BAB II Paradoks

51
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008) dalam (Haryono, 2008). Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil- 10

Transcript of BAB II Paradoks

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan PertanianPembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008) dalam (Haryono, 2008).Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul Getting Agriculture Moving dijelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian (Haryono, 2008).

Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher. Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak Repelita I (1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum 19 Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industripengolah bahan mentah menjadi bahan baku.3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan danmeningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.Menurut (Suhendra 2004), dalam Haryono (2008) di banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tersebut, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititik beratkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri penghasil sarana produksi peratnian. Pada tahap kedua, pembangunan dititik beratkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal. Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 40 persen, sementara itu serapan tenaga kerja pada sektor pertanian mencapai lebih dari 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. Kebijakan untuk menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai dengan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang dan Syafaat, 2000) dalam (Haryono, 2008). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan upaya menciptakan prakondisi tinggal landas. Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) dalam Haryono (2008) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang,(3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor. Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa beberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan penerimaan devisa di satu pihak dan penghematan devisa di lain pihak, sehingga memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahirkan agroindustri (Harjadi, 2013).Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian telah menimbulkan kecenderungan menurunnya harga produk-produkpertanian yang berakibat negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0,28 10,08 % dan akan menurunkan pendapatan rumah tangga perdesaan berkisar antara 2,10 3,10%. Kedua, peningkatan produktivitas dan produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh nilai tukar petani (NTP) yang mempunyai tendensi (trend) yang menurun (negatif) sebesar 0.68 persen per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya bisa berkembang dalam kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi dan mendapat intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dianggap sebagai most-heavily regulated (Harjadi, 2013).Menurut Arifin (2004) dalam Haryono (2008), tidak berkembangnya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan proteksi yang sistematis. Akibatnya, proteksi besar-besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani.Menurut Sudaryanto et al. (2005) dalam Haryono (2008), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal dan spatial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pengembangan komoditas seringkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani. Menyadari akan hal tersebut di atas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian.Suryana (2006) dalam Haryono (2008) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal.Sejak awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, ketika krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, maka Indonesia kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005 dalam Haryono, 2008).Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertaniandalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005 dalam Haryono, 2008).Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan tentang pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) dalam Haryono (2008) sebagai berikut:1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran.2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana sebagian besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan.3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia.4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen,sehingga dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Olehkarena itu, akselerasi pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran.6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor industri. Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi.Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor.Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal sebagai berikut:1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor.2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan dengan hal ini, Sudaryanto dan Munif (2005) dalam Haryono (2008), menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dansumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan,pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakanproteksi dan promosi lainnya (Departemen Pertanian, 2005).

2.2 Paradoks Pembangunan PertanianProses transformasi struktural dari sektor agraris ke industri, ataupun pergeseran dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, ditengarai membawa beragam dampak yang menyertainya. Bukan saja memudarkan nilai-nilai lokalitas yang selama ini tumbuh dalam kehidupan masyarakat, namun yang lebih nyata lagi, proses itu melahirkan tuntutan dan aspirasi baru bagi para pengambil kebijakan di berbagai negara. Salah satunya adalah terkait dengan istilah paradoks pembangunan (Sutjipto, 2012).Perdebatan soal paradoks pembangunan, dalam dua dasa warsa terakhir tampak mengemuka menjadi kajian serius para perencana pembangunan di berbagai negara, khususnya negara-negara yang sedang membangun. Diskursus antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan semakin membengkaknya angka pengangguran dan kemiskinan massa, melahirkan beragam penggugatan terhadap proses pembangunan yang dilakukan. Termasuk di dalamnya yang terkait dengan paradoks di bidang pembangunan pertanian itu sendiri (Sastraatmadja, 2013).Di negara kita, istilah paradoks pembangunan pertanian seringkali muncul menjadi topik pembahasan yang menghangatkan. Esensi dari paradoks tersebut antara lain : sumber daya pertanian yang dimiliki sangat melimpah, namun seiring dengan itu jumlah petani miskin pun tetap cukup tinggi. Lalu muncul pertanyaan mengapa kita tidak mampu melepaskan diri dari paradoks yang demikian?Persoalan semacam ini, tentu bukan sebuah tebak-tebakan, manakala kita serius untuk mencari solusinya. Paradoks pembangunan pertanian adalah suasana riel yang dapat dirasakan. Indonesia yang dikenali sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alam dan berlimpah sumber daya manusianya, tidak seharusnya terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal. Dengan segudang potensi yang dimilikinya, khususnya yang terkait dengan sumber daya pertanian yang dimiliki, Indonesia mestilah mampu tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Hal seperti ini, sebenarnya telah mampu kita buktikan. Tepatnya, tatkala bangsa kita mampu memproklamirkan diri sebagai Negara yang telah mampu berswasembada beras pada tahun 1984/1985 lalu (Sastraatmadja, 2013).Mengacu pada logika berpikir yang demikian inilah, maka dalam rangka membangun negara dan bangsa yang benar-benar mampu berjaya di sektor pertanian, tentu sangat dibutuhkan adanya kemauan politik sekaligus tindakan politik yang sungguh-sungguh dan betul-betul menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap masa depan pembangunan pertanian serta nasib kaum taninya itu sendiri. Dalam Konfrensi Dewan Ketahanan Pangan 2005 ditegaskan bahwa 55% dari jumlah penduduk miskin di Negara kita adalah petani, dan 75% dari petani miskin itu adalah petani tanaman pangan. Jika kita sandingkan dengan data BPS, pernyataan ini tidak jauh berbeda, karena dari 36 juta penduduk miskin (17% dari total penduduk), lebih dari 15 juta orang miskin tersebut berada di daerah pedesaan, dan umumnya terlibat dengan sektor pertanian (Sutjipto, 2012).Hasil Sensus Pertanian 2003 memperlihatkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian meningkat menjadi 25,4 juta dari sekitar 20,8 juta paqda tahun 1993, atau meningkat sebesar 2,2% per tahun. Jumlah petani gurem pun ikut meningkat dari 10,8 juta (52,7%) menjadi 13,7 juta (56,5%) rumah tangga. Angka-angka yang digambarkan diatas, jelas mengisyaratkan bahwa kaum tani di negeri ini, belumlah mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan, khususnya kemiskinan struktural. Teori dasar kemiskinan yang disampaikan Prof. Amartya Sen, semakin jelas terbukti di Indonesia. Menurut Sen, petani terjebak dalam suasana miskin, karena mereka relatif tidak memiliki kemampuan (entitlement) bahkan tidak memiliki kemerdekaan (freedom) untuk melakukan sesuatu bagi keluarga dan bangsanya. Dia berusaha memberikan argument yang lebih komprehensif, tidak hanya fakta bahwa petani tidak memiliki penghasilan yang memadai atau akibat dari suatu kemiskinan, namun lebih banyak tentang buruknya akses atau sebab terjadinya sebuah kemiskinan (Bali Post, 2004).Fenomena lain yang patut dicermati terkait dengan kemiskinan petani adalah adanya pergeseran peran sektor non usahatani yang dianggap semakin penting bagi petani untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Sejak dua dekade terakhir peran pendapatan luar usaha tani (off-farm income) menjadi komponen yang sangat penting bagi ekonomi rumah tangga petani (Satraatmadja, 2013).Menurut kajian Bustanul Arifin (2006) dengan melakukan analisis terhadap Hasil Sensus Pertanian dan Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), maka ditemukan data bahwa selama 1983 - 2002, pendapatan rumah tangga pedesaan meningkat sebesar 2,4% per tahun, sedangkan pendapatan yang berasal dari dalam usahatani (on-farm income) hanya meningkat sebesar 1,1% per tahun. Pergeseran pangsa sektor luar usahatani terutama terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, khususnya terjadi setelah pendapatan usahatani dari tanaman pangan menurun drastis, sementara pendapatan dari upah/gaji dari luar pertanian meningkat pesat. Sektor luar usahatani yang meningkat pesat adalah perdagangan, transportasi dan jasa, sementara pendapatan dari industri pedesaan, terlihat stagnan ( Sastraatmadja, 2013).Menggeser status dari petani miskin menuju petani sejahtera, bukanlah hal yang cukup mudah untuk dilakukan. Penelaahan yang lebih tajam terhadap Nilai Tukar Petani (NTP) misalnya, yang selama ini dijadikan salah satu indikator kesejahteraan petani, rupanya perlu memperoleh perhatian yang lebih serius lagi. Di sini penting dipersoalkan apakah indikator tersebut masih relevan untuk digunakan? Apakah tidak ada ukuran lain yang lebih tepat untuk diterapkan, mengingat sekarang ini telah terjadi berbagai perubahan dalam kehidupan kaum tani itu sendiri, baik itu yang berhubungan dengan tata kehidupan petani atau pun yang berkaitan dengan berubahnya kelembagaan petani di pedesaan (Ruauw, 2010).Pada kondisi NTP yang menurun (juga berarti semakin murahnya harga komoditas pertanian secara relatif dibanding komoditas non pertanian), maka petani dipastikan tidak akan mampu mengakses perubahan teknologi pertanian, yang merupakan salah satu prasyarat tercapainya efesiensi. Akibatnya petani tetap akan terpuruk dan terjerambab dalam jebakan kemiskinan sekaligus menjauhkan kehidupannya dari suasana sejahtera. Hal ini tampak menjadi semakin argumentatif, para petani kecil dan tidak mampu menggapai skala ekonomi, umumnya tidak akan dapat menikmati manfaat besar dari efesiensi usahatani, sehingga penerimaan ekonomi dari kelompok ini juga tidak cukup mampu menopang ekonomi rumah tangganya (Ruauw, 2010).

2.3 Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani2.3.1 Biaya usahataniBiaya adalah nilai korbanan yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil. Menurut kerangka waktu, biaya dapat dibedakan menjadi biaya jangka pendek dan biaya jangka panjang. Biaya jangka pendek terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost), sedangkan dalam jangka panjang semua biaya dianggap / diperhitungkan sebagai biaya variabel (Hernanto, 1991). Biaya usahatani akan dipengaruhi oleh jumlah pemakaian input, harga dari input, tenaga kerja, upah tenaga kerja, dan intensitas pengelolaan usahatani. Menurut Rahardja, 2006 dalam Sumarni, 2011, biaya-biaya tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Biaya tetap (fixed cost FC)Biaya tetap merupakan biaya yang secara total tidak mengalami perubahan, walaupun ada perubahan volume produksi atau penjualan (dalam batas tertentu). Artinya biaya yang besarnya tidak tergantung pada besar kecilnya kuantitas produksi yang dihasilkan. Yang termasuk biaya tetap seperti gaji yang dibayar tetap, sewa tanah, pajak tanah, alat dan mesin, bangunan ataupun bunga uang serta biaya tetap lainnya.2. Biaya variabel (variable cost VC)Biaya variabel merupakan biaya yang secara total berubah-ubah sesuai dengan perubahan volume produksi atau penjualan. Artinya biaya variabel berubah menurut tinggi rendahnya ouput yang dihasilkan, atau tergantung kepada skala produksi yang dilakukan. Yang termasuk biaya variabel dalam usahatani seperti biaya bibit, biaya pupuk, biaya obat-obatan, serta termasuk ongkos tenaga kerja yang dibayar berdasarkan penghitungan volume produksi.

2.3.2 Penerimaan usahataniMenurut Rahim dan Diah (2008) dalam Sumarni (2011), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Sedangkan menurut Hernanto (1991), menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah penerimaan dari semua usahatani meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai yang dikonsumsi. Penerimaan usahatani merupakan total penerimaan dari kegiatan usahatani yang diterima pada akhir proses produksi. Penerimaan usahatani dapat pula diartikan sebagai keuntungan material yang diperoleh seorang petani atau bentuk imbalan jasa petani maupun keluarganya sebagai pengelola usahatani maupun akibat pemakaian barang modal yang dimilikinya.Penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan bersih usahatani dan penerimaan kotor usahatani (gross income). Penerimaan bersih usahatani adalah merupakan selisih antara penerimaan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga petani. Sedangkan penerimaan kotor usahatani adalah nilai total produksi usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun tidak dijual (Soekartawi, dkk., 1986 dalam Sumarni, 2011).Penerimaan usahatani juga dipengaruhi oleh produksi fisik yang dihasilkan, dimana produksi fisik adalah hasil fisik yang diperoleh dalam suatu proses produksi dalam kegiatan usahatani selama satu musim tanam. Penerimaan usahatani akan meningkat jika produksi yang dihasilkan bertambah dan sebaliknya akan menurun bila produksi yang dihasilkan berkurang. Disamping itu, bertambah atau berkurangnya produksi juga dipengaruhi oleh tingkat penggunaan input pertanian.

2.3.3 Pendapatan usahataniPendapatan usahatani adalah total pendapatan bersih yang diperoleh dari seluruh aktivitas usahatani yang merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan (Hadisapoetra,1973).Menurut Soekartawi, dkk. (1986) dalam Sumarni (2011) menguraikan dan membagi pendapatan usahatani menjadi dua, yaitu: pendapatan kotor usahatani (gross farm income) dan pendapatan bersih usahatani (net farm income). Pendapatan kotor usahatani yaitu nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu yang meliputi seluruh produk yang dihasilkan baik yang (1) dijual, (2) dikonsumsi rumah tangga petani, (3) digunakan dalam usahatani seperti untuk bibit atau makanan ternak, (4) digunakan untuk pembayaran, dan (5) untuk disimpan. Untuk menghitung nilai produk tersebut, harus dikalikan dengan harga pasar yang berlaku, yaitu harga jual bersih ditingkat petani.Sementara pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Pendapatan usahatani dipengaruhi oleh penerimaan usahatani dan biaya produksi. Pendapatan usahatani ditentukan oleh harga jual produk yang diterima ditingkat petani maupun harga-harga faktor produksi yang dikeluarkan petani sebagai biaya produksi. Jika harga produk atau harga faktor produksi berubah, maka pendapatan usahatani juga akan mengalami perubahan.

2.3.4 Model Sistem Usahatani TerdiversifikasiPendekatan sistem usahatani melalui pengembangan tanaman sekunder yang lebih dikenal sebagai CGPRT Crops (coarse grain, pulses, roots, dan tubers) dapat dijadikan strategi dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan khususnya sustainable diversified agriculture. Sugino dan Hutagaol (2004) dalam Sumarni (2011) menyatakan bahwa diversifikasi pertanian didefinisikan sebagai peningkatan jumlah aktivitas pertanian. Diversifikasi pertanian digolongkan ke dalam diversifikasi horizontal dan diversifikasi vertikal. Diversifikasi horizontal mencakup keragaman aktivitas yang dilakukan dalam unit produksi usahatani dengan tujuan utama mengantisipasi resiko kegagalan produksi dan fluktuasi harga output, sedangkan diversifikasi vertikal memasukkan aktivitas untuk menghasilkan pendapatan di sektor off-farm ke dalam aktivitas produksi on-farm dengan tujuan utama untuk memberikan tambahan nilai (value added) pada produk primer yang dihasilkan dari kegiatan on-farm.Menurut Fatah (2007) dalam Sumarni (2011), diversifikasi atau penganekaragaman pertanian adalah usaha untuk mengganti atau meningkatkan hasil pertanian yang monokultur (satu jenis tanaman) ke arah pertanian yang bersifat multikultur (banyak macam tanaman). Pengertian diversifikasi yang demikian disebut diversifikasi horizontal. Sedangkan diversifikasi vertikal adalah usaha untuk memajukan industri-industri pengolahan hasil-hasil pertanian yang bersangkutan. Keuntungan-keuntungan yang didapat dari diversifikasi dapat dikemukan menjadi empat bagian yaitu dari segi penawaran, permintaan, nutrisi, dan tujuan pembangunan. Dari segi penawaran, diversifikasi dapat mendatangkan kenaikan pendapatan petani karena sistem tumpang sari atau pertanian campuran semuanya dapat dilakukan pada lahan yang sama. Dari segi permintaan, kenaikan dapat diharapkan baik dari dalam negeri maupun luar negeri selama tanaman diversifikasi benar-benar mempunyai elastisitas pendapatan yang lebih besar. Pada waktu yang bersamaan, produksi tanaman-tanaman yang mempunyai nutrisi atau nilai gizi yang lebih tinggi akan terdorong sehingga kesehatan penduduk menjadi lebih baik. Akhirnya dari segi tujuan pembangunan ekonomi keseluruhan, diversifikasi sangat bermanfaat (Fatah, 2007) dalam Sumarni (2011).

2.4 Strategi Pemenuhan Kebutuhan DasarStrategi pemenuhan kebutuhan dasar adalah cara atau upaya petani memperkuat usahanya dengan memanfaatkan peluang yang ada, meskipun dengan kelemahan atau keterbatasan yang dimiliki. Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam keadaan normal, buruh tani harus berjuang keras untuk mempertahankan kehidupan rumah tangganya (survive). Cara yang umum dilaksanakan adalah mencari pekerjaan lain untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan mencari pekerjaaan untuk anggota keluarga lain. Tanpa melaksanakan strategi semacam itu, akan sulit bagi mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya meskipun ada juga sebagian kecil dari mereka yang mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Konsekuensinya mereka harus berusaha terus untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan (Breeman dalam Febriana, 2010).Cederroth (1995) dalam Febriana (2010) mengemukakan secara umum mengenai strategi yang dikembangkan secara aktif oleh masyarakat tani, sebagian besar berkaitan dengan aspek ekonomi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar. Upaya-upaya ini terutama ditujukan untuk bertahan hidup. Berbagai macam strategi yang diupayakan oleh masyarakat miskin, secara umum dapat dibedakan dalam dua pendekatan. Pertama, pendekatan yang lebih aktif dilakukan dengan cara menambah pemasukan. Kedua, pendekatan yang pasif dilakukan dengan cara memperkecil pengeluaran. Sering dua pendekatan ini dilakukan secara bersama-sama yaitu secara lebih aktif menambah pemasukan tetapi juga sekaligus berusaha mengurangi pengeluaran.Selanjutnya Faturrochman dkk (2000) dalam Febriana (2010), menegaskan bahwa dalam suatu keluarga cenderung ada satu anggota keluarga yang aktif secara ekonomi. Ada dua hal yang mempengaruhi pemanfaatan pekerja keluarga ini. Pertama, penghasilan keluarga yang diperoleh kepala keluarga, baik penghasilan pokok maupun penghasilan sampingan sangat terbatas. Kedua, tersedianya lapangan kerja di daerah tersebut. Dari berbagai sumber, diperoleh informasi bahwa faktor terbesar yang mendorong anggota rumah tangga selain kepala rumah tangga untuk bekerja adalah pemahaman bahwa bekerja merupakan suatu kebutuhan. Namun, hal ini sering menemui hambatan karena tidak tersedianya peluang kerja sehingga mereka terpaksa melakukan pekerjaan apa saja meskipun dengan resiko mendapatkan penghasilan/ insentif yang rendah. Jenis pekerjaan tidak dijadikan masalah yang penting mampu memperoleh penghasilan.Pemenuhan kebutuhan dasar dari setiap individu/masyarakat baik sebagai petani, pedagang, pegawai dan buruh membutuhkan adanya suatu metode atau cara yang disebut dengan strategi pemenuhan kebutuhan dasar (basic need strategy). Strategi ini sangat penting agar dalam melakukan aktualisasi kegiatan hidup atau pekerjaan dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas hidupnya melalui suatu proses yang ditempuh menurut potensi yang tersedia dan pemanfaatan potensi untuk mencapai tujuan hidup (Ismail, 2004 dalam Febriana, 2010). Unsur-unsur atau faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi pemenuhan kebutuhan dasar yaitu pendidikan, pendapatan dan tanggungan keluarga.menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi pemenuhan kebutuhan dasar yaitu pendidikan, pendapatan dan tanggungan keluarga.Friedman (1979) dalam Febriana (2010) mengemukakan adanya delapan dasar kekuatan sosial sebagai sarana dasar yang tersedia dalam ekonomi rumah tangga untuk mempertahankan keberlangsungan rumah tangga, yaitu :1. Ruang hidup, mempertahankan ruang hidup merupakan dasar wilayah ekonomi rumah tangga. Pertahanan hidup mencakup ruang fisik dimana anggota rumah tangga memasak, makan, tidur dan jaminan perlindungan terhadap barang-barang milik pribadi. Dengan pengertian yang lebih luas merupakan pertahanan akan rumah yang disosialisasikan sebagai tempat aktivitas dukungan mempertahankan rumah tangga.2. Waktu luang, merupakan waktu yang tersisa diluar waktu yang diperlukan untuk menambah pekerjaan atau penghasilan3. Pengetahuan dan Keterampilan, merupakan tingkat pendidikan dan penguasaan keterampilan khusus. Hal ini merupakan hal yang penting dalam ekonomi rumah tangga untuk lebih memberikan keuntungan dan mempertinggi prospek jangka panjang ekonomi rumah tangga.4. Informasi yang tepat, informasi yang akurat dan rasional diperlukan terutama yang berkaitan dengan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhannya.5. Organisasi sosial, merupakan organisasi formal maupun informal yang berasal dari keluarga6. Jaringan sosial, rumah tangga merupakan jaringan kerja horizontal yang luas berkaitan dengan kekerabatan atau keluarga, teman, maupun tetangga. Jaringan sosial ini juga dapat menjadi jaringan kerja vertikal melewati tingkatan sosial untuk memperbaiki adanya perubahan rumah tangga dengan kekuatan. Jaringan sosial ini juga berkaitan dengan ada ketergantungan pada hubungan patron klien. 7. Sarana dalam pekerjaan dan lingkungan, rumah tangga merupakan alat produksi bagi rumah tangga, dan memberikan semangat yang kuat untuk produksi8. Sumber keuangan, rumah tangga menjadi jaringan pendapatan keuangan baik secara formal dan informal melalui kredit.Pandangan Friedman memperlihatkan adanya delapan kekuatan sosial yang dimiliki oleh rumah tangga untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kedelapan kekuatan sosial ini akan saling berkaitan dalam mendukung pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Tidak optimalnya salah satu atau lebih kekuatan sosial akan menyebabkan rumah tangga mengalami permasalahan. Rumah tangga miskin umumnya ditandai dengan kurang optimalnya salah satu atau lebih kekuatan sosial dalam mendukung aktivitas ekonomi rumah tangganya (Febriana, 2010).Pada kehidupan masyarakat perdesaan pertahanan ruang hidup justru menjadi salah satu kekuatan sosial yang kurang optimal dimiliki sebagai sarana dasar ekonomi rumah tangga petani. Kemampuan para petani untuk mempertahankan asset ekonomi berupa lahan pertanian di tengah proses industrialisasi bukan merupakan hal yang mudah. Hal ini terlihat dari semakin sedikitnya masyarakat desa yang memiliki lahan pertanian di perdesaan. Pemilik lahan pertanian yang luas saat ini lebih banyak dikuasai oleh sebagian kecil petani pemilik modal. Dengan kurang optimalnya kekuatan sosial yang dimiliki rumah tangga petani maka secara otomatis penduduk perdesaan mulai mengalami kemiskinan. Rumah tangga petani di perdesaan lebih mengandalkan pendapatannya dari upah buruh atau pembagian hasil tanah garapan, yang tentunya memberikan pendapatan yang jauh lebih rendah, daripada pendapatan yang diperoleh dari tanah milik sendiri.Tidak dimilikinya lahan pertanian oleh sebagian besar petani diperdesaan mengakibatkan pekerjaan utama rumah tangga petani miskin di desa umumnya adalah sektor informal di pertanian. Sektor informal sendiri merupakan sektor usaha yang terdiri dari unit-unit usaha berskala kecil. Pekerjaan pada sektor informal ini menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri. Berbagai kendala ditemukan dalam menjalankan pekerjaan sektor informal ini, seperti faktor modal, fisik, faktor pengetahuan, maupun keterampilan (Sethurman dalam Febriana, 2010). Pekerjaan sektor informal ini juga memperlihatkan adanya kondisi keterbelakangan baik dilihat dari dimensi ekonomi, sosial, maupun perencanaan ruang. Dari dimensi ekonomi ditunjukan dengan hampir semua pekerja ini mengabaikan faktor modal, investasi, keterampilan, depresiasi, dan sebagainya. Jika dilihat dari dimensi sosial, mereka masih mengandalkan pekerja keluarga, adanya suasana hubungan patron klien, jam kerja yang tidak menentu, dan bersifat kedaerahan. (Wirosardjono, 1985 dalam Febriana, 2010).

2.5 Penelitian Terdahulua. Sri Endang Kornita dan Yusbar Yusuf (2013) STRATEGI BERTAHAN HIDUP (LIFE SURVIVAL STRATEGY) PENDUDUK MISKIN KELURAHAN BATU TERITIP KECAMATAN SUNGAI SEMBILAN. Jurusan Ilmu Ekonomi Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 12,5 Simpang Baru Pekanbaru.Setelah melakukan penelitian, maka peneliti ini mendapatkan kesimpulan, yaitu :1. Karakteristik penduduk miskin di Kelurahan Batu Teritip ditinjau secara sosio-demografi; sebagian besar kepala keluarga miskin (90,00 persen) di Kelurahan Batu Teritip adalah tergolong kedalam kategori produktif, memiliki tingkat pendidikan yang rendah dimana 69,75 persenresponden adalah berpendidikan rendah (SD kebawah), sebagian besar (50 persen) responden telah tinggal dan bertahan di Batu Teritip selama lebih 10 tahun bahkan 20 tahun, kondisi kesehatan rendah dengan penyakit yang diderita responden terbanyak adalah penyakit kulit/kudis/Gatal-gatal (32,50 persen), demam/malaria/pilek (17,50 persen), dan diare/mencret (15,00 persen).2. Karakteristik penduduk miskin di Kelurahan Batu Teritip ditinjau secara Ekonomi; keseluruhan responden bekerja di 10ea ra informal (100 persen) dan sebagian besar adalah sebagai petani, nelayan dan buruh dengan pekerjaan tambahan sebagian besar responden sebagai pencari kayu bakau, proporsi terbesar (67,50 persen) pendapatan responden adalah berkisar antara Rp.501.000 s.d. Rp.750.000,00. Pendapatan terendah Rp.250.000,- dan tertinggi Rp.1.500.000,- dengan rata-rata pendapatan Rp.130.062,11,- per bulan. Bila dikaitkan dengan rata-rata Anggota Rumah Tangga sebesar 4,74 jiwa/keluarga, maka pendapatan setiap jiwa per hari rata-rata hanya sekitar Rp.4.335,40., dengan pendapatan responden yang 10ea rah10 rendah maka kurang bahkan sangat tidak mencukupi. Sedangkan ditinjau dari jumlah anak responden terbesar berada antara 4 sampai 5 orang (76,50 persen).3. Keluarga miskin di Kelurahan Batu Teritip mempunyai strategi bertahan hidup antara lain strategi subsistensi selalu digunakan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan cara pinjam tauke kayu bakau / tauke penampung penjualan ikan. Kemudian dengan cara dicukup-cukupkan dengan apa yang ada. Sedangkanberkaitan dengan strategi bertahan hidup menghadapi kondisi alam (angin utara dan musim hujan) maka responden pada umumnya mempunyai cara atau strategi untuk tetap bertahan di daratan (tidak mencari ikan atau bertani) tetapi mencari kayu bakau di pesisir pantai yang lebih kearah darat sebagai sumber nafkah.b. SUGIHARDJO, ENY LESTARI, AGUNG WIBOWO (2012) STRATEGI BERTAHAN DAN STRATEGI ADAPTASI PETANI SAMIN TERHADAP DUNIA LUAR(Petani Samin Di Kaki Pegunungan Kendeng Di Sukolilo Kabupaten Pati). Staf Pengajar Program Sudi Agribisnis, Fakultas Pertanian UNSKesimpulan yang mereka dapatkan dari penelitian ini adalah adanya dua perdebatan panjang dalam memahami respon masyarakat Samin terhadap dunia luar. Dua mainstream tersebut sampai saat ini masih begitu terlihat. Pertama, masyarakat Samin menurut penafsiran sebagian orang adalah secara tidak langsung boleh dikatakan menolak ekonomi pasar yang berorientasi pada perolehan keuntungan sebesar-besarnya untuk menghadapi tekanan dari luar. Kedua, masyarakat Samin berusahatani semata-mata hanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selain itu tidak, sehingga lebih tepat dikatakan bersifat apatis.Ada beberapa hal ataupun barangkalisebuah paradoks yang sulit untuk dipahami ketika peneliti melakukan wawancara dan pengamatan di lapangan yang barangkali boleh dikatakan menjadi bahan indikator untuk membantu menganalisis dua mainstream tadi. Pertama, masyarakat Samin di satu sisi terlihathidup dalam keterbatasan, namun disisi lainmereka tidak mau diberi bantuan. Kedua, masyarakat Samin sangat lemah dalam mengakses sumber daya alam yang ada di sekitarnya namun di sisi lain mereka sangat peduli terhadap keberadaan pegunungan Kendeng. Ketiga, masyarakat Samin tetap menanam tanaman pangan untuk mencukupi kelangsungan hidup keluarga Sikep bukan menanam komomoditas, namun di sisi lain dengan modernisasi pertanian mereka jugatergerus oleh modernisasi tersebut dengan penggunaan traktor, pembelian pupuk dari luar. Hal yang tidak kalah penting adalah karakter orang Samin yang sederhana tetapi pekerja keras, khususnya di bidang pertanian. Orang Samin juga dikenal berbicara seperlunya saja. Kebersahajaan yang disertai karakter pekerja keras itu menyebabkan derajad kemandirian orang Samin sangat tinggi. Sebagai suatu komunitas, mereka menggali potensi desanya sebagai landasan untuk berkembang, seraya menghindari diri menerima bantuan dan ketergantungan terhadap orang luar. Bagi orang Samin, musuh kemandirian adalah: sifat malas, ketidakberdayaan menghadapi sebuah situasi yang sulit, dan kecerobohan perorangan.Masyarakat Samin memiliki keteguhan yang kuat dalam bertindak, memiliki strategistrategi tersendiri dalam menghadapi dunia luar yang akan menghancurkan nilai-nilai budaya lokal yang merupakan warisan dari leluhurnya. Untuk itu kiranya masyarakat lain bisa belajar pada masyarakat Samin untuk tetap menjaga harkat dan martabatnya yang tercermin dalam kemandirian lokal. Salah satu karakter yang ditonjolkan oleh masyarakat Samin adalahkolektivisme yang kuat baik dalam tatarankeluarga maupun dan masyarakat. Namun apakah proses adaptasi budaya Samin mengalami transformasi dari koletivisme menuju individualisme. Jika terjadi pergeseran, bagaimana tanggapan orang Samin, dan apa saja penyebabnya? Apakah bersamaan dengan itu terjadi pula transformasi kelembagaan? Adalah sebuah agenda penting untuk dilakukan pada penelitian selanjutnya.c.MARIANNA MARKANTONI, SIERDJAN KOSTER and DIRK STRIJKER (2011) CONTRIBUTING TO A VIBRANT COUNTRYSIDE: THE IMPACT OF SIDE ACTIVITIES ON RURAL DEVELOPMENT Urban and Regional Studies Institute (URSI), Faculty of Spatial Sciences, University of Groningen, Landleven 1, 9747 AD Groningen, the NetherlandsDari hasil penelitian ini, peneliti menemukan dan mendapatkan kesimpulan yaitu :1. Artikel ini telah menemukan pencerahan pada dampak yang dirasakan dari kegiatan sisi non-petani di tiga aspek utama pembangunan pedesaan: aspek ekonomi, aspek sosial dan landscape / karakter daerah pedesaan. Hasil kegiatan sisi non-petani ini tidak hanya bermain secara langsung dalam vitalitas ekonomi dan keragaman daerah pedesaan, tetapi lebih penting mereka meningkatkan modal sosial masyarakat pedesaan. Selain itu, tentang dampaknya terhadap lanskap, kegiatan samping yang tidak dirasakan tidak menimbulkan terhadap kerusakan kualitas pedesaan atau mengubah 'morfologi pedesaan. Mereka dipandang sebagai nilai tambah pada karakter daerah pedesaan terutama dengan menjaga nilai-nilai budaya dan sejarah.2. Sejumlah implikasi kebijakan berasal dari studi ini. Pertama, jika kita mengakui kepentingan pemerintah daerah dalam dampak kegiatan samping pada pembangunan pedesaan, kita akan berpendapat bahwa otoritas ini tidak perlu terlalu khawatir tentang kegiatan side merusak atau mengancam lanskap dan identitas pedesaan di wilayah ini. Sebaliknya, mereka harus menghargai peran kegiatan sisi non-petani dalam membangun modal sosial dan memberikan nilai tambah pada pariwisata pedesaan dan keragaman ekonomi lokal. Namun demikian, adalah penting untuk menyebutkan bahwa kebijakan pedesaan diikat dengan, konteks regional lokal spesifik dan budaya dari kota, yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini, seperti yang kita ingin mendapatkan gambaran kolektif kegiatan side di Belanda. Yang terakhir ini manfaat pemeriksaan lebih lanjut. 3. Ada beberapa implikasi untuk penelitian lebih lanjut. Pertama, penelitian ini telah menyoroti Dampak yang dirasakan dari kegiatan samping pada pembangunan pedesaan. lebih spesifik pendekatan regional / kontekstual akan menjadi kelanjutan logis untuk penelitian ini dan Oleh karena itu akan memberikan manfaat yang signifikan. Artikel ini adalah salah satu langkah ke arah ini. Evaluasi kolektif telah memungkinkan kita untuk menunjukkan tidak hanya tidak langsung ke arah ekonomi.

2.6 Kerangka PemikiranSektor pertanian sebagai salah satu sektor pendukung perekonomian Indonesia, seharusnya merupakan sektor yang relatif lebih tahan dan lebih fleksibel terhadap krisis ekonomi dibandingkan sektor-sektor lainnya karena lebih mengandalkan pemanfaatan sumberdaya domestik daripada komponen impor. Pada situasi krisis saat ini sektor pertanian diharapkan akan sangat berperan dalam pembangunan nasional antara lain melalui penyediaan kebutuhan pangan pokok, perolehan devisa melalui ekspor, penampung tenaga kerja khususnya di daerah pedesaan.Akan tetapi, pembangunan pertanian itu menimbulkan sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian telah menimbulkan kecenderungan menurunnya harga produk-produk pertanian yang berakibat negatif pada pendapatan petani. Kedua, kenaikan produktivitas dan produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani menurun. Ketiga, perkembangan ekonomi yang lebih maju khususnya karena dampak industrialisasi, menyebabkan menurunnya sumbangan sektor pertanian dalam pembentukan PDB dan menyusutnya peranan relatif angkatan kerja sektor pertanian dalam lapangan kerja keseluruhan.Di sisi lain, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB semakin turun sejalan dengan berlanjutnya pembangunan nasional. Padahal, sektor pertanian banyak menyerap tenaga kerja. Pemerintah seolah-olah melakukan pembiaran terjadinya ketimpangan penguasaan aset produksi, seperti lahan dan modal. Kesenjangan si kaya dan si miskin semakin lebar dan petani jauh dari sejahtera.Oleh karena itu, berdasarkan fakta dan kondisi dari fenomena diatas maka fokus dalam penelitian ini adalah mau tidak mau petani harus berpikir keras dan membuat strategi yang tepat bagaimana caranya mensiasati dengan kondisi pendapatan dari usahatani yang kecil supaya mereka tetap bisa bertahan hidup dan tetap bisa memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya atau demi kelansungan hidupnya dan seberapa besar kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani.

41