Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

22
Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim Inggris dalam Kebijakan Prevent Duty Inggris 2015 Amy Darajati Utomo dan Ani Widyani Soetjipto 1. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, Indonesia 16424 2. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, Indonesia 16424 E-mail: [email protected] Abstrak Di era War on Terror, terdapat metafora penyeimbangan: antara keamanan dan HAM. Jika diperhatikan, penyeimbangan yang terjadi sebenarnya adalah antara keamanan mayoritas dan hak-hak minoritas. Salah satu contoh minoritas yang dikorbankan HAM-nya demi keamanan adalah minoritas Muslim di Inggris. Prevent Duty, adalah bagian dari kebijakan kontra-terorisme Inggris yang berfokus pada pencegahan dan pendeteksian calon-calon teroris. Dalam kebijakan ini, Muslim Inggris lebih banyak menjadi sasaran pengawasan dan pelaporan, dan menjadi korban dari diskriminasi tidak langsung. Fokus ini berdampak signifikan, karena hal sederhana yang Muslim kenakan atau lakukan bisa dianggap sebagai tanda-tanda kerentanan akan menjadi teroris. Diskriminasi ini memperparah kondisi Muslim Inggris sebagai minoritas yang mengalami subordinasi dan kesenjangan sosial-ekonomi. Menggunakan metode representasi historis dan konsep orientalisme, penelitian ini menyimpulkan bahwa representasi Muslim sebagai yang rentan sekaligus ekstremis, memungkinkan diskursus perlindungan yang justru diskriminatif terhadap Muslim dalam Prevent Duty. Kata kunci: Muslim Inggris; kontra-terorisme; hak atas perlakuan non-diskriminatif; representasi; orientalisme The Paradox of Human Rights and Counter-Terrorism: Discrimination of British Muslims in Prevent Duty 2015 Abstract In the era of War on Terror, a rebalancing metaphor between security and human rights persist. Deeper into the metaphor, however, the rebalancing that happens in reality is between the security of majority and the rights of minority. One example of such minority is the British Muslims. As one of the UK counter-terrorism strategy, Prevent Duty focuses on the eradication of future terrorists. In practice, British Muslims experience indirect discrimination, since the Duty focuses in the reporting of Muslims. The impact is significant, since every simple thing a Muslim does or say can be reported as a sign of radicalization. The discrimination alienates further the already suffering Muslims, with the inequality they face in economy and social aspects. Using the method of historical representation and orientalism, this research concludes that the vulnerable and extremist representations of Muslim enable the discriminatory ‘safeguarding’ discourse in Prevent Duty. Keyword(s): British Muslim; counter-terrorism; rights to non-discrimination; representation; orientalism. Pendahuluan Metafora penyeimbangan semakin terasa setelah 9/11 dan War on Terror, di mana HAM cenderung dikorbankan demi keamanan (Moeckli, 2007: 2). Pada praktiknya, yang terjadi adalah HAM kelompok minoritas dikorbankan demi keamanan mayoritas (Ignatieff, Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Transcript of Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Page 1: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim Inggris dalam Kebijakan Prevent Duty Inggris 2015

Amy Darajati Utomo dan Ani Widyani Soetjipto

1. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Depok, Jawa Barat, Indonesia 16424 2. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Depok, Jawa Barat, Indonesia 16424

E-mail: [email protected]

Abstrak

Di era War on Terror, terdapat metafora penyeimbangan: antara keamanan dan HAM. Jika diperhatikan, penyeimbangan yang terjadi sebenarnya adalah antara keamanan mayoritas dan hak-hak minoritas. Salah satu contoh minoritas yang dikorbankan HAM-nya demi keamanan adalah minoritas Muslim di Inggris. Prevent Duty, adalah bagian dari kebijakan kontra-terorisme Inggris yang berfokus pada pencegahan dan pendeteksian calon-calon teroris. Dalam kebijakan ini, Muslim Inggris lebih banyak menjadi sasaran pengawasan dan pelaporan, dan menjadi korban dari diskriminasi tidak langsung. Fokus ini berdampak signifikan, karena hal sederhana yang Muslim kenakan atau lakukan bisa dianggap sebagai tanda-tanda kerentanan akan menjadi teroris. Diskriminasi ini memperparah kondisi Muslim Inggris sebagai minoritas yang mengalami subordinasi dan kesenjangan sosial-ekonomi. Menggunakan metode representasi historis dan konsep orientalisme, penelitian ini menyimpulkan bahwa representasi Muslim sebagai yang rentan sekaligus ekstremis, memungkinkan diskursus perlindungan yang justru diskriminatif terhadap Muslim dalam Prevent Duty. Kata kunci: Muslim Inggris; kontra-terorisme; hak atas perlakuan non-diskriminatif; representasi; orientalisme

The Paradox of Human Rights and Counter-Terrorism: Discrimination of British Muslims in Prevent Duty 2015

Abstract

In the era of War on Terror, a rebalancing metaphor between security and human rights persist. Deeper into the metaphor, however, the rebalancing that happens in reality is between the security of majority and the rights of minority. One example of such minority is the British Muslims. As one of the UK counter-terrorism strategy, Prevent Duty focuses on the eradication of future terrorists. In practice, British Muslims experience indirect discrimination, since the Duty focuses in the reporting of Muslims. The impact is significant, since every simple thing a Muslim does or say can be reported as a sign of radicalization. The discrimination alienates further the already suffering Muslims, with the inequality they face in economy and social aspects. Using the method of historical representation and orientalism, this research concludes that the vulnerable and extremist representations of Muslim enable the discriminatory ‘safeguarding’ discourse in Prevent Duty. Keyword(s): British Muslim; counter-terrorism; rights to non-discrimination; representation; orientalism. Pendahuluan

Metafora penyeimbangan semakin terasa setelah 9/11 dan War on Terror, di mana

HAM cenderung dikorbankan demi keamanan (Moeckli, 2007: 2). Pada praktiknya, yang

terjadi adalah HAM kelompok minoritas dikorbankan demi keamanan mayoritas (Ignatieff,

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 2: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

dalam Moeckli, 2007: 9). Salah satu contoh minoritas tersebut adalah minoritas Muslim di

Eropa. Muslim tidak hanya dianggap berbeda, tetapi juga berbahaya, terlihat dari bagaimana

diskursus ‘terorisme baru’ mengkonstruksikan Islam sebagai sumber teror (Spalek, 2011:

200). Amnesty International mencatat bahwa terjadi tren penerapan hukum kontra-terorisme

‘Orwellian’ di Uni Eropa (EU) yang melanggar HAM. Justifikasi pemerintah-pemerintah EU

tersebut sama: untuk menjaga keamanan. Masalahnya adalah kebijakan tersebut banyak

memfokuskan secara tidak proporsional dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok

minoritas—salah satunya minoritas Muslim (Amnesty International, 2017).

Adanya ancaman teroris dari kelompok seperti Daesh dan Al-Qaeda tidak

terbantahkan. Akan tetapi, bukan berarti semua Muslim di dunia adalah teroris. Fokus

terhadap serangan ekstremis Islam juga mengabaikan ancaman dari ekstremis kanan. Selama

14 tahun terakhir di Eropa, tercatat 94 orang tewas dan 260 orang luka-luka karena serangan

ekstremis kanan-jauh. Sebagai perbandingan, serangan ekstremis Islam menewaskan ‘hanya’

16 orang dan melukai 65 orang (Leville, The Guardian, 2016). Maka, patut dipertanyakan

mengapa justru minoritas Muslim yang menjadi fokus perhatian dalam kebijakan kontra-

terorisme? Keamanan seperti apa (atau lebih tepatnya: keamanan siapa?) yang diupayakan

dalam diskursus penyeimbangan?

Salah satu contoh kebijakan kontra-terorisme yang diskriminatif terhadap Muslim

adalah Prevent. Sebagai bagian dari kebijakan kontra-terorisme Inggris, Prevent

memfokuskan pada pencegahan individu menjadi teroris atau mendukung terorisme. Fokus

terhadap ideologi ekstremisme terlihat dalam tiga tujuan Prevent: merespon tantangan

ideologi dari terorisme dan ekstremisme serta dari para pendukung pandangan tersebut;

kedua, memberikan bantuan untuk mencegah individu yang rentan terjerat terorisme dan

memberikan saran serta dukungan yang sesuai; ketiga, melakukan kerjasama dengan berbagai

sektor (meliputi pendidikan, kepolisian, agama, badan amal, situs daring, dan kesehatan)

dalam menangkal radikalisasi (HM Government, 2015). Dari ketiga tujuan tersebut, bisa

disimpulkan bahwa Prevent berfokus pada tataran ‘hearts and minds.’ Fokus ini tidak

berubah selama perkembangan Prevent, yang pertama kali dimulai pada tahun 2007 dengan

Prevent Pathfinder, direvisi dalam Prevent Review 2011, dan diwajibkan melalui Prevent

Duty 2015.

Masalahnya, tidak mudah untuk menilai bagaimana pemikiran individu, dan kaitan

antara pemikiran dan tindak terorisme. Hal ini menyebabkan kerancuan dalam menilai

individu mana yang dianggap mencurigakan dan berbahaya. Kerancuan ini pun terlihat dalam

berbagai istilah kunci yang digunakan Prevent. Radikalisasi hanya didefinisikan sebagai

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 3: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

‘proses di mana individu mulai mendukung ekstremisme garis keras (violent) atau

bergabung dengan kelompok teroris’ (UK Parliament, 2016). Tetapi tidak dijelaskan dengan

gamblang sejauh apa ‘dukungan’ yang bisa diberikan untuk dianggap radikal.

Kerancuan serta basis ilmiah yang tidak mumpuni terus bertahan dari awal diterapkan

Prevent hingga kini status hukumnya diperkuat menjadi Prevent Duty melalui Counter-

Terrorism and Security Act (CTSA) 2015. Prevent Duty yang menugaskan sektor-sektor

publik, termasuk sekolah, PAUD, universitas, dan rumah sakit, “untuk memperhatikan (to

have due regard to) kebutuhan mencegah ketertarikan individu ke dalam terorisme.” Berbeda

dengan peraturan sebelumnya—yang lebih berupa panduan dan bersifat sukarela—Prevent

kini adalah duty, atau kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh institusi publik dan para

stafnya. Setelah Prevent Duty, gejala sekecil apapun cenderung dilaporkan, karena mereka

bisa dihukum. Di sisi lain, tidak ada konsekuensi jika mereka salah melapor. Hal ini

menyebabkan peningkatan jumlah laporan pada tahun 2015, yaitu 3.994 orang, meningkat

dua kali lipat dari tahun sebelumnya (Asquith, Huffington Post, 2016). Dari jumlah tersebut,

hanya 20 persen individu yang memang memiliki hubungan ke jaringan terorisme (HM

Government, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa ribuan orang telah salah dilaporkan. Orang-

orang tak bersalah yang dilaporkan tersebut terkena dampak psikis yang tidak sedikit.

Fokus terhadap pelaporan ekstremisme Islam terlihat dari statistik: 70% dari referral

pada tahun 2015 adalah yang berhubungan dengan ekstremisme Islam (HM Government,

2016). Patut diperhatikan bahwa Muslim Inggris hanya berjumlah 5 persen populasi Inggris.

Dibandingkan dengan jumlah referral untuk ekstremisme kanan yang 15%, bisa disimpulkan

bahwa Muslim lebih mungkin dilaporkan ke Prevent. Hal ini menunjukkan adanya

diskriminasi tidak langsung terhadap Muslim Inggris, di mana kebijakan yang berlaku

umum justru memfokuskan kepada kelompok tertentu. Tindakan sederhana yang jika

dilakukan orang lain takkan dipermasalahkan, bagi Muslim akan berpotensi menyebabkan

mereka dicap sebagai teroris. Ini memperparah keadaan minoritas Muslim Inggris yang

memang sebelumnya sudah dianggap sebagai ‘other’, sebagai ‘masyarakat kelas dua’ yang

sudah sering menjadi korban rasisme dan diskriminasi (Henderson, 2017).

Hak atas perlakuan non-diskriminatif tercantum dalam seluruh kesepakatan HAM

internasional, yang juga sudah diratifikasi Inggris. Perlindungan dari diskriminasi adalah

fondasi komitmen perlakuan setara dalam hukum HAM internasional, seperti yang tercantum

dalam UDHR dan pasal 14 European Convention for the Protection of Human Rights and

Fundamental Freedoms (ECHR).

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 4: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Selain diskriminatif, perlu dipertanyakan mengenai efektifitasnya. Menurut Maina Kiai

(dalam Gayle, The Guardian, 2016), pelapor khusus PBB untuk hak kebebasan berkumpul,

yang menyatakan bahwa “dengan memecah belah, menstigmatisasi, dan mengalienasi

sekelompok populasi, Prevent Duty bukannya melawan ekstremisme, justru bisa

mempromosikannya.”

Maka, menarik untuk membahas mengapa Prevent diperkuat menjadi Prevent Duty

2015, meskipun dampak diskriminatif telah begitu terasa dan diragukan efektivitasnya.

Kewajiban yang ditetapkan kepada masyarakat umum pun menambah dimensi baru dalam

kebijakan kontra-terorisme. Oleh karena itu, rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai

berikut:

"Bagaimana hak atas perlakuan non-diskriminatif Muslim Inggris dilanggar dalam

Prevent Duty 2015?"

Dalam logika pospositivis, bertanya “how” atau “bagaimana” bukan berarti kausal,

akan tetapi merujuk pada deskripsi mendalam atas suatu tindakan atau mempertanyakan

“bagaimana mungkin” (Wendt, 1998:105). Maka, yang menjadi fokus adalah properti-

properti apa yang menyusun suatu tindakan, bukan apa yang mendahului suatu tindakan.

Melalui rumusan masalah tersebut, akan dipaparkan elemen-elemen apa saja yang

membentuk justifikasi pemerintah Inggris dalam membatasi hak atas perlakuan non-

diskriminatif minoritas Muslim melalui Prevent Duty 2015.

Tinjauan Teoretis

Terdapat dua konsep utama yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu

hak atas perlakuan non-diskriminatif dan orientalisme.

Hak atas Perlakuan Non-Diskriminatif

Hak atas perlakuan non-diskriminatif bermakna lebih dari sekedar kesetaraan formal

atau kesetaraan konsisten. Perlakuan yang sama justru bisa berdampak negatif untuk

kelompok tertentu. Maka, ada pembedaan yang mungkin diizinkan. Ada tiga kriteria yang

harus dipertimbangkan untuk membedakan apakah perlakuan tersebut sah (legitimate) atau

tidak (Moeckly, 2010: 74-78; dan Stanford dan Ahmed, 2016: 43-51): diatur oleh hukum

(prescribed by law), memiliki tujuan yang sah (legitimate aim), dan proporsional. HAM

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 5: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

bukanlah kemewahan atau sekedar tambahan untuk strategi kontra-terorisme, HAM

seharusnya menjadi dasar strategi tersebut.

Orientalisme

Terdapat tiga prinsip orientalisme (Grovogui, 2007: 254). Pertama, orientalisme

menekankan adanya peradaban-peradaban yang terpisah, tak setara, dan hirarkis. Kedua,

orientalisme menekankan adanya kebutuhan untuk menjaga batas antarperadaban dengan

membela nilai peradaban Barat melawan peradaban yang rusak. Ketiga, orientalisme

menekankan adanya usaha untuk mendorong Orient membantu menyebarkan nilai-nilai

progresif Barat. Representasi Orient menjustifikasi otoritas dan dominasi Barat, baik di era

penjajahan maupun hingga sekarang.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang menekankan kata-kata (words)

dibandingkan kuantifikasi dalam koleksi dan analisis datanya (Bryman, 2012:36) Penelitian

ini menggunakan metode representasi historis (historical representations) yang dirumuskan

oleh Kevin C. Dunn. Metode ini menggabungkan analisis diskursus dan penelitian historis

untuk melihat pertarungan dalam artikulasi dan sirkulasi narasi. Karena beberapa representasi

diterima sebagai ‘kebenaran’ dan yang lain tidak, penting untuk mempertanyakan bagaimana

struktur pengetahuan tertentu menjadi dominan. Representasi memungkinkan aktor untuk

‘mengetahui’ suatu objek dan bertindak atas apa yang mereka ‘tahu’. Pemahaman diskursif

inilah yang menjadi panduan aktor dalam bertindak. Oleh karena itu, representasi memiliki

dampak politik yang signifikan. Tindakan tertentu dimungkinkan dalam diskursus tertentu,

sementara tindakan lain menjadi tak terpikirkan (Dunn, 2008:80).

Terdapat empat langkah dalam menganalisa data menggunakan metode representasi

historis (Dunn, 2009: 90-91). Pertama, identifikasi berbagai diskursus berbeda yang

merepresentasikan merepresentasikan Muslim Inggris; bahasa, ilustrasi dan perbandingan

yang digunakan. Kedua, pemetaan kontestasi diskursus. Dalam tahap ini, akan

diidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam artikulasi dan sirkulasi diskursus. Ketiga,

kontekstualisasi representasi serta diskursus dalam struktur makna yang lebih besar.

Pertanyaan utama dalam langkah keempat adalah bagaimanakah diskursus dominan

memungkinkan suatu kebijakan dan praktik menjadi mungkin? Dalam tahap ini peneliti

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 6: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

akan menelusuri perkembangan representasi dan nilai intensitas sirkulasi dan penerimaan

sosialnya. Jika disimpulkan, penerapan metode penelitian dan teori menjadi sebagai berikut:

Bagan 1 : Kerangka Penelitian

Sumber: Olahan Penulis

Hasil Penelitian

Dalam bagian ini, akan dibahas mengenai tiga langkah pertama dari metode

representasi historis: kontekstualisasi, identifikasi diskursus, dan kontestasi aktor.

Kontekstualisasi

Dari proses penelitian yang dijalankan, peneliti menyimpulkan bahwa memang

terdapat konteks diskriminasi terhadap minoritas di Inggris. Terdapat anggapan bahwa

minoritas adalah ‘warga negara kelas dua’, menjadi korban dari rasisme baru warisan kolonial

(Kundnani, 2014: 100). Kecurigaan terhadap other telah menjadi elemen integral atas

penciptaan dan legitimasi imperialisme dan kolonialisme Inggris. Wacana yang menjadikan

Islam berbeda dan inferior telah menjadi bagian dari sejarah ini. Proses dominasi dan

Kasus: Diskriminasi Muslim Inggris dalam Prevent Duty 2015

Metode Representasi Historis

Parameter 2007 Prevent Pathfinder

2011 Prevent Review 2015 Prevent Duty

Data Dokumen resmi, media, literatur, budaya populer

Kerangka Konsep

Hak atas perlakuan non-diskriminatif Orientalisme

Analisis

Identifikasi Diskursus

Kontestasi Aktor

Kontekstualisasi Dampak Diskursus

Dominan pada Kebijakan

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 7: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

eksploitasi Muslim juga telah menjadi bagian dari sejarah imperial Inggris. Akibatnya di

akhir abad 20, dalam khayalan sosial modern Inggris, terdapat repertoar kepercayaan,

perasaan, dan kecenderungan perilaku yang siap dimobilisasi untuk memicu permusuhan

terhadap Muslim Inggris (Alam dan Husband, 2013, 245).

Terdapat dua momen bersejarah yang mendorong representasi Muslim Inggris

menyeruak dari identitas minoritas lainnya. Pertama, kontroversi Rushdie yang menjadi

momen penting konstruksi Muslim Inggris menjadi other (Poynting dan Mason, 2007; Allen

2010), dan tereksklusi dari Britishness (Faimau, 2016:2). Kedua, kerusuhan 2001 mendorong

terbentuknya konstruksi bahwa perbedaan Muslim Inggris adalah perbedaan yang berbahaya

dan ‘harus ditangani’.

Tidak lama setelah kerusuhan 2001 di London, terjadi serangan 9/11 di AS. Serangan

9/11 memicu pemikiran orientalis: bahwa Islam/Orient adalah kekuatan yang mistis dan

berbahaya (Bonino, 2016, 20). Asosiasi Islam dengan terorisme dan kekerasan ini sesuai

dengan asumsi Clash of Civilization, yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang

terprogram untuk fanatisme, tidak berubah selama berabad-abad, dan isinya bisa diketahui

dengan pembacaan teks relijius. Terorisme dianggap sebagai hasil dari pembacaan literal teks

klasik Islam (Kundnani, 2015). Diskursus ini disebut sebagai ‘Terorisme Islam’, bentuk

‘terorisme baru’ yang berbeda dengan ancaman terorisme sebelumnya karena dimotivasi oleh

agama, dan dianggap tidak bisa diajak bernegosiasi (Jackson, 2007). Pilihannya adalah untuk

mengalahkan atau dikalahkan, karena ancaman terorisme Islam mengancam keberlangsungan

Barat, “nilai-nilai kebebasan dan demokrasi kita” (Blair, 2001). Dalam ‘terorisme Islam’,

‘kita’ hanyalah mempertahankan diri dari serangan fanatisme, karena ‘kita’ tidak bersalah;

‘mereka’ menyerang karena membenci ‘nilai dan budaya Barat’.

Konstruksi ‘terorisme Islam’ tidak hanya terbatas pada sekelompok ekstremis, tetapi

juga pada seluruh Muslim. Dengan mengasosiasikan agama sebagai faktor utama yang

mendorong terorisme, mudah untuk menganggap bahwa Muslim di seluruh dunia sama saja.

Semua Muslim dianggap anti-demokrasi, anti-modernitas. Mantan PM Inggris, Tony Blair,

misalnya, mempertanyakan “bagaimana Islam bisa cocok dengan dunia modern’ (Moosavi,

2014, 650).

Pemahaman terorisme baru yang menganggap terorisme disebabkan oleh

kecenderungan Islam yang ‘anti-modern’, mendorong pemerintah AS untuk melaksanakan

transformasi kultural—karena Muslim dianggap tidak bisa melakukannya tanpa bantuan

Barat. Maka dimulailah War on Terror, perang mahal dan berdarah melawan teroris dan

pengubahan rejim yang dipimpin AS dan Inggris (Kundnani, 2015). Inggris ikut terlibat

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 8: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

dalam invasi Irak dan Afghanistan bersama AS. Saat menjustifikasi peran Inggris dalam War

on Terror, perdana mentri Inggris saat itu, Tony Blair, menyatakan bahwa Inggris bermaksud

untuk mengadili pelaku 9/11, serta untuk mengalahkan ekstremisme Islam (Blair, 2001).

Tony Blair sendiri telah diperingatkan sebelum invasi Irak, bahwa invasi tersebut akan

meningkatkan risiko terjadinya serangan teroris di Inggris (Gregory dan Wilkinson, 2005).

Saat terjadi serangan 7/7, Blair menyatakan bahwa serangan 7/7 dipengaruhi ‘ideologi jahat’,

sama sekali tidak dipengaruhi oleh ketidakadilan yang dilakukan Barat. Pemahaman seperti

ini mengabaikan konteks politik dan sosial yang mendorong para pelaku serangan 7/7

(Kundnani, 2015: 43).

Peristiwa 9/11 dan 7/7 meningkatkan isu kontra-terorisme dalam daftar prioritas

pemerintah Inggris. CONTEST mulai dirumuskan sejak tahun 2002, sebagai singkatan dari

Counter- Terrorism Strategy. Prevent secara resmi diluncurkan pada bulan April 2007.

Sesuai namanya, Prevent bertujuan untuk “mencegah orang menjadi teroris”. Dana dan

program Prevent Pathfinder di tingkat domestik secara eksplisit ditargetkan kepada

komunitas Muslim (Thomas, 2010, 450). Di tahun pertama, Prevent melibatkan lebih dari

44.000 pemuda Muslim (HM Government, 2011, 8). Hal ini tak pelak mengundang berbagai

kritik, terutama dari Muslim Inggris yang merasa dicurigai sebagai calon teroris. Mengingat

derasnya kritik, pemerintah melakukan peninjauan Prevent yang dipimpin oleh Lord Carlile,

Peninjau Independen Legislasi Terorisme. Menurut peninjauan tersebut, permasalahan dan

kontradiksi dalam Prevent jauh melebihi dampak positifnya dan oleh karena itu Prevent harus

direvisi (CLG, 2010).

Meskipun fokus kepada Muslim telah dikritik, kenyataannya Prevent tetap

memfokuskan kepada Muslim. Pemerintah Inggris mengakui bahwa Prevent memang

difokuskan kepada Muslim hingga saat ini, karena ancaman terbesar adalah dari teroris yang

mengatasnamakan Islam (NPCC, 2017). Memang, dalam konteks menjelang Prevent Duty,

terjadi beberapa kasus terorisme yang kemudian meningkatkan level ancaman menjadi ‘parah

(severe)’. Pada tahun 2013, terjadi pembunuhan tentara Lee Rigby di Woolwich. Tahun

2014, terjadi insiden Trojan Horse yang memicu investigasi besar-besaran ke sekolah-

sekolah Islam. Sementara tahun 2015 dibuka dengan serangkaian aksi teror: Charlie Hebdo

dan beberapa lainnya di Perancis, peluncuran video oleh Daesh (ISIS) yang membantai pilot

Jordan, serta berita tiga siswi Inggris yang bergabung dengan Daesh di Suriah, diasumsikan

untuk menjadi pengantin bagi anggota Daesh (Durodie, 2016, 27).

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 9: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Identifikasi Diskursus

Berlatarbelakang konteks tersebut, terdapat tiga diskursus representasi Muslim yang

diidentifikasi dalam perkembangan Prevent, sesuai prinsip-prinsip orientalisme.Pertama,

diskursus ‘Muslim ekstremis’ di mana Prevent memfokuskan pada ekstremisme Islam dan

menggeneralisasi Muslim sebagai ekstremis. Dalam CONTEST, 124 dari 125 halaman

menjelaskan tentang terorisme Islam (HM Government, CONTEST, 2016). Dari keseluruhan

dokumen Prevent Review, penjelasan tentang ekstremisme kanan-jauh hanya sebanyak tiga

paragraf.

Fokus tersebut juga terlihat dalam respon pemerintah terhadap dua kelompok ekstremis,

Al-Muhajiroun dan English Defence League (EDL). Dua kelompok sama-sama mendukung

kekerasan dan terhubung dengan organisasi violent. EDL terhubung dengan kelompok kanan-

jauh neo-Nazi. Akan tetapi, jika dilihat pola penahanan anggota kedua kelompok, terlihat

bahwa meskipun kejahatan yang dilakukan sama, anggota Al-Muhajiroun akan ditahan di

bawah peraturan terorisme, sementara EDL dan aktivis kanan-jauh lainnya akan didakwa

karena mengganggu ketertiban (Ahmed, 2015). Fokus terhadap Muslim ini menunjukkan

bahwa Muslim dianggap lebih berbahaya.

Contoh lainnya adalah dalam perbandingan respon pemerintah terhadap dua serangan

teroris: pembunuhan Lee Rigby dan Mohammed Salem. Baik pembunuhan Lee Rigby dan

Mohammed Saleem sama-sama dilatarbelakangi motif politik: Lee Rigby karena kebijakan

luar negeri Inggris, Mohammed Saleem karena ideologi ekstremis kanan. Yang langsung

disebut sebagai terorisme adalah pembunuhan Lee Rigby. Saat pelaku serangan Woolwich

masih berusaha diidentifikasi oleh pihak berwajib pun, media dan pemerintah telah dengan

sigap menggunakan istilah teroris. Segera setelah berita tewasnya Lee Rigby, pemerintah

Inggris langsung membuat satuan tugas khusus; sementara kasus Mohammed Salem tidak

begitu mendapat perhatian (Kundnani, 2015, 164).

Dari perbandingan respon pemerintah terlihat bagaimana pemerintah menganggap

teroris Muslim lebih berbahaya dibandingkan teroris kulit putih. Terasa pula bagaimana

korban Muslim tidak dihargai secara setara dengan korban kulit putih. Serangan terorisme

terhadap Muslim tidak dianggap sebagai serangan terhadap ‘kita’, sementara serangan oleh

Muslim dianggap serangan terhadap ‘kita’. Ini sesuai dengan prinsip orientalisme pertama,

yang membedakan antara Barat dan Islam, ‘kita’ dan ‘mereka’.

Tony Blair pernah menyatakan bahwa harus terdapat penyeimbangan kembali antara

hak para tersangka dengan hak mayoritas yang mematuhi hukum (Blair, 2006). Dalam

Strategi Keamanan Nasional Inggris dinyatakan bahwa negara akan melindungi keamanan

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 10: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

dan kebebasan mayoritas, dan negara terpaksa menghilangkan kebebasan beberapa: mereka

yang mengancam ‘kita’ (HM Government, 2010:23). Pernyataan seperti ini membedakan

antara ‘kita’ yang berhak dilindungi dan ‘mereka’ yang status perlindungannya bermasalah

karena berpotensi mengancam ‘kita’. Pemikiran seperti ini juga terlihat dalam pembahasan

Prevent Duty, di mana perdana menteri saat itu, David Cameron menyatakan bahwa

“kebebasan ekstremis harus dihambat” (Whitehead, 2015).

Semua orang berhak atas praduga tak bersalah. Akan tetapi, saat sekelompok

minoritas sudah dikonstruksikan sebagai ‘other’ yang mengancam, maka mudah untuk

mengabaikan prinsip praduga tak bersalah tersebut. Dampaknya, Muslim digeneralisasi

sebagai calon-calon teroris, dan harus selalu membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Bonino, bahwa Muslim Inggris diduga bersalah hingga terbukti

sebaliknya (Bonino, 2016, 395).

Diskursus kedua, ‘Muslim rentan’ di mana Muslim dianggap rentan teradikalisasi

(vulnerable to radicalization) karena nilai Islam yang dianut, dan kerentanan Muslim

mengancam nilai-nilai Inggris. Dalam konteks Prevent, kerentanan adalah kondisi yang

memudahkan radikalisasi (HM Government, 2011: 8). Gagasan kerentanan ini

mengindikasikan bahwa teroris kurang rasional, kurang tahan menghadapi ‘hasutan’ dari

‘ideologi jahat’, bahwa tidak ada orang berakal sehat yang mungkin menjadi teroris

(Richards, 2011, 144.). Kerentanan semakin ditekankan dalam Prevent Review : pemerintah

mengakui bahwa komunitas Muslim telah dianggap lebih rentan terhadap radikalisasi (HM

Government, 2011, 15).

Meskipun dalam panduan Prevent disebutkan berbagai faktor yang mungkin

mendorong ekstremisme, tetapi dalam berbagai pernyataan pemerintah dan dalam penerapan

Prevent, yang difokuskan adalah ‘ideologi jahat ekstremisme Islam’ sebagai akar masalah

(HM Government, 2011b:40–44). Seseorang yang menjadi teroris dianggap dikarenakan

berbagai faktor individual yang menyebabkan dirinya rentan dan termakan hasutan ekstremis.

Tindak terorisme bukan lagi dianggap sebagai ekspresi agensi politik, dan konteks kebijakan

luar negeri tidak diperhatikan (Coppock dan McGovern, 2014, 240).

Penekanan terhadap ideologi berlanjut hingga Prevent Duty disahkan melalui CTSA

2015. Fokus terhadap ideologi ini dikritik karena menyebabkan fokus terhadap relijiusitas

Muslim. Muslim menjadi ‘tersangka’ saat mereka dianggap ‘memilih’ identitas Islam

dibandingkan identitas Inggris. Muslim seakan diharuskan untuk hanya memiliki satu

identitas Inggris saja, mengabaikan komponen identitas interkultural dan inter-etnis yang

diadopsi Muslim (Lynch, 2013, 244).

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 11: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Untuk mengatasi kerentanan, Muslim didorong untuk menjadi “lebih Inggris” (Miah,

2015, 55; Lynch, 2013, 248). Pemerintah pun sering mengkonstruksi identitas Inggris sebagai

hal yang berlawanan dengan identitas Muslim (Moosavi, 2015, 659). Selain itu, survey

menunjukkan bahwa 61 persen masyarakat Inggris menganggap Islam tidak cocok dengan

nilai-nilai Inggris (Hirsch, 2015). Hal ini sesuai dengan argumen orientalis, bahwa nilai-nilai

Barat lebih superior dibandingkan nilai-nilai Orient (Grovogui, 2007, 254). Nilai-nilai

peradaban Barat harus dibela agar jangan sampai dipengaruhi oleh peradaban yang rusak.

Untuk menjaga superioritas tersebut, maka batas antar-peradaban harus dijaga. Untuk

Muslim, nilai dan identitas Inggris bukanlah hal yang bisa diperdebatkan, semata

harus diterima(Ansari, 2014, 166).

Jika disimpulkan, Muslim direpresentasikan sebagai other, yang berbahaya sekaligus

rentan. Konstruksi dalam Prevent memfokuskan kepada Muslim, yang karena ‘ideologi jahat’

bisa berubah menjadi ekstremis sewaktu-waktu di masa depan. Secara bersamaan, Muslim

dikonstruksikan sebagai kelompok yang rentan dari ‘cuci otak’ ideologi ekstremis, sehingga

harus selalu diawasi gerak-geriknya. Representasi Muslim yang rentan sekaligus ekstremis

berbahaya sesuai dengan prinsip pertama dan kedua dalam orientalisme: terdapat peradaban

terpisah dan hirarkis (Barat/Islam) dan sedang terjadi perang nilai antara kedua peradaban

tersebut, sehingga nilai-nilai ‘kita’ harus dipertahankan.

Sesuai prinsip orientalisme, konstruksi yang terjadi bukan hanya ke Muslim, tetapi

juga terhadap Inggris. Inggris dikonstruksikan dengan representasi yang berlawanan dan

lebih positif. Hal ini misalnya terlihat dalam pengabaian faktor kebijakan luar negeri

menyebabkan Inggris ‘semata mempertahankan diri’, yang memungkinkan konstruksi Inggris

sebagai yang diserang (under attack). Masyarakat Inggris yang diserang adalah masyarakat

‘baik-baik’, terdiri dari warga negara yang baik, beradab, taat hukum (law-abiding), moderat

dan sekuler, berbeda dengan para ekstremis yang dikonstruksikan sebagai jahat, biadab, dan

tidak taat hukum (Hickman, et al., 2011, 22).

Asosiasi Muslim dengan kerentanan juga mengkonstruksikan Inggris sebagai yang

memiliki ketahanan (resilient). Terdapat penekanan terhadap Britishness dan satu bangsa

yang tunggal sedang terancam, dengan anggapan bahwa nilai ‘kita’ berlawanan dengan

ekstremis Muslim. Konstruksi ini juga sesuai dengan label Muslim selama ini yang ‘kurang

Inggris’, sehingga lebih rentan teradikalisasi (Hickman, et al., 2011, 23). Jika digambarkan,

representasi Muslim Inggris adalah sesuai bagan berikut:

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 12: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Bagan 2. Representasi Muslim Inggris

Sumber: Olahan Penulis

Sementara diskursus ketiga, ‘pencarian Muslim moderat’ sesuai dengan prinsip

orientalisme di mana Barat mendorong Orient untuk menyebarkan nilai-nilai progresif Barat.

Dalam diskursus ini, pemerintah berusaha mendorong Muslim yang ‘moderat’ untuk

melawan ‘ekstremis’. Dalam Prevent, Muslim dibagi menjadi dua kelompok: kelompok

ekstremis dan ‘Muslim moderat’ (Jackson, 2007, 395). Kelompok ‘Islam moderat’

diharapkan akan mendorong sikap dan nilai yang lebih progresif (Thomas, 2010, 450),

mendorong komunitas Muslim untuk bersatu di bawah nilai-nilai Inggris dan mengisolasi

ekstremis (Kundnani, 2009, 20).

Klasifikasi moderat dan ekstremis tidak cukup menjelaskan masyarakat Muslim yang

begitu beragam. Akan tetapi, pemerintah berkeras mendorong dan mengembangkan ‘Islam

moderat’, melalui intervensi interpretasi agama. Hal ini dilakukan dengan dukungan terhadap

akademisi dan organisasi Islam tertentu, serta pengarahan terhadap masjid-masjid dan

pembuatan silabus sekolah Islam (Moosavi, 2015, 658). Pemerintah pun mensponsori

kampanye Radical Middle Way untuk mensosialisasikan pesan-pesan Islam moderat melawan

propaganda ekstremis yang disebut sebagai “Islam yang sesat”. Kampanye tersebut

mencakup seminar, debat, dan acara budaya untuk mempromosikan “nilai-nilai Islam

sebenarnya” (Awan, 2012, 1159.).

Intervensi agama oleh pemerintah ini menunjukkan bagaimana pemerintah merasa

memiliki kekuasaan untuk mengintervensi teologi Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Said, bahwa “Orientalis merasa bertugas untuk menunjukkan ‘Islam yang benar’” (Said,

1978, 281). Tidak heran bahwa pemerintah banyak dikritik karena pendekatannya tersebut;

sulit mencari‘Muslim moderat’. Pemerintah memutuskan untuk ‘membuat sendiri’ Muslim

ExtremistVulnerableMuslim

Law-abidingResilientBri8sh

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 13: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

yang apolitis dan beragama sesuai keinginan pemerintah. Wajar jika terdapat kekhawatiran

bahwa aktivisme politik Muslim dibungkam seutuhnya (Brown dan Saeed, 2014: 1170).

David Anderson, Peninjau Independen UU Terorisme, menyatakan bahwa sekarang

situasinya adalah baik pemerintah dan Muslim hanya berdialog dengan ‘kaumnya’ masing-

masing: pemerintah berdialog dengan orang-orang yang mendukung pemerintah, dan Muslim

berdialog dengan Muslim lainnya (Husain, 2007, 275).

Kontestasi Aktor

Bagian konteks telah menunjukkan bagaimana konteks diskriminasi terhadap

minoritas Muslim Inggris dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang mendorong minoritas

Muslim menjadi yang difokuskan. Sementara bagian identifikasi diskursus telah

menunjukkan tiga diskursus dominan dalam sejarah perkembangan Prevent. Dalam bagian

ini, akan dijelaskan mengenai kontestasi aktor yang memungkinkan representasi Muslim

sebagai kelompok yang ekstremis sekaligus rentan menjadi representasi dominan.

Representasi Muslim Inggris sebagai yang rentan dan ekstrem sangat dipengaruhi

oleh konstruksi dan tatanan pengetahuan mengenai (kontra-)terorisme. Penelitian Adam

Dolnik menyimpulkan bahwa studi terorisme bergantung pada sumber sekunder, membentuk

suatu sistem penelitian “tertutup dan tak teruji serta saling mendukung”. Studi terorisme

hanya mengulang asumsi yang sama terus menerus, tidak benar-benar mendorong

perkembangan ilmu atau solusinya (Dolnik, 2011). Situasi ini disebut oleh Marc Sageman

sebagai suatu “keadaan stagnasi”, disebabkan oleh kurangnya pendanaan oleh pemerintah

serta kurangnya informasi primer dari intelijen. Di satu sisi, terdapat “ledakan spekulasi” di

kalangan akademisi, karena kurangnya data empiris untuk bisa mendapatkan terobosan. Di sisi

lain, komunitas intelijen juga tidak bisa mendapatkan terobosan karena tidak memiliki

ketelitian metodologi serta dibatasi struktur komunitas intelijen. Keadaan ini mencegah

terbentuknya analisis kreatif dalam studi terorisme, yang terlepas dari kepentingan politik

(Sageman, 2014: 565-580). Hal ini disetujui oleh Kundnani (2012), yang menyatakan bahwa

diskursus radikalisasi sejak awal disesuaikan untuk kepentingan pembuat kebijakan, bukan

untuk memahami penyebab terorisme secara objektif.

Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat feedback loop antara tiga aktor:

pemerintah didukung oleh media dalam pernyataannya, media mengutip pemerintah dan

akademisi, akademisi memberikan justifikasi dalam pernyataan pemerintah. Untuk

menghancurkan lingkaran ini, diperlukan satu pihak yang memecahkan siklus, dengan risiko

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 14: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

yang besar: tidak dipilih kembali dalam pemilu selanjutnya, kerugian penjualan, kehilangan

sumber dana penelitian (Githens-Mazer dan Lambert, 2010, 888).

Dari feedback loop yang Islamophobic tersebut terlihat bagaimana representasi

Muslim yang rentan dan ekstremis dipengaruhi dengan power. Sesuai pernyataan Dunn,

diskursus dominan dipengaruhi oleh power, dan sebaliknya power pun dipengaruhi oleh

diskursus dominan (Dunn, 2008:82). Representasi Muslim yang rentan dan ekstremis, serta

harus didorong untuk menjadi moderat, diproduksi dan disirkulasi oleh feedback loop—

lingkaran di mana power berpusat. Di antara lingkaran tersebut, Muslim tidak diberi

kesempatan atau kuasa untuk merepresentasikan dirinya sendiri. Sesuai pernyataan Said,

bahwa Orient tidak dianggap mampu, dan tidak diberikan kesempatan untuk mewakili diri

sendiri. Trennya adalah untuk membicarakan tentang Muslim, bukan berbicara dengan

Muslim (Richardson, 2015, 229).

Pembahasan

Dalam bagian ini akan dibahas mengenai bagian terakhir dari tahap metode representasi

historis: bagaimana diskursus dominan bisa menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap

Muslim Inggris. Berdasarkan identifikasi diskursus dominan di bagian sebelumnya, selama

perkembangan Prevent Muslim direpresentasikan sebagai other, yang berbahaya sekaligus

rentan. Konstruksi dalam Prevent memfokuskan kepada ekstremisme Muslim, yang karena

‘ideologi jahat’ bisa berubah menjadi ekstremis sewaktu-waktu di masa depan. Secara

bersamaan, Muslim dikonstruksikan sebagai kelompok yang rentan dari ‘cuci otak’ ideologi

ekstremis, sehingga harus selalu diawasi gerak-geriknya. Muslim semata dilihat sebagai

kelompok yang berbahaya sekaligus rentan, harus ‘dilindungi’ demi kebaikannya sendiri

(Heath-Kelly, 2013, 403)— bukan warga negara yang harus dilindungi hak-haknya. Hal ini

memungkinkan dominasi dan diskriminasi Muslim Inggris, sesuai dengan pernyataan Said,

bahwa hubungan Barat dengan Orient menjadi hubungan “relasi kuasa, dominasi, dan

hegemoni” (Said, 2003, 5).

Dengan representasi yang demikian, kebijakan yang diskriminatif menjadi mungkin,

sementara perlakuan setara Muslim Inggris menjadi tak terpikirkan. Diskriminasi tidak

dinyatakan secara langsung, karena pemerintah menganggap dominasi yang dilakukan adalah

demi kebaikan Orient sendiri, dan bahwa pemerintah tidak bersalah apa-apa. Dalam Prevent,

diskriminasi diterapkan dalam bentuk perlindungan (safeguarding): untuk melindungi

Muslim dari kerentanan dan potensi berubah menjadi teroris. Perlindungan dilakukan dengan

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 15: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

dua cara: mengawasi Muslim dan apabila terdapat tanda kerentanan dilaporkan, serta

dorongan untuk berkomitmen pada nilai-nilai Inggris.

Dalam Prevent Review, ‘perlindungan’ didefinisikan sebagai proses perlindungan

orang-orang yang rentan dari terorisme (HM Government, 2011, 15). Konsep perlindungan

dikatakan serupa dengan perlindungan anak dari bahaya narkoba, alkohol dan kelompok

geng. Mengingat kerancuan definisi istilah kunci seperti ekstremisme dan radikalisasi, masih

belum jelas konteks perlindungan dalam Prevent—melindungi dari apa sebenarnya?

Pemerintah seolah yakin bahwa guru, dosen, dan staf institusi lainnya bisa secara objektif

mendeteksi risiko adikalisasi, hanya dengan mengandalkan definisi yang rancu serta melihat

ide, penampilan dan perilaku (O’Donnel, 2016, 65).

Dasar kebijakan yang diragukan, disertai kriteria kerentanan yang rancu, membuat

orang yang tidak bersalah dan tidak memiliki kerentanan bisa dilaporkan. Prevent Duty

mendorong pelaporan: sebagai kewajiban, institusi publik diawasi dan bisa mendapatkan

sanksi; di sisi lain tidak ada konsekuensi jika seseorang salah melapor—konsekuensinya

ditanggung orang yang dilaporkan. Tren over-refer ini terlihat dalam pola kenaikan pelaporan

dari tahun ke tahun (Mohammed dan Siddique, 2013, 32). Meningkatnya jumlah pelaporan

menunjukkan bahwa publik semakin aktif melapor ke pihak berwajib tentang tanda-tanda

radikalisasi, dengan setidaknya 11 pelaporan setiap harinya (Halliday, 2016).

Terdapat berbagai kasus yang menunjukkan bahwa institusi publik bertindak

berlebihan dan mendiskriminasi Muslim Inggris dalam Prevent Duty. Misalnya, seorang anak

berumur 16 tahun di Portshmouth dilaporkan karena mengambil buku tentang terorisme di

perpustakaan sekolah (IRR, 2016). Prevent di kampus juga memfokuskan kepada mahasiswa

Muslim (Saeed, 2016, 88). Siswa dilihat melalui lensa keamanan, bukan dari sudut pandang

hubungan guru-dan-siswa (O’Donnel, 2016, 65). Mahasiswa yang aktif dalam politik atau

merupakan anggota himpunan mahasiswa Islami (Islamic Student society/ISoc) dianggap

beresiko (Saeed, 2016, 114).

Guru, dosen, dokter, dan staf institusi publik lainnya juga tidak kebal dari pengaruh

diskursus terkait Muslim (Coppock dan McGovern, 2014, 240). Berbagai penelitian telah

menunjukkan bahwa staf institusi publik seperti guru cenderung tidak mencurigai kulit putih.

Misalnya, penelitian oleh Melanie Newman menemukan bahwa siswa kulit hitam dan

minoritas etnis di Barnsley lebih cenderung dilaporkan terkena radikalisasi. Barnsley adalah

area yang memiliki sejarah kekerasan kanan-jauh. Tetapi, anak-anak kulit putih tidak

dicurigai rentan radikalisasinya karena “warna kulitnya” (Newman, 2015).

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 16: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Maka, patut dipertanyakan apakah diskriminasi terhadap Muslim tersebut bisa

dilegitimasi atau tidak. Akan diterapkan tiga prinsip sesuai kerangka konsep. Pertama, suatu

hukum harus tepat definisinya agar individu bisa memprediksi penerapannya (Stanford dan

Ahmed, 2016, 11). Inggris merupakan salah satu negara dengan definisi terorisme paling luas

(Stanford dan Ahmed, 2016, 11).. Selain itu, Inggris juga tidak memiliki definisi yang cukup

koheren dan tepat (precise) tentang ekstremisme atau tentang nilai-nilai Inggris. Banyak yang

mengkritik bahwa ekstremisme dan nilai-nilai Inggris kurang didefinisikan dengan jelas (HM

Government, Prevent Duty Summary of Response, 2015).

Kedua, suatu kebijakan harus memenuhi tujuan yang sah, Biasanya tidak sulit bagi

negara untuk memenuhi syarat ini, karena hampir semua kebijakan bisa diklaim tujuan

rasionalnya. Untuk kebijakan kontra-terorisme, pemerintah biasanya akan menggunakan

kepentingan keamanan nasional (Moeckli, 2008, 70).

Ketiga, suatu kebijakan harus proporsional. Pada praktiknya, poin inilah yang menjadi

penentu apakah sebuah kebijakan diskriminatif melanggar hukum atau tidak(Moeckli, 2008,

70).. Terdapat tiga poin yang harus diperhatikan untuk melihat proporsionalitas: kesesuaian

dan efektivitas, implementasi, serta pencegahan kesewenang-wenangan.

Apakah Prevent Duty sesuai dan efektif untuk melawan terorisme? Menurut ECtHR,

intervensi harus proporsional dengan tujuan yang dikejar (Moeckli, 2008, 72). Pemerintah

seperti berkomitmen untuk mempertahankan tingginya persepsi ancaman terorisme. Hal ini

ditunjukkan dengan pernyataan David Cameron, bahwa Daesh/ISIS berencana menyerang

Inggris, meskipun ISIS tidak pernah mengumumkan rencana apapun terkait serangan di

Inggris (BBC, 2014). Padahal, statistik menunjukkan bahwa ancaman terorisme di Inggris

tidak seserius yang pemerintah nyatakan. Dalam selang waktu 2000-2015, terhitung 90 orang

telah terbunuh dalam serangan teroris. Dari jumlah tersebut, 52 orang meninggal dalam

serangan 7/7. Angka ini menurun drastis jika dibandingkan 1094 orang di 1985-1999 (The

Telegraph, 2017). Dalam dekade terakhir, angka kematian pertahun di Inggris karena

terorisme ‘hanya’ 1,4. Jika dibandingkan, seseorang lebih mungkin tewas karena dibunuh

anjing (18 kematian per tahun), air panas (100 kematian pertahun), atau penggunaan telepon

genggam saat menyetir (2.920 kematian pertahun) (Nowrasteh, 2016).

Menilai efektivitas Prevent Duty, dan Prevent secara umum, bukanlah hal mudah.

Mengingat Prevent merupakan usaha pencegahan, sulit untuk menilai bagaimana serangan

terorisme tidak terjadi karena Prevent. Pemerintah sendiri memasang indikator yang rendah

untuk menilai keberhasilan Prevent, yaitu terlihat dari meningkatnya kepercayaan publik

terhadap Prevent serta semakin diterapkannya Prevent oleh institusi dan agensi (PCC, 2015).

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 17: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Ironisnya, bahkan hal ini pun gagal dicapai: tercatat bahwa hanya 4 persen masyarakat yang

mempercayai efektivitas Prevent (Watts, 2016).

Apakah efek Prevent Duty diskriminatif? Untuk pertanyaan ini yang dilihat bukan

hanya dari kebijakannya, tapi juga implementasi (Stanford dan Ahmed, 2016, 11). Selama

perkembangannya, pemerintah sudah dikritik berulang kali bahwa fokus terhadap Muslim

tidak akan mengatasi terorisme dan justru mengalienasi Muslim, tetapi tetap saja fokus

terhadap Muslim dipertahankan. Mengingat dampak Prevent Duty yang dirasakan secara

tidak setara oleh Muslim, Prevent Duty bisa dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi tidak

langsung.

Apakah ada peraturan yang bisa memastikan standar penerapan agar tidak terjadi

kesewenang-wenangan? Meskipun individu terbukti tidak bersalah, tidak ada mekanisme

untuk menghilangkan stigma dan label yang didapat karena dilaporkan (Stanford dan Ahmed,

2016, 11). Memang, Prevent memiliki Prevent Oversight Board (POB) yang bertugas

mengawasi Prevent. Akan tetapi, badan ini dikritik karena jarang bertemu dan tidak berfungsi

sebagaimana mestinya. Selain itu, badan ini tidak memiliki independensi institusional yang

dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Maka, kemampuan Prevent Duty

dalam menghindari kesewenang-wenangan diragukan.

Berdasarkan pertimbangan tiga faktor legitimasi, Prevent Duty telah melanggar hak

atas perlakuan non-diskriminatif Muslim Inggris, karena definisinya yang rancu, serta tidak

lolos uji proporsionalitas. Meskipun tujuan Prevent Duty sah, pada implementasinya Prevent

Duty mendiskriminasi Muslim Inggris.

Prevent Duty seakan memberi masyarakat ‘izin untuk membenci Muslim’ (Poynting and

Mason, 2006, 367), memungkinkan diskriminasi berkedok perlindungan. Representasi Orient

menjustifikasi otoritas dan dominasi Barat, baik di era penjajahan maupun hingga sekarang.

Prevent memproblematisasi identitas Muslim, di mana Muslim direpresentasikan sebagai

ekstremis sekaligus rentan dan perlu didorong untuk menjadi moderat, menyebabkan Muslim

dicurigai, didiskriminasi, dan mengalami religious profiling (Bonino, 2013, 397). Diskriminasi

ini pun menyalahi berbagai komitmen Inggris lainnya, seperti terhadap ICCPR, Declaration

on the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion or

Belief 1981, dan ECHR. Inggris juga melanggar komitmen tingkat nasionalnya sendiri, yaitu

Equality Duty, di mana kebijakan dan institusi publik harus melawan diskriminasi terhadap

minoritas agama termasuk Muslim.

Prevent Duty membuktikan bahwa HAM dikompromikan, di mana pemerintah

mengabaikan komitmen-nya terhadap HAM dan menginterpretasikan kembali norma HAM

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 18: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

demi kepentingan keamanan. Dengan mengabaikan HAM, terorisme tidak akan berhasil

dihentikan, dan justru bisa tidak efektif (Powell, 2016, 33). Representasi orientalis Muslim

Inggris telah memungkinkan kebijakan yang diskriminatif dianggap sebagai kebijakan yang

dominan, mengalahkan alternatif kebijakan yang menjunjung HAM.

Tidak heran jika banyak yang menyerukan penghapusan Prevent: Muslim dan non-

Muslim; organisasi (Adams, 2016), akademisi (Powell, 2016), hingga politisi (The

Guardians, 2016). Prevent telah ditolak oleh mayoritas Muslim, bukan hanya yang golongan

yang ekstremis seperti Salafi atau Islamis—semua menolak dikonstruksikannya Muslim

sebagai ancaman dan sumber radikalisasi atau ekstremisme (5Pillars,2016).

Kompromi HAM dalam Prevent ini tidak hanya berbahaya secara nasional Inggris saja,

karena kebijakan kontra-terorisme Inggris telah mempengaruhi negara-negara lain (Lennon

dan Walker, 2015). Prevent Duty sendiri merupakan ‘kebanggaan’ pemerintah, karena

merupakan pionir dalam pencegahan terorisme, dan banyak negara mulai mengikuti

pendekatan Inggris (Cobain, The Guardian, 2016). Hal ini sesuai dengan pernyataan

Pickering dan McCullock, bahwa hukum kontra-terorisme telah mengubah pemahaman

publik tentang kebebasan sipil dan HAM, karena masyarakat harus menerima ekspansi

kekuatan polisi dan intrusi demi meningkatkan keamanan (Pickering dan McCulloch, 2010).

Adanya erosi moralitas publik ini memungkinkan nilai-nilai HAM dikompromikan, dan

kebijakan-kebijakan intrusif ditetapkan. Seperti penjelasan di atas, tren memprioritaskan

keamanan dan mengabaikan komitmen terhadap HAM tidak hanya terjadi di Inggris, tetapi

juga di berbagai belahan dunia. Tren ini menjadi mungkin karena adanya suatu persepsi

ancaman, konstruksi orientalis yang merepresentasikan Muslim sebagai ekstrem dan rentan.

Kesimpulan

Penelitian ini menggunakan logika pembentukan untuk memahami elemen-elemen apa

saja yang membentuk justifikasi pemerintah Inggris dalam membatasi hak atas perlakuan

non-diskriminatif minoritas Muslim melalui Prevent Duty 2015. Elemen-elemen tersebut bisa

diklasifikasikan menggunakan metode yang digunakan: representasi historis.

Elemen pertama, yaitu berbagai konteks yang mendorong konstruksi Muslim sebagai

‘other’ yang berbahaya. Setelah 9/11, diskursus ‘terorisme Islam’ berkembang dan label

berbahaya resmi disematkan dalam identitas Muslim. Sementara peristiwa bom 7/7

menghilangkan adanya persepsi jarak dalam ancaman, karena kini Muslim yang lahir dan

tumbuh besar di Inggris bisa menjadi teroris. Kebijakan Prevent diluncurkan setelah 7/7, dan

kecurigaan terhadap Muslim dan Islam menjadi fokus di dalamnya.

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 19: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Terdapat label-label orientalis yang menggeneralisasikan Muslim, di mana persepsi

perbedaan antara Muslim dan Inggris dianggap menyebabkan terorisme. ‘Keterbelakangan’

Muslim menyebabkan Muslim menjadi teroris, karena ‘mereka’ menyukai nilai dan ‘cara

hidup kita’. Muslim Inggris, yang meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Inggris,

diragukan identitas dan kesetiaannya kepada Inggris. Muslim Inggris bukan lagi warga

negara biasa, tapi warga negara kelas dua, musuh dalam selimut yang harus selalu dicurigai.

Konstruksi dalam Prevent memfokuskan kepada ekstremisme Muslim, yang karena

‘ideologi jahat’ bisa berubah kapan saja menjadi ekstremis. Secara bersamaan, Muslim juga

dikonstruksikan sebagai kelompok yang rentan dari ‘cuci otak’ ideologi ekstremis, sehingga

harus selalu diawasi gerak-geriknya. Representasi Muslim yang rentan sekaligus ekstremis

berbahaya sesuai dengan prinsip pertama dan kedua dalam orientalisme: terdapat peradaban

terpisah dan hirarkis (Barat/Islam) dan sedang terjadi perang nilai antara kedua peradaban

tersebut, sehingga nilai-nilai ‘kita’ harus dipertahankan. Nilai-nilai peradaban Barat adalah

nilai-nilai yang superior, sehingga nilai tersebut harus dibela agar jangan sampai dipengaruhi

oleh peradaban yang rusak.

Karena Muslim dianggap rentan dan pasif pemerintah seakan menganggap Muslim tidak

mampu menginterpretasikan sendiri agamanya; jika dibiarkan menginterpretasikan sendiri

akan “dicuci otak” oleh ‘ideologi jahat’ dan menjadi ekstremis. Maka pemerintah mendukung

dan membentuk ‘Muslim moderat’ yang mau bersikap apolitis dan beragama sesuai ‘nilai-

nilai Barat’. Hal ini sesuai dengan prinsip orientalisme ketiga, bahwa Eropa harus membantu

dan mewakili Orient.

Representasi Muslim tersebut bukan hanya negatif, tetapi juga banyak yang tidak akurat.

Tetapi, representasi dominan bertahan dikarenakan feedback loop: politisi, media, dan think

tank yang diuntungkan melalui industri kontra-ekstremisme. Muslim hanya memliki sedikit

kuasa untuk melawan narasi orientalis, dan kesulitan agar suara dan kontribusinya didengar.

Hal ini membuktikan pernyataan Said (2003, 253) bahwa label tentang Orient telah menjadi

pengetahuan sistematis, diperlakukan seperti fakta. Pemahaman diskursif inilah yang menjadi

panduan aktor dalam bertindak (Said, 2003, 80)

Ditingkatkannya status hukum Prevent menjadi suatu kewajiban dalam Prevent Duty,

menyebabkan semakin kuatnya kecurigaan terhadap Muslim, yang terbukti dari melonjaknya

tingkat pelaporan ke Channel, yang mayoritas adalah Muslim. Prevent Duty memungkinkan

prasangka dan konstruksi orientalis mempengaruhi persepsi staf publik atas siapa yang

dianggap ‘mencurigakan’, memungkinkan kecurigaan konstan.

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 20: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Dengan representasi yang demikian, kebijakan yang diskriminatif menjadi mungkin,

sementara perlakuan setara Muslim Inggris menjadi tak terpikirkan. Diskriminasi tidak

dinyatakan secara langsung, karena pemerintah menganggap dominasi yang dilakukan adalah

demi kebaikan Orient sendiri, dan bahwa pemerintah tidak bersalah apa-apa. Dalam Prevent,

diskriminasi diterapkan dalam bentuk perlindungan (safeguarding): untuk melindungi

Muslim dari kerentanan dan potensi berubah menjadi teroris. Perlindungan dilakukan dengan

dua cara: mengawasi Muslim dan apabila terdapat tanda kerentanan dilaporkan ke Channel,

serta dorongan untuk berkomitmen pada nilai-nilai Inggris.

Tetapi, selalu ada ruang untuk melawan hegemoni suatu diskursus (Jackson, 2007).

Representasi orientalis Muslim bisa dilawan dan diubah. Harapan terlihat misalnya dengan

terpilihnya Sadiq Khan sebagai walikota London—meskipun memang terpilihnya Khan tidak

langsung menyelesaikan Islamophobia, sama seperti terpilihnya Obama sebagai presiden AS

tidak menyelesaikan rasisme di AS (Jackson, 2007).

Dibutuhkan pemimpin yang berani memecahkan siklus feedback loop, dan memerangi

sentimen anti-Muslim; memperlakukan Muslim sebagai warga negara yang setara.

Pemimpin yang berani mendobrak stagnasi studi terorisme, mendorong keseimbangan

representasi Muslim di media, dan berani mengakui serta menindaklanjuti ketidakadilan

dalam kebijakan luar negeri. Pemimpin yang benar-benar melindungi esensi egaliter Magna

Carta: bahwa HAM dan hukum bukanlah alat para penguasa.

Pemimpin seperti ini dibutuhkan dengan sangat segera, mengingat tren kebijakan

keamanan yang intrusif dan erosi moralitas publik. Mencari pemimpin seperti ini tentu

tidaklah mudah—konsekuensi dan perlawanan yang dihadapi juga tidak sedikit. Maka, wajar

jika Rosemary Foot menanyakan, “seberapa kuatkah norma HAM bertahan?” Dalam

penelitian ini, pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan: “saat ini, norma HAM sedang

rentan”.

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 21: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

DAFTAR REFERENSI Alam, Yunis, dan Charles Husband, “Islamophobia, Community Cohesion and Counter-Terrorism

Policies in Britain”, Patterns of Prejudice, 47:3,(2013) 235-252 Allen, Chris, dan Arshad Isakjee. “Controversy, Islam and politics: an exploration of the ‘Innocence

of Muslims’ affair through the eyes of British Muslim elites”, Ethnic and Racial Studies, (2015) 38:11, 1852-1867

Allen, Chris. “Britishness and Muslim-ness: Differentiation, Demarcation and Discrimination in Political Discourse”. Identity Papers: A Journal of British and Irish Studies, (2015) 1 (2). 1-12

Amnesty International, “EU’s Orwellian Counter-terrorism Laws: Stripping Rights under Guise of Defending Them”, 17 Januari 2017, diakses pada 20 Februari 2017 melalui https://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/01/eu-orwellian-counter-terrorism-laws-stripping-rights-under-guise-of-defending-them/

Asquith, Selly. “The Question Now is Not If, but When, Prevent Will Be Repealed”, Huffington Post, terakhir diperbarui pada 25 Juli 2016. Diakses pada 19 Oktober 2016 melalui http://www.huffingtonpost.co.uk/shelly-asquith/prevent_b_11181268.html

Awan, Imran. “I Am a Muslim Not an Extremist”: How the Prevent Strategy Has Constructed a “Suspect” Community. Politics & Policy, Volume 40, No. 6 (2012): 1158-1185

Blair, T. “Blair statement in full”, BBC,7 Oktober 2001, diakses pada 21 April 2017 melalui http://news.bbc.co.uk/1/hi/uk_politics/1585238.stm

Blair, Tony. “Speech at Lord Mayor’s Banquet.” 11 November 2001, diakses pada 12 Februari 2017 melalui https://www.theguardian.com/politics/2002/nov/11/labour.iraq

Brown, KE. dan T. Saeed, "Radicalization and Counter-radicalization at British Universities: Muslim Encounters and Alternatives", Ethnic and Racial Studies 38.11 (2015): 1952-1968.

Bryman, Alan. Social Research Methods, 4th ed., (Oxford: Oxford University Press, 2012) Communities and Local Government Committee (CLG), “Preventing Violent Extremism”, (London:

The Stationery Office, 2010.) Communities and Local Government, Preventing Violent Extremism, Maret 2010, diakses pada 13

Februari 2017 melalui https://www.publications.parliament.uk/pa/cm200910/cmselect/cmcomloc/65/65.pdf

Coppock, Vicki dan Mark McGovern, “‘Dangerous Minds’? Deconstructing Counter-Terrorism Discourse, Radicalisation and the ‘Psychological Vulnerability’ of Muslim Children and Young People in Britain”, Children and Society Vol. 28, (2014), 245

Durodie, Bill. “Securitising Education to Prevent Terrorism or Losing Direction?”, British Journal of Educational Studies, 64:1, 21-35, (2016).

Faimau, Gabriel. "The politics of being Muslim and being British in the British Christian print media." Cogent Social Sciences 2, no. 1 (2016): 1186338.

Gayle, Damien. “ Prevent Strategy Could End Up Promoting Extremism”, The Guardian, terakhir diperbarui pada 21 April 2016, diakses pada 19 Oktober 2016 melalui https://www.theguardian.com/politics/2016/apr/21/government-prevent-strategy-promoting-extremism-maina-kiai

Gravagui, Siba N. “Postcolonialism”, dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith (eds.), International Relations Theories: Discipline and Diversity, (Oxford: Oxford University Press, 2010), 254.

Heath-Kelly, Charlotte. “Counter-Terrorism and the Counterfactual: Producing the ‘Radicalisation’ Discourse and the UK PREVENT Strategy”, British Journal of Politics and International Relations,(2012).

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017

Page 22: Paradoks HAM dan Kontra-terorisme: Diskriminasi Muslim ...

Henderson, Emma. “Muslim Communities ‘Unlike Others in Britain’, Former Race Equality Chief Trevor Phillips Says”, The Independent, 2016. Diakses pada 12 Februari 2017 melalui ihttp://www.independent.co.uk/news/uk/home-news/muslim-communities-unlike-others-in-britain-former-race-equality-chief-trevor-phillips-says-a6836301.html

HM Government, CONTEST: The United Kingdom’s Strategy for Countering Terrorism, (2016) HM Government, Prevent Strategy Review, (London: The Stationery Office, 2011) Jackson, Richard, "Constructing enemies:‘Islamic terrorism’in political and academic

discourse." Government and Opposition 42, no. 3 (2007): 394-426. Kundnani, Arun. "A Decade Lost." Rethinking Radicalisation and Extremism. Claystone (2015). Kundnani, Arun. "Radicalisation: the journey of a concept." Race & Class 54, no. 2 (2012). Kundnani, Arun. Spooked: How Not to Prevent Violent Extremism, Institute of Race Relations. (2009)

Diakses pada 22 Oktober 2016 melalui http://www.irr.org.uk/pdf2/spooked.pdf, 24. Kundnani, Arun. The End ofTolerance: Racism in 21st Century Britain, (London: Pluto Press 2007) Kundnani, Arun. The Muslims are coming!: Islamophobia, extremism, and the domestic war on

terror. Verso Books (2014) Lynch, Orla. “British Muslim Youth: Radicalisation, Terrorism and the Construction of the ‘Other’”,

Critical Studies on Terrorism, 6:2, (2013) 241-261 Moeckli, Daniel, Sangeeta Shah, dan Sandesh Sivakumaran (ed.), International Human Rights Law,

(New York: Oxford University Press, 2010 Moeckli, Daniel. Human Rights and Non-discrimination in the ‘War on Terror’, (Oxford University

Press, 2008) Mohammed, J. dan A. Siddiqui, The Prevent Strategy: A Cradle to Grave Police-State, (London:

CAGE, 2013). Moosavi, Leon. "Orientalism at home: Islamophobia in the representations of Islam and Muslims by

the New Labour Government." Ethnicities 15, no. 5 (2015): 652-674. Powell, L. “Counter-Productive Counter-Terrorism: How is the Dysfunctional Discourse of Prevent

Failing to Restrain Radicalisation?”, Journal for Deradicalization, (2016), No.8. Saeed, T. “Securitizing the Educated Muslim: Islamophobia, Radicalization and the Muslim Female

Student”, Islamophobia and Securitzation, (Palgrave Politics of Identity and Citizenship Series, 2016).

Sageman, Marc. Leaderless jihad: Terror networks in the twenty-first century. (University of Pennsylvania Press, 2011)

Said, Edward. Culture and Imperialism (London: Vintage Books,1994).Said 1994 : xxix). Said, Edward. Orientalism, (England: Penguin Books, 2003). Spalek, Basia, “New Terrorism’ and Crime Prevention Initiatives Involving Muslim Young People in

the UK”, Research and Policy Contexts, Religion, State and Society, 2011, 39:2-3, 191-207 Stanford, Ben, dan Yasmine Ahmed, "The Prevent Strategy: The Human Rights Implications of the

United Kingdom's Counter-Radicalisation Policy." (2016). The Telegraph, “Ukrainian White Supremacist Avoids Life Sentence Over Murder and Mosque

Bombings”, 2013., diakses pada 21 April 2017 melalui http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/terrorism-in-the-uk/10405268/Ukrainian-white-supremacist-avoids-life-sentence-over-murder-and-mosque-bombings.html

Thomas, Paul. "Divorced but still co-habiting? Britain’s Prevent/community cohesion policy tension." British Politics 9, no. 4 (2014): 472-493.

Thomas, Paul. "Failed and friendless: the UK's ‘Preventing Violent Extremism’programme." The British Journal of Politics & International Relations 12, no. 3 (2010): 442-458.

Thomas, Paul. “Youth, Terrorism and Education: Britain’s Prevent programme” International Journal of Lifelong Education, (2016), 5.

Paradoks HAM ..., Amy Darajati Utomo, FISIP UI, 2017