NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM...

download NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4786/1/ZULKIFLI... · dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

If you can't read please download the document

Transcript of NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM...

  • NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

    Oleh:

    Zulkifli

    NIM : 105043101315

    KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1433 H/2011 M

  • NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

    Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

    Oleh

    Zulkifli

    NIM. 105043101315

    Pembimbing:

    Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag

    NIP. 196511191998031002

    KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1433 H/ 2011 M

  • PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi yang berjudul Nikah Misyar Dalam Pandangan Hukum Islam, telah

    diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai

    salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syariah (S.Sy) pada

    Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan

    Mazhab Fikih.

    Jakarta, 14 Desember 2011

    Mengesahkan,

    Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

    Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma,SH., MA., MM

    NIP. 195505051982031012

    PANITIA UJIAN

    Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag

    NIP. 196511191998031002 : (.................................)

    Sekertaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si

    NIP. 197412132003121002 : (.................................)

    Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag

    NIP. 196511191998031002 : (.................................)

    Penguji I : Dr. Ahmad Tholabi, MA

    NIP: 197608072003121001 : (.................................)

    Penguji II : Hj. Rosdiana, MA

    NIP. 196906102003122001 : (.................................)

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam

    Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai

    dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

    merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Jakarta, 22 Muharram 1433 H

    20 Desember 2011 M

    Penulis

  • i

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

    SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber dari kenikmatan hidup

    yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi Asma-Nya sehingga

    penulis diberikan kekuatan yang begitu melimpah dari kekuatan fisik hingga

    psikis untuk tetap menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: NIKAH MISYAR

    DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

    Salawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi

    Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat dan pengikutnya yang telah

    membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup

    manusia, dan pencerahan atas kegelapan manusia yang dijadikan sebagai sebuah

    pembelajaran bagi umat muslim hingga akhir zaman.

    Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi syarat akhir untuk mencapai

    Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Progam Studi Perbandingan Mazhab dan

    Hukum, Konsentrasi Perbandingan Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

    Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan

    motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

    yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

  • ii

    1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, SH., MA., selaku Dekan

    Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku ketua Progam Studi

    Perbandingan Mazhab dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang

    rela meluangkan waktu, memberikan ilmu dan masukan-masukan yang

    sangat bermanfaat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi, dan Bapak

    Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku sekretaris Progam Studi

    Perbandingan Mazdhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga

    dan pikirannya untuk mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yang

    berguna.

    4. Segenap karyawan Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas

    Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta dan tak lupa Segenap karyawan Perpustakaan Umum wilayah

    Jakarta Barat dan Jakarta Selatan yang telah memberikan bantuan berupa

    bahan-bahan yang dapat dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini.

    5. Kedua orang tua saya, ayahanda Zainal Abidin Sirait dan Ibunda Nasriyah

    Marpaung yang sangat penulis hormati dan cintai, selalu memberikan

    kasih sayang yang begitu melimpah kepada penulis, yang telah

    memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kelancaran dan

  • iii

    kesuksesan penulis. Untuk adik-adikku, Irfan Sirait, Husnul Fatah Sirait

    dan spesial buat Rahmayani Butar-butar, terima kasih atas dorongan dan

    doanya. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan

    kasih sayangnya kepada mereka.

    6. Sahabat-sahabat PMF angkatan 2005, Dermawan, Teddy Bear, Zulfahmi,

    Inayatullah, Faisal Kurniawan, dan yang lainnya, yang tak bisa penulis

    sebutkan semua.

    7. Teman-teman seperjuangan, Afud, Afank, Anton, Anwar, Ferly, Makin,

    Riza, Deol, Gengsar, Aris, Roji, Derry, Eddy, Basiruddin, Grossy, Ady

    Oo, dan anak-anak Wek-wek, FKDU Jakarta, yang tak bisa penulis

    sebutkan satu persatu.

    Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril

    maupun materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah

    SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai

    amal jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudah-

    mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua

    pihak. Amin.

    Jakarta, 20 Desember 2011 M

    Penulis

  • iv

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .................................................................................... i

    DAFTAR ISI ................................................................................................. iv

    BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1

    A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

    B. Pembatasan dan perumusan Masalah ............................... 9

    C. Kajian Pustaka .................................................................. 10

    D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 11

    E. Metode Penelitian ............................................................. 12

    F. Sistematika Penulisan ....................................................... 15

    BAB II : LANDASAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN ... 16

    A. Defenisi dan Dasar Hukum Perkawinan ......................... 16

    B. Filosofi Perkawinan .......................................................... 23

    C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang ................... 25

    BAB III : FENOMENA PERKAWINAN MISYAR .......................... 31

    A. Pengertian dan Seputar Perkawinan Misyar ..................... 35

    B. Prinsip dan Tujuan Dalam Perkawinan Misyar ................ 39

    C. Alasan-alasan Dalam Perkawinan Misyar ........................ 45

  • v

    BAB IV : NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM

    ISLAM ................................................................................... 48

    A. Kontroversi Pendapat Mengenai Nikah Misyar ............... 48

    B. Nikah Misyar Menurut Pandangan Hukum Islam ............ 52

    BAB V : PENUTUP .............................................................................. 62

    A. Kesimpulan ...................................................................... 62

    B. Saran ................................................................................. 63

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 64

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Islam adalah agama yang syamil (universal). Agama yang mencakup

    semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini,

    yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh

    nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil. Itulah Islam, agama yang

    memberi rahmat bagi sekalian alam.

    Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai

    bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana

    memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam

    menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan

    sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan

    tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

    begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan

    pesona. Islam mengajarkannya.

    Nikah merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling afdhal dalam

    upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah

    seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab

    itulah Rasulullah SAW mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah

    jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya Agama Islam

    mengisyaratkan perkawinan sebagai satu-satunya bentuk hidup secara

  • 2

    berpasangan yang dibenarkan, yang kemudian dianjurkan untuk

    dikembangkan dalam pembentuk keluarga. Dalam hubungan perkawinan,

    sangwanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat. Disini martabat

    keduanya tidaklah berbeda.1 Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang

    sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga, karena itu perkawinan sangat

    dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan.

    Melalui nikah kebutuhan naluriah yang pokok dari manusia (yang

    mengharuskan dan mendorong adanya hubungan antar pria dan wanita)

    tersalurkan secara terhormat sekaligus memenuhi dan panggilan moral yang

    ditegakkan oleh agama. Pernikahan atau tepatnya berpasangan merupakan

    ketetapan ilahi atas segala makhluk. Mendambakan pasangan merupakan

    fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa,

    oleh karena itu agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan

    wanita, kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya

    perkawinan dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi

    ketenteraman atau sakinah.

    Islam dan undang-undang perkawinan merupakan informasi dan

    pengetahuan tentang nikah, sebagai suatu upaya untuk meningkatkan

    kesadaran nikah, disamping merupakan upaya preventif terhadap

    berkembangnya bentuk pasangan diluar nikah, juga membantu penanganan

    1 Ali Yafie, Menggas Fiqih Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah,

    Bandung: Mizan, 1994, h. 256

  • 3

    dalam masalah kesejahteraan keluarga dan ketertiban masyarakat.2

    Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan

    menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsyaqon gholidon

    untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3

    Hal

    tersebut sesuai dengan UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1 yang

    menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

    dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

    keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

    Yang Maha Esa.4

    Menurut Robert L. Suteherland dalam bukunya Introductory Sociology

    mendefinisikan bahwa perkawinan adalah bentuk hubungan khusus (khas)

    antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang didalamnya terdapat

    hak dan kewajiban bersama.5

    Dan menurut Prof Subekti SH mendefinisikan

    bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan

    seorang perempuan dalam waktu yang lama.7 Sedangkan menurut Sulaiman

    Rasyid dalam bukunya "Fiqh Islam" mendefinisikan bahwa perkawinan yaitu

    akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban beserta

    bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

    2 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisa dan Undang-undang No.1 Tahun

    1994 dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta, 1999 3 Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademia Pressindo, 1992, h. 114

    4 UU Perkawinan (UU RI No. 1 Tahun 1994) Beserta Pebnjelasannya, Yogyakarta: Pustaka

    Widyatama, 2004, h. 8 5 Subki Djunaedi, Pedoman Mencari dan Memilih Jodoh, Bandung: CV Sinar Baru, 1992, h.

    15

  • 4

    antara keduanya bukan muhrim.6

    Dari beberapa pendapat di atas dapat kita fahami bahwa hakekat nikah

    bersifat lahiriyah (eksoteris). Tetapi kemudian dimasukkan unsur-unsur

    esoteris (batiniah) dan sekaligus dengan tujuan agar perkawinan tidak terikat

    didalam seks saja. Seperti di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam pasal

    1 UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Sehingga negara yang berdasarkan

    Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan bukan saja

    mempunyai unsur lahiriyah atau jasmaniah. Tetapi unsur batin maupun rohani

    juga mempunyai peranan yang sangat penting untuk membentuk keluarga

    yang bahagia yang pula merupakan tujuan perkawinan.

    Seperti kita ketahui keterkaitan seorang terhadap lawan jenisnya oleh

    syari'at diarahkan kepada sebuah lembaga yang disebut pernikahan. Pada

    awalnya nikah hanya merupakan konsep sederhana yaitu konsep menyatukan

    yaitu menyatukan dua orang berlainan jenis dengan satu ikatan ( )

    tertentu dan dengan rukun dan syarat tertentu pula jika kemudian muncul

    model syigar, mut'ah ataupun muhallil, dikarenakan adanya perkembangan

    permasalahan yang berdampak pada perkembangan pemikiran.

    Seperti halnya dengan praktek kawin misyar, secara prinsipil tidak jauh

    berbeda dengan nikah biasa, artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan

    rukun dari nikah bisa terdapat pula pada pernikahan misyar, dan juga seorang

    laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah atau bersama laki-laki

    6 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1996, h. 23

  • 5

    dirumahnya (laki-laki).7

    Biasanya kawin semacam ini terjadi pada istri kedua

    dan laki-laki yang melaksanakan kawin semacam ini sudah mempunyai istri

    yang lebih dulu tinggal bersama di rumahnya.

    Tujuan kawin semacam ini adalah agar suami dapat bebas dari kewajiban

    terhadap istri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan

    nafkah memberikan hak yang sama dibanding istri yang lain (istri pertama).

    Diskon itu hanya diperoleh oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang

    sangat membutuhkan peran seorang suami dalam mengayomi dan

    melindunginya (meskipun dalam bidang materi sang suami tidak dapat

    diharapkan).

    Padahal kewajiban yang paling pokok bagi seorang suami adalah

    memberikan nafkah kepada istrinya, sedangkan bagi istri, pemberian itu

    adalah hak yang mesti harus diterima.8

    Karena dalam ikatan perkawinan akan

    menimbulkan status dan peranan, sehingga akan menimbulkan hak dan

    kewajiban yang berupa nafkah.9

    Apabila nafkah diberikan sebagaimana

    mestinya, tidak dikurangi maka akan dapat mendatangkan keharmonisan dan

    kebahagiaan dalam rumah tangga.

    Beberapa kenyataan penting tentang kelebihan laki-laki dibanding

    perempuan, yakni laki-laki bertanggung jawab, atas seluruh kehidupan

    7 Yusuf al-Qardawi, Hadyul Islam Fatawa Muashirah, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

    Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 394 8 Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Niscaya Menjadi Kaya, Yogyakarta: Mitra Pustaka,

    2001, h. 259. 9 Moh Rifai, Ilmu Fiqh Islam, Semarang: CV Toha Putra, 1978, h. 505

  • 6

    perempuan. Pertama hingga mencapai usia dewasa, perempuan menjadi

    tanggung jawab ayahnya, atau orang lain yang bertindak sebagai walinya.

    Jika setelah dewasa ia dapat memperoleh penghasilan sendiri, barulah ia

    membiayai dirinya sendiri. Tetapi jika tidak, maka ayah dan walinya yang

    wajib menanggung kehidupannya.

    Kedua dalam pernikahan seorang wanita sama sekali tidak dibebani

    kewajiban memberi mas kawin. Ketiga seorang wanita apabila telah

    bersuami, seluruh kebutuhan hidupnya menjadi tanggungan suaminya,

    walaupun ia seorang wanita kaya. Keempat prialah yang berkewajiban

    menanggung seluruh kebutuhan keluarga, prialah yang dituntut untuk

    menyediakan tempat tinggal dan memikul seluruh biaya yang dibutuhkan

    oleh anak-anaknya.10

    Pemberian nafkah adalah kewajiban suami, misalnya

    menyediakan tempat tinggal terpisah.

    Para ulama madzhab sepakat bahwa nafkah untuk isteri itu wajib, yang

    meliputi tiga hal yaitu pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar

    kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak.

    Karena itu, suami yang baik tertentu akan selalu berupaya memenuhi

    kewajibannya, sebab dapat menambah rasa cinta kasih, melahirkan

    kebahagiaan, menegakkan ketaatan, dan menaburkan kesetiaan terhadap

    isteri. Tentu saja dia akan lebih mengutamakan nafkah keluarga sebelum

    memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain. Bahkan sebagai suami tidak akan

  • 7

    merasa keberatan memberikan hadiah, baik berupa barang maupun tambahan

    nafkah, kepada istrinya.11

    Sehingga sebagai orang memprotes bahwa nikah model ini bertentangan

    dengan apa yang telah diterapkan oleh Allah SWT, sesuai dengan ketetapan-

    Nya. Kaum laki-laki mempunyai hak untuk mengawasi wanita dan

    bertanggung jawab atas diri wanita beserta seluruh anggota keluarga. Dalam

    pelaksanaan model ini, seorang laki-laki tidak dituntut memberikan nafkah

    kepada wanita dan tidak pula berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi

    para istrinya.12

    Seperti pendapatnya Ibnu Hazm, apabila terjadi perkawinan,

    maka wajib nafkah, suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya

    semenjak adanya akad, baik ia berniat akan membentuk rumah tangga

    ataupun tidak, meskipun isteri masih kanak-kanak, baik perempuan itu nusyuz

    kepada suaminya ataupun tidak, baik si isteri itu miskin atau kaya, masih

    punya ayah maupun yatim, merdeka ataupun budak, menurut

    kemampuannya.13

    Berangkat dari pemahaman di atas menarik untuk mengkaji sebuah

    perkawin misyar. Yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Nikah

    Misyar Dalam Pandangan Hukum Islam yang mana bahwa seorang suami

    dapat bebas dari kewajiban terhadap istrinya untuk memberikan hak yang

    10

    Shalah Abdul Qadir al-Bakriy, Al-Quran dan Pembinaan Insan, Bandung: Al-Maarif,

    1983, h. 305 11

    Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Niscaya Menjadi Kaya, h. 263 12

    Yusuf al-Qardawi, Hadyul Islam Fatawa Muashirah, h. 405 13

    H.S.A al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) Jakarta: Pustaka Al-Mani,

    2002, h. 148

  • 8

    sama dibanding istri yang lain.

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    Berhubung karena judul skripsi ini amat luas, maka penulis membatasi

    pembahasannya sekitar permasalahan proses terjadinya perkawinan misyar

    dan latar belakang timbulnya perkawinan misyar, serta syarat dalam

    melakukakan pernikahan misyar.

    Dari pembatasan masalah ini, maka pokok masalah dalam skripsi ini

    dapat dirumuskan sebagai berikut:

    1. Faktor apa saja yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah misyar?

    2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kawin misyar?

    C. Kajian Pustaka

    Pembahasan seputar perkawinan sebenarnya sudah banyak dibahas

    sebelumnya, namun mengenai kewajiban suami untuk memberi nafkah tidak

    banyak yang membahasnya. Demikian juga mengenai suami diberi

    keringanan dalam hal pemberian nafkah kepada istrinya yang merupakan inti

    dari kawin misyar, sebagaimana fatwa Yusuf Qardawi yang memperbolehkan

    kawin misyar dalam kitabnya Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu.

    Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh al-Sunnah, menerangkan panjang lebar

    mengenai hukum kewajiban memberi nafkah, namun mengenai keringanan

    memberi nafkah tersebut tidak menyinggungnya. Secara garis besarnya ia

    menyatakan tentang hukum pemberian nafkah ini bahwa para ahli fiqh

    sepakat tentang kewajiban suami membelanjai istri-istrinya, kecuali kalau

  • 9

    istri tersebut berbuat durhaka.14

    Demikian juga Ibnu Hazm dalam buku fiqih

    wanita karangan Syekh Kamil Muhammad Uwaidah mengatakan seorang

    suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istrinya sejak selesainya

    pelaksanaan akad nikah, baik si istri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau

    miskin, memiliki orang tua atau yatim, masih gadis maupun sudah janda,

    merdeka maupun budak belian, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.

    Abu Sulaiman, para sahabatnya dan Sufyan ats-Tsauri mengatakan:

    Pemberian nafkah merupakan kewajiban suami atas wanita yang masih gadis

    dan sejak pelaksanaan akad nikah dengannya, demikian lanjut Ibnu Hazm.15

    Dan dalam bukunya Perkawinan Terlarang Dr. Muhammad Fuad

    Syakir, mengatakan bahwa perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin

    cepat dan mudahnya gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di

    dunia ini. Pada hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang

    laki-laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun dan syaratnya, hanya saja

    sang istri harus mengalah dari beberapa hak-haknya, seperti mendapatkan

    tempat tinggal, atau tempat yang disiapkan oleh suaminya, dan dari hak

    nafkah, yaitu pembagian yang adil antara dia dengan istri lainnya.16

    Dari beberapa buku yang telah penulis kaji, mengungkapkan bahwa

    nafkah adalah kewajiban bagi seorang laki-laki terhadap istri. Tetapi dalam

    14

    Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Maarif, 1982, h. 65 15

    Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, h.

    404 16

    Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2002,

    h. 17

  • 10

    kawin misyar tidak ada tuntutan bagi suami untuk memberikan nafkah pada

    istrinya, dimana hal semacam ini diperbolehkan sehingga permasalahan ini

    menarik untuk dikaji.

    D. Tujuan dan Manfaat

    Dengan mengacu pada latar belakang diatas tersebut ada beberapa pokok

    permasalahan yang akan penulis bahas dalam bentuk skripsi, namun dari

    beberapa pokok permasalahan yang akan penulis bahas pada pokok

    permasalahan dibawah ini :

    1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya kawin misyar.

    2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kawin misyar.

    Adapun kegunaan dari hasil penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

    a) Aspek Teoritis

    Hasil studi diharapkan dapat dipergunakan untuk memperkaya

    khazanah hukum perkawinan, terutama dalam perkawinan misyar.

    b) Aspek Praktis

    Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi sebuah acuan bagi

    pihak-pihak yang membutuhkan baik untuk pedoman lebih lanjut maupun

    sebagai bahan penyuluhan dalam bidang perkawinan, terutama dalam

    perkawinan misyar.

  • 11

    E. Metode Penelitian

    Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah, perlu menggunakan pendekatan

    yang tepat dan sistimatis, sebagai pegangan dalam penulisan skripsi dan

    pengolahan data untuk memperoleh data yang valid, penulis menggunakan

    metode yaitu:

    1. Pengumpulan Data

    Untuk memperoleh data yang valid, penulis menggunakan metode

    library research (penelitian kepustakaan) yang bertujuan untuk

    mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan semacam material

    yang terdapat diruang perpustakaan, misalnya: buku-buku,

    naskah-naskah, catatan dan kataloq. Pada hakikatnya data yang diperoleh

    dengan jalan penelitian kepustakaan dijadikan fondasi dan alat utama

    bagi praktek penelitian ditengah lapangan.17

    Data-data tersebut dapat

    diklasifikasikan sebagai berikut:

    a. Sumber Data Primer

    Yaitu sumber data yang memberikan informasi dan data secara

    langsung, adapun sumber data primer yang penulis gunakan adalah:

    Yusuf Qardawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu.

    17

    Kartini Kartono, Pengantar Metodelogi Riset Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001,

    h. 33

  • 12

    b. Sumber Data Skunder

    Yaitu sumber data yang berupa kitab fiqih, hadits, tafsir karya para

    ulama serta literatur lainnya yang berhubungan tentang nikah misyar.

    Diantaranya adalah:

    a) Abdul Ar-Rahman Al-jaziri, Kitab al-fiqh ala al-Mazahib

    al-Arbaah, Juz IV.

    b) Ali Ansori, Al-Mizan al Kubra, Juz II.

    c) Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fath al-Muin.

    d) Muhammad Jawad Al-Mugniyah, Al-Fiqh Ala al-Mazahib

    al-Khamsah.

    e) Najamudin Amin Al-kurdi. Tanwir al-Qalb.

    2. Teknik Pengumpulan Data

    Untuk mempermudah dalam memperoleh data pada pembahasan ini,

    maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara

    membaca dan menalaah buku-buku atau sumber tentang hukum Islam dan

    kitab-kitab hukum Islam yang ada hubungannya tentang diperbolehkannya

    kawin misyar.

    Teknik ini dalam teori penelitian dikenal sebagai sebagian dari

    langkah-langkah metode deskriptif.

  • 13

    3. Teknik Pengolahan Data

    Dalam menganalisa data-data yang dapat dari literatur yang ada,

    penulis menggunakan pengelolaan dengan tahapaan-tahapan sebagai

    berikut:

    a. Editng: Pemeriksaan kembali data yang didapat dengan cermat dan teliti,

    terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesuaian, keselarasan,

    relevansi dan keseragaman antara yang satu dengan yang lainnya.

    b. Organizing: pengorganisasian data dengan cara menyusun dan

    mensistimasikan serta mengklasifikasikan data-data yang didapat.

    c. Analyzing: mengadakan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian

    data yang menggunakan kaedah-kaedah dan teori dan dalil berkenaan

    dengan kebolehan kawin misyar secara jelas dan lengkap.

    4. Metode Analisa Data

    Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif

    untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Agar fakta dan analisa

    menjadi tepat, maka sifat penelitian ini adalah deskriptik-analitik yang

    bertjuan menggambarkan secara integral tema-tema umum seperti kawin

    misyar. Sedangkan data yang digunakan terdiri dari data primer dan

    sekunder. Untuk memperoleh data tersebut, penulis melakukan penelitian

    dengan menggunakan penelitian pustaka (librery research), yaitu menalaah

    melalui buku-buku, kitab-kitab dan sebagainya yang terkait dengan obyek

  • 14

    penelitian yang kemudian dijadikan sebagai sumber data.

    Dalam menganalisis data tersebut penulis menggunakan pendekatan

    normatif, yaitu dengan cara mendekati masalah dengan melihat apakah

    boleh atau tidak, sesuai atau tidak menurut norma berdasarkan

    prinsip-prinsip hukum Islam khususnya berkaitan dengan hukum Islam

    khususnya dalam bidang muamalah karena kajian ini menggunakan

    pendekatan normatif, maka alat analisis utama yang dipergunakan

    al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama hukum Islam kemudian

    didukung dengan sumber-sumber hukum Islam yang lain yang berkaitan

    dengan perkawinan Islam.

    5. Teknik Penulisan

    Adapun teknik penulisan skripsi ini adalah berpedoman kepada buku

    Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syaariah dan Hukum UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

    F. Sistematika Penulisan

    Untuk mempermudah penyusunan hasil penelitian ini, maka

    pembahasannya dikelompokkan dalam lima bab, yang penjelasannya adalah

    sebagai berikut:

    Bab I : Bab Pertama adalah berisi pendahuluan skripsi yang terdiri dari

    latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

    tujuan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

    penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

  • 15

    Bab II : Bab kedua landasan filosofis perkawinan, meliputi defenisi

    perkawinan, dasar hukum dan, filosofi nikah dan macam-macam

    perkawinan yang terlarang.

    Bab III : Bab ketiga berisi fenomena tentang kawin misyar yang meliputi

    pengertian dan seputar nikah misyar, prinsip dan tujuan dalam

    perkawinan misyar serta alasan-alasan dalam pernikahan misyar.

    Bab IV : Bab keempat adalah nikah misyar dalam pandangan hukum

    Islam yang meliputi kontroversi pendapat mengenai nikah misyar

    dan nikah misyar menurut hukum Islam.

    Bab V : Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran

  • 16

    BAB II

    LANDASAN FILOSOFIS PERNIKAHAN

    A. Defenisi dan Dasar Hukum Pernikahan

    1. Definisi Nikah

    Kata nikah dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari

    fiil madhi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti

    kawin, menikah.1

    Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh Ala

    Mazahib al-Arbaah menyebutkan ada 3 makna nikah:2

    a) Menurut bahasa

    Artinya: Bersenggama atau bercampur.

    b) Menurut syari

    Para ulama berbeda pendapat tentang makna syari ini. Pendapat

    pertama menyatakan bahwa nikah arti hakekatnya adalah watha

    (bersenggama).

    Pendapat kedua menyatakan bahwa makna hakekat dari nikah adalah

    akad, sedangkan arti majaznya adalah watha.

    1 Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta:

    Multi Karya Grafika, 1998, h. 1943

    2 Djaman Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Toha Putra, 1993, h. 1-3

  • 17

    Pendapat ketiga menyatakan bahwa makna hakekat dari adalah

    musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha.

    c) Makna fiqih

    Menurut ahli fiqh nikah berarti akad nikah yang ditetapkan oleh

    syara bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-

    senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya.

    Berdasarkan pendapat para imam mazhab pengertian nikah sebagai

    berikut:

    Golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah:

    Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan dengan

    sengaja.

    Golongan asy-Syafiiyah mendefenisikan nikah sebagai:

    Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan watha dengan

    menggunakan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan

    keduanya.

    Golongan Malikiyah mendefenisikan nikah sebagai:

    Nikah adalah suatu akad yang mengandung ketentuan hukum semata-

    mata untuk bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri

    seorang wanita yang boleh nikah dengannya.

  • 18

    Golongan Hanabilah mendefenisikan nikah sebagai:

    Nikah adalah suatu akad dengan mempergunakan lafadz-lafadz nikah

    atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan

    wanita.3

    Pengertian nikah tersebut diatas hanya melihat dari satu segi saja,

    yaitu kebolehan hokum dalam hubungan kelamin antara seorang laki-

    laki dan seorang perempuan yang semula dilarang menjadi

    diperbolehkan, padahal setiap perbuatan hokum mempunyai tujuan

    dan akibat ataupun pengaruhnya seperti yang ditulis oleh Muhammad

    Abu Ishrah bahwa nikah atau ziwaj itu ialah:

    Aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan

    hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan

    mengadakan tolong menolong dan memberikan batas hak bagi

    pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.4

    Sedangkan pengertian nikah menurut istilah, ada beberapa ndangan

    dari beberapa ahli, antara lain:

    1) Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga

    berarti aqad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria

    dan wanita.5

    3 Abdurrahman al-jaziri, Al-fiqh al-Mazahibil Arbaah, Juz IV, Mesir, 1969, h. 395

    4 Dirjen Bimbingan Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1985, h. 48-49

    5 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam .h. 3

  • 19

    2) Menurut Prof. Dr. H Harun Nasution, yang dimaksud nikah menurut

    istilah suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan

    wanita yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.6

    3) Taqiyudin Abi Bakar memberikan pengertian nikah sebagai berikut,

    yaitu akad yang terkenal yang mengandung kebenaran rukun dan

    syarat.7

    4) Menurut Muhammad Rifai nikah adalah suatu akad yang

    menghalalkan pergaulan secara sah antara laki-laki dan perempuan

    yang bukan mahrimnya dan menimbulkan hak dan kewajiban antara

    keduanya.8

    5) Menurut Muhammad Yunus perkawinan adalah akad antara calon

    suami dengan calon istri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut

    yang diatur oleh syariat.9

    6) Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan

    menurut hokum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsyaqan

    gholizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

    merupakan ibadah.10

    Hal tersebut sesuai dengan UU perkawinan ialah

    ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

    6 Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 741

    7 Taqiyudin Ali Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hism ad-Dimasyqi asy-Syafii,

    Kifayatul Akhyar, Juz 2, Semarang, Toha Putra, h. 36

    8 Muhammad rifai, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, h. 453

    9 Muhammad Yunus, Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Hidyakarya Agung, 1983 h. 1

    10

    Abdurrahman. KHI di Indonesia, h. 114

  • 20

    suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

    bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.11

    2. Dasar Hukum Nikah

    Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup

    dan perkembangannya. Untuk itu Allah melalui utusan-Nya memberikan

    suatu tuntunan mengenai perkawinan ini sebagai dasar hukum. Adapun

    dasar perkawinan dalam Islam adalah firman Allah dalam kitab suci al-

    Quran diantaranya.

    Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:

    Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-

    orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki

    dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah

    akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas

    (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS an-Nuur 32)

    Dan firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21:

    Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

    untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

    merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih

    dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

    tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS ar-Rum 21)

    11 UU Perkawinan..., h. 8

  • 21

    Disamping ayat-ayat di atas ada juga hadist nabi yang berisi anjuran-

    anjuran perkawinan diantaranya bahwa perkawinan itu dianjurkan bagi

    orang-orang yang telah dianggap mampu dan mempunyai kesanggupan

    memilihara diri dari kemungkinan-kemungkinan melakukan perbuatan

    yang tercela (terlarang). Maka perkawinan lebih baik baginya.

    Sabda Nabi SAW:

    Dari Abdullah bin Masud r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda

    kepada kamu: Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu sekalian

    yang mampu kawin, kawinlah. Maka sesungguhnya kawin itu lebih

    memejamkan mata (menundukkan pandangan) dan memilihara farji,

    barang siap yang belum kuat kawin (sedangkan sudah menginkannya)

    berpuasalah, karena puasa itu dapat melemahkan syahwat. (HR.

    Bukhari dan Muslim).

    Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya

    perkawinan tersebut di atas, maka hukum asal perkawinan adalah sunnah.

    Sedangkan menurut kesepakan ulama, bahwa perkawinan merupakan

    suatu yang disunnahkan.

    Dan menurut pendapat sebagian serjana hukum Islam, asal hukum

    melakukan nikah (perkawinan) adalah ibahah. Namun berdasarkan illatnya

    atau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya serta tujuan

    12

    Imam Abi Husein Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Mesir: Daar al-Kutub al-

    Arabiyah 1987) h. 1018-1019

  • 22

    melaksankannya, maka maka melakukan perkawinan itu dapat beralih

    hukumnya menjadi sunnah, wajib, makruh, haram dan boleh (mubah).

    1) Melakukan perkawinan hukumnya wajib

    Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

    kawin dikwatirkan akan tergelincirnya dalam perbuatan zina

    seandainya ia tidak kawin, maka hukum perkawinan bagi orang

    tersebut adalah wajib.

    2) Melakukan perkawinan hukumnya sunnah

    Orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk

    melangsungkan perkawinan, akan tetapi kalau tidak kawin kawin

    tidak dikwatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan

    perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.

    3) Melakukan perkawinan hukumnya haram

    Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta

    tanggung jawab atas kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga,

    sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar dirinya

    dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan baginya adalah

    haram.

    4) Melakukan perkawinan hukumnya makruh

    Jika seseorang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniyahnya

    telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak. Tetapi

    belum ada biaya untuk hidup sehingga kalau ia kawin hanya akan

  • 23

    membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka

    makruh untuknya melakukan perkawinan.

    5) Melakukan perkawinan hukumnya mubah

    Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya,

    tetapi apabila tidak melakukannya tidak kwatir melakukan

    perbuatan zina dan apabila melakukannya juga tidak akan

    menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan

    untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga

    kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.

    B. Filosofi Pernikahan

    Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga

    mereka dapat berhubungan satu sama lain dari sejak manusia diciptakan oleh

    Allah SWT, yakni antara Adam as dengan Siti Hawa. Dari sini dapat

    dipahami bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk saling berpasangan,

    sehingga Allah SWT menetapkan jalan yang sah untuk itu, yakni melalui

    pranata yang dimaksud pernikahan.

    Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi

    setiap insan yang melakukannya. Ia adalah aktifitas kemanusiaan dengan

    makna luas dan berdimensi ibadah seperti ungkapan Nabi SAW

    (nikah merupakan bahagian aktifitasku) meski demikian, aktifitas ibadah

    tersebut tidak mutlak harus dilakukan secara paksa. Pernikahan yang

    memiliki kata dasar nikah berarti berkumpul atau akad yang membolehkan

  • 24

    bersetubuh, berimpikasi kepada hukum mubah, sunnah, wajib, makruh

    bahkan haram.

    Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan

    bagi kedua belah pihak (suami istri), di mana status kepemilikan akibat aqad

    tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan

    segala yang terkait dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti

    oleh lainnya yang dalam term fiqih disebut Milku al-Intifa, yaitu hak

    memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (istri), yang

    untuk dirinya sendiri.

    Bagi perempuan (istri) sebagaimana si suami ia pun berhak

    memperoleh kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus

    untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si istri boleh menikmati secara biologis

    atas diri sang suami bersama perempuan lainnya (istri suami yang lain).

    Sehingga kepemilikan di sini merupakan hak berserikat antara para istri.13

    Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang bersifat umum dan

    berlaku bagi semua mahluk termasuk di dalamnya hewan dan tumbuh-

    tumbuhan serta keberadaan malam berganti siang. Sebagaimana Allah

    berfirman:

    Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

    mengingat kebesaran Allah. (Q.S Adz Dzariyaat: 49)

    13

    Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, Dar al-Fikr: beirut, 1998, cet.

    Ke-2, juz ke-7, h. 29.

  • 25

    Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,

    baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari

    apa yang tidak mereka ketahui. (Q.S Yasiin: 36 )

    Pada kedua ayat di atas disebutkan segala sesuatu berpasang-

    pasangan, yang berarti meliputi semua mahluk ciptaan Allah. Firman Allah

    tersebut secara real dapat disaksikan melalui alam raya ini dan segala yang

    ada. Bentuk pasang-pasangan ciptaanNya merupakan realisasi keseimbangan

    kehidupan dunia yang mengikuti sunnatullah.

    Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan

    realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada sisi sunnatullah

    yang dilakukan para Nabi dan Rasul dalam upaya penyebaran dan

    penyampaian Risalah Ilahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai

    penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti

    terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial

    seseorang.14

    C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang

    1. Nikah Syighar

    Yang dimaksud dengan nikah syigar yaitu seorang wali

    mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-

    14

    Abbas, Ahamad Sudirman, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandinagn Antar

    Madzhab), Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006, cet. 1, h. 2-7

  • 26

    laki tadi menikahkan putrinya kepada laki-laki tersebut dengan tanpa

    mahar.15

    Al-syighar adalah istilah Arab yang berarti mempunyai seekor

    anjing sewaktu ia lewat melintas. Inilah sebabnya mengapa kata yang

    sama dikenakan pada bentuk pernikahan yang tak diinginkan ini karena

    ada persamaan dengan menjemput seorang wanita tanpa membayar mas

    kawin (mahar) pada waktu menikahnya.16

    Mahar merupakan hak seorang wanita dan merupakan harta

    pribadinya, bukan semata hadiah dari pengantin laki-laki untuk dinikmati

    oleh orang tua pihak perempuan atau untuk mendapatkan keuntungan

    yang tak layak dengan menukar anak atau saudara perempuan untuk

    dinikahi kepada lelaki lain sebagai hadiah (bagi satu sama lain) tanpa

    membayar mas kawin.

    Pada masa sebelum Islam, syighar diakui sebagai suatu bentuk

    perkawinan yang kemudian dilarang oleh Nabi saw setelah datangnya

    Islam, karena bentuk perkawinan ini menghalangi wanita dari haknya

    sendiri.17

    Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan syighar itu

    pokoknya tidak diakui, karena hukumnya batal. Tetapi Abu Hanifah

    berpendapat, kawin Syighar itu sah, hanya bagi tiap-tiap anak perempuan

    yang bersangkutan wajib mendapatkan mahar yang sepadan dari masing-

    masing suaminya karena kedua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak

    15

    Sayyid Sabig, Fiqh Sunnah (Bandung: Al-maarif, 1990, cet ke-7), h. 76 16

    Abdurrahman I. Doi, Pernikahan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,

    1992) h. 6 17

    Abdurrahman I, Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam. h. 61

  • 27

    perempuannya sebagai mahar tidaklah tepat, sebab wanita itu bukanlah

    sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama mereka. Dalam

    perkawinan ini yang batal adalah segi maharnya, bukan pada akad

    nikahnya sebagaimana kalau suatu perkawinan dengan persyaratan

    memberikan minuman khamar atau babi, maka akad nikahnya disini

    tidaklah batal dan bagi perempuannya berhak atas mahar mitsl.18

    Para ulama berbeda pendapat tentang sebab-sebab dilarangnya

    perkawinan semacam ini karena tidak adanya mahar dan menjadikan

    kelamin sebagai hak bersama, dimana kelamin masing-masing perempuan

    dijadikan sebagai pembayaran mahar yang satu kepada yang lainnya,

    padahal perempuannya sendiri tidak ikut memperoleh faedah karena

    maharnya tidak diterima sedangkan yang menikmati faedah dari mahar

    tersebut adalah walinya. Hal ini berarti mendzhalami kedua perempuan

    tersebut dan merampas hak mahar dari perkawinannya.

    2. Nikah Misyar

    Perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius

    dalam beberapa negara Islam pada masa sekarang ini, disebabkan oleh

    perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal-usul perkawinan

    ini telah ada pada masa terdahulu yang sering disebut sebagai perkawinan

    misyar.

    Perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin cepatnya

    gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di dunia. Pada

    18

    Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah... h. 77-78

  • 28

    hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan

    akad yang benar, mencukupi rukun da syaratnya, hanya saja sang istri

    harus mengalah dari beberapa haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal

    (tempat yang disiapkan oleh suaminya) dan dari hak nafkah, yaitu

    pembagian yang adil antara istri yang satu dengan yang lainnya. Seorang

    istri yang dikawini misyar harus rela tinggal dengan orang tua bersama

    keluarganya, jika sang suami tidak mengadakan perjalanan ke daerah

    tempat istri berada, yang semestinya sang suami harus mendatanginya satu

    hari dalam seminggu atau beberapa hari dalam sebulan.

    Perkawinan misyar terjadi karena realita dan keterjepitan kondisi

    pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Saudi Arabia yang

    mengeluarkan fatwa membolehkan perkawinan ini, berbeda dengan

    perkawinan temporal lainnya, perkawinan misyar adalah perkawinan yang

    sah, mencukupi rukun akad yang disyariatkan oleh Islam, seperti: ijab,

    qabul, saksi dan wali, hanya saja laki-laki mensyaratkan kepada

    perempuan untuk menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut hak-haknya

    yang berhubungan dengan tanggungan laki-laki sebagai suaminya.

    Contoh persyaratan-persyaratan yang dinyatakan dan diterima oleh

    istri adalah suami boleh melakukan perkawinan dengan perempuan lain

    tanpa sepengetahuan istri, sementara dia tidak menthalaq istrinya dan

    suami tidak tertuntut untuk memberikan nafkah, atau menyediakan tempat

    tinggal yang layak baginya, sementara istri berdiam di rumah orang

    tuanya, perkawinan ini dilaksanakan di rumah orang tuanya yang

  • 29

    menyepakati hal tersebut, pada saat sang suami berkunjung ke daerah atau

    kota tempat tinggal istri, sang suami mempunyai hak untuk berdiam

    bersamanya dan berinteraksi sebagaimana layaknya suami istri selama

    tinggal di daerah tersebut. Pada posisi ini perempuan, yang nota bene

    adalah seorang istri tidak berhak mensyaratkan kepada suami untuk tinggal

    lebih dari waktu yang diinginkannya, atau meminta hak-hak seperti istri

    lain.

    3. Nikah Mutah

    Nikah mutah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki-

    laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, disebut dalam akad

    sampai pada batas waktu yang telah ditentukan19

    , nikah mutah merupakan

    perkawinan yang bersifat sementara atau perkawinan yang mempunyai

    jangka waktu, seperti kawin satu hari, satu minggu, satu bulan dan

    seterusnya.20

    Nikah seperti ini tidak memerlukan wali dan saksi, dan

    wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dengan pria calon suaminya.21

    Pernikahan semacam ini merupakan suatu bentuk perkawinan

    terlarang yang dijalani dalam tenpo yang singkat untuk mendapatkan

    perolehan yang ditetapkan. Mutah diperkenankan pada masa awal

    pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara

    lengkap. Mutah diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu

    seseorang melakukan perjalanan atau ketika orang-orang sedang

    19

    Jafar Murthada Al-Amili, Nikah Mutah Dalam Islam, (Kajian Ilmiah Dari Berbagai

    Mazhab), alih bahasa Abu Muhammad Jawad, (Jakarta: Yayasan As-sajjad, 1992), h. 17 20

    Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah....h. 57 21

    Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003, cet

    ke-I), h. 52

  • 30

    bertempur melawan musuh. Alasan mengapa diperkenankan adalah bahwa

    orang-orang yang baru memeluk Islam tengah mulai masa transisi dari

    Jahiliyah menuju Islam. pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal

    yang sangat wajar sehingga tidak dianggap suatu dosa. Diperkenankannya

    nikah mutah pada masa terdahulu karena orang-orang yang berjuang di

    medan tempur belum mempunyai keteguhan iman dan mencoba

    melakukan zina semasa perang itu. Sedangkan yang kuat imannya

    menahan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa

    nafsunya.22

    Setelah syariat Islam mencapai kesempurnaan, maka mutah pun

    diharamkan. Izin sementara keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi

    SAW itu segera diharamkan setelah pembukaan kota Mekkah, dan

    diharamkan untuk selama-lamanya.

    22

    Abdurrahman I, Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam. h. 59

  • 31

    BAB III

    FENOMENA NIKAH MISYAR

    A. Defenisi Nikah Misyar

    Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kata nikah berasal dari bahasa

    arab yang merupakan bentuk masdar dari fiil madhi yang

    diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti kawin, menikah.1

    Sedangkan kata misyar berasal dari bahasa Arab yang merupakan

    bentuk isim alat dari kata yang artinya perjalanan.2 Pengertian misyar

    menurut istilah, sepengetahuan penulis belum ada yang membahasnya.

    Pengertian misyar ini hanya ditemukan dalam kitab Zawajul Misyar

    Haqiqatuhu wa Hukmuhu, karangan Yusuf Qardawi, yang mendefenisikan

    misyar yaitu singgah atau melewati (suatu wilayah atau negeri tertentu) dan

    tidak menetap dalam waktu yang lama.3

    4

    Yaitu pernikahan dimana seseorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman

    wanita (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut.

    Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri

    lain di rumah yang dinafkahinya.

    1 Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, hlm. 1943

    2 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Jogyakarta: Multi

    Karya Grafika Pondok Pesantren Krepyak, 1998, hlm. 504 3 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Kairo: Maktabah Wahbah,

    2005, hlm. 25 4 Yusuf Qardawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 21

  • 32

    Perkawinan misyar telah dipraktekan di Arab Saudi dan Mesir. Dan

    telah diresmikan di Arab Saudi melalui fatwa yang telah dikeluarkan oleh

    Syeikh Abdul Aziz bin Baz, dan diresmikan sementara di Mesir oleh Mufti

    Mesir Syeikh Muhammad Sayyed Tantawi pada tahun 1999.5

    Perkawinan misyar adalah sebuah ijtihad yang unik. Perkawinan misyar

    dikategorikan sebagai hubungan perkawinan resmi (terpenuhi syarat dan

    rukun nikah) antara laki-laki dan perempuan yang mana mereka tidak tinggal

    bersama, dan dimana pihak laki-laki tidak bertanggung jawab secara finansial

    terhadap pasangan misyarnya.

    Rukun pertama akad nikah adalah ijab dan qabul (serah terima) dari

    orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Kedua terpenuhi syiar dan

    pemberitahuan tentang pernikahan, sehingga bisa dibedakan dengan

    perbuatan zina dan hubungan dengan wanita simpanan (gundik) yang

    biasanya dilakukan secara tersembunyi. Adapun batas minimal dari

    pemberitaan yang dianjurkan syara menurut tiga madzhab terkemuka Maliki,

    Syafii dan Hambali adalah terdapatnya saksi dan hadirnya seorang wali.

    Ketiga, perkawinan tersebut tidak dibatasi dengan waktu tertentu, namun

    laki-laki dan wanita harus menanamkan niat untuk terus melanjutkan ikatan

    perkawinan. Keempat, pemberian mahar (mas kawin) sang suami terhadap

    istri, banyak sedikit meski setelah itu istri memberi keringanan sebagian atau

    keseluruhan dari mas kawin suaminya, jika ia rela dengan hal itu.

    Sebagaimana Allah berfirman:

    5 http:// www. Myquran.org/forum/achive/index.php/t.9675.html 17 Juli 2011

  • 33

    Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

    pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan

    kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka

    makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

    akibatnya. (Q.S An-Nisa: 4)

    Bahkan seandainya seorang perempuan dinikahi dengan tanpa

    menyebutkan mahar, maka akad tersebut sah, dan perempuan tersebut berhak

    memperoleh mahar mitsli.6 Jika telah terdapat emapat perkara tersebut, yaitu

    ijab dan qabul dari yang memiliki hak, pemberitaan meski dikalangan

    terbatas, tidak adanya pembatasan waktu, dan mas kawin meskipun setelah

    itu sang istri memberi keringan. Maka secara syari sahlah pernikahan

    tersebut. Namun keringan hak tersebut tidak berlaku dalam hal hubungan

    biologis, yang tidak boleh disyaratkan dalam akad, karena hal itu merupakan

    syarat yang menafikan maksud dari suatu akad, sehingga membatalkan akad

    nikah itu sendiri.7

    Para ahli fiqh tidak mempunyai alasan untuk membatalkan akad

    (ikatan) perkawinan semacam ini (kawin misyar) yang telah memenuhi rukun

    dan syarat sahnya perkawinan. Maka kedua suami istri harus menghormati

    syarat-syarat yang sudah disepakati itu semua adalah bagian dari janji yang

    harus ditepati sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

    6Mahar mitsil adalah mahar yang disesuaikan dengan umur si perempuan, kecantikannya,

    kekayaannya, kepandaiannya, agamanya, kegadisannya dan ukuran lain yang menyebabkan

    perbedaan maskawin. H.A.S Al-Hamdani, Risalah Nikah, ter. Agus Salim Hukum Perkawinan

    Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hlm. 138 7 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 29

  • 34

    Namun sebagian ulama fiqh berpendapat bahwa syarat-syarat semacam itu

    tidak mengikat, artinya, akad (ikatan pernikahan) tetap sah sekalipun

    syaratnya batal. Selain dikemukakan Imam Abu Hanifah dan disinggung

    dalam riwayat Imam Ahamd, pendapat itu pulalah yang terpilih dalam kitab

    al-Mugni dan lainnya.

    Disebutkan pula jenis syarat yang kedua, yaitu: masalah tidak adanya

    maskawin dan nafkah, atau berlaku tidak adil (memberikan bagian yang telah

    banyak atau sedikit) kepada salah satu istri. Maka syarat seperti itu bathil

    (tidak sah), namun perkawinan tetap sah. Syeikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah)

    berkomentar Persyaratan untuk tidak memberi nafkah tetapi menjadikan

    sahnya ikatan perkawinan. Syeikhul Islam berkata pula: Lebih-lebih jika

    sang suami mengalami kesulitan dalam memberikan nafkah materi dan si istri

    merasa rela keadaan ini. Maka si istri tidak memiliki alasan untuk

    menuntutnya setelah itu. Dan Ibnu Taimiyah lebih memiliki pendapat yang

    menyatakan rusaknya (tidak sah) akad pernikahan, jika masyarakat untuk

    tidak memberikan maskawin. Pendapat ini banyak diyakini oleh ulama salaf

    (terdahulu). Ia juga memiliki pendapat yang menyebutkan tetapi sahnya

    ikatan perkawinan jika terdapat persyaratn untuk tidak berhubungan biologis,

    karena syarat seperti ini identik dengan syarat untuk mengabaikan apa yang

    mesti diperoleh dalam pernikahan.8

    8 Lihat al-inshaf Rajih Minal Khilaf, Jilid 8, hlm. 165-166

  • 35

    B. Seputar Nikah Misyar

    Rukun kawin misyar adalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh orang

    yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Disamping itu ijab dan qabul

    diharapkan dapat diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara

    kawin yang dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap.

    Dalam hal pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai, agama

    telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang saksi dan wali

    (menurut pendapat Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad). Yang

    perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa perkawinan tidak boleh dibatasi

    dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai niat untuk

    melanggengkan pernikahan mereka. Kemudian seorang laki-laki harus

    membayar mas kawin, baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit,

    meskipun setelah maskawin tersebut diserahkan kepada calon istrinya, boleh

    si istri tanazul menyerahkan kembali sebagian dari maskawin itu atau

    bahkan keseleruhannya, sesuai dengan firman Allah SWT.

    Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

    pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan

    kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka

    makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

    akibatnya. (QS. An-Nisa 4: 4)

    Apabila ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa memberikan

    mahar atau maskawin, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi wanita

  • 36

    tersebut mempunyai hak mahar misl (mahar yang disamakan).9 Dan setelah

    terpenuhinya empat perkara diatas, ijab dan qabul yang dilakukan oleh kedua

    mempelai, adanya pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai

    agar perkawinan tersebut diketahui oleh orang banyak atau hanya diketahui

    oleh khalayak secara terbatas, perkawinan itu tidak dibatasi masanya, dan

    terpenuhinya mahar, yang meskipun setelah akad si istri mengembalikannya

    maka nikah tersebut menurut syara dianggap sah.

    Adapun ketika dilaksanakannya akad nikah seorang wanita memberikan

    keringanan, yaitu tidak meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama, syarat

    seperti ini tidak boleh ketika akad karena dapat menghilangkan tujuan

    dilaksanakannya nikah maka akad tersebut adalah batal.

    Menurut Yusuf Qardawi seorang ahli agama tidak mempunyai alasan

    untuk melarang seorang wanita yang melaksanakan perkawinan dengan

    model perkawinan ini (misyar), yaitu dengan melakukan tanazul dari

    sebagian hak-haknya, kalau niatnya benar-benar murni untuk kebaikan

    dirinya sendiri, karena dia (wanita tersebut) adalah orang yang lebih

    mengetahui mana yang terbaik bagi dirinya, dia adalah orang yang berakal,

    baligh, pandai yang mengetahui mana yang dapat mendatangkan menfaat dan

    mana yang dapat mendatangkan kerugiaan dan tidak masuk kedalam kategori

    orang yang harus dilindungi, seperti anak kecil, orang gila, dan orang bodoh.

    Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang rela untuk mengurangi

    haknya diantaranya adalah tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih

    9 Yaitu mahar yang menjadi hak seseorang wanita ketika terjadi pisah antara dia dan suaminya. Dan, besarnya mahar ini disamakan dengan mahar yang diperoleh oleh seorang wanita

    yang sedarajat dengannya

  • 37

    bermanfaat bagi dirinya, seperti yang dilakukan oleh salah satu istri

    Rasulullah Saw. Yaitu Saudah binti Zamah.

    Ia adalah istri pertama yang dinikahi Rasulullah Saw setelah Khadijah r.a.

    Saudah r.a. adalah perempuan yang sudah tua, dia merasa bahwa Nabi Saw.

    Tidak akan memperlakukannya dengan mesra, sebagiamana sebelumnya. Ia

    sangat khawatir kalau Nabi Saw. Menceraikannya, predikatnya sebagai

    Ummul Mukminin akan hilang. Ia juga takut, kalau nantinya setelah hari

    pembalasan, tidak bisa mendampingi (menjadi istri) Rasulullah Saw di surga.

    Untuk itu, ia cepat-cepat memberikan tanazul (keringanan) untuk Nabi Saw.

    Dan diberikannya hak tersebut kepada istri Rasulullah Saw yang lain, yaitu

    Aisyah r.a. dengan adanya keringanan ini, Rasulullah Saw sangat berterima

    kasih dan menepatkan saudah r.a pada tempat yang sesuai dengan firman

    Allah SWT.

    Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari

    suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian

    yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka,,,

    (QS.an-Nisa 4:128)

    Yusuf Qardawi menekankan lebih setuju kalau tanazul ini tidak

    disebutkan dalam akad, cukup antara kedua belah pihak saling mengerti dan

    saling memahami dengan sendirinya, walaupun jika tanazul tersebut

    disebutkan dalam akad, hal ini tidak membatalkan akad. Menurutnya

  • 38

    memenuhi syarat-syarat adalah sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah

    diperintahkan oleh Allah SWT.

    Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak

    layak dilakukan, tetapi apabila sudah terlanjur maka akadnya tetap sah dan

    hanya syarat-syarat yang batal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah

    diriwayatkan dari Imam Ahamad dalam kitab al-Muqni dan lainnya.

    Menurutnya, ada bentuk syarat lain, yaitu agar suami tidak perlu

    memberikan mahar dan nafkah atau dia tidak meminta bagian lebih dibanding

    istri lain (bagian lebih banyak atau sedikit). Syarat seperti ini batal akan tetapi

    nikahnya tetap sah.

    Ibnu Aqil berkata dalam kitab Mufrodat-nya:

    Abu Bakar menyebutkan bahwa akad yang di dalamnya disebutkan syarat-

    syarat untuk tidak bersenggama, tidak memberikan nafkah atau apabila

    keduanya pisah, maka apa yang telah dinafkahkan suami akan diambil

    kembali masih tetap dianggap sah...10

    Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) mempunyai pendapat tentang sahnya

    syarat untuk tidak memberi nafkah. Ia berkata, seumpama seorang suami

    kesulitan ekonomi dan sang istri menerima hal itu, maka sang istri tidak

    mempunyai hak untuk diberi nafkah11

    ia mengatakan bahwa akad akan batal

    jika dalam akad disyaratkan untuk tidak membayar mahar. Pendapat ini

    merupakan kesepakatan sebagian besar ulama salaf.

    10 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 11

    11

    Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 12

  • 39

    Ketika mereka (wanita-wanita yang tidak bersuami) mendapati model

    kawin misyar adalah salah satu solusi tentunya dengan memilih laki-laki yang

    betul-betul baik budi pekertinya dan mereka sudah sama-sama ridha.

    C. Prinsip dan Tujuan Pernikahan Misyar

    1. Prinsip Dalam Perkawinan Misyar

    Ada beberapa prinsip perkawinan menurut hukum Islam, yang perlu

    diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup

    manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan.

    Pada hakekatnya, nikah misyar tidak jauh berbeda dengan nikah biasa,

    artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan rukun dari nikah biasa

    terdapat pula pada pernikahan misyar. Sehingga prinsip-prinsip

    perkawinan misyar dengan pernikahan dalam Islam, yaitu:

    a. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama

    Bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa tuhan

    melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya merupakan dari ajaran

    agama-agama mengatur perkawinan itu, memberi batasan dan rukun dan

    syarat-syarat yang perlu. Apabila rukun dan syarat tidak terpenuhi, batal

    atau fasidlah perkawinan itu. Dengan demikian dalam perkawinan misyar

    ada ketentuan lain disamping rukun dan syarat, seperti harus ada mahar

    dalam perkawinan dan juga harus ada kemampuan.

    Selain itu untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks)

    sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam

  • 40

    perbuatan zina, sudah menjadi kodrat iradat Allah. Manusia diciptakan

    berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah mempunyai keinginan

    untuk berhubungan antara laki-laki dan perempuan artinya dalam hal ini

    saling memerlukan satu sama lainnya.12

    b. Kerelaan dan persetujuan

    Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang

    hendak melangsungkan pernikahan ialah Ikhtiyar (tidak dipaksa) pihak

    yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata

    kerelaan calon istri dan suami atau persetujuan mereka.13

    Prinsip hakiki dari suatu perkawinan adalah ada kerelaan kedua

    calon sumi dan istri. Karena kerelaan itu merupakan urusan hati yang

    tidak diketahui oleh orang lain, maka perlu adanya ungkapan konkrit

    yang menunjukkan ijab dan qabul. Ijab merupakan lambang kerelaan dari

    perempuan untuk menyerahkan diri sebagai istri dari laki-laki calon

    suminya. Sedangkan kabul sebagai lambang kerelaan laki-laki untuk

    mempersunting dan menjadikan perempuan itu sebagai istrinya.14

    Prinsip kerelaan ini dalam perkawinan misyar merupakan unsur yang

    utama untuk melaksanakan perkawinan ini. Dimana kerelaan sang istri

    yang disadari dari sikap mengalah istri untuk tidak diberikan hak nafkah

    dari suami berupa materi.

    12

    Abd. al-Muhaimin Asad, Risalah Nikah Penuntun perkawinan, Surabaya: Bulan

    Terang, 1993, cet. I, hlm. 33 13

    Abd. Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 120 14

    M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 303

  • 41

    c. Perkawinan untuk selamanya

    Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan untuk

    ketenangan, ketentraman dan antara cinta serta kasih sayang.

    Kesemuanya ini dapat di capai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan

    adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Itulah

    prinsip perkawinan dalam Islam yang harus atas dasar kerelaan hati dan

    sebelumnya yang bersangkutan. Telah melihat terlebih dahulu sehingga

    nantinya tidak menyesal setelah melangsungkan perkawinan dan dengan

    melihat dan mengetahui lebih dahulu akan dapat mengekalkan

    persetujuan antara suami dan istri.15

    2. Tujuan Perkawinan Misyar

    a. Untuk menambah Keturunan

    Seperti yang diungkapkan bahwa naluri manusia memmpunyai

    kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak

    keturanan yang diakui oleh dirinya sendiri, agama memberi jalan hidup

    manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dapat

    dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri,

    berkeluarga dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya

    ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan

    belahan jiwa.

    15

    Dirjen Bimbingan Islam Depag, hlm. 70-73

  • 42

    Sebagaimana dalam firman Allah SWT surah al-Furqan 74

    dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah

    kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang

    hati (Kami)... (Q.S al-Furqan: 74)

    Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga

    sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia, bahkan akan memberi

    tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat mendidiknya

    menjadi anak yang shaleh.

    b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat

    Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan

    berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan

    untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana digambarkan

    bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan

    yang lain, sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 187

    Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan

    isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah

    pakaian bagi mereka... (Q.S al-Baqarah: 187)

    Di samping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga untuk

    menyalurkan cinta dan kasih saying di kalangan pria dan wanita.

    Penyaluran cinta dan kasih saying yang di luar perkawinan tidak

  • 43

    menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena

    didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Satu-

    satunya norma ialah yang ada pada dirinya masing-masing, sedangkan

    masing-masing orang mempunyai kebebasan. Perkawinan mengikat

    adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih saying secara harmonis

    c. Memelihara diri dari perbuatan zina

    Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat

    ditunjukkan melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan

    penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan

    dapat menimbulkan kerusakan dalam dirinya dengan melakukan

    perbuatan zina, karena menusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu

    condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana

    terdapat dalam Firman Allah SWT surat Yusuf ayat 53:

    Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan... (Q.S

    Yusuf 53)

    Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah

    menyalurkannya dengan baik, yakni dengan cara perkawinan.

    Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat

    mengembalikan gejolak nafsu seksual.

  • 44

    Dalam hal ini sebagaimana hadits Nabi SAW:

    Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan

    dan dapat menjaga kehormatan (HR. Bukhari dan Muslim).

    d. Mewujudkan kerjasama dan keserasian hidup antara lelaki dan wanita

    untuk kehidupan berumah tangga.

    Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri

    melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit terkecil yaitu

    keluarga yang terbentuk melalui perkawinan.

    Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman

    hidup. Ketenangan dan ketenteraman untuk dicapai dengan adanya

    ketenangan dan ketenteraman bagian masyarakat menjadi factor yang

    terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketenteraman. Dalam hal ini

    keberhasilan pembinaan yang harmonis diciptakan oleh adanya

    kesadaran terhadap keluarga. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina

    dengan perkawinan antara suami dan istri dalam membentuk ketenangan

    dan ketenteraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang.

    Demikian diungkapkan dalam al-Quran surat Ar-Rum ayat 21:

    Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

    untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

    merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih

    dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

    tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S Ar-Rum: 21)

  • 45

    Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu

    kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera, penuh dengan keamanan dan

    ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang

    sifat dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa

    menentramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga

    berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah.

    D. Alasan-alasan Dalam Perkawinan Misyar

    Sejalan dengan perkebangan zaman, muncullah bentuk perkawinan

    misyar, perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius

    dalam beberapa negara Islam pada akhir-akhir ini, disebabkan oleh

    perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal usul perkawinan ini

    telah ada pada orang-orang terdahulu.16

    Yusuf Qardawi mengartikan kawin

    misyar yaitu:

    Dari pengertian di atas dapat disipulkan bahwa kawin misyar ini

    mengarah kepada pemberian keringanan terhadap suami dari kewajiban

    memenuhi tempat tinggal, nafkah dan persamaan bagian antara istri kedua

    dan istri yang pertama, yang didasari dari sikap mengalah istri kedua. Istri

    yang terakhir ini hanya menginginkan keberadaan laki-laki yang biasa

    menjaga dan memelihara (dari kebutuhan biologis) dengan mengasihinya.

    Meskipun dia tidak memberikan kewajiban pemenuhan materi dan tanggung

    jawab secara maksimal. Namun, pemberian keringanan ini tidak menutup

    pada suami yang beristri satu.

    16 Syakir, Muhammad Fuad, Perkawinan Terlarang, (Jakarta : Cendikia Centra Muslim,

    2002) hlm. 17

  • 46

    Nikah semaca ini bukanlah tipe nikah yang dianjurkan Islam, tetapi

    nikah diperbolehkan karena adanya desakan kebutuhan, imbas dan

    perkebangan masyarakat dank arena berubahnya keadaan zaman, dengan

    catatan akad nikahnya harus dilaksanakan karena kalau akad samapai

    ditiadakan maka nikahnya batal. Dengan demikian kawin misyar menurutnya

    tidak diharamkan, karena tujuannya untuk menghormati dan mensucikan

    wanita, dan juga mempertimbangkan kemashlahatan dan kerugiannya,

    manfaat dan mudaratnya.

    Alasan Yusuf Qardawi memperbolehkannya perkawinan ini, dia

    menganggap bahwa di era sekarang ini, rintangan perkawinan sangat

    beragam, yang sebagian besar muncul dari diri wanita itu sendiri. Dari sini

    kemudian bermunculan kaum awanis, yaitu:

    a. Wanita-wanita yang melajang usia tua, yang telah lewat masa untuk

    melangsungkan perkawinan.

    b. Wanita-wanita yang masih hidup dengan orang tua mereka, dan tidak

    mampu memenuhi fitrah dalam membangun sebuah keluarga dan menjadi

    seorang ibu.

    c. Wanita-wanita yang mengalami perceraian, fenomena ini sangat banyak

    sekali.

    d. Janda yang ditinggal mati oleh suaminya sendirian atau bersama dengan

    harta yang melimpah ruah.

    e. Wanita-wanita karier, berkarya dan bekerja sendiri, seperti guru,

    instruktur, dokter, apoteker, pengacara atau profesi lainnya yang

    berpenghasilan tetap.

  • 47

    Dengan adanya kaum awanis tersebut di atas, maka mereka semuanya

    tidak menuntut hak materi dari suaminya. Dalam hal ini lebih dikenal dengan

    istilah kawin misyar.17

    Mereka mau melakukan perkawinan ini berdasarkan

    niatnya yang benar-benar murni untuk kebaikan dirinya sendiri, karena dia

    (wanita tersebut) adalah orang yang lebih mengetahui mana yang terbaik bagi

    dirinya, dia adalah orang yang berakal, baligh, pandai yang mengetahui mana

    yang dapat mendatangkan kerugian dan tidak masuk dalam kategori orang

    yang harus dilindungi, seperti anak kecil, orang gila dan orang bodoh.

    Dari alasan di atas dapat diketahui bahwa kawin misyar pada

    hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks)

    sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan

    zina.18

    Seperti halnya kaum awanis yang merupakan wanita-wanita dari segi

    materi sudah berkecukupan sehingga tidak menuntut hak materi dari

    suaminya, dimana perkawinan bagi mereka yang terpenting adalah status

    hukum bagi kaum awanis bila ditinjau dari hukum perkawinan adalah

    wajib.19

    17 Yusuf Qardawi, Al-Fatwa al-Muassirah, Terj. Muhammad Ihsan, Masalah-malasah

    Islam,,,hlm. 397

    18 Mengenai tujuan perkawinan ini terdapat beberapa rumusan dari kalangan ulama,

    namun pada intinya yaitu untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT; untuk

    mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, untuk memenuhi

    kebutuhan biologis (naluri seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam

    perbuatan zina dan melangsungkan keturunan. Lihat Dirjen Bimbingan Islam Depag RI, Ilmu

    Fiqh, jilid 2, hlm. 64-69

    19 Melangsungkan perkawinan hukumnya wajib artinya bagi orang yang telah mempunyai

    kemauan dan kemampuan untuk kawin dikhawitarkan akan tergelincirnya pada perbuatan zina

    seandainya ia tidak kawin, maka hokum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.

    Lihat Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, hlm. 49

  • 48

    BAB IV

    NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

    A. Kontroversi Pendapat Mengenai Nikah Misyar

    1. Pendapat Ulama Yang Mendukung Nikah Misyar

    Menurut Yusuf Qardawi dan Dr. Wahbah Zuhaili secara hukum

    nikah Misyar sah adanya, karena memenuhi semua rukun dan syarat

    nikah yang sah. Dimana ada ijab qabul, saling meridhai antara kedua

    mempelai, wali, saksi, kedua mempelai sepadan, ada mahar yang

    disepakati. Setelah akad nikah keduanya resmi menjadi suami isteri.

    Suami isteri yang dikemudian hari punya hak. Hak keturunan, hak waris,

    hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak biaya hidup,

    dll. Yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami isteri. Hanya

    saja, keduanya saling meridhai dan sepakat, bahwa tidak ada hak suami

    tinggal bersama isterinya, hak berbagi hari giliran. Sebab semuanya

    tergantung kepada suami. Kapan saja suami mau menziarahi isterinnya.

    Pendapat ini mengambil sebuah hadits sebagai dalil sahnya nikah

    misyar. Yaitu hadits tentang bolehnya istri menggurkan hak hari

    gilirannya kepada istri lainnya.

    Dari Aisyah r.a bahwa Saudah binti Zamah memberikan hari

    gilirannya kepada Aisyah, lalu Nabi Saw memberikan dua hari giliran

    kepada Aisyah, yaitu sehari yang memang hak Aisyah dan sehari hadiah

    dari Saudah. (HR. Muslim)

  • 49

    Tanpa diragukan lagi, bahwa nikah misyar menjadi solusi untuk

    menimalisir perawan-perawan tua yang telah lewat masa nikah. Dalam

    hal ini, pernikahan misyar kewajiban dialihkan kepada istri yang

    berkewajiban menafkahi suami. Karena si istri tidak menuntut apapun

    dari suami, ia dianggap lebih mapan. Selain tidak datang dalam beberapa

    hari dalam seminggu atau bahkan sebulan sekali, suami hanya datang

    untuk memenuhi kebutuhan biologis sang istri bahkan sebaliknya,

    kebutuhan suami yang dipenuhi istri.

    2. Pendapat Ulama Yang Menentang Nikah Misyar

    Meskipun ada ulama yang mendukung pernikahan misyar tersebut

    dan ada juga para ulama yang menentang keras perkawinan ini. Menurut

    Syeikh Muhammad Nashir Albani, Dr. Qurah Dagi dan Muhammad

    Zuhaili, menentang dilangsungkannya pernikahan ini mengatakan bahwa

    pernikahan semacam ini tidak bisa memenuhi tujuan dilaksanakannya

    kawin secara syara.Karena pernikahan semacam ini hanya merupakan

    pelampiasan nafsu dan sebatas mencari kesenangan. Dalam Islam

    pernikahan memiliki tujuan lebih dari itu.Pernikahan dijadikan wahana

    agar spesies manusia terjaga, sebagai serana untuk mencari ketenangan

    serta sebagai tempat saling mengasihi dan menyayangi.

    Para ulama penentang kawin misyar lebih mengkhatirkan dampak

    negatif terhadap kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat apalagi

    kalau sampai memiliki keturunan, si anak tidak bisa merasakan keutuhan

    sebuah rumah tangga penyebabnya mayoritas perkawinan ini tidak diikuti

  • 50

    dengan isyar (pemberitahuan kepada khalayak umum) perkawinan ini

    bersifat diam.

    Perkawinan bukan hanya sebatas halalnya hubungan biologis tapi

    ada konsekwensi sosial yang harus di tanggung, Syeikh Ahmad Abdullah

    al-Quraisy mengatakan dengan nikah kita juga akan terhalang dari

    fitnah, tapi nikah misyar hanya menimbulkan fitnah baru.1

    Syeikh Utaimah mengatakan pada bagian pernyataan pada sebagian

    pernyataannya, bahwa kawin misyar mungkin sah tapi tidak bermoral.

    Menurutnya kawin misyar bahkan dipertimbangkan sebagai hal yang

    haram karena perkawinan tersebut berlawanan dengan tujuan perkawinan.

    Ia menambahkan pentingnya dampak sosial dari perkawinan tersebut

    khususnya terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan ini, yang mana

    dia akan terus ditinggal oleh ayahnya tanpa alasan situasi tersebut

    menjadi lebih buruk apabila istrinya tidak diakui oleh suaminya.

    Awalnya dia membolehkan kawin misyar tapi pertimbangan berubah

    karena sekarang perkawinan misyar beralih pada perdagangan nyata yang

    dipasarkan dalam skala besar oleh biro pernikahan yang tidak ada

    hubungannya dengan perkawinan dalam Islam yang ada. Kritik dari

    perkawinan ini adalah apabila istri menjadi terlantar apabila terjadi

    perceraian bahkan reputasinya akan jelek. Menurut pendukung kawin

    misyar walaupun mereka mengetahui akan akibat-akibat diatas, bukan

    1 http://en.wikipedia,org/wiki/misyar marriage (20 Juli 2011)

    http://en.wikipedia,org/wiki/misyar%20marriage%20(20

  • 51

    masalah bagi mereka, akan tetapi dari segi apa orang-orang menerapkan

    syariat tersebut.

    Menurut analisa penulis menguatkan pendapat yang mengatakan

    dilarangnya nikah misyar. Sebab dalalm hal ini dalil yang digunakan oleh

    pendapat yang mendukung nikah misyar tidak sesuai. Dimana Siti Saudah

    nikah secara normal dengan Rasulullah SAW tanpa ada syarat terlebih

    dahulu atau bersamaan dengan akad nikah untuk menggugurkan hak

    gilirannya. Oleh karena itu, hak gilirannya adalah mutlak menjadi

    miliknya. Karena itu adalah miliknya, maka dia berhak berhak

    menghadiahkannya. Sebagaimana hak mahar, boleh juga dihadiahkan

    seluruhnya atau sebagian kepada suami. Sebagaimana firman Allah Surah

    An-Nisa ayat: 4

    Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

    pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan

    kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka

    makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi

    baik akibatnya.

    Juga alasan yang diutarakan yang membolehkan nikah misyar untuk

    meminimalisir perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit jumlahnya.

    Maka solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua

    miskin yang jumlahnya lebih banyak lagi.

  • 52

    B. Nikah Misyar Menurut Pandangan Hukum Islam

    Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam

    kehidupan masyarakat kita.2 Apabila telah berlangsung suatu perkawinan

    dengan memenuhi rukun dan syaratnya maka menurut para ahli fikih suami

    wajib memberi nafkah untuk istrinya berdasarkan firman Allah SWT surat

    At-Thalaq ayat 7:

    Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.dan

    orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang

    diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang

    melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan

    memberikan kelapangan sesudah kesempitan (at-Thalaq : 7/65:7)

    Begitu juga diatur dalam surat al-Baqarah ayat 233

    Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan

    cara ma'ruf.(al-Baqarah : 233/02:7)3

    Maksud Al-Maulud dalam ayat diatas adalah ayah, ar-rizq maksudnya

    adalah makanan secukupnya, Kiswa artinya pakaian, sedangkan kata al-

    Maruf artinya yang dikenal menurut pengertian syara, tidak terlampau kikir

    2 Surojo Wignjodipura, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, h. 122

    3 Depag RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 416

  • 53

    dan tidak berlebih-lebihan.4 Mengenai pemberian nafkah dalam al-Quran

    ditegaskan sebagai berikut:

    Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

    pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan

    kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka

    makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

    akibatnya. (an-Nisa : 4)

    Demikianlah nas al-Quran di atas menunjukkan kewajiban untuk

    memberikan nafkah kepada istri. Sebagaimana dikutip Shalahuddin Shulthan

    bahwa Ibnu Qudamah berkata: dalam hal ini para ahli ilmu sepakat tentang

    kewajiban para suami untuk menafkahi istri-istrinya.Maksudnya adalah

    pemberian nafkah kepada istri terikat dengan kondisi dari kedua adalah

    orang-orang