Pagelaran Dalang Cilik PKB XXXIV tahun 2012 · Web viewtokoh bebondresan yang menjabarkan dan...
Transcript of Pagelaran Dalang Cilik PKB XXXIV tahun 2012 · Web viewtokoh bebondresan yang menjabarkan dan...
Pentas Dalang Cilik I 22 Juni 2012 Parade Dalang Cilik Kodya Denpasar
Oleh : Made Panji Wilimantara
Pementasan Parade Dalang Cilik merupakan ajang pencarian,
pembinaan, dan pengembangan bakat yang terpendam bagi para generasi
penerus terutama anak-anak untuk menumbuhkan rasa cinta, rasa memiliki, dan
rasa ingin mengembangkan seni budaya yang adiluhung warisan nenek
moyangkita yakni seni pertunjukan wayang kulit. Pementasan Parade Wayang
Kulit Pagelaran Dalang Cilik PKB ke 34 Tahun 2012 pada tanggal 22 Juni 2012
dipentaskan pada pukul 20:00 Wita di depan Gedung Kriya Taman Budaya Art
Center Denpasar.
Pada malam itu 22 Juni 2012, parade dalang cilik di pentaskan oleh
Dalang Cilik dari Kodya Denpasar yakni I Wayan Candra yang masih bersekolah
di SD 5 Sanur. Dengan grup sekaha dari Listibya Bali yang hampir kesemuanya
anak-anak kecil berusia 6-12 tahun. Dalam pertunjukannya tersebut, Sang
Dalang Cilik mengambil babon lakon Ramayana yang mengisahkan tentang
penyelamatan Dewi Tara oleh Kapi Sugriwa dan Kapi Subali. Dengan didukung
oleh tidak tanggung-tanggung sebanyak 10 orang ketengkong yang siap sedia
membantu sang dalang dealam memainkan wayang. Dengan apik, telaten,
cekatan, serta tingkah polah mereka yang kadang-kadang lucu dan
menggemaskan namun tetap konsisten membantu dalang mengambil wayang,
menyiapkan wayang, membantu menancapkan wayaang, membantu
mengencangkan mnikrofon dalang yang melorot, mengipasi, bahkan membantu
membalik buku halaman pakem yang digunakan oleh dalang. Mereka sangat
kompak dan antusias dalam melaksanakan perannya. Gambelan yang
digunakan adalah gambelan Bebatelan Gender Wayang dengan 22 orang
penabuh yang sangat apik, kompak, dan serempak memainkan gending-
gending Tetabuhan Gender Bebatelanwalaupun usia mereka masih sangat belia.
Sejumlah 22 orang penabuh cilik Laki-laki dan perempuan semuanya
berkolaborasi memainkan gambelan untuk mendukung pementasan.
Konsep garapan yang dipentaskan oleh Dalang I Wayan Candra tersebut
masih berpedoman pada pakem tradisi namun menggunakan tata pencahayaan
menggunakan lampu listrik dan tidak menggunakan lampublencong seperti
pementasan wayang tradisi pada umumnya. Dalam pementasan tersebut
tampak dalang sangat apik dalam menggerakan wayang dan menarikan wayang.
Namun dari segi dialog, sang dalang masih terpaku pada pakem yang ada dan
mungkin agak sulit untuk terfokus pada wayang yang ada di kelir sehingga masih
terdengar kurang leluasa dalam menggunakan bahasa kawi. Dalam
pengemasan lelucon juga terlihat bahwa terkadang lelucon yang dibawakan tidak
mencirikan dan mewakili dunianya sebagai anak-anak, kemasan lelucon justru
mengarah ke hal-hal yang dewasa sehingga mungkin membuat dalang kurang
menikmati pertunjukannya sendiri. Namun dari segi pertunjukan, sang dalang
telah menunjukkan semangat dan kegigihaannya untuk berani tampil di hadapan
puluhan penonton yang ada di Depan Gedung Kriya Taman Budaya. Penonton
sangat antusias dalam menonton pertunjukan wayang tersebut hingga
pementasan berakhir. Potensi-potensi tersebut harusnya bisa kita kembangkan
lagi agar lebih terarah dan memotifasi mereka untuk lebih mencintai wayang kulit
sedari kecil.
Pentas Dalang Cilik II23 Juni Parade Dalang Cilik Sekaa Wayang Cakuntala
Br Besang, Ababi, Abang Karangasem Oleh : Made Panji Wilimantara
Pada malam itu 23 Juni 2012, parade dalang cilik di pentaskan oleh
Dalang Cilik dari Sekaa Wayang Cakuntala Br. Besang, Ababi, Abang
Karangasem oleh dalang yakni Ida Nyoman Kumarayana. Dalang cilik ini
memiliki segudang prestasi baik ditingkat lokal maupun nasional. Dalam
pementasan tersebut sang dalang melakonkan babon cerita Ramayana yang
mengisahkan tentang Rama Dewa, Laksmana, dan dibantu oleh para pasukan
kera hendak pergi ke Alengkapura untuk menyelamatkan Dewi Sinta. Namun
karena terhadang lautan yang luas akhirnya Sang Rama mengeluarkan panah
saktinya untuk membelah lautan, namun akibat dari senjata itu menyebabkan
ikan-ikan di laut mati. Hal ini menyebabkan Dewa Baruna turun tangan dan
menasehati Rama Dewa untuk menggunakan cara lain agar dapat menyebrang
ke Alengkapura dengan cara membangun jembatan yang kelak akan dinamakan
Kreteg Setubanda. Akhirnya para kera bekerja sama untuk membangun
jembatan menuju Alengkapura. Dilain pihak dikubu Alengkapura berita itu
terdengar oleh Sang Rahwana. Ia menitahkan anak perempuannya Diyah
Sarung Srani untuk menggagalkan rencana pembangunan jembatan menuju
Alengkapura. Kemudian Diyah Sarung Srani berubah wujud menjadi kepiting
besar dengan kekuatan Japa Mantranya ia kemudian menuju ke tempat dimana
para kera hampir berhasil menyelesaikan jembatan itu. Akhirnya ia berhasil
menghancurkan sebagian jembatan itu namun akhirnya Hanoman datang
menghadang dan melawannya dan membelah tubuh kepiting itu menjadi dua.
Dan akhirnya kepiting itu berubah wujud kembali menjadi Diyah Srayung Srani
kembali. Pertarun gan antara Raksasa dan para Kera tidak terelakkan lagi
hingga akhirnya dimenangkan oleh pasukan kera.
Dalam pementasan wayang tersebut, Ki dalang cilik menggunakan tata
pencahayaan menggunakan lampu Blencong. Konsep wayang yang digunakan
merupakan konsep wayang tradisi dengan menggunakan iringan bebatelan.
Dalam pementasan tersebut dalang menggunakan penggunaan tatanan bahasa
kawi yang sangat apik. Tata bahasa dan struktur dialog yang digunakan sangat
rapi. Baik dalam adegan peparuman maupun dalam adegan tegang sekalipun
sang dalang dapat membawakan dialog berbahasa kawi dengan baik.
Penggunaan bahasa bali juga begitu jelas sehingga pesan yang ingin
disampaikan oleh dalang bisa di terima oleh para penonton dengan baik. Dari
segi dialog dan lelucon, terkadang lelucon yang digunakan oleh dalang tidak
mencerminkan dunia anak-anak sang dalang. Kesan dialog tersebut
cenderung wayah dan berbobot filsafat. Dalam dialog delem sangut terdapat
adegan dimana Sangut menyanyikan sebuah gending ketika Delem
menyuruhnya menyanyi. Ternyata lagunya itu memiliki suatu filsafat tinggi.
Bantal Siu, Cerotote Limangatus
(Ban nto tatakan, ntal nto lontar, tatakan darma ane ade di tengah lontare nto
sastra agama. Carorote nto Care Rat, Tata Cara Tata Laksanan Undang-
undang awig-awig gumi Sang Pemimpin dijagate nto patut gelarang)
De ngejot didinan i Dadong dogen ejotin, to ye ngempu uli cenik kanti
Truna
(I Dadong, Ida Dadi Ong, Ida peragan Sang Hyang Widhi, Ong Panunggalan
Dasa Aksara, Nto ani ngempu irage uli iraga lekad nganos ke trune iraga
melajah empue ken Ida)
Penggunaan aksen cepala walaupun masih agak kurang menonjol, namun
penggunaannya sudah tepat guna. Dari caranya dalam mengisikan suara terlihat
bahwa dalang sudah mampu memberikan warna suara pada setiap karakter
wayang sehingga pertunjukan tersebut tampak hidup dan berkarakter.
Pentas Dalang Cilik III26 Juni 2012 oleh Sanggar Piluk Jiner
Baluk JembranaOleh : Made Panji Wilimantara
Pada malam itu 26 Juni 2012, pentas parade dalang ciliki diwakilkan oleh dalang cilik dari Kabupaten Jembrana yang di wakili oleh Sanggar Piluk Jiner Baluk Jembrana. Pementasan itu diwarnai sidak oleh Gubernur Bali Bapak Made Mangku Pastika yang dating untuk meninjau suasana pertunjukan disetiap stand yang ada di PKB, yang salah satunya pada Parade dalang Cilik yang dilaksanakan di depanGedung Kriya Taman Budaya Art Center Denpasar.
Perunjukan Dalang cilik yang di pentaskan oleh Dalng I Kadek Adi Purnama dari kabupaten Jembrana ini menggunakan konsep pementasan wayang tradisi yang menggunakan lampu blencong dan empat buah tungguh gender. Pementasan tersebut didukung oleh empat orang juru tabuh gender dan tiga orang ketengkong. Dalam pementasan tersebut mengambil sebuah cerita yang menceritakan tentang keinginan Yudistira untuk melaksanakan yadnya. Dalam pawisik yang ia terima, untuk menuntaskan upacara tersebut, Yudistira harus mencari Kedis Guak Putihsebagai sarana untuk upacara. Kemudian ia memerintahkan adiknya untuk pergi berburu ke tengah hutan untuk mencari Kedis Guak Putih sebagai sarana upacara. Di tengah perburuannya itu ia dihadang oleh raksasa yang berdiam di hutan itu, Sang Detya Kala Maya. Sang Detya Kala Maya merasa terganggu akan kehadiran manusia di wilayahnya sehingga ia mengutus para raksasa anak buahnya untuk bertanding melawan Arjuna. Seketika itu juga terjadi pertarungan dahsyat antara Arjuna dan Sang Detya Kala Maya yang di bantu oleh pasukan Raksasanya. Akhirnya Sang Detya Kala Maya kalah dan berubah wujud menjadi Bhatara Guru yang akhirnya memberikan wejangan kepada Arjuna bahwa Kedis Guak Putih tidak ada di dunia, melainkan suatu simbol bahwa untuk melakukan suatu Yadnya apapun bentuknya kita harus memutihkan/mensucikan jassmani dan rohani kita untuk melakukan Yadnya tersebut. Dalam pertunjukannya, Ki Dalang Cilik mementaskan pertunjukan dengan menggunakan tata pencahayaan menggunakan Lampu Blencong namun dalam babnak penyacah parwa dalang menggunakan tambahan pencahayaan dari lampu disko yang diputar dan bercahaya warna-warni. Penggunaan lampu disko itu juga digunakan ketika peralihan babak dengan Kayonan dan juga ketika Raksasa Detya kala Maya berubah menjadi Bhatara Guru lampu itu juga digunakan sehingga nampak seperti lingkaran aura pada tubuh Bhatara Guru. Kombbinasi penggunaan pencahayaan lampu dan cahaya api merupakan kombinasi yang inovatif namun pencahayaan itu kurang menyatu dan perpektif pencahayaannya kurang maksimal. Pada adegan perang jugta digunakan lampu kelap-keliup berwarna ungu kemerah-merahan di atas kelir. Namun penggunaan lampu itu masih kurang efektif untuk memberikan suasana magis dan heroik
dalam adegan pesiat. Namun dari segi pencahayaan bayangan wayang dalang sudah dapat menempatklan posisi wayang dengan sangat baik namun perlu kesiagaan dan kesigapan agar bayangan wayang ditampilkan tidak terlalu kebawah ataupun kabur.
Dari segi penggunaan bahasa kawi, sang dalang menggunakan bahasa kawi dengan baik dan penggunaan intonasi yang tepat sehingga mampu di serap oleh penonton. Dalam adegan yang berbahasa bali, dalang masih ragu untuk menjunjukan poinht yang ingin dia sampaikan kepada penonton. Dalam kemasan dialog terjadi beberapa kesalahan yang tidak disengaja oleh dalang, seperti ketika adegan pesiat, Arjuna salah memanggil nama Tualen dengan nama Delem. Tapi akhirnya ia mengkoreksio dialognya sendiri.
Arjuna : Delem....! Tualen : Eh... Nyen delemTu?Arjuna : Tualen!
Penggunaan adegan lelucon inofasi dalang juga tampak pada saat Merdah berperang melawan Raksasa ia menggunakan pistol untuk melawannya. Penggunaan aksen cepala pada adegan perang juga tidak nampak pada adegan perang. Pada saat saya melihat ke belakang ternyata kaki sang dalang tidak aktif menggunakan cepala. Padahal dalam adegan perang tersebut kletakan cepala dan geblagan gedog sangat memberikan efek suasana perang yang heroik. Tampak juga, sang dalang menggunakan beberapa Wayang Kuno dalam pertunjukan yang dari usia mungkin sudah sekitar 50 tahunan keatas usia wayang tersebut. Namun dalam pertunjuukan wayang tersebut sang dalang telah menunjukan suara yang hampir sama fibrato dan frekuansi suaranya dengan orang dewasa. Pementasan tersebut telah menunjukan kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan anak-anak sebayanya yang lain.
http://www.jembranakab.go.id/index.php?module=detailberita&id=1659DALANG CILIK JEMBRANA TAMPILKAN LAKON GOAK PETAK27 Jun 2012 - Posted by: humas
Selama ini , bicara
mengenai kesenian lokal yang ada, kabupaten Jembrana memang paling terkenal akan kesenian Jegognya. Namun dibumi mekepung Jembrana meskipun tak banyak ada juga yang memilih menekuni dunia wayang menjadi dalang. Salah satunya adalah I Kadek Adi Purnama (15tahun) asal Baluk, yang berkesempatan tampil dalam pagelaran Pesta Kesenian Bali ke-34 bersama sanggarnya yakni Sanggar kesenian wayang kulit Piluk Jiner desa Baluk , bertempat di ,selasa malam (27/6). Istimewanya, dalam pelaksanaan PKB yang sudah memasuki hari ke-17 , penampilan dalang cilik ini juga disaksikan langsung oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika bersama ibu.
Dalam pementasan tersebut, Adi Purnama bersama sanggarnya menampilkan lakon Goak Petak yang menceritakan kisah raja Indra Prastha , Sang Yudistira hendak menggelar Yadnya Hista Purna. Lebih lanjut diceritakan sebelum melaksanakan yadnya tersebut, sang pandawa dituntut harus mendapatkan goak putih karena sudah merupakan sabda dari siwa loka. Untuk itu diutuslah sang Arjuna untuk turun langsung ketengah hutan, Namun perjalanannya tidak berlangsung dengan mudah, karena dihadang oleh raksasa Ditya Parikosa sehingga terjadilah peperangan yang menjadi klimaks cerita.
Seusai pentas , Adi Purnama mengungkapkan rasa gembiranya karena pertunjukkan yang dibawakannya bisa tuntas .Dirinya juga mengaku diawal-awal cerita sempat grogi terlebih lagi ketika tahu pementasannya itu sempat ditonton langsung oleh orang nomor satu di Bali. “mudah-mudahan dengan seringnya kesempatan tampil akan memperkaya jam terbang dan kemampuan mendalang saya, “pungkas dalang cilik yang menekuni dunia wayang karena dukungan keluarga ini. (Abhi/humas Jembrana)
Pentas Dalang Cilik IV27 Juni 2012 oleh Sanggar Kembang Bali
Tunjuk TabananOleh : Made Panji Wilimantara
Pada pementasan malam kemarin, pada tanggal 27 Juni 2012, Pada malam itu 26 Juni 2012, pentas parade dalang ciliki diwakilkan oleh dalang cilik dari Kabupaten Tabanan yang di wakili oleh Sanggar Kembang Bali Tunjuk Tabanan di depan Gedung Kriya Taman Budaya Art Center Denpasar. Sang Dalang mementaskan Babon cerita Ramayana yang mengambil lakon mengenai pembangunan jembatan Kreteg Setubanda. Pada pementasan kali ini, Ki dalang Cilik kabupaten tabanan menggunakan konsep garapan tradisional dengan menggunakan tata pencahayaan lampu Blencong dan Iringan gambelan batel. Di iringi sekitar 12 orang pengiring gamelan cilik dan salah satunya merupakan mahsiswa ISI jurusan Karawitan dari desa Jegu, Tabanan dan dibantu oleh 2 orang ketengkong. Lakon yang dibawakan mengisahkan tentang Ramadewa setelah mendapatkan titah untuk membangun Kreteg setubanda oleh Dewa Baruna agar dapat membantu pasukan Rama menuju Alengkapura memulai pembangunan Kreteg Setubanda dengan dibantu oleh pasukan-pasukan kera yang dipimpin oleh Kapi Sugriwa dan jembatan tersebut di rancang oleh Kapi Nala yang merupakan putra dari Bhagawan Wiswakarma, Dewa Arsitektur. Pembangunan tersebut akhirnya berhasil berkat kerjasama, persatuan, dan kesatuan para kera akhirnya jembatan itu berhasil didirikan dengan kokoh. Namun hal ini didengar juga oleh Rahwana Raja Alengka pura yang akhirnya menyuruh seorang patihnya Sukrasrana untuk memata-matai pasukan kera yang hendak menyerang ke Alengkapura. Setelah Sukrasrana berubah menjadi kera akhirnya ia menyusup pada pasukan kera untuk mengetahui gerak-gerik pasukan kera yang hendak menyerang Alengkapura. Namun gerak-gerik sukrasrana akhirnya ketahuan juga oleh pasukan kera, akhirnya ia ditangkap damn dihajar habis-habisan. Namun kemudian Sri Raama menghalangi mereka untuk tidak membunuh duta utusan. Akhirnya nyawa Sukrasranapun tertolong. Dalam pertunjukan tersebut sang dalang menggunakan tata pencahayaan lampu blencongDan konsep yang disajikan merupakan konsep wayang tradisi. Dalam teknik pentasnya saat penggambaran pembangunan jembatan, sang dalaang memberikan fisualisasi dengan wayang jembatan yang diukir sedemikian rupa sehinhgga menimbulkan perspektif cahaya menyerupai jembatan. Dibawah jembatan tersebut sang dalang memfisualisasikan ikan-ikanan yang melompat-lompat dan perahubendega nelayan yang ada dibawahnya. Sehingga dalam suasana itu penonton mendapatkan point of view tentang pemandangan laut dan jembatan yang berhasil dibangun oleh pasukan kera. Dari segi penggunaan bahasa kawi, sang dalang menggunakan tata bahasa kawi yang baik dan mungkin sesuai dengan pakem yang ia pelajari,
namun dalam pengucapannya dalang kurang memberikan intonasi dan penekanan secara tepat guna, sehingga untuk mengkomunikasikannya kepada penonton. Penggunaan bahasa bali oleh dalang lebih efektif daripada penggunaan bahasa kawi. Dalam penggunaannya, mungkin karena bahasa bali merupakan bahasa komunikasi yang biasa digunakan oleh dalang dalam kesehariannya. Dari segi lelucon dan lawakan, selain dalang menggunakan tokoh punakawan (Tualen, Merdah, Saangut, Delem) ia juga menggunakan dua tokoh wayang bebondresan yang mirip wayang cupak dengan postur tinggi besar dan kepala yang besar dengan mulut yang bisa digerakkan keduanya serta tokoh seperti wayang ceng. Dalam lelucon mengenai pembangunan jembatan, tokoh cupak itu mengaku sebagai kontaraktor dan pemborong dalam membangun jembatan itu yang dirancang oleh Kapi Nala yang merupakan arsitek para monyet. Namun dia takut ikut dalam proyek itu karena takut dengan proyek pembangunan jembatan sebelumnya yang cupak kerjakan di Kutai Kalimantan yang roboh. Ia takut diwawancarai olreh tim pencari fakta mengenai robohnya jembatan itu. Untungnya ia hanya sebagai saksi dalam robohnya jembatan itu. Namun ceng meyakinkan dia untuk tetap ikut mengerjakan jembatan itu, karena selama ada Sri Rama semuanya pasti aman-aman saja. Dan ketika adegan pembangunan jembatan telah selesai, sang dalang mengilustrasikan keraa-kera yang sedang berjualan ditengah kesibukan para kera membangun jembatan. Ada Mas Brouew si kera yang berjualan bakso, sambil mendorong grobak baksonya sambil menjajaklan baksonya “Bakso…. Bakso pak…. Baksobuk…” dengan gaya ngore kera. Kemudian ada juga yang berjualan baju “baju pak….. Baju bu…” derngan membawa property wayang baju kesaana kemari. Dalam adegan para kera yang sedang ngore dalang juga menunjukan kemampuannya yang baik saat mengore. Penggunaan aksen cepala juga baik oleh sang dalang. Pada adegan perang pun tidak pernah absen dari bunyi cepala, ia sangat aktif memainkan cepala. Dalam adegan perang tersebut kletakan cepala dangeblagan gedog sangat memberikan efek suasana perang yang heroik. Tampak juga, sang dalang menggunakan beberapa Wayang Kuno dalam pertunjukan yang dari usia mungkin sudah sekitar 45 tahunan keatas usia wayang tersebut. Namun sebelum pementasan tidak tampak sarana upacara dan upakara yang disiapkan sebelum pementasan dimulai. Dari caranya dalam mengisikan suara terlihat bahwa dalang sudah mampu memberikan warna suara pada setiap karakter wayang sehingga pertunjukan tersebut tampak hidup dan berkarakter.(nb: Mohon maaf Pak Prof, untuk pengamatan 3 pementasan kemarin, dan pementasan ini saya tidak menyertakan pengamatan tentang latar belakang sang dalang, saya hanya mengamati struktur pementasannya saja, mungkin akan saya terapkan untuk beberapa pertunjukan kedepan mengenai asal-usul, pelatih, dan latar belakang seni sang dalang. Mohon maaf juga sebelumnya laporan pengamatan saya kurang maksimal karena beberapa video pengamatan saya terhapus saat penyimpanan otomatis di memori hp, jadi saya hanya bisa mengandalkan beberapa ingatan yang terekam dalam memori pikiran saya
mengenai pertunjukan itu. Terimakasih prof atas saran dan masukan serta motifasinya, trimaksaih Pak Prof. Mohon bimbingannya
Pentas Dalang Cilik V28 Juni 2012 oleh Sanggar Gita Parartha
Tejakula BulelengOleh: Made Panji Wilimantara
Pada malam tanggal 28 Juni 2012, pementasan Parade Dalang Cilik
diwakili oleh duta dari kabupaten Buleleng yakni oleh Sanggar Gita Parartha dari
deesa Tejakula dengan Dalang Komang Hendri Purwanata. Dalaang Hendri
Purwanata ini statusnya masih bersekolah di SMAN 1 Tejakula. Ia merupakan
putra dari Jro Dalang Sadnyana yang merupakan seorang dalang yang sudah
tidak asing lagi di desa Tejakula. Jadi melihat latar belakang keluarga yang
dimiliki olehnya, maka kehgiatan mendalang merupakan suatu hobi yanhg
diturunkan dari sang ayah. Hobi mendalang ini telah ia praktekkan sedari kecil
sehingga dunia pewayangan sudah tidak asing lagi bagi Komang Hendri
Purwanata.Untuk pementasan inni ia berlatih selama dua minggu. Dalam
pementasannya ini ia menggun akan konsep tradisi dengan pentata cahayaan
menggunakan lampu Blencong yang terbuka seperti mangkok khas Buleleng
Timur. Alat musik yang digunakan adalah seperangkat gender barungan
yang ditambah dengan beberapa buah suling yang berjumlah kira-kira 6 orang
pemain musik instrumen gambelan. Sang Dalang dibantu oleh dua orang asisten
ketengkong yang salah satunya adalah ayahnya sendiri yakni Jro Dalang
Sadnyana yang juga merangkap sebagai tukang sendor/tandak saat
pertunjukan.
Dalam pertunjukan tersebut sang dealang mengambil lakon Bima
Swarga. Sebelum pementsan dimulai, ayah sang dalang jero dalang Sadnyana
menghaturkan banten pejatian sebelum pentas dimulai dengan diiringi gending
gender yang kemudian sang dalang menyalakan lampu damar. Dalam
pertunjukan tersebut terdapat beberapa hal yang saya amati yakni, pada saat
nyejer wayang tidak saya temukan adanya wayang pemurtian yang dijejer
namun ada wayang kayonan yang sangat unik yang berwujud seperti api,
didasari oleh karang boma dan diatasnya perwujudan tri murti Brahma, Wisnu,
Siwa dan yang paling atas Sang Hyang Acintya. Aksen cepaala sangat ramai
terdengar dan bisa dikatakan tidak pernah sepi dari bunyi cepala walaupun
gedognya tidak seperti gedog wayang bali selatan, gedog wayang bali nutara
cenderung mati. Dramatisasi saat peparuman punakawan menyembahtanpa
dramatisasi berlebihan sesuai dengan wayang tradisi biasanya. Penyacah parwa
beegitu dab-dab alon tanpa panekanan ngelur yang berlebihan. Penggunaan
bahasa kawi cukup baik dan intonasi yang digunakan begitu dab-dab alon.
Penyacah parwa masih berpedoman kepada pakem tradisi yang lengkap dengan
penjabaran Penciptaan Kosmis dan munculnya unsure-unsur alam semesta
yakni Panca Maha Buta, Lintang, Tranggana, Surya, Candra. Juga terdapat
penjabaran mengenai Padma Gambur Anglayang, Catur Lokapala, Penjabaran
Nawa Dewata dan lai8n-lain. Penyacah parwa dilakukan tanpa menakmbahkan
igel kayonan seperti pada pementasan dalang-dalang sebelumnya. Dalam
adegan peparuman/petangkilan yakni yang ditangkilkan yakni wayang dewi
Kunti, Dharmawangsa, Tualen dan Wana. Setiap wayang sebelum matur,
menyanyikan bebaturan, dan wayang berjalan lewat kelir lalu kembali ke tempat
semula dan akhirny7a baru kemudian berbicara. Dalam adregan peparuman itu
Dewi Kunti menceritakan bahwa ia mendapatkan mimpi bahwa Atma Sang
Pandu Dewanata dan Dewi Madri tersiksa di kawah Candra Go Mukha.Dan
mengutarakan maksudnya untuk mencari atma-atma mereka di Yamaloka untuk
kemudian disucikan dengan upacara yang selayaknya. Kemudian
Dharmawangsa dan Panca Pandawa sepakat memilih Bima sebagai sarana
menuju ke Alam Yamaloka yang konon berada di bongkol gunung Mahameru.
Setelah adegan tersebut Tualen dan Wana berdiallog tentang cerita sebelumnya
yang menjadi sebab musabab terjadinya musibah yang menimpa roh Sang
Pandu dan Dewi Madri. Konon pada waktu itu Sang Pandu sedangg berburu di
tengah hutan yang ternyata terlihyat olehnya dua ekor kijang yang sedang
bermaadu kasih dan akhirnya melakukan senggama. Tanpa berpikir panjang
Pandu kemudian membidikkaan anak panahnya tepat mengenaai kijang itu yang
kemudian berubah menjadi seorang Rsi yang bernama Rsi Kindama. Sang Rsi
mengutuk Pandu karena ia telah membunuh makhluk yang sedang berkasih-
kasih dan bersenggama, maka kelak iapun akan mati saat melakukan
senggama. Karena ituah akhirnya pandu memutuskan untuk mengasingkan diri
ke hutan bersaaama istri-istrinya dann tampuk kekuasaan diserahkan kembali
kepada Paman Bhisma. Pada saat pertapaannya di hutan itu, suatu haari ia
melihat kain penutup tubuh dewi Madri tersingkap dan timbullah asmaranya,
barusaja ia memeluk dewi Madri kemudian kutukan Rsi Kindama itu pun terjadi
dan Pandu pun mati seketika. Dewi Kunti dan Dewi Madri begitu bersedih dan
akhirnya Dewi Madri memutuskan untuk Mesatyadan mengikuti kepergian
suaminya. Sesampainbya di alam Yamaloka, ternyata arwah Pandu dan Dewi
Madri mengalami penyiksaan yang hebat di neraka. Unsur dramatic dalam
adegan dialog antara tualen dan Wana ini begitu tampaak dengan alunan suar5a
suling yang mendayu-dayu dan bernada sedih sehingga menambah suasana
yang terharu. Kemudian Tualen dan Wana tangkil ke hadapan Bima dan
memohon kesediaan Bima untuk segera berangkat ke Yamaloka menghantar
semua saudaranya dan Dewi Madri ke Yamaloka. Atas desakan para
punakawan, akhirnya Bima bersedia untuk segera beraangkay menuju
Yamaloka. Bima kemudian menunggalkan Tri Pramananya dengan
sikap Amustikarana kemudian ia menempatkan ibu dan saudara-saudaranya
didalam tubuhnya namun Tualen dan Wana ngelanting pada kancut Bima.
Kemudian merekapun siap menuju Yamaloka yang ada di bongkol Gunung
Mahameru.
Di babak selanjutnya, adalah keberadaan Delem dan sangut sebagai
abdi di Yamaloka. Dalam dialog kandanya, Delem daan sangut mengkeritik
jaman demokrasi sekarang ini dimana orang-orang mengandalkan asas
kebebasan dan HAM untuk melinhdungi dirinya berbguat kekerasan. Akhirnya
polisi sendiri tidak bisa bertindak apa-apa sebagai aparat yang berwenang.
Kemudian Delem Tangkil kepada Sang Hyang Suratma . Pada adegan tersebut
Ayah sangf Dalang, Jero Dalang Sadnyana memberikan tambahan suasana
dengan menambah lagu tetandakanb dalam adegan di Yamaloka yang ,mungkin
diambil dari geguritan Bima Swarga.
Kemudian diilustrasikan bahwa atma-atma yang barusaja meninggal
kemudian dihadapkan pada Sang Suratma kemudian mereka menerima
hukuman atas perbuatannya semasa hidup. Seterlah adegan itu, munculah Bima
merusak pintu trails menuju Yamaloka. Setelah adegan itu, Wana dan Malen
mewawancarai beberapa atma disana sesuai dengan kesalahan yang ia
perbutan di dunia dan menerima akibatnya di Yamaloka. Tualen selaalu
menambahkan kalimat dalam dialognya dengan Wana setelah para Atma pergi
menerima hukuman : “…. Keto bikas dilemah keto masi anikal tepuk dini(di
Yama Loka)”
Delem dan Tualen bertemu berdialog masing-masing karena ada
manusia yang macem-macem masuk ke dalam yamaloka. Kamudian Tualen
menghadap Bima atas perlakuan yang diterimanya oleh Delem. Akhirnya Bima
menghadang dan memukul Delem hinngga terinjak dan babakbelur. Kemudian
Sangut datang menanyainya apa yang terjadi. Delem mengatakan bahwa
Delem : Jek ada atama badeng gleger, brewok, jek romon, tegeh, ngabe
tiang listrik!
Sangut : Tiang listrik ape keto? Gada nto!
Sang Suratma menanyai Bima sipakah gerangan atma yang berani mengusak-
asik keberadaan Yamaloka?. Jawab bima:
Bima : Aku iki dudu atma, aku iki Bimasena! Rimangke aku meriki aminta atma
yayahku Pandu muwang ibunku Dewi Madri.
Sang Suratma merasa tersinggung atas kehadiran manusia biasa yang mampu
menembus Yama Loka. Akhirnya terjadi pertempuran hebat antara Bima dengan
pasukan Cikrabala Yamaloka. Terjadi adegan lucu yakni saat perang dengan
Cikrabala, Betara Indra turun ke Yamaloka untuk menasehati Bima agar tidak
menghancurkan Yama loka namun tidak digubris Bima. Akhirna pertempuran
dengan Cikrabala tak terelakkan. Tualen mengandalkaan kesaktian
pamungkasnya yakni ngentutin. Akhirnya Bima menuju ke Kawah Candra Go
Muka dan menghancurkannya. Dalam adegan tersebut juga terdapat gaya
Koreksio pleh dalang dalam dialog delem mengartikan dialog Suratma, “….Yan
kita… Eh…Yan cai”. Bhatara Yama turun tangan. Akhirnya terjadi pertempuran
sengit antara Bhatara Yama dan Bima. Kemudian Dewa Siwa turun melerai
mereka. Namun yang unik disini adalah bentuk Wayang Bhatara Siwa yang
biasanya betrangan empat mengenggam senjata dan tidak dapatv digerakkan
gtangannya, namun kali ini Bhatara Siwa hanya bertangan dua dan keduas
tsangfsannyas dapat digerakkan. Akhirnya bhatara Siwa merestui dan diakhiri
dengan adegan Para Pandawa dan Dewi Kunti menyembah. Dalam
pertunjuukan tersebut dalang menuynjulkan kemampuannya dengan baik. Aksen
cepala sudah terdengar dan baik penempatannya. Dari segi bahasa kawi sudah
tepat guna dan intonasi yang digunaakan juga sangat dab-dab alon tanpa
tergesa-gesa. Namun dari segi lelucon perlu ditingkatkan lagi agar kedepannya
dapat lebih menambah kekuatan pertunjukan.
Pentas Dalang Cilik VI29 Juni Parade Dalang Cilik I Made Tangkas Arta Wiguna
SD2 Badung
Oleh : Made Panji Wilimantara
Pada malam tanggal 29 Juni 2012, pementasan Parade Dalang Cilik
diwakili oleh duta dari kabupaten Badung dengan Dalang I Made Tangkas
Hartawiguna. Dalang Hendri I Made Tangkas ini statusnya masih bersekolah di
SD 2 Badung. Ia merupakan seorang dalang dari Desa Padang Luwih Badung
dengan asuhan dalang-dalang yang sudah tidak asing lagi dari kabupaten
Badung yakni Dalang Ida Bagus Made Mambal, I Nyoman Catra, dkk. Persiapan
yang dilakukan selama 3 Bulan untuk pertunjukan malam itu. Sang Dalng pada
malam itu menggunakan konsep pertunjukan Tradisional Gaya Badung dengan
menggunakan iringan LimaTungguh Gender Wayang dan juga diiringi oleh 2
orang tututan atau ketengkon.Dalam pementasan tersebut juga terlihat beberapa
seniman topeng dan wayang dari desa Sibang, Mengwi, Badung dan turut juga
disaksikkan oleh seniman-seniman Kabupaten Badung.
Lakon yang diambil dalam pertunjukan malam itu adalah “ Guru Daksina”
secara harfiah berarti persembahan kepada guru sebagai tanda penghormatan
dari siswa-siswa yang telah dididik nya sehingga telah mendapatkan banyak ilmu
pengetahuan dari sang guru hingga menaamatkan studinya. Pada lakon yang
digarap oleh sang dalaang ini menceritakaan setelah Pancapandawa dan
Kurawa menamatkan proses pembelajarannya dengan guru Drona, adalah
merupakan suatu kewajiban dan suatu tradisi dalam
kebiasaan Aguronnguron untuk seorang siswa memberikan Guru
Daksina kepada Guru Nabe-nya. Bhagawan Drona sebagai guru yang telah
memberikan pengajaran kepada para siswanya tidak menginginkan hadiah Guru
Daksina berupa materi, melainkan ia meminta para Pandawa dan para Kurawa
untuk membalaskan dendamnya kepada Prabu Drupada dari negeri Pancala
yang telah ingkar janji ketika mereka masih menuntut ilmu dahulu. Prabu
Drupada berjanji kepada Bhagawan Drona untuk membagi kerajaannya dengan
Drona kelak jika ia menjadi raja di Pancala. Ketika Drona telah berkeluarga dan
telah memiliki putra Aswatama, keadaan ekonomi kluarganya sangatlah miskin
dan melarat.
Ia pun teringat dengan janji Drupada kawannya ketika menuntut ilmu dulu,
ia pun berangkat ke negeri Pancala. Sesampainya disana sang Drupada malah
berpura-pura lupa dengan Drona dan berkata bahwa ia tidak pernah memiliki
teman Brahmana nista seperti Drona. Ia juga bertindak sewenang-wenang
menyuruh pengawalnya mengusir Drona dan menendangnya hingga tangan
Drona patah. Hal inilah yang melatar belakangi dendam kesumat antara drone
dengan Drupada. Tanpa menghiraukan akibatnya Drona menyuruh Kurawa dan
Pandawa untuk menangkap Prabu Drupada dan Menangkapnya hidup-hidup
untuknya. Partama-tama yang diutus adalah Kurawa, namun Kurawatidak
berhasil menjalankan tugasnya dan dapat dipukul mundur oleh pasukan
Pancala. Kemudian para Pandawa di perintahkan oleh Bhagawan Drona untuk
menaklukkan Prabu Drupada. Sebelum mereka berangkat ke medan laga, para
Pandawa tidak lupa memohon restu ibunya agar berhasil dalam tugas
memberikan Guru Daksina. Pandawa pun bergegas berangkat menuju Negeri
Pancala. Dengan pasukan yang siap siaga, Panca Pandawa dengan Gagah
berani menghalau musuh-musuh yang menghadang mereka. Prabu Pancala,
Sang Drupada tidak mau kalah dengan Para Pandawa, ia dan bala ttentaranya
dengan sigap menghadang semua kekuatan Bala Pasukan Pandawa yang
hendak menangkap Prabu Drupada. Para Paandawa, darmawangsa, Bima,
arjuna, Nakula, dan sahadewa bertempur dengan gagah berani melawan
pasukan Drupada. Karena pertarungan tersebut sangat sengit, akhirnya Arjuna
mengeluarkan senjata pamungkasnya yakni panah yang dapat berubah menjadi
tali dan seketika itu juga mengikat Prabu Drupada dan pada akhirnya Prabu
Drupada berhasil ditaklukan. Dalam keadaan terikat Arjuna membawa Drupada
kehadapan Drona. Drona sangat senang dengan hasil kerja Arjuna. Akhirnya
dalam keadaan terikat, sang Drupada diminta untuk menepati janji-janjinya
kepada Drona, yang pertama untuk membagi kerajaannya dengan Drona, yang
kedua untuk mengakuinya sebagai sahabat. Dan akhirnya Drupada mengiyakan
dan melaksanakan perintah Drona. Drona mengampuni Drupada karena ia
masih mengangapnya sebagai sahabat. Namun ia bersumpah kelak putrinya
akan menikah dengan laki-laki sekuat dan seperkasa Arjuna, dan kelak Putranya
Drestajumena akan membunuh Dronacarya.
Dalam pertunjukan tersebut alur cerita yang dikemas oleh dalang begitu
apik. Namun dalam pementasan tersebut terdapat beberapa kejanggalan yakni
ketika dalam adegan cerita penulis dengat tidak dijelaskan mengenai kekalahan
dan kegagalan Kurawa untuk menundukkan raja Drupada dalam adegan juga
tidak tampak. Dari adegan peparuman Nampak suasana peparuman dibuat
formal dan penuh dengan tata karma. Namun dalam adegan setelah peparuman,
dalam dialog antara tualen dan merdah, ketika tualen hendak berjalan sambil
menyanyi, karena merdah tidak sabaran akhirnya m erdah mendorong Malen
sampai jatuh. Didalamnya dalang juga menyelipkan petuah-petuah agar anak
jangan sampai berani melawan orangtuanya. Dari sisi penggunaan bahasa kawi,
struktur bahasa kawi digunakan dengan baik oleh dalang, namun pemahaman
mengenai intonasi dan pemberian aksen pada kata-kata tertentu perlu
ditingkatkan lagi. Dari segi tata Bahasa Bali digunakan, sang dalang termasuk
fasih dalaam menggunakan Bahasa Bali. Dalam penggunaan aksen Cepala,
sang dalang sudah cukup aktif dalam menggunakancepala. Aksen-aksen yang
digunakan melaalui Cepala sudah tepat sasaran. Tangan dan kaki dalang sudah
aktif dan fasih dalam memainkan Cepala. Ddari Segi olah suara, memang
karena usia dalang yang masih belia, kualitas pita suaranya masih begitu muda,
sehingga fibrato yang dihasilkan tidak seperti dalang di usia yang remaja atau
lebih muda. Namun dalang telah mampu memberikan warna dan karakter suara
yang cocok untuk masing-masing karakter tokoh wayang. Dari segi kanda dan
lelucon selain memanfaatkan Punakawan, dalang juga memanfaatkan beberapa
tokoh bebondresan. Karakter yang berbadan besar dan bermulut besar dan
karakter yang kurus kerempeng. Karakter tersebut memberikan warna lain dalam
pementasan. Sang dalang telah menunjukan kemampuan dan bakat terpendam
yang dimilikinya. Sebenarnya banyak sekali potensi dalang-dalang cilik yang kita
miliki dan harus kita kembangkan selain untuk melestarikan Seni dan budaya
yang adfiluhung warisan nenek moyang kita, juga sebagai sarana untuk
mengembangkan ide-ide dan kreatifitas anak-anak sesuai bidang dan bakat
yang mereka punya terutama dalam kesenian Seni Wayang Kulit Bali.
Pentas Dalang Cilik VII30 Juni oleh Dalang Cilik Made Georgiana Triwinadi dari Sanggar seni
kamajaya DenpasarOleh : Made Panji Wilimantara
Pada malam itu 30 Juni 2012, pementsan Parade Dalang Cilik diwakili oleh
Dalang Cilik Made Georgiana Triwinadi dari Sanggar Seni Kamajaya Denpasar. Ia
merupakan seorang dalang cilik putra dari bapak Prof. I Nyoman Sedana, Guru Besar
Institut Seni Indonesia dari Jurusan Pedalangan. Kiprah beliau di dunia pewayangan
sudah tidak diragukan lagi. Ia telah melang-lang buwana untuk mengkaji dan meneliti
serta memperkaya kasanah Pewayangan di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada
khususnnya. Tak hanya itu, melalui konsep “ Friendship Through Teater” ia telah
memperkenalkan kekayaan seni Wayang Bali yang dimilik oleh seniman-seniman lokal,
termasuk para mahasiswa ISI Denpasar Jurusan Pedalangan didalamnya kepada dunia
dan seniman-seniman mancanegara. Melalui konsep tersebut dapat membuka pola pikir
dan pemahaman mahasiswa mengenai seni dan budaya dunia dan bagaimana seniman
Bali menyikapi pengaruh dunia globalisasi seni sekarang ini selain tetap berpegang teguh
pada adat budaya tradisi namun tidak tertinggal jauh dari teknologi perkembangan seni
yang mendunia saat ini.
Made Georgiana juga mewarisi bakat-bakat mendalanng dari ayahnya yang
malam itu telah ia sajikan dengan begitu apik dan dipenuhi oleh antusiasme penonton
yang memadati tempat pementasan. Konsep pertunjukan yang disajikan oleh Dalang
Cilik Made Georgiana dari Sanggar Kamajaya ini merupakan sebuah garapan wayang
tradisi dengan tetap menggunakan pencahayaan dari lampu Blencong dan menggunakan
gamelan pengiring Semar Pegulingan yang dimainkan oleh Sekaa Gambel anak-anak
yang begitu ceria dan enerjik dalam memainkan alat-alat musik mengiringi pertunjukan.
Lebih kurang sekitar 20 orang sekaa gambel cilik menunjukkan kepiawaiannya dalam
memainkan gamelan Semar Pegulingan. Pementasan itu diiringi oleh 5 orang sinden-
sinden cilik yang memmberikan warna dalam pertunjukan itu. Dalam pementasan itu,
sinden-sinden tadi selain menyanyi juga merangkap menjadi asisten dalang (ketengkong).
Dengan sigap mereka membantu dalang dalam mempersiapkan wayang-wayang yang
digunakan. Terlihat antusiasme anak-anak tersebut dalam mensukseskan pagelaran
wayang kulit tersebut.
Dalam Pementasan tersebut, Dalang Georgian melakonkan kisah Karna Tanding.
Diceritakan Adipati Karna diangkat menjadi Senapati pasukan kurawa ia terus membakar
semangat Bala Pasukan kurawa, Ia pun meyakini Duryodana bahwa senjata sakti
Majayadanu pasti akan dapat menghabisi Pandawa semuanya asalkan Prabu Salya mau
menjadi kusir keretanya untuk mengimbangi Arjuna yang berkusirkan Krisna. Permintaat Karna
ini membuat Salya amat tersinggung karena sebagai Raja ia dijadikan kusir oleh anak kusir
kereta, Adirata. Tetapi ketika ia akan beranjak pergi Duryodana memohon agar Prabu Salya
berkenan memenuhi permintaan Karna. Dengan semangat Paras Paros akhirnya Prabu Salya
pun akhirnya terpaksa mau dijadikan kusir oleh Karna asalkan Karna berjanji tidak akan
mencacimaki dan menyalahkan Salya atas tindakannya di medan perang. Di Tegal Kuru ketika
Karna hampir berhasil mengahncurkan bala perang Pandawa, kemudian dibalas oleh Bima yang
Membunuh Dursasana, merobek perutnya, meminum darahnya, dan memberikan darah itu
kepada Drupadi untuk mencuci rambutnya. Dihadapannya, Karna dan Arjuna, kedua saudara
sedarah dari ibu yang sama ini saling bertempur untuk membunuh satu sama lain.
Pada babak pertama dalam peparuman, tokoh yang ada dalam peparuman yakni Prabu
Salya, Duryodana, Karna, Delem dan Sangut. Namun dalam gerak pejalan
dan tetikesan wayang kurang di perhalus sehingga aksen nanjek, nyeledet, dan saat mundur
kurang mendapat penegasan. Namun penempatan wayang saat peparuman tersebut cukup baik.
Ketika peparuman tersebut, wayang Duryodana yang tadinya berada di depan Karna, ketika telah
mengutarakan niatnya untuk melantik Karna menjadiRakrianapatih, Duryodana berpindah ke
depan Prabu Salya. Namun dalam perpindahan tersebut, tempat yang disediakan/jarak wayang
begitu dekat sehingga space ketika Salya marah hendak dijadikan kusir kereta agak
berdempetan dengan wayang Duryodana. Dan pada saat Salya marah kepada Karna karena
merasa tersinggung, aksen marah dan improfisasi amarah Salya serta pingpong dialog
penyangkalan Salya dan Karna berjalan begitu serus dan menegangkan. Pinngpong kata-kata
dalam bahasa kawi sangat bagus dan menegangkan. Namun dalam adegan peparuman
tersebut, saat Sangut hendak mengartikan pembicaraan, Salya menyebut Sangut sebagai
Caraka Tualen. Sebagian penonton ada yang sadar terhadap kesalahan tersebut namun
kemudian pembicaraan Sangut mengartikan prabu Salya kembali berjalan normal seperti biasa
dan dalang tetap fokus dan berkonsentrasi dengan karakter Sangut yang sedang
dimainkan. Dalam kanda antara Delem dan Sangut setelah peparuman, Delem dan Sangut
tampak ngecak dengan penuh semangat diiringi oleh para penabuh gamelan yang juga ikut
ngecak. Setelah itu Delem dan sangut membicarakan peperangan yang terjadi antara
Kurawa dan Pandawa. Delem bertanya Berapa Kosong Skor yang akan didapatkan kurawa di
medan Kuruksetra. Sangut sangat pesimis bahwa Kurawa akan kalah dalam peperangan ini
karena Bhagawan Bhisma, Guru Drona yang merupakan guru-guru mereka telah berhasil
dikalahkan oleh Pandawa Muridnya. Murid bisa mengalahkan guru, otomatis Murid jadi Guru.
Bagaimana bisa kita mengalahkaan guru sekarang. Lantas Delem menjawab “ Perpektif ci pelih
to ngut!”
Delem : Ngut perspektif ci pelih ngut! Ngut!
Sangut : Apa?
Delem : Perspektif ci pelih! Ngut!
Sangut : Apo?
Delem : Ci pelih!
Sangut : Nah…
Delem : Ngut!
Sangut : apo?
Delem : Ci Pelih Ngut!
Sangut : Nah…
Delem : Ngut!
Sangut : APOo?
Delem : Ci Pelih!
Sangut : NAH!!
Delem : Adi rago panas-dingin nah?!
Dialog-dialog dengan gaya bahasa pengulangan ini membuat dialog lelucon
antara delem dan Sangut begitu hidup dan mengfundang tawa penonton.Dan pengontentikan
Bisma dan derona sebagai “Barang Tua” yang pembungkusnya sudah karatan juga mampu
mengundang tawa penonton. Penggunaan bahasa yang tegas dan lugas dalam lelucon dan
Guyonan kanda Punakawan memang perlu, namun dalam proporsi yang harus di perhitungkan
sehingga mampu mengocok perut penonton. Lalu dalam adedgan saat Delem mengilustrasikan
bahwa dengan diangkatnya Adipati Karna sebagai patih dapat mengalahkan pandawa hanya
dalam waktu 1,5 hari saja denngan gerak igelDelem diiringi Cepala dan Kendang sangat enerjik
edan penuh semangat. Dalam adegan dialog Tualen dan Merdah ping-pong dialog sangat baik
dan berajalan tanpa hambatan. Dialog-dialognya pun banyak berisi petuah dan nasehat bagi
para penonton. Diakhir pertunjukan juga terdapat dua tokoh bebondresan yang menjabarkan
dan menjelaskan mengenai lakon yang dibicarakan dalam bahasa Inggris. Disini terlihat
kepiawaian sang dalang dalam berbahasa inggris dan berusaha untuk mengenalkan wayang
pada masayarakat Mancanegara yang hadir daolam pertunjukan itu. Dalam bebrapa adegan juga
Nampak bahwa dalang dapat mengolah keadaan dan situasi yang tidak diharapkan. Misalkan
saat tak sengaja wayang Delem jatuh ketika ditancapkan padaGedebong, dan ketika dalang
haus, ketika dalang lupa dengan nama tokoh, ketika dalang lupa dengan dialog yang akan
dipaparkan selanjutnya, dan ketika tidak adanya sambutan tepuk tangan dari penonton, dalang
mampu mengimprofisasi keadaan tersebut dan menggunakan dialog-dialog tertentu yang bisa
diterima penonton dan dapat menyampaikan pesan yang hendak disampaikannya. Namun dalam
penngembangkannya mungkin improfisasi yang memasukan dalang yang seakan-akan ada
seperti, dalang haus, “ Dalange kenyel ngisiang Wayang”, ditempatkan proporsinya secukupnya
agar imajinasi penonton tetap membayangkan bahwa seakan-akan wayang tersebut tidak ada
yang menggerakan. Namun dari segi leelucon, inovasi-inovasi yang di ungkapkan selain lucu,
juga memiliki nilai filsafat dan pertuah-petuah.
Dari segi tetandakan dan bebaturan sudah cukup baik. Pengucapann kekawin-
kekawin dalam bahasa Kawi cukup baik dalam pemenggalan kata. Namun dalam pengambilan
nada dalambebaturan, hendaknya jangan ragu dan mencari kontrol nada yang tepat dan sesuai
sehingga tandak bebaturan itu lebih artistik.
Dari segi olah suara dalang telah mampu memberikan warna usara yang tepat pada
setiap karakter-karakter wayang yang diaminkannya. Aksen cepala yang tidak pernah absen di
telinga, penempatan yang tepat, membuat pertunjukan tersebut tampak hidup dan tidak monoton.
Dari segi pesiat gerak Sabetan yang ditunjukan sangat hebat dan memukau. Namun terkadang
ada gerak-gerak pesiat yang perlu dikoreksi dan di tingkatkan lagi agar gerak lebih tegas dan
lebih nyata suasana heroik yang di timbulkan dari adegan perang tersebuy. Dalam adegan
perang tersebut mungkin karena begitu banyaknya tokoh dalam peperangan yang digunakan,
senjata yang berbeda-beda, serta adegan yang berpindah-pindah membutuhkan konsentrasi,
ketelitian, dan kejelian daloang dalam tetikesan wayang.
Dari segi tata suara penggunaan mikrofon yang mini dan di tempel di pipi memiliki
kelemahan-kelemahan terssendiri. Dalam pengamatan terhadap beberapa dalang yang kami
amati selama pementasan dalang cilik PKB ke 34 beberapa dalang cilik yang menggunakan
mikrofon serupa memiliki beberapa kendala. Pada saat pertunjukan, suara yang di pantulkan
melalui mikrofon tersebut terlalu peka sehingga volume dan getaran yang terdengar begitu keras
bahkan helaan nafas dan suara krongkongan ketika minum pun mudah terdengar. Suara yang
terlalu peka tersebut mungkin selain membuat dalang kurang nyaman, juga penonton yang
mendengarkan suara itu juga merasakan bahwa kepekaan suara dari mikrofon tersebut membuat
suasana pertunjukan tersebut agak kurang bisa dinikmati. Namun pennggunaan mikrofon lain
seperti mikrofon gengggam yang di gunakan oleh beberapa dalang sebelumnya juga kurang
begitu maksimal menghasilkan performa suara yang baik. Sehingga kedepannya perlu
mendapatkan kajian mengenai tata panggung dan tata suara untuk pementasan dalang cilik
ditahun-tahun mendatang.
Secara Umum pertunjukan ini telah berjalan dengan sangat baik dengan apresiasi
penonton yang memadati panggung di Depan Gedung Kriya Taman Budaya. Sang dalang telah
menunjukan kemampuannya melebihi kemampuan dalanng cilik lainnya. Ia berani mengambil
lakon yang begitu heroik dan penuh ketegangan yang biasanya hanya di pentaskan oleh dalang-
dalanng dewasa. Kepiawaiannya tidak diragukan lagi hampir setara dengan dalang-dalang senior
yang telah memiliki jam terbang lebih. Hal ini patut kita dukung dan apresiasi sebagai ajang
peregenerasian seniman-seniman Dalang Muda yang kedepannya dapat membawa Wayang
Kulit Bali lebih bersinar dimata dunia. Tetap Semangat dan Maju Terus untuk dalang-dalang Cilik
kita.
http://www.gianyarkab.go.id/dalang-cilik-berbahasa-inggris-segera-tampil-di-5-kota-di-india/
Pentas Dalang Cilik VIII1 Juli oleh dalang Cilik I WayanAgus Widya Purnamaya
Sanggar Paripurna Banjar Bona Blahbatuh Gianyar
Oleh : Made Panji Wilimantara
Pada malam tanggal 1 Juli 2012, pementasan Parade Dalang Cilik
diwakili oleh duta dari kabupaten Gianyar dengan Dalang I Wayan Agus Widya
Purnamaya. Ia merupakan seorang dalang cilik dari banjar Bona, Blahbatuh,
Gianyar. Ia adalah putra dari Bapak I Wayan Sura dan cucu dari Bapak Sija yang
merupakan seniman Dalang yang telah mumpuni di bidangnya. Persiapan yang
dilakukan selama 2 Bulan untuk pertunjukan malam itu. Sang Dalng pada malam
itu menggunakan konsep pertunjukan Tradisional dengan menggunakan iringan
empat Tungguh Gender Wayang yang ditabuh oleh sekaa gambel cilik dan juga
diiringi oleh 2 orang tututanatau ketengkon. Dalam pementasan tersebut juga
terlihat beberapa seniman topeng dan wayang dari dari Blahbatuh dan juga
disaksikkan oleh seniman-seniman Kabupaten Gianyar.
Lakon yang diambil dalam pertunjukan malam itu adalah menceritakan
tentang Bimaniyu yang menjadi wakil sementara Krisna sebagai Raja di Drawati.
Ketika itu Krisna hendak melakukan semadhi. Untuk mengisi kekosongan
pemerintahan di Kerajaan Dwarawati, Krisna memerintahkan Abimanyu untuk
menggantikan posisinya sementara sebagai raja dan Samba sebagai wakilnya
untuk menempati kekosongan pemerintah nanti saat Krisna menjalankan tapa
brata. Abimanyu dan Samba menerima titah tersebut dengan penuh tanggung
jawab. Setelah titah itu diberikan akhirnya Krisna pun berangkat menuju tempat
pertapaan. Sepeninggal Krisna, di kerajaan Dwarawati, Bimaniyu dan Samba
memerintah dengan baik.
Namun seiring berjalannya waktu, Samba merasa bahwa proporsi yang di
berikan tidak adil kepadajnya. Ia merasa bahwa seharusnya ia lah yang
menempati posisi sebagai Pemimpin yang menggantikan Ayahnya Krisna
selama Krisna pergi. Ia merasa bahwa kedudukan itu hanya pantas untuknya.
Karena rasa irinya itu akhirnya ia marah kepada Abimnanyu dan kemudian
mengajaknya berkelahi. Terjadi pertempuran sengit antara Samba dan Bimaniyu.
Dengan gagah Samba menaiki gajah tunggangannya untuk mengalahkan
Bimaniyu. Bimaniyu pun dengan sigap menangkis serangan-serangan dari
Samba. Pertarungan berjalan tidak imbang. Bimaniyu terdesak dengan
serangan-serangan pamungkas yang dilancarkan oleh Samba. Pada saat samba
hendak menghunuskan senjatanya, tiba-tiba ia diserang dari langit. Serangan
dari langit itu ternyata dilancarkan oleh Gatotkaca. Gatotkaca yang dating
hendak menjenguk Bimaniyu, ternyata melihat pertempuran itu terjadi. Gatotkaca
yang ingin melerai pertengkaran itu justru ditantang oleh Samba untuk berkelahi.
Terjadilah pertempuran yang sengit antara Gatotkaca dan Samba. Kekuatan
tidak berimbang, dan Samba dapat ditundukkan oleh Gatotkaca. Seketika itu
juga Krisna tiba di kerajaan Dwarawati, dan melihat pertarungan itu. Ia pun
melerai mereka. Samba meminta maaf atas kekhilafannya dan atas sifaat irinya
kepada Bimaniyu. Krisna akhirnya memberikan wejangan sebab musabab ia
memberikan kewenangannya kepada Bimaniyu karena kebijaksanaannya dan
hendaknya antara sudara tidak boleh ada rasa iri dan dengki serta harus saling
Paras-Paros dalam menyelesaikan suatu masalah.
Dalam pertunjukan tersebut alur cerita yang dikemas oleh dalang begitu
apik. Dari adegan peparuman Nampak suasana peparuman formal dan penuh
dengan tata karma. Ketika Tualen selesai menyembah kepada Krisna, Tualen
menjawab dengan kata Oh…Cang :
Tualen : (Menyembah)
Krisna : Tawalen!
Tualen : Oh Cang….
Krisna : Pawistan ingulun, wus kerta lugraha. Pamulih sembahta lawan
hyang-
Hyang ning sinembah.
Dalam adegan setelah peparuman, dalam dialog antara Tualen dan
Merdah, ketika Tualen dan Merdah berdialog Tualen dan Merdah saling mencela
satu sama lain. Terjadi Ping-pong dialog saling mengejek. Namun penekanan
dalam dialog itu pererlu diintensifkan lagi. Dari sisi penggunaan bahasa Kawi,
struktur bahasa Kawi digunakan dengan baik oleh dalang, namun pemahaman
mengenai intonasi dan pemberian aksen pada kata-kata tertentu perlu
ditingkatkan lagi. Dari segi tata Bahasa Bali digunakan, sang dalang termasuk
fasih dalaam menggunakan Bahasa Bali dan tidak ditemukan beberapa kendala.
Dalam penggunaan aksen Cepala, sang dalang sudah cukup aktif dalam
menggunakan cepala. Aksen-aksen yang digunakan melalui Cepala sudah tepat
sasaran. Tangan dan kaki dalang sudah aktif dan fasih dalam
memainkan Cepala. Dari sisi olah suara, memang karena usia dalang yang
masih belia, kualitas pita suaranya masih begitu muda, sehingga fibrato yang
dihasilkan tidak seperti dalang di usia yang remaja atau lebih muda. Namun
dalang telah mampu memberikan warna dan karakter suara yang cocok untuk
masing-masing karakter tokoh wayang. Dari segi kanda dan lelucon selain
memanfaatkan Punakawan, dalang juga memanfaatkan beberapa
tokohbebondresan. Pada adegan Tualen menggoda Condong, Tualen
membicarakan hal-hal Jaruh dan juga berpantun megenjekan untuk menggoda
Condong. Terdapat tokoh wanita tua yang cempreng dan cerewet, sehingga
ditimpug batu oleh Merdah. Karakter yang berbadan besar dan bseperti preman
dan kurus kerempeng sebagai masyarakat Dwarawati membabarkan krikitk
mengenai pemerintahan Bimaniyu di Dwarawati. Karakter tersebut memberikan
warna lain dalam pementasan. Ketika Delem dan Sangut mekanda, juga
terdapat adegan dimana Delem dan Sangut menari dengan tedung dan kanda
yang di utarakan penuh lelucon dan guyonan. Dalam Bebaturan dang ending
sesendoran, terkadang dalang masih ragu untuk mencari nada yang tepat.
Namun secara garis besar pertunjukan tersebut telah menunjukkan bahwa ia
memiliki kemampuan dan bakat terpendam.Perlu dikembangkan lagi
kedepannya untuk menumbuhkan minat anak-anak terhadap seni pertunjukaan
Wayang Kulit Bali.
Pentas Dalang Cilik IX5 Juli oleh dalang Cilik I Wayan Anom Candrayana
Blahbatuh Gianyar
Oleh : Made Panji Wilimantara
Pada malam tanggal 1 Juli 2012, pementasan Parade Dalang Cilik
diwakili oleh duta dari kabupaten Gianyar dengan Dalang I Wayan Anom
Candrayana. Ia merupakan seorang dalang cilik dari Blahbatuh, Gianyar.
Persiapan yang dilakukan selama 2 Bulan untuk pertunjukan malam itu. Sang
Dalng pada malam itu menggunakan konsep pertunjukan Tradisional kreasi
dengan menggunakan iringan gambelan semar pegulingan yang di tabuh
oleh sekaa gambel cilik dan juga diiringi oleh 2
orang tututan atau ketengkon serta beberapa gerong cilik yang mengiringi
pertunjukan itu. Dalam pementasan tersebut juga terlihat beberapa seniman dari
Kabupaten Gianyar.
Dalam pertunjukan tersebut sang dalanng mengambil sebuah lakon yang
berjudul “Bambang Ekalawya”. Bambang Ekalawya merupakan seoranng tokoh
murid yang besar yang pernah ada dalam cerita Mahabarata. Ia lah yang
merupakan sosok tokoh yang menerapkan ilmu Maguru tanpa guru sakti tanpa
aji. Dalam lakon yang ditampilkan tersebut diceritakan bahwa suatu ketika para
Pandawa dan Kurawa muda telah memasuki masa tenggang dan istirahat dalam
pembelajaran setelah beberapa ujian yang mereka lalui. Tibalah masa liburan
setelah mereka melewati masa-masa pembelajaran di Pasraman. Merekapun
diizinkan untuk meninggalkan pasraman untuk berlibur. Di akhir pembelajaran,
Arjuna menjadi murid teladan dari ratusan murid dang Hyang Drona. Drone
sangat bangga kepada Arjuna karena ia telah berhasil mendapatkan hasil yang
memuaskan dalam hasil studinya selama di pasraman. Untuk mengisi liburan ia
memutuskan untuk pergi ke hutan dan menghabiskan waktu liburan disana.
Dengan diiringi oleh bala pasukan maka Arjuna pun siap untuk berangkat ke
hutan. Setibanya di hutan ia pun memutuskan untuk berburu di sana. Dalam
perburuannya itu ia melihat seekor anjing yang seluruh gigi-giginya terkena
hujanan panah. Ia pun mencari tahu siapa yang telah berani menghujaninya
dengan panah-panah itu. Dengan sigap ia menyelidiki keberadaan sang
pemburu. Ternyata yang memanah anjing itu adalah bambang Ekalawya. Arjuna
merasa heran bagaimana ada oranng yang bisa memiliki kepandaian memanah
setangguh dirinya padahal Guru Drona telah berjanji untuk tidak mengajarkan
ilmu-ilmu yang telah dimilikinya pada orang lain, hanya kepada Pandawa dan
para Kurawa. Namun ternyata ada orang lain yang memiliki ilmu yang sama
dengan dirinya. Arjuna tidak menerima dengan kenyataan ini. Arjuna tidak
menerima akan kejadian itu, akhirnya Arjuna keluar dan menanyakan prihal
darimana Ekalawya mendapatkan ilmu tersebut. Ekalawya menyatakan bahwa ia
mendapatkannya dari Guru Drona. Mendengar hal itu Arjuna menjadi geram
karena Dang Hyang Drona tidak pernah mengajar kepada orang-orang selain
putra mahkota Hastinapura. Arjuna akhirnya marah dan menantang Ekalawya
karena menurutnya Ekalawya telah lancang menyebut-nyebut nama gurunya.
Ekalawyapun mau tidak mau akhirnya ia menerima tantangan dari Arjuna.
Terjadi pertempuran hebat antar Arjuna dan Ekalawya. Masing-masing tak
terelakkan lagi mereka mengeluarkan pusaka-pusaka ampuh miliknya masing-
mnasing. Pertarungan berjalan tidak seimbang antara Arjuna dan Ekalawya.
Arjuna terdesak oleh Eklawya. Ia pun akhirnya kembali menghadap kehadapan
gurunya Dang Hyang Drona dan menanyakan prihal itu apakah Gurunya itu
pernah memiliki murid di luar Pandawa dan Kurawa atau tidak. Menurut
penuturan gurunya itu ia mengatakan bahwa ia tidak pernah memiliki murid
selain Pandawa dan Kurawa. Akhirnya untuk memastikannya Guru Drona pergi
ke tengah hutan untuk memastikan siapa orang yang berani mengaku-ngaku
sebagai muridnya itu. Setelah sampai di hutan, tibalah ia di pondok Sang
Ekalawya. Sang Ekalawya merasa seperti dikunjungi oleh Dewa pujaannya. Ia
pun menyembah ke hadapan Sang Guru dengan Hormat dan Bhakti. Guru
Drona menanyakan darimana ia mempelajari ilmu memanah yang menyamai
kehebatan Arjuna. Dengan halus dan penuh rasa hormat, Ekalawya menjawab
bahwa ia mendapatkan ilmu ini dengtan cara berlatih-terus menerus. Karena
ketika suatu hari guru Drona dan murid-muridnya para Pandawa dan Kurawa
sedang berlatih di tengah hutan itu, ia melihat wibawa dan kehebatan Guru
Drona sehingga ia berniat untuk menjadi muridnya. Tetapi ketika ia hendak
menjadi muridnya, Guru Drona menolaknya dengan halus dan mengatakan
padanya bahwa ia tidak menerima murid diluar dinasti Kuru karena sumpahnyav
dan atas perlindungan yang telah diberikan oleh para pembesar Dinasti Kuru.
Ekalawya ketika itu tidak berputusasa, ia mencari jalan agar tetap dapat berguru
dengan guru Drona. Kemudia ia membuat patung tiruan Guru Drona. Ia
berkonsentrasi dengan media patung guru Drona yang ia ukir sendiri ditengah
hutan. Sebelum ia berlatih, ia menyembah kehadapan patung Drona itu sehingga
seakan-aakan ia diawasi langsung olehnya. Ia berlatih ddan terus berlatih dan
melakukannya secara berulang-ulang sehingga ia mahir dan menguasai
berbagai tehnik memanah. Guru Drona merasa terkejut atas ketangguhan dan
tekad yang dimiliki oleh Ekalawya. Untuk menepati janjinya kepada Hastinapura
maka ia menjalankan suatu siasat. Ia mengakui ketangguhan Ekalawya. Namun
sudah merupakan tradisi dalam aguron-guron untuk seorang Siswa
memberikan Gurudaksina. Ekalawya dengan teguh hendak menyerahkan
apapun yang diminta ooleh gurunya, bahkan nyawanya sekalipun akan ia
berikan kepada guru Drona. Guru Drona tidak meminta nyawa Ekalawya, tetapi
ia hanya meminta ibu jari tangan kanannya sebagai tanda bhakti Ekalawya
kepadanya. Kemudian segera Ekalawya memotong jari tangannya sebagai tanda
Bhaktinya kepada guru Drona.
Dalam pertunjukan tersebut alur cerita yang dikemas oleh dalang begitu
apik. Namun dalam pementasan tersebut 70% merupakan adegan bebanyolan
dan 30% masuk dalam konteks cerita. Seluruh pertunjukan di dominasi oleh
guyonan baik dari punakawan maupun dari beberapa tokoh bebondresan. Pada
saat Arjuna hendak menuju hutan berlibur, adsa beberapa pasukan Baris yang
melakukan gerakan-gerakan lucu ketika berlatih perang. Setelah itu terdapat
juga seoarang anak kecil yang bertemu Tualen. Ia menanyakan keberadaan
Ibunya, sebelum menjawab Tualen mennyuruhnya menyanyi tetapi anak kecil itu
hanya bisa menyanyi Bintang Kecil. Setiap Tualen menyuruh menyanyia ia
hanya bisa menyanyi Bintsng kecil. Kemudian ia berkata dengan logat cadel
sehingga seakan-akan bernada Jaruh dan berhasil membuat penonton
tertawa. Dan lelucon-lelucon lainnya yang membuat parab penonton tertawa.
Kemudian saat Delem dan Sangut mekanda, sangur menanyakan beberaspa
tebak-tebakan tentang Siap kepada Delem.
- Siap apa dibaonge ade batis, diawakne adse batis, di kampidne misi
batis, di batisne misi batis, ape to?
jawaban : Siapa mejekjek ken anak sedeng Melasti
- Kenken siap biing bisa dadi Ijo?
jawaban : Engkeban malu siapne, binjep pasti alihine be ken ne ngelah, Ijo
siape ijo??
Dan juga ketika adegan perang tanding antara Arjuna dan Ekalawya,
Tualen dan Delem juga bertarung. Delem merasa pamer kekuatan dihadapan
Tualen, dan Delem menyuruh Tualen untuk menggunakan senjata sakti apa saja
untuk melawannya. Satu persatu Tualen membawakan senjata. Kapak, keris,
panah, tetapi semuanya di tolak oleh Delem dengfan alas an bahwa senjata-
senjata itu tidak akan bisa membunuhnya. Akhirnya terakhir Tualen membawa
Suntikan untuk menyuntikj Delem dan Delem lari terbirit-birit. Delem pun
berlindung dibalik Sangut dan menyuruhnya untuk tidak mengatakan kepada
Tualen dimana ia berada. Tanpa sepengetahuan Delem karena ia nungging
bersebunyi, sangut meninggalkannya, kemudian Tualen ddatang dan langsung
menyuntikkan suntikan ke Delem. Dari sisi penggunaan bahasa kawi, struktur
bahasa kawi digunakan dengan baik oleh dalang, namun pemahaman mengenai
intonasi dan pemberian aksen pada kata-kata tertentu perlu ditingkatkan lagi.
Dari segi tata Bahasa Bali digunakan, sang dalang termasuk fasih dalaam
menggunakan Bahasa Bali. Dalam penggunaan aksen Cepala, sang dalang
sudah cukup aktif dalam menggunakan cepala. Aksen-aksen yang digunakan
melalui Cepalasudah tepat sasaran. Tangan dan kaki dalang sudah aktif dan
fasih dalam memainkan Cepala. Dari Segi olah suara, memang karena usia
dalang yang masih belia, kualitas pita suaranya masih begitu muda, sehingga
fibrato yang dihasilkan tidak seperti dalang di usia yang remaja atau lebih muda.
Namun dalang telah mampu memberikan warna dan karakter suara yang cocok
untuk masing-masing karakter tokoh wayang. Namun dari cirri khas suara itulah
sang dalang mendeapatkan apresiasi dan leluconnya tampak begitu lucu dari
gaya suaranya dan cirri khas suaranya. Dari segi kanda dan lelucon selain
memanfaatkan Punakawan, dalang juga memanfaatkan beberapa
tokoh bebondresan. Karakter yang berbadan besar dan bermulut besar dan
karakter yang kurus kerempeng. Karakter tersebut memberikan warna lain dalam
pementasan. Sang dalang telah menunjukan kemampuan dan bakat terpendam
yang dimilikinya. Terbukti dari padatnya penonton yang mengerubungi arena
pementasan malam itu.
Pentas Dalang Cilik X 7 Juli Parade Dalang Cilik Wanita Ni Ketut Intan Anggraeni
Sanggar Kepucuk Banjar Demulih Desa Susut BangliOleh : Made Panji Wilimantara
Pada malam tanggal 7 Juli 2012, pementasan Parade Dalang Cilik diwakili oleh duta dari
kabupaten Bangli yang lain dari biasanya, dengan seorang dalang wanita yakni dalang Ni Ketut
Intan Anggraeni. Ia merupakan seorang dalang cilik wanita berusia 15 tahun dari Banjar Demulih,
Susut, Kabupaten Bangli dan masih bersekolah di SMPN 1 Bangli. Satu-satunya peserta dalang
cilik wanita yang ikut berpartisipasi dsalam Parade Dalang Cilik PKB ke-34 yang di
selenggarakan di Ddepan Gedung Kriya Taman Budaya Art Center Denpasar. Persiapan yang
dilakukannya selama 3 Bulan untuk pertunjukan malam itu. Sang Dalang pada malam itu
menggunakan konsep pertunjukan Tradisional dengan mengggunakan empattungguh
gender dan menggunakan lampu Damar sebagai penyinaran. Awalnya asaya tidak mempercayai
bahwa sang dalang merupakan seorang wanita, karena dari suara yang ditampilkannya seperti
suara laki-laki dengan fibrato suara yang besar.
Dalam pertunjukan itu, Sang Dalang mengambil lakon berjudul “Bima Swarga”. Dalam
adegan petangkilan terdapat tokoh-tokoh Kunti, Bima dan diiringi punakawannya Tualen dan
Merdah yang mengartikan percakapan dalam bahasa kawi ke dalam bahasa Bali. Dikisah Dewi
Kunti mengutarakan kehendaknya untuk melaksanakan upacara Yadnya di laksanakan di
dalamPamerajan keluarga. Namun dewi kunti mendapatkan sebuah wahyu/sabda dari
Dewantara. bahwasanya sebelum Dewi Kunti hendak melaksanakan upacara
di Pemerajan Keluarga itu, hendaknya Dewi Kunti memperhitungkan kembali kehendaknya itu,
sebab Yadnya yang akan dilaksanakannya itu tidak akan berjalan dengan sukses karena
sang Dewa Pitara belum di upacarai dengan layak. Sebab Sang Dewa Pitara yakni Prabu Pandu
dan Dewi Madri berada di kawah Candra Go Mukha mengalami siksaan yang begitu hebat
sehinnga menjadi penghuni kawah dan telah lama roh mereka disiksa di dalamnya. Sang Roh
tidak tahu jalan pulang kembali ke asalnya. Oleh karena itulah Dewi Kunti meminta putranya
Bima untuk pergi ke Alam baka (Yang dalam pementasan ini di analogikan dengan sebutan
Swarga Loka). Dewi Kunti juga memintanya untuk memperhitungkannya karena saudara-
saudaranya yang lain yakni Yudistira, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa mengatakan bahwa
mereka tidak sanggup untuk pergi ke Swarga Loka. Ia meminta putranya itu agar dapat melebur
malapetaka kedua orang tuanya. Sang Bima menjelaskan bahwa sewaktu ia bertapa di gunung
Ernawa, ia menndapatkan anugrah dari Bhatara Bayu sebuah ajian yang dapat membawanya
pergi ke swarga Loka. Bima pun bersedia untuk pergi ke swarga loka. Akhirnya Bima merapalkan
Bayu Bajra untuk memanggil Dewa Bayu, Dewa Bayu masuk ke dalam raga Bima. Setelah
mendapatkan kekuatan itu, akhirnya Bima meminta ibunya agar beresemayam dalam
kepalanya. Setelah memmohon ijin kepada Bima, Dewi Kunti pun seketika masuk dan menyusup
kedalam kepala Bima. Disusul oleh saudara-saudaranya yang lain, Darmawangsa, Arjuna di
kedua bahunya, dan Nakula, Sahadewa di kedua pahanya. Namun sebelum Arjuna masuk,
Arjuna mendapatkan protes dari Bima karena ia tahu bahwa Arjuna senang untuk mengadakan
pertapaan dan pemujaan serta berguru kemana-mana, namun ia tidak isa pergi mengantarkan
mereka ke Swarga loka, bisanya hanya bermain perempuan saja. Hal ini di kemas dengan
perantara Tualen yang mengartikan pemmbicaraan Bima. Tuallen dan Merdah kemudian
bercengkrama menceritakan prihal kejadian itu, akhirnya ia bergegas untuk menyampaikan
pesaan kepada masyarakat bahwa mereka akan pergi ke Swarga loka dan masyarakat abdi
kerajaan diminta untuk menyiapkan sarana perlengkapan upacara. Adegan itu disusul dengan
adeganPangrebongan, dan tarian Condong dan kakan-kakan. Setelah adegan pangrebongan
itu, tualen berusaha menggoda condong dengan kata-kata jaruh dan menggoda. Namun hal itu di
tanggapi oleh condong dengan nada sinis dan marah. Tualen tidak henti-hentinya menggoda
condong dengan berpantun, pantun-pantun Tualen di jawab oleh Condong. Tualen
mengfutarakan niatnya untuk mengikuti Bima ke Swarga Loka, dan berpesan agar Condong
menjaga diri. Condong sudah “Mewayang Gadang/Tresna” dengan Tualen, ia akan “ Ke pasar
membeli sagu/Sabar menunggu” kedatangan Tualen. Kemudian Merdah datang menghampiri
Tualen karena Tualen bukannya bersiap-siap untuk berangkat tetapi malah bersenda gurau
dengan Condong.
Tualen : Buih Dewaratu… Apa kasusene?
Merdah : Kasus Bedag!! Yan nanang bang ngeroman ngajak anak luh aeng
mekelo ne!
Kemudian Tualen menbunjukkan pada merdah bahwa ada wanita yang sedang menunggunya,
dan ternyata wanitta itu adalah wayang Bondres tua, sehingga penonton tertawa melihat adegan
itu. Akhirnnya setelah Tualen memberitahukan kepada rakyat bahwa mereka hendak pergi ke
Swarga Loka, mereka segera berangkat. Sesampainya mereka di swarga loka, Bima
menemukan Sembilan persimpangan, dengan menggunakan intuisinya, akhirnya ia berhasil
melewati Sembilan persimpangan dan mendapatkan jalan yang tepat untuk sampai ke kawah
Candra Go Muka. Dilain pihak di peradilan swarga loka, para roh sedang diadili oleh Sang
Suratma yang menjaga swarga loka. Sang Suratma dengan ditemani Delem dan sangut
bercengkrama satu sama lain. Mereka juga menghakimi beberapa atma yang melintas di Swarga
loka.
Diceritakan bahwa Bima, Tualen dan Merdah sudah tiba di Swarga Loka, mereka hendak menuju
ke kawah Candra Go Mukha. Sebelum menuju ke sana, Tualen melihat keadaan-keadaan di
sana. Beberapa roh terlihart mengfalami siksaan, seperti salah satu roh yang tertimpa dau-daun
keris yang menggantung di atas rantring pohon karena rohnya tidak di upacarai dengan layak
padahal semasa hidupnya ia mempunyai banyak harta, namun hartanya itu digunakan oleh anak-
anaknya untuk bermain judi. Lalu Tualen bertemu dengan Sang Suratma dan menanyakan prihal
atma apakah yang bisa masuk ke mari tanpa mendapatkan siksaan. Kemudian Tualen
mengatakan bahwa ia ini bukanlah seorang atma, melkainkan ia adalkah seorang manusia biasa
yang dating kesini bersaama dengan tuannya Sang Bima. Sang Suratma merasa tersinggung
atas kehadiran manusia biasa yang mampu menembus Swarga Loka. Akhirnya terjadi
pertempuran hebat antara Bima dengan pasukan Cikrabala Swarga loka. Akhirnya Bima menuju
ke Kawah Candra Go Muka dan menghancurkannya. Dewa Yama meraasa geram karena
melihat Bima memporak porandakan kediamannya. Ia menanyakan kepada Bima, apa yang
hendak ia cari di sini. Ia mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin mencari roh alki-laki dan
perempuan. Kemudian Bhatara yama mengijinkannya. Namun Bima mencaarinya sampai ke
dasar kawah, hinggga kawah itu hancur dan semua roh yang ada di kawah Candra Go Muka bisa
terbebas. Bhatara Yama turun tangan. Akhirnya terjadi pertempuran sengit antara Bhatara Yama
dan Bima. Bhatara Yama dan Bima saling menyerang satu sama lain, mereka saling
mengeluarkan kekuatannya masing-masing. Bhatara Yama terdesak dan meminta maaf kepada
Bima, kemudian mengijinkan bima untuk mengambil yang ia cari. Yang ia cari ternyata arwah
Pandu dan ddewi Madri yang telah menjadi batu di dasar kawah. Akhirnya Bima kembali pulang
dengan membawa kedua batu itu. Sesampainya di istana, Batu itu langsung di tempatkan di
tempat semestinya, Para pandawa yang ada dfi dalam Tubuh Bima dan Dewi Kunti keluar satu
per satu dan menyembah ke hadapan batu itu. Namun hanya Bima saja yang tidak mau
menyembah karena sumpahnya. Akhirnya nakula dan Sahadewa mempunyai siasat agar
kakaknya Bima mau menyembah, ia mengatakan bahwa ada yang aneh dengan tangan kakanya
itu. Kedua kukunya tidak sama panjang. Bima tidak mempercayai perkataan adik-adiknya itu,
namun kedua adiknya itu menyuruhnya untuk menyatukan dan membvandingkan kedua jempol
tangannya yang secara tidak sengaja Bima telah menyembah kedua batu itu. Akhirnya setelah
kedua batu itu di sembah, Roh panduu dan Madri akhirnya nelesat kembali ke awing-awang.
Pada akhir pentas diakhiri dengan Tualen dan Merdah yang memberikan narasi mengenai
kejadian tersebut dan memberikan kata penurtup bahwa bhakti yang tulus dari seorang anak
akan dapat mengantarkan arwah orang tuanya kembali ke asalnya.
Dalam pertunjukan tersebut alur cerita yang dikemas oleh dalang begitu apik. Namun
dalam pementasan tersebut terdapat beberapa koreksian mengenai alur seting kejadian yang
berada di swarga Loka yang mungkin seharusnya berada di Yama Loka. Dari sisi penggunaan
bahasa kawi, struktur bahasa kawi digunakan dengan baik oleh dalang, namun pemahaman
mengenai intonasi dan pemberian aksen pada kata-kata tertentu perlu ditingkatkan lagi. Dari segi
tata Bahasa Bali digunakan, sang dalang termasuk fasih dalaam menggunakan Bahasa Bali.
Identitas “Bedag….” Pada aksen dialog yang menyatakan keheranan memberikan karakter cirri
khas dalang. Dalam penggunaan aksen Cepala, sang dalang sudah cukup aktif dalam
menggunakan cepala. Aksen-aksen yang digunakan melaalui Cepala sudah tepat sasaran.
Tangan dan kaki dalang sudah aktif dan fasih dalam memainkan Cepala. Dari Segi olah suara,
fibrato dalang sangat baik. Dalang dapat memunculkjan suara yang ngebas sehingga fibrato
yang dihasilkan seperti dalang di usia yang remaja atau lebih tua. Padahal ia adalah seorang
Dalang Perempuan yang mungkin jenis pita suaranya berbeda dengan laki-laki. Namun
disarankan agar penggunaan suara ngebas/ngewayahang munyi digunakan sesuai proporsi nya
dan agar tidak terlalu sering, mengingat pita suara sang dalang masih amat ,uda dan agar tidak
memecahkan suara dan menghilangkan suarea aslki sang dalang di kemudian hari. Namun
dalang telah mampu memberikan warna dan karakter suara yang cocok untuk masing-masing
karakter tokoh wayang. Dari segi kanda dan lelucon selain memanfaatkanPunakawan, dalang
juga memanfaatkan beberapa tokoh bebondresan. Sang dalang telah menunjukan kemampuan
dan bakat terpendam yang dimilikinya. Sebagai seorang Dalang Cilik Wanita ia telah
membangkitkan kesadaran genberasi berikutnya untuk mencintai pertunjukkan wayang dan ini
membuktikan bahwa kesenian wayang kulit bukan dominasi suatu gender tertentu saja, melain
kan sifatnya universal, dari segala lapisan umur, laki—laki dan perempuan. Mengingat wayang
merupakan suatu kesenian yang universal, adiluhung, dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan,
religiusitas, social, dan kemasyarakatan. Sebenarnya banyak sekali potensi dalang-dalang cilik
yang kita miliki dan harus kita kembangkan selain untuk melestarikan Seni dan budaya yang
adfiluhung warisan nenek moyang kita, juga sebagai sarana untuk mengembangkan ide-ide dan
kreatifitas anak-anak sesuai bidang dan bakat yang mereka punya terutama dalam kesenian Seni
Wayang Kulit Bali. Maju terus Dalang wanita Indonesia.
Evaluasi Pagelaran Dalang Cilik PKB ke 34 Tahun 2012di Depan Gedung Kriya Taman Budaya
Art Center Denpasar
Secara umum pertunjukan wayang yang dipertunjukan dalam Pagelaran Dalang Cilik
PKB ke 34 Tahun 2012 di Depan Gedung Kriya Taman Budaya yakni:
22 Juni Parade Dalang Cilik Kodya
23 Juni Parade Dalang Cilik Sekaa Wayang Cakuntala Br Besang, Ababi, Abang
Karangasem.
26 Juni Parade Dalang Cilik Sanggar Piluk Jiner Baluk Jembrana
27 Juni Sanggar Kembang Bali Tunjuk Tabanan
28 Juni Sanggar Wayang Kulit Gita Parartha Tejakula Buleleng
29 Juni Parade Dalang Cilik I Made Tangkas Arta Wiguna SD2 Badung
30 Juni Dalang Cilik Made Georgiana Triwinadi dari Sanggar Seni Kamajaya Denpasar
1 Juli Parade Dalang Cilik Sanggar Paripurna Banjar Bona Blahbatuh Gianyar
5 Juli Dalang Cilik I Wayan Anom Candrayana Candra Mas Tegallingga Bedulu
Gianyar
7 Juli Parade Dalang Cilik Sanggar Kepucuk Banjar Demulih Desa Susut Bangli
Berjalan dengan semarak dan dipenuhi oleh antusiasme penonton dari segala kalangan
lapisan masyarakat. Semuanya mendapatkan apresiasi dan sambutan yang hangat dari
penonton. Terbukti dari tidak pernah sepinya stand pertunuukan wayang kulit setiap harinya
walaupun para penonton di goda oleh pertunjukan-pertuynjukan lainnya yang juga menghibur
dan menarik penonton, namun pertunjukan wayang tidak pernah sepi. Pementasan Parade
Dalang Cilik merupakan ajang pencarian, pembinaan, dan pengembangan bakat yang terpendam
bagi para generasi penerus terutama anak-anak untuk menumbuhkan rasa cinta, rasa memiliki,
dan rasa ingin mengembangkan seni budaya yang adiluhung warisan nenek moyangkita yakni
seni pertunjukan wayang kulit. Pementasan Parade Wayang Kulit Pagelaran Dalang Cilik PKB ke
34 Tahun 2012 pada tanggal 22 Juni 2012 dipentaskan pada pukul 20:00 Wita di depan Gedung
Kriya Taman Budaya Art Center Denpasar. Beraneka macam lakon yang di tampilkan oleh
peserta dalang-dalang cilik yanng mampu menghibur setiap masyarakat yang hadir dalam
pertunjukan. Lakon yang di ambil dalam lakon bersumber dari epos-epos Ramayana dan
Mahabarata. Para peserta juga menggunakan berbagai macam iringan yang berfariasi,
diantaranyta adalah gender wayang, gamelan Semar Pegulingan, fariasi gamelan gender dan
suling, bebatelan, dll.
Terlihat antusiasme para peserta untuk menunjukan diri yang terbaik dalam pertunjukan
tersebut. Dari segi permainan cepala, hampir semua peserta telah memanfaatkan dan
menggunakan aksen cepala dengan tepat guna. Dari tata pencahayaan, sebagaian besar
penampilan masih menggunakan tata pencahayaan lampu Blencong namun ada juga yang
menggunakan teknologi pencahayaan lampu. Dari segi tata suara penggunaan mikrofon, masih
perlu dikaji kembali. Terkadang secara teknis ada dalang yang menggunakan berbagai macam
mikrofon baik yang genggam mauppun mikrofon mini. Dalam penampilan beberapa dalang yang
mennggunakan mikrofon mini dan di tempel di pipi memiliki kelemahan-kelemahan terssendiri.
Dalam pengamatan terhadap beberapa dalang yang kami amati selama pementasan dalang cilik
PKB ke 34 beberapa dalang cilik yang menggunakan mikrofon serupa memiliki beberapa
kendala. Pada saat pertunjukan, suara yang di pantulkan melalui mikrofon tersebut terlalu peka
sehingga volume dan getaran yang terdengar begitu keras bahkan helaan nafas dan suara
krongkongan ketika minum pun mudah terdengar. Suara yang terlalu peka tersebut mungkin
selain membuat dalang kurang nyaman, juga penonton yang mendengarkan suara itu juga
merasakan bahwa kepekaan suara dari mikrofon tersebut membuat suasana pertunjukan
tersebut agak kurang bisa dinikmati. Namun pennggunaan mikrofon lain seperti mikrofon
gengggam yang di gunakan oleh beberapa dalang sebelumnya juga kurang begitu maksimal
menghasilkan performa suara yang baik. Sehingga kedepannya perlu mendapatkan kajian
mengenai tata panggung dan tata suara untuk pementasan dalang cilik ditahun-tahun
mendatang.
Dari segi lelucon dan kanda, para seniman-seniman cilik ini terkesan kurang bebas untuk
mengekspresikan dunianya yakni dunia anak-anak. Me3reka masih terkesan menggunakan
lelucon ataupun lawakan orang-orang dewasa yang mungkin belum pernah mereka rasakan atau
alami sebelumnya. Sehingga saya rasakan dalam beberapa pementaasan, mungkin penonton
ataupun dalang itu sendiri merasa tidak menjadi dirinya sendiri dalam pementasan. Lelucon-
lelucon yang disammpaikan dalam peretunjukan masih berkutat seputar cinta, pantun-pantun,
dialog-dialog yang bernada agak porno, ataupun keadaan politik saat ini. Semuanya terkesan
jauh dari dunia anak-anak yang penuh dengan imajinasi, kecerian, dan penuh candaan anak-
anak. Mungkin perlu diadakan sebuah parade dalang Cilik yang bertemakan pertunjukan wayang
Ttantri. Mengingat cerita-cerita Tantri merupakan cerita-cerita yang lekat dengan kehidupan
anak-anak yakni mengenai binatang/fabel, dan cerita-cerita yang penuh dengan petuah-petuah
yang mungkin sejalan dengan perkembangan motorik dan dunia anak-anak yang sedang mereka
lalui. Cerita cerita seperti Tuwung kuning, Timun mas, I Belog, Pan Balang Tamak, dll mungkin
cerita yang sejalan dengan kejiwaan anak-anak. Sehingga selain mereka bisa bebas berkreasi
dan mengembangkan imajinasi mereka melalu pertunjukan wayang, mereka juga mendapatkan
suatu pendidikan moral dari cerita-cerita rakyat yang telah lama memudar dan mulai
dditinggalkan anak-anhak jaman sekarang.
Dari segi bahasa, penggunaan bahasa kawi sudah sesuai aturan dan palkem yang ada.
Penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar sudah sangat baik dan fasih mereka
gunakan. Kedepannya, mungkin perllu diadakan trobosan dengan menampilkan wayang
berbahasa asing seperti bahasa Inggris yang di tampilkan kepda anak-anaki, sehingga sedari
kecil selain mereka fasih menggunakan bahasa Bali dan Indonesia, mereka juga mampu untuk
menggunakan bahasa-bahasa asing sebagai bahas pengantar dalam pergaulan intwrnasional
kedepannya, dan jutga sebagai upaya untuk memasyarakatkan Wayang, tidak hanya di Bali,
tetapi di Indonesia, dan juga pada Masyarakat dunia. Mengingat antusiasme penonton yanng
datang menyaksikkan pertunjukan wayang tersebut datang dari berbagai daera baik dalam
maupun luar negeri, seperti Solo, Bandung, Makasar, lombok, Belanda, Amerika, Jepang, dll.
Parade dalang cilik ini juga meerupakan media pemasyarakatan pertunjukan wayang kulit
sebagai seni Adilouhung warisan Leluhur kita yang patut di lestarikan dan kembangkan. Semakin
masyarakat mengenal wayang, maka mereka akan semakin menvcintai pertunjukan wayang itu
sendiri.
Om Swastyastu Mahasiswa/i Smtr 4 PedalanganTolong ya semuanya lebih kreatif dan produktif agar saya bisa memberikan nilai yang bagus. Saya lebih suka melihat kalian benar-benar menghasilkan suatu penelitian dari pada sekedar menjawab sejumlah soal UTS dan UAS.-----------------Mengingat data primer penelitian wayang hanya bisa didapatkan dari pengalaman langsung melihat, mendengar, dan merasakan pagelarannya maka kelas metode penelitian yang sebenarnya mewajibkan kita semua untuk mengamati langsung pagelaran-pagelaran wayang berikut:
Pagelaran Dalang Cilik PKB ke 34 Tahun 2012 pk 20 Witadi Depan Gedung Kriya Taman Budaya
22 Juni Parade Dalang Cilik Kodya23 Juni Parade Dalang Cilik Sekaa Wayang Cakuntala Br Besang, Ababi, Abang Karangasem.26 Juni Parade Dalang Cilik Sanggar Piluk Jiner Baluk Jembrana27 Juni Sanggar Kembang Bali Tunjuk Tabanan28 Juni Sanggar Wayang Kulit Gita Parartha Tejakula Buleleng29 Juni Parade Dalang Cilik I Made Tangkas Arta Wiguna SD2 Badung30 Juni Dalang Cilik Made Georgiana Triwinadi dari Sanggar Seni Kamajaya Denpasar1 Juli Parade Dalang Cilik Sanggar Paripurna Banjar Bona Blahbatuh Gianyar5 Juli Dalang Cilik I Wayan Anom Candrayana Candra Mas Tegallingga Bedulu Gianyar7 Juli Parade Dalang Cilik Sanggar Kepucuk Banjar Demulih Desa Susut Bangli
Meng-email saya dan teman-teman tentang hasil pengamatan, pengkajian, dan tanggapan anda terhadapt (1) kekuatan, (2) kelemahan, dan (3) pengolahan lakon (kawi dalang) setiap pagelaran, sebagian atau seluruhnya, membuktikan yang bersangkutan melakukan penelitian seberapapun tingkat kedalamannya. Oleh karenanya setiap email yang menanggapi pagelaran layak mendapatkan kredit tambahan nilai perkuliahan dari mata kuliah yang sesuai,misalnya:
1. Bagi yang mengkaji estetikanya pantas dapat tambahan nilai untuk kuliah Estetika semester mendatang.
2. Bagi yang mengkaji komposisi dan pengolahan lakon pantas dapat tambahan nilai untuk kuliah Komposisi Pewayangan semester mendatang .
3. Bagi yang mencatat semua lakonnnya pantas dapat tambahan nilai untuk kuliah Literatur / Dramaturgi semester mendatang.
4. Bagi yang mendeskripsikan organisasi, pembinaan dan pengembangannya pantas dapat tambahan nilai untuk kuliah Produksi Art Manajemen atau Tata Teknik Pentas semester mendatang, dll.
Kajian dan tanggapan yang penuh dapat berupa satu skripsi Pagelaran Dalang Cilik PKB Ke 34 untuk menyelesaikan program S1 anda dua tahun mendatang.
Semoga tambah sukses
KsamaswmamI Nyoman Sedana
http://www.wonosari.com/t7956-pementasan-9-dalang-cilik-sepi-penontonSubyek: Pementasan 9 Dalang Cilik Sepi Penonton Thu Sep 30, 2010 8:46 am
Penutupan Festifal Kesenian Tradisional (FKT) di bangsal Sewokoprojo, Wonosari sepi penonton. Acara yang ditutup dengan festifal seni pedalangan dan diikuti 9 orang dalang cilik ini tidak mampu menyedot perhatian generasi muda yang diharapkan mampu nguri-uri budaya tradisional warisan leluhur.Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pemkab Gunungkidul Drs Sudodo MM yang didampingi Kepala Bidang Kebudayaan Drs Eko Sumar Sri Wibowo mengaku dengan diadakannya kegiatan festifal kesenian ini diharapkan mampu menumbuhkembangkan regenerasi dalang. “Dengan kegiatan ini kami berharap dalang-dalang muda terus bermunculan sebagai upaya regenerasi dalang tua,” katanya. Dalam pementasannya, penampilan 9 dalang cilik ini cukup menarik perhatian, mereka terlihat lincah dalam memainkan wayang sesuai dengan lakon yang dibawakan. Namun, meski terlihat lincah, tidak banyak penonton yang menyaksikan pagelaran ini. Generasi muda yang diharapkan dengan menonton dapat tertarik dan mau nguri-uri budaya warisan leluhur tidak banyak terlihat. Hanya beberapa kalangan PNS di Pemkab Gunungkidul dan beberapa anak sekolah yang sengaja diajak gurunya untuk menonton, itu saja tidak lama. Kondisi yang sama juga terlihat dalam pementasan seni beberapa hari yang lalu. Sejak dibukanya festifal, Kamis (16/9) lalu dengan berbagai pementasan seni seperti jathilan, reog, karawitan namun jumlah penonton yang menyaksikan dalam setiap hainya tidak sampai melebihi 40 orang. Hal ini menunjukkan minimnya kecintaan generasi muda terhadap seni tradisional.Anwar (27) salah seorang warga Sleman yang sengaja datang untuk menonton festifal kesenian ini iamengatakan dilihat dari gerak-gerik dalang cilik dalam memainkan wayang telihat bahwa seni pedalangan ini akan terus hidup, “Kita lihat saja cukup banyak generasi muda yang melihat, saya rasa kesenian ini bisa berkembang di Gunungkidul” katanya.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/05/30/55723
Dalang Cilik Anak Rhoma Irama Beraksi di UNYYogyakarta, CyberNews. Adam Girafi, dalang cilik putra raja dangdut Rhoma Irama, tampil sebagai pembuka Parade Dalang Cilik, di pendopo Food Court UNY.Bocah kelas 4 SD, penyaji terbaik Festival Dalang Cilik Tingkat Nasional di Jakarta itu, membawakan lakon ''Sena Bumbu'' yang menceritakan perjalanan seorang anak tetua desa Manahilan, Rawan, dalam usaha menyelamatkan ayahnya dari santapan Prabu Baka.Selain Adam Girafi, tampil dalang cilik lainnya yaitu Bayu Probo Prasopoaji, Putra Laksana Tanjung, dan Aan Bagus Saputro.Parade dalang cilik yang diselenggarakan kedua kalinya merupakan rangkaian acara dalam memperingati dan menyemarakkan dies natalis UNY ke-46. Parade
dalang cilik tahun ini melingkupi wilayah Yogya-Jateng, menampilkan kelihaian para dalang cilik dalam mengemas sebuah pagelaran wayang yang menarik dan tak kalah dengan dalang profesional.Pembukaan parade dalang cilik ditandai dengan penyerahan wayang Janaka dan Arjuna dari Rektor UNY kepada ke empat dalang cilik, disaksikan oleh para pejabat baik di tingkat universitas maupun fakultas, karyawan serta mahasiswa UNY.Rektor UNY, Dr Rochmat Wahab MA memaparkan, pagelaran wayang merupakan salah satu kebudayaan yang dapat dikembangkan untuk menuju pendidikan karakter. Pagelaran wayang akan memunculkan pesan-pesan moral dalam membangun tanggung jawab dan perilaku yang terpuji karena dalam ceritera pewayangan ada perlawanan antara kebaikan melawan keburukan.Walau UNY menuju ''World Class University'' tidaklah membuat UNY meninggalkan budaya lokal yang salah satunya adalah wayang. Tapi justru dijadikan keunggulan lokal dalam menuju universitas yang berskala internasional.Sementara Ketua Panitia, Adi Sulistya menyampaikan, parade dalang cilik se-DIY/Jateng merupakan wujud keprihatinan terhadap arus globalisasi yang mengikis moral anak bangsa.Diharapkan dengan parade itu dapat digunakan sebagai media pelestarian kebudayaan lokal dan memberi ruang apresiasi bagi dalang-dalang cilik untuk menjadi dalang yang handal. Parade dalang cilik tersebut juga sekaligus mencitrakan kampus yang cinta budaya.( Bambang Unjianto / CN13 )