PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41816... ·...

100
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEMALSUAN MEREK (Kajian Hukum Positif dan Hukum Islam atas Putusan Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: NUR RIZA SEPTIANI 111404500000044 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M/1438 H

Transcript of PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41816... ·...

  • PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

    PEMALSUAN MEREK

    (Kajian Hukum Positif dan Hukum Islam atas Putusan

    Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst)

    SKRIPSI

    Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah

    Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

    Oleh:

    NUR RIZA SEPTIANI

    111404500000044

    PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

    FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2017 M/1438 H

  • iv

    ABSTRAK

    Nur Riza Septiani Nim 11140450000044. PERTANGGUNG

    JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEMALSUAN MEREK

    CARDINAL (Analisis Putusan Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst).

    Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017M/

    1438H.

    Perlindungan terhadap merek sebelumnya telah diatur dalam

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi

    Geografis karena Undang-Undang sebelumnya dalam Undang-Undang

    Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dianggap masih terdapat

    kekurangan. Pemalsuan merek dianggap salah satu perbuatan pidana

    yang mana perbuatan tersebut merugikan orang lain dan pelaku yang

    memalsukan merek tersebut harus mempertanggungjawabkan

    perbuatannya tersebut dengan memperhatikan beberapa unsur dari

    pertanggungjawaban tersebut agar dapat dijatuhi pidana atau hukuman

    atas perbuatannya. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui

    pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku

    yang memalsukan merek pihak lain yang sudah terdaftar secara resmi

    dalam kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

    Pusat Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst.

    Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang

    bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan normatif empiris dan

    menggunakan pendekatan penelitian yaitu pendekatan kasus (approach

    kasus), pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah

    terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang

    telah menjadi putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap

    dalam hal ini yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

    734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst. Dan mengacu kepada perundang-undangan

    yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan

    Indikasi Geografis.

    Hasil penelitian ini adalah seseorang akan dimintai

    pertanggungjawaban apabila telah melakukan kesalahan yang dilarang

    oleh aturan atau syara’ dan apabila telah memenuhi unsur-unsur

    pertanggungjawaban pidana Hukum Islam tidak menjelaskan secara

    rinci mengenai pemalsuan merek maka perbuatan tersebut dikenakan

    hukuman ta’zir karena tidak termasuk dalam jarimah hudud dan dalam

    hukum positif yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15

    Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek

    dan Indikasi Geografis dapat dikenakan hukuman pokok atau hukuman

    tambahan .

    Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pemalsuan, Merek

    Pembimbing : Indra Rahmatullah,S.HI,M,H

    Daftar Pustaka : Dari Tahun 1982 Sampai Tahun 2016

  • v

    KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

    SWT, Karena atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat beriringan salam

    penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah

    membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang

    benderang.

    Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN

    PIDANA TERHADAP PELAKU PEMALSUAN MEREK

    CARDINAL (Analisis Putusan Nomor :

    734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst), disusun sebagai salah satu syarat

    akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas

    Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan

    bimbingan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis

    mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

    1. Bapak Prof.Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta

    2. Bapak Dr. Asep Saepudin Djahar, M.A, Ph.D, Dekan Fakultas

    Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    3. Bapak Dr.M.Nurul Irfan, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum

    Pidana Islam dan Bpk Nur Rohim Yunus, LLM, Sekretaris

    Program Studi Hukum Pidana Islam, yang telah memberikan

    arahan, bimbingan dan dorongan kepada Penulis dalam

    menyelesaikan skripsi ini.

  • vi

    4. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI, M.H, sebagai dosen

    pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu

    memberikan masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif

    pada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

    5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas

    Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk

    mengadakan kepustakaan berupa buku dan literatur lainnya

    sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.

    6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua

    pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis selam masa

    pendidikannya berlangsung.

    7. Terimakasih kepada Ayahanda Abdul Muhit dan Umi

    Salbiyah, yang tidak pernah lelah mendidik dan selalu

    menjaga setiap harinya, terlebih dengan do’a dan selalu

    memberikan penulis semangat yang tidak pernah putus hingga

    selesainya skripsi ini.

    8. Terimakasih untuk kakak Millah Maulidiyatul Hikmah dan

    adik penulis Nadia Sevilla Azzahra yang terus menerus

    menemani dan selalu memberikan semangat selama penulis

    mengerjakan skripsi ini.

    9. Rekan-rekan seperjuangan Hukum Pidana Islam angkatan

    2014, yang telah menemani penulis selama proses belajar di

    kelas maupun di luar kelas, terlebih untuk Agsel Siqitsa, Ijal

    Syafawi, Imam Fahmi, Mujib, Khusnus , Fahri, Nopal, Encek,

    Amin Hatuala, Adlan, Awang, serta Nabil, Fizkri, Defal dan

    Elah yang selalu menemani di kampus.

    10. Terimakasih juga untuk Mauriska, Harfina, Habibi, Abu Rizal

    dan Fahmi Kurniawan yang telah memberikan semangat

    kepada Penulis.

    11. Terimakasih untuk Angga Tristhanaya Hadi, Bella Putri Dwi

    Anggraeni, Zulisa Maulida, Rara Janah, Miftah dan Ocha yang

  • vii

    selalu memberikan motivasi dan menemani penulis

    mengerjakan skripsi ini hingga selesai.

    12. Terimakasih untuk keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam

    Jinayah Siyasah yang sudah mengijinkan saya berjuang dan

    menikmati manisnya hasil dan paitnya proses, terlebih untuk

    ka Fawwaz yang sudah membimbing penulis dalam berproses.

    Semoga segala do’a, dukungan dan bantuan yang telah

    diberikan menjadi lading pahala kelak di yaumul akhir, dan skripsi ini

    dapat bermanfaat bagi penulis pribadi serta kita semua, Amin Ya Robbal

    Aalamin.

    Jakarta, 23 Maret 2018 M

    06 Rajab 1439 H

    ( NUR RIZA SEPTIANI)

  • viii

    DAFTAR ISI

    LEMBARAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………….........i

    LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI.……………...…………..ii

    LEMBAR PERNYATAAN……………………..…………………...iii

    ABSTRAK………………………………………..…………………...iv

    KATA PENGANTAR……………………......……………………….v

    DAFTAR ISI……......……………………………………………...…vi

    BAB I PENDAHULUAN

    A.Latar Belakang .................................................................... 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................7

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...........................................8

    D. Kajian Review Terdahulu ...................................................9

    E. Metode Penelitian ..............................................................11

    F. Sistematika Penulisan...…………………………………..13

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG

    JAWABAN PIDANA

    A. Pengertian Tindak Pidana ..................................................14

    B. Teori Pemidanaan ..............................................................18

    C. Unsur-unsur Perbuatan Pidana ..........................................25

    D. Jenis-jenis Sanksi Pidana .................................................. 27

    E. Hal-hal yang Menghapuskan Perbuatan Pidana ................31

    F. Pertanggungjawaban Pidana ............................................. 35

    BAB III MEREK SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL

    A. Pengertian dan Sejarah Hak Merek .................................. 42

    B. Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual ....................... 47

    C. Merek Cardinal Sebagai Jenis Hak Kekayaan

    Intelektual.......................................................................…52

  • ix

    D. Tindak Pidana Pemalsuan Merek Menurut Hukum

    Positif..................................................................................54

    E. Tindak Pidana Pemalsuan Merek Menurut Hukum

    Islam……......…….........................................................…57

    BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

    JAKARTA PUSAT

    A.Kronologi Perkara….......................................................... 69

    ` B. Dakwaan, Tuntutan dan Putusan Hakim .......................... 71

    C. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindah Pidana

    Pemalsuan Merek ……..............................……………... 74

    D. Analisis Putusan Hakim dalam Tinjauan Hukum Positif dan

    Islam.................................................................................. 76

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ....................................................................... 83

    B. Saran ..................................................................................85

    DAFTAR PUSTAKA ………………………………….....................86

    LAMPIRAN ………………………………………………………....92

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Merek merupakan bagian paling penting dalam dunia

    perdagangan diseluruh belahan dunia. Dengan merek, produk yang

    dihasilkan oleh produsen kemudian dikenal oleh konsumen. Merek

    merupakan tanda pengenal asal barang yang dihasilkan.1 Merek juga

    merupakan salah satu bagian dari hak atas kekayaan intelektual

    manusia yang sangat penting terutama dalam menjaga persaingan

    yang sehat dalam perdagangan. Para pedagang menggunakan merek

    untuk mempromosikan barang-barang dagangannya dan untuk

    memperluas pemasaran. Bagi konsumen, merek diperlukan untuk

    melakukan pilihan produk yang akan dibeli. Tidak dibayangkan

    apabila suatu produk tidak memiliki merek, tentu produk yang

    bersangkutan tidak akan dikenal oleh konsumen. Oleh karena itu,

    suatu produk tersebut baik atau tidak, tentu akan memiliki merek.

    Bahkan tidak mustahil merek yang sudah dikenal luas oleh konsumen

    karena mutu dan harganya, akan selalu diikuti, ditiru, dibajak, dan

    bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen yang melakukan

    persaingan curang. Pemalsuan yang dimaksud adalah perbuatan

    mengubah atau meniru dengan menggunakan tipu muslihat sehingga

    menyerupai asli.2

    Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat

    dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa

    produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk

    menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek yang

    ditempelkan atau dilekatkan pada suatu produk, seringkali setelah

    barang dibeli, mereknya tak dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek

    mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja bagi pembelinya. Benda

    1 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, (Jakarta : Kencana, 2016), h., 312.

    2 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h,. 112.

  • 2

    materilnyalah yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya

    benda immateril yang tak dapat memberikan apa pun secara fisik.

    Inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan

    immateril. Ada suatu benda tak berwujud yang terdapat pada hak

    merek itu, jadi bukan seperti apa yang terlihat atau yang terjelma

    dalam setiap produk. Yang terlihat atau yang terjelma itu adalah,

    perwujudan dari hak merek itu sendiri yang ditempelkan pada produk

    barang atau jasa.3

    Begitu pentingnya suatu merek atau label dari suatu produk

    tersebut, maka tidak sedikit terjadi tindak kejahatan pemalsuan merek

    atau label baik dilakukan oleh seorang atau kelompok orang tertentu.

    Ini dipicu oleh keinginan dari pelaku tindak kejahatan untuk

    mendapatkan keuntungan yang berlebihan dimana pelaku kejahatan

    menggunakan nama merek atau label terkenal yang bisa mendongkrak

    nilai jual dari produk-produk yang dihasilkannya. Para pelaku usaha

    mempunya banyak kepentingan dalam melindungi merek ketika

    bersaing dipasar global. Persaingan usaha semakin kuat para pelaku

    usaha wajib melindungi mereknya melalui pendaftaran merek

    sehingga mereknya mempunyai perlindungan hukum terhadap

    pelanggaran merek yang dapat merugikan pelaku usaha.Oleh sebab

    itu, kebutuhan adanya perlindungan hukum atas merek semakin

    berkembang dengan pesatnya orang-orang yang melakukan peniruan.

    Berbicara mengenai tindak pidana pemalsuan merek salah

    satu kasus yang terkait adalah pemalsuan merek yang dilakukan oleh

    Afrizal kelahiran Padang 36 tahun, selaku pemilik atau penanggung

    jawab di Toko X-Four di Pasar Regional Tanah Abang Lantai III

    Blok F2 LOS Bks Nomor : 177 Jakarta Pusat, dengan sengaja dan

    tanpa hak telah menggunakan merek Cardinal pada celana yang

    diperdagangkan yang mana merek tersebut sama pada pokoknya

    3 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,( Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2013), h,.329.

  • 3

    dengan merek Cardinal + Logo milik PT. Multi Garmen Jaya sebagai

    pemilik merek yang sah yang terdaftar di Kantor Direktorat Jendral

    Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Ham RI. Bahwa

    merek Cardinal adalah milik PT. Multi Garmen Jaya untuk

    diperdagangkan, maka akibat dari perbuatan Afrizal tersebut PT.

    Multi Garmen Jaya mengalami kerugian kurang lebih Rp.

    1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah).

    Perbuatan tersebut dianggap telah merugikan produsen aslinya

    karena perbuatan tersebut menyimpang dari Undang-Undang Nomor

    dalam 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 100

    ayat (1) setiap orang yang tanpa hak menggunakan Merek yang sama

    pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk

    barang dan/jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau

    pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).

    Pasal 100 ayat (2) setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan

    merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek

    terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang

    diproduksi dan/ atau diperdagangkan, maka dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling

    banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), kemudian dalam

    Pasal 100 ayat (3) setiap orang yang melanggar ketentuan

    sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat (2), yang sejenis

    barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan

    hidup dan/atau kematian manusia dipidana dengan pidana penjara

    paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak

    Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).4

    4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

    perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

  • 4

    Merek merupakan bagian dari hak atas intelektual, mengenai hak

    merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam

    konsiderans Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek

    dan Indikasi Geografis pada bagian menimbang butir a, yang

    berbunyi:

    “Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan

    konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia,

    peranan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat

    penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang

    sehat,berkeadilan,perlindungan konsumen, serta perlindungan

    Usaha Mikro,Kecil,dan Menengah (UMKM) dan industri

    dalam negeri.”

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tidak menyebutkan

    bahwa merek merupakan salah satu wujud dari karya intelektual.

    Sebuah karya yang didasarkan kepada olah pikir manusia, yang

    kemudian terjelma dalam bentuk benda immateril. Suatu hal yang

    perlu dipahami dalam setiap kali menempatkan hak merek dalam

    kerangka hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa, kelahiran hak

    atas merek itu diawali dari temuan-temuan dalam bidang hak atas

    kekayaan intelektual lainnya. Pada merek ada unsur-unsur ciptaan,

    misalnya desain logo, atau desain huruf. Ada hak cipta dalam bidang

    seni. Oleh karena itu, dalam hak merek bukan hak cipta dalam bidang

    seni itu yang dilindungi, tetapi mereknya itu sendiri sebagai tanda

    pembeda.5

    Pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk

    tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana (KUHP), karena pemalsuan sendiri akan mengakibatkan

    kerugian kepada seseorang atau pihak lain yang berkepentingan. Hal

    inilah yang membuat kejahatan pemalsuan diatur dan termasuk suatu

    5 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,( Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2013),

    h,. 330.

  • 5

    tindak pidana. Dalam KUHP Bab XI mengenai Pemalsuan Materai

    dan Merek dapat dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dalam

    Pasal 254 ayat (1) memalsu merek atau tanda yang asli dengan

    maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-

    olah merek atau tanda itu asli dan tidak palsu.

    Pidana penjara paling lama 4(empat) tahun dalam Pasal 255

    ayat (2) barang siapa dengan maksud yang sama membubuhi merek

    pada barang tersebut dengan menggunakan cap yang asli secara

    melawan hukum. pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dalam

    Pasal 256 ayat (1) barang siapa yang membubuhi merek lain dalam

    pasal 254-255 menurut ketentuan undang-undang harus atau boleh

    dibubuhi pada barang atau bungkusnya secara palsu pada barang atau

    bungkus tersebut, seolah-olah mereknya asli dan tidak palsu dan

    dalam Pasal 257 barang siapa dengan sengaja memakai, menjual,

    menawarkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukan ke

    Indonesia, materai tanda atau merek yang tidak asli, dipalsu atau

    dibikin secara melawan hukum atau benda- benda dimana merek itu

    dibubuhkannya secara melawan hukum tidak dipalsu dan tidak dibikin

    secara melawan hukum ataupun tidak dibubuhkan secara melawan

    hukum pada benda itu maka diancam pidana dengan yang ditentukan

    Pasal 253-256 menurut perbedaaan yang ditentukan dalam pasal itu.6

    Islam melarang keras perbuatan memalsukan merek karena

    merek menjadi hak milik seseorang dan dianggap sebagai harta yang

    harus dijaga. Islam menganggap harta sebagai anugerah dari Allah,

    sedangkan manusia hanya menjadi perantara untuk memanfaatkan

    harta. Namun manusia harus menjaga harta tersebut begitu juga

    dengan merek yang merupakan suatu kekayaan intelektual sehingga

    merek tersebut dalam Islam juga dianggap sebagai kekayaan atau

    harta yang harus dilindungi dan tidak boleh dicuri oleh siapapun.

    Karena harta merupakan sesuatu yang menyenangkan manusia dan

    6 Bab XI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai Pemalsuan Materai dan Merek

  • 6

    mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun manfaat. Menurut

    jumhur ulama harta itu tidak saja bersifat materi melainkan juga

    termasuk manfaat dari suatu benda.7Sebutan harta kekayaan menurut

    para ulama juga mencangkup kekayaan intelektual, kerena

    mendatangkan banyak manfaat dan memiliki suatu nilai. Maka

    merekpun dapat dikategorikan sebagai harta kekayaan, sesuatu yang

    asalnya belum merupakan harta apabila kemudian hari tampak

    manfaatnya, ia akan menjadi harta selama memberikan manfaat secara

    umum.

    Dalam kasus sebagai salah satu contohnya adalah

    kejahatannya dengan cara pemalsuan/peniruan merek Cardinal pada

    celana yang diperdagangkan yang mana merek tersebut sama pada

    pokoknya dengan merek Cardinal + Logo milik PT. Multi Garmen

    Jaya sebagai pemilik merek yang sah yang terdaftar di Kantor

    Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan

    Ham RI sehingga pemilik merek asli mengalami kerugian yang sangat

    besar karena pelaku pemalsuan merek tersebut menjual dengan harga

    yang cukup murah, dan barang yang dijual kualitasnya rendah

    sehingga omset penjualan dari merek Cardinal yang asli menurun dan

    juga menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas merek

    tersebut. Kemudian pelaku mendapat barang dagangan berupa celana

    formal merek Cardinal dari seseorang sales yang tidak dikenal dengan

    menjual barang tersebut dengan harga yang murah kemudian

    terdakwa menjualnya kembali dan terdakwa mengetahui bahwa

    barang yang dijual merupakan hasil dari pelanggaran merek.8

    Dalam kasus tersebut Jaksa Penuntut Umum menuntut Pasal

    94 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yaitu

    diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda

    paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Namun

    7Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat,(Jakarta : Kencana, 2013), h,.17.

    8 Putusan Pengadilan Nomor :734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst

  • 7

    hakim tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum hakim

    menjatuhkan hukuman pidana kurungan selama enam bulan dan

    menetapkan hukuman tersebut tidak perlu dijalankan oleh terdakwa

    sesuai dengan Pasal 14 huruf a KUHP , kecuali sebelum lewat masa

    percobaan 1 (satu) tahun terdakwa melakukan tidak pidana.Penjatuhan

    pidana kurungan tersebut yang diberikan hakim tidak sesuai dengan

    Pasal yang terdapat dalam undang-undang nomor 15 tahun 2001

    tentang merek tersebut dengan pertimbangan bahwa perbuatan

    tersebut berpotensi merugikan orang lain.

    Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk

    melakukan analisis lebih mendalam mengenai tindak pidana pemalsuan

    merek untuk diangkat sebagai sebuah skripsi dengan judul :

    PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

    PEMALSUAN MEREK CARDINAL (Analisis Putusan Nomor:

    734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst)

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. Pembatasan Masalah

    Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada tentang pemalsuan

    merek, terlebih pemalsuan merek jasa atau barang, agar tidak

    melebar dan keluar dari pokok pembahasan, maka penulis

    membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini, penulis merasa

    perlu membuat pembatasan masalah sebagai berikut:

    a. Penelitian ini hanya membahas mengenai kasus pemalsuan

    merek dalam hukum positif dan hukum islam serta

    pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana bagi

    pelaku pemalsuan merek tersebut.

    b. Hukum pidana positif yang penulis dimaksud adalah pasal-

    pasal yang terkait kasus tersebut yang ada didalam Kitab

    Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor

    20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

  • 8

    perubahan atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang

    Merek.

    2. Rumusan Masalah

    Dari masalah pokok diatas dapat diuraikan menjadi beberapa sub

    masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian (research

    question), yaitu :

    a. Bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam terkait

    pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

    pemalsuan merek?

    b. Bagaimana pandangan hakim terhadap perkara tindak pidana

    pemalsuan merek dalam putusan nomor :

    734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst ?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah :

    a. Untuk menjelaskan pandangan hukum pidana positif dan

    hukum pidana Islam mengenai pertanggungjawaban pidana

    terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan merek.

    b. Untuk mengetahui pandangan hakim terhadap perkara

    tindak pidana pemalsuan merek dalam putusan nomor :

    734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst

    2. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai

    berikut:

    a. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan

    dalam mengetahui pandangan hukum pidana positif dan

    hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pemalsuan

  • 9

    merek, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan

    pelajar, mahasiswa dan akademisi lainnya.

    b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat

    bagi kalangan pelajar, mahasiswa, dan akademisi lainnya.

    Manfaat kebijakan hasil penelitian ini diharapkan dapat

    memberi manfaat kepada penegak hukum dalam penerapan

    hukum tentang tindak pidana pemalsuan merek.

    D. Review Kajian Terdahulu

    Penulis telah menemukan beberapa judul penelitian yang

    sebelumnya pernah ditulis dan berkaitan dengan judul skripsi yang

    akan diteliti saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah ada

    sebelumnya penelitian tersebut memiliki berbagai perbedaan antara

    judul, pokok permasalahan serta sudut pandang dengan skripsi yang

    akan diteliti. Sehingga,tidak ada unsur-unsur kesamaan dalam

    penulisan skripsi ini. Adapun penelitian terdahulu yang telah ada

    sebagai berikut:

    No Nama Judul Penelitian Hasil

    Penelitian

    1. Trezal

    Mohammad

    Kajian Hukum Pidana

    Islam atas Putusan

    Pengadilan Negeri Jakarta

    Pusat Tentang Perkara

    Pemalsuan Merek

    Islam melarang

    perbuatan pemalsuan

    merek dan pelaku

    2. Clara Fenty

    Zahara

    Persamaan Merek Cardinal

    Dengan Cardinar ( Analisis

    Putusan MA.Nomor 892

    K/Pdt.Sus/2012 dalam

    kasus PT.Multi Garmenjaya

    penulis berpendapat

    tampaknya undang-

    undang merek yang

    melandaskan prinsip

    dasar penolakan

  • 10

    dengan PT.Gisha Cahaya

    Mandiri).

    hukum terhadap

    permintaan

    pendaftaran merek

    didasarkan pada

    adanya persamaan

    pada pokoknya

    adalah tidak tegas

    atau tidak

    memberikan

    kepastian hukum

    3. Dwi Cahyo

    Nugroho

    Kajian Hukum Pidana

    Islam Terhadap Putusan

    Hakim Tentang Pemalsuan

    Akta Oleh Notaris (Analisis

    Putusan Mahkamah Agung

    Nomor:1568K/Pid/2008)

    jika dilihat dari

    hukum pidana Islam

    terdakwa dapat

    dikenakan hukuman

    ta‟zir atas perbuatan

    pemalsuan akta

    otentik berupa

    hukuman penjara dan

    kurungan

    Berdasarkan pemaparan penulis di atas yang terkait dengan

    hukuman atau sanksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan

    pemalsuan merek mengasumsikan bahwa perbuatan ini sangat

    merugikan pihak yang terkait dan sangat dilarang di dalam hukum

    positif dan hukum Islam. Karena didalam hukum Islam Al-Qur‟an dan

    Hadits tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai pemalsuan merek

    tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

    ini lebih dalam.

  • 11

    E. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Metode penelitian dibagi menjadi dua, yaitu penelitian

    kualitatif dan kuantitatif.9 Penelitian kualitatif berati tidak

    membutuhkan populasi dan sample, penelitian kuantitatif berarti

    menggunakan populasi dan sample dalam mengumpulkan data. 10

    Dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian

    kualitatif yang bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan normatif

    empiris. Dengan objek penelitian peraturan perundang-undangan yang

    dikaitkan dengan teori-teori hukum. demikian juga hukum dalam

    pelaksanaannya di dalam masyarakat, yang berkenaan dengan objek

    penelitian.

    2. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah Studi Dokumentasi / pustaka library research, dan Putusan

    Pengadilan Negeri Jakarta Pusat alat ini dipergunakan untuk

    melengkapi data yang penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat

    buku-buku dan undang-undang yang terkait dengan pokok masalah

    yang akan diteliti.

    3. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan

    kasus (approach kasus). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara

    melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu

    9 Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1999)

    Cet.1, h,.56. 10

    Zainudin Alli, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h,. 98.

  • 12

    yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang memiliki

    kekuatan hukum tetap.11

    4. Sumber Data

    Data Primer yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan

    jawaban terhadap masalah penelitian.12

    Data primer tersebut berupa

    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:734/Pid.B/2003/PN

    Jkt.Pst dan Undang -Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek

    dan Indikasi Geografis perubahan atas Undang-Undang Nomor 15

    tahun 2001 tentang Merek. Serta data sekunder yaitu berupa data

    tambahan yang menjadi acuan terhadap masalah penelitian ini berupa

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Al-qur‟an dan Hadits

    serta buku-buku lain yang terkait dengan penelitian penulis.

    5. Teknik Analisis

    Adapun cara yang digunakan dalam menganalisa datanya

    adalah analisis kualitatif yaitu penelitian yang menggambarkan

    secermat mungkin tentang hal yang diteliti dengan jalan

    mengumpulkan data-data atau informasi berkaitan dengan masalah

    yang akan diteliti. Dalam hal ini materi pokoknya adalah tindak

    pidana pemalsuan merek ditinjau hukum pidana positif dan hukum

    pidana Islam serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman

    pidana terhadap pelaku tindak pidana.

    6. Teknik Penulisan

    Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku

    “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”

    11

    Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayu Media Publishing, 2007), h,.57.

    12 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2008),

    h,.158.

  • 13

    F. Sistematika Penulisan

    Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari

    sub bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan

    dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi pokok

    penulisan serta memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata

    urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika

    penulisan ini secara sistematis sebagai berikut:

    Bab I memuat pendahuluan yang berisi tentang latar belakang

    masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

    kegunaan hasil penelitian, studi review terdahulu, metode penelitian

    dan sistematika pembahasan.

    Bab II berisi tentang pengertian tindak pidana pemalsuan

    merek, dasar hukum tindak pidana pemalsuan merek, teori

    pemidanaan, unsur-unsur tindak pidana, macam-macam sanksi

    pidana, hal-hal yang menghapuskan tindak pidana, dan pertanggung

    jawaban pidana.

    Bab III berisi tentang pengertian hak merek, merek sebagai

    hak kekayaan intelektual, pemalsuan merek dalam hukum positif dan

    hukum Islam.

    Bab IV berisi tentang kronologi perkara, dakwaan, tuntutan

    dan putusan hakim, pandangan hukum positif dan hukum Islam terkait

    pertanggungjawaban pidana tindak pidana pemalsuan merek, dan

    pandangan hakim dalam putusan nomor 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst

    dalam tinjauan hukum positif dan hukum Islam.

    Bab V bab ini merupakan penutup, berisi kesimpulan yang

    berisikan urutan jawaban akhir dari permasalahan yang ada dan saran.

  • 14

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN

    PIDANA

    A. Pengertian Tindak Pidana

    Hukum pidana merupakan salah satu kaidah atau norma

    hukum yang berisi perintah atau larangan dan mengandung ancaman

    sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya, maka dapat dipahami

    bahwa hukum pidana merupakan salah satu hukum yang berlaku

    disuatu negara seperti halnya Indonesia yang mengatur tindakan yang

    dilarang dengan disertai sanksi. Hukum pidana di Indonesia

    menggunakan hukum tertulis, dimana tindak pidana harus memenuhi

    aturan hukum yang telah ada yaitu peraturan perundang-undangan.

    Seperti yang dituangkan dalam asas dasar hukum pidana yaitu asas

    legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang dikenal dalam

    bahasa latin sebagai “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia

    Lege Poenali”. Artinya “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat

    dihukum kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang

    mengaturnya”.13

    Hukum pidana pada dasarnya adalah hukum yang mengatur

    tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang beserta sanksi hukum yang

    dapat dijatuhkan apabila larangan tersebut dilanggar. Perbuatan-

    perbuatan yang dilarang tesebut dikenal dengan sebutan tindak pidana

    atau delik, sedangkan sanksi hukumnya dikenal dengan istilah pidana

    (straaf). Pidana sendiri didefinisikan sebagai hukuman berupa derita

    atau nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pelaku

    tindak pidana.14

    13

    Novita Candra Buana ,”Pertanggungjawaban Pidana yangMenganjurkan Tindak Pidana Pemalsuan Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001: CalyPutra.Vol.4 No.2,

    (2015), h.,5. 14

    Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT. RajaGrafindo persada,2002), h.,1.

  • 15

    Secara sosiologis, hukum merupakan salah satu norma

    perilaku (behavioral norms) yang ada dalam suatu masyarakat

    terdapat norma-norma perilaku yang lain seperti norma kesopanan,

    norma kesusilaan dan norma agama. Kelebihan yang dimiliki oleh

    hukum sebagai norma perilaku jika dibandingkan dengan norma-

    norma perilaku lainnya adalah bahwa norma hukum dapat dipaksakan

    berlakunya oleh negara. Norma-norma hukum tersebut dipaksakan

    berlakunya oleh negara dengan cara memberikan ancaman hukuman

    kepada setiap warga negara atau anggota masyarakat yang ingin

    melanggarnya. Melalui ancaman hukuman tersebut anggota

    masyarakat dipaksa untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

    dilarang. Untuk menegakan norma hukum tersebut, negara memiliki

    aparatur khusus yang dikenal dengan nama aparat penegak hukum

    (legal enforcement officier). Dalam konteks hukum pidana, penegak

    hukumnya dilakukan oleh Polisi, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim.15

    Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan

    dan pelanggaran.

    1. Kejahatan adalah perbuatan yang tidak hanya bertentangan

    dengan perundang-undangan tetapi juga bertentangan dengan

    nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku

    pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa

    pemidanaan contohnya mencuri, membunuh, berzina,

    pemalsuan,dll.

    2. Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan

    perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak

    berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tindak

    menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam

    berkendaraan dan sebagaimana.

    15

    H.Muchammad Ichsan, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY,2008), h.,.3.

  • 16

    Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab

    Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan

    peninggalan zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama

    Wetboek van Straafrecht. KUHP merupakan lex generalis bagi

    pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum

    terkuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di

    luar KUHP (lex spesialis).

    Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung

    suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang

    dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada

    peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang

    abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum

    pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat

    ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan

    istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Jadi,

    berdasarkan pendapat di atas, pengertian dari tindak pidana yang

    dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana senantiasa merupakan suatu

    perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau

    perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan

    sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan

    sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang

    yang melakukan atau orang menimbulkan kejadian tersebut.16

    Sedangkan dalam Islam hukum pidana mempunyai pengertian

    sendiri, dimana hukum pidana tersebut berisi ketentuan-ketentuan

    tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan serta ancaman

    sanksinya apabila perbuatan itu dilanggar. Jadi pada prinsipnya

    hukum pidana itu mengatur tentang tindak pidana dan pidana.

    Berdasarkan prinsip ini, maka hukum pidana Islam dapat

    didefinisikan sebagai hukum yang mengatur persoalan tindak pidana

    16

    Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, h.,62.

  • 17

    (jarimah) dan sanksi („uqubah).17

    Jarimah menurut bahasa adalah

    melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak

    baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan,

    kebenaran dan jalan yang sesuai dengan agama.

    Perbuatan yang dilarang adakalanya berupa mengerjakan

    perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan

    yang diperintahkan. Sedangkan suatu perbuatan baru dianggap

    sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara‟ dan

    diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu

    tidak ada larangannya dalam syara‟ maka perbuatan tersebut

    hukumnya mubah, sesuai dengan kaidah Qaidah ushul mengatakan :

    ِِ اَألَطْلُ فِى اْألَشْيَاءِ اْإلِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْم

    “ Hukum asal dari sesuatu adalah mubah sampai ada dalil

    yang melarangnya ( memakruhkannya atau

    mengharamkannya)” (Imam As Suyuti)

    Jika pengelompokkan hukum-hukum Islam sebagaimana

    dikemukakan diatas, bahwa hukum pidana itu termasuk bagian dari

    hukum Islam (syari‟at Islam) yang dipelajari dalam ilmu fiqih (Fiqih

    Jinayah). Jadi dengan demikian bisa dikatakan di sini bahwa hukum

    pidana Islam itu adalah hukum Islam yang berkaitan dengan masalah

    pidana, atau dengan kata lain hukum pidana Islam adalah hukum yang

    berkaitan dengan tindak pidana dan sanksinya menurut syari‟at Islam.

    Membicarakan tujuan hukum pidana Islam tidak dapat

    dilepaskan dari membicarakan tujuan syari‟ah Islam secara umum,

    karena hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam.

    Syari‟at Islam ketika menetapkan hukum-hukum dalam masalah

    kepidanaan mempunyai tujuan umum, yaitu mendatangkan mashlahat

    kepada umat dan menghindarkan mereka dari mara bahaya.

    17

    Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika : Jakarta,2004),h.,.9

  • 18

    Syari‟ah Islam secara umum bertujuan untuk mengamankan

    lima hal-hal mendasar dalam kehidupan umat manusia. Lima hal itu

    adalah aspek agama, aspek akal, aspek jiwa, aspek harta benda, dan

    aspek keturunan. Lima hal ini merupakan perkara yang sangat penting

    dalam pandangan Islam bagi umat manusia.18

    B. Teori Pemidanaan

    Kejahatan (crime) merupakan tingkah laku yang melanggar

    hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat

    menentangnya. Kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi

    pada setiap tempat dan waktu. Dengan demikian, kejahatan bukan saja

    masalah bagi suatu kelompok atau masyarakat tertentu yang berskala

    lokal maupun nasional, tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi

    oleh seluruh masyarakat di dunia pada masa lalu, sekarang dan pada

    masa yang akan datang, sehingga dapat dikatakan bahwa kejahatan

    sebagai a universal phenomenon.19

    Penggunaan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan

    dilakukan melalui kebijakan hukum pidana. Kebijakan huskum pidana

    merupakan persoalan yang lazim dilakukan oleh banyak negara.

    Namun, tidak berarti persoalan tersebut sebagai suatu hal yang dapat

    dilakukan tanpa pertimbangan yang mendasar. Istilah pidana

    merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukan sanksi dalam

    hukum pidana.20

    18

    H.Muchammad Ichsan dan M.Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,

    (Yogyakarta : Lab Hukum FHUMY,2008) ,h.,.19. 19

    Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana,

    (Semarang: Ananta, 1994), h,.2. 20

    Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks

    Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h,. 23.

  • 19

    Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dikelompokkan

    dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan

    (vergeldings theorien), teori tujuan atau teori relatif (preventie

    theory), teori gabungan (vereningings theorien).

    1. Teori Pembalasan (Teori Absolut / Retributif)

    Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang

    melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana

    mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana.21

    Teori

    absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan kesalahan atas

    kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan

    terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena

    pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori

    ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena

    kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Sebagai

    imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.22

    Teori ini

    menjelaskan setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh

    tidak tanpa adanya tawar menawar. Artinya seseorang mendapat

    pidana karena telah melakukan kejahatan. Maka pemberian pidana

    disini ditunjukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang

    telah melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenarannya terletak pada

    adanya kejahatan itu sendiri.23

    Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh tidak

    tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena

    melakukan kejahatan tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul

    dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat

    mungkin akan dirugikan atau tidak. Pembalasan sebagai alasan untuk

    21

    S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya,(Jakarta : Alumni

    Petehaem, 1996),h.,58. 22

    Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009),

    h,.105. 23

    Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), h,. 23.

  • 20

    memidanakan suatu kejahatan, penjatuhan pidana pada dasarnya

    penderitaan pada penjahat itu dibenarkan karena penjahat telah

    membuat penderitaan bagi orang lain.24

    Teori pembalasan di dalam hukum pidana Islam adalah qisash,

    secara etimologi qisash berasal dari kata َّقََظًظا –يُقَضُّ –قَض yang

    berarti ُتَتَبََّعه mengikuti, menelusuri jejak atau langkah. Adapun qisash

    secara terminologi yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum)

    kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku

    tersebut kepada korban.25

    Qisash juga diartikan dengan menjatuhkan

    sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak

    pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh

    dibalas dengan anggota tubuh. Menurut istilah syara‟, qisash adalah

    ,yang artinya memberikan balasan kepada pelaku ُمَجاَزاةُالَجانِى بِِمْثِل فِْعلِهsesuai dengan perbuatannya.

    26 Jadi, didalam hukum Islam pada

    hukuman qisash menerapkan teori pembalasan juga.

    Ciri pokok atau karakteristik teori absolut/retributif, yaitu27

    :

    a. Tujuan pidana adalah tujuan utama untuk pembalasan;

    b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak

    mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk

    kesejahteraan masyarakat;

    c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;

    d. Pidana disesuaikan dengan dengan kesalahan pelaku pidana;

    e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang

    murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau

    memasyarakatkan kembali si pelanggar.

    24

    Dwidja Priyanto, Asas Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h., 90. 25

    M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta, Amzah, 2015), h,. 4. 26

    Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), h,. 149. 27

    Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,( Jakarta : PT Raja Grafindo,2010), h.,

    162.

  • 21

    2. Teori Tujuan ( Teori Relatif/Preventie theory)

    Teori relatif dapat disebut juga dengan teori utilitarian. Secara

    umum teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari pidana bukanlah

    sekedar pembalasan, akan tetapi mewujudkan ketertiban pada

    masyarakat. Teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai

    pembalasan atas kesalahan atas kesalahan si pelaku tetapi sebagai

    sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat

    menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan

    sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan

    pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan

    untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu yakni

    memperbaiki ketidakpuasan masyarakat akibat dari kejahatan itu.

    Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu tujuan

    hukuman adalah untuk (prevensi) kejahatan. Jadi, dasar pembenaran

    adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.

    Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan

    supaya orang tidak melakukan kejahatan. Tujuan pidana pada teori

    relatif ini adalah untuk mencegah agar ketertiban di masyarakat tetap

    kondusif dan tidak terganggu.28

    Menurut Leonard teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah

    dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk

    mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau

    cenderung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib

    masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib masyarakat itu

    diperlukan pidana. Pidana bukanlah hanya sekedar untuk melakukan

    pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan

    sesuatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang

    bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi

    hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

    28

    Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h,. 107.

  • 22

    Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk

    mengurangi frekuensi kejahatan dan supaya orang jangan melakukan

    kejahatan maka teori ini disebut teori tujuan/utilitarian theory.

    Dalam hukum pidana dilihat aspek tujuannya, teori

    pemidanaan relatif dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

    1) Prevensi Umum (generale preventie)

    2) Prevensi Khusus (speciale preventie)

    Ernst Utrech mengemukakan bahwa prevensi umum

    mempunyai tujuan untuk menghindari orang melakukan pelanggaran

    (tindak pidana) sedangkan prevensi khusus mempunyai tujuan

    menghindarkan supaya pelaku tindak pidana tidak melanggar (tindak

    pidana). Perbedaan prevensi umum dan prevensi khusus adalah

    prevensi umum lebih menekankan bahwa tujuan dari pidana adalah

    mempertahankan ketertiban pada masyarakat lainnya tidak akan

    melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus lebih

    menekankan bahwa tujuan dari pidana itu dimaksudkan agar pelaku

    pidana tidak mengulangi perbuatannya kembali. Dalam konteks ini,

    pidana difungsikan sebagai alat atau sarana untuk mendidik dan

    memperbaiki pelaku pidana supaya menjadi masyarakat yang baik.

    Didalam hukum pidana Islam juga terdapat teori tujuan atau

    teori relatif yaitu dalam sanksi ta‟zir, ta‟zir merupakan bentuk masdar

    dari kata يُْعِزرُ –َعَزَر yang secara etimologis berarti ُدُّ َواالَمْنع yaitu الرَّmenolak atau mencegah.

    29 Tujuan dan syarat sanksi ta‟zir diantaranya

    sebagai berikut :

    a. Preventif (pencegahan) yang ditujukan kepada orang lain

    yang belum melakukan perbuatan yang dilarang tersebut.

    b. Represif (membuat pelaku jera) yang dimaksudkan agar

    pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian

    hari.

    29

    M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta, Amzah, 2015), h,. 136.

  • 23

    c. Kuratif (islāh) ta‟zir mampu membawa perbaikan perilaku

    terpidana dikemudian hari.

    d. Edukatif (pendidikan), ta‟zir diharapkan dapat mengubah

    pola hidupnya ke arah yang lebih baik.

    Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif/ utilitarian,yaitu:30

    a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

    b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana

    untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan

    masyarakat;

    c. Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

    kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa)

    yang memenuhi syarat untuk adanya pidana.

    d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat

    untuk pencegahan kejahatan;

    3. Teori Gabungan/Integratif (verenigings theorien)

    Teori gabungan memandang bahwa tujuan pemidanaan

    bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif

    (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori

    gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas

    tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan

    itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori

    gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif, gabungan

    kedua teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk

    mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan

    memperbaiki pribadi penjahat.31

    30

    Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana,(Bandung : Alumni,1992),

    h., 12. 31

    Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidanaa (kajian kebijakan kriminalisasi),

    (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h., 163.

  • 24

    Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,

    yaitu;

    a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, akan tetapi

    pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu

    dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib

    masyarakat;

    b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

    masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan

    yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan

    oleh pelaku tindak pidana.

    c. Teori gabungan yang menganggap harus ada keseimbangan

    antara kedua hal diatas.

    Dengan demikian, pidana juga merupakan perlindungan

    terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar

    hukum. pidana juga mengandung hal-hal lain yaitu pidana diharapkan

    sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah

    suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima

    kembali dalam masyarakat.32

    Melihat dari tujuan pemidanaan tersebut bahwa tujuan

    pemidanaan sangat penting karena hakim harus merenungkan dalam

    aspek pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut

    dengan memperhatikan bukan hanya rasa keadilan dalam masyarakat,

    melainkan harus mempu menganalisis hubungan timbal balik antara

    pelaku dan korban.33

    32

    Muladi dan Barda Nawawi,Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana ,(Bandung : Alumni,1992),

    h., 14. 33

    Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h,. 45.

  • 25

    C. Unsur-unsur Perbuatan Pidana

    Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

    tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu

    bagi pelanggarnya. Sehingga untuk mengetahui adanya tindak pidana,

    maka harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-

    undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan

    disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan

    beberapa unsur-unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari

    larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan

    lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat

    perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau

    dilanggar.

    Simon menyebutkan dalam bukunya Ismu Gunadi dan Jonaedi

    Efendi bahwa adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak

    pidana (strafbaar feit). Unsur objektif diantaranya perbuatan orang,

    akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan

    tertentu yang menyertai perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu

    yang menyertai perbuatan itu.34

    Sedangkan unsur subjektif yaitu orang

    yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan (dollus atau

    culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini

    dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan

    mana perbuatan itu dilakukan.

    Ketika seorang terbukti melakukan suatu perbuatan yang

    dilarang oleh hukum pidana, tidak secara otomatis orang itu harus

    terdapat kesalahan pada orang itu dan telah dibuktikan dalam proses

    peradilan. Dalam praktik peradilan, yang pertama kali dilakukan

    hakim ketika memeriksa perkara pidana yang diajukan kepadanya

    adalah orang yang dihadapkan kepadanya memang terbukti

    melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana atau tidak.

    34

    Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana,( Jakarta: Kencana, 2015), h,. 39.

  • 26

    Setelah hal itu terbukti, hakim kemudian membuktikan ada tidaknya

    kesalahan pada diri orang itu.35

    Berdasarkan uraian di atas bahwa unsur-unsur perbuatan

    pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perbuatan

    yang dipisahkan dengan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu,

    unsur-unsur perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Simons yang

    mengikuti pandangan Moeljanto dan Roeslan Saleh dalam bukunya

    Mahrus Ali mengenai perbuatan pidana sehingga unsur-unsurnya pun

    harus konsisten dengan pandangan kedua ahli hukum pidana itu.

    Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan

    yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang

    melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa

    hal. Pertama, perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif

    maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan

    yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul

    tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya

    yang formil maupun materil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan

    tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang

    oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal

    yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum

    pidana yang ada dalam undang-undang.36

    Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek

    kajian fiqih jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :

    1. al-rukn al-syar‟i atau unsur formil, bahwa seseorang dapat

    dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang

    secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku

    tindak pidana.37

    35

    Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.110. 36

    Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,(Malang: Press,2008), h,.117.

    37 M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah,2015), h,. 2.

  • 27

    2. al-rukn al-madi atau unsur materil, bahwa seseorang dapat

    dijatuhi pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah

    jarimah.

    3. al-rukn al-adabi atau unsur moril, bahwa seseorang dapat

    dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau

    sedang berada di bawah ancaman.

    D. Jenis-Jenis Sanksi Pidana

    Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang

    keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan

    sanksi tindakan. Kedua sanksi tersebut berbeda baik dari ide dasar,

    landasan filosofis yang melatarbelakanginya dan tujuannya. Sanksi

    pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di

    dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan

    bersalah melakukan perbuatan pidana.38

    Hukum itu mengerikan karena adanya hukuman, hukum itu

    menakutkan karena orang yang melakukan suatu perbuatan yang

    dianggap suatu tindak pidana akan dincam dengan hukum. Hukuman

    adalah ancaman yang bersifat penderitaan karena hukuman itu

    dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan

    oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi hukum

    pidana.39

    Jenis-jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-

    jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP,

    kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang.40

    Jenis-jenisnya

    dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok

    terdari dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana

    denda.Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak

    tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan

    38 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), h,. 78.

    39 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2015), h,. 65.

    40 Pasal 103 KUHP

  • 28

    hakim. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok

    dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.41

    1. Pidana Pokok

    a. Pidana Mati

    Pidana mati adalah satu-satunya bentuk hukuman yang

    menjadi diskursus masyarakat. Sebab hukuman mati merampas

    kehidupan seseorang, padahal hak hidup adalah salah satu hak yang

    dijamin oleh UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pidana mati

    dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah

    memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang

    sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk

    menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu

    dengan hukuman mati.42

    b. Pidana Penjara

    Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang,

    yaitu dengan menempatkan terpidana dalam suatu tempat (lembaga

    pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bisa bebas untuk keluar

    masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta

    menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman

    penjara minimun 1 hari dan maksimum 15 tahun (Pasal 12 ayat(2))

    KUHP, dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang

    ditentukan dalam Pasal 12 (3) KUHP.

    c. Pidana Kurungan

    Pidana kurungan hakikatnya lebih ringan dari pada pidana

    penjara dalam hal penentuan masa hukuman kepada seseorang. Hal ini

    sesuai dengan stelsel pidana dalam Pasal 10 KUHP, dimana pidana

    kurungan menempati urutan ketiga di bawah pidana mati dan pidana

    penjara. Stelsel tersebut menggambarkan bahwa pidana yang

    41

    Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.195. 42

    Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System

    dan Implementasinya,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h,. 23.

  • 29

    urutannya lebih tinggi memiliki hukuman yang lebih berat

    dibandingkan dengan stelsel pidana yang berada di bawahnya.

    d. Pidana Denda

    Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran

    terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan

    culpa,pidana denda sering dijadikan sebagai alternatif dari pidana

    kurungan. Apabila terpidana tidak membayarkan uang denda yang

    telah diputuskan maka konsekuensi yang harus diterimanya adalah ia

    harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat

    (2) KUHP sebagai pengganti dari pidana denda).

    2. Pidana Tambahan

    a. Pencabutan Hak-hak Tertentu, meliputi pencabutan hak-hak

    kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak

    ketenagakerjaan.

    b. Perampasan barang-barang tertentu, berupa barang-barang

    yang didapat dari hasil kejahatan dan barang-barang yang

    dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.

    c. Pengumuman Putusan Hakim, di dalam Pasal 43 KUHP

    ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya

    diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini aturan

    umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara

    melaksanakan perintah atas biaya terpidana.

    Dalam hukum pidana Islam terdapat jarimah atau tindah

    pidana yang terdapat uqubah atau hukuman bagi pelaku tindak pidana.

    Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman dilihat dari

    pertalian antara satu hukuman dengan hukuman lainnya adalah

    sebagai berikut :

  • 30

    1. Hukuman Pokok („Uqubah Ashliyah),yaitu hukuman yang

    ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman

    yang asli, seperti jarimah qisash untuk pembunuhan, atau

    hukuman potong tangan untuk pencurian.

    2. Hukuman Pengganti(„Uqubah Badaliyah),yaitu hukuman yang

    menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak

    dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti diyat sebagai

    pengganti hukuman qisash.

    3. Hukuman Tambahan („Uqubah Taba‟iyah),yaitu hukuman yang

    mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan sendiri

    seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan

    pembunuhan terhadap keluarganya.

    4. Hukuman Pelengkap („Uqubah Takmiliyah),yaitu hukuman yang

    mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri

    dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya

    dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan

    pencuri yang telah dipotongnya ke leher.

    Kemudian penggolongan hukuman ditinjau dari tempat dilakukannya

    hukuman, yaitu :

    a. Hukuman badan, yaitu dijatuhkan atas badan seperti hukuman

    mati,dera, dan penjara.

    b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang bukan

    badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.

    c. Hukuman harta, yaitu dikenakan terhadap harta seseorang seperti

    diyat, denda dan perampasan harta.

  • 31

    E. Hal-hal yang Menghapuskan Perbuatan Pidana

    1. Pengertian Dasar Penghapus Pidana

    Pada dasarnya, apa yang diatur dalam aturan perundang-

    undangan adalah hal-hal yang umum sifatnya. Utrech menyatakan

    dalam bukunya Eva Achjani Zulfa bahwa sifat umum tersebut

    membuka kemungkinan peluang akan kemungkinan dijatuhkannya

    pidana yang tidak adil. Dengan kata lain, kemungkinan bahwa

    dijatuhkannya hukuman kepada seseorang yang tidak bersalah. Para

    pembentuk undang-undang melihat bahwa perlunya suatu pengaturan

    tentang kondisi-kondisi atau keadaan-keadaan tertentu untuk

    meniadakan pemidanaan bagi seseorang. Kondisi-kondisi atau

    keadaan tertentu ini untuk meniadakan pemidanaan bagi seseorang.

    kondisi-kondisi atau keadaan tertentu ini merupakan suatu kondisi

    atau keadaan yang berkaitan dengan perbuatan yang dinyatakan

    sebagai tindak pidana ataupun kesalahan yang melekat pada diri

    seseorang pelaku tindak pidana.43

    Alasan penghapusan pidana adalah peraturan yang terutama

    ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan

    pelaku yang telah memenuhi rumusan delik sebagaimana yang telah

    diatur dalam Undang-undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi

    tidak dipidana. Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah

    memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam

    peraturan hukum pidana. Akan tetapi, ada beberapa alasan yang dapat

    menyebabkan pelaku tindak pidana atau dikecualikan dari penjatuhan

    sanksi pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan

    perundang-undangan tersebut. Dengan demikian alasan-alasan

    penghapusan pidana ini, adalah alasan-alasan yang memungkinkan

    orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi

    43

    Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan dan Pemberat Pidana,

    (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h,. 45.

  • 32

    rumusan delik untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan

    yang diberikan undang-undang kepada hakim.44

    Di dalam KUHP meskipun mengatur tentang alasan

    penghapusan pidana, akan tetapi KUHP tidak memberikan pengertian

    yang jelas tentang makna alasan penghapusan pidana tersebut.

    Menurut doktrin alasan penghapusan pidana dapat dibagi menjadi dua

    yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar.

    Mengenai dasar penghapusan pidana, KUHP merumuskan

    beberapa keadaan yang dapat menjadi dasar penghapus pidana,

    sebagai berikut:

    a. Pasal 44 KUHP tentang Kemampuan Bertanggungjawab.

    b. Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa.

    c. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa.

    d. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-

    undang.

    e. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.

    Faktor yang berasal dari luar dirinya itulah yang menyebabkan

    pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain mengakibatkan

    kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat tindak

    pidana terdapat alasan penghapus kesalahan. Dalam hubungan ini

    pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat

    dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat

    tindak pidana. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-

    hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat

    diteruskan kepadanya, karena pembuat tindak pidana tidak dapat

    berbuat lain selain melakukan tindak pidana itu.45

    44

    M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana Teori dan Studi Kasus,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),

    h,. 27. 45

    Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada

    Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,(Jakarta: Kencana, 2006), h,.118.

  • 33

    2. Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf

    Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang

    menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal

    dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau

    dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari

    pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya

    alasan pembenar berujung pada pembenaran atas tindak pidana yang

    sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf

    berdampak pada pemaafan perbuatannya sekalipun telah melakukan

    tindak pidana yang melawan hukum.46

    Menurut doktrin hukum pidana, penyebab tidak dipidananya si

    pelaku tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar

    yaitu alasan pemaaf (schuiduitsluitingsgronden) yang bersifat

    subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenal sikap

    batin sebelum atau pada saat akan berbuat, kemudian alasan pembenar

    (rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat objektif dan melekat pada

    perbuatannya atau hal-hal yang diluar batin si pelaku.47

    Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan

    penghapus kesalahan atau pemaaf antara lain, daya paksa

    (overmacht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (nooodweer

    ekses), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang

    didasari oleh i‟tikad baik.

    Pertama, daya paksa (overmacht). Dalam KUHP daya paksa

    diatur di dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa barangsiapa

    melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak pidana.

    Secara teoretis terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis absoluuta

    dan vis compulsiva. Vis absoluuta adalah paksaan yang pada

    umumnya dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia (fisik) oleh

    46

    Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.181. 47

    Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas,(Jakarta: PT Raja Grafindo,

    2009), h,. 18.

  • 34

    orang lain, sedangkan vis compulsiva adalah paksaan yang

    kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara perhitungan yang

    layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan memaksa

    tersebut akan mengadakan perlawanan dalam vis compulsiva yang

    terjadi adalah paksaan psikis, dalam arti sekalipun tidak memaksa

    secara mutlak, tetapi hal demikian tetap disebut dengan memaksa.48

    Kategori daya paksa sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa

    psikis atau vis compulsiva terbagi menjadi dua yaitu daya paksa dalam

    arti sempit (overmacht in enge zin) dan keadaan darurat

    (noodtoestand). Pengertian daya paksa dalam arti sempit adalah

    sumber datangnya paksaan itu berasal dari luar diri orang yang

    dipaksa, sehingga orang tersebut tidak memiliki pilihan lain kecuali

    mengikuti kemauan orang yang memaksanya itu. Sedangkan dalam

    keadaan darurat orang yang terkena daya paksa itu sebenarnya masih

    memiliki kebebasan untuk memilih perbuatan mana yang akan

    dilakukan.

    Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses)

    diartikan sebagai dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan

    seperlunya itu haruslah disebabkan karena pengaruh dari suatu

    kegoncangan jiwa yang demikian hebat, yang bukan semata-mata

    disebabkan karena adanya perasaan takut atau ketidaktahuan tentang

    apa yang harus dilakukan, melainkan juga yang disebabkan oleh hal-

    hal lain seperti kemarahan atau perasaan kasihan. Dengan demikian,

    pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah perbuatan pidana

    yang dilakukan sebagai pembelaan pada seseorang mengalami suatu

    serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari

    ancaman hukum jika sifat pembelaan tersebut sebanding dengan bobot

    serangan atau ancaman serangan itu sendiri.49

    48

    Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), h,.182. 49

    P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,1984), h,.475.

  • 35

    Noodweer ekses diatur di dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang

    menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang

    langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena

    serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.Pasal ini

    menjelaskan bahwa dalam noodweer ekses perbuatan seseorang

    hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena memang

    serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang

    disebabkan oleh kegonjangan jiwa yang hebat adalah melawan

    hukum. Serangan itu juga disebabkan secara langsung oleh

    kegoncangan jiwa yang hebat. Hal demikian inilah yang

    menyebabkan dalam diri orang itu terdapat alasan pemaaf.

    F. Pertanggungjawaban Pidana

    Pengertian perbuatan pidana sebagaimana yang telah

    dipaparkan pada sub bab sebelumnya bahwa istilah tersebut tidak

    termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjukan

    kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.

    Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi

    pidana, sebagaimana telah diancamkan? ini tergantung dari persoalan

    apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan?

    Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah

    “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Menurut Moeljatno, orang

    tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia

    tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan

    perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana.50

    Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara

    beragam, kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana

    karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain

    50

    Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h,. 153.

  • 36

    jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.51

    Orang dapat

    dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan

    perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya,

    yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat

    padahal maupun mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut,

    dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian.

    Pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah

    merupakan kelanjutan dari hukum perbuatan pidana. Jika orang telah

    melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi pidana sebab

    masih harus masih dilihat apakah orang tersebut dapat

    dipertanggungjawabkan secara pidana. Jika ternyata tidak dapat

    dibuktikan kesalahannya, maka berlakulah asas Gen Straf Zonder

    Schuld yang artinya tidak ada pidana tanpa kesalahan. Dengan

    demikian bahwa untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus

    memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban

    dalam hukum pidana (mempunyai kesalahan).52

    Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada

    waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat

    dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan

    masyarakat padahal mampu mengetahui makna jelek perbuatan

    tersebut, dan karena itu harus menghindari untuk melakukan

    perbuatan demikian. Jika begitu, tentunya perbuatan tersebut memang

    sengaja dilakukan dan celaannya berupa kenapa melakukan perbuatan

    yang dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat.53

    Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut

    sebagai “toereken baarheid” atau “criminal responsibilty”,criminal

    liability. Telah diutarakan bahwa pertanggungjawaban pidana

    51

    Ruslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan, (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994),

    h,.77. 52

    Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tinjauan terhadap pasal 44 KUHP),”dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara

    Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,198), h,. 78. 53

    Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h,. 157.

  • 37

    dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau

    terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime)

    yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan

    dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus nyata bahwa

    tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa

    mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan

    kesalahan dari pelaku yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.

    Artinya tindakan tersebut tercela dan terdakwa menyadari tindakan

    yang dilakukan tersebut.

    Seseorang dimintai pertanggungjawaban karena adanya

    kesalahan, dalam pengertian kesalahan yaitu keadaan batin si pembuat

    (kemampuan bertanggung-jawab) hubungan batin si pembuat dengan

    perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan dan

    tidak adanya alasan penghapusan kesalahan (alasan pemaaf).

    Sebagaimana telah disinggung, bahwa prinsip pertanggungjawaban

    pidana didasarkan pada asas kesalahan (asas culpabilitas) yang secara

    tegas menyatakan, bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Salah satu

    syarat untuk adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana

    adanya kemampuan bertanggungjawab. Artinya manakala orang itu

    dianggap mampu bertanggungjawab.54

    Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, sebagaimana

    yang dikemukakan oleh Simon dalam buku Muladi bahwa

    pertanggungjawaban adalah strafbaar feit atau suatu perbuatan yang

    oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,

    dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap

    bertanggung jawab atas perbuatannya.

    Oleh karena itu, strafbaar feit atau criminal act berpendapat,

    bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut

    pembuat delik yang meliputi :

    54

    Tongkat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,(Malang: UMM Press, 2012), h,. 202.

  • 38

    1. Kemampuan bertanggung jawab;

    2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan;

    3. Tidak ada alasan pemaaf; 55

    Sementara itu, menurut Sutrisna dalam bukunya Zainal Abidin

    Farid bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus

    ada dua unsur yaitu :

    a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang

    baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan

    hukum.

    b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut

    keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut.56

    Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan

    petindak jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi

    unsur-unsurnya yang telah ditentukan didalam undang-undang. Dilihat

    dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan),

    seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas tindakan-tindakan

    tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak

    ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu.

    Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya

    seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung

    jawab pidanakan. Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP secara

    umum tersimpulkan dalam BAB III buku ke-I dan terdapat pula secara

    tersebar dalam pasal-pasal Undang-undang.57

    Seseorang mampu bertanggungjawab apabila:

    a. Keadaan jiwa

    1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.

    2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu,idiot dll)

    55

    Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Jakarta: Kencana, 2010), h,.65. 56

    Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h,.266. 57

    S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya,(Jakarta : Alumni Petehaem, 1996),

    h,. 244.

  • 39

    3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah, melindur

    dalam perkataan lain dia dalam keadaan standar.

    b. Kemampuan jiwa

    1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.

    2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut apakah

    akan dilaksanakan atau tidak.

    3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

    Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah

    pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya

    perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang

    tersebut mengetahui maksud dan akibat perbuatannya itu.58

    Hukum

    Islam sebagai salah satu hukum yang tidak tertulis yang hidup dan

    berkembang, dalam masyarakat memberikan pengertian tentang

    pertanggung-jawaban pidana, dimana seseorang dikatakan mampu

    bertanggungjawab :

    a. Adanya perbuatan yang dilarang.

    b. Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, artinya ada

    pilihan dari pelaku untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan

    perbuatan tersebut.

    c. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukan.59

    Berdasarkan uraian tersebut sekilas bahwa tidak ada perbedaan

    jauh antara konsep hukum pidana di Indonesia dengan konsep hukum

    Islam mengenai pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban

    pidana dalam Islam (syari‟at) adalah pembebanan seseorang dengan

    akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya

    (Unsur Objektif) dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut

    58

    A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta:PT Bulan Bintang, 1967),h,.121. 59

    A.Dzajuli, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Hukum Islam,(Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1967), h,. 165.

  • 40

    mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya (Unsur Subjektif).60

    Pembebanan tersebut dikenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah

    telah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam

    arti perbuatan yang dilarang secara syar‟i, baik dilarang melakukan

    atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga dikarenakan perbuatan

    itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang

    timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang

    lain secara paksa (dipaksakan).

    Apabila adanya ketiga hal tersebut di atas, maka

    pertanggungjawaban itu ada pada seseorang yang melakukan

    perbuatan pidana (kejahatan). Jika sebaliknya maka tidak ada

    perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu tidak dapat

    dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak-anak

    yang belum mencapai umur baligh atau orang yang dipaksakan untuk

    melakukan perbuatan kejahatan yang mengakibatkan terancam

    jiwanya. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya

    membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf.

    Hukum Islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang

    semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika ia telah baligh.

    Seperti dalam surah An-Nahl ayat 106 disebutkan tentang orang yang

    dipaksa.

    “106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia

    beriman (dia mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali

    orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang

    dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang

    60

    Ahmad Hanafi, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967), h,. 154.

  • 41

    yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka

    kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang

    besar.”

    Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan manakala

    perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan terlarang (criminal

    conduct) yang mencangkup unsur-unsur dari kejahatan tersebut.

    Tanpa unsur tersebut pertanggungjawaban tidak dapat dilakukan

    karena pertanggungjawaban mensyaratkan dilakukannya suatu

    perbuatan yang dilarang. Salah satu prinsip dasar dalam hukum Islam,

    bahwa pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal artinya

    seseorang tidak mempertanggungjawabankan selain apa yang telah

    dilakukannya. Oleh kar