Paper Rjp Berdasarkan AHA 2010 (Dwi Aryani)

21
BAB I PENDAHULUAN Penyebab kematian akibat kasus kegawatdaruratan medis yang sering terja antara lain adalah obstruksi jalan nafas yang reversibel, hipoventilasi, hent perdarahan hebat, henti jantung dan cedera pada otak. Kerusakan ota dapat terjadi jika aliran darah terhenti lebih dari beberapa menit (saat ini lebih dari 4- menit! atau sesudah terjadi suatu trauma dengan hipoksia berat kehilangan banyak darah yang tidak dikoreksi. "kan tetapi bila pertolongan re bisa diberikan dengan cepat dan tepat, kematian otak bisa dicegah bahkan pas pulih seperti sediakala. # $enti jantung dapat terjadi di dalam maupun di luar rumah sakit. %i "me &erikat dan Kanada, sekitar ' ).))) orang mengalami henti jantung secara tiba dan memperoleh resusitasi. *stimasi insiden terjadinya henti jantung di rumah sekitar '-+#.))) kunjungandan sekitar diantaranya mengalami aritmia ventrikuler. Pasien henti jantung yang mengalami ventricular fibrillation ( ventricular tachycardia ( 0! memiliki hasil akhir yang lebih baik di dengan pasien yang mengalami asistol atau tanpa aktivitas elektrik. Kasus henti jantung yang terjadi lebih banyak terjadi pada orang dewasa, tetapi ribuan b anak-anak mengalami henti jantung di dalam rumah sakit maupun di luar rumah s setiap tahunnya di "merika &erikat dan Kanada. 1esusitasi jantung paru memiliki tujuan untuk memelihara sirkulasi dan respirasi bagi penderita yang mengalami henti jantung dan henti nafas agar tu tetap mendapatkan suplai oksigen melalui bantuan luar, yaitu tindakan interve 2antuan $idup %asar (2$%!. %ari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa hal utam yang memegang peranan penting adalah suplai oksigen pada organ-organ vital tu terutama otak, jantung dan organ-organ lainnya. ' Pedoman resusitasi pertama kali ditetapkan oleh American Heart Associat ("$"! pada tahun #3. Pedoman 2antuan $idup %asar yang sekarang dilaksanakan telah mengalami perbaikan dibandingkan sebelumnya. Para ilmuwan dan p 1

description

Rjp

Transcript of Paper Rjp Berdasarkan AHA 2010 (Dwi Aryani)

BAB I

PENDAHULUAN

Penyebab kematian akibat kasus kegawatdaruratan medis yang sering terjadi antara lain adalah obstruksi jalan nafas yang reversibel, hipoventilasi, henti nafas, perdarahan hebat, henti jantung dan cedera pada otak. Kerusakan otak permanen dapat terjadi jika aliran darah terhenti lebih dari beberapa menit (saat ini ditetapkan lebih dari 4-6 menit) atau sesudah terjadi suatu trauma dengan hipoksia berat atau kehilangan banyak darah yang tidak dikoreksi. Akan tetapi bila pertolongan resusitasi bisa diberikan dengan cepat dan tepat, kematian otak bisa dicegah bahkan pasien bisa pulih seperti sediakala.1Henti jantung dapat terjadi di dalam maupun di luar rumah sakit. Di Amerika Serikat dan Kanada, sekitar 350.000 orang mengalami henti jantung secara tiba-tiba dan memperoleh resusitasi. Estimasi insiden terjadinya henti jantung di rumah sakit sekitar 3-6/1.000 kunjungan dan sekitar 25% diantaranya mengalami aritmia ventrikuler. Pasien henti jantung yang mengalami ventricular fibrillation (VF) atau ventricular tachycardia (VT) memiliki hasil akhir yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang mengalami asistol atau tanpa aktivitas elektrik. Kasus henti jantung yang terjadi lebih banyak terjadi pada orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan anak-anak mengalami henti jantung di dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit setiap tahunnya di Amerika Serikat dan Kanada.2Resusitasi jantung paru memiliki tujuan untuk memelihara sirkulasi dan respirasi bagi penderita yang mengalami henti jantung dan henti nafas agar tubuh tetap mendapatkan suplai oksigen melalui bantuan luar, yaitu tindakan intervensi atau Bantuan Hidup Dasar (BHD). Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa hal utama yang memegang peranan penting adalah suplai oksigen pada organ-organ vital tubuh, terutama otak, jantung dan organ-organ lainnya.3Pedoman resusitasi pertama kali ditetapkan oleh American Heart Association (AHA) pada tahun 1966. Pedoman Bantuan Hidup Dasar yang sekarang dilaksanakan telah mengalami perbaikan dibandingkan sebelumnya. Para ilmuwan dan praktisi kesehatan terus mengevaluasi resusitasi jantung paru ini dan mempublikasikannya setiap 5 tahun. AHA di dalam Circulation Journal yang diterbitkan pada tanggal 2 November 2010, mempublikasikan Pedoman Resusitasi Jantung Paru dan Perawatan Darurat Kardiovaskuler 2010. Dalam pedoman ini, terdapat beberapa perubahan sangat mendasar dan berbeda dengan Bantuan Hidup Dasar yang telah dikenal sebelumnya.3 Untuk itu, melalui makalah ini penulis akan membahas lebih jauh mengenai pedoman resusitasi jantung paru (RJP) berdasarkan AHA 2010 dan lebih difokuskan pada Bantuan Hidup Dasar.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Yang dimaksud dengan Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi yang mengalami kegagalan mendadak pada pasien yang masih mempunyai harapan hidup.12.2 Rantai Kelangsungan HidupUpaya untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam resusitasi memerlukan suatu tindakan yang terkoordinasi dan terpadu yang digambarkan dengan chain of survival (rantai kelangsungan hidup). Rantai kelangsungan hidup menunjukkan rangkaian tindakan ideal yang harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadinya peristiwa henti nafas dan henti jantung. Rantai ini terdiri dari lima tindakan yang digambarkan dengan rangkaian mata rantai yang saling bertautan satu sama lain. Bantuan Hidup Dasar (BHD) meliputi mata rantai 1 sampai dengan mata rantai 3, sedangkan mata rantai 4 dan 5 termasuk pemberian Bantuan Hidup Lanjut (BHL). Bantuan Hidup Dasar merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa setelah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa diakukan oleh seorang penolong ataupun secara simultan.2,4 Tujuan awal pelaksanaan BHD adalah memperbaiki sirkuasi sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan melakukan kompresi dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemberian ventilasi yang efektif sampai didapatkan kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan atau tindakan dihentikan karena tidak ada respon dari penderita setelah tindakan dilakukan beberapa saat. Apabila setelah melakukan Bantuan Hidup Dasar secara efektif, sirkulasi kembali secara spontan, maka tindakan selanjutnya adalah Bantuan Hidup Lanjut.2

Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup2Gambar 1 menunjukkan rangkaian rantai kelangsungan hidup, antara lain:21. Pengenalan segera henti jantung dan mengaktivasi sistem respon gawat darurat2. Resusitasi jantung paru sedini mungkin dengan penekanan pada kompresi dada3. Defibrilasi sedini mungkin. Pada tempat dan fasilitas umum biasanya tersedia AED (Automated External Defibrilation)4. Pemberian Bantuan Hidup Lanjut dengan efektif5. Pemberian perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi.

2.3Kerangka Konseptual untuk Resusitasi Jantung Paru: Interaksi antara Penolong dan KorbanSejak dahulu, resusitasi jantung paru terintegrasi pada kompresi dan pemberian nafas dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan korban mungkin mempengaruhi optimalisasi dari komponen RJP. Berdasarkan Gambar 2, setiap orang dapat menjadi penolong pada korban yang secara tiba-tiba mengalami henti jantung. Keterampilan RJP dan penerapannya tergantung pada pelatihan yang pernah dijalani, pengalaman, dan rasa percaya diri penolong.2Kompresi dada merupakan fondasi penting RJP sehingga setiap penolong baik terlatih maupun tidak, harus mampu memberikan kompresi dada pada setiap korban henti jantung. Mengingat pentingnya fungsi kompresi dada pada keadaan henti jantung, maka kompresi dada dijadikan sebagai tindakan prioritas pertama dalam menolong korban pada semua usia. Penolong yang terlatih harus melakukan kompresi dada yang dikombinasi dengan ventilasi (nafas bantuan). Sedangkan penolong yang termasuk dalam kategori sangat terlatih secara bersama-sama melakukan pertolongan dalam bentuk tim.2-5Sebagian besar peristiwa henti jantung pada orang dewasa terjadi secara mendadak, yang penyebabnya berasal dari penyakit jantung primer sehingga kompresi dada untuk mengembalikan sirkulasi memegang peranan penting. Sebaliknya, henti jantung pada anak-anak seringkali disebabkan oleh keadaan asfiksia yang membutuhkan penanganan berupa ventilasi dan kompresi dada. Hal ini berarti, nafas bantuan akan lebih penting dilakukan untuk penanganan henti jantung pada korban anak-anak dibandingkan korban dewasa.2

Gambar 2. Kerangka Konseptual untuk Resusitasi Jantung Paru22.4 Langkah-Langkah Resusitasi Jantung Paru

2.4.1 Melakukan pengenalan segera pada kondisi henti jantung dan mengaktivasi sistem respon gawat daruratSaat menemukan korban yang mengalami henti jantung mendadak, seorang penolong harus dapat melakukan pengenalan bahwa korban tersebut benar-benar mengalami henti jantung berdasarkan pada tidak adanya respon dan tidak adanya nafas normal. Setelah memastikan korban tersebut benar-benar mengalami henti jantung, penolong harus segera mengaktivasi sisten respon gawat darurat, mencari AED atau defibrillator jika memungkinkan, dan memulai RJP dengan kompresi dada. Jika AED tidak berada dekat dengan tempat kejadian, penolong harus segera memulai RJP. Jika terdapat beberapa penolong, maka penolong pertama mengintruksikan penolong lain untuk mengaktivasi sistem respon gawat darurat dan mencari AED atau defibrillator, selanjutnya penolong pertama harus segera memulai tindakan RJP.2,5Ketika AED atau defribilator tiba, pasang elektroda, jika memungkinkan kompresi dada tetap dilakukan tanpa interupsi dan nyalakan AED. AED ini akan menganalisis ritme dan secara langsung memberikan arahan kepada penolong untuk melakukan kejut listrik atau melanjutkan RJP. Jika AED atau defibrillator tidak tersedia, lanjutkan RJP tanpa interupsi sampai penolong lain datang.2 Aktivasi respon gawat darurat dan inisiasi RJP segera dilakukan setelah menentukan korban mengalami henti jantung. Korban yang mengalami henti jantung tidak memberikan respon. Pernafasan tidak ada atau tidak normal. 2,32.4.2Memberikan resusitasi jantung paru Sejak tahun 1966, American Heart Association (AHA) telah menetapkan pedoman resusitasi dengan urutan langkah-langkah Bantuan Hidup Dasar dengan akronim A-B-C yaitu: membuka jalan nafas (Airway), memberikan nafas bantuan (Breathing), dan kemudian memberikan kompresi dada (Circulation). Namun ternyata urutan ini berdampak pada penundaan bermakna sekitar 30 detik untuk memberikan kompresi dada lebih awal untuk mempertahankan sirkulasi pada korban henti jantung. Pada menit-menit awal dalam darah pasien atau korban yang mengalami henti jantung masih terkandung residu oksigen dalam bentuk ikatan oksihemoglobin yang dapat diedarkan dengan bantuan sirkulasi buatan melalui kompresi dada. Oleh karena itu, dalam Pedoman 2010, AHA mengatur ulang urutan RJP dari A-B-C menjadi C-A-B, sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada sesegera mungkin. Rangkaian Bantuan Hidup Dasar pada hakekatnya bersifat dinamis, namun sebaiknya tidak ada langkah yang terlewatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.2,4

Gambar 3. Algoritma Sederhana Bantuan Hidup Dasar pada Orang Dewasa2CirculationPada dasarnya circulation terdiri dari dua tahap yaitu, memeriksa denyut nadi karotis dan melakukan kompresi dada. Penelitian yang telah dilakukan mengenai resusitasi menunjukkan baik penolong awam maupun tenaga kesehatan mengalami kesulitan dalam melakukan pemeriksaan pulsasi arteri karotis. Sehingga untuk hal tertentu pengecekan pulsasi tidak diperlukan. Berdasarkan pedoman AHA 2010, pemeriksaan nadi karotis tidak ditekankan sebagai mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering mengalami kesulitan mendeteksi nadi, sehingga penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis. Korban diasumsikan mengalami henti jantung jika korban tiba-tiba tidak sadar, tidak bernafas, atau bernafas tetapi tidak normal. Sedangkan bagi tenaga kesehatan, pemeriksaan denyut nadi karotis tidak boleh dilakukan lebih dari 10 detik. Jika dalam 10 detik, arteri karotis tidak teraba secara pasti maka dilanjutkan dengan kompresi. Jika nadi teraba berikan 1 kali nafas setiap 5-6 detik. Kemudian periksa nadi setiap 2 menit, sedangkan jika tidak teraba nadi lanjutkan dengan melakukan kompresi dada.2,4-5Penilaian denyut nadi dilakukan dengan penolong berada di sebelah kanan korban. Penolong meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada garis median leher (trakea), kemudian geser ke lateral, tidak boleh menyebrangi garis tengah, lalu raba pulsasi arteri karotisnya.3

Gambar 4. Cara Menilai Pulsasi Arteri Karotis3 Pemberian resusitasi jantung paru sedini mungkin merupakan sebuah aspek fundamental resusitasi pada korban henti jantung. RJP meningkatkan kesempatan selamat bagi korban dengan cara menyediakan sirkulasi ke jantung dan otak. Penolong harus melakukan kompresi dada untuk seluruh pasien atau korban henti jantung, sesuai dengan tingkat keterampilan penolong, karakteristik korban dan ketersediaan alat. Jika terdapat lebih dari satu orang penolong, kompresi dilakukan secara bergantian setiap 2 menit.2

Untuk mengoptimalkan efektifitas kompresi dada, jika memungkinkan letakkan korban atau pasien pada tempat yang datar dengan posisi supinasi dan lutut penolong berada di samping dada korban (untuk resusitasi yang dilakukan di luar rumah sakit) atau berdiri di samping tempat tidur pasien (untuk resusitasi yang dilakukan di rumah sakit). Karena tempat tidur di rumah sakit biasanya tidak datar maka biasanya digunakan papan pada saat melakukan RJP. Namun, jika menggunakan papan, hal ini tidak boleh mengganggu inisiasi RJP.5Karena kesulitan untuk memberikan kompresi dada yang efektif saat pemindahan pasien selama RJP, resusitasi dilakukan di tempat dimana pasien ditemukan. Hal ini mungkin sulit dilakukan jika lingkungan berbahaya.5Penolong harus meletakkan tumit salah satu tangan bukan telapak tangan pada bawah sternum dan tumit tangan lainnya berada di atas tangan pertama sehingga tangan saling bertautan dan paralel. RJP dilakukan dengan menggunakan tumit tangan untuk menciptakan aliran darah melalui peningkatan tekanan intratorakal dan penekanan langsung pada dinding jantung.3,5 Untuk melakukan kompresi dada yang benar membutuhkan keterampilan tambahan. Sternum pada orang dewasa harus ditekan minimal 2 inci atau sekitar 5 cm dengan kompresi dada dan pengembangan dada yang sama jumlahnya. Usahakan agar dada mengembang secara sempurna setelah setiap kali kompresi. Pada penelitian mengenai RJP yang dilakukan di dalam maupun di luar rumah sakit, pengembangan dada yang tidak sempurna sering terjadi, terutama saat penolong merasa kelelahan. Pengembangan dada yang tidak sempurna saat melakukan RJP Bantuan Hidup Dasar berhubungan dengan peningkatan tekanan intratorakal, dan penurunan hemodinamik yang signifikan, meliputi penurunan perfusi koroner, cardiac index, aliran darah miokardial, dan perfusi ke otak. Insiden pengembangan dinding dada yang tidak sempurna dapat diturunkan dengan menggunakan alat rekam elektrik yang akan memberikan umpan balik. Studi dengan menggunakan manekin menunjukkan bahwa pengangkatan ringan tumit tangan saat melakukan kompresi dada dapat meningkatkan pengembangan dada.5Jumlah total pemberian kompresi dada pada korban merupakan sebuah fungsi dari nilai kompresi dada dan proporsi dari waktu saat dilakukannya kompresi tanpa interupsi. Nilai kompresi diartikan sebagai kecepatan kompresi, bukan nilai aktual kompresi per menit. Nilai aktual kompresi dada per menit dideterminasikan sebagai jumlah dari kompresi dada dan durasi interupsi saat melapangkan jalan nafas, pemberian nafas bantuan dan melakukan analisis AED. Jumlah pemberian kompresi dada setiap menit merupakan determinan penting dari kembalinya sirkulasi spontan (ROSC). Sebuah penelitian di rumah sakit menunjukkan bahwa pasien yang mengalami henti jantung yang diberikan > 80 kompresi per menit berhubungan dengan ROSC. Penelitian lain menunjukkan kompresi dada yang dilakukan 68 89 kompresi per menit meningkatkan keberhasilan ROSC, penelitian ini juga menunjukkan bahwa keberhasilan terjadi saat kompresi dada dilakukan sebanyak 120 kompresi per menit. Hal ini menjadi alasan bagi penolong baik orang awam maupun tenaga kesehatan diharapkan melakukan kompresi dada pada orang dewasa dengan jumlah minimal 100 kompresi per menit.2,5Pada tahun 2005, tiga buah penelitian observasional menunjukkan data bahwa interupsi saat kompresi dada sering terjadi, yaitu sekitar 24 57 % dari total waktu henti jantung. Penelitian ini menunjukkan bahwa minimalisasi frekuensi dan durasi interupsi pada saat kompresi dada mungkin dapat meningkatkan klinis pasien henti jantung. Hal ini menjadi alasan bagi penolong untuk meminimalisasi interupsi kompresi dada untuk memeriksa pulsasi arteri karotis, analisis ritme jantung atau melakukan aktivitas lain saat sedang melakukan kompresi dada, terutama saat sebelum dan sesudah dilakukannya kejut listrik.5Penolong yang kelelahan tidak dapat melakukan kompresi dada yang adekuat baik jumlah maupun kedalaman kompresi. Kelelahan melakukan kompresi seringkali terjadi setelah 1 menit RJP, meskipun penolong mungkin tidak menunjukkan kelelahan untuk 5 menit awal. Ketika terdapat dua orang penolong atau lebih, ini memungkinkan untuk mengganti kompresi dada setiap 2 menit atau setelah 5 siklus kompresi dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Hal ini dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas kompresi dada. Pertimbangan melakukan pergantian kompresi selama intervensi berhubungan dengan interupsi saat kompresi dada seperti saat pemberian kejut listrik dengan AED. Pergantian ini harus dilakukan < 5 detik. Jika dua orang penolong diposisikan berada masing-masing di samping pasien, penolong yang lain harus bersiap dan menunggu untuk melakukan kompresi secara bergiliran setiap 2 menit.5Apabila tersedia alat bantu nafas dan terdapat dua orang penolong, maka tidak akan terjadi interupsi untuk melakukan ventilasi saat melakukan kompresi dada. Hal ini berarti penolong yang bertugas memberikan kompresi harus terus melakukan kompresi dengan jumlah minimal 100 kali per menit tanpa interupsi untuk melakukan ventilasi. Sedangkan penolong yang bertugas memberikan ventilasi dapat memberikan nafas bantuan setiap 6 8 detik atau sekitar 8-10 kali nafas bantuan per menit.2-5Apabila hanya terdapat satu orang penolong, maka penolong hanya melakukan kompresi dada tanpa melakukan pemberian nafas bantuan. Hal ini dikarenakan henti jantung mendadak sering kali disebabkan oleh VF dan pemberian nafas bantuan dianggap tidak sepenting kompresi dada karena jumlah oksigen dalam darah masih adekuat dalam waktu beberapa menit setelah terjadinya henti jantung. Sebagai contoh, banyak kasus pasien henti jantung menunjukkan nafas terengah-engah dan pertukaran gas terjadi untuk beberapa kali oksigenasi dan eliminasi karbon dioksida. Jika jalan nafas lapang, pengembangan dada secara pasif selama fase relaksaasi dari kompresi dada dapat memberikan pertukaran gas yang sama.5

Tidak ada penelitian prospeftif pada pasien henti jantung dewasa yang menunjukkan bahwa penolong tidak terlatih yang melakukan kompresi dada dan ventilasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian RJP yang hanya dilakukan dengan kompresi dada. Penelitian lain pada pasien pediatri di luar rumah sakit yang mengalami henti jantung menunjukkan keberhasilan lebih tinggi apabila dilakukan RJP konvensional (termasuk pemberian nafas bantuan). Hal ini dikarenakan pemberian nafas bantuan merupakan komponen penting dalam keberhasilan resusitasi pada henti jantung anak akibat asfiksia.5 Interupsi saat kompresi dada untuk mempalpasi arteri karotis atau untuk menilai ROSC dapat mengganggu perfusi organ vital. Oleh karena itu, penolong yang tidak terlatih tidak perlu melakukan interupsi kompresi dada untuk mempalpasi pulsasi atau mengecek ROSC. Penolong tidak terlatih harus melanjutkan RJP hingga AED tiba, pasien terbangun, atau petugas medis datang untuk melakukan RJP.2,5Sebaliknya, petugas medis harus melakukan interupsi kompresi dada seminimal mungkin apabila memungkinkan dan mencoba untuk membatasi interupsi tidak lebih dari 10 detik, kecuali untuk intervensi khusus seperti pemasangan alat bantu nafas atau penggunaan defibrillator. Oleh karena kesulitan dalam menilai pulsasi arteri karotis, interupsi saat kompresi dada untuk menilai pulsasi hendaknya diminimalisasi.2,5 Airway

Pada pedoman AHA sebelumnya, perubahan signifikan direkomendasikan yaitu untuk memulai kompresi dada sebelum melakukan ventilasi.5-6

Melapangkan jalan nafas dengan cara head tilt chin lift atau jaw thrust kemudian dilanjutkan dengan pemberian nafas bantuan dapat meningkatkan oksigenasi dan ventilasi. Dapat dikatakan maneuver ini secara teknis dapat mengganggu proses kompresi dada, terutama pada penolong tunggal yang belum terlatih. Oleh karena itu, penolong yang tidak terlatih hanya melakukan kompresi dada tanpa ventilasi sedangkan penolong tunggal yang sudah terlatih harus mampu melapangkan jalan nafas dan memberikan nafas bantuan serta kompresi dada. Ventilasi harus diberikan jika pasien atau korban memiliki risiko tinggi henti jantung akibat asfiksia seperti pada kasus bayi, anak-anak atau korban tenggelam.2Pedoman AHA 2010 merekomendasikan untuk:2,5 Menggunakan head tilt - chin lift untuk membuka jalan nafas pada pasien yang tidak memiliki kecurigaan trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12 3 % pasien dengan trauma tumpul mengalami cedera spinal, dan risiko cedera servikal meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial, atau GCS < 8. Untuk pasien yang dicurigai mengalami cedera spinal, penolong lebih mengutamakan melakukan retriksi manual (menempatkan satu tangan pada setiap sisi kepala pasien) dibandingkan dengan menggunakan alat bantu imobilisasi spinal karena dapat mengganggu jalan nafas, namun alat ini bermanfaaat mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi. Jika pasien dicurigai mengalami cedera servikal, penolong harus membuka jalan nafas dengan menggunakan jaw thrust tanpa ekstensi kepala. Hal ini dikarenakan menjaga jalan nafas agar tetap terbuka dan menyediakan ventilasi adekuat merupakan prioritas dalam RJP.

Gambar 5. a) head tilt - chin lift; b) jaw thrust3Breathing

Sesuai dengan pedoman RJP terbaru yang dikeluarkan oleh AHA 2010, penolong tidak perlu melakukan observasi nafas spontan dengan Look, Listen and Feel karena langkah tersebut dianggap tidak konsisten dan menghabiskan banyak waktu. Selama RJP, tujuan utama dilakukannya ventilasi adalah untuk menjaga oksigenasi agar tetap adekuat dan tujuan kedua adalah untuk mengeliminasi karbondioksida. Bagaimanapun, konsentrasi oksigen saat insprirasi optimal, volume tidal dan laju respirasi untuk mencapai hal ini tidak diketahui. Maka dari itu selama menit-menit awal terjadinya henti jantung mendadak akibat VF, pemberian nafas bantuan tidak terlalu penting dibandingkan dengan pemberian kompresi dada karena komponen oksigen yang tidak berada dalam sirkulasi darah arteri tidak akan berubah sampai RJP dimulai. Komponen oksigen dalam darah ini kemudian akan menjadi adekuat selama beberapa menit awal RJP. Melapangkan jalan nafas dan memberikan nafas bantuan akan memperlambat inisiasi dari kompresi dada. Berdasarkan pada masalah tersebut pada pedoman AHA 2010 untuk RJP dan Perawatan Darurat Kardiovaskuler, algoritma yang digunakan adalah C-A-B (Circulation-Airway Breating).2,5-6Untuk pasien yang telah lama mengalami henti jantung, kompresi dada dan ventilasi dianggap penting karena kelebihan oksigen dalam darah telah dipergunakan dan terjadi deplesi oksigen di dalam paru-paru. Ventilasi dan kompresi juga dianggap penting pada pasien asfiksia seperti pada anak-anak dan korban tenggelam, karena pasien mengalami hipoksemia pada awal terjadinya henti jantung.5Pada Pedoman AHA 2010 untuk Resusitasi Jantung Paru dan Perawatan Darurat Kardiovaskuler merekomendasikan banyak kesamaan pada pemberian nafas bantuan sesuai dengan AHA 2005, yaitu:2,5

Pemberian setiap nafas bantuan lebih dari 1 detik (1,5 2 detik). Memberikan volume tidal yang cukup agar terjadi pengembangan dada.

Menggunakan rasio kompresi berbanding ventilasi sebanyak 30 kali kompresi dada dan 2 kali ventilasi.

Saat alat untuk melapangkan jalan nafas seperti pipa endotrakeal atau laryngeal mask airway (LMA) tersedia dan terdapat dua orang petugas medis, berikan ventilasi secara regular 1 kali nafas setiap 6-8 detik (8-10 kali nafas per menit) tanpa memperhitungkan sinkronisasi antara pemberian nafas dan kompresi. Oleh karena itu, tidak akan terjadi interupsi selama kompresi dada untuk memberikan ventilasi. Ventilasi yang berlebihan tidak dianjurkan dan dapat menyebabkan inflasi lambung sehingga mengakibatkan komplikasi seperti regurgitasi maupun aspirasi. Selain itu, ventilasi yang berlebihan merupakan suatu hal yang membahayakan karena dapat meningkatkan tekanan intratorakal, menurunkan aliran darah balik vena ke otak, dan mengurangi curah jantung. Oleh karena itu, penolong harus menghindari ventilasi berlebihan selama RJP seperti pemberian nafas bantuan yang terlalu banyak atau volume nafas yang terlalu besar.5

Gambar 6. Algoritma Bantuan Hidup Dasar Bagi Tenaga Kesehatan5Pemberian nafas bantuan dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dari mulut ke mulut, mulut ke penghalang alat bantu nafas, mulut ke hidung dan mulut ke stoma, ventilasi dengan kantong dan masker, ventilasi dengan supraglotic airway, atau ventilasi dengan alat bantu nafas seperti LMA. Ventilasi yang dilakukan melalui alat bantu nafas yang sudah terfiksasi akan memudahkan penolong. Penolong tidak perlu melakukan interupsi pada kompresi dada saat akan melakukan pemberian nafas bantuan. Kompresi dada tetap dapat dilakukan sesuai siklus yaitu sebanyak 30 kompresi dan ventilassi sebanyak 2 kali. Hal ini berarti kompresi dada tetap terus berlangsung dengan laju minimal 100 kali per menit tanpa interupsi, dan ventilasi diberikan dengan laju 8 10 kali per menit.52.4.3Melakukan defibrilasi sedini mungkinSetelah mengaktifkan sistem respon gawat darurat, seorang penolong harus berusaha mencari AED di pelayanan kesehatan terdekat. Kesempatan hidup seorang korban henti jantung menurun dengan peningkatan interval antara terjadinya henti jantung dan dilakukannya defibrilasi. Seluruh penolong terlatih dididik untuk dapat melakukan defibrilasi karena ventricular fibrillation (VF) merupakan penyebab tersering henti jantung pada orang dewasa. Defibrilasi dini merupakan suatu batu loncatan untuk terapi VF dan ventricular tachycardia. Pada pasien dengan VF, menunjukkan angka keberhasilan meningkat ketika dilakukan RJP sesegera mungkin dan defibrilasi dilakukan dalam 3 5 menit setelah kolaps. Masyarakat dan rumah sakit harus bekerja secara agresif untuk menurunkan interval waktu antara henti jantung dan defibrilasi.2,5 Salah satu determinasi dari keberhasilan defibrilasi adalah kompresi dada yang efektif. Hasil akhir defibrilasi akan meningkat jika terdapat interupsi minimal atau tidak terdapat interupsi saat dilakukannya kompresi dada.2

Adapun langkah-langkah defibrilasi adalah sebagai berikut:3,5 Hidupkan AED dengan menekan sakelar ON Pasang bantalan elektroda pada dada pasien Jangan melakukan kontak langsung dengan pasien saat sedang dilakukan analisis irama jantung pasien oleh alat AED Ikuti perintah AED. Tekan tombol SHOCK jika alat AED memerintahkan tindakan kejut listrik, atau langsung lakukan RJP sebanyak 5 siklus jika alat tidak memerintahkan tindakan kejut listrik Lanjutkan kompresi dada segera setelah kejut listrik (interupsi minimal).Pada Tabel 1, memuat ringkasan rekomendasi RJP yang dilakukan pada orang dewasa, anak-anak dan bayi berdasarkan Pedoman AHA 2010. Tabel ini mencakup beberapa rekomendasi sesuai dengan komponen Bantuan Hidup Dasar yaitu circulation, airway, dan breating.Tabel 1

Ringkasan Komponen Bantuan Hidup Dasar pada Dewasa, Anak-anak dan Bayi2

KomponenRekomendasi

Dewasa Anak-anakBayi

Pengenalan awalPasien tidak sadar (pada semua usia)

Tidak ada nafas,

tidak bernafas normal (hanya terengah-engah)Tidak ada nafas atau hanya terengah-engah

Nadi karotis tidak teraba dalam 10 detik

(hanya untuk penolong terlatih)

Urutan Bantuan Hidup Dasar (BHD)CABCABCAB

Frekuensi kompresiMinimal 100 kali per menit

Kedalaman kompresiMinimal 2 inchi

(5 cm)Minimal 1/3 diameter antero-posterior dada, sekitar 2 inchi (5 cm)Minimal 1/3 diameter antero-posterior dada, sekitar 1,5 inchi

(4 cm)

Pengembangan dinding dadaUsahakan terjadi pengembangan sempurna setiap kompresi

Untuk penoloong terlatih, pergantian posisi penolong setiap 2 menit.

Interupsi bantuanInterupsi seminimal mungkin,

jika memungkinkan interupsi dilakukan < 10 detik

Jalan nafas (Airway)Head tilt Chin lift(untuk kecurigaan trauma leher lakukan Jaw thrust)

Kompresi30 : 2

(1 atau 2 penolong)30 : 2 (satu penolong)

15 : 2 (dua penolong terlatih)30 : 2 (satu penolong)

15 : 2 (dua penolong terlatih)

VentilasiJika penolong tidak terlatih, kompresi saja

Pada penolong terlatih, kompresi diberikan dengan nafas bantuan.

Berikan nafas setiap 6-8 detik atau sekitar 8-10 kali per menit

Defibrilasi Pasang dan tempelkan AED sesegera mungkin.

Minimalisasi interupsi kompresi baik sebelum atau sesudah kejut listrik. Lanjutkan RJP diawali dengan kompresi setelah kejut listrik.

2.5 Hambatan dalam Meningkatkan Kualitas RJP Dalam melakukan RJP terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Keberhasilan dalam melakukan RJP sangat bergantung pada kecakapan penolong dalam melakukan RJP. Terdapat beberapa hambatan yang sering terjadi dalam melaksanakan RJP yaitu, kesulitan menentukan seorang pasien yang bernafas terengah-engah sebagai tanda dari henti jantung, keterlambatan respon untuk memulai RJP, lambatnya frekuensi kompresi dada, kompresi dada yang kurang dalam, adanya interupsi yang sering terjadi saat melakukan kompresi, ventilasi yang tidak efektif, jarak yang terlalu lama antara kompresi dan pemberian nafas bantuan, ventilasi yang terlalu berlebihan, keterlambatan tersedianya defribilator, interupsi yang lama pada kompresi dada sebelum dan sesudah kejut listrik, lambatnya pertukaran dalam melakukan kompresi pada kondisi lebih dari satu orang penolong sehingga penolong kelelahan dan kualitas kompresi menurun, serta kurangnya komunikasi antar penolong sehingga pada saat kompresi sering terjadi interupsi.2BAB IIIKESIMPULAN

Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi yang mengalami kegagalan mendadak pada pasien yang masih mempunyai harapan hidup. Upaya untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam resusitasi memerlukan suatu tindakan yang terkoordinasi dan terpadu yang digambarkan dengan chain of survival, yang terdiri dari pengenalan segera henti jantung dan mengaktivasi sistem respon gawat darurat, resusitasi jantung paru sedini mungkin, defibrilasi sedini mungkin, pemberian bantuan hidup lanjut dengan efektif serta pemberian perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi.Pedoman RJP dalam perkembangannya telah mengalami perbaikan dibandingkan sebelumnya. Pedoman RJP terbaru yang digunakan mengacu pada AHA 2010 yang telah mengalami evaluasi dan perbaikan yaitu dilakukannya pengenalan kondisi henti jantung mendadak segera berdasarkan penilaian respon korban atau pasien dan tidak adanya nafas, perintah look, listen and feel dihilangkan dari algoritme BHD, penekanan pada kompresi dada yang berkelanjutan dalam melakukan RJP oleh penolong yang tidak terlatih, perubahan urutan BHD dengan mendahulukan kompresi dada sebelum melakukan pemberian nafas bantuan (A-B-C diubah menjadi C-A-B), RJP yang efektif dilakukan sampai tercapainya kembali sirkulasi spontan atau penghentian upaya resusitasi, peningkatan fokus metode untuk meningkatkan kualitas RJP yang lebih baik, dan penyederhanaan Algoritme BHD.Sesuai dengan pedoman AHA 2010 yang telah di bahas, maka penolong harus fokus untuk memberikan RJP yang adekuat dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Melakukan kompresi dada dengan frekuensi yang adekuat, minimal 100 kali per menit, (2) Melakukan kompresi dada dengan kedalaman yang adekuat. Pada dewasa dan anak-anak sekitar 5 cm, serta bayi sekitar 4 cm, (3) Membiarkan terjadinya pengembangan dada secara sempurna setelah setiap kali kompresi, dan (4) Meminimalisasi interupsi saat kompresi dilakukan.

b

a

21