Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

581
         NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1991/92        REPUBLIK INDONESIA 

Transcript of Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    1/580

    NOTA KEUANGAN

    DAN

    RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

    TAHUN ANGGARAN 1991/92

    REPUBLIK INDONESIA

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    2/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 2

    BAB I

    UMUM

    Di dalam masyarakat dunia yang makin mengarah kepada globalisasi di segala bidang,

    ketergantungan antarnegara dan antarregional telah menjadi semakin nyata dan perlu menjadi bagian

    daripada landasan kebijaksanaan politik dan ekonomi setiap negara. Perkembangan ekonomi

    internasional akhir-akhir ini yang patut diperhitungkan adalah adanya krisis Teluk Persia, setelah

    penyerbuan dan pendudukan Kuwait oleh lrak. Sebagai akibat daripada krisis teluk tersebut, harga

    minyak mentah dunia telah melonjak ketingkat yang sangat tinggi dibandingkan dengan harga minyak

    mentah yang terjadi dalam empat tahun belakangan ini. Pelaksanaan embargo ekonomi sebagaimana

    diputuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyebabkan menurunnya pasokan minyak

    mentah dunia, dengan terhentinya produksi dan penjualan minyak mentah dari lrak dan Kuwait, yang

    sebelumnya merupakan bagian yang cukup besar dari keseluruhan produksi minyak mentah OPEC.

    Walaupun kemudian negara-negara anggota OPEC meningkatkan produksinya, tingkat harga yang

    terjadi sejak bulan September tetap berada pada tingkat sekitar US$ 30 per barel, padahal harga

    minyak mentah yang terjadi sejak pertengahan tahun 1986 hingga pertengahan tahun 1990 berkisar

    antara US$ 10 hingga US$ 19 per barel. Perkembangan harga minyak ini jelas merupakan distorsi

    yang cukup serius terhadap perekonomian dunia, yang diperkirakan akan membawa dampak lanjutan

    di sektor-sektor lainnya. Dampak lanjutan daripada kenaikan harga minyak tersebut telah mulai terasaakhir-akhir ini, berupa berfluktuasinya kurs antarvaluta asing utama, dan terdapatnya tanda-tanda

    yang mengarah kepada terjadinya resesi di negara-negara industri. Akan tetapi satu hal yang

    merupakan dampak negatif daripada peningkatan harga minyak tersebut adalah ketidakpastian

    mengenai perkembangan harga minyak dan dampaknya terhadap perekonomian dunia di masa

    mendatang.

    Selanjutnya perekonomian dunia dalam tahun 1989 juga menunjukkan perkembangan yang

    tidak sebaik tahun sebelumnya. Menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia ini ditandai oleh

    menurunnya volume perdagangan dunia, meningkatnya laju inflasi, masih tinggi dan meningkatnya

    suku bunga, serta masih besarnya ketidakseimbangan eksternal, khususnya antarbeberapa negara

    industri utama. Menurunnya laju pertumbuhan ekonomi juga dialami oleh negara-negara berkembang

    yang disebabkan oleh masih berlanjutnya tindakan proteksi yang dilakukan oleh sejumlah negara

    industri, masih rendahnya pemasukan aliran dana neto, beratnya beban hutang luar negeri yang

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    3/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 3

    dialami oleh sejumlah negara tertentu, dan menurunnya harga pelbagai komoditi primer bukan

    minyak.

    Pertumbuhan ekonomi negara-negara industri diperkirakan akan turun menjadi 2,6 persen

    dalam tahun 1990, dan akan turun lagi dari 3,4 persen dalam tahun 1989 menjadi 2,4 persen dalam

    tahun 1991. Sedangkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan menurun dari

    3 persen dalam tahun 1989 menjadi 2,2 persen dalam tahun 1990. Semua negara-negara berkembang,

    kecuali negara-negara di Asia, diperkirakan akan mengalami penurunan dalam laju pertumbuhan

    pendapatan perkapitanya. Menurunnya pertumbuhan ekonomi negara-negara industri berkaitan erat

    dengan menurunnya kegiatan investasi, sebagai akibat meningkatnya suku bunga, sehubungan

    diterapkannya kebijaksanaan moneter yang ketat di sebagian besar negara industri, yang dimaksudkan

    untuk mengatasi tekanan inflasi dimana kondisi pemanfaatan kapasitas produksi sudah mendekati

    tingkat optimum. Kenaikan suku bunga LIBOR untuk jangka waktu enam bulan menjadi 9,3 persen

    dalam tahun 1989, dari tingkatan sebesar 8,1 persen dalam tahun 1988, telah membawa dampak

    berupa meningkatnya beban pembayaran hutang negara-negara berkembang. Selanjutnya volume

    perdagangan dunia, baik didalam tahun 1990 maupun dalam tahun 1991, diperkirakan hanya akan

    naik sebesar 5,5 persen, dibandingkan dengan tingkat kenaikannya sebesar 9 persen dan 7,5 persen

    untuk tahun 1988 dan 1989. Penurunan ini mencerminkan terjadinya penurunan dalam investasi yang

    umumnya merupakan investasi di bidang perdagangan.

    Demikian pula laju inflasi dalam tahun 1989, baik di negara-negara maju maupun negara-

    negara berkembang, meningkat dibandingkan dengan tahun 1988. Laju inflasi di negara-negara

    industri dalam tahun 1989 meningkat menjadi sebesar 3,9 persen, dari tingkatannya sebesar 3,3 persen

    dalam tahun sebelumnya. Dalam tahun 1990 diperkirakan akan tetap sekitar 3,9 persen. Kenaikan laju

    inflasi di negara-negara maju berkaitan erat dengan kenaikan harga minyak dan peningkatan tarif

    pajak. Di negara-negara berkembang sebagai kelompok, laju inflasi bergerak dari 70,6 persen dalam

    tahun 1988 menjadi 104,8 persen dalam tahun 1989. Laju inflasi ini bervariasi di antara masing-

    masing negara. Dalam tahun 1990 inflasi di negara-negara berkembang, khususnya Eropa Timur dan

    Amerika Latin, akan berkembang rata-rata lebih dari 100 persen, sementara negara-negaraberkembang lainnya di atas 10 persen.

    Perkembangan-perkembangan ekonomi dunia tersebut dibarengi pula oleh perubahan-

    perubahan struktur politik ekonomi negara-negara besar di dunia termasuk Uni Sovyet, khususnya

    dengan ditinggalkannya paham komunisme oleh negara-negara Eropa Timur. Perubahan-perubahan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    4/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 4

    fundamental berupa perubahan sistem ekonomi Uni Sovyet dan Eropa Timur tersebut akan

    menciptakan peluang-peluang dan juga sekaligus tantangan-tantangan bagi pembangunan Indonesia.

    Dalam berbagai hal, misalnya dalam menarik dana investasi swasta dan bantuan luar negeri, negara-

    negara bekas blok timur akan menjadi pesaing bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

    Demikian pula usaha penyatuan ekonomi Eropa yang berjalan terus akan mempengaruhi pola

    hubungan perdagangan dan keuangan antarregional di dunia ini di masa mendatang. Kuatnya

    kecenderungan penggolongan kerja sama ekonomi atau pembentukan blok-blok ekonomi di berbagai

    bagian dunia, sungguhpun akan meningkatkan produksi dan investasi, akan menghambat ekspor

    negara-negara berkembang termasuk Indonesia ke wilayah tersebut apabila diikuti dengan tembok

    proteksi baru bagi negara-negara luar anggota. Perkembangan tersebut pada gilirannya mulai

    mempengaruhi hubungan antagonis antara dua Korea, dua China, dan beberapa negara di Asia

    Tenggara, seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Sementara itu perkembangan di bidang

    keuangan semakin memperkuat kecenderungan terhadap lebih besarnya aliran modal ke negara-

    negara industri daripada ke negara-negara berkembang. Kendala lain yang hampir tidak pernah hilang

    di tengah-tengah upaya mendorong ekspor ialah sikap proteksionistis pemerintah dan parlemen

    negara-negara industri terhadap impor barang-barang dari negara berkembang. Kondisi ini sangat

    menghambat ekspor dan upaya untuk menekan DSR di dalam tahun-tahun mendatang.

    Perkembangan yang terjadi pada perekonomian internasional telah mulai menimbulkan

    dampakpya terhadap perekonomian Indonesia. Dampak yang langsung daripada kenaikan harga

    minyak mentah di pasaran dunia adalah berupa meningkatnya harga penjualan minyak mentahIndonesia sejak bulan September 1990. Peningkatan ini telah meningkatkan penerimaan devisa hasil

    ekspor migas, dan selanjutnya meningkatkan penerimaan negara dalam APBN tahun berjalan.

    Walaupun demikian, melihat kepada penyebab daripada peningkatan harga minyak yang tiba-tiba

    tersebut dan ketidakpastian yang menyelimuti krisis teluk, maka sangatlah sukar untuk

    memperkirakan saat berakhirnya krisis teluk tersebut, yang berarti sulit pula memperkirakan berapa

    tingginya dan berapa lama kenaikan harga minyak ini akan berlangsung.

    Perkembangan lainnya yang ditinjau dari sudut perekonomian Indonesia kurangmenguntungkan, adalah merosotnya harga barang-barang ekspor tradisional di pasaran dunia.

    Kemerosotan harga tersebut mencakup karet, lada, teh, timah, dan beberapa hasil tambang lainnya.

    Karena masih cukup besarnya peranan daripada ekspor komoditi-komoditi ekspor tersebut dalam

    penerimaan hasil ekspor Indonesia, maka perkembangan tersebut mempunyai dampak yang kurang

    menguntungkan terhadap perekonomian dalam negeri. Bersamaan dengan diterapkannya

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    5/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 5

    kebijaksanaan untuk membatasi ekspor kayu gergajian melalui pengenaan tarif pajak ekspor yang

    tinggi, maka penurunan harga beberapa komoditi ekspor tersebut telah menyebabkan menurunnya laju

    peningkatan ekspor nonmigas Indonesia. Hal ini terutama karena peranan kayu olahan dan komoditi

    ekspor tradisional masih cukup besar dari keseluruhan nilai ekspor nonmigas Indonesia.

    Sungguhpun dengan latar belakang perekonomian dunia yang kurang menguntungkan,

    ekonomi Indonesia dalam tahun 1989 dan 1990 menunjukkan pertumbuhan dan kegiatan yang cukup

    tinggi. Produk Domestik Bruto riil dalam tahun 1989 telah meningkat dengan 7,4 persen.

    Dibandingkan dengan pertumbuhannya dalam tahun 1987 dan tahun 1988, masing-masing sebesar 4,9

    persen dan 5,7 persen, maka hat tersebut menunjukkan kemajuan yang berarti. Pertumbuhan ekonomi

    yang meningkat ini didorong oleh perkembangan investasi dan ekspor nonmigas yang terus

    berkembang. Serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang dilaksanakan Pemerintah

    telah membawa perekonomian Indonesia kearah perubahan struktural yang mendasar, yaitu

    berkurangnya ketergantungan penerimaan negara dari sektor minyak bumi dan gas alam, bergesernya

    orientasi produksi dari pasar dalam negeri kearah pasar luar negeri, dan didorongnya peranan

    masyarakat dan dunia usaha dalam membiayai investasi untuk pembangunan.

    Sesuai dengan orentasi peranan masyarakat dan sektor dunia usaha swasta dalam

    pembangunan di masa datang yang akan semakin besar, maka upaya pengerahan sumber dananya

    akan menjadi semakin panting. Untuk itu dana masyarakat yang dapat dihimpun oleh sektor lembaga-

    Iembaga keuangan dan pasar modal terus didorong. Sehubungan dengan itu kebijaksanaan moneter

    sebagai bagian dari kebijaksanaan ekonomi makro terus ditujukan kepada upaya pemeliharaan

    kestabilan ekonomi, pengerahan sumber dana dan investasi oleh masyarakat, serta menunjang

    pemerataan pembangunan. Berkembang majunya sektor keuangan merupakan salah satu kunci

    kemajuan ekonomi suatu bangsa. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam pergautan ekonomi

    internasional, negara-negara yang kaya akan sumber alam tanpa ditunjang oleh kemajuan sektor

    keuangan yang efisien, telah tertinggal oleh negara yang telah berhasil membangun sektor

    keuangannya, sungguhpun tanpa dukungan sumber alam yang berarti. Sektor keuangan yang efisien

    dan efektif akan dapat memenuhi fungsi-fungsi sektor keuangan dengan baik, yaitu sebagai saranatransaksi, sarana mobilisasi dan alokasi dana untuk investasi, sarana pemindahan dan distribusi fisik

    dalam perekonomian, serta sarana untuk menunjang terlaksananya kebijaksanaan moneter. Dua ciri

    yang menonjol yang menandai sistem keuangan Indonesia, yang berbeda dengan negara-negara

    berkembang pada umumnya, ialah dianutnya sistem lalu lintas devisa yang bebas serta system

    anggaran belanja berimbang yang tidak mempunyai dampak moneter penambahan uang beredar,

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    6/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 6

    walaupun APBN itu sendiri setiap tahunnya senantiasa meningkat. Yang pertama, sungguhpun

    senantiasa mensyaratkan dilaksanakannya suatu pengelolaan kebijaksanaan moneter yang sehat dan

    berhati-hati dan dalam pelaksanaannya bukanlah tugas yang ringan, namun hasil yang diperoleh ialah

    terkendalinya kurs devisa, terpeliharanya keseimbangan neraca pembayaran pada tingkat yang aman

    dan terciptanya iklim kegiatan investasi yang menguntungkan. Sementara itu kebijaksanaan anggaran

    belanja yang seimbang, dengan pengaruh yang terkendali pada tekanan moneter, sangat berperan

    dalam menunjang program stabilisasi.

    Pembangunan sektor keuangan Indonesia dijiwai oleh semangat upaya menggerakkan

    sumber dana masyarakat di luar APBN, satta oleh perlu dan mendesaknya langkah penyesuaian

    terhadap perubahan struktural serta globalisasi sistem keuangan internasional. Pembangunan sektor

    keuangan Indonesia diawali dengan dilaksanakannya kebijaksanaan deregulasi keuangan dan

    perbankan 1 Juni 1983, yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan kemampuan sektor

    perbankan dan lembaga keuangan lainnya, agar sektor ini menjadi semakin berperan dalam

    meningkatkan pengerahan dana masyarakat bagi pembangunan. Menyusul kebijaksanaan tersebut,

    pada tahun terakhir Pelita IV, oleh Pemerintah telah ditempuh lagi kebijaksanaan moneter yang

    panting yaitu Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988. Paket kebijaksanaan tersebut ditujukan untuk

    lebih meningkatkan pengerahan dana masyarakat, mendorong ekspor nonmigas, meningkatkan

    efisiensi perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya, meningkatkan kemampuan pengendalian

    pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan mendorong iklim pengembangan pasar modal. Dalam rangka

    meningkatkan pengerahan dana masyarakat, langkah-langkah yang diambil adalah denganmempermudah perluasan jaringan perbankan, pendirian bank-bank baru, dan peningkatan diversifikasi

    sarana pengerahan dana. Peningkatan upaya tersebut meliputi antara lain pemberian kemudahan

    pembukaan kantor bank, pemberian izin pembukaan kantor cabang LKBB di luar Jakarta, pemberian

    kemudahan dalam pendirian bank swasta baru dan bank perkreditan rakyat, pemberian izin penerbitan

    sertifikat deposito oleh lembaga keuangan bukan bank, perluasan penyelenggaraan tabungan bagi

    semua bank, serta diversifikasi sarana pengerahan dana lainnya. Dalam kaitannya dengan upaya

    meningkatkan ekspor nonmigas; bank-bank yang telah memenuhi persyaratan tertentu, diberikan

    kemudahan untuk menjadi bank devisa.

    Di samping itu, diberikan pula kesempatan untuk mendirikan bank campuran baru antara

    satu atau lebih bank nasional dengan satu atau lebih bank asing di luar negeri, serta kemudahan bagi

    bank asing untuk membuka kantor cabang pembantu di beberapa Kota besar tertentu yang merupakan

    daerah potensial bagi ekspor nonmigas. Sementara itu untuk mendorong pemasukan modal dan dana

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    7/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 7

    luar negeri, mekanisme swap disempurnakan dengan memperpanjang jangka waktu swap dari

    maksimal enam bulan menjadi maksimal tiga tahun, dan premi swap ditentukan berdasarkan pada

    perbedaan antara suku bunga deposito dalam negeri dan luar negeri. Sedangkan dalam rangka

    meningkatkan efisiensi perbankan dan lembaga keuangan, telah pula diciptakan iklim usaha yang

    lebih mendorong timbulnya persaingan yang sehat, melalui antara lain pemberian kelonggaran kepada

    badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) bukan bank untuk

    menempatkan dana pada bank swasta dan lembaga keuangan bukan bank dengan syarat-syarat yang

    telah ditentukan, serta memberlakukan batas maksimum pemberian kredit kepada debitur dan debitur

    grup, pemegang saham, direksi dan para pegawai. Kemudian untuk meningkatkan kemampuan

    pengendalian moneter, likuiditas wajib minimum diturunkan serta sistem operasi pasar terbuka

    disempurnakan.

    Dampak pelaksanaan berbagai kebijaksanaan tersebut sangat besar. Di bidang moneter dan

    perbankan, jumlah bank umum, bank pembangunan dan bank tabungan, termasuk bank asing, sampai

    dengan bulan Juni 1990 telah berjumlah 156 buah dengan jumlah Kantor sebanyak 3.052 buah ,

    dibandingkan dengan keadaannya pada akhir Maret 1989 masing-masing sebanyak 111 buah bank dan

    1.864 buah kantor bank. Dalam pada itu bank perkreditan rakyat (BPR) baru telah mencapai jumlah

    hampir 200 buah, sejak dibukanya kesempatan membuka BPR baru. Nilai aktiva sektor keuangan di

    luar asuransi dan leasing telah meningkat dengan lebih dari empat kalinya antara tahun 1982 dan

    1989. Perbandingan antara likuiditas perekonomian terhadap produk domestik bruto, yang merupakan

    salah satu ukuran kemajuan sektor keuangan, meningkat dari 18 persen dalam tahun 1982 menjadilebih dari 30 persen pada bulan Oktober 1989. Keadaan ini sangat kontras dibandingkan dengan

    keadaan sebelum tahun 1983, dimana aset-aset keuangan sangat lambat pertumbuhannya sebagai

    akibat dari inflasi yang relatif tinggi, adanya ceiling suku bunga deposito, serta ekspektasi nilai tukar

    yang kurang mendukung. Sejak deregulasi 1 Juni 1983 komponen tabungan dan deposito masyarakat

    telah merupakan komponen terbesar (hampir 70 persen) dari likuiditas perekonomian, dibandingkan

    sebesar 30 persen sebelum Juni 1983 yang tidak lain mencerminkan meningkatnya pertumbuhan

    dana-dana dan tabungan masyarakat yang dapat dihimpun oleh sektor perbankan.

    Pasar modal sebagai sumber pembiayaan investasi jangka panjang yang utama, setelah

    hampir selama satu dekade, yaitu sejak diaktifkannya pada tanggal 10 Agustus 1977, tidak

    menunjukkan perkembangan sebagaimana yang diharapkan, maka sejak tahun 1989

    perkembangannya menunjukkan peran yang semakin besar di dalam menghimpun dana masyarakat

    untuk pembiayaan pembangunan. Berbagai paket kebijaksanaan dibidang pasar modal seperti paket

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    8/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 8

    kebijaksanaan Desember 1987, paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 dan paket kebijaksanaan

    Desember 1988 telah membawa dampak perubahan yang besar dan titik balik dari perkembangan

    pasar modal Indonesia. Apabila pada akhir tahun 1987 jumlah perusahaan yang go public baru

    mencapai 27 perusahaan dengan nilai dana yang dikapitalisasi sebesar Rp 668,5 milyar, maka kini

    pada akhir November 1990 jumlah perusahaan yang go public telah mencapai 153 perusahaan dengan

    nilai dana yang dikapitalisasi sebesar Rp 16.373,8 milyar. Hal ini berarti bahwa bursa efek Indonesia

    dalam kurun waktu 2 tahun 9 bulan telah dapat meningkatkan nilai dana yang dikapitalisasi sebesar

    Rp 15.705,3 milyar, atau naik hampir 25 kalinya. Kemudian dalam rangka menuju terwujudnya pasar

    modal yang lebih adil (fair), lebih likuid dan lebih efisien serta dalam rangka melindungi kepentingan

    umum dan pemodal, maka pada tanggal 10 November 1990 telah dikeluarkan Keppres Nomor 53

    Tahun 1990, tentang deregulasi di bidang pasar modal, yang dilengkapi dengan Keputusan Menteri

    Keuangan Nomor 1548 tanggal 4 Desember 1990 yang berlaku mulai tanggal 2 Januari 1991.

    Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut pada garis besarnya adalah merubah fungsi Badan Pelaksana

    Pasar Modal (Bapepam) yang tadinya merupakan pembina pasar modal sekaligus sebagai pelaksana

    menjadi badan yang khusus mengawasi serta mengatur perkembangan pasar modal. Badan Pengawas

    Pasar Modal (Bapepam) diberikan wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengembangan pasar

    modal serta wewenang memberikan izin usaha bagi perusahaan efek, yaitu penjamin emisi, manajer

    investasi dan penasehat investasi. Selanjutnya pengelolaan pasar modal pada akhirnya akan

    diserahkan kepada swasta. Selain dari pada itu izin go public bagi setiap perusahaan yang akan terjun

    di pasar modal tidak perlu lagi oleh Menteri Keuangan, tetapi cukup melalui prosedur dan tata cara

    yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal saja. Dengan kebijaksanaan baru ini pasar modal

    diharapkan akan menjadi lebih bergairah lagi.

    Berbagai kebijaksanaan ekonomi tersebut sangatlah penting agar dana-dana yang terhimpun

    dari masyarakat disalurkan ke dalam berbagai kegiatan investasi, oleh karena kegiatan investasi itu

    sendiri sangat dipengaruhi oleh iklim usaha atau iklim investasi. Dalam GBHN disebutkan bahwa

    dalam rangka mendorong penanaman modal, perlu terus dikembangkan iklim investasi yang

    menggairahkan antara lain melalui penyederhanaan prosedur, peningkatan kepastian berusaha,

    kelancaran pelayanan di tingkat pusat maupun daerah, serta penyediaan prasarana dan sarana yang

    memadai. Untuk itu berbagai langkah kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi terus ditempuh

    Pemerintah dalam rangka menggairahkan iklim dan mendorong kegiatan investasi. Hasilnya ialah

    kegiatan penanaman modal, baik dalam negeri maupun modal asing, sejak Pelita I sampai dengan

    permulaan Pelita V terus bertambah. Dalam tahun pertama Pelita V penanaman modal dalam negeri

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    9/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 9

    (PMDN) baru yang telah disetujui berjumlah 974 proyek dengan nilai investasi termasuk perluasan

    sebesar Rp 29.667,4 milyar, atau suatu penurunan 97 proyek akan tetapi dengan nilai investasi yang

    bertambah lebih dari 100 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dibandingkan dengan tahun

    pertama Pelita IV, jumlah proyek baru PMDN dalam tahun pertama Pelita V tersebut telah meningkat

    hampir empat kali lipat, sedangkan nilai investasinya untuk waktu yang sama telah meningkat lebih

    dari sepuluh kali lipat. Nilai investasi terbesar dari proyek baru PMDN yang disetujui dalam tahun

    pertama Pelita V ialah di bidang usaha industri kimia, industri tekstiI, industri kertas, industri logam

    dasar, pertanian, dan hotel/perumahan, yang meliputi 74 persen dari keseluruhan nilai investasi dari

    18 bidang usaha. Dalam tahun 1990/91 (sampai dengan Desember 1990) minat investasi dalam negeri

    telah sangat meningkat, yang tercermin dari nilai penanaman modal dalam negeri baru dan perluasan

    yang disetujui, yang mencapai Rp 46,2 trilyun atau meningkat lebih dari 50 persen dibandingkan

    dengan tahun 1989/90. Sebagian besar kegiatan atau proyek investasi tersebut adalah disektor industri,

    khususnya industri komoditi ekspor.

    Penanaman modal asing (PMA) yang merupakan unsur pelengkap dalam memenuhi

    kebutuhan permodalan dalam pembangunan, juga senantiasa menunjukkan adanya peningkatan.

    Penanaman modal asing baru dan perluasan yang disetujui dalam tahun 1989/90 mencapai US$

    5.720,9 juta, yang berarti meningkat dengan 84,0 persen dari tahun 1988/ 89. Proyek baru PMA yang

    telah disetujui dalam tahun kedua Pelita V (sampai dengan Desember 1990) berjumlah 334 buah

    dengan nilai investasi, termasuk perluasan, berjumlah US$ 7.179,7 juta. Apabila dibandingkan dengan

    keadaan dua tahun sebelumnya atau pada akhir Pelita IV, maka terlihat adanya peningkatan lebih daridua kali lipat, dalam nilai investasinya. Bidang usaha proyek baru PMA dengan nilai investasi

    terbesar dalam tahun pertama Pelita V adalah industri kimia, sedangkan pada tahun terakhir Pelita IV

    adalah industri kertas, dan pada akhir Pelita III adalah industri barang logam.

    Apabila ditinjau menurut daerah penanaman modalnya, baik PMDN maupun PMA,

    penyebarannya masih terpusatkan di Jawa. Hal ini dalam jangka menengah dan panjang akan sangat

    memerlukan daya dukung prasarana serta sumber daya alam yang tersedia, sementara masalah

    penyediaan lahan dan air di Jawa telah mulai dirasakan mendesak. Menyadari akan hal tersebut makaupaya pemerataan pembangunan ke luar Jawa, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur telah

    memperoleh prioritas. Dalam kaitan ini, maka sejak akhir Pelita IV pengeluaran pembangunan di luar

    bantuan proyek untuk daerah dan Inpres terus mengalami peningkatan.

    Selain volume investasi, yang mendorong kegiatan ekonomi akhir-akhir ini ialah arah

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    10/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 10

    daripada investasi itu sendiri yang terutama ditujukan kepada produksi barang ekspor nonmigas.

    Penerimaan dari hasil ekspor nonmigas yang diterima oleh dunia usaha dan masyarakat telah

    memberikan dampak peningkatan (multiplier) terhadap perekonomian di dalam negeri, sementara

    devisa yang dihasilkan merupakan sumber pembiayaan impor yang diperlukan bagi pembangunan.

    Nilai ekspor keseluruhan dalam tahun 1989/90 meningkat menjadi US$ 23.830 juta, atau naik sebesar

    20 persen lebih dibandingkan dengan nilai ekspor tahun sebelumnya, atau dua kali lipat dibandingkan

    dengan nilainya dalam tahun 1986/87. Ekspor nonmigas dalam tahun 1989/90 mencapai US$14,5

    milyar atau meningkat dengan hampir 20 persen dari jumlah yang dicapai dalam tahun 1988/89 atau

    lebih tinggi dari sasaran pertumbuhan rata-rata tahunan dalam Pelita V sebesar kurang lebih 15 persen

    per tahun. Pertumbuhan ekspor ini tetap didominasi oleh hasil-hasil industri, walaupun dalam dua

    tahun terakhir ini menunjukkan laju pertumbuhan yang melambat. Kenaikan ekspor nonmigas ini

    telah dibarengi dengan diversifikasi hasil ekspor yang berasal dari industri sedang dan kecil, yang

    membawa dampak yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja.

    Perkembangan ekspor nonmigas akhir-akhir ini berlawanan sekali dengan keadaan sejak

    Pelita I sampai dengan tahun 1980/81, di mana ekspor didukung oleh penerimaan minyak bumi dan

    gas alam Akan tetapi kemerosotan harga minyak dunia telah mengakibatkan perkembangan ekspor

    secara keseluruhan dalam periode Pelita IV hampir tidak mengalami perubahan. Dalam periode itu

    ekspor minyak bumi menurun dengan rata-rata 16,1 persen per tahun, sementara nilai ekspor di luar

    minyak bumi dan gas alam meningkat dengan rata-rata 17,8 persen setiap tahunnya. Perkembangan

    ekspor nonmigas dalam kurun waktu tersebut didorong oleh berbagai langkah deregulasi dandebirokratisasi yang dilaksanakan sejak 1986, yang meliputi antara lain kebijaksanaan Mei 1986,25

    Oktober 1986, 15 Januari 1987, 24 Desember 1987 dan November 1988. Berbagai langkah

    kebijaksanaan tersebut, yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, mengurangi

    hambatan-hambatan nontarif terhadap impor, menyederhanakan prosedur ekspor, dan sebagainya,

    telah memberikan dampak positif. Dalam tahun 1987/88 nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi

    untuk pertama kalinya sejak tahun 1974/75melebihi nilai ekspor minyak dan gas bumi. Sementara itu

    dalam periode 1983 - 1985 impor menunjukkan kecenderungan penurunan sebagai akibat devaluasi

    dan penangguhan beberapa proyek besar. Sejak 1987 impor mulai menunjukkan kenaikan lagi, yang

    dimungkinkan oleh meningkatnya penerimaan ekspor nonmigas serta berbagai deregulasi di sektor

    perdagangan. Dalam tahun 1989, kenaikan impor adalah sejalan dengan peningkatan

    kegiatanekonomi, termasuk impor barang konsumsi. Impor masih didominasi oleh barang-barang

    modal, khususnya mesin, alat angkutan, dan Bahan Baku. Laju pertumbuhan nilai impor keseluruhan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    11/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 11

    dan impor bukan minyak bumi dan gas alam rata-rata dalam periode 1987 - 1989 masing-masing

    adalah sebesar 15,8 persen dan 18,4 persen per tahun, atau masih lebih rendah dari rata-rata

    pertumbuhan ekspor bukan minyak bumi dan gas alam. Sejalan dengan kemerosotan penerimaan

    ekspor migas, defisit transaksi berjalan dalam tahun 1986/87 melonjak menjadi US$ 4.051 juta atau

    sekitar 6 persen dari pendapatan nasional bruto. Akan tetapi dalam tahun-tahun berikutnya, ditunjang

    oleh inflasi yang terkendali dan nilai tukar yang realistis, sejak 1987/88 sampai dengan 1989/90

    transaksi berjalan menunjukkan perkembangan yang terkendalikan antara US$ 1,6 milyar sampai US$

    1,9 milyar, atau sekitar 2 persen dari pendapatan nasional bruto. Sementara itu pemasukan modal lain

    neto berkembang baik, yaitu dari negatif US$ 211 juta dalam tahun 1988/89 menjadi positif US$ 575

    juta dalam tahun 1989/90, bahkan dalam tahun 1990/91 diperkirakan akan mengalami kenaikan

    menjadi US$ 2,0 milyar lebih. Hal ini dimungkinkan oleh meningkatnya realisasi penanaman modal

    asing, yang mencerminkan iklim investasi yang semakin menarik. Berdasarkan perkembangan

    transaksi berjalan dan pemasukan modal, cadangan devisa dalam tahun 1989/90 meningkat dengan

    US$ 248 juta, dibandingkan dengan penurunan sebesar US$ 677 juta pada tahun terakhir Pelita IV.

    Dengan prospek neraca pembayaran yang baik dalam tahun 1990/91, cadangan devisa diperkirakan

    akan bertambah sebesar US$ 1.854 juta, sehingga pada akhir tahun 1990/91 jumlahnya diperkirakan

    akan menjadi US$ 8.113 juta atau cukup untuk membiayai impor (f.o.b) di lilar sektor minyak bumi

    dan gas alam rata-rata 5 bulan. Dalam tahun 1991/92 surplus neraca pembayaran diperkirakan akan

    berjumlah lebih dari US$ 900 juta.

    Sementara itu dana pembangunan yang bersumber dari APBN merupakan unsur yangpenting dan menentukan pula dalam mendorong kegiatan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ini.

    Perkembangan ini tidak terlepas dari pecan APBN sebagai pelaksanaan tahunan Repelita, yang

    penyusunan dan pengelolaannya didasarkan kepada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis,

    peningkatan kemandirian dalam penyediaan sumber-sumber dana bagi pembangunan, serta tetap

    berpegang teguh kepada Trilogi Pembangunan. Dengan kebijaksanaan keuangan negara yang

    didasarkan kepada prinsip anggaran belanja yang berimbang dan dinamis, kebijaksanaan ini telah

    mampu mendukung kelangsungan pembangunan dan memelihara kestabilan, melalui sifatnya yang

    fleksibel dalam masa-masa sulit maupun dalam situasi dinamis, dimana penerimaan negara

    mengalami perubahan yang besar. Prinsip anggaran belanja yang berimbang dan dinamis ini

    dipadukan pula dengan aspek peningkatan kemandirian dalam penyediaan sumber dana bagi

    pembiayaan pembangunan. Hal ini adalah sejalan dengan perkembangan harga minyak dunia, dimana

    sumber penerimaan dari minyak bumi dan gas alam tidak lagi dapat diandalkan. Dalam hubungan ini

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    12/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 12

    langkah mendasar yang ditempuh oleh Pemerintah ialah pembaharuan sistem perpajakan yang dimulai

    dalam tahun 1984. Kunci utama dari peningkatan penerimaan. dalam negeri adalah diupayakannya

    peningkatan penerimaan pajak dan bukan pajak. Hal ini tidak berarti bahwa penerimaan negara dari

    sektor migas diabaikan, melainkan sumbersumber penerimaan negara secara bertahap harus dapat

    diperluas dan dikerahkan dari sumber ekonomi dalam negeri sehingga lebih menjamin kestabilan

    perekonomian dalam negeri terhadap berbagai gejolak yang berasal dari luar. Sedangkan sumber

    penerimaan dari bantuan luar negeri senantiasa diusahakan agar berfungsi sebagai dana pelengkap

    dalam pembiayaan pembangunan. Dengan demikian usaha-usaha pembangunan dalam jangka panjang

    tidak bergantung dari dana bantuan luar negeri. Selanjutnya guna memperoleh tabungan pemerintah

    yang optimal atas pengelolaan keuangan negara, pengeluaranpeng.eluaran negara untuk keperluan

    operasional pemerintahan akan senantiasa dikelola secara efisien dan berdayaguna tinggi.

    Selanjutnya strategi di bidang investasi negara mencakup kebijaksanaan investasi yang

    diarahkan untuk menyediakan prasarana dan sarana dasar yang tidak dapat disediakan sendiri oleh

    masyarakat, kebijaksanaan untuk menggairahkan partisipasi inisiatif dan kreativitas masyarakat, serta

    kebijaksanaan untuk mengembangkan sumber daya manusia secara menyeluruh dan mendasar.

    Dengan demikian sifat investasi di sektor negara dengan dana APBN tersebut pada dasarnya

    mencakup dua aspek, yaitu investasi fisik dan investasi sumber daya manusia. Investasi fisik

    dilakukan terutama pada bidang-bidang yang memang tidak dapat disediakan. sendiri oleh masyarakat

    dan dunia usaha, seperti pembangunan prasarana dan sarana dasar. serta berbagai upaya pembangunan

    yang bersifat perintisan yaitu proyek-proyek yang akan menumbuhkan sentra-sentra ekonomi yangproduktif, menggairahkan investasi sektor masyarakat dan dunia usaha, serta mampu memberikan

    daya dorong (stimulasi) yang besarterhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan investasi

    sumberdaya manusia secara menyeluruh dan mendasar dilakukan melalui pembangunan sektor

    pendidikan. perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat. pengembangan keluarga berencana,

    pembangunan sarana kehidupan beragama, dan lain sebagainya. Oleh karena investasi sektor negara

    tersebut sangat tergantung kepada tersedianya dana pembangunan, maka pengerahan penerimaan

    pajak mutlak harus dapat ditingkatkan.

    Akhirnya kebijaksanaan pokok dalam penyusunan APBN ialah tetap berpegang teguh kepada

    Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. pertumbuhan ekonomi

    yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Prioritas penekanan daripada setiap

    unsur Trilogi Pembangunan tersebut berbeda antara satu Pelita dan Pelita lainnya. Dalam Pelita I

    prioritas penekanan diletakkan pada aspek stabilitas, dalam Pelita II pada aspek pertumbuhan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    13/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 13

    ekonomi, sedangkan dalam Pelita III dan IV lebih ditonjolkan aspek pemerataan hasil-hasil

    pembangunan. Sejalan dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai di bidang ekonomi, maka dalam

    Pelita V perhatian yang lebih besar akan tetap diberikan pada aspek pemerataan pembangunan dan

    hasil-hasilnya, agar hakekat dan arti keadilan sosial lebih dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

    Dalam rangka mewujudkan atas pemerataan beban pembangunan. kebijaksanaan fiskal melalui

    penerapan atas progresifitas dalam pengenaan tarif diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pajak

    terutama dari lapisan masyarakat yang berpenghasilan tinggi, untuk kemudjan secara langsung dan

    tidak langsung disalurkan kepada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dicapai

    melalui alokasi pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, ke

    berbagai proyek dan kegiatan yang bersifat padat karya dan mampu merangsang keterlibatan

    masyarakat luas dalam pembangunan. Di bidang pengeluaran rutin, alokasi pengeluaran belanja

    barang tetap diprioritaskan pada upaya peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, serta

    pengutamaan pengusaha golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat dalam pengadaan barang

    dan jasa kebutuhan pemerintah. Demikian pula alokasi pengeluaran pembangunan lebih diarahkan

    antara lain untuk membiayai proyek-proyek prasarana dan sarana dasar yang mempunyai dampak luas

    bagi kegiatan ekonomi rakyat.

    Dana pembangunan yang merupakan sumber investasi yang berasal dari APBN terus

    menunjukkan peningkatan. Tabungan pemerintah, yang merupakan sumber pembiayaan

    pembangunan yang penting, dalam tahun 1989/90 telah berkembang cukup besar. Dalam tahun

    tersebut telah dapat diciptakan tabungan pemerintah sejumlah Rp 4.408,7 milyar, atau suatu kenaikansebesar hampir 100 persen dari jurnlahnya dalam tahun 1988/89. Perkembangan ini dimungkinkan

    oleh meningkatnya penerimaan dalam negeri, yang disebabkan oleh meningkatnya baik penerimaan

    migas maupun bukan migas. Membaiknya harga minyak bumi di pasaran internasional serta

    pemingkatan penerimaan pajak yang dilakukan melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi

    pemungutan pajak, telah sangat menunjang meningkatnya penerimaan dalam negeri. Dana

    pembangunan yang pada tahun 1968 baru berjumlah Rp 57,9 milyar, maka pada akhir Pelita III telah

    mencapai Rp 9.903,3 milyar, atau meningkat rata-rata sebesar 40,9 persen per tahun. Kenaikan yang

    pesat tersebut sangat ditunjang oleh naiknya harga minyak bumi. Dalam tahun ketiga Pelita IV

    (1986/87), dana pembangunan mengalami penurunan, karena menurunnya tabungan pemerintah yang

    disebabkan oleh merosotnya harga minyak bumi di pasaran dunia dan meningkatnya beban

    pembayaran hutang luar negeri sebagai akibat dari apresiasi kurs beberapa matauang utama dunia dan

    meningkatnya suku bunga internasional. Perkembangan ini sangat memberatkan keadaan keuangan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    14/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 14

    negara, sehingga sejak saat itu Indonesia telah memanfaatkan bantuan khusus guna memelihara

    kesinambungan kegiatan pembangunan dan mengamankan neraca pembayaran. Menghadapi prospek

    penerimaan minyak bumi dan gas alam yang kurang cerah, langkah alternatif yang mendasar berupa

    pembaharuan sistem perpajakan sejak tahun 1984 telah memberikan hasil yang menggembirakan.

    Penerimaan pajak yang dalam tahun 1984/85 berjumlah Rp 4.788,3 milyar, dalamtahun 1989/90 telah

    meningkat menjadi Rp 15.425,6 milyar, atau peningkatan rata-rata sebesar 26,4 persen per tahun.

    Meningkatnya penerimaan dalam negeri dari sumber-sumber non migas tersebut menghasilkan

    struktur penerimaan dalam negeri yang semakin baik. Apabila pada akhir Pelita III penerimaan dari

    sumber-sumber bukan minyak bumi dan gas alam berjumlah 34,0 persen dari penerimaan dalam

    negeri, maka pada awal Pelita V penerimaan dari sumber ini telah berkembang menjadi 60,8 persen

    dari penerimaan dalam negeri.

    Dari penerimaan dalam negeri, pajak penghasilan menunjukkan perkembangan yang cukup

    mengesankan. Hal ini ditunjang oleh sistemnya yang sangat disederhanakan dengan tetap

    mencerminkan asas kemudahan, pemerataan, dan keadilan dalam pengenaan. Sejalan dengan

    perkembangan ekonomi, penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk satu keluarga yang terdiri dari

    suami, isteri dan tiga orang anak dalam tahun 1990 dinaikkan menjadi Rp 4,32 juta dari Rp 2,8 juta.

    Kemudian dalam rangka memberi perlakuan yang sama terhadap berbagai objek penghasilan, maka

    sejak tahun 1988/89 pendapatan atas bunga deposito dan sertifikat deposito dikenakan pajak sebesar

    15 persen, yang bersifat final dengan kemungkinan restitusi. Penerimaan pajak penghasilan dalam

    tahun pertama Pelita V (1989/90) telah mencapai Rp 5.487,7 milyar, dan dalam APBN 1990/91direncanakan sebesar Rp 6.515,8 milyar.

    Komponen terbesar dari penerimaan dalam negeri di luar minyak bumi dan gas alam ialah

    pajak pertambahan nilai. Sejak 1 April 1985, pajak penjualan dan pajak penjualan impor telah

    digantikan oleh pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM).

    Peraturan perpajakan yang baru ini selain memberi perlakuan yang lebih adil bagi sektor-sektor usaha

    yang telah memberikan sumbangan yang berarti bagi penerimaan negara, juga ditujukan untuk

    mendukung pola hidup sederhana. Sejalan dengan itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28Tahun 1988 semua penyerahan jasa dikenakan pajak pertambahan nilai kecuali untuk 13 macam jasa

    tertentu. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1988, pajak penjualan atas barang

    mewah yang semula mempunyai tarif 10 persen dan 20 persen, telah disesuaikan menjadi 10 persen,

    20 persen, dan 30 persen. Sejak permulaan Pelita I, penerimaan dari jenis pajak penjualan dan pajak

    penjualan impor terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini menjadi semakin pesat setelah

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    15/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 15

    diberlakukannya peraturan pajak yang baru. Apabila pada akhir Pelita III, penerimaan jenis pajak

    pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah baru mencapai Rp 830,6 milyar maka pada

    akhir Pelita IV rneningkat menjadi Rp 4.505,3milyar. Dalam tahun 1989/90 penerimaan PPN

    meningkat lagi menjadi Rp 5.836,7 milyar atau naik 29,6 persen dari tahun sebelumnya dan dalam

    APBN 1990/91 direncanakan sebesar Rp 6.824,9 milyar.

    Berbagai langkah kebijaksanaan ekonomi dan keuangan dan berbagai kemajuan yang telah

    diperoleh tiada lain ditujukan untuk kemakmuran sebesar-besarnya rakyat Indonesia. Pada tingkat

    yang paling dasar, hal ini berarti memerangi kemiskinan, melalui antara lain penyediaan lapangan

    kerja yang seluas-Iuasnya untuk menampung angkatan kerja yang setiap tahunnya diperkirakan

    bertambah dengan 2,4 juta. Pekerjaan bagi tenaga kerja bukan hanya memberikan penghasilan tetapi

    juga meningkatkan harkat dan martabat mereka. Kebijaksanaan di bidang penyediaan lapangan kerja

    diarahkan untuk mendorong kegiatankegiatan pembangunan yang dapat menciptakan lapangan kerja

    baru, dengan produktivitas yang semakin meningkat bagi angkatan kerja. Ekspor nonmigas yang

    meningkat pesat mendukung tercapainya sasaran ini. Keberhasilan upaya pembangunan di berbagai

    sektor, seperti pertanian, industri, transmigrasi, dan sebagainya, juga sangat menunjang tercapainya

    sasaran ini. Proses pembangunan yang berlangsung sejak Pelita I sampai pada tahun pertama Pelita V

    telah berhasil menciptakan lapangan kerja baru bagi sebagian besar tambahan angkatan kerja. Selain

    dari itu proses pembangunan dalam kurun waktu yang sama juga telah berhasil memperbaiki alokasi

    sektoral lapangan kerja. Dalam tahun 19711ebih dari 64 persen 13 angkatan kerja bekerja di sektor

    pertanian, dalam tahun 1989 persentase ini adalah sekitar 55 persen. Selanjutnya tingkat pendidikanangkatan kerja juga telah mengalami kemajuan yang berarti. Dalam tahun 1971 sekitar 29 persen dari

    angkatan kerja yang bekerja berpendidikan SD dan SD ke atas, sedangkan dalam tahun 1989

    persentase ini telah menmgkat menjadi sekitar 55 persen. Daya serap teknologi dan inovasi angkatan

    kerja Indonesia kiranya juga telah meningkat secara berarti. Hal-hal ini semua telah menyumbang

    secara berarti bukan hanya kepada pertumbuhan ekonomi tetapi sekaligus kepada pengurangan

    kemiskinan dalam masyarakat Indonesia.

    Upaya pemerataan pembangunan sejalan dengan upaya pemerataan pendapatan, secarabertahap menunjukkan adanya kemajuan. Berdasarkan definisi kemiskinan dengan menggunakan

    ukuran. konsumsi bahan makanan pokok dan pemenuhan kalori sebanyak 2.100 per hari, persentase

    jumlah masyarakat miskin dari keseluruhan penduduk telah berkurang dari 28,6 persen dalam tahun

    1980 menjadi 17,4 persen dalam tahun 1987. Jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis

    kemiskinan juga telah menurun dari 42,3 juta menjadi 30 juta dalam tahun 1987. Sementara itu

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    16/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 16

    distribusi pendapatan relatif menunjukkan bahwa selama periode 1984 - 1987 pendapatan dari 40

    persen dan 10 persen penduduk berpenghasilan terendah telah meningkat, sedangkan dari 20 persen

    dan 10 persen penduduk berpenghasilan tertinggi telah menurun. Indeks Gini, yang mengukur tingkat

    pemerataan distribusi pendapatan, telah menurun dari 0,33 dalam tahun 1984 menjadi 0,32 dalam

    tahun 1987. Perbaikan dalam distribusi pendapatan ini lebih nampak terjadi di sektor pedesaan

    dibandingkan di perkotaan. Namun demikian kemajuan-kemajuan yang telah dapat diraih tersebut

    masih harus terus ditingkatkan, melalui pemantapan pelaksanaan delapan jalur pemerataan. Untuk itu

    upaya pemerataan pendapatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah antara lain melalui sistem

    perpajakan yang progresif, menghilangkan distorsi harga-harga dan tarif, pemerataan distribusi

    pemilikan modal melalui pasar modal, kebijaksanaan perkreditan yang selektif, bantuan langsung

    kepada masyarakat berpenghasilan rendah berupa dilaksanakannya berbagai program Inpres, dan lain

    sebagainya, dalam tahun-tahun mendatang akan semakin ditingkatkan.

    Dalam menyongsong pelaksanaan tahun ketiga Pelita V ini, berbagai kemajuan yang telah

    dicapai ini harus semakin dimantapkan lagi mengingat tantangan yang dihadapi akan semakin berat.

    Pelaksanaan Pelita V, yang merupakan tahap akhir dari Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun

    pertama, yang akan memasuki dekade 1990-an, akan merupakan periode yang penting dan

    menentukan dalam pembangunan Indonesia. Hal itu karena selain pada akhir Pelita V harus tercipta

    landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang terus, sehingga dalam

    Repelita ke VI pembangunan Indonesia dapat memasuki proses tinggal landas, terentangbeberapa

    tantangan besar yaitu masalah penyediaan prasarana (infrastruktur), penyediaan lapangan kerja, danpenyebaran kegiatan ekonomi serta industri secara lebih merata. Untuk itu strategi dasar

    pembangunan dalam tahun ketiga Pelita V, yang tetap berlandaskan kepada yang telah digariskan

    dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN), menunjang sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam

    Pelita V, juga akan dilaksanakan dengan memperhatikan perkembangan ekonomi selama Pelita

    sebelumnya, potensi pembangunan dalam negeri serta prospek perkembangan perekonomian dunia.

    Sementara itu Trilogi Pembangunan yang pada Pelita V ini penekanannya diletakkan pada pemerataan

    hasil-hasil pembangunan, akan tetap menjadi tumpuan kebijaksanaan.

    Perubahan-perubahan yang cepat dan mendasar bagi perkembangan sosial, politik, dan

    ekonomi dunia telah mengarah kepada kecenderungan makin sulitnya upaya memperoleh dana

    investasi bagi sumber-sumber luar negeri. Bagi Indonesia, hal ini tiada lain berarti mutlak perlu dan

    mendesaknya upaya pepingkatan efisiensi nasional, peningkatan mobilisasi dana dan tabungan dalam

    negeri, peningkatan daya saing ekspor nonmigas, serta sejauh mungkin memantapkan kemampuan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    17/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 17

    penguasaan teknologi. Peningkatan efisiensi dan produktivitas nasional ini menyangkut setiap

    kegiatan pembangunan, sebagai salah satu kebijaksanaan dasar dalam Pelita V, serta dilaksanakan

    secara menyeluruh, dalam setiap kegiatan pembangunan, pada berbagai tingkat, di semua bidang, dan

    di seluruh sektor. Bersama-sama dengan peningkatan kemandirian dan partisipasi masyarakat,

    penajaman prioritas dan penyempurnaan pengawasan penggunaan dana serta penyempurnaan operasi

    dan pemeliharaan, upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas secara nasional ini

    diharapkan akan melonggarkan kendala keterbatasan dana terhadap laju pembangunan. Di bidang

    pengerahan dana dan investasi kebijaksanaan akan mengacu kepada upaya menunjang tercapainya

    sasaran pertumbuhan investasi pemerintah dan masyarakat agar dapat berkembang rata-rata sebesar

    15,2 persen per tahun, sehingga sasaran persentase investasi keseluruhan terhadap produksi nasional

    pada akhir Pelita V sebesar 27,7 persen dapat dicapai. Begitu pula mengingat peranan strategis bagi

    ekspor di luar minyak bumi dan gas alam, baik bagi pendapatan nasional maupun perluasan

    kesempatan kerja, maka upaya pengembangan ekspor nonmigas dalam tahun mendatang akan

    senantiasa dilaksanakan secara optimal, dalam kerangka prioritas yang jelas. Hal ini dicapai melalui

    upaya diversifikasi, peningkatan nilai tambah, peningkatan daya saing serta perluasan pasaran di luar

    negeri. Kebijaksanaan ini akan memperkokoh landasan ekspor dan mengubah struktur ekspor

    Indonesia, sehingga pada akhirnya ekspor hasil industri akan memberikan sumbangan yang lebih

    besar bagi penerimaan devisa dibandingkan dengan ekspor hasil-hasil pertanian. Dengan berbagai

    langkah kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi diharapkan sasaran pertumbuhan ekspor

    nonmigas sebesar 15,6 persen per tahun dapat dicapai, sehingga peranannya terhadap keseluruhan

    penerimaan ekspor pada akhir Pelita V sebesar 72,8 persen akan dapat dicapai pula.

    Dalam pada itu, dalam rangka pemeliharaan kestabilan, mendorong ekspor nonmigas, dan

    menunjang neraca pembayaran yang menguntungkan maka kebijaksanaan kurs devisa yang realistis

    dalam sistem devisa bebas sangat penting peranannya untuk dapat dicapainya sasaran-sasaran

    tersebut. Kebijaksanaan nilai tukar ini akan tetap dilandaskan kepada kebijaksanaan kurs devisa yang

    mengambang dan terkendali, yang dikaitkan pada sekelompok matauang asing. Hal ini dilakukan

    antara lain dengan memperhatikan perkembangan laju inflasi dalam dan luar negeri, khususnya inflasi

    di negara-negara mitra dagang serta negara-negara saingan dagang. Sehubungan dengan itu upaya

    pengendalian inflasi akan tetap merupakan prioritas yang penting dalam rangka mempertahankan daya

    saing barang-barang ekspor Indonesia.

    Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi, investasi, baik melalui penanaman modal

    langsung oleh PMDN dan PMA maupun melalui pasar modal yang mengalami pertumbuhan cukup

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    18/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 18

    pesat, dan perkembangan sektor keuangan dan perbankan, serta pertumbuhan ekspor di luar minyak

    bumi dan gas alam, telah mendorong meningkatnya laju inflasi menjelang berakhirnya tahun 1990.

    Dalam periode Januari- Desember 1990 laju inflasi telah mencapai 9,53 persen, kenaikan ini cukup

    besar bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 5,97

    persen. Untuk itu dalam memasuki RAPBN 1991/92, sebagai pelaksanaan tahun ketiga Peiita V,

    Pemerintah telah melaksanakan kebijaksanaan moneter ketat, yang diimbangi pula dengan

    kebijaksanaan di sektor lainnya, sehingga tingkat inflasi diupayakan dapat terkendali di bawah 10

    persen.

    Dengan latar belakang perkembangan yang terjadi serta strategi dasar pembangunan

    sebagaimana diuraikan di muka maka disusunlah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja

    Negara tahun anggaran 1991/92. Kebijaksanaan penyusunan dan pengelolaan anggaran pendapatan

    dan belanja negara (APBN) tahun anggaran 1991/92, sebagaimana APBN tahun-tahun sebelumnya,

    senantiasa didasarkan atas program dan kebijaksanaan pokok yang terkandung dalam Repelita. Oleh

    karena itu, penyusunan APBN 1991/92 tidak dapat dilepaskan dari kerangka pokok program dan

    kebijaksanaan Pelita V itu sendiri. APBN 1991/92 adalah merupakan rencana pelaksanaan operasionil

    tahun ketiga Pelita V, yang disusun dengan tetap memperhatikan prinsip anggaran berimbang dan

    dinamis, sesuai dengan yang diamanatkan dalam GBHN. Demikian juga Trilogi Pembangunan tetap

    merupakan dasar kebijaksanaan dalam penyusunan APBN 1991/92, yang berarti arah dan program-

    program dalam APBN terse but ditujukan untuk terus memeratakan, pembangunan dan hasilnya ke

    semua lapisan masyarakat dan seluruh. pelosok Indonesia, menumbuhkan ekonomi dengan tingkatyang cukup tinggi, serta menjaga kestabilan perekonomian nasional. Hal ini dicapai melalui fungsi

    alokasi, distribusi, dan stabilisasi APBN. Sasaran pokok dalam Repelita V, yang mendasari

    penyusunan RAPBN 1991/92, adalah antara lain pencapaian pertumbuhan ekonomi minimal 5 persen

    per tahun, untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk yang diperkirakan meningkat 1,9 persen per

    tahun. Untuk mencapai sa saran tersebut diperlukan modal yang cukup besar, yang dalam keseluruhan

    Pelita V diperlukan sejumlah Rp 239,1 trilyun. Dari kebutuhan pembiayaan tersebut, sejumlah Rp

    107,5 trilyun atau 45 persen dibiayai melalui tabungan pemerintah, dan sebesar 55 persen lainnya

    dibiayai dengan tabungan masyarakat. Penyusunan APBN 1991/92 dihadapkan kepada pelbagai

    perkembangan dan permasalahan ekonomi dunia maupun ekonomi nasional, serta khususnya

    program/kegiatan pokok dalam tahun anggaran 1990/91. Perkembangan dan masalah tersebut tidak

    dapat dipisahkan dengan ekonomi internasional, karena sifat ekonomi Indonesia yang terbuka.

    Sebagaimana diuraikan di muka, ketegangan situasi di kawasan teluk telah mengakibatkan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    19/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 19

    perkembangan harga minyak berada pada tingkat yang cukup tinggi, yaitu lebih dari US$25 per barel.

    Namun demikian tentu tidak dapat diharapkan bahwa perkembangan ini akan terus berlangsung, dan

    ketidakpastian mengenai harga. minyak ini masih terus membayangi, mengingat diperkirakan akan

    terjadinya kemerosotan kembali harga apabila krisis teluk tersebut berakhir. Sementara itu

    perkembangan ekspor nonmigas akan sangat dipengaruhi oleh kemungkinan terjadinya resesi

    ekonomi dunia. Perkembangan yang kurang menguntungkan lainnya ialah beban pembayaran tiutang

    luar negeri yang akan meningkat sebagai akibat jatuh waktunya pembayaran kembali hutang luar

    negeri serta kemungkinan berlangsungnya kecenderungan menguatnya matauang negara pemberi

    pinjaman utama. Perkembangan nilai tukar antara valuta asing utama, khususnya antara Yen Jepang

    dan dollar Amerika Serikat, apabila pada akhir tahun 1989 kurs yang berlaku adalah sebesar 143,45

    Yen per dolar Amerika, maka pada akhir November 1990 telah meningkat menjadi 132,60 Yen per

    dolar Amerika, atau naik sebesar 7,6 persen.

    Berbagai kondisi internasional serta perkembangan ekonomi nasional yang menunjukkan

    adanya inflasi yang relatif tinggi, prospek ekspor bukan migas yang kurang pasti, dan perkembangan

    pasar modal yang sedang dalam proses pemantapan, serta tantangan berupa penyediaan lapangan kerja

    selama Pelita V bagi 11,9 juta atau 2,4 juta setahun angkatan kerja, sebagaimana diuraikan di muka di

    satu pihak, dan dana-dana yang terhimpun dari masyarakat melalui penerimaan pajak dan tabungan

    masyarakat yang masih harus terus ditingkatkan di lain pihak, akan mewarnai penyusunan RAPBN

    1991/92. Penerimaan dalam negeri dalam tahun anggaran mendatang diperkirakan akan mencapai

    sebesar Rp 40,2 trilyun, atau naik sekitar 27,2 persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah penerimaandalam negeri tersebut, Rp 15,0 trilyun berasal dari penerimaan minyak bumi dan gas alam, sedangkan

    sebesar Rp 25,2 trilyun atau 62,6 persen berasal dari penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam.

    Besarnya penerimaan minyak bumi dan gas alam ini didasarkan kepada asumsi bahwa harga rata-rata

    minyak bumi dan gas alam akan disekitar US $ 19,0 per barel dengan tingkat produksi sebanyak 1,5

    juta barel per hari. Dari komposisi penerimaan dalam negeri terlihat bahwa sebagian besar dari

    penerimaan dalam negeri bersumber dari penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam, dalam

    jumlah hampir dua kali lipat dari penerimaan minyak dan gas. Ini menunjukkan semakin sehatnya

    struktur penerimaan dalam negeri. Terus bertambah besarnya penerimaan dalam negeri di luar migas

    selama tahun-tahun terakhir merupakan basil positif dari usaha terus menerus didalam

    menyempurnakan administrasi perpajakan, memperbaiki aparatur perpajakan, serta meningkatnya

    kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Perkiraan penerimaan dalam negeri diluar minyak

    bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1991/92 sebesar Rp 25,2 trilyun, atau suatu kenaikan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    20/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 20

    sebesar 21,0 persen dari jumlah dalam APBN 1990/91 adalah didasarkan kepada perkiraan umum

    bahwa pertumbuhan ekonomi akan berkembang sebesar 5 persen dan inflasi sebesar 7 persen. Dari

    unsur penerimaan dalam negeri di luar minyak bumi dan gas alam, pajak penghasilan akan mengalami

    kenaikan yang cukup berarti, yakni sebesar 23,1 persen, sehingga diperkirakan akan mencapai jumlah

    lebih dari Rp 8,0 trilyun. Dibandingkan dengan keadaan pada saat pertama kali diberlakukannya

    undang-undang pajak penghasilan dalam tahun 1984/85, maka terdapat kenaikan hampir 300 persen.

    Sementara itu penerimaan dari pajak pertambahan nilai akan memberikan sumbangan yang terbesar

    dalam penerimaan dalam negeri di luar minyak bumi dan gas alain, yang diperkirakan akan mencapai

    jumlah sebesar Rp 8,2 trilyun lebih. Jumlah ini merupakan suatu kenaikan sebesar 250 persen lebih

    dibandingkan dengan jumlahnya pada tahun 1985/86, yaitu saat diberlakukannya undang-undang

    pajak pertambahan nilai. Perkembangan yang dapat dicapai oleh pajak pertambahan nilai ini

    menunjukkan keberhasilan dari sistem perpajakan yang baru, karena sifatnya yang sederhana, bertarif

    tunggal sebesar 10 persen, serta adanya sistem perhitungan pajak masukan dan sistem restitusi, yang

    telah menyebabkan kepatuhan wajib pajak semakin meningkat. Dalam pada itu penerimaan bea

    masuk, cukai, pajak ekspor, pajak bumi dan bangunan, pajak lainnya, dan penerimaan bukan pajak,

    dalam tahun 1991/92 diperkirakan keseluruhannya akan berjumlah sebesar Rp 8,9 trilyun.

    Penerimaan pajak ini walaupun terus menunjukkan peningkatan, persentasenya terhadap

    produk domestik bruto masih lebih rendah daripada beberapa negara tetangga di Asia, atau.terlebih

    lagi terhadap negara-negara maju. Untuk itu "upaya habis-habisan" melalui intensifikasi dan

    ekstensifikasi akan terus dilaksanakan. Namun demikian kebijaksanaan penerimaan di luar minyakbumi dan gas alam ini tidaklah semata-mata ditujukan hanya untuk memperbesar penerimaan negara,

    melainkan juga untuk mendorong kegiatan ekonomi yang makin luas, mendorong ekspor nonmigas,

    merangsang perkembangan golongan ekonomi lemah, memperluas kesempatan kerja, dan mencapai

    tujuan-tujuan lainnya di dalam rangka pelaksanaan strategi pembangunan nasional.

    Di dalam menuju tercapainya sasaran pembangunan yang diinginkan, serta dengan

    memperhatikan kemampuan yang ada dalam menciptakan tabungan pemerintah, penerimaan dari

    sumber luar negeri masih diperlukan sebagai pelengkap dana pembangunan. Sasaran pemanfaatandana luar negeri tersebut adalah untuk penyediaan prasarana dan sarana dasar ekonomi, serta

    peningkatan teknologi dan sumber daya manusia. Bantuan luar negeri tetap diupayakan dengan syarat-

    syarat yang tidak memberatkan keuangan negara, dalam batas-batas kemampuan untuk membayar

    kembali, serta penggunaannya ditujukan untuk proyek-proyek yang mendapat prioritas, produktif, dan

    bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Dalam APBN 1991/92 penerimaan pembangunan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    21/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 21

    direncanakan sebesar Rp 10,4 trilyun, yang terdiri dari bantuan program sebesar Rp 1,6 trilyun dan

    bantuan proyek sebesar kurang lebih Rp 8,8 trilyun. Jumlah penerimaan pembangunan tersebut

    menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan dengan jumlah penerimaan pembangunan dalam APBN

    1990/91. Berdasarkan kepada perkiraan berbagai komponen penerimaan negara tersebut, APBN

    1991/92 diperkirakan akan berimbang pada tingkat Rp 50,6 trilyun atau suatu kenaikan kurang lebih

    18,0 persen dibandingkan dengan APBN sebelumnya. Sementara itu kebijaksanaan di bidang

    pengeluaran negara mengandung dua hal pokok yang perlu untuk diperhatikan, dan merupakan hal

    terpenting dalam kebijaksanaan pengelolaan APBN, yaitu jumlah keseluruhan dana yang dianggarkan

    dan alokasi dari pengeluaran tersebut kepada setiap jenis pengeluaran. Jumlah anggaran yang

    disediakan menyangkut besarnya kemampuan negara dalam membiayai kegiatan-kegiatannya, yang

    berkaitan erat dengan rencana kegiatan operasional dan pembangunan. Sedangkan alokasi anggaran

    berhubungan dengan prioritas dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah untuk mengarahkan setiap

    pengeluaran negara sesuai dengan strategi pembangunan. Kedua faktor ini memberikan ciri dari

    APBN setiap tahunnya, walaupun berbeda dalam aksentuasinya. Namun hal yang senantiasa perlu

    diingat ialah bahwa baik penetapan jumlah anggaran maupun alokasi anggarannya selalu didasarkan

    pada prinsip daya guna dan hasil guna yang optimal. Kebijaksanaan yang ditempuh dalam

    pengeluaran rutin adalah untuk mendukung kegiatan yang mutlak diperlukan guna menjalankan roda

    pemerintahan, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, memelihara segala hasil

    pembangunan yang telah dicapai, serta untuk memenuhi kewajiban negara di dalam membayar bunga

    dan cicilan hutang luar negeri. Guna memenuhi peningkatan kegiatan operasional tersebut,

    pengeluaran rutin dalam tatun 1991/92 direncanakan sebesar Rp 30,6 trilyun lebih, yang berarti

    meningkat sebesar 14,7 persen dari APBN 1990/91. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai,

    belanja barang, subsidi daerah otonom, pembayaran bunga dan cicilan pinjaman luar negeri, dan

    pengeluaran rutin lainnya. Pengeluaran rutin yang terbesar adalah untuk membayar bunga dan cicilan

    pinjaman luar negeri, yang untuk tatun anggaran 1991/92 diperkirakan mencapai Rp 14,1 trilyun

    lebih, atau 10,8 persen lebih besar dibandingkan dengan rencananya dalam APBN 1990/91. Kenaikan

    tersebut terutama karena sudah jatuh temponya pembayaran kembali pinjaman luar negeri, di samping

    karena sebagian besar pinjaman berasal dari negara-negara yang nilai matauangnya menguat.

    Meskipun pembayaran hutang terus meningkat, akan tetapi dalam tiga tatun terakhir ini anggaran bagi

    pembayaran kembali hutang luar negeri ini berada di bawah 50 persen dari pengeluaran rutin.

    Sementara itu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan aparat pemerintah, yang terdiri dari pegawai

    negeri sipil, anggota ABRI, dan pensiunan, belanja pegawai dalam RAPBN 1991/92 akan mengalami

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    22/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 22

    peningkatan sekitar 12,2 persen, sehingga jumlahnya meneapai Rp 7,7 trilyun lebih. Bagian terbesar

    dari anggaran belanja pegawai diperuntukkan bagi pengeluaran gaji dan pensiun aparatur pemerintah

    termasuk anggota ABRl. Apabila pengeluaran gaji dan pensiun dalam APBN 1990/91 adalah sekitar

    80 persen dari keseluruhan belanja pegawai, maka dalam RAPBN 1991/92 direncanakan mencapai

    78,3 persen. Peningkatan anggaran belanja bagi pembiayaan pegawai juga berkaitan dengan

    pemerataan pembangunan ke seluruh daerah dan ke seluruh pelosok tanah air. Semakin besarnya

    jumlah dan jangkauan dari belanja pegawai, baik di pusat maupun di daerah, diharapkan dapat

    memberikan motivasi yang besar guna menggiatkan terlaksananya program-program pemerintah di

    berbagai bidang secara merata. Dengan kebijaksanaan tersebut, subsidi daerah otonom mencapai

    jumlah yang terbesar setelah pembayaran bunga dan cicilan hutang dan belanja pegawai, dalam

    pengeluaran rutin. Dalam RAPBN 1991/92 subsidi daerah otonom berjumlah sebesar Rp 4,7 trilyun

    lebih. Sungguhpun sumber pembiayaan pembangunan dalam Pelita V sebagian besar akan berasal dari

    sektor masyarakat dan dunia usaha, namun sebagaimana yang digariskan dalam Pelita V, pemerintah

    tetap bertindak sebagai pendukung dan penunjang berkembangnya potensi pembangunan masyarakat

    tersebut. Dukungan tersebut antara lain berupa penyediaan sarana dan prasarana dasar untuk

    penciptaan iklim yang menggairahkan investasi. Berbagai penelitian menunjukkan terdapatnya

    hubungan yang erat antara tersedianya prasarana dasar dan sarana dengan peningkatan kegiatan

    investasi oleh swasta. Oleh sebab itu pula anggaran pembangunan, yang sumber dananya dari

    tabungan pemerintah dan bantuan luar negeri, tetap diarahkan kepada tujuan memantapkan landasan

    yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya, di samping tujuan utama meningkatkan taraf hidup,

    kecerdasan, dan kesejahteraan seluruh rakyat yang semakin merata dan adil sebagai tujuan-tujuan

    pokok pembangunan dalam Pelita V. Untuk itu maka alokasi anggaran pembangunan terutama

    diarahkan kepada pengembangan atau pembangunan unsur prasarana dasar, pengembangan sumber

    daya manusia seperti pendidikan dan kesehatan, keluarga berencana dan transmigrasi, serta untuk

    pembiayaan operasi dan pemeliharaan. Sesuai dengan arah pembangunan dalam Pelita V, anggaran

    pembangunan untuk beberapa sektor memperoleh alokasi terbesar, yaitu sektor perhubungan dan

    pariwisata, sektor pertanian dan pengairan, sektor pendidikan generasi muda, kebudayaan nasional

    dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sektor pertambangan dan energi, serta sektor

    pembangunan daerah, desa dan kota. Kelima sektor tersebut mendapat alokasi pembiayaan

    pembangunan masing-masing diatas Rp 2 trilyun.

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    23/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 23

    BAB II

    ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

    2.1.Pendahuluan

    Program pembangunan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur, sebagaimana

    digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, diIaksanakan melalui pembangunan jangka panjang,

    sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan program jangka

    menengah yaitu Repelita. Program tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam rencana operasional tahunan

    yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pelaksanaan program pembangunan

    tersebut memerlukan dana pembangunan yang cukup besar, yang antara lain dihimpun melalui

    anggaran pendapatan dan belanja negara dalam bentuk tabungan pemerintah. Di dalam rangka

    pelaksanaan pembangunan melalui APBN tersebut, sejak tahun pertama Pelita I, anggaran pendapatan

    dan belanja negara menganut prinsip berimbang dan dinamis. Dalam prinsip tersebut senantiasa dijaga

    adanya keseimbangan antara penerimaan dlan pengeluarannya, untuk memelihara stabilitas ekonomi

    yang merupakan salah satu bagian dari trilogi pembangunan.

    Peranan APBN sebagai pendorong dan pengarah kegiatan pembangunan semakin besar dari

    tahun ke tahun hingga saat ini, sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia maupun

    perekonomian dalam negeri. Kalau dalam tahun pertama Pelita I volume APBN adalah 12,3 persen

    dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka dalam tahun terakhir Pelita IV telah meningkat menjadi

    23,2 persen dari PDB. Sementara itu dalam periode tersebut volume APBN telah meningkat sebanyak

    98 kali lipat, sementara PDB hanya meningkat sebanyak 52 kali. Di samping volume dan peranan

    APBN mengalami peningkatan, struktur penerimaan dan pengeluaran negara juga mengalami

    perubahan dari tahun ke tahun. Pada awal Pelita I, penerimaan negara sebagian besar didukung oleh

    penerimaan dari sektor perpajakan, sementara penerimaan minyak bumi dan gas alam peranannya

    masih sangat kecil. Dalam Pelita II, harga minyak bumi mulai membaik, sehingga peranan

    penerimaan migas dalam APBN semakin besar dan menggeser kedudukan penerimaan sektor

    perpajakan. Keadaan tersebut berlangsung sampai pada akhir Pelita III. Memasuki Pelita IV, peranan

    penerimaan migas mengalami penurunan sebagai akibat melemahnya harga minyak di pasaran

    internasional sejak tahun 1982. Sekalipun harga turun, namun penerimaan migas masih meningkat

    sampai dengan tahun 1985/86. Penurunan harga minyak tersebut terus berlanjut secara drastis bahkan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    24/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 24

    mencapai titik terendah, yaitu sebesar US$ 9,83 per baret dalam bulan Agustus 1986.

    Menyadari bahwa ketergantungan terhadap penerimaan migas tidak menguntungkan bagi

    kelanjutan pembangunan, maka diupayakan agar penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam dapat

    ditingkatkan, khususnya dari sektor perpajakan. Bertitik tolak dari pemikiran itulah, maka sejak tahun

    1984 telah dilakukan pembaharuan di bidang perpajakan. Dengan upaya yang telah dilakukan

    tersebut, maka sejak tahun 1986/87 secara berangsur-angsur titik berat penerimaan negara mulai

    beralih kembali ke penerimaan di luar migas. Sekalipun penerimaan di luar migas telah berhasil

    ditingkatkan, namun dana pembangunan yang dihimpun dari dalam negeri masih belum memenuhi

    jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Oleh karena itu bantuan luar

    negeri diterima dan dimanfaatkan sebagai pelengkap, dengan tetap dijaga agar tidak memberatkan

    keuangan negara. Sementara itu pengeluaran negara, yang terdiri dari pengeluaran rutin dan

    pengeluaran pembangunan, jumlahnya juga semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

    kegiatan pembangunan. Pengeluaran rutin, yang dilaksanakan dengan tetap memegang prinsip

    efisiensi dan efektivitas, diarahkan untuk menunjang peningkatan kelancaran tugas-tugas

    pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, serta untuk

    memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang. Sedangkan pengeluaran pembangunan

    dipergunakan untuk pembangunan prasarana-prasarana dasar yang langsung menunjang kegiatan

    ekonomi dan pembangunan pada umumnya, untuk memperluas pelayanan-pelayanan dasar dalam

    rangka meningkatkan taraf hidup rakyat, serta untuk pengembangan sumber daya manusia.

    2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN hingga tahun 1990/91

    2.2.1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN

    Sampai dengan pelaksanaan tahun kedua Pelita V, anggaran pendapatan dan belanja negara

    (APBN) tetap merupakan sarana utama untuk menjangkau berbagai sasaran yang direncanakan dalam

    Pelita V, yang sekaligus merupakan perwujudan dari pelaksanaan amanat seluruh rakyat Indonesia,

    sebagaimana dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebagai penjabaran

    operasional tahunan daripada Repelita, kebijaksanaan yang diterapkan dalam APBN senantiasa

    diselaraskan dengan prioritas-prioritas sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam kurun waktu

    lima tahunan, dengan tetap didasarkan pada trilogi pembangunan.

    Sementara itu untuk mewujudkan tercapainya sasaran pembangunan dalam Pelita, diperlukan

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    25/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 25

    dana investasi yang cukup besar, yang diperoleh baik dari sumber dalam negeri maupun dari sumber

    luar negeri. Dalam kaitan ini pelaksanaan APBN diarahkan kepada prinsip kemandirian dalam

    menghimpun dana bagi pembiayaan proyek -proyek pembangunan, yang mengisyaratkan agar

    penekanan dalam mobilisasi sumber-sumber dana pembangunan diletakkan kepada sumber-sumber

    dalam negeri. Namun demikian, sejalan dengan penggarisan GBHN, sumber-sumber dana dari luar

    negeri tetap dimanfaatkan sebagai dana pelengkap. Sumber dana dari luar negeri tersebut terutama

    diperoleh dari pinjaman resmi pemerintah, baik berupa pinjaman antar pemerintah (G to G) maupun

    pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti International Bank for Reconstruction

    and Development (IBRD), Asian Development Bank (ADB), dan lain-lain yang tergabung dalam Inter

    Governmental Group on Indonesia (IGGI). Sekalipun bantuan luar negeri tersebut sangat diperlukan,

    bantuan dimaksud diterima sepanjang tidak mempunyai ikatan politik, dan dengan syarat-syarat yang

    tidak memberatkan, serta dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali.

    Sumber dana investasi dari dalam negeri dihimpun melalui pembentukan tabungan

    pemerintah dan tabungan masyarakat. Tabungan pemerintah merupakan selisih positif antara

    penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, sehingga besarnya tabungan pemerintah tergantung

    kepada besar kecilnya penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin.

    Upaya untuk peningkatan tabungan pemerintah akan terwujud apabila penerimaan dalam

    negeri dapat ditingkatkan melebihi laju peningkatan pengeluaran rutin. Untuk itu penerimaan dalam

    negeri terus ditingkatkan terutama melalui peningkatan penerimaan di luar migas. Dalam hubungan

    ini telah dilaksanakan pembaharuan sistem perpajakan sejak tahun 1984, dimana telah dilakukan

    perubahan yang mendasar dalam hat prinsip-prinsip penetapan besarnya pajak. Sistem yang semula

    menganut prinsip penetapan pajak oleh kantor pajak (official assessment) diubah dengan prinsip

    menghitung sendiri oleh wajib pajak (self assessment). Di samping itu dalam undang-undang

    perpajakan yang baru, sistem dan prosedur serta tarifnya telah disederhanakan, sehingga

    mudah.dilaksanakan dan dimengerti oleh masyarakat. Bagi pajak penghasilan hanya terdapat tiga

    tingkatan tarif, yaitu 15 persen, 25 persen dan 35 persen. Sedangkan tarif pajak pertambahan nilai

    hanya dikenal tarif tunggal, yaitu 10 persen. Di lain pihak, dalam rangka peningkatan pelayananterhadap wajib pajak, telah dilaksanakan penyempurnaan di bidang administrasi perpajakan serta

    pengadaan tenaga-tenaga yang terlatih dan terdidik. Sebagai hasil nyata dari pembaharuan dan

    penyempurnaan perpajakan tersebut, nampak bahwa sejak tahun keempat Pelita IV (1987/ 88),

    penerimaan dalam negeri lebih banyak didukung oleh penerimaan dari sektor di luar migas,

    khususnya pajak.

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    26/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 26

    Pengeluaran rutin yang merupakan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan tugas-tugas

    pemerintahan, pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, serta kewajiban pembayaran atas bunga dan

    cicilan hutang luar negeri, dilaksanakan dengan tetap memegang prinsip efisiensi dan efektivitas.

    Dalam pelaksanaannya, volume pengeluaran rutin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan

    keberhasilan pembangunan di berbagai sektor. Peningkatan pengeluaran rutin tersebut di samping

    disebabkan oleh semakin meningkatnya kewajiban pembayaran kembali hutang luar negeri yang telah

    jatuh tempo, juga karena adanya perbaikan gaji pegawai negeri sipil dan ABRI termasuk pensiunan,

    serta peningkatan biaya pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Pembiayaan bagi pemeliharaan hasil-

    hasil pembangunan diperlukan agar prasarana dan sarana yang ada senantiasa terpelihara dan dapat

    lebih produktif, yang pada akhirnya akan dapat memberikan sumbangan seperti yang diharapkan

    kepada pertumbuhan ekonomi.

    Sementara itu pengeluaran pembangunan selain dialokasikan secara sektoral, juga didasarkan

    pada perimbangan pembangunan regional, sesuai dengan arah dan prioritas yang ditetapkan dalam

    GBHN dan Repelita. Alokasi. tersebut senantiasa mengacu kepada produktivitas proyek-proyek

    pembangunan yang optimal, dengan sekaligus mencakup juga aspek penciptaan lapangan kerja dan

    mengurangi kesenjangan tingkat pertumbuhan antardaerah. Sehubungan dengan hat itu maka sejak

    Pelita V ini pengalokasian dana pembangunan di wilayah Indonesia bagian timur akan semakin

    ditingkatkan. Di samping itu untuk lebih merangsang peran aktif kalangan masyarakat dan swasta

    dalam pembangunan di wilayah Indonesia bagian timur, telah diberikan pula fasilitas-fasilitas berupa

    kemudahan di bidang perpajakan, baik untuk investasi baru maupun perluasan proyek-proyekpembangunan yang telah ada. Rincian lebih lanjut tentang sektor-sektor yang mendapat prioritas pada

    setiap Repelita dapat dilihat dalam Tabel II.1.

    2.2.2. Penerimaan dalam negeri

    Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas) dan

    penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam. Penerimaan dalam negeri yang berasal dari migas

    dalam perkembangannya sejak Pelita pertama mengalami perubahan yang sulit di duga. Selama Pelita

    I, penerimaan migas belum menunjukkan peranan yang berarti. Selanjutnya, sebagai akibat krisis

    energi dalam tahun 1973, harga minyak meningkat tajam dari US$ 3,73 per baret dalam bulan April

    1973 menjadi US$ 11,70 per baret dalam bulan April tahun berikutnya. Dengan peningkatan tersebut,

    peranan penerimaan migas telah menggeser kedudukan penerimaan nonmigas. Apabila pada awal

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    27/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 27

    Pelita I penerimaan migas baru mencapai Rp 65,8 milyar, maka pada akhir Pelita II telah meningkat

    menjadi Rp 2.308,7 milyar. Sejalan dengan itu, peranan penerimaan migas terhadap penerirriaan

    dalam negeri meningkat dari 27,0 persen menjadi 54,1 persen. Dalam Pelita Ill, harga minyak terus

    meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Januari 1981, yaitu sebesar US$ 35 per barel. Seiring

    dengan meningkatnya harga minyak, dalam tahun 1981/82 peranan penerimaan migas meningkat lagi

    menjadi 70,6 persen dari penerimaan dalam negeri.

    Memasuki Pelita IV, harga minyak mulai menurun, sebagai akibat dari kelesuan perekonomian dul1ia

    dan adanya kelebihan produksi minyak dunia yang berlarut-larut. Menyadari hat tersebut, maka pada

    bulan Oktober 1984 OPEC menerapkan kuota produksi yang lebih rendah kepada anggota-

    anggotanya. Namun demikian pada kenyataannya harga minyak cenderung terus menurun, bahkan

    dalam bulan Agustus 1986 harga minyak menurun tajam hingga di bawah US$ 10 per barel. Berkat

    perbaikan situasi ekonomi dunia dan upaya-upaya OPEC mengurangi produksi, secara berangsur-

    angsur harga minyak meningkat lagi, hingga sejak awal tahun 1987sampai akhir tahun 1989/90 harga

    minyak berkisar antara US$ 12- US$ 18 per barel. Selanjutnya dalam pelaksanaan semester I 1990/91

    telah terjadi peningkatan harga minyak yang disebabkan oleh faktor-faktor non-ekonomis, yaitu

    adanya ketegangan di teluk Persia. Situasi tersebut selain menyebabkan berkurangnya pengiriman

    minyak ke negara-negara industri yang semula dipasok oleh Irak dan Kuwait, juga telah menimbulkan

    kekhawatiran mengenai kemungkinan sulitnya memperoleh minyak mentah dan produk-produk

    minyak lainnya di masa mendatang. Hal tersebut telah mendorong terjadinya peningkatan harga

    minyak secara tajam, hingga dalam semester I 1990/91 mencapai rata-rata di atas US$ 16,50 per bareldan dalam bulan November 1990 mencapaisekitar US$ 33,57 per barel. Perkembangan harga ekspor

    minyak Indonesia (jenis Minas) sejak tahun 1969 sampai dengan bulan November tahun 1990 dapat

    dilihat dalam Tabel II.2.

    Sementara itu, dalam rangka memelihara sumber dana dari sektor migas telah diambil

    langkah-langkah untuk menciptakan iklim usaha yang merangsang investasi di bidang perminyakan.

    Dalam hubungan ini pada awal September 1988 telah ditetapkan persyaratan baru untuk kontrak bagi

    hasil. Dalam ketentuan baru tersebut kontraktor diberikan beberapa insentif, terutama untuk lebihmendorong kegiatan eksplorasi di lahan-lahan yang tergolong baru. Insentif tersebut antara lain

    berupa perlakuan khusus di bidang perpajakan, penyempurnaan pola bagi hasil, penyesuaian harga

    minyak prorata, dan kemudahan dalam pengadaan barang. Perlakuan khusus di bidang perpa

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    28/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 28

    SEKTOR PELITA I PELITA II PELITA III PELIT2)

    1. Pertanian dan Pengairan 267,8 1.745,30 4.235,20 7.277,60 4.441,002. Industri

    3)85,7 686,1 2.320,10 2.692,10 846,7

    3. Pertambangan dan Energt4)

    108 967,5 2.320,10 7.276,00 3.390,404. Perhubungan dan Pariwisata 261,6 1.631,80 4.457,00 7.652,10 6.047,505. Perdagangan dan Koperasi - 37,5 521,9 1.194,20 658,46. Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2,5 198,9 1.797,50 1.844,60 837,6

    7. Pembangunan Daerah, Desa dan Kota5)

    210 1.024,50 2.894,10 4.647,20 3.242,608. A g a m a

    6) 3,7 26 195,9 211,3 60,19. Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan

    Nasional dan Kepercayaan Terhadap

    Tuhan Yang Maha Esa7) 83,8 758,1 3.397,10 6.615,10 3.572,20

    10. Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,

    peranan Wanita, Kependudukan dan

    Keluarga Berencana 27,3 262 1.184,00 1.608,20 1.061,5011. Perumahan Rakyat dan Pemukiman 23,7 195,3 845,9 1.808,30 1.223,8012. H u k u m - 35,9 259,8 241,2 66,613. Pertahanan dan Keamanan Nasional 27,3 333,7 2.377,10 2.915,40 1.701,7014. Penerangan, Pers, dan Komunikasi

    Sosial - 87,9 178,5 204,6 124,415. IImu Pengetahuan, Teknologi dan

    Penelitian 60,1 133,1 671,6 1.544,90 739,216. Aparatur Pemerintah - 212,8 1.019,20 901:02:00 306,3

    17. Pengembangan Dunia Usaha 71,3 790 1.758,50 1.180,70 964,118. Sumber Alam dan Lingkungan Hidup - - , . , ,um a . , . , . , . , . ,

    1) Termasuk bantuan proyek

    Pembagian sektor dalam Pelita I adalah 13 sektor, Pelita II 17 Sektor, Pelita III dan IV 18 sektor. Nama sektor Pelita I tidak seluruhnya sama dengan Pelita II.

    2) Sampai dengan tahun kedua Pelita V

    3) Dalam Pelita I dan II nama sektor adalah Industri dan Pertambangan

    4) Dalam Pelita I dan II nama sektor adalah Tenaga listrik

    5) Dalam Pelita I dan II nama sektor adalah Pemoongunan Daerah dan Regional

    6) Dalam Pelita I nama sektor adalah Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

    7) Dalam Pelita I nama sektor adalah Pendidikan dan Kebudayaan

    8) Dalam Pelita I dan II nama sektor adalah Kesejahteraan Sosial

    9) Merupakan Jumlah realisasi sektor-sektor 5, 14, 15 dan 16

    10) Dalam Pelita I nama sektor adalah Penyertaan Modal Pemerintah.

    Tabel II.1

    PENGELUARAN PEMBANGUNAN, PELITA I- PELITA V1)

    (dalam milyar rupiah)

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    29/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    Departemen Keuangan Republik Indonesia 29

    Tahun Harga minyak Tahun Harga minyak

    1969 Januari 1,67 1987 Januari 15,39

    Februari 17,58

    1971 April 2,21 Juli 18,83

    1972 April 2,96 November 17,84

    Desember 16,93

    1973 April 3,73

    1988 Januari 17,22

    1974 April 11,7 Maret 15,45

    April 16,04

    1975 Oktober 12,8 Juli 15,24

    1977 Januari 13,55 Agustus 14,55

    September 13,88

    1979 Januari 13,9 Oktober 11,98

    April 15,65 November 12,35

    Desember 25,5 Desember 14,08

    1989 Januari 17,04

    1980 Januari 27,5 Februari 17,5

    Februari 29,5 April 18,21

    Mei 31,5 Mei 18,64

    Juni 18,07

    1981 Januari 35 Juli 17,94

    September 17,02

    1982 November 34,53 Oktober 17,36

    1983 Maret 29,53 November 17,86

    Desember 18,07

    1985 Februari 28,53

    1990 Januari 19,241986 Januari 25,13 Februari 19,32

    Februari 21 Maret 18,83

    Maret 14,45 April 17,49

    Mei 16,3

    April 10,66 Juni 15,55

    Juni 12,11 Juli 14,81

    Juli 10,25 Agustus 19,19

    Agustus 9,83 September 28,03

    Oktober 35,29

    September 12,2 November 33,57Desember 13,07 Desember 29,01

    Tabel II.2

    HARGA EKSPOR MINYAK BUMI INDONESIA (dalam US $ per barel)

  • 8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1991-1992

    30/580

    Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1991/92

    adalah berupa penundaan dan penangguhan PPN atas penyerahan jasa pencarian sumber-sumber dan

    pemboran minyak, gas bumi, dan panas bumi, kepada kontraktor yang belum berproduksi

    sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 572 tanggal 25 Mei 1989.

    Sementara itu, pola pembagian hasil yang baru, baik bagi lahan lama maupun lahan baru, adalah 85

    persen untuk pemerintah dan sisanya 15 persen untuk kontraktor. Adapun penyesuaian harga minyak

    prorata adalah sebesar US$ 0,20/barel bagi minyak yang sudah lama ditemukan (lahan lama),

    sedangkan minyak yang baru ditemukan (lahan baru) selama 5 tahun ditetapkan sebesar 10 persen dari

    harga ekspor per barel. Selanjutnya dalam bulan Februari 1989 telah dikeluarkan kebijaksanaan di

    bidang perminyakan yang bertujuan untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi minyak di Indonesia

    bagian timur, dengan pemberian insentif yang serupa. Dalam kebijaksanaan tersebut, perbandingan

    bagi hasil untuk kontrak baru atas lahan konvensional adalah 80 persen pemerintah dan 20 persen

    kontraktor, sedangkan bagi kontrak baru atas lahan frontier adalah 75 persen pemerintah dan 25

    persen kontraktor. Di samping itu terus dilakukan upaya-upaya diplomatis, baik antara sesama negara

    anggota OPEC maupun melalui forum OPEC dengan negara-negara non OPEC, untuk menjaga

    kestabilan harga minyak di pasaran internasionat. Sehubungan dengan itu, dalam pertemuan OPEC

    bulan September tahun 1990 di Wina, telah diambil kesepakatan untuk melonggarkan kuota produksi,

    dalam rangka memenuhi kekurangan pengiriman minyak ke negara-negara industri sebagai akibat

    adanya krisis teluk Persia. Mengingat perkembangan harga minyak yang sulit diduga, maka

    ketergantungan penerimaan dalam negeri pada sektor minyak bumi dan gas alam harus dihindari.

    Upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap penerimaan migas telah direalisasikan antara lainmelalui pembaharuan di bidang perpajakan sejak tahun 1984, yaitu dengan diundangkannya berturut-

    turut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan

    Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pajak Penghasilan, yang berlaku efektif sejak 1

    Januari 1984. Selanjutnya disusul dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983

    tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang

    berlaku efektif sejak 1 April 1985. Dalam tahun 1985 berturut-turut diundangkan Undang-undang

    Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-undang Nomor 13 Tahun

    1985 tentang Bea Meterai, yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1986.

    Sistem perpajakan yang baru tersebut lebih sederhana, baik yang menyangkut jumlah dan

    jenis pajak, tarif, maupun mekanisme pemungutannya. Di samping itu undang-undang perpajakan

    yang baru tersebut lebih mencer