Neurona Vol 27 No 2 Januari 2010

121
Editorial Pembaca Neurona yang budiman, penerbitan Neurona edisi Januari 2010 ini berisi sepuluh artikel yang terdiri dari sembilan artikel penelitian, dan satu artikel tinjauan pustaka Kesepuluh artikel ini sangat menarik untuk dibaca, oleh karena, berisi beberapa masalah masalah neurologi terkini dan ada pembahasan tentang aplikasi klinis dengan alat diagnostik maupun skala pantauan klinis yang saat ini mengalami kemajuan cukup pesat sehingga dapat menambah wawasan para pembaca dimanapun berada. Tujuh artikel penelitian dan satu artikel tinjauan pustaka dikirimkan oleh sejawat sejawat dari Jakarta. Artikel penelitian tersebut masing masing berjudul :” Hubungan Model Prognostik Pasien Cedera Otak Traumatik Tertutup Sedang dan Berat dengan GOS 3 bulan” dikirimkan oleh Aida Fithrie, Mursyid B,Yetty R; Joedo P;“Prevalensi Nyeri Punggung Bawah Sederhana dan Faktor Yang Berpengaruh Pada Pekerja Angkat Angkut Manual (Penilaian Faktor Risiko Berdasarkan The Revised National Institute for Occupational Safety and Health 1994)” oleh Sherly Halim; “Laju Endap Darah Sebagai Prediktor Awal Keluaran Pasien Stroke Iskemik Akut” oleh Kemal Imran: “Gambaran Fungsi Kognitif Menggunakan ERP Auditorik Pada Penyandang DM tipe 2” oleh Aryatama, Bob SW, Suharko S, Silvia FL, Joedo P; “ Gambaran Perubahan Klinis dan Radiologis Pasien AIDS Dengan Ensefalitis Toksoplasma Pasaca Terapi Empiris” oleh Januar, Darma I, Melita, Joedo P; “Gangguan Kognitif Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhinya” oleh Hendro B, Diatri NL, Lukman HM, Joedo P;“Perubahan Fungsional Penyakit Parkinson Dengan Menggunakan Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (UPDRS)” oleh Herlina S, Salim H, Manfaluthy H, Yusuf M, Herqutanto. Satu artikel penelitian dikirim dari Aceh dengan judul “ Penggunaan Skala Stroke Syiah Kuala Pada Penderita Stroke Sebagai Metode Diagnosis Cepat dan Akurat” oleh Syahrul, Deasy RE, Endang M, Suherman. Dan masih ada satu artikel penelitian lainnya yang dikirimkan oleh sejawat dari Bandung, berjudul “Efikasi dan Kualitas Hidup pasien Spasme Hemifasial dengan Suntikan Toksin Botulinum tipe A” oleh Yanni, Paulus AO, Suryani G.. Melengkapi edisi ini, ada satu artikel tinjauan pustaka yang dikirim oleh sejawat Donny H,Ridwan,Gotot S dari RS Pasar Rebo, Jakarta yang mengulas tentang “Aplikasi Klinis Photoparoxysmal Respone”. Semoga keseluruhan artikel yang ada di edisi kali ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan tentang peranan seorang spesialis saraf dalam hal ketajaman diagnosis, tatalaksana maupun prognostik. Selamat membaca

description

Neurona

Transcript of Neurona Vol 27 No 2 Januari 2010

Page 1: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

Editorial Pembaca Neurona yang budiman, penerbitan Neurona edisi Januari 2010 ini berisi sepuluh artikel yang terdiri dari sembilan artikel penelitian, dan satu artikel tinjauan pustaka Kesepuluh artikel ini sangat menarik untuk dibaca, oleh karena, berisi beberapa masalah masalah neurologi terkini dan ada pembahasan tentang aplikasi klinis dengan alat diagnostik maupun skala pantauan klinis yang saat ini mengalami kemajuan cukup pesat sehingga dapat menambah wawasan para pembaca dimanapun berada. Tujuh artikel penelitian dan satu artikel tinjauan pustaka dikirimkan oleh sejawat sejawat dari Jakarta. Artikel penelitian tersebut masing masing berjudul :” Hubungan Model Prognostik Pasien Cedera Otak Traumatik Tertutup Sedang dan Berat dengan GOS 3 bulan” dikirimkan oleh Aida Fithrie, Mursyid B,Yetty R; Joedo P;“Prevalensi Nyeri Punggung Bawah Sederhana dan Faktor Yang Berpengaruh Pada Pekerja Angkat Angkut Manual (Penilaian Faktor Risiko Berdasarkan The Revised National Institute for Occupational Safety and Health 1994)” oleh Sherly Halim; “Laju Endap Darah Sebagai Prediktor Awal Keluaran Pasien Stroke Iskemik Akut” oleh Kemal Imran: “Gambaran Fungsi Kognitif Menggunakan ERP Auditorik Pada Penyandang DM tipe 2” oleh Aryatama, Bob SW, Suharko S, Silvia FL, Joedo P; “ Gambaran Perubahan Klinis dan Radiologis Pasien AIDS Dengan Ensefalitis Toksoplasma Pasaca Terapi Empiris” oleh Januar, Darma I, Melita, Joedo P; “Gangguan Kognitif Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhinya” oleh Hendro B, Diatri NL, Lukman HM, Joedo P;“Perubahan Fungsional Penyakit Parkinson Dengan Menggunakan Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (UPDRS)” oleh Herlina S, Salim H, Manfaluthy H, Yusuf M, Herqutanto. Satu artikel penelitian dikirim dari Aceh dengan judul “ Penggunaan Skala Stroke Syiah Kuala Pada Penderita Stroke Sebagai Metode Diagnosis Cepat dan Akurat” oleh Syahrul, Deasy RE, Endang M, Suherman. Dan masih ada satu artikel penelitian lainnya yang dikirimkan oleh sejawat dari Bandung, berjudul “Efikasi dan Kualitas Hidup pasien Spasme Hemifasial dengan Suntikan Toksin Botulinum tipe A” oleh Yanni, Paulus AO, Suryani G.. Melengkapi edisi ini, ada satu artikel tinjauan pustaka yang dikirim oleh sejawat Donny H,Ridwan,Gotot S dari RS Pasar Rebo, Jakarta yang mengulas tentang “Aplikasi Klinis Photoparoxysmal Respone”. Semoga keseluruhan artikel yang ada di edisi kali ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan tentang peranan seorang spesialis saraf dalam hal ketajaman diagnosis, tatalaksana maupun prognostik. Selamat membaca

Page 2: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1

EFIKASI DAN KUALITAS HIDUP PASIEN SPASME HEMIFASIAL DENGAN SUNTIKAN TOKSIN BOTULINUM TIPE A Yanni*, Paulus Anam Ong**, Suryani Gunadharma**

ABSTRACT Introduction : Hemifacial spasm is characterized by involuntary tonic or clonic muscle

contraction innervated by ipsilateral facial nerve. It can disturb patient’s quality of life.

Botulinum toxin type A injection is safe, effective and yields improvement of patient’s quality

of life.

Method : This study aimed to assess improvement of spasm using Modified Jankovic

Scale and quality of life using HFS-7 criteria after botulinum toxin injection. Thirty-four

patients with hemifacial spasm were recruited in this experimental study.

Result : Significant improvement of spasm (p<0,001) was obtained until the third month

in patients with 2nd degree Jankovic Scale, while the 1st degree until the second month. Both

the 2nd and 1st degree, showed significant improvement of quality of life until the third month.

(p<0,001)

Conclusion : Botulinum toxin type A injection is effective in reducing degree of spasm

using Modified Jankovic Scale and improving quality of life using HFS-7 criteria of patients

with hemifacial spasm.

Keywords : Botulinum Toxin type A - hemifacial spasm – Modified Jankovic Scale -

HFS-7

ABSTRAK Latar belakang: Spasme hemifasial ditandai kontraksi involunter, tonik dan klonik otot

satu sisi wajah yang dipersarafi nervus Fasialis. Walaupun tidak mengancam jiwa namun

spasme hemifasial sering menganggu kualitas hidup. Terapi suntikan toksin botulinum tipe A

dilaporkan aman dan efektif serta dapat memperbaiki kualitas hidup.

Metoda: Penelitian ini bertujuan menilai perbaikan derajat spasme menurut Skala

Jankovic yang dimodifikasi dan kualitas hidup pasien spasme hemifasial menurut kriteria

HFS-7 setelah penyuntikan toksin botulinum tipe A. Penelitian eksperimental ini dilakukan

Page 3: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

2

terhadap 34 pasien spasme hemifasial. Penilaian dilakukan sebelum dan sesudah penyuntikan

secara berkala.

Hasil: Pasien dengan Skala Jankovic derajat 2 memperlihatkan perbaikan derajat spasme

yang signifikan (p<0,001) sampai bulan ke-3, sementara pasien dengan derajat 1

memperlihatkan perbaikan sampai bulan ke-2. Kualitas hidup pasien dengan derajat 1 dan 2

memperlihatkan perbaikan signifikan (p<0,001) sampai bulan ke-3.

Kesimpulan: Penyuntikan toksin botulinum tipe A efektif memperbaiki derajat spasme

menurut Skala Jankovic dan kualitas hidup menurut HFS-7 pada pasien spasme hemifasial.

Kata Kunci : Toksin Botulinum tipe A - Spasme Hemifasial - Skala Jancovic yang

dimodifikasi, HFS-7.

* Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi FKUnpad, Bandung ** Staf Departemen Neurologi FKUnpad / RS.Dr.Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN Spasme hemifasial merupakan kontraksi involunter berupa gerakan tonik dan klonik

pada satu sisi otot wajah yang dipersarafi oleh nervus fasialis.1,2,3,4

Prevalensi terjadinya spasme hemifasial adalah 0,74 per 100.000 untuk pria dan 14,5 per

100.000 pada wanita. Insidensinya adalah 0,74 per 100.000 /tahun pada pria dan 0,81 per

100.000 /tahun pada wanita. Spasme hemifasial lebih sering ditemukan pada wanita

dibanding pria (2:1). Usia rerata awitan 44 tahun dan paling sering timbul pada dekade 5

sampai 6.5,6,7,8

Spasme hemifasial mengenai otot wajah unilateral dan jarang bilateral. Dimulai dari

sekitar mata, menyebar ke otot daerah pipi dan akhirnya ke daerah mulut sampai leher secara

bertahap dalam jangka waktu satu tahun atau lebih.7,9,1012

Spasme hemifasial merupakan penyakit kronik progresif, walaupun tidak mengancam

jiwa namun sering menimbulkan kesulitan dalam kehidupan sosial, kehidupan sehari-hari

(misalnya menyetir mobil, membaca, dan bekerja) dan gangguan psikologis sehingga

menganggu kualitas hidup penderita.6,50

Etiologi spasme hemifasial yang paling sering (95%) adalah kompresi nervus fasialis

oleh pembuluh darah arteri serebellaris inferior posterior dan arteri serebellaris inferior

Page 4: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

3

anterior cabang distal pada daerah sudut serebellopontin (CPA). Penyebab lain (5%) dapat

diakibatkan paska Bell’s palsy, tumor dan Arterio-Venous Malformation (AVM) daerah

CPA, multiple sklerosis dan lesi pada batang otak. Faktor kelelahan, cemas dan aktivitas

membaca dapat mempresipitasi gerakan klonik pada spasme hemifasial.11

Patofisiologi terjadinya spasme hemifasial belum diketahui secara pasti namun diyakini

adanya iritasi atau demielinisasi pada segmen saraf proksimal nervus fasialis sehingga terjadi

hipereksitabilitas (ectopic discharge) dan transmisi ephaptik pada nervus tersebut yang

menyebabkan kontraksi pada otot-otot wajah.9,12,23,24

Pengobatan yang dapat dilakukan saat ini berupa suntikan toksin botulinum tipe A dan

pembedahan. Pengobatan medikamentosa seperti karbamazepin, klonazepam, gabapentin dan

baklofen, tidak banyak membantu dan dilaporkan tidak bermanfaat.10,12,31

Terapi pembedahan dengan cara dekompresi mikrovaskular terhadap nervus fasialis

memberikan keberhasilan 80-90% akan tetapi terdapat kemungkinan rekurensi sekitar 25%

setelah 2 tahun paska pembedahan dan dapat pula menimbulkan komplikasi seperti parese

wajah dan tuli yang permanen.32,33,34,35

Terapi suntikan toksin botulinum lebih disukai dan dilaporkan mempunyai efektifitas

yang tinggi serta dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Saat ini terdapat berbagai tipe

toksin botulinum yaitu tipe A sampai G. Tipe A mempunyai efek yang stabil dan paling

efektif. Toksin botulinum merupakan protein kompleks yang dihasilkan oleh bakteri anaerob

Clostridium botulinum. Toksin ini akan berikatan pada ujung saraf aksonal motorik,

sehingga menghambat pelepasan asetilkolin ke dalam celah sinaptik dan menyebabkan

paralisis otot.36,37,38

Defazio dkk pada tahun 2002 menyatakan bahwa pengobatan dengan suntikan toksin

botulinum tipe A ini aman dan efektif, serta terbukti berguna dalam menggantikan tindakan

bedah pada spasme hemifasial. Terdapat penurunan frekuensi spasme yang signifikan dengan

keberhasilan 95-97%. Efek penurunan frekuensi spasme terjadi dalam 3-5 hari setelah

penyuntikan. Efek maksimal timbul pada minggu ke 1-2 dan berakhir setelah 2-6 bulan.

Dosis yang digunakan bervariasi mulai dari 7,5 U – 45 U dengan dosis rata-rata 17.5 U

tergantung dari beratnya spasme. Efek samping secara keseluruhan terjadi sekitar 21-29%,

berupa parese otot wajah asimetris, ptosis, diplopia yang pada umumnya bersifat

sementara.40,41,42

Page 5: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

4

Misbach pada tahun 2001 melaporkan bahwa suntikan toksin botulinum dapat

menurunkan skala frekuensi spasme pada pasien spasme hemifasial dan dapat dipakai

sebagai terapi alternatif pengganti operatif.47

Oyama dkk pada tahun 2002 menyatakan toksin botulinum tipe A mempunyai efek yang

baik pada semua kasus spasme hemifasial, efektifitas ini dinilai dengan menggunakan skala

Jancovic yg dimodifikasi.48,49

Tan EK dkk pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa kriteria HFS-7 (Hemifacial Spasm-

7) berguna sebagai pemeriksaan klinis sederhana untuk menilai kualitas hidup pada pasien

spasme hemifasial.51,52

Penilaian secara subjektif pada penggunaan toksin botulinum tipe A terhadap spasme

hemifasial telah banyak dilakukan. Sampai saat ini penilaian derajat spasme secara objektif

baru didapatkan satu laporan dengan lima kasus pasien di Jepang oleh Oyama pada tahun

2002. Perbaikan kualitas hidup pada penderita spasme hemifasial belum pernah dilaporkan di

Indonesia. Untuk itu perlu diadakan penelitan mengenai efikasi toksin botulinum tipe A

ditinjau dari perbaikan derajat spasme dengan menggunakan skala objektif menurut skala

Jancovic yang dimodifikasi dan perbaikan kualitas hidup pada penderita spasme hemifasial

menurut kriteria HFS-7.

METODE PENELITIAN

Subjek Penelitian

Pasien spasme hemifasial yang datang ke Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit

Hasan Sadikin (RSHS) dan didiagnosa spasme hemifasial oleh dokter spesialis saraf yang

memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria Inklusi :

a. Pasien di diagnosa dengan spasme hemifasial oleh satu dari empat dokter spesialis

saraf RSHS yang menjadi penyuntik toksin botulinum tipe A.

b. Tidak mengalami perbaikan dengan terapi medikamentosa.

c. Belum pernah mendapat suntikan toksin botulinum tipe A sebelumnya.

d. Bersedia dilakukan suntikan toksin botulinum tipe A dengan ®Botox oleh dokter

spesialis saraf yang menjadi penyuntik dan menandatangani informed consent.

Page 6: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

5

e. Bersedia dilakukan wawancara, dinilai derajat spasme dan kualitas hidup sebelum

dan sesudah penyuntikan toksin botulinum tipe A oleh peneliti.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah kuasi eksperimental yang mengukur perbaikan derajat

spasme dan kualitas hidup sebelum dan sesudah suntikan toksin botulinum tipe A.

Derajat Spasme Hemifasial

Dinilai dengan Skala Jankovic yang merupakan peningkatan berkedip dan spasme

kelopak mata yang diklasifikasikan sebagai berikut :48

Derajat Skala Jankovic yang dimodifikasi

0 tidak ada spasme

1 Sedikit peningkatan spasme pada kelopak mata dan atau spasme kurang dari 1

detik.

2 Spasme kelopak mata dengan durasi lebih dari 1 detik, tetapi mata dapat dibuka

lebih dari 50%.

Perubahan ≥ 1 derajat dikatakan terjadi perbaikan spasme pada pasien spasme hemifasial.

Kualitas Hidup pasien Spasme Hemifasial

Kualitas hidup adalah tingkat kepuasan batin dan kenyamanan hidup seseorang yang

diukur berdasarkan kriteria HFS-7 (Hemifacial Spasm-7) sebagai pemeriksaan klinis

sederhana untuk menilai kualitas hidup pada pasien spasme hemifasial. Komponen penilaian

terdiri dari : :52

Page 7: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

6

Kriteria HFS-7 pada Pasien Spasme Hemifasial

Kriteria HFS-7 Tidak

Pernah

(0)

Sesekali

(1)

Kadang-kadang

(2)

Hampir

Selalu (3)

Selalu

(4)

Kesulitan mengemudi

Kesulitan membaca

Kesulitan melihat televisi

Merasa tertekan

Menghindari kontak mata

Merasa memalukan

Merasa khawatir akan

reaksi orang lain

Total nilai yang didapat adalah 0 sampai 28 (0-28)

Cara pengumpulan data

Pasien spasme hemifasial disuntik oleh satu dari empat dokter spesialis saraf di RSHS

yang telah mendapat pelatihan sama. Sebelum dilakukan penyuntikan, pasien dilakukan

wawancara tentang data umum, observasi derajat spasme menurut skala Jancovic yang

dimodifikasi dan pengisian kuesioner untuk penilaian kualitas hidup menurut kriteria HFS-7

oleh peneliti. Setelah 2 minggu, 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan paska penyuntikan toksin

botulinum tipe A, pasien dilakukan observasi derajat spasme dan penilaian kualitas hidup

oleh peneliti.

Bahan Penelitian

Obat yang digunakan adalah toksin botulinum tipe A 100 unit (®Botox) yang diproduksi

oleh Allergan Pharmaceuticals, Ireland dengan kemasan dalam bentuk serbuk. Sebelum

digunakan, ®Botox disimpan di lemari es dengan suhu 2-8 derajat celcius. Saat digunakan

dilakukan pengenceran dengan 2 ml NaCl 0,9% steril sehingga tiap ml mengandung 50 unit

toksin botulinum tipe A.

Page 8: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

7

Analisis Data

Analisis univariabel

Analisis yang menggambarkan karakteristik subjek penelitian yang meliputi : usia, jenis

kelamin, lokasi, derajat spasme dan jenis efek samping, mulai timbul dan hilangnya efek

samping toksin botulinum tipe A.

Analisis bivariabel

a. Uji Normalitas untuk mengetahui distribusi data normal atau tidak menggunakan

One Sample Kolmogorov Smirnov Test.

b. Untuk menganalisis adanya perbaikan derajat pada skala Jancovic yang dimodifikasi

menggunakan Chi Square Test.

c. Untuk menganalisis perbaikan kulitas hidup menggunakan uji Statistik Non

Parametrik Wilcoxon Test.

d. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for windows versi 13.0.

pada derajat kepercayaan 95% dengan nilai p ≤ 0,05.

Alur Penelitian

Pasien Spasme Hemifasial

Kriteria inklusi (+)

Dinilai Skala Jankovic & “HFS-7”

Suntik Toksin Botulinum tipe A

↓ (2 minggu)

Dinilai ulang Skala Jankovic & “HFS-7”

↓ (1 bulan)

Dinilai ulang Skala Jankovic & “HFS-7”

↓ (2 bulan)

Dinilai ulang Skala Jankovic & “HFS-7”

↓ (3 bulan)

Dinilai ulang Skala Jankovic & “HFS-7”

Diagnosa Spasme Hemifasial o/ 4 SpS

Tidak perbaikan dengan medikamentosa.

Belum pernah suntikan toksin botulinum tipe A

Bersedia disuntik toksin botulinum tipe A

Bersedia mengikuti penelitian.

Klasifikasi Jancovic yg dimodifikasi Derajat 0 à Tidak ada spasme Derajat 1 à Sedikit peningkatan spasme

kelopak mata & spasme < 1 detik Derajat 2 à Spasme kelopak mata > 1 detik,

mata dpt dibuka > 50 %

Kriteria HFS-7

Kesulitan Mengemudi Kesulitan Membaca

Kesulitan Melihat Televisi Merasa Tertekan

Menghindari Kontak mata Merasa Memalukan

Merasa Khawatir reaksi orang lain

Page 9: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

8

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Terdapat 35 orang yang memenuhi kriteria inklusi, tetapi yang menjadi sampel

penelitian hanya 34 orang, karena 1 orang tidak datang untuk follow up dan tidak dapat

dihubungi.

Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan Jenis kelamin, umur, lokasi dan

derajat Spasme Hemifasial.

Variabel n (%) Jenis kelamin Laki-laki 12 (35,3%) Perempuan 22 (64,7%) Umur < 40 Tahun 2 (5,9%)

41 – 60 Tahun 23 (67,6%) 61 – 70 Tahun > 71 Tahun

6 (17,6%) 3 (8,8 %)

Rerata(SD) 53,85(10,20) Median 52,50 Minimum dan maksimum 25-75 Lokasi HFS Dekstra HFS Sinistra Derajat Spasme Hemifasial Derajat 1 Derajat 2

17 (50,0%) 17 (50,0%)

13 (38,0%) 21 (62,0%)

SD/*)Standar Deviasi

Tabel 1 menunjukkan sebagian besar subjek penelitian adalah wanita (64,7%). Sebagian

besar pasien berada dalam kelompok umur 41-60 (67,6 %). Lokasi spasme yang terjadi sama

pada dekstra dan sinistra yaitu 50%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan data dan penelitian yang sudah ada sebelumnya yaitu

lebih sering terjadi pada wanita (2:1), dengan usia paling sering dekade 5 dan 6.6,7,16

Jumlah penderita spasme hemifasial dengan derajat 2 lebih banyak di banding derajat 1

yaitu (62% dan 38%), hal ini menunjukkan bahwa pasien spasme hemifasial dengan derajat

Page 10: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

9

berat atau derajat 2 mempunyai kecenderungan untuk ingin mendapat pengobatan dengan

suntikan toksin botulinum tipe A.

Dari penelitian Oyama dkk, dari lima pasien spasme hemifasial lebih banyak ditemukan

pasien yang mengalami derajat 2 (60%) dan 40 % mengalami derajat 1. Hal ini tidak jauh

berbeda dengan penelitian ini yang kita lakukan.48

Tabel 2 Dosis Toksin botulinum dan Perbaikan spasme.

Variabel U / Hari

Dosis Derajat 1 Rerata (SD) Median Minimum-maksimum Dosis Derajat 2 Rerata (SD) Median Minimum-maksimum Dosis yang dipakai Rerata (SD) Median Minimum-maksimum Perbaikan Spasme setelah disuntik Rerata (SD) Median Minimum-maksimum

17,00 U 17,50 U

12,5-20 U

19,7 U 20,00 U 15-25 U

18,60 U (2,96)

17,50 U 12,5-25 U

5,68 hari (3,48)

5,00 1-14

Dosis rerata toksin botulinum tipe A yang digunakan adalah 18,60 U (12,5-25U) dengan

dosis rerata pada derajat 2 lebih tinggi di banding derajat 1 yaitu 19,7 U dan 17 U. Hal ini

disebabkan spasme yang ditemukan pada derajat 2 lebih berat dibandingkan dengan derajat

1. Dosis yang digunakan pada penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan penelitian

Jankovic dkk dan Oyama dkk yaitu rerata 17,5 U.46

Dosis toksin botulinum tipe A yang pasti dan tetap pada pasien spasme hemifasial

belumlah ada, hal ini tergantung dari beratnya spasme yang diderita oleh pasien spasme

hemifasial dan respon pengobatan terhadap toksin botulinum tipe A. Untuk satu tempat

suntikan dapat digunakan dosis 1,25 – 5,0 U ®Botox dan total yang digunakan tidak

melebihi 50 - 60 U dalam satu periode.44

Page 11: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

10

Terjadinya perbaikan spasme telah terjadi dalam dua minggu pertama yaitu rerata 5,68

hari setelah penyuntikan toksin botulinum tipe A. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda

dengan penelitian yang lain yaitu 3-5 hari terjadinya perbaikan spasme setelah penyuntikan

toksin botulinum tipe A.48,49

Tabel 3 Perbandingan derajat spasme sebelum dan sesudah disuntik toksin botulinum

menurut Skala Jancovic

Perbandingan Setelah Suntikan χ2 Nilai p*)

Perbaikan Tidak Perbaikan

Derajat 1 Sebelum suntik - 13 (100%) Pada Minggu ke-2 11 (84,6%) 2 (15,4%) 18,23 <0,001 Bulan ke-1 13 (100%) - 25,00 <0,001 Bulan ke-2 12 (92,3%) 1 (7,7%) 21,43 <0,001 Bulan ke-3 2 (15,4%) 11 (84,6%) 2,08 0,148 Derajat 2 Sebelum suntik - 21 (100%) Pada Minggu ke-2 21 (100%) - 41,00 <0,001 Bulan ke-1 21 (100%) - 41,00 <0,001 Bulan ke-2 21 (100%) - 41,00 <0,001 Bulan ke-3 6 (28,6%) 15 (71,4%) 6,83 0,008

χ2/*)Chi Square Test

Efek maksimal toksin botulinum tipe A terlihat dalam 1 bulan setelah penyuntikan,

dimana seluruh pasien derajat 1 mengalami perbaikan maksimal (100%), Pada derajat 2 dari

21 pasien yang mengalami efek maksimal (menjadi derajat 0) dalam 1 bulan sebesar 76,2%

dan terdapat 5 pasien yang hanya berubah menjadi derajat 1. Hal ini mungkin disebabkan

oleh karena spasme yang berat pada derajat 2 sehingga toksin botulinum tidak dapat

mengontrolnya.

Pengaruh jumlah dosis dalam hal ini dapat dipikirkan, namun belum ada penelitian atau

teori yang menentukan jumlah dosis yang tepat dan pasti pada pasien spasme hemifasial.

Semuanya tergantung dari beratnya spasme dan respon pengobatan. Akan tetapi dari

beberapa penulis menyarankan pemakaian dosis yang kecil dan optimal untuk menghindari

resistensi terhadap toksin botulinum tipe A.44

Page 12: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

11

Dari pengamatan penulis walaupun pada kelima pasien tersebut secara objektif tidak

terlihat adanya spasme, akan tetapi masih terlihat adanya kedutan kecil di bawah mata dan

sekitar pipi serta beberapa pasien mengeluh adanya getaran di bawah kelopak mata sehingga

kami anggap ini sebagai derajat 1.40 Sehingga dipikirkan apakah perlu skala yang lebih rinci

untuk melihat perbaikan spasme yang ringan dengan menambahkan kedutan atau keluhan

getaran kedalam skala Jankovic yang dimodifikasi tersebut.

Secara perhitungan statistik, perbaikan yang nyata sudah terjadi minggu ke-2 dan terlihat

hasil maksimal (100%) bulan ke-1 pada pasien dengan derajat 1. Untuk derajat 2 sudah

terjadi perbaikan nyata (100%) pada minggu ke-2. Hal ini dikarenakan pasien yang dengan

derajat 2 terjadi perbaikan menjadi derajat 1 dianggap telah terjadi perbaikan.

Tabel 4 Perbandingan skor HFS-7 sebelum dan sesudah suntikan toksin botulinum

Perbandingan

Skor Kualitas Hidup HFS-7

Derajat 1 Derajat 2 Rerata

(SD) Md Min-

maks ZW Nilai p Rerata

(SD) Md Min-

maks ZW Nilai p

Sebelum suntik

11,62 (4,99)

10 5-20 12,62 (4,37)

12 4-20

Minggu ke-2 1,08 (1,80)

0 0-5 -3,066 <0,001 1,48 (2,37)

0 0-10 -4,020 <0,001

Bulan ke-1 0,15 (0,37)

0 0-1 -3,184 <0,001 0,67 (1,31)

0 0-4 -4,021 <0,001

Bulan ke-2 0,23 (0,59)

0 0-2 -3,184 <0,001 1,90 (1,75)

2 0-5 -4,017 <0,001

Bulan ke-3 6,77 (4,58)

7 0-14 -2,952 0,010 8,14 (4,84)

8 0-16 -3,584 <0,001

ZW/*)Wilcoxon Test Md/*)Median SD/*)Standar Deviasi

Perubahan kualitas hidup sudah terjadi pada minggu ke-2 dan terus membaik sampai

bulan ke-2. Pada bulan ke-3 mulai terjadi perburukan skor kualitas hidup pada derajat 1 dan

derajat 2 akan tetapi dari uji statistik masih menunjukkan hasil yang signifikan dengan p 0,01

dan <0,001.

Toksin botulinum tipe A dapat memperbaiki kualitas hidup penderita spasme hemifasial pada

semua derajat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Tan EK dkk tahun 2005 yaitu suntikan

Page 13: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

12

toksin botulinum tipe A dapat memperbaiki kualitas hidup pada pasien spasme

hemifasial.51,52

Tabel 5 Efek samping toksin botulinum pada pasien Spasme Hemifasial.

Variabel (%) Jenis Efek samping Ptosis 4 (11,7%) Parese wajah 4 (11,7%) Ptosis dan parase wajah 2 (5,8%) Tidak Ada efek samping Timbulnya Efek samping Ptosis

24 (70,6%)

5,5 hari Parese wajah Ptosis dan parese wajah Hilangnya Efek samping Ptosis Parese wajah Ptosis dan parese wajah

6,75 hari 4,5 hari 7,5 hari 15,75 hari 10,0 hari

Tabel 5 menunjukkan terjadinya efek samping pada penyuntikan toksin botulinum tipe A

sebanyak 10 orang (29,4%) berupa ptosis 4 orang (11,7%), parese wajah 4 orang (11,7%),

ptosis dan parese wajah sebanyak 2 orang (5,8%). Efek samping ptosis terjadi 5-7 hari

setelah suntikan toksin botulinum tipe A dan menghilang 6-10 hari setelah timbul efek

samping. Efek samping parese wajah terjadi 5 – 10 hari setelah suntikan, dan menghilang

setelah 7 –21 hari.

Efek samping yang timbul pada penelitian ini dijumpai tidak jauh berbeda dibandingkan

penelitian yang sudah ada yaitu sekitar 21-29 %. Efek samping yang terjadi hanyalah bersifat

lokal, sementara dan akan hilang setelah 1-2 minggu, hasil ini tidak berbeda dengan hasil

penelitian yang sudah ada sebelumnya. 16,43,48

KETERBATASAN PENELITIAN

• Waktu penelitian yang kurang lama, sehingga beberapa pasien yang kemungkinan

masih mempunyai respon dapat dipantau lebih lama atau lebih dari 3 bulan.

• Tidak dilakukan pemeriksaan neuroimaging (MRI atau CT Scan) untuk melihat

adanya penyebab lain dari spasme hemifasial.

Page 14: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

13

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

• Penyuntikan Toksin Botulinum tipe A efektif memperbaiki derajat spasme pasien

spasme hemifasial derajat 1 maupun derajat 2 menurut skala Jankovic yang

dimodifikasi sampai 2 bulan paska penyuntikan.

• Penyuntikan Toksin Botulinum tipe A dapat memperbaiki kualitas hidup menurut

kriteria HFS-7 pada pasien spasme hemifasial dengan derajat 1 maupun derajat 2

sampai 3 bulan paska penyuntikan.

SARAN

• Dilakukan penelitian jangka panjang dalam penyuntikan toksin botulinum tipe A

karena beberapa pasien masih terjadi perbaikan spasme sampai 6 bulan.

• Menambahkan satu derajat pada skala Jankovic yang dimodifikasi ini, sehingga

pasien dengan kedutan kecil di sekitar kelopak mata dapat dimasukkan sebagai

derajat sendiri.

DAFTAR PUSTAKA 1. Illingworth RD, Porter DG, Jakubowski J; Hemifacial spasm: a prospective long-term follow up of 83 cases treated by microvascular

decompression at two neurosurgical centres in the United Kingdom.; J Neurol Neurosurg Psychiatry 1996 Jan;60(1):72-7.

2. Digre  K,  Corbett  JJ.  Hemifacial  spasm:  differential  diagnosis, mechanism,  and  treatment.  Adv  Neurol  1988;49:151–76.

3. Chadwick D, The Cranial Nerves and Special Sense in Walton J, Brain’s disease of the Nervous System, Tenth Edition, Oxford

Medical Publication, 1993; 109-110.

4. Davanlou J, Neurosurgical treatment of primary hemifacial spasm with microvascular decompression (diunduh 20 April 2006).

Tersedia dari : <http//www.neurologist.wordpress.com>.

5. Auger RG, Whisnant JP, Hemifacial Spasm in Rochester and Olmsted Country, Minnesota, Arch Neurol, 1990; 47;1233-4.

6. Fred G et al, Microvascular decompression for Hemifacial Spasm, J Neurosurg 1995, 82; 201-210.

7. Steven G, MD, Hemifacial Spasm in http://www.emedicine.com, Department of Neurology, Swedish Medical Center of Englewood,

Colorado, 2006;1-11.

8. Fahn.S, Jankovic J, Hemifacial Spasm in Principles and Practice of Movement Disorders, Churcill Livingstone, Philadelphia, Chap

24, 2007; 580-81.

9. Berardelli A, et al. Pathophysiology of hemimasticatory spasm. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Jan 1994;57(1):43-50.

10. Elston JS. The management of blepharospasm and hemifacial spasm. J Neurol. Jan 1992;239(1):5-8.

11. Adler CH, Zimmerman RA, Savino PJ, et al. Hemifacial spasm: evaluation by magnetic resonance imaging and magnetic resonance

tomographic angiography. Ann Neurol. Oct 1992;32(4):502-6.

12. Jitpimolmard S, Tiamkao S, Laopaiboon M, Long Term Results of Botox type A in the Treatment of HFS (a report of 175 cases), in

http://www.jnnp.bmj.com, Department of Biostatistics and Demography, Faculty of Public Health, Khon Kaen University, Thailand,

1998;64:751-757.

13. Tash RR, Kier EL, Chyatte D, Hemifacial Spasm caused by a tortuous vertebral artery; MR demonstration [abstract], J Comput Assist

Tomogr, 1988; 12(3);492-4.

Page 15: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

14

14. Murata J, Abe H, Aida T, Hemangioma of the petrous bone which caused facial spasm and facial palsy, No Shinkei Geka,

1991;19(5);455-8.

15. Bills DC, Hanieh A, Hemifacial spasm in an infant due to fourth ventricular ganglioglioma, J Neurosurg, 1991;75(1); 134-7.

16. Altinor N, Kars A, Cepoglu C, Rare causes of Hemifacial Spasm, Clin-Neurol Neurosurg, 1991;93(2);155-8.

17. Kaufmann.AM, What causes HFS ? (diunduh 2001). Tersedia dari :

<http://www.umanitoba.ca/cranial_nerves/hemifacial_spasm/etiology>

18. Haerer.AF, DeJong; The Neurologic Examination, 5th ed, J.B.Lippincot Company, Philadelphia, 1992; 180-199; 251-257.

19. Greenstein.B, Color Atlas of neuroscience: Neuroanatomy and Neurophysiologi, 2000; 222-227.

20. Duus.P, Diagnosis Tropik Neurologi : Anatomi, Fisiologi, Tanda dan Gejala; 2nd ed, EGC, Jakarta; 1996; 112-119, 134-136.

21. Tiemstra JD, Anatomy of the facial nerve (diunduh 1 Okt 2007). Tersedia dari : http://www.aafp.org/afp/20071001.

22. Hanson.MR, Disturbance of Lower Cranial Nerve in Bradley et al, Neurology in Clinical Practice: The Neurological Disorders, 2nd

ed, : Butterworth-Heinemann, Vol.1, 1996;251-264.

23. Kimura J, Electrodiagnosis in disease of nerve and muscle; principles and practice, Philadelphia, 1993;323-7.

24. Nielsen VK, Pathophysiology of Hemifacial Spasm, Epahptic transmission and ectopic excitation, lateral spread of the supraorbital

nerve, effect of facial nerve decompression, Neurology 1984, 34(4);418-26.

25. Adams RD, Victor M, Principles of Neurology, 6th ed, McGraww Hill: New York, 1997; 1378-80.

26. Cruccu G, Inghilleri M, et al: Pathophysiology of hemimasticatory spasm. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1994 Jan; 57(1): 43-50.

27. Moller AR, Hemifacial Spasm: ephaptic transmission or hyperexcitability of the facial motor nucleus ?, Neurol 1987,98(1);110-19.

28. Roth G, et al, Cryptogenic hemifacial spasm, A neurophysiological study, Electromyogr Clin Neurophysiol, 1990; 30(6); 361-70.

29. Esteban A et al, Primary hemifacial spasm;ma neurophysiological study, J Neurol Neurosurg Psychiatry, 1986; 49(1);8-63.

30. Bernardi B et al, Magnetic resonance tomographic angiography in the investigation of hemifacial spasm, Neuroradiology,

1993;35(8);606-11.

31. Elston JS: The management of blepharospasm and hemifacial spasm. J Neurol 1992 Jan; 239(1): 5-8.

32. Jannetta PJ, Abbasy M, Maroon JC, et al: Etiology and definitive microsurgical treatment of hemifacial spasm. Operative techniques

and results in 47 patients. J Neurosurg 1977 Sep; 47(3): 321-8

33. Piatt JK, Wilkins RH. Treatments of tic douloureux and hemifacial spasm by posterior fossa exploration: therapeutic implications of

various neurovascular relationships. Neurosurgery 1984;14:462–71.

34. Loeser JP, Chen J. Hemifacial Spasm: treatment by microsurgical facial nerve decompression. Neurosurgewry, 1983;12:141–6.

35. Coakham, Microvascular decompression for Hemifacial Spasm: long term follow up of surgical results and patient satisfaction 13th

World Congress of Neurological Surgery, 2005.

36. Patocka J, Splino M, Botulinum Towin: From Poison to Medicinal Agent, Applied Science and Analysis, Inc, The ASA Newsletter,

2002.

37. Erbguth, FJ, Botulinum Toxin Treatment in Neurology-Established and New Indications, Neurology, Psychiatry and Brain Research,

1999;7;27-36

38. Davis EC, Barnes MP,Botulium Toxin and Spasticity, J Neurol Neurosurg Psychiatry,2000;69:143-149

39. Arnon et al J mechanism of action of botox, Amer Med Assoc 285; 2001: 1059.

40. Defazio.G MD, Abbruzzese.G, Girlanda.P, Botulinum Toxin A Treatment for Primary Hemifacial spasm in

http://www.archneurol.com, American Medical Association, Vol.59, March, 2002.

41. Wang A, Jankovic J. Hemifacial spasm: clinical findings and treatment. Muscle Nerve. 1998;21:1740-1747.

42. Colosimo C, Chianese M, Giovannelli M, et al: Botulinum toxin type B in blepharospasm and hemifacial spasm. J Neurol Neurosurg

Psychiatry 2003 May; 74(5): 687.

43. Jankovic J, Schwartz K, Donovan DT: Botulinum toxin treatment of cranial-cervical dystonia, spasmodic dysphonia, other focal

dystonias and hemifacial spasm. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1990 Aug; 53(8): 633-9.

44. Allergan, Hemifasial Spasme, Transart Pharmaceutical Limited, Huntingdon, England; 1992; 12-15.

45. Herrero BA, Ecklund AE, Street CS, King JK; Experimental botulism in monkeys : a clinical pathological study, Exp Mol Pathol

1997; 6:84-95.

46. Scott AB, Suzuki D : Systemic toxicity of botulism toxin by intramuscular injection in the monkey Mov Disord 1998; 3: 333-335.

47. Misbach Y, Penggunaan Injeksi Toksin Botulinum pada Spasme Hemifasial dalam Neurona, Bagian Neurologi FKUI/RSCM, Vol.18,

No.2, Januari 2001; 51-54.

Page 16: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010

15

48. Oyama H, Ikeda A, Inoue S, Local Injection of Botulinum Toxin Type A for Hemifacial Spasm, in http://www.neurol-med-Chir.com,

Department of Neurosurgery, Chukyo Hospital, Nagoya, Tokyo, Vol 42, 245-249; 2002.

49. Jankovic J, Havins WE, Wilkins RB: Blinking and Blepharospasm, JAMA, 248; 3160-3164, 1992.

50. Elston  JS.  Botulinum  toxin  treatments  of  hemifacial  spasm,  J  Neurol  Neurosurg  Psychiatry  1986;49:827–9.

51. Tan EK, Chong SF, Lum SY, Validation of a short disease specific quality of life scale for Hemifacial Spasm: Correlation with SF-

36 in http://jnnp.bmj.com, 2005;76;1707-1710.

52. Tan EK, Chong SF, Lum SY, Botulinum Toxin improves Quality of Life in Hemifacial Spasm: validation of Questionnaire (HFS-30)

in http://jnnp.bmj.com, Vol.219, 2004;151-155.

Page 17: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1

 

GAMBARAN FUNGSI KOGNITIF MENGGUNAKAN EVENT RELATED POTENTIAL AUDITORIK PADA PENYANDANG DIABETES MELITUS TIPE 2

Aryatama*, Bob Santoso Wibowo**, Suharko Soebardi***, Silvia F Lumempouw**,

Joedo Prihartono****

 

ABSTRACT Background: One of many complications in diabetes mellitus (DM) that was still rare to be

discussed is the cognitive dysfunction. The most frequent neurophysiological study being used to screen cognitive dysfunction was the event-related potential (ERP). However, studies about cognitive dysfunction using ERP in type  2 DM were few.

Method: A cross-sectional study to identify the profile of ranges and means of motor performance, latency, and amplitude of auditory ERP potentials in people with type 2 DM, and the influential factors was performed in Endocrine Clinic-Internal Medicine Department, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from August to October 2009.

Result: Among 68 patients, there were 34 patients (50%) showing prolonged P300 latency. Compared to normal population, the reaction time (440.37 vs. 357 ms) and P300 latency means (345.91 vs. 309.74 ms) was prolonged, and hits rate (95.13 vs. 98%) was lower. Reaction time was influenced by hypertension (p=0.025) and depression (p=0.021) factors. P300 latency was influenced by other DM complications (p=0.038). Female gender (p=0.004; OR 2.86), other chronic DM complications (p=0.005; OR 2.95) and depression (p=0.028; OR 4.92 determined P300 latency abnormality.

Conclusion: Female gender, other chronic DM complications, and depression are predictor factors for P300 latency abnormality in type 2 DM patients. ERP study could be used as an objective screening for cognitive dysfunction among people with type 2 DM.

Key word: Event-Related Potentials, P300, cognitive function, type 2 DM.

ABSTRAK Latar belakang: Salah satu komplikasi pada diabetes melitus (DM) yang masih jarang

dikemukakan adalah disfungsi kognitif. Pemeriksaan neurofisiologi yang paling sering dipakai untuk menapis disfungsi kognitif adalah event related potential (ERP). Namun, penelitian gangguan kognitif pada DM tipe 2 dengan menggunakan ERP masih sedikit.

Metoda: Penelitian potong lintang untuk mengetahui gambaran rentang dan rerata performa motorik, latensi dan amplitudo gelombang ERP auditorik pada penyandang DM tipe 2 serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya dilakukan di Poliklinik Endokrin–Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta antara bulan Agustus hingga Oktober 2009.

Hasil: Dari 68 pasien didapatkan abnormalitas latensi gelombang P300 pada penyandang 34 pasien (50%). Jika dibandingkan pada populasi normal, terdapat pemanjangan rerata waktu reaksi (440,37 vs. 357 mdetik) dan latensi gelombang P300 (345,91 vs. 309,74 mdetik) serta lebih rendahnya hits rate (95,13 vs. 98%). Waktu reaksi dipengaruhi oleh faktor hipertensi (p=0,025) dan tingkat depresi (p=0,021). Latensi P300 pasien DM tipe 2 dipengaruhi oleh komplikasi DM yang lain (p=0,038). Jenis kelamin perempuan (p=0,004; 1OR 2,86), komplikasi kronik DM yang lain (p=0,005; OR 2,95) dan depresi (p=0,028; OR 4,92) menjadi penentu abnormalitas latensi P300. Kesimpulan: Jenis kelamin perempuan, komplikasi kronik DM yang lain dan depresi adalah faktor penentu adanya abnormalitas latensi P300 pada pasien DM tipe 2. Pemeriksaan ERP dapat digunakan sebagai pemeriksaan penapis fungsi kognitif yang obyektif pada penyandang DM tipe 2.

Kata kunci: Event-Related Potentials, P300, fungsi kognitif, DM tipe 2.

                                                                                                                         

Page 18: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 2

 

 ∗                Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta ** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta *** Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta **** Staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Jakarta PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) telah menjadi masalah kesehatan yang besar dalam masyarakat dengan dampak berskala luas dalam berbagai aspek bidang kehidupan, yaitu kesehatan, sosial dan ekonomi yang terutama disebabkan oleh komplikasi jangka panjang berupa disfungsi berbagai organ, khususnya pada mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah baik makro maupun mikrovaskular.1,2 Jumlah pengidap DM terus bertambah karena pertumbuhan populasi, penuaan, urbanisasi dan meningkatnya prevalensi obesitas dan ketidakaktifan fisik. Prevalensi DM pada semua kelompok umur di seluruh dunia pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 2,8% dan mencapai 4,4% pada tahun 2030, dengan jumlah 171 juta pada tahun 2000 dan 366 juta pada tahun 2030.3 Di Indonesia, hasil survei BPS tahun 2003 menunjukkan bahwa prevalensi DM mencapai 14,7% di perkotaan dan 7,2% di pedesaan.4 Sebagian besar (90-95%) penderita DM ini digolongkan sebagai penderita DM tipe 2 dengan defek penyebab bervariasi mulai dari predominansi resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif hingga predominansi defek sekresi insulin dengan resistensi insulin.1,5

Salah satu komplikasi pada DM baik tipe 1 maupun tipe 2 yang masih amat sedikit dikemukakan adalah disfungsi kognitif yang dianggap merupakan kombinasi dari komplikasi mikro dan makrovaskular.6 Penurunan fungsi kognitif ini dapat berkembang menjadi berat dan menimbulkan hendaya fungsi sosial dan pekerjaan yang bermakna sebagai demensia.7

Sebelum gangguan fungsi kognitif bermanifestasi sebagai demensia, terdapat suatu kondisi peralihan (prademensia) yang dikenal sebagai hendaya kognitif nondemensia (HKND) yang sebagian besarnya akan berkembang menjadi demensia dalam waktu 5-6 tahun dengan angka konversi sepanjang hidup berkisar antara 60-90%.8-11 Pada populasi DM angka kejadian gangguan fungsi kognitif berkisar antara 8% hingga lebih dari 50%.8,12-16 Walau tidak dapat disembuhkan demensia dapat dicegah progresivitasnya bila kondisi prademensia dapat dideteksi sejak dini untuk kemudian dilakukan intervensi faktor risiko.17

Walaupun pemeriksaan neuropsikologi telah menjadi baku emas penilaian fungsi neurokognitif, akan tetapi uji penapisan neuropsikologi yang sederhana sulit untuk mendeteksi gangguan kognitif yang subtil pada pasien DM. 6,18 Sebagai alternatif dapat digunakan pemeriksaaan neurofisiologi. Pemeriksaan neurofisiologi tersering untuk memeriksa fungsi kognitif (khususnya memori, atensi dan fungsi eksekutif) secara obyektif adalah pemeriksaan potensial berkait kejadian/event related potential (ERP) yang di bidang klinis telah dipakai untuk mendeteksi perubahan kognitif yang subtil baik pada populasi normal maupun populasi dengan berbagai kelainan neurologis dan psikiatri seperti demensia, ADHD (attention deficit/hyperactivity disorder), skizofrenia, epilepsi, pasca cedera kepala dan lain-lain.6,19-24

Event related potential (ERP) adalah potensial otak yang bersifat time-locked terhadap berlangsungnya kejadian-kejadian sensorik, motorik maupun kognitif yang diekstraksi dari EEG yang dirangsang dengan stimulus eksogen (misalnya: sensorik) atau endogen (misalnya: pengambilan keputusan).19,25,26 ERP ini terdiri dari komponen eksogen yang terdiri dari P1 (P100), N1 (N100) dan P2 (P200) yang mewakili propagasi aktivitas pada jaras sensorik, dan komponen eksogen yang terdiri dari N2 (N200) dan P3 (P300) yang berkorelasi dengan aktivitas kognitif.18 Latensi komponen endogen dianggap merefleksikan kecepatan penjalinan, klasifikasi dan identifikasi kejadian selama identifikasi stimulus pada otak dan secara obyektif merefleksikan proses pikir otak, sedangkan amplitudonya dianggap

Page 19: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 3

 

merefleksikan pemrosesan, penerimaan informasi dan penggunaan sumber daya otak.18,19 Sejauh ini penelitian gangguan kognitif pada DM khususnya DM tipe 2 dengan menggunakan ERP masih sangat terbatas.6,18

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran rentang latensi dan amplitudo gelombang ERP auditorik pada penyandang DM tipe 2; rerata performa motorik, latensi dan amplitudo gelombang ERP auditorik pada penyandang DM tipe 2 serta sebarannya menurut umur, jenis kelamin, pendidikan, IMT (indeks massa tubuh), hipertensi, dislipidemia, durasi menyandang DM tipe 2, jenis terapi (insulin atau OHO), komplikasi DM lain (coronary arterial disease/CAD, peripheral arterial disease/PAD, nefropati, retinopati dan neuropati),  kendali glikemik dan derajat depresi; mengetahui proporsi abnormalitas latensi gelombang P300 pada penyandang DM tipe 2 serta hubungan abnormalitas tersebut dengan faktor-faktor penentu yang disebutkan di atas METODA

Desain potong lintang pada penyandang DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik Endokrin–Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pengambilan sampel dengan persetujuan Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia secara konsekutif, yakni memasukkan semua subyek yang memenuhi kriteria penelitian hingga mencukupi kebutuhan, dilaksanakan antara bulan Agustus hingga Oktober 2009.

Kriteria inklusi : (1) Bersedia ikut serta penelitian. (2) Telah didiagnosis dan digolongkan sebagai DM tipe 2. (3) Usia 40-69 tahun. (4) Dapat membaca, menulis dan lulus Sekolah Dasar. Kriteria eksklusi : (1) Riwayat stroke, gagal jantung, cedera kepala, infeksi/tumor otak, epilepsi, ketoasidosis diabetik, koma hipoglikemik atau hiperosmotik, atau minum alkohol, pengguna opiat/obat antidepresan/antipsikotik, yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. (2) Terdapat defisit fokal neurologis. (3) Terdapat demensia (skor MMSE <25 pada lulusan Sekolah Lanjutan tahap Pertama ke atas dan <21 pada lulusan Sekolah Dasar). (4) Terdapat gangguan pendengaran berat. (5) Terdapat depresi berat (skor Hamilton >17).

Setelah memberi persetujuan tertulis, pada subyek yang memenuhi kriteria ditelusuri dan dicatat hasil pemeriksaan kendali glikemik (hemoglobin terglikasi/HbA1c) terakhir, lama menyandang diabetes, riwayat penyakit penyerta (hipertensi dan dislipidemia), jenis terapi (insulin atau obat hipoglikemik oral/OHO) serta ada tidaknya komplikasi kronik DM yang lain (CAD, PAD, retinopati, nefropati dan neuropati). Kendali glikemik baik bila kadar HbA1c <6,5%; sedang bila kadar HbA1c 6,5-8%; dan buruk bila kadar HbA1c >8%.71 Dilakukan juga pengukuran tinggi dan berat badan. Berat Badan kurang bila IMT (Indeks Massa Tubuh) <18,5 kg/m2; normal bila IMT antara 18,5 - 22,9 kg/m2; dan lebih bila IMT >23 kg/m2.27 Gangguan depresi berdasarkan skala Hamilton berkategori sebagai berikut : tidak depresi : <10; ringan : 10-13; sedang : 14-17; berat : >17.

Para subyek tersebut dalam posisi duduk nyaman menjalani pemeriksaan ERP auditorik diskriminasi aktif 2 nada di ruang yang tenang menggunakan alat Medtronic Bandpass. Elektroda permukaan diletakkan pada 4 lokasi perekaman yaitu Fpz, Fz, Cz dan Pz dari sistem internasional 10/20. Elektroda referensi diletakkan pada area aurikula yang dijadikan common reference. Pada subyek dipasangkan kop telinga bilateral dan diingatkan untuk tidak tertidur, kemudian diperdengarkan contoh jenis rangsangan. Subyek diberikan 300 stimulus yang terdiri dari 2 jenis nada secara binaural dengan intensitas 90 dB. Stimulus pertama (S1) sebagai nada standar berfrekuensi 1 kHz, sedangkan stimulus kedua (S2) sebagai nada target berfrekuensi 2 kHz. Nada target berjumlah 20% dari jumlah total stimulus yang terdengar acak sesuai program komputer. Interval interstimulus 1 detik.

Page 20: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 4

 

Subyek diminta mengabaikan nada standar. Bila subyek mendengar nada target maka subyek harus menekan secepat mungkin tombol pada tangan dominan dan menghitung dalam hati jumlah nada target yang terdengar. Kemudian dilakukan pencatatan dan analisis performa motorik (waktu reaksi/reaction time (RT), hits rate dan false alarm (commission error)), latensi dan amplitudo komponen gelombang/potensial ERP (N1, P2, N2, P3). Waktu reaksi (reaction time) adalah waktu yang diperlukan subyek untuk berespons (menekan tombol) terhadap stimulus target. Hits adalah jumlah respons yang benar terhadap nada target. Commission error adalah kesalahan tidak mengenali nada standar dan menganggapnya sebagai nada target sehingga menekan tombol yang disediakan (false alarm). Pemeriksaan efektif jika hits rate ≥ 75%.18 Latensi gelombang P300 dikatakan memanjang jika nilainya ≥ 343.07 mdetik (rerata latensi P300 pada +2SD populasi normal).28  

Proses analisis data secara elektronik menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences)  versi 13.0. Yang dinilai adalah sebaran rerata performa motorik, latensi dan amplitudo gelombang ERP terhadap variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, IMT (indeks massa tubuh), hipertensi, dislipidemia, durasi menyandang DM tipe 2, jenis terapi (insulin atau OHO), komplikasi DM lain (coronary arterial disease/CAD, peripheral arterial disease/PAD, nefropati, retinopati dan neuropati),  kendali glikemik dan derajat depresi serta hubungan abnormalitas latensi P300 dengan faktor-faktor penentu yang disebutkan di atas. Sebaran rerata dinilai dengan uji t, jika tidak memenuhi syarat uji t digunakan uji Kruskal-Wallis. Jika didapatkan lebih dari satu hubungan bermakna dilakukan konfirmasi dengan analisis multivariat uji Anova dua arah. Sedangkan hubungan abnormalitas latensi P300 dengan faktor-faktor penentu dinilai dengan uji Chi square, jika tidak memenuhi syarat, digunakan uji Fischer. Jika didapatkan lebih dari satu hubungan bermakna dilakukan konfirmasi dengan analisis multivariat regresi logistik. HASIL 1. Karakteristik Subyek Penelitian

Terdapat 68 pasien DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik Endokrin–Penyakit Dalam RSCM yang memenuhi kriteria penelitian antara Agustus-Oktober 2009. Proporsi laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, terdiri atas 33 (48,5%) laki-laki dan 35 (51,5%) perempuan. Rentang usia subyek antara 40–67 tahun dengan subyek berpendidikan dasar sebanyak 5 orang (7,4%) dan berpendidikan lanjutan sebanyak 63 orang (92,6%).

Terdapat 33 pasien (48,5%) dengan durasi DM tipe 2 selama 2-5 tahun. Sebagian besar subyek (58,8%) berindeks massa tubuh (IMT) berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m²). Sebanyak 45,6% subyek mengidap hipertensi atau sedang meminum obat antihipertensi, 47,1% mengidap dislipidemia atau sedang meminum obat hipolipidemik, dan sebagian besar subyek (60,3%) menderita salah satu atau lebih komplikasi DM tipe 2 (retinopati, neuropati, nefropati, PAD atau CAD). Kendali glikemik bagian terbesar subyek (48,5%) berkategori baik. Terapi pada sebagian besar subyek (76,5%) adalah terapi dengan obat hipoglikemik oral (OHO). Selain itu, mayoritas subyek (79,4%) tidak mengalami depresi.

Rerata usia subyek adalah 52,93 ± 6,358 tahun. Rerata lama menyandang DM tipe 2 adalah 5,87 ± 5,149 tahun. Rerata indeks massa tubuh adalah 24.65 ± 3.01. Sedangkan rerata HbA1c subyek adalah 7.544 ± 2.26%.

Hasil penapisan menggunakan MMSE sebagai pemeriksaan neuropsikologi global untuk menyingkirkan demensia menunjukkan rerata nilai MMSE 28,84 ± 1,73. 2. Rerata Performa Motorik dan Komponen Gelombang ERP Rerata performa motorik, latensi dan amplitudo gelombang ERP auditorik pada subyek penelitian berturut-turut dapat dilihat pada tabel 1.

Page 21: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 5

 

Tabel 1. Rerata performa motorik, latensi dan amplitudo ERP pada subyek penelitian. Mean ± SD 95% CI Median Low High Waktu reaksi 440.37 ± 98.65 416.49 464.25 432 Hits 95.13 ± 5.566 93.79 96.48 97.5 False alarm 0.63 ± 1.064 0.37 0.89 0 Latensi N100 92.60 ± 19.20 87.96 97.25 88 Latensi P200 186.50 ± 28.69 179.55 193.45 183 Latensi N200 243.71 ± 38.27 234.44 252.97 238 Latensi P300 345.91 ± 39.50 336.35 355.47 343 Amplitudo N100 10.62 ± 9.388 8.351 12.90 8.6 Amplitudo P200 5.920 ± 5.542 4.579 7.262 4.85 Amplitudo N200 11.75 ± 18.37 7.308 16.20 5.95 Amplitudo P300 9.809 ± 5.894 8.382 11.23 8.45 3. Sebaran Komponen Gelombang ERP terhadap Variabel Bebas Tabel 2. Rerata performa motorik terhadap variabel bebas subyek dan medik. Variabel Waktu Reaksi Hits False alarm

Rerata SD Rerata SD Rerata SD Jenis Kelamin

• Laki-laki • Perempuan

p

457.37 422.33 0.490

89.00

106.34

96.42 93.91 0.163

4.55 6.19

0.36 0.89

0.029

0.69 1.27

Usia • 40-49 tahun • 50-59 tahun • 60-69 tahun

p

412.83 432.64 512.82 0.056

83.69 95.62

105.77

97.72 94.69 92.45 0.048*

2.585 6.014 6.170

0.28 0.85 0.45

0.281

0.461 1.288 0.688

Pendidikan • Dasar • Lanjutan

p

597.2

435.06 0.505

86.13 98.23

91.4

95.43 0.631

5.857 5.482

0.4

0.65 0.668

5.857 5.482

Lama DM • < 2 tahun • 2-5 tahun • > 5 tahun

p

379.7

461.42 436.84 0.068

67.90

102.16 96.80

96.60 95.12 94.56 0.713

4.477 5.499 6.117

0.90 0.55 0.64

0.576

1.101 0.869 1.287

Indeks Massa Tubuh • Berat badan kurang • Berat badan normal • Berat badan lebih

p

-

453.0 431.52 0.410

-

117.56 83.41

-

95.86 94.62 0.252

-

5.126 5.865

-

0.50 0.72

0.600

-

0.793 1.219

Riwayat Hipertensi • Ya • Tidak

p

475.71 410.76 0.006

98.62 89.63

94.13 95.97 0.185

6.081 5.025

0.81 0.49

0.082

1.195 0.932

Riwayat Dislipidemia • Ya • Tidak

p

469.53 424.97 0.066

88.32

101.99

93.81 96.06 0.011

5.385 5.786

1.03 0.31

0.007

1.332 0.592

Komplikasi DM lain

• Ya • Tidak

p

460.10 410.41 0.041

102.62 85.64

94.10 96.70 0.011

5.621 5.195

0.73 0.48

0.308

1.184 0.849

Page 22: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 6

 

Kendali glikemik • Baik • Sedang • Buruk

p

444.27 436.91 436.58 0.998

107.66 103.97 86.51

94.82 95.91 95.21 0.855

6.371 4.784 4.836

0.67 0.36 0.71

0.349

0.854 0.924 1.367

Terapi • OHO • Insulin • Campuran

p

432.44 454.22 481.43 0.467

95.31

114.79 105.34

95.96 90.22 95.29 0.115

4.392 9.038 5.559

0.58 0.67 1.00

0.695

0.893 0.707 2.236

Depresi • Tidak • Ringan • Sedang

p

423.59 496.44 520.60 0.018**

92.34

106.77 91.20

95.67 93.89 91.60 0.086

5.617 4.702 5.814

0.54 1.11 0.80

0.533

0.862 1.965 0.837

Ket. : * Uji Kruskal-Wallis, pada analisis post hoc dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok 40-49 tahun dengan 60-69 tahun (p<0.05). ** Uji one-way Anova, pada analisis post hoc didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok tidak depresi dengan depresi ringan dan tidak depresi dengan depresi sedang (p<0.05). Pada tabel 2. tampak pemanjangan rerata waktu reaksi yang bermakna (p<0.05) pada kelompok subyek dengan hipertensi (p=0.006), komplikasi DM yang lain (p=0,041) dan bersesuaian dengan tingkat keparahan depresi (p=0.018). Selain itu terdapat perbedaan rerata hits yang bermakna (p<0.05) sesuai dengan pertambahan usia (p=0.048), adanya dislipidemia (p=0,011) dan adanya komplikasi DM yang lain (p=0.011). Juga didapatkan juga perbedaan rerata false alarm (commission error) yang bermakna antar jenis kelamin (p=0.029) serta antara subyek dengan dan tanpa dislipidemia (p=0,007). Tabel 3. Anova dua arah untuk waktu reaksi, hits dan false alarm

Faktor penentu

Waktu reaksi Hits False Alarm

F Nilai p F Nilai p F Nilai p

Jenis kelamin 1.093 0.300 Usia 1.888 0.143

Hipertensi 5.298 0.025 Dislipidemia 4.529 0.037 Komplikasi

DM lain 0.526 0.471 3.184 0.080

Depresi 5.570 0.021 1.249 0.269 Pada tabel 3. analisis multivariat menunjukkan bahwa perbedaan rerata waktu reaksi yang bermakna secara statistik hanya didapatkan pada hubungan dengan hipertensi dan depresi; perbedaan rerata hits yang bermakna secara statistik tidak didapatkan pada satu variabel pun; dan perbedaan rerata false alarm yang bermakna secara statistik hanya didapatkan pada hubungan dengan dislipidemia.

Page 23: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 7

 

Tabel 4. Rerata latensi gelombang ERP terhadap variabel bebas subyek dan medik Variabel N100 P200 N200 P300

Rerata SD Rerata SD Rerata SD Rerata SD Jenis Kelamin

• Laki-laki • Perempuan

p

96.21 18.48 89.20 19.50 0.082

180.45 23.90 192.20 31.87 0.104

234.27 32.92 252.60 41.21 0.046

333.64 31.77 357.49 42.91 0.018

Usia • 40-49 tahun • 50-59 tahun • 60-69 tahun

p

94.67 17.73 89.67 18.48 99.64 23.27 0.340

181,72 28.30 185.64 27.29 197.36 33.91 0.328

230.78 28.44 243.67 37.02 265.00 49.29 0.063

339.94 26.02 343.82 41.13 363.09 49.72 0.276

Pendidikan • Dasar • Lanjutan

p

87.20 10.40 93.03 19.72 0.510

182.40 15.37 186.83 29.55 0.953

291.40 32.61 239.92 36.28 0.007

364.60 10.21 344.43 40.61 0.009

Lama DM • < 2 tahun • 2-5 tahun • > 5 tahun

p

89.20 14.35 92.39 18.59 94.24 21.98 0.702

169.60 11.62 185.15 28.93 195.04 30.57 0.016*

221.40 27.87 243.27 37.04 253.20 40.82 0.083

313.20 21.45 341.88 38.59 364.32 37.11 0.001**

Indeks Massa Tubuh • Berat badan kurang • Berat badan normal • Berat badan lebih

p

- - 97.25 19.37 89.35 18.63 0.069

- -

187.29 34.17 185.95 24.60 0.847

- -

245.79 44.51 242.25 33.76 0.711

- -

348.86 42.88 343.85 37.38 0.765

Riwayat Hipertensi • Ya • Tidak

p

90.45 19.38 94.41 19.13 0.237

194.13 30.92 180.11 25.36 0.030

252.03 42.10 236.73 33.75 0.088

359.45 39.07 334.57 36.64 0.009

Riwayat Dislipidemia • Ya • Tidak

p

89.88 19.87 95.72 19.48 0.262

193.44 30.12 180.41 27.86 0.041

252.56 43.42 238.00 32.11 0.151

366.19 42.27 329.28 26.93 0.000

Komplikasi DM lain • Ya • Tidak

p

94.80 21.74 89.26 14.25 0.642

194.32 28.42 174.63 25.22 0.001

256.66 38.79 224.04 28.17 0.000

359.39 37.46 325.44 33.78 0.000

Kendali glikemik • Baik • Sedang • Buruk

p

93.73 21.44 90.09 10.85 92.21 19.44 0.960

182.03 25.20 181.00 32.41 195.17 30.60 0.233

243.91 39.65 233.09 40.40 248.29 35.96 0.558

336.45 30.52 366.73 39.42 349.38 47.18 0.075

Terapi • OHO • Insulin • Campuran

p

92.31 19.17 92.78 23.50 94.57 15.87 0.856

182.77 25.74 187.44 26.25 213.00 41.24 0.065

240.38 36.80 242.00 32.69 270.57 49.77 0.145

340.29 35.55 343.56 29.00 390.71 54.18 0.005***

Depresi • Tidak • Ringan • Sedang • p

92.85 19.95 97.00 13.45 82.00 18.86 0.183

186.81 30.53 189.22 21.64 178.20 20.01 0.692

240.94 38.08 243.00 32.30 274.80 43.79 0.147

342.98 39.73 353.78 47.13 363.40 12.01 0.448

Ket : * Uji Kruskal-Wallis, pada analisis post hoc dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok lama DM <2 tahun dengan >5 tahun (p<0.05). ** Uji Kruskal-Wallis, pada analisis post hoc dengan uji Mann-Whitney didapatkan

Page 24: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 8

 

perbedaan bermakna antara kelompok lama DM <2 tahun dengan 2-5 tahun, <2 tahun dengan >5 tahun dan 2-5 tahun dengan >5 tahun (p<0.05).

*** Uji one-way Anova, pada analisis post hoc didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok OHO dengan campuran dan insulin dengan campuran (p<0.05). Tabel 4. menunjukkan bahwa pada komponen gelombang ERP didapatkan perbedaan yang bermakna pada rerata latensi P200 (semakin memanjang) yang sesuai dengan semakin lamanya durasi menderita DM (p=0.016), adanya hipertensi (p=0.030), dislipidemia (p=0.041) dan adanya komplikasi DM yang lain (p=0.001). Didapatkan juga perbedaan yang bermakna pada rerata latensi N200 antara laki-laki dan perempuan (p=0.046), antara subyek berpendidikan dasar dan lanjutan (p=0.007) serta antara subyek dengan komplikasi DM yang lain dan tanpa komplikasi lain (p=0.000). Selain itu didapatkan perbedaan yang bermakna pada rerata latensi P300 antara laki-laki dan perempuan (p=0.018), antara subyek berpendidikan dasar dan lanjutan (p=0.009), semakin memanjang dengan semakin lamanya durasi menderita DM (p=0.001), antara subyek dengan dan tanpa hipertensi (p=0.009), antara subyek dengan dan tanpa dislipidemia (p=0.000), antara yang dengan dan tanpa komplikasi DM yang lain (p=0.000) serta antara subyek yang diterapi OHO atau insulin dan yang diterapi campuran (kombinasi) OHO dan insulin (p=0.005). Tabel 5. Anova dua arah untuk latensi P200, N200 dan P300

Faktor penentu

Latensi P200 Latensi N200 Latensi P300

F Nilai p F Nilai p F Nilai p

Jenis kelamin 0.028 0.867 2.698 0.114 Pendidikan 1.058 0.308 0.797 0.381 Lama DM 0.399 0.674 3.072 0.066 Hipertensi 0.077 0.782 0.026 0.875

Dislipidemia 1.686 0.202 2.202 0.151 Komplikasi

DM lain 0.354 0.876 0.975 0.441 3.042 0.038

Terapi 0.836 0.446

Pada tabel 5. analisis multivariat menunjukkan bahwa perbedaan rerata yang bermakna secara statistik hanya didapatkan pada hubungan latensi P300 dengan adanya komplikasi DM yang lain. Tabel 6. Rerata amplitudo ERP terhadap variabel bebas subyek dan medik Variabel N100 P200 N200 P300

Rerata SD Rerata SD Rerata SD Rerata SD Jenis Kelamin

• Laki-laki • Perempuan

p

9.797 8.005 11.40 10.59 0.390

5.239 4.461 6.563 6.398 0.277

14.37 23.34 9.289 11.80 0.912

9.077 6.583 10.58 5.047 0.065

Usia • 40-49 tahun • 50-59 tahun • 60-69 tahun

p

12.43 13.81 9.518 5.932 11.58 10.99 0.938

7.144 8.686 5.095 2.920 6.845 6.235 0.832

14.38 23.36 10.31 15.88 12.60 18.81 0.225

10.93 6.086 9.903 6.089 7.645 4.631 0.348

Pendidikan • Dasar • Lanjutan

p

6.580 3.070 10.94 9.655 0.226

5.840 1.689 5.927 5.745 0.378

4.020 3.298 12.37 18.94 0.217

6.120 5.237 10.10 5.881 0.105

Page 25: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 9

 

Lama DM • < 2 tahun • 2-5 tahun • > 5 tahun

p

6.870 4.406 11.37 7.322 11.14 12.66 0.182

5.640 29.10 4.873 4.226 7.416 7.409 0.179

16.20 27.21 10.27 11.61 11.93 21.75 0.377

10.16 7.013 9.370 6.088 10.25 5.346 0.840

Indeks Massa Tubuh • Berat badan kurang • Berat badan normal • Berat badan lebih

p

- -

11.08 8.168 10.30 10.25 0.298

- -

4.839 4.495 6.678 6.112 0.031

- -

10.73 11.96 12.48 21.89 0.079

- -

8.143 4.991 10.98 6.248 0.068

Riwayat Hipertensi • Ya • Tidak

p

12.55 12.29 9.014 5.686 0.510

7.435 7.463 4.561 2.668 0.104

12.28 21.09 11.32 16.02 0.121

10.25 6.392 9.438 5.503 0.653

Riwayat Dislipidemia • Ya • Tidak

p

12.00 11.31 9.703 7.516 0.237

6.247 6.644 5.459 4.658 0.568

9.953 13.53 14.73 22.85 0.687

9.494 7.338 9.931 4.422 0.190

Komplikasi DM lain • Ya • Tidak

p

11.58 10.90 9.174 6.370 0.433

6.405 6.584 5.185 3.397 0.679

10.79 18.52 13.23 18.38 0.111

8.788 5.185 11.36 6.634 0.116

Kendali glikemik • Baik • Sedang • Buruk

p

11.73 8.230 12.60 16.54 8.196 5.814 0.183

6.515 4.412 6.818 10.63 4.692 3.280 0.094

17.16 23.27 10.74 17.10 4.783 3.004 0.069

10.35 5.569 11.81 8.960 8.146 4.232 0.356

Terapi • OHO • Insulin • Campuran

p

9.421 6.666 16.40 18.54 12.13 9.112 0.621

4.975 2.858 11.11 12.49 6.271 4.175 0.528

9.319 14.62 26.93 31.21 10.33 15.87 0.187

9.744 5.868 12.41 6.808 6.943 3.688 0.157

Depresi • Tidak • Ringan • Sedang • p

9.909 9.598 15.67 8.122 9.260 7.583 0.040

5.998 5.964 5.133 4.407 6.500 1.565 0.387

10.15 16.09 24.90 29.53 5.380 1.616 0.238

9.937 5.842 10.23 6.639 7.660 5.917 0.757

Tabel 6. menunjukkan bahwa pada komponen amplitudo gelombang ERP didapatkan perbedaan rerata amplitudo P200 yang bermakna antara kelompok subyek dengan berat badan normal dan berat badan lebih (p=0.031). Selain itu terdapat perbedaan rerata amplitudo N100 yang bermakna di antara kelompok subyek bedasarkan penggolongan tingkat depresi (p=0.040).

Page 26: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 10

 

4. Hubungan Abnormalitas Latensi P300 dengan Faktor Risiko Tabel 7. Hubungan abnormalitas latensi P300 dengan Faktor Risiko

Keterangan : * Dengan faktor koreksi 0,5. ** Kelompok terapi insulin digabungkan dengan campuran menjadi insulin/lain; kelompok depresi ringan dan sedang digabungkan menjadi ada depresi.

Faktor penentu Abnormalitas latensi

P300 p OR 95% CI

Ya Tidak Low High Jenis kelamin

• Perempuan • Laki-laki

24 10

11 23

0.002

5.02

1.60

16.21

Usia • 60-69 tahun • 50-59 tahun • 40-49 tahun

7

18 9

4

21 9

0.702 0.787

1.75 0.86

0.30 0.24

10.80 3.02

Pendidikan • Dasar • Lanjutan

5

29

0

34

0.053

12.86*

1.49

111.01

Lama DM • > 5 tahun • 2-5 tahun • < 2 tahun

17 14 3

8

19 7

0.062 0.714

4.96 1.72

0.81 0.31

33.62 10.33

Indeks Massa Tubuh • BB kurang • BB normal • BB lebih

0

14 20

0

14 20

1.000

1.00

0.34

2.94

Riwayat Hipertensi • Ya • Tidak

21 13

10 24

0.007

3.88

1.26

12.20

Riwayat Dislipidemia • Ya • Tidak

22 12

10 20

0.012

3.67

1.16

11.88

Komplikasi DM lain • Ya • Tidak

26 8

15 19

0.006

4.12

1.30

13.45

Kendali glikemik • Buruk • Sedang • Baik

12 8

14

12 3

19

0.571 0.082

1.36 3.62

0.41 0.68

4.47

21.35

Terapi** • Insulin/lain • OHO

Depresi** • Ada • Tidak

12 22

10 24

4

30

4 30

0.022

0.072

4.09

3.13

1.02

0.76

17.59

13.71

Page 27: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 11

 

Tabel 7. menunjukkan ada 34 (50%) subyek dengan abnormalitas (pemanjangan) latensi gelombang P300 dari total 68 subyek penelitian. Hubungan yang bermakna didapatkan antara abnormalitas latensi gelombang P300 dengan jenis kelamin (p=0,002), hipertensi (p=0,007), dislipidemia (p=0,012), adanya komplikasi DM yang lain (p=0,006) dan terapi (p=0,022). Selain itu hubungan yang hampir bermakna ditemukan pada hubungan abnormalitas latensi gelombang P300 dengan pendidikan (p=0,053), lama DM (p=0,062) dan depresi (p=0,072).

Tabel 8. Analisis multivariat variabel penentu terhadap abnormalitas latensi P300

Variabel penentu p OR

95% CI Low High

Jenis kelamin perempuan 0.004 2.86 1.41 5.80 Terdapat komplikasi DM lain 0.005 2.95 1.38 6.33 Mengalami depresi 0.028 4.92 1.19 20.28 Pada tabel 8. analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang menjadi penentu abnormalitas latensi P300 terdiri dari jenis kelamin perempuan (p=0,004; OR 2,86), terdapatkomplikasi DM lain (p=0,005; OR 2,95) dan mengalami depresi (p=0,028; OR 4,92).

Tabel 9. Hubungan abnormalitas latensi P300 dengan komplikasi kronik DM lain.

Tabel 9. menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara komplikasi diabetes neuropati (p=0,039), nefropati (p=0,041), CAD (p=0,016) dan PAD (p=0,041) dengan abnormalitas latensi P300.

PEMBAHASAN 1. Karakteristik Demografis Subyek

Pada penelitian ini perbandingan pasien DM antara laki-laki dan perempuan sebanding (33 vs. 35 pasien atau 1:1,06) sesuai prevalensi dunia dengan populasi diabetisi perempuan sedikit lebih tinggi daripada diabetisi laki-laki.29

Pada penelitian ini cakupan usia subyek adalah 40-69 tahun hampir sesuai dengan data epidemiologi di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang menunjukkan bahwa mayoritas pengidap DM tipe 2 berusia antara 45-65 tahun.30 Rerata usia subyek pada penelitian ini adalah 52,93 ± 6,358 tahun. Rerata usia tersebut tidak jauh berbeda dengan

Abnormalitas latensi

P300 p OR 95% CI

Ya Tidak Low High Komplikasi DM lain

• neuropati • retinopati

15 1

11 4

0.039 1.000

3.24

0.594

1.04

0.057

10.07 6.175

• nefropati • CAD

3 4

0 0

0.041 0.016

- -

- -

- -

• PAD 3 0 0.041 - - - • Tidak 8 19

Page 28: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 12

 

populasi DM tipe 2 di Poli Endokrin RSCM pada penelitian Kurniawan yaitu 56,26 ± 7,0 tahun maupun pada penelitian Nasrun yaitu 58,5 ± 2,0 tahun.8,16

Dari 68 subyek penelitian hanya 5 orang (7,4%) yang digolongkan dalam kelompok berpendidikan Dasar. Hal ini berbeda dengan penelitian oleh Kurniawan yang mendapatkan persentase subyek berpendidikan dasar sebesar 25,5%, karena kriteria yang dipakai pada penelitian ini sesuai penelitian Yang, dkk. yang mengategorikan pendidikan tamat SLTP ke atas sebagai berpendidikan lanjutan.16,18

Pada penelitian ini indeks massa tubuh (IMT) bagian terbesar subyek (58.8%) termasuk dalam kategori berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m²). Hal ini hampir serupa dengan temuan Kurniawan yang menunjukkan 60,4% pasien berkategori berat badan lebih.16

Hipertensi ditemukan pada 45,6% subyek pada penelitian ini. Prevalensi hipertensi pada DM tipe 2 yang cukup tinggi ini hampir serupa dengan temuan Nilsson, dkk (2003)31 sebesar 47-56% maupun Hassing, dkk. (2004)32 di Swedia sebesar 57,9%. Hipertensi pada DM tipe 2 dapat merupakan suatu koinsidensi atau akibat sekunder dari diabetes ketika kondisi hiperglikemia mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang berefek pada berbagai ekspresi gen. Ekspresi endothelial Nitric Oxyde Synthase (eNOS) yang bersifat vasodilator berkurang sementara ekspresi endothelin-1 yang bersifat vasokonstriktor meningkat sehingga tekanan darah meningkat.6

Pada penelitian ini dislipidemia ditemukan pada 47,1% subyek. Prevalensi yang cukup tinggi ini sesuai dengan laporan Canadian Diabetes Association (2006)33 yang menunjukkan bahwa prevalensi dislipidemia pada penyandang DM tipe 2 mencapai 55-66%. Tingginya angka dislipidemia pada penyandang diabetes mungkin karena hiperglikemia mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dalam sirkulasi akibat pelepasan yang berlebihan dari jaringan adiposa dan berkurangnya uptake oleh sel otot. Akibatnya organ hati berespons dengan meningkatkan produksi very low density lipoprotein (VLDL) dan sintesis kolesterol ester. Keadaan tersebut disertai dengan berkurangnya aktivitas lipoprotein lipase yang meningkatkan konsentrasi trigliserida dalam darah yang selanjutnya menurunkan konsentrasi HDL.34,35

2. Performa Motorik Sejauh ini belum ada penelitian lain yang menganalisis performa motorik pada pasien DM tipe 2 secara khusus. Rerata waktu reaksi pada penelitian ini sebesar 440,37 mdetik memanjang dibandingkan populasi normal dengan rerata waktu reaksi 357 mdetik, sedangkan rerata hits 95,1% lebih rendah daripada rerata hits 98% pada populasi normal.36

Waktu reaksi pasien DM tipe 2 pada penelitian ini dipengaruhi oleh faktor hipertensi, komplikasi DM lain dan tingkat depresi. Namun pada analisis multivariat lebih lanjut hanya faktor hipertensi dan tingkat depresi yang bermakna secara statistik sebagai penentu. Waktu reaksi dianggap mewakili persepsi waktu dan performa motorik yaitu kecepatan psikomotor yang berhubungan dengan fungsi ganglia basalis (khususnya putamen), serebelum, korteks prefrontal dan lobus parietal.37,38 Pemanjangan waktu reaksi dikaitkan dengan gangguan fungsi eksekutif, kendali waktu yang buruk atau gangguan dalam mempertahankan atensi (sustained attention).21 Hal ini sesuai dengan data penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan uji neuropsikologi yang menunjukkan gangguan ranah kecepatan psikomotor, fungsi lobus frontal/fungsi eksekutif dan atensi pada pasien-pasien DM tipe 2.6,16

Hits rate pasien DM tipe 2 pada penelitian ini dipengaruhi oleh faktor pertambahan usia, adanya dislipidemia dan adanya komplikasi DM yang lain, yang menggambarkan ketepatan subyek penelitian merespons suatu stimulus target ditunjukkan dengan beda akumulasi respons. Namun pada analisis multivariat tidak ada satu variabel pun yang

Page 29: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 13

 

bermakna secara statistik sebagai penentu. Tampaknya hits rate dipengaruhi oleh tingkat atensi subyek.21

Commision error (false alarm) perbedaan pasien DM tipe 2 pada penelitian ini dipengaruhi oleh jenis kelamin dan dislipidemia. Namun pada analisis multivariat lebih lanjut hanya dislipidemia yang bermakna secara statistik sebagai penentu. Commission error ini dianggap menggambarkan tingkat impulsivitas yang berkaitan dengan kemampuan inhibisi fungsi eksekutif pengendalian motorik.21 Akan tetapi hasil pengukuran commission error pada penelitian ini harus disikapi dengan hati-hati karena tingkat keandalannya (reliabilitas) yang rendah (koefisien variasi >30%). 3. Latensi Gelombang ERP auditorik

Sejauh ini belum ada penelitian lain yang menganalisis hubungan komponen eksogen ERP dengan faktor-faktor penentu pada pasien DM tipe 2 secara khusus. Walaupun tidak bermakna terdapat kecenderungan (trend) pemanjangan rerata latensi N100 terhadap lama (durasi) menderita DM. Hal ini menunjukkan hubungan dengan gangguan atensi selektif yang berperan dalam fungsi eksekutif.92 Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna rerata latensi P200 terhadap durasi menderita DM, hipertensi, dislipidemia dan komplikasi DM yang lain. Namun pada analisis multivariat tidak ada satu variabel pun yang bermakna secara statistik sebagai penentu latensi P200. Gelombang N100 dan P200 merupakan komponen eksogen yang padanya proses kognitif dianggap kurang berperan. Namun pemrosesan sensorik akhir yang diwakili oleh gelombang-gelombang ini dapat tumpang tindih dengan aspek awal seleksi atensi dan orientasi.19,26,39-41

Secara umum rerata latensi gelombang P300 pada penelitian ini sebesar 345,91 mdetik memanjang daripada rerata pada populasi normal sebesar 309,74 mdetik, bahkan melampaui batas normal 343,07 mdetik.28 Latensi P300 mencerminkan kecepatan pemilahan stimulus yang menjadi indeks waktu proses yang diperlukan sebelum pembangkitan respons. Latensi P300 adalah suatu pengukuran yang sensitif dari aktivitas otak yang mendasari alokasi atensi dan memori segera (immediate).19,22,25,42 Sehingga dapat diasumsikan pemanjangan latensi P300 mewakili gangguan atensi dan memori segera. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna pada rerata latensi N200 terhadap faktor jenis kelamin, tingkat pendidikan dan komplikasi DM yang lain. Namun pada analisis multivariat tidak ada satu variabel pun yang bermakna secara statistik sebagai penentu latensi N200. Selain itu didapatkan perbedaan yang bermakna pada rerata latensi P300 terhadap jenis kelamin, tingkat pendidikan, semakin memanjangnya lama (durasi) menderita DM, hipertensi, dislipidemia, komplikasi DM yang lain dan terapi. Namun pada analisis multivariat lebih lanjut hanya faktor ada/tidaknya komplikasi DM yang lain yang bermakna secara statistik sebagai penentu. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh pada latensi gelombang ERP,18,19,21,22 penelitian ini menunjukkan perbedaan bermakna rerata latensi N200 dan P300 terhadap faktor jenis kelamin. Hal ini diduga karena pada penelitian ini persentase penderita komplikasi DM yang lain dan dislipidemia populasi subyek perempuan lebih tinggi daripada subyek laki-laki.

Penelitian ini menunjukkan perbedaan bermakna rerata latensi P300 menurut tingkat pendidikan yang sesuai dengan beberapa penelitian lain dengan populasi besar (baik kohort ataupun kasus kontrol) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah berisiko lebih tinggi untuk terjadinya demensia.10,43

Gambaran hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian Yang, dkk. (2007) pada didapatkannya hubungan yang bermakna antara durasi menderita DM dengan latensi N200 dan P300.18 Hal ini juga sesuai dengan temuan oleh Gregg dkk. (2000) bahwa penyandang diabetes dengan durasi >5 tahun berisiko 1,5 kali lipat untuk mengalami gangguan kognitif dan perburukan kognitif.44

Page 30: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 14

 

Hubungan bermakna antara rerata latensi P300 dengan hipertensi sesuai dengan temuan bahwa hipertensi secara independen maupun bersama-sama DM meningkatkan risiko terjadinya gangguan kognitif, seperti yang telah dibuktikan oleh berbagai penelitian.6 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian lain yaitu dislipidemia berhubungan dengan risiko terjadinya gangguan kognitif, diantaranya seperti yang dibuktikan oleh penelitian Farr, dkk. (2008).45 Fungsi kognitif pada pasien DM dapat lebih buruk jika pada pasien tersebut terdapat juga komplikasi diabetes yang lain. Namun, terdapat pula penelitian lain yang tidak menemukan hubungan antara gangguan fungsi kognitif dengan adanya komplikasi diabetes yang lain. Sebagian besar penelitian yang meneliti hubungan komplikasi DM yang lain dilakukan pada para pasien DM tipe 1, sedangkan pada DM tipe 2 secara umum belum dapat dipastikan hubungannya.6 Hasil pada penelitian ini yang menunjukkan hubungan yang bermakna antara latensi N200 dan P300 dengan komplikasi DM yang lain, berbeda dengan hasil penelitian oleh Kurniawan yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara gangguan kognitif dengan komplikasi kronik DM yang lain.16 Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode pengukuran yang berbeda (ERP vs. neuropsikologi).

Pada penelitian ini ditemukan adanya kecenderungan pemanjangan rerata latensi P300 pada pemakai insulin dibandingkan pada pengguna OHO dan pemanjangan rerata latensi P300 pada pemakai campuran insulin dan OHO dibandingkan pada pengguna OHO atau insulin. Namun pada analisis post hoc yang didapatkan perbedaan yang bermakna adalah antara rerata latensi P300 kelompok pemakai obat hipoglikemik oral (OHO) dengan campuran (kombinasi insulin dan OHO) dan antara kelompok pemakai insulin dengan campuran. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian yang menemukan bahwa penyandang DM yang menggunakan insulin memiliki gangguan fungsi kognitif yang lebih banyak dibandingkan dengan pengguna obat hipoglikemik oral. Hal ini dihipotesiskan karena penggunaan insulin (dengan atau tanpa kombinasi dengan OHO) mengakibatkan efek hipoglikemia berulang yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan obat hipoglikemik oral saja.6,12,46,47

Berbeda dengan penelitian Teddy (1996) dan Yang, dkk. yang menemukan adanya pemanjangan latensi gelombang N200 dan P300 seiring dengan bertambahnya usia,18,28 walaupun terdapat kecenderungan (trend) pemanjangan rerata latensi gelombang N200 dan P300, namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara usia dengan latensi N200 dan P300. Hal tersebut mungkin dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga distribusi sampel pada setiap kelompok umur tidak merata. Selain itu berbeda dengan penelitian Yang, dkk. yang menunjukkan hubungan yang bermakna antara kendali glikemik dengan latensi P300,18 pada penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna antara kendali glikemik dengan rerata latensi gelombang P300. Hal tersebut mungkin dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga distribusi sampel pada setiap kelompok kendali glikemik tidak merata, perbedaan karakteristik sampel penelitian, perbedaan metoda uji statistik atau karena titik potong batas pengendalian glikemik yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. 4. Amplitudo Gelombang ERP auditorik

Pada penelitian ini ditemukan didapatkan perbedaan rerata amplitudo P200 yang bermakna antara kelompok subyek dengan berat badan normal dan berat badan lebih. Selain itu terdapat perbedaan rerata amplitudo N100 yang bermakna di antara kelompok subyek berdasarkan penggolongan tingkat depresi. Namun hasil pengukuran amplitudo tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati karena tingkat keandalannya (reliabilitas) yang rendah (koefisien variasi >30%) dan tidak bersifat berkait dosis (dose related). Hal ini berbeda dengan

Page 31: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 15

 

penelitian Yang, dkk. yang mendapatkan hubungan yang bermakna antara amplitudo P300 dengan usia, durasi DM dan kendali glikemik (HbA1c).18

5. Proporsi dan Hubungan Abnormalitas Latensi P300 dengan Faktor Risiko Dari total 68 subyek penelitian populasi DM tipe 2 tanpa demensia terdapat 34 (50%)

subyek dengan abnormalitas (pemanjangan) latensi gelombang P300. Hasil ini hampir serupa dengan temuan Kurniawan (2009) dengan prevalensi gangguan kognitif sebesar 54,72% maupun Nasrun (2007) sebesar 54,5%.8,16

Dengan melakukan analisis multivariat, dari beberapa variabel yang bermakna, hanya kelompok jenis kelamin perempuan, terdapat komplikasi kronik DM yang lain dan mengalami depresi yang menjadi penentu abnormalitas latensi P300 yang diasumsikan identik dengan adanya gangguan kognitif. Perempuan berisiko 3 kali dibandingkan laki-laki untuk mengalami abnormalitas latensi P300. Hal ini mungkin disebabkan sebaran yang tidak merata dengan kelompok perempuan lebih banyak yang menderita komplikasi DM yang lain daripada kelompok laki-laki. Subyek yang menderita komplikasi kronik DM yang lain juga berisiko 3 kali dibandingkan subyek yang tanpa komplikasi DM yang lain untuk mengalami abnormalitas latensi P300. Walaupun temuan penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara komplikasi DM yang lain dengan gangguan kognitif masih saling bertolak belakang, namun secara hipotesis dapat diasumsikan pada mereka dengan komplikasi DM yang lain telah terdapat kerusakan mikro dan makrovaskular (mungkin disertai kerusakan struktur saraf) yang bersifat sistemik termasuk di otak yang dapat bermanifestasi secara klinis maupun tidak (defisit subklinis).6 Sedangkan subyek dengan depresi berisiko 5 kali dibandingkan subyek tanpa depresi untuk mengalami abnormalitas latensi P300. Prevalensi depresi lebih tinggi pada populasi diabetes dibanding nondiabetes. Kondisi depresi ini dapat menyebabkan skor kognitif yang rendah pada saat pemeriksaan.6,46,48,49 Namun sejauh ini belum ada penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara tingkat depresi dengan latensi gelombang P300 pada pasien DM tipe 2.

Analisis spesifik mengenai hubungan antara abnormalitas latensi P300 dengan jenis komplikasi DM yang diderita oleh subyek mendapatkan hubungan yang bermakna antara komplikasi DM neuropati, nefropati, CAD dan PAD dengan abnormalitas latensi P300. Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara tiap-tiap jenis komplikasi DM yang lain dengan pemanjangan latensi P300. Dari yang sedikit itu penelitian oleh Young, dkk. (2002) menunjukkan hasil berbeda dengan penelitian ini dengan hasil yang justru mendapatkan hubungan yang bermakna antara retinopati dengan pemanjangan latensi P300.50 Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah sampel subyek yang menderita retinopati terlalu sedikit, lagi pula pemeriksaan funduskopi untuk mengonfirmasi retinopati tidak dilakukan.

KESIMPULAN DAN SARAN Pada penelitian ini jika dibandingkan rerata pada populasi normal, terdapat pemanjangan rerata latensi gelombang P300 (345,91 ± 39,50 vs. 309,74 mdetik) dan rerata waktu reaksi (440,37 ± 98,65 vs. 357 mdetik) serta lebih rendahnya hits rate (95,13 ± 5,566 vs. 98%). Waktu reaksi pasien DM tipe 2 dipengaruhi oleh faktor hipertensi dan tingkat depresi. Rerata latensi P300 pasien DM tipe 2 dipengaruhi oleh komplikasi DM yang lain. Proporsi abnormalitas latensi gelombang P300 pada penyandang DM tipe 2 tanpa demensia adalah 50%. Secara bermakna jenis kelamin perempuan (p=0,004; OR 2,86), komplikasi kronik DM yang lain (neuropati, nefropati, CAD dan PAD) (p=0,005; OR 2,95) dan depresi (p=0,028; OR 4,92) menjadi penentu abnormalitas latensi P300 pada penyandang DM tipe 2 tanpa demensia yang diasumsikan identik dengan adanya gangguan kognitif. Pemeriksaan Event Related Potential (ERP) merupakan parameter obyektif yang dapat digunakan sebagai pelengkap pemeriksaan fungsi kognitif sekaligus sebagai perangkat

Page 32: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 16

 

penapisan gangguan fungsi kognitif yang subklinis pada pelayanan kesehatan terhadap penyandang DM tipe 2 dengan waktu pemeriksaan yang relatif lebih singkat. Pemeriksaan ERP khususnya pemeriksaan latensi P300 dilakukan sebagai penapisan dini gangguan fungsi kognitif pada pasien-pasien DM tipe 2 khususnya pada mereka yang menderita komplikasi DM kronik yang lain dan/atau dengan depresi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan metodologi yang sesuai untuk membuktikan berbagai kecenderungan yang didapatkan pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care 2008;31(Suppl 1):S55-60.

2. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: pengenalan dan penanganannya. Dalam: Noer HMS,ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1996. p. 597-600.

3. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care 2004;27(5):1047–53.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Diabetes ancaman umat manusia di dunia. (Cited 2009). Available from: http://www.depkes.go.id

5. Powers AC. Diabetes Mellitus. Dalam: Braunwald E, Fauci AS. Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, eds. Principles of Internal Medicine. Edisi ke-14. New York: McGraw-Hill 2001. p. 2109-37.

6. Kodl CT, Seaquist ER. Cognitive dysfunction and diabetes mellitus. Endocr Rev 2008; 29(4):494-511. 7. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Synopsis of psychiatry. Edisi ke-7. Baltimore: Williams & Wilkins,

1994. p. 345-56. 8. Nasrun MW. Deteksi dini hendaya kognitif nondemensia pada penyandang diabetes melitus tipe 2:

pendekatan epidemiologi klinis, psikometrik dan spektroskopi resonansi magnetik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. Disertasi.

9. Anderson HA, Kuljis RO. Mild cognitive impairment.(Cited 2009). Available from: http://www.emedicine.com

10. Lopez OL, Kuller LH, Becker JT, Dulberg C, Sweet RA, Gach HM, et al. Incidence of dementia in mild cognitive impairment in the cardiovascular health study cognition study. Arch Neurol 2007;64:416-20.

11. Busse A, Angermeyer MC, Riedel-Heller SG. Progression of mild cognitive impairment to dementia: a challenge to current thinking. Br J Psychiatry 2006;189:399-404.

12. Ott A, Stolk RP, Harskamp F, Pols HAP, Hofman A, Breteler MMB. Diabetes mellitus and the risk of dementia: The Rotterdam study. Neurology 1999;53:1937-43.

13. Luchsinger JA, Reitz C, Patel B, Tang MX, Manly JJ, Mayeux R. Relation of diabetes to mild cognitive impairment. Arch Neurol 2007;64:570-5.

14. Logroscino G, Kang JH, Grodstein F. Prospective study of type 2 diabetes and cognitive decline in women aged 70-81 years. BMJ 2004;328;548-54.

15. Yaffe K, Blackwell T, Kanaya AM, Davidowitz N, Barrett-Connor E, Krueger K. Diabetes, impaired fasting glucose, and development of cognitive impairment in older woman. Neurology 2004;63:658-63.

16. Kurniawan M. Hubungan hendaya kognitif non demensia dengan kendali glikemik pada penyandang diabetes melitus tipe 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. Tesis.

17. Bartlett H, Gray L, Byrne G, Travers C, Chi WL. Dementia : a national health priority. Canberra: Australian Department of Health and Ageing, 2008.

18. Yang H, She J, Lu X, Peng R. Sensitivity of P300 auditory event related potentials for assessing cognitive impairment in elderly type 2 diabetic patients. Neural Regen Res 2008;3(8):894-8.

19. Reinvang I. Cognitive event-related potentials in neuropsychological assessment. Neuropsychol Rev 1999;9(4):231-48.

20. Filivopić SR, Kostić VS. Utility of auditory P300 in detection of presenile dementia. J Neurological Sci 1995;131:150-5.

21. Tiksnadi A. Profil pemeriksaan P300 auditorik pada penilaian fungsi kognitif anak dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. Tesis.

22. Patel SH, Azzam PN. Characterization of N200 and P300: selected studies of the event-related potential. Int J Med Sci 2005;2(4):147-54.

23. Octaviana F. Hubungan antara masa laten P300 auditorik dengan gangguan memori pada penderita epilepsi umum sekunder. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005. Tesis.

24. Lumempouw SF. Korelasi P300 auditorik dengan amnesia pascacedera pada cedera kranioserebral tertutup. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996. Tesis.

Page 33: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 17

 

25. Swick D, Kutas M, Neville H. Localizing the neural generators of event-related brain potentials. Dalam: Kertesz A, editor. Localization and neuroimaging in neuropsychology. San Diego: Academic Press, 1994. p. 73-112.

26. Čeponienė R. Event-related potential (ERP) indices of central auditory development in healthy children and in children with oral clefts. Helsinki: Helsinki University Central Hospital, 2001. Disertasi.

27. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2006. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. PB Perkeni, Jakarta 2006.

28. Teddy A. hubungan nilai latensi P300 dengan umur pada orang normal di FKUI/RSUPN-CM. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996. Tesis.

29. Essue B, Mirzaei M. Epidemiology of diabetes. Sydney:The Serious and Continuing Illness Policy and Practice Study, 2007. p. 3.

30. Cockram CS. The epidemiology of diabetes mellitus in the Asia-Pacific region. HKMJ 2000;6(1):43-52. 31. Nilsson PM, Gudbjörnsdottir S, Eliasson B, Cederholm J. Hypertension in diabetes: trends in clinical control

in repeated large-scale national surveys from Sweden. J Human Hypertension 2003;17:37-44. 32. Hassing LB, Hofer SM, Nilson SE, Berg S, Pedersen NL, McClearn G, et al. Comorbid type 2 diabetes

mellitus and hypertension exacerbates cognitive decline: evidence from longitudinal study. Age and Ageing 2004;33:355-61.

33. Canadian Diabetes Association. Dyslipidemia in adults with diabetes. Canadian J Diabetes 2006;30(3):230-40.

34. Guerci B, Böhme P, Kearney-Schwartz A, Zannad F, Drouin P. Endothelial dysfunction and type 2 diabetes (II). Diabetes Metab (Paris) 2001;27:436-47.

35. Calles-Escandon J, Cipolla M. Diabetes and endothelial dysfunction: a clinical perspective. Endocr Rev 2001;22(1):36–52.

36. Golob EJ, Irimajiri R, Starr A. Auditory cortical activity in amnestic mild cognitive impairment: relationship to subtype and conversion to dementia. Brain 2007;130:740-52.

37. Harrington DL, Haaland KY, Knight RT. Cortical networks underlying mechanisms of time perception. J Neurosci 1998;18(3):1085-95.

38. Livesey AC, Wall MB, Smith AT. Time perception: manipulation of task difficulty dissociates clock functions from other cognitive demands. Neuropsychologia 2007;45:321-31.

39. Martin BA, Tremblay KL, Korczak P. Speech evoked potentials: from laboratory to the clinic. Ear & Hearing 2008;29:285-313.

40. Kotchoubey B. Event related potentials, cognition, and behavior: a biological approach. Neurosci and Biobehavioral Rev 2006;30:42-65.

41. Smith EE, Jonides J. Executive control and thought. Dalam: Squire LR, Bloom FE, McConnell SK, Roberts JL, Spitzer NC, Zigmond MJ, eds. Fundamental neuroscience. Edisi ke-2. Amsterdam: Academic Press, 2003. p. 1377-94.

42. Polich J, Herbst KL. P300 as a clinical assay: rationale, evaluation, and findings. Int J Psychophysiol 2000;38:3-19.

43. Ryan CM, Geckle MO. Circumscribe cognitive dysfunction in middle-aged adult with type 2 diabetes. Diabetes Care 2000;23(10):1486-93.

44. Gregg EW, Brown A. Cognitive and physical disabilities and aging-related complications of diabetes. Clinical Diabetes 2003;21(3):113-8.

45. Farr SA, Yamada KA, Butterfield DA, Abdul HM, Xu L, Miller NE, Banks WA, Morley JE. Obesity and hypertriglyceridemia produce cognitive impairment. Endocrinology 2008;149:2628-36.

46. Maraldi C, Volpato S, Penninx B, Yaffe K, Simonsick EM, Strotmeyer ES, et al. Diabetes mellitus, glycemic control, and incident of depressive symptoms among 70- to 79-year old person. Arch Intern Med 2007;167:1137-1144.

47. Gao L, Matthews FE, Sargeant, Brayne C, MRC CFAS. An investigation of the population impact of variation in HbA1c levels in older people in England and Wales: from a population based multi-centre longitudinal study. BMC Public Health 2008;8:54.

48. Nichols GA, Brown JB. Unadjusted and adjusted prevalence of diagnosed depression in type 2 diabetes. Diabetes Care 2003;26:744-9.

49. Goldney RD, Phillips PJ, Fisher LJ, Wilson DH. Diabetes, depression and quality of life: a population study. Diabetes Care 2004;27:1066-70.

50. Young YC, Ha SY, Shin DS, Han SH, Kwon OS. Event-related evoked potentials in non-demented patients with non-insulin dependent diabetes mellitus (Korean). J Korean Dementia Association 2002;2:95-100.

 

Page 34: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   1  

GANGGUAN KOGNITIF PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Hendro Birowo*, Diatri Nari Lastri**, Lukman H Makmun***, Joedo Prihartono****

ABSTRACT Background : Cognitive impairment are found more common in congestive heart failure patients compare to normal population. Decline in cognitive function can significantly reduce patients’ quality of life and increase both morbidty and mortality. Objective : To assess the prevalence of cognitive impairment in patients with congestive heart failure and determinant factors that may contribute to it. Methods : Cross sectional study was done among congestive heart failure patients with range of age 40-75 years old who came to RSCM on August-October 2009. Cognitive function was assessed by MMSE and STLNB. Independent variables assesed in this study were age, level of education, duration of illness, severity of illness (based on NYHA and ejection fraction of left ventricle) and others vascular risk (hypertension, dyslipidemia, DM) Results : Among 73 subject, 11% had cognitive dysfunction by MMSE and 50,7% by STLNB. Subject with cognitive dysfunction had older mean of age compared with subject without cognitive dysfunction and the differences were significant (62,73±7,59 vs 57,97±10,53, p = 0,078). There was a significant association between level of education with cognitive dysfunction (p= 0,001) and so as with Severity of illness. Subject with higher functional class of NYHA (II and III) had more risk to get cognitive impairment than lower class (I). Subject with ejection fraction less than 45% more likely had cognitive impairment (OR 95%CI 4,87 (1,42-16,72), p=0,008). Based on logistic regretion analysis, NYHA functional class III was the most contributing factor to cognitive dysfunction (OR 95%CI: 29,83(2,95-01,3), p=0,004). Conclusions : Prevalences of cognitive dysfunction among patients with congestive heart failure was 50,7%. This prevalences significantly associated with level of education, mean of age and severity of illness. Keywords : cognitive, heart failure,some determinant factors ABSTRAK Latar Belakang : Gangguan kognitif sering dijumpai pada pasien gagal jantung dibanding populasi normal. Penurunan kognitif secara bermakna menurunkan kualitas hidup pasien, peningkatan morbidiats dan moratlitas. Tujuan : Mengetahui proporsi gangguan kognitif pada penderita penyakit gagal jantung kongestif dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Metode : Uji potong lintang pada pasien gagal jantung kongestif berusia 40-75 tahun yang datang ke RSCM selama bulan Agustus-Oktober 2009. Fungsi kognitif dinilai dengan menggunakan MMSE dan STLNB. Variabel yang diteliti: usia, tingkat pendidikan, durasi sakit, derajat keparahan penyakit (kelas NYHA dan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan faktor risiko vaskular lain (hipertensi, dislipidemia dan DM). Hasil : Dari 73 subyek didapatkan gangguan kognitif berdasarkan pemeriksaan MMSE sebanyak 11% dan berdasarakan STLNB 50,7%. Rerata usia subyek yang mengalami gangguan kognitif lebih tua dibanding subyek tanpa hendaya dan perbedaan tersebut bermakna (62,73±7,59 vs 57,97±10,53, p = 0,078). Terdapat juga hubungan bermakna antara lamanya pendidikan dengan gangguan kognitif (p= 0,001). Derajat keparahan penyakit juga berhubungan dengan gangguan kognitif, subyek dengan NYHA kelas II dan III mempunyai risiko mengalami gangguan kognitif dibanding dengan kelas I. Subyek yang fraksi ejeksi ventrikel kirinya < 45% juga berisiko mengalami hendaya kognitif (OR 95%CI 4,87 (1,42-16,72), p = 0,008). Dari analisa regresi logistik NYHA kelas III merupakan faktor yang paling mempengaruhi kejadian gangguan kognitif (OR95%CI: 29,83 (2,95-301,3), p= 0,004).

Page 35: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   2  

Kesimpulan : Prevalensi gangguan kognitif pada penderita gagl jantung kongestif adalah 50,7%. Kejadian gangguan kognitif berhubungan bermakna dengan lama pendidikan, rerata usia dan derajat keparahan penyakit. Kata kunci : kognitif, gagal jantung,beberapa faktor yang mempengaruhi

  * Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi FKUI, Jakarta, ** Staf Departemen Neurologi FKUI / RSCM, Jakarta, *** Staf Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta, **** Staf Departemen Komunitas FKUI, Jakarta PENDAHULUAN Gagal Jantung Kongestif merupakan komplikasi tersering pada penyakit jantung.1-3 Prevalensinya meningkat lebih dari 150% dalam 20 tahun terakhir dan diperkirakan dalam 30 tahun kedepan akan terus meningkat menjadi dua kali. Di Amerika serikat prevalensinya diperkirakan mencapai 5 juta kasus dan 500 ribu kasus baru didiagnosis setiap tahunnya. Angka perawatan gagal jantung meningkat menjadi dua kali selama 10-15 tahun terakhir dan 30-50% pasien dirawat kembali setelah 3-6 bulan pasca pulang perawatan. 1-8

Penatalaksanaan gagal jantung saat ini difokuskan untuk menghilangkan gejala, memperlambat progresifitas, meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan perilaku perawatan diri sendriri (self care behaviours).8,9 Self care didefinisikan sebagai perilaku individu (terutama disini yang mengalami gagal jantung) untuk mempertahankan kesehatannya dengan cara mematuhi regimen terapi yang diberikan (mengkonsumsi obat yang diberikan, diet rendah garam, menghentikan mengkonsumsi alkohol, tetap melakukan aktivitas fisik), mencegah perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi deteriorasi gejala secara dini. Self care merupakan salah satu bagian yang berperan dalam keberhasilan terapi gagal jantung, merupakan komponen terpenting dalam edukasi pasien dan program tatalaksana penyakit secara keseluruhan, dan dampaknya sangat signifikan pada perbaikan klinis, morbiditas dan prognosis. Tujuan dari self care ini adalah untuk memaksimalkan kesehatan dan mengurangi kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan. Self care adalah suatu proses pengambilan keputusan (decision-making process) yang membutuhkan kemampuan kognitif yang baik dalam hal mempelejari, mengenali, menginterpretasi, menjelaskan dan berespon terhadap masalah. Oleh karena itu pasien dengan gangguan kognitif akan kesulitan untuk memhami, mengingat dan melaksanakan strategi self care ini.8

Aspek terpenting namun terabaikan dalam kualitas hidup pasien gagal jantung yaitu kognitif. Pada dekade terakhir, mulai berkembang kesadaran terhadap adanya gangguan kognitif dan dampaknya pada pasien dengan gagal jantung.1-8 Fungsi kognitif merupakan istilah luas yang menggambarkan proses berpikir, belajar, memori dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan (skills) ini tidak hanya ditujukan pada masalah akademis saja tapi juga dalam hal menjalankan fungsi kesehariannya, contohnya self care dan penatalaksanaan penyakit kronik yang kompleks seperti gagal jantung. 8

Kejadian gangguan kognitif lebih sering dijumpai pada pasien dengan gagal jantung dibanding populasi normal. Dilaporkan prevalensinya mencapai 30-80%. Belum jelas benar konsekuensi dari defisit kognitif tersebut, tapi diyakini pasien dengan gangguan kognitif mempunyai angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Penurunan kognitif juga secara bermakna menurunkan kualitas hidup pasien dan meningkatkan ketergantungan terhadap orang lain. Gangguan kognitif menyebabkan kesulitan dalam penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung.1-8 Menyebabkan pasien mempunyai masalah dalam memahami penyakitnya, mematuhi terapi farmaka dan anjuran-anjuran medis yang diberikan. Dari studi Cline dkk yang dikutip

Page 36: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   3  

Almeida, dilaporkan 10 dari 22 pasien tidak dapat menyebutkan nama obat yang diberikan, 11/22 tidak dapat menyebutkan dosisnya dan 14/22 tidak mampu mengingat kapan pasien harus mengkonsumsi obat tersebut. Semua subyek disurvey 30 hari setelah pasien menerima informasi baik lisan maupun tertulis secara detail mengenai regimen terapinya. Kegagalan mematuhi medikasi yang dianjurkan, seperti kasus di atas, dapat meningkatkan frekuensi kompliksi klinis ysng berkaitan dengan gagal jantung (mengakibat rekurensi atau eksaserbasi gejala). 10

Manifetasi gangguan kognitif pada pasien gagal jantung sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Manifestasi gangguan kognitif yang terjadi dapat berupa gangguan memori, atensi dan psikomotor. Namun sayang hingga saat ini di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo bahkan di Indonesia belum ada publikasi tentang studi mengenai prevalensi gangguan kognitif pada pasien dengan gagal jantung serta gangguan spesifik yang terjadi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat proporsi gangguan kognitif pada penderita penyakit gagal jantung dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. METODE Penelitian ini menggunakan uji potong lintang pada pasien gagal jantung kongestif yang berobat ke poliklinik jantung dan dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara konsekutif dengan memasukkan semua subyek yang memenuhi kriteria penelitian hingga mencukupi kebutuhan sampel, dilaksanakan dari Agustus – Oktober 2009. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu, (1) penderita gagal jantung kongestif berusia 40-75 tahun yang digolongkan NYHA kelas I-III dan memiliki data echocardiografi paling lama 12 bulan, (2) dapat membaca, menulis dan pendidikan minimal lulus SD, (3) bersedia ikut serta dalam penelitian. Kriteria eksklusinya yaitu, (1) penderita dengan riwayat: stroke/TIA, infeksi otak, cedera otak traumatik, keganasan otak, epilepsi, pecandu alkohol dan pengguna opiat, penderita dengan gangguan pendengaran atau gangguan visus berat, (2) penderita dengan gangguan depresi berat (skor Hamilton >17). Setiap subyek penelitian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Status Examination) dan STLNB (Screening Test Luria Nebraska Battery). Gangguan fungsi kognitif yaitu jika pada salah satu dari 2 atau kedua pemeriksaan didapatkan hasil abnormal. Data yang telah teruji keabsahannya ini diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi maupun tabel silang sesuai tujuan penelitian menggunakan perangkat SPSS versi 16.0. Penghitungan nilai rerata dan simpang bakunya dilengkapi dengan interval nilai berdasar Interval Kepercayaan 95% dilakukan untuk variabel kuantitatif. Hubungan antara dua variabel kualitatif akan dinilai dengan uji Chi Square atau uji mutlak Fisher. Hubungan antara variabel kualitatif dan kuantitatif dinilai dengan uji Student t atau uji rangking Mann Whitney. Batas kemaknaan statistik dipergunakan alpha 5%. HASIL PENELITIAN

Dari penelitian didapatkan sampel 73 pasien yang diperoleh dari poliklinik Jantung dan dari bangsal perawatan bagian Penyakit Dalam RSUPNCM antara Agustus-Oktober 2009. Proporsi laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, terdiri atas 37 (50,7%) perempuan dan 36 (49,3%) laki-laki. Rentang usia subyek 40-75 tahun dengan rerata usia 60,38 ± 9,40 dan 35,6% berusia 65 tahun ke atas, dimana subyek yang tingkat pendidikannya ≥ 12 tahun (lulus SMA atau sekolah ke

Page 37: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   4  

tingkat yang lebih tinggi) sebanyak 36 (49,3%) orang, sebanding dengan proporsi yang berpendidikan lebih rendah, 37 orang (50,7%).

Pada penelitian sebagian besar sampel tergolong pada kelas fungsional NYHA I (35,6%) dan II (45,2%), hanya sebagian kecil pada kelas fungsional III (19,2%). Sebagian besar sampel mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri di atas 45% (55 orang/75,3%) dan sebagian besar subyek penelitian (82,2%) memiliki faktor risiko vaskular lain seperti hipertensi,dislipdemia dan DM. rerata fraksi ejeski ventrikel kiri subye yaitu 52,45±12,93%. Tabel 1. Sebaran karakteristik demografik dan medik subyek penelitian (n=73) Karakteristik Jumlah Persentase (%) Jenis Kelamin

• Perempuan • Laki-laki

37 36

50,7 49,3

Kelompok umur • < 65 tahun • ≥ 65 tahun

47 26

64,4 35,6

Lama Pendidikan • 6-9 tahun • ≥ 12 tahun

37 36

50,7 49,3

Lama sakit • 2 tahun • > 2 tahun

33 40

45,2 54,8

NYHA functional class • I • II • III

26 33 14

35,6 45,2 19,2

Fraksi ejeksi ventrikel kiri • < 45% • ≥ 45%

18 55

24,7 75,3

Faktor risiko vaskular lain • Ada • Tidak ada

60 13

82,2 17,8

Page 38: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   5  

Gambar 1. Presentase jenis faktor risiko (n=73)

Tabel 2. Nilai rerata dan simpang deviasi (SD) subyek penelitian Mean ± SD 95% CI Median Low High Usia 60,38±9,40 58,22 62,54 61 FEVK 52,45 ± 12,93 49,48 55,42 56 Lama sakit (bulan) 57,56±71,32 41,20 73,92 32

Pemeriksaan fungsi kognitif pada penelitian ini menggunakan Mini Mental Status Examination /MMSE dan Screening Test Luria Nebraska Battery/STLNB. Nilai rerata skor MMSE pada sampel 27,19±1,86 dan rerata skor STLNB 7,66±3,92. Pada subyek yang memiliki gangguan kognitif dengan menggunakan MMSE sebanyak 8 orang dan subyek tersebut juga mempunyai skor STLNB yang terganggu. Berdasarkan definisi yang telah ditetapkan dalam batasan operasional, gangguan kognitif secara keseluruhan terdapat pada 37 subyek (50,7%). Tabel 3. Sebaran gangguan kognitif berdasarkan tes skrining neuropsikologi Kognitif (n/%)

Terganggu Tidak MMSE 8 (11%) 65 (89%) STLNB 37 (50,7%) 36 (49,3%)

Pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna antara lama pendidikan, derajat keparahan (berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan klas fungsional NYHA) dengan hendaya kognitif. Subyek yang mempunyai pendidikan setaraf SMA atau lebih tinggi mempunyai skor kognitif yang lebih baik dibanding dengan subyek yang berpendidikan lebih rendah dan keduanya secara statistik berbeda bermakna (p= 0,001). Terdapat juga perbedaan bermakna antara derajat keparahan gagal jantung dengan hendaya kognitif, dimana sampel yang mempunyai fraksi ejeksi rendah (< 45%) mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami hendaya kognitif (OR95%CI : 4,87 (1,42-16,72), p = 0,008). Hendaya kognitif antara derajat keparahan berdasarkan klas fungsional NYHAI, II dan III sangat berbeda bermakna secara statistik (p = 0,000, p= 0,007).

Page 39: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   6  

Tabel 4. Hubungan rerata usia dengan hendaya kognitif Kognitif Rerata usia ±

SD 95%CI p* Low high

MMSE Terganggu 65,04±6,74 59,36 70,63 0,078 Tidak 59,82±9,57 57,44 62,18 STLNB Terganggu 62,73±7,59 60,20 65,26

0,031 Tidak 57,97±10,53 54,41 61,53 Tidak 57,97±10,53 54,41 61,53

* Uji menggunakan t-test tak berpasangan

Tabel 5. Hubungan rerata lama menderita gagal jantung kongestif dengan hendaya kognitif Mean ± SD (bulan) 95%CI p* Low high Terganggu 51,81±6,45 30,28 73,34 0,716 Tidak 63,47±7,83 37,03 89,91

* Uji menggunakan tes nonparametrik Mann -Whitney Rerata usia sampel yang mengalami hendaya kognitif berusia relatif lebih tua dibanding yang tidak mengalami hendaya 57,97±1,05 vs 62,73±7,59, dan hubungan tersebut bermakna dengan uji t-test tak berpasangan. Namun hubungan tersebut menjadi tidak bermakna bila usia dikelompokkan menjadi variabel kategorik (p = 0,128).

Page 40: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   7  

Tabel 6. Hubungan faktor risiko dengan hendaya kognitif Variabel Kognitif (n=73) P OR 95%CI

terganggu tidak low High Jenis kelamin

• perempuan 22 15 0,128* 2,003 0,81 5,22 • laki-laki 15 21

Kelompok umur • 65 + tahun 16 10 0,168 * 1,98 0,75 5,26 • < 65 tahun 21 26

Lama pendidikan • 6 - 9 tahun 26 11 0,001* 5,37 1,98 14,60 • ≥ 12 tahun 11 25

Lama Sakit • 2 tahun 17 16 0,897 * 1,06 0,38 2,96 • >2 tahun 20 20

Fraksi ejeksi ventrikel kiri

• < 45% 14 4 0,008* 4,87 1,42 16,72 • ≥ 45% 23 32

NYHA fc • III 13 1 0,000 * 35,29 3,87 321,93 • II 17 16 0,007 * 2,88 0,96 8,69 • I 7 19

Faktor risiko vaskular lain

• ada 29 31 0,388** 0,585 0,17 1,99 • tidak ada 8 5

* uji menggunakan Chi-square ** uji menggunakan Fisher exact test Tabel 7. Analisa Regresi Logistik dengan pendekatan BackWard StepWise terhadap hendaya kognitif Variabel penentu p OR 95% CI

Low High Usia 65 + than 0,075 3,03 0,90 10,23 Pendidikan < 12 thn 0,009 5,99 1,57 22,86 NYHAfc III 0,004 29,83 2,95 301,30 NYHAfc II 0,038 4,36 1,08 17,58 Dilakukan analisis multivariat dengan untuk melihat pengaruh variabel-variabel yang berpengaruh terhadap gangguan kognitif dengan mengikutsertakan variabel yang mempunyai p < 0,2 yaitu jenis kelamin, kelompok umur, lama pendidikan, fraksi ejeksi dan klas fungsional berdasarkan NYHA. Dari hasil analisa multivariat dengan menggunakan regresi logistik didapatkan variabel yang berpengaruh terhadap hendaya kognitif dari yang paling kuat ke lemah yaitu, kelas fungsional NYHA III, lama pndidikan < 12 tahun, kelas fungsional NYHA II dan usia di atas 65 tahun. Sedangkan jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh terhadap hendaya kognitif.

Page 41: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   8  

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini rerata usia subyek adalah 60,38±9,40 tahun. Ditemukan adanya hubungan antara rerata usia dengan gangguan kognitif dimana subyek yang mengalami hendaya kognitif memiliki rerata usia yang lebih tua dibanding dengan yang tidak (62,73±7,59 vs 57,97±1,05) namun hubungan tersebut menjadi tidak bermakna bila usia dikelompokkan menjadi variabel kategorik (kelompok usia < 65 tahuan dan kelompok usia65 tahun ke atas). Hasil ini sama dengan studi oleh Akomolafe dkk yang tidak menemukan hubungan bermakna antara hendaya kognitif dengan usia dengan pengelompokan serupa dengan penelitian ini, namun hasilnya menjadi bermakna setelah melakukan uji t-test dengan menggunakan data kontinyu usia.3 Hasil dari penelitian tersebut pasien dengan hendaya kognitif berusia lebih tua dibanding kelompok yang tidak mengalami hendaya kognitif (77,0±8,01 vs. 66,9±8,9, p=0,04). Pada penelitian komunitas dengan metode potong lintang pada 1075 orang, pasien gagal jantung yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko 1,96 (95%CI: 1,07-3,58) kali lebih tinggi untuk mengalami gangguan fungsi kognitif. Pada studi Bornstain dkk yang dikutip oleh Sila, yang meneliti gangguan kognitif pada pasien jantung yang akan ditransplantasi, terdapat 62 pasien (50%) mengalami gangguan kognitif dengan rerata usia 44,7 tahun.1 Pada kelompok > 50 tahun disfungsi kognitif lebih buruk.1 Pada studi oleh Akomolafe dkk, dari analisis logistik regresi multivariat, usia mempunyai hubungan bermakna dengan prevalensi gangguan kognitif, rasio odds meningkat 1,1 kali setiap penambahan usia 1 tahun (OR=1,10 95%CI: 1,00-1,20, p=0,042).3

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi fungsi kognitif, dari studi Pullicino pasien yang tingkat pendidikan di bawah 12 tahun mempunyai risiko 2,44 (95%CI: 2,14-2,79) kali lebih tinggi untuk mengalami gangguan fungsi kognitif dibanding yang tingkat pendidikannya lebih dari 12 tahun.11 Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian dimana terdapat hubungan antara tingkat pendiidikan dengan hendaya kognitif. Subyek yang tingkat pendidikannya lebih rendah dari taraf SMA mempunyai risiko 5,37 (95%CI: 1,98-14,60) kali lebih tinggi untuk mengalami hendaya kognitif. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara lamanya menderita gagal jantung dengan fungsi hendaya kognitif. Hasil tersebut serupa dengan hasil studi oleh Sauve tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara lamanya menderita gagal jantung dengan prevalensi gangguan kognitif.4

Telah disebutkan pada kepustakaan sebelumnya bahwa gagal jantung dihubungkan dengan peningkatan risiko demensia dan Alzheimer pada usia lanjut. Disfungsi kognitif yang berat pada pasien gagal jantung dapat mengarah ke demensia.12-13 Defisit kognitif yang terjadi meningkat dengan derajat keparahan gagal jantungnya. Terdapat hubungan terbalik secara linier antara defisit kognitif dengan derajat keparahan gagal jantung, semakin parah derajat keparahannya semakin rendah performa kognitifnya.7,10,12-13 Derajat keparahan dapat dilihat dari fraksi ejeksi ventrikel dan klasifikasi berdasarkan NYHA. Fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dihubungkan dengan fungsi kognitif yang buruk. Pasien dengan FEVK yang rendah mempunyai skor kognitif yang lebih rendah dibandingkan dengan FEVK yang lebih tinggi.1,2 Dari penelitian didapatkan subyek yang memiliki FEVK rendah (< 45%) sebanyak 18 orang (24,7%) dan 14 orang diantaranya (78%) mengalami hendaya kognitif. Pada subyek dengan FEVK lebih tinggi hanya 42% (23/55) yang mengalami hendaya kognitif. Subyek yang memiliki FEVK rendah mempunyai risiko 4,87 (95%CI: 1,42-16,72) kali lebih tinggi untuk mengalami hendaya kognitif dibanding dengan FEVK yang lebih tinggi. Hasil

Page 42: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   9  

ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Almeida dan Tamai yang membandingkan kelompok kasus pasien dengan gagal jantung kongestif dengan FEVK <45% dengan kontrol yang FEVK lebih tinggi.11 Pada kelompok kasus mempunyai skor kognitif yang lebih rendah dibandingkan kontrol (p < 0,001). Fraksi ejeksi ventrikel berhubungan bermakna dengan fungsi kognitif.11 Hubungan gangguan kognitif dengan Fraksi ejeksi ventrikel seperti yang disebutkan dalam kepustakaan sebelumnya berkaitan dengan hipoperfusi serebral dimana pada keadaan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dihubungkan dengan cardiac stroke volume dan cardiac output yang rendah. Pada studi Gruhn dkk menunjukkan terdapat penuruna CBF (cerebral blood flow) pada pasien dengan gagal jantung kongestif dan penurunannya secara langsung disebabkan karena cardiac output yang rendah. Gangguan kognitif turun secara tajam dengan penurunan FEVK < 30%. Ditemukan hubungan yang bermakna antara klas fungsional berdasarkan NYHA dengan fungsi kognitif (p = 0,000). Subyek dengan kelas fungsional I yang mengalami hendaya kognitif sebanyak 27% (7/19), klas II sebanyak 51% (17/33) dan klas III sebanyak 92% (13/14). Hasil ini berbeda dengan studi oleh Sauve yang tidak menunjukkan hubungan yang bermakna antara kelas fungsional NYHA dengan keparahan gangguan kognitif dikarenakan jumlah kelas NYHA IV sedikit pada studi tersebut sedangkan pada penelitian ini klas IV dieksklusi.4 Namun klas NYHA lebih tinggi dihubungkan dengan skor kognitif yang lebih rendah.4 Pada studi Sauve jika dibandingkan antara NYHAI-II dengan NYHA III-IV (digabung) ternyata terdapat hubungan dengan kejadian hendaya kognitif (p < 0,01).4 Studi Gorkin dkk yang dikutip oleh Sila juga menunjukkan bahwa subyek dengan gagal jantung kongestif yang lebih berat (kelas fungsional II/III) mempunyai kesulitan untuk mengerjakan tes neuropsikologis sehingga memiliki skor yang lebih rendah dibanding dengan kelas fungsional I.1 Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hendaya kognitif lebih sering muncul dengan bertambah beratnya penyakit.1,7,10

Telah diketahui bahwa subyek dengan komorbid diabetes mellitus, hipertensi dan dislipidemia lebih berisiko mengalami gangguan kognitif dibanding dengan yang tidak memiliki komorbid-komorbid tersebut. 14-16 Namun hubungan tersebut menjadi tidak lagi signifikan jika dalam bentuk multivariat.11 Dari hasil penelitian tidak ditemukan hubungan bermakna antara subyek yang memiliki faktor risiko vaskuler lain (seperti hipertensi, DM, dslipidemia) dibanding yang tidak. Hal ini dikarenakan sebagian besar subyek (82%) dengan gagal jantung hampir selalu disertai komorbid-komorbid tersebut, sehingga membuat hubungan yang tidak bermakna. Dari uji multivariat didapatakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian hendaya kognitif yang paling kuat sampai yang paling lemah berturut-turut yaitu klas fungsional NYHA III, lama pendidikan kurang dari 12 tahun, kelas fungsional NYHA II dan kelompok usia di atas 65 tahun. Kelas fungsional NYHA III mempunyai risiko 29,83 (95%CI 2,95-301,3) kali untuk terjadinya hendaya kognitif. Hasil ini berbeda dengan penelitian Akomolafe dkk yang menyebutkan bahwa usia merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap prevalensi hendaya kognitif setelah dilakukan analisa multivariat dengan regresi logistik. Rasio odds hendaya kognitif meningkat 1,1 kali tiap peningkatan usia (OR=1,10, 95%CI 1,00-1,20, p=0,042).3

KESIMPULAN dan SARAN

Dari penelitian didapatkan proporsi hendaya kognitif pada penderita gagal jantung kongestif 50,7%. Hendaya kognitif berhubungan signifikan dengan rerata usia, lama pendidikan dan

Page 43: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA  Vol.  27  No.  2  Januari  2010   10  

derajat keparahan penyakit (berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kelas fungsional NYHA). Dari analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian hendaya kognitif yang paling kuat yaitu kelas fungsional NYHA III.

Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam jumlah sampel yang lebih besar untuk melihat ranah kognitif yang terganggu dan perlu ada kesepakatan penggunaan tes fungsi neuropsikologis untuk menilai fungsi kognitif pada pasien gagal jantung kongestif. DAFTAR PUSTAKA

1. Sila CA. Cognitive impairment in chronic heart failure. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2007;74:S132-7 2. Beer C, Ebenezer E, Fenner S, Lautenschlager NT, Arnold L, Flicker L, et al. Contributors to cognitive

impairment in congestive heart failure: a pilot case control study. Download from http://www.blackwell-synergy.com/loi/IMJ

3. Akomolafe A, Quarshie A, Jackson P, Thomas J, Deffer O, Oduwole A et al. The prevalence of cognitive impairment among african-American patients with congestive heart failure. Journal of the National Medical Association 2005;97:689-94

4. Sauvé MJ, Lewis WR, Blankenbiller M, Rickabaugh B, Pressler SJ. Cognitive impairments in chronic heart failure: a case cintrolled study. J Cardiac Fail 2008;:1-10

5. Tanne D, Freimark D, Poreh A, Merzeliak O, Bruck B, Scwammethal Y, et al. Cognitive functions in severe congetive heart failure before and after an exercise training program. International Journal of Cardiology 2004;103:145-149

6. Zuccala G, Cattel C, Gravina EM, Di Niro MG, Cocchi A, Bernabei R. Left ventricular dysfunction: a clue to cognitive impairment in older patients with heart failure. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1997;63:509-512.

7. Petrucci RJ, Truesdell KC, Goldstein NE, Russell MM, Fitzpatrick JM, Thomas CE, et al. Cognitive Dysfunction in advanced heart failure and prospective cardiac assist device patients. Ann Thorac Surg 2006;81:1738-1744

8. Dickstein K, Fillipatos G, McMurray JJV, Ponkowski, Poole-Wilson PA, Stromberg A et al. ESC gidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart Journal 2008;29:2388-2499

9. Dickson VV, Tkacs N, Riegel B. Cognitive influences on slef-care decision making in persons with heart failure. Am Heart J 2007; 154:424-31

10. Pangabean MM. Gagal jantung. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam, edisi IV, jilid III. Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 2006. 1513-14

11. Pullicino PM, Wadley VG, Mcclure LA, Safford MM, Lazar RM, Klapholz M, et al. Factors contribting to global cognitive impairment in heart failure: result from a population-based cohort. Journal of Cardiac failure 2008;14(4):290-5

12. Stebbins GT, Nyenhuis DL, Wang C, Cox JL, Freels S, Bangen K et al. Gray matter atrophy in patients with ischemic stroke with cognitive impairment. Stroke 2008;39:785-93.

13. Boone KB, Miller BL, Lesser IM, Mehringer M, Hill-Gutierrez E, Goldberg MA, Berman NG. Neuropsychological correlates of white matter lesions in healthy elderly subjects. Arch Neurol 1992;49:549-54

14. Elias MF, Sullivan LM, Elias PK, D’Agostino RB, Wolf PA, et al. Left Ventricular Mass, Blood Pressure, and Lowered Cognitive Performance in the Framingham Offspring. Hypertension 2007;49:439-445.

15. Schwartz AK, Rossignol P, Bracard S, Felblinger J, Fay R, Boivin JM, Lecompte T, et al. Vascular structure and Function is correlated to cognitive performance and white matter hyperintesities in older hypertensive patients with subjective memory complaints. Stroke 2009;40:00-00

16. Ott A, Stolk RP, Harskamp F, Pols HAP, Hofman A, Breteler. Diabetes mellitus and the risk of dementia: The Rotterdam Study. Neurology. 1999;53:1937-43.

Page 44: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1

LAJU ENDAP DARAH SEBAGAI PREDIKTOR AWAL KELUARAN PASIEN STROKE ISKEMIK AKUT Kemal Imran* ABSTRACK Background: In the recent study, there is a positive correlation between erythrocyte deformability, the amount of erythrocyte and low shear rate which is impact to cerebral perfusion. By reducing the cerebral perfusion could be increasing the infarction size and worsening clinical manifestation. The erythrocyte sedimentation rate (ESR) is a simple method and an indirect marker of erythrocyte deformability. If any conditions that increased the amount of fibrinogen and other macroglobulin, then there is also an increasing the ESR. By this concept we did the research to explore the correlation between erythrocyte component and the outcome of ischaemic stroke. Objective: To evaluate whether the ESR can be used as a clinical prognostic value Methods: Consecutive cross sectional study and explore the intensity of acute-phase response by the correlation test between the ESR within 72 hours from the onset of stroke and the outcome at day 7 measured by National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) and whether provided further information concerning the short term out come. Results: Fifty one acute ischaemic stroke patents, within 72 hours from clinical onset enrooleed in this study. All patients had neuroimaging and routine blood test, including ESR. Twenty eight patients (54,9%) had increased ESR. The ESR increased (men >13 and women > 20) as the NIHSS was high. With Spearman Correlation Test coefficient correlation is moderate (r=0,642) and was significant correlated (p<0,001). Conclusion: The ESR is a predictor of short term stroke outcome. These findings might be indicative hyperviscosity and the erythrocyte deformability changes. Key Words: ischaemic stroke, erythrocyte sedimentation rate, prognosis ABSTRAK Latar Belakang: Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, didapatkan hasil adanya korelasi positif antara kemampuan deformabilitas eritrosit, jumlah eritrosit dan shear rate rendah terhadap perfusi otak yang akhirnya akan mempengaruhi keluaran pasien stroke iskemik. Hal ini bisa dilihat dengan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED). LED merupakan metode yang murah dan merupakan petunjuk tidak langsung terhadap deformabilitas eritrosit. Jika ada kondisi yang meningkatkan kadar fibrinogen atau makroglobulin lainnya akan menyebabkan eritrosit mengendap lebih cepat. Dengan melihat konsep ini kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi korelasi antara komponen eritrosit dengan keluaran klinis stroke iskemik Tujuan : Untuk menilai, apakah LED ini mempunyai nilai prognostic research Metode : Dilakukan studi potong lintang sesuai kriteria seleksi. Semua subyek terpilih, dilakukan pemeriksaan neuroimejing dan darah rutin, termasuk LED. Selanjutnya dilakukan analisa apakah ada hubungan keluaran klinis jangka pendek dengan melakukan uji korelasi antara LED pada pasien dalam 72 jam sejak onset stroke dengan keluaran klinis 7 hari kemudian yang diukur dengan National Institute Of Health Stroke Scale (NIHSS). Hasil : Didapatkan 51 pasien stroke iskemik akut dalam 72 jam dari onset klinis. Sebanyak 28 pasien (54,9%) terdapat peningkatan LED dengan nilai pada laki-laki >13mm/jam pertama dan wanita >20 mm/jam pertama yang sebanding dengan peningkatan NIHSS. Dengan uji

Page 45: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 2

korelasi Spearman, didapatkan hasil koefesien korelasinya moderat (r=0,642) dan berhubungan bermakna (p < 0,001) Kesimpulan: LED adalah prediktor jangka pendek untuk keluaran stroke iskemik. Temuan ini dapat menjadi suatu indikasi adanya hiperviskositas dan perubahan deformabilitas eritrosit pada fase akut stroke iskemik. Kata kunci: stroke iskemik fase akut, laju endap darah 72 jam, NIHSS 7 hari * Dokter Spesialis Saraf RS.Fatmawati, Jakarta PENDAHULUAN Beberapa peneliti berpendapat bahwa prediksi keluaran pasien stroke iskemik dapat dinilai dengan menggunakan kombinasi parameter klinis dan parameter imaging seperti lokasi dan volume lesi iskemik yang diukur dengan CT scan serta kadar glukosa serum saat masuk yang juga dapat merupakan suatu prediktor prognosa yang buruk 1,2. Akan tetapi belum banyak penelitian yang dilakukan secara prospektif untuk menilai prognosis respon fase akut pada iskemik otak. Sedangkan pada pasien-pasien dengan kelainan jantung; baik itu kelainan jantung kongestif, koroner dan infark miokard, telah ada penelitian tentang adanya korelasi antara meningkatnya respon fase akut dengan luasnya kerusakan jaringan jantung3,4,5,6. Seorang peneliti, bernama, Chammoro A dkk berpendapat bahwa laju endap darah (LED) dapat menjadi prediktor awal untuk keluaran stroke. Dalam penelitiannya, ditemukan adanya perbedaan bermakna keluaran stroke iskemik pada pasien yang mempunyai laju endap darah >13 mm/jam dibandingkan dengan yang < 13 mm/jam pada laki-laki dan > 20mm/jam dibandingkan dengan yang < 20 mm/jam pada wanita.3 Penelitian yang dilakukan oleh Chammorro dkk, menunjukkan laju endap darah bisa sebagai prediktor independen dengan menyingkirkan gangguan yang berpotensi menggangu respon fase akut, seperti, ukuran infark, beratnya defisit neurologik waktu masuk, gambaran presentasi klinis dan perkembangan klinis pada hari pertama serangan stroke. Laju endap darah ini sebagai prediktor awal independen mempunyai sensitifitas dan spesifitas cukup tinggi, yaitu, untuk sensitifitas 89,91% dan untuk spesifisitas 85,71%.3,7 Dihipotesiskan bahwa LED sebagai petunjuk tidak langsung dari pembentukan trombus yang didukung oleh data-data yang akurat. Data tersebut adalah, semakin tinggi tingkat LED pada pasien-pasien usia lanjut dengan lesi yang lebih luas dan defisit neurologik yang lebih berat pada saat masuk, menunjukkan adanya berkurangnya kapasitas sirkulasi kolateral yang terbentuk dan akan memfasilitasi stasis darah dan akhirnya menyebabkan pembentukan trombus. 3,7 Laju Endap Darah (LED) ini merupakan tes yang murah dan cepat. Tes ini juga berguna untuk menduga kuatnya respon inflamasi yang berhubungan dengan aterosklerosis dan memahami prognostik jangka pendek dan jangka panjang, dalam deteksi berbagai penyakit organik, monitoring perjalanan penyakit dan menilai respon pengobatan serta sebagai salah satu alat ukur dari respon fase akut. Korelasi yang nyata

Page 46: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 3

terhadap LED ditemukan pada usia, hemoglobin, status merokok, kadar total kolesterol, tekanan darah, hematokrit, ukuran dan jumlah eritrosit. Jumlah sedimentasi eritrosit tergantung pada interaksi antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Pengendapan terjadi karena densitas sel darah merah lebih besar dari pada densitas medium. Pengendapan dari sel darah merah menyebabkan pemindahan dari medium menuju keatas sehingga memproduksi arus keatas dan sekaligus menjadi kekuatan yang menahan pengendapan. Dapat dijelaskan dalam proses fisika ketika suspensi tersebut mengandung sejumlah besar sel darah merah, semuanya turun dengan kecepatan yang sama, tiap-tiap sel mempengaruhi sel-sel sekitarnya. Pada proses jatuh kebawah akan menyebabkan arus yang berlawanan arah. Karenanya sel-sel tesebut harus melawan arus yang naik sehingga pengendapan jadi kurang cepat dari yang seharusnya.8,9 Pada darah orang yang normal kekuatan yang menuju kebawah dan keatas hampir sama, sehingga pengendapan hanya sedikit yang terjadi. Pembentukan Rouleaux dapat dihasilkan dari perubahan muatan negatif sel darah merah yang merupakan fungsi dari asam sialik di membran sel yang menyebabkan eritrosit saling menolak yang disebut potensial zeta. Ikatan ini dapat dilemahkan oleh efek penghilangan listrik dari protein yang menyelubungi plasma terutama molekul yang asimetris seperti fibrinogen dan γ globulin sehingga perubahan pada LED umumnya mencerminkan perubahan pada protein plasma ini dan rigiditas eritrositnya. 9,10

METODE Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan data primer yang didapat dari semua penderita stroke iskemik fase akut yang memenuhi kriteria inklusi antara lain penderita stroke iskemik fase akut yang dibuktikan dengan pemeriksaan klinis dan CT scan, onset ≤ 72 jam ( 3 hari ) pertama dan bersedia ikut dalam penelitian. Semua hal yang menggangu proses fase akut seperti Transient Ischemic attacks, demam karena penyakit infeksi, terdapat riwayat penyakit infark myokard dalam 1 bulan, riwayat gangguan hati, dijumpai tanda-tanda inflamasi pada persendian dalam 1 bulan pertama, TBC, anemi, gangguan ginjal,wanita hamil dan postpartum dalam jangka waktu1 bulan, pasien dengan gambaran neuroimaging pada 72 jam pertama terlihat teritorial infark dan stroke berulang yang ditandai dengan keadaan klinis maupun gambaran infark pada 72 jam pertama menjadi faktor eksklusi. Pasien yang sesuai kriteria inklusi dilakukan pencatatan, anamnesis, pemeriksaan klinis umum, klinis neurologik dan CT scan. Setelah itu diambil darah vena untuk pemeriksaan laju endap darah saat pasien masuk rumah sakit. Pemeriksaan laju endap darah dilakukan dengan cara Westergren di laboratorium 24 jam Patologi Klinik RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan NIHSS dilakukan pada hari ke 1 dan hari ke 7. Kecepatan laju endap darah merupakan variabel bebas dengan variabel tergantung keluaran klinis stroke iskemik ( berdasarkan skala NIHSS ). Penentuan sampel dilakukan menurut metode nonrandom sampling jenis konsekutif. Pengumpulan data dilakukan secara manual dengan menggunakan formulir penelitian

Page 47: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 4

yang telah disediakan, hasil disajikan dalam bentuk tabular. Penyajian dan analisis dengan menggunakan SPSS versi 10 dilakukan sebagai berikut:

1. Data deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dengan menyertakan nilai rerata, simpang baku dan rentang nilai observasi

2. Untuk melihat sebaran parameter dilakukan dengan Tes Kolmogorov-Smirnov 3. Untuk selanjutnya dilakukan analisa dengan uji korelasi Pearson bila sebaran

parameter normal atau uji korelasi dengan Spearman bila sebaran parameter tidak normal

HASIL PENELITIAN Data Dasar Dan Karakteristik Penderita Grafik 1. Sebaran kelompok usia penderita stroke

Pada penelitian ini didapatkan besar sampel 51 orang dengan jenis kelamin laki-laki 30 penderita (58,8%) dan wanita 21 penderita (41,2%), dengan usia rerata 56,63 + 9,64 tahun.

5

20

18

8

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

< 45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun > 65 tahun

Page 48: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 5

Tabel 1. Karakteristik faktor risiko stroke Variabel Rerata + SD Median Tekanan darah sistolik (mmHg) 164,11 + 28,85 160 Tekanan darah diastolik (mmHg) 97,15 + 16,56 100 Kolesterol total (g/dl) 216,25 + 42,09 214,5 Kolesterol HDL (g/dl) 46,18 + 10,88 43 Kolesterol LDL (g/dl) 149,65 + 44,11 145,5 Trigliserida (g/dl) 130,66 + 58,18 120 Gula darah sewaktu (g/dl) 170,55 + 94,54 129,5 Gula darah puasa (g/dl) 123,21 + 38,04 103 Gula darah 2 jam PP 164,51 + 62,5 140 Usia 56,63 + 9,64 56 Pada karakteristik faktor risiko stroke (tabel 1) tampak rerata tekanan darah sistolik saat masuk rumah sakit 164,11 + 28,85 mm Hg dan diastolik 97,15 + 16,65 mmHg. Rerata kadar kolesterol total saat masuk rumah sakit adalah 216,25 + 42,09 g/dl, kolesterol LDL 149,65 + 44,11 g/dl. Pada pemeriksaan kadar gula darah tampak peningkatan pada kadar gula darah sewaktu dengan rerata 170,55 + 94,54 g/dl dan kadar gula darah puasa 123,21 + 38,04 g/dl. Tabel 2. Rerata nilai NIHSS saat masuk dan keluar dari rumah sakit dan LED Variabel Rerata + SD Median NIHSS I 11,96 + 6,54 12 NIHSS II 11,98 + 11 9 LED 23,78 + 20,3 16 Dalam penilitian ini didapatkan nilai NIHSS saat masuk (NIHSS I) 11,96 + 6,54 dan saat keluar (NIHSS II) 11,98 + 11. Rerata nilai LED 23,78 + 20,3 mm/jam. Pada penelitian ini dijumpai 5 orang dengan nilai NIHSS 42 (meninggal).

Page 49: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 6

Rerata nilai LED berdasarkan jenis kelamin Grafik 2. Sebaran laju endap darah

Normal, 23

Meningkat, 28

Pada penelitian ini didapatkan LED meningkat pada 28 penderita (54,9%) dan rerata nilai LED pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria Tabel 3. Sebaran Laju Endap Darah berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin Kelompok Usia LED Total Normal Meningkat ≤ 45 tahun 2 (3.92%) 2 (3.92%) 4 46-55 tahun 10(19.6%) 11(21.56%) 21 56-65 tahun 9 (17.64%) 9 (17.64%) 18 > 65 tahun 2 (3.92%) 6 (11.76%) 8 Pria Wanita

14 (27.5%) 9 (17.6 %)

16 (31.4 %) 12 (23.5%)

30 (58.8%) 21 (41.2%)

Total 23 (45%) 28 (54.9%) 51 Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa LED meningkat terbanyak pada kelompok usia 46-55 tahun yaitu 11 orang (21.56%). Pada kelompok usia >65 tahun sebagian besar menunjukkan peningkatan LED. Pada uji statistik didapatkan nilai p 0.683 (IK95% 0.417;3.8) yang berarti nilai LED tidak berbeda bermakna antara kelompok usia. Dari tabel 3 juga terlihat bahwa LED meningkat dijumpai pada 16 (31.4%) orang pria dan 12 (23.5%) orang wanita. Pada uji statistik didapatkan nilai p 0,788 (IK95% 0.38;3.59) yang berarti tidak ada perbedaan bermakna pada nilai LED antara pria dan wanita.

Page 50: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 7

Uji One Sample Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi LED dan NIHSS 1.LED Pada parameter LED didapati Kolmogorov-Smirnov Z 1.298 dengan p = 0.069 yang berarti distribusi tidak normal (lihat grafik 3 Grafik3. DistribusiLED

LED

90.080.070.060.050.040.030.020.010.00.0

20

10

0

Std. Dev = 20.31 Mean = 23.8

N = 51.00

2. NIHSS II Pada parameter NIHSS II didapati Kolmogorov-Smirnov Z 1,544 dengan p = 0,017 yang berarti distribusi normal (lihat grafik 4).

Page 51: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 8

Grafik 4. Distribusi NIHSS II

NIHSSII

40.035.030.025.020.015.010.05.00.0

16

14

12

10

8

6

4

2

0

Std. Dev = 11.09 Mean = 12.0

N = 51.00

Uji Korelasi Nonparametrik Karena parameter LED distribusi tidak normal maka uji korelasi yang dilakukan dengan uji Nonparametrik Spearman. Didapatkan korelasi yang moderat antara LED dengan NIHSS saat keluar rumah sakit (NIHSS II) (r = 0,642) dengan p< 0.001yang berarti semakin tinggi LED semakin tinggi nilai NIHSS II hal ini bisa dilihat pada grafik 5 dimana parameter LED dengan NIHSS hampir membuat garis yang lurus.

Page 52: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 9

Grafik 5. Korelasi LED dengan NIHSS II

LED

100806040200

NIHSSII

50

40

30

20

10

0

PEMBAHASAN Pada hasil penelitian yang kami dapatkan insiden terbanyak pada kelompok usia 46-55 tahun (grafik2) hal ini berbeda denghan literatur yang menyatakan insiden stroke ± 75% terjadi pada usia lanjut ( > 65 tahun).3

Pada penderita stroke dijumpai faktor risiko utama adalah hipertensi (48 orang) akan tetapi tidak berdiri sendiri dan multi faktorial (tabel 1). Pada sebaran kebiasaan merokok hanya terdapat 12 penderita (23.5%). Hal ini dapat dijelaskan karena pada penderita stroke wanita (21 penderita) tidak didapatkan kebiasaan merokok. LED yang meningkat dijumpai pada 28 penderita (54.9%) dan sesuai dengan literatur bahwa rerata LED meningkat pada jenis kelamin wanita dan pada kelompok usia > 65 tahun (6 orang) dari 8 penderita. Akan tetapi bila dilakukan uji statistik terhadap LED dengan mengelompokkan LED normal dan meningkat sesuai batasan operasional dan dihubungkan dengan kelompok usia yang juga dikelompokkan sebagai < 55 tahun dan >55 tahun maka tidak didapati perbedaan yang bermakna (tabel 3). Juga tidak didapatkan perbedaan bermakna antara LED dengan jenis kelamin (tabel 3). Dari hasil keduanya tersebut, dapat disimpulkan bahwa, LED tidak dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin.

Seperti yang telah dibahas dipendahuluan, penelitian ini adalah untuk menilai apakah LED bisa digunakan sebagai prediktor untuk keluaran pasien stroke iskemik,. mengingat LED adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara rutin, mudah dan murah.

Page 53: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 10

Pada penelitian ini kami temukan ternyata LED berkorelasi moderat yang berarti korelasinya cukup kuat terhadap keluaran stroke iskemik dengan penilaian NIHSS r=0.642; p< 0,001 (grafik 5). Pada penelitianyang telah dilakukan terlebih dahulu oleh Chammoro A dkk, juga didapatkan hasil korelasi yang moderat (r=0,5) dengan parameter penilaian Mathew Stroke Scale.7 Respon fase akut pada penelitian Chammoro A dkk tersebut, tidak dikaitkan dengan infark otak tetapi berhubungan dengan infeksi bakterial. Pada penelitian ini, pasien dengan riwayat infeksi dalam 2 minggu sebelumnya atau saat kejadian stroke terdapat tanda-tanda infeksi tidak diikut sertakan. Dari hasil penelitian ini, sebagai kesimpulan sementara, tampaknya, dengan semakin tingginya LED terdapat korelasi dengan keluaran klinis yang berat 7 hari setelah onset, menunjukkan suatu petunjuk tidak langsung adanya pembentukan thrombus. Penelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan menyimpulkan korelasi yang kuat antara LED, Fibrinogen dan CBF. Peningkatan LED pada fase akut stroke dapat menunjukkan peningkatan konsentrasi fibrinogen dan menurunkan CBF yang bisa memperluas lesi di otak.3 KESIMPULAN dan SARAN KESIMPULAN 1. Pada penderita stroke iskemik dijumpai adanya peningkatan LED 2. Tingginya LED pada stroke iskemik, menunjukkan suatu petunjuk tidak langsung

adanya pembentukan thrombus. 3. LED berkorelasi moderat dengan keluaran penderita stroke iskemik yang dinilai dengan skor NIHSS r=0.642 SARAN 1. Penelitian ini sebaiknya dilanjutkan lagi dengan jumlah sampel yang lebih besar

dengan disain penelitian untuk tes multivariat dimana LED bisa diuji satu persatu dengan faktor risiko hipertensi, hipekolesterol, hiperglikemi, jenis kelamin dan usia

2. Dengan uji multivariat LED dapat lebih dibuktikan apakah bisa sebagai prediktor independen untuk keluaran stroke iskemik dengan membandingkan beratnya klinis saat masuk, usia yang lebih lanjut, luasnya infark, komplikasi infeksi, kadar gula darah puasa, dan 2 jam post pandrial

DAFTAR PUSTAKA 1. Thijs VN, Lansberg M, Beaulieu C, Marks MP, Moseley ME, Albers GW. Is Early Ischemic Lesion

Volume on Diffusion –Weighted Imaging an Independent Predictor of Stroke Outcome? Amultyvariable analysis. Stroke.2000:2597-2602, available at http://www.strokeaha.org

2. Toni D, Fiorelli Fieschi C et al. Progressing Neurological Defisit Secondary to Acute Ischemic Stroke. Arch Neurology.1995;52:670-675

3. Chamorro A, Vila N, Tolosa E et al. Early Prediction of Stroke Severity role of the Erythrocyte Sedimentation Rate. Stroke. 1995;26:573-576

4. Sharma R, Rauchhaus M, Anker SD et al. The Relationship of the Erythrocyte Sedimentation Rate to Inflammatory Cytokines and Survival in Patients with Chronic Heart Failure Treated With Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors. J Am Coll Cardiology.2000;36: 523-528

Page 54: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 11

5. Danesh J, Collins R, Peto R, Lowe GDO. Haematocrit, Viscosity, Erythrocyte Sedimentation Rate: Meta-analyses of prospective studies of coronary heart disease. Eu Heart J.2000;21:516-520

6. Danesh J, Collins R, Peto R, Lowe GDO. Haematocrit, Viscosity, Erythrocyte Sedimentation Rate: Meta-analyses of prospective studies of coronary heart disease. Eu Heart J.2000;21:516-520

7. Chammorro A, Vila n, Montalvo J, Alday M. Role of erythrocyte sedimentation rate in the prediction of stroke severity. Ann Neurol.1993;34:291.abstract

8. Williams Jp. Diagnosis of blood cel disorders. In: Dacie JV, Lewis SM. Practical Haematology.8thed.Edinburgh.Churhill Livingstone.1995:563

9. Surjawan Y, Wirawan R. Evaluasi Alat Semiotomatis Microtest 1 Untuk Pemeriksaan Laju Endap Darah. Jakarta. Dept Patologi Klinik FKUI-RSUPNCM .2003

10. Brigden ML. Clinical Utility of the Erythrocyte Sedimentation Rate. American Family Physician.. October1,1999;1-9

Page 55: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 1

HUBUNGAN MODEL PROGNOSTIK PASIEN CEDERA OTAK TRAUMATIK TERTUTUP SEDANG DAN BERAT

DENGAN GOS 3 BULAN Aida Fithrie*, Mursyid Bustami**, Yetty Ramli**, Joedo Prihartono***

ABSTRACT

Background : Establishing a reliable prognosis early after injury is notoriously difficult.For accurate outcome prediction, multiple risk factors need to be considered jointly in a prognostic model because single factor have insufficient predictive value to distinguish patients who will do well from those who will do poorly.

Objective : To identify the association between prognostic model of moderate and severe TBI patients and 3 months GOS.

Methods : Prognostic test with cohort design. The data of this study was taken from September 2008 – Agustus 2009. Population of this study were moderate and severe closed TBI patients that were admitted to emergency department of RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. The outcome measured with GOS at 3 months after injury.

Results : Total 55 TBI patients; 81.8% were men, 89.1% were in age group < 50 years old, 67.3% were the GCS motor score 5, 54.5% had bilateral pupil reactive, 81.8% had no hyperglycemia, 38.2% had brain CT category III, and 60% had a favourable 3 months GOS. The GCS motor score ≤ 4, bilateral pupil unreactive, hyperglycemia, and brain CT category III/IV were significant (p < 0.05) as predictor factor (RR > 1) 3 month GOS. Predictor score had significant association (p=0.000) with 3 month GOS, with RR predictor score ≥ 5 was 23.52. Prognostic result between prognostic model and 3 month GOS had sensitivity of 86.3% and specificity of 78.8%.

Conclusions : Prognostic model using predictor score at moderate and severe TBI patient had significant association with 3 months GOS, with high sensitivity and specificity.

Keywords : prognostic model, moderate and severe closed traumatic brain injury, 3 months glascow outcome scale _____________________________________________________________________ ABSTRAK

Latar Belakang : Upaya penegakan prognosis yang pasti segera setelah trauma sangat sulit. Untuk prediksi keluaran yang akurat, banyak faktor risiko perlu dipertimbangkan bergabung dalam model prognostik, karena satu faktor tidak mempunyai nilai prediksi yang cukup untuk membedakan pasien yang akan sembuh dengan tidak.

Tujuan : Mengetahui hubungan model prognostik pasien cedera otak traumatik sedang dan berat dengan GOS 3 bulan.

Metode : Uji prognostik dengan disain kohort. Penelitian dilaksanakan dari September 2008 – Agustus 2009. Populasi adalah pasien cedera otak traumatik tertutup sedang dan berat yang datang berobat ke IGD RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Dengan penilaian hasil keluaran berupa GOS pada bulan ke–tiga.

Hasil : Dari 55 subyek penelitian didapatkan laki-laki 81,8% pasien, kelompok usia < 50 tahun 89,1% pasien, skor komponen motorik GCS 5 (lokalisasi) 67,3% pasien, pupil bilateral reaktif 54,5% pasien, 81,8% pasien tidak mengalami hiperglikemia, karakteristik CT – Scan otak kategori III 38,2% pasien, dan GOS 3 bulan yang diharapkan 60% pasien. Skor komponen motorik GCS ≤ 4, pupil bilateral tidak reaktif, hiperglikemia, serta karakteristik CT – Scan otak kategori III / IV terbukti bermakna (p < 0,05) sebagai faktor prediktor (RR > 1) GOS 3 bulan. Skor prediktor mempunyai hubungan yang bermakna (p = 0,000) dengan GOS 3 bulan, dimana RR skor prediktor ≥ 5 sebesar 23,52. Hasil prognostik antara model prognostik dengan GOS 3 bulan mempunyai sensitivitas = 86,3% dan spesifisitas = 78,8%.

Kesimpulan : Model prognostik yang menggunakan skor prediktor pada pasien cedera otak traumatik sedang dan berat mempunyai hubungan bermakna dengan GOS 3 bulan, serta tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi.

Kata Kunci : model prognostik, cedera otak traumatik tertutup sedang dan berat, glasgow outcome scale 3 bulan

Page 56: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 2

_____________________________________________________________________ * Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi FKUI, Jakarta ** Staf Departemen Neurologi FKUI / RSCM, Jakarta *** Staf Departemen Komunitas FKUI, Jakarta

PENDAHULUAN

Cedera otak traumatik adalah penyebab utama mortalitas dan kecacatan di seluruh dunia1,2,3 serta merupakan masalah kesehatan umum yang sangat besar, bahkan di era ilmu kedokteran modern abad ke-21.4,5 Setiap tahun, sekitar 1,5 juta pasien meninggal dan jutaan lainnya mendapat penanganan gawat darurat.6 Sebagian besar (90%) kasus terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan sedang.2,6

Sebagian besar (75 – 80%) pasien termasuk dalam kategori cedera otak traumatik ringan, sementara sisanya terbagi rata dalam kategori sedang (10%) dan berat (10%).4,7 Cedera otak traumatik sedang dan berat merupakan masalah sosioekonomi di seluruh dunia.4,5 Hampir 100% pasien cedera otak traumatik berat dan ± 2/3 pasien cedera otak traumatik sedang, akan mengalami cacat permanen dan tidak dapat kembali ke tingkat fungsi premorbidnya.4 Dampak ini akan lebih besar jika cedera otak traumatik berat terjadi pada kelompok remaja dan dewasa muda.4

Upaya penegakan prognosis yang pasti segera setelah trauma sangat sulit, seperti yang diungkapkan Hippocrates, ‘‘No head injury is too severe to despair of, nor too trivial to ignore.’’1,3 Untuk prediksi keluaran yang akurat, banyak faktor risiko yang perlu dipertimbangkan bergabung dalam model prognostik, karena satu faktor tidak mempunyai nilai prediksi cukup untuk membedakan pasien yang akan sembuh dengan tidak.3

Model prognostik adalah model statistikal yang mengkombinasikan dua atau lebih data pasien untuk memprediksi keluaran.6,8 Selain dapat memperbaiki prediksi pasien cedera otak traumatik, juga untuk mendukung pengambilan keputusan klinis segera dan memfasilitasi perbandingan keluaran yang terpercaya antar pasien-pasien yang berbeda dan bervariasi,1,3,8 serta membantu penelitian klinis.2,6

Setelah diawali oleh hasil studi Jennet dkk., maka banyak studi-studi lainnya yang mempublikasikan prognosis pada cedera otak traumatik dan Glasgow Outcome Scale (GOS) sebagai standar untuk menilai keluaran pasien.3 Banyak model yang dilaporkan, namun tidak satupun yang digunakan secara luas dalam klinis, hal ini dapat dikarenakan para klinisi tidak terbiasa dengan model prognostik.3,8 Dan sebagian tidak dikembangkan pada populasi dari negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dimana banyak terdapat kasus trauma.6

Penelitian ini diajukan untuk melihat prediksi keluaran dalam bentuk GOS 3 bulan pasien cedera otak traumatik sedang dan berat (GCS ≤ 12) berdasarkan model prognostik yang diperluas, sebelum mendapat intervensi terapi di rumah sakit, yaitu berupa 3 prediktor klinis (usia, skor komponen motorik GCS, dan reaktivitas pupil), informasi cedera sekunder (tekanan darah dan kadar oksigen), karakteristik CT – Scan otak, dan hasil laboratorium (kadar hemoglobin dan glukosa).

Page 57: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 3

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan model prognostik pasien cedera otak traumatik sedang dan berat dengan GOS 3 bulan, serta diketahuinya tingkat sensitivitas model prognostik yang diperluas dalam memprediksi keluaran yang tidak diharapkan 3 bulan pada pasien cedera otak traumatik sedang dan berat, dan diketahuinya tingkat spesifisitas model prognostik yang diperluas dalam memprediksi keluaran yang diharapkan 3 bulan pada pasien cedera otak traumatik sedang dan berat.

METODE

Penelitian ini menggunakan uji prognostik dengan disain kohort pada pasien cedera otak traumatik tertutup sedang dan berat yang datang berobat ke IGD RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara konsekutif dengan memasukkan semua subyek yang memenuhi kriteria penelitian hingga mencukupi kebutuhan sampel, dilaksanakan dari September 2008 – Agustus 2009. Dilakukan penilaian hasil keluaran berupa GOS pada bulan ke–3.

Kriteria inklusi : (1). Pasien cedera otak traumatik tertutup sedang dan berat (GCS 3 – 12). (2). Usia pasien ≥ 15 tahun. (3). Onset < 24 jam. (4). Menjalani perawatan di RSUPN – CM. (5). Mendapat intervensi neurosurgikal maupun tidak. (6). Mengalami cedera otak traumatik hanya 1 x dalam 3 bulan. (7). Bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi : (1). Pasien cedera otak traumatik ringan. (2). Pasien yang meninggal < 3 hari. (3). Pasien dengan cedera multipel ekstrakranial mayor. (4). Pasien dengan trauma orbita langsung. (5). Pasien dengan cedera medula spinalis. (6). Pasien dengan riwayat penyakit neurologis. (7). Pasien dengan riwayat penyakit sistemik kronis. (8). Pasien cedera otak traumatik dengan menggunakan zat yang dapat mempengaruhi kesadaran pada saat kejadian.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Regresi Logistik untuk mengetahui hubungan model prognostik cedera otak traumatik dengan GOS 3 bulan. Untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak digunakan uji Chi Square dan jika tidak memenuhi syarat uji Chi Square digunakan uji Fischer. Sedangkan kekuatan hubungan dilihat dari nilai Risk Ratio (RR). Untuk menentukan titik potong dan melihat sensitivitas dan spesifisitas dengan grafik receiver operator curve (ROC). Pengujian-pengujian di atas dilakukan dengan menggunakan software pengolahan data Statistical Package for Social Sciences (SPSS).

HASIL

Dilakukan penelitian terhadap pasien cedera otak traumatik sedang dan berat yang datang berobat ke IGD dan menjalani perawatan di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 55 sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk studi deskriptif dan analisis.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien cedera otak traumatik, laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dengan perbandingan 4 : 1, meliputi rentang umur antara 16 tahun sampai 61 tahun, dan jumlah sampel terbanyak pada kelompok usia < 50 tahun (89,1%) daripada kelompok usia ≥ 50 tahun (10,9%). Dengan mean usia = 29.1 ± 12.0 tahun dan median = 27 tahun.

Page 58: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 4

Sebanyak 50 sampel (90,9%) mengalami cedera otak traumatik karena kecelakaan lalu lintas. Rerata onset kecelakaan – IGD = 3 (1 – 23) jam, dimana sebagian besar sampel (63,6%) dengan onset ≤ 3 jam. Berdasarkan GCS, sebanyak 33 sampel (60%) masuk klasifikasi cedera otak traumatik sedang. Sebagian besar sampel (70,9%) ditata laksana secara konservatif dan sebagian kecil sampel (29,1%) dilakukan tindakan operatif (intervensi neurosurgikal).

Kelompok skor komponen motorik GCS 5 (lokalisasi) sebesar 67,3% dan pupil yang bilateral reaktif sebesar 54,5%. Sampel yang mengalami hipotensi lebih kecil daripada tidak hipotensi, dengan perbandingan 1 : 17. Dan sampel yang mengalami hipoksia (3,6%) lebih kecil daripada tidak hipoksia (96,4%). Sampel yang mengalami anemia juga lebih kecil (9,1%) daripada tidak anemia (90,9%). Serta sampel yang mengalami hiperglikemia lebih kecil (18,2%) daripada yang tidak hiperglikemia (81,8%). Sebanyak 21 sampel (38,2%) masuk dalam klasifikasi CT – Scan Marshall kategori III. Pasien yang mengalami perdarahan subarakhnoid traumatik (56,4%) lebih besar daripada tidak (43,6%). Sedangkan yang tidak mengalami perdarahan epidural (61,8%) lebih besar daripada mengalami (38,2%). Persentase pasien dengan perdarahan epidural yang dioperasi dan konservatif hampir sama besar, yaitu 47,6% dan 52,4%.

Dari 55 sampel yang terkumpul, 33 pasien (60%) dengan keluaran diharapkan, dimana sampel dengan GOS 5 (sembuh baik) sebesar 34,5% dan GOS 4 (kecacatan sedang) sebesar 25,5%. Sedangkan sisanya sebanyak 22 pasien (40%) dengan keluaran tidak diharapkan, dimana sampel yang terbanyak dengan GOS 1 (meninggal), yaitu sebesar 25,5%.

Tabel 1. Hubungan antara faktor prediktor dengan GOS 3 bulan

Faktor prediktor GOS 3 bulan

p RR IK 95%

Tidak diharapkan

Diharapkan Rendah Tinggi

• Usia

ú ≥ 50 th ú < 50 th

121

5

28

0.384

0.39

0.06

2.40

• Skor komponen motorik GCS

ú 1 – 3 (tidak ada – fleksi abnormal) ú 4 (fleksi normal) ú 6 (mengikuti perintah) / 5

(lokalisasi)

6

10

6

0

2

31

0.000

0.000

6.17

5.14

2.96

2.37

12.83

11.15

• Reaktivitas pupil

ú Tidak ada reaktif ú Unilateral reaktif ú Bilateral reaktif

16

0

6

3

6

24

0.000

0.561

4.21

----

2.01

----

8.84

----

Page 59: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 5

• Hipotensi

ú Ya ú Tidak

2

20

1

32

0.557

1.73

0.73

4.14

• Hipoksia

ú Ya ú Tidak

1

21

1

32

1.000

1.26

0.30

5.25

• Anemia

ú Ya ú Tidak

3

19

2

31

0.379

1.58

0.71

3.51

• Hiperglikemia

ú Ya ú Tidak

7

15

3

30

0.070

2.10

1.18

3.75

• Karakteristik CT – Scan otak

ú V/VI ú III/IV ú I / II

7

14

1

9

14

10

0.090

0.028

4.81

5.50

0.68

1.34

33.81

22.62

• tSAH

ú Ya ú Tidak

15

7

16

17

0.244

1.66

0.81

3.41

• EDH

ú Ya ú Tidak

8

14

13

20

0.955

0.93

0.47

1.82

• Tatalaksana EDH

ú Operatif ú Konservatif

3

5

7

6

0.659

0.51

0.09

3.11

Uji X2 & Fischer

Dari analisis univariat diperoleh hasil bahwa variabel yang terbukti bermakna sebagai faktor prediktor GOS 3 bulan adalah skor komponen motorik GCS ≤ 3 (tidak ada – fleksi abnormal) dan 4 (fleksi normal), dimana p = 0,000 dengan RR = 6,17 (IK 95% = 2,96 – 12,83) dan RR = 5,14 (IK 95% = 2,37 – 11,15), pupil bilateral tidak reaktif (p = 0,000 dan RR 4,21; IK 95% = 2,01 – 8,84), dan hiperglikemia (p = 0,070 dan RR =2,10; IK 95% = 1,18 – 3,75), serta klasifikasi CT – Scan Marshall kategori III / IV (p = 0,028 dan RR = 5,50; IK 95% = 0,82 – 36,96).

Page 60: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 6

Tabel 2. Skor prediktor model prognostik

Karakteristik Nilai Skor Usia < 50 th

≥ 50 th

0

1 Skor komponen motorik GCS 5 / 6

4

3

1 / 2

0

2

4

6 Reaktivitas pupil Bilateral reaktif

unilateral reaktif

tidak ada reaktif

0

2

4 Hipoksia Tidak

Ya

0

1 Hipotensi Tidak

Ya

0

2 Klasifikasi CT Scan – Marshall I

II

III / IV

V / VI

-2

0

2

2 tSAH Tidak

Ya

0

2 EDH Ya

Tidak

-2

0 Hiperglikemia

Tidak

Ya

0

1 Anemia Tidak

Ya

0

1

dimodifikasi dari PloS Med 5(8): e165,2008

Tabel 3. Hasil prognostik antara model prognostik dengan GOS 3 bulan

Keluaran Jumlah Tidak diharapkan Diharapkan

Skor prediktor ≥ 5 19 7 26 < 5 3 26 29

Jumlah 22 33 55

p = 0.000 ; RR = 23.52 (IK 95% = 5.38 – 102.95)

Page 61: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 7

Setelah dilakukan pembobotan dengan menggunakan sistem skoring, berdasarkan perhitungan ROC didapatkan nilai titik potong skor prediktor = 5. Tabel 2 x 2 memperlihatkan hasil prognostik antara skor prediktor dengan keluaran. Pasien dengan skor ≥ 5 yang mengalami keluaran tidak diharapkan sebesar 19 sampel dan pasien dengan skor < 5 yang mengalami keluaran diharapkan sebesar 26 sampel. Uji kai – kuadrat menunjukkan hubungan yang sangat bermakna (p = 0,000). Dari perhitungan RR diperoleh insidensi keluaran tidak diharapkan pada pasien dengan skor prediktor ≥ 5 sebesar 23,52 kali lebih tinggi dibanding pasien dengan skor prediktor < 5. Berdasarkan perhitungan diperoleh sensitivitas = 86,3% dan spesifisitas = 78,8%, nilai prediksi positif = 73,1% dan nilai prediksi negatif = 89,7%

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan dari 55 sampel yang terkumpul, 33 pasien (60%) dengan keluaran yang diharapkan (GOS 4 atau 5) dan sisanya sebanyak 22 pasien (40%) dengan keluaran yang tidak diharapkan (GOS 1 atau 2 atau 3). Dimana sampel dengan GOS 1 (meninggal), yaitu sebesar 14 pasien (25,5%). Sebagian besar sampel (63,6%) dengan onset ≤ 3 jam. Dari penelitian Fabbri, dkk. keluaran yang tidak diharapkan terdapat pada 14,6% kasus, dimana 3,9% pasien meninggal, 0,1% pasien vegetative state permanen, dan 10% mengalami kecacatan berat.9 Mayoritas kasus (85,4%) mempunyai keluaran yang diharapkan, dengan kecacatan sedang terdapat pada 10% kasus.9 Hasil keluaran pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Fabbri, dkk. karena sampel penelitian Fabbri, dkk. terbatas pada pasien cedera otak traumatik sedang dan rerata onset kecelakaan – rumah sakit adalah 60 menit.9 Pada penelitian ini, pasien meninggal saat perawatan (hari ke-4 – 14), rata-rata meninggal hari ke-4 – 7, penyebab kematian karena herniasi serebri yang dilihat dari ditemukannya tanda peningkatan tekanan intrakranial, yaitu gambaran CT – Scan berupa kompresi sisterna atau pergeseran garis tengah > 5 mm. Sedangkan faktor-faktor prediktor yang ditemukan pada saat awal masuk rumah sakit, antara lain skor komponen motorik GCS ≤ 4, pupil bilateral tidak reaktif, klasifikasi CT – Scan Marshall kategori III – VI, perdarahan subarakhnoid, atau hiperglikemia.

Risiko keluaran yang tidak diharapkan pada pasien dengan skor komponen motorik GCS ≤ 3 sebesar 6,17 kali dan pasien dengan skor komponen motorik GCS = 4 sebesar 5,14 kali lebih tinggi dibanding pasien dengan skor komponen motorik GCS = 5 / 6 (lokalisasi – mengikuti perintah). Risiko keluaran buruk meningkat seiring dengan penurunan skor motorik.9,10 Keluaran buruk terjadi khususnya pada pasien dengan skor komponen motorik GCS 1 (tidak ada) atau 2 (ekstensi).1

Risiko keluaran yang tidak diharapkan pada pasien dengan pupil bilateral tidak reaktif sebesar 4,21 kali lebih tinggi dibanding pasien dengan pupil bilateral reaktif. Menurut Jennet, dkk. terdapat hubungan kuat antara pupil bilateral yang tidak reaktif dengan keluaran vegetatif atau meninggal (GOS 2 atau 1).11 Berdasarkan penelitian Marmarou, dkk. efek prognostik terutama pada pasien dengan skor motorik rendah dan pasien dengan pupil bilateral yang tidak reaktif.10 Dari penelitian Signorini, dkk. pupil unilateral reaktif dan bilateral tidak reaktif berkaitan dengan peningkatan prognosis buruk.12 Pupil dilatasi atau reaktivitas menurun merupakan akibat kompresi saraf kranial III atau batang otak, dapat juga disebabkan oleh penurunan aliran darah ke batang otak, dimana autoregulasi menjadi bervariasi akibat perubahan tekanan darah.10

Page 62: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 8

Risiko keluaran yang tidak diharapkan pada pasien dengan hiperglikemia sebesar 2,10 kali lebih tinggi dibanding pasien yang tidak mengalami hiperglikemia. Sesuai dengan penelitian Young, dkk. ditemukan bukti kuat bahwa kadar glukosa yang tinggi saat masuk berkaitan dengan keluaran buruk.13 Mekanisme peningkatan kerusakan iskemik otak akibat hiperglikemia adalah metabolisme anaerob, dimana glukosa diubah menjadi laktat dan peningkatan kadar glukosa untuk memproduksi laktat berperan dalam kerusakan neuronal sekunder akibat akumulasi laktat.14

Risiko keluaran yang tidak diharapkan pada pasien dengan CT Scan kategori III / IV sebesar 5,50 kali lebih tinggi dibanding pasien dengan CT Scan kategori I / II. Kategori III digabung dengan IV karena keduanya merupakan temuan pada CT Scan yang mengindikasikan peningkatan tekanan intrakranial, dimana kategori III menilai kompresi sisterna basal dan IV menilai pergeseran garis tengah.15 Dan kategori V digabung dengan VI karena terdapat variasi keputusan ahli bedah saraf dalam membedakan antara lesi/massa yang dievakuasi dan tidak dievakuasi, juga tergantung pada kondisi pasien sebenarnya.15,16 Pergeseran garis tengah yang besar pada CT Scan berhubungan bermakna dengan pemulihan yang rendah.17

Pada analisis univariat penelitian ini, variabel usia, perdarahan subarakhnoid traumatik dan perdarahan epidural tidak berhubungan bermakna dengan GOS 3 bulan, sedangkan penelitian-penelitian di luar negeri ketiga variabel tersebut berhubungan bermakna dengan GOS. Hal ini disebabkan jumlah sampel berusia ≥ 50 tahun hanya 10,9% pasien, sehingga secara statistik tidak ditemukan hubungan bermakna dengan keluaran yang tidak diharapkan. Sesuai dengan penelitian Jain, dkk. usia dilaporkan tidak mempengaruhi keluaran, karena hanya 14,7% pasien berusia > 50 tahun.18 Perdarahan subarakhnoid traumatik tidak berhubungan bermakna karena jumlah sampel yang mengalami keluaran diharapkan dan tidak, hampir sama besar (15 dan 16 pasien). Perdarahan epidural dan penatalaksanaannya baik secara operatif maupun konservatif juga tidak berhubungan bermakna karena jumlah sampel kecil.

Variabel prediktor hipotensi, hipoksia, dan anemia juga tidak berhubungan bermakna dengan GOS 3 bulan. Hal ini dikarenakan sampel yang mengalami hipotensi, hipoksia, atau anemia kecil. Pada pasien cedera otak traumatik, tekanan darah arterial rata-rata dan sistolik yang rendah umumnya disebabkan kehilangan darah berkaitan dengan trauma ekstrakranial/multipel, sedangkan hipotensi berkaitan dengan anemia serta hipoksia.19,20 Pada penelitian ini trauma ekstrakranial/multipel merupakan salah satu kriteria eksklusi.

Dari hasil analisis univariat, hanya beberapa variabel prediktor (skor komponen motorik GCS ≤ 3 dan 4, pupil bilateral tidak reaktif, hiperglikemia, dan klasifikasi CT Scan Marshall kategori III / IV) yang mempunyai hubungan bermakna dengan GOS 3 bulan, namun dengan menggunakan sistem skoring, semua variabel prediktor yang diteliti dan dianalisis mempunyai hubungan bermakna dengan GOS 3 bulan. Kekuatan prediktor-prediktor keluaran bervariasi sesuai dengan apakah pasien di negara berpendapatan tinggi atau rendah – menengah.6 Kombinasi faktor-faktor prognostik menyajikan dasar yang kuat dalam mamperkirakan kemungkinan setiap kategori GOS pada pasien cedera otak traumatik.21 Aplikasi dari model prognostik lebih akurat dibanding dengan variabel prediktor secara tersendiri.22

Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai titik potong = 5, dengan sensitivitas =

Page 63: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 9

86,3% dan spesifisitas = 78,8%. Nilai prediksi positif = 73,1%, yaitu probabilitas pasien mengalami keluaran yang tidak diharapkan bila skor prediktor ≥ 5 sebesar 73,1%. Dan nilai prediksi negatif = 89,7%, yaitu probabilitas pasien mengalami keluaran yang diharapkan bila skor prediktor < 5 sebesar 89,7%. Sedangkan berdasarkan penelitian Steyerberg, dkk. jika nilai skor prediktor ≥ 16, maka pasien mengalami risiko keluaran yang tidak diharapkan sebesar ≥ 80%. Hal ini kemungkinan disebabkan pada penelitian ini jumlah sampel sedikit dan keluaran berupa GOS hanya 3 bulan serta tingkat akurasi yang dipergunakan sebesar 15%, sedangkan penelitian Steyerberg, dkk. jumlah sampel besar dan keluaran berupa GOS 6 bulan serta merupakan meta analisis. Pasien di negara dengan pendapatan rendah – sedang mempunyai prognosis buruk lebih dini.6 GCS rendah mempunyai prognosis lebih buruk pada pasien di negara dengan pendapatan rendah – sedang dibanding dengan pasien di negara berpendapatan tinggi.6 Hal ini mungkin berkaitan dengan kualitas perawatan atau GCS rendah pada negara berpendapatan tinggi berkaitan dengan penggunaan luas sedasi daripada keparahan cedera otak traumatik.6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil analisis univariat didapatkan 4 variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan GOS 3 bulan, yaitu skor komponen motorik GCS (≤ 3 dan 4), pupil bilateral tidak reaktif, hiperglikemia, dan klasifikasi CT Scan Marshall kategori III / IV. Terdapat hubungan bermakna antara model prognostik yang menggunakan skor prediktor pada pasien cedera otak traumatik sedang dan berat dengan GOS 3 bulan pada penelitian ini. Tingkat sensitivitas model prognostik yang diperluas dalam memprediksi keluaran yang tidak diharapkan 3 bulan pada pasien cedera otak traumatik sedang dan berat tinggi (86,3%). Tingkat spesifisitas model prognostik yang diperluas dalam memprediksi keluaran yang diharapkan 3 bulan pada pasien cedera otak traumatik sedang dan berat juga tinggi (78,8%).

Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam jumlah sampel yang lebih besar untuk meninjau apakah terdapat hubungan bermakna antara variabel-variabel prediktor yang lainnya (usia, tSAH, EDH, hipoksia, hipotensi, atau anemia) dengan GOS. Dan penelitian selanjutnya dengan lama pemantauan GOS > 3 bulan (6 bulan atau 1 tahun) untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Steyerberg EW, Mushkudiani N, Perel P, et al. Predicting outcome after traumatic brain injury:development and international validation of prognostic scores based on admission characteristics. PloS Med 5(8): e165,2008.

2. Perel P, Wasserberg J, Ravi RR, et al. Prognosis following head injury:a survey of doctors from developing and developed countries. Journal of Evaluation in Clinical Practice 2007;13:464-5.

3. Mushkudiani NA, Hukkelhoven CWPM, Hernandez AV, et al. A systematic review finds methodological improvements necessary for prognostic models in determining traumatic brain injury outcomes. Journal of Clinical Epidemiology 2008;61:331-43.

4. Crippen D, Shepard S. Head trauma. http://emedicine.medscape.com/article/433855.3 Januari 2009.

5. Maas AIR, Marmarou A, Murray GD, et al. Prognosis and clinical trial design in traumatic brain injury:the IMPACT study. Journal of Neurotrauma 2007;24(2):232-8.

6. MRC CRASH Trial Collaborators. Predicting outcome after traumatic brain injury:practical prognostic models based on large cohort of international patients. BMJ 2008;336:425-9.

7. Bruns J, Hauser WA. The epidemiology of traumatic brain injury:a review. Epilepsia 44(Suppl.10):2-10,2003.

Page 64: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No.2 Januari 2010 10

8. Perel P, Edward P, Wentz R, et al. Systematic review of prognostic models in traumatic brain injury. BMC Medical Informatics and Decision Making 2006;6:38.

9. Fabbri A, Servadei F, Marchesini G, et al. Early predictors of unfavourable outcome in subjects with moderate head injury in the emergency department.J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 2008;79:567-73.

10. Marmarou A, Lu J, Butcher I, et al. Prognostic value of the glasgow coma scale and pupil reactivity in traumatic brain injury assessed pre-hospital. Journal of Neurotrauma 2007,24(2):270-80.

11. The Brain Trauma Foundation Pupillary diameter and light reflex. Journal of Neurotrauma 2000;17(6/7):583-90.

12. Signorini DF, Andrews PJD, Jones PA, et al. Predicting survival using simple clinical variables:a case study in traumatic brain injury. J Neurol Neurosurg Pschiatry 1999;66:20-5.

13. Van Beek JGM, Mushkudiani NA, Steyerberg EW, et al. Prognostic value of admission laboratory parameters in traumatic brain injury:results from the IMPACT study. Journal of Neurotrauma 2007,24(2):315-28.

14. Young B, Ott L, Dempsey R, et al. Relationship between admission hyperglycemia and neurologic outcome of severely brain-injured patients. Ann.Surg. 1989;210(4):466-72.

15. Hukkelhoven CWPM, Steyerberg EW, Farace E, et al. Regional differences in patient characteristics, case management, and outcomes in traumatic brain injury:experience from the tirilazad trials. J Neurosurg 2002;97:549-57.

16. Wardlaw JM, Easton VJ, Statham P. Which CT features help predict outcome after head injury. J Neurol Neurosurg Pschiatry 2002;72:188-92

17. Shokouhi G. Prognostic value of brain shift in epidural haematoma. Research Journal of Biological Sciences 2008,3(2):233-5.

18. Jain S, Dharap SB, Gore MA. Early prediction of outcome in very severe closed head injury. Injury, Int. J. Care Injured 2008;39:598-603.

19. Manley G, Knudson MM, Morabito D, et al. Hypotension, hypoxia, and head injury:frequency, duration, and consequences. Arch Surg. 2001;136:1118-1123.

20. Butcher I, Maas AIR, Lu J, et al. Prognostic value of admission blood pressure in traumatic brain injury:results from the IMPACT study. Journal of Neurotrauma 2007,24(2):294-302.

21. Murray GD, Butcher I, McHugh GS, et al. Multivariable prognostic analysis in traumatic brain injury: results from the IMPACT study. Journal of Neurotrauma 2007;24(2):329-37.

22. Hukkelhoven CWPM, Steyerberg EW, Habbema JDF, et al. Predicting outcome after traumatic brain injury:development and validation of a prognostic score based on admission characteristics. Journal of Neurotrauma 2005;22(10):1025-39.

Page 65: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1

PERUBAHAN FUNGSIONAL PENYAKAIT PARKINSON

DENGAN MENGGUNAKAN

UNIFIED PARKINSON’S DISEASE RATING SCALE (UPDRS) Herlina Sari*, Salim Harris** , Manfaluthy Hakim**, Yusuf Misbach** , Herqutanto*** ABSTRACT Background: Progressive decline in functional status is the expected natural course of Parkinson’s disease. The variability between patients, manifested by individual patients motoric function and disability seem to progress at different rates. Objectives: To determine the overall rate of functional decline after 4 years in patients with Parkinson’s disease who were receiving routine treatment and to assess the factors associated with functional changes in disease progression. Methods: A comparative serial survey study. Of the 42 patients originally derived from a hospital-based study, 37 were re-examined after 4 years of follow-up. Information on functional status was obtained using the same scale Unified Parkinson Disease Rating Scale (UPDRS) versi 3.0, the Hoehn and Yahr staging, and the Schwab and England score, when assessed during the on state. Results: After 4 years, compared with baseline there was significant changes (all p value <0,001), of total UPDRS score increase 13,76 points, UPDRS I- mentation, behavior and mood increase 2,32 points, UPDRS II- ADL increase 4,95 points, UPDRS III- motor function increase 4,49 points, UPDRS IV-complication of treatment increase 1,97 points and Schwab and England scale decreased 6,22%. Older age, longer disease duration, first cardinal sign’s rigid-akinetic, and poor compliance were associated with greater impairment in functional scale. Conclusions: We found a functional decline of total UPDRS, each UPDRS subscale, also the the Hoehn and Yahr staging and the Schwab and England ADL scale. Overall rate of functional scale worsened significantly with time. Age,disease duration, associated with functional scale changes thought to be due to involvement of non-dopaminergic brain structures, are related to more impaired functional status. Keywords: functional changes, disease progression, Parkinson’s disease, UPDRS. _______________________________________________________________________ ABSTRAK Latar belakang: Penurunan status fungsional diduga akan terjadi pada perjalanan alami penyakit Parkinson.Variasi antar pasien berwujud perbedaan derajat perubahan fungsi motorik dan disabilitas yang berbeda-beda. Tujuan: Untuk menentukan angka perubahan fungsional selama periode 4 tahun pada penderita Parkinson di RSCM yang mendapat obat antiparkinson rutin dan menetukan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan perubahan fungsional penyakit Parkinson. Metode: Suatu studi comparative serial survey, dari 42 pasien dengan diagnosa klinis penyakit Parkinson, skala fungsional 37 orang pasien difollow- up kembali setelah 4 tahun. Informasi skala fungsional dengan menggunakan Unified Parkinson Disease Rating Scale (UPDRS) versi 3.0, stadium Hoehn dan Yahr, dan skala Schwab dan England, evaluasi UPDRS dilakukan pada fase on. Hasil: Setelah periode 4 tahun telah terjadi penurunan bermakna semua subskala fungsional UPDRS (semua p<0,001), berupa kenaikan skor UPDRS total sebesar 13,76 angka, kenaikan skor UPDRS I - mental, prilaku & mood sebesar 2,32 angka, kenaikan skor UPDRS II - ADL sebesar 4,95 angka, kenaikan skor UPDRS III - motorik sebesar 4,49 angka, kenaikan skor UPDRS IV - komplikasi pengobatan sebesar 1,97 angka, kenaikan skor UPDRS III - motorik sebesar 4,49 angka, kenaikan stadium Hoehn-Yahr sebesar 0,35 angka, penurunan skala Schwab-England

Page 66: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 2

sebesar 6,22%. Usia lebih tua, makin lama durasi sakit, gejala kardinal awal rigid akinetik dan kepatuhan minum obat yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsional yang lebih buruk. Kesimpulan: Didapatkan penurunan fungsional pada UPDRS total, setipa subskala Angka keseluruhan skala fungsional memburuk secara bermakana dengan bertambahnya waktu. Usia dan durasi sakit berhubungan perubahan skala fungsional diduga berkaitan dengan keterlibatan struktur non-dopaminergik, berhubungan dengan status fungsional yang lebih menurun. Kata kunci: perubahan fungsional, perjalanan penyakit , penyakit Parkinson, UPDRS ______________________________________________________________________________  * Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi FKUI, Jakarta ** Staf Departemen Neurologi FKUI / RSCM, Jakarta *** Staf Departemen Komunitas FKUI, Jakarta

PENDAHULUAN

Dalam perjalanan klinis penyakit Parkinson dimulai dengan istilah presymptomatic phase, kemudian honeymoon period, diikuti complication period, dan cognitive decline.1,3-5 Untuk menilai perjalanan klinis penyakit Parkinson yang memiliki perubahan gejala klinis yang gradual dan insidious, dipakai beberapa skala penilaian klinis, antara lain Unified Parkinson Disease Rating Scale (UPDRS).1,4,5-8 UPDRS merupakan baku emas internasional untuk skala penilaian klinis penyakit Parkinson.1,4-6,10-11 UPDRS terdiri dari 6 subskala, yang terdiri dari: UPDRS I Mentation, behaviour, and mood, UPDRS II Activities of daily living, UPDRS III Motor examination, UPDRS IV Complications of treatment, UPDRS V Hoehn and Yahr (HY) staging, UPDRS VI Schwab and England (SE) Activities of daily living score. 1,4-6,10-11

Evidence base review (EBM) oleh The QSS (Quality Standards Subcommittee) of the American Academy of Neurology (AAN), 2006 9 merekomendasikan beberapa faktor prediktor untuk prognosis progresivitas penyakit Parkinson yaitu: usia; usia tua saat onset; gejala kardinal awal; demensia; komorbiditas dan penurunan respon terhadap dopamin. Beberapa penelitian lain mendapatkan hubungan pengaruh kepatuhan minum obat (compliance) terhadap gejala klinis sesuai UPDRS. Fisioterapi juga didapatkan berpengaruh terhadap perubahan UPDRS.12-14 Perbedaan  demografik  dan  klinis  antar  subyek   yang   mempengaruhi   skala   fungsional   ,   diduga     melibatkan   jalur  dopaminergik  yang  bervariasi  dan  juga  jalur  lainnya.15-­‐23  

Pada tahun 2005 Sukoandari, dkk8 melakukan penelitian mengenai gambaran penyakit Parkinson di RSCM dengan menggunakan UPDRS, dengan jumlah subyek 42 orang. Belum ada data mengenai perubahan skala fungsional sesuai UPDRS pada penderita Parkinson di RSUPN-CM. Diduga setelah 4 tahun berjalan, subyek penelitian Sukoandari dkk tersebut di atas diduga sudah mengalami perubahan fungsional berdasarkan skor UPDRS. METODE Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan penelitian analitik comparative serial survey dari bulan Agustus sampai Oktober 2009 di Poliklinik RSCM. Sampel adalah semua pasien Parkinson yang merupakan subjek penelitian Sukondari dkk. tahun 20058 yang memenuhi kriteria inklusi yaitu masih hidup dan bersedia diikut sertakan dalam penelitian (total sampling). Jumlah subjek pada penelitian awal adalah 42 pasien. Pada saat ini terdapat 37 subjek yang memenuhi kriteria inklusi.

Page 67: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 3

Penilaian dengan UPDRS dilakukan pada fase on yaitu fase terbaik/optimal dari pasien setelah minum obat antiparkinson. Skor dicatat untuk masing-masing bagian. Nilai kumulatif maksimum untuk UPDRS adalah jumlah skor bagian I sampai dengan IV, dimana skor 199 menunjukkan nilai disabilitas paling berat, 0 menunjukkan tidak terdapat gejala penyakit.1,4,6

Data penelitian diolah dengan menggunakan SPSS versi 16.0, dengan interval nilai berdasarkan interval kepercayaan 95%. Perbandingan rerata untuk 2 kelompok variabel numerik dengan dua kali pengukuran berdistribusi normal digunakan uji t-berpasangan. Hubungan antara variabel kualitatif dan variabel kuantitatif dinilai dengan uji t-independen bila memenuhi syarat normalitas. Untuk perbandingan variabel numerik lebih dari 2 kelompok berdistribusi normal digunakan uji Oneway ANOVA (Analysis of variance), dilanjutkan dengan analisis post Hoc. HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini jumlah subyek sebanyak 37 orang, terdiri dari 20 orang laki-laki dan 17 orang perempuan. Rerata usia 66,7 tahun, rentang 34-80 tahun. Rerata usia saat onset adalah 56,8 tahun, dengan rentang 27-72 tahun. Rerata durasi sakit adalah 9,78 tahun, dengan rentang 4-25 tahun. Dibandingkan data tahun 2005 terlihat perubahan jenis dan kombinasi obat antiparkinson. Levodopa masih merupakan jenis obat yang terbanyak digunakan oleh subyek penelitian, yaitu 91,9%, diikuti Antikolinergik 75,7%, Dopamin Agonis 56,8%, dan COMT Inhibitor 27,2%. Tabel 1. Perubahan skor UPDRS subyek setelah 4 tahun

Uji t- berpasangan Pada penderita Parkinson di RSUPN-CM setelah periode 4 tahun telah terjadi

penurunan skala fungsional menyeluruh UPDRS, berupa kenaikan skor UPDRS total dan kenaikan masing-masing subskala UPDRS yang semuanya bermakna secara statisik.

Skala fungsional rerata 2005

rerata 2009

Perbedaan rerata (paired difference) Nilai p

IK 95%

rendah tinggi

▪Skor UPDRS total (Is/d IV) ▪Skor UPDRS subskala I ▪Skor UPDRS subskala II ▪Skor UPDRS subskala III ▪Skor UPDRS subskala IV ▪Stadium Hoehn & Yahr ▪Skala Schwab England

32,84 2,35

12,16 15,54 2,84 2,14

76,49

46,43 4,68

17,11 20,03 4,81 2,49

70,27

-13,76 -2,32 -4,95 -4,49 -1,97 0,35 6,22

<0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001

-16,272 -3,010 -6,015 -5,743 -2,515 - 0,531 3,945

-11,241 -1,639 -3,877 -7,242 -3,230 -0,172 8,487

Page 68: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 4

Tabel 2. Perubahan skor UPDRS total setelah 4 tahun pada masing-masing kelompok menurut: usia, usia saat onset, gejala kardinal awal, dan jenis obat antiparkinson

Karakteristik subyek Skor UPDRS total IK 95%

Rerata 2005 2009

Perbedaan rerata Nilai p rendah tinggi

Usia (tahun) : ≥ 67 < 67

38,14 29,61

54,79 41,61

-16,643 -12,000

<0,001 <0,001

-21,59 -14,78

-11,69 -9,23

Usia saat onset (tahun): ≥ 57 < 57

32,68 33,00

47,37 45,78

-14,684 -12,778

<0,001 <0,001

-18,45 -16,44

-10,92 -9,122

Durasi sakit (tahun): ≤ 5 6-10 ≥ 11

16,20 25,21 50,38

20,80 36,74 70,92

-4,600 -11,526 -20,538

0,026 <0,001 <0,001

-8,283 -14,074 -24,305

-0,917 -8,979

-16,295 Gejala Kardinal awal: Tremor Akinetik rigid

30,62 38,09

43,42 54,09

-1,2808 -1,6000

<0,001 <0,001

-15,807 -21,169

-9,809 -10,831

Jenis obat antiparkinson Levodopa : Ya Tidak

32,84 24,33

46,60 26,33

-13,76 -2,000

<0,001 0,225

-16,272 -6,968

-11,242 2,9683

Da- agonis: Ya Tidak

28,70 37,71

42,50 51,41

-13,80 -13,706

<0,001 <0,001

-17,907 -16,816

-9,693 -10,596

COMT-I: Ya Tidak

34,00 32,46

52,44 44,71

-18,444 -12,250

<0,001 <0,001

-23,026 -15,143

-13,863 -9,3567

Antikolinergik: Ya Tidak

31,97 36,00

44,89 52,75

-12,931 -16,750

<0,001 <0,001

-15,872 -22,070

-9,990 -11,430

Uji t- berpasangan Tabel 2 memperlihatkan perubahan skor UPDRS total setelah 4 tahun pada masing-masing kelompok subyek menurut usia, usia saat onset, gejala kardinal awal, dan jenis obat antiparkinson, dimana didapatkan hasil: terdapat perubahan bermakna skor UPDRS total pada kelompok semua kelompok subyek (semua nilai p<0,001), kecuali kelompok subyek yang tidak mendapat levodopa (p=0,225). Bila diperinci lebih lanjut perubahan setiap subskala UPDRS setelah 4 tahun pada penderita Parkinson di RSUPN-CM menurut masing-masing kelompok subyek: terdapat perubahan bermakna skor UPDRS I pada semua kelompok subyek (semua nilai p<0,001), kecuali kelompok durasi sakit ≤5 tahun (p=0,226); terdapat perubahan bermakna skor UPDRS II pada semua kelompok subyek (semua nilai p<0,001), kecuali kelompok durasi sakit ≤5 tahun (p=0,053) dan kelompok yang tidak mendapat levodopa (p=0,057); terdapat perubahan bermakna skor UPDRS III pada semua kelompok subyek (semua nilai p<0,001), kecuali kelompok yang tidak mendapat levodopa (p=0,729); perubahan bermakna skor UPDRS IV pada semua kelompok subyek (semua nilai p<0,001), kecuali subyek dengan durasi sakit ≤5 tahun (p=0,374) dan yang tidak mendapat levodopa (SE=0); terdapat perubahan bermakna stadium H&Y pada semua kelompok subyek (semua nilai p<0,001), kecuali kelompok dengan durasi sakit ≤5 tahun (SE=0), kelompok yang tidak mendapat levodopa (SE=0) dan kelompok yang tidak mendapat Da-agonis (p=0,083); terdapat perubahan bermakna derajat ADL-SE pada semua kelompok subyek (semua nilai p<0,001), kecuali kelompok dengan durasi sakit ≤5 tahun (p=0,374) dan kelompok yang tidak mendapat levodopa (SE=0).

Page 69: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 5

Tabel 3 memperlihatkan hubungan antara faktor penentu dengan perubahan UPDRS total, dengan hasil: subyek yang berusia 67 tahun ke atas memiliki rerata perubahan UPDRS total lebih besar secara bermakna dibandingkan subyek di bawah 67 tahun (-16,64 vs. -12,00 ; p=0,038). Dengan analisis post-Hoc didapatkan perbedaan bermakna antar semua kelompok durasi sakit (p<0,001), dimana rerata perubahan paling besar terdapat pada durasi sakit >11 tahun, diikuti durasi sakit 6-10 tahun, kemudian ≤5 tahun (-20,54 vs. -11,26 vs. 4,40). Subyek yang mendapat jenis obat levodopa memiliki rerata perubahan UPDRS total lebih besar secara bermakna dibandingkan subyek yang tidak mendapat levodopa (-14.65 vs. -1.67 ; p=0,003), demikian pula halnya pada subyek yang mendapat COMT-I dibandingkan subyek yang tidak mendapat COMT-I ( -17,9 vs. -12 ; p=0,032). Tabel 3. Hubungan antara faktor penentu dengan perubahan UPDRS total

Faktor penentu Perubahan skor UPDRS total 95% CI

rerata Perbedaan rerata

Nilai p rendah tinggi

Usia (tahun) : ≥67 <67

-16,64 -12,00 -4,64 0,038 -10,306 -0,303

Usia saat onset (tahun): ≥57 <57

-14,42 -12,72 -1,699 0,499 -6,749 3,352

Durasi sakit (tahun): * ≤ 5

6-10

≥11 -4,40

6,863

16,138 0,011 <0,001

1,680 10,71

12,05 21,57

6-10

≤ 5 ≥11

-11,26

-6,863 9,275

0,011 <0,001

-12,05 5,560

-1,68 12,99

≥11

≤ 5 6-10

-20,54

-16,138 -9,275

<0,001 <0,001

-21,57 -12,99

-10,71 -5,56

Gejala Kardinal awal: Tremor Akinetik rigid

-12,62 -15,91 3,294 0,227 -2,150 8,737

Jenis obat antiparkinson Levodopa : Ya

Tidak Da- agonis: Ya

Tidak COMT-I: Ya

Tidak Antikolinergik: Ya

Tidak

-14.65 -1.67

-13,50 -13,71 -17,90 -12,00 -12,57 -16,78

-12,98

0,206

-5,900

4,206

0,003

0,935

0,032

0,146

-21,155

-4,893

-11,252

-1,538

-4.806

5,304

-0,548

9,950

Compliance * : -12,83

-1,526 4,000

0,607 0,190

-7,49 -2,08

4,44

10,08 Baik

Sedang Rendah

Sedang

Baik Rendah -11,31 1,526

5,526 0,607 0,068

-4,44 -0,44

7,49 11,49

Rendah

Baik Sedang -16,83 -4,000

-5,526 0,190 0,068

-10,08 -11,49

0,44 2,08

Komorbiditas: Ada Tidak

-14,00 -13,46 -0,536 0,855 -6,456 5,384

Fisioterapi : Ada Tidak

-11,6 -14,22 2,548 0,383 -3,310 8,405

Page 70: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 6

Setelah dianalisa untuk masing-masing subskala, didapatkan bahwa: tipe tremor memiliki rerata perubahan UPDRS I yang lebih kecil secara bermakna dibandingkan tipe akinetik-rigid (-1,77 vs. -3,64; p=0,009); kelompok durasi sakit >11 tahun memiliki rerata perubahan UPDRS II lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan kelompok ≤5 tahun (-7,62 vs.-1,80; p<0,001); subyek yang mendapat levodopa memiliki rerata perubahan UPDRS II yang lebih besar secara bermakna dibandingkan subyek yang tidak mendapat levodopa (-5,32 vs.-1,67; p=0,036); subyek yang mendapat COMT-I memiliki rerata perubahan UPDRS II yang lebih besar secara bermakna dibandingkan subyek yang tidak mendapat COMT-I (-6,80 vs.-4,33; p=0,035); subyek yang mendapat jenis obat levodopa memiliki rerata perubahan derajat ADL-SE yang lebih besar secara bermakna dibandingkan yang tidak mendapat levodopa (6,47 vs. 0,00; p=0,00); kelompok subyek dengan compliance rendah memiliki rerata perubahan derajat ADL-SE lebih besar secara bermakna dibandingkan subyek dengan compliance sedang (9,17 vs. 2,31; p=0,007); kelompok usia ≥67 tahun mengalami perubahan UPDRS III yang lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok usia <67 tahun (-5,79 vs. -1,92; p=0,001); kelompok durasi sakit >11 tahun memiliki rerata perubahan skor UPDRS III yang lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok ≤5 tahun (-7,15 vs. -1,40; p=0,002) dan kelompok 6-10 tahun (-7,15 vs. -3,37; p=002); subyek yang mendapat levodopa memiliki rerata perubahan UPDRS III-motorik lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat levodopa (-4,91 vs. 0,00; p=0,007); subyek dengan compliance rendah memiliki rerata perubahan UPDRS III lebih besar secara bermakna dibandingkan subyek dengan compliance baik (-6,17 vs. -2,75; p=0,026); kelompok durasi sakit >11 tahun mengalami rerata perubahan UPDRS IV lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan kelompok durasi sakit ≤5 tahun, (-2,62 vs. -0,80; p=0,017); subyek yang mendapat jenis obat levodopa memiliki rerata perubahan UPDRS IV lebih besar secara bermakna dibandingkan subyek yang tidak mendapat levodopa (-2,18 vs. -0,00; p<0,001). PEMBAHASAN Karakteristik Subyek Penelitian Usia dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan cut of point rerata usia subyek yaitu 67 tahun dengan rentang 34-80 tahun. Usia saat onset dikelompokkan menjadi 2 dengan cut of point rerata usia onset yaitu 57 tahun. Rerata durasi sakit adalah 9,78 tahun, dengan rentang 4-25 tahun. Durasi sakit dikelompokkan menjadi 3 yaitu antara ≤5 tahun (13,5%), 6-10 tahun (51,4%), ≥11 tahun (35,1%). Pengelompokan durasi sakit sama dengan penelitian awal tahun 2005.8

Dibandingkan data tahun 20058 terlihat perubahan jenis dan kombinasi obat antiparkinson. (tabel 1). Selama periode 4 tahun diketahui sebagian besar subyek sudah mengalami beberapa kali perubahan jenis dan dosis serta kombinasi obat antiparkinson. Pada penelitian ini yang didata dan dianalisa adalah obat antiparkinson yang terakhir dikonsumsi subyek rutin selama minimal 1 bulan. Perubahan Skala Fungsional UPDRS Pada penelitian ini dipakai interval follow up 4 tahun, diperoleh hasil bahwa setelah periode 4 tahun telah terjadi penurunan skala fungsional berupa perubahan rerata skala fungsional yang sangat bermakna baik UPDRS total (p=<0,001), UPDRS I (p=<0,001), UPDRS II (p=<0,001), UPDRS III (p=<0,001), dan UPDRS IV (p=<0,001) antara tahun 2005 dengan 2009. Demikian pula halnya dengan stadium HY (p=<0,001) serta skala SE (p=<0,001) (tabel 2).

Page 71: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 7

Sebagaimana diketahui penyakit Parkinson adalah penyakit yang kronis dan progresif, dimana gejala perlahan makin memburuk dengan bertambahnya waktu disertai bertambah beratnya disabilitas.1-3,9 Bila dibandingkan dengan penelitian Alves, dkk.15 yang memakai interval follow up 4 tahun dan 8 tahun, dengan menggunakan uji regresi logistik juga didapatkan penurunan seiring waktu yang bermakna pada fungsi motorik (p<0,001), UPDRS II ADL (p<0,001), stadium HY (p<0,001), dan skala SE (p<0,001).

Kelompok durasi sakit ≤5 tahun memiliki status fungsional paling baik ditunjukkan dengan rerata skor UPDRS yang paling kecil untuk semua subskala, diikuti kelompok durasi sakit 6-10 tahun, kemudian ≥11 tahun ( -2,62 vs. -0,80; p=0,017) . Hal ini sesuai dengan skema perjalanan penyakit Parkinson dimana durasi sakit di bawah 5 tahun masih dalam periode honeymoon dengan respon terhadap obat antiparkinson sangat baik dan konstan. Sesuai dengan Ahlskog, dkk.24 baik diskinesia maupun fluktuasi motorik frekuensinya meningkat dengan peningkatan durasi penyakit, dimana sekitar 40% pasien penyakit Parkinson mengalami gejala komplikasi motorik 4-6 tahun sejak onset. Sedangkan Hely dkk25 mendapatkan bahwa 40% pasien Parkinson mengalami diskinesia 6 tahun sejak onset.

Sebagai catatan tambahan, subyek no. 16 dan 30 mengalami rerata perubahan UPDRS total masing-masing 28 angka dan 33 angka. Perubahan tersebut jauh lebih besar dibandingkan rata-rata subyek lainnya (13,76 angka SD 7,54 angka). Tidak tertutup kemungkinan bahwa respon yang tidak begitu baik terhadap levodopa pada kedua subyek tersebut disebabkan bahwa subyek bukan penderita Parkinson idiopatik melainkan sindroma parkinsonian atau parkinsonism sekunder. Studi terbaru di Wales menunjukkan bahwa kesalahan diagnostik pada sindroma parkinsonian lebih dari 50% di praktek dokter umum. Brain bank UK menemukan diagnostic error sekitar 25% di tangan dokter spesialis saraf.4,5 Hubungan faktor penentu terhadap perubahan UPDRS Usia, Usia onset dan Durasi Sakit Pada penelitian ini didapatkan rerata perubahan skor UPDRS total dan UPDRS III motorik lebih besar secara bermakna (p= 0,038) pada subyek yang berusia 67 tahun ke atas dibandingkan subyek di bawah 67 tahun. Terdapat perbedaan rerata yang bermakna UPDRS total, UPDRS I, III, dan IV antara durasi sakit durasi sakit lebih dari 11 tahun, dengan durasi sakit 6-10 tahun dan ≤ 5 tahun.

Pada penelitian ini fungsi motorik dan disabilitas secara bermakna memburuk bersamaan sesuai waktu. Beberapa penelitian lain juga memperlihatkan bahwa usia lanjut berhubungan dengan progresivitas penurunan fungsi motorik dan disabilitas yang lebih cepat. Diduga terdapat interaksi biologik antara proses penyakit primer dan proses penuaan yang melibatkan struktur non-dopaminergik seperti locus cereleus, nucleus peduculopontine, dan nucleus basalis of Meynert. Hal ini juga menjelaskan kondisi nonresponsif terhadap levodopa serta manifestasi gejala kognitif pada stadium lanjut penyakit Parkinson.1-3, 15-23 Gejala Kardinal Awal Dari kepustakaan diduga sepertiga populasi total pasien Parkinson menunjukkan gambaran predominan akinetik-rigid. Pada stadium awal, mayoritas pasien Parkinson adalah dominan tremor (kira-kira 70%) dibandingkan tipe akinetik-rigid.20-2 Pada subyek penelitian ini tipe tremor pada gejala awal adalah dan tipe awal rigid akinetik adalah 29,7%.

Pada penelitian ini gejala kardinal awal berhubungan bermakna dengan perubahan UPDRS I -mental, prilaku & mood dimana tipe tremor memiliki rerata perubahan yang

Page 72: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 8

lebih kecil dibandingkan tipe akinetik-rigid ( p=0,009). Hasil penelitian ini mendukung teori bahwa tipe akinetik- rigid memiliki disfungsi multipel pada sistem transmiter dopaminergik, sistem eksitatorik asam amino (glutamatergik), dan sistem serotonergik. 16,20-3

Jenis Obat Antiparkinson Hasil sejumlah studi klinis terkontrol skala besar konsisten memperlihatkan manfaat simtomatis yang lebih superior pada formula levodopa konvensional, namun diketahui bahwa UPDRS subskala IV-komplikasi pengobatan berhubungan dengan pemakaian levodopa jangka panjang.1,4,5,26 Sedangkan COMT-I diketahui secara bermakna dapat memperbaiki UPDRS total dan UPDRS II-ADL.1,4,5

Pada penelitian ini jenis obat levodopa memiliki perbedaan bermakna skor UPDRS total, UPDRS II ADL, UPDRS IV- komplikasi pengobatan dan skala ADL-SE yang lebih besar dibandingkan subyek yang tidak mendapat levodopa. Juga terdapat perbedaan bermakna skor UPDRS II yang lebih besar pada pemakaian COMT-I dibandingkan yang tidak mendapat COMT-I. Hanya 3 orang subyek penelitian ini yang tidak mendapat levodopa karena memang masih berada pada durasi awal penyakit dengan status fungsional yang masih stabil, sehingga diperoleh angka perubahan yang lebih kecil dan tidak bermakna.

Sedangkan COMT-I mulai dipakai pada subyek penelitian ini saat komplikasi motorik wearing off muncul, yaitu pada moderate atau lanjut sehingga dapat dimengerti mengapa perubahan UPDRS II ADL pada penelitian ini lebih besar pada subyek yang mendapat COMT-I dibandingkan subyek yang tidak mendapat COMT-I .

Perlu dicermati, berbeda dengan penelitian tentang efikasi obat antiparkinson yang menggunakan rancangan uji klinis, rancangan penelitian ini merupakan survey dengan karakteristik subyek yang yang bervariasi. Oleh karena itu hasil penelitian ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati, mengingat subyek berada pada stadium yang berlainan dan mendapat obat antiparkinson rutin dengan dosis berlainan dengan jangka waktu yang bervariasi. Compliance Seperti halnya penyakit kronis lain, ketidakpatuhan minum obat juga terjadi pada pasien Parkinson, padahal diketahui penatalaksanaan penyakit Parkinson sangat tergantung terutama pada obat antiparkinson oral.12-3 Compliance dapat membantu mencegah penurunan fungsional pasien (Grosset, dkk).56 Pengukuran yang dipakai pada penelitian ini adalah “Skala Morisky” yaitu kuesioner yang terdiri dari 4 pertanyaan sederhana. Dengan kesesuaian yang dinilai cukup baik (ICC = 0.40).12-3

Pada penelitian ini terdapat perbedaan rerata perubahan derajat UPDRS II dan ADL SE yang lebih besar secara bermakna antara compliance yang buruk dibandingkan dengan compliance yang baik. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara compliance dengan subskala UPDRS lainnya. Komorbiditas Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan bermakna antara terdapatnya komorbiditas terhadap perubahan UPDRS, namun subyek dengan komorbiditas mempunyai perbedaan rerata yang lebih besar pada sebagian besar subskala UPDRS yaitu UPDRS total, UPDRS I, UPDRS III, UPDRS IV, dan stadium HY dibandingkan subyek tanpa komorbiditas. Adapun komorbiditas yang didapatkan pada subyek penelitian ini adalah hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, artritis, dan katarak stadium inmatur. Tidak didapatkan komorbiditas yang dipertimbangkan dapat menimbulkan ceiling effect atau dipertimbangkan dapat menjadi perancu hasil penilaian UPDRS.6,9

Page 73: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 9

Fisioterapi Pada subyek penelitian ini, bentuk fisioterapi berupa program latihan pada subyek meliputi aerobik, penguatan, peregangan, dan gait training. Beban diberikan pada otot-otot ekstensor melawan postur fleksor. Latihan dilakukan 1 kali dalam seminggu selama 20 menit. Sedangkan pada literatur frekuensi latihan dianjurkan 3 kali dalam seminggu selama 20 menit.14 Didapatkan hasil subyek yang rutin menjalani fisioterapi (9 orang) memiliki rerata perubahan skor yang lebih kecil pada sebagian besar subskala UPDRS total, UPDRS I, UPDRS II, UPDRS III, UPDRS IV, dan stadium HY dibandingkan subyek yang tidak menjalani fisioterapi (28 orang), meskipun secara statistik tidak bermakna. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

Pada subyek penderita Parkinson di RSUPN-CM setelah periode 4 tahun telah terjadi: penurunan bermakna skala fungsional menyeluruh pada subyek yang ditunjukkan oleh kenaikan skor UPDRS total sebesar 13,76 angka (rata-rata 3,44 angka per tahun).

Pada subyek penderita Parkinson di RSUP-CM setelah periode 4 tahun telah terjadi penurunan bermakna semua subskala fungsional UPDRS (semua p<0,001); berupa: kenaikan skor UPDRS I-mental, prilaku & mood rata-rata 2,32 angka (0,58 angka/tahun); kenaikan skor UPDRS II-ADL rata-rata 4,95 angka (1,24 angka/tahun); kenaikan skor UPDRS III–motorik rata-rata 4,49 angka (1,12 angka/tahun); kenaikan skor UPDRS IV-komplikasi pengobatan rata-rata 1,97 angka (0,49 angka/tahun); kenaikan stadium Hoehn-Yahr rata-rata 0,35 angka (0,49 angka/tahun); penurunan skala Schwab-England sebesar 6,22% (1,56% /tahun).

Terdapat perubahan bermakna skor UPDRS I ,UPDRS II, UPDRS III, UPDRS IV dan stadium HY , derajat ADL-SE pada semua kelompok subyek (semua nilai p <0,001), kecuali kelompok dengan durasi sakit ≤ 5 tahun dan kelompok subyek yang belum mendapat obat antiparkinson levodopa. Di antara semua faktor penentu, yang berhubungan bermakna dengan perubahan UPDRS adalah usia, durasi sakit, gejala kardinal awal, jenis obat antiparkinson, dan compliance, yaitu sebagai berikut: usia lebih tua (≥67 tahun), memiliki perubahan skor UPDRS total dan perubahan UPDRS III-motorik besar; semakin lama durasi sakit, semakin besar perubahan UPDRS total, UPDRS I mental, prilaku & mood, UPDRS III motorik, dan UPDRS IV komplikasi pengobatan; gejala kardinal awal tremor memiliki perubahan UPDRS I-mental, prilaku, & mood yang lebih kecil dibandingkan tipe rigid-akinetik; jenis obat antiparkinson levodopa berhubungan bermakna dengan perubahan skala fungsional, berupa rerata perubahan UPDRS III-motorik dan UPDRS IV-komplikasi pengobatan yang lebih besar secara bermakna pada subyek yang mendapat jenis obat levodopa dibandingkan subyek yang tidak mendapat levodopa. Namun dalam hal ini subyek penelitian ini yang tidak mendapat levodopa semuanya masih berada pada durasi awal penyakit yaitu ≤5 tahun; compliance yang rendah memiliki perubahan UPDRS III-motorik lebih besar secara bermakna dibandingkan subyek dengan compliance baik. Rerata perubahan derajat ALD SE lebih besar secara bermakna pada subyek dengan compliance yang buruk dibandingkan subyek dengan compliance sedang. SARAN

Data penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi untuk counseling dan edukasi bagi pasien dan keluarganya. UPDRS dapat dipakai untuk melihat status fungsional dan

Page 74: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 10

perubahan fungsional dalam perjalanan penyakit Parkinson, maka sebaiknya dipakai terus secara berkala, khususnya di Poliklinik Saraf RSUPN-CM.

Pada penderita Parkinson juga perlu diperhatikan faktor: usia, durasi sakit, gejala kardinal awal, jenis obat antiparkinson, dan compliance, untuk membantu perencanaan pengobatan jangka panjang, dengan tujuan mencapai status fungsional penderita Parkinson yang seoptimal mungkin.

Dalam hal hubungan jenis obat antiparkinson dengan perubahan skala fungsional, sebaiknya dapat dilakukan lagi penelitian dengan rancangan yang berbeda pada penderita Parkinson di RSUPN-CM. DAFTAR PUSTAKA 1. Jancovic J,Tolosa E. Parkinson’s Disease and Movement Disorders. 5th ed. Lippincott William &

Wilkins. 2007,147-49. 2. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Parkinson’s disease: national clinical guideline

for diagnosis and management in primary and secondary care. 2006. Royal College of Physicians of London. pp 29-143.

3. Changing concepts in Parkinson disease. Moving beyond the Decade of the Brain. Neurology 2008;70:1996-2003.

4. Baker GM, Graham T . The Journey: Parkinson’s disease. Clinical Review. BMJ 2004 ; 329:611–4. 5. The Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (UPDRS): Status and Recommendations. Mov Disord.

2003;18 (7):738-750. 6. Kompoliti K, Comella C. Goetz C. Clinical Rating scales in Movement Disorders. In: Jankovic J,

Tolosa E, editors. Parkinson’s disease and movement disorders, 5th ed. Baltimore: Williams and Wilkins; 2007. p 693-4.

7. Sukondari B, Jannis J, Harris S . Gambaran Skala Fungsional Penyakit Parkinson dengan Mempergunakan Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson –SPTPP (Unified Parkinsons Disease Rating Skale-UPDRS) di RSCM Jakarta 2005.

8. Suchowersky O, Reich S, Perlmutter J,et al. AAN. Quality Standard Subcomittee. Practice Parameter : Diagnosis and Prognosis of New Onset Parkinson’s Disease. Mov Disord 2007; 22: S342-S350.

9. Martinez-Martin P , Forjaz JM. Metric Attributes of the Unified Parkinson’s Disease Rating Scale 3.0 Battery: Part I, Feasibility, Scaling Assumptions, Reliability, and Precision. Mov Disord 2006.; 21, : 1182–1188

10. Forjaz JM , Martinez-Martin P. Metric Attributes of the Unified Parkinson’s Disease Rating Scale 3.0 Battery: Part II, Construct and Content Validity. Mov Disord 2006; 21 : 1892–1898.

11. Alves G, Larsen W, Aarsland D. Progression of motor impairment and disability in Parkinson disease. A population-based study. Neurology 2005;65:1436–1441.

12. Ahlskog JE, Muenter MD. Frequency of levodopa - related dyskinesias and motor fluctuations as estimated from the cumulative literature. Mov Disord. 2001 ;16:448-449.

13. Hely MA, Morris JG, Reid WG, Trafficante R. Sydney Multicenter Study of Parkinson’s disease non-L-dopa-responsive problems dominate at 15 years. Mov Disord. 2005;20:190-199.

14. Jankovic J, Kapadia AS. Functional decline in Parkinson disease. Arch Neurol 2001;58:1611–5. 15. Kubis N, Faucheux BA, Ransmayr G,et al. Preservation of midbrain cathecolaminergic neurons in very

old human subjects. Brain. 2000; 123: 366-373. 16. Levy G, Louis ED, Cote L, et al. Contribution of aging to the severity of different motor signs in

Pakinson’s disease. Arch Neurol. 2005; 62 (3); 467-472. 17. Levy G, The Relationship of Parkinson’s Disease With Aging.Arch Neurol.2007;64(9):1242-1246. 18. Jankovic J, McDermott M, Carter J, et al. Variable expression of Parkinson’s disease: a base-line

analysis of the DATATOP cohort. The Parkinson Study Group. Neurology 1990;40:1529–34. 19. Jankovic J, Kapadia AS. Functional decline in Parkinson disease. Arch Neurol 2001;58:1611–5. 20. Paulus W, Jellinger K. The neuropathologic basis of different clinical subgroups of Parkinson’s

disease. J Neuropathol Exp Neurol 1991;50:743–55. 21. Schiess M, Zheng H,. Soukup V.M,et al. Parkinson’s disease subtypes: clinical classification and

ventricular cerebrospinal fluid analysis. Parkinsonism and Related Disorders 2000 ; 6: 69–76.

Page 75: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 11

22. Starksrein SE, MAyberg HS, Leigurda R, et al. A prospective longitudinal study of depression, cognitive decline, and physical impairment in patient with Parkinson’s disease. J Neurosurg Psychiatry 1992; 55:377-82.

23. Fahn S, Oakes D, Shoulson I et al . Levodopa and the progression of Parkinson’s disease. New Engl J Med 2004;351:2498-508.

24. Grosset KA, Bone I, Grosset DG. Suboptimal medication adherence in Parkinson’s disease. Mov Disord 2005; 20:1502.

25. Grosset KA, Reid JL, Grosset DG. Medicine-taking behavior:implications of suboptimal compliance in Parkinson’s disease. Mov Disord 2005; 20: 1397–1404.

26. Deane K, Jones DE, Playford ED, Ben-Shlomo Y, Clarke CE. Physiotherapy versus placebo or no intervention in Parkinson’s disease. A Cochrane review, The Cochrane Library 2009.

Page 76: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1

GAMBARAN PERUBAHAN KLINIS DAN RADIOLOGI

PASIEN AIDS DENGAN ENSEFALITIS TOKSOPLASMA PASCA TERAPI EMPIRIS

Ahmad Yanuar*, Darma Imran**, Melita***, Joedo Prihartono****

ABSTRACT

Background: In patients with the acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), toxoplasmic encephalitis (TE) is usually a presumptive diagnosis based on the clinical manifestations, and a focal lesion on neuroradiologic imaging. A response to specific therapy helps to confirm the diagnosis, but it is

unclear how rapid the response in Indonesia. We prospectively studied the course of patients treated for acute TE and evaluated clinical and radiologic criteria for this empirical diagnosis.

Methods : A clinical neurological assessment and brain MRI with contrast agent were used prospectively to evaluate the clinical and radiological outcome of AIDS patients with TE who were treated with oral clindamycin (600 mg four times a day) and pyrimethamine (75 mg every day) for two

weeks.

Results : eight-teen of 27 patients (66.7 %) responded clinically to therapy, the response include improvement of headache as measured by visual analog scale, mental status, and extremity weakness. Seven-teen of 27 patients (63 %) responded radiologically to therapy, the improvement include decreasing in the number and diameter of lesion and also thinning of the lesion wall. The corellation between clinical and radiological response was showed by the kappa value of 0,43.

Conclusions : Oral clindamycin and pyrimethamine are effective treatment for TE. The improvement of headache, altered mental status and extremity weakness can be used clinically to evaluate the result of therapy. The decrease in the number and diameter of lesion and also thinning of the lesion wall can be used radiologically to evaluate the result of therapy. There was a moderate agrement between clinical and radiological improvement by two weeks of evaluation

Keywords : AIDS, Toxoplasma Enchephalitis, empirical therapy

ABSTRAK

Latar belakang : Pada Pasien sindrom imunitas menurun didapat (AIDS) , diagnosis ensefalitis toksoplasma (ET) biasanya ditegakan secara presumptif didasarkan manifestasi klinis dan adanya lesi fokal pada gambaran neuroimaging. Keberhasilan terapi spesifik membantu mengkonfirmasi diagnosis, namun belum jelas seberapa besar angka keberhasilan terapi di Indonesia. Penelitian ini bersifat prospektif mengevaluasi tingkat keberhasilan pasien-pasien yang mendapat terapi empiris ET secara klinis dan radiologi.

Metode : Dilakukan pemeriksaan klinis neurologis serta MRI otak dengan kontras pada pasien-pasien yang mendapat terapi empiris ET dan dilakukan evaluasi dalam 2 minggu. Terapi empiris tersebut berupa pemberian klindamisin 4 x 600 mg dan pririmetamin 1 x 75 m selama 2 minggu.

Hasil : keberhasilan terapi secara klinis didapatkan pada 18 dari 27 pasien (66.7%). Keberhasilan terapi ini meliputi penurunan derajat sakit kepala yang diukur dengan Visual Analog Scale (VAS), perbaikan kesadaran yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS), dan perbaikan kekuatan motorik. Perbaikan radiologis dijumpai pada 17 dari 27 pasien (63%) perbaikan radiologis ini meliputi berkurangnya diameter lesi dan jumlah lesi serta penipisan dinding lesi. Korelasi antara perbaikan klinis dan radiologis ditunjukan dala nilai kappa 0,43.

Page 77: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 2

Kesimpulan : Klindamisin dan pirimetamin oral efektif digunakan dalam terapi empiris ET. Berkurangnya sakit kepala, perbaikan kesadaran dan perbaikan kekuatan motorik dapat digunakan secara klinis untuk mengevaluasi keberhasilan terapi empiris ET. Berkurangnya diameter lesi, jumlah lesi dan penipisan dinding lesi dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi empiris ET. Terdapat kesepahaman yang sedang antara perbaikan klinis dan radiologis pada evaluasi 2 minggu pasca terapi empiris ET.

Kata Kunci : AIDS, Ensefalitis Toksoplasma, Terapi Empiris * Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi FKUI, Jakarta ** Staf Departemen Neurologi FKUI / RSCM, Jakarta *** Staf Departemen Radiologi FKUI/RSCM, Jakarta **** Staf Departemen Komunitas FKUI, Jakarta PENDAHULUAN

Sejak pertama kali kasus HIV dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987, jumlah kasus HIV/AIDS meningkat dengan cepat, terutama pada kelompok remaja resiko tinggi, yaitu pengguna jarum suntik dan penjaja seks. Data terbaru menunjukkan sampai bulan Maret 2008 terdapat 17.998 penderita AIDS di Indonesia. Secara kumulatif, terdapat 3368 kasus HIV dari 30 propinsi dan 2682 kasus AIDS dari 29 propinsi. Di Jakarta, kasus baru infeksi HIV mencapai lebih dari 100 pasien per bulannya1

Ensefalitis Toksoplasma (ET) merupakan penyebab tersering lesi otak fokal pada pasien AIDS, angka kejadiannya mencapai 70% sebelum digunakannya Highly Active Antiretrovirus Therapy (HAART). 2 Di Amerika, angka kejadian ET mencapai 30–50%, sedangkan di Eropa mencapai 50–70%.3 Berdasarkan penelitian Imran, dkk. di RSCM tahun 2004, didapatkan angka kejadian ensefalitis toksoplasma dengan lesi fokal pada penderita AIDS sebanyak 31%. Penelitian di Jakarta pada tahun 2003 menyatakan bahwa 80% penduduk pada kelompok usia 40 tahun mempunyai nilai seropositif toksoplasma. 4

Diagnosis pasti ET ialah ditemukannya takizoit Toksoplasma Gondii dari biopsi otak,  3 namun hal ini sangat sulit dilakukan di Indonesia. Pada tahun 1992, Luft, dkk. telah mempublikasikan terapi empiris toksoplasma yang berdasar pada gejala dan tanda neurologis klinis ditambah dengan pencitraan radiologis. Hasil terapi empiris ini mempunyai nilai keberhasilan yang cukup tinggi yaitu 71% pada minggu kedua terapi anti toksoplasma. American Academy of Neurology merekomendasikan terapi empiris ET pada tahun 1998 dalam suatu laporannya. 5 Berbagai algoritma dalam penatalaksanaan terapi empiris ET telah banyak dipublikasikan. 5-7 Di RSCM algoritma penatalaksanaan lesi fokal otak pada AIDS telah direkomendasikan oleh sub bagian neuro infeksi departemen Neurologi berdasar pada terapi empiris ET. 8

Terapi empiris ensefalitis toksoplasma meliputi pemberian pirimetamin 3 x 25 mg dan klindamisin 4 x 600 mg selama 4-6 minggu. Evaluasi keberhasilan terapi ini dinilai berdasarkan gambaran klinis dan radiologis. Pada penelitian-penelitian sebelumnya hasil terapi empiris ini menunjukan perbaikan dalam 2 minggu terapi. Evaluasi klinis meliputi penilaian ulang keadaan klinis pasien sedangkan penilaian radiologis meliputi CT-SCAN maupun MRI kepala.9-11

Penelitian tingkat keberhasilan terapi empiris toksoplasma secara prospektif yang dinilai berdasarkan derajat perubahan klinis dan pencitraan radiologi belum pernah dilakukan di Indonesia. Perbedaan epidemologi infeksi oportunistik yang ada pada setiap daerah mempengaruhi keberhasilan terapi ET, Oleh karena itu penelitian keberhasilan terapi empiris toksoplasma yang didasarkan atas perubahan klinis dan radiologi di RSCM sangat bermanfaat sebagai masukan dalam tatalaksana terapi empiris toksoplasma dan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan terapi empiris tersebut.

Page 78: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 3

Tujuan penelitian ini ialah untuk mendapatkan informasi mengenai keberhasilan terapi empiris ET berdasarkan perubahan klinis dan radiologi. Keberhasilan terapi tersebut dinilai berdasarkan kriteria klinis meliputi perubahan klinis meliputi perubahan derajat sakit kepala, kesadaran, dan kekuatan motorik pasien AIDS dengan tanda dan atau gejala lesi fokal otak yang dikonfirmasi dengan MRI, serta perubahan radiologi meliputi jumlah, ukuran, ketebalan dinding lesi, dan penyangatan lesi pada pencitraan pasien dengan lesi otak fokal AIDS pasca terapi empiris ET. Tujuan lain ialah untuk Mengetahui hubungan nilai hitung CD4+ pada saat pasien masuk rumah sakit dengan tigkat keberhasilan terapi empiris ET berdasarkan perubahan klinis dan radiologi.

METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif bersifat observasional prospektif

menggambarkan perubahan klinis dan radiologis pasien sebelum dan sesudah pemberian terapi empiris anti toksoplasmosis selama 2 minggu. Penelitian ini dilakukan bersama-bersama bagian radiologi subag neuroradiologi FKUI-RSCM. Pemilihan subjek dilakukan secara konsekutif. Kriteria inklusi yaitu : (1) Dewasa (> 18 tahun). (2) test penyaring HIV positif. (3)Terdapat salah satu tanda atau gejala neurologis yang menunjunkan infeksi SSP dengan lesi otak fokal (sakit kepala progresif, defisit neurologis fokal, kesadaran menurun ). (4) Terdapat lesi fokal otak pada pencitraan otak (MRI ) dengan kontras. Kriteria Eksklusi yaitu : (1) Pasien yang menggunakan implant ferromagnetic : kawat gigi, pacu jantung, klip,atau klaustrofobia. (2) Pasien yang mendapat profilaksis ET selama lebih dari 1 bulan hingga saat dilakukannya penelitian. (3)Pasien dengan riwayat ET yang telah menjalani terapi dan mengalami perbaikan (relaps). (4) Pasien yang mempunyai riwayat hipersensitivitas terhadap klindamisin dan primetamin. Selama perawatan subjek penelitian mendapat terapi sesuai dengan standar prosedur subagian Infeksi Departemen Neurologi FKUI-RSCM dengan supervisi dokter spesialis saraf staf subagian Infeksi Departemen Neurologi FKUI-RSCM. Pencatatan data klinis pasien dilakukan pada waktu pasien masuk untuk dirawat dan diobservasi selama 2 minggu. Pemeriksaan MRI kepala dilakukan pada waktu pasien dirawat dan dievaluasi 2 minggu kemudian. Pembacaan pencitraan radiologi dilakukan di bawah supervisi dokter spesialis radiologi staf subbagian neuroradiologi Departemen Radiologi FKUI RSCM. HASIL PENELITIAN

Pengambilan data dilakukan selama 5 bulan didapatkan 30 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian, 2 pasien tidak dapat di lakukan pemantauan karena pulang paksa serta 1 pasien tidak dapat dilakukan MRI kepala karena terdapat pecahan logam akibat trauma kepala sebelumya sehingga tidak dapat mengikuti penelitian. Karakteristik demografik subjek penelitian (n= 27) sebagian besar adalah laki-laki (66,7%) usia dewasa (31,59 + 4,57 tahun) dengan usia termuda 24 tahun dan usia tertua 46 tahun. Faktor resiko AIDS subjek yang didapatkan melalui allo dan auto anamnesis sebagian besar adalah pengguna narkotika suntik (IVDU) 66,7%, diikuti oleh seks bebas 18,5%, Faktor resiko lainnya meliputi riwayat pasangan dengan HIV positif atau AIDS.

Karakteristik klinis pasien sebagian besar subjek penelitian mengalami episode sakit kepala (81,5%) dengan durasi yang bervariasi namun terutama dirasakan selama 1-4 minggu (55,6%). Derajat sakit kepala yang diukur menggunakan skala VAS hanya dapat dilakukan pada 9 subjek yaitu subjek-subjek yang sadar, nilainya bervasiasi dengan rata-rata 6,5 cm (sakit kepala sedang) dengan standar deviasi yang besar(+ 2,6 cm) menunjukan besarnya variasi sakit kepala yang dialami subjek. Gejala klinis yang muncul sebagian besar ialah hemiparesis

Page 79: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 4

(88,9%) data ini didapat melalui pemeriksaan motorik pada pasien yang sadar, kooperatif dan adanya kesan hemiparesis melalui rangsang nyeri pada pasien yang tidak sadar yang kemudian dikonfirmasi ulang saat pasien sadar. Penilaian kekuatan motorik hanya dapat dilakukan pada 13 pasien yaitu subjek yang sadar dengan hemiparesis. Nilai rata-rata kekuatan motorik rata-rata 3,6 + 1,12. Kelemahan sisi tubuh kanan didapatkan pada 50% subjek dan sisanya kelemahan sisi kiri. Kelemahan saraf kranialis banyak didapatkan pada subjek penelitian (59,3%) data ini didapat melalui pemeriksaan n. kranialis pada pasien yang sadar dan dengan melalukan pemeriksaan fisik untuk menilai kesan kelumpuhan saraf kranialis pada pasien yang tidak sadar. Kelemahan saraf kranialis yang terjadi sebagian besar multipel 62,5% meliputi saraf kranial:VII,V,IX,X,XII,III,danIV. Kesadaran menurun dijumpai pada hampir separuh subjek penelitian (51,9%). Semua subjek penelitian mendapat terapi untuk mengatasi kesadaran menurun sesuai dengan etiologi yang ditemukan. Berdasarkan penilaian GCS, rata-rata subjek penelitian mempunyai GCS 12,7 + 2,6. Pada penelitian ini tidak didapatkan pasien dengan nilai GCS yang amat rendah kemungkinan karena pasien-pasien tersebut telah meninggal di Instalasi Gawat darurat sebelum masuk rawat inap. Kejang merupakan gejala lain yang terdapat pada subjek penelitian (29,6%) semua pasien kejang mendapat tatalaksana kejang dan terapi anti kejang. Jumlah sel CD4+ pasien sebagian besar (88,9%) di bawah 100 sel/mm3. Gambaran foto toraks TB paru didapatkan pada 40,7% subjek dan mendapat terapi OAT. Satu subjek penelitian telah mendapat ARV sebelumnya selama 5 tahun namun tidak teratur dan nilai CD4+ hitungnya masih dibawah 200 sel/mm3. Tabel 1 Sebaran subyek menurut karakteristik klinik awal (n=27)

Karakteristik klinik awal Jumlah Persen

Sakit kepala Ya onset > 4 mg onset 1 – 4 mg onset < 1 mg Tidak

22

2 15

5 5

81.5

7.4 55.6 18.5

18.5 Hemiparesis Ya Tidak

24 3

88.9 11.1

Paresis kranialis Ya Tidak

16 11

59.3 40.7

Kesadaran menurun Ya Tidak

14 13

51.9 48.1

Kejang Ya Tidak

8

19

29.6 70.4

Gambaran Foto torak TB Ya Tidak

11 16

40,7 59,3

Jumlah CD4 < 100 > 100

24 3

88.9 11.1

Mendapat HAART Ya Tidak

1

26

3,7

96,3

Page 80: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 5

Pada pemeriksaan MRI kepala dengan kontras didapatkan sebagian besar subjek penelitian mempunyai lesi multipel (74,1%) dengan jumlah lesi rata 4,85. Lesi dapat terjadi di berbagai tempat di susunan saraf pusat, namun paling banyak terdapat di basal ganglia, di lobus parietal dan infra tentorial. Lesi sebagian besar berukuran kecil dengan rata-rata diameter 1,62 + 0,8 cm. Sebagian besar lesi mempunyai penyangatan cincin(77,8%) dengan ketebalan dinding kurang dari 3 mm (85,7%). Empat pasien pada pemberian kontras tidak memberikan penyangatan dan 2 pasien lainnya memberikan penyangatan difus.

Tabel 2 . Nilai rata-rata dan SD variabel subyek awal (n=27)

Variabel Mean SD 95% CI Median Low High Umur subyek 31.6 4.6 29.9 33.3 31.0 VAS awal 6.5 2.6 4.8 8.2 6.5 GCS awal 12.7 2.6 11.7 13.7 14.0 CD4 47.0 36.6 33.2 60.9 34.0 Jumlah lesi awal 4.9 4.1 3.3 6.4 4.0 Ukuran lesi awal 1.6 0.8 1.3 2.0 1.4 Dinding lesi awal 0.2 0.1 0.1 0.2 0.2

Pada evaluasi klinis ulang pasca terapi empiris 2 minggu terjadi berbagai perubahan

klinis. Selama penelitian terdapat 6 orang subjek penelitian yang meninggal sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi ulang baik secara klinis maupun radiologis. Keluhan sakit kepala sebagian besar membaik yaitu pada 14 pasien (63%) dengan nilai VAS yang berkurang (rata-rata 1.8 cm) setelah dilakukan uji t-test berpasangan didapatkan bahwa perubahan ini bermakna. Dalam 2 minggu, 9 subjek yang tidak sadar menjadi sadar (65%), 2 subjek mengalami perburukan kesadaran atau meninggal (7%) dan 5 subjek tetap tidak sadar atau meninggal (18%). Perbaikan kesadaran pada sebagian besar subjek terlihat dari kenaikan rata-rata GCS subjek penelitian pasca terapi empiris 2 minggu yaitu dari 12.7 menjadi 14.8. Kenaikan ini dengan uji t- test berpasangan mempunyai nilai yang bermakna. Kekuatan motorik subjek penelitian sebagian besar meningkat dari 3,6 menjadi 4,2 namun perlu diingat bahwa evaluasi hanya dilakukan pada subjek yang masih hidup dan sadar pada 2 minggu pasca terapi empiris. Sebagian besar pasien kekuatan motoriknya belum sembuh sempurna sehingga perbedaan subjek penelitian yang hemiparesis sebelum dan sesudah terapi tampak tidak terlalu berbeda. Perbaikan kelumpuhan saraf kranialis juga tampak pasca terapi empiris 2 minggu namun evaluasi ini tidak melibatkan subjek yang meninggal. Kelumpuhan saraf kranial membaik pada 2 subjek dan tidak membaik pada 9 subjek.

Pada evaluasi radiologi berupa MRI kepala dengan kontras ulang 2 minggu pasca terapi didapatkan perubahan gambaran radiologi yang bermakna. Jumlah lesi berkurang dari rata-rata 4,85 lesi menjadi 2,95 lesi. Ukuran lesi juga tampak mengecil dengan diameter rata-rata 1,62 cm sebelum terapi menjadi 0,32 cm setelah terapi. Kedua perubahan ini dengan uji t-test berpasangan mempunyai nilai statistik yang bermakna. Lesi di basal ganglia menghilang pada 4 pasien, menetap pada 7 pasien dan terdapat 3 lesi baru. Lesi di lobus frontal menghilang pada 2 pasien, menetap pada 7 pasien dan bertambah pada 2 pasien. Lesi di lobus parietal berkurang pada 5 subjek menetap pada 6 subjek dan bertambah pada 1 subjek. Lesi di lobus oksipital berkurang pada 5 subjek menetap pada 2 subjek. Lesi di lobus temporal berkurang pada 3 subjek menetap pada 3 subjek dan bertambah pada 1 subjek. Lesi di infra tentorial berkurang pada 4 subjek menetap pada 5 subjek.

Page 81: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 6

Tabel 3. Sebaran Perubahan klinis Subjek Penelitian Pasca Terapi empiris ET Variabel Mean P 95%CI

Pra Pasca Low High VAS 6,5+ 2,6 1.8 + 2,1 0.005 1.8 7.2 GCS 12,7+ 2,5 14.8 + 0,8 0.012 -1.2 - 0.1 Kekuatan motorik sisi paresis

3,6 + 1,2 4,2+ 0,63 0.03 -2.9 - 0.7

 Tabel 4. Sebaran Perubahan Gambaran Radiologi

Variabel Mean P 95%CI Pra Pasca Low High

Jumlah Lesi 4,85+ 4,12 2,95+ 1,9 0,008 0,5 3,5 Ukuran lesi (cm) 1,62+ 0,8 0.32+ 0,26 0,000 0,6 1,0 Ketebalan dinding (mm) 0,18+ 0,08 0,07+ 0,06 0,000 0,06 0,17  Sebagian besar subjek mengalami perbaikan klinis dan radiologis, perbaikan klinis terjadi lebih banyak (66,7%) dibandingkan perbaikan radiologis (63%) Tabel 5. Hasil terapi empiris secara klinis dan radiologis (n=27)

Hasil Terapi empiris Jumlah Persen

Kriteria klinis Berhasil Gagal

18 9

66.7 33.3

Kriteria radiologis Berhasil Gagal

17 10

63.0 37.0

 PEMBAHASAN

Perubahan klinis terjadi pada subjek penelitian. Perubahan derajat sakit kepala yang diukur dengan VAS menunjukan sebagian besar pasien mengalami perbaikan (87,5%) dengan nilai VAS yang berkurang namun VAS ini hanya dapat dinilai pada pasien yang sadar dan mempunyai gejala sakit kepala. setelah dilakukan uji t-test berpasangan didapatkan bahwa perubahan ini bermakna. Belum ada penelitian lain yang dapat dibandingkan. Hal yang perlu diperhatikan ialah pada penelitian ini tidak digunakan kontrol dan efek dari obat-obatan analgesik dan kortikosteroid tidak diteliti, namun semua pasien dengan keluhan sakit kepala dan adanya tanda-tanda TIK meningkat mendapat terapi analgetik dan/atau kortikosteroid 12. Dalam 2 minggu 9 subjek yang tidak sadar menjadi sadar (65%), 1 subjek tetap tidak sadar (7%) dan 4 subjek yang mengalami penurunan kesadaran meninggal (28%). Kenaikan rata-rata GCS subjek penelitian pasca terapi empiris 2 minggu ialah dari 12.7 menjadi 14.8. Kenaikan ini dengan uji t- test berpasangan mempunyai nilai yang bermakna. Perbaikan kesadaran dapat terjadi akibat berkurangya TIK meningkat akibat mengecil/hilangnya lesi dan mengecil/ hilangnya edema serebri namun dapat juga terjadi akibat gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoksia, hipoglikemia dan gangguan metabolik lain. Semua subjek yang mengalami gangguan kesadaran akibat gangguan metabolik mendapat terapi sesuai dengan etiologinya dan dalam kurang dari 2 minggu telah mengalami perbaikan, kecuali pada 3 subjek yang meninggal akibat syok sepsis

Page 82: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 7

yang tidak tertangani. Pada perubahan kekuatan motorik tampak subjek yang mengalami perbaikan motorik (54%) hampir sama banyaknya dengan subjek yang tidak mengalami perbaikan motorik (46%) namun 11 subjek yang pada awal masuk tidak sadar kemudian terjadi perbaikan klinis tidak dihitung dalam kelompok ini karena tidak mempunyai data dasar kekuatan motorik. Kekuatan motorik subjek penelitian sebagian besar meningkat dari 3,6 menjadi 4,2 namun perlu diingat bahwa evaluasi hanya dilakukan pada subjek yang masih hidup dan sadar pada 2 minggu pasca terapi empiris. Sebagian besar pasien kekuatan motoriknya belum sembuh sempurna sehingga perbedaan subjek penelitian yang hemiparese sebelum dan sesudah terapi tampak tidak terlalu berbeda. Perbaikan kelemahan n.kranialis juga tampak post terapi empiris 2 minggu namun evaluasi ini tidak melibatkan subjek yang meninggal. Perbaikan klinis secara umum meliputi perbaikan GCS lebih dari 2, perbaikan nilai VAS lebih dari 2 cm atau perbaikan kekuatan motorik 1 skala atau lebih terjadi pada 66,7 % subjek penelitian. Data ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya Luft et all yaitu tingkat keberhasilan terapi empirik 71% namun pada penelitian Luft et all subjek yang mengalami sakit berat dan mempunyai GCS kurang dari 8 tidak dimasukan dalam penelitian.13-15

Perubahan gambaran radiologis yang terjadi pasca terapi empiris ialah berkurangnya jumlah lesi lebih dari setengah subjek penelitian (57,2%). Jumlah lesi pre terapi rata-rata 4,85+ 4,12 lesi berkurang menjadi rata-rata 2,95+ 1,9 lesi, berkurangnya jumlah lesi ini sebagian besar terjadi pada lesi di basal ganglia dan infra tentorial. Berkurangnya jumlah lesi di basal ganglia sesuai dengan predileksi lesi ET yaitu di basal ganglia. 15 masih terdapatnya lesi pada evaluasi ulang sesuai dengan hasil penelitian Luft et all yaitu hilangnya lesi secara keseluruhan hanya terjadi pada 3% dari subjek pada minggu ke 3 dan pada 29% dari subjek pada minggu ke 6. Banyaknya lesi di infra tentorial yang berkurang menunjukkan lesi-lesi tersebut merupakan lesi toksoplasma serebri. Hal ini juga ditemukan pada penelitian Liang et all yang menyebutkan bahwa serebelum merupakan tempat ke-4 paling banyak ditemukanya lesi pada pasien toksoplasmosis serebri. Pada prinsipnya lesi toksoplasmosis dapat ditemukan di semua lokasi di SSP. 13,15 Ukuran lesi pada sebagian besar subjek (72,2%) mengecil. Pada awal terapi rata-rata ukuran lesi 1,62 + 0,8 cm ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa ukuran lesi ET rata-rata 1-3 cm. Pasca terapi ukuran lesi mengecil menjadi 0,32 cm. Penurunan ketebalan dinding juga terjadi yaitu dari rata-rata 0,18+ 0,08 mm menjadi 0,07+ 0,06 mm. Kedua hal ini menunjukan respon terapi akibat terjadinya resolusi abses. 3 Perubahan-perubahan yang terjadi secara statistik dengan uji t berpasangan mempunyai nilai yang bermakna. Penelitian sebelumnya dari Luft et all dan Liang et all hanya menilai perbaikan radiologi secara kualitatif sehingga kedua data ini dapat menjadi masukan dalam menilai perbaikan radiologis yang terjadi pada lesi fokal otak. Penyangatan lesi setelah pemberian kontras setelah 2 minggu terapi tidak mengalami perubahan, penyangatan ini terjadi karena proses inflamasi yang masih terjadi sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa resolusi total yang menandakan hilangnya proses inflamasi di susunan saraf pusat pada minggu ke 6 terapi antitoksoplasma hanya terjadi pada 29% pasien. Secara keseluruhan perbaikan gambaran radiologis terjadi pada 63% pasien, nilai ini lebih rendah dari penelitian sebelumnya oleh Luft et all yaitu perbaikan terjadi pada 74% subjek, namun penilaian radiologi pada penelitian ini dilakukan pada minggu ke-3 dan ke-6 sehingga diperkirakan perbedaan nilai ini diakibatkan oleh perbedaan lamanya waktu evaluasi. 13

Hubungan antara perbaikan klinis dan radiologis pada minggu kedua terapi ditujukan dengan nilai Kappa Ratio 0,43. Hubungan ini lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya oleh luft et all yaitu Odds Ratio = 0,88 (CI 95% 0,15 - 5,3) pada minggu ke 3 terapi dan pada 6

Page 83: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 8

minggu pasca terapi Odds Ratio semakin meningkat menjadi 14,9 dengan CI 95% 2,9 - 77,6. Penelitian ini menunjukan bahwa nilai rasio keberhasilan klinis dan radiologis semakin meningkat seiring dengan lamanya terapi antitoksoplasma. 12 Nilai kesesuain kappa 0,43 ini menunjukan bahwa terdapat kesamaan yang cukup dapat diterima anatara hasil penilaian klinis dan radiologis sehingga untuk menilai keberhasilan terapi empiris TE penilaian klinis mempunyai nilai yang sesuai dengan penilaian radiologis. 14-18

Kelemahan penelitian ini ialah bersifat observasional sehingga tidak dapat melakukan pengontrolan terhadap obat-obatan yang dapat mempengaruhi perbaikan klinis dan radiologis seperti OAT, kortikosteroid sebagai anti edema dan obat-obatan analgetik. Dalam Penelitian ini tidak digunakan baku emas berupa diagnosis patologis dalam menegakan ET namun penegakan ET hanya didasarkan atas diagnosis persumptif. 21-25

KESIMPULAN DAN SARAN

Pasca terapi empiris ET selama 2 minggu pada pasien AIDS dengan gejala lesi otak fokal terdapat perbaikan klinis sebesar 66,7% perbaikan itu meliputi : Perbaikan derajat sakit kepala yang dinilai dengan VAS pada 87,5% pasien dengan rata-rata nilai VAS berkurang 4,7 cm, Perbaikan derajat kesadaran yang dinilai dengan GCS pada 64,3% pasien, nilai rata-rata GCS meningkat 2,1 dan perbaikan kekuatan motorik pada 54% pasien, dengan rata-rata skala kekuatan motorik meningkat 0,6. Oleh karena itu menurunnya derajat sakit kepala, perbaikan kekuatan motorik dan perbaikan kesadaran dapat digunakan untuk mengevalusi keberhasilan terapi empiris toksoplasma ensefalitis.

Pasca terapi empiris toksoplasmosis serebri selama 2 minggu pasien AIDS dengan lesi otak fokal pada pencitraan radiologi terdapat perbaikan radiologis sebesar 63%, perbaikan itu meliputi Berkurangnya jumlah lesi terutama didaerah basal ganglia pada 57,2% pasien dengan rata-rata jumlah lesi berkurang 1,9 lesi, Berkurangnya ukuran lesi pada 72,7% pasien dengan rata-rata diameter ukuran lesi berkurang 1,3 cm, Berkurangnya ketebalan dinding lesi dengan rata-rata menipisnya dinding lesi 0,11 mm. Oleh karena itu berkurangnya jumlah lesi, berkurangnya ukuran diameter lesi dan menipisnya ketebalan dinding lesi dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi empiris toksoplasma ensefalitis. Terdapat kesepahaman yang sedang antara perbaikan klinis dan radiologis pada evaluasi 2 minggu pasca terapi empiris ET.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman penatalaksanaan kampanye Nasional HIV/AIDS sedunia tahun 2004.DEPKES RI 2004 2. Skiest DJ. Focal Neurological Disease in Patients with Acquired immunodeficiency Snydrome. Clinical

Infectious Disease 2002; 103-115 3. Roos KC, Newman J, Newman N. Principles of Neurologic Infectious disease. McGraw-Hill. New York.

2005; 78-97 4. Terazawa A, Muljono R, Susanto L, et al. High Toxoplasma Antibody Prevalence among Inhabitans in

Jakarta, Indonesia jpn. J Infect Dis 2003 56,107-109 5. Report of Quality Standards Subcomimitee of the American Academy of Neurology. Evaluation and

management of intacranial Mass lesions in IADS Neurology 1998; 50;21-26 6. Portegies P, SolodbL, Cinquee P, et all. EFNS Task Force: Guidelines for diagnosis and management of

neurological complications of HIV infection. European Journal of Neurology 2004;11:297-304 7. Smego RA, Orlovic D, Wadula J. An algorithimic approach to intracranial mass lessions in HIV/AIDS. Int

Jour STD & AIDS 2006;17:271-276 8. Jannis J, Presentasi Neuro AIDS dalam Kuliah Neuro Infeksi Program Pendidikan Dokter Spesialis

Neurologi FKUI RSCM 2008

Page 84: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 9

9. Berger JR, Abou-Fayssal NG, Cohen BA et all. Opportunistic infection : Toxoplasma dalam CONTINUM, The neurologic complication of AIDS volume 6, no.5 Lippincott Williams& Wilkins, Philadelphia, Oktober 2000

10. Skiest DJ. Focal Neurological Disease in Patients with Acquired immunodeficiency Snydrome. Clinical Infectious Disease 2002; 103-115

11. Roos KC, Newman J, Newman N. Principles of Neurologic Infectious disease. McGraw-Hill. New York. 2005; 78-97

12. Terazawa A, Muljono R, Susanto L, et al. High Toxoplasma Antibody Prevalence among Inhabitans in Jakarta, Indonesia jpn. J Infect Dis 2003 56,107-109

13. Luft BJ, Remington JS. Toxoplasmic Enchepalitis ini AIDS . Clin Inf Dis 1992;15:211-222. 14. Robins , Kumar, et all. Pathologic basic of disease . Mcgraw Hills. New york 2004 15. Offiah CE,Turnbull IW. Pictorial Review. The Imaging Appearance of Intracranial CNS Infections in

Adult HIV and AIDS Patients. Clinical Radiology 61:393-401, 2006. 16. Navia BA, Petitio CK, Gold BW et all. Cerebral toxoplasma complicating the acquired immune deficiency

syndrome: clinical and neuropathological findings in 27 patients. Ann Neurol. 1986 Mar;19(3):224-38 17. Wig N, Wali JP. Update Article. Central Nervous System and HIV/AIDS. Journal of Indian Academy of

Clinical Medicine (5) 2:163-8, 2003. 18. Marinuss MG. Folic acid metabolism in Biochemistry and Biomolecular Pharmacology. Umassmed.edu 19. United States Pharcopenia Convention. Pyrimethamine. USA. 2007 20. United States Pharmacopenia Convention. Lincosmides. USA. 2007 21. Wewers ME, Lowe NK. A Critical review of Visual Analog Scale as measurement of of Clinical

Phenomena. Research in Nursing and Health 13: 227-236 ,1990 22. Linnes CR, Vandormael K, MalbecQ W. Comparison of visual analog scale and categorical ratings of

headache pain in randomized controled clinical trial in migraine. Pain 93 : 185-190, 2001 23. DeLoach LJ, Higgins MS, Caplan AB, Stiff JL. The visual analog scale in the immediate postoperative

period: intrasubject variability and correlation with a numeric scale. Anesth Analg. 1998 Jan;86(1):102-6 24. Dixon. J.S., &Bird, H.A.. Reproducibility along a 10 cm vertical visual analogue scale. Annuals of the

Rheumatic Diseases, 40: 87-89, 1981 25. Laing RBS, Flegg RP, Brettle RP. Clinical feature, outcome and survival from Cerebral toxoplasmosis in

Endinburgh AIDS patients. International Journal of STD & AIDS 1996; 7: 258± 264

Page 85: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1  

APLIKASI KLINIS PHOTOPAROXYSMAL RESPONSE

Donny Hamid*, Ridwan*, Gotot Sumantri*

ABSTRACT Diagnosis of photosensitive epilepsy as another epilepsies in general is made by clinical description not by EEG one. Taking history in epilepsy patient is not always easy. No eyewitness, patient could not remember how the seizures came is one of difficulty to get information in several cases. Photoparoxysmal response in EEG gives widely and surely information for supporting a photosensitive epilepsy diagnosis. Waltz divided Photoparoxysmal Response (PPR) in 4 types base on the distribution of epileptiform activity in brain area and PPR is indicated as a genetic trait and also as a phenomen of a visual stimulation sensitivity. Keywords : EEG, photoparoxysmal response, Clinical application

ABSTRAK Diagnosis photosensitive epilepsy seperti diagnosis epilepsi lain pada umumnya ditegakkan berdasarkan klinis bukan EEG. Anamnesis pada pasien epilepsi tidak selalu mudah didapat. Tidak ada saksi pada saat serangan, penderita sering tidak ingat kejadian setelah tersadar pada beberapa kasus menjadi hambatan untuk mendapatkan informasi. Adanya gambaran photoparoxysmal response (PPR) pada EEG dapat memberikan informasi lebih luas dan keyakinan lebih kuat untuk mendukung diagnosis photosensitive epilepsy. Waltz membagi PPR atas 4 tipe berdasarkan luasnya distribusi gambaran epileptiform di area hemisfer serebri dan mengindikasikan bahwa PPR diturunkan secara genetik dan merupakan fenomena sensitifnya seseorang terhadap stimulasi cahaya. Kata kunci : EEG, photoparoxysmal response, aplikasi klinis * Staf SMF Ilmu Penyakit Saraf, RSUD.Pasar Rebo, Jakarta PENDAHULUAN Photoparoxysmal response (PPR) atau photoconvulsive response adalah gambaran epileptiform yang terlihat pada EEG, sebagai respon terhadap intermittent photic stimulation (IPS) atau stimulus visual lainnya.1 Walaupun PPR merupakan gambaran EEG yang juga dapat terlihat pada orang normal namun sebagian besar PPR ternyata ditemukan pada berbagai jenis epilepsi dan menjadi indikasi kuat terhadap sensitifnya seseorang penderita epilepsi terhadap stimulasi visual.1 Photosensitive epilepsy adalah istilah yang digunakan untuk berbagai jenis epilepsi yang bangkitannya ditimbulkan oleh rangsang visual. 2,3

INTERMITENT PHOTIC STIMULATION (IPS)

Adrian dan Mathews adalah orang pertama yang melakukan IPS yang selanjutnya merupakan salah satu prosuder rutin pada pemeriksaan EEG.4 Prosedur aktivasi ini bertujuan untuk menginduksi gambaran abnormal EEG yang diharapkan dapat mendukung diagnostik.5

Photic driving adalah respon normal terhadap IPS yang timbul sebagai respon terhadap stimulus cahaya yang berulang-ulang. Aktivitas ritmik didaerah oksipital yang timbul dan hilang bersamaan serta selaras dengan IPS disebut photic driving.6 Asymmetric photic driving merupakan petunjuk adanya lesi kortikal pada daerah absennya photic driving. Namun tidak terlihatnya photic driving sama sekali selama IPS tidak berarti suatu abnormalitas.6

Page 86: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 2  

Photomyoclonic atau photomyogenic response (PMR) merupakan respon normal IPS lainnya. PMR ditandai dengan adanya gambaran artefak otot didaerah frontal, timbul dan hilang bersamaan dengan IPS. Amplitudo artefak otot meningkat dengan semakin tingginya frekuensi IPS.6 PMR dapat terlihat pada penderita ansietas atau penderita parkinson.6

Photoparoxysmal response (PPR) adalah respon lain dari IPS yang ditandai adanya gambaran spike atau polyspike waves komplek bilateral dominan didaerah posterior atau diseluruh hemisfer yang tidak selaras dengan IPS, timbul beberapa saat setelah stimulus dan berakhir beberapa saat setelah stimulus selesai.4,7 Asimetri PPS juga dapat merupakan petunjuk adanya lesi struktural. 5

PHOTOPAROXYSMAL RESPONSE

Waltz berdasarkan penelitian genetiknya mengklasifikikasikan PPR atas 4 tipe. Pembagian didasarkan luasnya distribusi PPR pada gambaran EEG.

Tabel 1. Klasifikasi Waltz pada PPR 1,4,7

Tipe 1 : Spikes waves didaerah oksipital saja. Tipe 2 : Spikes slow waves didaerah parietooksipital Tipe 3 : Spikes slow waves di parietooksipital dan daerah frontal. Tipe 4 : Spikes slow waves terlihat diseluruh daerah hemisfer. Pada awalnya diduga hanya PPR tipe 4 saja yang berhubungan dengan epilepsi.6,7,8 Penelitian terakhir dari Waltz menunjukkan bahwa semua tipe PPR mempunyai kecenderungan diturunkan secara genetik dan berkorelasi kuat terhadap kemungkinan timbulnya bangkitan akibat stimulasi cahaya.1,8 Semakin jelas atau semakin luas distribusi gambaran PPR yang terlihat pada EEG semakin tinggi resiko untuk timbulnya bangkitan akibat stimulus visual.

Gambar 1. Waltz tipe 1

Page 87: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 3  

Gambar 2. Waltz tipe 2

Gambar 3. Waltz tipe 3

Gambar 4. Waltz tipe 4

Gambar 1 - 4: Lin K. Magnetic Resonance Anatomic & Functional Study of Juvenile Myoclonic Epilepsy Patients (thesis). Sao Paulo: Universidade de Sao Paulo Brazil; 2009

Page 88: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 4  

JENIS STIMULUS PADA IPS Respon terhadap IPS dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Tingkat kewaspadaan, mata tertutup sejak awal perekaman dan buka tutup mata secara bergantian dapat menghasilkan respon gambaran EEG yang berbeda pada tiap individu dan merupakan salah satu standar prosedur EEG. Standar yang diajukan oleh Kasteleijn, dan dianut oleh European Expert Panel , flash light harus cukup terang dan berjarak 30 cm dari nasion dengan frekuensi kedipan cahaya 1 – 60 Hz. IPS pada tiap frekuensi dilakukan selama 10 detik, 5 detik pada saat buka mata dan 5 detik dengan mata tertutup. Interval antara frekuensi minimal 7 detik. Pada umumnya dimulai dari frekuensi 1,2,4,6,8,10,12,14,16,18 dan 20 per detik dan selanjutnya turun dari 60,50,40,30 dan 25 perdetik.1,4 APLIKASI KLINIS PPR Berdasarkan fenomena gambaran PPR pada EEG seseorang dapat diklasifikasikan menjadi 5 golongan: 1

1. Seseorang dengan PPR pada gambaran EEG tanpa riwayat epilepsi. Pada golongan ini PPR ditemukan secara kebetulan pada penelitian cohort atau pemeriksaan EEG rutin. Pada penelitian lain evaluasi selama 6 – 12 tahun tidak seorangpun dari 33 orang dengan PPR yang mengalami bangkitan.

2. Seseorang dengan riwayat bangkitan spontan (tanpa stimulus visual) dan EEG memperlihatkan adanya PPR. Sensitivitas terhadap stimulus visual sering ditemukan pada benign childhood myoclonic epilepsy (CME) dan juvenile myoclonic epilepsy (JME). PPR ditemukan pada hampir 80% dari penderita JME.

3. Seseorang dengan bangkitan tunggal, timbul pada stimulasi visual tertentu dengan atau tanpa PPR pada EEG. Golongan ini ditemukan pada penderita yang mengalami single seizure pada saat permainan computer game tertentu atau saat menonton televisi.

4. Seseorang dengan bangkitan berulang kali hanya timbul pada stimulasi visual dengan atau tanpa PPR pada EEG.

5. Seseorang dengan riwayat bangkitan dengan atau tanpa stimulasi visual dengan atau tanpa PPR pada EEG.

                   Dalam    praktek     sehari-­‐hari    golongan  2    adalah    yang     terpenting    dan    dalam  kenyataannya  banyak   jenis   epilepsi   lain   yang   ternyata   juga   memperlihatkan   gambaran   PPR   pada   EEG.1,4    Photosensitive   epilepsy   dapat   ditemukan   pada   generalized   tonic   clonic   seizures,   absences,   partial  motor  seizures,  myoclonic  seizures  dan  80%  dari  penderita  Sindroma  Jeavons  1. TATALAKSANA dan TERAPI Seseorang penderita epilepsi dengan gambaran PPR pada EEG mempunyai korelasi kuat dengan photosensitive epilepsy. Berbagai stimulus cahaya dapat mencetus bangkitan. Oleh karena itu penderita perlu dihindarkan dari berbagai stimulus cahaya yang dapat mencetus timbulnya bangkitan. Berbagai video game computer, televisi merupakan hal yang tersering dilaporkan pada berbagai macam kasus photosensitive epilepsy.2,3,9 Pernah dilaporkan kasus photosensitive epilepsy yang baru diketahui setelah penderita mengalami kecelakaan dan mengalami kejang untuk pertama kali saat penderita dievakuasi dengan helikopter. Frekuensi putaran baling-baling helikopter 25 – 30 Hz disiang hari merupakan stimulus kuat timbulnya serangan. Pemeriksaan EEG memperlihatkan gambaran PPR.9 Tidak semua penderita photosensitive epilepsy memerlukan antikonvulsan, bila serangan berulang dan dipandang perlu, asam valproat adalah pilihan utama.1,4,6,7 Clobazam dapat

Page 89: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 5  

ditambahkan sebagai terapi ajuvan bila tidak respon dengan obat utama. Lamotrigine,topiramat dan levetiracetam direkomendasikan sebagai plihan kedua.1

KESIMPULAN

PPR pada EEG adalah suatu fenomena yang diturunkan secara genetik dan tidak selalu indentik dengan epilepsi. Asimetri pada PPR dapat menujukkan indikasi adanya lesi struktural.

PPR dapat ditemukan pada orang normal namun gambaran PPR pada EEG menunjukkan korelasi kuat adanya photosensitive epilepsy pada penderita epilepsi. Tidak hanya PPR dengan Waltz tipe 4 yang dapat berkorelasi dengan epilepsi, semua tipe Waltz ( 1 sampai 4 ) dapat menunjukkan adanya photosensitive epilepsy. Gambaran PPR pada penderita epilepsi dapat membantu dan merupakan petunjuk untuk pemilihan jenis antikonvulsan serta membantu menentukan perlu tidaknya menghindari stimulus visual pada penderita epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Verotti A, Trotta D, Saltadini C. Photosensitivity and Epilepsy, Journal of Child Neurology 2004 : 19 (3) : 571-578.

2. Panayiotopoulos CP. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and Their Treatment. 2nd ed. London : Springer- Verlag; 2007. p. 440-446.

3. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizures, Syndrome and Management. Oxfordshire: Bladon Medical Publishing; 2005. p. 452-468.

4. Parra J. Provocation Methode Intermittent Photic Stimulation, Dutch Epilepsy Clinic Foundation, VIREPA - Course EEG in the Diagnosis and Management of Epilepsy IV. 2009. p. 1 – 11.

5. Spehlmann R. EEG Primer. Amsterdam: Elsevier Biomedical Press; 1987. p. 223-226. 6. Foldvary N. Normal Electroencephalogram and Benign Variants. In: Levin KH, Luders HO, editors.

Comprehensive Clinical Neurophysiology. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2000. p. 422-425. 7. Manford M. Practical Guide to Epilepsy. Butterworth Heinemann; 2003. p.122-123. 8. Parra J. PPR in Forum Collaborative on The Task. VIREPA-Course EEG in the Diagnosis and

Management of Epilepsy IV. 2009. 9. Cushman JT, Floccare DJ. Flicker Ilness: An Underrecognized but Preventable Complication of

Helicopter Transport. Prehospital Emergency Care 2007: 11: 85 – 88.

Page 90: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

 

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 6  

 

Page 91: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1

PREVALENSI NYERI PUNGGUNG BAWAH SEDERHANA DAN FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PEKERJA ANGKAT

ANGKUT MANUAL (Penilaian faktor risiko berdasarkan The Revised National Institute for Occupational

Safety and Health 1994)

Shierly Halim* ABSTRACT Background : Around 50% labours have simple low back pain per year. The awkward position during lifting with over limit has been suggested by National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), could be a potential risk of back injury. This study aims to identify prevalence of simple low back pain (LBP) and affected factors of manual handling labours . Methods : The study conducted cross sectional design, period October 2008 - June 2009 with total population at company A (East Jakarta). The data was gathered by interview, physical examination, neurological examination and working posture analysis. The variable studied were host factors, agent factors, environment and component of lifting index. Results : Out of 128 respondents, 90 respondents (70.3%) suffered simple LBP. The angle flexion factor greater than 45o (adjusted odds ratio(OR) =29.18), composite lifting index NIOSH more than 3.0 (adjusted OR =26.02) had a significant relation with simple LBP. The Components of lifting index that had a significant association with simple low back pain were vertical multiplier < 0.89 (adjusted OR =38.60), asymmetry multiplier < 0.90 (adjusted OR = 24.61) and horizontal multiplier < 0.63 (adjusted OR =8.23), have significant relation with simple LBP Conclusion and Suggestion : The predominant factor causing simple LBP was angle flexion greater than 45o. The predominant component lifting index causing simple LBP was vertical multiplier < 0.89. It is important to concern training ergonomic manual handling and need to set reposition vertical origin of the object. Keywords : Simple low back pain, lifting index,angle flexion. ABSTRAK Latar belakang: :Sekitar 50% pekerja mengalami nyeri punggung bawah sederhana per tahun.Sikap tubuh janggal saat bekerja dengan beban angkat yang melebihi beban yang dianjurkan oleh National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) merupakan faktor risiko potensial terjadinya cidera pada punggung bawah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan prevalensi nyeri punggung bawah sederhana dan faktor yang berpengaruh pada pekerja angkat angkut. Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan seluruh total populasi di PT A (Jakarta Timur) periode Oktober 2008 - Juni 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pengamatan sikap tubuh saat bekerja. Variabel yang diteliti adalah karakteristik pekerja, faktor agen, lingkungan kerja dan komponen lifting index. Hasil : Dari 128 responden didapatkan 90 responden (70.3%) mengalami nyeri punggung bawah. Faktor sikap tubuh fleksi lebih dari 45o(Odds ratio(OR) sesuaian=29.18), composite lifting index lebih dari 3.0 (OR sesuaian =26.02) memiliki hubungan bermakna dengan nyeri punggung bawah sederhana. Faktor komponen lifting index yang bermakna terhadap nyeri punggung bawah sederhana adalah vertikal multiplier < 0.89 (OR sesuaian=38.60), faktor asimetri multiplier < 0.90 (OR sesuaian= 24.61) dan horisontal multiplier < 0.63 (OR sesuaian =8.23) Kesimpulan dan saran: Faktor risiko yang paling dominan terhadap timbulnya nyeri punggung bawah sederhana pada pekerja angkat angkut adalah sudut fleksi lebih dari 45o. Faktor

Page 92: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 2

komponen lifting index yang paling dominan adalah vertikal multiplier < 0.89. Perlu dilakukan pelatihan pada pekerja mengenai cara angkat angkut yang ergonomi dan pengaturan kembali mengenai ketinggian asal benda. Kata kunci: Nyeri punggung bawah sederhana, lifting index, sudut fleksi * Peserta Program Magister Kedokteran Kerja FKUI, Jakarta PENDAHULUAN Nyeri punggung bawah sederhana merupakan masalah kesehatan yang paling sering terjadi di lingkungan industri. Nyeri punggung bawah banyak menimbulkan disabilitas dan masalah tidak masuk kerja. Di Inggris diperkirakan kehilangan hari kerja sebesar 116 juta hari kerja pada tahun 1994 – 1995 akibat masalah nyeri punggung bawah1 Nyeri punggung bawah sederhana adalah keluhan nyeri atau pegal di daerah punggung bawah yang dapat menjalarkan ke daerah bokong dan paha bawah tanpa ada dasar penyakit atau kelainan di sekitar punggung bawah.2 Nyeri punggung bawah sederhana biasanya disebabkan oleh sprain (regangan pada ligamen yang berlebihan) atau strain (regangan pada otot yang berlebihan).3 Sebagian besar pekerja yang mengalami nyeri punggung bawah sederhana akan pulih dalam waktu empat sampai enam minggu 4

Banyak faktor risiko di lingkungan kerja yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri punggung bawah sederhana, antara lain mengangkat beban secara manual, posisi gerak janggal, dan pajanan vibrasi seluruh tubuh.5

Penelitian Plowman 1992, ditemukan kejadian nyeri punggung bawah paling banyak dialami oleh orang dewasa usia 25 sampai 60 tahun dengan puncaknya pada usia 40 tahun sedangkan penelitian Cailliet 1988, mengemukakan sekitar 60% - 80 % penduduk pernah mengalami nyeri punggung bawah dan kejadian nyeri punggung bawah yang pernah terjadi sekitar 30%-70 % akan mengalami nyeri punggung bawah yang berulang 6 Di Indonesia, penelitian dr Siswarti (2003) pada pekerja pelat logam di Bogor menemukan prevalensi nyeri punggung bawah sebesar 76.9%.7 Penelitian dr Ernawati (2001) pada pekerja pabrik x di Purwakarta, menemukan prevalensi nyeri punggung bawah sebesar 92.2%.8 Penelitian J Darmawan, mendapatkan prevalensi nyeri punggung bawah sekitar 18.2% pada laki-laki dan 13.6% pada wanita. Sedangkan penelitian Lieke Waluyo (Jakarta,1996) pada pekerja assembling mobil ditemukan gangguan muskuloskeletal yang berhubungan dengan beban kerja dan lingkungan kerja, yang hasilnya gangguan bahu (45%), nyeri punggung atas (34%), nyeri punggung bawah (38%), nyeri lutut (34%). METODE Penelitian telah disetujui oleh komisi etik Universitas Indonesia, Jakarta. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang pada populasi pekerja angkat angkut di PT.A, Jakarta Timur periode Oktober 2008 - Juni 2009. Seluruh pekerja angkat angkut PT.A berjumlah 138 orang dengan 128 orang yang ikut dalam penelitian. Pekerjaan dimulai dari jam 7.00 sampai 16.00, dengan satu jam istirahat siang. Istirahat pendek tidak dilakukan secara bersamaan oleh pekerja, tergantung pada periode kerja angkat angkut. Pengambilan data dengan cara wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik , pemeriksaan neurologis dan pengamatan lingkungan kerja dengan menggunakan video.

Page 93: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 3

Dari hasil wawancara didapatkan karakteristik demografi (usia, pendidikan, kebiasaan merokok dan kebiasaan berolah raga). Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada pagi hari sebelum pekerja melakukan aktivitas angkat angkut.Pemeriksaan neurologis yang dilakukan antara lain uji Laseque, uji Patrick, uji kebalikan Patrick dan uji Naffziger. Pengukuran di lingkungan kerja yang dilakukan antara lain jarak benda terhadap tubuh, ketinggian benda dari lantai, perbedaan ketinggian benda asal dengan tempat tujuan, frekuensi mengangkat, besar sudut putar, berat beban yang diangkat dan besar sudut fleksi dengan menggunakan fleksibelmeter. Pada penelitian dilakukan penilaian terhadap composite lifting index (CLI) dan analisis faktor lifting index (LI) untuk mengidentifikasi terjadinya nyeri punggung bawah sederhana. Penilaian lifting index berdasarkan The Revised National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) Lifting Equation (1994). NIOSH telah menetapkan batas beban maksimum yang direkomendasikan adalah 23 kg (LC). Nilai lifting index dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu komponen horisontal (HM), komponen vertikal (VM), komponen distance (DM), komponen asimetri (AM), komponen coupling (CM) dan komponen frekuensi (FM). Untuk mendapatkan nilai beban yang diperbolehkan diangkat dilakukan dengan perhitungan rumus Recommended Weight Lifting (RWL) dari NIOSH : RWL = LC X HM X VM X DM X AM X CM X FM Untuk mendapatkan nilai lifting index tunggal dengan cara membandingkan berat beban yang diangkat dengan RWL yang didapatkan. Dengan hasil interpretasi: LI <1.0 : tidak ada risiko terhadap cedera tulang punggung LI > 1.0 : berisiko terhadap cedera tulang punggung 9 Untuk pekerjaan dengan berbagai ketinggian risiko yang ada di analisis dengan penilaian composite lifting index. Penilaian Composite lifting index berdasarkan rumus dari NIOSH = STLI 1 + FILI2 x (1/ FM1+2 – 1/FM1) + FILI 3 x (1/ FM 1+2+3 – 1/FM 1+2) + ..... Hasil interpretasi composite lifting index adalah CLI lebih besar dari 1.0 berarti pekerjaan ini terpajan peningkatan risiko terjadinya nyeri punggung bawah pada sebagian pekerja, CLI lebih besar dari 3.0 berarti hampir seluruh pekerja terpajan peningkatan risiko terjadinya nyeri punggung bawah dan terjadinya kecelakaan kerja akibat pekerjaan mengangkat. (Waters, Putz-Anderson, & Garg,2004).10 Faktor risiko lain yang berperan terhadap timbulnya nyeri punggung bawah adalah sikap fleksi. Pembagian kriteria fleksi saat bekerja mengikuti pembagian fleksi menurut Keyserling yaitu normal(<20o), fleksi sedang (20o - <45o) dan fleksi kuat (>45o).11 Pembagian status gisi berdasarkan Depkes 1994 normal , kurus dan gemuk Analisis statistik dengan menggunakan software STATA 10.0. Dilakukan pengujian terhadap seluruh faktor risiko secara univariate, bivariat dan multivariat untuk menyingkirkan faktor perancu. Analisis yang digunakan adalah analisis logistik dengan tujuan memisahkan antara faktor risiko perancu dan faktor risiko determinan terhadap nyeri punggung bawah sederhana. Faktor risiko yang berpotensi menjadi faktor perancu bila dalam uji univariat didapatkan nilai p < 0.25. Seluruh faktor risiko dengan nilai p< 0.25 ini akan diikutsertakan dalam uji multivariat. Nilai p ini juga akan disertai dengan konfidens interval 95% untuk memperkirakan batas kemaknaannya.

Page 94: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 4

HASIL PENELITIAN Dari 138 orang pekerja angkat angkut sebagai responden, 10 orang tidak termasuk dalam kriteria inklusi dikarenakan 5 orang menderita sakit batu ginjal /nephrolitiasis 3 orang hasil laseque positif, 2 orang scoliosis. Dari 128 responden 90 (70.3%) responden mengeluh nyeri punggung bawah sederhana dan 38 responden tidak mempunyai keluhan nyeri punggung bawah sederhana. Table 1. Distribusi pekerja yang mengalami nyeri punggung bawah sederhana

Jumlah(n=128) % Tidak ada nyeri punggung bawah 38 29.7 Ada nyeri punggung bawah 90 70.3

Tabel 2. Hubungan nyeri punggung bawah sederhana terhadap sosio-demografi dan sosio-okupasi. NPBS

(%) Odds ratio kasar

95 % interval kepercayaan

p

Usia < 35 tahun 43.3 1.00 Rujukan > 35 tahun 56.7 2.24 1.03 – 4.89 0.042 Tinggi badan < 165 cm 47.8 1.00 Rujukan > 165 cm 52.2 0.88 0.41 – 1.89 0.753 Status gizi Normal 75.56 1.00 Rujukan Kurang 8.89 2.94 0.35 – 24.72 0.321 Lebih 15.56 0.43 0.17 – 1.05 0.064 Kebiasaan merokok Bukan perokok 24.44 1.00 Rujukan Perokok ringan 60.00 0.92 0.37 – 2.29 0.859 Perokok sedang 15.56 1.15 0.32 – 4.13 0.836 Kebiasaan olah raga* Baik 3.33 1.00 Rujukan Tidak baik 96.67 0.79 0.08 – 7.78 0.835 Masa kerja* 1 – 5 tahun 2.22 1.00 Rujukan 6- 10 tahun 58.89 4.82 0.82 – 28.24 0.081 11-15tahun 25.56 4.6 0.72 – 29.33 0.106 16-20tahun 13.33 12 1.24 – 115.36 0.031 Istirahat kecil setelah periode bekerja

10 menit 33.33 1.00 Rujukan 15 menit 66.67 3.43 1.55 – 7.57 0.002 diuji dengan uji non parametrik chi square(bermakna bila p<0.05) *) diuji dengan Fisher’s exact test Peningkatan risiko terjadinya nyeri punggung bawah sederhana pada responden dengan usia sama atau lebih dari 35 tahun.

Page 95: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 5

Peningkatan risiko terjadinya nyeri punggung bawah terjadi pada responden dengan masa kerja 16 – 20 tahun dan periode bekerja 15 menit. Table 3. Hubungan nyeri punggung bawah dengan penilaian lifting index , penilaian composite lifting index serta sikap fleksi saat bekerja. NPBS

(%) Odds ratio kasar

95 % interval kepercayaan

P

Lifting index* LI < 1.0 4.44 1.00 Rujukan LI > 1.0 95.56 11.18 3.35 – 37.34 0.000 Composite lifting index* CLI < 3.0 1.11 1.00 Rujukan CLI > 3.0 98.89 36.26 4.48 – 293.72 0.001 Sikap tubuh fleksi 20 – 45o 20 1.00 Rujukan > 45 o 80 26.4 9.03 -77.20 0.000 diuji dengan uji non parametrik chi square(bermakna bila p<0.05) *) diuji dengan Fisher’s exact test Peningkatan risiko nyeri punggung bawah sederhana terlihat pada responden dengan nilai lifting index > 1.0, nilai composite lifting index > 3.0 dan sikap fleksi > 45o.

Page 96: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 6

Tabel 4. Hubungan antara nyeri punggung bawah sederhana dengan komponen lifting index. NPBS

(%) Odds ratio kasar

95 % interval kepercayaan

P

Beban aktual < 20 kg (kemasan) 52.22 1.00 Rujukan 20 kg (galon) 47.78 2.56 1.11 – 5.89 0.027 Horisontal multiplier (HM)

> 0.63 (H < 40 cm) 47.78 1.00 Rujukan < 0.63 (H> 40 cm) 52.22 2.10 0.96 – 4.62 0.064 Vertikal multiplier (VM)

> 0.89 (40 < V < 110 cm)

52.22 1.00 Rujukan

< 0.89 ( V < 40 cm atau V > 110 cm)

47.78 2.56 1.11 – 5.89 0.027

Distance multiplier (DM)

> 0.91 (D < 55cm) 81.11 1.00 Rujukan < 0.91 (D > 55cm) 18.89 1.24 0.45 – 3.44 0.677 Asymmetry multiplier (AM)

>0.90 (< 30o) 11.11 1.00 Rujukan <0.90 (>30o) 88.89 7.20 2.88 – 17.98 0.000 Coupling multiplier (CM)

1 (kemasan) 52.22 1.00 Rujukan 0.9 (galon) 47.78 2.56 1.11 – 5.89 0.027 Frekuensi multiplier (FM)

> 0.88 (< 3x/menit) 78.89 1.00 Rujukan < 0.88 (> 3x/menit) 21.11 0.46 0.20 – 1.05 0.066 diuji dengan uji non parametrik chi square(bermakna bila p<0.05) Peningkatan risiko nyeri punggung bawah sederhana terjadi pada komponen vertikal <0.89 dan komponen asimetri < 0.90. Berat beban dan komponen coupling mempunyai kolienier dengan komponen vertikal. Hasil akhir hubungan antara nyeri punggung bawah sederhana dengan faktor risiko terlihat pada tabel 5.

Page 97: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 7

Tabel 5. Saling kerterkaitan antara sikap tubuh fleksi, composite lifting index dan komponen lifting index NIOSH dengan risiko terhadap nyeri punggung bawah

Odds ratio kasar

95 % interval kepercayaan

p

Sikap tubuh fleksi > 45o 29.18 7.45 – 114.34 0.000 Composite lifting index NIOSH

> 3.0 26.02 1.80 – 376.78 0.017 Komponen lifting index:

Vertical multiplier < 0.89 ( V < 40 cm

atau V > 110 cm) 38.60 6.21 – 239.85 0.000

Asymmetri multiplier < 0.90 ( > 30o) 24.61 5.15 – 117.61 0.000 Horisontal multiplier < 0.63 (H> 40 cm) 8.23 2.40 – 28.19 0.001

Pada penelitian ini responden dengan sikap fleksi > 45o mempunyai risiko 29 kali lebih besar terjadi nyeri punggung bawah sederhana (odds ratio(OR) sesuaian = 29.18; 95% confidence interval (CI)= 7.45 – 114.34; p= 0.000). Responden dengan nilai lifting index > 3.0 mempunyai risiko 26 kali lebih besar terjadi nyeri punggung bawah sederhana (OR sesuaian= 26.02; 95% CI= 1.80 – 376.78; p= 0.017) Komponen vertikal < 0.89 (ketinggian < 40 atau > 110 cm) mempunyai risiko terjadi nyeri punggung bawah sederhana hampir 39 kali lebih besar (OR sesuaian = 38.60: 95%CI= 6.21 – 239.85, p= 0.000). Komponen asimetri <0.90 (sudut putar > 30o) mempunyai risiko terjadinya nyeri punggung bawah hampir 25 kali lebih besar (OR sesuaian 24.61; 95%CI= 5.15 – 117.61, p= 0.000). Komponen horisontal < 0.63 (jarak horisontal > 40 cm) mempunyai risiko terjadinya nyeri punggung bawah sederhana delapan kali lebih besar ( OR sesuaian= 8.23, 95%CI= 2.40 – 28.19; p= 0.001) DISKUSI Pada desain potong lintang mempunyai keterbatasan waktu karena pengambilan data hanya dilakukan pada satu saat atau satu waktu saja sehingga tidak dapat diikuti waktu perjalanan penyakit. Prevalensi nyeri punggung bawah sederhana yang didapatkan 70.3%. Rerata faktor usia dan tinggi badan pekerja adalah 34,7 + 5.5 tahun berkisar antara 25 sampai dengan 50 tahun dan 164.7 + 5.1 cm berkisar antara 151 cm sampai dengan 178 cm. Faktor usia atas 35 tahun lebih banyak mengalami nyeri punggung bawah sederhana (56.67%), keadaan ini sesuai dengan penelitian Mazloum.12 Tinggi badan berbeda dengan penelitian Mazloum yang mengatakan kejadian nyeri punggung bawah lebih banyak pada tinggi 165-175 cm. Status gizi berbeda dengan penelitian Deyo dan Bass (1989) yang mengatakan kejadian nyeri punggung bawah 20% lebih besar sesuai dengan peningkatan obesitas. Kedua perbedaan yang timbul karena tinggi badan maupun status gizi tidak berkorelasi langsung terhadap kekuatan otot, akan tetapi kekuatan otot merupakan korelasi multiple dari usia, tinggi badan dan berat

Page 98: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 8

badan.13 Keadaan di PT A , pekerja dengan tinggi badan lebih atau sama dengan 165 cm lebih banyak yang berusia muda ( 51.47%) begitu juga status gizi gemuk lebih banyak yang berusia muda kurang dari 35 tahun (65.38%). Gaya hidup (kebiasaan merokok dan kebiasaan olah raga) di PT A tidak mempengaruhi terjadinya nyeri punggung bawah sederhana karena tidak ditemukan pekerja dengan kebiasaan perokok berat dan hampir seluruh pekerja (96.88%) mempunyai kebiasaan olah raga yang tidak baik. Sehingga faktor kebiasaan merokok hasilnya berbeda dengan penelitian Deyo dan Bass ,dan kebiasaan olah raga berbeda dengan penelitian Cady.15 Rerata masa kerja 10.4 + 3.8 tahun, dengan masa kerja terbanyak 6 – 10 tahun (58.59%). Masa kerja 16 – 20 tahun terjadi peningkatan risiko nyeri punggung bawah sederhana sebesar 12 kali lipat. Pada uji multivariat masa kerja tidak berpengaruh terhadap nyeri punggung bawah sederhana, keadaan ini disebabkan oleh healty worker effect. Kesehatan pekerja bersifat relatif karena tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi fisik (kekuatan otot) pekerja saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kesehatan awal saat pekerja mulai bekerja dan faktor sosial ( kebutuhan untuk bekerja dan terus diperkerjakan).16 Pekerja melakukan istirahat kecil secara tidak bersamaan, tergantung periode pekerjaannya. Sebagian besar pekerja melakukan istirahat kecil setelah bekerja 15 menit (57.81%). Pekerja yang melakukan istirahat kecil setelah periode kerja selama 15 menit mengalami peningkatan risiko nyeri punggung bawah sederhana sebesar tiga kali lipat. Timbulnya nyeri punggung bawah sederhana tidak hanya akibat dari faktor istirahat kecil saja tetapi juga beban kerja, usia dan kekuatan otot. Sehingga pada multivariate faktor istirahat kecil tidak berpengaruh terhadap peningkatan nyeri punggung bawah sederhana. Sikap tubuh bekerja sesuai dengan penelitian Keyserling, sikap fleksi kuat meningkatkan risiko terjadinya nyeri punggung bawah sederhana. Pada fleksi kuat maka momen gaya yang diterima oleh otot lebih dari 50% sehingga memudahkan terjadinya trauma atau cidera di daerah punggung bawah. Rerata nilai lifting index dan composite lifting index adalah 1.8 + 0.5 berkisar antara 0.7 sampai dengan 2.8 dan 6.3 + 2.2 berkisar antara 1.9 sampai dengan 9.8. Nilai composite lifting index lebih dari 3.0 akan meningkatkan risiko terjadinya nyeri punggung bawah sederhana sebesar 36 kali lebih besar, keadaan ini sesuai dengan penelitian Waters (2004). Peningkatan risiko nyeri punggung bawah dari nilai composite lifting index dapat terlihat jelas dari komponen lifting index didalamnya. Komponen lifting index yang berpengaruh besar terhadap nyeri punggung bawah adalah komponen vertikal, asimetri dan horisontal. Komponen vertikal (Vertical multiplier) < 0.89 (V < 40 cm atau V > 110 cm) meningkatkan risiko nyeri punggung bawah sebesar 39 kali lipat. Karena ketinggian benda di atas bahu (> 110 cm) dan di lantai (< 40 cm) maka didapatkan pengurangan RWL sebesar 22.5 %, pengurangan RWL akan berakibat terhadap peningkatan nilai lifting index pekerja. Pekerja dengan komponen asimetri (asymmetri multiplier) < 0.9 atau berputar lebih dari 30o yang terkena nyeri punggung bawah sederhana sebesar 88.89% dan terjadi peningkatan risiko nyeri punggung bawah hampir sebesar 25 kali lipat. Karena gerakan tubuh berputar lebih dari 30o akan menimbulkan regangan yang tinggi pada ligamentum kapsularis faset yang memungkinkan terjadinya dislokasi sendi faset.

Page 99: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 9

Komponen horisontal (horisontal multiplier) kurang dari 0.63 lebih banyak mengalami nyeri punggung bawah sederhana (52.22 %) dan terjadi peningkatan nyeri punggung bawah sederhana sebesar delapan kali lipat. Karena semakin jauh benda yang diangkat dari tubuh maka momen gaya yang bekerja pada lumbal semakin besar, dan menimbulkan tekanan yang besar pada diskus intervertebralis di daerah lumbal. Keadaan ini akan memperbesar kemungkinan cidera punggung bawah KESIMPULAN dan SARAN Prevalensi nyeri punggung bawah sederhana di PT A sebesar 70.3%. Nyeri punggung bawah sederhana terutama dipengaruhi oleh faktor sikap fleksi kuat saat bekerja dan nilai composite lifting index > 3.0. Sikap fleksi kuat meningkatkan risiko nyeri punggung bawah sebesar 29 kali lipat dan nilai composite lifting index > 3.0 meningkatkan risiko nyeri punggung bawah sederhana sebesar 26 kali lipat. Faktor komponen lifting index yang menyebabkan peningkatan nyeri punggung bawah sederhana antara lain: komponen vertikal, asimetri dan horisontal. Komponen vertikal paling besar meningkatkan risiko nyeri punggung bawah sederhana. Timbulnya nyeri punggung bawah sederhana pada pekerja angkat angkut manual lebih disebabkan oleh faktor cara bekerja yang tidak ergonomi sehingga terjadi peningkatan nilai composite lifting index. Perlu dilakukan perbaikan cara angkat angkut yang ergonomi dengan pelatihan kerja ergonomi dan diberlakukannya SOP bekerja secara ergonomi. DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham C, Flynn T , Blake C. Low back pain and occupation among Irish health service workers.

Journal Occupational Medicine 2006; 56(7):447-454 2. Roland, M.O et al. Low Back Pain inAdult. The back book. London: The Stationary Office. (2002) 3. David G.B, Sam W.W, Scott D.B.Mechanical Disorder of the Spine. Low Back and Neck Pain 3rd

edition, Saunders,2004:229-240. 4. Trang H. Nguyen, David C. Randolph. Nonspecific low back pain and return to work. Health Care

Industry. American Family Physician, Nov 15, 2007 5. Last J.M, Wallace R.B. Public Health and Preventive Medicine. 13th edition, PrenticeHall International

Inc. London, 1992: 535-544 6. Stover H.S. Back Risk Factor: An Overview. Occupational Ergonomic. London and New York: 2000;

11:129-148 7. Adnan Siswarti, hubungan antara sikap tubuh waktu bekerja dengan nyeri punggung bawah pada perajin

pelat logam. Tesis .Program studi Kedokteran Kerja FKUI 2003 8. Ernawati. Analisis faktor yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja bagian

produksi bumbu makanan di pabrik X Purwakarta. Tesis Magister Sains , Program Studi Kedokteran Kerja. Jakarta 2001

9. Thomas R Waters,Vern Putz-Anderson, Arun Garg. Applications Manual For the Revised NIOSH Lifting Equation. NIOSH Publication No 94-110

10. Richard Sesek, Jennifer Tolbert. Slim RNLE A Simplified Lifting Method fro The Revised NIOSH Lifting Equation.

11. Don.B.C, Gunnar B.J, Bernard J. M. Method of Classifying and Evaluating Manual Work.Occupational Biomechanics ed 4th .2006; 7: 161 – 182

12. Mazloum A, Nozad H ,Kumashiro M. Occupational Low Back Pain among Workers in Some Small Sized Factories in Ardabil , Iran. Industrial Health 2006; 44: 135-139

13. Don.B.C, Gunnar B.J, Bernard J. M. Mechanical Work Capacity Evaluation.Occupational Biomechanics ed 4th .2006; 4: 53 – 71

14. Deyo AR, WeinsteinNJ. Low Back Pain. Primary Care. N. Engl J Med.2001;5: 363-370

Page 100: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 10

15. Rachel Sulvana. Nyeri punggung bawah pada pekerja perawatan golf di perusahaan x dan faktor – faktor berhubungan. Tesis Magister Sains. Program Studi Kedokteran Kerja FKUI. Jakarta 2005

16. Harvey Checkoway, Neil Pearce, David Kriebel. Issues of Study Design and Analysis. Research methods in occupational epidemiology. 2nd ed. By. New York (NY):. Oxford University Press; 2004; 78

Page 101: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1

PREVALENSI NYERI PUNGGUNG BAWAH SEDERHANA DAN FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PEKERJA ANGKAT

ANGKUT MANUAL (Penilaian faktor risiko berdasarkan The Revised National Institute for Occupational

Safety and Health 1994)

Shierly Halim* ABSTRACT Background : Around 50% labours have simple low back pain per year. The awkward position during lifting with over limit has been suggested by National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), could be a potential risk of back injury. This study aims to identify prevalence of simple low back pain (LBP) and affected factors of manual handling labours . Methods : The study conducted cross sectional design, period October 2008 - June 2009 with total population at company A (East Jakarta). The data was gathered by interview, physical examination, neurological examination and working posture analysis. The variable studied were host factors, agent factors, environment and component of lifting index. Results : Out of 128 respondents, 90 respondents (70.3%) suffered simple LBP. The angle flexion factor greater than 45o (adjusted odds ratio(OR) =29.18), composite lifting index NIOSH more than 3.0 (adjusted OR =26.02) had a significant relation with simple LBP. The Components of lifting index that had a significant association with simple low back pain were vertical multiplier < 0.89 (adjusted OR =38.60), asymmetry multiplier < 0.90 (adjusted OR = 24.61) and horizontal multiplier < 0.63 (adjusted OR =8.23), have significant relation with simple LBP Conclusion and Suggestion : The predominant factor causing simple LBP was angle flexion greater than 45o. The predominant component lifting index causing simple LBP was vertical multiplier < 0.89. It is important to concern training ergonomic manual handling and need to set reposition vertical origin of the object. Keywords : Simple low back pain, lifting index,angle flexion. ABSTRAK Latar belakang: :Sekitar 50% pekerja mengalami nyeri punggung bawah sederhana per tahun.Sikap tubuh janggal saat bekerja dengan beban angkat yang melebihi beban yang dianjurkan oleh National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) merupakan faktor risiko potensial terjadinya cidera pada punggung bawah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan prevalensi nyeri punggung bawah sederhana dan faktor yang berpengaruh pada pekerja angkat angkut. Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan seluruh total populasi di PT A (Jakarta Timur) periode Oktober 2008 - Juni 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pengamatan sikap tubuh saat bekerja. Variabel yang diteliti adalah karakteristik pekerja, faktor agen, lingkungan kerja dan komponen lifting index. Hasil : Dari 128 responden didapatkan 90 responden (70.3%) mengalami nyeri punggung bawah. Faktor sikap tubuh fleksi lebih dari 45o(Odds ratio(OR) sesuaian=29.18), composite lifting index lebih dari 3.0 (OR sesuaian =26.02) memiliki hubungan bermakna dengan nyeri punggung bawah sederhana. Faktor komponen lifting index yang bermakna terhadap nyeri punggung bawah sederhana adalah vertikal multiplier < 0.89 (OR sesuaian=38.60), faktor asimetri multiplier < 0.90 (OR sesuaian= 24.61) dan horisontal multiplier < 0.63 (OR sesuaian =8.23) Kesimpulan dan saran: Faktor risiko yang paling dominan terhadap timbulnya nyeri punggung bawah sederhana pada pekerja angkat angkut adalah sudut fleksi lebih dari 45o. Faktor

Page 102: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 2

komponen lifting index yang paling dominan adalah vertikal multiplier < 0.89. Perlu dilakukan pelatihan pada pekerja mengenai cara angkat angkut yang ergonomi dan pengaturan kembali mengenai ketinggian asal benda. Kata kunci: Nyeri punggung bawah sederhana, lifting index, sudut fleksi * Peserta Program Magister Kedokteran Kerja FKUI, Jakarta PENDAHULUAN Nyeri punggung bawah sederhana merupakan masalah kesehatan yang paling sering terjadi di lingkungan industri. Nyeri punggung bawah banyak menimbulkan disabilitas dan masalah tidak masuk kerja. Di Inggris diperkirakan kehilangan hari kerja sebesar 116 juta hari kerja pada tahun 1994 – 1995 akibat masalah nyeri punggung bawah1 Nyeri punggung bawah sederhana adalah keluhan nyeri atau pegal di daerah punggung bawah yang dapat menjalarkan ke daerah bokong dan paha bawah tanpa ada dasar penyakit atau kelainan di sekitar punggung bawah.2 Nyeri punggung bawah sederhana biasanya disebabkan oleh sprain (regangan pada ligamen yang berlebihan) atau strain (regangan pada otot yang berlebihan).3 Sebagian besar pekerja yang mengalami nyeri punggung bawah sederhana akan pulih dalam waktu empat sampai enam minggu 4

Banyak faktor risiko di lingkungan kerja yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri punggung bawah sederhana, antara lain mengangkat beban secara manual, posisi gerak janggal, dan pajanan vibrasi seluruh tubuh.5

Penelitian Plowman 1992, ditemukan kejadian nyeri punggung bawah paling banyak dialami oleh orang dewasa usia 25 sampai 60 tahun dengan puncaknya pada usia 40 tahun sedangkan penelitian Cailliet 1988, mengemukakan sekitar 60% - 80 % penduduk pernah mengalami nyeri punggung bawah dan kejadian nyeri punggung bawah yang pernah terjadi sekitar 30%-70 % akan mengalami nyeri punggung bawah yang berulang 6 Di Indonesia, penelitian dr Siswarti (2003) pada pekerja pelat logam di Bogor menemukan prevalensi nyeri punggung bawah sebesar 76.9%.7 Penelitian dr Ernawati (2001) pada pekerja pabrik x di Purwakarta, menemukan prevalensi nyeri punggung bawah sebesar 92.2%.8 Penelitian J Darmawan, mendapatkan prevalensi nyeri punggung bawah sekitar 18.2% pada laki-laki dan 13.6% pada wanita. Sedangkan penelitian Lieke Waluyo (Jakarta,1996) pada pekerja assembling mobil ditemukan gangguan muskuloskeletal yang berhubungan dengan beban kerja dan lingkungan kerja, yang hasilnya gangguan bahu (45%), nyeri punggung atas (34%), nyeri punggung bawah (38%), nyeri lutut (34%). METODE Penelitian telah disetujui oleh komisi etik Universitas Indonesia, Jakarta. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang pada populasi pekerja angkat angkut di PT.A, Jakarta Timur periode Oktober 2008 - Juni 2009. Seluruh pekerja angkat angkut PT.A berjumlah 138 orang dengan 128 orang yang ikut dalam penelitian. Pekerjaan dimulai dari jam 7.00 sampai 16.00, dengan satu jam istirahat siang. Istirahat pendek tidak dilakukan secara bersamaan oleh pekerja, tergantung pada periode kerja angkat angkut. Pengambilan data dengan cara wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik , pemeriksaan neurologis dan pengamatan lingkungan kerja dengan menggunakan video.

Page 103: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 3

Dari hasil wawancara didapatkan karakteristik demografi (usia, pendidikan, kebiasaan merokok dan kebiasaan berolah raga). Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada pagi hari sebelum pekerja melakukan aktivitas angkat angkut.Pemeriksaan neurologis yang dilakukan antara lain uji Laseque, uji Patrick, uji kebalikan Patrick dan uji Naffziger. Pengukuran di lingkungan kerja yang dilakukan antara lain jarak benda terhadap tubuh, ketinggian benda dari lantai, perbedaan ketinggian benda asal dengan tempat tujuan, frekuensi mengangkat, besar sudut putar, berat beban yang diangkat dan besar sudut fleksi dengan menggunakan fleksibelmeter. Pada penelitian dilakukan penilaian terhadap composite lifting index (CLI) dan analisis faktor lifting index (LI) untuk mengidentifikasi terjadinya nyeri punggung bawah sederhana. Penilaian lifting index berdasarkan The Revised National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) Lifting Equation (1994). NIOSH telah menetapkan batas beban maksimum yang direkomendasikan adalah 23 kg (LC). Nilai lifting index dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu komponen horisontal (HM), komponen vertikal (VM), komponen distance (DM), komponen asimetri (AM), komponen coupling (CM) dan komponen frekuensi (FM). Untuk mendapatkan nilai beban yang diperbolehkan diangkat dilakukan dengan perhitungan rumus Recommended Weight Lifting (RWL) dari NIOSH : RWL = LC X HM X VM X DM X AM X CM X FM Untuk mendapatkan nilai lifting index tunggal dengan cara membandingkan berat beban yang diangkat dengan RWL yang didapatkan. Dengan hasil interpretasi: LI <1.0 : tidak ada risiko terhadap cedera tulang punggung LI > 1.0 : berisiko terhadap cedera tulang punggung 9 Untuk pekerjaan dengan berbagai ketinggian risiko yang ada di analisis dengan penilaian composite lifting index. Penilaian Composite lifting index berdasarkan rumus dari NIOSH = STLI 1 + FILI2 x (1/ FM1+2 – 1/FM1) + FILI 3 x (1/ FM 1+2+3 – 1/FM 1+2) + ..... Hasil interpretasi composite lifting index adalah CLI lebih besar dari 1.0 berarti pekerjaan ini terpajan peningkatan risiko terjadinya nyeri punggung bawah pada sebagian pekerja, CLI lebih besar dari 3.0 berarti hampir seluruh pekerja terpajan peningkatan risiko terjadinya nyeri punggung bawah dan terjadinya kecelakaan kerja akibat pekerjaan mengangkat. (Waters, Putz-Anderson, & Garg,2004).10 Faktor risiko lain yang berperan terhadap timbulnya nyeri punggung bawah adalah sikap fleksi. Pembagian kriteria fleksi saat bekerja mengikuti pembagian fleksi menurut Keyserling yaitu normal(<20o), fleksi sedang (20o - <45o) dan fleksi kuat (>45o).11 Pembagian status gisi berdasarkan Depkes 1994 normal , kurus dan gemuk Analisis statistik dengan menggunakan software STATA 10.0. Dilakukan pengujian terhadap seluruh faktor risiko secara univariate, bivariat dan multivariat untuk menyingkirkan faktor perancu. Analisis yang digunakan adalah analisis logistik dengan tujuan memisahkan antara faktor risiko perancu dan faktor risiko determinan terhadap nyeri punggung bawah sederhana. Faktor risiko yang berpotensi menjadi faktor perancu bila dalam uji univariat didapatkan nilai p < 0.25. Seluruh faktor risiko dengan nilai p< 0.25 ini akan diikutsertakan dalam uji multivariat. Nilai p ini juga akan disertai dengan konfidens interval 95% untuk memperkirakan batas kemaknaannya.

Page 104: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 4

HASIL PENELITIAN Dari 138 orang pekerja angkat angkut sebagai responden, 10 orang tidak termasuk dalam kriteria inklusi dikarenakan 5 orang menderita sakit batu ginjal /nephrolitiasis 3 orang hasil laseque positif, 2 orang scoliosis. Dari 128 responden 90 (70.3%) responden mengeluh nyeri punggung bawah sederhana dan 38 responden tidak mempunyai keluhan nyeri punggung bawah sederhana. Table 1. Distribusi pekerja yang mengalami nyeri punggung bawah sederhana

Jumlah(n=128) % Tidak ada nyeri punggung bawah 38 29.7 Ada nyeri punggung bawah 90 70.3

Tabel 2. Hubungan nyeri punggung bawah sederhana terhadap sosio-demografi dan sosio-okupasi. NPBS

(%) Odds ratio kasar

95 % interval kepercayaan

p

Usia < 35 tahun 43.3 1.00 Rujukan > 35 tahun 56.7 2.24 1.03 – 4.89 0.042 Tinggi badan < 165 cm 47.8 1.00 Rujukan > 165 cm 52.2 0.88 0.41 – 1.89 0.753 Status gizi Normal 75.56 1.00 Rujukan Kurang 8.89 2.94 0.35 – 24.72 0.321 Lebih 15.56 0.43 0.17 – 1.05 0.064 Kebiasaan merokok Bukan perokok 24.44 1.00 Rujukan Perokok ringan 60.00 0.92 0.37 – 2.29 0.859 Perokok sedang 15.56 1.15 0.32 – 4.13 0.836 Kebiasaan olah raga* Baik 3.33 1.00 Rujukan Tidak baik 96.67 0.79 0.08 – 7.78 0.835 Masa kerja* 1 – 5 tahun 2.22 1.00 Rujukan 6- 10 tahun 58.89 4.82 0.82 – 28.24 0.081 11-15tahun 25.56 4.6 0.72 – 29.33 0.106 16-20tahun 13.33 12 1.24 – 115.36 0.031 Istirahat kecil setelah periode bekerja

10 menit 33.33 1.00 Rujukan 15 menit 66.67 3.43 1.55 – 7.57 0.002 diuji dengan uji non parametrik chi square(bermakna bila p<0.05) *) diuji dengan Fisher’s exact test Peningkatan risiko terjadinya nyeri punggung bawah sederhana pada responden dengan usia sama atau lebih dari 35 tahun.

Page 105: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 5

Peningkatan risiko terjadinya nyeri punggung bawah terjadi pada responden dengan masa kerja 16 – 20 tahun dan periode bekerja 15 menit. Table 3. Hubungan nyeri punggung bawah dengan penilaian lifting index , penilaian composite lifting index serta sikap fleksi saat bekerja. NPBS

(%) Odds ratio kasar

95 % interval kepercayaan

P

Lifting index* LI < 1.0 4.44 1.00 Rujukan LI > 1.0 95.56 11.18 3.35 – 37.34 0.000 Composite lifting index* CLI < 3.0 1.11 1.00 Rujukan CLI > 3.0 98.89 36.26 4.48 – 293.72 0.001 Sikap tubuh fleksi 20 – 45o 20 1.00 Rujukan > 45 o 80 26.4 9.03 -77.20 0.000 diuji dengan uji non parametrik chi square(bermakna bila p<0.05) *) diuji dengan Fisher’s exact test Peningkatan risiko nyeri punggung bawah sederhana terlihat pada responden dengan nilai lifting index > 1.0, nilai composite lifting index > 3.0 dan sikap fleksi > 45o.

Page 106: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 6

Tabel 4. Hubungan antara nyeri punggung bawah sederhana dengan komponen lifting index. NPBS

(%) Odds ratio kasar

95 % interval kepercayaan

P

Beban aktual < 20 kg (kemasan) 52.22 1.00 Rujukan 20 kg (galon) 47.78 2.56 1.11 – 5.89 0.027 Horisontal multiplier (HM)

> 0.63 (H < 40 cm) 47.78 1.00 Rujukan < 0.63 (H> 40 cm) 52.22 2.10 0.96 – 4.62 0.064 Vertikal multiplier (VM)

> 0.89 (40 < V < 110 cm)

52.22 1.00 Rujukan

< 0.89 ( V < 40 cm atau V > 110 cm)

47.78 2.56 1.11 – 5.89 0.027

Distance multiplier (DM)

> 0.91 (D < 55cm) 81.11 1.00 Rujukan < 0.91 (D > 55cm) 18.89 1.24 0.45 – 3.44 0.677 Asymmetry multiplier (AM)

>0.90 (< 30o) 11.11 1.00 Rujukan <0.90 (>30o) 88.89 7.20 2.88 – 17.98 0.000 Coupling multiplier (CM)

1 (kemasan) 52.22 1.00 Rujukan 0.9 (galon) 47.78 2.56 1.11 – 5.89 0.027 Frekuensi multiplier (FM)

> 0.88 (< 3x/menit) 78.89 1.00 Rujukan < 0.88 (> 3x/menit) 21.11 0.46 0.20 – 1.05 0.066 diuji dengan uji non parametrik chi square(bermakna bila p<0.05) Peningkatan risiko nyeri punggung bawah sederhana terjadi pada komponen vertikal <0.89 dan komponen asimetri < 0.90. Berat beban dan komponen coupling mempunyai kolienier dengan komponen vertikal. Hasil akhir hubungan antara nyeri punggung bawah sederhana dengan faktor risiko terlihat pada tabel 5.

Page 107: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 7

Tabel 5. Saling kerterkaitan antara sikap tubuh fleksi, composite lifting index dan komponen lifting index NIOSH dengan risiko terhadap nyeri punggung bawah

Odds ratio kasar

95 % interval kepercayaan

p

Sikap tubuh fleksi > 45o 29.18 7.45 – 114.34 0.000 Composite lifting index NIOSH

> 3.0 26.02 1.80 – 376.78 0.017 Komponen lifting index:

Vertical multiplier < 0.89 ( V < 40 cm

atau V > 110 cm) 38.60 6.21 – 239.85 0.000

Asymmetri multiplier < 0.90 ( > 30o) 24.61 5.15 – 117.61 0.000 Horisontal multiplier < 0.63 (H> 40 cm) 8.23 2.40 – 28.19 0.001

Pada penelitian ini responden dengan sikap fleksi > 45o mempunyai risiko 29 kali lebih besar terjadi nyeri punggung bawah sederhana (odds ratio(OR) sesuaian = 29.18; 95% confidence interval (CI)= 7.45 – 114.34; p= 0.000). Responden dengan nilai lifting index > 3.0 mempunyai risiko 26 kali lebih besar terjadi nyeri punggung bawah sederhana (OR sesuaian= 26.02; 95% CI= 1.80 – 376.78; p= 0.017) Komponen vertikal < 0.89 (ketinggian < 40 atau > 110 cm) mempunyai risiko terjadi nyeri punggung bawah sederhana hampir 39 kali lebih besar (OR sesuaian = 38.60: 95%CI= 6.21 – 239.85, p= 0.000). Komponen asimetri <0.90 (sudut putar > 30o) mempunyai risiko terjadinya nyeri punggung bawah hampir 25 kali lebih besar (OR sesuaian 24.61; 95%CI= 5.15 – 117.61, p= 0.000). Komponen horisontal < 0.63 (jarak horisontal > 40 cm) mempunyai risiko terjadinya nyeri punggung bawah sederhana delapan kali lebih besar ( OR sesuaian= 8.23, 95%CI= 2.40 – 28.19; p= 0.001) DISKUSI Pada desain potong lintang mempunyai keterbatasan waktu karena pengambilan data hanya dilakukan pada satu saat atau satu waktu saja sehingga tidak dapat diikuti waktu perjalanan penyakit. Prevalensi nyeri punggung bawah sederhana yang didapatkan 70.3%. Rerata faktor usia dan tinggi badan pekerja adalah 34,7 + 5.5 tahun berkisar antara 25 sampai dengan 50 tahun dan 164.7 + 5.1 cm berkisar antara 151 cm sampai dengan 178 cm. Faktor usia atas 35 tahun lebih banyak mengalami nyeri punggung bawah sederhana (56.67%), keadaan ini sesuai dengan penelitian Mazloum.12 Tinggi badan berbeda dengan penelitian Mazloum yang mengatakan kejadian nyeri punggung bawah lebih banyak pada tinggi 165-175 cm. Status gizi berbeda dengan penelitian Deyo dan Bass (1989) yang mengatakan kejadian nyeri punggung bawah 20% lebih besar sesuai dengan peningkatan obesitas. Kedua perbedaan yang timbul karena tinggi badan maupun status gizi tidak berkorelasi langsung terhadap kekuatan otot, akan tetapi kekuatan otot merupakan korelasi multiple dari usia, tinggi badan dan berat

Page 108: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 8

badan.13 Keadaan di PT A , pekerja dengan tinggi badan lebih atau sama dengan 165 cm lebih banyak yang berusia muda ( 51.47%) begitu juga status gizi gemuk lebih banyak yang berusia muda kurang dari 35 tahun (65.38%). Gaya hidup (kebiasaan merokok dan kebiasaan olah raga) di PT A tidak mempengaruhi terjadinya nyeri punggung bawah sederhana karena tidak ditemukan pekerja dengan kebiasaan perokok berat dan hampir seluruh pekerja (96.88%) mempunyai kebiasaan olah raga yang tidak baik. Sehingga faktor kebiasaan merokok hasilnya berbeda dengan penelitian Deyo dan Bass ,dan kebiasaan olah raga berbeda dengan penelitian Cady.15 Rerata masa kerja 10.4 + 3.8 tahun, dengan masa kerja terbanyak 6 – 10 tahun (58.59%). Masa kerja 16 – 20 tahun terjadi peningkatan risiko nyeri punggung bawah sederhana sebesar 12 kali lipat. Pada uji multivariat masa kerja tidak berpengaruh terhadap nyeri punggung bawah sederhana, keadaan ini disebabkan oleh healty worker effect. Kesehatan pekerja bersifat relatif karena tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi fisik (kekuatan otot) pekerja saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kesehatan awal saat pekerja mulai bekerja dan faktor sosial ( kebutuhan untuk bekerja dan terus diperkerjakan).16 Pekerja melakukan istirahat kecil secara tidak bersamaan, tergantung periode pekerjaannya. Sebagian besar pekerja melakukan istirahat kecil setelah bekerja 15 menit (57.81%). Pekerja yang melakukan istirahat kecil setelah periode kerja selama 15 menit mengalami peningkatan risiko nyeri punggung bawah sederhana sebesar tiga kali lipat. Timbulnya nyeri punggung bawah sederhana tidak hanya akibat dari faktor istirahat kecil saja tetapi juga beban kerja, usia dan kekuatan otot. Sehingga pada multivariate faktor istirahat kecil tidak berpengaruh terhadap peningkatan nyeri punggung bawah sederhana. Sikap tubuh bekerja sesuai dengan penelitian Keyserling, sikap fleksi kuat meningkatkan risiko terjadinya nyeri punggung bawah sederhana. Pada fleksi kuat maka momen gaya yang diterima oleh otot lebih dari 50% sehingga memudahkan terjadinya trauma atau cidera di daerah punggung bawah. Rerata nilai lifting index dan composite lifting index adalah 1.8 + 0.5 berkisar antara 0.7 sampai dengan 2.8 dan 6.3 + 2.2 berkisar antara 1.9 sampai dengan 9.8. Nilai composite lifting index lebih dari 3.0 akan meningkatkan risiko terjadinya nyeri punggung bawah sederhana sebesar 36 kali lebih besar, keadaan ini sesuai dengan penelitian Waters (2004). Peningkatan risiko nyeri punggung bawah dari nilai composite lifting index dapat terlihat jelas dari komponen lifting index didalamnya. Komponen lifting index yang berpengaruh besar terhadap nyeri punggung bawah adalah komponen vertikal, asimetri dan horisontal. Komponen vertikal (Vertical multiplier) < 0.89 (V < 40 cm atau V > 110 cm) meningkatkan risiko nyeri punggung bawah sebesar 39 kali lipat. Karena ketinggian benda di atas bahu (> 110 cm) dan di lantai (< 40 cm) maka didapatkan pengurangan RWL sebesar 22.5 %, pengurangan RWL akan berakibat terhadap peningkatan nilai lifting index pekerja. Pekerja dengan komponen asimetri (asymmetri multiplier) < 0.9 atau berputar lebih dari 30o yang terkena nyeri punggung bawah sederhana sebesar 88.89% dan terjadi peningkatan risiko nyeri punggung bawah hampir sebesar 25 kali lipat. Karena gerakan tubuh berputar lebih dari 30o akan menimbulkan regangan yang tinggi pada ligamentum kapsularis faset yang memungkinkan terjadinya dislokasi sendi faset.

Page 109: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 9

Komponen horisontal (horisontal multiplier) kurang dari 0.63 lebih banyak mengalami nyeri punggung bawah sederhana (52.22 %) dan terjadi peningkatan nyeri punggung bawah sederhana sebesar delapan kali lipat. Karena semakin jauh benda yang diangkat dari tubuh maka momen gaya yang bekerja pada lumbal semakin besar, dan menimbulkan tekanan yang besar pada diskus intervertebralis di daerah lumbal. Keadaan ini akan memperbesar kemungkinan cidera punggung bawah KESIMPULAN dan SARAN Prevalensi nyeri punggung bawah sederhana di PT A sebesar 70.3%. Nyeri punggung bawah sederhana terutama dipengaruhi oleh faktor sikap fleksi kuat saat bekerja dan nilai composite lifting index > 3.0. Sikap fleksi kuat meningkatkan risiko nyeri punggung bawah sebesar 29 kali lipat dan nilai composite lifting index > 3.0 meningkatkan risiko nyeri punggung bawah sederhana sebesar 26 kali lipat. Faktor komponen lifting index yang menyebabkan peningkatan nyeri punggung bawah sederhana antara lain: komponen vertikal, asimetri dan horisontal. Komponen vertikal paling besar meningkatkan risiko nyeri punggung bawah sederhana. Timbulnya nyeri punggung bawah sederhana pada pekerja angkat angkut manual lebih disebabkan oleh faktor cara bekerja yang tidak ergonomi sehingga terjadi peningkatan nilai composite lifting index. Perlu dilakukan perbaikan cara angkat angkut yang ergonomi dengan pelatihan kerja ergonomi dan diberlakukannya SOP bekerja secara ergonomi. DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham C, Flynn T , Blake C. Low back pain and occupation among Irish health service workers.

Journal Occupational Medicine 2006; 56(7):447-454 2. Roland, M.O et al. Low Back Pain inAdult. The back book. London: The Stationary Office. (2002) 3. David G.B, Sam W.W, Scott D.B.Mechanical Disorder of the Spine. Low Back and Neck Pain 3rd

edition, Saunders,2004:229-240. 4. Trang H. Nguyen, David C. Randolph. Nonspecific low back pain and return to work. Health Care

Industry. American Family Physician, Nov 15, 2007 5. Last J.M, Wallace R.B. Public Health and Preventive Medicine. 13th edition, PrenticeHall International

Inc. London, 1992: 535-544 6. Stover H.S. Back Risk Factor: An Overview. Occupational Ergonomic. London and New York: 2000;

11:129-148 7. Adnan Siswarti, hubungan antara sikap tubuh waktu bekerja dengan nyeri punggung bawah pada perajin

pelat logam. Tesis .Program studi Kedokteran Kerja FKUI 2003 8. Ernawati. Analisis faktor yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja bagian

produksi bumbu makanan di pabrik X Purwakarta. Tesis Magister Sains , Program Studi Kedokteran Kerja. Jakarta 2001

9. Thomas R Waters,Vern Putz-Anderson, Arun Garg. Applications Manual For the Revised NIOSH Lifting Equation. NIOSH Publication No 94-110

10. Richard Sesek, Jennifer Tolbert. Slim RNLE A Simplified Lifting Method fro The Revised NIOSH Lifting Equation.

11. Don.B.C, Gunnar B.J, Bernard J. M. Method of Classifying and Evaluating Manual Work.Occupational Biomechanics ed 4th .2006; 7: 161 – 182

12. Mazloum A, Nozad H ,Kumashiro M. Occupational Low Back Pain among Workers in Some Small Sized Factories in Ardabil , Iran. Industrial Health 2006; 44: 135-139

13. Don.B.C, Gunnar B.J, Bernard J. M. Mechanical Work Capacity Evaluation.Occupational Biomechanics ed 4th .2006; 4: 53 – 71

14. Deyo AR, WeinsteinNJ. Low Back Pain. Primary Care. N. Engl J Med.2001;5: 363-370

Page 110: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 10

15. Rachel Sulvana. Nyeri punggung bawah pada pekerja perawatan golf di perusahaan x dan faktor – faktor berhubungan. Tesis Magister Sains. Program Studi Kedokteran Kerja FKUI. Jakarta 2005

16. Harvey Checkoway, Neil Pearce, David Kriebel. Issues of Study Design and Analysis. Research methods in occupational epidemiology. 2nd ed. By. New York (NY):. Oxford University Press; 2004; 78

Page 111: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 1

PENGGUNAAN SKALA STROKE SYIAH KUALA PADA PENDERITA STROKE SEBAGAI METODE DIAGNOSIS YANG CEPAT DAN AKURAT Syahrul*, Dessy R Emril*, Endang Mutiawati*, Suherman*

ABSTRACT Background. The computed tomography scan image is a consistent golden standard in determining diagnosis the kind of stroke. The computed tomography scan facility at the Zainoel Abidin Public Hospital Banda Aceh is only available very recently, while health delivery facilities in the districts and townships in the province of Aceh do not yet have such an important facility. Therefore, there is a need to have a diagnosis guideline such as an accurate and fast stroke scale representative for the provincial condition need currently, so that it helps the health service personnel to establish diagnosis and kind of stroke fast and accurately like the results of the computed tomography scan. Objective. This study is aimed to create a clinical guideline in the form of stroke scale which can help health personal to establish the diagnosis and the kind of stroke fast and accurately. Method. This is a cross-sectional study which is followed by creating a stroke scale to establish a diagnosis and the kind of stroke. This procedure is followed by diagnostic test to see the capability of the scale in diagnosing to differetciate the kind of stroke and comparing to the golden standardized computed tomography scan result of the brain. Result. The independent predictor on the kind of stroke are the Glasgow Coma Scale (p=0.0013), headache (p=0.22), vomiting (p=0.014), and diastolic pressure (p=0.024). The predictor of the kind of stroke is the total value of each component. The total score of the subject is 0,1,2,3,4,5 each has hemorrhage stroke probability 1.3%, 9.2 – 13.16%, 52,7 – 63.5%, 92.5 – 95.1% and 99.3%. Conclusion. A stroke scale was found consisting of four components. The probability of the kind of stroke is comparable to the increase of total score found. Key words : ischemic stroke, hemorrhage stroke, computed tomography scan, stroke scale ABSTRAK Latarbelakang.: Pencitraan CT scan merupakan standar baku emas dalam menentukan diagnosis dan jenis stroke. Hingga saat ini, fasilitas CT scan baru tersedia di RSU Zainoel Abidin Banda Aceh, sedangkan pusat-pusat pelayanan kesehatan tingkat kabupaten/kota lainnya di Aceh belum memiliki peralatan yang sangat penting ini. Untuk itu diperlukan sebuah panduan diagnosis berupa sebuah skala stroke yang cukup akurat, dan representatif untuk kondisi di Aceh saat ini. Sehingga dapat membantu menegakkan diagnosis dan jenis stroke dengan akurat dan cepat seperti layaknya hasil CT scan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuat sebuah panduan klinis berupa sebuah skala stroke yang dapat membantu menegakkan diagnosis dan jenis stroke dengan cepat dan akurat. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilanjutkan dengan pembuatan sebuah skala stoke untuk menentukan diagnosis dan jenis stroke. Kemudian dilakukan suatu uji diagnostik untuk menilai kemampuan dari skala tersebut dalam mendiagnosis jenis stroke dengan baku emas hasil pemeriksaan CT scan kepala. Hasil: Prediktor independen terhadap jenis stroke adalah Skala Koma Glasgow (p=0.0013), nyeri kepala (p=0.22), muntah (p=0.014) dan tekanan darah diastolik (p=0.024). Skala prediktor jenis stroke adalah total nilai masing-masing komponen. Subjek total skor 0,1,2,3,4,5 masing-masing memiliki probabilitas stroke perdarahan 1.3%, 9.2 – 13.16%, 52,7 – 63.5%, 92.5 – 95.1% dan 99.3%. Kesimpulan. Didapatkan sebuah skala stroke yang terdiri dari empat komponen probabilitas jenis stroke sebanding dengan peningkatan total skore yang didapat. Kata kunci. stroke iskemik, stroke perdarahan, CT scan, skala stroke

Page 112: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 2

* Staf Bagian Neurologi FK Universitas Syiah Kuala/ RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

PENDAHULUAN

Stroke merupakan suatu sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologi fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. 1

Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia setelah penyakit jantung dan kanker. Angka kematian akibat stroke diperkirakan 6,54 juta orang/tahun di seluruh dunia (9,5%). Dua pertiga dari kematian tesebut terjadi dinegara berkembang termasuk di Indonesia. 2 Di Indonesia meskipun belum ada penelitian epidemiologis yang sempurna, angka kejadian stroke terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari beberapa laporan bervariasi antara 60-85% adalah stroke iskemik, dengan faktor risiko utama hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus dan perokok. 3,4 Tahun 1998 jumlah penderita stroke yang di rawat di RSU Dr. Zainoel Banda Aceh adalah 207 penderita dari 723 penderita yang dirawat di bangsal neurologi.5

Jenis stroke terbanyak adalah stroke iskemik sekitar 80%,6 hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, riwayat TIA (transient ischemic attack) dan riwayat stroke merupakan faktor risiko utama stroke yang telah lama diketahui,7,8 Stroke iskemik berhubungan dengan kekurangan aliran darah pada jaringan otak karena adanya mekanisme trombosis, emboli, dan berkurangnya perfusi sistemik.6 Stroke perdarahan adalah perdarahan di parenkim otak yang dapat meluas ke intaventrikel dan atau ruang subarakhnoid. Perdarahan terjadi karena rupturnya arteri penetrasi kecil yang berasal dari pembuluh darah di otak. 9

Membedakan stroke iskemik dengan stroke perdarahan adalah langkah yang paling penting karena penatalaksanaannya berbeda. Baku emas untuk membedakan antara kedua jenis stroke ini adalah pemeriksaan CT scan. Tetapi sayangnya tidak semua pasien stroke dapat menjalani pemriksaan CT scan. Di Indonesia, peralatan CT scan hanya terdapat di kota-kota besar. Keterbatasan sosial ekonomi masyarakat juga merupakan kendala untuk dilakukannya pemeriksaan CT scan. Dengan semua keterbatasan tersebut, teknik diagnosis klinis akan sangat berperan dalam menegakkan diagnosis dan jenis atau tipe stroke.

Sistim skoring atau skala prediktor berdasarkan data klinis yang diperoleh dari pemeriksaan saat pasien datang dapat membantu membedakan antara stroke iskemik dengan stroke perdarahan. Beberapa sistim yang telah diformulasikan adalah Allen score, Siriraj stroke score, dan Besson score. 10 Sistem skoring ini tidak dapat diterapkan pada semua pasien karena berhubungan dengan insiden dan keluaran. Sistem skoring yang telah ada inipun mungkin agak rumit dan menyulitkan para dokter terutama yang tidak terlatih di bidang neurologi dalam penerapannya. Tidak semua komponen yang terdapat dalam sistim tersebut dapat diperiksa atau dinilai karena kertebatan fasilitas. Ditambah lagi dengan masih rendahnya status sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat yang semakin mempersulit untuk diterapkannya semua sistem tersebut. Sehingga sangat diperlukan sebuah skala prediktor baru yang reprensentatif untuk kondisi di saat ini.

Page 113: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 3

METODE Disain penelitian merupakan suatu studi potong lintang yang dilanjutkan dengan pembuatan sebuah skala prediktor untuk menentukan jenis stroke. Kemudian dilakukan uji diagnostik terhadap skala preditor tersebut dengan baku emas hasil pemeriksaan CT scan kepala. Penelitian dilakukan di ruang rawat inap RSU Dr. Zainoel Abididn, RS Iskandar Muda, RS Harapan Bunda, RS Malahayati, dan RS Tgk Fakinah Banda Aceh dari bulan Mei 2006 sampai dengan bulan Oktober 2006. Populasi penelitian yaitu seluruh penderita stroke iskemik dan perdarahan yang dirawat di ruang rawat inap pada rumah sakit tempat penelitian tersebut. Kriteria subyek penelitian adalah penderita stroke iskemik dan perdarahan yang dirawat di ruang rawat inap. Diagnosis stroke ditegakkan oleh dokter spesialis saraf. Termasuk dalam kriteria eksklusi penderita dengan penyakit keganasan sebagai penyerta, hasil CT scan kepala tidak sesuai dengan gambaran stroke iskemik atau perdarahan dan usia > 80 tahun. Sampel penelitian diambil dari penderita stroke iskemik dan perdarahan yang dirawat di lima rumah sakit di Banda Aceh. Dari data penelitian sebelumnya didapatkan bahwa jumlah penderita stroke iskemik adalah 80% dari keseluruhan penderita stroke yang dirawat di RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Sehingga didapatkan perhitungan besar sampel sebabagi berikut: N = Z α2 . P.Q

L2

α = tingkat kemaknaan = 0.05 , zα = 1.96; P = proporsi penyakit = 0.8; Q = 1 – P = 0.62; L = tingkat kemelesetan yang dapat ditolerir = 10% Maka n = 1.96 x 1.96 x 0.8 x 0.2 = 61.4 ~ 62 (0.1)2

Besar sampel ditambah 20% menjadi 74. Jadi dalam penelitian ini besar sampel yang dibutuhkan adalah 50 subyek stroke iskemik dan 24 subyek stroke perdarahan.

Cara kerja yang dilaksanakan adalah pasien dengan gejala stroke dilakukan pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologi oleh doketr spesialis saraf. Bila dokter menegakaan diagnosis suspek stroke terhadap subyek, maka selanjutnya subyek akan menjalani pemeriksaan funduskopi oleh dokter spesialis saraf, pemeriksaan laborotorium, rontgen dada, elektrokardiografi (EKG), dan pemeriksaan CT scan kepala. Dilakukan pencatatan data identitas subyek, hasil pemeriksaan fisik umum dan neurologi, hasil pemeriksaan funduskopi pemeriksaan laborotorium, rontgen dada, EKG, dan hasil pemeriksaan CT scan kepala. Pada pemeriksaan CT scan kepala dilihat apakah terdapat lesi struktural intrakranial berupa lesi iskemik, infark, atau perdarahan. Bila hasil CT scan kepala normal (tidak ada lesi struktural), tetapi gejala klinis sangat mendukung diagnosis stroke, maka subyek tetap didiagnosis menderita stroke iskemik (karena lesi iskemik/infark bisa baru terlihat setelah tiga hari awitan). Bila hasil CT scan menunjukkan adanya lesi bukan iskemik/infark atau perdarahan ( misalnya tumor, infeksi, dan lainnya) maka subyek tersebut dikeluarkan dari sampel penelitian. Data dikumpulkan secara manual dengan menggunakan formulir penelitian yang telah disediakan. Dilakukan proses editing dan koding. Kemudian dilakukan pengolahan data dengan menggunakan paket program SPSS versi 10.0 dan STATA 6.0. Hasil yang telah diolah disajikan dalam bentuk narasi dan tabular. Ukuran statistik yang digunakan

Page 114: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 4

adalah rerata (mean) dan standard deviation (SD) dengan interval kepercayaan 95%. Dilakukan penghitungan OR dan nilai kemaknaan (nilai p) terhadap beberapa faktor risiko yang sudah didata.

Nilai kemaknaan dari hubungan antara dua variabel kualitatif akan dinilai dengan uji Chi square, sedangkan hubungan antara variabel kualitatif dan kuantitatif dinilai dengan uji t test 2 sampel independen. Kemudian dilakukan analisa multivariat untuk mendapatkan model yang memiliki hubungan lebih kuat dengan variabel dependen. Model yang terbukti sebagai prediktor independen dimasukkan sebagai komponen skala stroke. Skala stroke tersebut akan diberi nama Skala Stroke Syiah Kuala. Dilakukan uji diagnostik terhadap skala stroke yang telah dibuat dengan baku emas pemeriksaan CT scan.

HASIL dan DISKUSI Telah dilakukan penelitian dari bulan Mei 2006 sampai dengan November 2006, didapatkan 86 sampel yang memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari 64 kelompok iskemik dan 22 kelompok perdarahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa subyek laki-laki lebih banyak dari pada wanita. Rentang umur antara 25 tahun sampai dengan 76 tahun, dengan jumlah sampel terbanyak pada kelompok umur 50-59 tahun (56.47%). Tabel 1. Sebaran karakteristik demografik subyek

Dari data di atas terlihat bahwa subyek yang berusia di bawah 50 tahun menunjukkan jumlah yang cukup signifikan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa penderita stroke jarang yang berumur di bawah 50 tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh pergeseran gaya hidup masyarakat yang cenderung menyebabkan risiko penyakit serebrovaskuler semakin meningkat pada usia yang lebih muda.

Kharakteristik demografik Jumlah Persen(%)

Jenis kelamin Laki-laki Wanita

55 31

63.95 36.05

Kelompok umur 60 + thn 50 – 59 thn

< 50 thn

17 48 21

19.76 56.47 24.71

Page 115: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 5

Tabel 2. Sebaran karakteristik medik subyek penelitian

Karakteristik medik Jumlah Persen (%) Nyeri kepala Ya 51 59.31 Tidak 35 40.69 Muntah Ya 17 19.77 Tidak 69 80.23 Kejang Ya 11 12.79 Tidak 75 87.21 Riwayat hipertensi Ya 64 74.41 Tidak 17 20.99 Riwayat diabetes melitus Ya 47 54.65 Tidak 39 45.35

Tabel sebaran karakteristik medik subyek (tabel 2) menunjukkan lebih dari setengah subyek (59.31%) mengalami nyeri kepala. Hanya 19.7% subyek mengalami muntah, dan 12.79% subyek mengalami kejang. Dari data tersebut terlihat bahwa tidak hanya penderita stroke perdarahan yang mengalami nyeri kepala, tapi juga penderita stroke iskemik. Nyeri kepala pda penderita stroke hemoragik umum dijumpai. Hal ini dapat disebabkan oleh iritasi pada pembuluh darah yang peka nyeri dan karena peningkatan tekanan intrakranial. Pada penderita stroke iskemik nyeri kepala dapat terjadi karena peningkatan tekanan darah atau sebagai suatu nyeri kepala yang bersifat primer.11 Sebagian besar subyek (74.41%) memiliki riwayat hipertensi. Studi epidemilogi menunjukkan bahwa 70-80% pasien stroke memiliki riwayat hipertensi. Insiden stroke perdarahan memang sering dijumpai pada penderita hipertensi kronik, karena terjadi arteropati hipertensif sehingga mudah terjadi ruptur spontan. 11 Tabel 3. Sebaran jenis stroke subyek penelitian

Jenis Stroke Jumlah Persen (%) Iskemik 64 74.42 Perdarahan 22 25.58

Page 116: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 6

Tabel 4. Nilai rata-rata dan simpangan deviasi (SD) variabel subyek (n=86)

Variabel Mean SD 95%CI

Low High Umur 59.31 12.144 53.01 56.87 Onset (jam) 15.37 22.54 10.63 16.31 Skala Koma Glasgow 14.23 1.99 11.54 12.74 Sistolik 151.67 29.64 144.83 186.94 Diastolik 88.2 16.79 86.2 109.4 Suhu tubuh 37.07 0.63 36.94 37.19 Gula darah sewaktu 134.24 35.34 127.17 141.31

Nilai rata-rata variabel numerik dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4. Hubungan Faktor Penentu dengan jenis stroke Analisis bivariat untuk variabel numerik dilakukan memakai uji t. Dari hasil analisis terlihat bahwa variabel yang memiliki perbedaan rerata bermakna dengan jenis stroke adalah Skala Koma Glasgow (SKG) dan gula darah sewaktu (tabel 5.) Tabel 5. Perbedaan nilai rata-rata variabel menurut jenis stroke

Variabel Iskemik Perdarahan P Mean SD Mean SD

Umur subyek 56.84 9.14 53.98 9.80 0.172 0nset 11.66 12.67 14.38 14.93 0.307 SKG 9.25 2.69 13.58 1.89 0.000 Sistolik 183.44 31.17 179.53 29.52 0.550 Diastolik 107.81 21.96 105.00 18.94 0.517 MAP 131.91 22.23 129.33 20.71 0.576 Suhu tubuh 37.23 0.67 36.98 0.60 0.067 GDS 146.53 30.87 128.09 36.05 0.015

Tabel 6. Hubungan faktor penentu dan jenis stroke

Faktor penentu CT Scan P OR

95% CI Iskemik perdarahan Low High

Jenis kelamin Laki-laki Wanita

34 17

22 13

0.738

1.19

0.42

3.33

Kelompok umur 60 + thn 50 – 59 thn < 50 thn

14 30 13

5 15 9

0.46

1.29

0.61

2.56

Hipertensi Ya Tidak

38 16

21 5

0.58

1.16

0.67

1.95

Page 117: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 7

Diabetes Melitus Ya Tidak

28 29

18 11

0.18

1.30

0.87

1.93

Nyeri kepala Ya Tidak

26 26

20 8

0.021

4.25

1.24

14.58

Muntah Ya Tidak

10 44

12 15

0.016

4.55

1.32

15.72

Kejang Ya Tidak

10 46

24 6

0.48

0.45

0.04

4.1

S K G 14-15 <14

49 18

8 11

0.0013

5.62

1.44

22.07

Sistolik = <180 >180

46 19

11 8

0.29

2

0.55

7.26

Diastolik ≥ 95 < 95

41 15

15 15

0.022

3.6

1.17

11.06

Analisis bivariat terhadap variabel karakteristik dilakukan dengan menggunakan

uji chi square. Dari analisis diperoleh hasil bahwa variabel yang terbukti bermakna sebagai faktor penentu keluaran jenis stroke (p<0.05) adalah riwayat diabetes melitus (p= 0.18), nyeri kepala (p= 0.021, muntah (0.016), SKG (p= 0.0013), dan tekanan darah diastolik (p=0.022) Untuk mengetahui variabel yang menjadi prediktor independen, dilakukan analisis multivariat metode enter. Variabel dengan nilai p < 0.25 dimasukkan sebagai model (tabel 7).

Page 118: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 8

Tabel 7. Analisa multivariat enter menurut jenis stroke

Faktor penentu Bivariate Multi variate

OR Low High OR Low High P Diabetes Melitus Ya Tidak

1.30

0.87

1.93

0.54

0.06

4.68

0.579

Sakit kepala Ya Tidak

4.25

1.24

14.58

8.42

1.33

53.44

0.022

Muntah Ya Tidak

4.55

1.32

15.72 9.43 1.84 22.86 0.015

S K G 14-15 <14

5.62

1.44

22.07 10.45 2.73 40.03 0.001

Diastolik ≥ 95 < 95

3.6

1.17

11.06 6.39 1.31 31.26 0.024

Hasil analisis multivariat metode enter menunjukkan bahwa variabel yang terbukti sebagai prediktor independen terhadap jenis stroke adalah SKG, muntah, nyeri kepala, dan tekanan darah diastolik > 95 mmHg. SKG selalu terbukti sebagai prediktor independen pada beberapa penelitian yang pernah dilaporkan. Dalam penelitian ini SKG hanya dikelompokkan ke dalam dua bagian karena dengan nilai SKG < 14 dianggap sebagai penurunan kesadaran. Subyek dengan SKG 14-15 dianggap dalam kondisi kompos mentis atau sadar dan dan SKG dibawah 14 dianggap somnolen. Muntah pada penderita stroke merupakan salah satu tanda terjadinya peningkatan tekanan intrakranial karena bertambahnya volume otak oleh masa darah dan edema. Nyeri kepala dapat terjadi karena iritasi pada pembuluh darah yang mengalami ruptur atau karena peningkatan tekanan intrakranial. Skala prediktor (skor) jenis stroke Berdasarkan kekuatan hubungan antara keempat prediktor independen tersebut dengan jenis stroke maka dapat dibuat skala prediktor atau skoring untuk masing-masing prediktor tersebut. SKG merupakan prediktor yang memiliki hubungan paling bermakna dengan jenis stroke, sehingga diberi nilai skala paling tinggi. Sedangkan muntah, nyeri kepala, dan tekanan diastolik memilki nilai kemaknaan yang hampir sama sehingga diberi nilai skala yang sama. Jumlah skoring minimal adalah 0 dan maksimal adalah 5.

Page 119: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 9

Tabel 8. Skala prediktor jenis stroke

Prediktor Skoring Stroke

S K G < 14 2 14 -15 0 Nyeri kepala Ya 1 Tidak 0 Muntah Ya 1 Tidak 0 Diastolik ≥ 95 mmHg 1 < 95 mmHg 0

Tabel 9. Probabilitas stroke perdarahan berdasarkan total skoring

Total skoring Probabilitas perdarahan (%) 0 1.3 1 9.2 – 13.16 2 52.7 – 63.5 3 84.2 – 90.6 4 92.5 – 95.1 5 99.3

Dari tabel 9 terlihat bahwa subyek dengan total skoring minimal 0 (nol) probabilitas mengalami stroke perdarahan adalah 1.3%, sedangkan subyek dengan total skoring maksimal 5 (lima) probabilitas mengalami stroke perdarahan adalah 99.3%. Probabilitas stroke perdarahan meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor Penelitian ini telah mendapatkan sebuah skala prediktor atau skor stroke baru yang terdiri dari 4 komponen yaitu SKG, nyeri kepala, muntah, dan tekanan darah diastolik. Dibandingkan dengan skala stroke yang sudah pernah dibuat sebelumnya skala stroke ini lebih sederhana dan mudah diaplikasikan.

Siriraj stroke score terdiri dari 6 komponen. Komponen kesadaran tidak dibuat dalam bentuk skala objektif SKG sehingga ada kemungkinan terjadi perbedaan interpretasi pada pemeriksa. Komponen ateroma yang merupakan riwayat penyakit sebelumnya belum tentu bisa dijawab dengan tepat oleh pasien atau keluarganya, sehingga berpengaruh terhadap skoring yang dihasilkan nantinya. 12 Beberapa skala stroke lainnya mencantumkan penilaian reflek patologi dan pemeriksaan fundus okuli. Untuk dokter umum yang belum terlatih melakukan pemeriksaan tersebut bisa

Page 120: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 10

menimbulkan kesalahan interpretasi hasilnya, sehingga akan mengalami kesulitan dalam penerapannya terutama untuk dokter umum.

Berdasarkan analisa tesebut, maka diharapkan skala stroke yang baru ini dapat diaplikasikan dengan hasil yang cukup akurat dan mudah digunakan. Skala stroke ini diberi nama Skala Stroke Syiah Kuala (Syiah Kuala Stroke Score). Tabel 10. Formulasi Skala Stroke Syiah Kuala

No Prediktor Skoring Stroke

Interpretasi Probabilitas (%) Stroke Perdarahan Skala Stroke Syiah Kuala

Total Skoring Stroke Probabilitas Stroke Perdarahan (%)

0 1.30 1 9.20 – 13.16 2 52.70 – 63.50 3 84.20 – 90.60 4 92.50 – 95.10 5 99.30

1 Skala Koma Glasgow < 14 14 -15

2 0

2 Nyeri kepala Ya Tidak

1 0

3 Muntah Ya Tidak

1 0

4 Diastolik ≥ 95 mmHg < 95 mmHg

1 0

Total 0 - 5 KESIMPULAN dan SARAN

Faktor-faktor yang berperan sebagai pediktor independen jenis stroke adalah SKG, nyeri kepala, muntah dan tekanan diastolik. Berdasarkan prediktor independen tersebut telah didapatkan sebuah formulasi baru yaitu skala prediktor untuk jenis stroke yang diberi nama Skala Stroke Syiah Kuala (Syiah Kuala Stroke Score). Probabilitas stroke perdarahan meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor. Skala stroke ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menegakkan diagnosis jenis stroke. Untuk dapat diterapkan dalam praktek klinik sehari-hari maka diperlukan uji validasi terhadap hasil penelitian ini. Penelitian di beberapa rumah sakit daerah lain juga diperlukan untuk menilai tingkat validitas hasil penelitian ini.. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi NAD-NIAS yang telah mendukung pembiayaan penelitian ini melalui DIPA BRR NAD-NIAS tahun 2006.

DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia. PERDOSSI, Jakarta, 1999 2. Smith E, Koroshetz WJ. Eidemiology of stroke. In Handbok of stroke prvention in clinical

practice. Humana Press, 2004 3. Andradi, S., Samino., Misbach, J. Current status of stroke problem in Indonesia, 2nd Asian-Pacific

symposium in stroke; 1983 4. Misbach, J., Andradi, S., Malik, MS. Laporan penelitian survey stroke di Jakarta suatu awal

penelitian masalah stroke di Indonesia menjelang tahun 2000. Pusat Litbang Depkes RI, Jakarta, 1995

Page 121: Neurona  Vol 27 No 2 Januari 2010

NEURONA Vol. 27 No. 2 Januari 2010 11

5. Syahrul, Yakob T, Meutiawati E. Faktor-faktor risiko stroke di Banda Aceh. Neurona, 2001; 18: 20-23

6. Caplan LR. Basic pathology, anatomy, and pathophysiology of stroke. In: Caplans’s Stroke: A clinical approach. 3rd ed, Butterworth Heinemann, 2000

7. Millikan, CH., Mc Dowell, F., Easton, JD. Risk factors in stroke (stroke profile). In : Stroke. Philadelphia, Lea & Febiger, 1987; 71-77

8. Schulte BPM. Neuroepidemiology of cerebrovascular disease : an overview. In: Copra JS, Jaganathan K, Sawhney IMS, eds. Advances in neurology. Amsterdam, Excerpta Medica, 1990; 3-22

9. Qureshi, Tuhrim S, Broderick J. Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Engl J Med; 2001; 344:145-60

10. BogousslavskyJ, Castiolo V. What is the place of clinical assesment in acute stroke management? In: Acute stroke treatment. Martin Dunitz Ltd, 1997

11. Fisher M. Stroke therapy. Second edition. Butterworth. Boston; 2001; 217-221 12. Poungvarin N, Viriyavejakul A, Komontri C. Siriraj stroke score and validation study to

distinguish supratentorial intrscerebral haemorrhage from infarction. BMJ 1991;302: 1565-7.