Ni Nyoman Ayu Suryandari, SE.,M.Si.,Ak.,CA
Transcript of Ni Nyoman Ayu Suryandari, SE.,M.Si.,Ak.,CA
FR
AU
DU
LE
NT
FIN
AN
CIA
L S
TA
TE
ME
NT
N
i Ny
om
an
Ay
u S
ury
an
dari, I D
ew
a M
ad
e E
nd
ian
a
Ni Nyoman Ayu Suryandari, SE.,M.Si.,Ak.,CA
Lahir di Denpasar Tahun 1985, adalah Dosen Akuntansi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Minat
utama yang ditekuni adalah Auditing dan Pasar Modal. Pengalaman
kerja adalah auditor pada suatu Kantor Akuntan Publik di Bali Tahun
2007-2011.
Riwayat Pendidikan:
Tahun 2007 : S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Udayana (SE).
Tahun 2008 : Program Profesi Akuntansi (Ak)
Tahun 2012 : S2 Akuntansi Universitas Udayana (M.Si).
Tahun 2013 : Mendapatkan Gelar CA (Chartered Accountant)
I Dewa Made Endiana.,SE.,MSi.,Ak.,CA
Lahir di Tabanan 30 Juni 1981 1981, adalah Dosen Akuntansi pada
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Minat utama yang ditekuni adalah Auditing dan Metodologi
Penelitian. Pengalaman Kerja adalah sebagai Financial Head pada
Perusahaan Finance dan konsultan.
Riwayat Pendidikan:
Tahun 2004 : S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Udayana (SE)
Tahun 2004 : Program Profesi Akuntansi (Ak)
Tahun 2013 :S2AkuntansiUniversitas Udayana (M.Si)
Tahun 2016 : Mendapatkan Gelar CA (Chartered
Accountant)
Ni Nyoman Ayu Suryandari, SE.,M.Si.,Ak.,CA
I Dewa Made Endiana.,SE.,MSi.,Ak.,CA
i
ii
FRAUDULENT FINANCIAL
STATEMENT
iii
FRAUDULENT FINANCIAL
STATEMENT
iv
FRAUDULENT FINANCIAL STATEMENT
Cetakan Pertama Maret 2019 22 x 30 cm , ix + 76
ISBN: 978-602-53310-8-4
Penulis
Ni Nyoman Ayu Suryandari, SE.,M.Si.,Ak.,CA I Dewa Made Endiana.,SE.,MSi.,Ak.,CA
Editor
Dr. Anik Yuesti, SE.,MM
Cover
I Dewa Made Endiana.,SE.,MSi.,Ak.,CA
Diterbitkan Oleh
CV. Noah Aletheia
Dicetak oleh : CV. Noah Aletheia
Jl. Tegalsari Gg. Koyon. No. 25 D. Banjar Tegalgundul
Desa Tibubeneng, Kec. Kuta Utara, Kab. Badung Bali Indonesia.
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian buku ini
v
Kata Pengantar
Buku Fraudulent Financial Statement ini merupakan buku teks
pengantar mata kuliah Akuntansi Forensik pada program S1 untuk
diajarkan selama satu semester. Seperti yang tercermin dalam judulnya,
buku ini mengintegrasikan konsep-konsep kecurangan yang khususnya
terkait dengan kecurangan dalam laporan keuangan.
Pentingnya pemahaman akan kecurangan laporan keuangan
membuat penulis tertarik untuk menghimpun konsep-konsep yang terkait
agar para pembaca mengetahui hal-hal yang menyebabkan terjadinya
kecurangan laporan keuangan hingga akhirnya mampu untuk mengurangi
adanya kecurangan laporan keuangan tersebut. Buku ini juga dapat
digunakan sebagai refrensi bagi para peneliti-peneliti terkait dengan
kecurangan atas laporan keuangan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwasanya buku ini masih jauh dari
sempurna, baik jumlah maupun materinya, untuk itu dengan kerendahan
hati mohon dimaklumi dan diberi saran demi kesempurnaannya karena
seluas-luasanya pikiran manusia pasti lebih luas lautan ilmu pengetahuan.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para pengguna dalam mempelajari
akuntansi forensik dan memberikan sumbangan yang berharga bagi
khasanah pembukuan khususnya buku teks tentang akuntansi forensik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terselenggaranya penerbitan buku ini.
Penulis,
vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
v
vi
BAB I Karakteristik Dasar Kecurangan
Apa Itu Kecurangan?
Jenis-Jenis Kecurangan
Aspek Hukum Atas Kecurangan
Sanksi Hukum
1
1
1
7
12
BAB II Kecurangan Atas Laporan Keuangan
Jenis Kecurangan Laporan Keuangan
Bentuk- Bentuk Financial Satement Fraud
18
18
23
BAB III Teori Fraud
Teori Fraud Triangle
Perfect Fraud Storm
Teori Fraud Scale
Fraud Diamond
Fraud Crowe Pentagon
26
26
33
36
37
41
BAB IV Manajemen Laba
Manajemen Laba
Jenis-Jenis Manajemen Laba
Motivasi Manajemen Laba
Positive Accounting Theory
Hubungan Teori Akuntansi Normative Dan Positif
43
43
44
45
46
49
BAB V Pencegahan Kecurangan
Penyebab Kecurangan
Aktivitas Fundamental Dalam Pencegahan Kecurangan
51
51
52
BAB VI Good Corporate Governance
Latar Belakang Munculnya GCG
Pengertian GCG
Prinsip GCG
Manfaat GCG
GCG Dan Hukum Perseroan Di Indonesia
Organisasi Khusus Dalam Penerapan GCG
GCG Dalam Bumn
GCG Dalam Pengawasan Pasar Modal Di Indonesia
56
56
57
59
64
65
68
73
73
BAB VII
Red Flag
Pengertian Red Flag
Indikasi-Indikasi (Red Flags) Dan Penyebab
Terjadinya Kecurangan Pada Laporan Keuangan
Keterbatasan Red Flag
75
75
78
80
BAB VIII Pendeteksian Kecurangan
Pelajaran dari Report To The Nation
Teknik Pemeriksaan Fraud
82
83
84
BAB IX Whistleblowing
Pengertian Whistleblowing
Jenis-Jenis Whistleblowing
Corporate Ethical Virtues Model (Cev)
88
88
88
89
1
BAB I
KARAKTERISTIK DASAR KECURANGAN
Studi komprehensif terkait kecurangan di Amerika Serikat dilakukan oleh
Association of Certified Examiners (ACFE) pada tahun 1996, kemudian
berlanjut hingga tahun 2002, 2004, 2006, dan 2008. Study ACFE tersebut
dikenal dengan Report to the Nation on Occupational Fraud & Abuse.
APA ITU KECURANGAN?
Definisi yang paling umum terkait dengan definisi kecurangan adalah
sebagai berikut:
Kecurangan merupakan suatu istilah yang umum, dan mencakup segala
macam cara yang dapat digunakan dengan kelihaian tertentu, yang dipilih
oleh seorang individu, untuk mendapatkan keuntungan dari pihak lain
dengan melakukan representasi yang salah. Tidak ada aturan yang baku dan
tetap yang bisa dikeluarkan sebagai proposisi umum dalam mendefinisikan
kecurangan, termasuk kejutan, tipu muslihat, ataupun cara-cara yang licik
dan tidak wajar yang digunakan untuk melakukan penipuan. Batasan satu-
satunya dalam mendefinisikan kecurangan adalah hal-hal yang membatasi
ketidakjujuran manusia. Apakah kecurangan sama dengan kesalahan yang
tidak disengaja? Tidak. Kecurangan ditujukan untuk mendapatkan
keuntungan melebihi pihak lain melalui dalih yang salah, misalnya tindakan
mengelabui investor untuk meningkatkan harga saham.
JENIS-JENIS KECURANGAN
Terdapat berbagai jenis pengelompokan kecurangan, diantaranya adalah:
I. Pengelompokan yang paling umum dan praktis
2
1). Kecurangan yang dilakukan terhadap organisasi. Kecurangan ini
adalah kecurangan yang dilakukan oleh pegawai dimana korban
dari kecurangan tersebut adalah organisasi tempat karyawan
tersebut bekerja.
2). Kecurangan yang dilakukan atas nama organisasi. Kecurangan ini
adalah kecurangan laporan keuangan, yang ditujukan agar laporan
keuangan terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. Kecurangan
laporan keuangan ini biasanya dilakukan oleh perusahaan yang
menderita kerugian atau perusahaan yang keuntungannya lebih
rendah dari yang diekspektasi.
II. AFCE mendefinisikan jenis kecurangan Zimbelman at al (2014:12)
sebagai penggunaan suatu jabatan (occupational) oleh seseorang untuk
memperkaya diri sendiri melalui menyalahgunaan yang disengaja atau
penyalahgunaan penggunaan aset atau sumber daya organisasi. The
Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse oleh AFCE
menyatakan bahwa inti dari Occupational Fraud adalah bahwa semua
aktivitas:
1). Dilakukan secara sembunyi-sembunyi
2). Melalaikan kewajiban pegawai terhadap organisasi
3). Dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan financial
bagi pegawai, baik secara langsung maupun tidak langsung
4). Memanfaatkan biaya penggunaan aset, pendapatan, atau cadangan
perusahaan.
ACFE mengklasifikasikan Occupational Fraud menjadi 3 (Zimbelman
et al, 2014:12):
a. Kecurangan aset, berupa pencurian atau penyalahgunaan aset
organisasi
3
b. Korupsi yaitu para pelaku kecurangan menggunakan pengaruhnya
secara tidak langsung dalam transaksi bisnis untuk memperoleh
manfaat bagi kepentingan pribadi atau orang lain, bertentangan
dengan kewajiban mereka terhadap pekerja lain atau hak-hak
kepada pihak lain
c. Laporan yang berisi kecurangan, biasanya berupa pemalsuan
laporan keuangan suatu organisasi.
III. Kelompok kecurangan berdasarkan pada korban (Zimbelman et
al, 2014:12):
1). Kecurangan pada perusahaan atau organisasi sebagai korbannya.
a. Kecurangan pegawai (employee embezzlement)
Pelaku kecurangan adalah karyawan dan organisasi atau
perusahaan yang menjadi korban. Kecurangan ini adalah jenis
kecurangan yang paling umum terjadi. Pegawai melakukan
penipuan pada perusahaan tempat mereka bekerja, misalnya
dengan pengambilan aset perusahaan. Kecurangan pegawai
dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. 1).
Kecurangan secara langsung terjadi ketika pegawai mencuri
kas perusahaan, persediaan, peralatan, perlengkapan atau aset
lainnya. Kecurangan ini bisa juga terjadi ketika perusahaan
membayar kepada perusahaan fiktif seolah-olah melakukan
transaksi tetapi kenyataanya perusahaan tidak menerima
barang atas transaksi tersebut. 2). Kecurangan tidak langsung
terjadi ketika pegawai menerima suap atau kickback dari
pemasok, pelanggan atau pihak luar perusahaan untuk
memungkinkan memberikan harga jual yang lebih rendah,
4
harga beli yang tinggi, barang-barang yang tidak pernah sampai
tujuan atau barang-barang dengan kualitas yang rendah.
b. Kecurangan pemasok (vendor fraud)
Pelaku kecurangan adalah pemasok, tempat organisasi
membeli barang atau jasa. Kecurangan pemasok selalu
berakibat pada harga-harga barang yang dibeli terlalu mahal
atau pengiriman barang-barang dengan kualitas rendah atau
tidak adanya pengiriman terhadap barang/jasa walaupun
pembayaran sudah dilakukan. Dua bentuk kecurangan
pemasok, yaitu: 1) kecurangan yang dilakukan pemasok yang
beraksi seorang diri, 2). Kecurangan yang dilakukan melalui
kolusi diantara perusahaan yang melakukan pembelian dengan
pemasok.
c. Kecurangan pelanggan (customer fraud)
Pelaku kecurangan adalah pelanggan dari organisasi yang
bersangkutan. Kecurangan pelanggan terjadi ketika pelanggan
tidak membayar barang yang mereka beli atau mereka
mendapatkan sesuatu tanpa pengorbanan.
2). Kecurangan manajemen (management fraud), pemegang saham
atau pemegang surat utang yang menjadi korbannya. Kecurangan
manajemen sering disebut dengan kecurangan laporan keuangan,
kecurangan ini melibatkan manipulasi yang bersifat menipu dalam
laporan keuangan oleh manajemen puncak.
3). Penipuan investasi dan kecurangan pelanggan lainnya, sebagai
korbannya adalah para individu yang tidak hati-hati. Biasanya
dengan melakukan investasi yang curang dan biasanya tidak
bernilai dijual pada investor yang tidak menaruh rasa curiga.
4). Kecurangan-kecurangan lainnya (miscellaneous fraud)
5
Tabel 1.1 Jenis-jenis Kecurangan
Sumber: (Zimbelman et al, 2014:13)
Jenis
Kecurangan
Pelaku
Kecurangan
Korban
Kecurangan
Keterangan
Kecurangan
Oleh Pegawai
Pegawai Dalam
Organisasi
Pemilik
Perusahaan
Pegawai Mengambilalih
Asset Perusahaan
Kecurangan
Pemasok
Pemasok Organisasi
Tempat
Pemasok
Menjual Barang
Pemasok Memberikan
Tagihan Berlebihan;
Menyediakan Barang
Dengan Kualitas Rendah;
Jumlah Barang Lebih
Sedikit Dari Yang
Disepakati
Kecurangan
Pelanggan
Pelanggan
Organisasi
Organisasi Yang
Menjual Kepada
Pelanggan
Pelanggan Tidak
Membayar, Membayar
Terlalu Rendah Atau
Mendapatkan Lebih
Banyak Dari Perusahaan
Melalui Penipuan
Kecurangan
Manajemen
(Kecurangan
Atas Laporan
Keuangan)
Manajemen
Perusahaan
Pemegang
Saham/ Utang
Dan Pembuat
Kebijakan
Perusahaan
Manajemen
Memanipulasi Laporan
Keuangan Untuk
Membuat Kondisi
Perusahaan Terlihat
Lebih Baik
Penipuan
Investasi dan
Kecurangan
Pelanggan
Lainnya
Semua Pihak Investor Yang
Tidak Berhati-
Hati
Kecurangan Yang
Dilakukan Agar
Mendapatkan
Kepercayaan Dari
Investor Dalam
Menginvestasikan
Uangnya.
Kecurangan-
Kecurangan
Lainnya
Semua Pihak Semua Pihak Setiap Kali Ada Pihak
Yang Mencoba
Mengambil Keuntungan
Dari Kepercayaan Orang
Lain Untuk Menipu Atau
Melakukan Kecurangan
Terhadap Orang
Tersebut.
6
FBI menyebutkan beberapa bentuk skema kecurangan yang paling
umum sebagai berikut:
1). Skema Ponzi (Ponzi schemes), skema ini namanya berasal dari nama
belakang Charles Ponzi. Skema ini dengan menarik dana investasi dari
korban-korban tersebut dengan premi atau bunga yang berasal dari uang
yang disetorkan oleh investor berikutnya.
2). Kecurangan telemarketing (Telemarketing fraud). Kecurangan ini
ketika korban mengirim uang pada seseorang yang tidak mereka kenal
secara pribadi atau memberikan informasi keuangan pada penelpon
yang tidak dikenal. Skema ini biasanya menyakinkan korban bahwa
korban memenangkan undian dan harus membayar biaya atas undian
tersebut.
3). Surat Nigeria atau skema penipuan uang (Nigerian letter or money
scams) skema ini terjadi ketika korban potensial menerima surat
elektronik atau bentuk lainnya yang menjanjikan pada korban
pembayaran uang dalam jumlah besar atas imbalan untuk bantuan
memindahkan sejumlah uang dari satu Negara ke Negara lain. Pembuat
surat biaya mengatakan bahwa biaya dibayar dimuka diperlukan untuk
membayar pajak, melakukan suap terhadap pejabat pemerintahan dan
biaya-biaya terkait hukum lainnya.
4). Pencurian identitas (Indentity theft), pencurian identitas terjadi ketika
seseorang mengambil identitas orang lain untuk melakukan pembelian
barang, berkaitan dengan kegiatan kriminal atau untuk melakukan
kecurangan. Pelaku kejahatan mencuri identitas untuk mengakses
informasi keuangan pribadi seperti kartu kredit, laporan dari bank,
jaminan sosial dan dokumen-dokumen lainnya.
5). Skema penipuan pembayaran uang muka (Advance fee scams), skema
ini terjadi ketika korban membayar uang muka, biaya untuk barang atau
7
jasa yang tidak akan pernah dikirimkan. Contoh skema ini korban
membayar untuk biaya kontrak, investasi atau hadiah. Ketika pelaku
menerima uang, korban tidak akan dapat menghubungi pelaku lagi dan
korban akan kehilangan uang yang telah dibayarkan.
6). Kecurangan pelunasan/ strawman/ obligasi (Redemption /strawman/
bond fraud), pada skema ini pelaku mengklaim bahwa pemerintah
Amerika mengendalikan rekening-rekening bank tertentu yang dapat
diakses dengan mengirimkan dokumen kepada pejabat pemerintah.
Untuk mendapatkan akses korban harus membeli perlengkapan
pelatihan yang mahal. Ketika korban tidak berhasil mengakses dana-
dana pemerintah tersebut, pelaku akan mengatakan bahwa dokumen
tersebut tidak diisi dengan benar dan seringkali pelaku akan menagih
biaya tambahan untuk pelatihan tambahan.
7). Kecurangan Letter of Credit (Letter of Credit fraud), Letter of
Credit merupakan dokumen legal yang dikeluarkan bank untuk
memberikan jaminan pembayaran atas barang-barang yang dikirim
dalam perdagangan internasional. Untuk menipu korban, pelaku
membuat L/C fiktif dan kemudian menjual pada korban yang tidak
menaruh rasa curiga. Untuk menghindari skema ini, pelanggan harus
waspada bahwa L/C yang legal tidak pernah dijual.
8). Kecurangan internet (Internet fraud), kebanyakan dari skema
penipuan online yang dilakukan saat ini hanyalah sekedar versi baru dari
skema yang telah dijalankan secara offline.
ASPEK HUKUM ATAS KECURANGAN
Terhadap temuan hasil audit yang diperoleh dari hasil investigasi, perlu
dikomunikasikan kepada manajemen auditee yang akan menyelesaikan atau
menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi sebagaimana tercantum
8
dalam laporan hasil audit. Terhadap temuan yang diindikasi adanya tindakan
melawan hukum, perlu diantisipasi kemungkinan perlunya membantu aparat
hukum atau pihak-pihak terkait dalam upaya penindaklanjutan temuan
tersebut. Dengan kata lain, pihak pelaku keurangan harus dikenakan sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku.
Bentuk sanksi tehadap pelaku dapat berupa sanksi administrasi, tuntutan
ganti rugi, ataupun hukuman pidana. Oleh karena itu, auditor perlu
mengantisipasinya dengan memahami tentang dasar-dasar ketentuan yang
berkaitan dengan hukum di Indonesia, khususnya terhadap kasus-kasus yang
akan diselesaikan secara hukum. Selanjutnya, auditor perlu mengidentifikasi
apakah kasus yang ditangani termasuk kasus perdata atau kasus pidana.
1). Hukum Perdata.
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara orang yang satu dengan orang lainnya sebagai anggota
masyarakat dan menitikberatkan kepentingan perorangan yang
bersifat pribadi. Suatu kasus perdata baru timbul bila pihak yang
merasa dirugikan melakukan gugatan. Kebenaran formil merupakan
hal yang sangat dominan pada kasus perdata.
Temuan yang mengandung unsur kerugian keuangan dan merupakan
kasus perdata, pada umumnya lahir dari masalah-masalah yang
bersumber pada perikatan. Pengertian perikatan lebih luas daripada
perjanjian karena perikatan dapat timbul karena perjanjian atau
karena undang-undang.
Perikatan yang terjadi dari perjanjian-perjanjian menurut pasal 1313
KUHPdt adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya tehadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya
pasal 1320 KUHPdt menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian
diperlukan empat syarat :
9
a). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c). Suatu hal tertentu
d). Suatu sebab yang halal
Jika keempat unsur itu dipenuhi, maka pasal 1338 KUHPdt
menetapkan bahwa:
a). Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para
pembuatnya.
b). Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
c). Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Perikatan yang terjadi karena Undang-Undang
Perikatan yang terjadi tidak karena perjanjian, dapat terjadi antara
lain karena perbuatan melanggar hukum, seperti yang dimaksud pasal
1365 KUHPdt yang berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian pada pihak lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”. Gugatan kerugian harus dinyatakan dalam nilai moneter
(rupiah).
Unsur-unsur pasal 1365 KUHPdt adalah :
a). Harus ada perbuatan melanggar hukum
Pengertian melanggar hukum dalam arti sempit adalah suatu
perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika orang
berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
Sedangkan pengertian melanggar hukum dalam arti luas adalah
10
berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat itu
sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap hati-hati
sebagaimana patutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap
diri atau barang-barang orang lain.
b). Harus ada kerugian yang diderita
Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan oleh perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya (pasal 1366
KUHPdt). Kerugian yang ditanggung termasuk karena
perbuatan orang-orang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya (pasal 1367 KUHPdt).
Menurut yurisprudensi, kerugian yang timbul karena perbuatan
melanggar hukum, ketentuannya sama dengan kerugian yang
timbul karena wanprestasi dalam perjanjian.
c). Harus ada hubungan yang kausal antara perbuatan melanggar
hukum dengan kerugian yang diderita.
Kerugian harus timbul akibat dari perbuatan orang itu, yang
meliputi:
Karena perbuatan melanggar hukum
Karena kelalaian atau kurang hati-hatinya
d). Harus ada unsur kesalahan.
Pengertian kesalahan di sini adalah pengertian hukum perdata,
bukan hukum pidana. Kesalahan dalam pasal 1365 KUHPdt
mengandung semua gradasi, dari kesalahan dalam arti
disengaja maupun kesalahan yang tidak disengaja.
Kesalahan disini meliputi:
11
Karena perbuatannya sendiri
Karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya
Barang-barang yang berada dibawah pengawasannya
(diuraikan dalam pasal 1367 KUHPdt)
2). Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan hukum publik yaitu hukum yang
mengatur kepentingan umum, yakni mengatur hubungan hukum
antara orang dengan Negara, antar Badan atau Lembaga Negara satu
sama lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan mesyarakat
dengan Negara. Hukum publik terdiri atas Hukum Pidana Umum dan
Hukum Pidana Khusus. Ketentuan pidana umum diatur dalam
KUHP, sedang pidana khusus antara lain diatur dalam Kitab Undang-
undang Khusus seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 21 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999. Seseorang yang
melakukan tindak pidana akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana
diatur dalam KUHP. Pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang
oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa
yang melanggar larangan tersebut. Menurut wujud dan sifatnya,
tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan melawan hukum yang juga
merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau
menghambat akan terlaksanannya tata pergaulan dalam masyarakat
yang dianggap baik dan adil.
12
SANKSI HUKUM
Untuk menciptakan rasa keadilan dan menimbulkan rasa jera, setiap
perbuatan kecurangan dan ketahuan, pada pelanggarnya dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi
administrasi sesuai ketentuan perusahaan, ketentuan instansi atau ketentuan
hukum, yang masing-masing mempunyai ruang lingkup yang berbeda.
Sanksi Berdasarkan Ketentuan Perusahaan.
Untuk melindungi kepentingannya, perusahaan/masing-masing perusahaan
dapat membuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kecurangan
yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Namun, ketentuan-
ketentuan tersebut hanya berlaku apabila pelakunya adalah pegawai/pejabat
perusahaan dan mencakup sanksi administrasi (termasuk pengembalian
kerugian perusahaan). Apabila pelaku kecurangan yang mengakibatkan
kerugian bagi perusahaan tersebut adalah pihak lain (bukan orang dalam),
pihak perusahaan dapat mengugat secara perdata yakni dengan mendasarkan
pasal 1365 KUHPdt. Dan bila kecurangan tersebut mengandung unsur
pidana, Negara memiliki kewenangan untuk memproses secara hukum
pidana walaupun pihak perusahaan tidak menghendakinya.
Sanksi Berdasarkan Ketentuan Instansi Pemerintah.
Terhadap kecurangan yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara
(APBN/APBD), dan pelakunya adalah pegawai negeri, pemerintah memiliki
peraturan disiplin yang mengatur kewajiban, larangan dan sanksi apabila
kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh pegawai negeri sipil.
Disiplin pegawai diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Terhadap kerugian yang
timbul dari kecurangan dimaksud, pemerintah melalui Undang-Undang RI
13
No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (pengganti ICW/Indische
Compatibiliteitswet) dapat melakukan tuntutan ganti rugi, Ketentuan UU
No. 1 Tahun 2004 yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain :
Pasal 18 ayat (3): pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan
dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran
atas beban APBN/APBD, bertanggungjawab atas keberanaran material dan
akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
Pasal 59 ayat (2): bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat
lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban
yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan Negara,
wajib mengganti kerugian tersebut.
Apabila pelaku kecurangan yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara
adalah bukan pegawai negeri sipil (pihak lain), maka ketentuan tersebut tidak
dapat diberlakukan dan untuk penyelesaian kerugian keuangan Negara
menggunakan pasal 1365 KUHPdt (gugatan perdata). Dan, sebagaimana
tersebut di atas, apabila kecurangan tersebut adalah unsur pidana, Negara
mempunyai kewenangan untuk memproses secara hukum terhadap pelaku
kecurangan (baik pegawai negeri sipil atau bukan).
Dalam hal mengandung unsur pidana dan pelakunya adalah pegawai negeri
sipil, maka putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan gantu rugi
sebagaimana diatur dalam pasal 64 UU No.1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yakni, “pegawai negeri/pejabat yang telah ditetakan
untuk mengganti kerugian Negara/daerah dapat dikenai sanksi
administrative dan/atau sanksi pidana, dan putusan pidana tidak
membebaskan dari tuntutan ganti rugi”
14
Sanksi Berdasarkan Ketentuan Hukum Pidana
Perbuatan curang (fraud) sering diartikan sebagai perbuatan melanggar
hukum sehingga kecurangan didefinisikan sebagai perbuatan
melawan/melanggar hukum yang dilakukan oleh orang/orang-orang dari
dalam dan/atau dari luar organisasi, dengan maksud mendapatkan
keuntungan pribadi dan/atau kelompoknya yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan pihak lain.
Dikaitkan dengan kecurangan yang mempunyai ciri antara lain
tersembunyi dan ada unsur penipuan, maka perbuatan melawan hukum
mempunyai cakupan lebih luas. Dengan perkataan lain, ruang lingkup fraud
auditor lebih mengarah kepada pelanggaran hukum khususnya yang
mengandung unsur penipuan/rekayasa.
Contoh : seorang kasir perusahaan dapat melakukan pencurian uang
dengan dua cara.
Cara pertama :
Kasir melakukan pencurian uang perusahaan dengan cara menghilang,
membawa lari uang perusahaan. Perbuatan kasir tersebut merupakan
perbuatan tindak pidana (melanggar hukum), merugikan perusahaan, dan
perbuatan tersebut adalah untuk kepentingan dirinya. Terhadap masalah ini
perusahaan tidak menyerahkan ini kepada fraud auditor, melainkan melapor
kepada aparat polisi untuk menanganinya. Perbuatan kasir tersebut
merupakan tindak pidana umum dan bukan merupakan ruang lingkup
pekerjaan fraud auditor.
15
Cara kedua :
Kasir melakukan pencurian uang perusahaan dengan cara mencatat
penerimaan uang lebih kecil dari yang seharusnya dengan cara memalsukan
bukti penerimaan dan memalsukan bukti pengeluaran sehingga dapat
mencatat pengeluaran lebih besar dari yang sebenarnya dan melakukan
kecurangan dengan cara lapping.
Perbuatan kasir tersebut merupakan perbuatan tindak pidana (melanggar
hukum), merugikan perusahaan, dan perbuatan tersebut adalah untuk
kepentingan dirinya, sama dengan kasus pertama. Perbedaannya, pencurian
pada kasus kedua dilakukan secara tersembunyi dan ada unsur
rekayasa/penipuan. Untuk mengungkapnya, pihak perusahaan akan
menyerahkan kasus ini kepada fraud auditor untuk menanganinya (tidak
langsung menyerahkan kepada polisi).
Ruang lingkup pekerjaan fraud auditor lebih mengarah/memfokuskan pada
tindak pidana pencurian yang dilakukan secara tersembunyi, ada unsur
penipuan. Dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi yang marak di Negara kita,
kehadiran fraud auditor menjadi semakin penting karena perbuatan melawan
hukum dalam pengertian tindak pidana korupsi, selaras dengan karakteristik
kecurangan yakni bersifat tersembunyi, ada unsur rekayasa, dan tipu
muslihat. Pelanggaran hukum berupa pencurian dan penipuan dikenakan
sanksi berdasarkan hukum pidana.
Sanksi Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Pemerintah dalam usahanya memberantas korupsi, telah memberlakukan
beberapa peraturan perundangan pidana mengenai pemberantasan tindak
pidana korupsi, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang No.31 tahun
1999 sebagai pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang
16
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999.
Pengertian tindak pidana korupsi dan sanksinya menurut Undang-undang
No. 31 tahun 1999, antara lain sebagai berikut:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana
dengan seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (pasal 2 ayat
1)
Setiap orang yang dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (pasal 3).
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 209 KUHP, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00 (pasal
209 KUHP: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah, barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri, dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya).
17
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 418 KUHP, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda aling
sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00. (Pasal
418 KUHP: Pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi
hadiah atau janji ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah).
Tabel 1.2 Perbedaan Kasus Pidana dan Kasus Perdata
KASUS PIDANA KASUS PERDATA
Tujuan Untuk meluruskan
kesalahan
Untuk mendapatkan ganti
rugi
Konsekuensi Penjara dan/ atau denda Ganti rugi dan pembayaran
atas kerugian yang
ditimbulkan dari kerusakan
Beban
Pembuktian
Di luar keragu-raguan
yang beralasan
Jumlah bukti yang sedikit
lebih banyak
Juri Juri harus terdiri dari 12
orang
Jumlah juri dapat kurang dari
12 orang
Langkah
Awal
Adanya informasi bagi
dewa juri tentang
kecukupan bukti untuk
mengajukan dakwaan
Pengajuan gugatan oleh
penggugat
Keputusan Keputusan bulat Para pihak yang terlibat dapat
menetapkan keputusan
meskipun tanpa suara bulat
Gugatan Hanya satu gugatan pada
suatu waktu
Berbagai gugatan dapat
digabungkan dalam satu
tindakan
Sumber: (Zimbelman et al, 2014:19)
18
BAB II
KECURANGAN ATAS LAPORAN KEUANGAN
Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau
eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi
keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial
engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh
keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window
dressing.
ACFE membagi jenis fraud ini menjadi 2 macam, yaitu: finansial; dan non-
finansial. Misalnya:
Memalsukan bukti transaksi
Mengakui suatu transaksi lebih besar atau lebih kecil dari yang
seharusnya,
Menerapkan metode akuntansi tertentu secara tidak konsisten
untuk menaikan atau menurunkan laba
Menerapkan metode pangakuan aset sedemikian rupa sehingga aset
menjadi nampak lebih besar dibandingkan yang seharusnya.
Menerapkan metode pangakuan liabilitas sedemikian rupa
sehingga liabiliats menjadi nampak lebih kecil dibandingkan yang
seharusnya.
JENIS KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN
Kenneth dalam Tunggal (1992) mengemukakan jenis dan contoh dari
kecurangan atas laporan keuangan:
19
Tabel 2.1 Jenis Kecurangan Laporan Keuangan
Jenis Kecurangan
Laporan Keuangan
Contoh
Manipulasi, memalsukan
atau mengubah catatan
atau dokumen
Mengubah tanggal faktur pemasok
sehingga biaya dicatat sampai periode
akuntansi berikutnya.
Mengubah tanggal dokumen pengiriman
agar dapat membukukan penjualan (dan
mengakui laba) sebelum waktu pengiriman
aktual.
Mengubah jumlah faktur untuk
memperkecil jumlah biaya yang dibukukan
dalam catatan akuntansi.
Menciptkan lembaran perhitungan barang
yang palsu.
Menyembunyikan atau
menghilangkan pengaruh
transaksi yang lengkap
dari catatan atau
dokumen
Gagal untuk mencatat faktur pemasok pada
akhir tahun.
Mencatat transaksi tanpa
substansi.
Menciptakan pesanan pelanggan yang palsu.
Salah menerapkan
kebijakan akuntansi. Mengkapitalisir biaya strat-up/ tooling dan
item lain yang seharusnya dibiayakan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang lazim
diterima.
Mengakui pendapatan dan laba terhadap
penjualan yang terdapat risiko
pengembalian yang signifikan.
Secara sengaja membukukan penyisihan
yang tidak memadai untuk menunjukkan
suatu jumlah pendapatan yang ditentukan di
muka (predeterined amount of earnings).
Secara sengaja mencatat pembayaran di
muka sebagai biaya periode berjalan
Gagal mengungkapan
informasi yang
signifikan.
Menyembunyikan suatu keburukan nilai
aktiva tertentu.
Menyembunyikan ligitasi yang ”pending”.
Tidak melaporkan suatu perubahan dalam
kebijakan akuntansi.
20
Ferdian dan Na’im (2006:6), menjelaskan kecurangan dalam laporan
keuangan dapat menyangkut tindakan yang disajikan berikut ini:
a). Manipulasi, pemalsuan atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen
pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan
keuangan.
b). Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan,
peristiwa, transaksi atau informasi lain yang signifikan.
c). Salah penerapan secara sengaja atas prinsip akuntansi yang berkaitan
dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapannya.
Menurut Wells (2011), Financial Statement Fraud mencakup beberapa
modus, antara lain:
a. Pemalsuan, pengubahan, atau manipulasi catatan keuangan (financial
record), dokumen pendukung atau transaksi bisnis.
b. Penghilangan yang disengaja atas peristiwa, transaksi, akun, atau
informasi signifikan lainnya sebagai sumber dari penyajian laporan
keuangan.
c. Penerapan yang salah dan disengaja terhadap prinsip akuntansi,
kebijakan, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur, mengakui,
melaporkan dan mengungkapkan peristiwa ekonomi dan transaksi bisnis.
d. Penghilangan yang disengaja terhadap informasi yang seharusnya
disajikan dan diungkapkan menyangkut prinsip dan kebijakan akuntansi
yang digunakan dalam membuat laporan keuangan
Terdapat tiga pertanyaan penting yang harus diketahui untuk memahami inti
dari financial statement fraud, antara lain:
21
1). Who Commits Financial Statement Fraud?
Ada tiga kelompok utama yang berpeluang untuk melakukan fraud,
yaitu:
a). Senior Management
Pada 2010, The Committee of Sponsoring Organizations of the
Treadway Commission (COSO) mengeluarkan Fraudulent
Financial Reporting. Security Exchange Commission (SEC)
memperkirakan bahwa keterlibatan CEO dan/atau CFO dalam
melakukan Fraud adalah sekitar 89%. Adapun motif dari CEO
dan/atau CFO dalam melakukan Fraud sangat bervariasi
tergantung kebutuhannya.
b). Mid and Lower Level Employees
Karyawan yang berada pada kategori ini dapat memalsukan
laporan keuangan sesuai dengan area tanggung jawabnya untuk
menyembunyikan kelemahan perusahaan mereka dan untuk
memperoleh bonus atas kinerja yang bagus tersebut.
c). Organized Criminals
Kelompok ini dapat menggunakan berbagai rencana penipuan
untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan (bank
maupun non bank) dengan melebih-lebihkan jumlah penjualan
atau pendapatan atau income.
2). Why Do People Commit Financial Statement Fraud?
Manajer senior (CEO, CFO, dll) dan pemilik bisnis dimungkinkan
melakukan cook the books dengan beberapa alasan antara lain:
a). To Conceal True Business Performance
Dilakukan dengan melakukan lebih saji (overstate) dan kurang
saji (understate) hasil yang sebenarnya.
b). To Preserve Personal Status/Control
22
Senior manajer yang mungkin memiliki ego yang tinggi tidak
mau mengakui kegagalan strategi yang mereka terapkan yang
menyebabkan kinerja perusahaan menjadi buruk.
c). To Maintains Personal Income/Wealth
Meningkatkan pendapatan atau apapun yang dapat
meningkatkan kesejahteraan individu, misalnya: gaji, bonus,
saham, dan stock option.
3). How Do People Commit Financial Statement Fraud?
Adapun tiga metode umum dari fraud antara lain:
a). Playing the Accounting System
Dengan metode ini, pelaku menggunakan sistem akuntansi
sebagai alat untuk menciptakan hasil yang diinginkannya.
Sebagai contoh, untuk meningkatkan atau menurunkan
pendapatan sesuai dengan yang diinginkan, pelaku mungkin
memanipulasi asumsi/metode yang biasanya digunakan untuk
menghitung biaya depresiasi, penyisihan piutang tak tertagih,
penyisihan terhadap persediaan yang usang, dan lain-lain.
b). Beating the Accounting System
Melalui pendekatan ini, pelaku Fraud memberikan informasi
yang salah (fiktif) kedalam sistem akuntansi untuk memanipulasi
hasil dari siklus akuntansi yang telah dilaporkan.
c). Going Outside the Accounting System
Melalui pendekatan ini, pelaku Fraud dapat menyajikan laporan
keuangan sesuai dengan yang diinginkannya. Laporan keuangan
tersebut harus disesuaikan dengan proses pelaporan keuangan
entitas operasi dengan penyesuaian tambahan untuk memperoleh
hasil sesuai dengan yang diinginkan pelaku.
23
BENTUK- BENTUK FINANCIAL STEMENT FRAUD
Committee of Sponsoring Organization (COSO) of the Treadway
Commissions dalam Tuanakotta (2012) melakukan kajian terhadap financial
statement fraud dan mengembangkan suatu taksonomi yang mungkin dapat
terjadi pada semua bisnis. COSO mengidentifikasi modus fraud pada
beberapa area, antara lain:
a). Mengakui pendapatan yang tidak semestinya.
b). Melebihsajikan asset (selain piutang usaha yang berhubungan dengan
kecurangan terhadap pengakuan pendapatan)
c). Beban/liabilitas yang kurang saji.
d). Penyalahgunaan asset
e). Pengungkapan yang tidak semestinya
f). Teknik lain yang mungkin dilakukan.
Dari berbagai kemungkinan terjadinya financial statement fraud, lebih saji
dalam melaporkan pendapatan adalah yang paling sering terjadi.
1). Overstating Revenues
a). Sham Sales (Penjualan Fiktif). Metode ini dilakukan dengan
melaporkan penjualan yang sebenarnya tidak terjadi namun
dibuat ada. Hal ini dilakukan dengan membuat pos-pos
seperti: entitas bertujuan khusus (special purpose entity) fiktif
sebagai penjual serta memalsukan dokumen pendukungnya.
b). Premature Revenue Recognition. Karyawan perusahaan
sudah mencatat pendapatan ketika pembeli masih melakukan
pesanan, bukan ketika barang sudah dikirim.
24
c). Recognition of Conditional Sales. Karyawan mencatat
penjualan dari transaksi yang belum seluruhnya dicatat
karena perusahaan masih memiliki kewajiban kontijensi.
d). Abuse of Cut-off Date of Sales. Untuk meningkatkan
pendapatan periode berjalan, maka karyawan mungkin
memindahkan pendapatan periode yang lain ke periode
sekarang.
e). Misstatement of the Percentage of Completion. Ketika
kontrak sedang berlangsung karyawan dapat meningkatkan
persentase penyelesaian dari kontrak tersebut sehingga
pendapatan meningkat.
2). Overstating Sales
a). Inventories Fraud yang biasa dilakukan terhadap inventory
adalah lebih saji pada persediaan akhir. Apabila lebih saji ini
terdeteksi, pelaku Fraud mungkin dapat beralasan bahwa itu
adalah karena kesalahan perhitungan.
b). Accounts Receivable. Terjadi overstatement pada piutang
usaha karena understatement pada penyisihan piutang tak
tertagih/penipuan pada saldo akhir piutang usaha.
c). Property, Plan and Equipment. Asset tetap tidak disusutkan
walau sebenarnya sudah mengalami penyusutan sehingga
asset tetap menjadi lebih saji
Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat
dideteksi melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut:
o analisis vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antara item-item dalam laporan laba
rugi, neraca, atau Laporan arus kas dengan
25
menggambarkannya dalam persentase. Sebagai contoh,
adanya kenaikan persentase hutang niaga dengan total hutang
dari rata-rata 28% menjadi 52% dilain pihak adanya
penurunan persentase biaya penjualan dengan total penjualan
dari 20% menjadi 17% mungkin dapat menjadi satu dasar
adanya pemeriksaan kecurangan.
o analisis horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis
persentasepersentase perubahan item laporan keuangan
selama beberapa periode laporan. Sebagai contoh adanya
kenaikan penjualan sebesar 80% sedangkan harga pokok
mengalami kenaikan 140%. Dengan asumsi tidak ada
perubahan lainnya dalam unsur-unsur penjualan dan
pembelian, maka hal ini dapat menimbulkan sangkaan
adanya pembelian fiktif, penggelapan, atau transaksi illegal
lainnya.
o analisis rasio, yaitu alat untuk mengukur hubungan antara
nilai-nilai item dalam laporan keuangan. Sebagai contoh
adalah current ratio, adanya penggelapan uang atau pencurian
kas dapat menyebabkan turunnya perhitungan rasio tersebut.
26
BAB III
TEORI FRAUD
TEORI FRAUD TRIANGLE
Teori Fraud Triangle adalah teori yang membahas terkait dengan dorongan-
dorongan yang menyebabkan orang melakukan kecurangan atau fraud.
Gagasan ini pertama kali diciptakan oleh Donald R. Cressey (1953)
diperkenalkan dalam literatur profesional pada SAS No. 99, yang
dinamakan fraud triangle atau segitiga kecurangan.
Fraud triangle menjelaskan tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud,
yaitu :
1). Pressure (tekanan), yaitu adanya insentif/ tekanan/ kebutuhan untuk
melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal
termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain termasuk hal
keuangan dan non keuangan. Menurut SAS No. 99, terdapat empat
jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat
mengakibatkan kecurangan, yaitu
financial stability
Financial Stability atau stabilitas keuangan telah dikenal oleh
pelaku ekonomi terutama pelaku pasar keuangan, namun
demikian belum terdapat suatu kesepakatan umum mengenai
apa yang dimaksud dengan stabilitas keuangan tersebut
(Haryanto dan Astuti, 2009:53). Namun, Kusumawardhani
(2013:5) menyatakan bahwa financial stability merupakan
keadaan yang menggambarkan kondisi keuangan perusahaan
dari kondisi stabil. Perusahaan diduga akan memanipulasi
27
laba ketika stabilitas keuangan atau profitabilitasnya
terancam oleh kondisi ekonomi (Skousen et al., 2009:6).
external pressure
External pressure adalah tekanan yang berlebihan bagi
manajemen untuk memenuhi persyaratan atau harapan dari
pihak ketiga (Kusumawardhani, 2013:5). Tuntutan untuk
memenuhi persyaratan dalam membayar atau memenuhi
perjanjian utang diakui sebagai sumber external pressure.
Sehingga manajer merasakan adanya tekanan sebagai akibat
dari kebutuhan untuk memperoleh tambahan utang atau
ekuitas pembiayaan agar perusahaan tetap kompetitif
(Skousen et al., 2009:8).
personal financial need
Personal financial Need adalah kondisi ketika keuangan
perusahaan turut dipengaruhi oleh kondisi keuangan para
eksekutif perusahaan (Kusumawardhani 2013:5). Dunn
(2004) dalam Skousen et al., (2009:9) menyatakan bahwa
ketika eksekutif memiliki kepentingan keuangan yang
signifikan dalam sebuah perusahaan, maka situasi keuangan
pribadi mereka diduga akan mengancam kinerja keuangan
perusahaan.
financial targets.
Financial targets adalah tekanan berlebihan pada manajemen
untuk mencapai target keuangan yang dipatok oleh direksi
atau manajemen. Perusahaan diduga akan memanipulasi laba
untuk memenuhi prakiraan atau tolak ukur stakeholder
seperti laba tahun sebelumnya (Kusumawardhani, 2013:6).
28
Pressure (tekanan) memiliki berbagai arti, di antaranya keadaan di
mana kita merasa ditekan, kondisi yang berat saat kita menghadapi
kesulitan, sesuatu yang dapat membuat kita meningkatkan perhatian
dalam melakukan tindakan, meningkatkan ingatan dan kemampuan
untuk mengingat. Dengan kata lain, pressure dapat meningkatkan
kinerja. Akan tetapi, di lain pihak dapat menjadi salah satu sumber
dari munculnya fraud dan akhirnya menjadi salah satu elemen dari
fraud triangle. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan pressure
adalah sebuah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan
tindakan fraud, contohnya hutang atau tagihan yang menumpuk,
gaya hidup mewah, ketergantungan narkoba, dll. Pada umumnya
yang mendorong terjadinya fraud adalah kebutuhan atau masalah
finansial. Tapi banyak juga yang hanya terdorong oleh keserakahan.
Sebagian besar ahli kecurangan percaya bahwa tekanan dapat dibagi
kedalam empat golongan yaitu:
a). Tekanan keuangan
Tekanan keuangan ini terkait dengan kecurangan yang
menguntungkan pelaku secara langsung. Tekanan akibat
keuangan merupakan hal yang paling umum yang
menyebabkan mereka melakukan kecurangan. Ketika
kecurangan manajemen terjadi, perusahaan akan
memperbesar nilai asset pada laporan neraca dan
memperbesar laba pada laporan laba rugi. Hal ini karena
tekanan posisi kas yang tidak menguntungkan, piutang tak
tertagih, kehilangan pelanggan, persediaan yang using,
penurunan pasar atau pembatasan kesepakatan pinjaman yang
dilanggar. Tekanan keuangan tersebut termasuk hal-hal
berikut ini:
29
Sifat serakah
Hidup di atas rata-rata gaya hidup orang-orang pada
umumnya
Tagihan yang tinggi atau utang pribadi
Kredit yang tidak menguntungkan
Kerugian keuangan secara pribadi
Kebutuhan keuangan yang tidak terduga
b). Tekanan untuk melakukan perbuatan jahat
Permasalahan yang berkaitan dengan tekanan keuangan
adalah motivasi yang timbul oleh adanya tekanan berbuat
jahat seperti berjudi, obat-obatan terlarang, alcohol, dan lain-
lain. Tekanan ini merupakan tekanan terburuk untuk
melakukan kecurangan.
c). Tekanan terkait pekerjaan
Tekanan terkait pekerjaan ini meliputi adanya sedikit
pengakuan terhadap kinerja, adanya perasaan tidak puas
terhadap pekerjaan, ketakutan akan kehilangan pekerjaan,
keinginan mendapatkan promosi dan merasa dibayar tidak
semestinya.
d). Tekanan lainnya
Kecurangan dapat dimotivasi oleh faktor lainnya seperti
suami/istri yang bersikukuh pada gaya hidup yang berlebihan
atau tantangan untuk menerobs sistem. Contoh lainnya adalah
penipuan investasi oleh Madoff dilatarbelakangi oleh
keinginan agar terlihat sukses.
2). Opportunity (kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan
untuk memungkinkan suatu kecurangan terjadi. Biasanya terjadi
30
karena pengendalian internal perusahaan yang lemah, kurangnya
pengawasan dan penyalahgunaan wewenang. Kontrol yang tidak
baik akan memberi peluang orang untuk melakukan kecurangan.
Diantara elemen fraud triangle yang lain, opportunity merupakan
elemen yang paling memungkinkan diminimalisir melalui penerapan
proses, prosedur, dan upaya deteksi dini terhadap fraud. Menurut
SAS No. 99 menyebutkan bahwa peluang/kesempatan pada financial
statement fraud dapat terjadi pada tiga kategori kondisi tersebut
adalah:
Nature of industry,
Nature of industry adalah berkaitan dengan munculnya risiko
bagi perusahaan yang berkecimpung dalam industri yang
melibatkan estimasi dan pertimbangan yang signifikan jauh
lebih besar. Penilaian persediaan mengandung risiko salah
saji yang lebih besar bagi perusahaan yang persediaannya
tersebar di banyak lokasi. Risiko salah saji persediaan ini
semakin meningkat jika persediaan itu menjadi usang
(Kusumawardhani, 2013:6).
Ineffective monitoring
Ineffective monitoring adalah adalah keadaan dimana
perusahaan tidak memiliki unit pengawas yang efektif
memantau kinerja perusahaan. Adanya dominasi manajemen
oleh satu orang atau kelompok kecil, tanpa kontrol
kompensasi, tidak efektifnya pengawasan dewan direksi dan
komite audit atas proses pelaporan keuangan dan
pengendalian internal diduga akan menyebabkan risiko
terjadinya kecurangan (Kusumawardani, 2013:6).
31
Organizational structure
Organizational structure adalah struktur organisasi yang
kompleks dan tidak stabil (Kusumawardhani, 2013:7).
Struktur organisasi yang terlalu kompleks, perputaran
personil perusahaan seperti senior manajer atau direksi yang
tinggi akan memberikan peluang terjadinya kecurangan
(Skousen et al., 2009:12).
Sedikitnya ada enam faktor yang dapat meningkatkan kesempatan
yang dimiliki seseorang untuk melakukan kecurangan dalam
organisasi:
a). Kurangnya pengendalian yang mencegah dan atau
mendeteksi perilaku kecurangan
b). Ketidakmampuan untuk menilai kualitas kinerja
c). Kegagalan untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap
pelaku kecurangan
d). Kurangnya akses terhadap informasi
e). Pengabaian, sikap apatis, dan tidak adanya kapasitas yang
sesuai
f). Kurangnya upaya melakukan jejak audit.
3). Rationalization
Rationalization (rasionalisasi) yaitu adanya sikap, karakter, atau
serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu
untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada
dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka
merasionalisasi tindakan fraud. Banyak dari mereka mengetahui
bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan yang ilegal,
tetapi mereka berusaha memunculkan pemikiran bahwa apa yang
mereka lakukan merupakan tindakan yang wajar. Rasionalisasi atau
32
sikap (attitude) yang paling banyak digunakan adalah hanya
meminjam (borrowing) aset yang dicuri dan alasan bahwa tindakannya
untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Rasionalisasi
mengacu pada fraud yang bersifat situasional. Pelaku akan
mengatakan: “I’m only borrowing they money; I’ll pay it back”,
“Everyone does it”, “I’m not hurting anyone”, “It’s for a good
purpose”, dan“It’s not that serious”. Sikap dan perilaku rasionalisasi
bisa juga akan melahirkan perilaku serakah.
Secara garis besar rasionalisasi dapat diartikan sebagai tindakan yang
mencari alasan pembenaran oleh orang-orang yang merasa dirinya
terjebak dalam suatu keadaan yang buruk. Pelaku akan mencari alasan
untuk membenarkan kejahatan untuk dirinya agar tindakan yang sudah
dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat. Menurut Spillane
(2003), rasionalisasi adalah sebuah gaya hidup dalam masyarakat yang
tidak sesuai dengan prinsip yang menyatukan, secara tidak langsung
rasionalisasi menyediakan cara untuk membenarkan tindakan-
tindakan yang tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Cara
berasionalisasi yang sering terjadi adalah memindahkan kebenaran
dasar sejajar dengan prestasi yang tidak tepat, namun sebaliknya
rasionalisasi ini hanya akan menghasilkan penghargaan diri yang
palsu. Para pakar sosiolog merujuk pada proses di mana peningkatan
jumlah tindakan sosial menjadi berdasarkan pertimbangan efisiensi
perhitungan bukan pada motivasi yang berasal dari moralitas, emosi,
kebiasaan atau tradisi. Menurut SAS No.99 rasionalisasi pada
perusahaan dapat diukur dengan siklus pergantian auditor, opini audit
yang didapat perusahaan tersebut serta keadaan total akrual dibagi
dengan total aktiva.
33
Gambar 3.1 Fraud Triangle
Seperti yang kita ketahui kejahatan kerah putih atau white collar crime
memiliki ciri khas kurangnya perasaan atau ketidakpedulian pelaku yang
berasal dari serangkaian alasan atau rasionalisasi untuk membebaskan diri
dari rasa bersalah yang timbul dari perilaku mereka yang menyimpang
(Dellaportas, 2013). Rasionalisasi merupakan senjata yang digunakan para
pelaku dalam menyangkal seluruh kesalahan atau kecurangan yang mereka
buat dengan tujuan mempertahankan citra diri.
Adanya saling keterkaitan antara elemen dalam Fraud Triangle tersebut.
Dengan kecurangan, semakin besar peluang/ kesempatan yang dimiliki atau
semakin kuatnya tekanan yang dirasakan, semakin sedikit rasionalisasi yang
akan memotivasi seseorang untuk melakukan kecurangan. Demikian juga,
semakin tidak jujur seorang pelaku, semakin sedikit kesempatan atau
tekanan yang diperlukan untuk melakukan kecurangan.
PERFECT FRAUD STORM
Segitiga kecurangan memberikan pandangan tentang penyebab terjadinya
kompromi etis, yang disebut dengan perfect fraud storm yang terdiri dari
sembilan faktor, yaitu:
34
1). Ledakan Ekonomi
Ledakan ekonomi yang terjadi tahun 1190-an dan awal tahun 2000-an
merupakan suatu kondisi dimana ekonomi suatu wilayah atau negara
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat yang ditandai dengan
kesuksesan dalam bidang ekonomi.
Namun, kondisi tersebut hanya terlihat seperti itu, sedangkan dibalik
semua itu banyak perilaku-perilaku kecurangan yang disembunyikan.
Kondisi ledakan ekonomilah yang memberikan kesempatan pada
pelaku kecurangan untuk menyembunyikan aktivitas mereka. Dalam
era ledakan ekonomi ini, pengusaha tidak mengetahui dengan benar
alasan dibalik kesuksesan mereka, sehingga mereka akan terus
menggunakan metode yang sama dengan tahun sebelumnya dengan
anggapan akan mendapatkan kesuksesan yang serupa.
2). Kemerosotan Nilai-nilai Moral
Semakin berkembangnya zaman, bukan semakin baik namun yang
ditemukan oleh para peneliti adalah justru kemerosotan moral, salah
satunya adalah ketidakjujuran. Aktivitas mencontek di sekolah, ini
merupakan salah satu ukuran ketidakjujuran. Hal tersebut
memberikan gambaran kemerosotan moral di lingkungan masyarakat
secara luas dan merupakan titik awal dari ketidakjujuran dalam
lingkungan manajemen nantinya.
3). Kesalahan Alokasi Insentif
Eksekutif dikebanyakan perusahaan yang melakukan kecurangan
diberi ratusan juta dolar dalam bentuk opsi saham dan/atau saham
terbatas yang memberikan tekanan yang luar biasa kepada pihak
manajemen untuk tetap menjaga kenaikan harga saham, bahkan
dengan membebankannya pada pelaporan hasil kinerja keuangan
35
yang akurat. Kompensasi dalam bentuk saham ini malah jumlahnya
melebihi dari kompensasi yang berbasis gaji. Insentif ini mampu
mengalihkan fokus CEO dari fokus mengelola perusahaan menjadi
fokus mengelola harga saham sehingga hal ini memungkinkan
mereka untuk melakukan kecurangan atas laporan keuangan.
4). Tingginya Ekspektasi Analis
Pihak manajemen dan analis yang tidak memiliki matriks kinerja
alternative yang membandingkan kinerja harga saham perusahaan
sejenis, sehingga pencapaian ekspektasi analis menjadi sangat
penting. Hal ini mampu meningkatkan kecurangan yang dilakukan
oleh perusahaan.
5). Tingginya Tingkat Utang
Besarnya jumlah utang yang dimiliki oleh perusahaan mempengaruhi
mereka dalam melakukan kecurangan. Utang tersebut memberikan
tekanan yang besar untuk menghasilkan laba yang tinggi guna
menutupi beban bunga yang tinggi dan guna memenuhi persyaratan
perjanjian utang.
6). Fokus pada Aturan Daripada Prinsip Akuntansi
Sebagian percaya bahwa faktor lain dari perfect storm merupakan
sifat dasar dari aturan akuntansi Amerika serikat itu sendiri. Berbeda
dengan praktik akuntansi di banyak Negara seperti Inggris dan
Australia, PABU di Amerika Serikat lebih mendasarkan pada aturan
daripada prinsip.
7). Kurangnya Independensi Auditor
Faktor ketujuh dari perfect fraud storm adalah perilaku oportunistis
dari beberapa KAP. Dalam beberapa kasus, KAP menggunakan audit
sebagai upaya untuk mengganti kerugian demi membangun
hubungan dengan perusahaan- perusahaan agar mereka dapat
36
menawarkan pengadaan jasa-jasa konsultasi yang lebih
menguntungkan. Dalam banyak kasus, fee yang ditawarkan auntuk
jasa konsultasi lebih tinggi daripada fee audit dari klien yang sama.
Dan adanya dilemma yang dirasakan KAP antara independensi dan
peluang/ kesempatan untuk meningkatkan keuntungan.
8). Keserakahan
Adanya sifat serakah dari para eksekutif, Bank investasi, bank
komersial dan investor yang mengambil keuntungan dari sistem
perekonomian yang kuat, berbagai transaksi yang menguntungkan
dan laba yang tinggi dari suatu perusahaan.
9). Kegagalan Pendidik
Kegagalan pendidik disini diantaranya adalah:
a). Mahasiswa tidak diberikan pendidikan etika yang memadai.
Saat perkuliahan, mahasiswa tidak diberikan gambaran
mengenai dilemma etika yang mungkin akan dialami.
b). Banyak pengajar yang tidak mengajarkan kecurangan,
sehingga kelak mereka tidak menyadari akan adanya
kecurangan baik itu penyebab terjadinya kecurangan,
maupun indikator-indikator yang mengindikasikan
kemungkinan perilaku menyimpang.
c). Cara pendidik mengajarkan akuntansi di masa lampau.
Pendidikan akuntansi tidak boleh terlalu fokus pada konten
pembelajaran sebagai tujuan akhir, namun lebih kepada
kemampuan mahasiswa dalam menganalisis.
TEORI FRAUD SCALE
Teori Fraud Scale dicetuskan oleh Dr. Steve Albrecht. Menurut teori
Fraud Scale ini, penyebab terjadinya fraud sama dengan teori fraud triangle.
37
Dan teori scale ini merupakan teori lanjutan dari teori Fraud Triangle yang
merupakan pengukuran dari teori tersebut. Menurut Albrecht, 3 faktor
penyebab seseorang melakukan fraud atau kecurangan dilihat dari
karakteristik khusus menurut teori fraud scale adalah:
1). Hidup di luar kemampuan mereka
2). Keinginan yang besar untuk keuntungan
3). Hutang pribadi yang tinggi
Dalam scale dijelaskan bahwa kemungkinan tindakan penipuan dapat
dinilai dengan mengevaluasi kekuatan tekanan, kesempatan dan integritas
pribadi. Tekanan yang tinggi, kesempatan besar dan integritas pribadi rendah
memungkinkan risiko terjadinya fraud tinggi. Sebaliknya tekanan yang
rendah, kesempatan kecil, dan integritas pribadi tinggi menyebabkan risiko
terjadinya fraud rendah. Tujuan teori ini adalah untuk mengukur
kemungkinan pelanggaran etika, kepercayaan dan tanggung jawab. Teori ini
berlaku untuk beberapa pelanggaran salah satunya pelanggaran yang
mengarah ke penipuan laporan keuangan. Sumber Tekanan menurut teori ini
adalah perkiraan penjualan, laba manajemen.
Gambar 3.2 Fraud Scale
FRAUD DIAMOND
Fraud diamond adalah pengembangan dari teori Fraud Triangle, dimana
dalam Fraud Triangle faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi seseorang
38
melakukan tindakan kecurangan ada 3 (tiga) yaitu Pressure, Opportunity dan
Rationalization sedangkan dalam fraud Diamond menambahkan satu faktor
lagi yaitu Capability. Wolfe dan Hermanson berpendapat bahwa ada
pembaharuan fraud triangle untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi
dan mencegah fraud yaitu dengan cara menambahkan elemen keempat yakni
capability (kemampuan).
“Many frauds, especially some of the multibillion-dollar ones, would not
have occurred without the right person with the right capabilities inplace.
Opportunity opens the doorway to fraud, and incentive and
rationalization can draw the person toward it. But the person must
havethe capability to recognize the open doorway as an opportunity and
totake advantage of it by walking through, not just once, but time and time
again. Accordingly, the critical question is; Who could turn an
opportunity for fraud into reality?"
Artinya adalah: banyak fraud yang umumnya bernominal besar tidak
mungkin terjadi apabila tidak ada orang tertentu dengan capability
(kemampuan) khusus yang ada dalam perusahaan. Opportunity membuka
peluang atau pintu masuk bagi fraud dan pressure dan rationalization yang
mendorong seseorang untuk melakukan fraud.
Individual capability adalah sifat dan kemampuan pribadi seseorang yang
mempunyai peranan besar yang memungkinkan melakukan suatu tindak
kecurangan. Pada elemen Individual Capability terdapat beberapa
komponen kemampuan (Capability) untuk menciptakan fraud yaitu (Kassem
and Higson, 2012 serta Wolfe dan Hermanson, 2004):
1). Posisi/fungsi seseorang dalam perusahaan
Posisi seseorang atau fungsi dalam organisasi dapat memberikan
kemampuan untuk membuat atau memanfaatkan kesempatan untuk
penipuan. Seseorang dalam posisi otoritas memiliki pengaruh lebih
besar atas situasi tertentu atau lingkungan.
39
2). Kecerdasan (brain)
Pelaku kecurangan ini memiliki pemahaman yang cukup dan
mengeksploitasi kelemahan pengendalian internal dan untuk
menggunakan posisi, fungsi, atau akses berwenang untuk
keuntungan terbesar.
3). Tingkat kepercayaan diri/ego (confident/ego)
Individu harus memiliki ego yang kuat dan keyakinan yang besar
bahwa dia tidak akan terdeteksi. Tipe kepribadian umum termasuk
seseorang yang didorong untuk berhasil di semua biaya, egois,
percaya diri, dan sering mencintai diri sendiri (narsisme). Menurut
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, gangguan
kepribadian narsisme meliputi kebutuhan untuk dikagumi dan
kurangnya empati untuk orang lain. Individu dengan gangguan ini
percaya bahwa mereka lebih unggul dan cenderung ingin
memperlihatkan prestasi dan kemampuan mereka.
4). Kemampuan pemaksaan (coercion skills)
Pelaku kecurangan dapat memaksa orang lain untuk melakukan atau
menyembunyikan penipuan. Seorang individu dengan kepribadian
yang persuasif dapat lebih berhasil meyakinkan orang lain untuk
pergi bersama dengan penipuan atau melihat ke arah lain.
5). Kebohongan yang efektif (effective lying)
Penipuan yang sukses membutuhkan kebohongan efektif dan
konsisten. Untuk menghindari deteksi, individu harus mampu
berbohong meyakinkan, dan harus melacak cerita secara
keseluruhan.
40
6). Kekebalan terhadap stres (immunity to stress).
Individu harus mampu mengendalikan stres karena melakukan
tindakan kecurangan dan menjaganya agar tetap tersembunyi sangat
bisa menimbulkan stres.
Dalam fraud diamond, sifat-sifat dan kemampuan individu memainkan
peran utama dalam terjadinya fraud. Banyak kecurangan-kecurangan besar
tidak akan terjadi tanpa orang-orang yang memiliki kemampaun
individu/capability. Walaupun peluang/opportunity membuka jalan untuk
melakukan fraud dan insentif dan rasionalisasi dapat menarik orang ke arah
itu tapi seseorang harus memiliki kemampuan untuk melihat celah
melakukan fraud sebagai kesempatan dan untuk mengambil keuntungan dari
itu, tidak hanya sekali, tetapi terus menerus. Individual capability adalah
sifat dan kemampuan pribadi seseorang yang mempunyai peranan besar
yang memungkinkan melakukan suatu tindak kecurangan. Competence
merupakan perkembangan dari elemen opportunity yaitu kemampuan
individu untuk mengesampingkan internal kontrol dan mengontrolnya sesuai
dengan kedudukan sosialnya untuk kepentingan pribadinya.
Gambar 3.3 Fraud Diamond
41
FRAUD CROWE PENTAGON
Sesuai dengan perkembangan zaman, teori fraud juga mengikuti perubahan.
Dari awal Cressey mencetuskan teori Fraud Triangle dengan 3 hal yang
mendukung terjadinya fraud, kemudian menjadi Fraud Diamond dengan
ditambah 1 faktor lagi yaitu capability dan yang terbaru dewasa ini adalah
“Fraud Crowe Pentagon” . Kondisi perusahaan yang kini semakin
berkembang dan kompleks dibanding sebelumnya, serta para pelaku fraud
yang kini lebih cerdik dan mampu mengakses berbagai informasi
perusahaan. Hal ini menyebabkan teori fraud perlu dikembangkan dari fraud
triangle menjadi fraud pentagon. 5 elemen dalam fraud pentagon adalah
pressure, opportunity, rationalization, competence/ capability, dan
arrogance. Arrogance adalah sikap superioritas dan keserakahan dalam
sebagian dirinya yang menganggap bahwa kebijakan dan prosedur
perusahaan sederhananya tidak berlaku secara pribadi. Dengan sifat seperti
ini, seseorang dapat melakukan kecurangan dengan mudah karna
merasa/menganggap dirinya paling unggul diantara yang lain dan
menganggap kebijakan tidak berlaku untuknya.
Menurut Crowe, arogansi adalah sikap superioritas atas hak yang dimiliki
dan merasa bahwa kontrol internal atau kebijakan perusahaan tidak berlaku
untuk dirinya. Horwath (2011) mengemukakan bahwa ada lima elemen dari
arogansi dari perspektif CEO, sebagai berikut :
a. Ego yang besar – CEO terlihat seperti selebriti daripada seorang
pengusaha.
b. Mereka menganggap pengendalian internal tidak berlaku untuk
dirinya.
c. Memiliki karakteristik perilaku pengganggu.
42
d. Memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter.
e. Memiliki ketakutan akan kehilangan posisi dan status.
Gambar 3.4 Fraud Pentagon
43
BAB IV
MANAJEMEN LABA
MANAJEMEN LABA
Scott (2003:369) mendefinisikan earning management sebagai pilihan
yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi untuk
mencapai beberapa tujuan tertentu. Konsep earning management
menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) yang menyatakan
bahwa praktik earning management dipengaruhi oleh konflik antara
kepentingan manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul karena
setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertimbangkan tingkat
kemakmuran yang dikehendakinya. Konflik kepentingan semakin
meningkat terutama karena principal tidak dapa memonitor aktivitas
manajemen sehari-hari untuk memastikan bahwa manajemen bekerja sesuai
dengan keinginan pemegang saham (principal).
Dalam hubungan keagenan, principal tidak memiliki informasi yang
cukup tentang kinerja agent. Agent mempunyai lebih banyak informasi
mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara
keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
informasi (information asymmetric) yang dimiliki oleh principal dan agent.
Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan
agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang salah kepada
principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran
kinerja agent. Salah satu bentuk tindakan agent tersebut adalah yang disebut
sebagai earning management.
Manajemen laba dilakukan dengan mempermainkan komponen-
komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab pada komponen akrual
44
dapat dilakukan permainan angka melalui metode akuntansi yang digunakan
sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan dan penyusunan
laporan keuangan. Komponen akrual merupakan komponen yang tidak
memerlukan bukti kas secara fisik sehingga mempermainkan besar kecilnya
komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau
dikeluarkan perusahaan.
JENIS-JENIS MANAJEMEN LABA
Menurut Scott (2007) terdapat empat pola manajemen laba yaitu:
a). Taking a bath. Taking a bath adalah pola manajemen laba yang
dilakukan dengan cara menjadikan laba perusahaan pada periode
berjalan menjadi sangat ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat
ekstrim tinggi dibandingkan dengan laba pada periode sebelumnya
atau sesudahnya.
b). Income minimization. Income minimization adalah pola manajemen
laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan
keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya.
c). Income maximization. Maksimal laba (income maximization) adalah
pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba
pada laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi dari pada laba
sesungguhnya.
d). Income smoothing. Income smoothing atau perataan laba merupakan
salah satu bentuk manajemen laba yang dilakukan dengan cara
membuat laba akuntansi relative konsisten (rata atau smooth) dari
periode ke periode.
45
MOTIVASI MANAJEMEN LABA
Scott (2003:377), memberikan pendapat tentang beberapa motivasi yang
mendorong manajemen dalam melakukan earning management, antara lain
sebagai berikut:
a). Motivasi bonus, yaitu manajer akan berusaha mengatur laba bersih
agar dapat memaksimalkan bonusnya.
b). Motivasi kontrak, berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu
manajer menaikkan laba bersih untuk mnegurangi kemungkinan
perusahaan mengalami technical default.
c). Motivasi politik, aspek politis ini dapat dilepaskan dari perusahaan,
khususnya perusahaan besar dan industri strategis karena
aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak.
d). Motivasi pajak, pajak merupakan salah satu alasan utama perusahaan
mengurangi laba bersih yang dilaporkan.
e). Pergantian CEO (Chief Executive Officer), banyak motivasi yang
timbul berkaitan dengan CEO, seperti CEO yang mendekati masa
pensiun akan meningkatkan bonusnya, CEO yang kurang berhasil
memperbaiki kinerjanya untuk menghindari pemecatannya, CEO
baru untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya.
f). Penawaran saham perdana (Initial Public Offering - IPO), manajer
perusahaan yang go public melakukan earning management untuk
memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya dengan harapan
mendapatkan respon pasar yang positif terhadap peramalan laba
sebagai sinyal dari nilai perusahaan.
g). Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi
privat yang dimiliki perusahaan kepada investor dan kreditor
46
POSITIVE ACCOUNTING THEORY
Teori akuntansi positif berkembang seiring kebutuhan untuk
menjelaskan dan memprediksi realitas praktek-praktek akuntansi yang ada
di dalam masyarakat. Teori akuntansi positif berusaha untuk menjelaskan
fenomena akuntansi yiang diamati berdasarkan pada alasan-alasan yang
menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Dengan kata lain, Positive
Accounting Theory (PAT) dimaksudkan untuk menjelaskan dan
memprediksi konsekuensi yang terjadi jika manajer menentukan pilihan
tertentu. Penjelasan dan prediksi dalam PAT didasarkan pada proses kontrak
(contracting process) atau hubungan keagenan (agency relationship) antara
manajer dengan kelompok lain seperti investor, kreditor, auditor, pihak
pengelola pasar modal dan institusi pemerintah (Watts dan Zimmerman,
1986).
PAT lebih bersifat deskriptif bukan preskiptif. Tidak seperti teori
normative yang menyatakan bahwa manajer akan memaksimumkan laba
atau kemakmuran untuk kepentingan perusahaan, teori positif didasarkan
pada premis bahwa individu selalu bertindak atas dasar motivasi pribadi (self
seeking motives) dan berusaha memaksimumkan keuntungan pribadi. Watts
dan Zimmerman berpendapat bahwa premis maksimisasi laba dalam konteks
teori normatif tidak terbukti dan jauh dari bukti empiris.
Kritik utama mereka terhadap teori normative adalah teori tersebut
didasarkan pada pertimbangan nilai (value judgment). Watts dan
Zimmerman berpendapat bahwa perumusan teori harus betul-betul bebas
pertimbangan nilai dan menekankan pada kebutuhan akan pendekatan baru.
Teori akuntansi positif memiliki fokus ekonomi dan berusaha
menjawab pernyataan seperti :
Apakah biaya yang dikeluarkan untuk memilih metode akuntansi
sesuai dengan manfaat yang diperoleh?
47
Apakah biaya regulasi dan proses penentuan standar akuntansi sesuai
dengan manfaatnya?
Apakah laporan keuangan berpengaruh terhadap saham?
Untuk menjawab pernyataan tersebut teori akuntansi positif
menggunakan asumsi sebagai berikut :
Manajer, investor, kreditor, dan individu lain bersifat rasional dan
berusaha memaksimumkan kepuasan.
Manajer memiliki kebebasan untuk memilih metode akuntansi yang
memaksimumkan kepuasan mereka atau mengubah kebijakan
produksi, investasi dan pendanaan perusahaan untuk memaksimukan
kepuasan mereka.
Manajer mengambil tindakan yang memaksimumkan nilai perusahaan.
Atas dasar pernyataan dan asumsi tersebut teori akuntansi positif
berusaha menguji tiga hipotesis sebagai berikut (Watts dan Zimmerman,
1990):
1). Hipotesis Rencana Bonus (Bonus Plan Hypothesis).
Manajer perusahaan dengan bonus tertentu cenderung lebih
menyukai metode yang meningkatkan laba periode berjalan. Pilihan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai sekarang bonus yang
akan diterima seandainya komite kompensasi dari dewan direktur
tidak menyesuaikan dengan metode yang dipilih.
2). Hipotesis hutang atau ekuitas (Debt/Equity Hypothesis)
Makin tinggi rasio hutang atau ekuitas perusahaan makin besar
kemungkinan bagi manajer untuk memilih metode akuntansi yang
dapat menaikkan laba. Makin tinggi rasio hutang atau ekuitas makin
dekat perusahaan dengan batas perjanjian atau peraturan kredit.
48
Makin tinggi batasan kredit makin besar kemungkinan
penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya. Manajer
akan memiliki metode akuntansi yang dapat menaikkan laba
sehingga dapat mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya
kesalahan teknis
3). Hipotesis Cost Politik (Political Cost Hypothesis)
Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang
dapat mengurangi laba periodik disbanding perusahaan kecil. Ukuran
perusahaan merupakan ukuran variable proksi (proxy) dan aspek
politik. Yang mendasari hipotesis ini adalah asumsi bahwa sangat
mahalnya nilai informasi bagi individu untuk menentukan apakah
laba akuntansi betul-betul menunjukkan monopoli laba. Di samping
itu, sangatlah mahal bagi individu untuk melaksanakan kontrak
dengan pihak lain dalam proses politik dalam rangka menegakkan
aturan hukum dan regulasi, yang dapat meningkatkan kesejahteraan
mereka. Dengan demikian individu yang rasional cenderung
memiliki untuk tidak mengetahui informasi yang lengkap. Proses
politik tidak beda jauh dengan proses pasar. Atas dasar cost informasi
dan cost monitoring tersebut, manajer memiliki insentif untuk
memiliki laba akuntansi tertentu dalam proses politik tersebut.
Tiga hipotesis di atas menunjukkan bahwa PAT mengakui adanya tiga
hubungan keagenan:
1). Manjemen dengan pemilik
2). Manajemen dengan kreditor
3). Manajemen dengan pemerintah
49
HUBUNGAN TEORI AKUNTANSI NORMATIVE DAN POSITIF
Teori akuntansi berdasarkan tujuan perumusannya ada dua yaitu teori
akuntansi normatif dan positif. Teori akuntansi positif berkembang seiring
dengan kebutuhan untuk menjelaskan dan memprediksi realitas praktik-
praktik akuntansi yang ada di masyarakat Teori ini memiliki pijakan yang
berbeda dibandingkan dengan dengan akutansi normatif, yang lebih
menjelaskan praktik-praktik akuntansi yang seharusnya berlaku. Teori
akuntansi positif ini bertujuan menjelaskan meramalkan, dan memberi
jawaban atas praktik akuntansi. Di samping itu, teori ini juga meramalkan
berbagai fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana interaksi
antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata. Validitas teori akuntansi positif
dinilai atas dasar kesesuaian teori dengan fakta atau apa yang nyatanya
terjadi.
Jensen (1976) mencatat berbagai perbedaan dari pertanyaan riset
normatif dan positif:
1). Riset normatif kebanyakan bertanya tentang apa yang seharusnya
dilakukan, sedangkan riset positif lebih hanya bertanya tentang apa,
mengapa dan bagaimana.
2). Riset normatif lebih banyak mendeskripsikan entitas akuntansi (Kohler,
1975). Sebaliknya untuk positif lebih banyak mendeskripsikan dan
menjelaskan perilaku akuntan.
Untuk lebih mudah dipahami, contoh teori akuntansi positif adalah
praktik akuntansi yang saat ini sering kita dengar antara lain creative
accounting dan earning management. Pada dasarnya praktik akuntansi ini
sudah dilakukan cukup lama, tetapi praktik ini semakin mencuat diantaranya
pada kasus Enron, dan Worldcom yang terjadi pada tahun 2000. Kasus ini
50
mengakibatkan krisis kepercayaan publik terhadap auditor. Kasus ini telah
meruntuhkan KAP Arthur Andersen, tidak saja keluar dari The big five,
bahkan sampai pencabutan ijin usaha. Kasus inilah yang menjadi titik tolak
bagi para auditor dan lembaganya untuk meningkatkan kembali jaminan
terhadap hasil audit mereka.
Sedangkan akuntansi normatif adalah praktik akuntansi yang
dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Aturan tersebut
dikenal dengan nama Praktik Akuntansi Berterima Umum (PABU) atau
GAAP. Salah satu bagian kecil dari PABU adalah SAK atau standar
akuntansi Keuangan.
Dapat disimpulkan bahwa hubungan teori akuntansi normative dan
teori akuntansi positif yaitu teori akuntansi positif pada dasarnya merupakan
alat untuk menguji secara empirik asumsi-asumsi yang dibuat oleh teori
akuntansi normatif. Karena teori normatif pada dasarnya merupakan
pendapat pribadi yang subyektif yang tidak dapat diterima begitu saja dalam
menentukan keputusan. Oleh sebab itu dibutuhkan pengembangan teori
akuntansi yang sekarang disebut teori akuntansi positif yang bertujuan untuk
menguji teori akuntansi normatif secara empiris agar memiliki dasar teori
yang kuat.
51
BAB V
PENCEGAHAN KECURANGAN
PENYEBAB KECURANGAN
Fraud bisa dilakukan oleh siapa saja, meskipun pelaku fraud
adalah orang yang baik dan dapat dipercaya. Apabila pelaku fraud tidak
segera ditindak, maka kerugian perusahaan semakin besar dan memberi
cerminan yang buruk bagi karyawan lain. Mencegah kecurangan adalah cara
terbaik untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan.
Pelaku kecurangan mengalami kerugian dikarenakan mereka mendapatkan
penghinaan dan keadaan yang memalukan sesuai konsekwensi hukum.
Korban mengalami kerugian dikarenakan aset mereka dicuri. Individual dan
organisasi yang memiliki sikap proaktif tentang tindakan pencegahan
kecurangan biasanya cepat dalam mendeteksi kecurangan.
Peran utama dari internal auditor sesuai dengan fungsinya dalam
pencegahan kecurangan adalah berupaya untuk menghilangkan atau
mengeleminir sebab-sebab timbulnya kecurangan tersebut. Karena
pencegahan terhadap akan terjadinya suatu perbuatan curang akan lebih
mudah daripada mengatasi bila telah terjadi kecurangan tersebut. Pada
dasarnya kecurangan sering terjadi pada suatu suatu entitas apabila :
a). Pengendalian intern tidak ada atau lemah atau dilakukan dengan
longgar dan tidak efektif.
b). Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas
mereka.
c). Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalahgunakan
atau ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai
sasaran dan tujuan keuangan yang mengarah tindakan kecurangan.
52
d). Model manajemen sendiri melakukan kecurangan, tidak efsien
dan atau tidak efektif serta tidak taat terhadap hukum dan
peraturan yang berlaku.
e). Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak
dapat dipecahkan, biasanya masalah keuangan, kebutuhan
kesehatan keluarga, gaya hidup yang berlebihan.
f). Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah
atau tradisi kecurangan
Pencegahan kecurangan pada umumnya adalah aktivitas yang
dilaksanakan manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan
prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan
sudah dilakukan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain perusahaan
untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai 3 ( tiga )
tujuan pokok yaitu ; keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi
operasi serta kepatuhan terhadap hukum & peraturan yang berlaku ( COSO:
1992)
AKTIVITAS FUNDAMENTAL DALAM PENCEGAHAN
KECURANGAN
Pencegahan kecurangan melibatkan 2 (dua) aktivitas fundamental
(Zimbelman, 2004: 398):
1). Menciptakan dan memelihara budaya jujur dan beretika tinggi
Perusahaan biasanya menggunakan beberapa metode untuk
menciptakan budaya jujur dan beretika tinggi. Terdapat 5 (lima)
elemen yang utama:
53
a). Top management yang pantas ditiru (Keteladanan
Manajemen Puncak)
Kejujuran dapat diperkuat jika terdapat contoh keteladanan
yang sesuai. Manajemen harus memperkuat pegawainya
melalui sanksi yang tegas ketika perilaku tidak jujur.
b). Mengangkat karyawan yang tepat
Prosedur perekrutan secara proaktif meliputi beberapa hal
seperti melakukan investigasi latar belakang calon pegawai,
mengecek refrensi yang ditunjukkan calon pegawai secara
menalam, dan belajar bagaimana menginterpretasikan respon
untuk sejumlah pertanyaan yang ditanyakan terkait calon
pegawai serta menguji kejujuran dan sifat-sifat calon pegawai
lainnya.
c). Mengkomunikasikan Ekspektasi dari Kejujuran dan
Integritas
Hal ini meliputi:
Identifikasi dan kodifikasi nilai dan etika yang sesuai
Pelatihan kesadaran kecurangan yang membantu
pegawai memahami permasalahan yang berpotensi
menimbulkan kecurangan yang mungkin dihadapi
dan bagaimana menyelesaikan atau melaporkannya
Mengkomunikasikan ekspektasi yang konsisten
mengenai adanya sanksi bagi pelanggar.
d). Membuat lingkungan kerja yang positif.
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan tingginya
kecurangan dan yang mengurangi nilai dari lingkungan kerja
yang positif antara lain sebagai berikut:
54
Manajemen puncak yang tidak peduli atau memerhatikan
perilaku karyawan
Umpan balik negative atau berkurangnya pengakuan
kinerja dalam pekerjaan
Adanya ketidakadilan yang dirasakan dalam organisasi
Manajemen autokrasi, bukan manajemen partisipatif
Loyalitas organisasi yang rendah
Ekspektasi anggaran yang tidak masuk akal
Pembayaran dengan nilai rendah yang tidak realistik
Pelatihan dan kesempatan promosi yang buruk
Tingkat perputaran dan/atau ketidakhadiran yang tinggi
Kurangnya kejelasan tanggung jawab dalam organisasi
Komunikasi yang buruk dalam organisasi
e). Penanganan kecurangan dan pelaku kecurangan secara tepat
ketika terjadi kecurangan
Kebijakan yang efektif untuk menangani kecurangan adalah
harus memastikan bahwa fakta diinvestigasi secara
mendalam, dilakukan tindakan tegas dan konsisten terhadap
para pelaku, terdapat penilaian dan peningkatan atas risiko
dan pengendalian serta komunikasi dan pelatihan yang terus
menerus.
2). Memperkirakan risiko dari kecurangan dan memperkuat respon
untuk mengurangi risiko dan melenyapkan kesempatan akan
perbuatan curang.
Organisasi dapat secara proaktif melenyapkan kesempatan dari
kecurangan dengan cara:
a). Secara akurat mengidentifikasi dan mengukur sumber
kecurangan.
55
b). Mengimplementasikan pengawasan secara tepat pencegahan
dan pendeteksian kecurangan.
c). Mengawasi secara keseluruhan karyawan.
d). Mempunyai pengecekan independen yang baik, termasuk
juga fungsi audit yang efektif.
56
BAB VI
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
LATAR BELAKANG MUNCULNYA GCG
Good Corporate Governance atau dikenal dengan nama Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak
semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG
namun dilatar belakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang
menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) menyatakan
bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu
yang relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat
dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam
pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam
menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku
bisnis yang berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak
etis dan bahkan cenderung kriminal yang dilakukan oleh para pelaku
bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat
besar disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam
menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis
tersebut; disamping berbagai praktik tata kelola perusahaan dan
pemerintahan yang buruk.
Salah satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi
di suatu negara, dan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh
perusahan-perusahaan besar yang mana mengakibatkan terjadinya krisis
ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di
Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan
runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia; disamping juga
menyebabkan krisis global dibeberapa belahan negara dunia. Sebagai
contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah Amerika
mengeluarkan Sarbanes-Oxley Act tahun 2002; Undang-undang
dimaksud berisikan penataan kembali akuntansi perusahaan publik, tata
kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu,
57
undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan
GCG di berbagai negara.
Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian
masyarakat dikarenakan GCG memperjelas dan mempertegas
mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu
organisasi yang mencakup :
a). Hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan
perlindungannya,
b). Peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders) lainnya,
c). Pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu,
d). Transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan,
e). Tanggungjawab dewan komisaris dan direksi terhadap
perusahaan itu sendiri, kepada para pemegang saham dan pihak
lain yang berkepentingan.
PENGERTIAN GCG
Pada awalnya, istilah “Corporate Governance” pertama kali
dikenalkan oleh Cadbury Committee di Inggris tahun 1922 yang
menggunakan istilah dimaksud dalam laporannya yang dikenal
dengan Cadbury Report (dalam sukrisno Agoes, 2006). Berikut disajikan
beberapa definisi “Corporate Governance” dari beberapa sumber,
diantaranya:
1. Cadbury Committee of United Kingdom
A set of rules that define the relationship between shareholders,
managers, creditors, the goverment, employees, and other internal
and external stakeholders in respect to their right and
responsibilities, or the system by which companies are directed and
controlled.
2. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi
definisi Cadbury Committee of United Kingdom dan
58
menerjemahkannya sebagai berikut: “Seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan
hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem
yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.
3. Sukrisno Agoes (2006)
Tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang
mengatur hubungan peran dewan komisaris, para direksi, pemegang
saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan
yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas
penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian
kinerjanya.
4. Organization for Economics Cooperation and Development (OECD)
OECD mendefinisikan GCG sebagai: The structure through
which shareholders, directors, managers, set of the board objectives
of the company, the means of attaining those objectives and
monitoring performance. [Suatu struktur yang terdiri atas para
pemegang saham, direktur, manager, seperangkat tujuan yang ingin
dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam
mencapai tujuan dan memantau kinerja.
5. Wahyudi Prakarsa
Mekanisme administratif yang mengatur hubungan-hubungan
antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham,
dan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain.
Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai
aturan (prosedur) dan sistem insentif sebagai kerangka kerja
(framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dan
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, serta pemantauan atas
kinerja yang dihasilkan.
59
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pada intinya konsep GCG
mengandung pengertian yang berintikan 4 point, yaitu:
1). Wadah. Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan).
2). Model. Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk
prinsip-prinsip, serta nilai-nilai yang melandasi praktik bisnis yang
sehat.
3). Tujuan. Meningkatkan kinerja organisasi. Menciptakan nilai
tambah bagi semua pemangku kepentingan. Mencegah dan
mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam
pengelolaan organisasi. Meningkatkan upaya agar para pemangku
kepentingan tidak dirugikan.
4). Mekanisme. Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran,
wewenang, dan tanggung jawab :
Dalam arti sempit. Antar pemilik atau pemegang saham,
dewan komisaris dan direksi.
Dalam arti luas. Antar seluruh pemangku kepentingan.
PRINSIP GCG
Good Corporate Governance merupakan gabungan prinsip-
prinsip dasar dalam membangun suatu tatanan etika kerja dan kerjasama
agar tercapai rasa kebersamaan, keadilan, optimasi dan harmonisasi
hubungan sehingga dapat menuju kepada tingkat perkembangan yang
penuh dalam suatu organisasi atau badan usaha.
Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Vision
Pengembangan suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan
pada adanya visi dan strategi yang jelas dan didukung oleh adanya
partisipasi dari seluruh anggota dalam proses pengambilan
keputusan, pelaksanaan dan pengembangan supaya semua pihak
akan merasa memiliki dan tanggungjawab dalam kemajuan
organisasi atau usahanya.
60
2. Participation
Dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil
keputusan suatu organisasi atau badan usaha sedapat-dapatnya
melibatkan pihak-pihak terkait dan relevan melalui sistem yang
terbuka dan dengan jaminan adanya hak berasosiasi dan
penyampaian pendapat.
3. Equality
Suatu badan usaha atau organisasi yang baik selalu akan memberi
dan menyediakan peluang yang sama bagi semua anggota atau
pihak terkait bagi peningkatan kesejahteraan melalui usaha
bersama di dalam etika usaha yang baik.
4. Professional
Dalam bahasa sehari-hari professional diartikan “One who engaged
in alearned vocation (Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan
pekerjaan)”. Dalam konteks ini professional lebih dikaitkan dengan
peningkatan kapasitas kompetensi dan juga moral sehingga
pelayanan dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat.
5. Supervision
Meningkatkan usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas
usaha atau organisasi sehingga tujuan bersama dapat dicapai secara
optimal, efektif dan efisien, serta untuk meminimalkan potensi
kesalahan atau penyimpangan yang mungkin timbul.
6. Effective and Efficient
Effecyive berarti “do the things right”, lebih berorientasi pada
hasil. Sedangkan efficient berarti “do the right things”, lebih
berorientasi pada proses. Apapun yang direncanakan dan
dijalankan oleh suatu organisasi atau badan usaha harus bersifat
efektif dan efisien.
7. Transparent
Dalam konteks good governance, transparency lebih diartikan
membangun kepercayaan yang saling menguntungkan antara
pemerintah atau pengelola dengan masyarakat atau anggotanya
melalui ketersediaan informasi yang mudah diakses, lengkap
dan up to date.
61
8. Accountability/Accountable
Accountability lebih difokuskan pada peningkatan tanggung jawab
dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan dalam menjawab
kepentingan publik atau anggota.
9. Fairness
Dalam konteks good governance maka fairness lebih diartikan
sebagai aturan hukum yang harus ditegakkan secara adil dan tidak
memihak bagi apapun, untuk siapapun dan oleh pihak manapun.
10. Honest
Policy, strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi
atau badan usaha harus dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis
ketidakjujuran pada akhirnya akan selalu terbongkar dan merusak
tatanan usaha dan kemitraan yang telah dan sedang dibangun.
Tanpa kejujuran mustahil dapat dibangun trust dan long term
partnership.
11. Responsibility and Social Responsibility
Institusi dan proses pelayanan bagi kepentingan semua pihak
terkait harus dijalankan dalam kerangka waktu yang jelas dan
sistematis. Sebagai warga suatu organisasi, badan usaha dan/atau
masyarakat, semua pihak terkait mempunyai tanggungjawab
masing-masing dalam menjalankan tugasnya dan juga harus
memberi pertanggungjawaban kepada publik, sehingga di dalam
suatu tatanan atau komunitas dapat terjadi saling mempercayai,
membantu, membangun dan mengingatkan agar terjalin hubungan
yang harmonis dan sinergis.
Sedangkan lebih sempit lagi, menurut OECD, prinsip dasar GCG
yang dikembangkan adalah :
a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan
(fairness),
b. Transparansi,
c. Akuntabilitas, dan
d. Responsibilitas
62
Disamping itu, dalam kaitannya dengan tata kelola BUMN,
Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan keputusan KEP-117/M-
MBU/2002 tentang prinsip GCG, diantaranya:
1). Kewajaran
Prinsip agar para pengelola memperlakukan pemangku kepentingan
secara adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer
(pemasok, pelanggan, karyawan, dan pemodal) maupun sekunder
(pemerintah, masyarakat, dan pihak lain). Prinsip inilah yang
memunculkan konsep pengedepankan kepentingan
atas stakeholders dan bukan hanya shareholders.
2). Transparansi
Kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip
keterbukaan dalam proses keputusan dan penyampaian informasi.
Lebih dalam bahwa, informasi yang disampaikan harus lengkap,
benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan, tidak
boleh ada hal-hal tertentu yang dirahasiakan, disembunyikan,
ditutup-tutupi, maupun ditunda-tunda pengungkapannya.
3). Akuntabilitas
Kewajiban bagi para pengelola untuk membina sistem akuntansi
yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat
dipercaya (reliable) dan berkualitas.
4). Responsibilitas
Kewajiban para pengelola untuk memberikan pertanggungjawaban
atas semua tindakan dalam pengelolaan perusahaan kepada para
pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan dan wewenang
yang telah diberikan.
Pertanggungjawaban ini setidaknya mencakup dimensi :
a). Ekonomi. Diwujudkan dalam bentuk pemberian keuntungan
ekonomis bagi pemangku kepentingan,
b). Hukum. Diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum
danperaturan-peraturan yang berlaku
63
c). Moral. Diwujudkan dalam bentuk pertanggungjawaban tersebut
dapat dirasakansecara menyeluruh dan adil bagi semua pemangku
kepentingan
d). Sosial. Diwujudkan dalam bentuk Corporate Social
Responsibility (CSR) sebagai wujud kepedulian terhadap
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan
perusahaan
e). Spiritual
Diwujudkan dalam bentuk sejauh mana tindakan manajemen telah
mampu mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai
bagian dari ibadah sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.
f). Kemandirian
Suatu keadaan dimana para pengelola dalam mengambil suatu
keputusan bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik
kepentingan, bebas dari tekanan serta pengaruh dari pihak
manapun yang bertentangan dengan perundangan yang berlaku
dan prinsip pengelolaan yang sehat.
Kebutuhan tata kelola etis tidak hanya baik bagi bisnis
perusahaan. Perubahan-perubahan terkini pada regulasi pemerintahan
merubah ekspektasi secara signifikan. Dalam era meningkatkan
pengawasan, dimana perilaku tidak etis dapat mempengaruhi pencapaian
tujuan perusahaan secara keseluruhan, sangat dibutuhkan sistem tata
kelola perusahaan yang menyediakan aturan serta akuntabilitas yang
tepat untuk kepentingan shareholders, direktur, dan eksekutif.
Direktur harus cermat dalam mengatur risiko bisnis dan etika
perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah
berjalan dengan efektif dalam perusahaan. Hal ini membutuhkan
pengembangan code of conduct, dan cara yang paling fundamental dalam
menciptakan pemahaman mengenai perilaku yang tepat, memperkuat
perilaku tersebut, dan meyakinkan bahwa nilai yang mendasarinya
dilekatkan pada strategi dan operasi perusahaan. Konflik kepentingan
dalam perusahaan, kekerasan seksual, dan topik–topik serupa perlu
diatasi segera dengan pengawasan yang memadai untuk menjaga agar
budaya perusahaan sejalan dengan ekspektasi saat ini.
64
Peristiwa Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom mengubah
fokus akuntan profesional terhadap perannya sebagai orang yang
dipercaya oleh publik. Reputasi dan eksistensi profesi akuntan di masa
depan telah menurun di mata publik, sehingga perbaikan serta
kesuksesannya kembali tergantung pada perubahan yang akan dilakukan.
Profesi akuntan harus mengembangkan pertimbangan, nilai, dan
sifat karakter yang mencakup kepentingan publik, dimana pertimbangan
tersebut inheren dengan munculnya akuntabilitas
berorientasi stakeholder dan kerangka tata kelola (governance
framework). Standar code of conduct yang baru muncul untuk menuntun
profesi akuntan serta memastikan bahwa self-interest, bias, dan
kesalahpahaman tidak menutupi independensinya.
Globalisasi mulai mempengaruhi perkembangan aturan dan
harmonisasi standar akuntan profesional, dan hal ini akan terus
berkelanjutan. Sama seperti mekanisme tata kelola untuk korporasi yang
menghasilkan batasan dan yurisdiksi domestik, stakeholders di seluruh
dunia akan lebih mengutamakan dalam menentukan standar kinerja bagi
profesi akuntan. Pekerjaan mereka akan melayani pasar modal dan
korporasi global, dan kesuksesannya membutuhkan respek dari
karyawan dan partner yang lebih banyak dibandingkan dahulu. Dengan
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, akan menarik apabila
akuntan profesional dapat menggunakan kesempatan yang menunjukkan
perannya yang lebih luas.
MANFAAT GCG
Penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan
kepercayaan terhadap investor dan institusi terkait di pasar modal. Menurut
Tjager dkk (2003) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa
penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:
1). Berdasarkan survey yang telah dilakukan oleh McKinsey and
Company menunjukkan bahwa para investor institusional lebih
menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang
telah menerapkan GCG.
65
2). Berdasarkan berbagai analisis ternyata ada indikasi keterkaitan
antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia
dengan lemahnya tata kelola perusahaan.
3). Internasionalisasi pasar – termasuk liberalisasi pasar finansial dan
pasar modal menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4). Kalau GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis sistem ini
dapat menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih
sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5). Secara teoris, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Menurut Mas Ahmad Daniri (2005;14) jika perusahaan menerapkan
mekanisme penerapan Good Corporate Governance (GCG) secara
konsisten dan efektif maka akan dapat memberikan manfaat antara
lain:
Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus
ditanggung oleh pemegang saham akibat pendelegasian
wewenang kepada pihak manajemen.
Mengurangi biaya modal (Cost of Capital).
Meningkatkan nilai saham perusahaan di mata publik dalam
jangka panjang.
Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan
perusahaan terhadap keberadaan perusahaan dan berbagai
strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.
GCG DAN HUKUM PERSEROAN DI INDONESIA
Kegiatan perusahaan (perseroan) di Indonesia didasarkan atas payung
hukum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas.
Namun Undang-Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang Nomor 40 tahun 2007. Sebagimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UU
Nomor 40 Tahun 2007, yang dimaksud dengan perseroan adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
66
Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2007, dikatakan alasan pencabutan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1995 untuk diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007.
pertimbangan tersebut antara lain karena adanya perubahan dan
perkembangan yang cepat berkaitan dengan teknologi, ekonomi, harapan
masyarakat tentang perlunya peningkatan pelayanan dan kepastian hukum,
kesadaran sosial dan lingkungan, serta tuntutan pengelolaan usaha yang
sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Ketentuan
yang disempurnakan ini, antara lain:
a. Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi
informasi yang ada, seperti: telekonferensi, video konferensi, atau
sarana media elektronik lainnya (Pasal 77).
b. Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan
status badan hukum dan pengesahan Anggran dasar Perseroan.
c. Memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab direksi dan
dewan komisaris, termasuk mengatur mengenai komisaris
independent dan komisaris utusan
d. Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
Undang-Undang perseroan terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tidak
mengatur secara eksplisit tentang GCG. Meskipun begitu, Undang-Undang
ini mengatur secara garis besar tentang mekanisme hubungan, peran,
wewenang, tugas dan tanggung jawab, prosedur dan tata cara rapat, serta
proses pengambilan keputusan dan organ minimal yang harus ada dalam
perseroan, yaitu Rapat Umum Pemegang saham (RUPS), direksi, dan Dewan
Komisaris.
Wewenang dari ketiga organ ini diatur dalam Bab I Pasal 1 sebagai
berikut:
Ayat 4 Rapat umum pemegang saham, yang selanjutnya disebut RUPS,
adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
Ayat 5 Direksi adalah Organ Perseoran yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan,
67
sesuai dengan maksud dan tujuanperseroan serta mewakili perseroan,
baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggran dasar.
Ayat 6 Dewan komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi.
Secara spesifik, wewenang, tugas dan tanggung jawab ketiga organ ini
dapat diringkas sebagai berikut:
1). RUPS
a. Menyetujui dan menetapkan Anggaran Dasar Perusahaan (Pasal 19
ayat 1)
b. Menyetujui pembelian kembali dan pengalihan saham Perseroan
(Pasal 38 ayat 1)
c. Menyetujui penambahan dan pengurangan modal Perseroan (Pasal
41 ayat 1 dan Pasal 44 ayat 1)
d. Menyetujui dan mengesahkan laporan tahunan termasuk laporan
keuangan Direksi serta laporan tugas pengawasan Komisaris (Pasal
69)
e. Menyetujui dan menetapkan penggunaan laba bersih, penyisihan
cadangan dan dividen, serta dividen interim (Pasal 71 dan Pasal
72).
f. Menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau
pemisahan, pengajuan pailit, perpanjang jangka waktu berdirinya,
dan pembubaran perseroan (Pasal 89).
g. Menyetujui pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan
Komisaris (Pasal 94 dan Pasal 111)
h. Menetapkan besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi dan
Komisaris (Pasal 96 dan Pasal 113).
2). Dewan Komisaris
a. Melakukan tugas dan tanggung jawab pengawasan atas kebijakan
pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, dan memberikan
nasehat kepada Direksi (Pasal 108 dan Pasal 114).
68
b. Bertanggung jawab rentang secara pribadi atas kerugian perseroan
bila yang bersangkutan atau lalai dalam menjalankan tugasnya
(Pasal 114 ayat 3 dan ayat 4).
c. Bertanggung jawab renteng secara pribadi atas kepailitan perseroan
bila disebabkan oleh kesalahan dan kelalaian dalam menjalankan
tugas pengawasan dan pemberi nasehat (Pasal 115).
d. Diberi wewenang untuk membrntuk komite yang diperlukan untuk
mendukung tugas Dewan Komiaris.
3). Dewan Direksi
a. Menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan
sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat dalam batas yang
ditetapkan Undang-Undang dan Anggaran Dasar Perseroan (Pasal
92)
b. Bertanggung jawab renteng dan penuh secara pribadi atas kerugian
perseroan bila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam
menjalankan tugasnya (Pasal 97)
c. Mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan
(Pasal 98)
d. Wajib membuat daftar pemegang saham, risalah RUPS, dan risalah
rapat direksi (Pasal 100 ayat 1a)
e. Wajib membuat laporan tahunan (Pasal 100 ayat 1b)
f. Wajib memelihara seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan dan
dokumen perseroan lainnya ditempat kedudukan Perseroan (Pasal
1c dan Pasal 2)
g. Wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan
Perseroan atau menjadikan jaminan utang Perseroan (Pasal 102)
ORGANISASI KHUSUS DALAM PENERAPAN GCG
Meskipun ketentuan mangenai organ perseroan telah diatur dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 47 Tahun 2007 dan selanjutnya
dituang kembali di dalanm Anggaran Dasar Perseroan, namun dalam
praktiknya organ ini belum mampu menjamin terselenggaranya tata kelola
perusahaan yang sehat.
69
Indara Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) menyebutkan paling tidak
diperlukan empat organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu:
a. Komisaris Independen
b. Direktur Independen
c. Komite Audit
d. Sekretaris Perusahaan
Komisaris dan Direktur Independen
Istilah independen sering di artikan sebagai merdeka, bebas, tidak
memihak, tidak dalam tekanan pihak tertentu, netral, objektif, punya
integritas, dan tidak dalam posisi konflik kepentingan. Terdapat dua
pengertian independen terkait dengan konsep komisaris dan direktur
independen tersebut.
Pertama, komisaris dan direktur independen adalah seseorang yang
ditunjuk untuk mewakili pemegang saham independen (pemegang saham
minoritas). Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan, anggota
Direksi, dan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS, sedangkan
keputusan yang diambil dalam RUPS didasarkan perbandingan jumlah suara
para pemegang saham. Hak suara dalam RUPS tidak didasarkan atas satu
orang satu suara, tetapi didasarkan atas jumlah saham yang dimilikinya.
Sehingga keputusan penetapan dan pemberhentian anggota komisaris dan
direksi akan selalu berasal dari kepentingan pemegang saham mayoritas.
Kedua, komisaris dan direktur independen adalah pihak yang
ditunjuk tidak dalam kepastian mewakili pihak mana pun dan semata-mata
ditunjuk berdasarkan latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan keahlian
professional yang dimilikinya untuk menjalankan tugas demi kepentingan
perusahaan. Jadi, pengertiannya disini lebih luas dibandingkan pengertian
pertama. Komisaris dan direktur independen diangkat semata-mata karena
pertimbangan “profesionalisme” demi kepentingan perusahaan.
Selain kedua pengertian tersebut, sebenarnya masih ada pengertian
ketiga yang biasa dipakai dalam kode etik akuntan publik, yang dalam
konteks ini sering dikenal dengan istilah independent in fact dan independent
in appearance. Independent in fact menekankan sikap mental dalam
mengambil keputusan dan tindakan yang semata-mata didasarkan atas
pertimbangan profesionalisme dari dalam diri yang bersangkutan tanpa
70
campur tangan, pengaruh, atau tekanan dari pihak luar. Independent in
appearance dilihat dari sudut pandang pihak luar yang mengharapkan calon
yang bersangkutan secara fisik tidak mempunyai hubungan darah dengan
perusahaan dan/atau dengan para pemangku kepentingan lainnya yang dapat
menimbulkan keraguan dari pihak luar tentang kenetralan yang
bersangkutan. Pada pengetian kedua mengenai komisaris dan direktur
independen yang telah disebutkan, pengertian tersebut sama dengan
pengetian independent in fact yang semata-mata didasarkan atas
pertimbangan profesionalisme saja. Namun dalam pengertian ketiga,
pertimbangan profesionalisme saja tidak cukup, persyaratan independent in
appearance juga harus dipenuhi.
Komita Audit
Undang-Undang Perseroan terbatas Pasal 121 memunginkan
Dewan Komisaris untuk membentuk komite tertentu yang dianggap perlu
untuk membantu tugas pengawasan yang diperlukan. Salah satu komite
tambahan yang kini banyak muncul untuk membantu fungsi Dewan
Komisaris adalah Komite Audit. Munculnya komite audit ini barangkali
disebabkan kecenderungan makin meningkatnya berbagai skandal
penyelewengan dan kelalaian yang dilakukan para direktur dan komisaris
yang menandakan kurang memadainya fungsi pengawasan.
Tugas, tanggung jawab, dan wewenang komite audit adalah
membantu dewan komisaris, antara lain:
a. Mendorong terbentuknya struktur pengendalian intern yang memadai
(prinsip tanggung jawab).
b. Meningkatkan kualitas keterbukaan dan laporan keuangan (prinsip
transparansi)
c. Mengkaji ruang lingkup dan ketepatan audit eksternal, kewajaran
biaya audit ekstenal, serta kemandirian dan objektivitas audit
eksternal. (prinsip akuntabilitas)
d. Mempersiapkan surat uraian tugas dan tanggung jawab komite audit
selama tahun buku yang sedang diperiksa eksternal audit (prinsip
tanggung jawab).
71
Selanjutnya Forum for Corporate Governance in Indonesia dan
YPPMI Institute menyebutkan syarat-syarat untuk menjadi anggota Komite
Audit adalah:
a. Komite Audit bertanggung jawab kepada Dewan Direksi
b. Terdiri atas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Komisaris Independen
dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota berasal dari luar
Emiten atau perusahaan publik.
c. Memiliki integritas tinggi, kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman
yang memadai sesuai latar belakang pendidikannya, serta mampu
berkomunikasi dengan baik.
d. Salah satu dari anggota Komite Audit memiliki latar belakang
pendidikan keuangan dan akuntansi.
e. Memilki pengetahuan yang cukup untuk membaca dan memahami
laporan keuangan.
f. Bukan merupakan orang dalam Kantor Akuntan Publik yang
memberikan jasa Audit dan/atau non-audit pada Emiten atau
perusahaan publik yang bersangkutan dalam satu tahun terakhir
sebelum diangkat oleh Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan VIII.A.2. tentang Independensi Akuntan yang memberikan
jasa audit di pasar modal.
g. Bukan merupakan karyawan kunci Emiten atau perusahaan publik
dalan satu tahun terakhir sebelum diangkat komisaris.
h. Tidak mempunyai saham baik langsung mapun tidak langsung pada
emiten atau perusahaan publik. Dalam hal komite audit memperoleh
saham akibat suatu peristiwa hukum, maka dalam jangka waktu paling
lama enam bulan setelah diperolehnya saham tersebut wajib
mengalihkan kepada pihak lain.
i. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Emiten, Komisaris,
Direktur, atau Pemegang Saham Utama.
j. Tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung maupun tidak
langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten.
k. Tidak merangkap sebagai anggota Komite Audit pada Emiten atau
perusahaan publik lain pada periode yang sama
l. Sekretaris perusahaan harus bertindak sebagai Sekretaris Perusahaan
Audit.
72
Aturan mengenai Komite Audit ini, antara lain dapat dilihat pada:
1. SE Ketua Bapepam Nomor SE-03/PM/2000 tentang Komite Audit
untuk perusahaan publik.
2. Keputusan Direksi PT BEJ Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 tentang
pencatatan saham dan efek
3. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik
Negara Nomor Kep-133/M-BUMN/1999 tentang Pembentukan
Komite Audit bagi BUMN.
Sekretaris Perusahaan
Tugas, tanggung jawab, dan kedudukan pejabat sekretaris perusahaan
sebagai bagian dari pelaksanaan GCG berbeda sekali dengan tugas,
kedudukan, dan tanggung jawab seorang sekretaris eksekutif yang selama ini
sudah sangat dikenal. Sekretaris eksekutif biasanya direkrut sebagai staf
khusus untuk keperluan para eksekutif puncak suatu perusahaan, seperti:
direksi, komisaris atau ekesekutif puncak lainnya. Fungsi utama sekretaris
eksekutif lebih banyak untuk membantu pejabat eksekutif yang
bersangkutan, antara lain: menyangkut pengaturan jadwal kegiatan, jadwal
rapat, dokumentasi surat masuk dan surat keluar, penerimaan telepon,
pengurusan tiket dan dokumen perjalanan dan sebagainya.
Jabatan sekretaris perusahaan menempati posisi yang sangat tinggi
dan strategis karena orang dalam jabatan ini berfungsi sebagai pejabat
penghubung atau semacam publik relation antar perusahaan dengan pihak
luar perusahaan, khususnya bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah
mendaftarkan sahamnya dibursa. Tugas utama sekretaris perusahaan antara
lain menyimpan dokumen perusahaan, daftar pemegang saham, risalah rapat
direksi dan RUPS serta meyimpan dan meyediakan informasi penting lainya
bagi kepentingan seluruh pemangku kepentingan.
Aturan yang berkaitan dengan sekretaris perusahaan ini dapat dilihat
antara lain pada:
1. Keputusan Ketua Bapepam Nomor 63 tahun 1996 tentang
Pembentukan Sekretaris Perusahaan bagi Perusahaan Publik.
2. Keputusan Direksi BEJ Nomor 339 Tahun 2001 tentang Sekretaris
Perusahaan.
73
GCG DALAM BUMN
Pada awalnya tujuan dibentuknya BUMN adalah merupakan
penjabaran dan implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi
“Bumi dan air kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Berdasarkan peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk hukum
BUMN yaitu Persero, Perusahaan Umum (Perum), dan perusahaan jawatan
(Perjan). Tjager dkk (2003) selanjutnya mengungkapkan bahwa rendahnya
kinerja BUMN ini ada kaitannya dengan belum efektifnya penerapan tata
kelola perusahaan yang baik di BUMN tersebut. Contohnya pemberian
remunerasi yang berlebihan kepada direksi.
Tujuan GCG diatur dalam pasal 4 adalah :
Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip
keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil
agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional
maupun internasional.
Mendorong pengelolaan BUMN secara professional, transparan, dan
efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian
organ.
Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan
tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan
adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap para pemangku
kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.
Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
Menyukseskan program privatisasi.
GCG DALAM PENGAWASAN PASAR MODAL DI INDONESIA
Secara formal, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar
dimana berbagai instrumen keuangan jangka panjang bisa diperjualbelikan,
baik dalam bentuk hutang maupun modal sendiri, baik yang terbitkan oleh
pemerintah maupun perusahaan swasta. Keberadaan pasar modal ditentukan
oleh lembaga-lembaga penunjang pasar modal, antara lain:
Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
74
Bursa Efek;
Lembaga Kliring;
Investor;
Akuntan publik;
Notaris;
Konsultan hukum.
75
BAB VII
RED FLAG
PENGERTIAN RED FLAG
Istilah red flags atau bendera merah sudah sering digunakan dalam
berbagai literatur audit, maknanya adalah tanda bahaya, tanda bahwa ada hal
yang tidak sesuai pada tempatnya dan perlu mendapat perhatian. Tuanakotta
(2013) menyebutkan bahwa auditor dan investigator menggunakan tanda
bahaya (red flags) sebagai petunjuk atau indikasi terjadinya fraud atau
kecurangan pada sebuah laporan keuangan. Red flags juga bisa dikatakan
sebagai suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan keadaan normal.
Dengan kata lain, red flags adalah petunjuk atau indikasi adanya sesuatu
yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut. Red flags tidak
mutlak menunjukkan apakah seseorang bersalah atau tidak tetapi merupakan
tanda-tanda peringatan bahwa kecurangan sedang atau telah terjadi. Red
flags dikatakan penting sebagaimana dikutip dalam SAS 99 – Consideration
of Fraud in a Financial Statement Audit yang menyatakan bahwa auditor
diminta untuk secara spesifik menilai risiko salah saji yang disebabkan oleh
kecurangan dan SAS 99 ini juga menyediakan pedoman operasi bagi auditor
saat menilai kecurangan ditengah proses audit.
Tidak hanya akuntan publik yang harus bisa mengenali red flags,
akuntan yang bekerja di sektor publik juga perlu memiliki kemampuan untuk
mengenali red flags karena potensi kecurangan tidak hanya ada pada
perusahaan swasta. DiNapoli (2012) dalam Red Flags for Fraud
menyebutkan bahwa banyak studi yang membahas kecurangan, dimana saat
kecurangan tersebut sedang terjadi, red flags pun muncul, baik itu di laporan
keuangan perusahaan, atau terlihat pada saat auditor sedang melakukan
76
pemeriksaan, tapi tidak disadari atau mungkin disadari namun tidak ada
tindakan yang diambil. DiNapoli menyatakan bahwa pada saat red flag telah
muncul, seseorang harus mengambil tindakan untuk mengivestigasi situasi
dan menentukan apakah memang kecurangan telah terjadi. Memang sudah
seharusnya jika ada indikasi kecurangan dilakukan tindakan untuk
memeriksa apakah kecurangan terindikasi tersebut terjadi, namun terkadang
kesalahan salah saji dalam laporan, perubahan lifestyle karyawan, volume
penjualan yang tiba – tiba naik drastis, dan sebagainya tidak selalu
mengindikasikan adanya kecurangan. Untuk itu, akuntan publik dan auditor
harus bisa mengetahui perbedaannya dan mengingat bahwa tanggung jawab
untuk melakukan follow-up investigation untuk sebuah tanda bahaya harus
berada di tangan orang yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab. Agar
akuntan publik dan auditor dapat mengenali red flags dengan baik maka
mereka perlu mengetahui kategori red flags.
Red flag adalah signal yang harus dideteksi oleh auditor dalam
mengaudit laporan keuangan. Dalam mendeteksi red flag auditor harus
memiliki keahlian dalam mendeteksi dan menaksir risiko yang ada.
Penggunaan red flag pada pendeteksian kecurangan ketika sesuatu hal
dicurigai dan ditetapkan sebagai salah satu tanda maka tanda ini dapat
membantu auditor untuk lebih memfokuskan kinerja mereka dalam
melakukan penaksiran risiko kecurangan. Auditor independen adalah orang
yang memiliki independensi dan tidak terikat pada suatu perusahaan secara
tetap, independen terhadap manajemen dan dewan direksi baik dalam
kenyataan maupun secara mental, dan menelaah catatan yang mendukung
laporan keuangan secara periodik. Kecurangan pelaporan keuangan dibagi
dalam dua macam yaitu penyelewengan aset dan kecurangan dalam laporan
keuangan, dimana penyelewengan aset ini digolongkan dalam beberapa
macam yaitu kejahatan korupsi dimana terdapat empat macam yaitu konflik
77
kepentingan, signal kecurangan yang termasuk dalam konflik kepentingan
adalah jumlah transaksi yang besar dengan pemasok tertentu, ada hubungan
dengan pihak ketiga yang tidak diketahui. Kemudian pada kejahatan
penyelewengan aset, merupakan kejahatan yang paling sering terjadi,
diantaranya pencurian kas, pemalsuan nota, dan penggajian. Pentingnya red
flag bagi auditor independen dalam mendeteksi kecurangan pada pelaporan
keuangan adalah signal tersebut membantu auditor lebih memfokuskan
kinerja dalam melakukan penaksiran risiko kecurangan, kemudian
penggunaan standar pemeriksaan ketika melakukan penaksiran, mereka
tidak menetapkan pedoman mereka pada tanda-tanda fakta yang khusus.
Dengan melihat dimana terdapat faktor yang lebih penting dan harus
dipertimbangkan, maka para auditor dapat menaksir risiko audit yang terjadi
di dalam penugasan audit mereka dengan lebih konsisten dan efektif.
Dalam hal kecurangan (fraudulent) terdapat indikator kecurangan (Red
Flags) yang harus ditemukan auditor independen sebelum memutuskan
apakah perusahaan melakukan kecurangan penyajian atau tidak, seperti yang
terdapat dalam SPAP (2011) SA Seksi 110 mengenai gambar dan
karakteristik dari kecurangan. Terdapat tiga tindakan yang menyangkut
dalam laporan keuangan, yaitu manipulasi, kesalahan dalam
mempresentasikan hilangnya suatu laporan transaksi, peristiwa, atau
informasi yang signifikan, dan kesalahan penerapan prinsip akuntansi yang
disengaja. Tanda-tanda kecurangan yang mungkin ditemukan oleh auditor
indepeden ketika melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan perusahaan
klien tidak saja untuk memenuhi tanggung jawab auditor dalam menjalankan
fungsi audit tetapi juga memungkinkan auditor independen untuk lebih teliti
dalam melakukan pemeriksaan, sehingga kemungkinan terjadinya
kecurangan (irregulation) ataupun kesalahan penyajian (error) dapat
78
ditemukan, dan ini untuk memenuhi fungsi dari penggunaan laporan
keuangan dalam mengambil keputusan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Red flags berkaitan dengan sinyal kecurangan yang
dilakukan perusahaan klien dan oleh sebab itu auditor mempunyai tanggung
jawab untuk mendeteksi adanya kecurangan dalam perusahaan klien dengan
cara auditor harus menilai secara spesifik risiko dari salah saji material untuk
memperoleh suatu reasonable assurance.
INDIKASI-INDIKASI (RED FLAGS) DAN PENYEBAB
TERJADINYA KECURANGAN PADA LAPORAN KEUANGAN
Kecurangan dalam laporan keuangan dapat ditemukan dengan mengamati
atau menyorot faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan karakteristik dan
pengaruh manajemen terhadap lingkungan pengendalian. Dalam SPAP
(2011) dikatakan bahwa faktor risiko yang berkaitan dengan salah saji yang
timbul pada laporan keuangan ini dikelompokkan ke dalam tiga golongan,
yaitu: (1) Karakteristik dan pengaruh manajemen atas lingkungan
pengendalian yang melibatkan faktor kemampuan, tekanan, gaya, dan sikap
manajemen atas pengendalian interen dan proses pelaporan keuangan, (2)
Kondisi industri. Pada faktor risiko ini mencakup lingkungan ekonomi dan
peraturan dalam industri yang menjadi tempat beroperasinya entitas, dan (3)
Karakteristik operasi dan stabilitas keuangan. Faktor yang berpengaruh pada
karakteristik ini berkaitan dengan sifat dan kekomplekan entitas dan
transaksi, keadaan keuangan entitas, dan kemampuan entitas dalam
menghasilkan laba. Untuk melakukan pedeteksian dalam menemukan
kecurangan pada laporan keuangan perusahaan terdapat beberapa metode
yaitu panganalisisan laporan keuangan secara horizontal dan vertikal,
melakukan analisis rasio, khususnya trend pada beberapa tahun sebelumnya,
melakukan pemeriksaan lima rasio Beneisch, pengujian GAAP pada rating
79
pajak dengan rating pajak kas, melakukan benchmark 20 sampai 25 dan S&P
dalam rata-rata mencapai 36, dan melakukan penerapan auditor keuangan
uang mengacu pada SAS no.99.
Pentingnya Red Flag bagi Auditor Independen dalam Medeteksi
Kecurangan pada Laporan Keuangan Dikatakan Vicky, Hoffman, Morgan,
dan Patton (1996, bahwa penggunaan red flag pada pendeteksian kecurangan
ketika sesuatu hal dicurigai dan ditetapkan sebagai salah satu tanda (red flag)
maka tanda ini dapat membantu auditor untuk lebih memfokuskan kinerja
mereka dalam melakukan penaksiran risiko kecurangan. Juga dikatakan dan
diusulkan oleh Hegazy (2010) bahwa penggunaan standar pemeriksaan
sangatlah diperlukan oleh seorang auditor ketika melakukan penaksiran
(assessment), mereka tidak menetapkan pedoman mereka pada tanda-tanda
fakta yang khusus. Dengan melihat dimana terdapat faktor yang lebih
penting dan harus dipertimbangkan, maka auditor dapat menaksir risiko
audit yang terjadi di dalam penugasan audit mereka dengan lebih konsisten
dan efektif. Berdasarkan penelitian Vicky, Hoffman, Morgan, dan Patton
(1996), ditemukan penyebab tanda-tanda (red flag) kecurangan yang
ditemukan adalah seperti manajer yang berbohong kepada auditor mengenai
pelaporan keuangan perusahaan, pengalaman tingkat ketidakjujuran manajer
kepada auditor, perselisihan yang sering terjadi antara auditor dengan
manajer, dan juga dari keinginan klien untuk mendapat persetujuan opinion
shopping dan keinginan manajer untuk mencapai target ataupun memperoleh
keuntungan dari proyek yang ada.
Masukan dari ahli forensik dan akademisi secara konsisten menunjukkan
bahwa evaluasi terhadap informasi tentang kecurangan akan meningkat
ketika mempertimbangkan konteks seperti yang dimaksudkan oleh teori
Cressey (1953). Studi tentang penilaian risiko kecurangan pelaporan
80
keuangan terutama telah berfokus pada memeriksa beberapa faktor risiko
potensial dari kecurangan atau red flags yang terjadi. Meskipun kajian
literatur red flags memberi beberapa wawasan ke dalam kemungkinan
kecurangan, daftar indikator yang terkait melibatkan banyak penilaian
subjektif dan informasi non publik yang tersedia hanya untuk auditor atau
orang dalam perusahaan (Persons, 1995). Salah satu alasan bahwa entitas
dari semua jenis mengambil langkah-langkah lebih dan berbeda untuk
melawan tindakan kecurangan adalah bahwa pendekatan red flags dianggap
tidak efektif, karena pendekatan ini terkenal melibatkan penggunaan suatu
daftar indikator tindakan kecurangan. Red flags tidak meramalkan adanya
tindakan kecurangan, tetapi merupakan kondisi yang terkait dengan tindakan
kecurangan. Red flags memberi tanda yang dimaksudkan untuk
memberitahukan auditor terhadap kemungkinan terjadinya aktivitas
tindakan kecurangan.
KETERBATASAN RED FLAG
Banyak orang berpendapat meragukan pendekatan red flags karena dua
keterbatasan (Krambia-Kardis, 2002) yaitu :
a. Red flags berhubungan dengan tindakan kecurangan, tetapi tidak dapat
mengungkapkan secara pasti (tidak menunjukkan hubungan asli)
b. Karena memfokuskan perhatian pada tanda tertentu mungkin red flags
menghambat auditor internal dan auditor eksternal dari identifikasi
alasan-alasan lain bahwa tindakan kecurangan bisa terjadi (Krambia-
Kardis, 2002). Investor dan pembuat kebijakan tidak dapat mengakses
daftar red flags untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang
terlibat dalam kecurangan pelaporan keuangan.
Owusu-Ansah et al., (2002) mengkritik berbagai kuesioner mengenai red
flags telah terlalu umum, subyektif dan sulit untuk diterapkan dalam
81
praktik Eining et al., (1997) menemukan bahwa auditor menggunakan
daftar faktor risiko yang tidaklah lebih baik dibandingkan dengan tanpa
dibantu auditor. Lebih lanjut mereka menunjukkan bahwa auditor
menggunakan model logistik sebagai alat bantu (decision aids) untuk
mencapai penilaian yang lebih akurat dibandingkan penggunaan daftar
periksa (checklist) maupun tanpa bantuan auditor. Analisis mengenai red
flags tidak akan terlepas dari pemahaman tentang fraud.
82
BAB VIII
PENDETEKSIAN KECURANGAN
Kecurangan dalam laporan keuangan jarang dapat terdeteksi jika hanya
menganalisis laporan keuangannya saja. Namun memang kecurangan atas
laporan keuangan biasanya terdeteksi ketika informasi yang terdapat dalam
laporan keuangan dibandingkan dengan kondisi riil perusahaan. Penelitian
menganjurkan agar auditor, investor, regulator atau pemeriksa kecurangan
dapat memanfaatkan penggunaan ukuran kinerja non keuangan untuk
menilai kemungkinan adanya kecurangan.
Mencegah maupun mendeteksi merupakan cakupan fraud audit.
Mencegah fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat proaktif,
sedangkan mendeteksi fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat
investigatif.
Orang awam mengharapkan suatu audit umum dapat mendeteksi
segala macam fraud. Di sisi lain, akuntan publik berupaya memasang pagar-
pagar yang membatasi tanggung jawabnya, khususnya mengenai penemuan
atau pengungkapan fraud.
Gagasan bahwa audit umum tidak dirancang untuk mengungkapkan
kecurangan, sampai saat ini (pasca-Sarbanes Oxley) tercermin dari praktik
audit yang peduli dengan kecurangan yang menyebabkan laporan keuangan
tidak disajikan secara wajar. Mereka sangat khawatir dengan restatement
(penyajian kembali laporan keuangan), apabila restatement ini dilakukan
oleh saingannya di tahun berikutnya.
Yang tidak (atau barangkali, kurang) dipedulikan auditor independen
adalah kategori fraud berupa pencurian atau kehilangan aset. Contoh: kalau
sistem persediaan barang dagangan dilakukan dengan metode persediaan
83
fisik (dan bukan sistem perpetual), maka selama persediaan awal dan akhir
sudah benar (karena ada penghitungan fisik), maka angka persediaan dan
harga pokok penjualan dianggap benar meskipun dalam harga pokok
penjualan terdapat unsur persediaan yang dicuri. Hal yang penting, laporan
keuangannya sudah wajar disajikan.
PELAJARAN DARI REPORT TO THE NATION
Laporan ACFE yang secara singkat dikenal sebagai Report to the
nation. Laporan ini memberikan banyak petunjuk untuk mencegah maupun
mendeteksi fraud. Beberapa pelajaran dari laporan tersebut, mengenai
deteksi fraud:
1. Rata-rata (median) berlangsungnya fraud sebelum dideteksi adalah lebih
dari satu tahun yakni antara 17 sampai 30 bulan
2. Bagaimana fraud terungkap? Hampir separuhnya (46,2% untuk tahun
2008) diketahui karena ada yang “membocorkan” (tip). Sedangkan 25,4%
(tahun 2006) dan 20% (tahun 2008) dari seuruh fraud terungkap secara
kebetulan (by accident), jadi bukan oleh fraud examiner, internal auditor
maupun external auditor.
3. Bahkan kalau fraud dilakukanoleh majikan atau pemilik, lebih dari
separuhnya (51,7%) terungkap karena tip. Bocoran (tip) terutama (57,7%)
datang dari karyawan.
Menurut Zimbelman, et al (2014: 406), ada tiga cara utama untuk mendeteksi
kecurangan:
1). Secara tidak sengaja
2). Dengan menyediakan sejumlah cara bagi orang yang ingin
melaporkan dugaan adanya kecurangan
84
3). Dengan memeriksa catatan dan dokumen transaksi untuk
menentukan apakah ada anomali yang mungkin merepresentasikan
suatu kecurangan
Mendeteksi kecurangan meliputi aktivitas-aktivitas untuk menentukan
apakah ada atau tidak kemungkinan terjadinya kecurangan. Pendeteksian
kecurangan membolehkan perusahaan untuk mengidentifikasi keanehan
yang terjadi yang dapat berpotensi menjadi kecurangan.
TEKNIK PEMERIKSAAN FRAUD
Ada bermacam-macam teknik audit infestigatif untuk mengungkap
fraud. Teknik-teknik yang akan dibahas meliputi:
1. Penggunaan teknik-teknit audit yang dilakukan oleh internal dan
external auditor dalam mengaudit laporan keuangan namun secara lebih
dalam dan luas.
2. Pemaanfaatan teknik audit investigatif dalam kejahatan terorganisir dan
penyelundupan pajak penghasilan, yang juga dapat diterapkan terhadap
data kekayaan pejabat negara.
3. Penelusuran jejak-jejak arus uang.
4. Penerapan teknik analisis dalam bidang hukum.
5. Penggunaan teknik audit infestigatif untuk mengungkap fraud dalam
pengadaan barang.
6. Penggunaan Computer forensics.
7. Penggunaan teknil interogasi.
8. Penggunaan operasi penyamaran.
9. Pemanfaatan wishtleblower.
85
Dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat dua tindakan pendeteksian fraud
yaitu:
1). Menerapkan sistem whistleblower dan memberikan penghargaan atas
karyawan yang berani melaporkan kejadian-kejadian aneh yang
berpotensi kecurangan.
2). Pemeriksaan basis data atau dokumen-dokumen secara periodik.
Penggunaan data keuangan dan non keuangan untuk mendeteksi kecurangan
merupakan salah satu dari empat pertimbangan utama dalam kerangka kerja
untuk mendeteksi kecurangan. Kami menyebut kerangka kerja ini sebagai
“kotak eksposur kecurangan (fraud exposure rectangle)”. Peluang pihak
manajemen dalam menyembunyikan kecurangan pendapatan yang
dilakukannya menjadi lebih sulit, karena mereka perlu memperluas jaringan
(kelompok individu) yang dapat melaporkan data secara fiktif. Untuk alasan
ini dan alasan lainnya, ukuran kinerja nonkeuangan memiliki potensi yang
signifikan sebagai indikator adanya kecurangan.
Gambar 8.1 Kotak Eksposure Kecurangan (Fraud Exposure Rectangle)
Manajemen dan Direksi Hubungan dengan Pihak-pihak
Lain
Organisasi dan Industri Hasil Kinerja Keuangan dan
Karakteristik Operasional
Kotak Pertama. Manajemen dan Direksi
Karena biasanya manajemen dan direksi terlibat dalam kecurangan dalam
perusahaan, maka ada tiga aspek manajemen yang harus diinvestigasi, yaitu:
1). Latar belakang manajemen
Terkait dengan latar belakang manajemen, investigator kecurangan
harus memahami jenis organisasi dan aktivitas pihak manajemen dan
direksi yang terkait di periode sebelumnya. Dengan adanya internet
86
saat ini, akan sangat mudah untuk melakukan pencarian sederhana
terkait seseorang.
2). Motivasi manajemen
Banyak kecurangan laporan keuangan yang dilakukan karena
manajemen harus melaporkan pendapatan yang positif atau tinggi
untuk menyokong harga saham, menunjukkan laba positif untuk
saham publik dan penawaran surat utang atau melaporkan
keuntungan sebagai upaya memenuhi regulasi atau persyaratan
pinjaman.
3). Pengaruh manajemen dalam pembuatan keputusan untuk organisasi
Ketika kemampuan pegambilan keputusan tersebar ke beberapa
orang atau ketika dewan direksi berperan aktif dalam organisasi,
kecurangan akan menjadi jauh lebih sulit lagi untuk dilakukan.
Sebagian besar kecurangan laporan keuangan tidak terjadi pada
organisasi besar dan secara historis merupakan organisasi yang
menguntungkan. Namun, kecurangan lebih banyak terjadi pada
perusahaan yang lebih kecil dengan satu atau dua orang yang
memiliki hampir seluruh kemampuannya untuk pengambilan
keputusan, dalam perusahaan yang mengalami pertumbuhan yang
luar biasa cepat atau ketika dewan direksi dan komite audit tidak
berperan secara aktif.
Kotak Kedua. Hubungan dengan Pihak-pihak Lain
Walaupun hubungan dengan semua pihak harus diuji untuk menentukan
apakah hubungan tersebut memberikan peluang atau eksposure kecurangan
bagi manajemen, hubungan yang terkait dengan organisasi dan individu,
auditor eksternal, pengacara, investor, dan regulator harus selalu
dipertimbangkan dengan hati-hati. Hubungan dengan institusi keuangan dan
87
pemegang obligasi juga penting karena hubungan tersebut memberikan
indikasi sejauh mana pengaruhnya bagi keberlangsungan perusahaan.
Kotak Ketiga. Organisasi dan Industri
Sifat yang melekat pada organisasi tersebut yang menunjukkan adanya
potensi eksposure kecurangan termasuk diantaranya struktur organisasi yang
terlalu kompleks, organisasi yang tidak memiliki departemen audit internal,
dewan direksi tanpa adanya individu dari individu dari pihak luar atau hanya
memiliki beberapa individu dari pihak luar yang menduduki posisi pada
susunan anggota dewan atau di dalam komite audit, organisasi yang
memiliki satu orang atau sekelompok kecil individu yang mengendalikan
entitas terkait, organisasi yang memiliki afiliasi di luar negeri tanpa tujuan
bisnis yang jelas, organisasi yang telah melakukan sejumlah akuisisi dan
telah mengakui adanya biaya-biaya dalam jumlah besar yang terkait merger,
atau organisasi yang baru berdiri.
Kotak Keempat. Hasil Kinerja Keuangan dan Karakteristik
Operasional
Indikator kecurangan paling sering terlihat sendiri melalui perubahan dalam
laporan keuangan. Sebagai contoh, laporan keuangan yang memuat
perubahan besar pada saldo-saldo akun dari satu periode ke periode lainnya
memiliki kemungkinan kecurangan yang lebih besar daripada laporan
keuangan yang hanya memiliki sedikit perubahan yang bersifat bertahap
dalam saldo akun.
88
BAB IX
WHISTLEBLOWING
PENGERTIAN WHISTLEBLOWING
Meningkatnya kejahatan kerah putih di berbagai belahan dunia telah
mendorong berbagai negara dan asosiasi usaha untuk melakukan berbagai
upaya pencegahan dan semakin meningkatkan tuntutan penerapan good
governance baik di sektor swasta maupun publik. Salah satu cara yang
paling efektif untuk mencegah dan memerangi praktik yang bertentangan
dengan good corporate governance adalah melalui mekanisme pelaporan
pelanggaran (whistleblowing system). Saat ini, di Indonesia semakin banyak
orang yang berani menjadi seorang whistleblower atau peniup peluit. Salah
seorang whistle blower yang kasusnya masih hangat ditelinga kita adalah
Agus Condro, seorang whistle blower pengungkapan kasus suap terkait
aliran dana pemilihan mantan Deputi Gubernur Senior Miranda S Goeltom.
Whistle blowing adalah tindakan seorang pekerja yang
memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal atau
eksternal tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan
kerja.
JENIS-JENIS WHISTLEBLOWING
Ada 2 macam Whistle Blowing :
1). Whistle Blowing Internal.
Whistle Blowing Internal terjadi ketika seorang atau beberapa orang
karyawan tahu mengenai kecurangan yang dilakukan oleh karyawan
lain atau kepada bagiannya kemudian melaporkan kecurangan itu
kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi.
89
2). Whistle Blowing Eksternal
Whistle Blowing Eksternal menyangkut kasus dimana seorang
pekerja mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannya,
lalu ia membocorkannya kepada masyarakat karena dia tahu
kecurangan itu akan merugikan masyarakat.
CORPORATE ETHICAL VIRTUES MODEL (CEV).
Whistleblowing merupakan pengungkapan praktik illegal, tidak
bermoral atau melanggar hukum yang dilakukan oleh anggota organisasi
(baik mantan pegawai atau yang masih bekerja) yang terjadi di dalam
organisasi tempat mereka bekerja. Pengungkapan dilakukan kepada
seseorang atau organisasi lain sehingga memungkinkan dilakukan suatu
tindakan. Whistleblowing adalah suatu metode paling umum dalam
mendeteksi kecurangan. Saat ini whistleblowing system sudah banyak
diterapkan di berbagai organisasi dan negara di dunia. Hal ini karena
perusahaan yang gagal menciptakan situasi yang memungkinkan pelaporan
pelanggaran secara internal, akan terlibat bencana. Untuk itu organisasi
harus menciptakan suasana yang mendorong pegawai untuk melaporkan
tindakan yang salah, sehingga bisa membuat tindakan yang salah tersebut
dihentikan dan dikoreksi secepatnya. Melaporkan tindakan yang tidak benar
adalah isu sosial yang penting dan memiliki manfaat yang banyak bagi
berbagai stakeholder. Penghargaan terhadap pelapor (whistleblower) dan
prosedur yang efektif untuk menangani laporan whistleblower oleh
organisasi, dapat memberikan manfaat yang besar bagi organisasi dan para
pegawainya. Whistleblowing system memungkinkan penyalahgunaan
wewenang dapat dengan cepat diidentifikasi dan dikoreksi sehingga bisa
meningkatkan efisiensi, meningkatkan moral pegawai, menghindari tuntutan
hukum, dan menghindari citra negatif. Namun whistleblowing system tidak
90
akan berhasil jika hanya dibuat aturan dan tidak dipraktikkan. Untuk
menjalankan sistem ini diperlukan peran aktif pegawai. Hal ini disebabkan
orang biasa tidak bisa menjadi whistleblower, hanya orang di dalam
organisasi yang mampu melakukannya. Anggota organisasi merupakan
sumber daya yang berharga untuk meminimalisasi kecurangan. Pegawai
memiliki peranan penting dalam whistleblowing system, karena pegawai
adalah sumber untuk mendeteksi hal-hal yang salah. Jika pegawai tidak
peduli dengan program ini maka pelaksanaannya pun akan gagal. Dengan
demikian harus ada orang di dalam organisasi yang mau melaporkan jika
menemukan penyalahgunaan wewenang atau kecurangan di organisasi.
Riset menunjukkan bahwa motivasi orang untuk menjadi seorang
whistleblower bermacam-macam. Keputusan seseorang untuk menjadi
whistleblower mungkin dipengaruhi variabel individu atau konteks
organisasi. Variabel individu misalnya biaya dan manfaat (cost and benefit),
usia, status perkawinan, pendidikan. Konteks organsisasi seperti misalnya
faktor budaya etis (ethical culture), iklim etis (ethical climate), ukuran
organisasi, struktur organisasi dan saluran komunikasi. Ethical culture dapat
diketahui dengan empirical tested study menggunakan Corporate Ethical
Virtues Model (CEV). Corporate Ethical Virtues Model (CEV) disusun
berdasarkan virtue basic theory yang dikembangkan oleh Solomon. Model
ini meliputi tujuh variabel yaitu
1). Clarity
Kejelasan (clarity) adalah bagaimana organisasi membuat aturan etika,
seperti nilai, norma atau prinsip menjadi sesuatu yang nyata dan
dipahami oleh karyawan. Derajat kejelasan menunjukkan tingkat
pemahaman para pegawai pada perilaku yang diharapkan oleh
organisasi terhadap mereka.
91
2). Congruency senior management and local management
Kesesuaian (congruency) senior management and local management,
adalah peran atasan sebagai role model atau menjadi contoh penerapan
standar etika di organisasi atau sejauh mana atasan menerapkan standar
etika dalam perilaku mereka sehari-hari. Perilaku atasan diharapkan
bisa menguatkan standar etika yang berlaku dan meningkatkan
kepercayaan karyawan terhadap atasan. Organisasi bisa saja membuat
kode etik yang jelas untuk mengarahkan perilaku anggotanya, tetapi
jika atasan sebagai sumber perilaku normatif yang penting dalam
organisasi.
3). Feasibility
Kemungkinan dilaksanakan (feasibility) adalah ketersediaan waktu,
anggaran, peralatan, informasi, dan wewenang di dalam organisasi
yang memungkinkan karyawan melaksanakan tugas-tugas mereka.
Feasibility juga terkait dengan faktor sumber daya perusahaan yang
membuat whistleblower system ini berjalan. Sebagai contoh, karyawan
yang terlalu sibuk dengan pekerjaan cenderung tidak peduli dengan
lingkungan sehingga memperkecil kemungkinan menjadi
whistleblower.
4). Supportability
Dukungan (supportability) adalah sejauh mana organisasi
menciptakan suasana yang mendukung tindakan etis. Dukungan bisa
berupa suasana yang kondusif di dalam organisasi sehingga karyawan
merasa nyaman untuk bertindak etis. Organisasi bisa memperkuat
aspek dukungan ini antara lain dengan mengadakan internalisasi kode
etik kepada para karyawan di dalam organisasi, sehingga membuat
karyawan makin berkomitmen dengan kode etik organisasi.
92
5). Transparency
Sedangkan transparency adalah tingkatan dimana tindakan bagi
pelaku pelanggaran etika atau konsekuensinya dapat dilihat secara
nyata oleh internal perusahaan. Karyawan akan melaporkan
kecurangan atau penyalahgunaan wewenang dalam perusahaan,
apabila mereka merasa akan ada hasilnya.
6). Discussability
Dapat didiskusikan (discussability) adalah peran organisasi dalam
memfasilitasi suatu diskusi internal bagi karyawan untuk membahas
hal-hal yang bertentangan dengan kode etik. Organisasi yang memiliki
tingkat discussability tinggi dapat mendiskusikan adanya harapan
normatif yang tidak jelas, dilema moral, dan perilaku yang tidak sesuai
etika.
7). Sanctionability.
Berdampak (sanctionability) adalah tingkat keyakinan karyawan
bahwa perilaku yang bertentangan dengan kode etik akan dihukum,
sedangkan yang sesuai dengan kode etik perusahaan akan
mendapatkan imbalan.
93
DAFTAR PUSTAKA
Albrecht, W., 2002, Employee Fraud, The Internal Auditor, p: 26-37,
(http://www.auditnavigator.nl/files/090113_centraal_coll_ADVA_C
AR_edited_version.pdf).
Arafat, Wilson, Mohamad Fajri MP, Smart Strategy for 360 degree GCG
(Good Corporate Governance) (October 2009). Skyrocketing
Publisher. ISBN 978-979-18098-1-8
Arafat, Wilson, How To Implement GCG Effectively (July 2008).
Skyrocketing Publisher. Arens, A.A., R.J. Elder, dan M.S. Beasley,
2008, Auditing dan Jasa Assurance, Edisi 12, Jakarta: Penerbit
Erlangga. Edward, 2002, A Case Study of Employee Fraud, The CPA
Journal, (http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/
viewcontent.cgi?article=1000&context=acct_fac&sei-
redir=1&referer).
Baesens, B., Vlasselaer, V. V., & Verbeke, W. 2015. Fraud Analytics Using
Descriptive, Predictive, and Social Network Techniques: A Guide to
Data Science for Fraud Detection. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken,
NJ, USA.
Becht, Marco, Patrick Bolton, Ailsa Röell, Corporate Governance and
Control (October 2002; updated August 2004). ECGI - Finance
Working Paper No. 02/2002.
Cressey, D. 1953. “The Internal Auditor as Fraud Buster”. Managerial
Auditing Journal. MCB University Press.
Ferdian, Riki dan Ainun Na’im, 2006. “Pengaruh Problem-Based Learning
(PBL) Pada Pengetahuan Tentang Kekeliruan dan Kecurangan (Errors
and Irregularities)”, Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Fuerman, R.D., 2009, Bernard Madoff and The Solo Auditor Red Flag,
SSRN,
(http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1434097).
Gregoriou, G.N., Lhabitant, dan Francois-Serge, 2008, Madoff: A Riot of
Red Flags, SSRN,
(http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1335639).
Hegazy, A.M., Kassem, Hosni, dan Rasha, 2010, Fraudulent financial
reporting: Do red flags really
help,SSRN,(http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1684
964,).
Hogart, R.M, dan H.J. Einhorn, 1992, Order Effects in Beliefs Updating: The
Beliefs-Adjustment Model, Cognitive Psychology, Vol.24, p: 1-55.
Jusuf, A.L., 2003, Auditing, Buku 1, Edisi 1, Yogyakarta: YKPN.
94
Karyono. 2013. “Forensic Fraud”. Andi. Yogyakarta.
Kusumawardhani, Prisca. 2013. Deteksi Financial Statement Fraud dengan
Analisis Fraud Triangle pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar Di
BEI. Jurnal Universitas Negeri Surabaya, Vol. 1, No. 3.
Miko Kamal, Undang Undang PT dan Harapan Implementasi
GCG,www.alf.com,2008
Sihombing, Analisis fraud diamond Dalam Mendeteksi financial Statemen
Fraud: Study Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) Journal of Accounting, Vol 03, No 02,
Semarang: Universitas Diponegoro, 2014, h. 37
Singleton, T., 2006, Fraud Auditing and Forensic Accounting, United Stated:
John Wiley & Sons
Skousen, C. J., K. R. Smith, dan C. J. Wright. 2009. “Detecting and
Predecting Financial Statement Fraud: The Effectiveness of the Fraud
Triangle and SAS No. 99”. Corporate Governence and Firm
Performance Advances in Financial Economis, Vol 13, h. 53-81.
Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif.
Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Wolfe, David T. dan Hermanson, Dana R. 2004. ”The Fraud Diamond:
Considering the Four Elements of Fraud”.The CPA Journal December,
pp.1-5.
Zimbelman, M. F., Albrecht, C. C., Albrecht, W. S., & Albrecht, C. O.
2014. Akuntansi Forensik (Edisi 4). Terj. N. Puspasari, Suhernita & R.
Saraswati, Jakarta Selatan: Salemba Empat.