OAINS

34
Obat Anti-inflamasi Nonsteroid: Ikhtisar Risiko Kardiovakuler Abstrak: Sementara aspirin menawarkan perlindungan, obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) lainnya dapat menyebabkan efek samping dan komplikasi kardiovaskuler yang serius. Hal ini menyebabkan pemberian peringatan umum “kotak hitam” untuk efek samping kardiovaskuler yang disebabkan oleh OAINS. Ikhtisar ini mengeksplorasi mekanisme berbeda yang mendasari efek protektif aspirin, OAINS yang berhubungan dengan efek renovaskuler yang menyebabkan hipertensi, edema, dan gagal jantung, efek kardiovaskuler yang menyebabkan infark miokardium dan stroke, dan interaksi gangguan yang mungkin terjadi antara OAINS dan aspirin. Kata Kunci: OAINS; aspirin; penyakit kardiovaskuler 1. Pendahulan Obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan obat yang paling sering diresepkan dalam kedokteran modern. OAINS sangat efektif dalam mengurangi nyeri, demam dan inflamasi, dan jutaan pasien di seluruh dunia telah terbantu sejak ditemukannya komponen “willow bark” yang menenangkan lebih dari 3.500 tahun yang lalu. Lebih lanjut, aspirin, pola dasar golongan OAINS, telah menjadi landasan pencegahan sekunder penyakit kardiovaskuler trombotik. Akan tetapi, penggunaan OAINS berhubungan dengan beberapa efek samping pengobatan

description

oains

Transcript of OAINS

Page 1: OAINS

Obat Anti-inflamasi Nonsteroid: Ikhtisar Risiko Kardiovakuler

Abstrak: Sementara aspirin menawarkan perlindungan, obat anti-inflamasi

nonsteroid (OAINS) lainnya dapat menyebabkan efek samping dan komplikasi

kardiovaskuler yang serius. Hal ini menyebabkan pemberian peringatan umum

“kotak hitam” untuk efek samping kardiovaskuler yang disebabkan oleh OAINS.

Ikhtisar ini mengeksplorasi mekanisme berbeda yang mendasari efek protektif

aspirin, OAINS yang berhubungan dengan efek renovaskuler yang menyebabkan

hipertensi, edema, dan gagal jantung, efek kardiovaskuler yang menyebabkan

infark miokardium dan stroke, dan interaksi gangguan yang mungkin terjadi

antara OAINS dan aspirin.

Kata Kunci: OAINS; aspirin; penyakit kardiovaskuler

1. Pendahulan

Obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan obat yang paling

sering diresepkan dalam kedokteran modern. OAINS sangat efektif dalam

mengurangi nyeri, demam dan inflamasi, dan jutaan pasien di seluruh dunia telah

terbantu sejak ditemukannya komponen “willow bark” yang menenangkan lebih

dari 3.500 tahun yang lalu. Lebih lanjut, aspirin, pola dasar golongan OAINS,

telah menjadi landasan pencegahan sekunder penyakit kardiovaskuler trombotik.

Akan tetapi, penggunaan OAINS berhubungan dengan beberapa efek samping

pengobatan serius, dengan morbiditas dan mortalitas terkait. Banyak efek samping

yang dapat dicegah dengan mempertimbangkan faktor risiko pasien secara ketat

dan dengan menyertakan strategi preventif.

2. Metode

Kami mencari artikel Medline berbahasa Inggris yang dipublikasikan

hingga tahun 2010 dengan menggunakan kata kunci asam asetilsalisilat, aspirin,

OAINS, COX-2 (cyclooxygenase-2), efek samping, dan kardiovaskuler. Abstrak

disaring berdasarkan relevansi dan publikasi yang berhubungan dengan aspirin

dan OAINS yang diperoleh. Referensi tambahan diidentifikasi dari daftar pustaka

laporan yang diambil dan ulasan artikel. Sumber informasi lebih lanjut diambil

dari internet.

3. Hasil dan Diskusi

Page 2: OAINS

3.1. Prostaglandin dan COX

Prostaglandin merupakan anggota kelompok senyawa lipid yang

diturunkan secara enzimatik dari asam lemak. Prostaglandin cepat

dimetabolisme, bekerja secara lokal, dan terlibat dalam banyak proses

yang menyebabkan inflamasi setelah cedera atau sakit, mengatur kontraksi

uterus, mempengaruhi kontraksi dan relakasi pembuluh darah, dan terlibat

dalam agregasi trombosit. Prostaglandin pertama yang ditemukan diisolasi

secara independen dari cairan mani pada tahun 1935 oleh fisiologis

Swedia Ulf von Euler dan farmakologis Inggris M.W. Goldblatt dan

dianggap sekret prostat, seperti yang tercermin dari penamaannya [1,2].

Prostaglandin ditemukan di sebagian besar jaringan dan organ dan

diproduksi oleh sel nukleatida dari asam lemak esensial: asam gamma-

linolenat, asam arakidonat, dan asam eikosapentaenoat, kecuali limfosit.

Pada awal tahun 1960-an, kedua ilmuwan Swedia dan Belanda bekerja

untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari produksi dan aksi senyawa

tersebut. Ditemukan bahwa pada manusia, asam arakidonat dimobilisasi

dari membran sel liserofosfolipid oleh fofolipase A2. Biotransformasi

asam arakidonat yang menyertai dikatalisis oleh prostaglandin G2/H2

sintase, yang menghasilkan bentuk sekuensial prostaglandin G2 (PGG2)

dan prostaglandin H2 (PGH2) melalui aktivitas COX protein.

Prostaglandin sintase spesifik jaringan mengubah PGH2 menjadi

prostaglandin lain dan tromboxan, yang memiliki fungsi berbeda pada

jaringan berbeda. Contohnya, PGD2 terlibat dalam regulasi saat tidur dan

reaksi alergi; PGF2 mengontrol kontraksi uterus dan bronkokonstriksi, dan

tromboxan A2 (TXA2) menstimulasi konstriksi pembuluh darah dan

menginduksi agregasi trombosit. Prostasiklin (PGI2) menyebabkan dilatasi

pembuluh darah, menghambat agregasi trombosit, dan dapat memberikan

perlindungan terhadap kerusakan lapisan gaster; prostaglandin E2 (PGE2)

terlibat dalam nyeri, inflamsi, dan demam, dan juga bekerja mencegah

kerusakan gaster [3,4].

Page 3: OAINS

Pada tahun 1989 Phillip Needleman mengkonfirmasi kecurigaan

terhadap dua isoform COX berbeda, yang diregulasi dan bekerja dengan

cara berbeda [5]. COX-1 tampaknya hadir secara konstitusional dalam

jumlah sedikit pada kebanyakan jaringan manusia, bekerja sebagai enzim

rumah tangga dengan mengatur proses fisiologis normal seperti

pemeliharaan integritas mukosa gaster, fungsi ginjal, dan agregasi

trombosit, sedangkan COX-2 tidak terdeteksi pada sebagian besar jaringan

dalam kondisi fisiologis normal dan mengalami upregulasi secara selektif

setelah paparan mediator inflamasi atau trauma yang menyebabkan respon

inflamasi yang menyertai dan mediasi nyeri.

Kedua isoenzim COX merupakan protein terkait membran dengan

struktur 3 dimensi ujung kanal sempit panjang pada tikungan tajam, dan

menginternalisasi asam arakidonat di dekatnya yang dilepaskan ketika

terjadi kerusakan membran [6,7]. Asam arakidonat terikat dalam enzim

COX dan dibiotransformasi melalui PGG2 menjadi PGH2, yang

merupakan substrat yang menyertai sel dan enzim terminal spesifik

jaringan lainnya, seperti PGI2 sintase yang memproduksi prostasiklin,

tromboxan sintase yang memproduksi tromboxan, dan glutation S-

transferase untuk konversi menjadi PGE2.

3.1.1. Afinitas Aspirin terhadap COX

Aspirin memberikan efeknya melalui asetilasi enzim COX

non-kompetitif dan ireversibel, di mana kelompok asetil melekat

secara kovalen pada residu serin di situs enzim COX aktif yang

menyebabkan enzim COX tidak dapat diakses secara permanen

untuk biotransformasi asam arakidonat menjadi PGH2, dan dengan

demikian menghambat secara efektif produksi prostaglandin yang

menyertainya [8,9]. Sel nukleatida, seperti sel mukosa gaster dan

sel inflamasi, dapat kembali mensintesis COX-1 dan COX-2, dan

dengan demikian memperbaiki fungsi COX dan produksi

prostaglandin meskipun dihambat oleh aspirin. Di sisi lain,

trombosit tidak memiliki nukleus sel dan oleh karena itu kurang

Page 4: OAINS

memiliki kemampuan untuk mensitesis COX kembali. Labih

lanjut, pada trombosit, produksi TXA2 seluruhnya tergantung

COX-1, karena itu pengikatan COX-1 aspirin pada trombosit akan

mencegah produksi TXA2 secara permanen dan menghambat

agregasi trombosit selama siklus hidup trombosit, yang membuat

aspirin sebagai obat proteksi kardiovaskuler yang kuat [10,11].

3.1.2. Aspirin: Manfaat dan Risiko

Sekarang ini, indikasi utama aspirin adalah untuk mencegah

penyakit kardiovaskuler oklusif. Sebuah meta-analisis kolaboratif

data partisipan dari 16 penelitian acak pada pencegahan sekunder

penyakit kardiovaskuler, yang membandingkan aspirin jangka

panjang dengan plasebo terhadap terjadinya infark miokardium

baru atau stroke atau kematian vaskuler (17.000 orang dengan

risiko rata-rata yang tinggi, 43.000 orang-tahun, 3.306 penyakit

vaskuler serius), menunjukkan pengurangan yang signifikan secara

statistik dan klinis pada penyakit vaskuler yang serius (6,7%

dengan aspirin vs 8,2% dengan plasebo per tahun), dengan hasil

yang sama pada laki-laki dan perempuan [12]. Pengurangan risiko

ditemukan pada semua subkelompok penyakit iskemik, pada

perdarahan gastrointestinal dan ekstrakranial mayor (RR 2,69, CI

1,25-5,76, data tersedia pada 5 dari 16 penelitian). Akan tetapi,

insidens absolut kejadian perdarahan mayor lebih rendah, sekitar

0,15% per tahun, sehingga secara keseluruhan mendukung aspirin.

Untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskuler, penulis

menarik kesimpulan yang berbeda. Ketika menganalisis data dari

enam penelitian pencegahan primer (95.000 orang pada risiko rata-

rata rendah, 660.000 orang-tahun, 3.554 penyakit vaskuler serius),

ditemukan pengurangan proporsional sebesar 12% yang signifikan

secara statistik pada penyakit vaskuler serius (0,51% dengan

aspirin vs 0,57% pada kontrol per tahun), terutama akibat

pengurangan infark miokardium yang tidak fatal (0,18% vs 0,23%

Page 5: OAINS

per tahun), peningkatan stroke hemoragik (0,04% vs 0,03% per

tahun) dan perdarahan gastrointestinal dan ekstrakranial mayor

(0,10% vs 0,07% per tahun) [12]. Dalam diskusi penulis

membantah bahwa pada masa modern, efek aspirin yang

mengurangi risiko dapat berkurang setengahnya akibat peresepan

obat lainnya yang dapat mengurangi risiko seperti statin,

sedangkan risiko perdarahan masih sama, yang akan menyebabkan

efek manfaat bersih pencegahan primer penyakit kardiovaskuler

pada pasien risiko rendah tidak berarti.

Meta-analisis lainnya yang mencari efek samping aspirin

dosis rendah pada 22 penelitian terkontrol plasebo acak

menemukan risiko relatif 2,07 untuk perdarahan gastrointestinal

mayor dengan aspirin, dengan peningkatan tahunan absolut sebesar

0,12% [13]. Dengan meningkatnya risiko absolut rendah ini,

jumlah yang dibutuhkan pada terapi aspirin sehingga menyebabkan

perdarahan gastrointestinal mayor adalah 833. Oleh karena itu

harus ditargetkan strategi pencegahan aspirin yang berhubungan

dengan perdarahan gastrointestinal pada pasien risiko tinggi seperti

pasien dengan perdarahan gastrointestinal sebelumnya, usia di atas

60 tahun, penggunaan kortikosteroid pada saat bersamaan, OAINS

non-aspirin, antikoagulan, penghambat trombosit dan reuptake

serotonin lainnya, infeksi Helicobacter pylori, dan kondisi

komorbid seperti diabetes melitus, gagal jantung, dan artritis

reumatoid [14,15].

Dengan menghambat COX-1 gaster, aspirin dapat

mengurangi aliran darah mukosa yang menyebabkan cedera

iskemik lokal. Aspirin juga dapat mengganggu perlindungan

spesifik tergantung prostaglandin yang melindungi mukosa gaster,

seperti lapisan mukosa tebal mengandung bikarbonat yang

melapisi bagian dalam gaster yang menyangga asam lambung

luminal dan dengan demikian melindungi dinding gaster. Apabila

Page 6: OAINS

perlindungan tersebut dilemahkan oleh aspirin yang menginduksi

inhibisi COX-1 gastrointestinal, gelombang cedera kedua yang

disebabkan oleh asam lambung luminal dapat memudahkan

ulserasi yang lebih dalam, perdarahan, dan bahkan perforasi

dinding gaster [16]. Strategi yang bertujuan pada pencegahan

gastropati apirin dan OAINS non-aspirin membantu memelihara

integritas dinding gaster dan lapisan mukosa, seperti pemberian

analog prostaglandin bersama-sama, atau menghambat sekresi

asam lambung, seperti antagonis reseptor histamin H2 atau

penghambat pompa proton (proton-pump inhibitor, PPI).

Penelitian pada pencegahan perdarahan gastrointestinal

rekuren seluruhnya berdasar pada strategi berbasis PPI, baik PPI vs

plasebo maupun PPI vs eradikasi H.pylori. Kolonisasi dengan

dengan H.pylori berhubungan dengan peningkatan risiko

perdarahan ulkus rekuren. Pada sebuah penelitian, 123 pasien yang

positif H.pylori yang mengalami ulkus perdarahan dengan aspirin

dosis rendah diobati dengan terapi eradikasi H.pylori dan

selanjutnya diacak terhadap lansoprazole 30 mg/hari atau plasebo

pada penambahan aspirin 100 mg/hari [17]. Pada follow up 12

bulan, angka komplikasi ulkus rekuren adalah 1,6% dengan

lansoprazole dan 14,8% dengan plasebo. Penelitian lain

membandingkan efikasi eradikasi H.pylori dengan pengobatan PPI

untuk pencegahan sekunder perdarahan ulkus aspirin [18].

Penelitian ini melibatkan 400 pasien yang positif H.pylori, 250

dengan aspirin dosis rendah dan 150 dengan OAINS yang datang

dengan perdarahan ulkus. Hanya data dari 250 pengguna aspirin

yang akan ditampilkan di sini. Setelah pengobatan ulkus dengan

omeprazole 20 mg/hari selama 8 pekan atau lebih dikonfirmasi

dengan endoskopi, pasien diberikan aspirin 80 mg/hari dan

kemudian diacak terhadap omeprazole 20 mg/hari selama 6 bulan

atau 1 pekan terapi eradikasi H.pylori yang dilanjutkan dengan

Page 7: OAINS

plasebo selama enam bulan. Kemungkinan perdarahan ulkus

rekuren selama periode follow up 6 bulan adalah 1,9% pada pasien

yang mendapatkan terapi eradikasi dan 0,9% pada pasien yang

diterapi dengan omeprazole [18]. Oleh karena itu, dari penelitian

tersebut dan penelitian lainnya, kami menyimpulkan bahwa pada

pasien risiko tinggi dengan perdarahan gastrointestinal akibat

aspirin sebelumnya, terapi PPI menawarkan pengurangan risiko

perdarahan rekuren yang signifikan.

3.2. Golongan Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid

Pada tahun 1959, John Nicholson dari the Boots Company yang

berkolaborasi dengan Stuart Adams mensintesis sebuah obat dengan

komponen analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi yang sama dengan

aspirin. Obat tersebut dinamakan ibuprofen dan dipasarkan pada tahun

1969 dengan nama dagang Brufen, meskipun tidak lebih baik dari plasebo

pada penelitian klinis awal terhadap 18 pasien artritis reumatoid [19,20].

Akan tetapi, Ibuprofen akan menjadi OAINS non-apirin pertama yang

sangat ampuh. Sekarang ini, sekitar 50 preparat OAINS berbeda tersedia

dan merupakan obat yang paling sering diresepkan di seluruh dunia.

Indikasi utamanya adalah nyeri somatik ringan hingga sedang. Karena

efek anti-inflamasinya, OAINS secara khusus efektif pada penyakit

inflamasi seperti artritis reumatoid. OAINS dapat dikelompokkan sebagai

salisilat (dengan aspirin sebagai anggota yang menonjol), asam

arilalkanoat (diklofenak, indometasin, nabumeton, sulindak), asam 2-

arilpropionat atau profen (ibuprofen, flurbiprofen, ketoprofen, naproxen),

asam N-arilantranilat atau asam fenamat (asam mefenamat, asam

meklofenamat), derivat pirazolidin (fenilbutazon), oxicam (piroxicam,

meloxicam), sulfonanilid (nimesulid), dan lain-lain. Efikasi OAINS dapat

bervariasi tergantung pasien dan indikasi. Pada kasus yang tidak efektif,

penggantian dengan OAINS dari kelas kimia berbeda merupakan pilihan

terapeutik yang masuk akal [10].

Page 8: OAINS

Sebagai sebuah kelompok, komponen farmakokinetik dan

farmakodinamik OAINS beragam dan berbeda secara struktur, tetapi pada

akhirnya berbagi cara kerja yang sama. Seperti aspirin, OAINS non-

aspirin menghambat produksi prostaglandin dengan memblok enzim COX,

yang memberikan manfaat analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi, tetapi

berisiko meningkatkan perdarahan gastrointestinal [21]. Akan tetapi,

aspirin dan OAINS non-aspirin berbeda secara fundamental dalam caranya

menghambat enzim COX. Seperti yang disebutkan sebelumnya, aspirin

menghambat COX secara permanen melalui asetilasi non-kompetitif dan

ireversibel. Sebaliknya, OAINS non-aspirin menghambat enzim COX

secara kompetitif dan reversibel hanya selama interval dosis. Perbedaan ini

ditunjukkan oleh efeknya yang berbeda pada agregasi trombosit. Seperti

yang disebutkan sebelumnya, trombosit tidak memiliki nukleus sel seperti

sel inflamasi dan oleh karena itu tidak dapat menintesis COX kembali.

Aspirin sebagai penghambat fungsi COX ireversibel yang permanen

mencegah produksi TXA2 dan oleh karena itu menghambat agregasi

trombosit selama siklus hidup trombosit, yang membuat aspirin

merupakan obat pelindung kardiovaskuler yang kuat. Sebaliknya, akibat

pengikatan enzim COX yang bersifat kompetitif reversibel, OAINS non-

aspirin biasanya tidak menghambat agregasi trombosit untuk jangka waktu

yang lama [10].

OAINS non-aspirin klasik memblok baik isozim COX-1 maupun

COX-2 pada bermacam derajat dengan mengikat molekul arginin pada

posisi 120 setengah dari kanalnya, dengan demikian menghambat akses

asam arakidonat ke situs katalisis dan pada akhirnya menghambat sintesis

prostaglandin, PGI2, dan tromboxan [22,23].

Penemuan dua isoform COX oleh Philip Needleman pada tahun

1989 dan klarifikasi struktur 3 dimensinya memberikan alasan untuk

mengembangkan OAINS selektif COX-2 [5]. Sebuah OAINS yang ideal

akan menghambat isoform COX-2 secara selektif, dengan demikian

mengurangi inflamasi dan nyeri tanpa bekerja pada isoform COX-1, yang

Page 9: OAINS

dengan demikian meminimalkan toksisitas. Dikembangkan sekelompok

OAINS yang lebih besar yang memiliki ekstensi sisi rigid, yang mengikat

di dalam saku sisi unik COX-2, yang dengan demikian dapat mengakses

dan memblok COX-2 tetapi tidak dengan enzim COX-1 yang lebih sempit.

Ikatan kovalen selektif COX-2 dalam saku sisi COX-2 terbukti semi-

ireversibel, dengan demikian menghambat akses asam arakidonat ke situs

katalisis pada waktu yang lama [24]. Pada tahun 1990an, sejumlah

perusahaan farmaseutik menguji dan mengembangkan hipotesis, dan pada

tahun 1995 generasi pertama OAINS selektif COX-2, celecoxib

(Celebrex®) dan rofecoxib (Vioxx®), memasuki penelitian klinis dengan

banyak varian lain yang akhirnya disetujui untuk digunakan dalam

pengobatan nyeri, dengan indikasi utama artritis reumatoid dan

osteoartritis.

Gambar 1. Kiri: representasi skematik onhibisi COX-1 (gambar hijau besar) oleh OAINS non-selektif (gambar biru sentral). Kanal masuk ke COX-1 diblok oleh OAINS. Pengikatan dan transformasi asam arakidonat (gambar kuning di bagian dasar) dalam COX-1 dicegah. Tengah: inhibisi COX-2 oleh OAINS non-selektif (gambar biru tengah). Kanan: inhibisi COX-2 oleh OAINS selektif COX-2 (gambar merah sentral). Saku sisi COX-2 memudahkan pengikatan spesifik ekstensi rigid OAINS selektif COX-2. Kanal masuk ke COX-2 diblok. OAINS seletif COX-2 yang lebih besar tidak akan muat ke dalam kanal masuk COX-1 yang lebih sempit, yang memudahkan akses asam arakidonat ke dalam COX-1 yang tidak dihambat [23].

3.3. Bahaya yang Berhubungan dengan Penghilang Nyeri

Telah disepakati bahwa OAINS merupakan obat analgesik,

antipiretik, dan anti-inflamasi yang efektif, terutama pada penyakit artritis.

Page 10: OAINS

Akan tetapi, penggunaannya dibatasi oleh efek samping yang serius. Efek

samping tersebut yang paling pertama diketahui adalah bahwa OAINS

memiliki sifat toksisitas gastrointestinal aspirin yang dimediasi oleh

inhibisi efek COX-1 pada mukosa gaster. Spektrum toksisitas

gastroduodenum terkait OAINS dapat dikelompokkan menjadi tiga

kelompok: (i) gejala subjektif seperti rasa panas dalam perut, dispepsia,

nausea, dan nyeri abdomen merupakan yang paling sering terjadi pada

15%-40% pengguna OAINS dan menyebabkan 10% pengguna mengganti

atau menghentikan penggunaan OAINS; (ii) lesi superfisial mukosa

gastroduodenum seperti ulkus yang dapat menyembuh spontan; (iii) ulkus

gastroduodenum serius yang menyebabkan komplikasi mengancam jiwa

seperti perforasi, ulkuks simtomatik, dan perdarahan (perforation, ulcer,

bleeding; PUB) yang terjadi pada 1%-2% pengguna OAINS kronis dengan

angka mortalitas terkait 10%-15% [10,25,26,27]. Gejala subjektif tidak

begitu mempengaruhi perkembangan ulkus gastroduodenum. Sebagian

besar pengguna OAINS dengan gejala subjektif tidak menunjukkan

kerusakan gastroduodenum endoskopi, sedangkan 58% pasien yang datang

dengan komplikasi ulkus OAINS yang mengancam jiwa tidak mengalami

gejala prodromal [28]. Faktor risiko berkembangnya ulkus

gastroduodenum sama untuk aspirin dan risiko bertambah seiring

bertambahnya dosis OAINS [14,15]. Banyak peneliti yang telah

menyelesaikan strategi preventif toksisitas gastroduodenum terkait

OAINS. Strategi tersebut bertujuan memelihara integritas dinding gaster

dan lapisan mukosa, seperti penggunaan OAINS selektif COX-2 dan

pemberian analog prostaglandin bersama-sama, atau menghambat sekresi

asam lambung, seperti penggunaan antagonis reseptor histamin H2 atau

PPI sebagaimana yang dijelaskan mengenai aspirin [29,30,31,32,33].

Eradikasi H.pylori pada pasien tertentu dapat mengurangi risiko kerusakan

gastroduodenum lebih lanjut [34,35]. Sebuah ulasan mendetail mengenai

efek tindakan protektif gaster pada toksisitas gastrointestinal terkait

OAINS tidak termasuk dalam cakupan artikel ini.

Page 11: OAINS

Pada awal tahun 2000-an, fungsi endovaskuler enzim COX

terbukti memainkan bagian penting dalam trombogenesis [36]. Trombosit

teraktivasi memproduksi tromboxan TXA2 yang tergantung COX-1, yang

bekerja sebagai agonis trombosit protrombosis dan vasokonstriktor.

Endotel dan sel otot polos terdekat menghasilkan prostaglandin I2 (PGI2)

yang tergantung COX-2, terutama setelah terjadi kerusakan sel [37]. PGI2

merupakan antotrombosis penghambat trombosit dan vasodilator, dan

dengan demikian memodulasi interaksi antara trombosit teraktivasi dan

dinding endovaskuler. Kerusakan sel, plak aterosklerotik, dan shear force

lamina menyebabkan up-regulasi ekspresi COX-2 secara selektif oleh sel

endotel dalam upaya untuk memelihara homeostasis [38]. Dalam

memahami mekanisme tersebut dapat diduga bahwa sindrom klinis yang

berhubungan dengan aktivasi trombosit, inhibisi COX oleh OAINS,

khususnya OAINS selektif COX-2, dapat, meningkatkan risiko penyakit

kardiovaskuler [37]. Karena efeknya bersifat sementara dan reversibel,

hanya OAINS nonselektif dosis tinggi kontinyu yang akan menghambat

COX-1 dan COX-2. Akan tetapi, OAINS selektif COX-2 dapat sangat

mengganggu sintesis antitrombotik derivat endotel dan prostasiklin

vasodilator sambil mengurangi efek yang menghambat COX-1 pada

agregasi trombosit, dengan demikian dapat membalikkan skala

homeostasis yang mendukung trombogenesis dan vasokonstriksi [37].

Pada tahun 2004 Merck Sharp dan Dohme diminta menarik OAINS

selektif COX-2 rofecoxib (Vioxx®) dari pasaran karena hasil penelitian 18

bulan Adenomatous Polyp PRevention On Vioxx menunjukkan angka

kejadian trombosis 1,5 per 100 pasien-tahun dengan rofecoxib vs 0,78 per

100 pasien-tahun dengan plasebo (risiko relatif 1,92) [38]. Sejak saat itu

banyak penelitian yang meneliti efek OAINS selektif COX-2 dan non-

selektif terhadap penyakit kardiovaskuler dengan hasil yang bertentangan.

Sebuah meta-analisis menilai efek OAINS selektif COX-2 dan non-

selektif terhadap risiko penyakit kardiovaskuler pada data tabulasi yang

dipublikasikan dan tidak dipublikasikan dari 138 penelitian acak, yang

Page 12: OAINS

meliputi perbandingan OAINS selektif COX-2 vs placebo atau OAINS

selektif COX-2 vs OAINS non-selektif, dengan durasi pengobatan

sekurang-kurangnya 4 pekan [39]. Penghambat selektif COX-2

berhubungan dengan peningkatan risiko sedang penyakit vaskuler serius

dibandingkan dengan plasebo (rate ratio 1,42), yang utamanya

menyebabkan peningkatan risiko infark miokardium (rate ratio 1,86).

OAINS non-selektif dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko

vaskuler yang sama dibandingkan dengan plasebo (rate ratio 1,51 untuk

ibuprofen; 1,63 untuk diklofenak), dengan pengecualian naproxen dosis

tinggi (rate ratio 0,92) [39]. Ulasan sistematis dan meta-analisis lainnya

menilai risiko penyakit kardiovaskuler serius dengan OAINS selektif

COX-2 dan non-selektif pada 17 penelitian case-control dan 6 penelitian

kohort [40]. Penggunaan rofecoxib berhubungan dengan risiko relatif

penyakit kardiovaskuler serius yang berkaitan dengan dosis signifikan

selama bulan pertama pengobatan (risiko relatif 1,33 dengan dosis 25

mg/hari atau kurang; risiko relatif 2,19 dengan dosis lebih dari 25

mg/hari). Celecoxib tidak berhubungan dengan peningkatan risiko (risiko

relatif 1,06). Di antara OAINS non-selektif, diklofenak memiliki risiko

tertinggi (risiko relatif 1,40). Untuk OAINS nonselektif, ibuprofen (risiko

relatif 1,07), piroxicam (risiko relatif 1,06) dan naproxen (risiko relatif

0,97), tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan penyakit

kardiovaskuler [40]. Hasil ini sama dengan sebuah meta-analisis yang

menilai risiko komparatif infark miokardium dengan OAINS selektif

COX-2 dan non-selektif pada penelitian case-control, penelitian kohort,

dan penelitian acak terkontrol pada adenoma kolon dan artritis, yang

menemukan risiko kecil infark miokardium dengan OAINS dan obat

spesifik COX-2 rofecoxib yang menunjukkan risiko tertinggi (risiko relatif

1,25 pada 6 penelitian kohort, 387.983 pasien-tahun), mungkin

dikarenakan waktu paruh obat ini yang panjang dibandingkan dengan obat

lainnya. Data dari 14 penelitian acak terkontrol yang dikumpulkan pada

artritis dengan 45.425 pasien menunjukkan infark miokardium yang lebih

Page 13: OAINS

banyak dengan OAINS selektif COX-2 (odds ratio 1,6), tetapi penyakit

gastrointestinal atas serius lebih sedikit (odds ratio 0,40) [41]. Sebuah

meta analisis terakhir mengenai risiko kardiovaskuler celecoxib pada data

tingkat pasien yang dikumpulkan dari 7.950 pasien pada penelitian plasebo

terkontrol yang membandingkan celecoxib dengan plasebo untuk kondisi

selain artritis dengan follow up yang direncanakan hingga sekurang-

kurangnya tiga tahun menunjukkan peningkatan risiko pada penggunaan

obat dengan dosis yang lebih tinggi, risiko terendah dan tidak signifikan

untuk dosis 400 mg/hari (hazard ratio, 1,1) dan tertinggi untuk dosis 400

mg dua kali per hari (hazard ratio 3,1) [42].

Hubungan antara dosis dan risiko kardiovaskuler OAINS ini yang

tidak menghambat COX-1 dengan sempurna dapat disebabkan oleh derajat

inhibisi COX-2 obat, seperti yang diilustrasikan oleh penelitian García

Rodriguez [43]. Pada penelitian dengan derajat inhibisi COX-2 <90% pada

konsentrasi terapeutik ini (ibuprofen, meloxicam, celecoxib, dan

etoricoxib) berhubungan dengan RR infark miokardium 1,18 (95% CI

1,02-1,38), dibandingkan dengan RR 1,60 (95% CI 1,41-1,81) pada obat

dengan derajat inhibisi COX-2 ≥90% (rofecoxib, indometasin, diclofenak,

dan piroxicam).

Hasil kedua penelitian Danish, diperlukan peringatan khusus dalam

meresepkan OAINS selektif dan non-selektif pada pasien dengan infark

miokardium sebelumnya. Pada penelitian pertama mengenai kohort 58.432

pasien yang dipulangkan setelah infark miokardium pertamanya antara

tahun 1995 dan 2002, 9.773 dirawat kembali karena infark miokardium

dan 16.573 meninggal. Penggunaan penghambat COX-2 pada semua dosis

dan OAINS pada dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan mortalitas,

dengan NNH rendah 13 untuk rofecoxib (95% CI 10-20), 14 untuk

celecoxib (95% CI 10-24), 45 untuk ibuprofen (95% CI 29-102), 24 untuk

diklofenak (95% CI 16-45), dan 143 untuk OAINS lain (95% CI 10-20),

secara berurutan [44]. Penelitian kedua yang dilakukan antara tahun 1997

dan 2005 menggunakan desain yang sama pada dua sampel yang tampak

Page 14: OAINS

sehat dari populasi Danish. Pada sampel dari 153.465 orang tanpa faktor

risiko kematian akibat NNH yang dapat dibayangkan sebelumnya, dari

semua penyebab, 14 untuk rofecoxib (95% CI 10-25), 20 untuk celecoxib

(95% CI 13-43), 432 untuk ibuprofen (95% CI 184-1251), dan 77 untuk

diklofenak (95% CI 51-158) [45].

Berdasar pada sebuah ulasan data dari penelitian klinis OAINS

terkontrol plasebo jangka panjang dan aktif, FDA menyimpulkan bahwa

peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler serius merupakan efek kelas

untuk semua OAINS, sama antara OAINS selektif COX-2 dan non-selektif

(kecuali aspirin). Oleh karena itu FDA meminta paket seluruh OAINS

direvisi dan dimasukkan kotak peringatan peningkatan risiko penyakit

kardiovaskuler sebagaimana risiko perdarahan gastrointestinal serius dan

berpotensi mengancam jiwa. FDA juga meminta paket untuk semua

OAINS dimasukkan kontraindikasi penggunaan segera pada pasien pasca

operasi CABG (coronary artery bypass graft surgery) [46]. EMEA,

lembaga Eropa setara FDA, menarik kesimpulan berbeda dalam

pernyataannya mengenai OAINS selektif COX-2 dan non-selektif dari

2005 dan 2006. Agensi ini membedakan antara dua kelompok,

sehubungan kontraindikasi penghambat COX-2 pada pasien dengan

penyakit jantung iskemik atau stroke, dan memperingatkan penggunaan

obat tersebut pada pasien dengan faktor risiko penyakit kardiovaskuler,

memberi manfaat pada OAINS non-selektif dari keraguan [47]. Sebuah

algoritma peresepan OAINS pada pasien berdasarkan profil risiko

gastrointestinal dan kardiovaskuler yang berdasar pada panduan AHA dan

ACG ditunjukkan pada Tabel 1 [48,49,50]. Penggunaan OAINS juga

berhubungan dengan peningkatan hipertensi dan edema dan eksaserbasi

gagal jantung yang sudah ada sebelumnya. Komplikasi penggunaan

OAINS tersebut dapat dijelaskan oleh inhibisi produksi prostaglandin

vasodilator fisiologis yang diinduksi OAINS pada pasien dengan

peningkatan aktivasi sistem renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis,

seperti halnya hipertensi atau status deplesi volume efektif, seperti gagal

Page 15: OAINS

jantung, sirosis, dan deplesi volume nyata. Pada keadaan tersebut

penggunaan OAINS dapat menginduksi vasokonstriksi sistemik dengan

memblok pelepasan prostaglandin vasodilator kompensasi, yang

menyebabkan peningkatan afterload dan penguranan kontraktilitas jantung

dan curah jantung [51]. Tergantung pada cadangan jantung pasien, status

volume, keseimbangan natrium, dan penggunaan obat-obat antihipertensi

tertentu (dengan pengecualian antagonis kalsium kerja lama), penggunaan

OAINS dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan, mengeksaserbasi

gagal jantung atau meningkatkan tekanan darah rata-rata 3-6 mmHg [52].

Inhibisi prostaglandin vasodilator ginjal yang pada situasi ini

mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dengan

merelaksasi resistensi preglomerulus dan melawan efek vasokonstriktor

lokal angiotensin II dan norepinefrin, dapat mengganggu keseimbangan

yang rapuh dan menyebabkan iskemia ginjal reversibel disertai penurunan

tekanan hidrolik dan laju filtrasi glomerulus, yang menyebabkan gagal

ginjal akut [53].

Table 1. Algoritma peresepan OAINS berdasarkan factor risiko gastrointestinal

(GI) dan kardiovaskuler (CV)

Risiko GI rendah

Risiko GI sedang

(1 atau 2 faktor

risiko)

Risiko GI tinggi

(lebih dari 2

faktor risiko)

Risiko CV

rendah

OAINS non-

selektif

OAINS non-

selektif + PPI atau

COX-2 + PPI

COX-2 + PPI

Risiko CV tinggi Naproxen + PPI Naproxen + PPI Tanpa OAINS

Sebuah meta-analisis pada penelitian observasional dan penelitian

klinis acak terkontrol untuk menentukan risiko gagal jantung dengan

OAINS menunjukkan peningkatan terjadinya gagal jantung sebesar 30%-

100%. Risiko ini sama antara OAINS selektif COX-2 dan non-selektif.

Akan tetapi, risiko absolut masih kecil: kurang dari satu pasien mengalami

Page 16: OAINS

gagal jantung akibat OAINS per seratus pasien-tahun selama bertahun-

tahun pengobatan OAINS. Gagal jantung yang sudah ada sebelumnya

berhubungan dengan risiko tertinggi. Penelitian lain menemukan

penggunaan OAINS tidak berhubungan dengan kejadian pertama gagal

jantung, tetapi hanya berhubungan dengan eksaserbasi penyakit yang

sudah ada sebelumnya [54–56].

Risiko munculnya hipertensi pada pasien tanpa riwayat hipertensi

sebelumnya diteliti dalam the Nurses’ Health Study II, sebuah penelitian

prospektif pada 80.000 wanita berusia 31 sampai 50 tahun. Pada penelitian

ini risiko relatif munculnya hipertensi setelah dua tahun follow up dengan

OAINS sebesar 1,86 dibandingkan dengan non-OAINS, dengan

pengecualian aspirin (115). Pada sebuah meta-analisis terkini dari 51

penelitian klinis acak yang melibatkan OAINS selektif COX-2, dengan

total 130.541 partisipan yang data tekanan darahnya tersedia, ditemukan

peningkatan signifikan angka insidens hipertensi pada pengguna OAINS

selektif COX-2 dibandingkan dengan placebo (rasio risiko 1,49) dan

dibandingkan dengan OAINS non-selektif (rasio risiko 1,12) [57]. Hasil

ini terutama disebabkan oleh rofecoxib (rasio risiko 1,87 vs plasebo dan

1,53 vs OAINS non-selektif) dan etoricoxib (rasio risiko 1,52 vs OAINS

non-selektif). Perbandingan OAINS selektif COX-2 dengan naproxen vs

OAINS selektif COX-2 dengan OAINS non-selektif non-naproxen

menunjukkan rasio risiko munculnya hipertensi yang lebih tinggi (COX-2

vs naproxen 1,31; COX-2 vs non-naproxen 1,08), tetapi perbedaan rata-

rata lebih kecil pada tekanan darah sistolik dan diastolik untuk naproxen

vs OAINS non-naproxen [57].

Pada sebuah penelitian mengenai efek inhibisi COX-2 terhadap

fungsi ginjal pada pasien lansia sehat dengan deplesi natrium yang diacak

terhadap rofecoxib 12,5 mg/hari, rofecoxib 25 mg/hari, indometasin 50 mg

3 kali/hari, atau plasebo selama 5 hari, ditemukan bahwa laju filtrasi

glomerulus menurun dengan signifikan dengan rofecoxib 12,5 mg

(menurun 8,4 mL/menit), rofecoxib 25 mg (menurun 7,8 mL/menit), dan

Page 17: OAINS

indometasin 150 mg (menurun 6,0 mL/menit) [58]. Penelitian lain dengan

desain nested case control menunjukkan bahwa rawat inap pasien gagal

ginjal akut berhubungan dengan awal penggunaan OAINS pada 121.722

pasien yang berusia lebih dari 65 tahun [59]. Risiko gagal ginjal akut

tertinggi dalam 30 hari sejak dimulainya pengobatan dan surut setelahnya.

Risiko relatif gagal ginjal akut sebanding dengan rofecoxib (risiko relatif

2,31; 95% CI, 1,73-3.08), naproxen (risiko relatif 2,42; 95% CI, 1,52-

3,85), dan OAINS non-selektif non-naproxen (risiko relatif 2,30; 95% CI,

1,60-3,32) tetapi agak rendah dengan celecoxib (risiko relatif 1,54; 95%

CI, 1,14-2,09).

Akhirnya, dengan mekanisme patofisiologis yang belum diketahui,

penggunaan OAINS juga berhubungan dengan gagal ginjal akibat nefritis

interstisial akut, nefropati membranosa, dan sindrom nefrotik dengan

minimal change. Pasien yang terkena datang dengan hematuria, pyuria,

cast sel darah putih, proteinuria, dan insufisiensi ginjal akut. Perbaikan

spontan biasanya terjadi dalam hitungan pekan hingga bulan setelah terapi

dihentikan [60]. Pemberian OAINS setelahnya harus dihindari karena

dapat terjadi relaps dengan rechallenge.

Sementara OAINS berhubungan dengan hipertensi, edema, gagal

jantung, dan insufisiensi ginjal dapat terjadi pada pasien yang

menggunakan OAINS selektif COX-2 maupun OAINS non-selektif, salah

satu perkembangan baru yang menjanjikan dapat menawarkan beberapa

perspektif. Sebuah kelas baru obat anti-inflamasi yang sedang dalam

pengembangan yaitu donor nitrat oksida (NO) yang menghambat COX

(COX-inhibiting nitric oxide (NO) donators, CINOD). CINOD didesain

untuk memberikan efek anti-inflamasi dan analgesik OAINS tetapi dengan

peningkatan keamanan gastrointestinal dan kardiovaskuler dengan

memasangkan sebuah OAINS selektif COX-2 atau OAINS non-selektif

dengan gugus yang melepaskan NO [61]. CINOD in vivo menunjukkan

komponen inhibisi COX dan anti-inflamasi serta analgesik yang sama

dengan OAINS rujukannya, sedangkan pelepasan NO menunjukkan

Page 18: OAINS

peningkatan aliran darah mukosa, mendorong perbaikan gaster,

menghambat agregasi trombosit, mengurangi tekanan darah sistemik, dan

mempertahankan fungsi vaskuler, jantung, dan ginjal. Sebuah CINOD

yang sedang menyempurnakan penelitian fase III-nya adalah naproxcinod,

yang memasangkan naproxen dengan gugus yang mendonorkan NO. pada

sebuah penelitian acak double-blind terkontrol plasebo dan naproxen

selama 13 pekan pada 916 pasien dengan osteoartritis, naproxcinod

mengurangi tekanan darah sistolik dengan signifikan dibanding naproxen,

terutama pada pasien hipertensi yang diterapi dengan obat yang memblok

renin-angiotensin, dengan perbedaan perubahan rata-rata 6,5 mmHg dari

tekanan darah sistolik normal antara naproxen dan naproxcinod (p < 0.02)

[62]. Ditunggu penelitian lebih lanjut.

3.4. Mengkombinasi Aspirin dengan OAINS: Iblis dalam Penyamaran?

Karena aspirin dan OAINS non-selektif mengikat enzim COX-1

trombosit, pemberian kedua obat pada waktu yang sama dapat

mengganggu manfaat aspirin terhadap penyakit kardiovaskuler trombotik.

Sebuah penelitian menguji efek ingesti 400 mg ibuprofen dua jam sebelum

dosis profilaksis regular aspirin 81 mg [63]. Kadar tromboxan serum dan

agregasi trombosit dihambat secara maksimal dengan pemberian aspirin

sebelum ibuprofen. Sebaliknya, inhibisi pembentukan tromboxan B2

serum dan agregasi trombosit dicegah dengan dosis tunggal harian

ibuprofen sebelum aspirin, sama seperti ketika diberikan dosis harian

ganda ibuprofen. Pemberian rofecoxib, asetaminofen, atau diklofenak pada

saat yang sama sebelum atau setelah aspirin tidak mempengaruhi inhibisi

trombosit [63]. Efek yang sama dengan naproxen telah dijelaskan pada

sebuah penelitian, di mana dosis tunggal naproxen dua jam sebelum

aspirin terganggu dengan efek antitrombosis aspirin [64]. OAINS non-

selektif berkompetisi dengan aspirin untuk menduduki situs pengikatan

pada COX-1 trombosit. Adanya OAINS non-selektif pada situs ini

mencegah aspirin mengikat dan menyebabkan asetilasi ireversibel sebuah

residu serin pada COX-1 [51,65]. Waktu paruh OAINS non-selektfi

Page 19: OAINS

spesifik menentukan durasi efek blokade aspirin yang relevan secara

klinis. Aspirin menyebabkan blokade COX yang ireversibel dan hampir

sempurna pada dosis rendah, sedangkan blokade yang disebabkan oleh

ibuprofen pada dosis terapeutik bersifat reversibel dan kurang sempurna,

yang berkurang dengan cepat di antara interval dosis, mencerminkan

waktu paruh obat yang singkat [66]. Oleh karena itu, dapat diajukan alasan

bahwa ibuprofen tidak memiliki efek inhibisi agregasi trombosit yang

diturunkan. Walaupun naproxen sendiri memiliki efek agregasi trombosit

yang kuat, penelitian yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan

bahwa penggunaan naproxen pada saat bersamaan juga dapat

menyebabkan inhibisi efek antitrombosis aspirin yang signifikan,

sekalipun lebih kecil daripada ibuprofen. Temuan tersebut dapat memiliki

relevansi klinis yang kuat pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

Penggunaan aspirin dan ibuprofen atau naproxen pada saat yang sama

harus dihindari, atau setidaknya OAINS sebaiknya diberikan sekitar 2 jam

setelah pemberian aspirin [10]. Interaksi farmakodinamik tidak diharapkan

pada OAINS preferensi COX-2 relatif (diklofenak) atau OAINS selektif

COX-2.

4. Kesimpulan

Sekarang ini, tidak dapat dibayangkan kedokteran tanpa OAINS

aspirin atau non-aspirin, yang merupakan landasan konsep modern

pencegahan penyakit kardiovaskuler dan penghilang nyeri. Dari sebuah obat

penghilang nyeri dan antipiretik, aspirin berkembang menjadi toksin gaster

dan akhirnya sebuah pelindung yang mengatasi penyakit kardiovaskuler

tromboemboli. OAINS efektif mengatasi nyeri somatik ringan hingga berat

dengan cara yang unik, khususnya apabila berhubungan dengan penyebab

inflamasi, tetap teguh di tempatnya meskipun dilaporkan memiliki beberapa

efek samping yang merusak. Pengembangan OAINS selektif COX-2

mengurangi risiko ulserasi gastrointestinal secara signifikan, akan tetapi masih

terdapat peningkatan angka kejadian infark miokardium, gagal jantung,

hipertensi, dan insufisiensi ginjal akut. Kelas terbaru donor nitrat oksida yang

Page 20: OAINS

menghambat COX (CINOD) menawarkan beberapa perspektif. Efikasi

OAINS selektif COX-2 maupun OAINS non-selektif dapat bervariasi

tergantung pasien dan indikasinya. Dalam kasus yang tidak efektif,

penggantian dengan OAINS dari kelas kimia berbeda merupakan pilihan

terapeutik yang masuk akal. OAINS non-selektif seperti ibuprofen atau

naproxen dapat mengganggu efek inhibisi triombosit protektif aspirin dengan

pengikatan COX-1 kompetitif. Dokter harus memperhitungkan risiko

gastrointestinal dan kardiovaskuler dan interaksi yang mungkin pada pasien

ketika meresepkan OAINS. Harus diinformasikan kepada pasien mengenai

manfaat yang diharapkan dan risikonya. Dampak nyeri dan prioritas

menghilangkan nyeri pada pasien ditunjukkan oleh sebuah penelitian pada

pasien osteoartritis di Kanada, yang menunjukkan bahwa sebagian besar

pasien akan menerima beberapa risiko tambahan perdarahan ulkus dan sedikit

serangan jantung atau stroke untuk mengurangi nyerinya [67].

Sebagai diktum sentral dalam pengobatan OAINS, dokter harus selalu

meresepkan dosis efektif terendah untuk jangka waktu sesingkat mungkin.

Ketika memulai OAINS harus diperkirakan risiko gastrointestinal,

kardiovaskuler, dan renovaskuler. Harus diresepkan obat protektif gaster jika

diindikasikan. Pasien dengan risiko kardiovaskuler tinggi harus mendapatkan

aspirin profilaksis dosis rendah. Jika terapi OAINS tambahan diperlukan,

naproxen merupakan OAINS pilihan, dikombinasi dengan dosis PPI atau

misoprostol yang adekuat, terlepas dari ada tidaknya risiko gastrointestinal

tambahan [48]. Naproxen harus diminum dua jam setelah aspirin. OAINS

selektif COX-2 harus dihindari pada pasien dengan risiko kardiovaskuler

tinggi. Pasien dengan risiko kardiovaskuler dan gastrointestinal yang tinggi

sama sekali harus menghindari terapi OAINS.