papper psikologi politik

29
PERILAKU AKTOR POLITIK DALAM PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN: ”SINDROM TALANGKA DAN MENTALITAS YANG TERKIKIS” Disusun Dalam Rangka Menempuh Tugas Individual Mata Kuliah Psikologi Politik Dosen Pengampu : Drs. Tri Cahya Utama, MA Disusun oleh : NOVIA PUTRI PUSPITARANI 052/14010110130130 KELAS 02, RABU 09.31-12.30

description

banyaknya kepentingan yang muncul mendorong timbulnya persaingan diantara para elit politik sehingga sikap saling menjatuhkan layaknya “kepiting hidup yang berada di dalam keranjang” atau lebih singkatnya dikenal dengan sebutan “sindrom kepiting” tidak dapat dihindarkan. Sindrom semacam ini jika terus meneruskan dibiarkan akan menjadi penyakit yang bersifat pathogen dan semakin lama rakyat akan menyebut bahwa kesehatan jiwa elit politik di Indonesia sudah mengalami penurunan yang cukup drastis.

Transcript of papper psikologi politik

Daftar pustaka

PERILAKU AKTOR POLITIK DALAM PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN: SINDROM TALANGKA DAN MENTALITAS YANG TERKIKIS

Disusun Dalam Rangka Menempuh Tugas Individual Mata Kuliah Psikologi PolitikDosen Pengampu : Drs. Tri Cahya Utama, MA

Disusun oleh :

NOVIA PUTRI PUSPITARANI

052/14010110130130KELAS 02, RABU 09.31-12.30

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2012KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat terselesaikanlah makalah mata kuliah Psikologi Politik dengan judul Perilaku Aktor Politik Dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik ini dengan tepat waktu.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang turut serta membantu penyelesaian makalah ini, baik itu berupa bantuan moral maupun material.

Tak ada gading yang tak retak. Ungkapan itulah yang mewakili isi dari makalah kami. Apabila terdapat kesalahan terkait makalah ini, baik di sengaja maupun tidak di sengaja, kami mohon maaf. Segala kesalahan adalah milik kami, dan segala kelebihannya adalah semata-mata milik Allah SWT.

Kami mengharapkan kritik dan saran saudara-saudara sekalian agar dalam pengerjaan makalah pada kesempatan berikutnya, kesalahan dapat kami minimalisir dan makalah akan lebih baik.

Sekian prakata dari kami, kurang dan lebihnya kami mohon maaf, dan terima kasih apabila saudara-saudara sekalian berkenan memberikan saran.

Semarang, April 2012

PenyusunBAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun daerah, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Dalam melaksanakan kewenangannya, pemerintah pusat maupun daerah dan DPR atau DPRD perlu merumuskan kebijakan publik. Dalam proses perumusan kebijakan publik akan terjadi interaksi antara masyarakat dengan penyelenggara pemerintahan dan antara institusi penyelenggara pemerintahan.

Seringkali dalam proses penyusunan kebijakan publik yang berkaitan dengan anggaran yakni APBN atau APBD dipenuhi dengan adu kepentingan para aktor. Seharusnya penyusunan anggaran sebagai kebijakan publik dilandasi prinsip demokrasi, transparasi, akuntabel, serta memenuhi aspek keadilan bagi masyarakat. Namun demikian pada kenyataannya seringkali terjadi ketidakpuasan para stakeholder terhadap kebijakan APBN atau APBD yang ditetapkan oleh eksekutif dan legislatif itu. Dalam proses penyusunan kebijakan publik banyak kebijakan yang terkesan tumpang tindih yang disebabkan karena para pembuat kebijakan tidak pernah saling melakukan koordinasi dengan departemen yang terkait dengan kebijakan tersebut, serta proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit yang menyebabkan para pembuat kebijakan merasa enggan untuk melakukan koordinasi. Pada saat proses bargaining pun yang terjadi adalah antar aktor-aktor pembuat kebijakan ini menggunakan kekuasaan dan kewenangan bukan untuk menyingkronkan kepentingan rakyat namun untuk meraih kepentingan dan kekuasaan mereka sendiri sehingga keputusan-keputusan yang diambil cenderung lebih mengutamakan atau mencerminkan keinginan elit politik pembuat kebijakan daripada kebutuhan rakyat.

Dengan banyaknya kepentingan yang muncul, sudah tentu akan mendorong timbulnya persaingan diantara para elit politik sehingga sikap saling menjatuhkan layaknya kepiting hidup yang berada di dalam keranjang atau lebih singkatnya dikenal dengan sebutan sindrom kepiting tidak dapat dihindarkan. Sindrom semacam ini jika terus meneruskan dibiarkan akan menjadi penyakit yang bersifat pathogen dan semakin lama rakyat akan menyebut bahwa kesehatan jiwa elit politik di Indonesia sudah mengalami penurunan yang cukup drastis.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana dinamika isu kebijakan politik di Indonesia dan apa yang dimaksud dengan Sindroma Kepiting?b. Bagaimana peilaku kelompok kepentingan dalam proses perumusan kebijakan publik?

c. Tindakan seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi perilaku aktor yang kurang baik tersebut?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui bagaimana tahap-tahap dalam perumusan kebijakan pemerinah.b. Menganalisa bagaimana perilaku politik para politisi dalam proses perumusan kebijakan public.c. Mampu mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi ketika terjadi adu kepentingan dalam perumusan kebijakan.BAB IIPEMBAHASAN2.1 Definisi Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah kebijakan atau keputusan yang mengikat orang banyak pada tataran strategis atau garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas atau kekuasaan publik. Selanjutnya, menurut Wikipedia Indonesia, yang dimaksud pemegang otoritas atau kekuasaan publik adalah mereka yang menerima mandat dari publik atau masyarakat yang biasanya dipilih melalui pemilihan umum. Dapat disimpulkan bahwa fokus utama dari kebijakan publik adalah pelayanan publik, yaitu segala sesuatu yang dilakukan negara untuk mempertahankan, menyejahterakan, dan meningkatkan kualitas hidup orang banyak (masyarakat).

Pembuatan kebijakan merupakan sebuah tahap dalam siklus hidup kebijakan. Siklus atau tahap-tahap dari suatu kebijakan pada dasarnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini, yaitu dimulai dari identifikasi masalah, penetapan agenda, perumusan kebijakan, legitimasi kebijakan (identifikasi alternatif solusi, penilaian alternatif dan seleksi alternatif), implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dan kembali pada identifikasi masalah. Disela tahap-tahap tersebut terdapat aktivitas evaluasi dan interpretasi.

ProsesAktivitas

Identifikasi MasalahPublikasi masalah sosial, mengekspresikan tuntutan akan tindakan dari pemerintah

Penetapan AgendaMenentukan masalah-masalah apa yang akan diputuskan, masalah apa yang akan dibahas atau ditangani oleh pemerintah

Perumusan KebijakanPengembangan proposal kebijakan untuk menyelesaikan dan memperbaiki masalah

Legitimasi KebijakanMemilih proposal, mengembangkan dukungan untuk proposal terpilih, menetapkannya menjadi peraturan hukum dan kemudian memutuskan konstitusionalnya

Implementasi KebijakanMengorganisasikan departemen dan badan (institusi), menyediakan pembiayaan atau jasa pelayanan, menetapkan pajak

Evaluasi KebijakanMelaporkan output dari program pemerintah, meng-evaluasi dampak kebijakan kepada kelompok sasaran dan bukan sasaran, mengusulkan perubahan dan reformasi

Ada beberapa pendapat lain mengenai tahap-tahap dalam proses penyusunan kebijakan publik, namun pada dasarnya mirip satu sama lain.2.2 Dinamika Isu Kebijakan Publik dan Sindroma KepitingDalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, tidak ada satu pun orang yang terbebas dari isu, khususnya isu kebijakan publik. Isu akan terus berkembang secara dinamis, sejalan dengan tingkat pekembangan masyarakat, budaya, politik beserta sistem politik di negaranya. Semakin kompleks suatu masyarakat, maka semakin kompleks dan beragam pula isu kebijakan yang berkembang dalam masyarakat itu.

Pengertian kebijakan publik itu sendiri adalah apa yang di lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh pemerintah untuk menindak lanjuti suatu permasalahan yang terjadi dalam lingkungan sistem politiknya. Agar suatu kebijakan dapat disebut sebagai kebijakan publik, maka pada derajat tertentu ia haruslah diciptakan, dipikirkan atau setidaknya diproses melalui prosedur-prosedur tertentu dan di bawah pengaruh atau kontrol pemerintah (Hogwood dan Gunn, 1986) .

Pada hakikatnya, proses masuknya isu menjadi agenda kebijakan publik merupakan suatu proses yang begitu dipengaruhi oleh bagaimana perwujudan dari distribusi kekuasaan nyata yang sedang berjalan di suatu negara, organisasi, atau masyarakat itu sendiri secara keseluruhan. Itulah sebabnya, dalam kenyataannya bisa jadi ada beberapa kelompok yang dapat menembus lapisan-lapisan penguasa dalam birokrasi dan ada pula kelompok masyarakat atau organisasi yang tidak mampu menembus lapisan-lapisan dalam sistem kekuasaan itu dan semuanya tergantung dari seberapa dekat kelompok-kelompok tersebut dengan penguasa. Tingkat persaingan dan derajat polarisasi politik yang sedang berlangsung di kalangan para politisi itu praktis juga bisa dilihat dari sudut siapa yang mampu menggulirkan isu (seraya menepis isu lainnya). Kesimpulannya, persaingan antar kelompok kepentingan tersebut menggambarkan perebutan untuk mengklaim adanya hubungan dekat dengan sosok penuasanya.Jika kita melihat perilaku para politisi sekarang ini, di dalamnya sarat akan persaingan kepentingan politik yang pada akhirnya cenderung pada tindakan saling menjatuhkan. Dalam dunia psikologi perilaku tersebut dikenal dengan motivational gravity (Carr, 1994) dimana sikap itu menggambarkan dorongan seorang individu atau bahkan sebuah kelompok yang selalu berusaha untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggapnya sebagai lawan. Usaha untuk menyingkirkan lawannya itu pada umumnya dilakukan dengan cara menjatuhkan pihak lain yang sedang berusaha untuk mencapai atas (tujuan). Sikap yang demikian dapat kita samakan dengan perilaku sekelompok kepiting yang ada di dalam keranjang. Ketika seekor kepiting berusaha memanjat untuk keluar dari keranjang, kepiting lain akan mengait dan menjepit kepiting itu hingga jatuh lagi ke keranjang, dan begitu seterusnya. Fenomena instingtual kepiting yang sekarang dialami oleh elit politik kita ini dikenal dengan sebutan sindroma talangka (Filipina) yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sindrom kepiting. Memang sudah sewajarnya jika kompetisi atau persaingan dalam memperebutkan pengaruh politik itu terjadi dan justru disebut-sebut sebagai hakikat dari kehidupan politik itu sendiri. Persaingan diperlukan untuk menggerakkan drive dan mendorong kelompok umtuk bertindak yang terbaik untuk rakyat. Dengan adanya motivasi untuk memberikan yang terbaik, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam politik demokrasi memiliki pilihan yang lebih banyak dan lebih baik dalam menentukan kepada siapa keadaulatan politik dipercayakan. Tentunya persaingan ini harus tertata dalam aturan main yang beretika dan bermoral. Walau pun aturan-aturan main itu sudah jelas karena sudah dilembagakan, namun ada juga yang kurang dan bahkan tidak jelas. Namun, sudah seharusnya politik yang beretika dan bermoral itu tidak bertentangan dengan kebenaran dan hati nurani.

2.3 Interest Group Dalam Proses Perumusan KebijakanSuatu sistem politik membuat kebijakan-kebijakan untuk publik melalui relasi antaraktor di dalam sistem itu sendiri. Relasi secara formal ataupun informal itu tumbuh karena sifat saling ketergantungan dari para aktor tersebut. Ini akhirnya membuat suatu jaringan yang disebut komunitas. Fenomena ini berkembang seiring dengan bertambahnya jumlah orang yang ingin berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.

Bila jaringan ini terbentuk, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalamnya. Orang yang ingin masuk ke dalamnya atau telibat dalam jaringan/komunitas itu haruslah diakui terlebih dahulu oleh beberapa kelompok dalam jaringan itu. Warga biasa pada umumnya sudah tentu tidak bisa dengan mudah masuk ke dalamnya, untuk melihat ataupun mendengar. Jadi, secara umum kebijakan dirumuskan secara elitis atau oligarkis. Untuk setiap isu kebijakan terdapat komunitas sendiri yang mengolahnya, dan bersama merekalah pemerintah bekerja.

Lalu siapa sajakah yang termasuk dalam kategori komunitas pembuat kebijakan? Mereka adalah Pemerintah Pusat (Departemen yang terkait), Pemerintah Daerah, Lembaga Legislatif Tingkat Pusat (DPRRI) dan DPRD (tingkat I dan II).Sedangkan pihak-pihak yang merupakan Stakeholder adalah publik atau masyarakat, Interest Group atau kelompok yang mempunyai kepentingan dalam proses implementasi kebijakan publik maupun asosiasi atau himpunan lainnya yang non-komersial, ada juga organisasi massa dan organisasi kepemudaan yang juga mempunyai kepentingan dengan kebijakan publik. Komponen Stakeholder lainnya yang juga sangat berpengaruh adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO) dan Media Massa.Seperti yang terjadi di banyak negara, Interest Gruop (kelompok kepentingan) tersebut baik politik atau ekonomi, punya kemampuan untuk mempengaruhi di tingkat kebijakan maupun keputusan demi keuntungan mereka sendiri. Di sistem yang demokratis, mereka pun berupaya mendapat pengaruh melalui sistem. Mereka mendirikan partai politik dengan program kerja dan ideologi yang kemudian ditawarkan ke masyarakat

Interest Group (kelompok kepentingan) sebenarnya berbeda dengan partai politik. Meski tidak cukup mudah untuk membedakannya, karena partai politik antara lain juga memiliki kepentingan atas kebijakan pemerintah. Salah satu perbedaanya terlihat pada tujuannya, tujuan kelompok kepentingan bukan untuk meraih kekuasaan, sementara partai politik untuk meraih kekuasaan. Kelompok kepentingan merupakan suara-suara di luar pagar kekuasaan dan partai yang mengkritisi kebijakan pemerintah karena kebijakan itu secara langsung berkaitan dengan kehidupan mereka. Kelompok-kelompok kepentingan ini memiliki kekuasaan yang luas, bisa ikut campur mulai dari tingkat pembuatan kebijakan hingga memanipulasi pemerintahan.Misalnya saja kasus yang baru-baru ini terjadi yakni ketika muncul sebuah wacana mengenai kenaikan harga BBM yang pada akhirnya justru menimbulkan kisruh atau perbedaan pendapat diantara para pembuat kebijakan. Kebijakan yang diambil pemerintah ini menimbulkan polemik di seluruh lapisan masyarakat sehingga memunculkan konflik antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Keluarnya keputusan pada proses penundaan kenaikan BBM tentunya karena ada faktor negotiaton and bargaining antara pemerintah dan para pembuat kebijakan lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa interest group sangat berperan terhadap proses pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.

2.4 Perilaku Aktor Politik Dalam Proses Perumusan KebijakanJika dikaji lebih lanjut, sebenarnya dalam proses penyusunan kebijakan publik oleh pemerintah ini banyak kebijakan yang tumpang tindih yang disebabkan karena para pembuat kebijakan tidak pernah saling melakukan koordinasi dengan departemen yang terkait dengan kebijakan tersebut, serta proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit yang menyebabkan para pembuat kebijakan merasa enggan untuk melakukan koordinasi.

Ketidakmampuan aparat pemerintah sebagai regulator kebijakan dalam menjelaskan secara detil apa fungsi dan kegunaan dari kebijakan publik membuat stakeholders tidak dapat secara maksimal merasakan manfaatnya, yang ada justru muncul kebingungan yang memicu proses delegitimasi kebijakan publik dari stakeholders, sehingga menimbulkan pemberitaan negatif di media massa yang akhirnya membuat Pemerintah sebagai pembuat kebijakan menjadi ragu dan takut dalam melaksanakan prosedur yang baik dan benar sesuai dengan tujuan dibuatnya kebijakan publik tersebut. Sedangkan kondisi lain yang lebih parah adalah karena ketidaktegasan aparat penegak hukum dalam menjalankan regulasi yang telah ditetapkan.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, para birokrat atau aparat pemerintah yang sesungguhnya berfungsi sebagai ujung tombak pelaksanaan proses implementasi dari kebijakan publik yang mencakup berbagai program pembangunan dan pelayanan publik, ternyata seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Prosedur birokrasi yang terlalu panjang, lama dan berbelit-belit didalam proses menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan (termasuk tugas penyelenggaraan pelayanan publik) membuat publik akhirnya mempunyai pendapat yang negatif terhadap aparatur pemerintahan. Dalam proses penyusunan kebijakan publik pun sering terjadi perbedaan perspektif dan pola pikir antara satu pembuat kebijakan dengan pembuat kebijakan lainnya, misalnya saja jika yang mengusulkan dibentuknya kebijakan adalah Lembaga Parlemen Daerah (DPRD Tingkat I dan II), maka kondisi yang terjadi adalah pemerintah berusaha mengganjal proses penyusunan tersebut melalui mekanisme pembatasan jumlah anggaran dan berbagai langkah administratif lainnya, pemerintah juga akan melakukan Lobby politik ke fraksi-fraksi di DPRD untuk melakukan pemecahan kekuatan, selain itu pemerintah juga akan menggunakan wacana di media massa untuk mengkondisikan publik agar menentang atau menyudutkan draft usulan kebijakan dari DPRD tersebut. Jika yang mengusulkan rancangan kebijakan adalah pihak Pemerintah, maka pihak Lembaga Parlemen Daerah (DPRD Tingkat I dan II) akan berusaha mengganjal proses tersebut melalui mekanisme pembahasan pada Panitia Kerja (Panja) dan Panitia Khusus (Pansus) sampai pada pembahasan di tim-tim kecil (timcil), kecuali terjadi kesepakatan atau deal-deal khusus diantara mereka, misalnya Pemerintah akhirnya membiayai studi banding para anggota parlemen tersebut yang sebenarnya merupakan studi banding versi jalan-jalan maupun pesiar wisata kuliner yang menghabiskan uang rakyat.Kenyataan lain juga memperlihatkan bahwa dari pelaksanaan rapat pembahasan selalu molor dari jadwal yang seharusnya dimana hal itu selalu saja disebabkan oleh perilaku aktor terutama pihak legislatif yang terlambat datang dan cenderung mengulur waktu.Akibat dari itu suasana ruang sidang menjadi melompong disebabkan banyak kursi dewan yang kosong sementara pihak-pihak lain sudah siap bahkan sudah menunggu hingga berjam-jam untuk pelaksanaan pembahasan rancangan kebijakan.

Fenomena-fenomena di atas dapat dikategorikan sebagai sebuah penyakit yang sedang melanda birokrasi kita saat ini. Penyakit kronis yang paling parah melanda bangsa kita saat ini bukanlah flu burung, flu babi maupun flu-flu lainnya. Penyakit tersebut ternyata adalah penyakit mentalitas, yang secara aktif sangat menular, khususnya menjangkiti para politisi dan birokrat Negara ini. Dengan semboyannya yang sangat luar biasa menyedihkan, jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah ? ...Anggota parlemen yang terpilih pun terkadang tidak serta merta memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan rakyat tetapi lebih dahulu memenuhi kepentingan partainya. Usaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya ini tidak jarang menimbulkan persaingan yang cukup ekstrem hingga berakibat pada lebih parahnya perkembangan sistem pemerintahan yang sedang berjalan. Apabila hal tersebut tidak segara ditangani dengan kembali pada peraturan-peraturan dalam kontitusi Negara dikhawatirkan negara Indonesia tidak akan pernah menjadi negara yang maju karena penyakit sindrom kepiting ini akan terus meluas.BAB III

PENUTUP3.1 Kesimpulan

Kebijakan publik adalah suatu usaha yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan, mempertahankan dan melindungi masyarakatnya. Dalam proses perumusannya terdapat tahap-tahap yang harus dilalui agar sebuah isu dapat menjadi sebuah kebijakan. Terbentuknya sebuah kebijakan tidak lepas dari peran kelompok-kelompok kepentingan yang bekerja sama dengan pemerintah. Namun, sangat disayangkan bahwa ternyata diantara kelompok kepentingan itu terjadi persaingan elit yang saling menjatuhkan, dimana perilaku yang demikian disebut dengan istilah sindrom kepiting, sehingga terkadang kebijakan yang muncul justru hanya menguntungkan salah satu pihak bahkan mengecewakan stakeholder.

Fenomena-fenomena perilaku-perilaku yang sudah dijelaskan sebelumnya dapat dikategorikan sebagai sebuah penyakit yang sedang melanda birokrasi kita saat ini. Penyakit kronis yang paling parah melanda bangsa kita saat ini bukanlah flu burung, flu babi maupun flu-flu lainnya. Penyakit tersebut ternyata adalah penyakit mentalitas, yang secara aktif sangat menular, khususnya menjangkiti para politisi dan birokrat Negara ini. Dengan semboyannya yang sangat luar biasa menyedihkan, jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah ? ... Pun dari pernyataan-pernyataan di depan ada hal yang mengesankan bahwa pelaku dalam suatu sistem politik dapat dengan bebas menyampaikan aspirasi dan ikut dalam pembahasan rancangan kebijakan, juga berhak untuk menghalangi kelompok lain yang ikut menyampaikan aspirasi dan turut serta dalam pembahasan rancangan kebijakan. Pertanyaanya sekarang adalah apakah mereka memang sebebas itu? Dan apakah mereka yang kuat dapat dengan mudah mempengaruhi aktor lain dalam menentukan kebijakan?

Jawabannya adalah tidak, walaupun kebijakan publik diputuskan oleh para elit politik tapi keputusan mereka tidaklah bebas tak terbatas. Seberapapun berkuasa seorang gubernur misalnya, ia tetaplah terikat dengan prosedur kerja yang telah ditentukan untuk provinsinya, baik yang ditentukan oleh provinsi sendiri maupun negara.

3.2 Saran

Untuk mengatasi perilaku-perilaku elit yang seakan-akan kurang terdidik itu seharusnya pemerintah pusat lebih tegas dalam mengambil tindakan, misalnya dengan membuat peraturan yang lebih keras. Pemerintah sebaiknya tidak mudah terhasut dengan kelompok-kelompok kepentingan itu. Pemerintah sebagai Policy maker seharusnya lebih bisa mengendalikan diri untuk dapat memutuskan dan mengambil kebijakan yang terbaik untuk rakyatnya yang sesuai dengan aspirasi rakyat, walaupun pada kenyataannya ada kepentingan beberapa kelompok yang tidak terpenuhi dan hanya sebagian yang dapat terpenuhi. Hal ini karena dalam kebijakan publik merupakan perkara menyusun prioritas, kepentingan siapa atau apa yang sebaiknya didahulukan dan yang mana yang dikesampingkan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan kelembagaan atau peningkatan kapasitas pada masing-masing lembaga yang ada dalam sistem pemerintahan agar setiap lembaga dapat memainkan perannya sebagaimana mestinya dan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Badjuri, Abdulkahar. 1997. Dinamika Politik Nasional. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Madani, Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor Dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Muluk, Hamdi. 2010. Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Nawawi, Ismail. 2009. Public Policy: Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek. Surabaya: Putra Media Nusantara.

Tersedia di http://id.wikipedia.org/ wiki/ Kebijakan_publik, diunduh tanggal 17 April 2012

Tersedia di http://kompas.com Revitalisasi Integrasi Kelompok Kepentingan.html diunduh pada 17 April 2012

Wibawa, Samodra. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Jogjakarta: Graha Ilmu

Tersedia di HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/" http://id.wikipedia.org/ wiki/ Kebijakan_publik, diunduh tanggal 17 April 2012

Menurut saya sendiri berdasarkan beberapa sumber yang dibaca.

Badjuri, Abdulkahar. 1997. Dinamika Politik Nasional. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Secara tersirat disyaratkan bahwa agar sebuah isu bisa menjadi kebijakan politik praktis harus mampu menembus berbagai lapisan birokrasi dan politik baik yang formal maupun informal. Dengan adanya persyaratan tersebut tak jarang menyebabkan isu kebijakan publik menjadi semacam arena atau ajang persaingan kepentingan para elit politik

Muluk, Hamdi. 2010. Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Misalnya Komite Nasional Pusat Indonesia (KNPI), Pemuda Pancasila (PP), IPNU, IRM, dan lain-lain.

Menurut Gabriel A Almond, misalnya, membedakan dua hal ini: kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa pada waktu yang sama berkeinginan memperoleh jabatan publik. Sebaliknya, partai politik benar-benar bertujuan untuk menguasai jabatan-jabatan publik

Dalam rapat RAPBD misalnya tidak jarang molor sampai 1 jam yang dikarenakan anggota dewan selalu terlambat datng di ruang persidangan padahal tim lain selalu hadir tepat waktu.