Resolusi Dies Natalis 48

24
resolusi 1 RESOLUSI buletin

description

Sebuah ajang menjalin silahturahmi dan pertemanan wacana, gagasan dan kerjasama dalam rangka hidup dan menghidupi UNJ.

Transcript of Resolusi Dies Natalis 48

resolusi1

RESOLUSIbul

etin

resolusi 2

salamEmpat puluh delapan tahun perjalanan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) meno-rehkan banyak guratan dalam sejarahnya. Sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), tentunya banyak guru yang dihasilkan. Selain itu, sedikit beromantisme, satu-satunya kampus negeri yang berdiri di ibukota ini, juga banyak menelurkan gagasan yang kemudian dilanjut-kan menjadi kebijakan pendidikan nasional.

LPTK yang sudah berdiri sejak tahun 1964 ini, mencapai tingkat sempurna dalam metamorfosis bentuknya. Mulai dari sebuah institut yang membidangi ilmu-ilmu kependid-ikan hingga menjadi sebuah universitas, yang menaungi beragam disiplin ilmu di luar kependidikan. Akan tetapi, perluasan mandat yang diterima oleh IKIP Jakarta pada tahun 1999, ternyata berimbas pada ketiadaan orientasi bagi institusi ini.

IKIP Jakarta yang kemudian berganti nama menjadi UNJ, tidak lagi memproduksi gagasan yang berpengaruh dalam dunia pendidikan nasional. Proses pembelajaran hanya menghasilkan insan-insan yang berkemampuan mereproduksi pengetahuan. Institusi ini, mandul gagasan pendidikan. Begitu pula dengan disiplin ilmu di luar kependidikan. Hingga belasan tahun kelahirannya, belum ada hasil penelitian maupun prestasi yang bisa menjadi ukuran keberhasilan. Jadi tidak berlebihan untuk dikata-kan, institusi ini tidak memiliki arah jelas yang akan dituju setelah konversinya.

Salah satu faktor yang menyebabkan miskinnya gagasan dari para civitas academica adalah melemahnya budaya akademik. Mahasiswa UNJ kini dilenakan dengan berbagai aktivitasnya di dalam ruang kelas. Sibuk dengan begitu banyak tugas, juga tertekan dengan pembatasan masa studi yang diberlakukan kampus. Imbasnya, tidak ada lagi keinginan untuk menggaungkan budaya baca, tulis, dan diskusi. Karakter psikis bawaan yang tumbuh adalah bagaimana bisa menyelesaikan studi dalam waktu yang singkat, tanpa harus menghidupkan kampus dengan budaya akademik.

usir evolsalam

salamsalamsalam

salamsalamsalam

salam salamsalam

salamsalamsalam

salam

Melemahnya budaya akademik nyata juga memarjinalkan dan mengalienasi mahasiswa dari lingkungan sosialnya. Segelintir mahasiswa saja yang paham bahwa di akhir tahun 2011 lalu, dua pejabat kampus terlibat kasus korupsi. Pembantu Rektor III dan seorang dosen Jurusan Teknik Sipil disahkan sebagai tersangka penggelembungan anggaran proyek pengadaan laptop dan sarana penunjang laboratorium. Tentunya, adanya kasus ini menjadi hal yang me-malukan bagi universitas. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menutupi kebenaran. Terlebih lagi, mem-bahas soal korupsi bukan hanya bicara moral. Akan tetapi ada pola kerja dan kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya penggelembungan dana proyek tersebut.

Munculnya kasus korupsi juga tidak bisa dilepaskan dengan sistem PK-BLU (Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum) yang sudah sejak tahun 2009 diberlakukan di UNJ. Titik tekan dalam kebijakan ini adalah pemberlakuan otonomi kampus. Otonomi yang dilakukan, sangat riskan terhadap munculnya oligarki kekuasaan dalam tubuh rektor. Khususnya dalam kasus ini, Bedjo Sujanto yang dikabar-kan ada “main” dengan pihak

resolusi3

perusahaan yang menangani proyek, bisa leluasa mengatur pembagian jabatan di bawahnya dengan berbagai resiko.

Otonomi yang dilakukan kampus, adalah otonomi dalam pengelolaan keuangan. Dengan disahkan serta dilaksanakannya PK-BLU di kampus pendidi-kan ini, maka tidak heran jika pada tahun 2011, biaya kuliah naik sekitar 60% dari tahun sebelumnya. Bahkan, sejum-lah 217 mahasiswa baru UNJ 2011 yang sudah dinyatakan diterima, harus hengkang karena tidak mampu melunasi biaya kuliah, dan pihak kampus angkat tangan menyikapinya. Kewenangan yang diberikan pemerintah kepada universitas untuk mencari dana sendiri dalam pembiayaan kegiatannya, sungguh merupakan bentuk nyata dari swastanisasi pergu-ruan tinggi negeri.

Rasionalisasi yang digunakan dalam kenaikan biaya kuliah adalah sehubungan dengan pembangunan fisik yang sedang gencar dilakukan oleh kampus. Gedung megah dan tinggi yang jadi prioritas utama kampus jelas-jelas tidak berpihak pada mahasiswa penyandang

ketunaan. Berbagai usulan serta protes sudah dilancarkan oleh mahasiswa. Hingga di tahun 2011, mahasiswa dari berbagai jurusan membentuk sebuah aliansi yang berkonsentrasi memperjuangkan soal-soal ak-sesibilitas.

Beragam ketidak beresan yang terjadi di UNJ ini mungkin akan sampai pada titik nadir jika tidak ada perubahan dan perbaikan. Untuk itu, mahasiswa sebagai stake holder harus segera turun tangan untuk melawan kondisi ini. Dengan melakukan aksi pemogokan, mungkin para pemangku kebijakan kampus baru bisa sadar atas segala yang mencerabut mahasiswa dari akar-akar kemanusiaannya ini.

Tulisan-tulisan dalam buletin ini hadir bukan sebagai aksi peny-erangan atau menjadi sekedar alternatif dalam memeriahkan rangkaian acara ulang tahun UNJ yang ke-48. Terlebih kami hadir dari berbagai elemen mahasiswa. Momen perayaan 48 tahun ini harus bisa merefleksi kondisi nyata kampus. Serta sesegera mungkin melakukan perubahan untuk pendidikan, yang sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat.

RESOLUSI

crewPEMIMPIN REDAKSIKurnia Yunita Rahayu

EDITORSari Wijaya

LAYOUTERFerika Lukmana Sari

KONTRIBUTORAnggar SeptiadiYusuf BudiAde Ardabilly Tri Cahyadi ArifHarris MalikusLutfhy Mafrizal Putra

buletin ini diterbitkan oleh beberapa mahasiswa sivitas akademika UNJ yang be-rasal dari berbagai organisasi maupun perorangan.

Melalui Buletin ini kami ingin menjalin silahturahmi dan pertemanan wacana, gaga-san dan kerjasama dalam rangka hidup dan meng-hidupi UNJ. hubungi kami

{[email protected]}{089635623762}

resolusi 4

Kejahatan bukan hanya terjadi ka-rena ada niat si pelaku,

tetapi karena ada kesempa-tan. Bahkan, seorang tanpa niat berbuat jahat pun akan menjadi penjahat bila kesem-patan itu bersifat represif.

Karena, niat jahat bukanlah sebuah kejahatan, maka malaikat pencatat kejahatan juga belum bergegas men-catatnya dalam buku catatan.

Ya, kejahatan harus dinilai dari tindakan, bukan dari niat yang bersifat abstrak!

Tentang niat-sesuatu yang tidak konkret-memang harus dikesampingkan dalam melihat sebuah kejahatan. Pihak yang berwenang tentu tak akan meringkus pelaku kejahatan hanya karena dia mempunyai niat jahat tanpa bertindak jahat. Kejahatan bisa berupa apapun yang merugikan dalam tingkat mikro, meso, maupun makro.

Mulai dari berbohong, korupsi, hingga menghilang nyawa sese-orang.

Kejahatan ada dima-na-mana, dari lubang kloset hingga ruang nyaman Pembantu Rektor bidang kemahasiswaan UNJ, tempat Fakhrudin Arbah biasa melakukan tugas-tu-gasnya sebagai pejabat UNJ.

Korupsiohh...

Korupsioleh Anggar Septiadi (LPM Didaktika)

resolusi5

Namun, belakangan ruang tersebut jadi tidak nyaman buat Fakhrudin saat awal Desember di beberapa media namanya mulai muncul seba-gai tersangka kasus korupsi pengadaan laptop beserta peralatan dan penunjang laboratorium UNJ.

Lewat surat perintah peny-idikan bernomor 161/F.2/Fd.1/11/2011, dan 162 /F.2/Fd.1/11/2011, tang-gal 29 November 2011, Fakhrudin dijerat pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Kasus ini mengalir dengan adanya penggelembungan harga peralatan yang seba-gian spesifikasi barangnya tidak sesuai dengan data tercantum di dalam kontrak pengadaannya. Proyek yang dilaksanakan pada tahun APBN (Anggaran Penda-patan dan Belanja Negara) 2010 ini secara keseluruhan bernilai Rp 17 miliar dengan kerugian negara mencapai Rp.5 Milliar.

Fakhrudin yang dalam kasus tersebut punya peran sebagai pejabat pembuat komitmen sebenarnya tidak sendirian dijadikan tersangka. Ada juga Tri Mulyono yang berposisi sebagai ketua panitia lelang. Saya sebagai pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa kenal betul Fakhrudin. Saya juga tak habis pikir kenapa dia bisa ditetapkan menjadi tersangka korupsi yang kini

KorupsiKorupsi

se-

dang diper-iksa oleh Kejaksaan Agung.

Tapi sekali lagi, kejahatan bukan tentang sifat baik atau, buruk person-al. Kejahatan adalah tentang bagaimana ia melakukan kejahatan itu. Satu waktu saya sempat punya kes-empatan mendengar langsung Fakhrudin menanggapi sta-tusnya sebagai tersangka korupsi. Katanya, sebenarnya ia tidak mengerti apa-pun tentang proses lelang tersebut. Pun dalam proses penyusunan anggaran, kerja proyek, ia benar hanya seba-gai penandatangan, karena menurutnya ia tidak tahu bagaimana sebuah proyek semestinya berjalan.

Lantas menagap ia mau jadi pejabat pembuat komitmen? Begini ceritanya, pengadaan alat laboratorium adalah dana tahunan yang diberikan dikti kepada semua uni-versitas guna mendukung kegiatan akademik. Nah, kasus tersebut sebenarnya telah bermulai pada awal 2010. saat itu UNJ baru saja

men-tahtakan

Bedjo Sudjanto sebagai rektor untuk periode 2009-2014.

Biasanya, urusan menjadi penaggung jawab proyek adalah tanggung jawab Pembantu Rektor Bidang Keuangan. Namun, kala itu, Syarifudin sebagai Pembantu Rektor Bidang Keuangan ingin digantikan Suryadi maka Syarifudin tidak ditun-juk sebagi pejabat pembuat komitmen. Suryadi pun tidak bisa ditunjuk, karena saat itu-penetapan proyek-masih menjabat sebagai kepala Biro Administrasi Perenca-naan dan Sistem Informasi (BAPSI). Suryadi tidak bisa ditunjuk karena bukan kalangan pejabat universitas, ia hanya Kepala Biro.

Jangan Kabur lu, setan!

resolusi 6

Kemudian pilihan jatuh kepada Fakhrudin. Fakhrudin awalnya tidak menyangka dirinya terpilih, karena dia sendiri memang men-gakui bahwa dia tidak mengerti sama sekali perihal mekanisme, pola kerja tender-tender proyek yang dilakukan UNJ. Sebenarnya, Fakhrudin selama menjabat sebagai Pembantu Rektor sering dita-wari menjadi Penanggung Jawab, namun ia menolak dan baru kali ini saja ia menyetujui. Entah atas dasar apa, ia enggan menyebut-kan.

Bedjo sendiri mengakui menjatuhkan pilihan ke fakhrudin karena kenal betul dengan Fakhrudin. Menurut Bedjo, Fakhrudin sosok yang jujur dan tidak suka macam-macam. Walaupun sebenarnya Bedjo paham betul bahwa Fakhrudin tidak mengerti tentang tetek bengek urusan proyek. Dalam proses tender tersebut Fakhrudin juga tidak terlalu banyak ikut campur. Ia bercerita bahwa, ia Cuma punya andil dalam persetujuan saja, tentang perumusan anggaran, penetapan barang ada tim lain yang menurut Fakhrudin, ia tak ikut campur tangan.

Menarik melihat prahara korupsi di UNJ. pertama, penunjukkan Fakhrudin sebagai pejabat pembuat komitmen adalah sebuah blunder yang dilakukan universitas. Kapasitas Fakhrudin tak mumpuni buat urusan macam itu. Kepercayaan saja tidak cukup. Kedua, bila menilik lebih jauh pada pengelolaan universitas yang sudah ber-Badan Layanan Umum, UNJ jelas tidak siap. BLU yang punya semangat otonom mengharuskan universitas mengkoordi-nasikan kehidupannya dengan baik. Namun, dengan keterpilihan Fakhrudin UNJ jadi terlihat bodoh. Bodoh karena dengan BLU, proyek-proyek akan terus berdatangan, sementara UNJ tidak punya konsep jelas bagaimana menangani sebuah proyek.

for your information

Proyek Pengadaan Alat Laboratorium dan Laptop adalah Pertama kalinya Fakhrudin dijadikan Pejabat Pembuat Komitmen

UNJ hanya memiliki 37 orang yang telah bersertifikat untuk melaksanakan dan melakukan tender proyek-proyek yang ada di UNJ, dan Fakhrudin tidak termasuk

Mindo Rosalina Manulang pernah bertemu Rektor UNJ Bedjo Sujanto pada 2010 untuk membicarakan proyek pengadaan alat laboratorium (Koran Tempo, 15/2 2012)

resolusi7

““

“Ketiga, dengan BLU, UNJ punya kewajiban untuk hidup mandiri, mengurangi ketergantungannya terhadap pemerintah. Maka para pem-impin punya tanggung jawab penuh atas hidup universitas. Nah, dalam tingkat tertentu, otonomi bisa berbuah oligar-ki kekuasaan dimana rektor sebagai pimpinan tertinggi universitas dan tanpa adanya pengawasan yang kuat dari pihak luar. Makanya, bukan sebuah kesalahan bila kita sebut Fakhrudin adalah

‘korban’ oligarki Kekuasaan, karena ia benar tidak disodor opsi untuk menolak kepu-tusan rektor sebagai pejabat penanggung jawab proyek. Fakhrudin korban otonomi universitas.

Pada dasarnya, Otonomi memang membuka lebar keran buat hal-hal macam korupsi. Karena dengan otonomi, khususnya BLU memang uang-uang yang dihimpun tidak masuk ke negara sebagaimana dahulu, dan dikeluarkan sebagaimana

kebutuhan universitas. Na-mun semua dana berhenti di rekening rektor.

Fakhrudin Cuma salah satu dari ketidakberesan otonomi universitas, dan UNJ. Berun-tung kasus Nazarrudin yang jadi hulu korupsi UNJ ter-ungkap. Kita patut berterima kasih kepada Nazarrudin, paling tidak buat memberi-kan petunjuk bahwa UNJ punya pengelolaan universi-tas yang bobrok!

Sejak menjabat menjadi Pembantu Rektor, saya sering diminta untuk menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tapi saya selalu

menolak. sekarang saya juga tidak tahu mengapa saya mau, saya mengiyakan saja.

(Fakhrudin Arbah)

Kejahatan ada bukan hanya karena niat pelaku, tapi karena ada kesempatan, maka waspadalah!!!

(Bang Napi)

resolusi 8

Sampai saat ini, dalam kenyataan-nya, negara tak pernah men-jalankan secara

konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini jus-tru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara per-

MATI MATI MATISATU SATU SATUTUMBUH TUMBUH TUMBUH

BENALU BENALU BENALUlahan dikomersialkan. Orde Baru merupakan gerbang awal dari kesemerawutan masalah pendidikan di negeri ini.

Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, ter-masuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah

justru tak pernah serius memperhatikan persoalan ini. Bahkan segala keputusan serta tindakan yang diambil oleh pemerintah terkesan normatif dan ala kadarnya. Pemerintah Orde Baru justru lebih membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta.

Dengan pembenaran kesu-litan semacam inilah, pintu

1oleh Yusuf Budi dan Ade Ardabilly-Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA)

resolusi9

untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap po-tensi pasar yang ada. Berdi-rilah kampus-kampus yang kini semakin jelas terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang.

Pada akhir-akhir masa Orde Baru kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan yang katanya harmonis antara dunia Industri dan

Pendidikan. Tujuan dari model pendidikan sep-erti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkem-bangan teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan-nya.

Walaupun “Link and Match” belum sempat diterap-

kan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya pengaruh perusahaan-perusahaan be-sar ke dalam sistem pendidi-kan Indonesia.

Pemerintah begitu berse-mangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalan-kan konsep ini, atau yang sering disebut Pendidikan Sistem Ganda. Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri

justru membuka kesadaran bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus dapat dijadikan la-han bisnis yang cukup besar.

Hasil akhir dari sistem pen-didikan yang dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah

mimpi buruk. Penyebaran kualitas pendidikan pun sangat menyedihkan.

Intervensi komersialisasi jus-tru menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan mem-bengkaknya iuran pendidi-kan yang harus dibayar orang tua akibat adanya penguti-pan oleh birokrasi kampus. Pemerintah yang cuci tangan

dari kewajibannya dan pem-bukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari am-buradulnya hasil pendidikan Orde Baru.

Belum lama ini konsep otonomi kampus dengan apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis kampus berlaku dibeberapa kampus negeri, dan salah satunya

resolusi 10

kampus kita UNJ. Dalam pemberlakuan konsep otonomi kampus, kam-pus bertanggung jawab atas keuangan, kegiatan atau program, sarana-prasarana, dan komponen-komponen penunjang pendidikan lainnya. Kampuslah yang merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol dirinya dalam melakukan pembangunan diri ataupun pendidikan bagi para mahasiswa/i nya. Dan hal ini yang terjadi hari ini di UNJ, dimana “keleluasaan” dijalankan.

Otonomi kampus dengan konsep manajemen berbasis kampus menjadi upaya cuci tangan pemerintahan dari tanggung jawab membenahi segala macam kerusakan yang telah terjadi dalam sistem pendidikan yang terjadi di Indonesia. Jangan pernah tertipu oleh jumlah uang yang dianggarkan untuk pendidikan, tapi perhatikanlah persentasinya dari total anggaran. Jika alokasi anggarannya tetap rendah, maka justru otonomi pendidikan justru akan menyengsarakan. Karena otonomi pendidikan juga berarti menyerahkan tanggung jawab penyediaan dana kepada kampus, dan yang paling mudah untuk mendapatkan dana adalah menaikkan bayaran.

Menaikan biaya menjadi suatu hal yang dianggap wajar-wajar saja. Ber-bagai pembangunan yang dilakukan di UNJ dijadikan dalil utama untuk merasionalisasikan menaikan biaya kuliah. Protes yang dilakukan oleh

mahasiswa tidak digubris, bahkan protes yang dilakukan oleh para mahasiswa dianggap tidak rasional karena ini semua demi

kemajuan kampus katanya. Padahal sejak lama UNJ dikenal dengan nama kampus rakyat karena, biaya untuk berkuliah di UNJ tidaklah terlalu

berat seperti dikampus lainnya.

Seperti yang pernah diungkapkan di atas, masuknya intervensi industri ke dalam kampus telah mencipta-kan basis bisnis baru, berbagai jenis riset dan seba-gainya. Awalnya, ladang bisnis ini dijalankan secara diam-diam ataupun bahkan diselimuti oleh insti-tusi-institusi penelitian kampus untuk membiayai berbagai macam kegiatan akademik. Yang diguna-kan juga fasilitas-fasilitas kampus. Di negara-negara maju hal ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah.

resolusi11

Apalagi hampir kebanyakan tenaga pengajar yang dinilai terbaik oleh kampus-kampus Indonesia dididik di negara-negara tersebut.

Namun lama kelamaan, ia menjadi lahan bisnis yang menguntungkan, terutama untuk beberapa kalangan di dalam kampus yang dekat dengan fasilitas penelitian dan pengembangan kampus. Dan pihak birokrasi kam-puspun mulai melihat riset IPTEK sebagai lahan bisnis yang dapat memberikan pemasukkan untuk anggaran kampus, ataupun anggaran pribadi jika person-person-nya terlibat KKN. Beberapa waktu lalu terjadi sebuah peristiwa yang menggempar-kan UNJ. Peristiwa itu ialah, korupsi yang dilakukan oleh Pembantu Rektor III dan seorang Kajur dari salah satu fakultas di UNJ. Ini men-jadi tanda bahwa otonomi kampus membuat birokrasi menjadi gelap dan tidak tersentuh publik. Sehingga, hal demikian dapat dengan mudah terjadi tanpa diketa-hui oleh khalayak umum.

Dunia bisnis dengan dunia kampus memiliki perbedaan yang mendasar. Tentu sebuah kesalahan jika UNJ yang notabene merupakan kampus penghasil guru namun di didik menjadi seorang enterpreneur. Jika

dunia kampus adalah ber-tugas melayani masyarakat, dunia bisnis memiliki hanya satu kepentingan: memper-kaya para pemegang saham. Apa jadinya jika fasilitas penelitian di kampus-kampus lebih banyak dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan kom-ersil. Semua pusat perhatian penelitian di kampus akan lebih banyak tercurah kepada kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bukan mayoritas masyarakat.

Otonomi kampus se-harusnya dapat menjadikan kampus maju dan berkem-bang. Terutama UNJ yang tergabung LPTK yang merupakan penghasil tenaga pendidik. Otonomi kampus bukan berarti menjadikan birokrasi kampus yang dapat seenaknya dalam meng-gambil kebijakan. Kampus harus mampu mengoptimal-kan segala apa yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan keuangan dan semacamnya. Agar mahasiswanya tidak menjadi sapi perahan dalam pencarian dana. Birokrasi yang terlihat gelap dimata mahasiswa, seharusnya dapat membuka diri tanpa ada yang ditutup-tutupi. Oto-nomi kampus yang menjaga sifat otoritariannya malah akan menimbulkan kasus baru seperti yang belakangan terjadi. Korupsi.

resolusi 12

Sungguh mem-banggakan dapat merasakan duduk dibangku kuliahan di Universitas

terkemuka di Indonesia yang berada ibu kota, yakni Universitas Negeri Jakarta. Selain kebanggaan masuk di Universitas Negeri Jakarta, alangkah kurangnyabila kita tak dapat berkontri-busi didalamnya agar dapat membanggakan diri kita dan juga universitas bangga den-

gan kita melalui kontribusi positif yang membangun menjadi kampus yang lebih baik dari sebelumnya.

Apa lagi yang dirasakan oleh teman kita yang memi-liki hambatan (disabilitas) dapat merasakan apa yang kita rasakan tanpa adanya diskriminasi didalamnya. Se-mua orang ingin merasakan kenyamanan tanpa adanya hambatan, apalagi teman kita yang sudah memiliki

hambatan ditambah hambat-annya dalam kehidupannya didalam kampus dapatkah kita berfikir dan merasakan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka dapatkan?. Sungguh ironi rasanya ketika sebuah kam-pus yang dimana didalamnya terdapat orang-orang yang memahami tentang kedisa-bilitasan bahkan pakarnya sekalipun.

Universitas Negeri Jakarta

Kampus Yang Tunarunguoleh Tri Cahyadi Arif-Komunitas Peduli Akses Aksesibilitas (Kompak)

resolusi13

yang terdapat Pendidikan yang khusus untuk disa-bilitas tidak dapat berbuat apa – apa untuk menangani disabilitas. Di dalam pem-bangun Universitas Neg-eri Jakarta pun beberapa gedung-gedung yang baru tidak banyak membantu un-tuk disabilitas misalnya tidak adanya guiding block dan au-dio (jalan khusus disabilitas netra (orang yang memiliki hambatan pengelihatan), mapping map dan alat visual

pendukung untuk disabilitas rungu (orang yang memiliki hambatan pendengaran) bahkan Ram/bidang miring untuk mobilitas penyandang disabilitas tubuh (hambatan dalam mobilitas/kursi roda), kalau adapun itu tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan atau undang-undang pen-yandang cacat yang semua itu semestinya kewajiban pemerintah dan birokrat sejak dahulu.

Sedihnya, pembangunan ini seperti hal yang dibangun hanya formalitas atau asal jadi pembuatannya. Walhasil, penyandang disabilitas di Universitas Negeri Jakarta seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Mereka memiliki ke-terbatasan fisik atau mental juga dipersulit dengan aksesi-bilitas terhadap kesempatan dan fasilitas yang minim bahkan tidak ada.

Apakah hak-hak kita sebagai

Kampus Yang Tunarungu

resolusi 14

civitas akademika khususnya para penyandang disa-bilitas itu sebagai bagian dari kehidupan kampus sudah terpenuhi? Darimana asalnya kewajiban tersebut dan sejauh mana kewajiban bi-rokrat kita dalam menjamin aksesibilitas untuk civitas akademika khususnya para penyandang disabilitas?

Menurut Undang-undang Republik Indonesia no 4 tahun 1997, tentang Penyan-dang cacat, Penyandang ca-cat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupa-kan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.

Kita mengenal beberapa jenis “kekurangan” misal hambatan pengelihatan disebut tuna netra (baca: Disabilitas netra), ham-batan mendengar disebut tuna rungu (baca:disabilitas rungu),hambatan berger-ak disebut tuna daksa (baca:disabilitas tubuh) Walaupun mereka memiliki “kekurangan” namun Negara menjamin hak dan kewajiban yang sama bagi mereka, tidak boleh ada halangan, hambatan ataupun upaya penolakan dari masyarakat, lembaga pendidikan, perusa-haan negara, swasta,dan juga pemerintah terhadap mereka. Semua harus mendukung dan memberi akses bagi

Sahrudin Daming SH selaku Komisioner Pendidikan KOMNAS HAM, Bambang Eryudawan dari Institut Arsitek Indonesia (IAI), dan Pembantu Rektor II, Syarifuddin .

Namun, di awal acara PR II mendadak ijin dengan alasan rapat. Padahal, acara pun belum sampai pada acara diskusi utama. Karena alasan seperti itu, beliau tiba-tiba saja meninggalkan tempat acara dan digantikan oleh asistennya. Berlangsungnya

penyandang cacat.

Berdasarkan Resolusi PBB no 47 tahun 1992, ditetap-kanlah Hari Penyandang Cacat Internasional setiap tanggal 3 Desember.Hukum internasional untuk pemberi akses kepada penyandang cacat atau disablitas terdapat dalam Resolusi PBB tanggal 20 Desember 1993,

Salah satu bentuk yang harus dilakukan oleh semua daerah di pelosok dunia (termasuk di Indonesia) adalah mem-berikan aksesibilitas, yaitu lingkungan yang memberi kebebasan dan keamanan yang penuh terhadap semua orang tanpa adanya ham-batan. Aksesibilitas juga ber-guna buat orang lanjut usia, semua orang yang mederita cacat, ibu hamil, anak-anak, orang yang mengangkat be-ban berat, dan sebagainya.

Suara Mahasiswa Tidak Didengar

Pada bulan November 2011 lalu, semua organ yang bergerak dari Ormawa ataupun Opmawa dan organisasi ekstra kampus dengan mengusung nama KOMPAK (komunitas Ma-hasiswa Peduli Aksesibiltas) mengadakan diskusi seputar permasalahan Pembangunan kampus yang di dalamnya menyangkut pula permasala-han aksesibilitas yang tidak diperhatikan pihak kampus. Acara ini menghadirkan Dr.

resolusi15

acara terlihat tidak satu arah tanpa pihak yang bertang-gungjawab atas berlang-sungnya pembangunan di kampus ini. Alhasil, dis-kusi yang terbangun hanya menjabarkan bagaimana seharusnya pembangunan kampus terjadi dan pihak-pihak yang harus diperha-tikan dari pembangunan kampus (dalam hal ini para disable).

Permasalahan ini pun sudah terus disosialisasikan kepada pihak kampus dan seluruh

mahasiswa. Akan tetapi, tetap saja permasalahan pembangunan ini tidak diin-dahkan pihak kampus sam-pai hari ini. Sebagai refleksi akhir tahun, seharusnya kampus mampu menden-gar suara mahasiswa karena segala macam pendapat yang dikeluarkan bukan untuk menjatuhkan citra kampus tetapi sebagai kritikan yang membangun demi kema-slahtan bersama.

resolusi 16

MOGOKPemogokan merupakan senjata ampuh untuk keluar dari penindasan.

MOGOKMOGOKMOGOKMOGOK

oleh Harris Malikus (Lembaga Pers Transformasi)

resolusi17

Tong kosong nyar-ing bunyinya, mungkin jadi ungkapan yang pas untuk meng-

gambarkan ragam gumam mahasiswa usai berkuliah. Mulai dari protes soal sis-tematika perkuliahan yang tidak sesuai dengan kebutu-han mahasiswa, dosen yang tidak bisa menyampaikan materi kepada mahasiswa, sampai persoalan naiknya biaya kuliah. Ruang-ruang publik tempat mahasiswa rehat sehabis kuliah seperti kantin, jadi saksi bisu ramai gumam itu. Hal seperti ini tidak hanya terjadi di Univer-sitas Negeri Jakarta (UNJ), melainkan hampir di seluruh kampus di Indonesia.

Sejatinya, mahasiswa sadar atas ribuan ketidakberesan dalam ruang tempatnya menimba ilmu. Akan tetapi, mereka bergeming ketika harus berhadapan dengan birokrasi kampus. Pada-hal cukup banyak isu yang harus ditanggapi. Mulai dari kasus BHMN, BHP, BLU, IDB, hingga yang teran-yar soal RUU PT. Cuma ada segelintir mahasiswa yang mau peduli, dengan menggelar beberapa dialog dengan birokrat kampus. Mereka melakukannya, tanpa peduli kenyataan bahwa yang dilakukan tidak membuah

hasil, dalam tataran ekstrim kita bisa menyebutnya, sia-sia.

Mengurai keadaan seperti ini, Noam Chomsky dalam anali-sisnya menjelaskan bahwa, para dosen dan birokrat kampus sudah terkooptasi oleh watak institusi yang tidak peduli lagi pada seki-tarnya. Salah satu contoh nyata, tuntutan transpar-ansi dana yang dituntut oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (BEM FIS) tidak mendapat respon, setidaknya hingga tulisan ini diterbitkan.

Gumam tinggal menjadi gumam. Mahasiswa bagai buruh pabrik yang tidak punya organisasi untuk sam-paikan tuntutan atas upahnya yang minim. Mahasiswa, tidak punya wadah untuk menyampaikan aspirasinya. Hingga mereka sampai pada titik frustasi, kehabisan jalan untuk bernegosiasi.

Mungkin, ada satu bagian dari sejarah yang dilupa oleh mahasiswa. Yaitu ketika ma-hasiswa mengorganisir diri pada tanggal 12 Mei 1998, untuk bersama menorehkan sebuah perubahan dalam sejarah Indonesia. Berita di televisi beberapa hari yang lalu memang ampuh menu-tup ingatan atas peristiwa reformasi. Jatuhnya pesawat

Sukhoi di Gunung Salak jadi bahasan yang lebih menarik.

Seorang kawan dari Universi-tas Hasanuddin yang sedang berpelesir di Jakarta kemu-dian berkomentar, “tidak ada yang mengangkat peringatan 12 Mei, penyerangan maha-siswa oleh aparat.” Memang peristiwa tersebut hari ini hanya menjadi sesuatu yang patut dikenang, diperingati laiknya hari pahlawan dan kesaktian pancasila. Tanpa harus ada aksi nyata untuk perubahan. Dan sekali lagi, mahasiswa cukup dengan kembali bergumam.

Wiji Tukul, seorang ak-tivis buruh yang dtangkap dan tidak ditemui dimana makamnya, berujar, gumam seharusnya disatukan. Untuk menuju sebuah perubahan, gumam tersebut harus dipraksiskan. Mulai dari lingkup terkecil, kampus. Akan tetapi, pihak kampus juga tidak mau kalah represif apabila ada ancaman seperti ini. Berbagai hambatan siap menghadang para mahasiswa yang mau melakukan peru-bahan. Mulai ancaman nilai, hingga pembenaman niat untuk dapat lulus dengan lancar.

Hambatan–hambatan terse-but mungkin hanya sebagain kecil dari permasalahan yang akan dihadapi. Pasalnya,

resolusi 18

persiapan selama dua atau tiga bulan. Karena aksi buruh yang sering tampil di media dan juga dalam catatan sejarah, terlihat dilakukan dengan spontan. Baru-baru ini buruh di dae-rah bekasi–karawang melancarkan aksinya. Mereka menutup jalan tol, yang menjadi akses hilir mudik barang komoditas yang siap dipasok di pasar. Aksi tersebut merupa-kan jawaban mereka atas upah lembur yang tidak dibayar oleh perusahaan, dengan dalih penyusutan anggaran.

Serupa tapi tak sama. Beberapa hal demikian terjadi pula di kampus pendidikan. Pertama, mahasiswa kehilangan fasilitas sekolah labo-ratorium yang dapat digunakan untuk praktik mengajar. Kedua, harapan adanya kesempa-tan langsung bekerja setelah lulus, kini ting-gal kenangan, karena tidak ada jaminan untuk hal tersebut. Dengan diberlakukannya PPG, bukan cuma lulusan kampus LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan) yang bisa menjadi guru, kesempatan juga terbuka lebar bagi lulusan non-kependidikan. Hal demikian

mahasiswa hari ini sudah terikat dengan kontrak pembatasan masa studi dan jumlah sks yang harus diselesaikan. Sehingga idiom yang sangat membumi pada tahun 1998 ‘tinggalkan buku, tinggalkan kelas’ sudah tidak berlaku lagi.

Gagasan Rossa Luxemburg

Meski berbeda konteks, agaknya gagasan Rossa Luxemburg, seorang peneliti dari Jerman menarik untuk ditilik. Rossa meng-gagas bahwa pemogokan merupakan senjata ampuh untuk keluar dari penindasan. Selain menjadi senjata andalan, lewat pemogokan sebagian buruh dapat mengambil pelajaran dari dikuranginya jam kerja. Sejarah mem-buktikan bahwa pemogokan merupakan sen-jata efektif untuk merealisasikan perubahan, agar ketidaknyamanan tidak hanya menjadi gumaman.

Rossa mengungkapkan di tataran buruh, aksi pemogokan dijalankan dengan persiapan yang matang. Bukan cuma mengandalkan

resolusi19

nyata merupakan pengeleminiran hajat hidup sekian banyak lulusan LPTK.

Ketiga, terbatasnya fasilitas penunjang kegiatan pembelajaran di setiap fakultas dan jurusan. Contohnya, hampir setiap hari ma-hasiswa mengangkat bangku dari satu kelas ke kelas lainnya. Menanggapi hal ini, salah satu penanggung jawab penyedia fasilitas di fakultas malah berseloroh, “pada suka makan bangku kali yah?”

Sebegitu sering hal demikian terjadi. Hingga pada akhirnya menjadi sebuah common sense yang kembali melahirkan gumam. Kalau setiap ingin masuk kelas mahasiswa harus mengangkat bangku untuk kuliah, maka normal saja ketika ia sudah bergelar sarjana, harus menjadi pengangguran atau berkhianat pada nurani dengan menjadi guru di lembaga-lembaga bimbingan belajar.

Tidak ada satu pun aksi nyata untuk menang-gulangi kondisi tersebut. Mahasiswa kini hanya bergumam tak menentu, sehingga

historisitas penindasan yang dialami selama sekian puluh tahun hanya menjadi obrolan gosip. Untuk itu, praksis dalam menentang minimnya fasilitas yang tersedia, serta sekian kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada masyarakat, harus segera dijalankan. Pemogokan sederhana yang belum terlaksana di kampus pendidikan harus segera dimulai.

Tidak ada keterlambatan dalam rumu-san pengorganisiran dan perubahan. Soal pokoknya adalah, kapan sekian banyak kawan yang suka bergumam, dan bergosip mau turun melakukan aktivitas revolusioner. Tanpa harus takut, terhambat lulus dari kam-pus. Tanpa harus khawatir, mendapat nilai ‘E’ dalam KHS.

Kembali mengutip Wiji Tukul, “keberanian itu harus dilatih kawan, kalau tidak kita akan terus ditindas.” Selamat ulang tahun kam-pus pendidikan, semoga akan segera hadir perubahan!

resolusi 20

Ruang akademik:Dalam dan Luar Kelas

Berbicara mengenai budaya akademik dalam suatu universitas, tentunya tidak terikat pada suatu ruang tertentu. Suatu ruang yang

hanya bisa dimasuki oleh orang-orang dengan status tertentu: mahasiswa, kar-yawan, dosen. Namun pembicaraan ini terkait dengan semua relasi yang mungkin terjadi di dalamnya: ada penjual koran, pedaganag asongan, tukang fotokopi, dan lainnya.

Pembicaraan mengenai ruang akade-mik, telah direduksi oleh pihak-pihak tertentu sehingga ruang tersebut meny-empit sebatas pada ruang yang telah disediakan untuk itu: ruang kelas, audiotorium, labolatorium, perpustakaan, dan ruang sidang. Hubungan fisikal yang dimiliki oleh suatu ruang, sebagian be-sar telah kehilangan makana kulturalnya. Ada relasi yang

terbuang.

Hampir setiap orang tua mendambakan anak mereka – setelah lulus sekolah menengah maupun atas – masuk ke dalam universitas. Berbagai harapan muncul dalam benak orang tua maupun anak tersebut: agar mendapat pekerjaan yang layak, mendapat gaji yang besar, atau dengan tulus ingin menjadikan dirinya lebih manusia. Terlepas dari harapan apapun itu, anak itu akan masuk dalam se-buah universitas dengan jurusan tertentu.

Setelah resmi dengan ritual masa orientasi, ruang kelas menjadi ruang pertama dimana mereka bertemu secara langsung dengan

oleh Luthfy Mafrizal Putra (Lembaga Kajian Mahasiswa)

resolusi21

fenomena yang mereka bayangkan sebel-umnya: teman baru, baju tanpa seragam, dosen dengan berbagai sudut pandang. Jadwal kuliah dibagikan dengan penyesuaian sistem kredit per semester. Ada pembagian waktu dimana ada pengharusan memenuhi tatap muka dalam ruang kelas.

Dalam ruang kelas, diharapkan terjdai relasi yang menyenangkan. Ada proses dialektika yang membentuk keingintahuan mahasiswa hingga berbuah nalar kritis. Ada kerinduan yang terjadi ketika meninggalkan ruang kelas.

Namun, dalam realitasnya hal itu tidak selalu berjalan linier. Tidak selamanya terjadi relasi yang dialogis antara dosen dan mahasiswa. Bahkan jarang sekali ada perbincangan yang membicarakan kerinduan dengan kelas. Alternatifnya, mahasiswa mencari-cari ruang baru dimana ia bisa mengaktualisasikan diri.

Ruang lain yang dibentuk dengan teman sepermainan, organisasi, maupun kelompok kecil menjadi pilihan. Ada keinginan untuk mencari ruang dimana celah-celah yang hilang bisa dikembalikan. Ada keinginan untuk mengeluarkan “suara” yang lain. ada keinginan untuk mengembalikan kesengan dengan penghilangan kepenatan.

Arus pembicaraan dalam ruang luar kelas ini begitu deras, begitu luas. Bahkan cenderung tak terduga. Dari pembicaraan remeh temeh terkait permasala-han pribadi hingga perumusan kebudayaan-peradaban.

Sebagian besar dari kita terlalu cepat

menganbil kesimpulan dari suatu pengeta-huan yang masih berupa mozaik. Akhirnya, ruang luar kelas ini menciptakan identitas yang paradok-sal: citra positif dan negatif. Tergan-tung dari sudut mana kita melihat.

Seorang guru besar pun – terkenal den-gan ucapannya yang sering berkata “son-toloyo” – seringkali mereduksi perkumpu-lan ruang luar kelas ini dengan representasi yang ia buat secara terburu-buru: “jangan jadi mahasiswa tikus got”.

Walau tidak dengan riset yang ketat, ada kecenderungan untuk meminimalisir aktivi-tas luar kelas tersebut. Mungkin, ada pihak berkuasa yang merasa “gerah” dengannya. Ke-“gerah”-an ini ditunjukan dengan mem-perkecil gerak ruang kelas tersebut. Bi-rokrasi yang berbelit menutup “komunitas” ini untuk beraktivitas. Subjek di dalamnya “diseret” dengan aktivitas lain yang mengi-kat: bidik misi.

Secara kasar, salah seorang dosen, berkata bahwa pengecilan ruang gerak ini bisa dilihat juga dari sistem kredit perkuliahan. Pengetatan jadwal kuliah terjadi dalam beberapa hari. Ambil contoh begini, sehari seorang mahasiswa menyelesaikan tiga ma-takuliah dengan tiga atau dua sks per mata kuliah. Kemung- kinan jadwal selesai pada sore hari. Keluar dari ke- las, pikiran baru hanya ditu-

resolusi 22

jukan dengan istirahat dan tugas yang menunpuk. Tak ada pikiran terlintas untuk singgah ke ruang luar kelas.

Mari kita ajukan pertanyaan reflektif: ruang mana yang sebenarnya menampung aktivitas dalam budaya akademik? Ruang mana yang sebenarnya dapat dengan bebas menerima suara-suara yang dikekang?

Ruang luar kelas kini tidak dalam kondisi yang sehat: ada subjek yang semakin berkurang, ada aktivitas yang berkurang intensitasnya. Ada ide yang semakin kering. Ada penguasa yang merasa “gerah”.

Ruang dalam budaya akademik, dimanapun itu, se-harusnya dapat menampung aspirasi-aspirasi dari subjek yang menghidupi di dalamn-ya. Raymond Williams, sep-erti yang dikutip oleh Chris Barker, menekankan karakter keseharian kebudayaan seba-gai ‘keseluruhan cara hidup’. Semua aktivitas kebudayaan yang terjadi dalam lingkup universitas. Bukan pada monopoli pada ruang-ruang tertentu yang “kering”.

Perjalanan UNJ, Sebuah Anti-Klimaks

1964

1967

1974

1977

Lewat Keputusan Presiden RI. no 1 tang-gal 3 Januari 1963 ditetapkan integrasi kelembagaan sistem pendidikan guru. Pada 16 Mei 1964 keputusan tersebut berlaku. ini menandakan hari lahirnya IKIP Jakart yang kelak menjadi UNJ

Deliar Noor dilantik menjadi Rektor IKIP Jakarta, sebel-umnya sudah ada dua orang yang menjabat: A. Latif Hen-draningrat, dan Maftuchah yusuf.

5 September Deliar Noor dicopot jabatan-nya sebagai REktor IKIP Jakarta karena berpidato “Partisipasi dalam Pembangu-nan” Pidato tersebut dianggap provokatif dan menganggu kestabilan pemerintahan Orde Baru.

UNJ menciptakan sistem departemental-isasi, namun sistem yang dicetuskan Rektor Winarno ini dianggap ilegal oleh pemerintah Orde Baru, karena tidak berkoordinasi dengan pemerintah yang bersifat sentralistik kala itu.

resolusi23

“”

Perjalanan UNJ, Sebuah Anti-Klimaks

1978 2004

2004

2009

2011

1979

199019911999

2001

menolak kebijakan NKK-BKK, enam rek-tor kala itu berdialog dengan pemerintah, salah satunya IKIP Jakarta.

setelah otonomi diberikan kepada Jurusan, lewat alokasi dana DPPS, PNBP UNJ menin-gkat menjadi 50,7 milliar, yang setahun sebelumnya hanya 35 Milliar

setelah otonomi diberikan kepada Jurusan, lewat alokasi dana DPPS, PNBP UNJ meningkat menjadi 50,7 milliar, yang setahun sebelumnya hanya 35 Milliar. muncul juga UNJ-Berwawasan Wirausaha, Fakultas Ekonomi hadir

Islamic Development Bank mengu-curkan dana bersifat hutang lunak sebesar 24.9 juta dollar untuk mem-bangun gedung-gedung di UNJ, PNBP UNJ mencapai 94 milliar.UNJ resmi berbentuk Badan Lay-anan Umum.

UNJ telah mencetak 1300-an Doktor Pendidikan.terjadi Kenaikan di berbagai sektor: biaya kuliah, wisuda yang melonjak tinggi.

Kenaikan biaya tidak dapat dihindar, ka-rena beban operasional yang terlalu besar

dan ketiadaan sumber pendanaan(Rektor Bedjo Sujanto)

Rektor Winarno dicopot jabatannya oleh Pemerintah Orde Baru, karena dinggap terlalu subversif terhadap pemerintah Orde-Baru, dan anti-Pancasila

IKIP Jakarta mendapatkan penghargaab Central of Excelent, yang didasari pening-katan indikator indeks prestasi mahasiswa, penelitian, dan peminat

Rektor Conny menjadi fasilitator dan mendesak menghentikan kekerasan terha-dap mahasiswa yang dilakukan Militer.

IKIP Jakarta berkonversi menjadi Universitas Negeri Jakarta pada masa Rektor Sudjiarto.

Dengan bajunya yang baru, UNJ makin ber-nafsu untuk hidup. salah satunya keluar S.K. Rektor no. 950 tentang otonomi pembagian anggaran: 10 persen untuk universitas, dan Fakultas, dan 80 % Program Studi/Jurusan

resolusi 24sebagai bagian dari sivitas akademika UNJ, silahkan tulis mengenai hidupmu yang menghidupi UNJ, di lembar ini.