Nutrition for Multiple Trauma Patient

24
NUTRITION FOR MULTIPLE TRAUMA PATIENT I. PENDAHULUAN Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang. Contoh : fraktur jari tangan seorang pemain piano atau seorang ahli bedah, dampaknya sangat berat dan dapat menghentikan karirnya, sementara cedera yang sama pada orang dengan profesi lain merupakan gangguan yang ringan. Hampir setiap trauma merupakan trauma majemuk. Yang penting adalah menentukan berapa organ dan sistem tubuh yang cedera. Karena itu penting untuk membedakan cedera berat yaitu yang mengenai satu atau lebih daerah tubuh (kepala, leher, toraks, vertebra, abdomen, pelvis, dan tungkai), dan cedera kritis, yaitu yang menyebabkan kegagalan satu atau lebih sistem tubuh (saraf, pernapasan, kardiovaskuler, hati, ginjal, dan pankreas). Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur di bawah 35 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, merupakan penyebab kematian utama. Sayangnya, penyakit akibat trauma sering ditelantarkan padahal ia merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia. Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma dan penaggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada korbannya. Pasien yang mengalami trauma berat akan mengalami respon fase-akut yang lama, kehilangan berat badan dengan cepat, dan resiko malnutrisi, hal ini dikarenakan pasien sulit untuk memakan makanan yang cukup untuk memenuhi 1

description

kuliah bedah

Transcript of Nutrition for Multiple Trauma Patient

Page 1: Nutrition for Multiple Trauma Patient

NUTRITION FOR MULTIPLE TRAUMA PATIENT

I. PENDAHULUANTrauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini

memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang. Contoh : fraktur jari tangan seorang pemain piano atau seorang ahli bedah, dampaknya sangat berat dan dapat menghentikan karirnya, sementara cedera yang sama pada orang dengan profesi lain merupakan gangguan yang ringan.

Hampir setiap trauma merupakan trauma majemuk. Yang penting adalah menentukan berapa organ dan sistem tubuh yang cedera. Karena itu penting untuk membedakan cedera berat yaitu yang mengenai satu atau lebih daerah tubuh (kepala, leher, toraks, vertebra, abdomen, pelvis, dan tungkai), dan cedera kritis, yaitu yang menyebabkan kegagalan satu atau lebih sistem tubuh (saraf, pernapasan, kardiovaskuler, hati, ginjal, dan pankreas).

Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur di bawah 35 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, merupakan penyebab kematian utama. Sayangnya, penyakit akibat trauma sering ditelantarkan padahal ia merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia. Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma dan penaggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada korbannya.

Pasien yang mengalami trauma berat akan mengalami respon fase-akut yang lama, kehilangan berat badan dengan cepat, dan resiko malnutrisi, hal ini dikarenakan pasien sulit untuk memakan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energinya. Perubahan klinis yang signifikan pada fungsi-fungsi organ selama pasien kehilangan berat badan akan meningkatkan angka kematian sampai dengan 40%. Oleh sebab itu, bantuan nutrisi bagi penderita trauma, dewasa ini, merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

II. ETIOLOGI TRAUMACedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan,

perlambatan (deselerasi), dan kompresi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, atau zat kimia. Trauma juga sering diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas.

1

Page 2: Nutrition for Multiple Trauma Patient

I. PATOLOGI TRAUMA

Luka Tembak Luka tembak mempunyai cirri yang khas. Beratnya cedera akibat luka tembak

tidak hanya tergantung dari jaringan yang terkena atau jaringan sekitarnya tapi juga dari jenis senjata atau peluru yang dipakai. Beratnya cedera akibat luka tembak tergantung dari energi kinetik yang membentur jaringan. Besarnya energi dipengaruhi oleh massa, kecepatan, dan gaya berat peluru. Cedera luka tembak dapat disebabkan oleh peluru berkecapatan rendah maupun tinggi.

Ketika peluru mengenai jaringan, timbul suatu gelombang kejut yang menyebar dari peluru secepat kecepatan suara di dalam air (1500 m/detik). Kerusakan yang diakibatkannya dapat jauh lebih luas dari jalur pelurunya sendiri. Gelombang kejut tersebut akan menyebabkan terjadinya rongga sekitar jalur peluru. Hampa udara yang terjadi akan menyedot kotoran dari luar, juga menyedot pembuluh darah dan saraf ke dalam jalan peluru. Kejadian ini menyebabkan kerusakan, perdarahan, dan kontaminasi yang luas.

Luka akibat peluru yang tidak berubah bentuk pada benturan tidak separah luka akibat peluru yang pecah pada benturan (soft bullet) karena peluru ini menghabiskan semua energi pada waktu mengenai jaringan dan menyebabkan cedera lokal yang lebih serius.

Peluru yang mengenai tulang akan menyebabkan cedera lebih gawat karena pecahan tulang merupakan peluru sekunder yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Peluru yang melesatnya jungkir balik pun akan menyebabkan cedera yang luas karena peluru merusak jaringan bukan dengan ujungnya melainkan dengan panjang badannya dan dengan kecepatan seperti kecepatan keluarnya peluru dari laras senapan.

Trauma TumpulTrauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada

permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benturan benda tumpul, perlambatan (deselerasi), dan tekanan. Benturan benda tumpul pada toraks dapat menimbulkan cedera berupa patah tulang iga; patah tulang iga majemuk menyebkan terjadinya flail chest yang tampak dalam gerakan napas dinding dada yang paradoksal yaitu bagian dinding dada yang terlepas melesak ke dalam ketika inspirasi dan menonjol keluar sawaktu ekspirasi. Biasanya terjadi juga hematotoraks dan pneumotoraks akibat kerusakan pleura dan jaringan paru. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi atau organ padat berupa perdarahan.

Cedera perlambatan sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah tabrakan badan masih melaju dan kemudian tertahan suatu benda keras sedangkan bagian tubuh yang relatif tidak tertahan bergerak terus dan menyebabkan terjadinya

2

Page 3: Nutrition for Multiple Trauma Patient

robekan pada hilus organ tersebut. Cedera kompresi atau tekanan terjadi bila orang tertimbun runtuhan atau longsoran yang menimbulkan tekanan secara tiba-tiba pada rongga dada.

Cedera ledak adalah luka atau kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh ledakan bom, granat dan ledakan dalam air. Kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh pecahan logam atau energi yang ditimbulkan oleh ledakan.

Kecelakaan Lalu LintasKorban kecelakaan lalu lintas dapat diduga jenis cederanya dengan meneliti

riwayat trauma dengan cermat. Pengemudi yang tidak memakai sabuk pengaman dapat mengalami lima fase pergerakan bila terjadi tabrakan dari depan, yaitu :

1. Korban akan tersungkur ke depan dan lututnya membentuk dasbor sehingga terjadi fraktur patela dan atau luksasi sendi panggul.

2. Kepala membentur bingkai kaca depan dan dapat terjadi trauma kepala, cedera otak dan fraktur servikal.

3. Dadanya membentur kemudi sehingga dapat terjadi fraktur sternum, fraktur iga dan cedera jantung dan paru.

4. Kepala membentur kaca depan sehingga terjadi trauma muka. 5. Korban terbanting kembali ke tempat duduknya dan kalau tidak ada sandaran

kepala maka terjadi cedera gerak cambuk pada tulang leher.Kejadian yang sama terjadi juga pada penumpang yang duduk di sebelah

pengemudi. Hanya, disini tidak ada kemudi sehingga muka terbentur pada dasbor dulu sebelum mengenai kaca depan dan tidak banyak cedera dinding depan toraks. Penumpang di belakang, pada tabrakan dari depan, akan terlempar ke depan dan kepala mengenai sandaran kursi depan sehingga terjadi hiperekstensi kepala yang mengakibatkan cedera pada tulang leher. Trauma pada pengemudi maupun penumpang dapat dihindarkan kalau sabuk pengaman dipakai dengan baik sehingga angka mortalitas dapat ditunkan sampai 50%. Sabuk pengaman yang tak memenuhi syarat atau salah cara memakainya dapat menyebabkan trauma tersendiri misalnya fraktur klavikula, fraktur iga, ruptur hati atau limpa, perforasi usus, dan rupture buli-buli.

Sekitar 60-75% korban trauma sepeda motor menderita cedera pada daerah tibia karena bemper mobil tingginya sama dengan tungkai bawah. Selain itu korban akan terlempar ke jalan atau ke atas dan kepala membentur bingkai atas kaca mobil sehingga terjadi hiperekstensi kepala dengan cedera otak dan cedera tulang leher. Harus juga diingat kemungkinan terjadinya cedera abdomen yaitu terjepitnya usus di antara setang setir dan tulang belakang, namun pada pemeriksaan fisik hanya ada jejas pada baju atau kulit perut. Pembonceng akan mengalami hal yang sama kecuali cedera kemudi sepeda motor.

Pejalan kaki akan mengalami trauma yang hampir sama dengan pengendara sepeda motor atau sepeda karena ia juga akan terlempar ke jalan atau ke bingkai kaca dan juga dapat terjadi trauma abdomen atau ginjal.

3

Page 4: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Cedera ListrikJika tubuh dialiri arus listrik akan terjadi kontraksi otot. Bila terpegang arus

listrik, misalnya, tangan tak dapat lepas dari sumber listrik tersebut karena fleksor jari jauh lebih kuat daripada ekstensor jari.

Kontraksi otot yang hebat dapat menyebabkan patah tulang misalnya kompresi tulang belakang. Pernapasan mungkin berhenti bila aliran listrik mengenai diafragma atau otot interkostal.

Luka bakar di tempat aliran listrik masuk dan keluar mungkin kelihatan kecil, tetapi di sebelah dalam terjadi nekrosis yang lebih luas. Korban mungkin pingsan dan mengalami cedera tambahan karena jatuh. Dapat terjadi gangguan neurologik perifer karena cedera saraf motorik dan/atau sensorik. Sedangkan vibrilasi ventrikel jantung dapat menyebabkan kematian mendadak.

IV. ANAMNESIS Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat

perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri, dan harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga. Riwayat ”AMPLE ” patut diingat : A : alergiM : medicalP : past illness L : last mealE : event/environment yang berhubungan dengan kejadian trauma

Dalam menanggulangi trauma harus diketahui riwayat terjadinya trauma karena dari riwayat tersebut dapat diketahui atau diduga bagian tubuh yang cedera dan jenis kelainannya. Pada luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena dengan mengetahui arah tusukan, bentuk pisau atau golok, dan cara memegang alat penusuk tadi. Seseorang yang jatuh kepala dulu, selain cedera kepala, besar kemungkinan juga menderita patah tulang leher, sedangkan jatuh terduduk dapat mengakibatkan patah tulang punggul atau lumbal. Begitu juga bila jatuh berdiri dari ketinggian, cedera ini dapat menimbulakan patah tulang kompresi tulang kalkaneus. Korban kecelakaan lalu lintas dapat diduga jenis cederanya dengan mengetahui apakah ia pengemudi, penumpang di samping pengemudi, penumpang di belakang pengemudi, pengendara sepeda motor, pembonceng atau pejalan kaki. V. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma. Prioritas yang selalu harus diingat adalah :

1. Apakah jalan nafas bebas?2. Apakah penderita bernafas dengan leluasa?3. Apakah nadi dapat diraba dan jantung berdenyut?4. Apakah ada pendarahan masif?

4

Page 5: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Dalam menilai sirkulasi, sifat dan kualitas nadi lebih peka dibandingkan tekanan darah, karena tekanan darah sifatnya relatif. Manifestasi klinis dari gangguan stabilitas kardiovaskuler adalah rasa haus dan lemas. Rasa ini diikuti oleh tanda semacam hipotensi, takikardia, pucat, gelisah, dingin daerah akral, menurunnya pengisian kapiler, sianosis dan menurunnya produksi urin. Tindakan berikutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh.

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUMPemeriksaan laboratorium pada trauma, selain golongan darah, pemeriksaan

kadar hemoglobin dan hematokrit serta pemeriksaan sedimen urin dapat membantu menentukan adanya cedera atau pendarahan di saluran kemih.

VII. PENCITRAANPencitraan rontgen berguna dalam menentukan adanya patah tulang,

sedangkan sonografi berguna, terutama untuk pemeriksaan jaringan padat, seperti hati, pankreas, limpa dan ginjal. Bila perlu dilakukan CT scan untuk pemeriksaan otak dan tengkorak.

VIII. PENILAIAN DERAJAT TRAUMALuas dan beratnya trauma ditentukan oleh nilai derajat trauma yang dipakai

sejak 1981 dan memberikan gambaran beratnya trauma, berdasarkan pemeriksaan pernapasan, pendarahan, dan kesadaran. Angka ini penting untuk menentukan klasifikasi dan prognosis penderita cedera berat. Penilaian gerak napas di dada dan pengisian kembali kapiler tidak digunakan untuk menilai derajat trauma sebab sukar menentukan angka bakunya. Pernapasan ditentukan frekuensinya, perdarahan dinilai berdasarkan tekanan darah arterial, sedangkan kesadaran diukur berdasarkan skala koma Glasgow ( trauma severity score = Glasgow coma score ) yang direduksi kira-kira seperempat dari angka penilaiannya.

Untuk derajat trauma, setiap parameter diberi angka 0 sampai 4 (makin rendah makin buruk keadaan). Beratnya trauma diperkirakan berdasarkan jumlah semua angka; jadi terendah adalah 0 dan yang tertinggi 12.

5

Page 6: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Tabel 2. Angka Derajat Trauma Tabel 3. Skala Koma GlasgowPemeriksaan Angka

Pernapasan (kali/menit)10-29 4>29 36-9 21-5 10 0

Tekanan sitol (mmHg)>89 476-89 350-75 21-49 10 0

Skala koma Glasgow13-15 49-12 36-8 24-5 13 0

IX. RESPON METABOLIKPada kejadian trauma, akan timbul respon metabolik yang secara umum

berhubungan denga tingkat keparahan trauma. Respon metabolik yang terjadi pada trauma dapat dibagi menjadi dua fase,

yaitu :1. Ebb Phase

Fase ini terjadi sesaat setelah trauma dan berlangsung dalam jangka waktu yang pendek yaitu sekitar 12-24 jam. Fase ini berhubungan dengan terjadinya syok hipovolemik dan hipoksia jaringan. Manifestasi dari fase ini pada umumnya adalah penurunan cardiac output, konsumsi oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh. Tingkat insulin pun menurun sebagai respon langsung terhadap peningkatan

AngkaE. Mata membuka

spontan 4setelah dipanggil 3dengan rangsang nyeri 2tidak pernah 1

M. Respons motorikmengikuti perintah 6dapat menunjuk letak nyeri 5gerak fleksi menarik 4gerak menarik anggota badan 3gerak meluruskan anggota 2tidak ada 1

V. Respon verbalpembicaraan terarah 5bingung, bicara tak terarah 4bicaraan kacau 3suara tak dimengerti 2tidak ada 1

6

Page 7: Nutrition for Multiple Trauma Patient

glukagon, dan hal ini sebagian besar sebagai sinyal untuk meningkatkan produksi glukosa di hepar

2. Flow PhaseFase ini terjadi setelah pemberian resusitasi cairan dan pemulihan transpor oksigen. Fase ini ditandai dengan peningkatan cardiac output, konsumsi oksigen, suhu tubuh, energy expenditure, dan total body protein catabolism, hipermetabolisme serta metabolisme glukosa yang terganggu. Secara fisiologis, terdapat tanda-tanda peningkatan pada produksi glukosa, pelepasan asam lemak bebas, tingkat sirkulasi insulin, katekolamines, glukagon, dan kortisol.

Tabel 1. Karakteristik Fase-Fase Metabolik pada Trauma EBB PHASE FLOW PHASERESPONSE Acute Response Adaptife Response

Hypovolemic Shock Catabolism Predominates Anabolism Predominates↓ tissue perfusion ↑ glucocorticoids Hormonal response

gradually diminishes↓ metabolic rate ↑ glucagons ↓ hipermetabolic rate

↓oxygen consumption ↑ catecholamines Associated with recovery↓ blood pressure Release of cytokines, Potensial for restoration

lipid mediators of body protein↓ body temperature Production of acute Wound healing depends

phase proteins in part on nutrient intake↑ excretion of nitrogen

↑ metabolic rate↑ oxygen consumption

Impaired utilization of fuels

HipermetabolismeGangguan metabolisme energi pada pasien trauma didasarkan pada perubahan

Energy Expenditure akibat respon metabolik terhadap stress, di mana pada kondisi hipermetabolisme terjadi peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR) yang diprediksi berdasarkan umur, jenis kelamin dan ukuran tubuh.

Pada fase Ebb, terjadi ketidakstabilan hemodinamik, penurunan perfusi jaringan, dan kadar pelepasan katekolamin yang tinggi. Fase ini ditandai dengan total konsumsi oksigen (VO2) yang rendah, penurunan suhu tubuh, vasokontriksi, Cardiac Output rendah, dan Basal Metabolic Rate yang rendah.

Fase Ebb akan digantikan oleh fase Flow di mana terjadi hipermetabolisme yang ditandai dengan VO2 yang tinggi, kehilangan protein dan nitrogen yang cepat, dan peningkatan Basal Metabolic Rate. Tingkat hipermetabolisme berhubungan dengan tingkat keparahan dari trauma. Pada pasien dengan trauma majemuk BMR meningkat sebesar 50%.

Bersamaan dengan terjadinya hipermetabolisme, terjadi peningkatan suhu sekitar 1 s.d. 2oC. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan thermoregulatory setpoint pada otak sebagai respon terhadap trauma.

Page 8: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Karbohidrat ( glukosa )Setelah mengalami trauma, perubahan metabolisme yang terjadi adalah

hiperglikemi dan peningkatan kadar gula darah puasa yang berbanding lurus dengan derajat beratnya stress yang terjadi pada fase Ebb. Pada saat itu, tingkat insulin rendah dan produksi glukosa hanya sedikit meningkat. Setelah itu, selama fase Flow, konsentrasi insulin normal atau meningkat; namun hiperglikemi tetap berlangsung. Hal ini menunjukan adanya perubahan yang terjadi antara sensitivitas insulin dan penggunaan glukosa. Resistensi insulin diinduksi oleh hormon-hormon stress dan mediator inflamasi. Produksi glukosa hepatik terus meningkat dan terjadi glukoneogenesis yang dipercepat sehubungan dengan tingkatan trauma.

Pada pasien trauma, penggunaan glukosa oleh sistem saraf pusat hampir normal (120g/hari), sedangkan pada ginjal meningkat dua kali dari normal (75g/hari). Namun pada otot skelet, hanya sedikit glukosa yang digunakan, di mana sisanya digunakan oleh bagin tubuh yang cedera. Bagian tubuh yang cedera menggunakan glukosa secara anaerob sehingga dihasilkan produksi laktat yang meningkat. Laktat yang dihasilkan akan dibentuk kembali menjadi glukosa di dalam hati melalui cori cycle.

Pemberian insulin gagal untuk meningkatkan penggunaan glukosa. Selain itu pemberian glukosa maupun insulin juga gagal menekan produksi glukosa endogen.

Protein Katabolisme otot yang terus menerus merupakan masalah utama pada pasien

trauma. Lebih dari 21 hari setelah trauma, pasien akan kehilangan 16% dari jumlah total protein tubuhnya. Setelah 10 hari pertama, hampir ⅔ dari protein yang hilang berasal dari otot skelet..

Katabolisme protein yang meningkat menyebabkan peningkatan ekskresi nitogen. Ekskresi nitrogen ini berhubungan dengan luasnya trauma dan status nutrisi sebelum terjadinya trauma.

Keseimbangan nitrogen akan menjadi negatif bila kecepatan katabolisme meningkat dan sintesis protein tetap, atau kecepatan katabolisme tetap dan kecepatan sintesis protein meningkat. Pada pasien trauma, terjadi peningkatan katabolisme protein yang melebihi kecepatan sintesis. Akibatnya terjadi keseimbangan negatif.

Terdapat dua teori berbeda yang menjelaskan mengenai peningkatan katabolisme protein tersebut :1. Teori Klasik

Teori ini mengatakan bahwa katabolisme protein terjadi demi tersedianya asam amino untuk sintesis glukosa via glukoneogenesis, untuk sintesis acute-phase protein dan perbaikan jaringan, serta untuk oksidasi langsung untuk pembentukan energi.

2. Teori Alternatif Teori ini menjelaskan pentingnya persediaan glutamine untuk sel-sel imun.

Katabolisme protein pada otot menyebabkan peningkatan pelepasan asam amino oleh otot. Branched Chain Amino Acid (BCAA) mengalami transaminasi bersama α-ketoglutarat menghasilkan Branched Chain Keto Acid (BCKA) dan glutamat. BCKA akan dikonversi menjadi zar intermediet Ticarboxylic Cycle (TCA) atau masuk kedalam sirkulasi darah. Glutamat berperan sebagai prekursor untuk sintesis glutamin dan donor amino pada sintesis alanin. Oksidasi BCKA oleh otot akan meningkat pada kondisi trauma. Begitu pula dengan pelepasan alanin dan glutamin oleh otot.

Page 9: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Glutamin diekstrasi oleh ginjal untuk mengekskresikan asam dengan membentuk amonium. Efek ini diperkuat oleh hormon glukokortikoid. Glutamin jugan digunakan oleh traktus intestinum sebagai sumber energi. Sel enterosit usus mengubah glutamin menjadi amonia dan alanin yang kemudian disekresikan ke pembuluh darah vena porta. Amonia kemudian akan dikonversi menjadi urea dalam hati dan diekskresi, sedangkan alanin akan dibawa ke hati untuk menjadi prekursor glukoneogenesis. Reaksi ini juga ditingkatkan oleh rangsangan glukokortikoid.

LipidProfil lipid berubah setelah trauma. Kadar HDL menurun dengan drastic, kadar

LDL menurun sedikit, sedangkan kadar VLDL meningkat. Kadar kolesterol total menurun dimana kadar trigliserid meningkat. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap perubahan ini adalah kompleks, termasuk di dalamnya sitokin dan hormom-hormon stress terutama epinefrin melaui stimulasi β2 adrenergik.

Untuk membantu hipermetabolisme, peningkatan glukoneogenesis, dan fluks subsrat interorgan, terjadi peningkatan kecepatan mobilisasi dan oksidasi cadangan trigliserid. Hal ini diikuti pula oleh peningkatan turn over gliserol sebanyak dua kali lipat dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas.

Pasien dengan trauma berat dan tidak mendapat asupan makanan akan kehilangan cadangan protein dan lemak dengan cepat. Keadaan malnutrisi ini dapat meningkatkan resiko perdarahan, infeksi, dan lebih lanjut lagi kegagalan sistem organ, sepsis, dan kematian.

Respon HormonalPada semua fase trauma, terjadi peningkatan hormon glukagon, glukokortikoid

dan katekolamin. Selama fase ebb, axis simpatoadrenal terutama berfungsi untuk mempertahankan sirkulasi dan tekanan darah. Aktivitas axis simpatoadrenal bersama dengan peningkatan respon hormon memberikan berbagai respon metabolik.

Glukagon memilik efek yang poten terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati. Kortisol memobilisasi asam amino dari otot skelet, meningkatkan glukoneogenesis di ahti dan memelihara cadangan lemak dalam tubuh. Katekolamin merangsang glukoneogenesis hepar dan glikolisis, meningkatkan produksi laktat dari jaringan perifer, meningkatkan kecepatan metabolisme dan merangsang lipolisis.

SitokinSitokin dihasilkan baik oleh sel endotel jaringan atau organ yang mengalami

trauma dan oleh sel-sel imun. Sinyal polipeptida ini dihasilkan oleh organ sebagai respon terhadap bakteriemia atau endotoksinemia. Adapun sitokin yang paling berperan dalam respon ini adalah TNFα, IL-1, IL-2, IL-6 dan IFNγ.

TNFα merupakan sinyal utama yang menginisiasi respon metabolik terhadap trauma dan infeksi. TNFα merangsang penggunaan asam amino pada hepar dan sel endotel. IL-1 berperan dalam respon protein fase akut, termasuk peningkatan pemecahan protein myofibril dan sekresi asam amino oleh otot skelet, terutama glutamin. Seperti TNFα, IL-1 juga merangsang transpor glutamin ke sel endotel dan hepar.

Page 10: Nutrition for Multiple Trauma Patient

X. PENANGGULANGAN TRAUMAUrutan prioritas tindakan pada penderita cedera berat adalah resusitasi, kemudian

penanganan cedera yang mengancam jiwa, cedera tulang besar, tulang belakang, dan akhirnya cedera kulit, jaringan lunak, tendon dan saraf.

Pertolongan di luar rumah sakit terdiri atas trias resusitasi (Airway, Breathing, dan Circulation), menghentikan pendarahan, menjamin perlindungan cedera tulang belakang, dan membidai patah tulang ekstremitas. Tiga Kelompok Penderita Trauma

Ada tiga kategori penderita trauma menurut tingkat kegawatan cederanya dan proritas penanggulangan sesuai dengan tingkat cedera :1. Golongan pertama

Korban trauma yang menyebabkan gangguan faal organ vital seperti otak dan jantung sehingga dapat menyebabkan kematian. Golongan ini memerlukan pertolongan segera karena ABC tidak ada atau tidak stabil.

2. Golongan keduaCedera yang tidak membahayakan jiwa, seperti luka tembak, luka tusuk, atau trauma tumpul toraks dan abdomen dengan tanda vital yang masih baik.

3. Golongan ketigaPenderita trauma ringan atau yang pada pemeriksaan tidak memperlihatkan kelainan yang jelas.

Resusitasi Resusitasi merupakan tindakan pertolongan terhadap seseorang yang terancam

jiwanya karena gangguan pernapasan yang kadang disertai henti jantung. Keadaan ini dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di industri atau di rumah, tenggelam, cedera listrik, dan lain-lain.

Sebelum resusitasi dimulai harus diperhatikan keselamatan penolong dan korban. Kemudian segera upayakan pertolongan yang dibutuhkan seperti petugas kesehatan, ambulans, dan polisi

Resusitasi ditujukan untuk menjamin tersedianya oksigen di jaringan vital, terutama otak dan miokard. Untuk itu dibutuhkan jalan napas yang bebas (A = airway), pernapasan dan ventilasi paru (B = breathing) yang baik, serta transport melalui peredaran darah (C =circulation) yang memadai.Tabel 4. Prioritas Tindakan Pada Cedera Berat atau Cedera MajemukResusitasi

A. (airway): membebaskan jalan napas keluarkan penyebab obstruksi orofaring (gigi, darah, muntahan) letakan lidah di depan dengan hiperekstensi kepala pasang pipa mayo, Guedel, atau lakukan intubasi

B. (breathing): memelihara pernapasan napas buatan intubasi tanggulangi luka toraks, pneumotoraks, hematotoraks

C. (circulation): memelihara perdarahan atasi hipovolemi (hentikan perdarahan, infus) pungsi tamponade jantung kempaan toraks atau masase jantung (15 kompresi : 2 napas)

Page 11: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Cedera yang mengancam jiwa perdarahan intra kranial perdarahan dalam toraks dan atau/ perut cedera pembuluh darah besar

Dalam penanggulangan trauma majemuk, selain melakukan trias resusitasi sebagai tindakan pertama, juga harus diketahui riwayat cederanya sehingga dapat diperkirakan organ dan sistem tubuh mana yang akan mengalami kegagalan. Sambil melakukan resusitasi, dipasang dua infus di tangan. Pemberian infus dimulai dengan larutan NaCl, ringer laktat, atau darah sebanyak 1000 cc.XI. NUTRITIONAL ASSESSMENT

Penilaian nutrisi pada pasien trauma membantu klinisi untuk menentukan kebutuhan harian energi dan protein. Riwayat medis dan pemeiksaan penting untuk diperhatikan.

Nutritional assessment dan kebutuhan nutrisi pada pasien trauma dapat ditentukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :1. Menentukan BMR berdasarkan umur, jenis kelamin, dan BSA dari tabel Fleisch dan

Harris-Benedict Equation ( BMR dalam kcal/hari ).2. Menentukan peningkatan persentase angka metabolik (faktor stress) kemudian

dikalikan dengan BMR. Faktor stress adalah persentase peningkatan kebutuhan energi dan tergantung dari berat ringannya penyakit. Faktor stress dipengaruhi oleh suhu tubuh, aktivitas fisik dan luasnya trauma.

3. Menambahkan hasil no. 2 dengan BMR ( stress factor x BMR + BMR ).4. Tambahkan 25% × BMR.

Penambahan 25% ini ditujukan untuk menghitung EE berkaitan dengan pengobatan dan aktivitas selama di rumah sakit (berjalan, terapi fisik, duduk, dll). Penambahan ini tidak berlaku bagi pasien yang tidak aktif.

5. Total hasil dari langkah 1-3 adalah kebutuhan energi pasien trauma untuk mempertahankan berat badannya.

6. Untuk menentukan kebutuhan nitrogen, hasil pada langkah 4 dibagi oleh 150. Rasio nitrogen terhadap kalori non protein pada orang normal sebesar 1:300 s.d. 350. Jadi, untuk setiap 300 s.d. 350 kcal energi, diberikan 1g N. Pada pasien yang dalam kondisi kritis, rasio optimal nitrogen dengan kalori non nitrogen berkisar antara 1:150 dan 1:200. Dari hasil tersebut dapat ditentukan kebutuhan protein. Protein = 6,25 × nitrogenJadi, sekitar 15 s.d. 20% asupan energi harus berasal dari protein.

7. Diperkirakan 60-70% dari kebutuhan kalori pada langkah 4 sebagai kebutuhan glukosa pasien.Berdasarkan penelitian Black,dkk. Pemberian glukosa menunjukkan adanya kecepatan penggunaan glukosa yang konstan sekitar 6 s.d. 7mg/kg/ menit, di mana berdasarkan nilai ini diperkirakan kebutuhan kalori dari glukosa sebanyak 60 s.d. 70% asupan energi. Pemberian glukosa yang lebih besar dapat berhubungan dengan peningkatan komplikasi seperti hiperglikemia, kondisi heperosmotik, disfungsi hepar dan insufisiensi respirasi.

8. Sisa dari kebutuhan kalorik di atas ditentukan sebagai kebutuhan lemak pasien.

Page 12: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Bila glukosa digunakan sebagai sisa dari kebutuhan kalori, insulin mungkin dibutuhkan untuk mencegah hiperglikemi. Emulsi lemak harus diberikan 2-3 kali perminggu untuk memenuhi kebutuhan asam lemak esensial.

9. Perlu dilakukan penilaian ulang terhadap kebutuhan energi dan nitrogen setidaknya dua kali seminggu. Berat badan pasien tetap dipantau setiap harinya.

Pemeriksaan Nutrisi TambahanBila dengan langkah-langkah di atas pemberian nutrisi tidak memberikan hasil

yang memuaskan karena pasien kehilangan berat badan secara bertahap, kebutuhan energi dapat diukur dengan Indirect Calorymetry, dengan penggunaan parameter respiratori berupa konsumsi oksigen (VO2) dan produksi karbondioksida (VCO2). VO2 dan VCO2 ditentukan dalam keadaan istirahat, tidak stress, dan dalam kondisi basal (Resting Energy Expenditure).Hubungan parameter respirasi dengan EE : Metabolic rate (kcal/jam) = 3,9 × VO2 (L/jam) + 1,1 VCO2 (L/jam)Untuk menentukan kebutuhan energi pasien, nilai harus ditingkatkan 20-30%untuk aktivitas fisik yang minimal.

Keseimbangan nitrogen membantu untuk menentukan efektivitas pemberian nutrisi. Olehkarena itu keseimbangan nitrogen harus ditentukan pada riwayat klinis yang tidak memuaskan . N bal ( gr/hari ) = N in – N out Hampir semua nitrogen diekskresikan melalui urin, terutama dalam bentuk urea. Oleh karena itu dilakukan pengukuran Urine Urea Nitrogen (UUN). Nilai UUN ini merupakan 80% dari nitrogen pada urin. Sebagai tambahan, sekitar 2g/hari nitrogen diekskresikan melalui feses maupun kulit. Jadi penghitungan nitogen yang diekskresikan adalah :

Nout = (UUN: 0,8 ) + 2 g/hari + aa = kehilangan nitogen dari luka.

Nitrogen diperkirakan sebesar 16% dari asupan protein. Jadi penghitungan asupan nitrogen adalah :

Nin = protein intake (g/hari) x 0.16Ekskresi UUN dalam gram/hari, selain dapat digunakan untuk menentukan

nitrogen output, dapat pula digunakan untuk mengevaluasi derajat hipermetabolisme.

Tabel 5. Derajat Hipermetabolisme berdasarkan UUN

X. DRUG THERAPYPemberian obat-obatan bagi penderita trauma ditujukan sebagai bantuan hidup

lanjutan setelah penderita menerima trias ABC, dan untuk membantu penderita mencapai

UUN Derajat Metabolisme

0-5 Normometabolism5-10 Mild hypermetabolism / level 1 stress10-15 Moderate hypermetabolism / level 2 stress> 15 Severe hypermetabolism / level 3 stress

Page 13: Nutrition for Multiple Trauma Patient

kondisi yang stabil dan pemulihan sirkulasi spontan. Pemberian obat-obtan ini umunya dibarengi pula dengan pemberian cairan melalui infus.

Adrenalin (Epinefrin) 0,5-1 mg I.V. Ulangi dosis lebih besar jika perlu NATRIUM BIKARBONAT 1 mEq/kg I.V., jika henti jantung lebih dari 2 menit. Dosis ini diulangi setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi. Monitor dan normalkan pH arteri.

XI. NUTRITIONAL THERAPYKarbohidrat

Studi menggunakan Inirect Calorymetry menunjukan bahwa nilai infus glukosa yang memberikan hasil maksimal dari oksidasi glukosa adalah 7 mg/kgBB/menit. Pemberian karbohidrat harus memenuhi 60-70% dari kalori non-protein. Insulin harus diberikan pula untuk menjaga kadar glukosa darah sekitar 100 s.d. 150 mg/dl.

Pemberian glukosa yang lebih dari nilai kapasitas oksidatif maksimal yang dianjurkan dapat memberikan efek yang kurang baik dengan adanya peningkatan berlebih cadangan glukosa, peningkatan lipogenesis, dan infiltrasi lemak di hati. Nantinya, oksidasi glukosa yang tinggi dan lipogenesis akan meningkatkan produk CO2 yang memiliki efek buruk bagi pasien terutama pasien dengan gagal napas.

Protein Alasan utama pemberian nutrisi setelah trauma adalah untuk mengurangi

katabolisme protein dan meningkatkan sintesis protein. Kehilangan protein meningkat setelah trauma karena kehilangan dari saluran gastrointestinal dan eksudatif kutaneus. Kehilangan protein ini tidak selalu berarti kebutuhannya meningkat pula.

Pemberian protein dianjurkan 1,5-3 g/kgBB/hari, dengan rasio non-protein energi : nitrogen = 100 : 1 (kcal/g). bila ditemukan adanya kegagalan organ, rasio non-protein energi : nitrogen menjadi 150 : 1.

Glutamine merupakan bagian terbesar dari asam amino bebas dalam tubuh dan otot, 70-80% dari total asam amino tubuh. Protein ini adalah non toksik nitrogen shuttle untuk transport amonia dari jaringan perifer ke hati atau ginjal.

Alanin merupakan sebagai substrat utama untuk glukoneogenesis. Untuk alasan solubilitas dan stabilitas larutan, glutamine tidak dapat diberikan bersama asam amino lainnya. Namun dapat diberikan secara parenteral sebagai dipeptide (alanin-glutamin atau glisin-alanin) yang dapat dihidrolisis di sirkulasi. Arginin juga merupakan asam amino yang penting. Arginin juga digunakan oleh tubuh pasien trauma dalam jumlah besar, dan keseimbangannya tidak dapat dicapai dengan pemberian campuran asam amino standar. Konsentrasi plasma arginin berkurang dalam jumlah besar setelah terjadi trauma dan keseimbangan tidak dapat dicapai tanpa asupan eksogen. Arginin berperan dalam pembentukan ornithin untuk membantu proses perbaikan sel dan pembentukan nitrit oksida yang berperan dalam fungsi makrofag.

Lipid Emulsi lemak telah lama digunakan pada pasien dengan keadaan kritis, terutama

pada mereka yang dibatasi volumenya. Pemberian lemak didasarkan karena pada pasien trauma ditemukan defisiensi asam lemak esensial, seperti defisiensi asam linoleat setelah 5 hari dan penurunan asam linolenat setelah 7 hari. Kuantitas minimal pemberian lipid untuk menghindari defisiensi asam lemak esensial adalah sekitar 100 g/minggu.

Page 14: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Pemberian lemak harus memenuhi sekitar 15-40% dari kalori non-protein dengan rasio asam lemak n-3 dengan n-6 yang lebih besar.

Elektrolit Pasien trauma memiliki kebutuhan khusus yang membedakan mereka dari pasien

penyakit kritis lainnya.Tabel 6. Kebutuhan Mineral pada Pasien Trauma Dewasa

Mineral Kebutuhan perhariSodium 2-3 mmol/kgBBPotassium IV : 1-2 mmol/kgBBCalcium E : 1200 mg

IV : 4 mmolMagnesium E : 400mg

IV : 4mmolPospat E : 1200mg

IV : 3-4 mmol

MikronutrienMikronutrien, yaitu trace element dan vitamin, memiliki fungsi anti oksidan.

Fungsi inilah yang memiliki peranan penting pada pasien trauma dimana produksi radikal bebas dan lipid peroksidasi meningkat.

Tabel 7. Kebutuhan Mikronutrien pada Pasien Trauma DewasaTrace elements Vitamins

Dosis intravena

Perbandingan dengan nilai

normal

Dosis intravena

Perbandingan dengan nilai

normalCopper 2 mg 2 X Vit B1 100 mg 30 X

(4 mg) 4 XSelenium 150 µg 3 X Vit C 1000 mg 13 X

300 µg 6 XZinc 20 mg 3 X Vit A 10.000 IU 3 X

(30 mg) 4,5 XVit E 100 mg 10 X

XII. DIETARY THERAPYRute pemberian nutrisi yang lebih didahulukan adalah dengan pemberian oral;

bagaimanapun pasien trauma majemuk sering tidak bisa makan karena intubasi endotrakeal dan pemasangan ventilator. Lebih lagi, pemberian oral tidak bisa dilakukan karena gangguan mengunyah, menelan, atau anoreksia yang diinduksi oleh rasa sakit karena pengobatan atau syok post-traumatik dan depresi.

Page 15: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Pasien yang bisa makan pun masih sering tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan energi yang meningkat sekaitan dengan stress metabolic dan penyembuhan, oleh sebab itu kerap dibutuhkan Enteral Tube Nutrition. Saat EN gagal untuk memenuhi kebutuhan nutrisi atau pemberian makanan melalui gastrointestinal menjadi kontra indikasi, nutrisi parenteral harus diberikan. Pemberian mekanan secara oral tidak dilakukan pada pasien dengan trauma fasial. Pada anak-anak, orang dewasa, pasien dengan trauma kepala, pemberian dengan tube feeding dapat dilakukan.

Nutrisi EnteralDewasa ini, pemberian nutrisi enteral telah disadari dan memiliki peranan penting

dalam penanganan pasien trauma majemuk. Pemberian TPN mungkin dapat mempertahankan status nutrisi pasien yang tidak dpat menerima EN, namun tidak adanya nutrisi di lumen usus meningkatkan atrofi mukosa yang dapat berkontribusi pada hipermetabolisme, sepsis dan Multi Organ Dysfunctions Syndrome. Pemberian EN membutuhkan pengetahuan mengenai status motilitas usus pasien, antisipasi bagian untuk pemberian nutrisi, komorbiditas sebelum injuri yang mengharuskan pemberian formula khusus.

Pada pasien dengan diare, pemberian enteral menjadi terbatas. Oleh karena itu, ketika kebutuhan nutrisi tidak dicapai secara oral dan enteral, pemberian secara intravena dapat dilakukan.

Total Parenteral NutritionThe Guidelines of The American Society for Parenteral and Enteral (ASPEN)

menyatakan bahwa penggunaan TPN pada pasien trauma kritis harus diberikan dalam kondisi berikut : 1. Kondisi pasien tidak lagi bisa menerima nutrisi enteral.2. Pemberian EN tidak bisa memenuhi kebutuhan nutrisi.3. Pemberian makanan melalui saluran gastrointestinal menjadi kontra indikasi.

Pada pasien trauma tanpa malnutrisi, elektrolit dan sedikit kalori diberikan melalui intra vena pada hari pertama. Namun karena beberapa pasien pada awal trauma memiliki keseimbangan negatif mikronutrien, maka multiple-trace element dan suplemen vitamin harus diberikan. Nutrisi ini dapat diberikan dalam satu vial berisi multiple trace elemen, 100 mg thiamin, dan 500 mg vit C.

Bila fungsi usus terganggu, nutrisi parenteral harus diberikan 5 hari setelah trauma. Bila pemeriksaan Indirect Calorymetry tidak dilakukan, kebutuhan energi dapat ditentukan pada 30 kcal/kgBB/hari; pemberian ditingkatkan setelah 2-3 hari.

Page 16: Nutrition for Multiple Trauma Patient

Algoritma Pemberian Nutrisi pada Pasien Trauma