Paper Lingkungan

download Paper Lingkungan

of 8

description

Perspektif Lingkungan dari sudut pandang HI

Transcript of Paper Lingkungan

PAPER PENGANTAR HUBUNGAN INTERNASIONALISU HAM DALAM HUBUNGAN INTERNASIONALGREENPEACE DAN PENGARUHNYA TERHADAP NEGARA DIDUNIA

DISUSUN OLEH:MUHAMMAD NUR SETIA BUDI IRWANE13113014

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS HASANUDDIN2013/2014

A. PendahuluanMasalah hak asasi manusia kini mulai menjadi sorotan masyarakat internasional dan dipandang potensial sebagai salah satu isu internasional pada masa yang akan datang. Akibatnya kepedulian publik terhadap masalah tersebut akhir-akhir ini semakin meningkat. Tulisan berikut tidak akan kembali membahas atau memperdebatkan batasan-batasan mengenai hak asasi. Sebab walaupun terdapat kesepakatan moral dan prinsip tentang eksistensi hak asasi manusia, masalah ruang lingkup, justifikasi, prioritas dan pelaksanaan dari hak asasi manusia masih menjadi bahan perdebatan di kalangan para pemikir dan politisi. mengenai ruang lingkup atau batasan, misalnya beberapa teoretis hak asasi menyatajan seharusnya hak asasi hanya dibatasi pada hak-hak politik dan sipil (political and civil rights). Sementara itu, ada pula yang berpendapat bahwa hak asasi juga harus mencakup hak-hak ekonomi.Dalam paper ini kami akan memfokuskan pembahasan terhadap dilema intervensi asing dalam kasus etnis Rohingya dari sudut pandang kaum liberal dan kaum realis.

B. Pembahasan1) HAMSecara harfiah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknakan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Hak-hak ini bersumber dari pemikiran moral manusia, dan diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat suatu individu sebagai seorang manusia. Dengan kata lain, HAM secara umum dapat diartikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri segenap manusia sehingga mereka diakui keberadaannya tanpa membedakan seks, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, kewarganegaraan, kekayaan, dan kelahiran.Isu mengenai Hak Asasi Manusia merupakan suatu tuntutan kemanusiaan. Saat ini HAM telah menjadi sebuah konsep hukum tertulis. Misalnya, di Inggris dikenal adanya Magna Charta 1215 dan Bill of Rights 1689, di Amerika Serikat ada Virginia Bill of Rights 1776 dan Declaration of Independence 1776, dan di Afrika dikenal adanya African Charter on Human and People Rights. Lebih lanjut Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Universal Declaration of Human Rights 1948. Di dalam Deklarasi PBB ini diakui bahwa manusia adalah individu yang menyandang status sebagai subjek hukum internasional disamping negara. Secara umum, bersandar pada banyaknya deklarasi dan kovenan (kontrak perjanjian) yang berkenaan dengan HAM yang dikeluarkan oleh PBB, maka terdapat tiga generasi Hak-Hak Asasi Manusia. Pertama, pemahaman HAM yang tersurat di dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, Covenant on Civil and Political Rights dan Covenat on Economics, Social, and Cultural Right (1966), dan Deklarasi Vienna 1993.

2) Krisis Kemanusiaan dan Pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di MyanmarKrisis kemanusiaan yaitu kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya diMyanmartelah menyita perhatian publik internasional. Eskalasi konflik yang meningkat antara Buddha Arakan dengan muslim Rohingya memberikan gambaran yang buruk mengenai keseriusan pemerintah Myanmar dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Krisis Rohingya ini dipicu oleh insiden pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Ma Thida Htwe (27 tahun), seorang gadis Buddhis Arakan, yang dilakukan oleh beberapa oknum muslim Rohingya pada Mei 2012. Insiden tersebut kemudian memicu gejala kebencian terhadap muslim Rohingya di seluruh daerah Arakan. Beberapa hari setelah insiden itu, masyarakat Buddhis Arakan membalas dengan memukuli dan membunuh 10 orang etnis Rohingya, dalam satu insiden pencegatan dan pembunuhan penumpang bus antar-kota, hingga tewas di Taunggup.Insiden pembunuhan tersebut menjadi awal bagi meningkatnya gejala kekerasan yang dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh muslim Rohingya. Kelompok Buddhis Arakan, didukung oleh pendeta Buddha lokal dan aparat keamanan Myanmar, melakukan berbagai tindakan kekerasan secara sistematis terhadap muslim Rohingya meliputi pemukulan, pemenggalan, pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran tempat tinggal, pengusiran dan isolasi bantuan ekonomi. Berbagai tindakan kekerasan ini digunakan sebagai cara untuk mengusir etnis Rohingya keluar dari Myanmar. Aksi anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat Arakan ini tidak mendapat perhatianseriusdari pemerintah Myanmar, khususnya perlindungan terhadap keberlangsungan hidup etnis Rohingya dan penegakan hukum terhadap pelaku aksi-aksi kekerasan. Pemerintah Myanmar dinilai sengaja mengambil kebijakan yang diskriminatif terhadap muslim Rohingnya dan adanya dugaan upaya pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar kepada etnis Rohingya.Kehidupan etnis Rohingnya ini juga diawasi dan dikendalikan pasukan penjaga perbatasan yang dikenal sebagai Nasaka, inisial nama kesatuan tersebut dalam bahasa Burma.UnitNasaka terdiri dari perwira berbagai kesatuan seperti polisi, militer, bea cukai dan imigrasi. Nasaka mengendalikan hampir setiap aspek dari kehidupan etnis Rohingya. Dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia melaporkan bahwa Nasaka bertanggungjawab dalam kasus pemerkosaan, pemerasan dan kerja paksa. Etnis Rohingya tidak dapat melakukan perjalanan antar kota atau mengurus pernikahan tanpa adanya perizinan dari Nasaka, yang semuanya baru akan diurus setelah membayar uang suap.Menurut laporan UnitedNationsOffice forthe Coordination of Humanitarian Affairs, sekitar 180,000 orang mendapatkan dampak dari dua gelombang kekerasan sektarian antara masyarakat Buddhis Arakan dengan Muslim Rohingya di distrik Arakan Barat pada tahun 2012. Dari jumlah tersebut 140,000 orang masih mengungsi, sebagian besar dari mereka adalah orang Rohingya yang tinggal di 80 kamp dan shelter pengungsian. Sementara itu sekitar 36,000 orang sisanya tinggal di 113 desa terpencil yang mengalami kesulitan akses untuk pelayanan dasar. Sejumlah 167 orang tewas dalam insiden kekerasan (78 orang pada Juni dan 89 orang pada Oktober), 223 orang mengalami luka-luka (87 orang pada Juni dan 136 orang pada Oktober) dan lebih dari 10,000 rumah dan bangunan hancur akibat insiden tersebut.Sejak Oktober 2012 diperkirakan terdapat 785 orang pengungsi Rohingya tewas tenggelam di laut dalam pelariannya untuk mencapai perairanThailand, Indonesia, Malaysia dan Australia, berbanding dengan 140 orang tewas pada tahun 2011. Sementara di Bangladesh diperkirakan terdapat 300,000 orang pengungsi Rohingya, ungkapMedecins Sans Frontieres(MSF), organisasi medis non-pemerintah asal Perancis. Beberapa pengungsi lainnya mencoba mengungsi keIndia, Nepal danTimor Leste. Pada saat yang bersamaan sekitar 2,000 orang Rohingya baik pria, wanita dan anak-anak berada di shelter-shelter pengungsian di wilayah perbatasan Thailand.Pemerintah Bangladesh melansir bahwa mereka telah menerima sekitar 25,000 orang Rohingya dengan status pengungsi, yang mendapatkan bantuan dari PBB, ditempatkan di dua kamp di sebelah tenggara Bangladesh. Diperkirakan masih terdapat antara 200,000 hingga 300,000 orang pengungsi Rohingya yang tidak terdaftar, tidak memiliki status dan hak-hak legal sebagai pengungsi. Orang-orang ini menetap di luar kamp pengungsian dan bergantung kepada masyarakat lokal Bangladesh untuk bertahan hidup.Berdasarkan laporan media, terdapat sekitar 90 orang tewas dan hampir 30,000 orang Rohingya terusir akibat gelombang baru kekerasan setelah sekelompok ekstremis menyerang dan membakar rumah dan perahu di daerah pemukiman muslim di Kyaukpyu pada Oktober 2012. Sejumlah orang Rohingnya juga dibawa ke tengah laut melalui perahu, tongkang dan kapal nelayan, dilaporkan lebih dari seratus orang tewas tenggelam setelah kapal mereka diserang dan ditenggelamkan. Gambar satelit yang dipublikasikan olehHuman RightsWatch mengindikasikan bahwa pembakaran terhadap pemukiman Rohingya di Kyaukpyu telah direncanakan dan melibatkan unsur dari militer. Serangan ini menyebabkan kerusakan di delapan distrik yang menghancurkan 4,000 rumah beserta tempat peribadatan.3) Dilema ASEAN : Prinsip Non-IntervensiASEAN sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) pada tahun 2009. Selain itu juga tercantum dalam Piagam ASEAN mengenai proses pembangunan komunitas ASEAN yang melindungi hukum, hak asasi manusia dan terwujudnya stabilitas dan perdamaian diAsiaTenggara. Institusionalisasi isu hak asasi manusia merupakan upaya yang dilakukan ASEAN untuk melakukan penanganan yang lebih serius mengenai krisis pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Asia Tenggara. AICHR dihadapkan dengan kecendrungan organisasi pada norma konservatif akan kedaulatan negara dan prioritas negara anggota akan investasi asing yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada perlindungan hak asasi manusia. Salah satu fungsi pembentukan AICHR adalah untuk memberikan informasi dari negara anggota untuk mendorong promosi dan perlindungan akan hak asasi manusia.Dilema penegakan hak asasi manusia dalam skala kawasan muncul dikarenakan Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum bagi prinsip non-intervensi yang menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip non-intervensi terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN: (e) non-interference intheinternal affairsof ASEAN Member States, (f) respectfor theright of every Member State to leads its national existence free from external interference, subversion and coersion. Doktrin ini kemudian menghambat penerapan hukum hak asasi manusia dalam lingkup regional dan memungkinkan negara untuk melakukan penyalahgunaan terhadap perlindungan hak asasi manusia tanpa adanya pengawasan dan hukuman oleh ASEAN.ASEAN tidak mampu untuk melakukan penegakan hukum terhadap pemerintah Myanmar karena tidak memiliki legitimasi hukum dalam skala regional yang memiliki kewenangan di atas hukum nasional negara anggotanya. Negara-negara mayoritas muslim sepertiIndonesiadan Malaysia seharusnya dapat mengambil peran penting melalui ASEAN dalam melakukan advokasi atas kasus Rohingya.4) Intervensi Kemanusiaan (humanitarian intervention)Dalam konteks hubungan internasional Paska Perang Dingin, terdapat satu hal yang menjadi perdebatan hangat di masyarakat interansional yakni keberadaan makna kedaulatan nasional seperti yang tersurat dalam perjanjian Westhpalia 1948. Dalam perjanjian Westhpalia 1948 dinyatakan bahwa dengan kedaulatannya, sebuah negara berhak mengatur segala urusan dalam negerinya, termasuk yang berkaitan dengan perlakuan terhadap warganegaranya. Suatu negara juga dilarang campur tangan dalam urusan negara lain. Prinsip larangan campur tangan pihak asing ini dikenal sebagai prinsip non-intervention.Istilah Intervensi mempunyai batasan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara, kelompok dalam suatu negara, atau suatu organisasi internasional yang mencampuri secara paksa urusan dalam negeri negara lain.5) Perbedaan pandangan kaum Liberal dan kaum Realis terhadap Intervensi KemanusiaanTerhadap humanitarian intervention ini pun terjadi pro dan kontra baik diantara para pakar maupun diantara negara-negara yang bersangkutan. Misalnya saja, pendekatan tradisional memaknakan humanitarian intervention sebagai intervensi yang dilakukan oleh negara, dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan militer. Intervensi kemanusiaan ditandai dengan terpenuhinya empat unsur, yaitu paksaan, pelanggaran terhadap kedaulatan, dilakukan oleh negara, dan tidak berdasarkan kesepakatan atau konsensus. Sedangkan penganut teori liberal membenarkan dilakukannya humanitarian intervension.Penganut teori liberal memahami prinsip kedaulatan, non-intervensi, dan tidak menggunakan kekerasan terhadap negara lain. Namun, mereka berpendapat bahwa tujuan utama dari negara adalah untuk menjamin keamanan masyarakat. Apabila terdapat suatu negara yang seharusnya mekindungi warganya malah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi warganya, maka hal itu sudah cukup alasan pembenaran bagi negara lain untuk melakukan humanitarian intervention.Kemudian penganut teori realis tidak bisa menerima dalil-dalil pembenaran yang disampaikan oleh para penganut teori liberal dengan alasan: 1. sulit untuk memastikan bahwa intervensi kemanusiaan adalah murni karena alasan kemanusiaan, sepenanggungan, yang bebas dari pertimbangan adanya keopentingan tertentu. Sebab, pada kenyataanyya setiap negara selalu mementingkan kepentingan nasionalnya, dan segala tindakan negara selalu didorong untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya. 2. suatu negara tidak mempunyai kewajiban morasl untuk turut campur walaupun negara itu sebenarnya mampu untuk menghentikan pembunuhan yang terjadi di negara lain. 3. Humanitarian intervention disalahgunakan oleh negara yang kuat sebagai senjata untuk memaksa negara yang lemah menyesuaikan kebijakannya dengan kepentingan nasional negara yang kuat itu. 4. Alasan bahwa humanitarian intervention hanya dilakukan secara selektif akan menyebabkan terjadinya penerapan standar ganda dan inkonsistensi. Setiap tindakan humanitarian intervention tergantung pada pertimbangan untung rugi bagai kepentingan nasional negara yang melakukan intervensi kemanusiaan. Karena itu akan selalu terdapat bias dalam perlindungan HAM. 5. Sampai sat ini belum tercapai kesepakatan bulat tentang pengertian HAM. Interpretasi HAM masih tergantung pada masyarakat, waktu, dan kepentingan nasional masing-masing negara.

DAFTAR PUSTAKASumber Buku:Jackson, Robert, Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional, terj. DadanSuryadiputra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Perwita, Anak Agung Banyu, dan Yanyan Mochammad Yani. 2005.. Pengantar Imu HubunganInternasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.Sumber Internet:Greenpeace. The Detox Campaign. Diperoleh dari http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/toxics/water/detox/intro/ pada tanggal 23 Mei 2014.Wikipedia. Greenpeace. Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Greenpeace pada tanggal 23 Mei 2014.Ardilla. Isu-Isu Lingkungan Dalam Perspektif Hubungan Internasional. Diperoleh dari http://diladerrjagadd.blogspot.com/2011/02/isu-isu-lingkungan-dalam-perspektif.html pada tanggal 23 Mei 2014.