Paper Perbaikan UTS GenKes(1).doc

32
MATA KULIAH GENDER DAN KESEHATAN “PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” Disusun Dalam Rangka Perbaikan Ujian Tengah Semester Oleh : Putri Amalaili Setioningtyas 1406648470 Dosen: Ir. Ahmad Syafiq M.Sc., Ph.D

Transcript of Paper Perbaikan UTS GenKes(1).doc

MATA KULIAH GENDER DAN KESEHATAN

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGADisusun Dalam Rangka Perbaikan Ujian Tengah SemesterOleh :

Putri Amalaili Setioningtyas 1406648470 Dosen: Ir. Ahmad Syafiq M.Sc., Ph.DUNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM S1 EKSTENSI

2015KATA PENGANTARDAFTAR ISI

2KATA PENGANTAR

3DAFTAR ISI

4BAB I PENDAHULUAN

41.1Latar Belakang

51.2Rumusan Masalah

51.3Tujuan

5BAB II TINJAUAN PUSTAKA

62.1Kekerasan dalam Rumah Tangga

62.2Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

82.3Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tanngga

92.4Siklus Kekerasan dalam Rumah Tangga

10BAB III PEMBAHASAN

103.1Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga

133.2Fakta Seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga

153.3Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Perempuan di Indonesia

173.4Kebijakan Penanganan Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga

19BAB IV PENUTUP

194.1Kesimpulan

204.2Saran

21DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Istilah KDRT sebagaimana ditentukan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut seringkali disebut dengan kekerasan domestik. Kekerasan domestik sebetulnya tidak hanya menjangkau para pihak dalam hubungan perkawinan antara suami dengan istri saja, namun termasuk juga kekerasan yang terjadi pada pihak lain yang berada dalam lingkup rumah tangga. Pihak lain tersebut adalah 1) anak, termasuk anak angkat dan anak tiri; 2) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak karena hubungan darah, perkawinan (misalnya: mertua, menantu, ipar dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga serta; 3) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.10Siapapun sebetulnya berpotensi untuk menjadi pelaku maupun korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah tangga pun tidak mengenal status sosial, status ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, suku maupun agama. Namun demikian, berdasarkan Catatan KOMNAS Perempuan dalam Pelaporan Kasus KDRT Pasca UU-PKDRT selain menggambarkan adanya peningkatan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga dari tahun ke tahun juga menunjukkan bahwa diantara korban tersebut terbanyak adalah istri, yakni mencapai 85% (25.788 kasus ) dari total korban. Anak perempuan merupakan korban ketiga terbanyak (1.693 kasus) setelah pacar (2.548 kasus) dan pembantu rumah tangga menduduki posisi keempat terbanyak (467 kasus).7 Data tersebut menunjukkan pada kita bahwa mayoritas korban kekerasan dalam rumah tangga ternyata perempuan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perempuan tergolong pihak yang dianggap rentan terhadap kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu, data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Menurut Pelaku, menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi sebanyak 51,1% dilakukan oleh suami; 11,7% dilakukan oleh orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili; 19,6% dilakukan oleh tetangga; 2,5% dilakukan oleh atasan/majikan; 2,9% dilakukan oleh rekan kerja; 0,2% dilakukan oleh guru; dan 8,0% dilakukan oleh lain-lain.7 Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam rumah tangga, mutlak memerlukan perlindungan hukum.1.2 Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah yang akan dipaparkan pada penulisan ini adalah permasalahan serta analisa tentang Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

1.3 Tujuan

Mengetahui permasalahan dan analisa tentang kasus Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga.BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga

Beberapa ahli mengemukakan bahwa istilah keluarga mengacu pada rasa aman dan dilindungi, kondisi yang private dan tempat berteduh dari tekanantekanan dan kesulitan di luar, tempat di mana anggota keluarga bisa merasakan eksistensinya dalam keadaan damai, aman dan tentram. Ironisnya, sudah banyak penelitian menunjukkan bahwa keluarga bisa menjadi the cradle of violence di mana anggota keluarga bisa menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga, yang biasa mengalaminya dalam hal ini kaum yang sering dianggap lemah oleh beberapa kelompok masyarakat yaitu kaum perempuan dan anakanak.3 Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 terhadap Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.10Dari beberapa kajian literatur, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh lakilaki terhadap perempuan hal ini lebih sering terjadi yaitu kekerasan yang dilakukan lakilaki ditujukan kepada perempuan. Persepsi yang menjadi pelaku kekerasan lebih memungkinkan adalah lakilaki dan yang mengalami kekerasan korbannya adalah perempuan hal ini berhubungan dengan stereotipe bias gender. Selain faktor bias gender dan faktor budaya patriarki, variabel seperti attachment, variabel self esteem, variabel law enforcement dan faktor kepribadian seperti kepribadian borderline dan kepribadian anti sosial dianggap sebagai determinan dari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.22.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam:101. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut, menendang, menyudut rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan Nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.2. Kekerasan psikologis/emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan oranng dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberikan nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.

2.3 Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tanngga

Hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

3. Beban pengasuhan anakIstri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

4. Wanita sebagai anak-anak Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasus sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oelh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga. 2.4 Siklus Kekerasan dalam Rumah TanggaTeori siklus kekerasan yang dikemukakan oleh Walker (1979) yang dikutip oleh LKP2 (2003), dapat dijelaskan sebagai berikut:11. Tension-building phase atau fase ketegangan yaitu suatu masa dimana terjadi ketegangan-ketegangan kecil terjadi, terus mulai bertambah dan semakin tidak tertahan. Perempuan mencoba menenangkan/menyabarkan pasangan dengan cara apapun. Perempuan merasa tidak berdaya. Pelaku merasa cemburu dan curiga berlebihan pada istri.2. Explosion or baterring phase adalah fase kedua atau fase penganiayaan pada fase ini ketegangan yang meningkat dilepaskan dengan penganiayaan. Pelaku mulai mengeluarkan ancaman pembuhunan secara verbal maupun fisik, perkosaan. Pada fase ini sebagian besar korban mengalami cedera yang mengharuskan korban segara dibawa ke fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat.3. Honeymoon phase/calm phase merupakan fase terakhir atau penyesalan atau bulan madu dimana pelaku merasa bersalah dan menyesal telah melakukan kekerasan, pelaku mengatakan bahwa dia tidak bermaksud menyakiti pasangannya, memohon maaf, memberikan hadiah dan menangis. BAB III PEMBAHASAN3.1 Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Dilaporkan oleh Adiningsih (2004) bahwa pada tahun 2003 telah terjadi 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan 2.703 di antaranya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).12 Dalam hal ini kekerasan dikenali dari akibat fisik yang ditimbulkan, antara lain lukaluka ringan, memarmemar, terbakar (sundutan rokok), patah anggota tubuh, sampai dengan korban meninggal. Namun demikian, ada juga bentuk kekerasan yang sifatnya psikologis. Di dalam keluarga contohnya adalah tidak dilibatkannya dalam pembuatan keputusan keluarga, tidak diberi kesempatan/kepercayaan mengelola keuangan keluarga, direndahkan atau disepelekan oleh suami, tidak diberi nafkah, dan tidak dipenuhi kebutuhan biologiknya.

Studi di Nagpur India tentang kekerasan terhadap istri dengan n=434 menunjukkan bahwa 66% dari responden pernah ditampar oleh suami, 41% pernah ditendang, dan 31% pernah dipukul. Di antara wanita tersebut, 36% pernah ditampar oleh suami sewaktu hamil, 24% ditendang, dan 15% dipukul. Dari responden tersebut 15% di antaranya membutuhkan bantuan medis.5Penelitian Wimbarti dkk (1998) terhadap 100 orang ibu di Kodia Yogyakarta yang respondennya terdiri atas ibuibu: pengajar perguruan tinggi, karyawan swasta, dan ibu Rumah Tangga menunjukkan bahwa 30% dari mereka bila disakiti oleh suaminya akan membalas menyakiti, bila disakiti suami biasanya akan menangis. Bila secara psikologis mereka disakiti oleh suaminya, lebih dari setengahnya (51%) tidak mencari pertolongan.12Kenyataan bahwa ada 19% subyek yang dalam satu tahun terakhir ini menerima tindak kekerasan suami menunjukkan suatu prosentase yang tinggi. Ini juga dapat diartikan bahwa satu dari 5 istri mengalami kekerasan dari suami dalam satu tahun terakhir ini. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa cara menyikapi istri bila terlanda kekerasan suami adalah menanyakan suami mengapa ia bertindak kasar/keras, menangis, dan diam saja. Cara penyikapan yang demikian menunjukkan posisi lemah dari istri di depan suami, sehingga kelemahan ini yang membuat mereka tidak berusaha meminta tolong kepada pihak lain apabila menerima kekerasan dari suami.

Dilakukan penelitian dengan subyek dari penelitian ini adalah 57 istri dari kota (Kodia Yogyakarta) dan 28 dari desa (Kabupaten Bantul). Inklusi dari keadaan subyek adalah wanita yang masih terikat perkawinan, tinggal pada rumah yang sama dengan suaminya, dan mempunyai anak yang berumur di bawah 18 tahun yang tinggal serumah.12 Pada tabel 1 didapatkan presentase tindakan suami yang dianggap kekerasan dan perlakuan keras yang diterima istri sedangkan tabel 2 merupakan presentase cara menyikapi bila menerima kekerasan dari suami.12

Kadang kekerasan itu tidak berdiri sendiri. Dari 336 kasus kekerasan terhadap perempuan 189 korban mengemukakan mengalami kekerasan tunggal atau 56,3%. Korban mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Ada yang mengalami dua kekerasan sekaligus (kekerasan berganda) 107 kasus (31,8%), namum ada juga yang lebih dari dua (kekerasan berlapis) 40 kasus (11,9%).6 Pada Tabel 3 dijelaskan bahwa pelaku kekerasan pasangan intim, korban perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.8Tabel 3. Pelaku Tindak Kekerasan Dan Jumlah KorbanPelaku KekerasanRata-rata tahunan korban per 1000 orang

PerempuanLaki-laki

Metodologi Survey lama 1987-91

Pasangan intim 5,40,5

Kerabat lainnya1,10,7

Kenalan/teman7,613.0

Orang asing5,412.2

Metodologi NCVS yang baru 1992-93

Pasangan intim9,41,4

Kerabat lainnya2,81,2

Kenalan/teman12,917,2

Orang asing7,419,0

(United Stated) Departement of Justice

Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dapat ditunjukan, antara lain, dari berbagai data yang berhasil dihimpun oleh berbagai pihak, seperti LSM, perguruan tinggi, maupun pemerintah. Pada tabel 4 merupakan data yang berhasil dikumpulkan berdasarkan adanya pengaduan atau hasil penelitian di satu wilayah.9 Fenomena kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es yang hanya data dilihat puncaknya, sedangkan sesungguhnya terjadi tidak tampak.Tabel 4. Data Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

LingkupKasusJumlahTahunSumber

NasionalKTPerempuan6272003LBH APIK

KDRT280

KDRT11,4% (24 juta) dari 217 juta penduduk Indonesia2001Pernyataan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

KTPerempuan59342003Komnas perempuan

JakartaKDRT921998-2000Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan

SemarangKTPerempuan1072003Pusat Pelayanan Terpadu RS Bhayangkara

KDRT47

YogyakartaKekerasan Terhadap Istri10371994-2001Rifka Annisa

NTBKDRT7262002LBH APIK

KDRT11822003

KDRT502002RPK Polda NTB

KDRT702003

Sengketa Perkawinan1552004Dinas Kesejahteraan Sosial & PemberdayaanPerempuan

Perkosaan252004

3.2 Fakta Seputar Kekerasan Dalam Rumah TanggaDi dalam fakta seputar kekerasan dalam rumah tangga akan dibahas tentang karakteriktik pelaku, korban dan mitos yang ada. Berikut penjelasannya:81. Karakteristik Pelaku

Pelaku kekerasan dalam rumah tangga memiliki karakteristik antara lain:

a. 52% pelaku adalah suami

b. 34,4% pelaku memang selalu bersitegang dengan istri (korban)

c. 23% hidup dalam kemiskinan, namun tidak hanya dari kelas ekonomi lemah yang perempuannya menjadi korban kekerasan.d. 17,7% sejak kecil terbiasa melihat kekerasan dalam rumah tangga

e. 9,5% pemabuk

f. 4,1% bekas narapidana

Sedangkan jika dilihat dari kelompok usia pelaku ternyata dari hasil penelitian Mitra Perempuan Women Crisis Center 1997-2000 diperoleh data bahwa sebagian besar pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah rentang usia 31-35 tahun (21%). Kemudian 16% pelaku kekerasan dalam rumah tangga berusia 36-40 tahun, masing-masing 14% rentang usia 26-30 tahun dan rentang usia diatas 46 tahun, sedangkan pelaku yang berusia antara 41-45 tahun sebanyak 12% dan 4% pelaku berusia 16-20 tahun.8Selanjutnya mengenai tingkat pendidikan pelaku diketahui bahwa sebagian besar pelaku kekerasan domestik memiliki latar belakang pendidikan SMU (26%). Tetapi jika dilihat dari pengelompokan tingkat pendidikan maka terlihat bahwa 44% pelaku kekerasan domestik adalah mereka yang berpendidikan tinggi (23% pendidikan Diploma, 21% pendidikan S1 hingga S3).2. Karakteristik Korban

Dari beberapa penelitian, dapat diketahui bahwa umumnya karakteristik para korban tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah: 8a. Umur rata-rata korban adalah 23 tahun, bahkan 3 dari 10 perempuan korban berumur 18-24 tahun.

b. Perempuan yang mengalami penderitaan kekerasan dari suaminya, ternyata berasal dari semua kelas termasuk juga dari yang berpendidikan tinggi, menengah, maupun rendah.

c. 56% dari pasangan berusia kawin antara 1-10 tahun ternyata yang paling banyak mengalami kekerasan dari suaminya.3. Mitos seputar Kekerasan Domestik

Mitra Perempuan mengidentifikasikan adanya sejumlah mitos dalam masyarakat berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga diantaranya adalah:8a. Kekerasan tidak pernah terjadi dalam rumah tangga

b. Kekerasan terjadi pada keluarga miskin, berpenghasilan rendah atau memiliki kesulitan ekonomi

c. Kekerasan terjadi karena suami tidak berpendidikan

d. Kekerasan terjadi karena suami tidak bekerjae. Kekerasan terjadi karena suami dipengaruhi narkoba maupun minuman keras

f. Kekerasan terjadi karena suami sakit jiwa/stress

g. Kekerasan terjadi karena perkawinan tidak didasarkan pada cinta

h. Kekerasan terjadi hanya pada awal-awal perkawinan (tahap penyesuaian)

i. Kekerasan hanya terjadi di dunia Barat, tidak di Indonesia karena orang Indonesia sopan santunnya tinggi

j. Kekerasan hanya berbentuk pemukulan secara fisik

k. Kekerasan terjadi karena istri cerewet

l. Kekerasan terjadi karena istri tidak baik dalam melayani suami maupun mendidik anak

m. Kekerasan terjadi karena istri boros tidak pandai mengatur ekonomi rumah tanggan. Kekerasan terjadi karena istri tidak patuh pada suamiDari uraian mengenai kekerasan dalam rumah tangga ternyata mitos-mitos ini tidak satupun yang sesuai dengan fakta. Mitos-mitos ini dengan mudah bisa ditepis dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan kekerasan bisa terjadi di rumah tangga karena berbagai sebab dan bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang status sosial ekonomi dan pendidikan, bahkan agama, suku bangsa, maupun kebudayaan.

3.3 Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Perempuan di IndonesiaBerikut ini merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada tahun 2007: 111. Tasbirah (21), warga kelurahan Sukasari, Kota Tangerang, dibakar suaminya pada Sabtu 5 Mei 2007 karena menolak berhubungan. Tasbirah yang akhirnya meninggal, menolak karena di rahimnya masih terdapat luka bekas melahirkan anak pertama 40 hari yang lalu.

2. Di jalan Caman, Bekasi, kepala Makbulah (37) mengalami gegar otak setelah dihantam sepatu sandal oleh suaminya.3. Ida farida (45) warga Kelurahan Bantar Jati, kota Bogor, terluka setelah disabet benda tajam oleh suaminya. Ida akhirnya meninggal karena kehabisan darah.

4. Gigi geraham kiri Dewi (21) patah dan matanya berdarah setelah dipukul suaminya, Zulham (26)

Dari kasus-kasus yang dipaparkan terdapat fakta bahwa korban Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah perempuan. Tetapi walaupun demikian terkadang para korban kekerasan rumah tangga masih enggan atau tidak melaporkan peristiwa yang mereka alami. Hal ini terjadi karena mereka berpikir bahwa ini adalah aib keluarga atau bahkan menerima ancaman dari pelaku/suami sehingga tidak ada keberanian untuk melapor. Hal ini dapat dilihat dari sosiokultural matrilineal di Sumatera Barat. Dimana perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami penigkatan yang signifikan. Pada tahun 2003 koraban kasus KDRT berjumlah 132 kasus, kemudian tahun 2004 sebanyak 174 kasus, tahun 2005 menjadi 287 kasus dan tahun 2006 tercatat sebanyak 286 kasus75. Jika dibandingkan antara tahun 2006 dengan tahun 2005, kasus KDRT di Sumatera Barat hanya turun satu kasus saja. Sebagai bukti, misalnya di Sumatera Barat kasus KDRT terjadi setiap melebih 100 kasus, tetapi yang dapat disentuh oleh penegak hukum hanya tidak cukup 50% dari kasus itu, hal ini dapat dilihat dari data yang ada di Direktorat Serse Kriminal Umum Polda Sumatera Barat, kasus KDRT yang tersentuh oleh institusi ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:4Tabel 5. Kasus KDRT Yang Tersentuh Penegak Hukum

3.4 Kebijakan Penanganan Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Secara hukum, perlindungan terhadap perempuan sudah banyak diatur, baik dalam konvensi-konvensi tentang hal-hak kaum perempuan yang telah diratifikasi oleh pemerintah maupun yang telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan peraturan perundangan lainnya, seperti Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan terakhir baru saja ditetapkan adalah Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bahkan dalam pasal 356 ditegaskan bila penganiayaan dilakukan terhadap keluarga dekat/orang yang seharusnya dilindungi, hukumannya ditambah sepertiga dari jumlah hukuman apabila penganiayaan dilakukan terhadap orang lain. Selain itu, dalam kasus istri (perempuan) di bawah umur (16 tahun), apabila laki-laki (suaminya) menyebabkan luka-luka dalam proses hubungan seksual, suami akan didakwa melanggar pasal 288 KUHP.9Pemerintah telah berupaya melalui peraturan dan kebijakan yang dibuat untuk melindungi (secara hukum) kaum perempuan dari tindak kekerasan dan perilaku diskriminasi. Namun demikian, dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, masih banyak perempuan yang menghadapi berbagai tindakan kekerasan. Hal ini disebabkan oleh adanya kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap kaum perempuan. Menurut hasil penelitian Litbang Republika dan The Asia Foundation,9 kendala tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga dengan urutannya kendala kultural 46,2%, kendala individual 38%, dan kendala struktural 14,4%. Yang dimaksud kendala kultural adalah adanya pola sikap dan cara berpikir masyarakat yang telah menjadi kebiasaan dan dianggap wajar. Kendala individual adalah kendala yang ada dalam diri si perempuan sebagai akibat pengondisian masyarakat. Kendala struktural adalah kendala yang timbul karena sistem politik yang berlaku, yaitu sistem patriaki yang mengagungkan peran dominan laki-laki dalam lingkup domestik maupun publik.Selain ketiga kendala tersebut, upaya perlindungan terhadap kaum perempuan juga menghadapi kendala, yaitu adanya biar gender dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, terutama yang menyangkut masalah perempuan. Perempuan korban tindak kekerasan sering kali tidak memperoleh keadilan yang semestinya atau bahkan cenderung dipermasalahkan atas peristiwa atau perlakuan yang mereka alami. Hal ini tidak terlepas dari perspektif gender para penegak hukum. Dalam policy brief hasil penelitian Kekerasan Terhadap Perempuan (TKP) oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM disebutkan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya bias gender dalam penanganan kasus KTP melalui jalur hukum, yaitu:91. Faktor institusional, yaitu tidak adanya struktur di dalam lembaga penegak hukum yang khusus menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.2. Kurang sensitifnya para penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman. Aparat yang menangani kasus KTP sering kali bersikap tidak empatik, bahkan terkesan memojokkan perempuan yang menjadi korban.3. Tidak adanya networking antarlembaga litigasi dan antara lembaga litigasi dan nonlitigasi. Pihak kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman masih berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada jalinan hubungan yang sinergis dalam penanganan kasus KTP. Lembaga litigasi ini pun tertutup terhadap lembaga nonlitigasi, seperti LSM.

4. Ciri masyarakat yang masih biar gender. Adanya kecenderungan budaya patriarki yang kuat di masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang lemah.BAB IV PENUTUP4.1 KesimpulanKekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Faktor bias gender dan faktor budaya patriarki, variabel seperti attachment, variabel self esteem, variabel law enforcement dan faktor kepribadian seperti kepribadian borderline dan kepribadian anti sosial dianggap sebagai determinan dari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) adalah pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.

Siklus kekerasan dalam rumah tangga pertama adalah tension-building phase, kedua explosion or baterring phase dan ketiga honeymoon phase. Kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga dari tahun ke tahun semakin meningkat. Walaupun demikian, banyak kasus tindak kekerasan yang terjadi tidak dilaporkan karena pola pikir (kendala kultural) bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan aib dan hal yang wajar. Hal ini mengakibatkan fenomena kekerasan adalah fenomena gunung es yang hanya data dilihat puncaknya, sedangkan sesungguhnya yang terjadi tidak tampak.Sudah dipastikan perempuan adalah korban yang paling banyak dan mengalami kerugian yang sangat berarti. Walaupun pemerintah sudah berupaya menangani permasalahan ini, tetap saja hal itu tidak berjalan efektif. Hal itu terjadi karena beberapa kendala yang ada seperti kendala kultural, kendala individual dan kendala struktural. Selain itu terdapat bias gender dalam penegakan hukum pada kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk pada kekerasan dalam rumah tangga.4.2 SaranSetelah melakukan analisa tentang Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, perlu kiranya dirumuskan beberapa usulan/saran, seperti:1. Dalam rangka membangun rasa keberpihakan terhadap korban diperlukan suatu intervensi structural yang mencakup dua aspek: kesadaran aparat penegak hukum terhadap keadilan gender dan peningkatan sensitivitas gender tingkat organisasi.

2. Perlu adanya keterbukaan lembaga litigasi terhadap lembaga-lembaga nonligitasi dalam proses pembuatan putusan hukum.

3. Perlu dibentuknya struktur khusus dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang berperspektif gender sehingga keadilan hukum kaum perempuan lebih terjamin.

4. Perlu dihapuskan mitos-mitos yang beredar tentang kekerasan dalam rumah tangga.

5. Meminta para tokoh agama atau tokoh masyarakat agar dalam setiap pertemuan masyarakat disisipkan ceramah tentang dampak buruk kekerasan dalam rumah tangga.6. Pembuatan iklan media elektronik tentang larangan kekerasan dalam rumah tangga.

7. Memberikan penyuluhan sebelum nikah dan sesudah nikah yang disisipkan dampak negatif kekerasan dalam rumah tangga dan untuk menghilangkan pemikiran bias gender.DAFTAR PUSTAKA1. Ambarwati, Winarsih Nur. 2009. Efektifitas Paket PASUTRI Terhadap Kondisi Psikologis Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Di Karisidenan Surakarta, Tesis-FIK. UI: Depok

2. Asmarany, Anugriaty Indah. Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal Psikologi Volume 35, No1.1-20. UGM: Yogyakarta3. Bell, K. M., & Naugle, A. E. (2007). Effects of social desirability on students self reporting of partner abuse perpetration and victimization.Violence and Victims, 22, 243256.4. Hanani, Silfia. Conference Proceedings Annual Internasional Conference on Islamic Studies (AICIS XII) Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Institusi Adat Minangkabau. Diakses tanggal 5 Mei 20155. Hunter, W, & Sadowski, L. 1996. Pilot of the India SAFE study in Nagpur, India. Makalah dipresentasikan pada Second Annual Meeting of the International Research Network on Violence Against Women. Washington, DC, Dec 810. International Police. 1990.6. Kolibonso, Rita Serena Cs. 2000. Mitra Perempuan. Jakarta: Mitra Perempuan

7. Mudjiati, S.H., Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang Responsif Gender, diakses dari www.djpp.depkumham.go.id, tanggal akses 7 Mei 2015.8. Purnianti, dkk. 2003. Menyingkap Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Mitra Perempuan

9. Tamtiari, Wini. 2005. Awig-awig Melindungi Perempuan Dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga?. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada10. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga11. Widiyanti, Linda. 2009. Ulasan Berita Surat Kabar Masalah Gender, Kesehatan dan Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia

12. Wimbarti, Supra. Pengukuran Kebutuhan untuk Perancangan Intervensi Sosial dan Penurunan Resiko Tindak Kekerasan dalam Keluarga di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Psikologi Volume 33, No. 2. 1-12. UGM: Yogyakarta