Paper e indonesia initiative itb 2011
Click here to load reader
-
Upload
oneworld-indonesia -
Category
Documents
-
view
434 -
download
1
description
Transcript of Paper e indonesia initiative itb 2011
241
e-Indonesia Initiative 2011 (eII2011)
Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia
14-15 Juni 2011, Bandung
Memperjuangkan Hak atas Kesehatan Melalui Internet:
Studi Kasus Prita Mulyasari dan Mbok Jumik
Firdaus Cahyadi
Knowledge Manager for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia
Abstrak
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memudahkan seseorang berkomunikasi dan
menyebarkan informasi. Hal itu juga berarti memudahkan sesorang untuk mengeksprsikan dirinya. Termasuk
tentu saja melakukan kritik terhadap pihak tertentu atau membangun solidaritas atas sesuatu yang menimpanya
atau menimpa orang lain.
Internet untuk gerakan sosial, atau sekarang lebih sering disebut klik aktivisme. Salah satu bentuk gerakan sosial
adalah memperjuangkan hak atas kesehatan. Dalam hak asasi manusia (HAM), hak atas kesehatan ini masuk
dalam rumpun hak EKOSOB (Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Internet menjadi media baru untuk memperjuangkan dipenuhinya hak atas kesehatan seseorang. Kasus Prita
Mulyasari dan juga Mbok Jumik, seorang ibu korban lumpur Lapindo, menarik menjadi bahan studi.
Prita Mulyasari menggunakan media internet untuk mengungkapkan kekecewaannya atas pelayanan RS OMNI
Internasional. Sementara dalam kasus Mbok Jumik, para aktivis sosial juga menggunakan media internet untuk
menggalang solidaritas ketika Mbok Jumik tidak mampu membayar biaya rumah sakit di Sidoarjo, Jawa Timur.
Sama-sama menggunakan media internet, namun hasilnya berbeda. Apakah ini sekedar persoalan kemasan
pesannya atau terkait dengan dominasi kelas menengah-atas dari para pengguna internet di Indonesia? Atau
karena pengguna internet khususnya sosial media bias Jakarta?
Klik aktivisme, Apaan tuh?
Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) begitu pesat di dunia, tak
terkecuali di Indonesia. Pesatnya perkembangan
TIK ini menimbulkan perubahan cara sesorang
berekspresi dan berkomunikasi. Solidaritas sosial
yang terkait dengan kasus tertentu pun begitu
mudah digalang di dunia maya.
Sekali klik, kita dapat menjadi bagian dari
orang-orang yang mendukung sebuah petisi atau
tergabung dalam sebuah group terkait kasus
tertentu. Hal itu memunculkan istilah baru berupa
klik aktivisme. Mobilisasi dukungan yang begitu
besar di dunia maya dalam kasus Prita Mulyasari
dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
Kasus Prita Mulyasari
Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah
tangga. Pada suatu 7 Agustus 2008, ia menjadi
pasien dari Rumah Sakit OMNI Internasional.
Seperti ditulis di portal TVOne, Prita Mulyasari
mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut
melalui pesan terbatas di email kepada teman-
temannya, namun kemudian email tersebut tersebar.
Pihak rumah sakit, seperti dilansir Antara,
tidak menerima sikap Prita dan kemudian
mengajukan gugatan pencemaran nama baik ke
kepolisian.
Kepolisian mengenakan Pasal 310 dan
Pasal 311 dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik
kepada Prita namun saat kasusnya dilimpahkan ke
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, dakwaannya
ditambahkan dengan Pasal 27 Undang-undang
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.
Dengan dasar itulah, Prita yang memiliki dua anak
berusia di bawah lima tahun kemudian ditahan di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan
Tangerang.
Namun justru dari situlah sebuah
perlawanan dimualai. Para pengguna internet
menggalang solidaritas di dunia maya. Dukungan
terhadap Prita Mulyasari di sebuah cause di
facebook meningkat tajam. Hingga kini tidak
kurang 389 ribu facebooker menjadi pendukung
Prita Mulyasari.
Dukungan tidak berhenti di situ. Saat Prita
Mulyasari diancam denda dalam kasus melawan RS
OMNI Internasional itu, para blogger kembali
membangun solidaritas masyarakat untuk
mengumpulkan koin keadilan untuk Prita. Gerakan
mendukung Prita Mulyasari pun diperbesar dengan
pemberitaan berbagai media mainsteram.
Seperti ditulis oleh kompas.com, Bank
Indonesia dan Bank Mandiri kini mengumumkan
hasil jumlah koin sebesar Rp 615.562.043 pada
Rabu (30/12/2009), di Bank Indonesia, Jakarta.
Hasil ini merupakan gabungan dari koin yang
bernilai Rp 589.073.143 dan uang kertas sejumlah
242
e-Indonesia Initiative 2011 (eII2011)
Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia
14-15 Juni 2011, Bandung
Rp 26.488.900, yang dimuat dalam 21 kontainer.
"Ini merupakan peristiwa unik, karena
koin dikumpulkan dari seluruh pelosok negeri. Ini
membuktikan bahwa masyarakat masih menghargai
koin," ujar Deputi BI Budi Rochadi.
Inilah adalah sebuah gerakan sosial baru
yang diawali dengan gerakan di dunia maya. Tak
heran Prita Mulyasari kemudian menjadi sebuah
icon gerakan sosial digital (click activism) di
Indonesia. Setelah kasus Prita itu, berbagai gerakan
sosial digital mencoba mengikuti jejaknya.
Membangun solidaritas sosial di dunia maya.
Kasus Mbok Jumik
Jauh sebelum kasus Mbak Prita Mulyasari
meledak, sebenarnya ada kasus lain yang agak
serupa, yaitu kasus Mbok Jumik. Siapa itu Mbok
Jumik? Mengapa pula ia dibandingkan dengan
Mbak Prita Mulyasari?
Mbok Jumik adalah perempuan yang
tinggal di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia salah
satu perempuan yang menjadi korban lumpur
Lapindo. Usianya tidak lagi muda seperti Mbak
Prita Mulyasari. Ia berusia 52 tahun. Lumpur
Lapindo telah menghancurkan rumah Mbok Jumik
di Desa Renokenongo. Air yang telah menggenangi
rumahnya sejak hari pertama munculnya semburan
lumpur memaksa keluarga Mbok Jumik menjadi
pengungsi.
Bulan Juni 2008 Mbok Jumik mulai
merasakan sakit luar biasa di perutnya. Pada saat itu
keluarga Mbok Jumik pun segera membawanya ke
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo.
Sekitar dua minggu Mbok Jumik dirawat di rumah
sakit. Namun, karena tak mampu membiayai
ongkos rumah sakit, keluarga Mbok Jumik
membawanya pulang ke tempat pengungsian
korban Lapindo di Pasar Baru Porong. Keluarganya
pun pasrah. Selanjutnya, Mbok Jumik dirawat
dengan menggunakan pengobatan tradisional.
Para relawan Posko Korban Lapindo di
Porong pun segera menulis surat terbuka
permohonan bantuan biaya perawatan bagi Mbok
Jumik via internet (email, milis, forum dan
sebagainya). Bahkan mereka juga menulis surat
khusus permohonan bantuan untuk Mbok Jumik
kepada lembaga bantuan sosial yang ada di
Indonesia via email.
Berbeda dengan kasus yang menimpa
Mbak Prita Mulyasari melawan RS Omni
Internasional yang mampu menciptakan solidaritas
sosial di kalangan pengguna internet. Dalam kasus
Mbok Jumik ini solidaritas itu tidak muncul.
Bahkan hingga Mbok Jumik menghembuskan nafas
terakhir pun, tidak ada bantuan yang datang.
Jika dalam kasus Mbak Prita Mulyasari
melawan RS Omni Internasional terkait dengan hak
konsumen yang tidak dipenuhi oleh sebuah industri
jasa rumah sakit, maka dalam kasus Mbok Jumik
ini terkait dengan tidak dipenuhinya hak warga
negara atas kesehatan. Meskipun begitu kasus
Mbok Jumik tidak cukup menarik simpati para
pengguna internet di Indonesia untuk melakukan
solidaritas sosial seperti dalam kasus Mbak Prita
Mulyasari.
Klik aktivisme, Bias Kelas Sosial?
Melihat kedua kasus itu, maka timbul
sebuah pertanyaan, mengapa click activism gagal
membangun solidaritas sosial dalam kasus Mbok
Jumik, tidak seperti dalam kasus Mbak Prita
Mulyasari?
Melambungnya Mbak Prita dan sebaliknya
tenggelamnya Mbok Jumik dalam gelegar gerakan
sosial digital ini bisa disebabkan karena para
pengguna internet di Indonesia terlalu didominasi
oleh kelas menengah atas. Akibatnya, para
pengguna internet tidak merasa berkepentingan
dalam kasus Mbok Jumik, dan sebaliknya merasa
dekat serta berkepentingan dengan kasus Mbak
Prita. Karena kelas menengah-atas itu mungkin
sama seperti Mbak Prita, menjadi konsumen RS
internasional atau paling tidak calon konsumen
rumah sakit internasional.
Namun pernyataan yang mengaitkan kasus
Prita dan Mbok Jumik itu dengan argumentasi kelas
sosial dibantah. Bisa jadi para aktivis yang
mengorganisir dukungan dalam kasus Mbok Jumik
tidak seprofesional dalam kasus Prita Mulyasari.
Jadi klaim mana yang benar?
Untuk melihat apakah gerakan sosial
digital itu bias kelas atau tidak, kita perlu melihat
dukungan publik di dalam kasus-kasus lainnya.
Dalam kasus dukungan kepada Nenek Minah di
facebook ternyata juga tidak sebesar dukungan
terhadap kasus Prita. Di facebook, group dukungan
Nenek Minah hanya mampu mengumpulkan 3000-
an anggota.
Siapa Nenek Minah? Nenek Minah alias
Ny Sanrudi adalah seorang perempuan, warga Desa
Darmakradenan RT 4 RW 5 Kecamatan Ajibarang,
Banyumas. Di Banyumas, ia harus merasakan
pahitnya menjadi tahanan hanya karena didakwa
mengambil tiga biji kakao seharga Rp 2.100.
Dukungan yang agak lebih besar pada
kasus yang menyangkut isu kelas bawah muncul di
cause facebook, 'Dukung Korban Lapindo
Mendapatkan Keadilan'. Cause itu mampu
menggalang dukungan sebanyak 17 ribuan
facebooker. Namun tetap kalah dengan cause dalam
kasus Prita Mulyasari VS RS OMNI Internasional.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah
adakah data kuantitatif yang menunjukan bahwa
pengguna internat di Indonesia didominasi kelas
menenga-atas, sehingga menenggelamkan isu kelas
243
e-Indonesia Initiative 2011 (eII2011)
Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia
14-15 Juni 2011, Bandung
menengah bawah dalam gerakan sosial digital?
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), pada akhir 2004
menunjukan, terdapat sekitar 1.087.428 pelanggan
dan sekitar 11.226.143 pengguna internet. Dengan
populasi 257,76 juta, berarti sekitar 4,6%
masyarakat adalah pengguna internet dan 0,4%
pelanggan internet. APJII juga mencatat bahwa
sebanyak 75% pelanggan dan pengguna internet
berlokasi di Jakarta, 15% di Surabaya, 5% di
daerah lain di pulau Jawa dan 5% sisanya di
propinsi lainnya.
Sementara bila ditinjau dari jenjang
pendidikan, menurut indikator telematika yang
ditulis iptek.net menyebutkan, tingkat sarjana
adalah pengguna terbanyak (43%) selanjutnya
tingkat SLTA (41%). Berdasarkan profesi
menunjukkan bahwa mahasiswa yang paling
banyak menggunakan internet (39%).
Kota adalah tempat kelas menengah-atas
berada. Sementara jenjang pendidikan juga dapat
menggambarkan kelas sosial yang ada di
masyarkaat. Semakin tinggi pendidikan semakin
tinggi pula kelas sosialnya di masyarakat. Dari data
di atas menjadi salah satu pendukung bahwa
pengguna internet di Indonesia memang didominasi
oleh kelas menengah-atas. Konten informasi dan
pengetahuan yang tersebar di internet pun
didominasi oleh kelas menengah-atas. Begitu pula
gerakan sosial yang coba diorganisir melalui
internet.
Di sinilah letak kontroversinya, jika klik
aktivisme di Indonesia ini menjadi bias kelas
menengah-atas. Padahal kelas menengah-bawah lah
yang seringkali rentan ditinggalkan dalam proses
pembangunan dan juga menjadi korban penindasan.
Pertanyaannya adalah mungkinkah gerakan sosial
mampu memicu sebuah peruabahan sosial yang
lebih baik bagi kelas menengah-bawah?
Klik aktivisme, Bias Jakarta?
Seperti ditulis di Snapshot of Indonesia
Social Media Users - Saling Silang Report Feb
2011, menyebutkan bahwa pengguna facebook
terbesar di Indonesia didominasi oleh warga Jakarta
(50,33%). Pada urutan selanjutnya Bandung
(5,2%), Bogor (3,23%), Yogyakarta (3,09%),
Medan (3,04%), Makasar (2,23%) dan Surabaya
(2,18%). Bandingkan dengan pengguna Facebook
di Jayapura (0,12%) dan Ternate (0,03%).
Begitu pula produksi tweet di Twitter.
Tweet yang diproduksi dari Jakarta mendominasi
seluruh tweet dari Indonesia. Tweet yang
diproduksi dari Jakarta sebesar 16,33%, dari
Bandung 13,79%, dari Yogyakarta 11,05%, dari
Semarang 8,29% dan dari Surabaya 8,21%.
Bandingkan tweet yang diproduksi dari Palu hanya
0,71%, Ambon 0,35% dan Jayapura 0,23%.
Apa itu artinya? Artinya adalah isu sosial
yang muncul melalui media sosial lebih banyak
mencerminkan isu dari Jakarta dan sebagian kota
besar di Jawa. Lokasi semburan lumpur Lapindo
memang terletak di Jawa bahkan berdekatan dengan
Surabaya. Namun, kota Surabaya, dibandingkan
kota besar di Jawa lainnya (Jakarta, Bandung,
Yogyakarta), ternyata menempati peringkat
terendah dalam produksi tweet dan pengguna
facebook. Begitu pula mobiliasasi dukungan
melalui media sosial paling efektif dilakukan
dengan target audience dari Jakarta. Sementara
letak geografis Jakarta berjauhan dengan Jawa
Timur, sehingga relatif sulit untuk membangun
solidaritas sosial.
Bahan Bacaan.
1. Gerakan Rakyat Dukung Pembebasan Nenek
Minah.
http://www.facebook.com/home.php?sk=23618
31622#!/group.php?gid=180415896573
2. Dukung Korban Lapindo Mendapatkan
Keadilan,
http://www.causes.com/causes/333125
3. DUKUNGAN BAGI IBU PRITA
MULYASARI, PENULIS SURAT KELUHAN
MELALUI INTERNET YANG DITAHAN,
http://www.causes.com/causes/290597
4. Koin Prita Selesai Dihitung,
http://megapolitan.kompas.com/read/2009/12/3
0/2338022/koin.prita.selesai.dihitung
5. Kronologi Kasus Prita Mulyasari,
http://hukum.tvone.co.id/berita/view/15586/200
9/06/08/kronologi_kasus_prita_mulyasari/
6. Hak Asasi Manusia Pilar Utama Kebijakan
Konten di Indonesia , Kertas Posisi Yayasan
Satudunia tentang Kebijakan Konten Yayasan
Satudunia, Satudunia, 2010
7. Di Tengah Kegelapan, Kami Nyalakan
Lentera, Kertas Posisi Yayasan Satudunia
tentang ICT di Indonesia, Satudunia, 2010
8. http://web.bisnis.com/sektor-
riil/telematika/1id179371.html
9. http://www.iptek.net.id/ind/?mnu=5&ch=inti
10. http://www.satuportal.net/content/internet-
pornogafi-dan-gerakan-sosial
11. Snapshot of Indonesia Social Media Users -
Saling Silang Report Feb 2011
(http://www.slideshare.net/salingsilang/snapsh
ot-of-indonesia-social-media-users-saling-
silang-report-feb-2011)