Pajak, Zakat dan Kontrol Sosial

download Pajak, Zakat dan Kontrol Sosial

of 4

Transcript of Pajak, Zakat dan Kontrol Sosial

  • 8/14/2019 Pajak, Zakat dan Kontrol Sosial

    1/4

    PAJAK, ZAKAT DAN KONTROL SOSIALOleh: A. Khudori Soleh

    Bahwa Islam merupakan ajaran yang utuh dan tidakmengenal dikhotomi antara dunia-akherat dan dikhotomi agama-negara, diakui oleh semua fihak. Tidak ada satupun masyarakatmuslim yang menolak konsepsi tersebut. Mereka bahkanberjuang mati-matian untuk membela dan melegitimasikankonsep ini dari serangan luar. Akan tetapi, pada waktu yangbersamaaan, yakni dalam persoalan zakat dan pajak, sadar atautidak mereka ternyata justru terjebak dalam apa yang mereka

    tolak ini. Mereka justru melegitimasikan tentang pikiran sekuler;memisahkan ajaran Islam dari tata kenegaraan dankemasyarakatan, yang dalam hal ini adalah tentang zakat danpajak. Zakat difahami semata-mata hanya sebagai perintah danmissi keagamaan sedang pajak adalah urusan negara, urusandunia yang tidak ada sangkut pautnya dengan keagamaan.Karena itu, Prof. Majfuk Zuhdi (alm), misalnya, pernahmenyatakan bahwa seorang muslim masih tetap wajibmembayar zakat walau mereka telah membayar pajak. Sebab,antara keduanya mempunyai dasar, tujuan, missi, dan sasaranyang berbeda.

    Masalahnya sekarang, bila pemikiran seperti itu yang kitafahami, maka apakah bedanya konsep tersebut dengan ajaranInjil (Lukas 20; 25), Berikan kepada Kaisar (negara, penguasa)apa yang menjadi haknya (pajak) dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya (zakat)? Apakah Islam sebagai agamakaffah mengenal dan mengajarkan konsep dikhotomi antaraagama dan negera seperti itu?

    Zakat dan Pajak.Zakat dan pajak, sesungguhnya, bukan dua hal yang

    bertentangan. Sebaliknya, keduanya merupakan satu kesatuanyang tidak terpisahkan, saling membutuhkan dan salingmelengkapi. Dalam al-Quran dikatakan, Ambillah dari hartamereka (yang mampu) sedekah...(QS. al-Taubat, 103).Pertanyaannya, apakah sedekah yang diambil dari fihakpemerintah --yang menurut sebagian ulama bisa dilakukandengan jalan kekerasan-- terhadap mereka yang mampu? Itulahyang sekarang dikenal dengan istilahpajak.

    Akan tetapi, hal itu bukan berarti pajak lantas samadengan zakat. Tidak. Dalam al-Quran, Allah memberikan istilahyang berbeda dalam masalah ini. Ketika menyinggung soal

  • 8/14/2019 Pajak, Zakat dan Kontrol Sosial

    2/4

    materinya (uang atau wujud hartanya) yang mesti ditarik olehfihak penguasa sebagai amil dari para orang kaya, Allah

    menyebut dengan istilah sadaqah, sedang ketika ditujukankepada muzakkinya (orang yang membayar), Allah menyebutdengan istilah zakat (pembersihan). Ini berarti zakatsebenarnya lebih merupakan spirit atau masalah moral bagi parapelakunya, sedang pajak yang diurusi amil atau pemerintahadalah sebagai lembaganya. Atau menurut istilah Masdar F.Masudi, zakat adalah jiwanya sedang pajak merupakan raganya.

    Kontrol Sosial.Sulitnya penarikan zakat dari masyarakat muslim selama

    ini, jika kita amati, adalah karena kurang baiknya manajemenorganisasi zakat disamping kurang adanya kepercayaan dankesadaran masyarakat untuk mengeluarkannya. Selama ini,zakat hanya dikelola secara amatiran, oleh kelompok-kelompokBAZIS di daerah atau di desa-desa. Panitia biasanya hanyaongkang-ongkang kaki sambil menunggu para muzakki yangmengantarkan zakat atau sedekahnya. Mereka tidak terjunlangsung ke rumah-rumah untuk menariknya, sehinggahasilnyapun tidak memadai. Kenyataan tersebut diperparahdengan banyaknya susunan panitia yang ternyata kemudianmeminta bagian dari hasil kumpulan zakat atas nama amil.

    Padahal, yang benar-benar bekerja (amil) dalam kepanitiansebenarnya tidak lebih dari empat atau lima orang. Sedemikian,sehingga bagian untuk para amil siluman tersebut nyarismenghabiskan separoh dari total pengumpulan zakat. Barusisanya kemudian dibagi kepada para fakir miskin.

    Pengelolan zakat yang dilakukan secara amatiran dan --maaf-- lebih banyak untuk kemakmuran amil-amilnya ini,akhirnya menimbulkan kekurang-percayaan masyarakatterhadap panitia. Akibatnya, mereka menjadi enggan dan malasmenyetorkan zakat kepada para amil atau panitia. Sebaliknya,langsung diberikan kepada mereka yang berhak; panti asuhan,

    fakir miskin dan lainya. Pemberian zakat langsung dari muzakkikepada mustahiq (yang berhak) seperti itu memang ada baiknya.Akan tetapi, pendistribusian zakat akhirnya menjadi tidak meratadan adil. Bisa jadi lembaga panti asuhan yang sudah mapan --dan terkenal-- mendapat zakat yang sangat sangat banyak,sedang panti yang lain yang sebenarnya lebih membutuhkanhanya mendapat pemberian sedikit atau bahkan malah tidakmendapat sama sekali.

    Dengan pemahaman bahwa hubungan antara zakat danpajak adalah seperti jiwa dan raganya, maka kesulitan-kesulitan

    2

  • 8/14/2019 Pajak, Zakat dan Kontrol Sosial

    3/4

    dalam soal penarikan dan pendistribusian kekayaan zakat sepertiyang dialami selama ini, kiranya tidak akan terjadi. Sebaliknya,

    perintah membayar zakat justru akan semakin mudahdirealisasikan dan disalurkan. Lebih lanjut, pemahaman sepertiini akan mendorong konsep zakat tidak hanya sekedarpemberian harta dari muzakki kepada si fakir. Sebaliknya, moralzakat yang direalisasikan lewat pajak yang dalam hal ini dikelolaoleh penguasa sebagai amil akan berubah menjadi sebuahkonsep besar yang tidak hanya mencakup dan mengubah tatahati muzakki, tetapi juga akan mengubah seluruh tata kehidupanmasyarakat dan bangsa.

    Pertama, pelaksanaan pajak yang didasari moral zakat,tidaklah kita bayarkan demi keuntungan pemerintah atau pribadipenguasa. Sebab, dalam ajaran Islam, penguasa sama sekalitidak berhak memaksa rakyat untuk membayar pajak demikepentingan dan keuntungan pribadinya. Yang berhak memaksakita untuk membayar zakat hanyalah Tuhan. Sebab, rizki yangkita peroleh adalah memang dari anugerah-Nya.Apakah merekabelum juga mengerti bahwa Allah sajalah yang berhak menerimataubat hamba-Nya (bukan pendeta atau kyai) dan yang berhakmemungut pajaknya (bukan penguasa)?. (QS. al-Taubat, 104).

    Dengan demikian, sesuai dengan moral zakat, pajak yangkita bayarkan bukanlah untuk kepentingan negara yang

    seringkali berarti untuk kepentingan --oknum-- penguasanya.Sebaliknya, semua itu kita lakukan semata-mata sebagairealisasi ibadah kepada Allah, demi keadilan dan kemaslahatankaum miskin atau prasejahtera, tanpa membedakan warna kulitdan agama. Sesunggguhnya, harta zakat itu hanyalah untukorang-orang fakir, orang-orang miskin, amil, muallaf.... (QS. al-Taubah, 60).

    Kedua, dalam pengelolaan pajak, posisi pemerintah bukansebagai penguasa yang memiliki hasil pajak. Pemerintah hanyabertindak sebagai amil, pekerja atau pengatur distribusi zakat(pajak). Tidak lebih dari itu. Karena itu, dalam pendistribusian

    pajak, fihak penguasa tidak bisa melakukan itu demi keuntungangolongan, partai, kelompok atau keluarga dan anak cucunyasendiri. Sebaliknya, mereka harus mentasarufkan hasil pajaktersebut sesuai dengan aturan dan kehendak pemilik yangsesungguhnya, Tuhan.

    Hal tersebut jelas berbeda dengan konsep pajak yang adaselama ini. Secara historis, pajak merupakan milik dan untukkepentingan penguasa. Raja-raja dan para kaisar dahulu menarikpajak dari rakyatnya demi keuntungan pribadinya. Itu sebagaiimbalan atau uang sewa atas keberadaan mereka yang menetap

    3

  • 8/14/2019 Pajak, Zakat dan Kontrol Sosial

    4/4

    dalam wilayah kekuasaan sang raja. Sedemikian, sehingga saatini, korupsi, penyelewengan, penggelapan dana proyek atau

    yang lain yang diambil oleh --oknum-- penguasa dari dana rakyatbukan merupakan kesalahan. Itu adalah haknya.

    Disisi lain, dari segi bahwa negara hanya bertindak sebagaiamil dalam pengelolaan pajak (zakat), maka muzakki(masyarakat) sebagai pemberi mandat, juga rakyat kecil sebagaimustahiq (penerima) utama zakat, mempunyai hak dankekuasaan untuk mengontrol kerja penguasa. Mereka (rakyat)punya keberdayaan dalam menentukan sikap, sehinggasemboyan bahwa kekuasaan, pembangunan dan keadilanberasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyatbenar-benar bisa diwujudkan.

    Jelas ini merupakan konsep besar dari moral pelaksanaanzakat. Rakyat punya kekuasaan dan hak untuk menentukan danmengontrol kerja penguasa. Bukan sebaliknya, sebagaimanayang terjadi selama ini, dimana negara dan pemegangkekuasaan yang menentukan dan mengatur kehidupanmasyarakat. Penguasa --yang sebenarnya abdi masyarakat--berubah menjadi raja yang harus disembah dan dilayani, sedangrakyat --yang mestinya harus diopeni justru menjadi tidak lebihdari budak dan binatang piaraan yang harus selalu siap untukdikendalikan dan diarahkan kemana tuan suka.

    Ketiga, prosentase pajak tidak bisa seenaknya sajaditentukan oleh negara yang dalam hal ini hanya bertindaksebagai amil. Tetapi, harus didasarkan atas ketentuanpemiliknya: Tuhan, dan Tuhan sendiri, melalui rasul-NyaMuhammad SAW, telah menentukan bahwa prosentase zakatberkisar antara 2,5%-20% berdasar atas tingkat kemampuan dankesulitan muzakki. Sedemikian, sehingga dengan demikian, tidakakan terjadi punggutan pajak sampai 35% atau bahkan 300%,yang mana hasilnya ternyata juga tidak sampai merembeskepada rakyat karena hilang masuk dalam kantong-kantong saku--oknum penguasa [.]

    Termuat dalam buletin Jum'at al-Huda, PP. Miftahul Hida, Gading Pesantren,

    Malang, 4 Juni 2004.

    4