Makalah Nutrition Professional Ethic

26
MAKALAH NUTRITION PROFESSIONAL ETHIC Perbandingan Kode Etik Ahli Gizi Antara Indonesia dengan New Zealand dan Swedia OLEH MAUDYANA NISA PRANINDYASARI 145070300111014 (GIZI A1 2014) PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN

description

Mengenai perbandingan kode etik ahli gizi di 3 negara

Transcript of Makalah Nutrition Professional Ethic

MAKALAH NUTRITION PROFESSIONAL ETHICPerbandingan Kode Etik Ahli Gizi Antara Indonesia dengan New Zealand dan Swedia

OLEHMAUDYANA NISA PRANINDYASARI145070300111014 (GIZI A1 2014)

PROGRAM STUDI ILMU GIZIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG2015

BAB I PENDAHULUANA. Latar BelakangKode etik adalah suatu bentuk aturan tertulis yang secara sistemik sengaa dibuat dengan berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada. Kode etik ahli gizi adalah suatu peraturan yang sengaja dibuat untuk tenaga profesi gizi agar dapat memberikan pelayanan dan menjalankan profesinya dengan baik, berkualitas dan profesional. Seorang ahli gizi diuntut untuk dapat meningkatakan status gizi baik secara perseorangan atau kelompok yang sakit maupun yang sehat. Selain itu, ahli gizi juga diharuskan memberikan konseling terkait diet yang terbaik untuk pasien. Hal tersebut tidak akan dapat terlaksanakan apabila tidak disertai dengan sikap, perilaku, budi luhur, dan kerja sama yang baik yang telah diatur dalam kode etik ahli gizi. Namun saat ini, ahli gizi di Indonesia masih banyak yang tidak mentaati, tidak menerapkan, dan tidak mengetahui kode etik profesi gizi khusunya kode etik ahli gizi di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kurangnya ahli gizi di suatu instansi maupun kurangnya rasa profesionalisme dalam seorang ahli gizi. Sedangkan, zaman semakin berkembang, teknologi semakin maju, dan pengetahuan pasien semakin luas. Hal tersebut menuntut ahli gizi untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme seorang ahli gizi. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap ahli gizi akan berkurang dan tingkat masyarakat yang sehat dan produktif akan menurun. B. Rumusan Masalah1. Bagaimana persamaan kode etik profesi gizi antara Indonesia, New Zealand, dan Swedia ?2. Bagaimana perbedaan kode etik profesi gizi antara Indonesia, New Zealand, dan Swedia ?

C. Tujuan1. Mengetahui persamaan kode etik ahli gizi antara Indonesia, New Zealand, dan Swedia2. Mengetahui perbedaan kode etik ahli gizi antara Indonesia, New Zealand, dan SwediaBAB IIPEMBAHASANA. Kewajiban Umum Ahli Gizi1) Kewajiban Ahli Gizi Indonesia1. Ahli gizi berperan meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan serta berperan dalam meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat.2. Ahli gizi berkewajiban menjunjung tinggi nama baik profesi gizi dengan menujukan sikap, perilaku, dan budi luhur serta tidak mementingkan diri sendiri.3. Ahli gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya menurut standar profesi yang telah ditetapkan.4. Ahli gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya bersikap jujur, tulus, dan adil.5. Ahli gizi berkewajiban menjalankan profesinya berdasarkan prinsip keilmuan, informasi terkini, dan dalam menginterpretasikan informasi hendaknya dengan objektif tanpa membedakan individu dan dapat menunjukan sumber rujukan yang benar.6. Ahli gizi berkewajiban senantiasa mengenal dan memahami keterbatasannya sehingga dapat bekerjasama dengan pihak lain atau membuat rujukan jika diperlukan.7. Ahli gizi dalam melakukan profesinya mengutamakan kepentingan masyarakat dan berkewajiban senantiasa berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.8. Ahli gizi dalam berkerjasama dengan para profesional lain di bidang kesehatan maupun lainnya berkewajiban senantiasa memelihara pengertian yang sebaik-baiknya.

2) Kewajiban Ahli Gizi New Zealand1. Make the best interests of the patient/client the top priority.2. Promote the health and well being of the patient/client while respecting and facilitating patient/client autonomy.3. Respect the confidentiality, privacy and security of their patients/clients.4. Be competent, objective and honest.5. Keep high standards of professional conduct and assume responsibility and accountability for their actions.6. Advertise, endorse, or promote products, brands or services, only in a manner that protects and supports the health and wellbeing of the New Zealand public and is supportive of the prevention of obesity and diet related chronic diseases, whilst also upholding the integrity of the profession.7. Show respect for their colleagues and the profession.8. Act in a manner that promotes public trust and confidence in dietitians and enhances the reputation of the profession.9. Recognise and comply with their social and legal responsibilities for the care and health of families and communities.10. Keep their professional knowledge and skills up to date.

3) Kewajiban Ahli Gizi Swedia1. To provide treatment or information based on scientific evidence and proven experience and actively represent this professional expertise in contacts within health and medical care and society in general.2. To endeavor at all times adhere to the professions established and accepted correct use of languange, in an understandable form, when informing patients and staff, in written publications and in contacts with media.3. To be aware of ones role as a representative of the profession in official situations, and in contact the media, an to strive for objectivity and a serious image.4. To understand the complexity of illness processes and the limits of the clinical dietitians own competence and role in the treatment of patients5. To seek advice and knowledge from colleagues as well as from other professions when required.6. To document the nutritional treatment.7. To transfer relevant information to others involved in the treatment of the patient.8. Not to allow the clinical dietitians duties and work to be used to meet other needs of the patient.9. To maintain personal levels of competence by continually following the scientific and other literature within the nutritional and relevant medical fields, as well as participating in further education.10. To work using the nutritional care process as the overall structure11. Not to allow thoughts of personal gain to influence the treatment and information given.12. To maintain a rational and critical position with regard to all forms of marketing and information and to be aware of the commercial interests behind parts of this information.13. Obligations towards parties concerned apply independent of their sex, age, ethnicity, colour of skin, sexual orientation, religion, political and social affiliations.

4) Persamaan Kewajiban Umum Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dengan New Zealand dan SwediaSecara umum kewajiban umum ahli gizi yang terdapat dalam kode etiik Indonesia , New Zealand, dan Swedia adalah hampir sama, yaitu ketiga kode etik tersebut mewajibkan ahli gizi untuk menjunjung tinggi nama baik profesi gizi dan menjalankan profesinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan serta memiliki perilaku jujur, adil dan berbudi luhur, juga objektif (tidak memilih-milih pasien) dalam memberikan saran pada klien/pasien. Hal itu harus dilakukan agar pasien/klien menjadi lebih nyaman dan terbuka dalam melakukan konsultasi. Selain itu, kedua kode etik tersebut juga mewajibkan ahli gizi utuk selalu memperbarui pengetahuan dan kemampuannya berdasrkan prinsip keilmuan dan informasi terkini. Hal itu harus dilakukan oleh seorang ahli gizi agar dalam memberikan saran diet yang tepat kepada pasien berdasarkan hasil penelitian atau informasi terkini. Ketiga kewajiban umum tersebut juga menjelaskan bahwa peran seorang ahli gizi adalah meningkatkan status gizi dan kesehatan pasien/klien. Di samping itu, kewajiban umum seorang ahli gizi yang sama menurut tiga kode etik tersebut adalah seorang ahli gizi harus menjaga hubungan baik dengan tenaga keshatan lain. Hal ini sangat diperlukan karena dalam menjaga kesehatan secara utuh tdak hanya dapat diperbaiki dari salah satu sisi namun harus meliputi semua aspek kesehatan baik itu gizi maupun status kesehatan itu sendiri.5) Perbedaan Kewajiban Umum Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dengan New ZealandPerbedaan kewajiban umum kode etik antara ahli gizi Indonesia dengan New Zealand adalah kode etik Indonesia sangat mementingkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyatnya, mengutamakan kepntingan masyarakat dan ahli gizi harus melakukan upaya yang terbaik agar pasien atau kliennya dapat memiliki status gizi dan status kesehatan yang baik. Hal itu sesuai dengan masih tingginya angka gizi buruk di Indonesia. Sedangkan, Kewajiban umum kode etik ahli gizi New Zealand berisi bahwa seorang ahli gizi harus dapat menjaga rahasia pasien/kliennya, berkompeten, dan ahli gizi diperbolehkan mendukung atau mempromosikan produk, merek, atau layanan yang mrmiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat New Zealand dan mencegah penyakit kronis. Ahli gizi juga diwajibkan untuk mengakui dan mematuhi tanggung jawab sosial dan hukum untuk perawatan dan kesehatan keluarga masyarakat.6) Perbedaan Kewajiban Umum Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dengan SwediaPerbedaan kewajiban umum kode etik ahli gizi Indonesia dengan Swedia adalah kewajiban umum dalam kode etik Swedia bersifat lebih kompleks dikarenakan setiap point kewajiban umum ahli gizi dibahas secara mendalam. Namun, ada beberapa kewajiban umum ahli gizi Swedia yang benar-benar berbeda dari kewajiban umum ahli gizi, yaitu ahli gizi harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien/klien baik secara langsug maupun melalui media, seorang ahli gizi harus memahami batas-batas kompetensi ahli gizi dalam menagani pasien/klien. Selain itu, kewajiban umum ahli gizi Swedia juga berisi bahwa seorang ahli gizi harus mendokumentasikan pengobatan gizi dan memberikan informasi yang relevan kepada tenaga kesehtan lain yang terlibat dalam pengobatan klien/pasien.

B. Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Pasien/Klien1) Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Pasien/Klien dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia1. Ahli gizi berkewajiban sepanjang waktu senantiasa berusaha memelihara dan meningkatkan status gizi klien baik dalam lingkup institusi gizi atau di masyarakat umum.2. Ahli gizi berkewajiban senantiasa menjaga kerahasiaan klien atau masyarakat yang dilayaninya baik pada saat klien masih atau sudah tidak dalam pelayannya bahkan juga setelah klien meninggal dunia kecuali bila diperlukan kesaksian hukum.3. Ahli gizi dalam menjalankan profesinya senantiasa menghormati dan menghargai kebutuhan unik setiap klien yang dilayani dan peka terhadap perbedaan budaya, dan tidak melakukan diskriminasi dalam hal suku, agama, ras, status sosial, jenis kelamin, usia, dan tidak menunjukkan pelecehan seksual.4. Ahli gizi berkewajiban senantiasa memberikan pelayanan gizi prima, cepat, dan akurat.5. Ahli gizi berkewajiban memberikan informasi kepada klien dengan tepat dan jelas, sehingga memungkinkan klien mengerti dan mau memutuskan sendiri berdasarkan informasi tersebut.6. Ahli gizi dalam melakukan tugasnya, apabila mengalami keraguan dalam memberikan pelayanan berkewajiban senantiasa berkonsultasi dan merujuk kepada ahli gizi lain yang mempunyai keahlian.

2) Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Pasien/Klien dalam Kode Etik Ahli Gizi New Zealand1. Provides services that are evidence informed and professional with objectivity and respect for the unique needs and values of all individuals without discrimination.2. Maintains confidentiality of patient/client information and maintains records that are objective, comprehensive, accurate and current.3. Provides sufficient information to enable the patient/ client to make their own informed decisions and act as the patients/clients advocate or agent if appropriate.4. Conducts her/himself with honesty, integrity and fairness with no physical, sexual, financial or emotional exploitation of clients, and acts to prevent conflicts of interest.5. Does not advertise in a false or misleading manner. Dietitians are responsible for setting fees at the value of service and should be prepared to discuss the fees with the patients/clients.

3) Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Pasien/Klien dalam Kode Etik Ahli Gizi Swedia 1. To regard the patient as autonomous, i.e. to see the patient as having the capability to make decisions concerning his/her own life.2. To keep informed at all times; of the patients diagnosis, treatment and needs and of various facrtors concerning the patients situation and to establish the goals together with the patient.3. To give advice and purpose treatment based on ones own profesioanal knowledge of the patients wishes and situation and to establish goals together with the patient.4. To respect the patients wishes as far as possible considering the demands of the profeaaian.5. To balance conssequences of the nutritional treatment against those of other treatment of the patient so that an overall positive outcome has priority.6. To take into consideration that there may be situations where the correct course of action is to end or not to start a nutritional treatment.7. To actively support and encourage the patient in the nutritional treatment and, as far as can be considered realistic, try to motivate the patient by means of information to carry out and complete the treatment.8. To make sure that the treatment is carried out with the patients informed consent. This means that the patient is capable of making decisions, understands the information and is under no form of compulsion when accepting the treatment. If the patient is a child the informed consent must be obtained from its guardian. When the child is mature enough to give its own consent it must be obtained together with that of the guardian. Where the patient is an adult incapable of makingdecisions, an informed consent must be obtained from the patients next-of-kin or guardian. In the absence of a guardian or next-of-kin, or if a certificate exists for compulsory admission to a psychiatric hospital in accordance with the law regulating compulsory psychiatric care, responsibility for deciding proper treatment rests with the clinical dietitian and physician.9. To treat patient information confidentially and to observe legally binding professional secrecy. Transfer of information over and above professional obligations may occur only after having obtained the patients consent.10. To ensure that documentation is factual, relevant, abserves the patients integrity and dignity. The dietitian has a legal obligation to keep documented records.

4) Persamaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Klien/Pasien antara Indonesia dengan New Zealand

Terdapat beberapa kesamaan antara kewajiban ahli gizi terhadap pasien baik dalam kode etik ahli gizi Indonesia maupun New Zealand. Keduanya sama-sama mewajibkan seorang ahli gizi untuk menghargai dan menghormati kebutuhuhan unik setiap klien yang dilayani tanpa melakukan diskriminasi, menjaga kerahasiaan pasien/klien dan memberikan pelayanan gizi yang cepat, prima, dan akurat. Ketiga hal tersebut harus dilakukan seorang ahli gizi terhadap pasien agar dapat mencapai status gizi dan kesehatan yang diharapkan (baik). Selain ketiga kewajiban di atas, terdapat juga persamaan pada kode etik yang mewajibkan ahli gizi memberikan informasi yang jelas dan akurat sehingga pasien/klien mengerti dan dapat menentukan keputusan sendiri terhadap saran yang telah diberikan ahli gizi. Dalam ghal ini, seorang ahli gizi tidak boleh memaksa klien untuk mengikuti saran yang telah diberikan ahli gizi. Namun, ahli gizi harus meyakinkan pasien/klien agar menggunakan saran yang telah diberikan.5) Perbedaann Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Klien/Pasien antara Indonesia dengan New ZealandSelain terdapat kesamaan, kewajiban ahli gizi terhadap pasien/klien dalam kode etik Indonesia maupun New Zealand memiliki perbedaan, yaitu di dalam kode etik New Zealand, terdapat kewajiban ahli gizi untuk menetukan biaya layananan yang harus disiapkan pasien/klien. Hal ini menunjukan bahwa mendapatkan biaya layanan konsultasi gizi tidak hanya merupakan hak namun merupakan kewajiban seorang ahli gizi untuk menetukannya. Selain itu, kewajiban ahli gizi terhadap pasien/klien dalam kode etik ahli gizi New Zealand juga menegaskan kembali bahwa seorang ahli gizi haru memiliki integritas, kejujuran, dan keadilan yang tinggi dalam memberikan layanan gizi. Hal tersebut ditegaskan kembali karena hal tersebut merupakan dasar kemampuan yang harus dimiliki ahli gizi agar pasien/klien memberikan kepercayaan kepada ahli gizi. Sedangkan, kewajiban ahli gizi terhadap pasien/ klien dalam kode etik ahli gizi Indonesia belum mencantumkan hal tersebut. Hal yang lebih ditekankan dalam kode etik Indonesia adalah kewajiban ahli gizi untuk menjalankan perannya yaitu berusaha memelihara dan meningkatkan status gizi klien/pasien dan di dalam mewajibkan ahli gizi Indonesia untuk saling berkomunikasi dan merujuk ke ahli gizi yang lebih baik apabila mengalami keraguan dalam memberikan pelayanan gizi.6) Persamaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Klien/Pasien antara Indonesia dengan SwediaPersamaan kewajiban ahli gizi terhadap klien/pasein dalam kode etik ahli gizi Indonesia dan Swedia adalah pertama, ahli gizi tidak boleh memaksakan saran gizi yang telah diberiakannya. Namun, pasien/klien dianggap mampu untuk menentukan keputusan hidupnya sendiri. Kedua, Ahli gizi harus menjaga kerahasiaan pasien/klien yang berhubungan dengan pengobatann, diagnosa, dan kebutuhan pasien/klien setiap saat bahkan ketika klien/pasien sudah tidak dalam pelayanan ahli gizi tersebut lagi atau pasien/klien telah meninggal. 7) Perbedaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Klien/Pasien antara Indonesia dengan SwediaKewajiban ahli gizi terhadapa klien/pasien dalam kode etik Swedia memiliki aturan kewajiban yang lebih kompleks dibandingkan peraturan kewajiban ahli gizi terhadap pasein di Indonesia, seperti di dalam kode etik Swedia terdapat peraturan yang mengatur mengenai kewajiban ahli gizi terhadap wali pasien/next-of-kin. Hal tersebut akan dibahas dalam sub bab selanjutnya. Namun di dalam kewajiban ahli gizi terhadap pasien/klien dalam kode etik Swedia juga membahas sedikit mengenai hal tersebut, yaitu apabila seorang pasien/klien tidak mampu memutuskan pengobatan atau saran gizi terbaik untuk dirinya maka akan diputuskan oleh wali pasien/next-of-kin. Namun, apabila wali tidak ada atau tidak mampu memutuskan maka yang akan memutuskan adalah ahli gizi/dokter. Selain itu, di dalam kewajiban ahli gizi terhadap pasien dalam kode etik ahli gizi Swedia mewajibkan ahli gizi untuk mengumpulkan dokumen riwayat gizi pasien/klien, memotivasi pasien/klien untuk menyelesaikan pengobatannya, memberikan saran diet yang tepat dan tidak bertentangan deg obat yang sedang dikonsumsi pasien/ahli gizi pasien/klien agar hasil pengobatannya dapat positif, dam ahli gizi juga harus menentukan waktu memulai dan mengakhiri pelayanan gizi yang diberikan kepada pasien/klien.C. Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Teman Seprofesi dan Mitra Kerja1) Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Teman Seprofesi dan Mitra kerja dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia1. Ahli Gizi dalam bekerja melakukan promosi gizi, memelihara dan meningkatkan status gizi masyarakat secara optimal, berkewajiban senantiasa bekerjasama dan menghargai berbagai disiplin ilmu sebagai mitra kerja di masyarakat.2. Ahli gizi berkewajiban senantiasa memelihara hubungan persahabatan yang harmonis dengan semua organisasi atau disiplin ilmu/profesional yang terkait dalam upaya meningkatkan status gizi, kesehatan, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat.3. Ahli gizi berkewajiban selalu menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan keterampilan terbaru kepada sesama profesi dan mitra kerja.

2) Kewajiban Terhadap Teman Seprofesi dan Mitra kerja dalam Kode Etik Ahli Gizi New Zealand1. Provides a supportive environment in the workplace and in professional organisations which encourages and promotes ethical behaviour, high professional standards and provides opportunities for career development2. Acts as a role model and supports the particular needs of the newly qualified dietitians.3. Makes all reasonable efforts to avoid bias in any professional evaluation, recognising legitimate differences of opinion.4. Provides full disclosure when a real or potential conflict of interest arises.5. In inter-professional relationships the dietitian has respect for practice within the professional bounds of competence and exercises objectivity in respecting differences of professional opinion demonstrated by other registered health professionals.

3) Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Teman Seprofesi dan Mitra kerja dalam Kode Etik Ahli Gizi Swedia1. To work for a trustful co-operation towards common goals.2. To work jointly with colleagues or ather professional groups in order to promote the interests of the patient in the best way possible.3. To explain ones own field of competence and to fulfill the obligations associated with the position.4. To respect the competence and field of responsibility of other profeddionals.5. To assist other clinical dietitians or representatives of other professions by giving advice and sharing knowledge and experience as requested. It is particularly important to introduce and support new and less experienced colleagues

4) Persamaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Teman Seprofesi dan Mitra kerja dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dan New ZealandKedua kewajiban ahli gizi terhadap teman seprofesi dan mitra kerja dalam kode etik Indonesia dan tidak memiliki persamaan yang signifikan. Persamaannya adalah kedua peraturan tersebut sama-sama membahas bahwa seorang ahli gizi diwajibkan menciptakan suasana dan lingkungan yaang nyaman antar teman seprofesi atau mitra kerja agar dapat melakukan disiplin ilmu yang baik dan menciptakan standar profesionalisme yang tinggi.

5) Perbedaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Teman Seprofesi dan Mitra kerja dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dan New ZealandTerdapat banyak perbedaan antara kewajiban ahli gizi terhadap teman seprofesi dan mitra kerja dalam kode etik ahli gizi Indonesia dan New Zealand, yaitu dalam kode etik ahli gizi New Zealand lebih menekankan profesionalisme antar mitra kerja atau teman seprofesi, seperti ahli gizi diwajibkan untuk mengeuarkan pendapatnye ketika menghadapi suatu kasus, menghargai perbedaan pendapat yang sah yang datang baik dari teman seprofesi maupun tenaga kesehatan profesional yang lain, melakukan upaya yang wajar atau sesuai standar agar menghindari bias dalam evaluasi profesional, dan menghormati serta mematuhi batas-batas profesional profesi. Sedangkan, dalam kode etik ahli gizi Indonesia, ahli gizi diwajibkan untuk melakukan promosi gizi, memelihara dan meningkatkan satus gizi masyarakat secara optimal, membangung hubungan yang harmonis antar profesi agar dapat meningkatkan status gizi dan kesehatan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan keterampilan terbaru kepada teman seprofesi dan mitra kerja.

6) Persamaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Teman Seprofesi dan Mitra kerja dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dan SwediaTerdapat beberapa persamaan dari kedua kode etik tersebut. Keduanya sama-sama mewajibkan seorang ahli gizi bekerja sama dangan tenaga kesehatan lain agar dapta meningkatkan status gizi dan kesehatan pasien atau klien. Selain itu, kedua kode etik tersebut juga mewajibkan ahli gizi agar menghormati dan menjaga hubungan profesionalitas dalam bidang atau kompetensi profesi masing-masing. Kode etik ahli gizi indonesia dan Swedia jug mewajibkan agar ahli gizi saling membagi informasi, pengetahuan, dan keterampilan baru yang dimiliki kepada teman seprofesi atau mitra kerja dari bidang kesehatan yang lain.7) Perbedaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Teman Seprofesi dan Mitra kerja dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dan SwediaPerbedaan kewajiban ahli gizi terhadap teman seprofesi dan mitra kerja di Indonesia dan Swedia hampir tidak ditemukan. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan pada peran ahli gizi Indonesia yang mewajibkan ahli gizi tidak hanya meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan, namun juga meningkatkan aspek yang lain, seperti kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

D. Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Profesi dan Diri Sendiri1) Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Profesi dan Diri Sendiri dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia1. Ahli gizi berkewajiban mentaati, melindugi, dan menjunjung tinggi kententuan yang dicanangkan oleh profesi2. Ahli gizi berkewajiban senantiasa memajukandan memperkaya pengetahuan dan keahlian ysng diperlukan dalam menjalani profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi terkini serta peka terhadap perubahan lingkungan3. Ahli gizi harus nmenunjukkan sikap percaya diri, berpengetahuan luas, dan berani mengemukakan pendapat serta senantiasa menunjukkan kerendahan hati dan mau menerima pendapat orang lain yang benar. 4. Ahli gizi dalam menjalankan profesinya berkewajiban untuk tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan pribadi termasuk menerima uang selain imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan pengetahuan klien/masyarakat (tempat di mana ahli gizi diperkerjakan).5. Ahli gizi berkewajiban tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum dan memaksa orang lain untuk melawan hukum.6. Ahli gizi berkewajiban memelihara kesehatan dan keadaan gizinya agar dapat bekerja lebih baik.7. Ahli gizi berkewajiban melayani masyarakat umum tanpa memandang keuntungan perseorangan atau kebesaran seseorang.8. Ahli gizi berkewajiban selalu menjaga nama baik profesi dan mengharumkan organisasi profesi.

2) Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Profesi dan Diri Sendiri dalam Kode Etik Ahli Gizi New ZealandDalam kode etik ahli gizi New Zealand belum disebutkan secara spesifik mengenai kewajiban ahli gizi terhadap diri sendiri dan profesi. Namun, secara tidak langsung kewajiban ini telah tertuliskan dalam kewajiban umum yaitu ahli gizi harus selalu meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam memberikan layanan gizi.3) Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Profesi dan Diri Sendiri dalam Kode Etik Ahli Gizi SwediaTo adhere to the employees guidelines and to show loyalty towards the employer as far as this is consistent with other demands of professional ethics.

4) Persamaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Profesi dan Diri Sendiri dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dengan SwediaPersamaan kewajiban ahli gizi terhadap profesi dan diri sendiri dalam kode etik ahli gizi Indonesia dengan Swedia adalah keduanya sama-sama mewajibkan ahli gizi untuk mematuhi standar dan etika profesi yang telah ada. Selain itu, ahli gizi juga wajib memiliki rasa loyalitas yang tinggi5) Perbedaan Kewajiban Ahli Gizi Terhadap Profesi dan Diri Sendiri dalam Kode Etik Ahli Gizi Indonesia dengan SwediaPerbedaan antara kewajiban ahli gizi terhadap profesi dan diri sendiri di Indonesi dengan Swedia sangat terlihat jelas. Peraturan kewajiban ahli gizi terhadap profesi dan diri sendiri di Indonesia mencantumkan kewajiban tersebut secara menyeluruh. Sedangkan, kode etik ahli gizi Swedia hanya berisi kewajiban ahli gizi untuk tat etiak profesi dan memiliki rasa loyalitas yang tinggi, sehingga sulit untuk dimengerti dan diterapkan.

D. Peraturan Dalam Kode Etik New Zealand dan Swedia yang Tidak Terdapat Dalam Kode Etik Indonesia1) Kode Etik New Zealand1. Kewajiban Ahli Gizi Dalam Memberikan Pelayanan Gizia. Accepts responsibility to provide the best standards of service possible for patients/clients with the available resources.b. Does not compromise standards of practice to meet commercial targets.c. Dietitians do not allow their professional standing to be used in the direct endorsement of commerciald. products. Scientific evidence is the only basis on which a positive health statement should be made for the general principles the product or services exemplifies.e. When dietitians are acting as agents for, or have a financial interest in a commercial organisation, their interest must be declared to patients/clients.f. Does not accept inducements, gifts or hospitality that may affect or be seen to affect judgement when makingg. referrals or arranging treatment or contracts.Dalam peraturan ini, ahli gizi Swedia diwajibkan untuk memiliki tanggung jawab terhadap standar pemberian pelayanan gizi terbaik dan tidak membahayakan kondisi pasien. Selain itu, apabila terdapat maksud komersial dalam pemberian layanan harus dinyatakan terlebih dahulu kepada pasien/klien. Sebenarnya, beberapa dari peraturan ini telah terdapat di dalam kode etik Indonesia hanya saja pengelompokan kewajibannya yang berbeda. Di Indonesia, peraturan ini telah terdapat dalam sub bab kewajiban ahli gizi terhadap profesi dan diri sendiri.2. Tanggung Jawab Hukum dan Sosiala. Complies with the Dietitians Act 1950, to be replaced by the Health Practitioners Competence Assurance Act and all other relevant laws and regulations.b. Accepts the obligation to conduct her/himself in accordance with the ethical principles espoused in this code.c. Reports to the Registrar of the Dietitians Board if she/he becomes aware that their professional competence, expertise, personal health status, circumstances or ability to practise may be impaired and needs to withdraw from or limit practice.d. Accepts the obligation to raise any issues about breaches of the code and/or complaints about breaches of this code with the Registrar of the Dietitians Board.e. Complies with the responsibilities set out in the Code of Consumers Rights.

2) Kode Etik Swedia1. Kewajiban Ahli Gizi terhadap Wali/Keluarga Pasiena. To be explicit to the next-of-kin that the clinical dietitian represents the patientb. To inform the next-of-kin concerned of the treatment only after having obtaines the patients consentc. To involve the next-of-kin in the treatment only after having obtained teh patients consent.Kewajiban ini dapat dilaksanakan seorang ahli gizi apabila pasien/klien dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk memutuskan pelayanan gizi dan apabila klien masih berusia anak-anak.2. Kewajiban Ahli Gizi Terhadap SosialTo take responsibility towards society, mainly through providing information onmmatters concerning nutrition and nutritional treatment, using ones own competence based on scientific evidence and proven experience.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanIndonesia, New Zealand, dan Swedia memiliki kode etik ahli gizi yang berbeda baik secara isi maupun jenisnya. Meskipun begitu, ketiga kode etik ini memiliki tujuan yang sama yaitu mewajibkan ahli gizi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di bidang kesehatan dan gizi. Sebenarnya, tidak semua peraturan yang berada di dalam kode etik ketiga negara itu berbeda tetapi ada beberapa kode etik yang maksud dan tujuannya sama, hanya saja cara penyajiannya yang berbeda.Berdasarkan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, kode etik Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan kode etik New Zealand, dan memiliki sedikit persamaan dengan kode etik Swedia, terutama dalam bagian kewajiban umum seorang ahli gizi. Meskipun banyak memiliki kesamaan, kode etik Indonesia dan Kode etik New Zealand masih memiliki kekurangan. Kekurangan kode etik Indonesia adalah belum teradapat peraturan yang mengatur tanggung jawab sosial dan hukum, kewajiban ahli gizi terhadap keluarga pasien, dan kewajiban ahli gizi dalam memberikan pelayanan gizi. Sedangkan, Kekurangan kode etik New Zealand adalah tidak adanya peraturan yang menagtur kewajiban ahli gizi terhadap diri sendiri dan profesi secara spesifik.

Daftar PustakaMENKES. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 374/MENKES/SK/III/2007. (http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20374%20ttg%20Standar%20Profesi%20Gizi.pdf) diakses tanggal 22 April 2015.DRF. 2009. Code of Ethics For Clinical dietitians, (http://www.drf.nu/wp-content/uploads/2014/05/Code-of-Ethics.pdf) diakses tanggal 22 April 2015.NZDB. 2003. Code of Ethics for Dietitians, (http://www.dietitiansboard.org.nz/webfm_send/78) diakses tanggal 21 April 2015.