NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT...
Transcript of NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT...
i
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
MENURUT NURCHOLISH MADJID
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
RENI SEKAR OKTAVIANA
NIM: 111-13-257
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Anak memiliki kecenderungan untuk meniru (al-iqtida’); orang tualah yang
menjadi teladan pertama dalam hidupnya.”
-Imam Al-Ghazali-
“Memang susah menjadi orang baik, tapi ini bukan bicara soal BISA atau TIDAK
BISA. Karena Allah memberikan potensi, ini bicara mengenai MAU atau TIDAK
MAU” (Penulis)
PERSEMBAHAN
Untuk Kedua Orang Tuaku (Ibu Sunti Rinjani dan Bapak Sarijo)
Adikku dan Tante (Doni Kusuma Putra dan Sutrisni)
Orang yang setia menungguku (Nur Saefudin)
Keluarga Keduaku (Sian’s Hostel): Kunni, Heni, Hani, Mela, Rumi, Mba Datul,
Rani, Tesa, Anggun, Helmi, Momo, Desy
Keluarga Besar SD Muhammadiyah (Plus) Kota Salatiga
Keluarga besar PPL MA Al-Manar, Bener, Tengaran
Keluarga besar KKN Kaliwungu Posko 73-75
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya
Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi
Agung Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan
hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafa’atnya di
hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA
DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID”.
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari
bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
4. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si, selaku pembimbing yang telah mengarahkan
dalam penulisan skripsi ini.
viii
ABSTRAK
Oktaviana, Reni Sekar. 2017 “Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga
Menurut Nurcholish Madjid” Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri
Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Asdiqoh, M.Si.
Kata Kunci: Nilai-nilai, Pendidikan Agama, Keluarga
Penanaman nilai-nilai pendidikan agama dalam keluaga tidak cukup hanya
berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama.
Pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh guru
ngaji atau guru agama di sekolah. Pendidikan tersebut melibatkan peran orang tua
dan seluruh anggota keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang
baik dan benar dalam keluarga, pengertian itu perlu disempurnakan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut
Nurcholish Madjid. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini
adalah: (1) Bagaimana nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut
Nurcholsih Madjid. (2) Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan agama
dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), sedangkan
metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis (descriptive of analyze
research). Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode studi
dokumentasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
isi (content analysis).
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan
agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid dikelompokkan menjadi tiga
aspek, yaitu nilai pendidikan akhlak, ibadah, dan aqidah untuk pertumbuhan total
anak. Orang tua mempunyai hak, yaitu mendapat perlakuan baik dari anak
(melayani orang tuanya dengan baik, lemah lembut menyayanginya, selalu
menghormati dan menunjukkan sikap sopan santun walau mereka kafir,
berterimakasih atas jasa-jasa mereka, taat mematuhi perintah orang tua yang
berhubungan dengan kebenaran dan kebaikan, tidak pada perkara yang bathil atau
munkar). Orang tua berperan sebagai pendidik dalam kelurga (membentuk dan
membina kepribadian anak yang utama sesuai petunjuk agama, menuntun,
membimbing, dan menumbuhkembangkan anaknya menjadi orang shalih yang
bermanfaat bagi sesamanya dan dirinya). (2) Implementasi nilai-nilai pendidikan
agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid adalah sebagai berikut:
mendidik dengan keteladanan, membiasakan sholat berjamaah, menanamkan nilai
dimensi hidup ketuhanan (taqwa, iman, islam, ikhlas, tawakal, syukur, sabar) dan
nilai dimensi kemanusiaan (silaturahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik
sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat dan
dermawan) dalam diri anak, dan menerapkan pola asuh anak yang benar.
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................i
LEMBAR BERLOGO ....................................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................iii
PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................vii
ABSTRAK .......................................................................................................viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................6
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................6
D. Kegunaan Penelitian .........................................................................7
E. Metode Penelitian .............................................................................8
F. Penegasan Istilah ................................................................................11
G. Sistematika Penulisan ........................................................................12
BAB II BIOGRAFI
A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid ....................................................14
B. Pendidikan Nurcholish Madjid ..........................................................16
x
C. Aktivitas Intelektual Nurcholish Madjid ............................................22
D. Karya-karya Nurcholish Madjid ........................................................27
E. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Bidang Pendidikan
Agama ..............................................................................................32
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish
Madjid ..............................................................................................34
1. Aspek-Aspek Nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga ................34
2. Hak Orang Tua dari Anak .............................................................42
3. Orang Tua sebagai Pendidik Bukan Pengajar bagi Anak ................46
B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga
Menurut Nurcholish Madjid ..............................................................49
1. Mendidik dengan Keteladanan ......................................................49
2. Membiasakan Shalat Berjamaah ....................................................51
3. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Ketuhanan dalam Diri Anak ...52
4. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Kemanusiaan dalam Diri Anak 62
5. Menerapkan Pola Asuh Anak yang Benar ......................................68
BAB IV PEMBAHASAN
A. Signifikansi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga ..............70
B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut
Nurcholish Madjid dengan Ayat Al-Qur’an .......................................74
C. Implikasi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Terhadap
Perkembangan Agama Anak .............................................................86
xi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................90
B. Saran ................................................................................................92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Gambar Nurcholish Madjid ............................................................................ 96
2. Daftar Riwayat Hidup .................................................................................... 97
3. Daftar SKK .................................................................................................... 98
4. Nota Pembimbing Skripsi ............................................................................ 101
5. Lembar Konsultasi ....................................................................................... 102
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan secara prinsip berlangsung dalam lingkungan keluarga.
Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang
merupakan figur sentral dalam pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia karena
pada hakikatnya manusia lahir dalam keadaan tak berdaya, dan tidak
langsung dapat berdiri sendiri serta memelihara dirinya sendiri.
Manusia pada saat lahir memerlukan bantuan orang tuanya. Akhirnya
pada hakikatnya anak merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang tuanya untuk mendidiknya menjadi manusia dewasa
yang penuh tanggung jawab, terutama tanggung jawab moral, salah
satunya dengan menanamkan pendidikan agama dalam keluarga
(Sadulloh, 2014: 10).
Kegiatan pendidikan dapat berlangsung di dalam tiga lembaga, yaitu
keluarga, sekolah dan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut yang
bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik atau seseorang
dalam perkembangan rohani dan jasmaninya, agar mencapai tingkat
kedewasan dan mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk
Allah, makhluk dan sebagai individu (Djumransah, dkk., 2007: 83).
Ketiga lingkaran lingkungan tersebut yaitu keluarga, sekolah
dan masyarakat adalah lingkungan yang dapat membentuk karakter
manusia. Meski ketiganya saling memperngaruhi, tetapi pendidikan
keluargalah yang paling dominan pengaruhnya terhadap pendidikan
anak. Jika suatu rumah tangga berhasil membangun keluarga sakinah,
maka peran sekolah dan masyarakat menjadi pelengkap (Mubarok,
2005: 152).
2
Seperti yang kita ketahui seorang bayi yang baru lahir adalah
makhluk Allah SWT yang tidak berdaya dan senantiasa memerlukan
pertolongan untuk dapat melangsungkan hidupnya di dunia. Maha
bijaksana Allah SWT yang telah menganugerahkan rasa kasih sayang
kepada semua ibu bapak untuk memelihara anaknya dengan baik tanpa
mengaharap imbalan (Majid, 2004: 11).
Seorang anak senantiasa membutuhkan pendidikan karena pendidikan
berusaha mengubah keadaan seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
dapat berbuat menjadi dapat berbuat, dari bersikap yang tidak diharapkan
menjadi bersikap seperti yang diharapkan. Kegiatan pendidikan ialah usaha
untuk membentuk manusia secara keseluruhan aspek kemanusiaannya secara
utuh, lengkap dan terpadu. Secara umum dan ringkas dapat dikatakan
pembentukan kepribadian.
Oleh karena itu, manusia tidak bisa dipisahkan dari pendidikan.
Pendidikan dapat membawa manusia ke arah yang lebih baik. Terutama
pendidikan pada masa anak-anak, pendidikan bagi anak harus dimulai dalam
lingkungan keluarga, sejak anak masih dalam kandungan (periode pra-natal)
hingga dilahirkan sampai mereka dewasa (periode post-natal) sampai memiliki
kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang matang.
Lingkungan keluarga sering pula disebut sebagai lembaga
pendidikan pertama dan utama yang dikenal anak. Kedua orang
tuanyalah orang yang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan.
Bimbingan, perhatian dan kasih sayang yang terjalin antara kedua
orang tua dan anak-anaknya merupakan basis yang ampuh bagi
pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan
religius pada diri anak didik (Nizar, 2001: 125).
Munculnya pendidikan dalam suatu keluarga disebabkan karena
adanya pergaulan antara orang tua sebagai manusia dewasa dan anak yang
belum dewasa. Dari situlah lahirnya persitiwa pendidikan dalam sebuah
3
wadah yakni keluarga. Kehadiran anak dalam keluarga merupakan tanggung
jawab dan pengabdian orang tua terhadapnya, yang bersifat kodrati dan
berdasarkan cinta kasih (Yasin, 2008: 207).
Pendidikan dalam lingkungan keluarga bersifat pertama dan
utama atau tertua, artinya pembiasaan atau tradisi untuk
mengembangkan kepribadian anak adalah pertama kali terjadi dalam
lingkungan keluarga. Alam keluarga adalah alam pendidikan yang
pertama dan yang terpenting, karena sejak timbulnya adat kemanusiaan
hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi pertumbuhan
budi pekerti manusia (Yasin, 2008: 208).
Oleh karena itu keluarga merupakan lembaga sosial yang
paling dasar untuk mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini masih
menjadi keyakinan dan harapan bersama bahwa keluarga senantiasa
dapat diandalkan sebagai lembaga ketahanan moral, akhlaq al-
karimah dalam konteks bermasyarakat, bahkan baik butuknya suatu
generasi suatu bangsa, ditentukan pula oleh pembentukan pribadi
dalam keluarga. Di sinilah keluarga memili peranan strategis untuk
memenuhi harapan tersebut (Mufidah, 2008: 39).
.
Kehidupan keluarga diibaratkan sebagai suatu bangunan, demi
terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka
ia harus didirikan di atas fondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang
kokoh serta jalinan perekat yang lengket. “Fondasi kehidupan kekeluargaan
adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon
ibu dan ayah” (Shihab, 2007: 254).
Pembinaan moral atau mental agama harus dimulai sejak anak lahir,
oleh bapak ibunya. Karena setiap pengalaman yang dilalui oleh si anak, baik
melalui pendengaran, penglihatan, perlakuan, pembinaan dan sebagainya,
akan menjadi bagian pribadinya yang akan bertumbuh nanti. “Kepribadian
orang tua, sikap dan cara hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan
4
yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi
anak yang sedang bertumbuh itu” (Darajat, 2015: 67).
Pada umumnya, agama seseorang ditentukan oleh pendidikan,
pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya
dulu. Seseorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan
pendidikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak akan
merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan
orang yang mempunyai pengalaman agama di waktu kecilnya, maka
mereka akan cenderung pada aturan-aturan agama (Darajat, 2015: 43).
“Semakin banyak pengalaman yang bernilai agamis mampu ditransfer
dan diterimanya, maka akan banyak pula unsur agama dan pengalaman
keagamaan yang mampu mewarnai proses pembentukan kepribadiannya”
(Nizar, 2001: 126). Sedemikian sangat berpengaruhnya pendidikan agama
dalam keluarga bagi anak, tidak salah bila Rasulullah mengibaratkan seorang
anak yang baru dilahirkan itu fitrah atau suci, orang tualah yang menjadikan
anak itu Yahudi, Majusi atau Nasrani. Sebagaimana sabda Rasulullah:
لبخااواه )ركل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
ري و مسلم(
“Semua anak dilahirkan fitrah atau suci, orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhori dan
Muslim)
“Si anak mulai mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan
keluarga. Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua, sangat
mempengaruhi perkembangan agama pada anak. Sebelum anak dapat bicara,
ia telah melihat dan mendengar, pertumbuhan agama telah mulai ketika itu”
(Darajat, 2015: 70). Dari kedua orang tua terutama ibu, pertama kali pengaruh
dari sesuatu yang dilakukan ibu secara tidak langsung akan membentuk watak
anaknya. Ibu merupakan orang tua yang pertama kali sebagai tempat
5
pendidikan anak. Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu mempersiapkan anak
berarti ibu telah mempersiapkan generasi yang kokoh dan kuat. Dengan
generasi yang kuat berarti telah menginvestasikan sesuatu pada diri anak agar
bermanfaat kelak mengarungi kehidupan yang lebih global. Itulah sebabnya
pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan yang pertama dan utama serta
merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan anak.
Begitu besarnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik
anak. Maka Jalaludin dan Usman Said menyebut tanggung jawab
orang tua adalah pertama mencegah anak dari kemungkaran dan selalu
mengajak kepada kebaikan. Kedua, memberikan arahan dan binaan
untuk selalu berbuat baik. Ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Oleh karena itu tugas dan tanggung jawab orang tua adalah
membimbing anak agar menjadi hamba yang taat menjalan ajaran
agama (Yasin, 2008: 206).
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-
anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima
pendidikan . dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat
dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah
tangga itu bukan berpangkal tolak dari pengetahuan mendidik,
melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan
kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan
itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan timbal balik antara
orang tua dan anak. Ibu dan ayah memegang peranan penting dan amat
berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya (Darajat, 2014: 35).
Nurcholish Madjid salah satu tokoh cendekiawan muslim Indonesia
yang cukup concern mmenyumbangkan pemikirannya tentang pendidikan
Islam salah satunya yang tak luput dari perhatiannya adalah masalah
pendidikan agama dalam keluarga. Mengingat ajaran agama adalah sebagai
fondasi bagi kehidupan keluarga, maka pendidikan agama seharusnya dapat
mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian
dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam kehidupannya di
6
kemudian hari. Sehubungan dengan itu, peran orang tua mendidik anak
melalui pendidikan agama yang benar amat amat penting. Namun, perlu
direnungkan kembali apa sebenarnya arti pendidikan agama, bagaimana
pendidikan agama dalam keluarga, dan nilai-nilai keagamaan apa saja yang
harus ditanamkan kepada anak dalam keluarga.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dari itu penulis tertarik
melakukan penelitian mengenai “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA
DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan di atas maka yang
menjadi masalah pokok dalam bahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut
Nurcholish Madjid?
2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga
menurut Nurcholish Madjid?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis dapat menentukan
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut
Nurcholish Madjid.
7
2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam
keluarga menurut Nurcholish Madjid.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua sisi, yaitu
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang positif dan
sebagai bagian dari usaha untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) dan keguruan pada
umumnya dan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada khususnya.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat menjadi pertimbangan untuk diterapkan pada keluarga dengan
mengimplementasikan peranan-peranan pendidikan agama di
dalamnya.
b. Sebagai alternatif guna meningkatkan kualitas pendidikan agama di
dalam keluarga.
c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi
pelaksanaan penelitian-penelitian yang relevan di masa yang akan
datang.
8
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sebagai suatu kajian terhadap gagasan dari seorang tokoh, dalam
hal ini metode penelitian penyusunan skripsi ini penulis menggunakan
penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Yaitu pemecahan
masalah-masalah yang ada dengan usaha menganalisis dan menjelaskan
dengan teliti kenyataan-kenyataan faktual dari subjek yang diteliti
sehingga dipeoleh gambaran yang utuh berdasarkan fakta (Surakhmad,
2004: 139). Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (library research) yakni dengan membaca, menelaah, dan
mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan
masalah yang dibahas.
Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan content
analysis, yaitu metode analisis yang menitikberatkan pada pemahaman isi
dan maksud yang sebenarnya dari sebuah data.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini,
maka penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu
mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan
bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan
(Sugiono, 2008: 329), misalnya berupa buku-buku, naskah, catatan kisah
9
sejarah, internet dan sumber lain, yang berhubungan dengan Nurcholish
Madjid dan pemikirannya tentang pendidikan agama dalam keluarga.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari literatur
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan
mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada
buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya.
3. Sumber Data
Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library
research). Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini untuk
mendapatkan data-data yang valid maka diperlukan sumber data penelitian
yang valid pula. Dalam penelitian ini ada dua sumber, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Yaitu data yang langsung dari sumber pertama mengenai
masalah yang diungkap secara sederhana disebut data asli. Data yang
dimaksud yaitu buku-buku karya Nurcholish Madjid yaitu Masyarakat
Religius, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonsesia, Pintu-pintu Menuju Tuhan, dan Pesan-pesan Taqwa
Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina adalah landasan utama
untuk menjadi rujukan dalam mengkaji masalah pendidikan agama
dalam keluarga.
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari sumber lain selain sumber
primer. Data sekunder ini dimaksudkan untuk mendukung dan
10
melengkapi data primer. Data yang dimaksud yaitu yang relevan
dengan skripsi ini. Yaitu buku-buku yang ditulis orang lain yang
membahas tentang pemikiran Nurcholish Madjid. Data sekunder ini
sifatnya sebagai pelengkap untuk memperkuat data primer.
Setelah data terkumpul lengkap berikutnya yang penulis
lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan
mengklarifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok
bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu
pembahasan yang utuh.
4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan
pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi
yang lain yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti
mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan peneliti
menyajikan apa yang sudah ditemukannya kepada orang lain (Sugiono,
2008: 85).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi
(content analysis) dalam bentuk deskriptif analisis yaitu berupa catatan
informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan
mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai
dimensi yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini
penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil
materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis,
11
dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan (Bungin, 2008: 155-
159).
F. Penegasan Istilah
1. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga
Kata “nilai” dikonotasikan sebagai sesuatu yang baik, bermanfaat,
positif (Sujarwa, 2010: 229). “Dalam KKBI, pendidikan berasal dari kata
‘didik’, yang mendapat awalan ‘pen’ dan akhiran ‘an’, yang berarti proses
pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”
(Zarkasi, 2005: 19). Agama adalah kebutuhan jiwa manusia, yang
mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan serta cara
menghadapi tiap-tiap masalah” (Darajat (2015: 47). Keluarga adalah unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terikat
oleh satu keturunan yang masing-masing anggotanya mempunyai peran
dan tanggung jawab. (Ahmadi, 2003: 96).
Setelah mengartikan nilai, pendidikan, agama, dan keluarga,
penulis ingin menambahkan bahwa yang dimaksud “Pendidikan Agama”
di sini menurut Nurcholish Madjid adalah “Pendidikan Islam”.
Pendidikan Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan
rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju kepada
terbentuknya kepribadian yang utama. Kepribadian utama menurut
Islam tersebut adalah pribadi yang memiliki nilai-nilai agama
Islam, bertanggung jawab dan sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist
(Zuhairini, 2009: 290).
12
2. Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid populer dipanggil dengan sebutan Cak Nur. Ia
merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia,
serta cendekiawan muslim bangsa. Dalam banyak sumber yang mengulas
tentang dirinya, disebutkan bahwa Nurcholish Madjid lahir dan dibesarkan
di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa
Timur, pada 17 Maret 1939. Prestasi Nurcholish Madjid lebih terlihat
dalam pemikiran. Ia meninggal pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit
sirosis yang dideritanya (Cahyo, 2014: 210-215).
Jadi, yang dimaksud “nilai-nilai pendidikan agama dalam
keluarga” menurut Nurcholish Madjid dalam skripsi ini adalah sifat-sifat
atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai
dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi pada
Allah Swt. Nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil
dengan metode peneladanan, karena pada waktu itu adalah masa yang
tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik kepada mereka dalam
rangka pembentukan pribadi muslim sejati.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode
penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan penelitian.
13
BAB II BIOGRAFI
Pada bab ini akan diuraikan mengenai: riwayat hidup, pendidikan,
aktivitas dan karya-karya intelektual, dan kontribusi pemikiran
Nurcholish Madjid di bidang Pendidikan Agama.
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai: nilai-nilai pendidikan
agama dalam keluarga dan implementasi nilai-nilai pendidikan
agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai: signifikansi, relevansi, dan
implikasi pemikiran Nurcholish Madjid mengenai nilai-nilai
pendidikan agama dalam keluarga.
BAB V PENUTUP
Bab penutup berisi kesimpulan dan saran.
14
BAB II
BIOGRAFI
H. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur lahir di
Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 bertepatan dengan tanggal 26
Muharram 1358 H (Madjid, 1995: 224). Nurcholish adalah putra dari seorang
petani Jombang yang bernama H. Abdul Madjid. Abdul Madjid adalah
seorang ayah yang rajin dan ulet dalam mendidik putranya, dia adalah seorang
figur ayah yang alim. Dia merupakan Kyai alim ulama Nahdlatul Ulama (NU),
yang secara personal mempunyai hubungan khusus dengan K.H. Hasyim
Asy’ari, salah seorang founding father Nahdlatul Ulama. H. Abdul Madjid
inilah yang menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada Nurcholish Madjid
semenjak dirinya masih berusia 6 tahun (Barton, 1999: 74).
Orang tua Nurcholish Madjid datang dari lingkungan Nadlatul Ulama
dan Masyumi. Ibunda Nurcholish Madjid, Fathonah, dipilih menjadi istri
ayahnya, Abdul Madjid, atas perintah Kyai Asy’ari. Fathonah putri keluarga
pengusaha yang taat beragama. Abdul Madjid adalah petani dan guru, yang
bersama istrinya kemudian mendirikan Madrasah Al-Wathaniyah, di
Mojoanyar. Sang ayah politisi Masyumi, yang jarang di daerah itu, meski
tetap memegang tradisi NU secara kuat.
Tradisi yang kosmopolit dan menghargai keragaman seperti itulah
yang kelak akan mewarnai Paramadina, organisasi yang didirikannya. Hidup,
15
pribadi, dan pikiran Nurcholish Madjid terbentuk pada masa remaja ketika dia
sekolah di Pondok Modern Gontor. Pesantren ini sangat progresif dan modern,
baik dalam metode pengajaran maupun gaya hidup para santrinya. Santri
diperbolehkan main musik dan mengenakan celana, bukannya sarung.
Kurikulum di Gontor mengkombinasikan kajian Islam dan sekular dengan
metode pengajaran modern: pengantar bahasa Arab dan Inggris. Selepas
Gontor, Nurcholish Madjid pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sejak 19 Juli 2004, ketika Nurcholish Madjid meninggalkan tanah air,
untuk menjalani transplantasi hati di Taiping Hospital, di Guandong, China,
harap-harap cemas selalu menyelimuti sahabat-sahabatnya. Penyakit hepatitis
C yang dideritanya sejak 20 tahun lalu, telah menjadi keganasan.
Transplantasi merupakan satu-satunya harapan Nurcholish Madjid. Namun
Tuhan menentukan lain.
Tanggal 23 Juli 2004, Nurcholish Madjid menjalani operasi
transplantasi. Semua dikabarkan operasinya sukses, sebab tidak lebih dari
seminggu, Nurcholish Madjid telah dipindahkan ke Singapura. Sejak
Nurcholish Madjid operasi lever di China, dirawat di rumah sakit Singapura,
sampai perawatan intensif di rumah sakit Pondok Indah, Jakarta, teman-
temannya berdatangan memberikan doa dan dukungan moril.
Senin, 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul
14.05 WIB, Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur meninggal
dunia dalam usia 66 tahun (17 Maret 1939-29 Agustus 2005). Nurcholish
16
Madjid meninggalkan seorang istri Omi Komariah dan dua orang anak, Nadia
Madjid dan Ahmad Mikail (Yani, 2009: 49-50).
I. Pendidikan Nurcholish Madjid
Dalam mempersepsikan tatanan pendidikan yang diberikan oleh
ayahnya, Nurcholish Madjid mencatat:
Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan SR,
tetapi ia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa Arab
dan megakar dalam tradisi pesantren. Abdul Madjid sering dipanggil
“kyai haji”, sebagai penghormatan atas ketinggian ilmu keislaman
yang dimilikinya, walaupun ia sendiri secara pribadi tidak pernah
menyebut dirinya sebagai kyai dan tidak pernah secara resmi
bergabung dengan kalangan ulama. Dan meskipun ia tetap menyebut
diri sebagai orang biasa, namun hal itu tidaklah menmbendung
keinginannya untuk mendirikan sebuah madrasah. Bahkan ia menjadi
pengelola utama pada pembangunan madrasah yang ia kelola sendiri
dan juga yang paling berperan dalam membesarkan madrasah
wathoniyah di Mojoanyar Jombang (Barton, 1999: 72).
Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H. Abdul
Madjid kepada Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah,
moral, etika, ataupun dengan pembelajaran membaca Al-Qur’an saja, akan
tetapi juga dengan arah pendidikan formal bagi Nurcholish Madjid (Barton,
1999: 72). Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat
dasar, yaitu di Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di
Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang.
Pemikiran Nurcholish Madjid yang sedemikian rupa tentu tidak lepas
dari pengaruh lingkungan rumah dan eksistensi keluarga serta pengaruh
terbesarnya terletak pada asuhan yang diberikan oleh sang ayah. Jadi, sejak
17
tingkat dasar, Nurcholis Madjid telah mengenal dua model pendidikan.
Pertama, pendidikan dengan pola madrasah, yang sarat dengan penggunaan
kitab kuning sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nurcholish Madjid juga
memperoleh pendidikan umum secara memadai, sekaligus berkenalan dengan
metode pengajaran modern. Pada masa pendidikan dasar ini, khususnya di
Madrasah Wathoniyah, Nurcholish Madjid sudah menampakkan
kecerdasannya dengan berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya
(Nadroh, 1999: 21-22).
Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan
pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul ‘Ulum
Jombang menjadi pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid. Di
pesantren ini Nurcholish Madjid hanya mampu menjalani proses belajarnya
selama dua tahun. Atas izin ayahnya, kemudian Nurcholish Madjid pindah ke
Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mu’alimien al-Islamiah)
Gontor Ponorogo pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan yang
dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari teman-temannya,
terkait dengan pendidikan politik ayahnya yang terlibat di Masyumi (Barton,
1999: 75).
Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik,
sehingga dari kelas 1 ia langsung loncat ke kelas 3. Di pesantren ini, ia banyak
mempelajari bahasa asing terutama Bahasa Arab. Sehubungan dengan
18
kemampuan berbahasa Arab ini, terdapat suatu cerita menarik dari Nurcholish
Madjid (untuk selanjutnya ditulis dengan nama akrabnya, Cak Nur):
Suatu hari ia pulang ke rumah, ayahnya, Abdul Madjid dikenal
memiliki koleksi kitab yang banyak dan tidak ada yang bisa membaca
selain ayahnya sendiri. Ketika pulang ke rumahnya, ditunjukkan
beberapa kitab berbahasa Arab dari Mesir dan ayahnya tidak bisa
membaca. Sementara Cak Nur mampu membaca kitab-kitab ayahnya
itu dengan baik (Ridwan, 2002: 51).
Kurikulum yang diberikan Gontor menghadirkan perpaduan yang
liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat. Para santri
diwajibkan menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris secara aktif dalam
berkomunikasi antar santri di lingkungan pesantren. Pelajaran agama yang
diajarkan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantarnya di semua
kelas kecuali kelas tahun pertama. Tujuan penekanan pada santri-santri dalam
menggunakan kedua bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar sehari-hari,
yakni mengantarkan para santrinya ke dalam cakrawala pengetahuan yang
lebih luas.
Semboyan Gontor yang berbunyi “berbudi tinggi, berbadan sehat,
berpengetahuan luas dan berfikiran bebas” memberikan penekana
keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani, menciptkan iklim yang
kondusif bagi santrinya untuk pemikiran kritis dan maju secara intelektual. Di
pesantren inilah Nurcholish Madjid masuk ke KMI (Kulliyatul Mu’alimien al-
Islamiah) selama enam tahun. Pada tahun 1960 Nurcholish Madjid
menyelesaikan studi di Gontor dan untuk beberapa tahun ia mengajar di bekas
almamaternya. Pondok pesantren Gontor dan orang tuanyalah yang
19
merupakan unsur yang cukup berpengaruh pada perkembangan intelektual
Nurcholish Madjid (Barton, 1999: 36).
Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan
seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam
mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut
menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Cak Nur yang
fenomenal itu, diperhatikan oleh K.H. Zarkasyi, salah satu pengasuh pesantren
Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud
mengirimnkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Karena waktu itu di
Mesir terjadi krisis politik akibat problem Terusan Suez, keberangkatan Cak
Nur ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu Cak Nur mengajar di
almamaternya. Ketika terbetik kabar bahwa di Mesir sulit memperoleh visa,
sang guru tahu bahwa Cak Nur sangat kecewa dan untuk menghiburnya, K.H.
Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta meminta agar murid kesayangannya
itu dapat diterima, dan dengan bantuan alumni Gontor di IAIN tersebut, Cak
Nur bisa diterima, meski tanpa ijazah negeri (Barton, 1999: 77).
Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah Nurcholish Madjid
meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidyatullah
Jakarta. Pilihannya terhadap IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkaitan erat
dengan minatnya yang besar terhadap pemikiran keislaman. Pemikirannya
yang kritis dan keebranian pengembaraan intelektualitasnya ditunjukkan
ketika ia menulis skripsi yang berjudul Al-Qur’an ‘Arabiyun Lughatan Wa
‘Alamiyun Ma’nan (AL-Qur’an secra bahasa adalah bahasa Arab, Secara
20
Makna adalah Universal). Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish
Madjid tersebut setidaknya telah menyiratkan kekritisan dan corak berfikir
keislaman yang inklusif. Kuliahnya di selesaikan pada tahun 1968 dengan
predikat cum laude.
Ketika di Jakarta, sembari kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah,
Nurcholish Madjid tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kabayoran Baru dan
sedemikian akrab dengan Buya Hamka dan ia sedemikian kagum terhadap
dakwah Buya yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan
budaya dan semangat Al-Qur’an sehingga paham keislaman yang ditawarkan
Buya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Hal tersebut
dilansir dari Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar”, dalam Madjid, (1995:
vii).
Minat Nurcholish Madjid terhadap kajian keislaman semakin
mengkristal dengan keterlibatannya di HMI. Dia terpilih menjadi Ketua
Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode berturut-turut dari tahun
1966-1969 hingga 1969-1971. Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa
Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode 1967-1969. Dan untuk masa bakti
1969-1971, Cak Nur menjadi Wakil Sekertaris Umum International Islamic
Federation of Students Organisation (IIFSO) (Barton, 1999: 78).
Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat
nasional tersebut merupakan hal yang amat penting dalam jalur
intelektualisme kehidupannya. Pada sisi lain keterlibatanya pada kegiatan
internasional yakni kunjungannya ke Tumur Tengah dan Amerika Serikat
21
telah semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat
itulah Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat
menyengat kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol
memperjuangkan visi Islam Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No
(Nadroh, 1999: 37). Banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya, namun
dia tak bergeming, bahkan semakin aktif dengan gagasan-gagasannya, dengan
mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun
1974-1976 (Barton, 1999: 83-84). Atas dasar itu, dalam perspektif Majalah
Tempo-hingga batas tertentu-pemikiran Nurcholish Madjid telah
menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima asas tunggal
(Pancasila) merasa lebih damai karena telah menemukan kebenaran (Barton,
1999: 36).
Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar Philoshopy Doctoral
(Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cum laude. Adapun disertasinya ia
mengangkat pemikiran Ibnu Taimiyah dengan judul “Ibn Taimiyah dalam
Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam” (Ibn
Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in
Islam). Disertasi doctoral yang dilakukan ini menunjukkan kekaguman dirinya
terhadap tokoh tersebut. Kekaguman ini pun menjadi pengakuan yang
disampaikannya.
Nurcholish Madjid bukan hanya memiliki prsetasi akademik yang
menakjubkan, tapi sebagai seorang aktivis pun ia dipercaya untuk menempati
posisi penting pada berbagai organisasi kepemudaan. Ini menyiratkan
22
dedikasinya dalam me-manage waktu antara aktivitas akademik dengan
aktivitas organisasinya, hal mana sulit dilakukan oleh rekan-rekan aktivis
lainnya. Pada saat yang bersamaan Nurcholish Madjid telah mampu
membuktikan intergritasnya sebagai intelektual yang produktif.
Dunia formal yang ia jalani selama kurun waktu 36 tahun sejak tahun
1984, penuh dengan segudang pengalaman dan prestasi akademik yang sangat
memuaskan. Hal tersebut dibuktikan oleh Nurcholish Madjid dengan predikat
cum laude yang setidaknya dapat dijadikan tolak ukur dari kapasitas
intelektualnya. Karir Nurcholish Madjid semakin sempurna tatkala ia
dinobatkan sebagai Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai rasa
penghargaan pihak kampus baginya yang begitu lama menggeluti dunia
keilmuan pada tanggal 10 Agustus 1998. Adapun pidato pengukuhannya
sebagai guru besar berjudul “Kalam Kekhalifahan Manusia Reformasi: Suatu
Percobaan Pendekatan Sistematis Terhadap Konsep Antropologis Islam.”
J. Aktivitas Intelektual Nurcholish Madjid
Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi
mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor,
tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja
berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi
keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk
menguasai mata pelajaran di kelas, tetapi lebih dari semua itu, Gontor
23
merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara
berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.
Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan
dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu
berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan
Mahasiswa Ialam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan
roda organisasi Nurcholish Madjid bnyak menerapkan komitmen ke-KMI-
annya yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya (Barton , 1999: 65).
Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih sebagai
Ketua Umum PBHMI untuk dua tahun berturut-turut yakni periode 1966
sampai 1969 dan periode 1969-1971. Berkat kepiawaiannya sebagai mantan
ketua umum PBHMI, selama menjadi mahasiswa di Amerika ia pun dipercaya
untuk menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT)
pada tahun 1967-1969 dan berikutnya ia dipercaya pula untuk menjabar
sebagai wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student
Organization/Federasi Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional)
pada tahun 1967-1971 (Nadroh, 1999: 26).
Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid menduduki
beberapa posisi sentral. Di antara berbagai karir sentral yang dicapainya
adalah: menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta
tahun 1972-1974, menjadi pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta tahun
1971-1974, dan juga menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama
teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-
24
ilmu Kemasyrakatan), pada tahun 1972-1976 dan LKIS (Lembaga Kebijakan
Islam Samanhudi) tahun 1974-1977. Nurcholish Madjid bekerja di LEKNAS
LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial) di Jakarta tahun 1978-1984,
menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pada tahun 1968 Nurcholish Madjid mendirikan dan menjadi ketua
Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian keislaman dan
menjadi penulistetap harian Pelita, Jakarta pada tahun 1988. Nurcholish
Madjid menjadi anggota MPR RI, pada bulan Agustus 1991 dan menjadi
dosen tamu di Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal,
Canada. Sejak tahun 1988 Nurcholish Madjid dikukuhkan sebagai Guru Besar
Luar Biasa dalam Ilmu Filsafat Islam sekaligus menjadi Rektor Paramadina
Mulya, Jakarta (Sufyanto, 2001: 63). Tahun 1991 Nurcholish Madjid juga
menjabat sebagai ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Se-
Indonesia (ICMI). Menjadi anggota Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM) dan pada tahun 1993 tercatat sebagai salah seorang
anggota MPR RI (Madjid, 2004: 211).
Pada tanggal 3 Januari 1970, dalam acara malam silaturahmi
organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana muslim yang tergabung
dalam HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan
Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) Nurcholish Madjid
menggantikan pidatonya Dr. Alfian yang berhalangan datang. Pidato yang
disampaikannya dalam acara besar tersebut berjudul “Keharusan
25
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” (Rahardjo,
1987: 18-19).
Dari pidato yang disampaikannya ini Nurcholish Madjid mulai menui
pandangan yang sangat kontroversial termasuk dari para seniornya, semisal,
Rasjidi, dikarenakan anjurannya terhadap sekularisasi. Isi pembahasan dari
judul pidato, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat” yakni mencakup: Islam Yes, Partai Islam No; kuantitas
versus kualitas; liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam sekarang
(sekularisasi, kebebasan berfikir, idea of progress, dan sikap terbuka), dan
perlunya kelompok pembaharuan “liberal”. Liberalisasi pemikiran Nurcholish
Madjid dimulai dari penyampaian pidatonya pada acara HUT ke-3 HMI di
Jakarta, 5 Pebruari 1970, dengan judul “pembaharuan pemikiran dalam
Islam”. Kegigihannya untuk mengembangkan pola-pola penyegaran paham
keagamaan Islam dilakukannya pada saat emberikan kuliah di pusat kesenian
Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di
Kalangan Umat Islam Indonesia” (Sufyanto, 2001: 66).
Nurcholish Madjid adalah seorang dari sedikit intelektual muslim
Indonesia dan menjadi orang nomor satu di Paramadina. Ia dilahirkan dari
kalangan Islam tradisionalis yang kuat. Nurcholish Madjid sejak memperoleh
pendidikan di pesantren Gontor, yaitu pesantren yang menerapkan semboyan
“berfikir bebas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan
luas”, sangat mempengaruhi pemikirannya untuk tidak memihak pada salah
satu madzhab Islam.
26
Pada saat Nurcholish Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa
Islam Indonesia (HMI), satu periode di mana Republik Indonesia sedang
bergejolak dan merupakan masa transisi dari rezim lama ke rezim baru yang
membawa paradigma baru termasuk paradigma dalam membangun Indonesia
ke depan saat itu yang kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit
banyak menjadi variabel signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran
keislaman Nurcholish Madjid yang relative “asing” bagi umat Islam saat itu
(Sofyan dan Madjid, 2003: 73).
Nurcholish Madjid sejak menjadi mahasiswa telah aktif menulis
tentang kajian keislaman maupun politik, sehingga dia sempat mendapatkan
gelar “Natsir Muda”. Gelar tersebut didapat Nurcholish Madjid dengan ciri
khas orang yang anti dan sangat membenci Barat, akan tetapi sikap itu pada
akhirnya runtuh ketika Nurcholish Madjid usai melakukan kunjungannya di
Amerika Serikat dan beberapa Negara Timur Tengah yang akhirnya gelar
tersebut dicopot (Sofyan dan Madjid, 2003: 65).
Pada saat Nurcholish Madjid melaksanakan pendidikan di Chicago,
Amerika Serikat, beliau menjadi murid seorang ilmuwan muslim ternama neo-
modernisme dari Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Di perguruan inilah Fazlur
Rahman mengotak-atik pemikiran Nurcholish Madjid untuk dibawa ke bidang
kajian keislaman. Pengaruh Fazlur Rahman terhadap gerakan intelektual
Nurcholish Madjid bukan untuk mengubah pola pemikiran Nurcholish
Madjid. Hanya saja, bukan mengatakan sama sekali, Fazlur Rahman telah
27
begitu berpengaruh dalam mengantarkan pemikiran Nurcholish Madjid untuk
kembali kepada warisan klasik kesarjanaan Islam.
K. Karya-karya Nurcholish Madjid.
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif.
Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986
mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Di lembaga inilah sebagian besar
Nurcholish Madjid mencurahkan hidup dan energi intelektualnya (sehingga
pada akhirnya melahirkan Universitas Paramadina Mulya dengan obsesi
mampu menjadi pusat kajian Islam kesohor di dunia) di samping sebagai
peneliti LIPI sebagai profesi awalnya dan sekaligus sebagai Profesor
Pemikiran Islam di IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dalam
perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan banyak artikel ataupun makalah
yang telah dibukukan. Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:
1. Khazanah Intelektual Islam. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh PT. Bulan
Bintang pada tahun 1984 ini adalah langkah awal mengabdikan
pemikirannya lewat tulisan di saat Nurcholish Madjid melewati hari-
harinya di Chicago University, Amerika Serikat. Maksud buku suntingan
ini adalah untuk memperkenalkan bidang pemikiran yang merupakan segi
kejayaan Islam bagi para generasi Islam dan para pembaca lainnya. Selain
itu dalam buku ini Nurcholish Madjid juga memperkenalkan kepada para
pembaca tentang corak pemikiran para tokoh klasik. Tokoh yang disebut
Cak nur dalam buku ini adalah: al-Kindi (w. 258 H/870 M), al-Asy’ari (w.
28
300 H/913 M), al-Farabi (w. 337 H/950 M), Ibn Sina (370 H-428 H/980
M-1030 M), al-Ghozali (w. 505 H/111 M), Ibn Rusyd (w. 594 H/1198 M),
Ibn Taymiyyah (w. 782 H/1328 M), Ibn Kaldun (w. 808 H/1406 M),
Jamaluddin al-Afghani (1255 H-1315 H/1839 M-1897 M), dan
Muhammad Abduh (1262 H-1323 H/1845 M-1905 M). Penulis ingin
menegaskan tentang buku ini, seperti yang diungkapkan Nurcholish
Madjid sendiri bahwa buku ini hanya sekadar pengantar pemikiran kepada
kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan
pemikiran Islam.
2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Buku ini diterbitkan di Bandung
oleh Mizan pada tahun 1987. Dalam isi buku ini membincangkan tentang
permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat ini, dan di
sisi lain juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa
solusi keagamaan dan keindonesiaan, sekitar tahun 70-an permasalahan-
permasalahan menjadi wacana yang menggegerkan dan penuh dengan
pandangan-pandangan yang kontroversial.
3. Islam Doktrin dan Peradaban. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh
Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1992. Buku ini berisi tentang
Islam di Indonesia adalah kemajemukan. Pluralitas (kemajemukan) adalah
kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam kitab suci
disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar mereka saling mengenal dan menghargai. Maka pluralitas ini
29
meningkat menjadi pluralism, yaitu suatu sistem nilai yang memandang
secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri.
4. Islam Agama Peradapan, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf
Paramadina pada tahun 1992. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid
memaparkan tentang bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang
transcendental berdasarkan iman yang dinyatakan dalam bentuk amal,
kebijakan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam
mencari kebenaran dan keadilan. Sebenarnya buku ini hanya kumpulan
sebagian makalah dari kelompok kajian agama yang diselenggarakan oleh
Yayasan Wakaf Paramadina yang diadakan sekali dalam sebulan dengan
beranggotakan 200 orang.
5. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pengembangan di Indonesia.
Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada
tahun 1997. Dalam buku ini Cak Nur mengungkapkan peran strategis
ajaran-ajaran Islam sebagai sumber substansi bagi pembangunan yang
sedang dilaksanakan di Indonesia. Peran intelektual Indonesia dalam
membangun etos keilmuan dan tradisi intelektual, mengembangkan
demokrasi serta membangun sumber daya manusia yang siap memasuki
era industrialisasi dan era tinggal landas.
6. Bilik-bilik Peantren, Sebuah Potret Perjalanan. Buku ini diterbitkan di
Jakarta oleh Paramadina pada tahun 1997. Buku ini berisi tentang
kesenjangan antara dunia pesantren dengan dunia modern. Maka dalam
30
buku ini Cak Nur mengajak dunia pesantren “membuka diri” dan berbenah
diri untuk paling tidak memperkecil jarak kesenjangan tersebut.
Nurcholish Madjid tertuju pada kurikulum pesantren yang ada di
Indonesia. Menurutnya, bahwa materi keagamaan masih mendominasi di
lingkungan pesantren yang disajikan hanya dan selalu dalam bahasa Arab,
seperti Fiqh, Aqa’id, Nahwu-Sharaf. Padahal menurutnya, masih ada yang
lebih penting pada tataran praktis di saat seorang muslim berinteraksi
dengan sesame, yakni semangat religius juga tasawuf yang merupakan inti
dari kurikulum keagamaan. Sedangkan di sisi lain, pengetahuan umum
ternyata masih dilaksanakan secara setengah-setengah, akibatnya
kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari
masyarakat ilmu-ilmu eksak. Itulah yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan antara dunia pesantren dengan dunia modern.
7. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan
Wakaf Paramadina pada tahun 1995. Isi buku ini merupakan kumpulan
tulisan Nurcholish Madjid yang tercecer, yang telah dimuat pada Harian
Pelita dan Majalah Tempo. Di sini Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa
umat Islam jangan hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena
Islam menyediakan banyak pintu untuk menuju Tuhan untuk meraih sisi
yang mulia di samping-Nya.
8. Masyarakat Religius. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf
Paramadina pada tahun 1997. Buku ini menyodorkan tesis bahwa makna
hidup yang hakiki dan sejati itu ada, agama sebagi sistem keyakinan
31
menyediakan konsep tentang hakikat dan makna hidup itu. Buku ini juga
mengetengahkan tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen
pribadi dan sosial dan konsep pendidikan agama Islam dalam keluarga.
9. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, 1999. Dalam buku ini Nurcholish
Madjid mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan
kenegaraan. Ia menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan
argumentasi yang fresh dan jernih. Di mana dalam uraiannya mengaitkan
dengan persoalan-persoalan kontemporer yang tengah menghadang bangsa
Indonesia, seperti cita-cita politik bangsa dan persoalan keadilan.
10. Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Buku ini ditulis pada saat menjabat
sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, yang
berisi tentang Materi Pengkaderan tentang keislaman. Namun, buku ini
kemudian diubah menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Buku ini menjadi
bacaan wajib yang menjadi dasar dan motivasi perjuangan anggota
Himpunan Mahasiswa Islam.
Selain buku-buku di atas yang sudah dipaparkan, masih banyak pula
karya Nurcholish Madjid yang sudah beredar di pasaran dan tidak sempat
dimuat dalam bab ini. Buku-buku itu di antaranya: Pesan-Pesan Taqwa
Nurcholish Madjid, Fatsoen Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman
Beragama dan Berbangsa di Masa Tradisi, Dialog Keterbukaan Artikulasi
Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Perjalanan Religious
Umrah dan Haji, Kaki Langit Peradapan Islam, Dialog Ramadhan dan Fiqh
Lintas Agama, ia juga pernah menterjemahkan buku Sunnah dan Peranannya
32
dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, karya uatafa
Al-Sibai. Hal lain yang dilakukan Nurcholish Madjid adalah, bahwa ia banyak
mendorong kaum intelektual Islam serta memprakarsai penulisan buku-buku
bermutu dan standard (Nata, 2005: 324).
Tidak hanya dalam buku, Nurcholish Madjid juga menulis berbagai
artikel tentang keislaman, politik Islam, moral dan sebagaianya yang dimuat
dalam Harian Kompas, Pelita, Suara Pembaharuan, Republika, Jurnal Ulumul
Qur’an, Panji Masyarakat, Prisma, Amanah, dan lain sebagainya (Nata, 2005:
324).
Berdasarkan uraian tentang beberapa karya dan buah pikiran
Nurcholish Madjid di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Cak Nur sosok
pemikir yang handal dan julukan pun melekat padanya, yakni seorang teolog,
filosof, sejarawan, konseptor, dan pembaharu yang selalu mengedepankan
toleransi pada setiap perbedaan dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang
berpijak pada ajaran Islam.
L. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Bidang Pendidikan Agama
Gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid tidak hanya mencakup satu
bidang saja, melainkan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya masalah
doktrin, ilmu pengetahuan, dan peradaban. Dari berbagai pemikirannya ini
dapat ditelusuri dan dilacak gagasan dan konsep yang berkaitan dengan
pendidikan. Uraian berikut ini akan mencoba melihat dan menjajagi pemikiran
33
dan gagasan Nurcholish Madjid dalam bidang pendidikan Islam (pendidikan
agama) (Nata, 2005: 326).
Pendidikan agama dalam rumah tangga. Menurut Nurcholish Madjid,
bahwa pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk
pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika
dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam
masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid bahwa pendidikan agama akhirnya
menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi.
Pendidikan akhlak. Sejalan dengan pentingnya pendidikan agama
dalam lingkungan keluarga yang ditekankan pada pengalaman ajaran agama
terkait dengan etika, moral dan akhlak, Nurcholish Madjid memiliki
komitmen terhadap tegaknya etika, moral dan akhlak. Dalam berbagai
kesempatan dalam tulisannya, ia banyak menyinggung kehancuran suatu
bangsa dari sejak zaman klasik yang penyebab utamanya adalah kehancuran
akhlak.
Tidak ada gagasan yang yang berdiri sendiri di atas angin. Setiap
gagasan baru lahir, ia senantiasa mengundang respon bahkan polemik.
Demikian pula dalam dinamika pemikiran keagamaan, hal serupa senantiasa
terjadi. Bahkan kemudian tak terhindarkan lahir ketegangan-ketegangan dan
konflik, yang muncul mengiringi perkembangan pemikiran itu. Inilah yang
terjadi disekitar gagasan-gagasan keagamaan Nurcholish Madjid (Siswanto,
2013: 151).
34
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish
Madjid
1. Aspek-aspek Nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga
Manusia dikatakan sempurna apabila memiliki jasmani dan rohani
secara utuh, artinya secara fisik sehat, secara psikis dia normal. Jasmani
yang sehat adalah dambaan setiap insan, terutama orang tua (keluarga)
kepada anak. Usaha menyehatkan anak oleh orang tua adalah perbuatan
tanpa pamrih, semata-mata karena cinta kasih yang murni. Sehingga
hubungan emosional yang amat kental antara anak dan orang tua menjadi
taruhan survival anak dalam memasuki dunia kehidupan selanjutnya
(Madjid, 1997a: 85).
Seiring dengan pertumbuhan jasmani anak, biasanya akan diikuti
oleh proses pencarian jati diri. Dalam konteks ini kedudukan ayah bukan
hanya penghasil nasi (bread earner) dalam keluarga, tetapi posisi ayah
dalam keluarga menempati posisi sebagai teladan dan bahkan “pahlawan”
bagi anak, setelah itu baru orang lain, karena pada umumnya anak akan
mencari sosok atau figur yang diidolakan dalam keluarga. Untuk itulah
orang tua dituntut untuk menjadi uswah hasanah bagi anak dan anggota
keluarganya. Perilaku orang tua secara otomatis akan berdampak pada
berbagai aspek, termasuk pendidikan anak.
35
Dalam praktik kehidupan sehari-hari orang tua harus memberikan
kesempatan pada anak untuk bermain, bergaul, dan bercanda dengan
teman sebayanya. Karena hal ini dapat membantu perkembangan jasmani
anak untuk tumbuh menjadi kuat secara alami, selain itu anak akan mudah
bersosialisasi dalam bergaul di masyarakat. Atau orang tua hendaknya
meluangkan waktu untuk berolahraga bersama anaknya. Hal ini dilakukan
agar pertumbuhan jasmani anak menjadi tumbuh dan berkembang dengan
sempurna. Dengan berbekal jasmani yang kuat diharapkan anak dapat
hidup dengan keterampilan yang dimiliki. Oleh karena itu, tidak
dibenarkan jika orang tua tidak memberi kesempatan pada anak untuk
bermain dan bergaul dengan teman sebayanya. Hal tersebut lambat laun
akan berdampak buruk bagi pertumbuhan jasmani, dan bahkan
perkembangan rohani anak. Kesempatan bermain dan bergaul yang
diberikan orang tua kepada anak hendaknya secara wajar dan tetap dalam
kontrol. Dengan harapan anak kelak memiliki jasmani yang kuat dan
terlatih dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan dasar iman
dan takwa kepada Allah Swt.
Setiap jiwa manusia sudah memiliki kelengkapan dalam dirinya
untuk mengetahui apa yang baik dan buruk, benar dan salah.
“Kelengkapan itu adalah hati nurani. (Madjid, 2005: 93). Orang tua
berperan sebagai penyaring bagi anak dari segala pengaruh buruk yang
terdapat dari lingkungan. Oleh karena itu kedua orang tua (ibu dan bapak)
harus membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu
36
agama, yang nantinya ditransfer dan diinternalisasikan kepada anak, serta
orang tua dituntut untuk menyiapkan waktu yang cukup guna
mendampingi dalam memberikan pendidikan bagi anaknya khususnya
pendidikan agama.
Pengembangan dan penumbuhan yang harus dilakukan orang tua
bukan hanya bersifat jasmani saja tetapi juga rohani, yakni peningkatan
potensi positif yang sudah ada sejak lahir menjadi tabiat anak. Hal ini
dilakukan agar anak kelak menjadi manusia dengan kualitas setinggi-
tingginya. Dan orang tua berkewajiban untuk menjauhkan anak dari sikap
yang menyimpang dari nature kebaikannya tersebut (Madjid, 1997a: 84).
Kualitas manusia yang tinggi adalah yang mampu
mengaktualisasikan ritus-ritus formal keagamaan dalam kehidupan nyata.
Ritus hanya sebagai bingkai, bukan tujuan. Oleh karena itu, ritus baru
mempunyai makna hakiki jika sudah dapat mengantarkan orang yang
bersangkutan kepada tujuan hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub)
kepada Allah Swt. dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq al
karimah).
Pendidikan rohani atau qalbu (hati) menjadi kunci pendidikan
agama bagi anak dalam rumah tangga. Karena pendidikan tersebut
memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Juga
pendidikan agama merupakan kunci utama, karena pendidikan agama
dalam rumah tangga adalah yang pertama dan utama. Pendidikan itu
mencakup aspek jasmani, akal, dan rohani. Jasmani yang baik harus
37
diikuti dengan rohani yang baik agar menghasilkan manusia dengan
kualitas tinggi. Oleh karenanya aspek rohani menjadi penentu baik atau
buruknya kepribadian seseorang. Dalam hal ini agama menjadi solusi
untuk mengantarkan kerohanian seseorang menuju puncak dari segala
kebaikan.
Aspek-aspek nilai pendidikan agama dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian sebagai berikut:
a. Nilai Pendidikan Akhlak
Dalam konteks ini (keluarga) yang ditekankan adalah
pendidikan akhlak, yang menyangkut etika dan moral. Dalam kitab
suci Al-Qur’an surat kedua kalimat terakhir memuat perintah kepada
Nabi Muhammad SAW agar beliau memohon kepada Tuhan dari
cuaca pagi (rab al falaq) supaya dilindungi dari kejahatan seorang
pendengki atau penghasud. Hal ini menunjukkan betapa bahayanya
kedengkian itu. Karena dengki adalah salah satu penyakit hati yang
paling berbahaya (Madjid, 2002: 118). Dalam sebuah hadits, Nabi
Muhammad SAW bersabda bahwa sifat dengki itu bagaikan api yang
memakan kayu bakar, artinya kedengkian itu jika diibaratkan tumbuh
dalam hati maka bisa menghabiskan nilai kebaikan pelakunya. Di sisi
lain kedengkian dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan yang dapat
mengancam keselamatan orang lain, karena seorang pendengki akan
senantiasa merasa tidak senang kalau orang yang didengki itu selamat
dan tidak menderita. Kehancuran moral seseorang, masyarakat, bahkan
38
suatu bangsa ditengarai dengan hancurnya akhlak (baca: iri, dengki,
dan penyakit hati lainnya). Kedengkian hati juga menjadi indikasi awal
datangnya kesengsaraan.
Sebenarnya kehancuran akhlak (baca: iri, dengki, dan penyakit
hati lainnya) itu bisa ditanggulangi sejak dini. Artinya sedini mungkin
orang tua mulai menanamkan sifat-sifat terpuji bagi anak, tidak
berperilaku sebagai pendengki. Tentu penanaman sikap terpuji tersebut
harus dimulai dari orang tua terlebih dahulu, karena secara alami anak
akan meniru tata cara dan perilaku orang tuanya dalam berbagai hal.
Ingat pepatah yang mengatakan bahwa kacang ora ninggal lanjaran
(Jawa), atau buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, artinya
perbuatan atau perilaku orang tua dengan sendirinya akan membawa
pengaruh bagi anak-anaknya. Jika perilaku orang tua baik maka anak
akan meniru kebaikan itu, tetapi jika perilaku orang tua tidak terpuji
maka jangan harap anak akan berperilaku terpuji.
b. Nilai Pendidikan Ibadah
Mengikuti tema-tema yang ada dalam Al-Qur’an bahwa
penanaman takwa kepada Allah Swt. sebagai dimensi manusia yang
pertama yang dimulai dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal
agama yang berupa ibadat-ibadat (Madjid, 1997a: 96). Dalam konteks
ini, pendidikan agama dalam rumah tangga awalnya berupa pengajaran
kepada anak tentang aspek-aspek ritual dan formal agama, dengan cara
mengajarkan anak melakukan ritual-ritual agama seperti shalat,
39
membaca Al-Qur’an, dan ritual-ritual agama lain. Kemudian dalam
melaksanakan ritual agama tersebut orang tua secara pelan memberi
penghayatan dan pemaknaan ibadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat
tersebut tidak dilakukan semata-mata sebagai ritus formal belaka,
melainkan dengan keinsafan mendalam tentang makna edukatifnya
bagi kehidupan.
Edukatif dalam arti, setiap ritual agama yang kita lakukan
dengan anak adalah ajakan kebaikan untuk taat menjalankan perintah
agama. Jika tahap ini telah tercapai, maka tugas kita selanjutnya adalah
bagaimana ritus agama yang bersifat “simbolik” tadi bisa menjadikan
anak tahu dan memahami makna di balik itu semua. Shalat misalnya,
dengan memahami arti bacaan pada setiap gerakan, baik yang wajib
maupun yang sunnah, maka anak akan tahu apa maksud dan tujuannya.
Saat membaca doa iftitah ketika sampai inna shalati wanusuki wa
mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan alam
semesta. Jika orang bersangkutan (anak) paham makna yang
terkandung dalam bacaan itu, niscaya orang tersebut akan merasakan
betapa semua ibadah, amal perbuatan, hidup dan mati hanyalah milik
Allah semata. Sehingga ketika harus menerima kenyataan hidup pahit
tidak lantas menyalahkan Allah, tetapi orang tersebut akan mengambil
hikmah di balik kejadian itu, bukankah segala hal yang terjadi di muka
bumi ini pastinya ada hikmahnya. Dengan cara yang demikian
40
diharapkan kita akan dapat selamat dari ancaman Allah sebagaimana
tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’un. Yaitu ibadah yang sia-sia
tanpa atsar dan makna di sisi Allah, na’udzu billah min dzalika.
c. Nilai Pendidikan Aqidah
Aqidah merupakan dasar keimanan seseorang, sehingga harus
ditanamkan kepada anak sejak dini. Orang beriman adalah orang yang
kuat batin dan jiwanya, yang tidak pernah gentar menghadapi cobaan
hidup. Kekuatan orang beriman diperoleh karena hanya berharap
kepada Allah Swt. ia tidak mudah putus asa karena Allah selalu
menyertainya (Madjid, 2002: 14).
Oleh karena itu kunci pendidikan agama sebenarnya terletak
pada pendidikan aqidah. Karena hal tersebut yang akan mewarnai
perkembangan akal dan sikap seorang anak. Kekuatan aqidah berdasar
pada keimanan kepada Allah sehingga mampu mengantarkan
seseorang menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan bertanggung
jawab. Iman yang kuat akan menghasilkan harapan dan kepercayaan
kepada Allah, atau sebaliknya, Allah tidak memberi harapan dan
kepercayaan kepada orang tersebut. Oleh karena itu salah satu ciri
orang beriman adalah adanya sikap berbaik sangka kepada Allah.
Orang beriman harus yakin bahwa setiap kejadian pasti ada makna
pelajaran yang bisa diambil, karena tak satupun kejadian di dunia ini
yang tidak ada gunanya.
41
Baik sangka atau husnudhan adalah salah satu ciri orang
beriman, karena orang beriman akan senantiasa berharap hanya kepada
Allah, bukan kepada manusia. Berharap kepada manusia sifatnya
temporer dalam arti ketika orang yang diharapkan tersebut dalam
keadaan siap, maka harapan tersebut dapat terwujud, tetapi kalau tidak
siap maka harapan itu sirna. Sedangkan begantung dan berharap
kepada Allah merupakan sikap terpuji dan bijaksana, karena Allah
tidak pernah mengecewakan hambanya yang percaya, beriman,
sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi bahwa Allah itu
sebagaimana prasangka hamba-Nya, jika persangkaan tersebut baik
maka Allah akan memberikan kebaikan, dan apabila persangkaan
tersebut berupa kejelekan maka Allah akan memberikan kejelekan,
Ana ‘inda dhanni ‘abdi bi.
Sikap orang beriman selanjutnya adalah optimis, sikap dan
perasaan optimis dalam konteks ini adalah ketika seseorang tersebut
telah bekerja, berdo’a, dan sebagainya, kemudian memasrahkan hasil
akhir usaha atau pekerjaannya tersebut kepada Allah, tawakkal.
Sehingga tidak merasa putus asa dan patah semangat apabila hasil
usahanya tidak seseuai harapan. Karena dia selalu baik sangka dan
menyadari bahwa di balik itu semua pasti ada hikmahnya, dan itulah
mungkin yang terbaik menurut Allah. Orang beriman senantiasa ikhlas
pada ketentuan dan takdir-Nya.
42
2. Hak Orang Tua dari Anak
Orang tua mempunyai kewajiban memelihara anak dengan penuh
tanggung jawab sebagai amanah Allah. Namun sebaliknya, orang tua pun
mempunyai hak terhadap anak sebagai berikut. Anak-anak harus melayani
orang tuanya dengan baik, lemah-lembut menyayanginya, selalu
menghormati, dan berterima kasih atas jasa-jasa mereka terhadapnya.
Anak-anak juga harus mematuhi perintah orang tua kecuali kalau
menyuruh kepada yang bathil atau munkar.
Sebagaimana Allah telah berwasiat kepada kita semua umat
manusia tentang banyak hal. Wasiat-wasiat Allah tersebut membentuk
bagian amat penting dalam ajaran Islam. Salah satu ialah yang berkenaan
dengan ibu-bapak atau orang tua, Allah berwasiat kepada manusia bahwa
mereka mutlak harus berbuat baik kepada orang tua (Madjid, 2002: 136).
Menurut Nurcholish Madjid hubungan antar anak dan orang tua
dalam sistem ajaran Islam yang menyeluruh adalah perkara yang sangat
penting setelah tauhid, yaitu hubungan dalam bentuk perbuatan baik dari
pihak anak kepada ayah-ibunya (Madjid, 1997a: 111). Berbuat baik
kepada orang tua dalam ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci Al-
Qur’an adalah perintah.
Menurut Nurcholish Madjid, jika disimak lebih mendalam
petunjuk-petunjuk Ilahi, maka dapat ditarik kesimpulan betapa pentingnya
hubungan orang-tua dan anak dalam hidup ini, dan betapa ia terkait erat
secara langsung dengan inti makna hidup itu sendiri. Yaitu beribadat dan
43
pasrah kepada Allah, Pencipta semesta alam dan manusia sendiri.
Berkenaan dengan itu, menurut Nurcholish Madjid, di sini agaknya
diperlukan kejelasan dan penegasan tentang suatu masalah. Tekanan
“keputusan” dan “pesan” Allah kepada manusia berkenaan dengan kedua
orang tua ialah pada kewajibannya berbuat baik (husn, ihsan) kepada ibu-
bapaknya bukan pada kewajibannya taat atau menaati mereka. Berbuat
baik meliputi makna yang luas dan mencakup banyak sekali jenis tingkah
laku dan sikap anak kepada orang tua. Sedangkan taat hanyalah satu saja
dari sekian banyak bentuk perbuatan baik itu, itu pun bersyarat (Madjid,
1997a: 112).
Ketaatan anak kepada orang tua itu, seperti halnya dengan setiap
bentuk ketaatan orang kepada siapa pun dan apa pun selain Allah
dibenarkan untuk dilakukan hanya dengan syarat bahwa ketaatan itu
menyangkut kebenaran dan kebaikan, bukan kepalsuan dan kejahatan.
Maka demikian pula halnya dengan ketaatan anak kepada orang tua dapat
dan harus dilakukan hanya jika menyangkut suatu hal yang benar dan baik.
“Dalam keadaan syarat itu terpenuhi, ketaatan anak kepada orang tua
merupakan bagian dari kewajiban berbuat baiknya kepada mereka.
Sedangkan dalam keadaan syarat itu tidak terpenuhi, ketaatan itu justru
menjadi terlarang” (Madjid, 1997a: 112).
“Tetapi sebaliknya, menurut Nurcholish Madjid “keputusan” dan
“pesan” Tuhan agar orang berbuat baik kepada ibu-bapaknya adalah
mutlak, tanpa syarat, bahkan sekalipun ibu-bapaknya jahat, sampai-sampai
44
sekalipun ibu-bapaknya itu secara sadar melawan kebenaran (kafir)”
(Madjid, 1997a: 112-113).
Terhadap keseluruhan keluarga dan kaum kerabat yang
menyimpang pun seorang anak tetap diperintahkan Allah untuk
menunjukkan sikap hormat dan sopan santun, meskipun anak itu dengan
jelas tidak dapat menerima jalan hidup mereka (Madjid, 1997a: 113).
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada
mereka Ucapan yang pantas (Q.S. al-Isra’ [17]: 28) (Departemen
Agama RI, 2005: 286).
Menurut Nurcholish Madjid, ketaatan anak terhadap orang tua
hanya dituntut kepada suatu kebenaran (alhaqq) dan kebaikan (ma’ruf)
dan jelas tidak dituntut dalam kepalsuan (Albathil) dan kejahatan
(almunkar). Tetapi orang tua tetap berhak mendapatkan perlakuan baik
dari anaknya. Seorang anak dilarang berkata kasar terhadap orang tuanya
sebaliknya seorang anak harus berlaku lemah lembut terhadap orang
tuanya sesuai apa yang menjadi “keputusan” dan “pesan” di dalam Al-
Qur’an.
Kewajiban anak berbuat baik kepada orang tua adalah pertama-
tama dan terutama dituntut dalam hubungan dengan ibunya. Sebab tidak
ada di dunia ini yang sedemikian besar pengorbanannya untuk anak, dan
tidak pula kecintaannya kepada anak demikian tulusnya seperti ibunya
45
sendiri. Dalam firman tadi dilukiskan oleh Allah, betapa ibu mengandung
si anak dalam kesusahan, dan tidak bisa melepaskan atau memisahkan
dirinya dari si anak selama dua tahun (Madjid, 1997a: 118).
Dihubungkan dengan masalah pendidikan anak, hal tersebut
mengandung arti timbal balik, bahwa sebagaimana pertama-tama anak
harus berbuat baik kepada ibunya, maka begitu pula sebaliknya ibulah
yang banyak mempengaruhi anaknya. Ini disebabkan bahwa hubungan
emosional ibu dengan anak, jika tidak ada faktor-faktor lain yang luar
biasa, umumnya terpateri rapat dan menjadi abadi, sampai anak menjadi
dewasa (Madjid, 1997a: 118).
Maka dari itu, begitu pentingnya peranan ibu dalam pendidikan
anaknya sampai ada sebuah syair yang mengatakan bahwasannya “ibu
adalah sekolah, bila dipersiapkan dapat membentuk bangsa yang baik dan
kuat”. Makna syair tersebut mengandung arti bahwa seorang ibu
mempunyai peran yang cukup signifikan dalam penumbuhan dan
pengembangan pendidikan anak ke depan. Ibu diibaratkan sekolah di
dalamnya berperan menampung anak-anaknya untuk proses pendidikan
(belajar-mengajar secara langsung) sehingga anak dapat tumbuh
berkembang, baik jasmani maupun rohani.
Tetapi tentu saja yang bertanggung jawab atas pendidikan anak
tidak hanya ibu. Meskipun tidak mempunyai hubungan emosional dengan
anak sehangat para ibu, kaum bapak pun ikut bertanggung jawab dalam
pendidikan anak. Faktor yang paling menentukan peranan bapak ialah
46
kedudukannya sebagai kepala keluarga. Ini tidak saja berarti sebagai
“penghasil nasi” dalam keluarga, tetapi juga, untuk anak, fungsinya
sebagai, “imago ideal”. Para ahli umumnya mengatakan bahwa dalam jiwa
anak yang ingin mencari suri tauladan dan bahkan “pahlawan”, sang ayah
selalu menempati urutan pertama, dan baru orang lain. Oleh karena itu
pendidikan anak pun akan ikut ditentukan, berhasil atau gagalnya oleh
“penampilan” sang ayah dalam penglihatan anak (Madjid, 1997a: 119).
Oleh karena itu peranan orang tua sangat besar pula menentukan
pertumbuhan anak secara psokologis dan kultural. “Maka sudah
selayaknya sebagai seorang anak dan diajarkan pula dalam agama untuk
berbuat baik dan berterimakasih kepada orang tua. Dan selalu memohon
doa kepada Allah agar memberikan rahmat kepada orang tua” (Madjid,
2002: 137).
3. Orang Tua sebagai Pendidik Bukan Pengajar bagi Anak
Jika menginsyafi lebih dalam lagi, bahwasannya harta benda dan
anak-anak adalah karunia Ilahi, yang merupakan ujian atau percobaan
(fitnah) bagi manusia, dan apakah manusia (orang tua) dapat
memanfaatkan harta itu dan mendidik anak dengan baik atau tidak. Sebab
tidak perlu diragukan lagi bahwa harta dan anak adalah unsur-unsur utama
kehidupan manusia, yang membuatnya memperoleh kebahagiaan lahir dan
duniawi (Madjid, 1997a: 121).
Karena “harta dan anak adalah kehidupan duniawi,” maka juga
“sesungguhnya hidup di dunia ini adalah permainan, kesenangan dan
47
kemegahan serta saling bangga dan saling berlomba dalam harta dan
anak”. Jadi, sebagai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemungkinan
dengan mudah berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber
kesengsaraan dan kenistaan yang tidak terkira. Yaitu kalau kita tidak
sanggup memanfaatkan harta dan mendidik anak tersebut dengan apa yang
dipesankan dan diamanatkan Allah (Madjid, 1997a: 121-122).
Disebut cobaan, karena anak (dan harta) adalah batu penguji
tentang siapa kita ini sebenarnya dari sudut kualitas hidup dan kepribadian
kita. Sebab kualitas itu akan dengan sendirinya tercermin dalam apa yang
kita lakukan kepada anak (dan harta) itu, menuju kebaikan ataukah
membawa keburukan. Maka sebagai orang tua berkewajiban menuntun,
membimbing, menumbuhkan anaknya menjadi orang shalih, yang
bermanfaat sesamanya dan dirinya sendiri. “Inilah bentuk kecintaan yang
sejati seseorang kepada anak, karena kecintaan serupa itu merupakan
konsistensi kecintaan kepada Allah. Dan itulah pula salah satu pelaksanaan
tanggung jawab keluarga adalah agar menjaga dan memelihara
keluarganya dari hidup yang abadi” (Madjid, 1997a: 117). Sebagaimana
firman Allah,
48
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S. at-
Tahrim [66]: 6) (Departemen Agama RI, 2005: 561).
Pembentukan atau pembinaan kepribadian anak berlangsung secara
berangsur-angsur, bukanlah hal yang sekali saja, melainkan suatu hal yang
berkembang, oleh karena itu pembentukan kepribadian anak merupakan
suatu proses. Apabila dalam pertumbuhannya anak mengalami proses
yang baik dan benar, maka akan menghasilkan suatu kepribadian yang
baik, matang, dan harmonis.
Pendidikan agama dalam keluarga adalah unsur pertama yang
harus ditanamkan kepada anak. Karena jika diibaratkan sebuah bangunan
maka agama adalah sebagai pondasi atau dasar dari bangunan tersebut.
Perkembangan agama pada anak sangat tergantung dengan apa pendidikan
dan pengalaman yang dilaluinya dalam keluarga, baik sejak masih dalam
kandungan maupun dalam masa kanak-kanak. Kata-kata, sikap, tindakan
orang tua serta perhatian orang tua sangat mempengaruhi perkembangan
keagamaan dan kepribadian anak. Dalam hal ini pembinaan kepribadian
itu tidak terlepas dari pendidikan agama karena agama adalah sebagai
landasan pembentukan kepribadian. Dengan demikian peranan agama
dalam keluarga sangat penting dalam menumbuhkembangkan kepribadian
49
anak agar anak memiliki kepribadian yang utama sesuai dengan petunjuk
agama.
Menurut Nurcholish Madjid pendidikan agama dalam keluarga
tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual
dan formal agama. Namun di dalam masyarakat sering terjadi kekeliruan,
orang tua sering melimpahkan tanggung jawab pendidikan agama kepada
lembaga dan orang lain atau guru mengaji yang lebih populer di kalangan
masyarakat. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada
lembaga lain atau guru mengaji terutama hanyalah pengajaran agama,
berupa segi-segi ritual dan formal agama. Dan di sini yang ditekankan
adalah pendidikan agama yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
Sedangkan para pelaku pendidikan, seperti guru mengaji, dan guru agama
di sekolah adalah sebagai wakil-wakil orang tua dan pelanjut orang tua
dalam menumbuhkembangkan potensi keagamaan dalam diri anak.
Meskipun ada guru mengaji sekaligus juga bertindak sebagai pendidik
agama, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang
tua sepenuhnya. Jadi, guru mengaji pun sebenarnya terbatas perannya
hanya sebagai pengajar agama, yakni penuntun ke arah segi-segi kognitif
agama itu, bukan pendidikan agama.
B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut
Nurcholish Madjid
50
Adapun upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam hal menanamkan nilai-
nilai pendidikan keagamaan bagi anak menurut Nurcholish Madjid, penulis
membatasi dalam hal sebagai berikut:
1. Mendidik dengan Keteladanan
Pendidikan dengan keteladanan berarti pendidikan dengan
memberikan contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir, dan
sebagainya. Contoh atau teladan yang baik dari orang tua akan membentuk
kepribadian anak. Di masa perkembangan, anak banyak mengadopsi pola
perilaku apa saja yang ditampilkan oleh kehidupan dalam keluarganya
lebih-lebih pada ayah dan ibunya. Pendidikan agama dalam keluarga, jelas
melibatkan peran orang tua dan seluruh anggota keluarga dalam usaha
menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam keluarga.
Dan peran orang tua tidak perlu berupa pengajaran yang
nota-bene nya dapat diwakilkan kepada orang lain atau guru. Peran
orang tua adalah peran tingkah laku tulada atau teladan. Seperti
sebuah pepatah yang berbunyi, “bahasa perbuatan adalah lebih
fasih daripada bahasa ucapan” (lisan-ul hal-i afshah-u min lisa-il-
maqal). Jadi jelas pendidikan agama menuntut tindakan
percontohan lebih-lebih daripada pengajaran verbal. Dengan
meminjam istilah yang populer di masyarakat, dapat dikatakan
bahwa “pendidikan dengan bahasa perbuatan” (tarbiyah bi lisan-
i’l-hal) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap daripada
“pendidikan dengan bahasa ucapan” (tarbiyah bi lisan-il-maqal)
(Madjid, 1997a: 126-127).
Para ahli umumnya mengatakan bahwasannya bila seorang anak
mencari sosok suri tauladan dan bahkan “pahlawan”, seorang ayah selalu
mendapat urutan pertama, dan baru orang lain. Peranan seorang ayah
terhadap pendidikan anak-anaknya sangat berpengaruh dalam
51
pembentukan sikap dan tingkah laku mereka. Oleh karena itu apa dan
bagaimana tingkah laku yang dilakukan seorang ayah akan berpengaruh
juga pada tingkah laku anak-anak. Jika si ayah memberikan keteladanan
sebagai penolong dalam keluarga, maka akan terkesan pula pada hati anak-
anak akan keberhasilan didikan ayah terhadap anak-anaknya.
2. Membiasakan Shalat Berjamaah
Sebagai “bingkai” atau “kerangka” keagamaan, shalat adalah titik
tolak yang sangat baik untuk pendidikan keagamaan seterusnya. Pertama-
tama, shalat itu mengandung arti penguatan ketaqwaan kepada Allah,
memperkokoh dimensi vertikal hidup manusia, yaitu “tali hubungan
dengan Allah” (habl-un min Allah). Segi ini dilambangkan dalam takbirat-
u-‘l-ihram, yaitu takbir atau ucapan Allahu Akbar pada pembukaan shalat.
Kedua, shalat itu menegaskan pentingnya memelihara hubungan dengan
sesama manusia secara baik, penuh kedamaian, dengan kasih atau rahmat
serta berkah Tuhan. Jadi memperkuat dimensi horizontal hidup manusia,
yaitu “tali hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas). Ini
dilambangkan dengan taslim atau ucapan salam pada akhir shalat dengan
anjuran kita menengok ke kanan dan ke kiri.
Shalat pun dirancang agar kita senantiasa selalu ingat kepada
Allah. Seperti firman Allah kepada Nabi Musa:
52
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat aku (Q.S. Taahaa [20]: 14) (Departemen Agama RI,
2005: 314).
Anak yang masih kecil, kegiatan ibadah yang lebih menarik
baginya adalah yang mengandung gerak, sedangkan pengertian tentang
ajaran agama belum dapat dipahaminya. Karena itu, ajaran yang abstrak
tidak menarik perhatiannya. Salah satu ibadah yang mengandung gerak
adalah shalat. Anak-anak suka melakukan shalat meniru orang tuanya
kendatipun ia tidak mengerti apa yang dilakukan itu. Pengalaman
keagamaan yang menarik bagi anak di antaranya shalat berjama’ah.
Meskipun shalat bersama masih termasuk segi ritual dan
formal keagamaan, namun pelaksanaannya secara bersama dalam
keluarga dapat memberikan dampak yang sangat positif kepada
seluruh anggota keluarga. Ada ungkapan Inggris yang mengatakan
bahwa, “A family who pray together will never fall apart” (sebuah
keluarga yang selalu berdoa atau sembahyang bersama tidak akan
berantakan) (Madjid, 1997a: 127).
3. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Ketuhanan dalam Diri Anak
Pendidikan Islam, sering dikatakan memiliki sasaran dan dimensi
hidup, yaitu penanaman rasa takwa kepada Allah dan pengembangan rasa
kemanusiaan kepada sesamanya, dimensi hidup ketuhanan ini juga disebut
jiwa rabbaniyah (QS. Al-Imron: 79) atau biasa disebut tauhid rubuniyah,
suatu bentuk keyakinan bahwa semua yang ada di alam semesta
dikendalikan oleh Allah yang Maha Esa, tanpa campur tangan sekutu lain
(Madjid, 1997a: 130).
Adapun wujud nyata substansi jiwa ketuhanan itu adalah nilai-nilai
keagamaan yang harus ditanamkan dalam pendidikan. Dan jika dicoba
53
merinci apa saja wujud nyata atau substansi jiwa Ketuhanan ini, maka kita
dapatkan nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus
ditanamkna kepada anak. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang
sesungguhnya akan menjadi inti pendidikan keagamaan. Di antara nilai-
nilai yang sangat mendasar adalah:
a. Taqwa
Menurut Nurcholish Madjid kata taqwa itu sendiri merupakan
serapan dari bahasa Arab yang biasa diterjemahkan sebagai sikap takut
kepada Allah atau sikap menjaga diri dari perbuatan jahat, atau sikap
patuh memenuhi segala kewajiban dan menjauhi segala larangan
Allah. Meskipun penjelasan itu semua mengandung kebenaran, tetapi
belumlah merangkum seluruh tentang taqwa. “Takut kepada Allah”
tidak mencakup segi positif taqwa, sedangkan sikap “menjaga diri dari
perbuatan jahat” hanya menggambarkan satu segi saja dari keseluruhan
makna taqwa. Muhammad Asad, seorang penerjemah dan penafsir Al-
Qur’an yang terkenal masa kini, menerjemahkan kata taqwa dengan
menggunakan bahasa Inggris “God Consiousness”, yakni, “kesadaran
Ketuhanan”. Dan kesadaran Ketuhanan sebagai uraian tentang taqwa
sejiwa dengan perkataan “rabbaniyah” atau “ribbiyah” (semangat
ketuhanan) yang dalam kitab suci diisyaratkan sebagai tujuan
diutusnya para Nabi dan Rasul. Selanjutnya, yang dimaksud dengan
“kesadaran atau semangat Ketuhanan” itu ialah seperti dijabarkan
Muhammad Asad kesadaran bahwa Tuhan adalah Maha Hadir
54
(omnipresent) dan kesediaan untuk menyesuaikan keberadaan diri
seseorang di bawah sorotan kesadaran itu (Madjid, 1997b: 141).
Satu hal yang sangat penting kita ketahui adalah bahwa taqwa
merupakan asas hidup. Jadi, asas hidup adalah takwa kepada Allah dan
upaya mencapai keridlaan-Nya. Dan semua asas hidup, selain takwa
dan mencapai ridla Allah, diibaratkan sebagai pondasi dari sebuah
bangunan yang didirikan di tepi jurang yang retak. Sehingga ketika
bangunan itu berdiri, justru runtuh dan masuk ke dalam neraka
Jahannam (Madjid, 2005: 89-90).
Bisa ditarik kesimpulan takwa ialah kesadaran penuh bahwa
setiap apa yang kita kerjakan bahwasannya Allah selalu beserta kita,
Allah selalu menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah
memperhitungkan perbuatan kita. Sehingga dalam diri kita timbul
suatu keinsyafan untuk melakukan segala sesuatu yang sekiranya akan
Allah perkenankan atau Allah ridlai (Madjid, 2005: 89-92).
Taqwa kepada Allah sebagai dimensi pertama hidup ini dimulai
dengan pelaksanaan kewajiban formal agama berupa ibadat-ibadat.
Dan pelaksanaan itu harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-
dalamnya akan makna iadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat itu tidak
dilaksanakan hanya semata-mata sebagai ritus formal belaka,
melainkan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita
(Madjid, 1997a: 128).
55
Rasa taqwa kepada Allah itulah kemudian dapat dikembangkan
dengan menghayati keagungan dan kebesaran Tuhan lewat perhatian
kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan
sekitar. Sebab menurut Al-Qur’an hanyalah mereka yang memahami
alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung
di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar
merasakan kehadiran Tuhan sehingga bertaqwa kepada-Nya (Madjid,
1997a: 128).
Jadi jelas sekali, begitu pentingnya penanaman nilai taqwa
dalam diri anak, karena taqwa sebagai fondasi dalam kehidupan. Nilai-
nilai taqwa harus ditanamkan sedini mungkin karena taqwa berarti
penghayatan keagungan akan kebesaran Tuhan dan kesadaran penuh
bahwa setiap apa yang kita kerjakan bahwasannya Allah selalu beserta
kita, Allah selalu menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah
memperhitungkan perbuatan kita. Sehingga dalam diri kita timbul
suatu keinsyafan untuk melakukan segala sesuatu yang sekiranya akan
Allah perkenankan atau Allah ridla. Dan nilai itulah yang harus
ditanamkan pada diri anak.
b. Iman
Iman yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Allah.
Jadi tidak cukup hanya percaya kepada adanya Allah, tetapi harus pula
“mempercayai” Alah itu dalam kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang
bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang
56
adanya kualitas serupa kepada sasuatu apa pun yang lain. Selanjutnya,
dan sebagai konsekuensinya, karena kita mempercayai Allah, kita
harus bersandar sepenuhnya kepada-Nya, berpandangan positif
kepada-Nya, “menaruh kepercayaan” kepada-Nya.
Sebagai manusia kita harus berkeyakinan bahwa iman itu pasti
akan membawa pengaruh kepada kehidupan. Dan pertama kali yang
harus kita imani adalah Allah, bahwa barang siapa yang beriman
kepada Allah, maka Allah berjanji akan menyediakan kehidupan yang
baik di dunia ini, dan juga kehidupan yang lebih baik di akherat.
Kemudian yang kedua ialah kita beriman kepada Malaikat. Kita
percaya bahwa hidup di dunia ini tidak hanya dalam lingkungan
makhluk-makhluk lahiri, tetapi juga ada makhluk-makhluk lain yang
disebut ghaib termasuk malaikat yang salah satunya diperintahkan
Allah untuk mencatat amal baik dan buruk kita dan kalau kita yakin
akan hal itu niscaya kita akan selalu ingin berbuat baik karena selalu
merasa diawasi oleh malaikat. Kemudian kita percaya kepada kitab-
kitab suci, namun perlu diingat bahwa kitab suci yang masih murni
dan asli masih memuat kehendak Allah hanyalah Al-Qur’an, karena
dengan Al-Qur’an kita mengetahui rincian lebih lanjut bagaimana
caranya hidup yang benar di muka bumi ini. Dan selanjutnya percaya
kepada Nabi, sebab para Nabi itulah yang membawa kitab-kitab suci,
terutama bagi mereka yang ditugasi untuk menyampaikan kepada
orang lain sehingga martabatnya naik menjadi Rasul.
57
Dengan beriman kepada Allah maka berarti kita menyadari
tentang adanya asal atau tujuan hidup. Bahwa hidup kita berasal dari
Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya (Madjid, 1997a: 170).
Kalau kita menyadari hal itu, maka kita menyadari hidup itu
harus ditempuh dengan penuh kesungguhan, penuh tanggung jawab,
sebab hidup ini tidak hanya ada asal dan tujuan saja. Beriman kepada
hari kemudian merupakan penegasan tentang tujuan hidup ini, di mana
ada pertanggungjawaban, dan bersifat pribadi, tidak ada
pertanggungjawaban kolektif. Jika kita beriman kepada Allah dan hari
kemudian, maka salah satu konsekuensinya kita akan menjalani hidup
ini dengan sungguh-sungguh karena kita akan
mempertanggungjawabkan semua tingkah laku kita di hari kemudian.
Dan jika kita yakin bahwa ada hari kemudian atau yakin adanya hidup
lain selain hidup sekarang, dan dimintai pertanggungjawaban kelak,
membawa konsekuensi pada keyakinan akan adanya qada dan qadar
yang berlaku dalam hidup dan kehidupan manusia di dunia yang fana
ini yang membawa akibat kehidupan di alam baka kelak.
Dari uraian singkat tersebut di atas, tampak logis dan
sistematisnya pokok-pokok keyakinan Islam yang terangkum dalam
istilah Rukun Iman. Pokok-pokok keyakinan ini merupakan asas
seluruh ajaran Islam, seperti telah diuraikan di atas maka Rukun Iman
jumlahnya enam, yang dimulai dari (a) keyakinan kepada Allah, (b)
keyakinan kepada Malaikat-malaikat, (c) keyakinan kepada Kitab-
58
kitab Suci, (d) keyakinan kepada para Nabi dan Rasul Allah, (e)
keyakinan akan adanya Hari Akhir, (f) keyakinan pada Qada an Qadar
Allah. Pokok-pokok keyakinan atau Rukun Iman ini merupakan akidah
Islam.
Dalam menanamkan nilai-nilai keimanan pada diri anak
dilakukan orang tua sedini mungkin, sebagai orang tua harus terus
berupaya mengajarkan nilai-nilai keimanan kepada anak tentunya
dengan cara baik, lembut dan kasih sayang, selain itu juga harus
memahani tingkat usia mereka. Menanamkan nilai-nilai keimanan
kepada anak harus dengan kesabaran dan ketelatenan apabila anak
belum mengerti hendaklah mengulanginya pada waktu berikutnya
sampai anak mengerti dan mengaplikasikan nilai-nilai keimanan dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Islam
Menurut Nurcholish Madjid Islam adalah sikap tunduk, patuh,
atau taat kepada Tuhan yang semula digunakan untuk menunjukkan
semangat yang kemudian digunakan sebagai nama yaitu khususnya
semangat dan nama agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
(Madjid, 1997b: 140).
Dalam pengertian lain Nurcholish Madjid mengartikan Islam
sebagai kelanjutan adanya iman, maka sikap pasrah kepadanya
(yang merupakan makna asal perkataan Arab Islam), dengan
meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu
mengandung hikmah kebaikan, kita yang dlaif ini tidak
mungkin mengetahui seluruh wujudnya (Madjid, 2002: 2).
59
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Islam ialah sikap pasrah,
taat, petuh dan tunduk terhadap aturan-aturan dan ketentuan yang
ditetapkan Tuha serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya untuk
menempuh jalan keselamatan guna mendapatkan kedamaian,
kesejahteraan, kesentosaan dengan keamanan dan kedamaian serta
mulia kedudukannya di dunia sampai di akhirat.
d. Ikhlas
Ikhlas yaitu sikap murni tingkah laku dan perbuatan, semata-
mata demi memperoleh ridla dan perkenaan Allah, dan bebas dari
pamrih lahir dan batin, tertutup maupun tebuka. Dengan sikap yang
ikhlas orang akan mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batin
dan lahirnya, baik pribadi maupun sosial (Madjid, 1997a: 131).
Nurcholish Madjid mengartikan keikhlasan sama dengan
taubat, yakni kembali kepada Allah. Begitu juga Inabah. Wa anibu ila
rabikum wa aslim-u lah-u, yang artinya, “Kembalilah kepada Tuhan
dan pasrahlah kepada-Nya”. Terimalah apapun yang ada dari Tuhan itu
tanpa persolan. Ini juga yang disebut ihklas. Sedemikian halusnya
ikhlas itu sehingga hadist kudsi disebutkan sebagai rahasia antara
Tuhan dengan seorang hamba-Nya yang saleh, al-ikhlash-u sirr-un min
asrari, ikhlas itu adalah slah satu dari rahasiaku, awda ‘tuhu qalba
man ahbab-tuhu, yang aku titipkan dalam kalbu orang yang aku cintai,
la ya’lam-u syaithan fayufsida, syaitan tidak mengetahui keikhlasan
orang itu sehingga tidak bisa dirusak olehnya, wal la l-mala ikat-u
60
fayaktub-uhu, dan malaikatpun juga tidak mengetahui keikhlasan
seorang itu sehingga tidak bisa dicatat oleh malaikat. Karena ikhlas
adalah rahasia antara kita dan Allah, maka untuk menjadi ikhlas kita
memerlukan latihan terus menerus (Madjid, 2005: 107).
e. Tawakal
Tawakal (dalam ejaan yang lebih tepat ‘tawakkul’): yaitu sikap
senantiasa bersandar kepada Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya
dan keyakinan bahwa ia akan menolong kita dalam mencari dan
menemukan jalan yang terbaik. Karena kita mempercayai atau
menaruh kepercayaan kepada Allah, maka tawakkal adalah suatu
kemestian (Madjid, 1997a: 131).
Kemudian tawakkal dapat diartikan kesadaran yang
mendalam bahwasannya Allah selalu beserta kita, mempunyai
efek atau pengaruh yang besar sekali bagi hidup kita.
Kesadaran itu memberikan kemantapan dalam hidup. Bahwa
kita ini tidak pernah sendirian. Oleh karena itu kita tidak akan
pernah takut menempuh hidup ini dan kita bersandar kepada-
Nya. Maka sikap bersandar kepada Allah itu disebut tawakkal.
Salah satu sifat Allah ialah al-Wakil artinya tempat bersandar
(Madjid, 2005: 234).
Sikap tawakkal ini harus ditanamkan kepada anak sedini
mungkin, dengan sikap tawakkal diharapkan seorang anak akan
menyandarkan hidupnya hanya kepada Allah. Seorang anak pasti akan
mengalami beberapa fase perkembangan dalam kehidupannya dan
fase-fase tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi
emosionalnya pula. Semakin beranjak dewasa anak juga akan
mengalami berbagai macam problem jika seorang anak sudah
61
menyandarkan dirinya kepada Allah maka anak tersebut bisa melewati
beberapa fase dan perubahan kehidupannya dengan baik.
f. Syukur
Menurut Nurcholish Madjid, syukur yaitu sikap penuh rasa
terima kasih dan pengharapan, dalam hal ini atas segala nikmat dan
karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan Allah
kepada kita. Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis kepada hidup
ini dan pandangan senantiasa berpengharapan kepada Allah. Karena itu
sikap bersyukur kepada Allah adalah sesungguhnya sikap bersyukur
kepada diri sendiri. Karena manfaat besar kejiwaannya yang akan
kembali kepada yang bersangkutan (Madjid, 1997a: 131).
Rasa syukur sudah seharusnya ditingkatkan, syukur adalah
pernyataan hati atas kecintaan pada Zat yang memberi nikmat, gerak
anggota tubuh dalam beribadah serta diungkapkan secara lisan dengan
selalu mengingat-Nya dan memuji-Nya.
g. Sabar
Sabar dalam bahasa Arabnya al-shabr, yang arti sesungguhnya
adalah ketabahan, kesanggupan menahan diri, dan kesediaan untuk
tidak mendahulukan kepentingan diri sendiri yang merugikan
kepentingan orang banyak (Madjid, 1997b: 143).
Lebih lanjut lagi Nurcholish Madjid mengartikan sabar
yaitu sikap tabah mengahadapi segala kepahitan hidup, besar
dan kecil, lahir dan batin, fisiologis maupun psikologis, karena
keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari
Allah dan kembali kepada-Nya. Jadi sabar adalah sikap batin
62
yang tumbuh karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup,
yaitu Allah SWT (Madjid, 1997a: 132).
Tentu masih banyak lagi nilai-nilai keagamaan pribadi yang
diajarkan dalam Islam. Namun kiranya sedikit yang tersebutkan di atas
itu akan cukup mewakili nilai-nilai keagamaan mendasar yang perlu
ditanamkan kepada anak, sebagai bagian amat penting dari pendidikan
keagamaannya. “Biasanya, orang tua atau pendidik akan dapat
mengembangkan pandangan tersebut sehingga nilai-nilai keagamaan
lainnya sesuai dengan perkembangan anak” (Madjid, 1997a: 131-132).
4. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Kemanusiaan dalam Diri Anak
Berkenaan dengan nilai kemanusiaan, patut sekali kita renungkan
sabda-sabda nabi sebagai berikut: “Yang paling banyak memasukkan
orang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi.”
“Tiada sesuatu apapun yang dalam timbangan (nilainya) lebih berat
daripada keluhuran budi” (Madjid, 1997a: 133). Budi pekerti adalah
perkataan majemuk budi dan pekerti, gabungan kata yang berasal dari
bahasa Sansekerta dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Sansekerta budi
artinya alat kesadaran (batin), sedang dalam bahasa Indonesia pekerti
berarti kelakuan.
Secara terminologis, akhlak berarti kemauan yang kuat tentang
sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi adat
(membudaya) yang mengarah kepada kebaikan ataupun keburukan.
Akhlak dapat juga berarti tingkah laku yang telah melekat pada diri
63
seseorang karena hal itu telah sering dilakukan secara terus-menerus,
sehingga ia berbuat secara sopan.
Keterkaitan yang erat antara taqwa dan budi luhur itu
adalah juga makna keterkaitan antara iman dan amal shaleh, salat
dan zakat, hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia,
bacaan takbir pada pembukaan shalat dan bacaan pendeknya,
terdapat keterkaitan yang mutlak antara ketuhanan sebagai dimensi
hidup manusia yang vertikal dan kemanusiaan sebaagi dimensi
hidup manusia yang horizontal. Oleh karena sedemikian kuatnya
penegasan-penegasan mengenai keterkaitan antara dua dimensi itu,
maka pendidikan agama, baik di dalam keluarga maupun di
sekolah, tidak dapat disebut berhasil kecuali pada anak didik
tertanam dan tumbuh dengan baik kedua nilai itu: Ketuhanan dan
Kemanusiaan, Taqwa dan Budi Luhur (Madjid, 1997a: 133).
Bagitu pentingnya penanaman akhlak bagi anak, sehingga para
ulama pun memperingatkan bahwa kejayaan suatu bangsa tergantung
kepada keteguhan akhlak, budi pekerti, atau moral bangsa itu. Biasanya
peringatan itu dikaitkan dengan adagium yang berbentuk syair Arab, yang
artinya: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama akhlaknya tegak,
dan jika akhlaknya runtuh, maka runtuh pulalah bangsa-bangsa itu”
(Madjid, 2002: 184). Oleh karena anak adalah penerus bangsa maka sudah
selayaknya orang tua menanamkan budi pekerti atau akhlakul karimah
bagi anaknya sedini mungkin agar nanti besarnya mempunyai keteguhan
akhlak yang kuat.
Di atas kita kemukakan beberapa nilai ketuhanan yang amat perlu
ditanamkan kepada anak. Tentang nilai-nilai budi luhur, sesungguhnya
kita dapat mengetahuinya secara akal sehat atau “common sense”
mengikuti hati nurani kita. Dan memang begitulah petunjuk Nabi, bahwa
kita akan mengetahui amal perbuatan yang berbudi luhur jika kita rajin
64
bertanya kepada hati nurani kita. Justru dalam agama Islam hati kita
disebut nurani (dalam bahasa Arab, nurani, artinya bersifat cahaya atau
karena terang), karena baik menurut Al-Qur’an maupun sunnah Nabi, hati
kita adalah modal primordial untuk menerangi jalan hidup kita sehingga
kita terbimbing ke arah yang benar dan baik, yakni ke arah budi luhur.
“Tetapi sekadar untuk pegangan operatif dalam menjalankan pendidikan
keagamaan kepada anak. Mungkin nilai-nilai akhlak berikut ini patut
sekali dipertimbangkan oleh orang tua untuk ditanamkan kepada anak dan
keturunannya adalah sebagai berikut” (Madjid, 1997a: 133).
a. Silaturahmi (dari bahasa Arab, shilat al-rahim): yaitu pertalian rasa
cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara sudara, kerabat,
tetangga dan sebagainya. Sifat utama Tuhan adalah kasih. Sebagai
satu-satunya sifat Ilahi yang diwajibkan sendiri atau dirinya. Maka
manusia pun harus cinta kepada sesamanya, agar Allah cinta
kepadanya. “Kasihlah kepada orang di bumi, maka Dia (Tuhan) yang
ada di langit akan kasih kepadamu.”
b. Persaudaraan (ukhuwah): yaitu semangat persaudaraan, lebih-lebih
sesama kaum beriman seperti disebutkan di Al-Qur’an, yang intinya
ialah hendaknya kita tidak merendahkan golongan yang lain, kalau-
kalau mereka itu lebih baik daripada kita sendiri, tidak saling
menghina, saling mengejek, banyak berprasangka, suka mencari-
mencari kesalahan orang lain, dan suka mengumpat (membicarakan
keburukan yang tidak ada di depan kita).
65
c. Persamaan (al-musawwah): yaitu pandangan bahwa semua manusia
tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya,
dan lain-lain, adalah sama dalam harkat dan martabat. Tinggi rendah
manusia hanya ada dalam pandangan Tuhan yang tahu kadar taqwa itu,
prinsip itu dipaparkan dalam kitab suci sebagai kelanjutan pemaparan
tentang prinsip persaudaraan di kalangan kaum beriman. Jadi
persaudaraan berdasarkan iman (ukhuwah islamiyah) diteruskan
dengan persaudaraan berdasarkan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah).
d. Adil (dari perkataan Arab “adl”): yaitu wawasan yang seimbang atau
balanced dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau
seseorang, dan seterusnya. Jadi tidak secara apriori menunjukkan sikap
positif dan negatif. Sikap kepada sesuatu atau seseorang dilakukan
hanya setelah mempertimbangkan segala segi tentang sesuatu atau
seseorang tersebut secara jujur dan seimbang, dengan penuh i’tikad
baik dan bebas dari prasangka. Sikap ini juga disebut tengah dan Al-
Qur’an menyebutkan bahwa kaum beriman dirancang oleh Allah untuk
menjadi golongan tengah agar dapat menjadi saksi untuk sekalian umat
manusia, sebagai kekuatan penengah (wasith, Indonesia “wasit”).
e. Baik sangka (husn-u ‘zhann): yaitu sikap penuh baik sangka kepada
sesama manusia, berdasarkan ajaran agama bahwa manusia itu pada
asala dan hakekat aslinya adalah baik, karena diciptakan Allah dan
dilahirkan atas fithrah atau kejadian asal yang suci. Sehingga manusia
66
itu pun hakikatnya adalah makhluk yang kecenderungan kepada
kebenaran dan kebaikan (hanif).
f. Rendah hati (tawadlu): yaitu sikap yang tumbuh karena keinsyafan
bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya
manusia "mengklaim” kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik
dan perbuatan yang baik, yang itu pun hanya Allah akan menilainya.
Lagi pula kita harus rendah hati karena “di atas setiap orang yang tahu
(berilmu) adalah Dia yang Maha Tau (maha berilmu).” Apabila sesama
orang yang beriman, sikap rendah hati itu adalah suatu kemestian.
Hanya kepada mereka yang jelas-jelas menentang kebenaran kita
diperbolehkan untuk bersikap “tinggi hati”.
g. Tepat janji (al-Waffa): salah satu sifat orang yang benar-benar beriman
ialah sikap selalu menepati janji bila membuat perjanjian. Dalam
masyarakat dengan pola hubungan yang lebih kompleks dan luas,
sikap janji lebih-lebih lagi merupakan unsur budi luhur yang amat
diperlukan dan dipuji.
h. Lapang dada (insyirah): yaitu penuh sikap kesediaan menghargai
orang lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya,
seperti dituturkan dalam Al-Qur’an mengenai sikap Nabi sendiri
disertai pujian kepada beliau. Sikap terbuka dan toleran serta kesediaan
bermusyawarah secara demokratis terkait erat sekali dengan budi luhur
lapang dada ini.
67
i. Dapat dipercaya (al-amanah): yaitu salah satu konsekuensi iman ialah
amanah atau penampilan diri yang dapat dipercaya. Amanah sebagai
budi luhur adalah lawan dari khianat yang amat tercela. Keteguhan
masyarakat memerlukan orang-orang para anggotanya yang terdiri dari
pribadi-pribadi yang penuh amanah dan memiliki rasa tanggung jawab
yang besar.
j. Perwira (iffah atau ta’afuff): yaitu sikap penuh harga diri namun tidak
sombong, dan tidak mudah menunjukkan sikap memelas atau iba
dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan
mengharapkan pertolongannya.
k. Hemat (qawamiyah): yaitu sikap tidak boros (israf) dan tidak pula
kikir (qatr) dalam menggunakan harta, melainkan sedang (qawwam)
antara keduanya. Apalagi Al-Qur’an menggambarkan bahwa orang
yang boros adalah teman setan yang menentang Tuhan-Nya.
l. Dermawan (al-munfiqun, menjalankan infaq): yaitu sikap kaum
beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama
manusia, terutama mereka yang kurang beruntung (para fakir miskin
dan terbelenggu oleh perbudakan dan kesulitan hidup lainnya) dengan
mendermakan sebagian harta benda yang dikaruniakan dan
diamanatkan Tuhan kepada mereka. Sebab manusia tidak akan
memperoleh kebaikan sebelum mendermakan sebagian dari harta yang
dicintainya itu (Madjid, 1997a: 137).
68
Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh
dan teladan dari orang tua. Perilaku dan sopan santun orang tua dalam
hubungan dan pergaulan ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap
anak-anaknya, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain di dalam
lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi teladan
bagi anak-anak.
Sama halnya dengan nilai-nilai ketuhanan yang membentuk
ketaqwaan tersebut di muka, nilai-nilai kemanusiaan yang membentuk
akhlak mulia di atas itu masih bisa ditambah dengan deretan nilai yang
banyak sekali. Namun kiranya yang tersebut di atas itu akan sedikit
membantu mengidentifikasi agenda peranan pendidikan agama dalam
keluarga yang lebih konkret dan operasional. Sekali lagi, pengalaman
nyata orang tua dan pendidik akan membawanya kepada kesadaran akan
nilai-nilai budi luhur lainnya yang lebih relevan untuk perkembangan
anak.
Tanggung jawab pendidikan anak ini sungguh amat berat,
khususnya bagi orang tua. Karena itu, kita hendaknya tidak putus asa
memohon pertolongan kepada Allah untuk memperoleh bimbingan dan
petunjuk-Nya. Seperti pengakuan yang lebih mendalam dalam ajaran
kesufian Islam, manusia tidak akan mampu melaksanakan apa-apa,
termasuk melaksanakan perbuatan baik seperti mendidik anak, jika tanpa
bantuan dan bimbingan Allah, karena tiada daya, tidak pula kemampuan,
kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
69
5. Menerapkan Pola Asuh Anak yang Benar
Pola asuh adalah tata sikap dan perilaku orang tua dalam membina
kelangsungan hidup anak, perlindungan anak secara menyeluruh, baik
fisik, sosial, maupun rohani. Pola asuh juga berarti cara atau model dan
sikap orang tua dalam merawat, mendidik anak dalam mengembangkan
seluruh aspek pada diri anak.
Menurut Nurcholish Madjid berkaitan dengan pendidikan agama
dalam keluarga, dalam mengasuh atau mendidik anak, orang tua sangat
berperan aktif dalam menumbuhkembangkan pendidikan moral dan agama
anak. Dan peran orang tua adalah tulada atau keteladanan yang dijiwai
dengan semangat menanamkan nilai-nilai religius dalam diri anak. Orang
tua tidak hanya mengajarkan anak tentang bagaimana ritual-ritual dalam
beribadah seperti shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Namun lebih
dari itu, orang tua dituntut untuk lebih menekankan tentang nilai-nilai apa
yang terkandung dalam ritual-ritual tersebut, yang kemudian nilai-nilai
tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan agama sejatinya baru mempunyai makna yang hakiki
jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang
hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada
sesama manusia (akhlaqul karimah). Yang penting dan harus ditanamkan
pada diri anak adalah adanya penghayatan agama. Pendidikan agama yang
diberikan dalam keluarga harus dibarengi dengan makna dan nilai yang
mendalam (Madjid, 1997a: 94).
70
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Signifikansi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga
Banyak orang tua mempercayakan seratus persen pendidikan agama
bagi anaknya ke sekolah, karena di sekolah ada pendidikan agama dan ada
guru agama. Orang tua agaknya merasa bahwa upaya itu telah mencukupi.
Sebagian orang tua menambah pendidikan agama (Islam) bagi anaknya
dengan cara menitipkan anaknya ke ‘pesantren sungguhan’, pesantren kilat,
atau mendatangkan guru agama ke rumah. Dengan cara itu, mereka mereka
mengira bahwa anak-anak mereka akan menjadi orang yang beriman dan
bertaqwa. Tindakan orang tua seperti itu merupakan tindakan yang benar.
Tetapi itu ternyata belum mencukupi.
Inti agama adalah iman. Inti keberagamaan ialah keberimanan.
Keberimanan itu tidak dapat diajarkan di sekolah, di pesantren, ataupun
dengan cara mengundang guru agama ke rumah. Di sekolah dan pesantren
diajarkan pengetahuan tentang iman, keimanan, dan keberimanan. Pengajaran
itu bersifat kognitif saja, berupa penyampaian pengetahuan (pengetahuan
tentang iman, keimanan, dan keberimanan). Adapun, keberimanan itu adalah
sesuatu yang berada di dalam hati (al-qalb). Keimanan itu bukan di kepala,
bukan berupa pengetahuan. Keberimanan itu bukan persoalan kognitif. Karena
iman itu di dalam hati, bukan di kepala, maka iman tidak dapat diajarkan.
71
Lantas bagaimana menjadikan seseorang beriman? Nabi saw. mengajarkan
bahwa keberimanan itu perlu ditanamkan.
Penanaman iman itu harus dimulai sejak dini sekali. Tatkala anak itu
ada di dalam kandungan ibunya, penanaman keimanan perlu terus dilakukan.
Caranya, sama saja dengan mendidik anak yang sudah lahir. Akan tetapi,
pendidikan keimanan pada masa ini dilakukan oleh atau kepada ibunya. Hasil
penelitian psikologi menjelaskan bahwa apa-apa yang dialami ibu hamil akan
mempengaruhi bayi yang dikandungnya. Apabila ibunya mendapatkan
pendidikan keimanan, anak yang dikandungya juga akan memperoleh
pendidikan keimanan.
Tatkala bayi lahir, ada hal-hal yang harus dilakukan oleh ayah atau
ibunya, antara lain memberinya nama yang baik. Ini merupakan salah satu
bentuk penanaman iman pada bayi itu. Nama yang baik akan memberikan
pendidikan kepada anak itu kelak. Banyak hadis Nabi Saw. yang memberikan
petunjuk kepada kita tentang cara melaksanakan pendidikan keimanan pada
anak di bawah lima tahun.
Nabi mengajarkan bahwa pendidikan keimanan itu pada dasarnya
dilakukan oleh orang tuanya. Caranya melalui peneladanan dan pembiasaan.
Nah, peneladanan dan pembiasaan inilah yang tidak mungkin dilakukan di
sekolah, pesantren, atau oleh guru agama yang diundang ke rumah. Hanya
kedua orang tuanya itulah yang mungkin dapat melakukan hal itu. Penanaman
keimanan di rumah tangga saat ini memiliki dua kendala. Pertama, banyak
72
orang tua yang belum menyadari hal itu. Kedua, banyak orang tua yang belum
mengetahui caranya.
Untuk orang tua yang belum menyadari tugasnya, mereka perlu
mencamkan firman Allah dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, Allah
memerintahkan manusia agar menjaga dirinya dan keluarganya dari siksa
neraka. Perintah ini ialah perintah agar menjaga keimanan. Perintah ini
ditujukan kepada orang tua di rumah, bukan pada guru di sekolah, kiai di
pesantren, atau guru agama yang diundang ke rumah. Tugas guru agama, kiai,
dan guru agama yang diundang ke rumah adalah mengajarkan iman,
keimanan, dan keberimanan.
Adapun, untuk orang tua yang belum mengetahui caranya, seperti telah
disebutkan sebelumnya, ialah dengan peneladanan dan pembiasaan. Yang
meneladankan dan membiasakan tentulah kedua orang tua anak tersebut.
Masuknya iman ke dalam hati anak-anak memang sangat sulit diidentifikasi.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. dalam
menanamkan iman kepada keluarganya dan para sahabatnya dapat kita jadikan
sebagai petunjuk tentang cara masuknya iman tersebut ke dalam hati.
Orang tua adalah orang yang menjadi anutan anaknya. Setiap anak,
mula-mula mengagumi kedua orang tuanya. Semua tingkah orang tuanya
ditiru oleh anak itu. Karena itu, peneladanan sangat perlu. Ketika akan makan,
misalnya, ayah membaca basmalah, anak-anak akan menirukan itu. Tatkala
orang tuanya salat, anak kecil itu diajak salat, sekalipun mereka belum
mengetahui cara dan bacaannya.
73
Tatkala puasa Ramadhan, orang tuanya mengajak anak kecil itu makan
sahur, meskipun pada pukul sembilan mereka sudah berbuka. Tatkala salat
Idul Fitri, anak-anak itu dibawa ke lapangan atau mesjid (meskipun mereka
hanya ribut-ribut saja di sana, tetapi suasana itu akan berpengaruh kepada
mereka). Tatkala ayah datang dari bepergian atau tatkala akan meninggalkan
rumah, ucapkanlah salam. Begitulah kita lakukan pada ajaran-ajaran yang lain.
Intinya, anak itu dilatih dengan cara meneladankan, dan itu dibiasakan.
Begitulah yang dilakukan Nabi Muhammad. Hasilnya, keluarga Nabi Saw.
dan para sahabatnya menjadi orang-orang yang beriman kuat.
Orang tua adalah pendidik utama dan pertama dalam hal penanaman
keimanan bagi anaknya. Disebut pendidik utama, karena besar sekali
pengaruhnya. Disebut pendidik pertama, karena merekalah yang pertama
mendidik anaknya. Sekolah, pesantren, dan guru agama yang diundang ke
rumah adalah institusi pendidikan dan orang yang sekadar membantu orang
tua (Tafsir, 1996: 4-8). Keimanan sangat diperlukan oleh anak-anak kita untuk
menjadi landasan bagi akhlak mulia. Keimanan diperlukan agar akhlak anak
kita tidak merosot, sedangkan keberimanan diperlukan agar anak-anak itu
mampu hidup tenteram serta konstruktif pada zaman global nanti.
Anak-anak perlu pendidikan agama semenjak kecil, hal tersebut
mengharuskan orang tua untuk memanfaatkan masa kanak-kanak sebaik-
baiknya dengan cara menanamkan nilai-nilai keagaaman, sebab anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Di sinilah letak pentingnya pengalaman dan
74
pendidikan agama pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan
seseorang.
Jadi, pendidikan agama di dalam keluarga sangatlah perlu, karena
keluargalah satu-satunya institusi pendidikan yang mampu melakukan
pendidikan keberimanan bagi anak-anaknya. Melakukan pendidikan agama
dalam keluarga, berarti ikut berusaha menyelamatkan generasi muda. Dengan
demikian, berarti keluarga itu ikut berusaha menyelamatkan bangsa. Dengan
cara ini diharapkan generasi muda kita kelak menjadi warga negara yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Keimanan dan
ketakwaan itulah yang akan menjadi landasan hidup mereka, menunjukkan
tujuan hidup mereka, serta menjadi filter dalam menilai mana yang baik dan
mana yang buruk pada zaman global itu.
B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut
Nurcholish Madjid dengan Ayat Al-Qur’an
1. Menjadi Orang Tua Ideal bagi Anak
Jika ingin memiliki anak yang berbakti dan shalih, maka tidak ada
pilihan kecuali bersedia dan berusaha untuk menjadi orang tua yang ideal.
Dalam Islam, orang tua memiliki kedudukan yang sangat tinggi terhadap
anak-anaknya. Hal itu tentu saja merupakan sebuah kebanggaan bagi
orang tua. Kehormatan itu sebagai bentuk pemuliaan yang tidak diberikan
Allah selain kepada orang tua. Al-Qur’an telah banyak memberikan isyarat
dan tuntunannya kepada manusia tentang bagaimana mendudukkan orang
75
tua sebagai objek pengabdian dan bakti yang cukup penting (Az-
Zhecolany, 2011: 113-114). Allah Swt. berfirman:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-
bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (QS. An-
Nisaa’ [4]: 36) (Departemen Agama RI, 2005: 85).
Akan tetapi, perlu disadari oleh para orang tua bahwa kedudukan
dan kemuliaan yang begitu tinggi itu tidak diberikan oleh Allah Swt.
secara Cuma-Cuma. Namun, ada yang harus dibayar untuk mencapai
posisi tersebut. Keutamaan derajat yang diberikan oleh Allah Swt. itu
rupanya menuntut kewajiban dan tanggung jawab yang harus ditunaikan
orang tua kepada anak-anaknya. Berikut ini akan dipaparkan mengenai apa
dan bagaimana orang tua ideal itu.
a. Ideal dalam tanggung jawab
76
1) Orang tua harus mampu menjadi pemimpin
2) Memberi nafkah
3) Mendidik
b. Ideal dalam berhubungan dengan anak
1) Selalu berkomunikasi
2) Bersahabat dengan anak
c. Ideal dalam memposisikan diri
1) Dari sisi ayah: perlu menyediakan waktu khusus agar dapat
bersama-sama dengan anak, hindari tingkah laku menghina, jangan
bersifat pasif atau acuh tak acuh pada anak, jadilah figur idola bagi
anak, jika tidak ada seorang ayah dalam rumah sehingga terjadi
kekosongan figur ayah, maka sang ibu harus memastikan peran
pengganti yang bisa diperankan oleh kakek, paman, guru, atau
orang lain yang dianggap pantas sebagai teladan dan bisa menjalin
hubungan harmonis dengan anak.
2) Dari sisi ibu: memiliki akidah dan kepribadian Islam serta
memiliki jiwa seorang pendidik, memiliki kesadaran untuk
mendidik anak-anaknya sebagai aset bangsa, mengetahui dan
menguasai konsep pendidikan anak, memiliki manajemen diri dan
waktu yang baik dengan memakai prinsip skala prioritas.
Dahsyatnya pengaruh orang tua terhadap anak-anaknya tidak
hanya dalam konteks fisik atau material, tetapi juga menyangkut sistem
77
keyakinan atau keimanan (immaterial) anak. Dalam konteks keislaman,
kaitannya dengan peran dan pengaruh orang tua terhadap anak-anaknya,
ditegaskan oleh Rasulullah saw., bahwa anak-anak yang baru lahir
sesungguhnya dalam keadaan bersih (suci). Mereka menjadi Yahudi,
Nasrani, atau Majusi karena peran orang tuanya (Az-Zhecolany, 2011:
134).
Dengan demikian, karena tidak ada pengaruh lain yang lebih besar
daripada pengaruh orang tua kepada anaknya, maka orang tua harus
menyiapkan diri untuk menjadi “pohon” yang baik, agar kelak di setiap
sisi-sisinya tumbuh bibit yang baik juga. Sebab, mustahil sebuah pohon
akan menjadi baik jika bibitnya kurang memenuhi syarat sebagai bibit
yang baik. Demikian juga orang tua harus berpikir berulang kali untuk
melakukan hal-hal yang buruk. Sebab pada saat yang sama, itu berarti
orang tua telah memberikan contoh yang kurang baik bagi anak.
2. Keutamaan Memuliakan Orang Tua
Allah Swt. sangat besar perhatiannya terhadap hak orang tua. Hak
ibu dan bapak menjadi penting untuk didahulukan oleh setiap anaknya,
daripada kepentingan yang lain. Allah mengisyaratkan bahwa berbakti dan
menghormati orang tua merupakan hak orang tua yang wajib dilakukan
anak kapan saja dan dalam kondisi apapun (M. Sanusi, 2013: 14). Islam
menghadirkan perintah tegas bagi seorang mukmin untuk berbuat baik
kepada kedua orang tuanya, dalam firman Allah Swt. berikut ini:
78
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia
telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau
yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai;
berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada
anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS.
Al-Ahqaaf [46]: 15) (Departemen Agama RI, 2005: 505).
Dalam ayat Al-Qur’an, Allah Swt. menempatkan kedua orang tua
di posisi terpenting:
79
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia (QS.
Al-Isra’ [17]: 23) (Departemen Agama RI, 2005: 285).
Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan
mengasihi, menyayangi, mendoakan, taat dan patuh kepada apa yang
mereka perintahkan, melakukan hal-hal yang mereka sukai, dan
meninggalkan sesuatu yang tidak mereka sukai adalah kewajiban yang
harus dilaksanakan kita sebagai anak. Inilah yang disebut birrul walidain.
Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) adalah hak kedua orang
tua yang harus dilaksanakan oleh anak, sesuai dengan perintah Allah Swt.
dan Rasul-Nya, sepanjang keduanya tidak memerintahkan untuk berbuat
maksiat dan menjurus kekufuran kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt. berikut ini:
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang
ibu- bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
80
keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS. Al-Ankabut [29]: 8)
(Departemen Agama RI, 2005: 398).
Seorang anak tidak patut menuruti kemauan atau perintah ayah
atau ibu, bila perintah tersebut menyimpang dari ketentuan yang
disyariatkan (diatur) oleh Allah Swt. Sesuatu yang tidak diketahui oleh
anak terhadap apa yang diperintahkan orang tua, misalnya dalam hal
haram, maka anak boleh tidak mengikutinya.
3. Mendidik dengan Keteladanan
Mendidik dengan keteladanan merupakan cara yang cukup efektif,
karena sebelum anak melakukan sebuah instruksi, mereka sudah
mengetahui dan memahami apa yang dikehendaki orang tuanya. Orang tua
pun akan mudah memberikan instruksi ketika apa yang dikehendaki dari
anak-anaknya, sudah dilakukannya. Metode tersebut akan menjadi
alternatif dari sekian metode pendidikan lainnya dalam lingkungan
keluarga.
Di samping itu, mendidik anak dengan keteladanan merupakan
cara yang cukup efisien, karena orang tua tidak harus capek, menguras
tenaga, dan merasa terbebani secara fisik, waktu maupun materi. Bahkan,
orang tua yang demikian akan memiliki harga diri yang lebih tinggi di
hadapan anak-anak mereka, sesuai dengan peran yang harus dimainkan.
Dalam Al-Qur’an kata-kata keteladanan diistilahkan dengan kata
uswah. Hal ini bisa dilihat dalam ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
81
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS.
Al-Ahzab [33]: 21) (Departemen Agama RI, 2005: 421).
Dalam ayat di atas disebutkan kata uswah yang dirangkaikan
dengan kata hasanah yang berarti teladan yang baik, yang patut diteladani
dari seorang guru dalam beribadah (hablumminallah), maupun dalam
berinteraksi dengan sesama manusia (hablummninannas). Yang kemudian
dijadikan salah satu metode pendidikan yang metode keteladanan yang
bisa diterapkan sampai sekarang dalam upaya mewujudkan tujuan
pendidikan agama (Islam).
Sementara berkaitan dengan teladan yang diberikan oleh
Rasulullah Saw. dalam menjalani hubungan antar sesama manusia
(berakhlak) yaitu bisa dilihat dalam ayat Al-Qur’an berikut:
...
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan
sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya... (QS. Al-Fath
[48]: 29) (Departemen Agama RI, 2005: 516).
82
...
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia... (QS. Al-
Mumtahanah [60]: 1) (Departemen Agama RI, 2005: 550).
Nabi Muhammad Saw. merupakan guru besar bagi umat manusia,
demikian pula dengan Nabi Ibrahim as., keduanya merupakan nabi yang
memiliki gelar “Uswatun Hasanah” yang dicatat Allah di dalam Al-
Qur’an.
Setiap orang tua yang menerapkan pola Uswatun Hasanah
(memberikan teladan baik) dalam pendidikan anak, maka proses dakwah
dan pendidikan keluarga akan berjalan secara normal dan efektif. Di masa
yang krisis keteladanan seperti sekarang ini, keluarga menjadi basis
penting bagi anak untuk menemukan keteladanan. Maka, orang tua sudah
selayaknya menjadi figur pertama bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
ini. Untuk itu ada kiat-kiat yang bisa dilakukan orang tua dalam proses
pembentukan karakter dan akhlak Islami pada anak agar menjadi pribadi
teladan.
a. Orang tua harus menjadi pelaku utama dalam berbuat kebaikan.
b. Istiqomah dalam memberikan keteladanan.
c. Hindari unsur riya dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar orang lain).
d. Orang tua hendaklah mengenalkan tokoh-tokoh teladan dalam Islam.
e. Menghargai nasihat dan kebenaran meskipun dari seorang anak kecil.
f. Mengajak anak berziarah kepada orang-orang yang sholeh.
83
g. Gunakan metode pembiasaan terutama untuk anak usia balita.
h. Gunakan metode dialog pada anak usia remaja.
i. Pilihkan anak-anak sekolah yang memiliki visi dan misi yang sama
dengan orang tua.
j. Berikan mereka peluang dan kesempatan untuk mencerna dan
menerapkan pendidikan agama yang diberikan orang tua.
k. Hargai kemampuan anak dengan bahasa yang dapat dipahaminya dan
dengan cara yang bijaksana, misalnya dengan pujian. Pujian meskipun
sangat sederhana tetapi sangat berarti bagi anak, sayangnya banyak
orang tua yang lebih sering mencela daripada memuji.
Paparan di atas menunjukkan pentingnya keteladanan dalam
mendidik anak, sebab orang tua adalah orang yang paling dekat dengan
anak, terutama dalam hubungan emosionalnya.
4. Pembinaan Iman dan Tauhid Anak
Dalam ayat 13, Luqman menggunakan kata pencegahan dalam
menasihati anaknya agar ia tidak menyekutukan Allah.
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar" (Q.S. Luqman [31]: 13)
(Departemen Agama RI, 2005: 413).
84
Bila kita pahami ayat ini secara sederhana dan pendidikan tauhid
itu dilakukan dengan kata-kata, maka anak Luqman ketika itu telah
berumur sedikitnya dua belas tahun. Sebab kemampuan kecerdasan untuk
dapat memahami hal-hal yang abstrak (maknawi) terjadi apabila
perkembangan kecerdasannya telah sampai ke tahap mampu memahami
hal-hal di luar jangkauan alat-alat inderanya, yaitu umur dua belas tahun.
Syirik adalah suatu hal yang abstrak, tidak mudah dipahami oleh
anak yang perkembangan kecerdasannya belum sampai pada kemampuan
tersebut. Bila kita perhatikan lanjutan ayat tersebut yang berbunyi “Syirik
itu adalah kezaliman yang besar”, maka untuk memahaminya diperlukan
kemampuan mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan yang
diketahui. Biasanya kemampuan demikian, tercapai pada umur kira-kira
empat belas tahun. Maka umur anak Luqman ketika itu sedikitnya empat
belas tahun.
Pembentukan iman seharusnya mulai sejak dalam kandungan,
sejalan dengan pertumbuhan kepribadian. Berbagai hasil pengamatan
pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin yang dalam kandungan, telat
mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang
mengandungnya. Hal tersebut tampak dalam perawatan kejiwaan, di mana
keadaan keluarga, ketika anak dalam kandungan itu, mempunyai pengaruh
terhadap kesehatan mental si janin di kemudian hari.
Do’a dan harapan orang tua yang diucapkan dengan lisan dan
dibisikkan dalam hatinya, akan memantul kepada janin yang ada di dalam
85
kandungan. Setelah si anak lahir, pertumbuhan jasmani anak berjalan
cepat. Perkembangan akidah, kecerdasan, akhlak, kejiwaan, rasa
keindahan dan kemasyarakatan anak, berjalan serentak dan seimbang. Bila
orang tua beriman dan beramal shaleh, sering berdo’a dan mengucapkan
kalimat thaiyibah, maka kalimat itulah yang sering terdengar oleh anaknya
dan menjadi akrab ke hati anak, lalu menjadi bagian dari kepribadiannya,
senantiasa beriman dan bertauhid kepada Allah Swt.
5. Pembinaan Akhlak Anak
a. Akhlak anak terhadap kedua ibu-bapak
Dengan berbuat baik dan berterima kasih kepada keduanya.
Dan diingatkan Allah, bagaimana susah dan payahnya ibu
mengandung dan menyusukan anak sampai umur dua tahun:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam
Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (Q.S.
Luqman [31]: 14) (Departemen Agama RI, 2005: 413).
Bahkan anak harus tetap hormat dan memperlakukan kedua
orang tuanya dengan baik, kendatipun mereka mempersekutukan
86
Tuhan, hanya yang dilarang adalah mengikuti ajaran mereka untuk
meninggalkan iman-tauhid.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. (Q.S. Luqman [31]: 15) (Departemen Agama RI,
2005: 413).
b. Akhlak terhadap orang lain
Menurut Zakiyah Darajat, orang tua harus menanamkan budi pekerti
(akhlak atau moral) dalam bergaul, kepada anaknya (Kurniawan, 2012:
3), antara lain sopan, tidak sombong dan tidak angkuh, serta berjalan
dengan sederhana dan bersuara lembut.
87
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong lagi membanggakan diri. 19. dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (Q.S.
Luqman [31]: 18-19) (Departemen Agama RI, 2005: 413).
Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh
dan teladan dari orang tua. Perilaku dan sopan santun orang tua dalam
hubungan dan pergaulan antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua
terhadap anak-anak mereka, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain
di daalm lingkungan keluarga dan di lingkungan masyarakat, akan menjadi
teladan bagi anak-anak.
C. Implikasi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Terhadap
Perkembangan Agama Anak.
1. Anak mengenal Tuhan, melalui bahasa, dari kata-kata orang yang ada di
lingkungannya (Darajat, 2015: 43), terutama ucapan ibunya waktu ia kecil.
Apa pun yang dikatakan ibunya tentang Tuhan, akan diterimanya dan
dibawanya sampai dewasa. Oleh karena itu, ibu perlu berhati-hati
menjawab pertanyaan anak tentang Tuhan atau pokok-pokok keimanan
lainnya.
2. Anak mulai mengenal agama lewat pengalamannya melihat orang tua
melaksanakan ibadah, mendengarkan kata Allah dan kata-kata agamis
yang mereka ucapkan dalam berbagai kesempatan.
88
3. Kemajuan pikiran, keterampilan dan kepandaian dalam berbagai bidang
akan memantul kepada si anak. Mulai kecil si ibu menidurkan anaknya
dengan dendang dan senandung yang merdu, menumbuhkan pada anak
jiwa seni. Karya ibu dalam bidang yang dapat dilihat, didengar dan
dirasakan anak, akan menyebabkannya tertarik kepada hasil-hasil karya
tersebut. Maka pembinaan kebudayaan pada anak oleh ibunya,
berlangsung secara tidak sengaja, dibawa bersama dalam kehidupan dan
penampilan ibu dihadapan anaknya setiap harinya.
4. Pembentukan kepribadian anak. Berbahagialah anak yang lahir dan
dibesarkan oleh ibu yang saleh, penyayang dan bijaksana. Karena
pertumbuhan anak terjadi melalui seluruh pengalaman yang diterimanya
sejak dalam kandungan. Sikap positif ibu terhadap janin, dan ketentraman
batinnya dalam hidup, menyebabkan saraf-saraf bekerja lancar dan wajar,
karena tidak ada goncangan jiwa yang menegangkan, yang nanti menjadi
dasar pertama dalam pertumbuhan selanjutnya setelah lahir. Pembentukan
kepribadian berkaitan erat dengan pembinaan iman dan akhlak.
Kepribadian terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang
diserapnya dalam pertumbuhan dan perkembangannya, terutama pada
tahun-tahun pertama dari umurnya. Apabila nilai-nilai agama banyak
masuk ke dalam pembentukan kepribadian seseorang, maka tingkah laku
orang tersebut akan banyak diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai
agama.
89
5. Kualitas hubungan anak dan orang tuanya akan mempengaruhi keyakinan
beragamanya di kemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan
diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama
dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika yang terjadi
sebaliknya, maka ia menjauhi apa yang diharapkan orang tuanya, mungkin
ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, tidak shalat,
tidak puasa dan sebagainya.
6. Akhlak, sopan santun, dan gaya anak menghadapi orang tuanya, banyak
tergantung pada sikap orang tua terhadap anak. Apabila anak merasa
terpenuhi semua kebutuhan pokoknya (jasmani, kejiwaan, dan sosial),
maka anak akan menyayangi, menghargai, dan menghormati orang tuanya.
Akan tetapi, apabila anak merasa terhalang pemenuhan kebutuhannya oleh
orang tuanya, misalnya ia merasa tidak disayangi atau dibenci, suasana
dalam keluarga yang tidak tenteram, sering kali menyebabkannya takut
dan tertekan oleh perlakuan orang tuanya, atau orang tuanya tidak adil
dalam mendidik dan memperlakukan anak-anaknya, maka perilaku anak
tersebut boleh jadi bertentangan dengan yang diharapkan oleh orang
tuanya, karena ia tidak mau menerima keadaan yang tidak menyenangkan
itu.
7. Perkembangan sikap sosial pada anak terbentuk mulai di dalam keluarga.
Orang tua yang penyayang, lemah lembut, adil dan bijaksana, akan
menumbuhkan sikap sosial yang menyenangkan pada anak. Ia akan
terlihat ramah, gembira dan segera akrab dengan orang lain. Karena ia
90
merasa diterima dan disayangi oleh orang tuanya, maka akan bertumbuh
padanya rasa percaya diri dan percaya terhadap lingkungannya, hal yang
menunjang terbentuk pribadinya yang menyenangkan dan suka bergaul.
Demikian pula jika sebaliknya orang tua keras, kurang perhatian kepada
anak dan kurang akrab, sering bertengkar antara satu sama lain (ibu-
bapak), maka si anak akan berkembang menjadi anak yang kurang pandai
bergaul, menjauh dari teman-temannya, mengisolasi diri dan mudah
terangsang untuk berkelahi, dan pribadi negatif, yang condong kepada
curiga dan antipati terhadap lingkungannya.
BAB V
PENUTUP
91
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan mengenai nilai-nilai pendidikan agama
dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid
dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu nilai pendidikan akhlak
(menyangkut etika dan moral), nilai pendidikan ibadah (pelaksanaan
kewajiban-kewajiban formal agama, berupa ibadat-ibadat), nilai
pendidikan aqidah (keimanan kepada Allah Swt.). Hak orang tua dari anak
yaitu berupa perbuatan baik dari pihak anak kepada ibu-ayahnya yang
hukumnya wajib (melayani orang tuanya dengan baik, lemah-lembut
menyayanginya, selalu menghormati dan menunjukkan sikap sopan santun
walau mereka kafir, berterimakasih atas jasa-jasa mereka, taat mematuhi
perintah orang tua yang berhubungan dengan kebenaran dan kebaikan,
tidak pada perkara yang bathil atau munkar). Orang tua berperan sebagai
pendidik agama dalam keluarga (membentuk dan membina kepribadian
anak yang utama sesuai petunjuk agama, menuntun, membimbing, dan
menumbuhkembangkan anaknya menjadi orang shalih yang bermanfaat
bagi sesamanya dan dirinya), sedangkan guru mengaji dan guru agama di
sekolah adalah sebagai wakil-wakil orang tua dan pelanjut orang tua dalam
menumbuhkembangkan potensi keagamaan dalam diri anak, jadi peran
92
mereka hanya sebagai pengajar agama, yakni penuntun ke arah segi-segi
kognitif agama (ritual dan formal agama).
2. Implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut
Nurcholish Madjid adalah sebagai berikut: mendidik dengan keteladanan,
membiasakan sholat berjamaah, menanamkan nilai dimensi hidup
ketuhanan (taqwa, iman, islam, ikhlas, tawakal, syukur, sabar),
menanamkan nilai dimensi hidup kemanusiaan dalam diri anak
(silaturahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat
janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat dan dermawan),
menerapkan pola asuh anak yang benar (menumbuhkembangkan
pendidikan moral dan agama anak, menerapkan metode keteladanan yang
dijiwai dengan semangat menanamkan nilai-nilai religius dalam diri anak,
dan menekankan nilai-nilai apa yang terkandung dalam ritual formal
agama). Anak-anak memerlukan pendidikan agama sejak kecil, hal
tersebut mengharuskan orang tua untuk memanfaatkan masa kanak-kanak
dengan sebaik-baiknya dengan cara menanamkan nilai-nilai keagamaan.
Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an tentang pendidikan
agama dalam keluarga, orang tua harus menjadi sosok ideal bagi anak
(mendidik dengan keteladanan, membina iman dan tauhid, dan akhlak
anak). Hal tersebut akan membentuk akhlak, sikap, dan kepribadian anak,
karena anak mengenal Tuhan dan agama, lewat pengalamannya
mendengar dan melihat ibadah atau segala sesuatu yang orang tua mereka
lakukan.
93
B. Saran
Setelah penulis mengadakan kajian mengenai pendidikan agama dalam
keluarga menurut Nurcholish Madjid, ada beberapa saran yang penulis
sampaikan:
1. Bagi Orang Tua
Mendidik anak merupakan salah satu kewajiban orang tua sebagai
konsekwensi dan komitmennya untuk membina rumah tangga melalui
pernikahan. Hendaknya para orang tua dapat menjadi uswah hasanah bagi
anaknya dengan menjaga sikap dan tingkah lakunya di hadapan anak-
anaknya sejak dini. Senantiasa mendidik anak-anaknya dengan penuh
kasih sayang serta memperhatikan perkembangan dari berbagai aspek
keagamaannya.
2. Bagi Masyarakat
Sebelum memasuki gerbang pernikahan atau menjadi ayah dan ibu
hendaknya para calon orang tua menyiapkan mental dan mempelajari
pendidikan agama lebih dalam guna mempersiapkan pendidikan agama
yang lebih baik bagi anaknya, karena tidak dapat dipungkiri agama
berperan sebagai peletak dasar atau fondasi bagi kehidupan seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
94
Az-Zhecolany, Ali Hasan. 2011. Kesalahan-kesalahan Orang Tua Penyebab
Anak Tidak Shalih. Jogjakarta: DIVA Press.
Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-
Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan
Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq. Jakarta: Paramadina.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Cahyo, Agus Nur. 2014. Kebiasaan Sehari-hari Para Guru Bangsa. Jogjakarta:
IRCiSoD.
Daradjat, Zakiah, dkk. 2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Daradjat, Zakiah. 2015. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV
Penerbit J-ART.
Djumransjah, dkk. 2007. Pendidikan Islam Menggali Tradisi Mengukuhkan
Eksistensi. Malang: UIN Malang Press.
M. Sanusi. 2013. Tempatkan Orang Tuamu di Atas Kepala, Niscaya Mulia
Hidupmu!. Jogjakarta: DIVA Press.
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan
Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
________________. 1997a. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina.
________________. 1997b. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonsesia. Jakarta: Paramadina.
________________. 2002. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
________________. 2004. Biografi dalam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-
Muhammad Roem. Jakarta: Djambatan.
________________. 2005. Pesan-pesan Taqwa Kumpulan Khutbah Jum’at di
Paramadina. Jakarta: Paramadina.
Majid, Abdul, dkk. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
95
Mubarok, Ahmad. 2005. Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga
Keluarga Bangsa. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.
Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga dalam Berwawasan Gender. Malang: UIN
Malang Press.
Nadroh, Siti. 1999. Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Nata, Abudin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Nizar, Samsul. 2001. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam.
Jakarta: Gaya Media.
Rahardjo, Dawam. 1987. Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham
Sekularisasi Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.
Bandung: Mizan.
Ridwan , Nur Khalik. 2002. Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak
Nur. Yogyakarta: Galang Press.
Sadulloh, Uyoh. 2014. PEDAGOGIK (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.
Shihab, Quraish. 2007. Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Siswanto. 2013. Pendidikan Islam Kontekstual. Surabaya: Pena Salsabila.
Sofyan, Ahmad A., dan Roychan Madjid. 2003. Gagasan Cak Nur tentang
Negara dan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Sufyanto. 2001. Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani
Nurcholish Madjid. (Yogyakarta: LP2IF dan Pustaka Pelajar Offset.
Sugiono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: PT. Alfabeta.
Sujarwa. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar: Manusia dan Fenomena Sosial
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surakhmad, Wiranto. 2004. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan
Tehnik. Bandung: Tarsito.
Tafsir, Ahmad. 2002. Pendidikan Agama dalam Keluarga. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
96
Yasin, A. Fatah. 2008. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang
Press.
Zarkasi, Abdullah Syukri. 2005. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Zuhairini. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Skripsi
Kurniawan, Iwan Janu. 2012. Pemikiran Prof. Zakiyah Daradjat Tentang
Pendidikan Islam dalam Perspektif Psikologi Agama. Skripsi tidak
diterbitkan. Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Yani, Yulia Sandra. 2009. Moral dan Iman dalam Pandangan Nurcholish Madjid.
Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan
Kalijaga.
97
GAMBAR NURCHOLISH MADJID
98
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : RENI SEKAR OKTAVIANA
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tempat, Tanggal Lahir : Kebumen, 6 Oktober 1995
Alamat : Dusun Kuripan RT. 05/RW. 07, Desa
Pandansari, Kec. Sruweng, Kab. Kebumen
No. HP/Email : 087837630462/ [email protected]
Pendidikan : 1. SD Negeri Ciledug 2, Cimahi, Bandung
2. SMP Negeri 1 Karanganyar, Kebumen
3. SMA Negeri 1 Karanganyar, Kebumen
Moto Hidup : Mungkin kecepatan punya batasan, tapi harapan
tak pernah terbatas. Jalani, Nikmati, Syukuri.
99
100
101
102
103
104
105
106