ORATIO DIES TANTANGAN ILMU HUKUM ADMINISTRASI …
Transcript of ORATIO DIES TANTANGAN ILMU HUKUM ADMINISTRASI …
UNfVERSI'l'AS KATOLIK PARAHYANGAN
FAKULTAS HUKUM
PERINGATAN DIES NATALIS KE 34
ORATIO DIES
" TANTANGAN
ILMU HUKUM ADMINISTRASI
MENGHADAPI
P ERKE1l!BANGAN
KONSEP NEGARA HUKUM
DI INDONESIA "
OLEH :
KOERNIATMANTO SOETOPRAWIRO
BANDUNG, SEPTEMBER 1992
ORAS! DIES
Koerniatmanto Soetoprawiro
Tantangan Ilmu Hukum Administrasi Menghadapi Perkembangan
Konsep Negara Hukum di Indonesia
Materi Orasi Dies :
Yang Terhormat para Pejabat Pemerintah Sipil dan Militer,
Yang Terhormat Ketua dan para Anggota Pengurus Yayasan Universitas Katolik Parahyangan,
Yang Terhormat Rektor dan para Anggota Pimpinan Universitas Katolik Parahyangan,
Yang Terhormat Dekan dan para anggota Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,
Rekan-Rekan Alumni dan para Anggota Sivitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,
Para Undangan Yang Terhormat,
Pagi hari ini saya memperoleh kepercayaan serta kehormatan yang amat besar dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, sehubungan dengan penunjukan atas diri saya untuk mengucapkan orasi dies natalis yang ke-XXX IV Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan ini. Dengan penuh ungkapan rasa terima kasih, kepercayaan dan kehormatan ini akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya.
1
Namun demikian sebelum saya memulai dengan orasi ini, perlu kiranya saya menjelaskan bahwa sifat orasi ini lebih merupakan a jakan untuk merenung daripada uraian yang serba terperinci dan lugas . Saya ingin mengajak para hadirin sekalian untuk melihat kembali serta mencari alternatif-alternati f yang mungkin dalam kaitannya dengan p erkembangan dan kelangsungan Republik Indonesia sebagai negara hukum dikaitkan dengan perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya serta Fakultas Hukum Indonesia pada khususnya.
Hadirin yang saya hormati,
Di samping keadilan yang serba relatif, hukum pertama-tama bertu juan untuk menyelenggarakan atau menciptakan ketertiban. Ketertiban ini pada gilirannya merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Untuk mencapai ketertiban itu, diselenggarakanlah kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat ini manusia akan menemui kesulitan dalam mengembangkan kemampuannya dengan sebaik-baiknya dalam masyarakat lingkungannya. Dalam rangka menciptakan iklim tersebut di atas itu, hukum dapat memaksakan penaatan terhadap ketentuan-ketentuannya dengan cara-cara yang teratur pula.
Erat kaitannya dengan hal tersebut di atas, hukum mempunyai hubungan yang erat dengan kekuasaan. Hukum memerlukan kekuasaan untuk melaksanakannya. Sebaliknya, kekuasaan (power) mempunyai batas-batasnya yang di
tentukan oleh hukum. Dengan kata lain, kekuasaan merupakan suatu faktor yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum. Masyarakat yang teratur memerlukan fungsi kekuasaan itu.
Adapun kekuasaan itu sendiri mempunyai pengertian sebagai suatu kemampuan untuk memaksakan kehendaknya atas fihak lain. Ada pelbagai sumber kekuasaan itu. Kekuasaan dapat bersumber dari suatu wewenang formal di samping kekuatan fisik ataupun militer.
2
Akan tetapi dapat pula kekuasaan itu bersumber dari pengaruh poli ti k, pengaruh keagamaan, ataupun kekayaan dan kekuatan ekonomis. Bahkan terkadang juga bersumber dari moralitas serta pengetahuan. Dalam pada itu satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, bahwa kekuasaan itu cenderung untuk dipertahankan, dilestarikan serta diperbesar, bahkan terkadang untuk disalah-gunakan.
Akan tetapi kekuasaan itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang bebas nilai. Kekuasaan itu malahan merupakan sesuatu yang harus ada dalam suatu masyarakat yang tertib dan teratur. Wa jarlah jika Mochtar Kusumaatma d j a ( T . T . ) berpendapat bahwa karena sifat dan .hakekatnya itu kekuasaan perlu diberi ruang lingkup, arah dan batasbatasnya, agar dapat bermafaat. Untuk itulah kita memerlukan hukum. Dengan demikian, kekuasaan itu tunduk pada hu�um. Artinya, sekali ditetapkan, pengaturan kekuasaan harus dipegang teguh.
Di sinilah Hukum Administrasi mengambil peran yang utama. Secara jelas hal ini dikemukakan oleh van Vollenhoven sewaktu ia berusaha untuk menerangkan hubungan antara Hukum Tatanegara (Staatsrecht) dengan Hukum Administrasi (Administratief Recht). Menurutnya, Hukum Tatanegara itu mengatur susunan dan mendistribusikan kewenangan kekuasaan negara. Sementara Hukum Administrasi membatasi perangkat penyelenggara Negara dalam penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut di atas. Pembatasan kekuasaan ini dilakukan demi terciptanya jaminan hukum kepada rakyat yang diperintah itu, bahwa tidak boleh ter jadi kesewenang-wenangan dari pihak Penyelenggara Negara.
Namun demikian, di samping mengatur pembatasan kekuasaan perangkat penyelenggara negara, Hukum Administrasi ini juga mengatur pelbagai kewa jiban yang harus ditaati oleh rakyat (yang diperintah) itu. Hal ini kiranya sesuai dengan hakekat negara kese-
3
'
jahteraan (Welfare State) , yang memberikan perluaaan kewenangan bertindak kepada pihak Penyelenggara Negara dalam rangka penyelenggarakan kese jahteraan rakyat itu sen-diri.
·
Hadirin yang terhormat,
Sehubungan dengan uraian di atas, Sudargo Gautama ( 1973) mengatakan bahwa dalam hukum administrasi inilah terletak sendi-sendi utama suatu negara hukum. Apakah suat u negara mewu judkan cita-cita negara hukum atau tidak, pertama-tama dapat dilihat dari penyelenggaraan hukum administrasinya.
Dalam pada itu suatu negara dapat disebut sebagai negara hukum, apabila negara tersebut memenuhi se jumlah persyaratan. Pertama -tama, da lam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap warganya. Negara tidak dapat berbuat sewenang-wenang terhadap warganya itu, karena dibatasi oleh hukum. Pelanggaran atas hak warganegara itu hanya dapat dilaku kan apabila dii jinkan dan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum. Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum.
Dengan demikian dalam suatu negara hukum, hak-hak asasi warganegara di jun jung tinggi. Meskipun demikian, pembatasan kekuasaan negara ini tidak dapat sedemikian rupa sehingga justru mengganggu usaha Penyelenggara Negara itu untuk menyelenggarakan tu juan negara itu sendiri. Guna melindungi hak asasi warganegara inilah kekuasaan negara itu dibagi. Dalam rangka pembagian kekuasaan ini, kekuasaan peradilan harus bebas dari pengaruh luar demi terciptanya peradilan yang adil dan tidak memihak. Akhirnya, suatu negara hukum akan sulit terselenggara apabila tidak terdapat kesadaran hukum di dalam masyarakat. Masyarakat negara hukum perlu senantiasa tahu dan sadar manakala hukum telah dilanggar oleh negara. Tanpa kesadaran hukum ini, kekuasaan untuk menuntut negara di depan pengadilan men jadi tidak ada artinya.
4
Secara hietorie koneep negara hukum itu telah dimulai ee jak abad ke- 19, ee jalan dengan berkembangnya era induetrialieasi serta faham liberalisme-kapitalisme khususnya di Eropa. Pada mulanya, negara hukum diberi arti eebagai negara yang seluruh perilakunya didasarkan dan diatur oleh undang-undang, yang telah ditetapkan sejak semula oleh badan perwakilan rakyat. Sehingga tugas negara itu hanyalah bersifat pasif. Negara baru bertindak jika hak asasi warganya atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Tugas negara itu pada akhirnya hanya sebagai penjaga keamanan saja.
Negara .hukum model Immanuel Kant dan Fichte ini dirumuskan semata-mata untuk mempertahankan dan melindungi tertib sosial-ekonomi yang berdasarkan asas laissez faire laissez aller. Dalam hal ini asas kebebasan yang dimiliki oleh anggota masyarakat men jadi dom�nan, khususnya asas kebebasan berkontrak. Pada akhirnya peri kehidupan bernegara diwarnai oleh Pemisahan Penyelenggara Negara dan Masyarakat. Masing-masing pihak mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Para anggota masyarakat dapat menyelenggarakan fungsi dan kepentingan masing-masing mereka sendiri, berdasarkan asas kebebasan berkontraknya itu.
Di lain pihak, Penyelenggara Negara berfungsi sebagai 'satpam' dan tidak diperkenankan mencampuri urusan anggota masyarakat atau rakyatnya itu.
Namun demikian se jak munculnya aliran sosialisme (dan komunisme) kondisi semacam ini telah mengundang pelbagai kritik. Kapit al i sme dan liberalisme terbukti bukan resep yang mu jarab untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Konsep kebebasan yang seluas-luasnya itu pada akhirnya telah menimbulkan ketimpangan sosial dan ketidak-adilan. Terutama se jak berakhirnya Perang Dunia I I, konsep negara hukum klasik dengan demikian dianggap tidak memuaskan lagi. Ada aepek lain yang lebih luas daripada sekedar keamanan dan ketertiban masya-
5
..
rakat sa ja, yang harus diselenggarakan oleh negara. Kiranya telah terjadi ketimpangan sosial dalam masyarakat industri yang sedang berkembang itu. Para pemilik modal menjadi semakin kaya, sedangkan mereka yang hanya mengandalkan tenaga ternyata semakin terperosok harkat-martabat kemanusiaannya. Kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan inilah yang kiranya me+upakan sesuatu yang perlu mendapat perhatian dari pihak negara.
Keadaan inilah yang mengharuskan negara untuk bertindak. Konsep dikotomis pemisahan peran antara Penyelenggara Negara dan Masyarakat mulai ditinggalkan. Asas kebebasan bukan lagi merupakan fenomena yang utama. Muncullah suatu konsep negara hukum yang baru, yang biasa disebut pula sebagai Negara Kesejahteraan. Tugas negara di sini pada akhirnya adalah sebagai penyelenggara kesej ahteraan umum atau (menurut istilah Lemaire) bestuurszorg atau public service. Pihak Penyelenggara Negara atau Administrasi ini pada akhirnya juga bertanggung jawab khususnya dalam hal kese jahteraan sosialekonomis rakyatnya. Administrasi berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan standar minimum kehidupan rakyatnya. Sehingga o leh karenanya, banyak kepentingan yang dahulu diselenggarakan oleh pihak swasta (anggota masyarakat), se jak saat itu diselenggarakan oleh pihak Penyelenggara Negara, karena kepentingan-kepentingan itu telah men jadi kepentingan umum . . Bahkan asas kebebasan berkontrak bukan lagi monopoli para pihak yang melakukan per jan jian. Artinya, pihak Penyelenggara Negara berwenang untuk turut campur tangan dalam per jan jian tersebut, apabila terdapat bukti yang cukup yang menun jukkan bahwa perjan jian itu ternyata berat sebelah dan tidak adil. Untuk itu Penyelenggara Negara atau Administrasi memerlukan kebebasan bertindak. Tentu dalam batas-batas yang secara garis-besar telah ditetapkan oleh undang-undang.
6
Hadirin yang terhormat,
Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Hal ini menunjukkan bahwa
Republik Indonesia itu memang dimaksudkan untuk menjadi suatu negara hukum. Lebih lanjut, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain m erumuskan Tujuan Nasional Republik Indonesia, yakni: untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesej ahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdama i an abadi dan k eadilan sosial. Tujuan Nasional ini merupakan suatu bukti bahwa Republik Indonesia itu merupakan suatu negara hukum yang modern. Hal ini mengingat bahwa dari rumusan ini tampak bahwa tugas Negara tidak·hanya sekedar sebagai penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat semata, melainkan secara aktif menyelenggarakan suatu social welfare bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukti dalam Pembukaan ini kemudian diperinci lebih lanjut dalam Batang Tubuh UndangUndang Dasar 1945. Pasal 27 sampai dengan pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan sejumlah kewaji ban negara terhadap warganya dalam rangka penyelenggaraan kesej ahteraan warganya itu.
Hadirin yang terhormat,
Apabila kita mengingat bahwa konsep Negara Hukum Modern atau Welfare State ini tumbuh selama dan setelah Perang Dunia I I (Rob son, 1977; Harbold, 198 3) , maka jelaslah bahwa konsep yang menjadi acuan perumusan Undang�Undang Dasar 1945 merupakan perumus an yang amat maju pada waktu itu. Akan tetapi waktu tetap berjalan. Milenium ketiga sejarah manusia telah dekat di depan mata. Segala sesuatu berubah dan berkembang bersama dengan perjalanan Sang Kala. Konsep
7
negara hukumpun tidak luput dari santapan Sang Kala itu. Artinya, suka atau tidak suka konsep negara hukum ini mengalami perkembangan pula. Tidak luput pula makna Republik Indonesia sebagai negara hukum.
Ada banyak perubahan serta perkembangan di segala bidang kehidupan manusia, baik yang bersifat mondial maupun yang internal. Tantangan-tantangan baru bermunculan. Dtmensi peri-kehidupan berbangsa dan bernegara kiranya tidak lagi hanya terbatas pada aspek sosial-politik dan sosial-ekonomi semata. Aspek sosial-geografis dalam bentuk keperdulian akan lingkungan hidup meminta perhatian pula. Masalah hak asasi tidak lagi sekedar berdimensi individual seperti jaman Van Vollenhoven dahulu, melainkan juga berdimensi sosial. Urusan social walf are bukan lagi merupakan tanggung jawab pihak Penyelenggara Negara saja, melainkan telah menuntut tanggung jawab segenap lapisan warga masyarakat. Tambahan lagi urusan bernegara dan berbangsa tidak lagi sekedar urusan internal dalam negeri saja. Dimensi internasionalnya kini semakin meminta tanggung jawab pihak Penyelenggara Negara pula. Akibatnya, konsep negara hukumpun mengalami pembaharuan.
Dalam kaitannya dengan ini, ada dua hal yang menyebabkan Indonesia tidak dapat mengucilkan diri atau terkucil dari gejalagej ala mondial ini. Pertama, kemajuan teknologi serta derasnya arus informasi yang ada di dunia modern ini kiranya telah semak in memperkecil besarnya globe. Kedua, letak geografis Indonesia di posisi silang dunia, yang merupakan salah satu lalulintas paling ramai di dunia. Globalisasi dan posisi silang inilah yang kiranya menyeret Negara Hukum Republik Indonesia serta pengaturan hukum, khususnya hukum administrasinya ke arah perkembangan yang mendasar pada milenium ketiga itu.
8
Hadirin yang terhormat,
Sumitro Djojohadikusumo (1991) menunjukkan ada empat dinamika yang mempengaruhi pola dan arah perkembangan jangka panjang. Masing-masing adalah:
1. Pertambahan Penduduk 2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi 3. Peranan Sumber Daya Alam 4. Rentetan Kejadian Perang dan Revo
lusi
Di bidang kependudukan, kecenderungan pada pertambahan penduduk di negara maju akan sangat berbeda dengan perkembangan di negara berkembang. Pertambahan penduduk di neg�ra maju condong melambat sampai mandeg. Sedangkan jumlah penduduk dan tingkat pertambahannya akan tetap menjadi masalah besar di negara-negara berkembang. Bahkan sejak berakhirnya Perang Dunia I I, 70% jumlah penduduk yang bermukim di negara berkembang terpusat di delapan negara, yaitu: Republik Rakyat Cina, India, Indonesia, Brasil, Bangladesh, Pakistan, Nigeria, dan Meksiko.
Untuk Indonesia sendiri, masalah pokok di bidang kependudukan ini terletak pada fakta bahwa penduduk Indonesia tersebar secara tidak.merata. Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 68% (150 juta dari 220 juta) penduduk Indonesia bermukim di pulau Jawa. Akibatnya, pulau Jawa akan menjadi 'pulaukota'. Celakanya, pemusatan pemukiman ini tidak sesuai dengan letak geografis sumber kekayaan alam.
Tantangan di atas memacu jenis pengaturan hukum yang dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia serta pengaturan tentang tataruang (lebensraum) yang memadai. Masalah pemerintahan di daerah dan pemerintahan desapun memerlukan pengaturan ulang yang
9
kiranya harus memperhatikan spesifikasi masing-masing daerah.
Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah terjadi quantum-leaps di berbagai bidang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakari meloncat mencapai tingkat yang sangat canggih dan membuka perspektif yang sama sekali baru dalam kehidupan manus ia, yang sebelumnya tidak dapat dibayangkan. Lengkap dengan segala resiko dan bahayanya. Elektronika (khususnya mikroelektronika) , komputer dan chips, teknologi transportasi-komunikasi-informatika, teknologi kedirgantaraan, bioteknologi, robot, nuklir, polimer, serta laser sering disebut-sebut sebagai bidang-bidang yang akan secara dominan mewarnai peri-kehidupan umat manusia di masa depan.
Bidang-bidang ini tentu saja memerlukan antisipasi yuridis yang memadai, termasuk di Indonesia. Khususnya dalam pola dan cara penggunaan sumber daya produksi di samping sumber dananya. Hal ini mengingat bahwa sedikit banyak perkembangan ini akan menyentuh seluruh ekosistem dan lingkungan hidup umat manusia.
Sementara itu, Indonesia merupakan negara yang amat kaya akan sumber daya alam. Baik di daratan maupun perut bumi. Bahkan ekosistem laut dan aquatik Asia Tenggara termasuk Indonesia diakui sebagai yang paling kaya di dunia. Kekayaan ini tentu saja merupakan aset yang luar biasa bagi Indonesia. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa di sinilah letak salah satu kekuatan terbesar Indonesia di masa-masa mendatang. Dengan modal ini, Indonesia akan mampu bargaining di segala bidang. Baik di bidang politik, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini berarti bahwa perlu pengaturan di bidang pemanfaatan, pelestarian, serta pengamanan sumber daya alam ini. Bagaimana agar resource policies dan resource management-nya senantiasa seimbang antara permin-
10
taan yang meningkat dengan k elestarian sumber daya alam secara kuantitatif dan kualitatif. Di sini masalah peri jinan dan konsesi serta tataguna agraria menjadi amat menonjol.
Akhirnya d i bidang perang dan revolusi telah kita saksikan bersama ambruknya Blok Timur yang mempunyai dampak mondial yang amat luas dan mendasar. Tata hubungan internasional berubah total. Pertentangan Blok Timur-Barat relatif telah berakhir.
Akibatnya, dikotomi Selatan-Utara, yang sebenarnya telah se jak lama mengge jala, men jadi semakin mengemuka. Di masa yang akan datang dunia secara umum tampaknya akan diwarnai oleh pertentangan antara golongaan riegara maju yang relatif menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan golongan negara yang memiliki sumber daya alam. Selain itu kawasan Asia-Pasifik mulai disebut-sebut sebagai kawasan masa depan.
Adapun Indonesia merupakan negara yang kay� akan sumber daya alam yang terletak di Asia-Pasif ik. Artinya, Indonesia akan merupakan negara yang amat strategis dan panting artinya dalam hubungan internasional di masa-masa mendatang. Lebih spesifik lagi, konflik masalah kepulauan Spartley di laut Cina Selatan mulai menggejala. Selain itu, di Indonesia terletak empat dari sepuluh selat yang dinilai amat strategis di dunia, yaitu: selat Malaka, selat Sunda, selat Lombok, dan selat Ombai. Ini semua jelas menuntut Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam percaturan internasional.
Dalam pada itu Alvin Toffler (1970) antara lain menulis, bahwa dewasa ini sedang terjadi revolusi besar-besaran di bidang sistem organisasi. orang mulai meninggalkan sistem hirarki dan birokrasi, mengingat bahwa keduanya ternyata tidak b e rhasil mengimbangi percepatan perubahan dan informas i yang berlangsung dewasa ini. Dengan demikian organisasi masa depan akan diwarna i oleh suatu model yang oleh Tof f ler
1 1
dinamai ad-hocracy. Suatu model yang menitik-beratkan pada satuan tugas kerja yang serba ad hoc sifatnya.
Senada dengan itu, John Naisbittpun rupanya mempunyai pendapat yang sama. Menurutnya, sistem hirarki akan ditinggalkan orang. Untuk kemudian posisinya akan diganti dengan sistem network atau jaringan kerja. Dalam jaringan kerja ini orang akan lebih banyak berbincang serta berbagi ide, informasi dan bahan kerja. Bagian yang terpenting di aini bukanlah produk akhirnya, melainkan proses yang berlangsung.
Hadirin yang terhormat,
Paparan di atas itu menunjukkan perlunya perumusan kembali pengertian negara hukum serta peranan hukum pada umumnya dan hukum administrasi pada khususnya. Kapitalisme dan konsep negara hukum klasik terbukti tidak memuaskan. Marx dan para pengikutnya mencoba memberi alternatif yang lain. Akan tetapi komunisme dan konsep negara sosialis model Lenin-Stalinpun terbukti tidak dapat diterima oleh masyarakat internasional pada umumnya.
Sementara itu Inggris mencoba mengintroduksikan konsep baru yang sering disebut sebag a i Thatcherisme. Tentang hal ini John Naisbitt (1990) menulis bahwa di Inggris telah terjadi gejala 'Penswastaan Negara Kesej ahteraan' sej ak terpilihnya Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri negeri itu. Anti-sosialismenya telah mendorongnya untuk mengubah Inggris menjadi negara yang warganegaranya memiliki rumah mereka sendir i dan memegang saham dalam perusahaan mereka sendiri. Untuk itu, dalam masa pemerintahannya, Pemerintah Inggris menjual pelbagai industri serta perusahaan negara kembali ke rakyat. Maksudnya, dengan tindakan itu Pemerintah Inggris di bawah kepemimpinannya ingin memberikan lebih banyak kekuasaan kepada rakyat untuk menjalankan kehidupan mereka sendiri.
12
Akan tetapi kiranya masalahnya tidak hanya sekedar t e rletak pada siapa yang tidak mempunyai rumah dan siapa yang harus memiliki saham. Terutama di Indonesia, masalah kesejahteraan sosial ini kiranya jauh lebih luas daripada di Inggris. Tantangan seperti yang terurai di atas kiranya memerlukan perhatian yang besar dari pihak Penyelenggara Negara dan segenap lapisan masyarakat Indonesia. Masalah pertambahan penduduk, antisipasi ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaturari sumber daya alam dan situasi keamanan internasional seperti terurai di atas menuntut tanggung jawab tidak hanya dari pihak Penyelenggara Negara saja, melainkan juga dari pihak anggota masyarakat.
Untuk itu diperlukan pembenahan-pembenahan, terutama di bidang hukum. Pertama-tama, diperlukan pengaturan mengenai kekuasaan yang ada di masyarakat, baik yang bersumber pada pengaruh, pengetahuan, kekayaan maupun kekuatan. Perlu ditegaskan siapa yang memegang kekuasaan yang ada itu, dan bagaimana penggunaannya. Hal ini perlu agar dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. Artinya, masalah yang dihadapi oleh negara hukum dewasa ini tidak lagi sekedar masalah kesen jangan kaya-miskin, untuk kemudian pihak Penyelenggara Negara mencoba untuk menyelenggarakan keadilan sosial dengan freies Ermessen-nya. Pihak anggota masyarakatpun khususnya para pengusaha dituntut untuk lebih perduli pada lingkungan sosial dan alamnya.
Bukanlah jamannya lagi untuk meletakkan tanggung jawab pengaturan masalah sosial seperti tersebut di atas kepada pihak Penyelenggara Negara semata-mata. Sementara para pengusaha itu justru mempergunakan pengaruh ekonomisnya untuk merekayasa policy Penyelenggara Negara untuk kepentingan pribadinya dengan alasan demi kepentingan umum, yang celakanya tidak pernah jelas. Mereka memperoleh fasilitas dari rakyat.
Oleh karena itu tidaklah pantaa jika mereka menyalah-gunakan kekuasaan atas fasilitas
13
itu untuk kepentingan mereka sendiri. Presis seperti halnya pihak pejabat publik juga tidak pantas jika menyalah-gunakan kekuasaan yang melekat dalam jabatannya untuk kepentingan mereka sendiri. Bukankah kita tidak ingin kembali ke kondisi kehidupan sosial seperti jaman voe atau jaman Cultuurstelsel? Seperti kata Clive Day ( 1972 ), pada jaman voe pihak pengusaha
berperilaku sebagai penguasa. Sedangkan pada jaman Culturstelsel pihak penguasa bertindak sebagai pengusaha. Perilaku asosial mereka akan berdampak negatif pada aset-aaet naaional di masa mendatang. Sistem tataruang akan kacau, proses alih-teknologi akan terhambat, sumber daya alam akan terkuras, dan pada gilirannya daya juang untuk bertindak secara aktif dalam hubungan internasional kita menjad� berkurang.
Masalah utama kita dewasa ini adalah bagaimanakah caranya agar tidak terjadi kesenj angan antara norma-norma yang terdapat dalam tatahukum positif dengan kenyataan sehari-hari, terutama dalam peri-kehidupan administratif. Efektivitas dan efisiensi yang dikejar oleh pihak Ilmu Administrasi memang diperlukan. Akan tetapi bagaimana caranya agar aspek ketertiban dan kepastian hukum serta rasa keadilan yang merupakan pokok perhatian Ilmu Hukum (Administrasi) juga terpenuhi. Tugas hukum bukanlah hanya untuk memberi legitimasi formal bagi perilaku politik ataupun administrasi, melainkan terlebih-lebih untuk menyelenggarakan ketertiban serta kepastian hukum itu. Hal ini berguna untuk menghindari masalah penyalah-gunaan wewenang ataupun willekeur yang secara potensial dapat dilakukan oleh baik Penyelenggara Negara maupun warga masyarakat pada umumnya.
Perlu ditekankan bahwa kemerdekaan administras i berarti bahwa Penyelenggara Negara dapat mencari kaidah-kaidah baru dalam lingkungan undang-undang atau sesuai dengan jiwa undang-undang, dan bukannya justru sebagai legitimasi untuk bertindak secara
14
•
yang bertentangan dengan undang-undang itu s e n d i r i . Sebaliknya, fasili t a s-fasilitas (publik) yang diperoleh warga masyarakat itu mengandung tanggung jawab eosial bagi si penerimanya. Hal ini mengingat bahwa fasilitas tersebut ia peroleh dari masyarakat umum, yang diwakili oleh pejabat yang terkait. Sehingga dengan demikian nilai lebih yang dihasilkan harus pula kembali ke masyarakat umum itu. Tugas sosial warga masyarakat dengan demikian tidak hanya sekedar membayar pa jak, melainkan juga ikut berpartisipasi aktif dalam menyelenggarakan Tu juan Nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk selan jutnya, perlu pula diusahakan agar jangan sampai pihak yang seharusnya dikontrol, justru mengontrol pihak yang seharusnya mengontrolnya. Apabila hal ini terjadi, kepastian hukum serta tertib administrasi itu sendiri akan men jadi kehilangan makna.
Dalam rangka itu, pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang hubungan Penyelenggara Negara dengan Warganegara (yaitu pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945) perlu diberi perhatian lebih serta makna yang baru. Tanggung jawab penyelenggaraan isi pasal-pasal tersebut kini tidak lagi sekedar tugas Penyelenggara Negara, melainkan juga kewa jiban segenap lapisan warga masyarakat.
Pada gilirannya, pola pembagian hukum privat-hukum publik dengan demikian men jadi tampak semakin tidak relevan lagi. Sebenarnya, sejak awal dirumuskannya Undang-Undang Dasar 1945 pola ini telah tidak relevan lagi. Undang-Undang Dasar kita itu bertumpu pada sistem negara hukum modern, yang tidak lagi mengenal pemisahan Penyelenggara Negara dan Masyarakat seperti yang terurai di atas. Fungsi publik dalam masyarakat tidak sama sekali terpisah dari fungsi privatnya.
15
Selanjutnya pihak Penyelenggara Negara di samping harus menyelenggarakan peri-keadilan sosial di dalam negeri dewasa ini juga dituntut untuk berperan membela kepentingan warganegaranya di fqrum internasional tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi dan perdagangan internasional. Hal ini erat kaitannya dengan globalisasi ekonomi serta mencuatnya pertentangan kepentingan Utara-Selatan yang mulai dominan.
Secara intern organisatoris, masalah birokrasi dan network kiranya juga telah perlu untuk dikaji secara lebih mendalam. Tidak semua aspek organisasi harus di-debirokrat is as i, memang. Akan tetapi penanganan proyek-proy�k pemban gunan rupanya juga telah mulai menerapkan pola network ini.
Hadirin yang terhormat,
Mengingat uraian di atas, maka wajarlah apabila Ilmu Hukum tidak lagi dapat dikotak-kotakkan seperti yang selama ini dipahami oleh masyarakat luas. Hal ini mengingat bahwa garis-garis pemisah antar bidang Ilmu Huku,m itu sendiri kini menjadi amat kabur.
Erat kaitannya dengan perkembangan sosial yang amat cepat itu, hukum seringkali dinilai terlalu lamban dan senantiasa ketinggalan kereta. Untuk itu, apakah tidak sebaiknya kalau secara metodologia, kita mulai menaruh perhatian pada metoda-rnetoda yang dikembangkan oleh para Futurolog?
Pada prinsipnya, para futurolog itu bukanlah para ahli yang rnencoba untuk menggarnb arkan bagaimana kira-kira keadaan rnasa depan. Tugas mereka sebenarnya lebih rnerupakan usaha mengidentifikasi alternatifalternatif yang kiranya mungkin terjadi di maaa mendatang serta masuk akal tentang pelbagai hal. Untuk kemudian disodorkan kepada pembuat keputusan untuk dipilih alternatif yang dianggap terbaik guna dilakaanakan.
16
Dalam rangka itu Theodore J. Gordon dalam tuliaannya yang berjudul The Current Methods of Futures Research (Toffler, 1972) menguraikan sejumlah metoda yang selama ini dipergunakan dalam penelitian tentang maaa depan. Terdapat paling tidak lima metoda, yaitu:
a. Ramalan Jitu (Genius Forecasting) :
metoda ini terutama mengandalkan pada faktor keberuntungan dan ilham ditambah dengan pengalaman sang peramal. Metoda ini lebih banyak kegagalannya daripada keberhaailannya.
b. Prakiraan Kecenderungan (Trend
Extrapolation) : metoda ini mendasarkan diri pada suatu aaumsi bahwa ae jarah masa kini akan tetap berlangsung di masa yang akan datang.
c. Metoda Konsensua (Consensus Meth
ods) : metoda ini mengandalkan pada sinteaa pelbagai pandangan dari para ahli tentang masa _depan. Adapun yang dimakaud dengan 'ahli' (expert) di sini adalah seseorang
yang biasanya secara tepat (cor
rect) menentukan tentang bagaimana kira-kira alhasil dari auatu periatiwa yang serba kurang pasti.
d. Metoda Simulasi (Simulation Meth
ods) : metoda ini mempunyai beberapa variaai. Variasi yang biasa dipergunakan adalah Analogi Matematika (Mathematical Analogs) dan Analogi Permainan (Game Analogs) . Dalam Analogi Matematika, situasi soaial d iubah men jadi se jumlah fungsi
17
persamaan untuk kemudian disusun prediksi-prediksi berdasarkan hubungan matematis.
e. Metoda Matriks Dampak Silang (Cross-Impact Matrix Methods):
Metoda ini yang dewasa ini banyak berkembang. Metoda ini merupakan suatu pendekatan eksperimental yang mencoba menentukan kemungkinan dari masing-masing unsur yang ada dalam seperangkat ramalan (a forecasted
set) dalam hubungannya dengan interaksi potensial dari masing-masing �nsur yang ada dalam ramalan itu pada masa yang akan datang. Dengan demikian fokus utama metoda ini adal•h bahwa suatu peristiwa atau perkembangan tertentu itu seringkali mempunyai hubungan ataupun berkaitan erat dengan peristiwa atau perkembangan yang lain.
Sementara itu John Naisbitt (1982) menggunakan suatu metoda yang ia sebut Content Analysis. Metoda ini kurang lebih sama seperti metoda Trend Extrapolation tersebut di atas. Akan tetapi ia lebih mengandalkan diri pada usaha memonitor isi mass-media, khususnya harian. Selanjutnya, dalam edisi keduanya (1990) rupanya ia juga menggunakan metoda Konsensus, dengan mengundang sejumlah rekannya di rumahnya di Telluride, Colorado, Amerika Serikat.
Akhirnya sebagai penutup ada sedikit kerisauan dalam diri saya, setiap kali mendengar atau membaca ' ... sarjana siap pakai ... ' Apakah misi suatu Universitas, khususnya Fakultas itu adalah untuk menyiapkan barisan jongos dan tukang serta kuli bagi mereka yang telah mapan? Apakah tidak sebaiknya kita menyiapkan para mahasiswa itu menjadi 'sarjana yang siap untuk berkarya' dengan
18
kepribadian yang mandiri? Hal ini tentu lebih sesuai dengan makna Kemerdekaan Bangs a Indonesia yang lepas dari perbudakan kolonial.
Bandung, 15 September 1992
19
Daftar Pustaka
Alvin Toffler (ed. ), 1972 The Futurists, New York: Random House
Alvin Toffler, 1970 Future Shock, London: Pan Books Ltd.
1981 The Third W ave, London: Pan Books Ltd. , second edition
1990 Powershift: Knowledge, Wealth and Violence at the Edge of the 21th century, London: Pan Books Ltd.
Amrah Muslimin, 1980 Beberapa Azas-Azas dan PengertianPengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung: Alumni
Clive Day, 1972 The Policy and Administrative of the Dutch in Java, Kuala Lumpur: Oxford University Press
Franz Magnis-suseno, 1987 Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia
Indonesia, Lembaga Administrasi Negara, 1992 Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, jilid I, Jakarta: CV Haji Masagung, cet. keempat
1991 Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, jilid I I, Jakarta: CV Haji Masagung, cet. ketiga
Jean Blonde!, 1982 The Organization of Governments: A Comparative Analysis of Governmental Structure, London: Sage Publications
20
Joa Holland � Pater Hanriot, 1986 Analisis Sosial & Refleksi Teologis: Kaitan Iman dan Keadilan, Ypgyakarta: Kanisius
John Naisbitt, 1982 Hegatrends: Ten Directions Transforming Our Lives, New York: Warner Books, Inc.
John Naisbitt & Patricia Aburdene, 1990 Hegatrend 2000, Jakarta: Binarupa Aksara
Koentjoro Poerbopranoto, 1981 Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, cet. 4
Koerniatmanto Soetoprawiro, 1989 Perbandingan Sistem Ketatanegaraan a ntara Rep ublik Indonesia dengan Hindia Belanda, tesis pada Fakultas Pascasarjana Universitas Pad jadjaran, Bandung
Michael P. Barber, 1975 Public Administration, London: The English Language Book Society
Mochtar Kusumaatmadja, 1975 Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjad jaran
T. T. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: L embaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Muhammad Yamin, 1971 Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, d jilid pertama, T. T. : T. P, cet. kedua
Philipus M. Hadjon (et.al.), 1989 Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Utrecht: T. P.
21
Prajudi Atmosudirdjo, 198 1 Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. keempat
Sarwono Kusumaatmadja, 1987 Perjalanan, Tantangan dan Kemungkinan, Rangkuman Sarasehan Menyongsong Lima Windu Kemerdekaan Indonesia, Jakarta
Sudargo Gautama, 197 3 Pe m i k i ran tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, cet. kedua
Swnitro Djojobadikuswno, 1991 Perkembanga.n Pemikiran Ekonomi, Buku I: Dasar Teori dalam Ekonomi Umum,. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sunaryati Hartono, 1988 Perubahan Kurikulum Fakultas Hukum dalam Masy arakat y a ng Me m bangun secara Berencana, Bandung: Pusat Studi Hukum Universitas Katolik Parahyangan, cet. ke-4
199 1 Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum, Bandung: Universitas Padjadjaran
Utrecht, E. , 1960 Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung: T.P., cet. keempat
William Ebenstein, 1980 'Welfare State ', Encyclopedia Ameri-cana, vol. 28, hal. 606- 607
William H. Harbold, 198 3 'Welfare State', Grolier Academic Encyclopedia, vol. 20, hal. 97-98
William A. Robson, 197 6 Welfare State and Welfare Society : Illusion and Reality, London: George Allen & Unwin
****************
2