkan bagaimana pemerintah merasa
memiliki kekuasaan untuk mengintervensi teologi Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Said, bahwa “Orientalis merasa bertugas untuk menunjukkan ‘Islam yang benar’” (Said,
1978, 281). Tidak heran bahwa pemerintah banyak dikritik karena pendekatannya tersebut;
sulit mencari‘Muslim moderat’. Pemerintah memutuskan untuk ‘membuat sendiri’ Muslim
ExtremistVulnerableMuslim
Law-abidingResilientBri8sh
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
yang apolitis dan beragama sesuai keinginan pemerintah. Wajar jika terdapat kekhawatiran
bahwa aktivisme politik Muslim dibungkam seutuhnya (Brown dan Saeed, 2014: 1170).
David Anderson, Peninjau Independen UU Terorisme, menyatakan bahwa sekarang
situasinya adalah baik pemerintah dan Muslim hanya berdialog dengan ‘kaumnya’ masing-
masing: pemerintah berdialog dengan orang-orang yang mendukung pemerintah, dan Muslim
berdialog dengan Muslim lainnya (Husain, 2007, 275).
Kontestasi Aktor
Bagian konteks telah menunjukkan bagaimana konteks diskriminasi terhadap
minoritas Muslim Inggris dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang mendorong minoritas
Muslim menjadi yang difokuskan. Sementara bagian identifikasi diskursus telah
menunjukkan tiga diskursus dominan dalam sejarah perkembangan Prevent. Dalam bagian
ini, akan dijelaskan mengenai kontestasi aktor yang memungkinkan representasi Muslim
sebagai kelompok yang ekstremis sekaligus rentan menjadi representasi dominan.
Representasi Muslim Inggris sebagai yang rentan dan ekstrem sangat dipengaruhi
oleh konstruksi dan tatanan pengetahuan mengenai (kontra-)terorisme. Penelitian Adam
Dolnik menyimpulkan bahwa studi terorisme bergantung pada sumber sekunder, membentuk
suatu sistem penelitian “tertutup dan tak teruji serta saling mendukung”. Studi terorisme
hanya mengulang asumsi yang sama terus menerus, tidak benar-benar mendorong
perkembangan ilmu atau solusinya (Dolnik, 2011). Situasi ini disebut oleh Marc Sageman
sebagai suatu “keadaan stagnasi”, disebabkan oleh kurangnya pendanaan oleh pemerintah
serta kurangnya informasi primer dari intelijen. Di satu sisi, terdapat “ledakan spekulasi” di
kalangan akademisi, karena kurangnya data empiris untuk bisa mendapatkan terobosan. Di sisi
lain, komunitas intelijen juga tidak bisa mendapatkan terobosan karena tidak memiliki
ketelitian metodologi serta dibatasi struktur komunitas intelijen. Keadaan ini mencegah
terbentuknya analisis kreatif dalam studi terorisme, yang terlepas dari kepentingan politik
(Sageman, 2014: 565-580). Hal ini disetujui oleh Kundnani (2012), yang menyatakan bahwa
diskursus radikalisasi sejak awal disesuaikan untuk kepentingan pembuat kebijakan, bukan
untuk memahami penyebab terorisme secara objektif.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat feedback loop antara tiga aktor:
pemerintah didukung oleh media dalam pernyataannya, media mengutip pemerintah dan
akademisi, akademisi memberikan justifikasi dalam pernyataan pemerintah. Untuk
menghancurkan lingkaran ini, diperlukan satu pihak yang memecahkan siklus, dengan risiko
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
yang besar: tidak dipilih kembali dalam pemilu selanjutnya, kerugian penjualan, kehilangan
sumber dana penelitian (Githens-Mazer dan Lambert, 2010, 888).
Dari feedback loop yang Islamophobic tersebut terlihat bagaimana representasi
Muslim yang rentan dan ekstremis dipengaruhi dengan power. Sesuai pernyataan Dunn,
diskursus dominan dipengaruhi oleh power, dan sebaliknya power pun dipengaruhi oleh
diskursus dominan (Dunn, 2008:82). Representasi Muslim yang rentan dan ekstremis, serta
harus didorong untuk menjadi moderat, diproduksi dan disirkulasi oleh feedback loop—
lingkaran di mana power berpusat. Di antara lingkaran tersebut, Muslim tidak diberi
kesempatan atau kuasa untuk merepresentasikan dirinya sendiri. Sesuai pernyataan Said,
bahwa Orient tidak dianggap mampu, dan tidak diberikan kesempatan untuk mewakili diri
sendiri. Trennya adalah untuk membicarakan tentang Muslim, bukan berbicara dengan
Muslim (Richardson, 2015, 229).
Pembahasan
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai bagian terakhir dari tahap metode representasi
historis: bagaimana diskursus dominan bisa menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap
Muslim Inggris. Berdasarkan identifikasi diskursus dominan di bagian sebelumnya, selama
perkembangan Prevent Muslim direpresentasikan sebagai other, yang berbahaya sekaligus
rentan. Konstruksi dalam Prevent memfokuskan kepada ekstremisme Muslim, yang karena
‘ideologi jahat’ bisa berubah menjadi ekstremis sewaktu-waktu di masa depan. Secara
bersamaan, Muslim dikonstruksikan sebagai kelompok yang rentan dari ‘cuci otak’ ideologi
ekstremis, sehingga harus selalu diawasi gerak-geriknya. Muslim semata dilihat sebagai
kelompok yang berbahaya sekaligus rentan, harus ‘dilindungi’ demi kebaikannya sendiri
(Heath-Kelly, 2013, 403)— bukan warga negara yang harus dilindungi hak-haknya. Hal ini
memungkinkan dominasi dan diskriminasi Muslim Inggris, sesuai dengan pernyataan Said,
bahwa hubungan Barat dengan Orient menjadi hubungan “relasi kuasa, dominasi, dan
hegemoni” (Said, 2003, 5).
Dengan representasi yang demikian, kebijakan yang diskriminatif menjadi mungkin,
sementara perlakuan setara Muslim Inggris menjadi tak terpikirkan. Diskriminasi tidak
dinyatakan secara langsung, karena pemerintah menganggap dominasi yang dilakukan adalah
demi kebaikan Orient sendiri, dan bahwa pemerintah tidak bersalah apa-apa. Dalam Prevent,
diskriminasi diterapkan dalam bentuk perlindungan (safeguarding): untuk melindungi
Muslim dari kerentanan dan potensi berubah menjadi teroris. Perlindungan dilakukan dengan
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
dua cara: mengawasi Muslim dan apabila terdapat tanda kerentanan dilaporkan, serta
dorongan untuk berkomitmen pada nilai-nilai Inggris.
Dalam Prevent Review, ‘perlindungan’ didefinisikan sebagai proses perlindungan
orang-orang yang rentan dari terorisme (HM Government, 2011, 15). Konsep perlindungan
dikatakan serupa dengan perlindungan anak dari bahaya narkoba, alkohol dan kelompok
geng. Mengingat kerancuan definisi istilah kunci seperti ekstremisme dan radikalisasi, masih
belum jelas konteks perlindungan dalam Prevent—melindungi dari apa sebenarnya?
Pemerintah seolah yakin bahwa guru, dosen, dan staf institusi lainnya bisa secara objektif
mendeteksi risiko adikalisasi, hanya dengan mengandalkan definisi yang rancu serta melihat
ide, penampilan dan perilaku (O’Donnel, 2016, 65).
Dasar kebijakan yang diragukan, disertai kriteria kerentanan yang rancu, membuat
orang yang tidak bersalah dan tidak memiliki kerentanan bisa dilaporkan. Prevent Duty
mendorong pelaporan: sebagai kewajiban, institusi publik diawasi dan bisa mendapatkan
sanksi; di sisi lain tidak ada konsekuensi jika seseorang salah melapor—konsekuensinya
ditanggung orang yang dilaporkan. Tren over-refer ini terlihat dalam pola kenaikan pelaporan
dari tahun ke tahun (Mohammed dan Siddique, 2013, 32). Meningkatnya jumlah pelaporan
menunjukkan bahwa publik semakin aktif melapor ke pihak berwajib tentang tanda-tanda
radikalisasi, dengan setidaknya 11 pelaporan setiap harinya (Halliday, 2016).
Terdapat berbagai kasus yang menunjukkan bahwa institusi publik bertindak
berlebihan dan mendiskriminasi Muslim Inggris dalam Prevent Duty. Misalnya, seorang anak
berumur 16 tahun di Portshmouth dilaporkan karena mengambil buku tentang terorisme di
perpustakaan sekolah (IRR, 2016). Prevent di kampus juga memfokuskan kepada mahasiswa
Muslim (Saeed, 2016, 88). Siswa dilihat melalui lensa keamanan, bukan dari sudut pandang
hubungan guru-dan-siswa (O’Donnel, 2016, 65). Mahasiswa yang aktif dalam politik atau
merupakan anggota himpunan mahasiswa Islami (Islamic Student society/ISoc) dianggap
beresiko (Saeed, 2016, 114).
Guru, dosen, dokter, dan staf institusi publik lainnya juga tidak kebal dari pengaruh
diskursus terkait Muslim (Coppock dan McGovern, 2014, 240). Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa staf institusi publik seperti guru cenderung tidak mencurigai kulit putih.
Misalnya, penelitian oleh Melanie Newman menemukan bahwa siswa kulit hitam dan
minoritas etnis di Barnsley lebih cenderung dilaporkan terkena radikalisasi. Barnsley adalah
area yang memiliki sejarah kekerasan kanan-jauh. Tetapi, anak-anak kulit putih tidak
dicurigai rentan radikalisasinya karena “warna kulitnya” (Newman, 2015).
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Maka, patut dipertanyakan apakah diskriminasi terhadap Muslim tersebut bisa
dilegitimasi atau tidak. Akan diterapkan tiga prinsip sesuai kerangka konsep. Pertama, suatu
hukum harus tepat definisinya agar individu bisa memprediksi penerapannya (Stanford dan
Ahmed, 2016, 11). Inggris merupakan salah satu negara dengan definisi terorisme paling luas
(Stanford dan Ahmed, 2016, 11).. Selain itu, Inggris juga tidak memiliki definisi yang cukup
koheren dan tepat (precise) tentang ekstremisme atau tentang nilai-nilai Inggris. Banyak yang
mengkritik bahwa ekstremisme dan nilai-nilai Inggris kurang didefinisikan dengan jelas (HM
Government, Prevent Duty Summary of Response, 2015).
Kedua, suatu kebijakan harus memenuhi tujuan yang sah, Biasanya tidak sulit bagi
negara untuk memenuhi syarat ini, karena hampir semua kebijakan bisa diklaim tujuan
rasionalnya. Untuk kebijakan kontra-terorisme, pemerintah biasanya akan menggunakan
kepentingan keamanan nasional (Moeckli, 2008, 70).
Ketiga, suatu kebijakan harus proporsional. Pada praktiknya, poin inilah yang menjadi
penentu apakah sebuah kebijakan diskriminatif melanggar hukum atau tidak(Moeckli, 2008,
70).. Terdapat tiga poin yang harus diperhatikan untuk melihat proporsionalitas: kesesuaian
dan efektivitas, implementasi, serta pencegahan kesewenang-wenangan.
Apakah Prevent Duty sesuai dan efektif untuk melawan terorisme? Menurut ECtHR,
intervensi harus proporsional dengan tujuan yang dikejar (Moeckli, 2008, 72). Pemerintah
seperti berkomitmen untuk mempertahankan tingginya persepsi ancaman terorisme. Hal ini
ditunjukkan dengan pernyataan David Cameron, bahwa Daesh/ISIS berencana menyerang
Inggris, meskipun ISIS tidak pernah mengumumkan rencana apapun terkait serangan di
Inggris (BBC, 2014). Padahal, statistik menunjukkan bahwa ancaman terorisme di Inggris
tidak seserius yang pemerintah nyatakan. Dalam selang waktu 2000-2015, terhitung 90 orang
telah terbunuh dalam serangan teroris. Dari jumlah tersebut, 52 orang meninggal dalam
serangan 7/7. Angka ini menurun drastis jika dibandingkan 1094 orang di 1985-1999 (The
Telegraph, 2017). Dalam dekade terakhir, angka kematian pertahun di Inggris karena
terorisme ‘hanya’ 1,4. Jika dibandingkan, seseorang lebih mungkin tewas karena dibunuh
anjing (18 kematian per tahun), air panas (100 kematian pertahun), atau penggunaan telepon
genggam saat menyetir (2.920 kematian pertahun) (Nowrasteh, 2016).
Menilai efektivitas Prevent Duty, dan Prevent secara umum, bukanlah hal mudah.
Mengingat Prevent merupakan usaha pencegahan, sulit untuk menilai bagaimana serangan
terorisme tidak terjadi karena Prevent. Pemerintah sendiri memasang indikator yang rendah
untuk menilai keberhasilan Prevent, yaitu terlihat dari meningkatnya kepercayaan publik
terhadap Prevent serta semakin diterapkannya Prevent oleh institusi dan agensi (PCC, 2015).
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Ironisnya, bahkan hal ini pun gagal dicapai: tercatat bahwa hanya 4 persen masyarakat yang
mempercayai efektivitas Prevent (Watts, 2016).
Apakah efek Prevent Duty diskriminatif? Untuk pertanyaan ini yang dilihat bukan
hanya dari kebijakannya, tapi juga implementasi (Stanford dan Ahmed, 2016, 11). Selama
perkembangannya, pemerintah sudah dikritik berulang kali bahwa fokus terhadap Muslim
tidak akan mengatasi terorisme dan justru mengalienasi Muslim, tetapi tetap saja fokus
terhadap Muslim dipertahankan. Mengingat dampak Prevent Duty yang dirasakan secara
tidak setara oleh Muslim, Prevent Duty bisa dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi tidak
langsung.
Apakah ada peraturan yang bisa memastikan standar penerapan agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan? Meskipun individu terbukti tidak bersalah, tidak ada mekanisme
untuk menghilangkan stigma dan label yang didapat karena dilaporkan (Stanford dan Ahmed,
2016, 11). Memang, Prevent memiliki Prevent Oversight Board (POB) yang bertugas
mengawasi Prevent. Akan tetapi, badan ini dikritik karena jarang bertemu dan tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Selain itu, badan ini tidak memiliki independensi institusional yang
dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Maka, kemampuan Prevent Duty
dalam menghindari kesewenang-wenangan diragukan.
Berdasarkan pertimbangan tiga faktor legitimasi, Prevent Duty telah melanggar hak
atas perlakuan non-diskriminatif Muslim Inggris, karena definisinya yang rancu, serta tidak
lolos uji proporsionalitas. Meskipun tujuan Prevent Duty sah, pada implementasinya Prevent
Duty mendiskriminasi Muslim Inggris.
Prevent Duty seakan memberi masyarakat ‘izin untuk membenci Muslim’ (Poynting and
Mason, 2006, 367), memungkinkan diskriminasi berkedok perlindungan. Representasi Orient
menjustifikasi otoritas dan dominasi Barat, baik di era penjajahan maupun hingga sekarang.
Prevent memproblematisasi identitas Muslim, di mana Muslim direpresentasikan sebagai
ekstremis sekaligus rentan dan perlu didorong untuk menjadi moderat, menyebabkan Muslim
dicurigai, didiskriminasi, dan mengalami religious profiling (Bonino, 2013, 397). Diskriminasi
ini pun menyalahi berbagai komitmen Inggris lainnya, seperti terhadap ICCPR, Declaration
on the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion or
Belief 1981, dan ECHR. Inggris juga melanggar komitmen tingkat nasionalnya sendiri, yaitu
Equality Duty, di mana kebijakan dan institusi publik harus melawan diskriminasi terhadap
minoritas agama termasuk Muslim.
Prevent Duty membuktikan bahwa HAM dikompromikan, di mana pemerintah
mengabaikan komitmen-nya terhadap HAM dan menginterpretasikan kembali norma HAM
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
demi kepentingan keamanan. Dengan mengabaikan HAM, terorisme tidak akan berhasil
dihentikan, dan justru bisa tidak efektif (Powell, 2016, 33). Representasi orientalis Muslim
Inggris telah memungkinkan kebijakan yang diskriminatif dianggap sebagai kebijakan yang
dominan, mengalahkan alternatif kebijakan yang menjunjung HAM.
Tidak heran jika banyak yang menyerukan penghapusan Prevent: Muslim dan non-
Muslim; organisasi (Adams, 2016), akademisi (Powell, 2016), hingga politisi (The
Guardians, 2016). Prevent telah ditolak oleh mayoritas Muslim, bukan hanya yang golongan
yang ekstremis seperti Salafi atau Islamis—semua menolak dikonstruksikannya Muslim
sebagai ancaman dan sumber radikalisasi atau ekstremisme (5Pillars,2016).
Kompromi HAM dalam Prevent ini tidak hanya berbahaya secara nasional Inggris saja,
karena kebijakan kontra-terorisme Inggris telah mempengaruhi negara-negara lain (Lennon
dan Walker, 2015). Prevent Duty sendiri merupakan ‘kebanggaan’ pemerintah, karena
merupakan pionir dalam pencegahan terorisme, dan banyak negara mulai mengikuti
pendekatan Inggris (Cobain, The Guardian, 2016). Hal ini sesuai dengan pernyataan
Pickering dan McCullock, bahwa hukum kontra-terorisme telah mengubah pemahaman
publik tentang kebebasan sipil dan HAM, karena masyarakat harus menerima ekspansi
kekuatan polisi dan intrusi demi meningkatkan keamanan (Pickering dan McCulloch, 2010).
Adanya erosi moralitas publik ini memungkinkan nilai-nilai HAM dikompromikan, dan
kebijakan-kebijakan intrusif ditetapkan. Seperti penjelasan di atas, tren memprioritaskan
keamanan dan mengabaikan komitmen terhadap HAM tidak hanya terjadi di Inggris, tetapi
juga di berbagai belahan dunia. Tren ini menjadi mungkin karena adanya suatu persepsi
ancaman, konstruksi orientalis yang merepresentasikan Muslim sebagai ekstrem dan rentan.
Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan logika pembentukan untuk memahami elemen-elemen apa
saja yang membentuk justifikasi pemerintah Inggris dalam membatasi hak atas perlakuan
non-diskriminatif minoritas Muslim melalui Prevent Duty 2015. Elemen-elemen tersebut bisa
diklasifikasikan menggunakan metode yang digunakan: representasi historis.
Elemen pertama, yaitu berbagai konteks yang mendorong konstruksi Muslim sebagai
‘other’ yang berbahaya. Setelah 9/11, diskursus ‘terorisme Islam’ berkembang dan label
berbahaya resmi disematkan dalam identitas Muslim. Sementara peristiwa bom 7/7
menghilangkan adanya persepsi jarak dalam ancaman, karena kini Muslim yang lahir dan
tumbuh besar di Inggris bisa menjadi teroris. Kebijakan Prevent diluncurkan setelah 7/7, dan
kecurigaan terhadap Muslim dan Islam menjadi fokus di dalamnya.
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Terdapat label-label orientalis yang menggeneralisasikan Muslim, di mana persepsi
perbedaan antara Muslim dan Inggris dianggap menyebabkan terorisme. ‘Keterbelakangan’
Muslim menyebabkan Muslim menjadi teroris, karena ‘mereka’ menyukai nilai dan ‘cara
hidup kita’. Muslim Inggris, yang meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Inggris,
diragukan identitas dan kesetiaannya kepada Inggris. Muslim Inggris bukan lagi warga
negara biasa, tapi warga negara kelas dua, musuh dalam selimut yang harus selalu dicurigai.
Konstruksi dalam Prevent memfokuskan kepada ekstremisme Muslim, yang karena
‘ideologi jahat’ bisa berubah kapan saja menjadi ekstremis. Secara bersamaan, Muslim juga
dikonstruksikan sebagai kelompok yang rentan dari ‘cuci otak’ ideologi ekstremis, sehingga
harus selalu diawasi gerak-geriknya. Representasi Muslim yang rentan sekaligus ekstremis
berbahaya sesuai dengan prinsip pertama dan kedua dalam orientalisme: terdapat peradaban
terpisah dan hirarkis (Barat/Islam) dan sedang terjadi perang nilai antara kedua peradaban
tersebut, sehingga nilai-nilai ‘kita’ harus dipertahankan. Nilai-nilai peradaban Barat adalah
nilai-nilai yang superior, sehingga nilai tersebut harus dibela agar jangan sampai dipengaruhi
oleh peradaban yang rusak.
Karena Muslim dianggap rentan dan pasif pemerintah seakan menganggap Muslim tidak
mampu menginterpretasikan sendiri agamanya; jika dibiarkan menginterpretasikan sendiri
akan “dicuci otak” oleh ‘ideologi jahat’ dan menjadi ekstremis. Maka pemerintah mendukung
dan membentuk ‘Muslim moderat’ yang mau bersikap apolitis dan beragama sesuai ‘nilai-
nilai Barat’. Hal ini sesuai dengan prinsip orientalisme ketiga, bahwa Eropa harus membantu
dan mewakili Orient.
Representasi Muslim tersebut bukan hanya negatif, tetapi juga banyak yang tidak akurat.
Tetapi, representasi dominan bertahan dikarenakan feedback loop: politisi, media, dan think
tank yang diuntungkan melalui industri kontra-ekstremisme. Muslim hanya memliki sedikit
kuasa untuk melawan narasi orientalis, dan kesulitan agar suara dan kontribusinya didengar.
Hal ini membuktikan pernyataan Said (2003, 253) bahwa label tentang Orient telah menjadi
pengetahuan sistematis, diperlakukan seperti fakta. Pemahaman diskursif inilah yang menjadi
panduan aktor dalam bertindak (Said, 2003, 80)
Ditingkatkannya status hukum Prevent menjadi suatu kewajiban dalam Prevent Duty,
menyebabkan semakin kuatnya kecurigaan terhadap Muslim, yang terbukti dari melonjaknya
tingkat pelaporan ke Channel, yang mayoritas adalah Muslim. Prevent Duty memungkinkan
prasangka dan konstruksi orientalis mempengaruhi persepsi staf publik atas siapa yang
dianggap ‘mencurigakan’, memungkinkan kecurigaan konstan.
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Dengan representasi yang demikian, kebijakan yang diskriminatif menjadi mungkin,
sementara perlakuan setara Muslim Inggris menjadi tak terpikirkan. Diskriminasi tidak
dinyatakan secara langsung, karena pemerintah menganggap dominasi yang dilakukan adalah
demi kebaikan Orient sendiri, dan bahwa pemerintah tidak bersalah apa-apa. Dalam Prevent,
diskriminasi diterapkan dalam bentuk perlindungan (safeguarding): untuk melindungi
Muslim dari kerentanan dan potensi berubah menjadi teroris. Perlindungan dilakukan dengan
dua cara: mengawasi Muslim dan apabila terdapat tanda kerentanan dilaporkan ke Channel,
serta dorongan untuk berkomitmen pada nilai-nilai Inggris.
Tetapi, selalu ada ruang untuk melawan hegemoni suatu diskursus (Jackson, 2007).
Representasi orientalis Muslim bisa dilawan dan diubah. Harapan terlihat misalnya dengan
terpilihnya Sadiq Khan sebagai walikota London—meskipun memang terpilihnya Khan tidak
langsung menyelesaikan Islamophobia, sama seperti terpilihnya Obama sebagai presiden AS
tidak menyelesaikan rasisme di AS (Jackson, 2007).
Dibutuhkan pemimpin yang berani memecahkan siklus feedback loop, dan memerangi
sentimen anti-Muslim; memperlakukan Muslim sebagai warga negara yang setara.
Pemimpin yang berani mendobrak stagnasi studi terorisme, mendorong keseimbangan
representasi Muslim di media, dan berani mengakui serta menindaklanjuti ketidakadilan
dalam kebijakan luar negeri. Pemimpin yang benar-benar melindungi esensi egaliter Magna
Carta: bahwa HAM dan hukum bukanlah alat para penguasa.
Pemimpin seperti ini dibutuhkan dengan sangat segera, mengingat tren kebijakan
keamanan yang intrusif dan erosi moralitas publik. Mencari pemimpin seperti ini tentu
tidaklah mudah—konsekuensi dan perlawanan yang dihadapi juga tidak sedikit. Maka, wajar
jika Rosemary Foot menanyakan, “seberapa kuatkah norma HAM bertahan?” Dalam
penelitian ini, pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan: “saat ini, norma HAM sedang
rentan”.
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
DAFTAR REFERENSI Alam, Yunis, dan Charles Husband, “Islamophobia, Community Cohesion and Counter-Terrorism
Policies in Britain”, Patterns of Prejudice, 47:3,(2013) 235-252 Allen, Chris, dan Arshad Isakjee. “Controversy, Islam and politics: an exploration of the ‘Innocence
of Muslims’ affair through the eyes of British Muslim elites”, Ethnic and Racial Studies, (2015) 38:11, 1852-1867
Allen, Chris. “Britishness and Muslim-ness: Differentiation, Demarcation and Discrimination in Political Discourse”. Identity Papers: A Journal of British and Irish Studies, (2015) 1 (2). 1-12
Amnesty International, “EU’s Orwellian Counter-terrorism Laws: Stripping Rights under Guise of Defending Them”, 17 Januari 2017, diakses pada 20 Februari 2017 melalui https://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/01/eu-orwellian-counter-terrorism-laws-stripping-rights-under-guise-of-defending-them/
Asquith, Selly. “The Question Now is Not If, but When, Prevent Will Be Repealed”, Huffington Post, terakhir diperbarui pada 25 Juli 2016. Diakses pada 19 Oktober 2016 melalui http://www.huffingtonpost.co.uk/shelly-asquith/prevent_b_11181268.html
Awan, Imran. “I Am a Muslim Not an Extremist”: How the Prevent Strategy Has Constructed a “Suspect” Community. Politics & Policy, Volume 40, No. 6 (2012): 1158-1185
Blair, T. “Blair statement in full”, BBC,7 Oktober 2001, diakses pada 21 April 2017 melalui http://news.bbc.co.uk/1/hi/uk_politics/1585238.stm
Blair, Tony. “Speech at Lord Mayor’s Banquet.” 11 November 2001, diakses pada 12 Februari 2017 melalui https://www.theguardian.com/politics/2002/nov/11/labour.iraq
Brown, KE. dan T. Saeed, "Radicalization and Counter-radicalization at British Universities: Muslim Encounters and Alternatives", Ethnic and Racial Studies 38.11 (2015): 1952-1968.
Bryman, Alan. Social Research Methods, 4th ed., (Oxford: Oxford University Press, 2012) Communities and Local Government Committee (CLG), “Preventing Violent Extremism”, (London:
The Stationery Office, 2010.) Communities and Local Government, Preventing Violent Extremism, Maret 2010, diakses pada 13
Februari 2017 melalui https://www.publications.parliament.uk/pa/cm200910/cmselect/cmcomloc/65/65.pdf
Coppock, Vicki dan Mark McGovern, “‘Dangerous Minds’? Deconstructing Counter-Terrorism Discourse, Radicalisation and the ‘Psychological Vulnerability’ of Muslim Children and Young People in Britain”, Children and Society Vol. 28, (2014), 245
Durodie, Bill. “Securitising Education to Prevent Terrorism or Losing Direction?”, British Journal of Educational Studies, 64:1, 21-35, (2016).
Faimau, Gabriel. "The politics of being Muslim and being British in the British Christian print media." Cogent Social Sciences 2, no. 1 (2016): 1186338.
Gayle, Damien. “ Prevent Strategy Could End Up Promoting Extremism”, The Guardian, terakhir diperbarui pada 21 April 2016, diakses pada 19 Oktober 2016 melalui https://www.theguardian.com/politics/2016/apr/21/government-prevent-strategy-promoting-extremism-maina-kiai
Gravagui, Siba N. “Postcolonialism”, dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith (eds.), International Relations Theories: Discipline and Diversity, (Oxford: Oxford University Press, 2010), 254.
Heath-Kelly, Charlotte. “Counter-Terrorism and the Counterfactual: Producing the ‘Radicalisation’ Discourse and the UK PREVENT Strategy”, British Journal of Politics and International Relations,(2012).
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017
Henderson, Emma. “Muslim Communities ‘Unlike Others in Britain’, Former Race Equality Chief Trevor Phillips Says”, The Independent, 2016. Diakses pada 12 Februari 2017 melalui ihttp://www.independent.co.uk/news/uk/home-news/muslim-communities-unlike-others-in-britain-former-race-equality-chief-trevor-phillips-says-a6836301.html
HM Government, CONTEST: The United Kingdom’s Strategy for Countering Terrorism, (2016) HM Government, Prevent Strategy Review, (London: The Stationery Office, 2011) Jackson, Richard, "Constructing enemies:‘Islamic terrorism’in political and academic
discourse." Government and Opposition 42, no. 3 (2007): 394-426. Kundnani, Arun. "A Decade Lost." Rethinking Radicalisation and Extremism. Claystone (2015). Kundnani, Arun. "Radicalisation: the journey of a concept." Race & Class 54, no. 2 (2012). Kundnani, Arun. Spooked: How Not to Prevent Violent Extremism, Institute of Race Relations. (2009)
Diakses pada 22 Oktober 2016 melalui http://www.irr.org.uk/pdf2/spooked.pdf, 24. Kundnani, Arun. The End ofTolerance: Racism in 21st Century Britain, (London: Pluto Press 2007) Kundnani, Arun. The Muslims are coming!: Islamophobia, extremism, and the domestic war on
terror. Verso Books (2014) Lynch, Orla. “British Muslim Youth: Radicalisation, Terrorism and the Construction of the ‘Other’”,
Critical Studies on Terrorism, 6:2, (2013) 241-261 Moeckli, Daniel, Sangeeta Shah, dan Sandesh Sivakumaran (ed.), International Human Rights Law,
(New York: Oxford University Press, 2010 Moeckli, Daniel. Human Rights and Non-discrimination in the ‘War on Terror’, (Oxford University
Press, 2008) Mohammed, J. dan A. Siddiqui, The Prevent Strategy: A Cradle to Grave Police-State, (London:
CAGE, 2013). Moosavi, Leon. "Orientalism at home: Islamophobia in the representations of Islam and Muslims by
the New Labour Government." Ethnicities 15, no. 5 (2015): 652-674. Powell, L. “Counter-Productive Counter-Terrorism: How is the Dysfunctional Discourse of Prevent
Failing to Restrain Radicalisation?”, Journal for Deradicalization, (2016), No.8. Saeed, T. “Securitizing the Educated Muslim: Islamophobia, Radicalization and the Muslim Female
Student”, Islamophobia and Securitzation, (Palgrave Politics of Identity and Citizenship Series, 2016).
Sageman, Marc. Leaderless jihad: Terror networks in the twenty-first century. (University of Pennsylvania Press, 2011)
Said, Edward. Culture and Imperialism (London: Vintage Books,1994).Said 1994 : xxix). Said, Edward. Orientalism, (England: Penguin Books, 2003). Spalek, Basia, “New Terrorism’ and Crime Prevention Initiatives Involving Muslim Young People in
the UK”, Research and Policy Contexts, Religion, State and Society, 2011, 39:2-3, 191-207 Stanford, Ben, dan Yasmine Ahmed, "The Prevent Strategy: The Human Rights Implications of the
United Kingdom's Counter-Radicalisation Policy." (2016). The Telegraph, “Ukrainian White Supremacist Avoids Life Sentence Over Murder and Mosque
Bombings”, 2013., diakses pada 21 April 2017 melalui http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/terrorism-in-the-uk/10405268/Ukrainian-white-supremacist-avoids-life-sentence-over-murder-and-mosque-bombings.html
Thomas, Paul. "Divorced but still co-habiting? Britain’s Prevent/community cohesion policy tension." British Politics 9, no. 4 (2014): 472-493.
Thomas, Paul. "Failed and friendless: the UK's ‘Preventing Violent Extremism’programme." The British Journal of Politics & International Relations 12, no. 3 (2010): 442-458.
Thomas, Paul. “Youth, Terrorism and Education: Britain’s Prevent programme” International Journal of Lifelong Education, (2016), 5.
Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017