Makalah tradisi lisan kantola

24
MENGHIDUNPKAN ATAU MEMBERDAYAKAN KEMBALI TRADISI LISAN KANTOLA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat Muna telah menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut sebagai pola kehidupan global. Warga masyarakat mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Maka, perubahan tersebut telah mengancam keberadaan tradisi lokal, antara lain warisan budaya, kebiasaan, nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan masyarakatnya (Giddens 2003:9-15). Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global yang semakin tinggi intesitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya tidak jarang mengalami perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut (Nashir 1999:176). Menurut Giddens (2003:67); Arivia, 2004:25), globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan segudang permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua tatanan sosial tradisional dan mengiring umat manusia pada pola homogenitas kultural yang menentang nilai-nilai dan identitas parochial. Hal ini mengancam keberadaan budaya lokal yang mengantarkannnya menuju kepunahan. Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi, tetapi juga mempengaruhi berbagai segi kehidupan. Pengaruh globalisasi ini, disatu sisi membawa

Transcript of Makalah tradisi lisan kantola

Page 1: Makalah tradisi lisan kantola

MENGHIDUNPKAN ATAU MEMBERDAYAKAN KEMBALI TRADISI

LISAN KANTOLA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat Muna telah

menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut sebagai pola kehidupan

global. Warga masyarakat mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan

pandangan hidup mereka. Maka, perubahan tersebut telah mengancam keberadaan tradisi

lokal, antara lain warisan budaya, kebiasaan, nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan

masyarakatnya (Giddens 2003:9-15).

Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global

yang semakin tinggi intesitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan

sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya tidak jarang mengalami

perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan kemajuan teknologi informasi yang

semakin mempercepat proses perubahan tersebut (Nashir 1999:176).

Menurut Giddens (2003:67); Arivia, 2004:25), globalisasi membawa prinsip budaya

modernitas sehingga memunculkan segudang permasalahan sosial dan mengancam peradaban

manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan

konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan

hampir semua tatanan sosial tradisional dan mengiring umat manusia pada pola homogenitas

kultural yang menentang nilai-nilai dan identitas parochial. Hal ini mengancam keberadaan

budaya lokal yang mengantarkannnya menuju kepunahan.

Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi, tetapi juga

mempengaruhi berbagai segi kehidupan. Pengaruh globalisasi ini, disatu sisi membawa

Page 2: Makalah tradisi lisan kantola

kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, namun disisi lain memberikan pengaruh negatif

yang sangat signifikan pada aspek-aspek kebudayaan. Bukan hanya berdampak pada

kemunduran nilai-nilai budaya lokal tetapi juga akan mengancam terjadinya kepunahan

berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun

sebagai bentuk warisan budaya dari generasi sebelumnya.

Tradisi lisan sebagai bagian dari kearifan lokal yang dapat diperhitungkan sebagai

realitas nilai budaya alternatif dalam kehidupan global berada dalam dua sistem budaya yang

harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya lokal.

Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk seluruh bangsa, sekaligus berada diluar

ikatan budaya lokal manapun. Nilainilai kearifan lokal tertentu akan bercitra Indonesia karena

dipadu dengan nilainilai lain yang sesungguhnya diwariskan dari nilai-nilai budaya lokal.

Warisan budaya mempunyai cakupan pengertian yang luas, meliputi budaya yang

bersifat kebendaan yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat diraba (intangible).

Warisan budaya yang tak teraba (intangible) tercakup didalamnya hal-hal yang tertangkap

panca indera lain diluar perabaan, seperti musik, pembacaan sastra maupun bahasa lisan

(Sedyawati, 2008:207). Sastra lisan, melalui kaidah-kaidah irama bunyinya, dapat berperan

serta dalam mendokumentasikan unsur-unsur kebudayaan tertentu sehingga dapat diwariskan

pada generasi berikutnya.

Tradisi lisan merupakan cikal bakal munculnya seni dan sastra dalam komunitas

kehidupan Masyarakat Muna. Cerita-cerita yang acapkali dituturkan oleh orang tua kepada

anak cucunya pada masa lalu merupakan bentuk tradisi lisan yang dikemudian hari

berkembang menjadi sastra lisan. Namun, dalam proses selanjutnya perkembangan tradisi

lisan cukup memprihatinkan. Hanya sebagian kecil saja yang dapat didokumentasikan dalam

lembaran-lembaran kertas. Karya sastra yang berbau tradisi lisan tidak lagi sesuai dengan

Page 3: Makalah tradisi lisan kantola

minat generasi muda yang cenderung menaruh minat pada hal-hal yang mengandung unsur

budaya pop media elektronik.

Perkembangan tradisi lisan hanya menjadi bagian terkecil dari perkembangan budaya

pada satu komunitas. Hal itu tentu tidak lepas dari minat para pelaku budaya itu sendiri yang

sudah semakin jauh meninggalkan tradisi tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan tidak

didukungnya tradisi lisan menjadi bagian integral dari proses perkembangan budaya dalam

satu komunitas yang cenderung bergerak dinamis saat ini. Pemerintah sendiri seolah-olah

mengabaikan pengenalan ataupun pembelajaran sastra lisan.

Contoh yang paling kongkret dari ketiadaan dukungan tersebut adalah pengenalan

tentang sastra lisan di sekolah-sekolah. Kurikulum yang dikembangkan hanyalah untuk

mempelajari dan memberikan pemahaman umum terhadap karya sastra tulis. Pembelajaran

dan pemahaman terhadap sastra lisan tidak memperoleh porsi yang seimbang. Inilah oposisi

biner yang pertama diterapkan terhadap sastra yang sekaligus mensubordinasi sastra lisan

sebagai sastra kelas dua (Ratna, 2006:328).

Pemerintah selama ini tampaknya hanya berusaha untuk memajukan kebudayaan

nasional. Padahal pemerintah diharapkan juga menggali dan memperkenalkan kekayaan

khasanah kebudayaan lokal. Kenyataan di masyarakat terjadi frakmentasi antara satu produk

budaya dengan produk budaya lainnya. Produk budaya yang dianggap sebagai antibudaya

itulah yang dianggap sebagai kebudayaan nasional, walaupun kebudayaan nasional

bersumber dari kolektivitas budaya-budaya lokal. Akibatnya timbul diskriminasi terhadap

produk budaya lokal yang tersebar di seluruh wilayah pelosok nusantara. Terjadinya

pemutusan tradisi selama rezim Orde Baru yang sangat hegemonik sentralistik

danmenekankan keseragaman sehingga me ngakibatkan keragaman budaya lokal sering

terabaikan. Tidak mengherankan, banyak budaya lokal yang kemudian sedikit demi sedikit

hilang, bahkan ada yang punah.

Page 4: Makalah tradisi lisan kantola

Tradisi lisan memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat

Indonesia karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya lokal memiliki hubungan

batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat pendukungnya.Tradisi lisan memiliki peranan dan fungsi untuk

menguatkan ketahanan budaya bangsa. Hanya saja, seiring perkembangan zaman, kian

banyak tradisi lisan yangmulai raib dan untuk melestarikannya harus berkejaran dengan

proses perkembangan sastra tulisan.

Tradisi Lisan kantola merupakan salah satu sastra lisan yang berasal dari daerah

Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai produk kultural yang dihasilkan bertatanan

tradisional, yang pada prinsipnya kantola memiliki karakteristik umum yang sama dengan

sastra lisan daerah lain di tanah air. Sebagai sastra lisan, keberadaan kantola pada masyarakat

Muna merupakan kristalisasi kultural dalam kehidupan sosial yang tumbuh dan berkembang

seiring dengan kemapanan tradisi masyarakatnya. Pada saat tradisi berproses secara alami

mengalami stagnasi akibat perubahan sosial, maka keberadaan kantola sebagai tradisi lisan

turut melemah. Hal semacam ini berakibat fatal terhadap perkembangan tradisi lisan kantola

yang semakin teralienasi dari masyarakat Muna, akibat dampak dari modrnisasi.

Tradisi lisan kantola merupakan tradisi lisan yang diapresiasi oleh masyarakat Muna

sebagai media ekpresi yang lirik-liriknya bermuatan perasaan, pengalaman pribadi, dan

dimensi kemasyarakatan. Lirik kantola terdiri atas beberapa baris yang jumlahnya tidak

menentu; ada lirik yang panjang (sepuluh sampai lima belas baris) dan ada lirik yang pendek

(empat sampai lima baris). Penyampaian lirik kantola tidak secara lugas, tetapi dikiaskan

melalui simbolsimbol yang ada. Oleh Karena itu, untuk mengetahui kandungan makna yang

terdapat dalam lirik kantola, seseorang harus memiliki kemampuan interpretative terhadap

simbol-simbol tersebut (Aderlaepe, 2006:51).

Page 5: Makalah tradisi lisan kantola

Pada mulanya, tradisi lisan kantola ini sangat diminati oleh masyarakat Muna,

terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Meskipun tidak didokumentasikan dalam

bentuk tulisan, tradisi lisan ini tetap dilestarikan secara turun temurun, dari mulut kemulut.

Akan tetapi, dengan semakin gencarnya arus globalisasi di bidang teknologi dan informasi

yang merasuki wilayah budaya lokal, maka keberadaan tradisi kantola ini, sudah mulai

terpinggirkan bahkan sudah mulai menunjukan gejala-gejala terlupakan. Hal ini tercermin

pada pertunjukan tradisi kantola yang semakin jarang dijumpai pada masyarakat Muna,

karena semakin berkurangnya pelaku tradisi ini, dan juga tidak adanya regenerasi dari gerasi

tua kegenerasi muda untuk mempelajari dan memahami makna yang terkandung dalam

tradisi lisan kantola. Generasi muda sudah tidak menginginkan lagi tradisi lisan kantola yang

dianggap sebagai tradisi kuno. Maka bukan hal mustahil tradisi lisan kantola berada di

ambang kepunahan apabila tidak dilakukan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal.

Dampak yang lebih jauh akan terasa dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya

lokal, maka perlu menghidupkan atau memberdayakan kembali kearifan lokal. Pudarnya

sebuah tradisi atau kebudayaan lisan ini disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan

adalah sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu. Stigma semacam itu menyebabkan

generasi sekarang enggan memelihara dan mempertahankan tradisi lisan tersebut.

Harkat suatu masyarakat sangat ditentukan oleh budayanya sendiri. Budaya akan

tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya yang mejadi ahli waris

sekaligus pelaku menuju tercipta dan terwujudnya situasi yang disebut sadar budaya. Sadar

budaya adalah kesadaran atau pemahaman dikalangan masyarakat bahwa sebagai individu

yang berada ditengah tatanan pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, melainkan

plural. Disamping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensi dan

menghayati budayanya sendiri apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain. Persoalan

hakiki inipun menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya lokal.

Page 6: Makalah tradisi lisan kantola

Oleh karena itu, masalah pemahaman tradisi lisan tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi

harus diaktualisasikan dengan cara apapun yang dipandang baik (Sayuti, 2008: 25-26).

Dengan demikian, menghidupkan atu memberdayakan kembali nilai-nilai yang terkandung

dalam tradisi lisan sangatlah mendesak untuk dilakukan, sebagai bagian dari sadar budaya

agar tetap dapat menjaga dan mempertahankan keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal.

Kebudayaan nasional ataupun budaya-budaya lokal selalu berada didalam suatu

proses, di dalam kancah hubungan antarabudaya yang selalu terjadi tanpa dapat dihindari.

Masyarakat pemilik budaya tersebut maupun pemerintah harus selalu menjaga dan

mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga

jatidiri dan identitas bangsa atau suku bangsa senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak

ditenggelamkan oleh pengaruh - pengaruh globalisasi yang terus merambah dan

berkecambah. Menghidupkan kembali budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan

kembali identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan

dari kebudayaan (Piliang, 2004: 279). Identitas itu sendiri menjadi sebuah persoalan saat

warisan masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh globalisasi yang menciptakan

hegemoni budaya. Krisis identitas muncul ketika warisan budaya yang telah melekat dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat lokal tidak dapat dipertahankan lagi karena ia telah

direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dariluar.

Menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola merupakan suatu

proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam

kehidupan manusia sebelum kehilangan maknanya. Proses mengidupkan atau

memberdayakan kembali tentunya dilakukan secara terorganisir oleh individu pelaku budaya,

kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang dimemiliki kesadaran dan merasa

begitu pentingnya warisan budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan

Page 7: Makalah tradisi lisan kantola

lokal yang terkandungdidalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar

belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain.

Menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola dilakukan untuk

mempertahankan eksistensi budaya lokal sebelum rantai pewarisnya terputus dan sebelum

terjadinya profanisasi budaya lokal yang dianggap bermakna oleh suatu komunitas budaya

tertentu. Menghidupkan atau memberdayakan budaya lokal, terutama kantola harus terus

digali, diperkuat, dan dikembangkan dalam rangka menangkal arus globalisasi yang begitu

gencar mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal tersebut.

Sosialisasi konsep - konsep, kaidah-kaidah, pola-pola, dan nilai-nilai harus dilakukan terus

menerus, dari generasi ke generasi, agar keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal dapat

terus dipertahankan keberlanjutannya.

Menghidupkan kembali budaya lokal tidak dengan sendirinya disebut revitalisasi.

Revitalisasi sejatinya berfungsi untuk menjadikan budaya lokal sebagai sesuatu yang sangat

berguna, bermanfaat, dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat (Sibarani, 2004: 31).

Menurut Sibarani, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan revitalisasi,

antara lain: 1) mendorong setiap kebudayan etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi

dengan menghindari dominasi kebudayaan mayoritas, hegemoni kebudayaan mayoritas, dan

penyeragaman kebudayaan; 2) membangun perkampungan budaya (cultural village) sebagai

wadah transfer budaya, sosialisasi kebudayaan, dan sebagai tujuan wisata budaya; 3) segala

bentuk pembangunan harus dilandasi oleh kebudayaan masyarakat setempat; 4) melibatkan

masyarakat setempat sebagai pemain, penentu prioritas, perencana, pelaksana, dan penerima

untung dari kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan pembangunan; 5) melibatkan

“orangorang budaya” dalam penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan setiap pembangunan.

Penelitian ini berusaha mengkaji keberadaan tradisi lisan kantola dalam kaitannya

dengan menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan. Kantola sangat berkaitan

Page 8: Makalah tradisi lisan kantola

erat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi dasar pijakan kehidupan

bermasyarakat dalam ruang lingkup masyarakat Muna. Penelitian ini merupakan penelitian

budaya dengan permasalahan menyangkut bentuk, fungsi dan makna menghidupkan atau

memberdayakan kembali tradisi lisan kantola, di mana kantola yang dalam syair - syairnya,

bermuatan multidimensional yang sarat makna.

1.1.2 RUMUSAN MASLAH

Masalah dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah menghidupkan atau

memberdayakan kembali tradisi lisan kantola Msyarakat Muna pada era globalisasi ?”

1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami serta

mendeskripsikan tradisi lisan kantola dan menggali informasi tentang menghidupkan atau

memberdayakan kembali terhadap tradisi lisan tersebut pada masyarakat Muna Sulawesi

Tenggara.

1.2.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola

masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;

2. Untuk mengetahui fungsi menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola

masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;

3. Untuk memahami dan menginterpretasikan makna menghidupkan atau meberdayakan

kembali tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi.

1.3 MANFAAT

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfat sebagi berikut:

Page 9: Makalah tradisi lisan kantola

1. Dapat dijadikan sebagai bahan ajar tambahan ( muatan lokal ) di sekolah – sekolah SMP

maupun SMA pada pembelajaran bahasa dan sastra daerah Muna.

2. Salah satu upaya pelestarian dan pencegahan dari ancaman kepunahan sastra daerah lisan

dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional di tengah – tengah perkembangan zaman.

3. Sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya terutama yang menyangkut sastra daerah

muna.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sastra

Perkamin dalam (Badudu, 1985 : 5) mengemukakan bahwa yang disebut kesustraan

adalah semua tulisan atau karangan indah yang bernilai atau yang arti didalamnya tercapai

keseimbangan antara isinya yang indah yang dapat dilahirkan dalam bentuk bahasa yang

indah pula.

Secara kata kesustraan berasal dari kata dasar susastra, terjadi su dan kata dasar

sastra.Su berarti, bagus dan indah; sastra dalam bahasa sangsengkerta sastra berasal dari kata

cas sama dengan belajar, akhiran ra berarti yang harus … ( Erna, 1986 : 4 ).

Berdasarkan arti katanya, maka yang disebut kesustraan itu adalah semua tulisan atau

karangan yang indah, yang bernilai, artinya yang didalam terdapat keseimbangan antara

keindahan isi yang dapat dilahirkan dengan bentuk bahasa yang indah. Lebih lanjut bahwa

arti kesustraan yang diambil dari kata itu pada hakekatnya tidak mencakup apa yang disebut

seni sastra ini, sebab seni sastra termasuk pula segala ucapan dan cerita atau deongeng yang

tidak ditulis ( lisan). Jadi, kesustraan dalam pengertian yang luas adalah segalah hal kegiatan

manusia yang bersifat seni yang memakai bahasa semsta – mata hanya sebagai alat.

Berdasrkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahawa kesustraan

adalah sebuah ciptaan yang serius dalam bentuk lisan maupun tulisan yang memiliki

Page 10: Makalah tradisi lisan kantola

keindahan bahasa yang merupakan luapan perasaan jiwa manusia yang didapat dari

pengalaman hidupnya.

2.2 Sastra Lama

Pengerian kesustraan lama sebenarnya masi mempunyai acuan yang sangat luas,

termaksut sastra fiktif ( prosa dan puisi ), dan karya sastra yang berifat nonfiktif yaitu kritik

esai prosa mencakup legenda, hikayat, sissilan atau sejarah dan pelipur lara, ( Erna, 1986 : 15

). Lebih lanjut lagi bahwa wujud kesustraan lama adalah kesustraan yang tidak tertulis,

kesustraan yang awal perwujudanya berbentuk lisan, serta ini dibawa secara turun temurun

dari mulut kemulut, orang tua kepada anaknya atau pelipur lara dan sebagainya ( Ema 1986

:16 ).

Perbandingan dengan kesustraan tertulis antara lain seperti nyang dikemukakan oleh

Teuuw ( 1982 : 78 ), bahwa sastra terulis tidak memerlukan komunikasi secara langsung

antra penikmat dan pencipta, sedangkan sastra lisan biasanya berfungsi sebagai sastra yang

dibacakan dan dibawakan secara bersama – sama.

2.3 Sstra Lisan

Sastra lisan adalah karya sastra yang diciptakan dan disampikan secara lisan dengan

mulut, baik dalam pertunjukan maupun luarnya, ( Hutomo 1983 : 87 ).

Menurut balawa (1991 : 23 ) bahawa sastra lisan adalah sastra yang hidup dan

berkembangan pada zaman klasik, dan diakui sebagai milik bersama di tengah – tengah

masyrakat. Jenis – jenis sastra lisan itu yakni dongeng, cerita rakyat, legenda, mite, sage,

gurindam dan hikayat.

Hutomo ( 1983: 87 -88 ), sastra lisan atau kesustraan adalah kesustraan yang

menyangkut ekspresi warga suatu kehidupan yang disebar luaskan dan turun - temurun secara

lisan dari mulut kemulut. Ciri – cirri sastra lisan menurut Hutomo adalah sebagai berikut :

Page 11: Makalah tradisi lisan kantola

1. Anonim, yaitu karya – karya sastra lisan itu sudah tidak diketahui lagi siapa pengarangnya.

2. Statif, yaitu baik isi cerita maupun bentuknya sangat lamban perkembanganya.

3. Religiusitas, yaitu karya - karya itu berhubungan dengan agama kepercayaan yang dianut.

4. Klise imitatif, yakni baik isi maupun bentuknya selalu meniru yang ada sebelumnya.

2.4 Menghidupkan Atau Memberdayakan Kembali Tradisi Lisan Kantola

Setiap masyarakat mempunyai seperangkat tradisi lisan yang harus digali dari

pengalaman hidup mereka pada masa lalu. Tradisi lisan merupakan produk budaya masa lalu

yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan

khusus, yang kesemuanya itu dianggap baik sehingga patut secara terus-menerus dijadikan

pegangan hidup. Tradisi lisanmerupakan semua kecerdasan tradisional yang ditranformasikan

ke dalam cipta, karya dan karsa, sehingga masyarakat dapat mengatasi berbagai persoalan

hidu dalam berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah.

Maka untuk itu diperlukan kesungguhan dan kerja secara sistematis dan periodik yang

sangat kuat, serta diakrabkan kembali pada masyarakat pendukungnya dalam

mempertahankan eksistensi warisan budaya lokal yang merupakan penunjang kebudayaan

nasional. Untuk itu, langkah penting harus segera dilakukan pemerintah dan lembaga non-

pemerintah serta masyarakat pendukung untuk terus proaktif dalam upaya penyelamatan dan

peningkatan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya. Sebagai warisan budaya, tradisi

lisan kantola, terus diupayakan pelestariannya, seperti tampak pada pertunjukan tradisional

secara periodik, pengintegrasian kantola dalam berbagai bentuk pantun, aktualisasi kantola

dalam masyarakat, dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pelestarian tradisi lisan

kantola.

Demikian pula halnya dengan masyarakat Muna, sebagai masyarakat yang bisa

dikategorikan sebagai masyarakat berbudaya. Masyarakat Muna memiliki tradisi lisan yang

Page 12: Makalah tradisi lisan kantola

telah menjadi sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi,

hukum serta lingkungan di tengah-tengah kehidupan mereka. Tradisi lisan pada masyarakat

Muna bersifat dinamis berkelanjutan dan dapat diterima oleh komunitasnya, serta memiliki

ranah dan dimensi yang sangat luas mulai dari sifatnya yang sangat teologis sampai yang

sangat pragmatis dan teknis. Masyarakat Muna, menciptakan dan mengembangkan tradisi

lisan yang di dalamnya tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berperilaku

dan bertindak, baik dalam hubungan mereka dengan sesama manusia, dengan alammupun

dengan kuasa.

Tradisi lisan dalam masyarakat Muna dikemas berdasarkan pengalaman dalam

berinteraksi dengan alam di sekitar mereka, dengan sesama orang Muna, dan dengan

Kakawasa Ompu (Tuhan Yang Maha Esa). Pengalaman dan pengetahuan empirik yang

diperoleh terus diwariskan dan dikembangkan serta dipertahankan melalui proses

pembelajaran dari generasi ke generasi, di mana bahan ajar dalam proses pembelajaran

tersebut tidak tertulis, tetapi tersimpan disetiap kepala masyarakat Muna, terutama para tetua

adat dan tokoh-tokoh masyarakat Muna. Koentjaraningrat (1992: 79) menyebut proses

pembelajaran seperti ini sebagai pembudayaan atau biasa pula dikenal dengan istilah

institusionalisasi yaitu proses belajar yang dilalui oleh setiap orang selama hidupnya untuk

menyesuaikan diri di alam pikirannya serta sikapnya terhadap adat, sistem norma dan semua

peraturan yang terdapat dalam kebudayaan dan masyarakatnya.

Sebagai produk budaya masa lampau tradisi lisan yang memiliki dimensi yang sangat

luas (Ife, 2002: 301), maka kajian tradisi lisan masyarakat Muna sebagai grand issu kajian

ini, lebih difokuskan pada upaya pengidentifikasian perangkat-perangkat tradisi lisan

masyarakat Muna yang kiranya dapat direvitalisasi sebagai model tradisi lisan, khususnya

tradisi lisan masyarakat Muna berbasis budaya tradisonal. Hasil eksplorasi dan upaya

revitalisasi tersebut akan diberikan pada bagian-bagian berikut ini.

Page 13: Makalah tradisi lisan kantola

2.5 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola secara Periodik

Akhir-akhir ini krisis kebudayaan yang melanda dunia, bukan hanya mengakibatkan

keterpinggiran ilmu-ilmu budaya oleh perkembangan teknologi dan media yang sangat pesat,

tetapi juga berdampak pada terpuruknya apresiasi masyarakat, terutama generasi muda,

terhadap produk-produk tradisi lisan yang tak ternilai harganya, selain unsur filosofis dan

nilai etis yang terkandung di dalamnya. Mayoritas generasi muda lebih suka menikmati dan

menggeluti produk-produk budaya modern dan pop, dan beranggapan bahwa produk-produk

tradisi lisan yang bernuansa tradisional merupakan bagian dari masa lalu yang tidak lagi

sesuai dengan kondisi masyarakat yang dianggap modern, hingga kini.

Tradisi lisan selalu berkembang di dalam suatu proses seiring dengan perkembangan

masyarakat pendukungnya. Masyarakat pemilik budaya tersebut, termasuk pemerintah, harus

selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan perubahan yang

terjadi sehingga tradisi lisan senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan

oleh pengaruh-pengaruh globalisasi yang terus mengancam eksistensinya. Untuk itu

diperlukan berbagai upaya mendorong pelestarian tradisi lisan.

Upaya untuk mempertahankan dan meningkatan apresiasi masyarakat terhadap tradisi

lisan kantola adalah pertunjukan tradisi lisan kantola harus dilakukan secara periodik.

Peningkatan apresiasi masyarakat tentu saja akan membuka peluang besar bagi pertumbuhan

dan perkembangan tradisi lisan semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global.

Tradisi lisan memiliki kekuatan yang bisa mempengaruhi rancang bangun kebudayaan

nasional karena tradisi lisan merupakan produk estetis simbolis masyarakat yang berakar

pada pengalaman sosiokultural sehingga di dalamnya terkandung kearifan dan nilainilai

mulia (Sutarto, 2004: 1). Pengalaman sosiokultural ini menjadi sesuatu yang berharga dalam

mempertahankan eksistensi kehidupan masyarakat dalam menghadapi derasnya arus

Page 14: Makalah tradisi lisan kantola

globalisasi yang setiap saat dapat mengancam segala aktivitas kultural, termasuk keberadaan

tradisi lisan.

Sutarto lebih jauh mengungkapkan bahwa tradisi lisan telah menjadi korban

perubahan dari budaya global yang berdampak pada keterpurukan dan bahkan lambat laun

akan hilang di muka bumi. Gejala keterpurukan dan kepunahan sudah tampak di pelupuk

mata dan ini tidak semestinya terjadi. Jika hal ini dibiarkan maka bangsa Indonesia sebagai

bangsa besar, dengan berbagai jenis tradisinya yang tak terhingga jumlahnya, akan

kehilangan produkkebudayaan. Apabila tidak terjadi peningkatan apresiasi, tradisi lisan akan

gagaln memenangi dukungan masyarakat (communal support) dan dukungan pasar (financial

support). Dukungan masyarakat akan melemah dan dengan sendirinya pewaris tradisi lisan

akan makin berkurang pula. Banyak di antara kita yang tidak sadar dengan fakta bahwa

aktivitas kedaerahan kita telah dipengaruhi, bahkan terkadang ditentukan, oleh peristiwa atau

agen yang jauh (Giddens, 2003: 9).

Budaya global mampu menebus batas-batas dan sekat-sekat lokalitas masyarakat

mana pun di belahan bumi ini. Dia menjadi agen perubahan yang seolah-olah memiliki

remote control dalam mengendalikan segala aktivitas masyarakat sesuai yang dia inginkan.

Anggapan ini melekat dalam masyarakat bahwa globalisasi memberi ruang terhadap

penciptaan produk-produk budaya yang universal, sehingga produk-produk budaya lokal

akan terserap ke dalamnya atau malah sebaliknya, sehingga terjadi tarik menarik di antara

keduanya. Dalam hal ini, terjadi pertemuan antara globalitas dan lokalitas.

Swellengrebel (Astra, 2009: 125) menyebutkan pertemuan antara tradisi besar (great

tradition) dengan tradisi kecil (little tradition) vis a vis. Menurut Astra, tradisi besar tidak

pernah mampu mencerabut tradisi kecil yang memang sudah mengakar di bumi Nusantara.

Kekuatan budaya lokal terwujud dalam bentuk kearifan lokal (lokal genius) yang mampu

menyaring hal-hal positif dari tradisi besar sehingga memperluas cakrawala budaya dan

Page 15: Makalah tradisi lisan kantola

meningkatkan adab bangsa. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya global memiliki

daya tersendiri, magnet yang memiliki daya tarik yang kuat. Dia mampu memutar balikkan

fakta sehingga lambat laun tradisi kecil akan tercerabut dari akarnya. Akhirnya, pemikiran

konvensional akan terus bermunculan yang beranggapan bahwa produk budaya lokal itu kuno

ketinggalan zaman sehingga tidak menarik, sementara budaya global itu selalu bagus dan

menarik dimata masyarakat yang telah dipengaruhi oleh budaya global.

Pertunjukan tradisi lisan kantola merupakan satu dari beberapa pertujukan berbalas

pantun yang menampilkan berbagai unsur pertunjukan tradisional yang ada pada masyarakat

Muna, yang diselenggarakan pada acara pasca perkawinan, syukuran, sunatan, pingitan, dan

pasca panen. Keberadaan kantola yang sekarang ini sudah mulai hilang atau memudar

dikalangan masyarakat Muna.

Mulanya penyelenggaraan pertunjukan tradisi lisan kantola sebagai sarana hiburan

bagi masyarakat daerah Muna sejak dahulu. Manakala ada acara kantola, orang beramai-

ramai mengunjungi keramaian itu untuk mendengarkan kantola yang ditampilkan pada waktu

itu. Orang-orang tua, anak-anak, lebih-lebih para pemuda dan pemudi tidak ingin melewatkan

kesempatan itu. Dalam kondisi seperti itu kantola berperan sebagai sarana jumpa sehingga

momentum itu dapat digunakan untuk menggalang massa. Lewat kantola kita dapat

memberikan informasi pembangunan, agama, dan nasihat-nasihat. Bagi pemuda dan pemudi

mempunyai kesempatan seperti itu dapat digunakannya untuk memperluas pergaulan. Lebih

dari itu dapat pula digunakannya sebagai langkah awal untuk memilih pasangan hidup.

2.6 Foklor Lisan Daerah Muna Sulawesi Tenggara

Foklor lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) ungkapan tradisional (palenda

“sindiran”, falia “pemali”); (b) nyanyian rakyat ( modero ‘nyanyian rakyat dilakukan pada

saat merayakan musim panen pertanian’ , kantola ‘'berbalas pantun’, kabhanti gambusu

‘nyanyian rakyat dilakukan pada saat merayakan musim panen pertanian,pesta-pesta rakyat

Page 16: Makalah tradisi lisan kantola

); (b) bahasa rakyat (patamondono ‘tokoh masyarakat’, modhi anahi ‘tokoh agamalebih

muda’, modhi kamokula ‘tokoh agama yang lebih tua, koghoerano/kosangiano ‘yang

berkuasa dala satu kampung’ , aro desa ‘julukan mantan kepala desa’; (d) teka-teki (wata-

watangke’ bentuk tanya jawab yang yang biasanya dilakukan anak-anak’ ) (e) cerita rakyat

(kapu-kapuuna ‘dongeng’. Misalnya: kapoluka bhe ndoke ‘cerita rakya kura-kura denga

monyet’ , kau-kaudara ‘bentuk nyanyian rakyat biasanya dinyanyikan seorang ibu saat

menidurkan anaknya’ Foklor setengah lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) drama

rakyat (…….); (b) tari ( Linda ‘ tarian biasanya diperankan dipanggung saat proses

pernikahan’, owele ‘sejenis tarian biasanya diperankan anak muda dan orang tua sebelum

proses pernikahan ); (c) upacara ( kampua ‘upacara pencukuran rambut bayi yang berumur

sekitar 44 hari, kasambu ‘upacara ini dilaksanakan apabila bayi dalam kandungan telah

berumur tujuh bulan’, katoba ‘uapaca pengislaman seorang anak yang berusia 7- 10 tahun’,

karia ’upacara pembinaan menta anak wanita apabila telah mencapai usia 13 tahun atau pada

haid pertama’, kagaa ‘upacara perkawinan , omate ‘upacara kematian’. Upacara kematian

terbagi atas: a) kakadiu ‘upacara pembersihan mayat sebelum di kubur’ , oalo ‘ upacara

malam keempatnya’, oefitu, ‘upacara malam ketujuh’ omoghono ‘upacara malam ke seratus’

, patai ‘upacara hari ketiga, , oseriwu ‘upacara hari ke seribu’. Upacara di bidang pertanian

yakni: 1) Kafematai adalah upacara penaburan bibit pertama yang bertujuan agar tanaman

tumbuh subur dan berhasil, tidak diganggu oleh hama dan pemilik kebun selalu sehat dan

selamat; 2) Kafindahino wite atau katambori atau kasolono wite adalah upacara pertama

waktu membuka ladang, yang bertujuan untuk mengetahui apakah tanahnya cocok untuk

diolah atau tidak; 3) Kaago-ago adalah upacara menyambut kedatangan musim barat yakni

memohon keselamatan dan meminta bantuan pada makhluk ghaib supaya dalam musim ini

terhindar dari marabahaya dan produksi jagung berhasil dengan baik; 4) Kaghotino Katumpu

adalah memberi hadiah sebagai ungkapan terima kasih kepada pohon-pohon yang telah

Page 17: Makalah tradisi lisan kantola

mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan umat manusia; 5) Kafotobo adalah upacara yang

dilaksanakan ketika tanaman jagung mulai berbunga; 6) Kabelai adalah upacara yang

dilaksanakan ketika bakal buah jagung mulai ada, dengan tujuan agar bakal buah cepat berisi

dan berbuah bagus; 7) Katumbu adalah upacara berupa pesta yang biasanya dihadiri oleh

sejumlah undangan sebagai tanda syukur kepada makhluk ghaib yang telah memelihara

tanaman jagung hingga berhasil; 8) Katongka adalah upacara panen kedua, yang

dilaksanakan ketika jagung berumur 90 hari yaitu ditandai pada kulitnya yang telah mulai

kering. (d) permainan dan hiburan (tunuha ‘perayaan kesyukuran atas hasil pertanian mereka

yang dihadiri masyarakat umum, pokadudi ’jenis mainan anak-anak atau dewasa yang terbuat

dari kayu dengan menggunakan biji-bijian’ , polangkakope ‘sembunyi-sembunyi’, pohule

‘jenis mainan anak-anak yang terbuat dari kayu berbentuk runcing ujungnya yang biasanya

dipertandingkan dalam masyarakat’, pokaghati ‘layang-layang’; (e) adat kebiasaan ( pokaowa

‘kegiatan tolong menolong/saling membantu secara bergiliran, pokadulu’ kegiatan sosial

dalam masyarakat secara bergotong royong’), (f) pesta rakyat (…………..).

Foklor nonlisan terdiri atas: (a) material (mainan: poelo ‘ main kelereng’, pobente

‘berkejar-kejaran sampai dapat’, pakaian: bheta kamooru ‘sarung tenunan’, makanan:

kambose ‘ jagung tua yang di rebus’ makanan khas Muna’, obat-obatan: rokapaea ‘daun

pepaya’ obat sakit malaria’, (b) bukan material (osuli ‘seruling’, kapu-puu ‘terompet yang

bahannya dari batang padi dan janur’.

Tradisi lisan dalam masyarakat Muna meliputi antara lain: (a) sastra lisan (..........); (b)

teknologi tradisional (kagili ‘alat penggiling jagung muda yang terbuat dari kayu’, pando

newulu ‘tombak yang terbuat dari bamboo yang digunakan untuk menombak babi atau

anjing’, katumbu ‘alat penumbuk jagung atau padi yang terbuat dari kayu’); (c) unsur religi

dan kepercayaan masyarakat di luar batas formal agama-agama besar, misalnya (kantisele/

Page 18: Makalah tradisi lisan kantola

karoro ‘proses pengobatan tradisional melalui mantra-mantra’ , ghoti isa ‘ritual yang

bertujuan untuk memudahkan mendapat rezeki atau kemudahan dalam segala urusan’.

2.7 Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara

Kata Masyarakat dan Muna terdiri tiga unsur: pertama, konsep masyarakat mengacu

pada suku bangsa atau kelompok etnik yang dicirikan berdasarkan wujud kebudayaan dan

corak tradisi yang digunakan dalam kapasitasnya sebagai unsur budaya, indeks budaya, dan

simbol budaya. Sejalan dengan itu, Koentjaraningrat (Hadirman, 2009: 9) mengartikan suku

bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan

kebudayaan, yang seringkali dikuatkan oleh kesatuan tradisi. Kesatuan kebudayaan dan

tradisi dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi berdasarkan

konvensi para anggotanya. Sosok kebudayaan suatu kelompok masyarakat tercermin, antara

lain dengan bentuk tradisi yang mereka gunakan dalam konteks sosial dan konteks budaya.

Adapun masyarakat Muna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang

bermukin dikecamatan Lawa dan Kontunaga. Kedua, Muna merupakan nama salah satu

wilayah yang mana wilayahnya tersebut menjadi ibukota atau pusat pemerintahan Daerah

Tingkat II Muna. Ketiga, Sulawesi Tenggara adalah merupakan salah satu wilayah di Pulau

Sulawesi yang memiliki hak otonom dalam hal pemerintahan sehingga memiliki status

sebagai Provinsi Sulawesi Tenggara. Jadi masyarakat Muna yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah masyarakat Muna yang mengacu pada suatu suku bangsa atau kelompok etnik

yang berada di kabupaten muna, akan tetapi lokasi penelitian ini di pusatkan pada dua

kecamatan Bata Laiworu, Desa Wakorambu, bukan pada wilayah kabupaten Muna secara

keseluruhan.

2.8 Era Globalisasi

Kata era berarti ‘jaman, masa, tarikh’. Adapun kata globalisasi merupakan kata yang

diserap dari kata bahasa Inggris dari kata globe yang artinya ‘bola dunia’ (Poerwarminta,

Page 19: Makalah tradisi lisan kantola

1988: 61). Dari kata globe muncul kata global yang diartikan “sedunia, sejagat’ dan kata

globalisasi yaitu gejala terbentuknya system organisasi dan sistem komunikasi antara

masyarakat-masyarakat di seluruh dunia yang mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama.

Sistem-sistem yang bersifat global terbentuk sebagai akibat dari sistem transport udara yang

makin lamamakin cepat, dan karena sistem komunikasi person-to-person serta komunikasi

massa yang mampu menyelenggarakan hubungan atas dasar hitungan waktu yang diukur

dengan jam, menit, detik ataupun dalam seketika (Sumardjan, 2007: 23).

Berdasarkan uraian tentang masing-masing bagian konsep tersebut di atasmaka dapat

dirumuskan bahwa globalisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu jaman

atau massa di mana sistem organisasi dan sistem komunikasi antara masyarakat-masyarakat

di seluruh dunia mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama atau hampir sama.

Jadi defenisi oprasional Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna

Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi adalah merupakan pengokohan jati diri yang

menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa strateginya tradisi lisan kantola,

sebagai media ekspresi, dalam menghadapi derasnya arus globalisasi. Selain itu, mampu

mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal tersebut, yang

dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat bertahan

dalam menumbuhkan kemampuannya.

Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya lokal sehingga

dapat mengaktualisasi diri dalam konteks global. Pengembangan budaya lokal dapat

dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran budaya lokal, dengan menciptakan ruang bagi

pengembangan kreativitas lokal sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kultural tanpa

mengorbankan nilai-nilai dasar budaya lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus

menjadikan budaya lokal sebagai kebutuhan dalam menyejahterakan masyarakat. Adapun

indikator yang menyangkut revitalisasi tradisi lisan antara lain:

Page 20: Makalah tradisi lisan kantola

1. Kesadaran untuk menanamkan cara hidup berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya

lokal dalam memperkokoh jadi diri masyarakat lokal.

2. Menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi

derasnya arus globalisasi.

3. Membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan

peran dari lembaga adat.

4. Memulihkan dan membangkitkan kembali ingatan dan kesadaran kolektif masyarakat lokal

sehingga tidak tercabut dari akarnya.

5. Dorongan untuk menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah pada

perkembangan budaya lokal.

2.9 Teori Hegemoni

Masyarakat Muna adalah salah satu etnis besar yang termaginalisasi dari segi tradisi,

yang diakibatkan oleh modernisasi. Proses pengikisan tradisi lisan secara perlahan yang

melupakan identitas individu dan budaya-budaya lokal, sehingga berdampak pada

kecenderungan sikap masyarakat yang konsumerisme.Hal ini bisa berdampak dengan

semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal. Pudarnya sebuah tradisi atau kebudayaan

lisan disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan adalah sesuatu yang kuno atau bagian

dari masa lalu. Oleh karena itu, problematika kehidupan masyarakat Muna dapat dikaji

dengan menerapkan teori hegemoni Wacana hegemoni yang dapat diterapkan untuk

menelaah masalah mengapa mulai ditinggalkannya tradisi lisan kantola dalam masyarakat

Muna adalah analisis wacana hegemoni dari Foucault dan Gramsci. Analisis geneologi

Foucault tentang formasi diskursif mengetengahkan antara hubungan pengetahuan dan

kekuasaan. Tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan, sebaliknya tidak ada pengetahuan tanpa

ada kekuasaan yang mendukungnya (Foucault, 1977).Selanjutnya Foucault menawarkan tiga

konsep pendisiplinan, yaitu (1) ilmu-ilmu pengetahuan yang menempatkan subjek sebagai

Page 21: Makalah tradisi lisan kantola

objek penyelidikan; (2) praktik - praktik pemisahan yang memilah antara yang waras dengan

yang gila, antara yang kriminal dengan warga yang taat hukum, dan antara kawan dengan

lawan; (3) teknologi-teknologi tentang diri yang digunakan individu untuk mengubah diri

mereka menjadi subjek (Barker, 2004: 107). Sesuai dengan formasi diskursif dan praktik-

praktik pemisahan yang dikemukan Foucault tersebut, masyarakat Muna diwacanakan

sebagai lawan yang harus ditaklukkan oleh pihak lain.

Menurut Simon (1999: 19) secara esensial hegemoni bukan merupakan hubungan

dominasi inherent dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi kesepahaman dengan

penggunaan kepemimpinan politik dan ideologi, sehingga hegemoni merupakan organisasi

konsensus. Dalam hegemoni kontrol sosial dilakukan dengan cara membentuk keyakinan ke

dalam. Namun demikian, yang berlaku adalah supremasi kelompok dalam hegemoni yang

diperoleh bukan atas penindasan tetapi melalui konsensus menggiring cara pandang orang

dalam menyikapi problematik sesuai dengan cara pandang kelas sosial yang

menaklukkannya.

Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang dapat muncul melalui mekanisme

konsensus daripada melalui penindasan terhadap kelompok sosial lainnya, yakni melalui

institusi yang ada dalam masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung

struktur-struktur kognitif dari masyarakat (Hendarto, 1993: 35). Itulah sebabnya hegemoni

menurut Gramsci pada hakikatnya adalah upaya untuk menggiring orang menilai dan

memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Melalui hegemoni, cara

pandang dan keyakinan masyarakat akan dipengaruhi sehingga kehilangan kesadaran kritis

mereka terhadap sistem yang ada. Hal ini berimplikasi bahwa seolah-olah kelompok

penguasa memberikan kebebasan bagi kelompok yang tertindas dalam berekspresi. Namun,

sesungguhnya hal itu adalah strategi yang diterapkan kelompok penguasa sehingga tidak

terlihat adanya tekanan bagi kaum tertindas. Hegemoni merupakan suatu tatanan atau cara

Page 22: Makalah tradisi lisan kantola

hidup dan pemikiran kelompok tertentu menjadi dominan, yakni suatu konsep realitas yang

disebarkan ke seluruh masyarakat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan pribadinya

yang mempengaruhi seluruh cita rasa, moralitas, kebiasaan, prinsip, agama dan politik, serta

seluruh hubungan sosial terutama dalam pengertian intelektual dan moral (Fakih, 2000).

Dalam konteks konsensus, Gramsci mengajukan tiga kategori konformitas/

penyesuaian bagi masyarakat yang tidak mampu beroposisi, yaitu (1) orang akan

menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila tidak

menyesuaikannya; (2) orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-

tujuan tertentu; (3) konformitas yang muncul dari tingkahlaku yang mempunyai tingkatan-

tingkatan kesadaran dan persetujuan dengan unsurunsur tertentu dalam masyarakat

(Hendarto, 1993: 36). Dalam konteks ini hegemoni terus-menerus diperbaharui. diciptakan

dipertahankan dan dimodifikasi.

Hegemoni juga ditantang, dibatasi, diubah, dan dihadang oleh tekanan dari luar,

sehingga hegemoni selalu peka terhadap alternatif. Upaya revitalisasi tradisi lisan dalam

masyarakat Muna adalah bagian dari perlawanan terhadap hegemonik yang sedang dialami

oleh masyarakat Muna.

Teori di atas, digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dalam penelitian ini

yakni tentang menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola masyarakat

Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, juga model rekonstruksi tradisi lisan kantola

sebagai kekayaan budaya masyarakat tersebut. Faktor penunjang dan penghambat tersebut

dicurigai berasal dari dalam masyarakat Muna itu sendiri dan ada yang berasal dari luar

masyarakat, seperti pemerintah daerah dan pihak-pihak lain. Begitu pula dengan

kemungkinan merekonstruksi tradisi lisan kantola sebagai strategi dalam mengembangkan

identitas tidak terlepas dari peranan masyarakat, khususnya masyarakat Muna dan juga

Page 23: Makalah tradisi lisan kantola

adanya campur tangan pemerintah daerah. Sebab menurut Wibowo (2000: 45), pemerintah

daerah dan masyarakat saling berinteraksi.

Mengacu pada teori hegemoni di atas, dengan mulai ditinggalkanya nilainilai tradisi

lisan kantola yang diakibatkan oleh pengaruh budaya global terhadap perkembangan budaya

masyarakat Muna. Budaya global memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan

budaya lokal, dalam hal ini tradisi lisan kantola yang merupakan identitas masyarakat lokal

Muna. Namun seiring dengan gencarnya budaya global mempengaruhi keberadaan tradisi

lisan dan identitas masyarakat Muna. Budaya global dengan kekuasaan kapitalisme dan

hegemoni kultural melalui media terus mengancam keberadaan budaya lokal ini.

BAB III

METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, makapenelitian ini

menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penggunan ini bertujuan untuk

mendeskripsikan secara sistematis, factual, dan akurat dengan menggunakan kata – kata atau

kalimat. Semuanya diuraikan sesuai dengan kenyataan yang ditemukan dilapangan penelitian.

3.2 Jenis Penelitian

Ditinjau dari data dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka

penelitian ini tergolong penelitian lapangan karena peneliti terlibat langsung kelapangan

untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

3.3 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah tradisi lisan kantola yang digunakan Masyarakat

Muna bertdasrakan bentuk, funsi, dan maknanya.Tradisi lisan kantola tersebut langsung

dicatat dari informan yang menuturkanya.Informan yang dimaksud dalam penelitian ini

Page 24: Makalah tradisi lisan kantola

adalah para orang tua yang berdomisili di Desa Wakorambu, Kecamatan Bata Laiworu,

Kabupaten Muna.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap pengumpulan data, peneliti mendatangi dimana tempat dimana informan

sedang menggunakan tradisi lisan kantola secara langsung. Untuk memperoleh data yang

diperlukan pada objek penelitian maka dalam tahap tersebut peneliti menngunakan beberapa

teknik diantaranya: teknik wawancara teknik catat.

1. Pada teknik wawancara penulis mewawancarai informan atau yang menuturkanya untuk

menjelaskan atau menyebutkan tradisi lisan kantola.

2. Teknik catat, digunakan untuk mencatat hal - hal penting dari kegiatan wawancara untuk

mendpatkan informasi tambahan yang berkaitan denganobjek penelitian yang dimaksud.

3.5 Teknik Analisis Data

Data dalam penelitian ini di analisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif

kualitatif. Data dideskripsikan dalam bentuk kata – kata atau kalimat yakni menguraikan

menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola pada Masyarakat Muna

yang terdapat di Desa Wakorambu, Kecamatan Bata Laiworu.

Analisis data menggunakan dan pendekatan structural yaitu pendekatan yang

memandang karya sastra terdiri atas seperangkat struktur yang berhubung satu sama lainya

dan bersifat otonom, kemudian dengan menggunakan prosedur sebagai berikut:

1. Mengklasifikasikan data.

2. Penyajian data yaitu menyajikan data penelitian berdasarkan klasifikasi yang sudah diambil

dari informan yang telah menuturkan tradisi lisan kantola.

3. Mengidentifikasi makna yang terdapat disetiap kalimat tradisi lisan kantola.

4. Menganalisis bentuk fungsi dan maknasetiap kalimat penggunaan tradisi lisan kantola

berdasarkan yang telah di identifikasi.