NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN PANJI DI DESA...
Transcript of NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN PANJI DI DESA...
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016 234
41
NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN PANJI
LARAS DI DESA MADEGAN SAMPANG
Anisa Fajriana Oktasari
Universitas Madura
Abstrak: Kebudayaan lahir turun temurun dari nenek moyang. Kebudayaan sabung ayam ternyata dilakukan sejak
kebudayaan nenek moyang kerajaan–kerajaan Hindu-Budha berkembang. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya
sastra lisan Panji Laras yang di dalamnya bercerita tentang kebudayaan yang terus melekat pada masyarakat era
modern. Sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan, Sampang merupakan salah satu bentuk sastra lisan meliputi
tradisi sastra yang pewarisan dan perkembangannya dilakukan secara lisan dan turun-temurun sampai pada generasi
berikutnya. Penelitian ini menggunakan teori nilai budaya, yaitu menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk
sebagai pandangan dalam permasalahan kondisi sosial budaya suatu masyarakat. Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Nilai Budaya dalam Sastra Lisan Panji
Laras di Desa Madegan Sampang?” Tujuannya untuk memperoleh deskripsi objektif tentang nilai budaya dalam
sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Sumber data
penelitian ini adalah informan KH. Ihksan Mawardi Dohri dengan teknik wawancara. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode observasi, perekaman. Dari hasil analisis data tentang nilai budaya dalam sastra lisan
Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Peneliti dapat menarik simpulan sebagai berikut: nilai kenyataan
(kebanaran).
Kata Kunci: Nilai Budaya, Cerita rakyat
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Kebudayaan lahir turun temurun dari nenek moyang. Kebudayaan sabung ayam ternyata
dilakukan sejak kebudayaan nenek moyang kerajaan–kerajaan Hindu-Budha berkembang. Hal ini
dibuktikan pula dengan adanya sastra lisan Panji Laras yang di dalamnya bercerita tentang kebudayaan
yang terus melekat pada masyarakat era modern. Sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan, Sampang
merupakan salah satu bentuk sastra lisan meliputi tradisi sastra yang pewarisan dan perkembangannya
dilakukan secara lisan dan turun-temurun sampai pada generasi berikutnya.
Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan
yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut) (Hutomo, 1991:1). Kajian
sastra lisan termasuk kajian foklor. Foklor merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar
dan diwariskan secara turun temurun diantaranya kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang
berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
(Pusposari, 2011: 1). Pada umumnya sastra lisan tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan yang
jauh dari perkotaan, walaupun demikian hal ini bukan berarti bahwa sastra lisan tidak terdapat di dalam
masyarakat yang telah mengenal tulisan, hanya peranannya tidak sebesar di dalam masyarakat yang
belum atau sedikit mengenal tulisan.
Di Desa Madegan memiliki cagar budaya yang melekat di hati masyarakatnya. Madegan adalah
pusat pemerintahan dari kerajaan Madura yang ada di Sampang, di Desa Madegan ini juga terdapat bukti-
bukti atau benda peninggalan yang berhubungan dengan cerita Panji Laras. Benda yang ada di Desa
Madegan merupakan benda yang sangat berarti bagi masyarakat Madegan, karena benda tersebut
merupakan bukti tentang keberadaan kerajaan pertama di Madura.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016 235
Bagaimanakah nilai budaya dalam sastra lisan cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang?
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai budaya dalam sastra lisan cerita
Panji Laras di Desa Madegan Sampang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, atau penalaahan
dokumen. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengamatan dan wawancara dan sastra lisan cerita
panji laras di desa madegan sampang dianggap cerita lisan yang perlu adanya pengamatan, perekaman,
pencatatan, wawancara mendalam dan teknik pengalihan wacana dari lisan ketulisan.
Analisis Data Secara Induktif
Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif karena analisis induktif lebih dapat
menemukan pengaruh bersama dan mempertajam hubungan-hubungan dalam konteks penelitian ini
adalah untuk mempertajam hubungan-hubungan fokus yang dikaji yaitu nilai budaya dalam sastra lisan
cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang.
Teori dan Dasar (Grounded Theory)
Penelitian kualitatif menghendaki arah bimbingan penyusunan teori subtantif yang berasal dari
kata. Dalam penelitian ini menggunakan teori yang telah disusun secara sistematis yang menyesuaikan
dari data yang dikaji.
Deskriptif Mengutamakan deskripsi, dengan kegiatan antologis. Data yang dikumpulkan dan dimaksudkan
untuk memberikan gambaran sewajarnya dari objek kajian. Dalam penelitian ini, data diidentifikasi dan
diklasifikasikan menurut fokus kajian, setelah itu diberikan intrepretasi atau gambaran sewajarnya sesuai
dengan fokus kajian yaitu nilai budaya.
Teori
Budaya dapat dibedakan antara kata “budaya dan kebudayaan”, tapi dalam ilmu antropologi
budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama (Soelaeman, 2005:2). Secara etimoligis kebudayaan
berasal dari kata Sanskerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi berarti budi atau
akal. Kata kebudayaan mempunyai arti yang sama dengan Culture yang berasal dari kata latin Colere,
yang artinya mengolah, mengerjakan, meyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani).
Koentjaraningrat (dalam Sukidin dkk, 2003:4) mendefinikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia
dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar
dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat. Budaya adalah bentuk jamak dari kata “budi” dan “daya” yang
berarti cinta, karsa, dan rasa (Setiadi, dkk, 2006:27).
Koentjaraningrat (dalam Widyosiswoyo, 1993:33) meyebutkan paling sedikitnya ada tiga wujud
kebudayaan yaitu: 1) Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan,
dan sebagainya. 2) Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3)
Sebagai benda-benda hasil karyanya Abrams menyatakan bahwa (dalam Sudikan, 2001:6) pendekatan
mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata.
PEMBAHASAN
Nilai Kenyataan (kebenaran)
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran beberapa cara di tempuh untuk memperoleh
kebenaran. Di dalam kehidupan nilai-nilai harus di junjung tinggi terutama nilai kebenaran, kadangkala
sebagian orang tidak memikirkan hal itu, mereka hanya memikirkan diri sendiri tanpa melihat disekitar
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016 236
kita ada mahkluk lain yang ingin dipelihara layakya manusia tanpa harus disakiti dan dianiaya. Hal ini
terdapat pada cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya:
“Saamponna pan berempan arè tellor gelle’ teddes ajâm sè bhâgus. Ajâm gelle’ è berri’
nyama Cendi Laras sareng èbhuna. Ajâm gelle’ bhânarè èkèbhâ amaèn ka alas sambi èlatè
sareng Panji Laras” (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:1/6)
Kebenaran tercermin di dalam tingkah laku tokoh bernama Panji Laras yang senantiasa
merawat ayam peliharaanya dengan sepenuh hati dan kasih sayangnya sehingga dia
memberikan nama kepada ayamnya dengan nama Cendi Laras.
Pada kenyataannya di lingkungan persabungan ayam tidak hanya anak remaja yang senantiasa
menonton atau ikut andil di dalam pertandingan ayam akan tetapi seseorang yang sangat dewasa kakek-
kakek juga ikut menonton. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan
Sampang. Berikut kutipannya:
“Saampona ajâmma èyaddhu pas ajâma mosona è pakala kabbhi pas Emba gelle’ atanya
polè dâ’ Panji Laras “tojjuna bâ’na èntara dâ’ emma nak?” Panji Laras ajâwâb “tojjuna
kaulâ nyarèa ajâm sè lebbi koat dâri sareng ajâm kaulâ terros kaulâ nyarèa rama kaulâ”.
O..bâdâ nak iye arèa ajâmma Adipati Aryo Wiraraja sè bâdâ è Sorbâjâ. (KH. Ikhsan
Mawardi Dohri, 2010:2/2).
Mengadu ayam di zaman dulu sudah marak dilakukan dan dijadikan kebiasaan, tidak hanya
dikalangan remaja dewasa, orang yang sudah tua pun juga ikut-ikutan andil di dalam
tontonan seru sawung ayam dan kebiasaan orang zaman dulu sudah menjadi kebiasaan
masyarakat masa kini khususnya di daerah Madegan Sampang dan wilayah madura pada
umumnya.
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ide-ide maupun daya cipta dan karya
manusia berdasarka proses kebiasaan yang dilakukannya secara turun-temurun. Seringkali seseorang
mengadakan kesepakatan bersama sebelum melakukan pertandingan demi menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran supaya di akhir pertandingan tidak ada penyimpangan. Hal ini juga terdapat di dalam cerita
Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya:
“Adipati Aryo Wiraraja peggel Adipati Aryo Wiraraja atanya “anoapa bâ’na dâteng dâ’
enna’ bân tojjuna apa?” kaulâ terro ngaddhuwâ tang ajâm jâwâbbâ Panji Laras sambi
mèsem, dengan salèra kaku Adipati Aryo Wiraraja ta’ nola’ tantanganna tapè Adipati Aryo
Wiraraja ngajuaghi parjanjiyân, mon ajâmma Panji Laras sè mennang bi’ sèngko’ è
berri’na hadiya sèaropa pèssè emmas, tapè mon tang ajâm sè mennang bâ’na kodhu toro’
oca’ apah sè èkaparènta engko’. Tabâren jârèya Panji Laras ta’ nola’ alias saroju’. (KH.
Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:2/3).
Seorang Adipati Wiraraja membuat kesepakatan kepada Panji Laras sebelum pertandingan
ayam dilakukan biar nanti sesudah pertandingan tidak terjadi kekacauan.
Tidak hanya dikehidupan nyata di dalam sebuah cerita juga terdapat kenyataan (kebenaran) yang
dibuat seseorang itu akan terbawa dalam kehidupan sekarang ini. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan
Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya:
“Nangèng nyatana saampona èyaddhu ajâma Panji Laras sè mennang. Akhèrra prajurit
kerajaan Adipati Aryo Wiraraja bânnya’ sè ngallè pas noro’ Panji Laras molè ka alas.
(KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:2/4).
Kesepakatan yang dibuat Adipati Wiraraja harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya
demi menjunjung tinggi nilai kebenaran di dalam sebuah kebiasaan yang diadakan oleh
Adipati Wiraraja.
Di dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian
dan kesadarannya tidak mungkin tanpa kebenaran. Segala sesuatu yang berkaitan dengan ide-ide maupun
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016 237
daya cipta dan manusia berdasarkan proses kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Seringkali
seseorang mengikuti sawung ayam dan ayamnya selalu menang pastinya banyak orang yang kagum pada
ayam yang tergolong kuat dan biasanya nama dari si pemilik ayam juga ikut terkenal di kalangan orang-
orang penyawung ayam. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang.
Berikut kutipannya:
“Sajân abit pangèkotna Panji Laras sajân bânnya’ polana sènneng dâ’ ajâmma Panji
Laras. Sèllang pan berempan bulân, Panji Laras ollè sorat undangan kahormadhân dâri
istana kerajaan Adipati Aryo Wiraraja undanganna sèamonyè masalah sayèmbara sabung
ajâm. Pas kalagghuna Panji Laras pamèt dâ’ ka èbhuna kalabân nèat hadir dâ’ sayèmbara
ganèko. Saampona dâpa’ ka arèna sabung ajâm, langsung èyund, terros kabenderren
ajâmma Panji Laras amoso sareng ajâmma kerajaan Bali. Ternyata saampona èyaddhu
mennang ajâmma Panji Laras (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:3/1).
Lantaran ayam Panji Laras selalu menang dalam sawung ayam sehingga banyak orang
yang senang kepada ayam Panji Laras, mereka yang kagum dengan ayam Panji Laras
bersedia menjadi pengikut Panji Laras dan nama Panji Laras pun juga ikut dikenal sebagai
pemilik ayam jago yang kuat juga tangguh. Tidak jarang Panji Laras mendapat surat
undangan untuk mengikuti sawung ayam.
Kebiasaan seseorang yang dirasa sejalan dengan hati rohaninya akan terbawa di dalam pergaulan
sehari-harinya walaupun orang itu dalam keadaan susah sekalipun dia akan berusaha menyelipkan
ditengah kesibukannya hanya demi memelihara dan menyawung ayam. Hal ini juga terdapat dalam cerita
lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya:
“Samarèna jârèya Panji Laras èparèngi pakon ghuruna sè asma èpon Mbah Sabelang,
èparèngi pakon nyebbaraghi ajhârân aghâma islam è daèra Pasuruan, polana èka’ dissa
bâdâ bèntèng bâlândhâ sèrammè kabârrâ pareppa’na ghanèka kadhâddhiyân pembhunoan
dâ’ Untung Sanopati, mèlana dâri ka’dinto Panji Laras bân Mbah Sabelang langsung ka
Probolinggo teppa’ èdhisa Bantaran. Sabbân arèna Panji Laras èngghi ka’dinto
dâ’emma’a saos pagghun ngeppe’ ajâm, saèngghâ èdhimma’a bhâi Panji Laras ngoladhi
orèng neggu’ otabâ ngaddhu ajâm, Panji Laras pastè matabâr ajâm jagona onto’ èsabung
tapè sabelluna èsabung Panji Laras ngajhuaghi parjhanjiyân, (KH. Ikhsan Mawardi Dohri,
2010:4/4).
Walaupun Panji Laras dalam keadaan terontang-anting dalam menjalankan tugasnya yaitu
berdakwah menyebarkan agama islam dia menyempatkan kebiasaannya menyawung ayam,
akan tetapi menyawung ayam disini hanya sebagai sarana dan prasarana dakwah untuk
menislamkan para pesawung ayam yang marak sekali pada waktu itu.
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman
tentang kebenaran tanpa melaksnakan konflik kebenaran, manusia kan mengalami pertentangan batin,
karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan
hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan (kebenaran) dalam
hidupnya yang dimana yang selalu ditunjukkan oleh kebenaran. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan
Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya:
“Saampona ollè aontaon è daèra Pasuruan, akhèrra èkèding bi’ kompennè bâlândhâ.
Terros bi’ masyarat Probolinggo èsoro ngallè dâ’ daèra laèn. Akhèrra Panji Laras bân
Mbah Sabelang ngallè dâ’ Situbondo teppa’ è daèra Kendik, èdissa Panji Laras bân Mbah
Sabelang sapartè biasa ngala’sanaaghi tojjhuna èpon ènggghi ka’dinto nyebbereghi
aghâma islam kalabân cara nyabung ajâm sè ngangguy kasapakadhân tertanto. (KH.
Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:5/1).
Bahwasanya di dalam menegakkan kebenaran kadangkala seseorang harus terontang-anting
demi menyampaikan kebenaran itu kepada sesorang yang banyak menyimpang dari
kebanaran walaupun dengan jalan menyabung ayam.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016 238
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data tentang nilai budaya dalam cerita Panji Laras di desa Madegan
Sampang yaitu nilai kenyataan (kebenaran), Nilai kenyataan (kebanaran) yakni nilai yang tercermin di
dalam sikap atau tingkah laku seorang tokoh Panji Laras yang senantiasa memelihara dan menyawung
ayam, hingga dijadikan sarana dan prasana dalam proses pencarian ayah kandungnya dan sebagai alat
untuk berdakwah menyebarkan agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya:
HISKI Komda Jatim.
Pusposari, Dewi. (2011). Mitos dalam Kajian Sastra Lisan. Malang: Pustaka Kaiswaran.
Setiadi, Elly. (2006). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenadamedia.
Sudikan, Setya Yuwana. (2001). Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sudikin. (2003). Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Intan Cendikia.
Soelaeman, Munandar. (2005). Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT. Renika Cipta.
Widyosiswoyo, Supartono. (1993). Ilmu Budaya Dasar. Bogor Selatan : Ghalia Indonesia.