Paper Jurnal

50
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggerek polong (Etiella zinckenella Treitschke) merupakan hama penting pada kedelai. Rata-rata luas areal serangan hama ini mencapai 11.000 ha setiap tahun dengan kehilangan hasil berkisar 20-40%. Intensitas serangan bahkan dapat mencapai 90% jika tidak dilakukan upaya pengndalian (Nurdin et al. 1995). Penggunaan varietas kedelai tahan hama penggerek polong merupakan alternatif pengndalian yang potensial namun, perakitan varietas kedelai tahan melalui persilangan konvensional menghadapi kedala dengan belum ditemukannya varietas kedelai yang betul-betul tahan terhadap penggerak polong unutk digunakan sebagai sumber gen ketahanan. Delapan varietas kedelai yang dinyatakan relatif tahan terhadap penggerak polong (diuji di Mojokerto, Jawa Timur), setalah diuji ulang tidak satu pun menunjukkan ketahanan tinggi terhadap hama tersebut (Tengkano dan Soehardjan 1985). Djuwarsi et al. (1994) yang 1

description

biotek

Transcript of Paper Jurnal

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPenggerek polong (Etiella zinckenella Treitschke) merupakan hama penting pada kedelai. Rata-rata luas areal serangan hama ini mencapai 11.000 ha setiap tahun dengan kehilangan hasil berkisar 20-40%. Intensitas serangan bahkan dapat mencapai 90% jika tidak dilakukan upaya pengndalian (Nurdin et al. 1995).Penggunaan varietas kedelai tahan hama penggerek polong merupakan alternatif pengndalian yang potensial namun, perakitan varietas kedelai tahan melalui persilangan konvensional menghadapi kedala dengan belum ditemukannya varietas kedelai yang betul-betul tahan terhadap penggerak polong unutk digunakan sebagai sumber gen ketahanan. Delapan varietas kedelai yang dinyatakan relatif tahan terhadap penggerak polong (diuji di Mojokerto, Jawa Timur), setalah diuji ulang tidak satu pun menunjukkan ketahanan tinggi terhadap hama tersebut (Tengkano dan Soehardjan 1985). Djuwarsi et al. (1994) yang melakukan seleksi ketahan terhadap 339 galur kedelai dalam dua musin kemarau berturut-turut di daerah Lampung (1991-1992) juga tidak mendapat galur yang memiliki ketahanan terhadap penggerek polong (rata-rata mengalami kerusakan polong > 60 %).Gen proteinase inhibitor (pin )merupakan gen yang dapat menghasilkan senyawa antinutrisi yang dapat menghambat kerja enzim proteolitik (proteinase) dapam perut serangga (Ryan 1990). Gen ini dapat digunakan unutk merakit tanaman transgenik tahan hama. Apabila gen ini berhasil ditransferkan ke dalam kromoson tanaman dan mampu diekspresikan dengan baik, maka serangga yang memakan tanaman tersebut akan terganggu sistem perncernaannya, terhambat pertumbuhannya dan akhirnya mati jika tingkat penghambatnya tinggi (Jhonson et al. 1990). Serine proteinase inhibitors (tripsin dan kimotripsin inhibitor) telah menunjukkan keefektifannya menghambat perkembangan larva beberapa jenis Lepidoptera, diantaranya Ostrinia nubilalis (Steffens et al. 1978), Manduca sexta, (Shukle dan Murdock 1983), Heliothis zea, dan Spodoptera exigua (Broadway dan Duffey 1986). Transformasi dengan gen pin telah berhasil dilakukan, di antaranya pada padi (Xu et al. 1996) dan ubi jalar (Newell et al. 1995) menggunakan gen tripsin inhibitor cowpea, kemudian pada tembakau menggunakan gen pinI dan II (Jhonson et al. 1990).Metode tranfer gen pada tanaman yang paling banyak digunakan adalah vektor agrobacterium. Metode ini sangat sederhana dan murah, karena pada prinsipnya gen interest disisipkan ke plasmid T-DNA Agrobacterum lalu diinokulasikan ke jaringan target yang telah dilukai. Namun, tidak semua jenis tanaman dapat diinfeksi oleh Agrobacterium sehingga aplikasinya terbatas pada beberapa jenis tanaman saja (Hinchee et al. 19888)Penelitian bertujuan untuk melakukan transfer gen pinII kentang ke dalam tanaman kedelai melalui vektor Agrobacterium tumefaciens. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh protokol terbaik unutk transformasi kedelai dan dapat dihasilkan tanaman kedelai hasil transformasi yang mengandung gen pinII dan tahan terhadap hama penggeek polong.1.2 Rumusan MasalahBagaimanakah transfer gen proteinase inhibitor II pada kedelai melalui vektor agrobacterium tumefaciens untuk ketahanan terhadap hama penggerek polong (etiella zinckenella tr.) ?

1.3 Tujuan PenulisanMengetahui transfer gen proteinase inhibitor II pada kedelai melalui vektor agrobacterium tumefaciens untuk ketahanan terhadap hama penggerek polong (etiella zinckenella tr.).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Transfer Gen (pada tumbuhan)Transfer gen adalah suatu proses penisipan gen asing pada suatu spesies tumbuhan baik gen dari spesies tumbhan yang berbeda maupun dari makhluk hidup lainnya (gen yang berasal dari hewan, bakteri, virus dan lain-lain). Penggabungan gen ini umumnya bertujuan untuk mendapatkan tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, misalnya pembuatan tanaman yang tahan suhu tinggi, suhu rendah, kekeringan, resistan terhadap organism penganggu tanaman, serta kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi dari tanaman alaminya. Tumbuhan yang dihasilkan melalui proses transfer gen ini umumnya dikenal secara luas sebagai tanaman transgenik.2.2 Gen Proteinase Inhibitor (pin)Gen proteinase inhibitor (pin) merupakan gen pengkode senyawa anti nutrisi yang dapat menghambat kerja enzim proteolitik (proteinase) di dalam perut serangga. Gen ini dapat digunakan untuk merakit tanaman transgenik tahan hama. Apabila gen ini berhasil ditransfer ke dalam kromosom tanaman dan mampu diekspresikan dengan baik, maka serangga yang memakan tanaman tersebut akan terganggu sistem pencernaannya, terhambat pertumbuhannya dan akhirnya mati jika tingkat penghambatannya tinggi.

2.3 Agrobacterium tumefaciensAgrobacterium tumefaciens adalah bakteri patogen pada tanaman yang banyak digunakan untuk memasukkan gen asing ke dalam sel tanaman untuk menghasilkan suatu tanaman transgenik. Secara alami, A. tumefaciens dapat menginfeksi tanaman dikotiledon melalui bagian tanaman yang terluka sehingga menyebabkan tumor mahkota empedu (crown gall tumor).Bakteri yang tergolong ke dalam gram negatif ini memiliki sebuah plasmid besar yang disebut plasmid-Ti yang berisi gen penyandi faktor virulensi penyebab infeksi bakteri ini pada tanaman. Untuk memulai pembentukan tumor, A. tumefaciens harus menempel terlebih dahulu pada permukaan sel inang dengan memanfaatkan polisakarida asam yang akan digunakan untuk mengkoloniasi/menguasai sel tanaman. Selain tanaman dikotiledon, tanaman monokotiledon seperti jagung, gandum, dan tebu telah digunakan untuk memasukkan sel asing ke dalam genom tanaman. Agrobacterium tumefaciens adalah bakteri patogen pada tanaman yang banyak digunakan untuk memasukkan gen asing ke dalam sel tanaman untuk menghasilkan suatu tanaman transgenik.Sebagian besar genus Agrobacterium menyebabkan tumor pada tanaman dikotil. Species Agrobacterium tergolong bakteri gram negatif yang tergolong bakteri aerob dan mampu hidup baik sebagai saprofit maupun parasit. Agrobacterium berbentuk batang, berukuran 0,6 1,0 m sampai 1,5 3,0 m, dalam bentuk tunggal atau berpasangan. Agrobacterium merupakan bakteri yang mudah bergerak (motile) dan memiliki 1-6 flagela peritrichous serta merupakan bakteri tak berspora. Suhu optimal pertumbuhan bakteri ini adalah 25-28C. Kumpulan bakteri ini biasanya berbentuk cembung, bulat, lembut, dan tak berpigmen. Agrobacterium diisolasi dari tanaman yang terinfeksi Crown Gall. Tumor Crown Gall adalah jaringan tanaman yang pertumbuhannya tidak terdiferensiasi akibat adanya interaksi antara tanaman-tanaman yang rentan dengan strain virulen Agrobacterium tumefaciens.

Gambar 2.1. Agrobacterium tumefaciens

a. Agrobacterium dan Peranannya dalam Transfer GenTransformasi gen adalah proses dimana DNA asing dimasukkan kedalam sel tanaman, dimana para pemulian tanaman dapat memasukkan gen asing kedalam sel atau jaringan tanaman, baik secara langsung maupun tak langsung tanpa merujuk kepada tingkat hubungan genetik atau kompatibelilitas suatu jenis. Teknologi pemindahan gen atau transfer gen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Contoh transfer gen secara langsung adalah perlakuan pada protoplas tanaman dengan eletroporasi atau dengan polyethyleneglycol (PEG), penembakan eksplan gen dengan gene gun atau di vortex dengan karbit silikon. Teknik pemindahan gen secara tak langsung dilakukan dengan bantuan bakteri Agrobacterium. Dari banyak teknik transfer gen yang berkembang, teknik melalui media vektor A. tumefaciens paling sering digunakan untuk metransformasi tanaman, terutama tanaman kelompok dikotil. Bakteri ini mampu mentransfer gen kedalam genom tanaman melalui eksplan baik yang berupa potongan daun (leaf disc) atau bagain lain dari jaringan tanaman yang mempunyai potensi beregenerasi tinggi.(Adis.2010.)Gen yang ditransfer terletak pada plasmid Ti (tumor inducing ). Segmen spesifik DNA plasmid Ti disebut T-DNA (transfer DNA ) yang berpindah dari bakteri ke inti sel tanaman dan berintegrasi kedalam genom tanaman. Karena A. tumefaciens merupakan patogen tanaman maka Agrobacterium sebagai vektor yang digunakan untuk transformasi tanaman adalah bakteri dari jenis plasmid Ti yang dilucuti virulensinya (disarmed), sehingga sel tanaman yang ditransformasi oleh Agrobacterium dan yang mampu beregenerasi akan membentuk suatu tanaman sehat hasil rekayasa genetik. Teknik transformasi melalui media vektor Agrobacterium pada tanaman dikotil telah berhasil dengan baik tetapi sebaliknya tidak umum digunakan pada tanaman monokotil. Namun beberapa peneliti telah melaporkan bahwa beberapa strain Agrobacterium berhasil metransformasi tanaman monokotil seperti jagung dan padi.

Gambar 2.2. Bagian molekul DNA yang terdapat dalam bakteri A. tumefaciens

b. Proses Transformasi Gen oleh Agrobacterium tumefaciensDasar dari transformasi genetik oleh Agrobacterium adalah transfer dan integrasi T-DNA ke dalam genom di dalam inti sel tanaman. T-DNA adalah suatu bagian pada tumor inducing (Ti) plasmid yang terdapat di dalam sel Agrobacterium. Ti-plasmid berukuran sekitar 200-800 kbp dan T-region (T-DNA)nya sendiri berukuran sekitar 10% nya (10-30 kbp). T-region ini dibatasi oleh dua sekuen pembatas (border) yaitu right border dan left border yang mengapit T-region. Bagian lain dari Ti-plasmid yang tidak kalah pentingnya adalah vir-region yang mengandung sejumlah gen-gen virulen (virA, virB, virC, virD, virE, virF,virG dan virH) yang berfungsi didalam proses transfer T-DNA ke dalam sel tanaman.Proses transformasi dimulai dengan melekatnya Agrobacterium pada sel tanaman. Kejadian awal ini dimediasi oleh gen-gen yang berlokasi pada kromosom bakteri (gen chvA, chvB dan att). Langkah berikutnya adalah terinduksinya gen-gen pada vir-region oleh suatu signal yang spesifik didalam sel bakteri sehingga dihasilkan produk dari expresi gen-gen virulen untuk memproses T-DNA dan mentransfernya dari dalam sel bakteri. Prosesing dan transfer T-DNA dimediasi oleh berbagai protein yang dikode pembentukannya oleh gen-gen virulen. Prosesing T-DNA dimulai dari suatu kejadian memproduksi T-DNA untai tunggal yang disebut T-strand yang ditransfer ke dalam sel tanaman. Kejadian ini dimediasi oleh produk dari genvirD1 dan virD2 yang berfungsi memotong T-DNA di bagian left border dan right border. Salah satu produk yaitu molekul VirD2 tetap melekat secara kovalen pada 5 end dari T-strand dan membentuk apa yang disebut T-complex yang masih setengah jadi. Pembentukan T-complex ini dilaporkan berfungsi untuk menjaga T-DNA dalam perjalanannya menuju inti sel tanaman inang. Tahap akhir dari transformasi genetik oleh Agrobacterium adalah integrasi T-DNA ke dalam genom sel tanaman inang.

Gambar 2.3. Bagian molekul plasmid Ti sirkular yang mengandung gen-gen T-DNA, gen vir, ori dan gen katabolisme opinec. Transfer T-DNA oleh A. Tumefaciens kedalam sel tanaman.Agrobacterium tumefaciens adalah bakteri tanah yang dapat menyebabkan penyakit tumor pada beberapa tanaman. Bakteri menginfeksi melalui bagian yang luka pada batang tanaman dan mengakibatkan tumor pada daerah sekitar akar dan batang tanaman. Penyebab pembentukan tumor bukan berasal dari bakteri itu sendiri tetapi dari plasmid yang dikenal dengan plasmid Ti. Ukuran DNA plasmid Ti cukup besar, berkisar antara 140-235 kb (1 kb = 1000 pasang basa). Selama menginfeksi, sebagian kecil dari DNA plasmid Ti (15-30 kb), disebut T-DNA, ditransfer kedalam inti sel tanaman dan tersisipi kedalam DNA inti sel tanaman. Dari sini T-DNA sudah terintegrasi dan stabil terpelihara dalam genom sel.T-DNA membawa gen yang bertangung jawab terhadap pembentukan tumor dan sintesa asam amino yang dikenal sebagai opine. Gen-gen yang bertanggungjawab untuk transfer T-DNA juga terdapat dalam plasmid Ti yang disebut gen-gen virulen (gen vir). Infeksi Agrobakterium memerlukan jaringan tanaman yang luka karena gen vir dapat terinduksi oleh senyawa fenolik yang dilepaskan ole sel-sel tanaman yang terluka.Daerah ini merupakan potongan DNA berukuran relatif pendek berisi urutan 25 pasang basa yang berulang. Setiap potongan DNA yang tersisipi diantara kedua batas T-DNA akan ditransfer dan diintegrasikan kedalam genom tanaman. Oleh karena itu plasmid Ti merupakan vektor yang sangat cocok untuk mengintroduksi gen-gen asing ke dalam sel tanaman.

Gambar 2.4. Ilustrasi transfer T-DNA oleh A. Tumefaciens kedalam sel tanamand. Faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan transformasi AgrobacteriumAzhakanandam et al. dalam syamsidah (2002) melaporkan bahwa keberhasilan transformasi Agrobacetrium sangat bergantung pada genotipe tanaman padi yang digunakan. Beberapa genotipe tanaman sangat sulit ditransformasikan dengan Agrobacterium. Hal ini merupakan salah satu keterbatasan penggunaan transformasi Agrobacterium.genotipe yang sangat responsif terhadap kultur jaringan cenderung memberikan respon yang baik terhadap transformasi. Disamping pemilihan genotipe tanaman, pemilihan jaringan juga menentukan keberhasilan transformasi. Jaringan yang baik digunakan sebagai bahan transformasi adalah jaringan yang memberikan respon yang baik terhadap kultur jaringan. Dari berbagai jaringan (ujung tunas, akar, skutellum, mebrio yang belum masak, kalus yang dinduksi dari akar dan skutellum, serta kultur suspensi sel yang dinduksi dari skutellum) yang telah dicoba, kalus dari jaringan skutellum benih masak menghasilkan jumlah transforman paling tinggi (23%) (Hiei et al. 1994) sehingga paling banyak digunakan hingga saat ini. Ukuran skutelum dapat mempengaruhi efisiensi transformasi dengan meningkatkan kemampuan pembentukan kalus embriogenik secara nyata (Slamet-Loedin et al. 1997b). Pemilihan genotipe yang sistem regenerasinya sudah diketahui dengan baik merupakan tahap awal yang menentukan keberhasilan transformasi.

Gambar 2.5. Mekanisme transfer gen ke dalam tanaman oleh Agrobacterium tumefaciens. Tahapan yang penting terjadi selama proses transfer gen dijelaskan secara singkat pada kotak 1-13. Beberapa tahapan masih belum diketahui secara pasti (dibeei tanda ?) atau baru merupakan hipotesis.

Pemilihan strain Agrobacterium dan vektor sangat mempengaruhi efisiensi transformasi. Salah satu kelmahan transformasi Agrobakterium adalah terbatasnya tanaman inang yang dapat diinfeksi. Penggunaan A. tumefaciens yang super virulen seperti, EHA 101, EHA 105, AGL1 dikombinasikan dengan vektor biner atau A. tumefaciens starain biasa (LBA 4404) dikombinasikan dengan vektor super biner ditujukan untuk memperluas inang tanaman yang dapat diinfeksi. Azhakanandam et al. dalam Syamsidah melaporkan bahwa A. tumefaciens strain LBA4404 yang membawa vektor super-biner (pTOK233 dengan ekstra gen virB, C dan G) sangat efektif mentransformasi padi baik kelompok japonica, indica, dan javanica dibandingkan ekstra gen vir.2.4 Hama Penggerek PolongPenggerek polong dikenal dengan nama Etiella zinckenella, E. Hobsoni, Pod Borer, atau Lima Bean Borer. Hama ini merupakan hama utama pada kedelai, selain kumbang kedelai. Tanaman inang hama ini antara lain Crotalaria strata, orok-orok, kacang tunggak, kacang krotok, dan Teprosia candida.KlasifikasiClass : InsectaOrder : Lepidoptera Family : PyralidaeSubfamily : PhycitinaeGenus : Etiella Species : Etiella zinckenella(a)(b)Gambar 2.6. (a) Larva dan (b) spesies dari Etiella zinckenella

a. GejalaGejala kerusakan tanaman akibat serangan hama ini adalah terdapatnya bintik atau lubang berwarna cokelat tua pada kulit polong, bekas jalan masuk larva ke dalam biji. Seringkali, pada lubang bekas gerekan terdapat butir-butir kotoran kering yang berwarna coklat muda dan terikat benang pintal atau sisa-sisa biji terbalut benang pintal.Merusak biji dengan menggerek kulit polong muda dan kemudian masuk serta menggerek biji, sebelum menggerek larva baru menetas menutupi dirinya dengan selubung putih hingga ada bintik coklat tua sebagai jalan masuk hama tersebut.b. Morfologi dan biologiHama ini mempunyai panjang tubuhnya antara 8-11 mm, panjang sayapnya antara 19-27 mm, sayapnya lebih panjang daripada abdomen. Perkembangan telurnya antara 4-21 hari, larvanya antara 19-40 hari, sedangkan perkembangan pupanya antara 12-18 hari, umur imago lebih kurang 20 hari, rata-rata imagonya bertelur antara 100-600 butir telur dan perkembangannya tergantung pada suhu lingkungan.Ngengat hama ini berwarna keabu-abuan pada bagian tepi sayap ada pembatas berwarna kuning muda, rentangan sayapnya antara 24-27 mm. Telur berwarna putih mengilap dan berubah menjadi kemerah-merahan larvanya berwarna putih kekuningan. Kepala lebih besar dari pada badan dan berwarna coklat sampai hitam.c. EkologiPenyebaran hama ini dominan pada daerah tropis. Hama ini umumnya menyerang pada bulan mei hingga juni tetapi umumnya pada pada pertengahan bulan juni. Selain pada kedelai, hama ini juga menyerang Crotalaria striata, kacang tunggak, kacang kratok (Phaseolus lunatus), Tephrosia candida, kacang hijau dan kacang tanah.d. Siklus hidupTelur diletakkan berkelompok 4-15 butir di bagian bawah daun, kelopak bunga atau pada polong. Telur berbentuk lonjong, diameter 0,6 mm pada saat diletakkan telur berubah kemerahan dan berwarna warna putih mengkilap, kemudian berwarna jingga ketika akan menetas. Setelah 3-4 hari, telur menetas dan keluar ulat berwarna putih kekuningan, kemudian berubah menjadi hijau dengan garis merah memanjang . Ulat instar 1 dan 2 menggerek polong daun, menggerek biji dan hidup di dalam biji. Setelah instar 2, ulat hidup di luar biji.Dalam satu polong sering dijumpai lebih dari 1 ekor ulat. Ulat instar akhir mempunyai panjang 13-15 mm dengan lebar 2-3 mm. Kepompong berawarna coklat dengan panjang 8-10 mm dan lebar 2 mm, dibentuk dalam tanah dengan terlebih dahulu membuat sel dari tanah. Setelah 9-15 hari, kepompong berubah menjadi ngengat.e. PengendalianPengendalian hama ini dapat dilakukan dengan:1. Pengolahan tanah minimum 1 (satu) kali2. Jarak tanam 30 cm x 20 cm3. Cara tanam yaitu tunggal 2 - 3 cm4. Jumlah tanaman per rumpun adalah 2 benih per lobang5. Pemupukan Urea 50 kg, TSP 100 kg dan KCL 100 kg/ha6. Penyiangan dilakukan 2 kali yaitu 20 dan 40 hari setelah tanam7. Pembumbunan dilakukan 1 kali yaitu 20 hari setelah tanam8. Pengendalian hama dan penyakit yaitu: Untuk perlakuan benih digunakan Furadan minimal 3 gram Selama penanaman digunakan Decis 2,5 EC dalam takaran 0,5 cc/liter dan Metonyl 2 cc per liter pada umur 25 hari setelah tanam.9. Musuh alami menggunakan Parasitoid telur, Trichogrammatoidea bactrae bactrae (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Parasitoid larva, Baeognatha spp.dan Phanerotoma sp. (Hymenoptera: Braconidae10. Semprot insektisida

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat PenelititanPenelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Fasilitas Uji Terbatas (FUT), Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.3.2 Bahan Menggunakan dua varietas kedelai yang sudah popler di petani, yaitu Wilis dan Tidar. Dua varietas ini dipilih karena memiliki daya regenerasi in vitro yang cukup baik pada penelitian sebelumnya dan peka terhadap penggerek polong. Vektor transformasi digunakan A. tumefaciens starin EHA 105 dengan plsamid pCambia 1301 yang mengandung gen gus dan hph serta strain LBA 4404 dengan plasmid pGApinII yang mengandung gen pinII dan nptII.3.3 Metode a. Optimasi transformasi dengan gen gusBenih kedelai Wilis dan Tidar ditanam di rumah kaca, setelah tanaman mulai berbunga (35-40 hari) dilakukan penandaan bunga yang sedang mekar (anthesis). Polong dipanen pada saat berumur 14-15 hari setelah penandaan. Polong dicuci dengan air sabun dan dibilas air bersih. Kemudian polong direndam dalam lartan clorox 20% selama 25-30 menit, lalu dibilas dengan akuades steril 304 kali.Eksplan kotiledon dan embrio muda diisolasi dari polong steril ini. Sebelum inokulasi, eksplan diperlakukan dengan 1 : 1 cairan bakteri dan medium Luria Bertani (LB). Unutk mencegah pengaruh merusak dari inokulum bakteri dilakukan pembiakan bakteri selama 24 jam, kemudian disentrifugasi dan dimasukkan ke suspensi medium MS (Murashige dan Skoog 1962) + 100 mM sukrosa + 200 M asetosiringon, pH 5,7. Cara inokulasi mengikuti prosedur dari Hinchee et al. (1988) menggunakan starin A. tumefaciens EHA 105 dengan plasmid pCaambia 1301 yang mengandung gen gus dan hph. Perlakuan inokulasi meliputi kerapatan bakteri (optical density = OD600) yaitu 0,5;1;1,5, lama inokulasi (60 dan 90 menit),serta lama kokultivasi (3 dan 5 hari inkubasi). Jumlah eksplan unutk setiap perlakuan sebanyak lima eksplan.Uji ekspresi gen gus pada eksplan hasil inokulasi Agrobacterium dilakukan setelah 3 dan 5 hari inkubasi menggunakan prosedur dari Jefferson (1987). Uji GUS psoitif jika terjadi bercak biru pada jaringan eksplan. Makin tebal dan banyak warna biru, makin tinggi ekspresi gen gus. b. Tranformasi dengan gen pinIIEksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar di inokulasikan dengan A. Tumefaciens strain pGApinII (membawa gen pinII dan nptII) pada OD600 = 1 (setara 108 sel/ml) selama 90 menit shaker (protokol terbaik). Eksplan yang telah diinokulasi selanjutnya dikeringkan pada cawan petri yang telah diberi alas kertas saring steril, lalu dipindahkan ke medium kokultivasi (MS + vitamin B5 + asetosiringon 20 mM). Kultur diinkubasi dalam ruang gelap selama 5 hari.Eksplan dicuci dengan larutan Cefotaxime 200 mg/l, lalu dikulturkan pada media seleksi I1 yang terdiri atas medium MS + vitamin B5 (Gamborg et al. 1968) + NAA 10 mg/l + L-glutamin 30 mg/l + L-asparagin 30 mg/l + sukrosa 5 mg/l. Pada 4-6 minggu kemudian, eksplan yang tumbuh dan mengalami embriogenesis dipindahkan ke medium seleksi I1-1 yaitu medium I1 dengan kadar NAA 1 mg/l + kanamisin 200 mg/l. Embrio somatik yang telah dewasa/sempurna dikecambahkan pada medium G01 (MS + vitamin B5 + GA3 0,1 mg/l). Planlet yang dihasilkan dipindahkan ke mediun MS + vitamin B5 + IBA 1 mg/l unutk inisiasi perakaran selama 2-3 minggu, kemudian diaklimatisasi ke media tanah dalam pot.c. Analisis molekuler tanaman hasil transformasiProsedur isolasi DNA dan PCR menggunakan protokol dari ICI Seeds Co. USA (Listanto et al. 1996). Sampel DNA hasil isolasi dari daun muda sebanyak 4 l dimasukkan ke dalam tabung PCR 0,5 ml, kemudian ditambahkan 2,5 l 10 x bufer PCR (Promega), 2 l campuran dNTPs (2,4 mM setiap dNTP, Promega), 1 l masing-masing primer unutk pinII, 10,33 l ddH2O dan 00,175 l Taq polymerase (total volume 25 l). Tabung sampel ditambah satu tetes minyak mineral lalu ditutup dengan selotip tahan panas.Program PCR yang digunakan yaitu tahap satu (inisiasi denaturasi) pada 94oC selama 5 menit, tahap dua (denaturasi) pada 94 oC selama satu menit, tahap tiga (annealing) 55 oC satu menit, dan tahap empat (pemanjangan) satu menit pada suhu 72 oC. Tahap 2-4 diulangi 35 siklus, lalu dilanjutkan le tahap lima (inkubasi) pada suhu 72 oC selama 5 menit. Produk PCR di-loading pada 1% agarose gel yang mengandung ethidium bromida bersamaan dengan sampel DNA tanaman kontrol dan DNA standar (gen pinII). Gel hasil elektroforesis divisualisasi dengan UV dan difoto dengan film polaroid. Data berupa pita-pita DNA dianalisis berdasarkan ada tidaknya DNA pinII sebesar 600 bp.d. Bioasai tanaman hasil transformasi terhadap larva E. ZinckenellaPengujian dilakukan di FUT BB Biogen dengan metode infestasi langsung (in vitro) larva umur satu hari (neonate). Tanaman yang diuji adalah kedelai keturunan pertama dari event AT1. Tiga puluh benih kedelai AT1R1 dan Tidar nontransgenik sebagai kontrol ditanam dalam pot dan dipelihara di rumah kaca. Setelah tanaman mulai berpolong (50 hari), setiap tanaman dipilah 10 polong yang berbeda tempatnya, lalu setiap polong diinfestasi dengan 3 ekor larva Etiella sp. Selanjutnya polong ditutup dengan kantung plastik berlubang unutk mengisolasi larva. Pengamatan dilakukan setelah tanaman dipanen unutk mengetahui persentase serangan larva polong dan biji. Pengelompokan kriteria ketahanan tanaman kedelai terhadap hama pengerek polong mengacu pada hasil penelitian Akib Baco (1985) sebagai berikut: tanaman tahan jika serangan polong 0-10%, agak tahan 11-30%, agak peka 31-50%, peka 51-70%, dan sangat peka 71-100%.

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HasilTabel 4.1. Presentasi gus positif pada eksplan embrio dan kotiledon muda kedelai wilis hasil transformasi dengan Agrobacterium tumefaciens.Jenis eksplan/ kerapatan bakteri (OD=600)Jumlah eksplanLama inokulasi 60 menitLama inokulasi 90 menit

3 hari kokultivasi5 hari kokultivasi3 hari kakulivasi5 hari kokultivasi

Embrio muda

0,562(33,3)2(33,3)1(16,7)1(16,7)

163(50)4(66,7)4(66,7)5(83,3)

1,560(0)1(16,7)3(50)1(16,7)

Kotiledon muda

0,560(0)1(16,7)0(0)4(66,7)

163(50)3(50)3(50)3(50)

1,560(0)4(66,7)4(66,7)6(100)

Keterangan: OD600 = 1 setara dengan 1 x 108 sel/ml. Angka dalam kurung adalah persentase

Tabel 4.2. Hasil regenerasi dan seleksi tanaman dari eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar yang diinokulasikan dengan A. tumefaciens yang mengandung gen pinII.VarietasJumlah eksplanJumlah embrio somatikJumlah planletJumlah tanamanKode tanaman

Wilis transformasi1.53917(1,1)15(0,9)8(0,5)AW1-8

Wilis nontransformasi + kanamisin 200 mg/l301(3,3)1(3,3)0(0)-

Wilis nontransforamsi tanpa kanamisin3016(53,3)9(30)4(13,3)AWO1-4

Tidar transformasi98421(2,1)3(0,3)1(0,1)AT1

Tidar nontransformasi + kanamisin 200 mg/l300(0)0(0)0(0)-

Tidar nontransformasi tanpa kanamisin3024(80)16(53,3)6(20)ATO1-6

Keterangan : Angka dalam kurung adalah persentaseTabel 4.3. Hasil uji bioasai tanaman kedelai R1 (WP2 dan AT 1) terhadap larva Etiella zinkenellaI di FUT B-Biogen.Kode TanamanJumlah tanamanJumlah sampel polongRata-rata polong terserang (%)Rata-rata biji terserang (%)Rata-rata ketahananEvent terbaik

AT1302058,8a84,3bPekaAT1-11

Tidar nontransformasi31095,580,3Sangat peka

Keterangan: Korelasi serangan polong dan biji pada AT1 negatif ( > 0,005)

4.2 Pembahasana. Optimasi transformasi melalui AgrobacteriumEksplan embrio dan kotiledon muda kedelai sangat responsif terhadap infeksi A. tumefaciens. Ketiga perlakuan kerapatan bakteri dapat menghasilkan bercak biru pada semua eksplan, namun OD600 = 1 (setara dengan 1 x 108 sel/ml) memberikan persentasi gus positif terbaik pada kedua jenis eksplan. Lama inokulasi 90 menit memberikan hasil terbaik untuk kedua jenis eksplan dan kokultivikasi di ruang gelap selama 5 hari lebih baik dari pada 3 hari (Tabel 4.1).Keberhasilan infeksi dan transfer gen oleh A. tumefaciens antara lain ditentukan oleh jenis dan kondisi eksplan, ada tidaknya luka/pelukaan, kerapatan bakteri, lama inokulasi, dan lama kokultivasi (Hinchee et al. 1988). Untuk jenis eksplan, semakin muda jaringan eksplan akan semakin mudah diinfeksi oleh bakteri. Hal ini ditunjukkan pada penelitian ini: dua jenis eksplan yang digunakan, yaitu kotiledon dan embrio muda, dapat diinfeksi oleh A. tumefaciens. Uji GUS pada kedua jenis eksplan tersebut memberikan hasil yang positif (ada bercak biru) pada jaringan eksplan. Luka pada jaringan eksplan sangat mempengaruhi infeksi bakteri. Luka akan menghsilkan senyawa fenolik, misalnya asetosiringon, yang merangsang kerja gen virulen dan chv (gen chromosomal) dari bakteri A. tumefaciens sehingga terjadi infeksi dan transfer gen (T-DNA) (Zambryski et al. 1989). Oleh karena itu, pada media kokultivasi selalu ditambahkan asetosiringon unutk meningkatkan daya infeksi bakteri pada sel-sel eksplan.Kerapatan bakteri juga menentukan keberhasilan infeksi. Jumlah bakteri yang diperlukan dalam proses infeksi suatu eksplan harus tetap. Jika jumlahnya kurang, proses infeksi tidak efektif, sebaliknya jika jumlah bakteri terlalu banyak akan terjadi pertumbuhan bakteri terlalu banyak akan terjadi pertumbuhan bakteri yang berlebih (overgrowth). Akibatnya tingkat kompetisi bakteri sangat tinggi dan pertumbuhan eksplan terhambat atau mati sehingga proses infeksii tidak efektif (Siswanto et al. 1997). Ketiga perlakuan kerapatan bakteri (OD600) yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan hasil uji GUS yang positif, artinya ketiga kerapatan bakteri tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri ke dalam sel-sel eksplan kedelai. Namun, perlakuan OD600 = 1 (setara dengan 1 x 108 sel/ml) merupakan kerapatan bakteri A. tumefaciens yang ideal unutk infeksi eksplan kedelai. Pada OD ini, semua perlakuan menghasilkan presentase GUS positif yang selalu tinggi dibandingkan OD lainnya, baik pada eksplan kotiledon maupun embrio muda (Tabel 4.1). Lama inokulasi juga menetukan keberhasilan infeksi bakteri. Semakin lama waktu inokulasi, peluang infeksi semakin tinggi. Untuk eksplan yang berukuran besar, tebal, dan tua seperti pada penelitian ini diperlukan waktu inokulasi yang lebih lama. Inokulasi selama 90 menit menunjukkan hasil uji GUS yang lebih baik dibandingkan selama 60 menit (Tabel 4.1).Lama kokultivasi (inkubasi) anatara bakteri dan eksplan juga sangat mempengaruhi keefektifan infeksi bakteri. Inkubasi yang terlalu cepat menyebabkan pertumbuhan bakteri kurang baik, sehingga belum mampu menginfeksikan sel-sel eksplan dengan sempurna. Sebaliknya, jika inkubasi terlalu lama akan terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berlebihan sehingga menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan eksplan. Kokultivasi 5 hari idealuntuk infeksi A. tumefaciens ada eksplan kotiledon muda kedelai daripada inkubasi 3 hari (Tabel 4.1).Dari dua jenis eksplan yang digunakan, embrio muda memberikan presentase GUS positif yang lebih tinggi daripada kotiledon muda. Namun, bercak biru yang terjadi pada eksplan embrio muda terletak padabagian berkas potongan kotiledon, bukan pada mata tunas (Gambar 4.1). Hal ini kurang baik untuk menghasilkan tanaman transfenik, karena regenerasi tunas/tanaman pada eksplan embrio berasal dari multiplikasi (organogenesis) mata tunas, sehingga tanaman yang dihasilkan tidak berasal dari jaringan yang tertransformasi.

Gambar 4.1. Hasi uji GUS pada eksplan kedelai hasil transformasi dengan A. tumefaciens; tampak bercak biru pada eksplan embrio (kiri) dan kotiledon muda (kanan).

b. Transformasi dengan gen pinII Hasil transfer gen pinII pada eksplan kedelai melalui A. tumefaciens menunjukkan bahwa varietas Wilis memberikan jumlah planlet dan tanaman yang lebih banyak (8 tanaman) daripada Tidar yang hanyak menghasilkan 1 tanaman (Table 4.2). Hal ini disebabakan embrio somatik yang dihasilkan dari eksplan Wilis berukuran lebih lebar dan bentuknya lebih sempurna sehingga mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman (Gambar 4.2). Embrio dari eksplan Tidar walaupun jumlahnya lebih banyak dari pada Wilis, tetapi ukurannya lebih kecil dan kurang sempurna sehingga banyak yang gagal berkecambah dan akhirnya hanya diperoleh satu tanaman saja (Gambar 4.3). Tanaman hasil regenerasi berhasil diaklimatisasikan dan tumbuh normal dirumah kaca serta menghasilkan polong yang berbiji (fertil).

Gambar 4.2. Pertumbuhan embrio somatik dari eksplan kotiledon muda kedelai varietas Wilis (kiri) dan Tidar (kanan) hasil transformasi melalui A. tumefaciens pada masia seleksi yang mengandung kanamisin 200 mg/l.

Gambar 3. Perkecambahan embrio somatik dan aklimatisasi tanaman kedelai Tidar (AT1) hasil transformasi melalui A. tumefaciens; a = planlet, b = aklimatisasi dalam pot, c = tanaman AT1 di dalam kaca.

Keberhasilan penelitian transformasi kedelai sangat ditentukan oleh metode regenerasi dan transformasi yang digunakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu hambatan besar dalam transformasi kedelai adalah respons tanaman kedelai pada manipulasi kultur in vitro (Finer 1988). Parrott et al. (1989), misalnya, telah menghasilkan kedelai transgenik primer melalui transformasi A. tumefaciens pada eksplan kotiledon muda. Namun, dari kultur ini hanya diperoleh beberapa embrio dan akhrinya hanya berkembang menjadi tiga tanaman transgenik.Kedelai pada dasarnya dapat diregenerasikan melalui organogenesis dan embriogenesis. Meskipun dua cara ini sistemnya berbeda, keduanya sangat dipengaruhi oleh genotipe/kultivar tanaman (cultivarspecific responses). Beberapa galur lebih responsif terhadap media kultur dibanding galur lainnya (Pardal et al. 19994). Galur yang dapat membentuk sejumlah besar embrio somatik selama tahap induksi, mungkin tidak dapat memberikan pertumbuhan/proliferasi yang cepat. Oleh karna itu, kondisi kultur jaringan yang optimum unutk masing-masing galur/kultivar harus ditemtukan sesuai dengan metode regenerasinya. Pada penelitian ini, varietas Wilis lebih responsif terhadap media regenerasi daripada Tidar. Eksplan kotiledon Wilis yang ditranfomasikan dapat membentuk delapan tanaman regeneran, sedangkan dari Tidar hanya satu tanaman (Tabel 4.2).Embriogenesis somatik merupakan jalur regenerasi tanaman yang banyak digunakan dalam rekayasa genetika karena tanaman yang dihasilkan dapat berasal dari satu sel. Secara genetis, tanaman regeneran yang berasal dari satu sel lebih stabil dibandingkan dengan dua jalur regenerasi lainnya (Ignacimuthu 1997). Studi histologi terhadap kultur jaringan embriogenetik kedelai menunjukkan bahwa proliferasi embrio berasal dari sel-sel permukaan (apikal) dan hanya sedikit sel yang terlibat dalam pembentukan embrio somatik (Finer 1988). Namun, embrio somatik kedelai tidak selalu berasal dari sel-sel apikal. Pembentukan embrio somatik primer bergantung pada jaringan eksplan dan kadar auksin pada media induksi (Hartweck et al. 1988).Dalam induksi embriogenesis, hormon auksin berperan sangat penting. Penggunaan auksin yang tinggi akan mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio somatik yang terbentuk (Mariska et al. 2001). Jenis auksin yang biasa digunakan untuk induksi embriogenesis adalah 2,4-dichlorophenaxyacetic acid (2,4-D) dan naphthalene acetic acid (NAA). Hormon, 2,4-D cenderung menginduksi embrio somatik secara tidak langsung melalui fase kalus sehingga jumlah embrio yang dihasilkan cukup banyak. Namun, embrio yang dihasilkan banyak yang abnormal dan sulit dikecambahkan menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan realtif normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman, tetapi jumlahnya sedikit. Penggunaan NAA 10 mg/l pada penelitian ini mampu menginduksi terjadinya embriogenesis pada eksplan kotiledon muda kedelai Wilis dan Tidar, tetapi kualitas dan jumlah embrio somatik yang dihasilkan berbeda. Eksplan kotiledon muda Wilis yang ukurannya lebih besar dapat menghasilkan embrio somatik lebih besar dan normal sehinggga mudah dikecambah menjadi planlet. Sebaliknya, eksplan kotiledon muda Tidar yang berukuran lebih kecil menghasilkan embrio somatik lebih kecil dan abnormal sehingga sulit di kecambahan menajd planlet (Tabel 2). Menurut Finer dan Nagasawa (1988), eksplan kotiledon kedelai dapat menghasilkan banyak embrio somatik dan mudah dikecambahkan. Namun, jumlah embrio yang dihasilkan setiap eksplan berbeda-beda yang kemungkinan di sebabkan oleh perbedaan kemampuan regenerasi jaringan dari setiap eksplan (Pardal et al. 1994). Hal yang sama juga terjadi pada penelitian ini, di mana satu eksplan kotiledon muda dapat menghasilkan lebih dari satu embrio somatik dan jumlahnya berbeda antareksplan (Gambar 4.2).

c. Analsis molekuler tanaman kedelai hasi transformasiTransformasi kedelai dengan gen pinII melalui A. tumefaciens menghasilkan delapan tanaman Wilis (AW1 AW8) dan satu tanaman Tidar (AT1). Kesembilan tanaman R0 tersebut selanjutnya diambil contoh daunnya unutk dianalisis DNA-nya dengan teknik PCR menggunakan sepasang primer spesifik unutk gen pinII. Hasil analisis molekuler menunjukkan bahwa hanya satu sampel tananaman yang menghasilkan pita sebesar 600 bp (positif), yaitu AT1 (Tidar), sehingga tanaman ini kemungkinan besar mengandung gen pinII. Delapan sampel tanaman Wilis (AW1 AW8) tidak satupun menghasilkan pita 600 bp (negatif), sehingga tanaman tersebut kemungkinan besar tidak mengandung gen pinII (Gambar 4.4). Walaupun kedelapan tanaman tersebut telah lolos pada media seleksi yang mengandung kanamisin 200 mg/l, kemungkinan besar tanaman tersebut escape atau terhindar dari seleksi. Hal ini dimungkinkan karena regenerasi pada proses ini melalui embriogenesis somatik dan media yang digunakan berbentuk padat. Embriosomatik dapat bersal dari satu sel yang kebetulan tidak terseleksi oleh kanamisin, lalu tumbuh menjadi embrio dan berkembang menjadi planlet/tanaman.

Gambar 4. Hasil PCR sampel DNA tanaman kedelai R0 hasil transformasi dengan gen pinII melalui agrobacterium tumefaciens; M = 1kb, 1 = air, 2 = AT1, 3-10 = AW1 AW8, 11 = gen pinII, 12 = Tidar nontransformasi, 13 = Wilis nontransformasi

d. Bioasai tanaman kedelai AT1R1 terhadap Etiella spUji bioasai dimaksudkan untuk mengetahui eksrpesi gen sisipan pada tanaman hasil transformasi. Makin tinggi tingkat ekspresi gen sisipan, makin tinggi tingkat ketahanan tanaman terhadap hama/penyakit target.Tiga puluh tanaman kedelai AT1R1 (progeni dari event AT1) dibioasai terhadap larva penggerek polong yang baru menetas. Secara umum, tanaman AT1R1 tergolong peka terhadap serangan Etiella sp. dengan rata-rata polong terserang 58,8% dan biji terserang 84,4% (Tabel 4.3). Namun apabila dibandingkan dengan tanaman kedelai Tidar nontransgenik (kontrol), tanaman hasil transformasi masih sedikit lebih tahan terhadap hama penggerek polong.Serangga dari ordo Lepidoptera bergantung pada serine proteinase (tripsin, kimotripsin, dan estalase) sebagai proteinase utama untuk mendapatkan asam amino dari protein yang dimakannya. Enzim proteinase mengkatalis pemecahan protein yang dimakan oleh serangga untuk mendapatkan asam amino yang penting bagi pertumbuhan normal serangga (Bahagiawati 2000). Proteinase inhibitor II (pinII) merupakan salah satu contoh senyawa penghambat (inhibitor) kerja enzim serine proteinase khususnya tripsin dan kimotripsin dari serangga Lepidoptera (Bahagiawati 2000). Jhonson et al. (1990) dan Ryan (1990) melaporkan bahwa apabila gen pinII berhasil ditransfer ke dalam kromosom tanaman dan mampu diekspresikan, maka serangga yang memakan bagian dari tanaman transgenik tersebut terganggu sistem pencernaannya, terhambat pertumbuhannya dan akhirya mati jika tingkat penghambatan perncernaan protein realtif tinggi.

Gambar 4.5. Hasil bioasai tanaman kedelai AT1R1 terhadap larva Etiella zinkenella; a = polong yang tealh diinfestasi larva Etiella zinkenella; b = polong R1 yang tidak terserang; c = polong tanaman kontrol yang terserang.

Gambar 4.5 menyajikan perbedaan anara polong kedelai yang sehat (tahan) dan yang terserang (peka) larva penggereng polong. Polong yang tahan memperlihatkan biji yang utuh, tanpa ada bekas gerakan larva (Gambar 4.5b), sebaliknya pada polong yang peka, bijinya rusak atau hampir habis dimakan oleh larva penggerek polong (Gambar 4.5c). Mekanisme kerja gen pin berbeda dengan protein racun pada gen cry (Bt). Gen pin hanya menghambat pertumbuhan serangga, bukan meracuni seperti pada gen Bt. Oleh karena itu, untuk mematikan larva Etiella sp diperlukan ekspresi gen pinII yang sangat tinggi. Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa rata-rata ketahanan dari individu tanaman AT1R1 hanya meperlihatkan ketahanan peka walaupun kedua event ini telah menunjukkan hasil PCR posotif terhadap gen pinII. Diduga tingkat ekspresi gen pinII pada event ini sangat rendah.

BAB VPENUTUP5.1 KesimpulanTransfer gen pinII tanaman kedelai telah berhasil dilakukan melalui A. tumefaciens dengan dihasilkannya tanaman AT1 (Tidar) yang menunjukkna hasil PCR positif terhadap gen pinII. Protokol terbaik unutk transformasi kedelai malalui A. tumefaciens adalah menggunakan eksplan kotiledon muda dengan kerapatan bakteri 1 x 108 sel/ml, lama inokulasi 90 menit, dan lama kokultivasi 5 hari. Tanaman kedelai AT1R1 (Tidar) hasil tansformasi melalui A. tumerfaciens sedikit lebih tahan terhadap hama penggerek polong daripada tanaman kedelai nontransgenik (kontrol).

5.2 SaranDengan uraian diatas, semoga paper ini bisa bermanfaat untuk para pembaca. Pembahasan dalam paper ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang dari pembaca yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

. . Hama dan Penyakit pada Kedelai. http://ebookbrowsee.net/21400399-hama-dan-penyakit-pada-kedelai-pdf-d470192937. Diakses pada 18 April 2014.

Anggun. 2012 .Transformasi gen oleh bacteri agrobacterium tumefaciens.http:// anggunhannes. blogspot.com /2011/ 05/ transformasi-gen-oleh-bakteri.html. Diakses pada 03 Mei 2014.

Momon. 2009. Transformasi Ubi Jalar (Ipomoea batatas) dengan Gen PinII dan CP-SPFMV. http://sutikno.blog.uns.ac.id/2009/04/17/transformasi-ubi-jalar-ipomoea-batatas-dengan-gen-pinii-dan-cp-spfmv/. Diakses pada 03 Mei 2014.

Pardal, Saptowo J. dkk. 2004. Transfer Gen Proteinase inhibitor II pada kedeali melalui vektor Agrobacterium tumefaciens untuk ketahanan terahdap hama penggerek polong (Etiella zinckenella Tr.). 9, (1), 20-28.

Rahmawati, Syamsidah. 2006. Status Perkembangan Perbaikan Sifat Genetik Padi Menggunakan Transformasi Agrobacterium. 2, (1), 36-44. Wahid. 2012. Pengertian dan Teori Dasar Transfer Gen pada Tumbuhan, serta Prosedur Cerdas yang Perlu Diterapkan dengan Metode Ini. http://wahid-biyobe.blogspot.com/2012/12/pengertian-dan-teori-dasar-transfer-gen.html. Diakses pada 03 Mei 2014.

30