Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

41
Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal V-1 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL 5.1 Umum Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang- Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan daerah. Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud. Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint (kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33 Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun melalui transfer ke daerah. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun 2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah

Transcript of Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Page 1: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-1Nota Keuangan dan RAPBN 2011

BAB V

KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

5.1 UmumImplementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab besertadesentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perludipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakaninstrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuanbernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitukesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerahdan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunanpada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintahdaerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuatkebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritasdaerah.

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-UndangNomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat danPemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangankepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selainitu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalammelakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaanbagi pembangunan daerah.

Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, padadasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money followsfunction. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud.Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint(kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisadigunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupunmelalui transfer ke daerah.

Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalahpemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power)dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajakdaerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peranpendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dankabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatanAPBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salahsatu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah

Page 2: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah,peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapantarif pajak.

Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerahsendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untukmendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah.Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan DanaOtonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring denganpelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Padatahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hinggamenjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun 2010.

Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yangbergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaandesentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai programdan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk DanaDekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebihbesar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui programnasional yang menjadi Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, seperti ProgramNasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS),serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah,seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baikyang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persendari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1).

Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalahefektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampakkepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalammeningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanjamasing-masing pemerintah daerah. Kebijakan belanja pemerintah daerah dapat tercermindari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, padatahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umummenempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerahyang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahandan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkanjenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkattertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persendan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya.

Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upayapercepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalamberbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkatkemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula,tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatifcukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatanpemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikatorstatistik pemerataan PDRB antarprovinsi.

Page 3: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-3Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatantaxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerahtelah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagiankewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untukmenghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baikmelalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakananggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukungkesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro.Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai.

5.2 Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi FiskalTahun 2005 - 2010

5.2.1 Perkembangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnyamerupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang berarti bahwapendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya, seiring denganpenyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah diberikan sumber-sumberpendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas

GRAFIK V.1

DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010

Belanja APBN-P 2010(triliun rupiah)

Sumber: APBN-P 2010

Total Belanja = 1.126,15 T

Dana ke Daerah = 682,69 T (60,62%)

Belanja Negara di Pusat443,46 (39,38%)

Transfer ke Daerah344,61 (30,60%)

Belanja Negara di Daerah126,37 (11,22%)

Bantuan ke Masyarakat35,37 (3,14%) Subsidi

176,33 (15,66%)

- PNPM 10,42 0,93% - BBM 88,89 7,89% - DBH 89,62 7,96% - Dana Dekon 11,93 1,06%- BOS 19,84 1,76% - Listrik 55,10 4,89% - DAU 203,61 18,08% - Dana TP 7,64 0,68%- Jamkes 5,10 0,45% - Pangan 13,92 1,24% - DAK 21,14 1,88% - Dana Vertikal 106,80 9,48%

- Pupuk 18,41 1,63% - Otsus 9,09 0,81%- Penyesuaian 21,15 1,88%

*)

35,37 (3,14%)

Melalui Angg. K/L danAPP (Program Nasional)

Melalui APP (Subsidi)Melalui Angg. Transfer ke Daerah

(Masuk APBD)Melalui Angg. K/L

APP = Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan

Total 126,37 (11,22%)Total Total 176,33 (15,66%) Total 344,61 (30,60%)

Page 4: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azasdesentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang olehPemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakandi daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaankepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerahyang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepadadaerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk DanaPerimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan daridaerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untukmelakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan jugapenerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain.

Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenanganperpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusidaerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010.

Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertamaadalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah.Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usahatentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxingpower. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusidaerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokokdan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenispajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistempengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsiyang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarkingsebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalahpeningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanismepengawasan represif menjadi preventif dan korektif.

Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukanmelalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalampelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karenamasing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya.Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antaraPemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjanganfiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu,instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjanganantardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yangrelatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuandan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik.

Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain,melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBHdapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAUmelalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataankemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.

Page 5: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-5Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerahdiberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepadadaerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Danatersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah.

Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatanpembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukanpinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent),mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandungkonsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampaisaat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasanpinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman,persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya.

Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan olehPemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihaklain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyekyang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjamanlangsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yangakan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahunsebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidakmelampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai daripinjaman daerah.

Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutamasetelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentangHibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah KepadaPemerintah Daerah. Kebijakan hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan padapeningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dariPemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri.

Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalamupaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikandana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah didaerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untukmelaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalahdana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintahyang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaandekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yangdilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluarandalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.

Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dankebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraandekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan danpenganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatanyang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuankeuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan didaerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung

Page 6: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengankemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkanbesarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasidana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidakterkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan danpenganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai denganprioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.

5.2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah

Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut,perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara nominal terusmeningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010, secara lebih detailperkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik V.2 dan Tabel V.1.

Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer kedaerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer kedaerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun.Peningkatan tersebut terjadimerata pada semua jenistransfer ke daerah. DAU yangmerupakan komponenterbesar dari transfer ke daerahmeningkat dari Rp88,7 triliunpada tahun 2005 menjadiRp203,6 triliun pada tahun2010, suatu peningkatan yangsangat signifikan karenameningkat hampir tiga kalilipat. Peningkatan terbesarterjadi pada DAK. Pada tahun2005 nilai DAK masih beradadi bawah Rp4 triliun, tetapi

0

50

100

150

200

250

300

350

2005LKPP

2006LKPP

2007LKPP

2008LKPP

2009LKPP

2010APBN-P

7,24 4,05 9,30 13,72 21,33 30,25

143,22

222,13243,97

278,71 287,25314,36

tril

iun

ru

pia

h

Sumber : Kementerian Keuangan

GRAFIK. V.2PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH

(DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN)TAHUN 2005 - 2010

Dana Otsus dan Penyesuaian Dana Perimbangan

2005%

thd PDB

2006%

thd PDB

2007% thd PDB

2008%

thd PDB

2009%

thd PDB

2010% thd PDB

I. Dana Perim bangan 143.221,3 5,1 222.130,6 6,7 243.967 ,1 6,2 27 8.7 14,7 5,6 287 .251,5 5,1 314.363,3 5,0

a. Dana Bagi Hasil 50.47 9,2 1 ,8 64.900,3 1 ,9 62.941,9 1 ,6 7 8.420,2 1 ,6 7 6.129,9 1 ,4 89.618,4 1,4

b. Dana Alokasi Umum 88.7 65,4 3,2 145.664,2 4,4 164.7 87 ,4 4,2 17 9.507 ,1 3,6 186.414,1 3,3 203.606,5 3,3

c. Dana Alokasi Khusus 3.97 6,7 0,1 11 .566,1 0,3 16.237 ,8 0,4 20.7 87 ,3 0,4 24.7 07 ,4 0,4 21.138,4 0,3

II. Dana Otsus dan Peny esuaian 7 .242,6 0,3 4.049,3 0,1 9.296,0 0,2 13.7 18,8 0,3 21.333,8 0,4 30.249,6 0,5

a. Dana Otonomi Khusus 1 .7 7 5,3 0,1 3.488,3 0,1 4.045,7 0,1 7 .510,3 0,2 9.526,6 0,2 9.099,6 0,1

b. Dana Penyesuaian 5.467 ,3 0,2 561,1 0,0 5.250,3 0,1 6.208,5 0,1 1 1.807 ,2 0,2 21 .150,0 0,3

Jum lah 150.463,9 5,4 226.17 9,9 6,8 253.263,1 6,4 292.433,5 5,9 308.585,2 5,5 344.612,9 5,5

Sumber : Kementerian Keuangan

Uraian

APBN-PLKPP Audited

TABEL V.1

PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, 2005 - 2010(miliar rupiah)

Page 7: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-7Nota Keuangan dan RAPBN 2011

pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruhkomponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatannegara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkanpersentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik daripenerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negarayang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi PajakPenghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi DalamNegeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan (BPHTB).

Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyakbumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBHSDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihandari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telahmengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBHPanas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian daritahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi danketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelolaPenerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat.

Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBHmenunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, ataurata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun.

Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerahyang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, denganproporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebutmemang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan SumateraSelatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalahdaerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta,dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besarnya yaitu 0,004 persen.

Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerahyang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsipenerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalahdaerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhanDBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen.

Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karenapeningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam

Page 8: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

Yog

yaka

rta

Bal

i

Ban

ten

NT

T

Gor

onta

lo

Sulb

ar

Ben

gku

lu

Sulu

t

Su

mu

t

Sult

eng

Sum

bar

Jate

ng

Sult

ra

Mal

uku

Suls

el

Kal

bar

DK

I

Mal

ut

NT

B

Bab

el

Lam

pun

g

Kal

ten

g

Jati

m

Jaba

r

Jam

bi

NA

D

Pap

ua

Pap

ua

Bar

at

Kep

ri

Kal

sel

Su

mse

l

Ria

u

Kal

tim

mil

iar

rupi

ah

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

GRAFIK. V.3PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*)

TAHUN 2009 − 2010

20092010

Sumber : Kementerian Keuangan

Uraian2009 2010

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %

Total 33 35.632,17 100 33 31.870,56 100

Tertinggi Kaltim 12.555,56 35,24 Kaltim 10.853,70 34,06

Terendah Bali 1,29 0,004 Yogyakarta 1,24 0,004Rata-Rata 33 1.079,76 - 33 965,77 -

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

mil

iar

rup

iah

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

GRAFIK. V.4PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH

PER PROVINSI DI INDONESIA*)

TAHUN 2009 - 2010

2009 2010

Sumber : Kementerian Keuangan

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %

Total 33 39.271,24 100 33 45.997,51 100

Tertinggi DKI 8.688,80 22,1% DKI 10.905,84 23,7%

Terendah Gorontalo 132,21 0,34% Gorontalo 129,00 0,28%

Rata-Rata 33 1.190,04 - 33 1.393,86 -

Uraian2009 2010

Page 9: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-9Nota Keuangan dan RAPBN 2011

rentang waktu 2005–2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005,menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun padatahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun.

Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkanpada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi duakomponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjanganfiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai.

Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006,komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal(CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuankeuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitasfiskal masing-masing daerah.

Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAUtertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen daritotal DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkanfungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:

(1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAUNasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal.Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah100 persen.

(2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwapemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk danpengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untukwilayah.

(3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untukmendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnyaWilliamson Index.

Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan,irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian.Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkunganhidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitubidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang.Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAKAir Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.

Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkanmenganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaranalokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK,alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkatmenjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010,alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnyakemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerahotonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal

Page 10: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi padatahun 2010.

Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan padaGrafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur danJawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persenterhadap total penerimaan DAK seluruh daerah.

Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsusdialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasionalselama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu,diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkanantara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, DanaOtsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAUnasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen daripagu DAU nasional.

Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupaDana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterimatahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterimatahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapanformula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dariDAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalamperkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan.

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

mili

ar r

upi

ah

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

GRAFIK. V.5PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*)

TAHUN 2009 - 2010

2009 2010

Sumber : Kementerian Keuangan

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 186.414,10 100 33 192.490,34 100Tertinggi Jatim 20.854,97 11,19 Jatim 21.290,50 11,06Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00Rata-Rata 33 5.648,91 - 33 5.833,04 -

Uraian2009 2010

Page 11: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-11Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentuuntuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hinggatahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan PercepatanPembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untukmeningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi,besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasianggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliunhanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen.

Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu,pendanaan untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliunjuga dialokasikan Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan ProfesiGuru tersebut merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian PendidikanNasional.

Secara umum, Dana Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasianggaran untuk mendanai kebijakan tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakanuntuk mendorong atau menguatkan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunandaerah. Perkembangan nomenklatur Dana Penyesuaian tahun 2005–2010 dapat dilihatpada Tabel V.2.

0

500

1000

1500

2000

2500

DK

I

Kep

ri

Bab

el

Sulb

ar

Kal

tim

Gor

onta

lo

Ria

u

Yog

yaka

rta

Mal

ut

Bal

i

Ban

ten

Ben

gku

lu

Pap

ua

Bar

at

Mal

uku

Kal

ten

g

Jam

bi

Sult

eng

NT

B

Sult

ra

Kal

sel

Sum

sel

Sulu

t

Kal

bar

Lam

pu

ng

NT

T

NA

D

Sum

bar

Suls

el

Sum

ut

Pap

ua

Jab

ar

Jati

m

Jate

ng

mili

ar r

up

iah

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

GRAFIK .V.6PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*)

TAHUN 2009 - 2010

2009 2010

Sumber : Kementerian Keuangan

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %

Total 33 24.707,42 100 33 21.133,38 100Tertinggi Jatim 2.138,18 8,65 Jateng 1.969,34 9,32Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00Rata-Rata 33 748,71 - 33 640,41 -

Uraian2009 2010

Page 12: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Dalam Grafik V.7, dapat dilihatbahwa realisasi Dana Otsus danPenyesuaian dalam periode 2005–2010 mengalami peningkatan yangsignifikan, dari Rp7,2 triliun dalamtahun 2005, menjadi Rp21,3 triliunpada tahun 2009, dan meningkat lagimenjadi Rp30,2 triliun dalam APBN-P 2010. Peningkatan ini tidak terlepasdari kebijakan Pemerintah untuklebih mendorong peran daerah dalamera otonomi daerah yang ditandaidengan makin beragamnya jenisDana Penyesuaian dari tahun ketahun.

5.2.3 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan AsliDaerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatanpenerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturanperundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai denganperkembangan keadaan.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah danretribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah.

0

5

10

15

20

25

30

35

2005LKPP

2006LKPP

2007LKPP

2008LKPP

2009LKPP

2010APBN-P

1,8 3,5 4,0

7,5 9,5 9,1 5,5 0,6

5,3

6,2

11,8 

21,2

trili

un ru

piah

GRAFIK V.7PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN

TAHUN 2005 - 2010

Dana Penyesuaian Dana Otonomi Khusus

Sumber : Kementerian Keuangan

No. Nomenklatur 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Dana Penyesuaian Murni • •2 Dana Penyesuaian DAU •3 Dana Penyeimbang DAU •4 Dana Tunjangan Kependidikan • •5 Dana Tambahan DAU •6 Dana Penyesuaian Ad Hoc • •7 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan •8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana

dan Prasarana (DISP) •

9 Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal &Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF & PPD)

• •

10 Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD) •

11 Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan (DPPIP) •

12 Dana Insentif Daerah •13 Dana Tambahan Penghasilan Guru • •14 Kurang Bayar DAK dan DISP • •

TABEL V.2PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN 2005 - 2010

Sumber: Kementerian Keuangan

Page 13: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-13Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerahdapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerahuntuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerahdan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antaralain adalah:

(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinyapemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantumdalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masihdimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan PeraturanPemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangankepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UUNomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yangbermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkanjenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yangpada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalammemenuhi kewajiban perpajakannya.

(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluasbasis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidakmenyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalulintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkanpertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluasbasis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenispajak baru.

Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambahobjek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasukkendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak barubagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, danPajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajakpusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang BurungWalet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.

Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusidan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluassehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerusuntuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatankerja.

Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapatmenetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRDdimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah

Page 14: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkanpula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerahterutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor.

(3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepadakabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah.Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaanpungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanaikegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaanPajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunandan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.

(4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah darirepresif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakanharus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerahyang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi.

UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadikewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenispajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerahmeliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usahadan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu.

Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebutsecara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakanjenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintahdaerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebutdengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidakmemadai. Jenis pajak daerah dan retribusidaerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun2009 masing-masing dapat dilihat padaTabel V.3 dan Tabel V.4.

Sama halnya dengan pajak daerah,pemerintah daerah juga tidakdiperkenankan untuk memungut jenisretribusi selain yang telah diatur dalamUU Nomor 28 Tahun 2009. Namundemikian, untuk mengantisipasiperkembangan keadaan, makadimungkinkan untuk menambah jenisretribusi sepanjang memenuhi kriteriayang ditetapkan dalam UU dimaksuddengan menerbitkan PeraturanPemerintah.

1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

2. Pajak Restoran

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

3. Pajak Hiburan

4. Pajak Air Permukaan 4. Pajak Reklame5. Pajak Rokok 5. Pajak Penerangan Jalan

6. Pajak Parkir7. Pajak Mineral Bukan Logam dan

Batuan8. Pajak Air Tanah9. Pajak Sarang Burung Walet10. PBB Perdesaan dan Perkotaan

11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

TABEL V.3JENIS PAJAK DAERAH

Provinsi Kabupaten/Kota

Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009

Page 15: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-15Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungutoleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan padaurusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturanperundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yangmenyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerahdiutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayananyang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan.

Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukanpengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yangditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasiraperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukandengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah.

Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentinganumum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapatmelakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan2010, terdapat 13.623 perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranyadirekomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yangditerima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil 352(13 persen) raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi.

1 Retribusi Pelayanan Kesehatan 1 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 1 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan2 Retribusi Kebersihan 2 Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 2 Retribusi Izin Tempat Penjualan

Minuman Beralkohol

3 Retribusi KTP dan Akte Capil 3 Retribusi Tempat Pelelangan 3 Retribusi Izin Gangguan4 Retribusi Pemakaman/ Pengabuan

Mayat4 Retribusi Terminal 4 Retribusi Izin Trayek

5 Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum

5 Retribusi Tempat Khusus Parkir 5 Retribusi Izin Usaha Perikanan

6 Retribusi Pelayanan Dasar 6 Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa

7 Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

7 Retribusi Rumah Potong Hewan

8 Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran

8 Retribusi Pelayanan Kepelabuhan

9 Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta

9 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga

10 Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang

10 Retribusi Penyeberangan di Air

11 Retribusi Penyedotan Kakus 11 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah12 Retribusi Pengolahan Limbah Cair13 Retribusi Pelayanan Pendidikan14 Retribusi Pengendalian Menara

Telekomunikasi

TABEL V.4JENIS RETRIBUSI DAERAH

Jasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu

Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009

Page 16: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerahyang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalanatas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadapketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atauDBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut:

(1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupapenundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAUsebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran;

(2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkanperda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilansebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungutuntuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persendari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periodepenyaluran.

Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalahsebagai berikut:

(1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif padatanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalamAPBN tahun 2011;

(2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerahdilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian,penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBNapabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah;

(3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011;

(4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenisPDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harusdisesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012;

(5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasaranaserta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian,dan penetapan.

5.2.4 Pinjaman dan Hibah Daerah

5.2.4.1 Pinjaman Daerah

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antaraPemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batasmaksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikankeadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatifdimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang

Page 17: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-17Nota Keuangan dan RAPBN 2011

bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkanbatas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah,dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.

Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yangbersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembagakeuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisitAPBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkandengan besarnya defisit padaAPBD. Berdasarkan grafiktersebut, dari tahun 2007 sampaidengan tahun 2010, kontribusipinjaman daerah terhadappembiayaan defisit APBD sangatkecil dan berfluktuasi antara 4persen sampai dengan 7 persen.Defisit APBD pada umumnyaditutup dari Sisa LebihPembiayaan Anggaran (SILPA)tahun sebelumnya masing-masing Pemerintah Daerah.

Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutupdefisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapatmemberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatanAPBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri.Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri(Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnyamerupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasiyang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalahpinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank PembangunanIslam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di sampingitu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkansumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modaldomestik.

5.2.4.2 Hibah Daerah

Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan hubungankeuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistempendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana diamanatkandalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikankewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah.Kebijakan pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut mengatur secara tegas bahwapemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari

0%

1%

2%

3%

4%

5%

6%

7%

2007 2008 2009 2010

GRAFIK. V.8PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH

TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN 2007-2010

Sumber: Kementerian Keuangan

5,32

4,214,63

6,13

Page 18: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeridan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintahdaerah adalah sebagai berikut:

(1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangkahubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah.

(2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

(3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkanpeta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yangmerupakan kewenangan pemerintah daerah.

Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat danpemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya NaskahPerjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKIJakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjamanluar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRTmerupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakartayang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam RencanaPembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan olehPemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakanmulai direalisasikan pada tahun 2010.

Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliaryang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity(L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatanpenerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda(dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalambidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementaraitu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untukpeningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakityang dimiliki oleh pemerintah daerah.

Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesarRp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untukkegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudahdilakukan pada tahun 2009. Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dandirencanakan berakhir pada tahun 2012. Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 jugamengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikanhibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebutditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belummemiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukanuntuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalamkegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunansarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5)

Page 19: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-19Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pelaksanaan hibah kepada daerah, khususnya yang bersumber dari luar negeri, telahmengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun, masih terbuka kemungkinan-kemungkinan upaya optimalisasi dalam kebijakan pemberian hibah kepada daerah sehinggadiharapkan dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah dan mewujudkan pemerataanantardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikanpotensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.

Upaya optimalisasi tersebut salah satunya dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulupermasalahan-permasalahan yang menyangkut hibah kepada daerah yang bersumber daripinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri. Untuk itu, kebijakan yang akan diterapkandalam pelaksanaan hibah ke depan antara lain:

(1) Pelaksanaan hibah ke daerah, baik yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupunhibah luar negeri, harus dituangkan seluruhnya dalam suatu Naskah Perjanjian Hibahantara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(2) Penerusan hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui MenteriKeuangan, sehingga dicatat dalam APBN dan APBD.

(3) Prosedur/aturan yang lebih fleksibel sehingga dapat mengakomodasi prosedur yangmemudahkan bagi negara pemberi hibah.

(4) Pengakuan, pencatatan, dan pelaporan hibah dalam APBD sesuai ketentuan yang berlaku.

(5) Peningkatan koordinasi antarinstansi Pemerintah dalam mengelola hibah yang ditujukankepada pemerintah daerah dengan melaksanakan peraturan perundang-undangansecara tertib.

Hal lainnya adalah terkait dengan pemberian hibah kepada daerah yang bersumber daripenerimaan dalam negeri. Selain penerapan kebijakan-kebijakan di atas, upaya optimalisasidapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas dana APBN yang didesentralisasikan.Perlu adanya konsistensi dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerahagar tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.

1Mass Rapid Transit (MRT)

Pinjaman dari JICA 34,38 1

2Local Basic Education Capacity (L-BEC)

Hibah dari Pemerintah Belanda dan Uni Eropa (dikelola World Bank)

22,5 25 80,08 50

3Support to Community Health Serv ices (SCHS)

Hibah dari Uni Eropa (dikelola World Health Organisation)

9,1 10

4 Hibah Air Minum Hibah dari AusAid 106,15 22

5 Hibah Air Limbah Hibah dari AusAid 10 1

6 WASAP-D Hibah dari World Bank 12,6 6

Sumber : Kementerian Keuangan

TABEL V.5 ALOKASI HIBAH KEPADA DAERAH DALAM APBN, TAHUN 2009-2010

2009 2010

No. Kegiatan Sum ber Ju m la h (m ilia r Rp)

Da er a h Pen er im a

Ju m la h (m ilia r Rp)

Da er a h Pen erim a

Page 20: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

5.2.5 Gambaran Pelaksanaan APBD

Total realisasi pendapatan seluruh provinsi tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar35,1 persen dari tahun 2007, yang kenaikan terbesarnya disumbangkan oleh DanaPerimbangan sebesar 53,3 persen. Sementara itu, Lain-lain Pendapatan Daerah justrumengalami penurunan sebesar 1,7 persen (lihat Tabel V.6).

Berbeda halnya dengan realisasi pendapatanprovinsi, seluruh kelompok pendapatankabupaten dan kota mengalami kenaikan.Kenaikan realisasi pendapatan kabupatendan kota tersebut adalah sebesar 25,2 persenpada tahun 2008 (lihat Tabel V.7).

Peningkatan pendapatan juga diikutidengan pertumbuhan pada sisi belanja.Dalam empat tahun terakhir, belanja APBDprovinsi mengalami pertumbuhan yangcukup tinggi. Setiap jenis belanja tumbuh,tak terkecuali belanja modal yangmengalami pertumbuhan rata-rata sebesar20,13 persen. Pertumbuhan rata-ratatertinggi ada pada belanja barang dan jasadiikuti dengan belanja pegawai. Di lainpihak, pertumbuhan terendah adalah padaBelanja Lainnya. Belanja Lainnyamerupakan gabungan dari belanja bunga,subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuankeuangan, dan belanja tak terduga. (lihatTabel V.8).

Komposisi belanja pemerintah provinsi padadasarnya tidak mengalami banyakperubahan. Berbeda halnya denganpemerintah kabupaten dan kota. Jika padatahun 2007 belanja pegawai mengambilporsi sebesar 40,91 persen dari total belanja,pada tahun 2010 porsi tersebut meningkatmenjadi 50,74 persen. Sebaliknya, belanjamodal dari total belanja turun dari 31,16persen pada tahun 2007 menjadi 21,90persen pada tahun 2010 (lihat Tabel V.9).

Dilihat dari belanja per fungsi, alokasibelanja pada APBD provinsi mengalamiperkembangan yang cukup menarik. Daritahun 2007 ke tahun 2009, belanja untukfungsi pendidikan mengalami pertumbuhantertinggi hampir mendekati 53 persen.

Kelompok Pendapatan 2007 2008

Pendapatan Asli Daerah 35.17 7 ,1 44.515,5 21 ,0

Dana Perimbangan 22.196,6 47 .553,7 53,3

Lain-lain Pendapatan Daerah 4.7 37 ,0 4.658,2 -1 ,7

T otal 64.117 ,7 98.7 35,3 35,1

Sumber : Kementerian Keuangan

Tabel V.6REALISASI PENDAPATAN PROVINSI

TAHUN 2007 dan 2008(miliar rupiah)

Perubahan(%)

Pegawai 14.648,7 29.838,3 24,08 26,37 26,76

Barang dan Jasa 11.596,7 26.871,6 19,07 23,75 32,33

Modal 15.174,8 26.307,2 24,95 23,25 20,13

Lainnya 19.406,7 30.166,2 31,90 26,62 15,8

Total 60.827,0 113.113,3 100,00 100,00 22,98

Sumber : Kementerian Keuangan

(miliar rupiah)TAHUN 2007 DAN 2010

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER JENISTABEL V.8

Jenis Belanja 2007 2010PertumbuhanRata-rata (%)2007

Rasio (%)

2010

Kelompok Pendapatan 2007 2008Perubahan

(%)

Pendapatan Asli Daerah 16.727,3 20.230,4 20,9

Dana Perimbangan 196.284,3 246.688,4 25,7

Lain-lain Pendapatan Daerah 10.439,0 12.788,1 22,5

Total 223.450,6 279.706,9 25,2Sumber : Kementerian Keuangan

Tabel V.7REALISASI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA

TAHUN 2007 dan 2008(miliar rupiah)

Pegawai 103.238,77 160.646,77 40,91 50,74 15,88

Barang dan Jasa 42.984,31 53.213,50 17,03 16,81 7,38

Modal 78.645,63 69.314,08 31,16 21,9 (4,12)

Lainnya 27.502,20 33.406,31 10,90 10,55 6,7

Total 252.370,90 316.580,67 100,00 100,00 7,85

Sumber : Kementerian Keuangan

2010

TABEL V.9TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS

TAHUN 2007 DAN 2010(miliar rupiah)

Jenis Belanja 2007 2010Rasio (%)

PertumbuhanRata-rata (%)2007

Page 21: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-21Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Urutan berikutnya ditempatimasing-masing oleh fungsi kesehatandan pelayanan umum. Urutanterakhir adalah fungsi lainnya yangmerupakan gabungan dari fungsiekonomi, lingkungan hidup,ketentraman dan ketertiban,perumahan dan fasilitas umum,pariwisata dan budaya, sertaperlindungan sosial. Pertumbuhantotal belanja APBD provinsi per fungsidapat dilihat pada Tabel V.10.

Belanja per fungsi pada total APBDkabupaten dan kota juga mengalamiperkembangan serupa. Pertumbuhanrata-rata belanja untuk FungsiPendidikan hampir mendekati 21persen. Porsi belanja untuk totalFungsi Pendidikan pada APBD kabupaten dan kota sudah sesuai dengan Undang-Undangbidang Pendidikan yang pada tahun 2007 sebesar 27,48 persen kemudian meningkat menjadi31,22 persen pada tahun 2009. Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh FungsiLainnya dan Fungsi Pelayanan Umum. Sementara itu, Fungsi Kesehatan mengalamipertumbuhan rata-rata sebesar 9,86 persen. Pertumbuhan total belanja APBD kabupatendan kota per fungsi dapat dilihat pada Tabel V.11.

5.2.6 Implikasi Desentralisasi Fiskal terhadap PerkembanganEkonomi Daerah

Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yangluas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat dan penguatan local taxing power.Desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaranpemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatanpemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya, sehinggapemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Selanjutnya,peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong semakin baiknyaakses layanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian daerah sertameningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator. Salahsatu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktoryang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi, investasi,ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan perdagangandaerah.

Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 6,1 persen. Pada Grafik V.9terlihat bahwa terdapat 14 provinsi yang tingkat pertumbuhan ekonominya di ataspertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, pada tahun 2009, dengan pertumbuhanekonomi nasional sebesar 4,55 persen terdapat 22 provinsi yang berada di atas pertumbuhan

2007 2009

1 Pelay anan Umum 32.251 ,6 51 .088,5 53,0 56,8 25,9

2 Pendidikan 4.524,6 10.551 ,6 7 ,4 11 ,7 52,7

3 Kesehatan 4.055,0 8.099,1 6,7 9,0 41,3

4 Lainny a 19.995,8 20.241 ,9 32,9 22,5 0,6

Sumber: Kementerian Keuangan

TABEL V. 10TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER FUNGSI

TAHUN 2007 dan 2009(miliar rupiah)

No. Fungsi 2007 2009Pertumbuhan Rata-rata (%)

% thd Total Belanja

2007 2009

1 Pelayanan Umum 77.333,67 93.593,84 30,53 28,92 10.01

2 Pendidikan 69.589,85 101.046,70 27,48 31,22 20.50

3 Kesehatan 24.606,03 29.697,56 9,71 9,18 9.86

4 Lainnya 81.754,56 99.292,18 32,28 30,68 10.21

Sumber: Kementerian Keuangan

TABEL V. 11TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER FUNGSI

TAHUN 2007 dan 2009(miliar rupiah)

No. Fungsi 2007 2009

% thd Total Belanja Pertumbuhan

Rata-rata (%)

Page 22: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Page 23: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-23Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi laju inflasi daerah. Hal ini dapat dilihat padatren penurunan pertumbuhan ekonomi secara nasional pada tahun 2009 yang ternyatajuga diikuti dengan penurunan inflasi. Berdasarkan data pantauan inflasi di 66 kota diIndonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 terjadipenurunan laju inflasi daerah yang relatif cukup signifikan, salah satunya diakibatkanpenurunan harga minyak dunia dan penurunan harga BBM di tahun 2009. Laju inflasitertinggi terjadi di Kota Manokwari yang mencapai 7,4 persen, sedangkan yang paling rendahinflasinya adalah Kota Dumai hanya sebesar 0,8 persen. Dalam tahun 2010, laju inflasidiharapkan akan berada pada tingkat yang lebih rendah. Perkembangan laju inflasi selamaperiode 2005–2009 di 66 kota dapat dilihat dalam Tabel V.12.

Salah satu faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Terkait denganinvestasi, pada dasarnya kewenangan daerah sangat besar karena kewenangan penanamanmodal merupakan salah satu kewenangan yang didesentralisasikan sesuai dengan PP Nomor38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, PemerintahDaerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peran besar daerah dalammeningkatkan investasi berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman ModalDalam Negeri (PMDN) saat ini sudah diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun2007 tentang Penanaman Modal. Dukungan Pemerintah Pusat terlihat pada upaya menarikinvestor dari luar negeri yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal(BKPM). Kemudahan dan fasilitas telah disediakan oleh Pemerintah maupun pemerintah

No. Kota 2005 2006 2007 2008 2009 No. Kota 2005 2006 2007 2008 2009

1 Lhokseumawe 17,6 1,9 4,2 15,0 3,9 34 Probolinggo 5,6 3,52 Banda Aceh 41,1 9,5 11,0 12,0 3,5 35 Madiun 6,0 3,4

3 Padang Sidempuan 18,5 10,0 5,9 10,7 1,9 36 Surabaya 14,1 6,7 6,3 10,4 3,34 Sibolga 22,4 5,0 7,1 13,8 1,6 37 Serang/Cilegon 16,1 7,7 6,3 13,7 4,5

5 Pematang Siantar 19,7 6,1 8,4 10,3 2,7 38 Tangerang 6,2 2,56 Medan 22,9 6,0 6,4 9,9 2,7 39 Cilegon 4,6 3,17 Padang 20,1 8,0 6,9 13,1 2,1 40 Denpasar 11,3 4,3 5,9 10,5 4,38 Pekanbaru 17,1 6,3 7,5 10,5 1,9 41 Mataram 17,7 4,2 8,8 12,4 3,19 Dumai 8,0 0,8 42 Bima 8,9 4,0

10 Batam 14,8 4,6 4,8 8,6 1,9 43 Maumere 6,3 5,211 Jambi 16,5 10,7 7,4 11,1 2,5 44 Kupang 15,2 9,7 8,4 10,5 6,3

12 Palembang 19,9 8,4 8,2 13,3 1,8 45 Pontianak 14,4 6,3 8,6 11,6 4,913 Bengkulu 25,2 6,5 5,0 14,5 2,9 46 Singkawang 5,7 1,214 Bandar Lampung 21,2 6,0 6,6 14,4 4,2 47 Sampit 11,9 7,7 7,6 8,3 2,815 Pangkal Pinang 17,4 6,4 2,6 18,4 2,2 48 Palangkaraya 12,1 7,7 8,0 12,2 1,416 Tanjung Pinang 7,0 1,5 49 Banjarmasin 12,9 11,0 7,8 11,0 3,8

17 DKI Jakarta 16,1 6,0 6,0 11,1 2,3 50 Balikpapan 17,3 5,5 7,3 11,1 3,518 Bogor 4,0 2,1 51 Samarinda 16,6 6,5 9,2 12,8 4,0

19 Sukabumi 7,5 3,4 52 Tarakan 8,8 7,020 Tasikmalaya 20,8 8,4 7,7 11,7 4,1 53 Manado 18,7 5,1 10,1 9,0 2,3

21 Bandung 19,6 5,3 5,3 9,9 2,1 54 Palu 16,3 8,7 8,1 10,7 5,622 Cirebon 16,8 6,3 7,9 13,9 4,1 55 Watampone 10,1 6,723 Bekasi 5,1 1,9 56 Makassar 15,2 7,2 5,7 12,2 3,2

24 Depok 6,1 1,3 57 Parepare 7,4 1,425 Purwokerto 14,5 8,4 6,1 12,3 2,8 58 Palopo 7,8 4,1

26 Surakarta 13,9 6,2 3,3 8,3 2,6 59 Kendari 21,5 10,6 7,5 16,0 4,527 Semarang 16,5 6,1 6,7 11,2 3,1 60 Gorontalo 18,6 7,5 7,0 7,9 4,3

28 Tegal 18,4 7,7 8,9 8,6 5,7 61 Mamuju 8,5 1,829 Yogyakarta 15,0 10,4 8,0 10,0 2,9 62 Ambon 16,7 4,8 5,8 10,1 6,430 Jember 16,9 6,8 7,2 10,1 3,7 63 Ternate 19,4 5,1 10,4 12,2 3,8

31 Sumenep 5,5 2,7 64 Manokwari 14,5 7,432 Kediri 16,8 7,8 6,8 10,1 3,5 65 Sorong 11,0 3,333 Malang 15,7 5,9 5,9 11,9 3,3 66 Jayapura 14,1 9,5 10,3 15,5 2,0

Sumber : Badan Pusat Statistik

LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA(dalam persen)

TABEL V.12

Page 24: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

daerah dalam rangka menarik para investor untuk lebih banyak menanamkan modalnyadan hal tersebut juga sudah didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal diDaerah.

Salah satu upaya mempermudah investor adalah ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dimanadaerah berkoordinasi dengan BKPM membentuk unit tersendiri yang tugas utamanyamenyediakan kemudahan perizinan bagi investor. Upaya lain yang dilakukan diantaranyaadalah (1) meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik kualitas maupunkuantitas, (2) adanya kepastian hukum, (3) jaminan keamanan, (4) kondisi persainganusaha yang sehat, dan (5) transparansi kebijakan pemerintah daerah. Belum seluruhpemerintah daerah secara optimal melaksanakan upaya-upaya tersebut, hal ini dikarenakanterjadinya krisis ekonomi dunia yang berpengaruh pada minat investor asing berinvestasi diIndonesia, akan tetapi di lain pihak data pertumbuhan investasi di beberapa daerahmenunjukkan kecenderungan peningkatan investasi khususnya untuk PMDN.

Berdasarkan data BKPM, pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang relatif signifikan padaPMDN, tetapi terjadi penurunan pada PMA. Kegiatan investasi secara umum masihterkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangmemadainya infrastruktur di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Perkembangan realisasiinvestasi di Indonesia tahun 2006–2009 dapat dilihat dalam Tabel V.13.

Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, besarnya peningkatan jumlah investasi yangterealisasi tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 yangturun sebesar 1.46 persen. Hal ini wajar terjadi karena investasi yang ditanamkan padatahun 2009 belum menimbulkan efek pada peningkatan PDRB. Oleh karena itu, perlu dilihatdari indikator lain untuk mengetahui besarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salahsatu indikator yang terkait langsung dengan investasi dan pembangunan ekonomi adalahrendahnya tingkat pengangguran.

Secara nasional, tingkat pengangguran senantiasa menunjukkan penurunan, yaitu turundari 11,2 persen di tahun 2005 dan berturut-turut turun menjadi 10,3 persen di tahun 2006,9,1 persen di tahun 2007, 8,4 persen di tahun 2008, dan turun lagi menjadi 7,87 persen ditahun 2009. Tingkat pengangguran di Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta, Banten, JawaBarat, Kalimantan Timur, Maluku dan Sulawesi Utara relatif lebih tinggi dibandingkankawasan lain, yaitu mencapai lebih dari 10 persen pada tahun 2008 dan 2009. Perkembangantingkat pengangguran per provinsi dari tahun 2008–2009 dapat dilihat dalam Grafik V.11.

2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009

SUMATERA 898,2 1.398,5 1.009,9 776,2 4.504,9 10.754,5 4.840,1 7.819,6

JAWA 4.416,4 8.503,5 13.566,8 9.370,6 13.030,8 18.668,9 12.230,7 25.766,5

BALI DAN NUSA TENGGARA 106,2 56,7 95,5 233,8 104,9 15,7 29,0 50,8

KALIMANTAN 534,8 300,6 115,2 284,4 2.536,1 1.558,0 1.821,4 2.934,4

SULAWESI 15,5 79,6 65,4 141,6 68,6 3.881,6 1.147,5 1.187,4

MALUKU 20,0 - - 5,9 0,2 - - -

PAPUA 0,6 2,5 18,7 2,8 403,5 - 294,7 41,0

JUMLAH 5.991,7 10.341,4 14.871,4 10.815,2 20.649,0 34.878,7 20.363,4 37.799,8

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)

PMA (Juta US$)

TABEL V.13

PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIATAHUN 2006 – 2009

PMDN (Rp. Miliar)Provinsi

Page 25: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-25Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Bergeraknya roda perekonomian dan banyaknya tenaga kerja yang terserap dalam industriyang didanai dari investasi dalam dan luar negeri seharusnya bisa menimbulkan dampakpada indikator tingkat kemiskinan, secara nasional juga terjadi penurunan yang relatifsignifikan. Apabila dibandingkan dengan tahun 2006, maka pada tahun 2009 sebagian besardaerah di Indonesia menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin. Pada tahun2006, persentase penduduk miskin mencapai 17,75 persen dan turun menjadi 14,15 persenpada tahun 2009. Berbeda dengan indikator tingkat pengangguran, untuk indikator tingkatkemiskinan, DKI Jakarta, Banten, dan Jabar justru menunjukkan tingkat kemiskinan yangrendah, bahkan tingkat kemiskinan DKI Jakarta adalah yang terendah. Sebagaimana terlihatpada Grafik V.12, daerah yang tingkat kemiskinannya tertinggi adalah Papua dan PapuaBarat yang mencapai lebih dari 35 persen di tahun 2008 maupun 2009, diikuti denganProvinsi Maluku dan NTT.

Untuk mengetahui keberhasilan pembangunan ekonomi dalam pemerataan pembangunanantardaerah maka dapat digunakan indikator pemerataan, yang salah satunya dapat dilihatmelalui Indeks Williamson. Berdasarkan angka Indeks Williamson tahun 2006–2009 terlihatbahwa tingkat pemerataan aktivitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRBantarprovinsi (tidak termasuk Provinsi DKI Jakarta) masih belum terlalu baik, tetapiperkembangannya menunjukkan ke arahkondisi yang lebih baik. Pada Tabel V.14,dapat dilihat bahwa pada tahun 2006Indeks Williamson untuk aktivitasperekonomian sebesar 0,59, turunmenjadi 0,47 pada tahun 2009.Penurunan Indeks Williamson tersebutmenunjukkan bahwa perkembanganaktivitas perekonomian antarprovinsimenjadi semakin berimbang.

0

2

4

6

8

10

12

14

16B

ALI

NT

T

PA

PUA

SULB

AR

KA

LTE

NG

SULT

RA

BE

NG

KU

LU

JATI

M

SULT

EN

G

KA

LBA

R

JAM

BI

GO

RO

NTA

LO DIY

BA

BE

L

NTB

KA

LSE

L

LAM

PUN

G

MA

LUT

JATE

NG

PAP

UA

BA

RA

T

SUM

SEL

SUM

BA

R

KE

P. R

IAU

SUM

UT

RIA

U

NA

D

SULS

EL

SULU

T

MA

LUK

U

KA

LTIM

JAB

AR

JAK

AR

TA

BA

NTE

N

Tingkat Pengangguran (%)

GRAFIK V.11TINGKAT PENGANGGURAN PER PROVINSI

TAHUN 2008 – 2009

2008 2009

Sumber : Kementerian Keuangan

2006 2007 2008 2009

Indonesia 0,59 0,49 0,48 0,47Sumatera 0,55 0,52 0,52 0,51Jawa 0,17 0,17 0,17 0,17Bali dan Nusa Tenggara 0,41 0,42 0,43 0,43Kalimantan 0,85 0,82 0,82 0,80Sulawesi 0,19 0,20 0,19 0,19Maluku dan Papua 0,57 0,52 0,50 0,53Sumber : Badan Pusat Statistik

TABEL V.14INDEKS WILLIAMSON UNTUK PDRB,

TAHUN 2006 – 2009

Page 26: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Page 27: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-27Nota Keuangan dan RAPBN 2011

yaitu sebesar 2,37 persen dan Nanggroe Aceh Darussalam yang menurun hingga 1,75 persen.Kedua, peningkatan transfer diiringi juga dengan pengurangan tingkat pengangguran,namun tidak semua daerah mengalami penurunan. Terdapat 20 daerah mengalamipenurunan tingkat pengangguran. Penurunan tingkat pengangguran tertinggi terjadi di JawaTimur dan Jawa Barat yang mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,34 persendan 1,12 persen.

Dari Tabel V.15 juga dapat dilihat bahwa pendapatan APBD per kapita yang tinggi terdapatdi daerah Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Timur. Pendapatan APBD per kapita diPapua bahkan mencapai lebih dari 10 kali lipat pendapatan APBD per kapita di Jawa Timur.Tingginya pendapatan APBD per kapita diharapkan dapat mempercepat pembangunan diwilayah tersebut, terutama untuk mendanai investasi awal di bidang infrastruktur.Selanjutnya, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah dan pemerintah daerahadalah upaya untuk menyelaraskan pola alokasi dana ke daerah dengan target pertumbuhanekonomi dan target kesejahteraan masyarakat.

5.3 Kebijakan Anggaran ke Daerah Tahun 2011

5.3.1 Kebijakan Anggaran Transfer ke Daerah

Berdasarkan peraturan perundang-undangan serta mengacu pada hasil pembahasan antaraDPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan APBN tahun2011, kebijakan anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan untuk(1) meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusatdan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance);(2) menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sejalan dengan pembagian urusanpemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; (3) meningkatkan kualitaspelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah;(4) mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakanekonomi makro; (5) meningkatkan daya saing daerah; (6) meningkatkan kemampuandaerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (7) meningkatkan efisiensi pemanfaatansumber daya nasional; dan (8) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunannasional dengan rencana pembangunan daerah.

Sementara itu, sejalan dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalamLaporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2009, terutama yang terkaitdengan Bagian Anggaran Transfer ke Daerah mengenai konsistensi penggunaan akuntransfer, dalam tahun 2011 akan dilakukan beberapa kebijakan, diantaranya yaitu adanyareklasifikasi anggaran sesuai dengan jenis transfer dan tujuan pembentukan akun transfer.Hal ini ditujukan juga untuk menjaga momentum atas penilaian BPK terhadap pelaksanaanAnggaran Transfer ke Daerah Tahun 2009 berupa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)dari tahun sebelumnya dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Kebijakanreklasifikasi anggaran akan dimulai dengan penguatan konsep Dana Penyesuaian, yangmeliputi definisi, tujuan, dan ruang lingkup. Selanjutnya, juga akan dilakukan pengelompokanjenis transfer yang sejenis/serumpun sesuai dengan kejadian saat transaksi, sehinggamemudahkan dalam pencatatan dan pelaporannya.

Page 28: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-28 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Guna mendukung arah kebijakan transfer ke daerah tersebut, dalam RAPBN 2011 alokasianggaran Transfer ke Daerah direncanakan sebesar Rp378,4 triliun, atau 5,4 persen terhadapPDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami kenaikan Rp33,8 triliun, atau 9,8persen dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp344,6triliun. Kenaikan anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN 2011 tersebut selain disebabkanadanya kenaikan Dana Perimbangan, juga disebabkan oleh adanya peningkatan Dana Otsusdan Penyesuaian terutama adanya komponen baru pada pos Dana Penyesuaian, yaitubantuan operasional sekolah (BOS) yang merupakan realokasi dari Belanja PemerintahPusat ke Transfer ke Daerah. Dari jumlah alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN2011 tersebut, sekitar 87,0 persen merupakan alokasi Dana Perimbangan, dan sisanya sekitar13,0 persen merupakan alokasi Dana Otsus dan Penyesuaian.

5.3.1.1 Kebijakan Dana Perimbangan

Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Perimbangan direncanakan sebesar Rp329,1 triliun, atau4,7 persen terhadap PDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami peningkatansebesar Rp14,7 triliun, atau 4,7 persen dari alokasi Dana Perimbangan dalam APBN-P tahun2010 sebesar Rp314,4 triliun. Dari jumlah alokasi Dana Perimbangan tersebut, sebesar 24,9persen merupakan DBH, sebesar 67,4 persen merupakan DAU, dan sebesar 7,7 persenmerupakan DAK.

5.3.1.1.1 Dana Bagi Hasil (DBH)

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada daerahberdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangkapelaksanaan desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2011 mengacu kepadaketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 2006tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khususbagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentangPerubahan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005 tentangDana Perimbangan.

Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara Pemerintahdan daerah dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar bagi daerah penghasil,serta memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah provinsi yang bersangkutan.Berdasarkan jenis penerimaannya, DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber DayaAlam (SDA). Adapun mekanisme penetapan dan penyaluran DBH ke tiap-tiap daerah yangberhak menerima diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam tahun 2011,arah kebijakan DBH diarahkan untuk: (1) lebih meningkatkan akurasi data melalui koordinasidengan institusi pengelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP); (2) menyempurnakanproses penghitungan dan penetapan alokasi DBH secara lebih transparan dan akuntabel;(3) menyempurnakan sistem penyaluran DBH tepat waktu dan tepat jumlah; dan(4) penyelesaian kurang bayar DBH SDA dan DBH Pajak. Dari arah kebijakan tersebut,diharapkan penyelesaian dokumen transfer yang digunakan sebagai dasar pelaksanaanpenyaluran DBH ke daerah dapat dipercepat, sehingga akuntabilitas dan efektifitaspenggunaannya dapat dilaksanakan dengan baik.

Page 29: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-29Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Dalam RAPBN 2011, alokasi DBH direncanakan mencapai Rp82,0 triliun, atau 1,4 persenterhadap PDB. Jumlah tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp7,6 triliun atau 8,5persen dari alokasi DBH dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp89,6 triliun. Penurunan DBHdalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya alokasi DBH Pajak karenaadanya pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, serta lebih rendahnya alokasiDBH SDA terutama karena menurunnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumiyang dibagihasilkan. Alokasi DBH tahun 2011 tersebut terdiri dari alokasi DBH Pajak sebesar49,4 persen dan alokasi DBH SDA sebesar 50,6 persen.

DBH Pajak

DBH Pajak terdiri atas 4 jenis yaitu DBH dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPhPasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi danBangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Cukai HasilTembakau (CHT). Dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah, dalam tahun anggaran 2011, BPHTB tidak lagi termasukdalam DBH, karena jenis pajak ini telah dialihkan menjadi Pajak Daerah. Selain itu, sebagianobjek PBB, yaitu sektor perdesaan dan perkotaan mulai tahun 2014 juga akan dialihkanmenjadi Pajak Daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, serta Pasal 8 PP Nomor 55Tahun 2005, DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, yang merupakan bagiandaerah adalah sebesar 20 persen. DBH dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut, dibagi dengan imbangan sebesar 12persen untuk kabupaten/kota dan 8 persen untuk provinsi. Bagian kabupaten/kota tersebut,dibagi 8,4 persen untuk daerah penghasil dan 3,6 persen dibagi secara merata untuk seluruhkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Daerah penghasil ditentukan berdasarkantempat wajib pajak terdaftar.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 sertaPasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar90 persen dengan rincian 64,8 persen untuk kabupaten/kota, 16,2 persen untuk provinsi,dan 9 persen untuk Biaya Pemungutan (BP), sedangkan sisanya sebesar 10 persen merupakanbagian Pemerintah Pusat. Biaya Pemungutan sebesar 9 persen tersebut dibagi antara pusat,provinsi dan kabupaten/kota dengan persentase yang berbeda-beda untuk setiap sektor PBB.Bagian Pusat sebesar 10 persen tersebut dibagi lagi ke daerah secara merata sebesar 6,5persen dan sebagai insentif sebesar 3,5 persen. Berdasarkan rencana penerimaan PBB yangditetapkan dalam APBN, DBH PBB untuk masing-masing daerah ditetapkan denganPeraturan Menteri Keuangan.

Selanjutnya, Sesuai ketentuan Pasal 66A UU Nomor 39 Tahun 2007 dan KeputusanMahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 54/PUU-VI/2008 tanggal 14 April 2009,DBH CHT dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau dan provinsi penghasiltembakau sebesar 2 persen dari penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. PenerimaanDBH CHT tersebut dibagi kepada Kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut, denganimbangan 30 persen untuk provinsi dan 70 persen untuk kabupaten/kota. Bagian kabupaten/kota, dibagi dengan imbangan 40 persen untuk kabupaten/kota penghasil dan 30 persenuntuk kabupaten/kota lainnya.

Page 30: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-30 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Berbeda dengan DBH Pajak yang bersifat block grant, DBH CHT bersifat specific grant,yang berarti penggunaannya ditetapkan untuk membiayai pengeluaran tertentu. DBH CHTtersebut digunakan untuk mendanai: (1) peningkatan kualitas bahan baku; (2) pembinaanindustri; (3) pembinaan lingkungan sosial; (4) sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/atau (5) pemberantasan barang kena cukai ilegal.

Berdasarkan pada rencana penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan, dan memperhatikanketentuan-ketentuan mengenai DBH Pajak yang berlaku, maka alokasi DBH Pajak dalamRAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp40,5 triliun, atau 0,6 persen terhadap PDB. Jumlahtersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp4,0 triliun, atau 9,0 persen dari DBH Pajakdalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp44,5 triliun. Lebih rendahnya alokasi DBH Pajakdalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh adanya pengalihkan BPHTB menjadi pajakkabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah.

Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut telah memperhitungkan kurang bayar DBHPPh tahun 2009 sebesar Rp2,5 miliar dan kurang bayar DBH PBB tahun 2009 sebesarRp16,5 miliar. Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut, terdiri atas: (i) DBH PPhsebesar Rp13,1 triliun, atau lebih rendah Rp43,7 miliar (0,3 persen) dari DBH PPh dalamAPBN-P tahun 2010 sebesar Rp13,2 triliun; (ii) DBH PBB sebesar Rp26,2 triliun, atau lebihtinggi Rp3,2 triliun (13,7 persen) dari DBH PBB dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp23,1triliun; dan (iii) DBH Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp1,2 triliun, atau lebih tinggi Rp43,8miliar (3,9 persen) dari DBH Cukai Hasil Tembakau dalam APBN-P tahun 2010 sebesarRp1,1 triliun.

DBH Sumber Daya Alam (SDA)

DBH SDA, terdiri dari SDA pertambangan minyak bumi, SDA pertambangan gas bumi,SDA kehutanan, SDA pertambangan umum, SDA perikanan, dan SDA panas bumi. Sesuaidengan ketentuan Pasal 14 huruf e dan huruf f, dan Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun2004, mulai tahun 2009 alokasi untuk daerah dari bagi hasil minyak bumi dan gas bumiditetapkan masing-masing 15,5 persen dan 30,5 persen dari penerimaannya setelah dikurangikomponen pajak dan pungutan lainnya. Porsi sebesar 0,5 persen dari DBH SDA Migas tersebutdiarahkan sebagai tambahan anggaran pendidikan dasar, kecuali bagi daerah provinsi dankabupaten/kota berdasarkan undang-undang otonomi khusus telah diatur tersendiri.

Dalam rangka melaksanakan amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubahdengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 11Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam RAPBN 2011 dialokasikan tambahan DBHSDA Migas untuk Propinsi Papua Barat dan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Adapun rincian tambahan tersebut adalah minyak bumi sebesar 55 persen dan gas bumisebesar 40 persen, sehingga proporsi migas untuk ketiga daerah tersebut masing-masingmenjadi sebesar 70 persen.

UU Nomor 33 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa realisasi penyaluran DBH yang berasaldari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130 persen dari asumsi dasar hargaminyak bumi dan gas bumi yang telah ditetapkan dalam APBN tahun berjalan, yang berlakumulai tahun 2009. Selanjutnya, dalam hal bagi hasil minyak dan gas bumi melebihi 130persen dari asumsi APBN, maka selisih kelebihan dimaksud akan dihitung dengan pendekatankesenjangan fiskal (Fiscal Gap) dalam formula DAU dan disalurkan melalui mekanismeAPBN Perubahan.

Page 31: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-31Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Memenuhi amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, bagiandaerah dari SDA Pertambangan Umum, Kehutanan, Panas Bumi, serta Perikanan ditetapkansebesar 80 persen dari penerimaannya. DBH SDA Pertambangan Umum berupa royalti danlandrent, bersumber dari kegiatan: (1) Kontrak Karya (KK); (2) Perjanjian KaryaPengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); dan (3) Kuasa Pertambangan (KP).Penetapan alokasi DBH SDA dimulai dengan perkiraan alokasi yang dihitung berdasarkanrencana penerimaan yang dimuat dalam UU APBN. Dalam rangka pelaksanaan penyaluranke daerah, perhitungannya dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaranberjalan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antarinstansi pusat terkaitdan antara pusat dengan daerah penghasil.

Sejalan dengan penerimaan yang berasal dari SDA minyak bumi dan gas bumi, SDApertambangan umum, SDA kehutanan, SDA Panas Bumi, dan SDA perikanan, serta denganmemperhatikan ketentuan pembagian DBH SDA tersebut, maka dalam RAPBN 2011, alokasiDBH SDA direncanakan sebesar Rp41,5 triliun, atau lebih rendah Rp3,6 triliun atau 8,0persen dari realisasi DBH SDA dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp45,1 triliun. Lebihrendahnya alokasi DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnyatarget penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Secara rinci, alokasiDBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut terdiri atas DBH SDA minyak bumi sebesar Rp16,7triliun, DBH SDA gas bumi sebesar Rp12,7 triliun, DBH SDA pertambangan umum sebesarRp8,3 triliun, DBH SDA kehutanan sebesar Rp1,4 triliun, DBH SDA perikanan sebesar Rp83,7miliar, DBH SDA panas bumi sebesar Rp351,0 miliar, serta kurang bayar DBH SDA sebesarRp2,5 triliun, dengan rincian kurang bayar DBH SDA migas tahun 2008 sebesar Rp2,0triliun, kurang bayar DBH SDA pertambangan umum tahun 2007–2009 sebesar Rp0,4triliun, kurang bayar DBH SDA perikanan tahun 2009 sebesar Rp3,7 miliar, dan DBH SDApertambangan panas bumi tahun 2006–2008 sebesar Rp66,1 miliar.

5.3.1.1.2 Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuanpemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalamrangka pelaksanaan desentralisasi. Besaran DAU Nasional sangat tergantung dari besaranPendapatan Dalam Negeri (PDN) neto dalam APBN.

Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, PDN neto adalah penerimaan negara yang berasal daripajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkankepada daerah. Selanjutnya jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang kurangnya 26persen dari PDN neto yang ditetapkan dalam APBN.

Pada APBN tahun 2007 dan 2008, PDN neto merupakan hasil pengurangan antarapendapatan dalam negeri yang merupakan hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakandan penerimaan negara bukan pajak, dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepadadaerah yaitu DBH, serta belanja yang sifatnya earmarked (penggunaannya diarahkan) dananggaran yang sifatnya in-out (pencatatan anggaran dengan jumlah yang sama padapenerimaan dan belanja). Pada tahun 2009, dalam rangka sharing the pain beban APBNdan dengan mempertimbangkan bahwa sebagian subsidi juga diperuntukkan bagi daerah,PDN neto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM, subsidi listrik, subsidipupuk, dan subsidi pangan sebagai faktor pengurang. Untuk 2010, kebijakan PDN Netomasih dipertimbangkan dengan tetap menjaga peningkatan secara riil alokasi DAU setiaptahun. Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun 2008 terdapat

Page 32: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-32 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu perhitungan alokasiDAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan tersebut belum dapatdilaksanakan secara murni, tetapi mulai APBN 2009, kebijakan tersebut telah dilaksanakan,dan tetap dilanjutkan pada APBN 2010. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, makadalam tahun 2011 akan dihasilkan alternatif alokasi DAU kepada daerah sebesar nol (tidakmendapatkan DAU), lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari DAU tahun 2010.Selanjutnya, besaran DAU yang didistribusikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dalamRAPBN 2011, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsidan kabupaten/kota dengan mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UUNomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005. DAU yang akan didistribusikanuntuk setiap provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan pada: (1) alokasi dasar,yang dihitung atas dasar jumlah gaji PNSD, antara lain meliputi gaji pokok ditambah dengantunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawainegeri sipil; dan (2) celah fiskal, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.Kebutuhan fiskal tercermin dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalankonstruksi, indeks pembangunan manusia, dan PDRB per kapita, sedangkan kapasitas fiskaldiwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan DBH SDA tidak termasuk DBH SDA DanaReboisasi.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan pemerataan alokasi dana antardaerah, danmengatasi kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah, maka akan terus dilakukanlangkah-langkah untuk meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU, yang meliputivariabel kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukurtingkat ekualisasi terbaik antardaerah, digunakan indikator Williamson Index (WI) danCoefficient of Variation (CV) yang merupakan parameter standar pengukuran tingkatpemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Hal ini berarti bahwa semakin kecil angkaindikator CV dan WI, maka tingkat variasi atau kesenjangan fiskal antardaerah semakinkecil dan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah akan semakin baik.

Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat untuk meminimalkankesenjangan fiskal antardaerah, diformulasikan analisis terhadap tingkat kesenjangan fiskalantardaerah melalui penentuan proporsi komponen DAU, yang salah satunya, dapatditempuh dengan mengurangi proporsi AD dibandingkan dengan CF. Semakin kecil peranAD dalam formula DAU, maka semakin besar peran formula berdasarkan CF yang memilikifleksibilitas dalam mengoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peranCF dalam formula DAU dengan membatasi AD, dapat menghasilkan tingkat pemerataanyang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melalui indikator ekualisasi.

Untuk menyempurnakan tingkat ekualisasi antardaerah, penerapan formula DAUmemungkinkan daerah memperoleh DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya padatahun sebelumnya, karena daerah tersebut mengalami peningkatan kapasitas fiskal secarasignifikan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar DAU sebagai equalizing grant, agarpenerimaan DAU secara proporsional dapat seimbang dengan penerimaan DBH dan PADyang merupakan tolok ukur kemampuan keuangan suatu daerah. Konsekuensi penerapanformula DAU bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif tinggiadalah kemungkinan penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi DAUdari segi pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat bagi daerah marjinal/miskinlainnya (pro-poor). Kebijakan non-hold harmless tersebut sejalan dengan tujuan untukmemperkecil ketimpangan fiskal antardaerah.

Page 33: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-33Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Untuk mendukung pelaksanaan atas formula DAU tersebut dalam RAPBN 2011, DAU akantetap diarahkan untuk: (1) mendukung fungsi DAU sebagai alat pemerataan kemampuankeuangan antardaerah; (2) meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU yangbersumber dari lembaga/instansi yang berwenang; (3) Alokasi Dasar memperhitungkankebijakan-kebijakan yang terkait dengan kenaikan gaji pokok, formasi CPNSD, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang terkait dengan penggajian; (4) proporsi DAU sebesar 10 persen untuksemua provinsi dan 90 persen untuk semua kabupaten/kota dari besaran DAU nasional;(5) tetap melanjutkan penerapan kebijakan non-hold harmless; (6) DAU untuk daerahotonom baru hasil pemekaran tahun 2008, penghitungannya dilakukan secara proporsionalantara daerah induk dan daerah anak berdasarkan data luas wilayah, jumlah penduduk,dan jumlah PNSD; dan (7) DAU untuk 14 daerah pemekaran baru yang pada tahun 2010dihitung secara proporsional, dalam RAPBN 2011 akan dihitung secara mandiri.

Berdasarkan arah kebijakan tersebut, serta target pendapatan dalam negeri dalam RAPBN2011 sebesar Rp1.082,6 triliun, dikurangi dengan rencana penerimaan negara yangdibagihasilkan kepada daerah berupa DBH sebesar Rp79,5 triliun (tidak termasuk kurangbayar DBH sebesar Rp2,5 triliun), rencana PNBP yang akan digunakan kembali olehkementerian/lembaga penghasil PNBP sebesar Rp27,4 triliun, subsidi pajak sebesar Rp14,8triliun, dan bagian 65 persen dari beberapa subsidi lainnya, yaitu subsidi listrik sebesar Rp41,0triliun, subsidi BBM sebesar Rp92,8 triliun, subsidi pupuk sebesar Rp16,4 triliun, subsidipangan sebesar Rp15,3 triliun, dan subsidi benih sebesar Rp120,3 miliar, sehingga beberapasubsidi lainnya tersebut yang diperhitungkan dalam penetapan PDN neto adalah sebesarRp107,6 triliun, maka besaran PDN neto dalam RAPBN 2011 adalah sebesar Rp853,4 triliun.Selanjutnya, dengan memperhatikan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan mengacupada hasil pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan TingkatI/Pembahasan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2011, maka besaran alokasi DAU dalamRAPBN 2011 direncanakan sebesar 26 persen dari PDN neto, atau mencapai Rp221,9 triliun(3,2 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp29,4 triliun jikadibandingkan dengan alokasi DAU murni dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp192,5 triliun.Alokasi DAU dalam RAPBN 2011 tersebut, sebesar Rp22,2 triliun (10 persen dari total DAUnasional) akan didistribusikan untuk provinsi dan sebesar Rp199,7 triliun (90 persen daritotal DAU nasional) akan didistribusikan kepada kabupaten/kota. Alokasi DAU tahun 2011akan ditransfer ke kas daerah setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi.

Alokasi DAU yang didistribusikankepada kabupaten/kota tersebut,telah memperhitungkan alokasi DAUdaerah pemekaran. Pada tahun 2010telah dialokasikan DAU untuk 14daerah pemekaran yangpembentukannya telah ditetapkandengan undang-undang dalamrentang waktu bulan September2008 sampai dengan bulan februari2009 (Tabel V.16). PerhitunganDAU ke-14 daerah pemekarantersebut pada APBN 2010 belumberdasarkan basis data yang

No Daerah Pemekaran Daerah Induk Provinsi

1 Kota Tangerang Selatan Kab. Tangerang Banten

2 Kab Tambrauw Kab. Sorong Papua Barat

3 Kab Maybrat Kab. Sorong Papua Barat

4 Kab Pulau Morotai Kab.Halmahera Utara Maluku Utara

5 Kab Intan Jaya Kab. Paniai Papua

6 Kab Deiyai Kab. Paniai Papua

7 Kab Sabu Raijua Kab. Kupang NTT

8 Kab Pringsewu Kab. Tanggamus Lampung

9 Kota Gunung Sitoli Kab. Nias Sumut

10 Kab Nias Utara Kab. Nias Sumut

11 Kab Nias Barat Kab. Nias Sumut

12 Kab Tulang Bawang Barat Kab. Tulang Bawang Lampung

13 Kab Mesuji Kab. Tulang Bawang Lampung

14 Kab Meranti Kab. Bengkalis Riau

Sumber : Kementerian Keuangan

TABEL V.16DAERAH PEMEKARAN YANG AKAN MENDAPAT DAU 2011

DENGAN PERHITUNGAN BERDASARKAN BASIS DATA SECARA MANDIRI

Page 34: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

mandiri, melainkan masih menggunakan data sebelum pemekaran, yang kemudiandiperhitungkan secara proporsional berdasarkan data penduduk, data luas wilayah, danjumlah PNSD dari daerah induk dan daerah pemekaran. Pada tahun 2011, daerah pemekarantersebut akan mendapatkan DAU dengan perhitungan sesuai dengan basis data perhitungansecara mandiri.

5.3.1.1.3 Dana Alokasi Khusus (DAK)

DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentuuntuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuaidengan prioritas nasional. Sementara itu, DAK dimaksudkan untuk membantu daerahtertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakatdalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaranprioritas nasional.

Arah kebijakan umum DAK tahun 2011 ditujukan untuk:

(1) mendukung program yang menjadi prioritas nasional sesuai kerangka pengeluaranjangka menengah (medium term expenditure framework) dan penganggaran berbasiskinerja (performance based budgeting);

(2) membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah dalammembiayai pelayanan publik sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangkapemerataan pelayanan dasar publik; dan

(3) meningkatkan penyediaan data-data teknis, koordinasi pengelolaan DAK secara utuhdan terpadu di pusat dan daerah, sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yangdidanai APBN dan APBD, serta meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaankegiatan DAK di daerah.

Berdasarkan identifikasi kebutuhan DAK untuk mendukung pencapaian prioritas nasional2011, serta dengan memperhatikan kebijakan DAK dalam RPJMN 2010-2014 dan RKP 2011,maka bidang yang direncanakan untuk didanai dari DAK Tahun 2011 adalah sebagai berikut:(1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Keluarga Berencana; (4) Infrastruktur Jalan; (5)Infrastruktur Irigasi; (6) Infrastruktur Air Minum; (7) Infrastruktur Sanitasi; (8) PrasaranaPemerintahan Daerah; (9) Kelautan dan Perikanan; (10) Pertanian; (11) Lingkungan Hidup;(12) Kehutanan; (13) Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal; (14) Sarana Perdagangan;(15) Transportasi Perdesaan; (16) Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan; (17) ListrikPerdesaan; (18) Perumahan dan Permukiman; serta (19) Keselamatan Transportasi Darat.Sejalan dengan arah kebijakan umum DAK, kebijakan dan ruang lingkup kegiatan DAKuntuk masing-masing bidang diarahkan antara lain untuk:

1. Pendidikan, diarahkan untuk meningkatkan pelaksanaan Program Wajib BelajarPendidikan Dasar Sembilan Tahun, untuk memastikan semua anak Indonesia dapatmengikuti pendidikan dasar yang bermutu, dan meningkatkan mutu pendidikan dasarmelalui penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik danlengkap untuk memenuhi SPM, serta secara bertahap memenuhi Standar NasionalPendidikan. Lingkup kegiatannya diprioritaskan untuk rehabilitasi ruang kelas SD/SDLBdan SMP/SMPLB yang rusak sedang dan berat.

2. Kesehatan, diarahkan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatanprimer, sekunder, dan tersier dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu

Page 35: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-35Nota Keuangan dan RAPBN 2011

dan anak, perbaikan status gizi masyarakat, pengendalian penyakit, penyehatanlingkungan, melalui peningkatan sarana dan prasarana di Puskesmas dan jaringannyatermasuk Poskesdes, rumah sakit dan laboratorium kesehatan provinsi/kabupaten/kota,serta penyediaan dan pengelolaan obat generik dan perbekalan kesehatan, terutamauntuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal,terpencil, perbatasan dan kepulauan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) PelayananKesehatan Dasar, yang meliputi: (i) pembangunan, peningkatan, dan perbaikanPuskesmas dan jaringannya; (ii) pembangunan pos kesehatan desa; (iii) pengadaanperalatan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya;(iv) pengadaan peralatan promosi kesehatan; (b) Pelayanan Kesehatan Rujukan,meliputi: (i) peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III rumah sakit; (ii) pembangunan,perbaikan Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) dan peralatan Unit Transfusi Darah (UTD);(iii) pembangunan dan pengadaan peralatan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit(IGDRS); (iv) pembangunan dan pengadaan peralatan Pelayanan Obstetri dan NeonatalEmergensi Komprehensif Rumah Sakit (PONEK RS); (v) pemenuhan peralatan dilaboratorium kesehatan daerah dan rumah sakit provinsi/kabupaten/kota; (vi) InstalasiPengolahan Air Limbah (IPAL); dan (c) Pelayanan Kefarmasian, meliputi: (i)penyediaan obat generik dan perbekalan kesehatan; (ii) pembangunan dan perbaikaninstalasi farmasi di provinsi/kabupaten/kota; dan (iii) pengadaan sarana pendukunginstalasi farmasi di provinsi/kabupaten/kota.

3. Keluarga Berencana, diarahkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang merupakanbagian dari program prioritas nasional yang telah menjadi urusan daerah dan tetapdisesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dalam rangka: (a) meningkatkankomitmen pemerintah daerah tentang pentingnya keluarga berencana; (b) membantupemerintah daerah dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana fisik kepadamasyarakat; (c) meneguhkan kembali pelaksanaan Program KB Nasional beserta saranadan prasarana fisik pendukungnya dalam rangka pengendalian jumlah penduduk danpeningkatan kesejahteraan keluarga; (d) meningkatkan akses dan kualitas informasidan pelayanan kontrasepsi, terutama bagi keluarga prasejahtera (Pra-KS) dan keluargasejahtera I (KS-I); dan (e) menunjang percepatan pencapaian program KB di daerahdengan tingkat fertilitas yang masih tinggi, angka pemakaian kontrasepsi/contraceptiveprevalence rate (CPR) yang masih rendah, serta proporsi keluarga prasejahtera dankeluarga sejahtera I yang masih besar. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaankendaraan bermotor roda dua dan sarana kerja bagi Penyuluh Keluarga Berencana(PKB)/Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB)/Pengawas Petugas LapanganKeluarga Berencana (PPLKB); (b) penyediaan sarana pelayanan KB di klinik KB (statis)berupa Intra Uterine Device (IUD) kit/sterilisator, obgyn bed, dan implant kit; (c)pembangunan/renovasi balai penyuluhan KB kecamatan; (d) pembangunan gudangpenyimpanan alokon di kab/kota; (e) penyediaan Laparascopy; (f) penyediaan BinaKeluarga Balita (BKB) kit; dan (g) penyediaan Mobil Unit Penerangan (MUPEN) KB,pengadaan public address, serta pengadaan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)kit.

4. Infrastruktur Jalan, diarahkan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuanfiskal rendah atau sedang dalam rangka mendanai kegiatan pemeliharaan berkala,peningkatan dan pembangunan jalan provinsi, jalan kabupaten/kota yang telah menjadiurusan daerah, mempertahankan dan meningkatkan tingkat pelayanan prasarana jalan

Page 36: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-36 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

provinsi, kabupaten dan kota dalam rangka memperlancar distribusi penumpang, barangjasa, serta hasil produksi yang diprioritaskan untuk mendukung sektor pertanian,industri, dan pariwisata sehingga dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi regional,dan menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana jalan. Lingkupkegiatannya adalah: pemeliharaan berkala/periodik jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota dan peningkatan prasana jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota.

5. Infrastruktur Irigasi, diarahkan untuk mempertahankan tingkat layanan,mengoptimalkan fungsi, dan membangun prasarana sistem irigasi, termasuk jaringanreklamasi rawa dan jaringan irigasi desa yang menjadi kewenangan kabupaten/kotadan provinsi khususnya daerah lumbung pangan nasional dalam rangka mendukungprogram prioritas pemerintah bidang ketahanan pangan. Lingkup kegiatannya adalah:peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi, sedangkan dana untukOperasional dan Pemeliharaan (OP) jaringan irigasi dialokasikan dari APBD masing-masing pemerintah daerah penerima DAK bidang irigasi.

6. Infrastruktur Air Minum, diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan airminum, meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, dan memenuhi SPM penyediaanair minum. Lingkup kegiatannya adalah pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum(SPAM) baru dan peningkatan SPAM untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

7. Infrastruktur Sanitasi, diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan sanitasi(air limbah, persampahan, dan drainase), serta meningkatkan kualitas kesehatanmasyarakat dan memenuhi SPM penyediaan sanitasi. Lingkup kegiatannya adalah:(a) pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal; (b) pengembanganfasilitas pengurangan sampah dengan pola 3R (reduce, reuse, dan recycle); dan (c)pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri yang berwawasan lingkungan,yang diutamakan bagi pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal. Jikadaerah kabupaten/kota tersebut sudah bebas dari kondisi buang air besar sembarangan(BABS), maka kabupaten/kota dapat menggunakan alokasi DAK untuk membiayaipengembangan fasilitas pengurangan sampah dan pengembangan prasarana dan saranadrainase mandiri.

8. Prasarana Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk meningkatkan kinerjapemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekarandan daerah yang terkena dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009 dan daerahlainnya yang prasarana pemerintahannya sudah tidak layak. Prioritas diberikan kepadadaerah pemekaran tahun 2008 dan 2009. Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan/perluasan/rehabilitasi kantor Gubernur, Bupati dan/atau Walikota, kantor DPRD,gedung kantor SKPD di daerah otonom baru/pemekaran dan yang mengalami dampakpemekaran sampai dengan tahun 2009, serta pada daerah-daerah lainnya yangprasarana pemerintahannya seperti kantor Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD dankantor SKPD-nya sudah tidak layak lagi, khususnya pada daerah-daerah yang belummendapat alokasi DAK Prasarana Pemerintahan pada tahun sebelumnya.

9. Kelautan dan Perikanan, diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasaranaproduksi, pengolahan, peningkatan mutu, pemasaran, pengawasan perikanan, sertapenyediaan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan, terutama pada daerah

Page 37: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-37Nota Keuangan dan RAPBN 2011

yang memiliki potensi dan sudah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan perikanan(minapolitan), yang didukung dengan sarana dan prasarana penyuluhan perikanandan penguatan statistik perikanan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan saranadan rehabilitasi prasarana produksi perikanan tangkap; (b) penyediaan sarana danrehabilitasi prasarana produksi perikanan budidaya; (c) penyediaan dan rehabilitasisarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;(d) penyediaan dan rehabilitasi infrastruktur dasar dan sarana prasarana pemberdayaanmasyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil serta kawasan konservasi perairan, yangterkait dengan wisata bahari dan pengembangan perikanan; (e) penyediaan danrehabilitasi prasarana Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian BahanBakar Nelayan (SPBN); (f) penyediaan sarana dan prasarana pengawasan; (g)penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan (h) penyediaan saranadan prasarana pengembangan statistik perikanan.

10. Pertanian, diarahkan untuk meningkatkan produksi bahan pangan dalam negeri gunamendukung pencapaian prioritas nasional ketahanan pangan melalui perluasan arealpertanian dan penyediaan sarana dan prasarana pertanian di tingkat usaha tani danperdesaan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) perluasan areal pertanian, meliputi:pencetakan sawah, pembukaan lahan kering/perluasan areal untuk tanaman pangan,holtikultura, perkebunan dan peternakan; (b) penyediaan sarana dan prasaranapengelolaan air, antara lain: pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usahatani, jaringan irigasi tersier desa, tata air mikro, irigasi air permukaan, irigasi tanahdangkal, irigasi tanah dalam, pompanisasi, dam, parit, dan embung; (c) pengelolaanlahan melalui pembangunan/rehabilitasi jalan usaha tani dan jalan produksi, optimasilahan, peningkatan kesuburan tanah, konservasi lahan, serta penyediaan UnitPengolahan Pupuk Organik (UPPO); (d) pembangunan/rehabilitasi Balai PenyuluhanKecamatan; (e) penyediaan lumbung/gudang pangan masyarakat/pemerintah; (f)penyediaan sarana dan prasarana Balai Perbenihan/Perbibitan Kabupaten untuktanaman pangan/holtikultura/perkebunan; dan (g) pembangunan/rehabilitasi pusat/pos pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan.

11. Lingkungan Hidup, diarahkan untuk mendukung pencapaian target prioritas nasional,yaitu penurunan beban pencemaran dan penurunan tingkat polusi sebesar 50 persendengan mendukung pelaksanaan pengendalian pencemaran air, udara dan limbah padatdi daerah serta memperkuat pelaksanaan SPM bidang lingkungan hidup daerah. Disamping itu, kegiatan bidang Lingkungan Hidup diarahkan untuk mendukungpenurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Lingkup kegiatannya adalah: (a)pemantauan kualitas air melalui kegiatan: (i) pembangunan gedung laboratorium; (ii)penyediaan sarana prasarana pemantauan kualitas air; dan (iii) pembangunanlaboratorium lingkungan bergerak; (b) pengendalian pencemaran air melalui kegiatan:penerapan teknologi sederhana untuk pengurangan limbah (seperti biogas, 3R, RuangTerbuka Hijau (RTH), Particulate Matter (PM10), taman kahati, Instalasi PengolahanAir Limbah (IPAL) medik dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM); dan c) pengendalianpolusi udara melalui kegiatan: i) pengadaan alat pemantau kualitas udara; ii) penerapanteknologi tepat guna/sederhana untuk mengurangi polusi udara (alat pembuatan asapcair, briket arang, dan lain-lain).

Page 38: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

12. Kehutanan, diarahkan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS), dalamrangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung sumber daya hutan, tanahdan air, serta mendukung mitigasi perubahan iklim. Kebijakan tersebut dicapai denganmencegah kerusakan lebih lanjut terhadap sumber daya hutan, tanah, dan air yangberada dalam DAS dengan melaksanakan rehabilitasi lahan kritis, pengelolaan kawasanhutan yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota/provinsi, termasukpengembangan kebun bibit desa dan konservasi lahan gambut. Lingkup kegiatannyaadalah: (a) kegiatan RHL yang terdiri dari kegiatan vegetatif dan konservasi tanah danair; (b) pengembangan sarana prasarana keamanan hutan; dan (c) pengembangansarana prasarana penyuluhan kehutanan.

13. Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal, diarahkan untuk melakukan percepatanpembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomiandaerah dan kualitas sumberdaya manusia yang didukung oleh kelembagaan danketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar, sehingga daerahtertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejarketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju. Daerahtertinggal yang dimaksud tidak termasuk daerah tertinggal yang memiliki kawasanperbatasan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan moda transportasi perairan/kepulauan; (b) penyediaan moda transportasi darat; (c) pembangunan dan rehabilitasijalan di luar jalan provinsi dan kabupaten/kota; (d) pembangunan dan rehabilitasidermaga kecil atau tambatan perahu, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahudi wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan; dan (e) penyediaan/pembangunan pembangkit energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energimikrohidro dan pikohidro.

14. Sarana Perdagangan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan saranaperdagangan untuk memperlancar arus barang antar wilayah dan meningkatkanketersediaan dan kestabilan harga bahan pokok, meningkatkan tertib ukur dalam upayaperlindungan konsumen di daerah serta memberikan alternatif pembiayaan bagi petanidan UKM melalui Sistem Resi Gudang. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunandan pengembangan pasar tradisional; (b) pembangunan dan peningkatan saranametrologi legal; dan (c) pembangunan gudang komoditas pertanian dalam rangkapenerapan Sistem Resi Gudang.

15. Transportasi Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan dankemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan transportasi, serta pengembangansarana dan prasarana transportasi perdesaan yang diprioritaskan untuk mendukungpusat-pusat pertumbuhan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan jalan porosdesa; dan (b) penyediaan angkutan perdesaan (pemberian bantuan sarana transportasiangkutan barang yang sesuai dengan karakteristik daerah).

16. Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan, diarahkan untuk mengurangiketerisolasian kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara dan pintu gerbangaktivitas ekonomi-perdagangan dengan negara tetangga dalam rangka mewujudkankesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional. Lingkupkegiatannya adalah: (a) pembangunan/rehabilitasi jaringan jalan di luar jalan provinsidan kabupaten/kota; (b) pembangunan/rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahudi kecamatan perbatasan atau kawasan pulau kecil terluar berpenduduk; dan (c) moda

Page 39: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-39Nota Keuangan dan RAPBN 2011

transportasi perairan/kepulauan untuk mendukung mobilisasi angkutan orang danbarang.

17. Listrik Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan denganmemberikan prioritas pada pemanfaatan energi terbarukan setempat untuk memperluasjangkauan pelayanan energi dan ketenagalistrikan sekaligus mengoptimalkanpemanfaatan energi alternatif selain BBM (terutama energi terbarukan) sertapemanfaatan secara optimal tenaga kerja, barang dan jasa produksi dalam negeri untukmemberikan nilai tambah (value added) bagi perekonomian dalam negeri, terutamauntuk mendorong pengembangan industri dan teknologi dalam negeri untuk daerahyang tidak termasuk daerah tertinggal dan kawasan perbatasan. Lingkup kegiatannyaadalah: pembangunan pembangkit energi baru terbarukan untuk penyediaan energilistrik dengan memanfaatkan potensi energi lokal yang berasal dari Energi BaruTerbarukan (EBT), yaitu konstruksi pembangkit skala kecil EBT berbasis surya (solarcell), mikro hidro, atau pembangkit EBT lainnya.

18. Keselamatan Transportasi Darat, diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayananterutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di kabupaten/kota gunamenurunkan tingkat kecelakaan pada lalu lintas angkutan jalan dalam rangkamelaksanakan rencana aksi road map to zero accident. Lingkup kegiatannya adalah:pengadaan dan pemasangan fasilitas dan peralatan keselamatan jalan, antara lain: (a)rambu jalan; (b) marka jalan; dan (c) pagar pengaman jalan.

19. Perumahan dan Permukiman, diarahkan untuk meningkatkan penyediaanPrasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) kawasan perumahan dan permukiman sebagaistimulan untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MasyarakatBerpenghasilan Menengah dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di daerah.Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU)kawasan perumahan dan permukiman yaitu: (a) penyediaan jaringan pipa air minum;(b) septik tank komunal; (c) jaringan distribusi listrik; dan (d) penerangan jalan umum.

Untuk mendukung pencapaian arah kebijakan umum dan arah kebijakan masing-masingbidang tersebut, alokasi DAK dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp25,2 triliun atau0,4 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan sebesar Rp4,1triliun atau 19,4 persen dari alokasi DAK yang direncanakan dalam APBN-P 2010 sebesarRp21,1 triliun.

Selanjutnya, perhitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu :

(1) Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK, dengan memperhatikan kriteria umum,kriteria khusus, dan kriteria teknis.

(2) Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah, yang dilakukan denganperhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

Penjelasan atas penggunaan kriteria pengalokasian DAK tahun 2011 tersebut adalah sebagaiberikut :

(1) Kriteria Umum, yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangandaerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanjapegawai negeri sipil daerah.

Page 40: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab V

V-40 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

(2) Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yangmengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah, yaitu :

a. Peraturan Perundangan, dimana daerah-daerah yang menurut ketentuanperaturan perundangan diprioritaskan mendapat alokasi DAK, serta seluruhdaerah tertinggal diberikan kebijakan untuk mendapatkan alokasi DAK.

b. Karakteristik daerah, yang meliputi daerah pesisir dan kepulauan, daerahperbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yangtermasuk dalam kategori daerah ketahanan pangan, daerah rawan bencana, dandaerah pariwisata.

(3)Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapatmenggambarkan kondisi sarana dan prasarana yang akan didanai dari DAK.

5.3.1.2 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian merupakan amanat dari UU Nomor 35 Tahun2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang danUU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam APBN 2011 dialokasikanDana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional untuk Provinsi Papua dan PapuaBarat, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan.Kebijakan pemberian Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional tersebutjuga berlaku untuk Provinsi NAD, yang penggunaannya diarahkan untuk mendanaipembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,pengentaskan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Di sampingitu, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi PapuaBarat juga dialokasikan dana tambahan untuk infrastruktur, yang besarannya disepakatiantara Pemerintah dengan DPR, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaanpembangunan infrastruktur.

Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Otonomi Khusus direncanakan sebesar Rp10,3 triliun,dengan rincian sebagai berikut:

(1) Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp4,4 triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus untuk Papua tersebut dibagikan kepada ProvinsiPapua dan Provinsi Papua Barat.

(2) Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD sebesar Rp4,4 triliun.

(3) Dana Tambahan Otsus Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp1,4triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2008, Dana Tambahan Infrastruktur Papuadan Papua Barat tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Selanjutnya, dalam RAPBN 2011, dialokasikan dana penyesuaian berupa dana tambahanpenghasilan guru PNSD sebesar Rp3,7 triliun, Dana Insentif Daerah sebesar Rp1,4 triliun,dana tambahan untuk tunjangan profesi guru (TPG) sebesar Rp17,1 triliun, dan bantuanoperasional sekolah (BOS) sebesar Rp16,8 triliun. Dana Insentif Daerah terutama ditujukankepada daerah berprestasi yang memiliki kriteria keuangan dan kriteria kinerja ekonomidan kesejahteraan yang baik, serta tetap mengupayakan terwujudnya tata kelolapemerintahan yang baik.

Page 41: Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal

V-41Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Sementara itu, dana tambahan untuk TPG sejalan dengan telah ditetapkan PP Nomor 41tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, yang dialokasikan mulai tahun 2010.Dana tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagaipenghargaan atas profesionalitasnya, sesuai dengan kewenangannya.

APBN-P % thd PDB

RAPBN % thd PDB

I. DANA PERIMBANGAN 314.363,3 5,0 329.099,3 4,7

A. DANA BAGI HASIL 89.618,4 1,5 81.994,3 1,4

1. Pajak 44.513,5 0,7 40.514,0 0,6 a. Pajak Penghasilan 13.177,3 0,2 13.133,5 0,2

i. Pasal 21 12.314,7 0,2 12.415,9 0,2 ii. Pasal 25/29 orang pribadi 859,2 0,0 715,1 0,0 iii. Kurang bayar PPh TA 2009 3,4 0,0 2,5 0,0

b. PBB 23.063,4 0,4 26.219,3 0,4 i DBH PBB 23.061,0 0,4 26.202,8 0,4 ii. Kurang bayar DBH PBB TA 2009 2,3 0,0 16,5 0,0

c. BPHTB 7.155,5 0,1 - - d. Cukai 1.117,3 0,0 1.161,1 0,0

2. Sumber Daya Alam 45.104,9 0,7 41.480,3 0,6 a. Migas 35.196,4 0,6 31.339,3 0,4

i. Minyak Bumi 17.143,1 0,3 16.650,6 0,2 ii. Gas Bumi 11.925,2 0,2 12.688,8 0,2 iii. kurang bayar migas tahun 2008 6.128,1 0,1 2.000,0 0,0

b. Pertambangan Umum 7.790,4 0,1 8.334,7 0,1 i. Iuran Tetap 124,4 0,0 130,9 0,0 ii. Royalti 7.666,0 0,1 7.796,4 0,1 iii. Kurang bayar DBH pertambangan umum TA 2007-2009 - - 407,4 0,0

c. Kehutanan 1.802,6 0,0 1.371,6 0,0 i. Provisi Sumber Daya Hutan 898,4 0,0 773,0 0,0 ii. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan 15,8 0,0 72,3 0,0 iii. Dana Reboisasi 652,7 0,0 526,2 0,0 iv. Kurang bayar SDA kehutanan 235,8 0,0 - -

d. Perikanan 120,0 0,0 83,7 0,0 i DBH Perikanan - - 80,0 - ii Kurang bayar perikanan TA 2009 - - 3,7 -

e. Pertambangan Panas Bumi (PPB) 195,5 0,0 351,0 0,0 i. DBH PPB 195,5 0,0 284,9 0,0 ii. - - 66,1 0,0

B. DANA ALOKASI UMUM 203.606,5 3,3 221.872,2 3,2 1. DAU Murni 192.490,3 3,1 221.872,2 3,2 2. Tambahan untuk tunjangan profesi guru 10.994,9 0,2 - - 3. Koreksi alokasi DAU Kab. Indramayu 121,3 0,0 - -

C. DANA ALOKASI KHUSUS 21.138,4 0,3 25.232,8 0,4

II. DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN 30.249,6 0,5 49.319,9 0,7

A. DANA OTONOMI KHUSUS 9.099,6 0,1 10.274,9 0,1 1. Dana Otsus 7.699,6 0,1 8.874,9 0,1

a. Dana Otsus Prov. Papua dan Papua Barat 3.849,8 0,1 4.437,4 0,1 - Provinsi Papua 2.694,9 0,0 3.106,2 0,0 - Provinsi Papua Barat 1.154,9 0,0 1.331,2 0,0

b. Dana Otsus Aceh 3.849,8 0,1 4.437,4 0,1

2. Dana tambahan Otsus Infrastruktur Prov Papua 1.400,0 0,0 1.400,0 0,0

a. Papua 800,0 0,0 800,0 0,0

b. Papua Barat 600,0 0,0 600,0 0,0

B. DANA PENYESUAIAN 21.150,0 0,3 39.045,0 0,6 1. Dana Tambahan Tunjangan Profesi Guru - - 17.149,0 0,2 2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) - - 16.812,0 0,2 3. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD 5.800,0 0,1 3.696,2 0,1 4. Dana insentif daerah 1.387,8 0,0 1.387,8 0,0 5. Kurang bayar DAK Tahun 2008 80,2 0,0 - - 6. Kurang bayar DISP Tahun 2008 32,0 0,0 - - 7. 7.100,0 0,1 - - 8. Dana penguatan infrastruktur dan prasarana daerah (DPIPD) 5.500,0 0,1 - -

9. Dana percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan (DPPIP) 1.250,0 0,0 - -

J U M L A H 344.612,9 5,5 378.419,2 5,4

Sumber : Kementerian Keuangan

TABEL V.17TRANSFER KE DAERAH, 2010 - 2011

(miliar rupiah)

2010 2011

Kurang bayar DBH PPB TA 2006-2008

Dana penguatan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah