Paradoks dan Perkembangan Studi Kasus sebagai Metode Penelitian

download Paradoks dan Perkembangan Studi Kasus sebagai Metode Penelitian

of 17

Transcript of Paradoks dan Perkembangan Studi Kasus sebagai Metode Penelitian

| STUDI KASUS : Paradoks dan Perkembangan |

Aulia Dwi Nastiti | David Tinambunan[Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Riset Media Massa]

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2012

APA ITU STUDI KASUS?

Studi kasus adalah analisis intensif dari suatu unit individu (sebagai orang atau masyarakat) yang menekankan pada faktor perkembangan hubungan dengan lingkungannya (Merriam-Websters Dictionary, 2009). Faktor penentu suatu penelitian didefinisikan sebagai studi kasus adalah pilihan unit individu dari penelitian dan penetapan demarkasinya, bukan pada pilihan metodologisnya. Karena unit individu dapat dipelajari secara kualitatif dan kuantitatif, baik analitis atau hermeneutis, ataupun metode campuran. Bersifat intensif karena unit individu dari penelitian lebih rinci, lengkap, beraneka ragam, dan dalam daripada lintas unit analisisnya. Menekankan faktor perkembangan karena suatu kasus merupakan serangkaian peristiwa konkret dan saling terkait, yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu, dan menjadi kasus saat peristiwa tersebut dilihat secara keseluruhan. Hubungan dengan lingkungannya merupakan konteks, di mana batasan unit individu dari penelitian menentukan apa yang termasuk sebagai kasus dan apa yang menjadi konteks untuk kasus tersebut. Berbeda dengan definisi dari Webster yang berdasarkan logika mendasar, Penguin Dictionary of Sociology (2006) mendefinisikan studi kasus sebagai penelitian terperinci dari sampel tunggal suatu kelas fenomena, yang tidak dapat diandalkan atau reliabel untuk kelas yang lebih luas, namun berguna pada tahap awal penelitian karena memberikan hipotesis yang dapat diuji secara sistematis untuk jumlah kasus yang lebih besar. Menurut Bent Flyvbjerg, definisi ini merupakan pandangan yang keliru karena studi kasus bukanlah tidak memiliki metodologi. Benar bahwa studi kasus adalah penelitian terperinci dari sampel tunggal, namun dapat diandalkan untuk kelas yang lebih luas. Benar bahwa studi kasus dapat digunakan pada tahap awal penelitian untuk menghasilkan hipotesis, namun bukanlah sebagai metode pilot yang hanya digunakan untuk mempersiapkan penelitian survei yang lebih besar, pengujian hipotesis secara sistematis, ataupun pembangunan teori. John Gerring (2004) mengatakan bahwa upaya akademis untuk menjelaskan apa studi kasus itu telah menghasilkan kekacauan, dan setiap kali seseorang berusaha untuk menjernihkan kekacauan itu hanya semakin memperburuk keadaan. Untuk itu, Gerring menyarankan definisi studi kasus Webster yang berdasarkan akal sehat daripada definisi akademik dari Penguin Dictionary of Sociology.

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

1

PARADOKS STUDI KASUS

Studi kasus telah lama digunakan sebagai salah satu metode penelitian yang utama dalam perkembangan pengetahuan teoritis dalam berbagai displin ilmu. Bahkan menurut George dan Bennet (2005: 4-5) yang dikutip Flyvbjerg (2011: 302), sebagian besar pengetahuan dalam studi empirik diproduksi melalui studi kasus, dan sebgaian besar literatur klasik dari setiap cabang ilmu menerapkan studi kasus untuk pengembangan pengetahuan. Meskipun demikian, terdapat paradoks seiring dengan perkembangan studi kasus sebagai salah satu metode penelitian. Di saat studi kasus secara luas digunakan untuk membangun teks pengetahuan, dapat diamati bahwa studi kasus justru tidak memperoleh tempat utama untuk dipelajari dalam dunia akademis (Flyvbjerg, 2011: 302). Argumen ini didasari oleh obervasi George dan Bennet (2005) terhadap tiga puluh perguruan tinggi ternama di Amerik Serikat. Di antara perguruan tinggi tersebut, hanya dua sekolah yang mengajarkan studi kasus dan metode riset kualitatif sebagai bahan wajib, sementara semua perguruan tinggi mewajibkan subjek metode kuantitatif dan bahkan mengadakan pelatihan. Adanya paradox studi kasus ini membuat Gerring (2004: 341) berpendapat bahwa studi kasus adalah metode penelitian yang bertahan dalam curious methodological limbo atau dengan kata lain, studi kasus cenderung ditelantarkan dan hanya digunakan karena keingintahuan peneliti. Oleh karena itulah, dalam tulisannya Five Misundertanding about Case Study, Flvybjerg (2006) berupaya mengidentifikasi lima kesalahpahaman yang menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi paradoks studi kasus yang dikemukakan Gerring (2004). Lima kesalahpahaman ini merupakan pemahaman umum yang keliru mengenai studi kasus sebagai sebuah metodologi, yang secara garis besar mengangkat bangunan teori, validitas, dan reliabilitas sebagai isu utama yang dikritik dari setudi kasus. Adapun lima kesalahpahamn tersebut dijelaskan secara detail sebagai berikut: Tabel 1 Lima Kesalahpahaman dalam Studi Kasus Secara umum, pengetahuan teoritis lebih berharga dibanding pengetahuan konkret yang sifatnya praktis Generalisasi pengetahuan tidak dapat dilakukan berdasarkan satu Kesalahpahaman No.2 kasus spesifik, sehingga studi kasus tidak berkontribusi banyak pada perkembangan ilmu pengetahuan Kesalahpahaman No.3 Studi kasus paling tepat digunakan untuk perumusan hipotesis; dalam tahap awal dari keseluruhan penelitian, sedangkan metode lain lebih

Kesalahpahaman No.1

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

2

tepat digunakan untuk menguji hipotesis dan pembangunan teori Studi kasus mengandung bias terhadap verifikasi kebenaran, sehingga Kesalahpahaman No.4 ada kecenderungan peneliti untuk mengkonfirmasi praduga dari penelitian dan pemikirannya sebelumnya. Seringnya kesulitan untuk merangkum dan mengembangkan proposisi dan teori umum berdasarkan studi kasus tertentu Sumber: Flvybjerg, Bent (2011: 302) Kesalahpahaman No.1 Secara umum, pengetahuan teoritis lebih berharga dibanding pengetahuan konkret teradap suatu kasus tertentu Kesalahpahaman ini lahir karena adanya pandangan konvensional yang problematik terhadap studi kasus. Untuk memahami pandangan problematik ini, kita harus lebih dulu mengerti peran kasus dan teori dalam pembelajaran manusia. Menurut Flvybjerg (2011), terdapat dua poin utama. Pertama, studi kasus adalah menghasilkan tipikal pengetahuan yang konkret dan kontekstual yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan peneliti dari tahap pemula (rule-based beginners) menjadi ahli. Kedua, dalam studi tentang manusia, hanya dikenal pengetahuan kontekstual yang kehadirannya justru tidak memungkinkan ilmu sosial untuk bersaing dengan ilmu alam dalam mengembangkan teori epistemiologis yang bersifat eksplanatif dan prediktif. Flvybjerg (2011: 303) menjelaskan bahwa merujuk pada studi fenomenologi mengenai manusia, dapat dipahami bahwa pengetahuan yang konkret dan kontekstual serta pengalaman adalah dasar dari level keahlian dalam kasus atau bidang tertentu. Pengetahuan dan keahlian ini jugalah yang menjadi inti dari studi kasus sebagai sebuah metodologi penelitian, ataupun mode pembelajaran secara umum. Hanya pengalaman dan pengetahuan yang konkret atas suatu subjeklah yang membuat seseorang pemula dapat meningkat menjadi seorang ahli. Seperti contohnya, seorang mahasiswa yang hanya belajar pengetahuan independen ataupun pengetahuan beraturan (rulebased knowledge) seperti yang tercantum dalam teks literature, maka mahasiswa ini masih berada dalam level pemula. Berbeda dengan dosen ahli atau guru besar dalam bidang tertentu, spesifikasi keahliannya tentu didapat melalui pengetahuan dependen yang ia peroleh melalui praktik dan pengalaman yang konkret melalui studi kasus dan terjun langsung ke lapangan. Dalam konteks pengajaran, studi kasus terpilih dapat membawa pelajar untuk mencapai komptensi, sedangkan fakta tekstual dan pertauran hanya akan membuat pelajar berkutat di level pemula. Di

Kesalahpahaman No.5

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

3

Amerika Serikat sendiri, hanya beberapa perguruan tinggi yang menyadari bahwa pengetahuan berdasarkan kasus konkret adalah pokok pembelajaran mengenai kehidupan manusia dan mengjarkan studi kasus sebagai model pembelajaran utama, dan Harvard adalah salah satunya. Pembelajaran terhadap studi kasus bukan berarti menafikan keberadaan pengetahuan beraturan; pengetahuan dari teks literatur penting untuk dimiliki dalam setiap disimplin ilmu, terutama untuk pemula. Namun, yang harus diluruskan ialah, pengetahuan formal tidaklah menjadi tujuan tertinggi dari proses pembelajaran (Flvybjerg, 2011). Kembali pada konteks pengajaran di perguruan tinggi, studi kasus seharusnya diberikan kepada pelajar sebagai bekal pelengkap kompetensinya melampaui sekedar pengetahuan literal untuk mencapai pengalaman nyata di ranah praktis. Untuk konteks penelitian, merujuk pada Flvybjerg (2011: 303), kedekatan metode studi kasus dengan situasi kehdiupan nyata dan kekayaan informasi detail yang dihasilkan membuat studi kasus menduduki posisi signifikan dalam riset, setidaknya untuk dua poin utama. Pertama, studi kasus penting bagi pengembangan pemahaman terhadap realitas kontekstual, terutama perilaku manusia dalam kasus-kasus spesifik yang tidak dapat dipahami melalui pemahaman teoritis yang diperoleh dari buku teks semata. Kedua, pemahaman terhadap kasus penting untuk dimiliki peneliti demi proses pembelajaran dan pengembangan kemampuan melakukan riset yang baik. Studi kasus merupakan mode signifikan yang dapat membantu peneliti untuk mendapatkan sense dalam riset yang akhirnya membuat peneliti memiliki spesifikasi keahlian dalam subjek tertentu. Dengan melakukan banyak studi kasus, peneliti akan semakin banyak memperoleh pengalaman konkret dan mengembangkan pemahaman kontekstual terhadap realitas yang membuat dirinya tak terbatas dan bergantung pada pengetahauan yang telah disarikan dalam literatur dan teori. Argumen lainnya yang meluruskan kesalahpahaman pertama tentang studi kasus ialah mengenai dasar dari ilmu sosial itu sendiri, yang intinya ialah membahas mengenai kehidupan manusia. Ilmu sosial bersifat sangat cair karena membahas mengenai perilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat, yang seringkali berubah dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Oleh karena itulah, tidak seperti ilmu alam yang memiliki hukum-hukum yang rigid untuk memprediksi fenomena alam, ilmu sosial sebenarnya tidak dapat memproduksi teori yang umum atau aturan pengetahuan yang berlaku secara universal. Segala teori dalam ilmu sosial pada akhirnya bersifat kontekstual dan menyasar pada kondisi tertentu, yang artinya kembali lagi pada praktik manusia dalam kehidupan yang konkret. Seperti contohnya, ialah teori-teori dalam psikologi yang berusaha memprediksi penyebab dari perilaku manusia dan berusaha membangun generalisasi atas itu. Namun, dalam kajian antropologi, dipahami bahwa perilaku tersebut berbeda, karena adanya perbedaan kultur yang membentuk. Teori sosiologi, manusia dipahami sebagai anggota masyarakat yang perilakunya dikonstruksi secara sosial.

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

4

Sedangkan teori komunikasi memperlajari bagaimana proses komunikasi akhirnya membentuk perilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, tetapi seifatnya tetap kontekstual. Dengan kata lain, hampir semua cabang teori ilmu sosial bermuara pada pengetahuan kontekstual. Oleh karena itu, menurut Flvybjerg (2011: 304), kesalahpahaman pertama ini dapat dibenarkan sebagai berikut: Teori yang prediktif dan universal tidak dapat ditemukan secara shahih dalam studi tentang manusia. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap kasus konkret lebih berharga dibanding pencarian terhadap teori-teori prediktif dan universal. Kesalahpahaman No.2 Generalisasi pengetahuan tidak dapat dilakukan berdasarkan satu kasus spesifik, sehingga studi kasus tidak banyak berkontribusi bagi perkembangan ilmiah Pemahaman seperti di atas biasanya merupakan kesalahpahaman terhadap studi kasus yang paling umum ditemui sekaligus kesalahpahaman yang paling membuat studi kasus kurang populer digunakan sebagai metode ilmiah. Bahkan, ilmuwan sosiologi strukturasi Giddens (1984), seperti yang dikutip Flvybjerg (2011: 304), menyatakan bahwa penelitian etnografis, misalnya studi kasus spesifik seperti dalam antropologi, tidak dapat disimpulkan sebagai pengetahuan yang general. Studi kasus spesifik hanya dapat digeneralisasi jika dilakukan terhadap sejumlah kasus yang serupa. Pernyataan Giddens ini dikritik oleh Flvybjerg (2011: 304) yang berpendapat bahwa metode kuantitatif bukan satu-satunya jalan untuk membangun pengetahuan yang tergeneralisasi, seperti halnya mode studi kasus yang juga dapat digunakan untuk generalisasi realita. Generalisasi dapat dilakukan bergantung pada kasus yang dipilih, dan bagaimana pemilihan kasus tersebut. Generalisasi realita berdasarkan kasus spesifik ini bahkan tidak hanya diterapkan dalam ilmu sosial yang difatnya cair dan kontekstual, tetapi juga ilmu alam yang dikenal lebih rigid dan tunduk pada pakem (Flvybjerg, 2011; Platt, 1992; Ragin dan Becker, 1992). Contoh nyatanya ialah studi kasus yang digunakan Galileo dalam menyusun argumen untuk menolak hipotesis Aristoteles tentang gravitasi. Galileo merumuskan argument bantahannya berdasarkan observasi dan eksperimen spesifik dengan pemilihan bahan pengujian ekstrem yaitu bulu dan besi di ruang hampa. Begitu pula, dengan ilmu sosial, pemilihan strategi studi kasus yang tepat akan berdampak signifikan terhadap kemampuan generalisasi sebuah studi kasus (Flvybjerg, 2011: 304). Dalam hal keterkaitan antara studi kasus dengan model kuantitatof melalui pengujian sampel dalam jumlah besar, William Beveridge (1951; yang dikutip oleh Flvybjerg, 2011), menyimpulkan bahwa lebih banyak penemuan yang diperoleh dari obervasi intens terhadap suatu kasus khusus dibandingkan dari data statistic yang diperoleh dari sampel dalam jumlah besar. Terhadap

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

5

keterkaitan ini, Flvybjerg (2011) menegaskan bahwa hal ini tidak berarti studi kasus tidak selalu menjadi metode penelitian yang paling tepat dan tidak berarti pula pengujian sampel besar bukan metode yang tepat. Pemilihan metode yang tepat haruslah relevan dengan permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian. Argumen Flvybjerg di atas pada pokoknya hendak menggarisbawahi bahwa generalisasi formal melalui studi terhadap sampel besar bukanlah satu-satunya cara untuk merumuskan dan mengakumulasi pengetahuan. Sedangkan apabila sebuah realita tidak dapat digeneralisasi secara formal tidak berarti pengetahuan atas realita tersebut bukan merupakan proses kolektif dalam akumulasi pengetahuan dalam konteks kehidupan sosial. Pandangan yang berimbang mengani peran studi kasus untuk generalisasi dengan cara pengujian hipotesis ditawarkan oleh Harry Eckstein (1975) yang menyatakan bahwa studi kasus merupakan alternatif atas kebuntuan pengujian teoritis yang dipilih berdasarkan proses pratikal dibanding berdasarkan proses pertimbangan logis. Studi kasus juga berperan besar dalam pengembangan teoritis, yang selama ini dianggap hanya mampu diuji melalui mode kuantitatif. George dan Bennet (2005; dikutip melalui Flvybjerg, 2011) menunjukkan adanya kontribusi besar antara studi kasus dalam pengembangan teori ilmu sosial, terutama melalui kasus-kasus yang menonjol, misalnya penyimpangan sosial. Argumen ini sejalan dengan hasil observasi John Walton (1992: 129, dalam Flvybjerg, 2011: 305) yang menunjukkan bahwa studi kasus memungkinkan peneliti merumuskan teori yang paling relevan dengan fakta. Penggunaan studi kasus terhadap pengujian dan pengembangan teoritis ini paling tepat digunakan dalam kerangka falsifikasi atau pengujian kebenaran yang dirumuskan Karl Popper, yang menjadi dasar logika dalam pembuktian kebenaran ilmu sosial. Falsifikasi merupakan salah satu pengujian yang paling berat untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi ilmiah: apabila ditemukan satu saja observasi yang tidak sesuai dengan proposisi ilmiah, maka proposisi tersebut gugur dan tidak dapat diterima sebagai pernyataan fakta. Contoh falsifikasi populer yang dikemukakan Popper adalah proposisi Seluruh angsa berwarna hitam, apabila ditemukan satu saja angsa hitam, maka satu penyimpangan ini akan menggugurkan proposisi dan membutuhkan pencarian lebih lanjut untuk membangun proposisi yang lebih kuat. Hal ini berlaku juga dalam proposisi ilmiah yang menjadi landasan dibangunnya teori dan ilmu pengetahuan. Studi kasus secara konkret dan spsesifik berperan besar dalam rangka falsifikasi teori, untuk menguji apakah teori juga berlaku terhadap kasus-kasus yang menyimpang. Jika tidak, maka proposisi teori tersebut bisa jadi tidak berlaku, dan dengan demikian dibutuhkan pengembangan konseptual yang lebih lanjut. Berdasarkan peran studi kasus dalam generalisasi dan falsifikasi teori tersebut, maka kesalahpahaman kedua dapat dluruskan sebagai berikut: Generalisasi dapat

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

6

dilakukan terhadap satu kasus, dan studi kasus dapat menjadi pokok pengembangan ilmu pengetahuan dengan dilengkap generalisasi formal sebagai alternative metode. Namun, yang saat ini terjadi ialah, generalisasi formal seringkali terlalu dilebih-lebihkan sebagai sumber utama dari perkembangan ilmiah sementara kasus-kasus spesisfik dan contoh yang menyimpang diabaikan. Kesalahpahaman No.3 Studi kasus paling tepat digunakan untuk perumusan hipotesis; dalam tahap awal dari keseluruhan penelitian, sedangkan metode lain lebih tepat digunakan untuk menguji hipotesis dan pembangunan teori Kesalahpahaman ketiga yang menyatakan bahwa studi kasus paling berguna untuk perumusan hipotesis merupakan salah satu turunan kesalahpahaman sebelumnya yang menganggap bahwa studi kasus tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi kebenaran. Eckstein (1975) membantah pemahaman yang keliru tersebut dengan bergumen bahwa studi kasus justru lebih baik digunakan untuk menguji hipotesis daripada menghasilkan hipotesis. Studi kasus menurut Eckstein (1975: 80, dalam Flvybjorg, 2011: 306), bermanfaat dalam seluruh tahap pembangunan teori, tetapi paling bermanfaat dalam tahap ketika nilai-nilai peneliti seminimal mungkin mengintervensi teori yang dibangun, yaitu tahap ketika teori tersebut diuji. Sedangkan Goegre dan Bennet (2005: 6-9), mengkonfirmasi dan mengembangkan argumen Eckstein dengan menemukan bahwa studi kasus secara khusus tepat digunakan untuk pengembangan teori karena lebih baik dari metode lainnya dalam proses-proses berikut: (1) Proses pemetaan antara penyebab dan akibat, (2) Eksplorasi mendetail terhadap mekanisme hipotesis kausal, (3) Pengembangan dan pengujian dari penjelasan historis, (4) Pemahaman sentivitas konsep terhadap konteks, (5) Pembentukan hipotesis baru dan pertanyaan baru untuk dikaji, diawali dengan adanya kasus-kasus yang menyimpang. Pengujian hipotesis berhubungan secara langsung dengan permasalahan generalizability, yang dalam konteks studi kasus dependen pada pemilihan kasus. Dalam hal ini, kemampuan generalisasi studi kasus dapat ditingkatkan melalui strategi pemilihan kasus yang tepat. Pemilihan sampel dan kasus penelitian yang digunakan merupakan hal yang harus diperhatikan utnuk mencapai tujuan penelitian dan pengembangan teori yang optimal. Ketika tujuan yang hendak dicapai ialah memeperoleh sebanyak dan sekaya mungkin informasi tentang fenomena khusus tertentu, metode representatif atau pengambilan sampel random bukanlah jalan yang tepat karena akan menghasilkan pengetahuan yang rata-rata dan secara umum sama. Dalam hal ini, studi kasus dengan pemilihan kasus yang ekstrem dapat menjadi pilihan yang tepat karena membuat peneliti mampu mengekplorasi lebih mendalam mengenai aktor yang terlibat, situasi yang terjadi, serta mekanisme yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi (Flvybjorg, 2011:

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

7

307). Pemilihan materi dan kasus secara spesifik dapat mengoptimalkan kemungkinan untuk memformulasikan tipe generalisasi yang sesuai dengan karakteristik kasus yang tipikal sehingga dapat dicapai generalisasi sesuai dengan prinsip falsifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Lebih lanjut, pemilihan sampel dan kasus berdasarkan tujuan dapat dirangkum dalam tabel berikut: Tabel 2 Tipe Pemilihan Sampel dan Metode sesuai Tujuan Penelitian Tipe Pemilihan A. Random Selection Tujuan Menghindari bias dalam pengambilan sampel. Ukuran sampel menjadi kunci generalisasi 1. Random sample Mencapai jumlah sampel representatif yang memungkinkan generalisasi terhadap keseluruhan populasi 2. Stratified sample Untuk menggeneralisasi sub-kelompok tertentu dalam populasi

B. Information-oriented selection Untuk memaksimalkan kegunaan informasi dari sampel kecil dan kasus tunggal. Kasus-kasus dipilih berdasarkan ekspektasi terhadap konten informasi yang hendak dikumpulkan. 1. Extreme / deviant case Untuk memperoleh informasi tentang kasus yang tidak biasa, yang secara khusus problematik atau secara khusus baik dalam definisi yang lebih dekat dengan realita. Untuk memahami batasan teori yang berlaku serta mengambangkan konsep baru, variabel, dan teori yang juga sesuai untuk kasus menyimpang 2. Maximum variation cases Untuk memperoleh informasi tentang signifikansi berbagai kondisi dalam proses kasus dan kondisi yang dihasilkan; misalnya tiga sampai empat kasus yang berbeda dalam satu dimensi: ukuran, bentuk organisasi, lokasi, budget, dll. 3. Critical cases Untuk mendapatkan informasi yang membantu dilakukannya deduksi logis dengan tipikal falsifikasi: Jika proposisi tidak valid terhadap satu kasus spesifik, maka ia tidak dapat dikatakan valid untuk semua kasus 4. Paradigmatic case Untuk mengembangkan sebuah metafora atau membangun paradigma bagi kasus yang dikaji Sumber: Flvybjerg, Bent (2011: 307) Pemilihan kasus, baik itu kasus ekstrem, kasus kritis, atau kasus paradigmatis, akan menentukan nilai validitas dari klaim generalisasi yang dihasilkan peneliti. Tingkat generalisasi kasus ekstrem bisa jadi berbeda dengan kasus kritis maupun paradigmatic. Begitu pula sebuah kasus bisa secara bersamaan

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

8

diklasifikasikan sebagai kasus ekstrem, sekaligus kasus kritis atau pradigmatis. Interpretasi kasus ini akan menghasilkan kekayaan informasi yang unik karena mampu dipandang dari berbagai perspektif. Oleh karena itu, kesalahpahaman ketiga ini dapat diluruskan dan direvisi menjadi pemahaman berikut: Studi kasus dapat digunakan dan bermanfaat baik bagi generalisasi maupun pengujian hipotesis, tetapi tidak terbatas pada kegiatan penelitian saja. Kesalahpahaman No.4 Studi kasus bias terhadap verifikasi, yaitu kecenderungan peneliti untuk mengkonfirmasi praduga-praduganya dari penelitian sebelumnya, sehingga menjadi diragukan nilai ilmiahnya Jared Diamond (1996) mengamati bahwa studi kasus mengalami apa yang disebutnya sebagai kelemahan yang melumpuhkan karena tidak menerapkan metode ilmiah, yang dikatakan Diamond sebagai metode yang berguna untuk membatasi kecenderungan seseorang untuk menggunakan interpretasi peneliti sebelumnya pada data yang mereka kumpulkan. Francis Bacon (1853) melihat bias terhadap verifikasi ini tidak hanya sebagai fenomena yang terkait dengan studi kasus saja, melainkan sebagai karakteristik dasar manusia. Bacon menyatakan ketika proposisi apapun telah ditetapkan, manusia berusaha untuk mendukung atapun mengkonfirmasi hal tersebut. Charles Darwin dalam otobiografinya menjelaskan metode yang tepat untuk menghindari bias ini adalah dengan menemukan pemikiran atau fakta berdasarkan pengalaman peneliti sendiri, sekalipun bertentangan dengan hasil umum yang telah dipublikasikan. Karena apabila pemikiran tersebut benar, maka hal tersebut akan dirasakan oleh semua orang sebagai pemikiran yang benar. Bias terhadap verifikasi merupakan hal yang biasa, namun dugaan kelemahan lainnya terhadap studi kasus dan metode kualitatif adalah memungkinkan lebih banyak ruang terhadap penilaian subjektif peneliti, dibandingkan dengan metode kuantitatif. Akan tetapi, Donald Campbell telah menunjukkan bahwa kritik tersebut adalah keliru. Karena studi kasus juga memiliki kekakuan tersendiri, meskipun tidak seketat metode kuantitatif yang harus menggunakan hipotetiko-deduktif. Hal tersebut justru dipandang sebagai kelebihan dari studi kasus, di mana memungkinkan peneliti lebih dekat dengan situasi kehidupan nyata dari unit individu dan dapat langsung menguji pandangan mereka terkait dengan suatu fenomena, khususnya tentang hal-hal yang biasanya mereka lakukan dalam praktek. Menurut Campbell, Ragin, Geertz, Wieviorka, dan Flyvbjerg, peneliti yang telah melakukan studi kasus yang mendalam biasanya melaporkan bahwa pandangan, asumsi, konsep, maupun hipotesis mereka yang terbentuk di awal penelitian adalah salah. Studi kasus memaksa peneliti untuk merevisi hipotesis awal penelitian mereka. Ragin (1992) menyebut hal ini sebagai fitur khusus dari penelitian dengan sampel yang kecil, dan mengenai kritik bahwa studi kasus tunggal lebih rendah mutunya apabila dibandingkan dengan studi kasus ganda adalah tidak benar. Pada kenyataannya, studi kasus

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

9

tunggal merupakan penelitian yang paling banyak dilakukan oleh peneliti karena gagasan dan bukti dalam suatu fenomena dapat dihubungkan dengan individu dalam berbagai cara. Geertz (1995) menyatakan bahwa fenomena umum dapat diteliti dengan menggunakan studi kasus, seperti yang telah dilakukan oleh Eckstein (1975), Campbell (1975), dan Wieviorka (1992). Dalam studi kasus yang dilakukan oleh ilmuwan sosial, teori yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan fokus penelitian akan menghasilkan prediksi dan ekspektasi yang berbeda, dan ilmuwan tidak akan tetap menggunakan suatu teori kecuali apabila sebagian besar fenomena bisa dikonfirmasi. Namun, dalam studi kasus tunggal penelitian kualitatif, ilmuwan sosial sering tidak menemukan penjelasan yang memuaskan tentang suatu fenomena. Untuk itu, kritikus mengatakan mustahil apabila hasil suatu studi kasus tunggal adalah benar, karena rentan terhadap pemaksaan interpretasi subjektif. Hal itu tidak lain adalah falsifikasi, bukan verifikasi yang menjadi karakteristik dari studi kasus. Karena pertanyaan tentang subjektivisme dan bias terhadap verifikasi berlaku untuk semua metode, tidak hanya untuk studi kasus dan metode kualitatif. Misalnya, unsur subjektivisme tampak signifikan dalam pemilihan kategori dan variabel untuk penelitian kuantitatif, ataupun dalam kuesioner terstrukturnya. Besarnya probabilitas unsur ini dalam penelitian kuantitatif karena (1) subjektivisme ini bertahan tanpa dikoreksi selama penelitian, dan (2) mungkin mempengaruhi hasil penelitian karena peneliti kuantitatif tidak seperti halnya peneliti studi kasus yang dekat dengan mereka yang diteliti, sehingga subjektivisme ini tidak mungkin dikoreksi oleh objek studi. George dan Bennett (2005) mengatakan ketika peneliti studi kasus meminta partisipan untuk memikirkan X saat mereka melakukan Y, partisipan mungkin saja menjawab bahwa mereka sedang memikirkan Z, dan apabila peneliti tidak berpikir bahwa Z sebagai variabel kausal yang relevan maka peneliti dapat membuat suatu variabel yang baru. Berbeda dengan studi kasus yang melibatkan pengkoreksian dari objek studi, metode statistik hanya dapat mengidentifikasi kasus menyimpang setelah pengumpulan data melalui kuesioner, dengan pertanyaan standar yang telah ditetapkan. Apabila peneliti statistik melakukan survei tatap muka dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka seperti halnya peneliti studi kasus, justru yang terjadi adalah peneliti tidak dapat mengidentifikasi variabel-variabel kausal yang berasal dari jawaban sampel besar tersebut. Menurut Ragin (1992) fitur ini menjelaskan mengapa penelitian kualitatif dengan sampel kecil paling sering mengalami pengembangan teoritis. Karena penelitian dengan sampel besar harus meninjau kembali batas-batas dari unit penelitiannya. Penelitian dengan sampel besar harus lebih peka terhadap keragaman dan heterogenitas kasus, termasuk dalam hal analisisnya. Meskipun pada kenyataannya, penelitian kuantitatif lebih berperan penting terhadap kemajuan teori ilmu sosial.

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

10

Perbedaan antara sampel besar dan kasus tunggal dapat juga dipahami dari segi fenomenologi untuk pembelajaran manusia. Apabila tujuan peneliti adalah untuk memahami fenomena yang diteliti, maka penelitian hanyalah sebagai suatu bentuk pembelajaran. Apabila diasumsikan bahwa penelitian, seperti proses pembelajaran lainnya, dapat dilakukan dengan fenomenologi untuk pembelajaran manusia, maka menjadi jelas bahwa bentuk pembelajaran lanjutan tersebut hanya dapat dicapai ketika para peneliti menempatkan dirinya dalam konteks yang sedang dipelajari. Hanya dengan cara ini peneliti dapat memahami sudut pandang dan perilaku partisipan yang menjadi karakteristik khas dari pelaku sosial. Menurut Giddens, tepat untuk mengatakan bahwa dalam menghasilkan deskripsi yang valid tentang aktivitas sosial harus melibatkan partisipasi peneliti dan partisipan. Karena penelitian melibatkan pengetahuan bersama, baik peneliti dan partisipan, pihak yang melakukan tindakan dan yang menyusun kembali dunia sosial tersebut. Dari sudut pandang ini, unsur proksimitas dengan realitas sangat diperlukan studi kasus, dan proses pembelajaran yang dihasilkan peneliti merupakan prasyarat untuk pembelajaran lanjutan. Dalam konteks ini, seperti kesimpulan dari Beveridge, bahwa banyak penemuan yang berasal dari pengamatan intensif terhadap kasus individu daripada metode statistik yang diterapkan untuk kelompok yang besar. Berangkat dari hal ini, kita dapat memahami mengapa peneliti studi kasus sering melakukan pembatasan praduga dan teori dalam penelitiannya. Atas dasar ini, bahwa studi kasus bias terhadap verifikasi dipahami sebagai kecenderungan untuk mengkonfirmasi pemikiran yang terbentuk dari peneliti sebelumnya. Studi kasus tidak mengandung bias yang lebih besar terhadap verifikasi apabila dibandingkan dengan metode penelitian lainnya, melainkan mengandung bias yang lebih besar terhadap falsifikasi praduga peneliti. Kesalahpahaman No.5 Kesulitan untuk meringkas dan mengembangkan proposisi umum dan teori berdasarkan studi kasus tertentu Kesalahpahaman ini terjadi karena studi kasus mengandung banyak elemen narasi, di mana teori wacana telah mendefinisikan teks sebagai narasi dan segala sesuatunya sebagai teks. Untuk itu, sulit untuk menghindari subjek narasi pada studi kasus dan penelitian kualitatif. Peneliti lain mencatat bahwa narasi ada dalam semua masyarakat, baik modern dan kuno, dan bahwa narasi merupakan bentuk yang paling mendasar untuk memahami pengalaman ataupun dunia yang dikonstruksi secara narasi. Namun, permasalahannya adalah manusia rentan terhadap narasi yang keliru, yaitu kecenderungan manusia untuk menyederhanakan data melalui interpretasi dan preferensi untuk bercerita ringkas atas kumpulan data yang lebih kompleks (Taleb, 2010). Karena lebih mudah untuk mengingat dan membuat keputusan dari narasi yang bermakna daripada serangkaian data yang

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

11

tidak bermakna. Dengan demikian, kita memberi makna terhadap data dan mengembangkan narasi. Dalam ilmu sosial, cara untuk menghindari narasi yang keliru adalah dengan pemeriksaan validitas dan reliabilitas dalam hal bagaimana data dikumpulkan dan digunakan. Narasi yang padat memang akan memberikan perlindungan terhadap narasi yang keliru. Narasi tersebut biasanya mengalami kompleksitas dan kontradiksi dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, sulit atau bahkan tidak mungkin untuk meringkas kehidupan nyata ke dalam suatu formula, proposisi umum, atupun teori-teori (Benhabib, 1990; Mitchell & Charmaz, 1996; Roth, 1989; Rouse, 1990; White, 1990). Hal ini cenderung dilihat oleh kritikus sebagai kelemahan dari studi kasus. Bagi peneliti studi kasus sendiri, kesulitan untuk meringkas narasi bukanlah menjadi masalah utama. Namun, yang menjadi masalah adalah peneliti telah menemukan permasalahan yang sangat kaya dari suatu studi kasus, dan pertanyaannya adalah apakah ringkasan dan generalisasi, yang dipandang para kritikus sebagai hal yang ideal, harus dilakukan dan selalu diinginkan oleh peneliti. Friedrich Nietzsche (1974) jelas menyatakan bahwa orang tidak boleh terlalu berharap untuk membebaskan ambiguitas yang kaya dalam ilmu pengetahuan, sehingga Nietzsche menyarankan narasi dalam bentuk aslinya. Lisa Peattie (2001) secara eksplisit juga mengemukakan hal yang sama dan memperingatkan upaya seseorang yang meringkas studi kasus ke dalam narasi yang padat. Karena yang sangat bernilai dari studi kasus itu adalah sifat kontekstual dan keterkaitannya, dan akan hilang ketika seseorang mencoba untuk meringkasnya ke dalam konsep besar yang eksklusif. Menurut Peattie, studi kasus lebih berguna bagi praktisi dan mereka yang tertarik dengan teori sosial daripada untuk penemuan faktual ataupun generalisasi teori pada tingkat yang tinggi. Dalam penulisan studi kasus, peneliti dapat memilih untuk menceritakan narasi dalam keberagaman. Karena narasi memiliki banyak sisi, kompleks, dan kadang-kadang bertentangan dengan aktor dalam kasus yang diceritakan peneliti. Bagi peneliti yang tidak ingin menghubungkan studi kasus mereka dengan teori-teori dari suatu spesialisasi akademik, mereka dapat menghubungkannya ke posisi filosofis yang lebih luas dan melintasi spesialisasi tersebut. Dengan cara ini, peneliti memberikan ruang bagi pembaca dari latar belakang yang berbeda-beda untuk membuat interpretasi yang berbeda dan menarik kesimpulan yang beragam tentang kasus apa itu. Tujuannya adalah untuk memungkinkan penelitian dengan spesialisasi dan unit individu yang berbeda-beda. Karena pembaca tidak diarahkan kepada satu jalur teori atau memberi kesan bahwa kebenaran mungkin terletak pada jalur tersebut. Dengan demikian, pembaca diajak untuk menentukan makna mereka sendiri terhadap kasus tersebut dan menginterogasi interpretasi peneliti dan partisipan untuk menjawab pertanyaan kategoris dari setiap studi kasus: What is the case a case of?

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

12

Kembali ke fenomenologi untuk pembelajaran manusia, kita dapat memahami mengapa meringkas studi kasus tidak selalu berguna dan kadang-kadang menjadi kontraproduktif. Pengetahuan pemula mengandalkan pereduksian formula dari suatu teori, sedangkan para ahli mengandalkan pengalaman dari ribuan kasus individu dan kemampuannya untuk membedakan konteks, tanpa harus mereduksinya ke dalam suatu formula. Hal ini karena para ahli bekerja atas dasar pengalaman kasus yang rinci. Dalam hal ini, ringkasan studi dari para ahli dirumuskan hanya karena sistem yang memerlukannya. Para ahli yang meringkas penelitiannya ke suatu teori adalah terkait dengan karakteristik dari budaya penelitian, peneliti, dan aktivitas teoritis. Namun, Bourdieu (1977) menegaskan bahwa sesuatu yang penting akan hilang oleh karena pereduksian menjadi formula teoritis. Untuk itu, justru rasa takut akan kehilangan sesuatu itulah yang membuat peneliti studi kasus berhati-hati meringkas studi mereka, sehingga peneliti studi kasus cenderung skeptis tentang detail fenomenologis yang mendukung penutupan konseptual. Cheryl Mattingly (1991) menyatakan bahwa narasi tidak hanya memberikan bentuk yang bermakna terhadap pengalaman yang telah kita lalui, tetapi juga memberikan pandangan ke depan, membantu kita untuk mengantisipasi situasi yang belum pernah kita alami, dan memungkinkan kita untuk membayangkan alternatif masa depan. Pertanyaan narasi memang tidak bisa dimulai secara eksplisit dari asumsi teoritis, melainkan sebaiknya dimulai dari minat peneliti terhadap fenomena tertentu. Pertanyaan narasi kemudian berfungsi untuk mengembangkan deskripsi dan interpretasi dari fenomena tersebut berdasarkan sudut pandang peneliti, partisipan, dan lainnya. Benar bahwa meringkas studi kasus merupakan hal yang sulit, terutama karena proses studi kasus. Hal ini bukanlah masalah hasil dari studi kasus tersebut. Masalahnya adalah kita lebih sering menggunakan studi realitas sebagai metode penelitian daripada studi kasus. Untuk itu, peneliti seringkali tidak ingin meringkas dan mengeneralisasi studi kasus mereka. Penelitian yang baik memang seharusnya dibaca sebagai satu narasi yang utuh. Meskipun terdapat kesulitan atau ketidaksukaan dalam meringkas studi kasus tertentu, studi kasus tersebut pasti berkontribusi terhadap pengembangan pengetahuan, misalnya dalam menggunakan prinsip-prinsip untuk menguji proposisi, seperti yang telah dijelaskan pada kesalahpahaman kedua dan ketiga.

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

13

TREN PERKEMBANGAN PENELITIAN STUDI KASUS

Bab ini dimulai dengan menunjukkan suatu paradoks dalam penelitian studi kasus, yaitu bahwa meskipun studi kasus banyak digunakan dalam ilmu sosial dan telah menghasilkan banyak karyakarya klasik di sini, dapat diamati bahwa studi kasus sebagai suatu metodologi umumnya dipandang rendah dan bahkan diabaikan oleh sebagian besar akademi. Namun, seperti yang dikemukakan oleh George dan Bennett (2005) sekarang ini pelonggaran posisi telah terjadi. Pendekatan kolaboratif jauh lebih memberikan keuntungan, di mana para ahli mulai memandang bahwa pendekatan metodologis yang berbeda memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda, dan pada dasarnya keduanya dapat saling melengkapi. Pembagian lama dan antagonis antara kuantitatif dan kualitatif tidak memberikan keuntungan apa-apa, dan untuk itu sarjana generasi baru dilatih baik dalam metode kuantitatif dan kualitatif. Bagi para sarjana, yang diutamakan dari suatu penelitian adalah permasalahannya, bukan metodologinya. Maksudnya, suatu metode hanya digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Untuk itu, kombinasi antara metode kualitatif dan kuantitatif akan menghasilkan jawaban penelitian yang terbaik. Jika saat revolusi kuantitatif dalam ilmu sosial disebut positivistik, maka sekarang ini kita berada pada momen post-positivis dan mungkin post-paradigmatik (Schram, 2006). Perkembangan terbaru dalam ilmu sosial baru adalah commonsensical atau akal sehat. Akal sehat untuk menghentikan perang yang tidak dapat dimenangkan oleh ilmu sosial, seperti perang metode antara kuantitatif dan kualitatif, atau perang ilmu pengetahuan antara ilmu sosial dan ilmu alam. Pada akhirnya, akal sehat mengakui bahwa studi kasus dan metode statistik tidak bertentangan, namun saling melengkapi. Hubungan yang saling melengkapi antara studi kasus dan metode statistik dapat diringkas seperti tabel di bawah ini. Kekuatan utama dari studi kasus adalah kedalaman (rinci, lengkap, kaya, dan beraneka ragam), sedangkan untuk metode statistik adalah keluasannya. Jika Anda ingin memahami fenomena pengabaian anak dalam keluarga, maka Anda perlu melakukan studi kasus dengan melihat secara seksama apa penyebabnya, bagaimana mencegahnya, dan sebagainya. Jika Anda ingin memahami seberapa luas fenomena ini, hubungannya dengan fenomena lain dan populasi

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

14

yang berbeda, dan tingkat signifikansi statistiknya, maka Anda harus menggunakan metode statistik. Jika Anda ingin memahami keduanya, maka Anda perlu melakukan studi kasus dan juga metode statistik. Hubungan yang saling melengkapi dari kedua metode ini adalah sederhana dan indah.

Studi Kasus Kekuatan Dalam Validitas konseptual tinggi Luas

Metode Statistik

Memahami seberapa luas fenomena dari seluruh populasi

Memahami konteks dan proses

Mengukur korelasi antara populasi dengan kasus

Memahami penyebab fenomena dan mengaitkan penyebab dan hasil Mengembangkan hipotesis dan pertanyaan penelitian yang baru Kelemahan Bias seleksi, yang melebih-lebihkan atau mengecilkan hubungan

Pembentukan kredibilitas pada tingkat probabilistic

Peregangan konseptual, dengan mengelompokkan kasus yang berbeda untuk mendapatkan sampel yang lebih besar

Lemahnya pemahaman tentang peristiwa dalam populasi dari fenomena yang diteliti Signifikansi statistik tidak jelas

Lemahnya pemahaman tentang konteks, proses, dan mekanisme kausal Korelasi tidak berarti sebab-akibat Lemahnya mekanisme untuk mendorong hipotesis baru

The International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Smelser & Baltes, 2001) mengatakan benar apabila studi kasus dan metode statistik dapat mencapai kemajuan yang jauh lebih ilmiah secara bersama-sama dibandingkan sendiri-sendiri. Namun, keseimbangan antara studi kasus dan metode statistik ini masih bias dalam ilmu sosial belakangan ini, sehingga begitu banyak orang yang mengatakan studi kasus sebagai disiplin ilmu yang paling tidak menguntungkan. Untuk

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

15

saat ini, yang perlu dilakukan adalah klarifikasi metodologis terhadap studi kasus dan hubungannya dengan metode ilmu sosial lainnya. Untuk itu, bab ini juga dimaksudkan sebagai bentuk klarifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bent Flyvbjerg. (2011). "Case Study dalam Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, (eds)., The Sage Handbook of Qualitative Research, 4th Edition. Thousand Oaks, CA: Sage Publication, Halaman 301-316. Flyvbjerg, Bent. (2006). "Five Misunderstandings About Case-Study Research", dalam Qualitative Inquiry, 12(2): 219-245 George, Alexander L. and Bennett, Andrew. (2005) Case studies and theory development in the social sciences. London: MIT Press. Gerring, John. (2005) Case Study Research. New York: Cambridge University Press.

Studi Kasus: Paradoks dan Perkembangan

16