Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar...
-
Upload
truongkien -
Category
Documents
-
view
234 -
download
0
Transcript of Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar...
NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM
KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Disusun Oleh:
Abdul Aziz Azamzami
NIM: 104033201076
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008./1429 H.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa;
1. Skripsi ini merupakan hasil karya penulis yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya penulis
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 11 Desember 2008 M
13 Dzulhijjah 1429 H
Abdul Aziz Azamzami
������ �� �� �������
��������
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT. Dialah sumber tempat bersandar, dialah sumber dari kenikmatan hidup
yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya sehingga penulis
diberikan kekuatan yang begitu melimpah dari kekuatan fisik hingga psikis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “NEGARA KESEJAHTERAAN
DALAM KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB.”
Shalawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat, dan para pengikutnya yang
telah membuka pintu keimanan yang bertauhid dan kebahagiaan, kearifan hidup
manusia, dan pencerahan atas kegelapan manusia yang dijadikan sebagai sebuah
pembelajaran bagi umat muslim hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi syarat akhir untuk mencapai
Gelar Sarjana Sosial (S1) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Selama penyusunan Skripsi ini, penulis banyak sekali bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. Agus Darmaji, MFils dan Ibu Wiwi Siti Sajaroh, MAg selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universita Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Sirojuddin Aly, MA selaku dosen pembimbing atas
kesebaran, kritik, saran-saran yang diberikan kepada penulis selama
menyusun skripsi ini.
4. Seluruh Dosen dan Staf pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik
Islam, atas segala pengetahuan, bimbingan, dan dorongan, wacana,
wawasan, dan intelektualitas yang telah “ditularkan” kepada penulis
selama menempuh studi. Seluruh Staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis
dalam pencariaan literatur yang diperlukan.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda K. H. Nahrawi, dan Ibunda Hj.
Bahriah, terima kasih atas kasih sayang dan dukungan yang diberikan baik
moril maupun materil. Semoga Allah Swt. selalu melindungi dan
memberikan kasih sayang kepada mereka, sebagaimana mereka
mencurahkan semua itu kepada penulis.
7. Kakakku Abdul Kholik, dan Musyarofah, dan adik-adikku Humaero,
Ahmad Kholil, dan Saeful Maki, yang selalu memberikan kritik, saran-
saran dan do’a kapada penulis.
8. Keluarga besar bapak H. Suwarno S.H dan Hj. Nini Warsini S. H, M. H,
beserta Muhammad Adib Adam dan Dini Rahmawati yang banyak
memberikan semangat dan dorongan bagi penulis untuk cepat
menyelesaikan skripsi.
9. Dinar Wardani (Nontz), dialah sang bintang yang paling bersinar di dalam
hati penulis di antara jutaan sinar bintang yang ada. Serta yang paling
dekat merasakan jatuh-bangun penulis dalam pembuatan skripsi ini.
10. Bang Soim “Mbah Satria”, yang selalu bersedia untuk diajak berdiskusi
ketika penulis mengalami “kebuntuan” untuk menulis skripsi ini, dan
memberikan pinjaman buku, mudah-mudahan Allah Swt. membalas
kebaikannya. Serta semua teman-teman FORMAL (Forum Mahasisawa
Lirboyo), yang banyak memberikan kontirbusi dalam pembentukan
intelektualitas penulis, dan teman-teman di HMI (Himpunan Mahasisawa
Islam).
11. Sahabat-sahabatku, Fahmi Irfani, Nafi, Yusri, bim-bim, Abay, Aris, Agus,
Acu, Ghozy, wulan, Dedi Supriadi, yang selalu mewarnai kehidupan
penulis selama menjalankan studi di Kampus Hijau UIN Jakarta,
merekalah yang menjadi teman diskusi ketika penulis mulai kehilangan
semangat, serta dorongan, dan kritik mereka merupakan pemacu bagi
penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-temanku di Jurusan Pemikiran Politik Islam angkatan 2004, Dika,
Ulmanto, Mulyani, Rahmat, Demank, Dedi, Imam, Iman, Ikhsan, Dini,
Ipeh, Inem, Ray, Iin Handayani, Hayat, Rosi, Yunus, terima kasih atas
kerjasamanya selama menjalankan studi.
13. Teman-teman kostanku, Zane, Vera, Lulut, Boby, Siska, Iwan, Iim, Lina,
Hakim, atas semua dorongan, do’a dan kritik mereka kepada penulis.
Skripsi ini tentu saja bukan karya yang sempurna dan bebas dari
kesalahan, karena itu, masukan-masukan dari para pembaca untuk perbaikan di
masa mendatang sangat penulis nantikan. Penulis mohon ampun-Nya atas segala
kesalahan.
Karya ini penulis dedikasikan kepada semua orang yang selalu
merindukan adanya peranan negara dalam pembangunan kesejahteraan warga
negaranya. Terakhir, hanya kepada Allah lah semua dikembalikan. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat adanya. Amin.
Ciputat,11 Desember 2008 M
13 Dzulhijjah 1429 H
Abdul Aziz Azamzami
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...v
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1
B. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………………..……7
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………..……8
D. Metode Penelitian……………………..……………………………....8
E. Sistematika Penulisan………………………………………………....9
BAB II KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN …….…….………...….11
A. Pengertian Negara Kesejahteraan………………..…………………..11
B. Negara Kesejahteraan Dalam Praktek Pada Masa Rasulullah Saw….16
1. Kondisi Negara Madinah Pada Awal Pembentukkannya…………16
2. Sumber-sumber Pendapatan Negara Madinah …………………....20
C. Negara Kesejahteraan Dalam Perspektif Barat………………………27
1. Kebijakan Sistem Negara Kesejahteraan Modern …………….…36
BAB III KEPEMIMPINAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB ……….45
A. Biografi Khalifah Umar bin Khattab……………………..………. 45
B. Negara Madinah Di Bawah Kepemimpinan Umar……………...…61
BAB IV NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM KEPEMIMPINAN
UMAR BIN KHATTAB …………………………………………67
A. Kebijakan-kebijakan Politik Umar Dalam Mewujudkan
Kesejahteraan …………………………………….……...……….. 67
1. Pendirian Baitul Mal....................................................................68
2. Pendirian Al-diwan…………………………………...……...….73
B. Model Negara Kesejahteraan Islam Periode Umar ………………..76
C. Sumber-sumber Pendapatan Negara Pada Periode Umar …………80
D. Jaminan Sosial Pada Era Pemerintahan Umar……………………. 92
BAB V PENUTUP…………………………………………………………..…97
A. Kesimpulan………………………………………………………...97
B. Saran-saran…………………………………………………………99
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...….100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertanyaan awal ketika berbicara tentang negara kesejahteraan adalah
bagaimana mendefinisikan konsep negara kesejahteraan itu sendiri, karena negara
kesejahteraan bukanlah sebuah konsep dengan pendekatan yang baku. Negara
kesejahteraan sering ditengarai dari atribut-atribut kebijakan pelayanan sosial dan
transfer sosial yang disediakan negara kepada warganya, seperti pelayanan
pendidikan, lapangan pekerjaan, pengurangan kemiskinan, sehingga negara
kesejahteraan dan kebijakan sosial sering diidentikan.1
Saat ini upaya untuk mentransformasikan gagasan konsep negara
kesejahteraan begitu urgen. Faktor utama yang mendorong mengapa konsep
negara kesejahteraan begitu urgen dan secepat mungkin harus direalisasikan
karena didasarkan pada fakta bahwa di negara-negara berkembang saat ini tingkat
kemiskinan kian hari kian memperihatinkan. Peran negara yang semakin
berkurang di sektor publik seiring dengan berjalannya proses demokratisasi,
segala sesuatu yang bukan menjadi urusan negara akan diserahkan kepada
masyarakat. Sebagai salah satu contoh misalnya ialah privatisasi beberapa
perguruan tinggi negeri, rumah sakit dan perusahaan-perusahan milik negara.
Tim Peneliti PSIK dalam bukunya ”Negara Kesejahteraan dan
Globalisasi”, mengutip dari buku Adam Smith, yang berjudul “An Inquiry into
1 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES, 2006), h. 8.
the Nature and the Causes of the Wealth of Nation”, menjelaskan bahwa ada dua
tugas utama yang menjadi tanggung jawab negara. Pertama, negara memiliki
kewajiban untuk menciptakan sebuah rasa aman bagi setiap warga negaranya dari
ancaman dalam bentuk apa pun. Kedua, kewajiban negara harus mendorong dan
menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi semua warga negara. Faktor keamanan
biasanya menjadi pilar utama bagi terwujudnya kesejahteraan sosial.2 Jadi
keamanan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang sangat sulit untuk
dipisahkan, situasi sosial dan politik yang tidak stabil akan menyulitkan
terciptanya kesejahteraan sosial, dan situasi keamanan sulit untuk terwujud bila
suatu negara warganya tidak memiliki jaminan kesejahteraan sosial.
Mimpi akan terciptanya sebuah negara yang ”budiman”, yakni sebuah
negara yang kuat namun mencurahkan kuasanya untuk memenuhi dan melindungi
hak-hak warganya, dan negara yang berdaya dan peduli terhadap kebutuhan-
kebutuhan dasar sosial-politik-ekonomi warga negaranya. Namun, setelah tiga
dasawarsa lebih, negara lebih sering diidentikan dengan wajah bengisnya, angan-
angan tentang sebentuk negara yang kuat dan budiman bisa menjadi bahan
”cemooh.” Tidak bisa dipungkiri lagi ruang publik didominasi oleh wacana
“emoh negara” atau “state denial”. Negara seolah-olah berasosiasi dengan segala
keburukan. Di ranah ekonomi, negara berkonotasi dengan kolusi, inefisiensi dan
nepotisme; di ranah birokrasi, negara bergandeng makna korupsi; sedangkan
dalam ranah politik, negara disandingkan dengan aneka bentuk pelanggaran hak-
2 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi:
Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas
Paramadina, 2008), h. 16.
hak asasi manusia. Sebuah reputasi buruk yang seolah memberikan legitimasi bagi
pelucutan kapasitas dan peran negara.3
Pengalaman empiris negara-negara Eropa dengan demikian merupakan
sumber telaah yang menarik dan penting. Perjalanan negara kesejahteraan Eropa
yang dimulai dari era Otto Van Bismarck pada tahun 1883 hingga awal abad ke-
21 ini telah menggambarkan pengalaman empiris yang kaya tentang bagaimana
negara menjalankan peran kesejahteraan dan beradaptasi dengan tantangan-
tantangan eksternal dan internal yang terus berubah. Eksperimen yang dilakukan
negara-negara Eropa Barat dan Utara melalui format negara kesejahteraan tersebut
menunjukkan bahwa negara mampu memikul peran yang aktif dalam
pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja yang luas, sistem kesehatan
dan pendidikan yang terjangkau oleh warga, serta jaminan sosial yang universal.
Hal ini membuktikan bahwa negara kesejahteraan (walfare state) merupakan
bentuk paling riil dari angan-angan tentang ”negara budiman”.4
Berbicara mengenai kesejahteraan, secara normatif konsep kesejahteraan
dalam ajaran Islam sangat jelas dan gamblang. Walaupun masih agak sulit untuk
mendapatkan definisi yang jelas mengenai konsep kesejahteraan dari sudut
pandang Islam. Apalagi jika dikaitkan dengan pengertian dalam khazanah ilmu-
ilmu sosial modern. Meskipun demikian tidak bisa dikatakan bahwa Islam tidak
memiliki pandangan tentang kesejahteraan sosial. Berdasarkan pada realitas
perkembangan masyarakat Islam sendiri, di mana masyarakat Islam juga menjadi
bagian dari masyarakat dunia yang secara evolutif berkembang dari masyarakat
agraris dan kemudian menjadi masyarakat industri. Konsekuensi dari tahapan
3 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 1-2.
4 Ibid., h. 4.
perkembangan masyarakat yang terjadi di Barat inilah yang kini turut mengubah
tatanan kehidupan sosial masyarakat Islam.5
Menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam pertama
merupakan sebuah langkah yang berilian yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad sulit untuk diterima
penduduk Makkah pada saat itu, dan kuatnya keyakinan penduduk Makkah akan
kepercayaan nenek moyang mereka kepada berhala (patung-patung) sebagai
Tuhan. Selain itu karena kondisi ekonomi masyarakat Makkah yang kuat,
menimbulkan sikap kapitalistik dan sikap sombong, dan membanggakan
kekuasaan manusia. Sehingga ajaran Islam sulit untuk berkembang dan diterima
oleh masyarakat Makkah. 6
Sebuah revolusi tauhid yang digelontarkan oleh Nabi Muhammad telah
memberikan sebuah tamparan bagi para bangsawan Arab saat itu. Karena secara
horizontal menggusur tatanan sosial, politik, dan budaya tradisional. Revolusi
tauhid yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ternyata bukan hanya terletak pada
kalimat tiada “Tuhan selain Allah”nya namun pada implikasinya. Nabi
Muhammad yang dekat dengan kelompok-kelompok marginal, banyak
mengambil kebijakan-kebijakan yang menguntungkan orang-orang yang
terlemahkan (mustadh’afin) oleh sistem sosial-politik Arab saat itu. Oleh karena
itu, keberpihakan Nabi tersebut mengindikasikan adanya kebijakan-kebijakan
5 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h.
44-45.
6 Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika
Press, 2003), h. 42.
sosialnya yang secara substansial memiliki kedekatan “teoritik” dengan konsep
welfare state. 7
Melihat apa yang terkandung dalam semangat kebijakan welfare state,
terkandung nilai-nilai kerelaan dan ketulusan untuk membantu dan meringankan
beban orang miskin oleh kaum kaya. Nilai-nilai kesejahteraan yang terkandung
dalam Al-Qur’an merupakan tugas atau kewajiban umat Islam untuk
mengaplikasikannya dalam kehidupan bernegara atau sehari-hari, dan keadilan
merupakan faktor dasarnya. Hal itu merupakan perintah, maka perintah zakat bagi
orang Islam yang mampu merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan,
dan apabila perintah itu tidak dilaksanakan maka negara dalam hal ini yang
memiliki wewenang untuk mengambilnya secara “paksa”. Karena di dalam harta
yang kita miliki ada hak orang lain, yakni hak orang-orang fakir dan miskin.
Khalifah Umar bin Khattab sebagai pemimpin negara Madinah pasca
kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khalifah Abu Bakar, berhasil melakukan
perluasan penaklukan (futuhat) wilayah-wilayah. Luasnya wilayah-wilayah yang
berada di bawah pemerintahan Madinah, memaksa Khalifah Umar bin Khattab
untuk ekstra ketat ketika memilih pejabat-pejabat yang akan memimpin wilayah-
wilayah hasil penaklukan. Karena dikhawatirkan terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan, maka salah satu hal terpenting yang harus dilakukan Khalifah Umar
bin Khattab adalah melakukan pengawasan terhadap tata cara para pejabatnya
dalam memperlakukan penduduk dan Baitul mal atau perbendaharaan umat,
sehingga Khalifah Umar bin Khattab memberlakukan suatu kontrol khusus
7 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi,
h.46
terhadap para pejabat pemerintahan dan mencatat kekayaan mereka pada
permulaan penganggkatan mereka.8
Puncak sorotan mengenai diskursus welfare state dalam sejarah politik
Islam adalah pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, karena
Khalifah Umar telah berhasil menggariskan suatu sistem “politik ekonomi” yang
kemudian telah dipakai menjadi dasar politik ekonomi sehat di negara-negara
modern saat ini. Sistem politik ekonomi yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin
Khattab, yaitu penggunaan kekayaan negara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
yang sangat dan untuk mencukupi kebutuhan rakyat yang mendesak.9 Dalam arti
kesejahteraan rakyat sebuah negara merupakan hal yang mendasar yang harus
diwujudkan.
Baitul mal (kas negara) pada masa Khalifah Umar bin Khattab digunakan
untuk kesejahteraan umat Muslim, sehingga tunjangan bagi Khalifah Umar
sebagai kepala negara hanya dua potong pakaian musim panas dan sepotong
pakaian musim dingin, dan uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seperti
seorang Quraisy yang biasa. Hal ini menggambarkan bahwa baitul mal lebih
diperioritaskan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat, pertahanan dan
pembangunan.10
Pada masa Khalifah Umar pendapatan negara terbagi menjadi empat
bagaian; Pertama, pendapatan yang diperoleh dari zakat dan ushr yang dikenakan
terhadap muslim. Kedua, pendapatan dari Khumus dan sadaqah. Ketiga,
pendapatan yang diperoleh dari kharaj, fay, jizya, ushr dan sewa tanah-tanah milik
negara. Keempat, pendapatan dari sumber-sumber lainnya. Dari semua sumber
8 Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafat, (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 83-89.
9 A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 103.
10 Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan dan Al Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 191.
pendapatan negara ini pemerintahan Khalifah Umar memiliki pengaturan
distribusi yang sangat baik.
Fokus dari sebuah ide dasar negara kesejahteraan adalah bagaimana upaya
negara dalam mengelola semua sumber daya yang ada demi kesejahteraan
rakyatnya. Dalam hal ini kebijakan yang dilakukan atau dikeluarkan oleh negara
harus berlandaskan pada prinsip efisiensi dalam penggunaan sumber daya yang
dimiliki negara dan prinsip keadilan dan kesamaan dalam proses distribusi sumber
daya negara. Dalam desain negara kesejahteraan ada dua pertanyaan mengenai
kebijakan negara; Pertama, apa tujuan dari sebuah kebijakan?, Kedua, dengan
metode atau cara apa tujuan kebijakan negara dapat tercapai?.11
Prinsip-prinsip negara kesejahteraan saat ini, jelas dahulu pernah
dipraktekkan dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, walaupun bentuk
negara kesejahteraan saat ini yang dipraktekan oleh negara-negara Barat berbeda-
beda, akan tetapi tujuan dari semua negara kesejahteraan adalah adanya
tanggungjawab negara untuk menciptakan kesejahteraan warga negaranya lewat
fasilitas-fasilitas atau bantuan-bantuan yang diciptakan negara untuk warganya
yang lemah (miskin).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, agar jangkauan skripsi ini lebih terarah,
maka penulis dalam pembahasannya akan membahas permasalahan skripsi ini
pada: model negara kesejahteraan dalam kepemimpinan umar bin khattab.
Adapun untuk perumusan masalah yang menjadi objek kajian skripsi ini terfokus
11 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi,
h.17-18.
kepada pertanyaan: bagaimana Model negara kesejahteraan dalam kepemimpinan
umar bin khattab ?
C. Tujuan Penelitian
Membahas judul skripsi “Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan
Umar bin Khattab” ini secara akademis bertujuan:
1. Melacak jejak akar praktek prinsip-prinsip negara kesejahteraan dalam
sejarah politik Islam pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab.
2. Mejelaskan otoritas negara dan sumber-sumber pendapatan negara pada
masa Umar.
3. Menjelaskan kebijakan politik Umar dalam mewujudkan kesejahteraan
sosial umat Islam.
4. Mengaktualisasikan prinsip-prinsip kesejahteraan yang pernah
dipraktekkan dalam sejarah perpolitikan negara Islam yang dipimpin Umar
bin Khattab.
D. Metode Penelitian
Sebagai wacana kajian sosial politik historis, maka teknik pengumpulan
data yang dipakai dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan (library
research) sebagai sumbernya yaitu buku-buku, artikel, jurnal, majalah, internet,
dan dokumentasi-dokumentasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan, yang
membahas tentang negara kesejahteraan dan sejarah politik kenegaraan pada
periode Khalifah Umar bin Khattab yang mengacu pada terciptanya kesejahteraan
sosial umat Islam. Metode pembahasan skripsi adalah deskripsi analisis, yaitu
mendeskripsikan data-data yang ada, kemudian menganalisisnya secara
proporsional sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang
berhubungan dengan pokok permasalahan. Sedangkan metode penulisannya
berdasarkan kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” yang diterbitkan
oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dibagi menjadi 5 bab, sedangkan setiap bab
disamakan dengan out line yang sudah ada. Bab pertama seputar signifikansi tema
yang diangkat. Mengapa tema yang akan ditulis ini layak diangkat sebagai sebuah
skripsi. Akan diungkapkan mulai dari Menerangkan latar belakang masalah,
batasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Pada bab kedua menjelaskan konsepsi negara kesejahteraan dengan sub-
sub babnya akan menjelaskan mengenai pengertian negara kesejahteraan, negara
kesejahteraan dalam praktek pada masa Rasulullah Saw. yang meliputi
pembahasan: Kondisi negara Madinah pada awal Pembentukkannya dan sumber-
sumber pendaptan negara Madinah. Sedangkan sub bab yang terakhir membahas
mengenai negara kesejahteraan dalam perspektif Barat yang meliputi penjelasan
tentang kebijakan sistem negara kesejahteraan modern.
Bab Ketiga menjelaskan tentang kepemimpinan Khalifah Umar bin
Khattab yang membahas; biografi Khalifah Umar bin Khattab dan negara
Madinah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab.
Bab Keempat menjelaskan mengenai negara kesejahteraan dalam
kepemimpinan Umar bin Khattab, dengan sub-sub bab yang menjelaskan
mengenai; kebijakan-kebijakan politik Umar dalam mewujudkan kesejahteraan,
model negara kesejahteraan Islam pada periode Umar bin Khattab, sumber-
sumber pendapatan negara pada periode Umar, dan jaminan sosial pada era
pemerintahan Umar, ini sebagai gambaran adanya aplikasi prinsip negara
kesejahteraan dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab.
Bab Kelima diisi dengan penutup yang mencoba menyimpulkan dan
memberikan analisa kritis dalam pembahasan mengenai Negara Kesejahteraan
Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab, untuk melengkapi pembahasan dalam
skripsi ini.
BAB II
KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN
A. Pengertian Negara Kesejahteraan
Kesejahteraan rakyat merupakan sebuah wacana yang menarik untuk
selalu dijadikan bahan perbincangan oleh para politisi atau para akademisi, karena
kesejahteraan merupakan hal paling mendasar yang wajib diciptakan oleh negara.
Ide konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara dalam mengelola
sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan
(welfare) rakyat. Tujuan mulia untuk mensejahterakan rakyat, kemudian
direalisasikan oleh negara lewat kebijakan-kebijakan politik yang menghadirkan
pelayanan sosial (social services). Jadi dalam negara kesejahteraan menuntut
adanya peranan negara yang dominan dalam pengelolaan sektor publik.
Definisi negara kesejahteraan adalah negara yang mengusahakan
kesejahteraan rakyat dengan mengatasi anarki produksi dan krisis ekonomi,
meningkatkan jaminan hidup warga dengan memberantas pengangguran.12
Sedangkan definisi lain dari negara kesejahteraan yaitu negara yang merujuk pada
sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam
memberikan pelayanan sosial secara universal dan komperhensif kepada
warganya. Jadi fokus dari sistem negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan
sebuah sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap warga negara
12 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LPKN, 2000), h. 708.
sebagai gambaran adanya hak warga negara dan kewajiban negara.13
Negara
kesejahteraan sebenarnya tidak hanya menciptakan pelayanan-pelayanan sosial
untuk orang-orang miskin saja, akan tetapi pelayanan-pelayanan sosial
ditunjukkan untuk semua penduduk seperti; orang tua dan anak-anak, pria dan
wanita, kaya dan miskin. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan-pelayanan sosial
yang diselenggarakan oleh negara bisa tersebar secara merata dan adil.
Muhammad Iqbal, sebagai pemikir politik Islam menjelaskan mengenai
tujuan negara. Negara menurutnya hanya salah satu upaya untuk merealisasikan
nilai spiritual dalam organisasi yang manusiawi. Dengan demikian negara dalam
Islam dilihat sebagai salah satu instrumen untuk merealisasikan tujuan akhir,
spiritual dan material warga negaranya. Kekuasaan negara yang dimiliki negara
tidak bersifat mutlak, karena kekuasaan adalah amanat dari Allah Swt. dan harus
dilaksanakan sesuai dengan kehendak syariat. Jadi, negara pada dasarnya
memiliki dua kewajiban yang paling utama, yaitu negara harus bersifat demokratis
dan berkemakmuran (menciptakan kesejahteran bagi warga negara).14 Mengenai
penjelasan bahwa kekuasaan negara hanya merupakan amanat dari Allah, hal ini
tergambar dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
������ ������� !"�� #� $%���
&'(�%) ��*�� +☺��� �-�./0��
1 2)�� �&3�� ��4) 5"�� �� ��)
7"87�� :;�� <=�>?2@ �A�BC
Artinya: “Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi
adalah kepunyaan Allah? dan tiada bagimu selain Allah
13
Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” artikel diakses pada 6
September 2008 dari http://209.85.175.104/search?q=cache:gBlPSii64oJ:www.depsos.go.id/modules.php%3Fname%3
DDownloads%26d_op%3Dgetit%26lid%3D24+sejarah+lahir+negara+kesejahteraan&hl=id&ct=cl
nk&cd=5&gl=id
14 M. Umer Chapra, “Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya Di Bidang
Ekonomi,” dalam Ainur Rofiq, ed., Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis
Pembangunan Masyarakat Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 24-25.
seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Q.S. Al-
Baqarah Ayat 107)
Rasulullah Saw. dilukiskan dalam Al-Qur’an sebagai pemimpin politik
yang menjadi rahmatan bagi seluruh umat manusia. Beberapa perwujudan sifat
ini dinyatakan secara jelas dalam Al-Qur’an. Misalnya, perlunya kehidupan yang
baik (hayat Thayyibah) dan kesejahteraan atau sukses (falah), sikap ramah dan
keras, generasi yang makmur; mendidik dalam suasana penuh cinta dan kasih
sayang, jaminan keamanan dari bahaya korupsi, kelaparan, ketakutan, dan tekanan
mental. Karena itu semua lembaga-lembaga organisasi, termasuk negara, haruslah
mencerminkan sifat rahmatan dan harus mampu mewujudkan kesejahteraan bagi
semua umat manusia. Kemudian mengenai fungsi dari negara Islam secara khusus
ditegaskan oleh Rasulullah, yang menyatakan: “setiap penguasa yang bertanggung
jawab terhadap umat Islam, namun tidak berjuang untuk kesejahteraan mereka,
maka ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” Para ahli hukum Islam
sependapat bahwa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menolongnya dari
kesusahan merupakan tujuan utama syariat, kemudian negara Islam.15
Allah Swt. telah menjadikan manusia sebagai khalifatullah fil al-ardh, dan
telah menganugrahkan sumber penghidupan bagi seluruh umat manusia, seperti
dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
DE�F���� ��&3 GH#12) 8�I �-�./0
�H(�+�+J�� ��K1�� LM=�(
N� +�2) 1 P⌧R���S G) 2T�%�K1DU�
�A�C
Artinya: “sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di
muka bumi dan kami adakan bagi kamu di muka bumi itu
15 Ibid.,h. 26-27.
sumber penghidupan, hanya sedikit sekali di antara kamu
yang bersyukur” (Q.S. Al A’raf Ayat 10)
Oleh sebab itu, manusia menggemban amanat Khalifah Allah dimuka
bumi, dan diberikan kebebasan untuk mencari sumber penghidupan (nafkah)
sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Dengan kata lain,
Islam pada dasarnya mengakui kepemilikan peribadi. Islam tidak membatasi
kepemilikkan peribadi, alat-alat produksi, barang dagangan, tetapi Islam melarang
cara-cara yang ilegal dan tidak bermoral dalam memperoleh kekayaan. Islam juga
sangat menentang setiap bentuk keutungan yang tidak layak dari kesulitan orang
lain, dan melarang penimbunan kekayaan yang tidak sesuai dengan ketentuan
ajaran Islam. seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an:
W�X�� CYW&3�Z� [\2]+☺�^
_\2]+☺`� �AC ]�S#� +a���^
H;2) $�+�cE2%�� �dC e�N�f2�g
GT�� h$%���2) $�2��0�� �iC
Artinya: “Celakalah semua pedagang jahat dan suka menjatuhkan
orang lain, yang menumpuk hartanya dan memperbanyak
dengan harapan harta tersebut dapat menjadikannya hebat
dan selalu bertahan selamanya.” (Q.S. Al Humazah Ayat 1-3)
Dengan demikian, sifat menumpuk harta serta tidak menggunakan harta
yang dimiliki untuk tujuaan yang bermaanfaat bagi seluruh umat manusia sangat
dilarang oleh Allah Swt. karena sifat menumpuk harta hanya akan menjadi
seseorang kaya raya sementara kesejahteraan umat manusia yang lain akan
terabaikan dan menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Kesejahteraan atau kebahagiaan dalam ajaran Islam bisa terwujud, apabila
penduduk suatu negeri memiliki kualitas iman dan taqwa kepada Allah Swt.
karena keimanan dan ketaqwaan akan membimbing kehidupan manusia kearah
yang baik, dan manusia akan lebih banyak melakukan perbuatan yang baik dan
berusaha menjauhi perbuatan yang buruk atau tercela. Kemudian jika penduduk
suatu negeri tidak beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka mereka tidak akan
mendaptkan kesejahteraan. Hal ini, dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an sebagai
berikut:
������ GT�� :W�^�� ]2�&Ff�
j�%H2)�K j���FG ��
�H��2k⌧h�� �M�=��2% [l ⌧m2�2n
o��4) �K�+☺��� �-�./0��
�>1 ���� j�npR⌧m
lq 2@R�0�s�( +☺�n j�@:t
2T�'>�12X �u�C
Artinya: Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya. (Q.S. Al A’raaf Ayat 96)
Islam adalah agama yang mengatur segala urusan kehidupan penganutnya,
terutama masalah kesejahteraan. Berdasarkan penjelasan diatas, Islam memiliki
nilai-nilai kesejahteraan dalam ajarannya. Walaupun pembahasan tentang negara
kesejahteraan (welfare state) dalam Islam masih seputar melahirkan asumsi-
asumsi yang masih bisa dipertanyakan, tetapi, Islam memiliki nilai-nilai
kesejahteraan yang terkandung dalam Al-Qur’an secara normatif, yang terangkum
dalam sebuah konsep ajaran agama yang bersifat universal. Nilai-nilai
kesejahteraan dalam Islam mampu menggambarkan bahwa Islam sebagai ajaran
yang sangat menganjurkan terciptanya negara kesejahteraan (welfare state) dalam
kehidupan bernegara dan politik, dengan menjadikan etika dan moralitas Islam
sebagai pijakannya.
B. Negara Kesejahteraan Dalam Praktek Pada Masa Rasulullah Saw.
1. Kondisi Negara Madinah Pada Awal Pembentukannya
Dalam pembahasan ini penulis tidak bermaksud untuk menyatakan
bahwa konsep negara kesejahteraan sama dengan prinsip-prinsip kesejahteraan
yang diterapkan oleh Rasulullah Saw. dalam pemerintahan Madinah yang
dipimpinnya. Akan tetapi, penulis ingin melacak jejak nilai-nilai kesejahteraan
yang diterapkan oleh Rasulullah dalam negara Madinah. Karena negara
Madinah merupakan negara pertama dalam sejarah politik Islam yang mampu
menghadirkan kesejahteraan bagi semua warga negaranya.16
Konsep negara
kesejahteraan sendiri merupakan bentuk negara yang menjunjung tinggi nilai-
nilai kesejahteraan bagi warga negaranya.
Hijrahnya Rasulullah ke Yatsrib merupakan sebuah langkah politik
yang terbaik bagi kemajuan Islam, dan Islam menjadi kekuatan politik pada
periode Madinah. Dalam waktu yang relatif singkat, Rasulullah menjadi
pemimpin sebuah komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu
ke waktu. Karier politik Rasulullah pun meningkat menjadi pemimpin bangsa
Madinah, dalam diri Rasulullah terkumpul dua kekuasaan sekaligus, yaitu;
kepala negara dan sekaligus pemimpin agama.17
16 Bahwa klaim masyarakat yang dipimpin Rasulullah Saw. itu sebagai negara adalah
didasarkan pada tinjauan dari sudut ilmu politik. Karena dari segi ilmu politik sesuatu dapat
dikatakan negara bila memenuhi syarat yaitu; wilayah, penduduk dan pemerintahan yang
berdaulat. Semua unsur itu terdapat dalam negara Islam pertama itu. Wilayahnya adalah kota
Madinah dan sekitarnya, rakyatnya terdiri dari unsur-unsur kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan kaum Yahudi dan sekutu-sekutunya yang menetap di Madinah, serta pemerintahan yang berdaulat
yang dipengang oleh Rasulullah yang dibantu oleh para sahabatnya. Lihat tulisan M. Hasbi
Amiruddin dalam bukunya yang berjudul “Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman”,
(Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 51.
17
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 22-23.
Sebagai pemimpin politik negara, Rasulullah mengambil langkah
politik untuk mengikat penduduk Madinah dari pihak kaum Muslimin, Kaum
Yahudi, dan Musyrikin dengan sebuah ikatan “perjanjian” yang disebut
dengan Piagam Madinah. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan
stabilitas politik dan tegaknya hukum di negara Madinah. Dokumen politik
pertama dalam sejarah Islam telah menggariskan dasar-dasar kehidupan sosial
dan ekonomi serta kehidupan militer bagi segenap penduduk Madinah, baik
Muslimin, Yahudi maupun Musyrikin. Mengenai kehidupan ekonomi,
perjanjian tersebut menunjukkan keharusan orang kaya membantu dan
membayar hutang orang miskin. Kemudian mengenai kehidupan sosial,
perjanjian tersebut menetapkan kewajiban memelihara kehormatan tetangga,
jaminan keselamatan jiwa dan harta bagi segenap penduduk, kebebasan
beragama bagi setiap penduduk, kepastian pelaksanaan hukum bagi siapa saja
yang bersalah, dan persamaan kedudukan di depan pengadilan.18
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak
memiliki harta kekayaan. Sebagai negara yang tidak memiliki sumber
pemasukan bagi keuangan negara, seluruh tugas negara dilaksanakan oleh
kaum Muslimin secara gotong royong dan sukarela. Sedangkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup kaum Muslimin yang tinggal di Madinah, mereka
memperoleh pendapatan dari sumber-sumber yang tidak terikat. Kemudian
karakteristik pekerjaan pada masa itu masih sangat sederhana dan tidak
memerlukan perhatian penuh. Rasulullah sendiri adalah seorang kepala
negara yang memiliki jabatan rangkap, yaitu; sebagai Ketua Mahkamah
18 A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 47.
Agung, Mufti Besar, Panglima Perang Tertinggi, serta penanggung jawab
seluruh administrasi negara.19
Rasulullah mengawali pembangunan Negara Madinah tanpa
sumber keuangan yang pasti, meski demikian tujuan untuk membangun
masyarakat Madinah menjadi masyarakat sejahtera dan beradab tetap
dilakukan. Kendala-kendala seperti perekonomian negara Madinah yang
relatif rendah bukanlah jadi penghalang. Karakter perekonomian pada masa
itu adalah komitmen yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatian
yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan. Sehingga adanya
larangan penumpukkan kekayaan pada segelintir orang, melainkan harus
beredar bagi kesejahteraan semua warga negara madinah baik umat Muslim
atau non-Muslim.
Pasar menjadi mekanisme ekonomi yang paling penting bagi
pertumbuhan ekonomi negara Madinah, tetapi pemerintah dan masyarakat
juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan
keadilan. Kegiatan ekonomi pasar yang maju mendorong Rasulullah untuk
membuat lembaga yang disebut Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang
bertugas sebagai pengawas pasar (market controller), dengan tujuan untuk
menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas
Islam.20
Permasalahan lain yang dihadapi negara Madinah pada saat itu
adalah banyaknya kaum Muhajirin yang menganggur, karena mereka semakin
hari semakin kehabisan perbekalan hidup, dan harta-harta mereka banyak
19 Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 37.
20
Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2008), Cet. Ke-1, h. 98.
yang ditinggalkan di Mekkah. Untuk mengatasi masalah pengangguran
tersebut, Rasulullah mengeluarkan kebijakan politik untuk menciptakan
lapangan kerja penuh (full employment). Kebijakan tersebut dengan cara
menyatukan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, yaitu penyatuan hubungan
tali persaudaraan yang didasarkan agama, yang menggantikan hubungan tali
persaudaraan sedarah. Tujuannya agar kaum Muhajirin dapat bertahan hidup
di Madinah sampai mereka mendapatkan mata pencaharian yang layak.
Kebijakan politik Rasulullah tersebut telah membuka hati kaum
Anshar untuk membantu kaum Muhajirin, sehingga kaum Anshar berniat
untuk membagi-bagikan sebagian harta dan hak miliknya pada kaum
Muhajirin secara cuma-cuma. Namun, Rasulullah melarang kaum Muhajirin
untuk menerimanya, dan hanya memberikan izin bagi kaum Muhajirin untuk
mengelola ladang dan kebun kaum Anshar tanpa adanya hak kepemilikkan.
Kemudian hasil dari pertanian tersebut dibagi setengah-setengah. Langkah
politik yang dijalankan Rasulullah pada akhirnya berhasil membuka lapangan
pekerjaan bagi kaum Muhajirin dan mendorong aktivitas produksi.21
Langkah politik Rasulullah dalam mengatasi masalah
pengangguran yang dihadapi kaum Muhajirin, merupakan salah satu
karakteristik kebijakan pokok yang ada dalam sistem negara kesejahteraan
modern. Karena negara kesejahteraan memiliki tujuan untuk menciptakan
kesempatan kerja penuh agar warga negara tidak bergantung pada negara.
21 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi:
Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas
Paramadina, 2008), h. 49.
2. Sumber-sumber Pendapatan Negara Madinah
Zakat merupakan sumber awal pemasukan negara Madinah yang
paling penting. Zakat sebelum diwajibkan hanya bersifat sukarela, yakni
hanya berupa komitmen perorangan tanpa ada aturan khusus atau batasan-
batasan hukum. Pada tahun ke-2 Hijriyah, Allah Swt. mewajibkan kaum
Muslimin untuk menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan, serta
harus dibayar sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri.
Zakat berbeda dengan sumber-sumber pendapatan negara Madinah
yang lain dalam pendistribusiannya. Rasulullah Saw. mendistribusikan
pendapatan negara yang berasal dari zakat kepada orang-orang yang telah
digariskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
v +☺w@�F &l �S+Ex?�
�K�2��F&h(��� CIy>1 N�+☺f���
2Iz��☺ +�f��� LM�=��2{
�L⌧h#�⌧�☺f��� ��M{}����S
g�I�� �_�Si~��
2Iy�)i� 2�f��� g�I�� CWR�3+�
�� CIf��� CWR�3��� j HL:uXi��( ���4) �� 1 ����
�����2{ u�R>3+� ���C
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At Taubah Ayat 60)
Harta rampasan perang (ghanimah) juga merupakan pendapatan
awal negara Madinah, meskipun nilainya relatif tidak besar jika dibandingkan
dengan biaya perang yang dilakukan. Nilai harta rampasan perang pada
dekade awal Hijriyah (622-632 M) tidak lebih dari 6 (enam) juta dirham, dan
jumlah harta ghanimah hanya dapat menunjang sejumlah kecil kaum
Muslimin dan juga akibat perang tersebut. Diperkirakan biaya untuk perang
yang telah dikeluarkan oleh negara Madinah pada masa pemerintahan
Rasulullah lebih dari 60 juta dirham (sepuluh kali lipat lebih besar dari harta
rampasan perang yang didapatkan).22 Akan tetapi, banyaknya tawan perang
Badar yang ada di tangan kaum Muslimin menjadi keuntungan tersendiri bagi
sumber pendapatan negara Madinah. Pada perang Badar, kaum Muslimin
berhasil menaklukkan kaum kafir Makkah, kemudian Rasullulah Saw.
menetapkan uang tebusan sebesar 4000 dirham untuk setiap tawanan perang.
sedangkan untuk tawanan perang yang miskin dan tidak mampu membayar
uang tebusan maka mereka diberikan tugas oleh Rasulullah untuk mengajar
membaca 10 orang anak Muslim sebagai gantinya.
Pendapatan dan sumber daya negara Madinah masih sangat kecil,
bahkan sampai tahun ke-4 Hijriyah. Pendapatan terbesar pertama negara
Madinah di dapat dari hasil penaklukan Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi
yang tinggal di pinggiran kota Madinah. Bani Nadhir merupakan kelompok
yang masuk ke dalam Piagam Madinah, tetapi mereka telah melakukan
kesalahan dengan cara melanggar perjanjian dan berusaha untuk membunuh
Rasulullah. Kemudian Rasulullah memerintahkan mereka untuk segera
meninggalkan Madinah, akan tetapi mereka menolak. Sehingga Rasulullah
mengerahkan tentara Islam untuk mengepung mereka. Pada akhirnya Bani
Nadhir menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan membawa seluruh
harta bendanya sebanyak daya angkut unta-unta mereka, kecuali beberapa
22 Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, h. 100.
peralatan perang seperi Baju Baja dan senjata. Karena Rasulullah
mendapatkan harta tanpa melalui perlawanan atau perang, sesuai dengan
ketentuan Al-Qur’an maka harta Bani Nadhir menjadi milik Rasulullah.
Semua harta yang ditinggalkan Bani Nadhir dibagikan oleh Rasulullah kepada
kaum Muhajirin dan dua orang Anshar yang Miskin, yaitu; Sahal bin Hanif
dan Abu Dujanah. Pendapatan lainnya adalah pemberian tujuh kebun oleh
Mukhairik, seorang rabi Bani Nadhir yang telah memeluk Islam. Kemudian
tanah tersebut oleh Rasulullah dijadikan sebagai tanah sedekah, dan peristiwa
tersebut merupakan wakaf pertama dalam sejarah Islam. 23
Kemudian pada tahun ke-7 Hijriyah, kaum Muslimin berhasil
menduduki wilayah Khaibar, yaitu wilayah yang ditempati oleh orang-orang
kafir yang menentang dan memerangi kaum Muslimin. Perang berlangsung
selama 1 (satu) bulan, dan pada akhirnya penduduk Khaibar menyerah dengan
syarat dan berjanji untuk meninggalkan tanahnya. Namun, mereka mencoba
bernegosiasi ulang dengan Rasulullah agar mereka tidak meninggalkan tanah
kelahirannya dan diberikan izin untuk mengelola tanah mereka yang telah
menjadi milik kaum Muslimin, karena mereka menawarkan keterampilan
khusus mereka dalam bertani dan berkebun kurma, dan akan memberikan
setengah dari hasil panen yang didapat. Rasulullah akhirnya mengabulkan
permintaan penduduk Khaibar. Peristiwa penaklukan Khaibar pada
selanjutnya menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang kemudian
digunakan untuk keperluan para delegasi, tamu, biaya 1400 tentara, dan 200
penunggang kuda.
23 Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 41.
Penghasilan negara Madinah juga didapatkan dari jizyah, yaitu
sistem pajak yang diterapkan oleh Rasulullah, dan pajak tersebut dibebankan
kepada kaum non-Muslim yang tinggal di wilayah negara Madinah
(kekuasaan Islam) seperti, ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta
milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer.
Besarnya jizyah adalah 1 (satu) dinar pertahun untuk setiap orang laki-laki
dewasa yang mampu membayarnya. Sedangkan perempuan, anak-anak,
pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua orang yang
menderita penyakit dibebaskan dari pajak jizyah oleh negara. Sesuai dengan
penjelasan diatas, bahwa pajak yang ditetapkan oleh Rasulullah dalam
memimpin negara Madinah bukan bermaksud untuk menjadikan rakyat miskin
dengan adanya pajak. Akan tetapi, pajak yang ditetapkan Rasulullah bertujuan
untuk kesejahteraan warga negaranya secara universal dan komprehensif..
Selain pajak jizyah bagi non-muslim, Rasulullah juga menerapkan
sistem kharaj, yaitu pajak tanah yang dipungut dari pihak non-Muslim seperti
yang dilakukan oleh penduduk Khaibar yang tanahnya dikuasai oleh kaum
Muslimin. Dalam hal ini, tanah taklukan dimiliki oleh kaum Muslimin,
sedangkan pemilik lamanya diberikan hak untuk mengelola tanah tersebut
dengan status sebagai penyewa dan bersedia memberikan setengah dari hasil
produksi kepada negara Madinah. Kharaj dibayar oleh non-Muslim seperti
halnya kaum Muslim membayar ushr dari hasil pertanian (ushr dalam konteks
ini adalah zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan, bukan ushr dalam arti
bea impor). Perlu diketahui bahwa non-Muslim hanya membayar 3 (tiga) jenis
pajak kepada negara Madinah, sementara kaum Muslimin lebih banyak, dan
ini menjadi bukti bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin,
dengan menjunjung tinggi kesejahteraan bagi semua umat yang berada
dibawah kekuasaan negara Islam tanpa memandang perbedaan agama. Dalam
perkembangan selanjutnya kharaj menjadi salah satu sumber pendapatan
negara yang terpenting.
Sistem perpajakkan lain yang diterapkan oleh Rasulullah adalah
ushr, yaitu jenis pajak yang telah ada sejak zaman Arab Jahiliyah, khususnya
di Makkah yang merupakan pusat perdagangan terbesar saat itu. Sistem pajak
ushr yang diterapkan oleh Rasulullah adalah sebagai bea impor yang
dikenakan kepada pedagang dan dibayar hanya sekali dalam satu tahun. Pajak
ushr ini hanya berlaku bagi barang-barang yang bernilai lebih dari 200
dirham. Besarnya pajak ushr yang dikenakan kepada non-Muslim yang
dilindungi (ahl al-dzimmi) adalah 5%, sedangkan pedagang Muslim sebesar
2,5%.
Selain sumber-sumber pendapatan negara Madinah di atas, terdapat
beberapa sumber pendapatan lainnya yang bersifat tambahan (sekunder),
diantaranya adalah:24
a. Uang tebusan para tawanan perang, terutama perang Badar.
b. Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukkan kota Makkah) untuk
membayar diyat kaum Muslimin Bani Judzaimah atau sebelum
pertempuran Hawazin sebesar 30.000 dirham.
c. Khumus atas rikaz atau harta karun.
24Ibid., h. 47-48.
d. Amwal fadilah, yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum
Muslimin untuk meninggal tanpa ahli waris atau harta seorang
Muslim yang telah murtad dan pergi meninggalkan negaranya.
e. Wakaf, yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang Muslim
untuk kepentingan agama Allah dan pendapatannya akan disimpan di
Baitul Mal.
f. Nawaib, yaitu pajak khusus yang diberikan kepada kaum Muslimin
yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama
masa darurat, seperti yang terjadi dalam perang Tabuk.
g. Zakat Fitrah.
h. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kafarat.25
Berdasarkan sumber-sumber pendapatan negara Madinah pada
masa Rasulullah Saw. diatas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:26
Dari Kaum Muslimin Dari Kaum Non-
Muslimin
Umum (Primer dan
Skunder)
1. Zakat
2. Ushr (5-10%) 3. Ushr (2,5%)
4. Zakat Fitrah 5. Wakaf
6. Amwal Fadilah 7. Nawaib
8. Shadaqah 9. Khumus
1. Jizyah
2. Kharaj 3. Ushr (5%)
1. Ghanimah
2. Fai 3. Uang tebusan
4. Pinjaman dari kaum Muslimin
atau non-Muslim. 5. Hadiah dari
pemimpin atau pemerintah negara
lain.
25 Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang Muslim pada saat
melakukan kegiatan ibadah, seperti berburu pada musim haji.
26 Tim Peneliti PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 55.
Sedangkan sumber pendistribusian (pengeluaran) pendapatan
negara Madinah pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw, dibagi menjadi
dua sumber, yaitu sumber pengeluaran primer dan sekunder. Adapun untuk
perinciaannya sebagai berikut:27
1) Sumber-sumber pengeluaran negara Madinah yang bersifat primer:
� Biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan.
� Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya
menurut ketentuan Al-Qur’an.
� Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan
pejabat negara lainnya.
� Pembayaran upah para sukarelawan.
� Pembayaran utang negara.
� Bantuan untuk musafir (dari daerah Fadak)
2) Sumber-sumber pengeluaran negara Madinah yang bersifat sekunder:
� Bantuan orang yang belajar agama di Madinah.
� Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
� Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya
perjalanan mereka. pengeluaran untuk para duta-duta negara.
� Hadiah untuk pemerintah negara lain.
� Pembayaran untuk pembebasan kaum Muslimin yang menjadi
budak.
� Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak
sengaja oleh pasukan Muslim.
27 Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, h. 99.
� Pembayaran utang orang meninggal dalam keadaan miskin.
� Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
� Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah Saw.
� Pengeluaran rumah tangga Rasulullah Saw. (hanya sejumlah
kecil, 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap
istrinya).
� Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan perang Khaibar).
Berdasarkan penjelasan diatas mengenai pendapatan negara
Madinah dan pendistribusiaannya pada masa Rasulullah, secara jelas bisa
dilihat bahwa Islam memiliki sebuah sistem kenegaraan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kesejahteraan bagi warga negaranya. Intervensi atau campur
tangan negara dalam semua aspek kehidupan dalam pemerintahan Madinah
telah mampu menghadirkan kesejahteraan bagi semua warga negarannya
tanpa adanya diskriminasi terhadap non-Muslim. Secara nilai-nilai, Islam
memiliki sebuah konsep negara kesejahteraan (welfare state) sendiri yang
berlandaskan pada etika dan moralitas Islam.
C. Negara Kesejahteraan Dalam Perspektif Barat
Mengenai akar atau sejarah lahirnya negara kesejahteraan yaitu ketika
negara-negara di Eropa mengalami krisis pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia
II. Negara kesejahteraan merupakan respon terhadap tantangan kapitalisme dan
kesulitan-kesulitan yang terjadi karena depresi dan perang. Tujuan jangka pendek
dari sistem negara kesejahteraan adalah untuk meminimalisir dan menghapuskan
akses kapitalisme yang paling mencolok. Karena sistem kapitalisme merupakan
sistem ekonomi yang sangat tidak memihak kepada orang-orang lemah atau
miskin. Bahkan dalam sistem kapitalisme, negara memiliki peranan yang terbatas
dalam mengelola sektor publik. Sedangkan tujuan lain hadirnya sistem negara
kesejahteraan adalah untuk mengurangi daya tarik sistem sosialis.28
Perjalanan negara kesejahteraan di Eropa telah di mulai oleh Jerman ketika
pada masa pemerintahan kanselir Otto Von Bismarck. Yang mana pada waktu itu
rakyat Jerman meminta negara untuk lebih memperhatikan nasib mereka yang
dalam kondisi pasca perang. Kemudian pertumbuhan industrialisasi yang semakin
pesat telah menciptakan model ekonomi yang amat ekstraktif dan pengaturan
kerja yang eksploitatif. Dalam hal ini, industrialisasi telah menyebabkan
perubahan tatanan kehidupan masyarakat Jerman, sehingga pemerintah membuat
skema kesejahteraan pada tahun 1883.
Edi Suharto, dalam makalahnya yang berjudul “Negara Kesejahteraan
dan Reinventing Depsos”, mengutip dari buku Bessant, Rob Watts Judith, Tony
Dalton dan Paul Smith yang berjudul, “Talking Policy: How Social Policy in
Made”, menjelaskan bahwa akar atau ide dasar konsep negara kesejahteraan telah
ada sejak abad ke-18, yaitu ketika Jeremy Bentham (1748-1832), mempromosikan
gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest
happiness (welfare) of the greatest number of their citizens (kebahagiaan terbesar
atau kesejahteraan dari sebanyak-banyaknya warga negara mereka).29
Ia mencoba
menjelaskan konsep kebahagiaan dan kesejahteraan dengan menggunakan istilah
kegunaan. Menurutnya segala sesuatu yang mampu menciptakan atau
28 M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi. Penerjemah Ikhwan Abidin Basri,
dengan judul asli buku “Islam and the Economic Challenge” (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),
h. 133.
29
Edi , Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos.
menghadirkan kebahagiaan yang lebih adalah sesuatu yang baik. Begitupun
sebaliknya sesuatu yang tidak menghadirkan kebahagiaan atau kesejahteraan
adalah sesuatu yang buruk. Dalam hal ini ia ingin menjelaskan bahwa negara
harus mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagian sebanyak mungkin
untuk rakyat. Negara pun harus mampu melakukan upaya reformasi hukum yang
tidak mengarah kepada kesejahteraan, peran konstitusi dan penelitian sosial untuk
membangun kebijakan sosial. Bentham, lewat gagasan-gagasannya itu ia digelari
sebagai “Bapak Negara Kesejahteraan” (father of welfare state).
Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963) adalah merupakan
tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan. Di Inggris,
dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services (asuransi sosial
dan kumpulan pelayanan sosial), yang terkenal dengan nama Beveridge Report,
Beveridge, menyebut kekurangan (want), kemelaratan (squalor), Kebodohan
(ignorance), Penyakit (disease) dan Kemalasan (idleness) sebagai ‘ the five giant
evils’ (lima setan-setan raksasa) yang harus diperangi. Dalam laporan itu,
Beveridge, memiliki gagasan-gagasan mengenai perlindungan hak-hak warga
negara yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu dengan menciptakan sebuah sistem
asuransi sosial yang komperhensif. Menurut Beveridge, hanya sistem itu yang
mampu memberikan kesejahteraan dan mampu melindungi hak-hak warga negara
dari mulai lahir hingga meninggal (from cradle to grave). Pengaruh laporan
Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain
di Eropa dan bahkan hingga ke Amerika Serikat dan kemudian menjadi dasar bagi
pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut.30
30 Ibid.
Kesejahteraan sosial dengan sistem asuransi yang digagas oleh Beveridge,
memiliki banyak kekurangan. Karena dengan menggunakan dasar prinsip dan
skema asuransi, banyak resiko-resiko yang dihadapi oleh warga negara, terutama
ketika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Kemudian asuransi
sosial juga tidak mampu merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus,
seperti; orang cacat, orang tua tunggal, serta orang-orang yang tidak mendapatkan
pekerjaan. Manfaat asuransi sosial terkadang tidak mampu memenuhi
kesejahteraan warga negara, karena jumlahnya yang terlalu kecil sehingga hanya
mampu memenuhi kebutuhan dasar secara minimal.
Marshall, memiliki pemikiran yang berbeda mengenai kesejahteraan sosial
terutama dalam konteks kapitalisme. Menurutnya kewajiban untuk menciptakan
kesejahteraan sosial menjadi tanggungjawab semua warga negara. Warga negara
memiliki kewajiban kolektif untuk memperjuangkan kesejahteraan orang lain
lewat sebuah lembaga yang disebut negara. Ketidakadilan yang disebabkan karena
ketidak sempurnaan pasar menyebabkan kesejahteraan sosial tidak tumbuh secara
merata dalam kehidupan warga negara. Menjadikan negara sebagai lembaga yang
mampu menciptakan pelayanan sosial dan kesejahteraan sosial merupakan sebuah
solusi untuk menutupi dan mengurangi ketidak sempurnaan pasar dan juga untuk
mengurangi dampak-dampak negatif dari sistem kapitalisme. 31
Pematangan konsep negara kesejahteraan terjadi pada periode akhir 1960-
an dan awal 1970-an. Pada periode-periode tersebut di negara-negara Eropa
khususnya, kebijakan-kebijakan sosial tumbuh dengan pesat dan negara banyak
mengeluarkan kas negaranya untuk menciptakan pelayanan sosial. Negara-negara
31Ibid.
Eropa banyak mengadopsi berbagai program jaminan sosial baru, seperti; program
pensiun, program jaminan orang cacat, dan santunan bagi pengangguran.32
Program-program kesejahteraan sosial yang diciptakan oleh negara terus
mengalami peningkatan sesuai dengan kemajuan industrialisasi dan laju
pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
Sistem negara kesejahteraan mencoba menjadi penyeimbang antara peran
negara dan pasar, antara oligarki dan redistribusi ekonomi, antara pertumbuhan
dan pemerataan. Seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Uni Eropa dan negara
Skandinavia, menganut negara kesejahteraan atau welfare state sebagai langkah
untuk membangun kesejahteraan sosial warganya. Seperti telah dijelaskan diatas,
pada hakikatnya kesejahteraan sosial merupakan hak asasi warga negara yang
wajib dipenuhi oleh negara. Maka, hak asasi merupakan sebuah titik sentral
pertimbangan negara dalam pengambilan kebijakan-kebijakan sosial. hak-hak
dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu; hak untuk
mendapatkan keamanan sosial, hak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan
tempat tinggal yang layak, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan
pelayanan kesehatan, dan jaminan-jaminan sosial lainnya. Bila hak warga negara
tidak dipenuhi oleh negara maka negara telah melakukan pelanggaran
kemanusiaan dan tidak menjalankan fungsinya.33
Upaya untuk menyingkirkan peranan negara atau intervensi negara
terhadap kebijakan-kebijakan publik telah dimulai sejak lahirnya pemikiran aliran
Kanan Baru, aliran ini sering disebut ekonomi Thatcherisme atau Reaganisme.
32 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES, 2006), h. 28.
33Negara dan Kesejahteraan, artikel diakses pada 6 September 2008 dari
http://www.inilah.com/berita/2008/07/24/40004/negara-dan-kesejahteraan/
Neoliberalisme pertama kali diperaktekkan oleh Perdana Menteri Margareth
Thatcher di Inggris, yaitu dengan menghapus kewajiban negara memikul
tanggung jawab terhadap rakyat yang tidak produktif, meminggirkan komitmen
pemerintah untuk mewujudkan full employment (kesempatan kerja penuh),
memangkas secara radikal subsidi-subsidi sosial, dan sebagai gantinya,
pemerintahan Thatcher lebih mementingkan pelayanan terhadap swasta,
melakukan pemotongan pajak, menjalankan program privatisasi/ swastanisasi dan
liberalisasi, menghilangkan pengawasan terhadap penyiaran, telekomunikasi,
transportasi, dan perikanan, kemudian membabat habis seluruh serikat buruh dan
menyalahkannya sebagai penyebab rendahnya kinerja industri Inggris.34
Pelucutan peran negara terus berlanjut lewat pengaruh globalisasi pada
abad ke-21. Istilah globalisasi menempati berbagai agenda intelektual dan politik.
Kata itu sekarang muncul dimana-mana, pidato politik tidak lengkap, atau manual
bisnis tidak dapat diterima jika tidak menyebut kata globalisasi. Globalisasi
dengan segala kebaikan dan keburukannya telah mendorong perdebatan intens,
dan menjadi pusat dari sebagian besar diskusi politik dan perdebatan ekonomi.35
Istilah globalisasi berakar pada konsep yang lebih umum bahwa akumulasi
modal, perdagangan dan investasi tidak lagi dibatasi pada negara-bangsa. Dalam
pengertiannya yang lebih umum, globalisasi mengacu pada aliran-aliran barang,
investasi, produksi dan teknologi lintas bangsa. Globalisasi telah menciptakan
sebuah tatanan dunia baru dengan lembaga-lembaga dan konfigurasi-konfigurasi
34 Noreena Herzt, Perampok Negara: Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi,
dengan judul asli buku; “The Silent Take Over; Global Capitalism and the Death of Democracy”
(Yogyakarta: Alinea, 2005), h. ix.
35
Anthony Giddens, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, dengan judul asli buku;
“The Third Way: The Renewal of Social Democracy” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002),
Cet. Ke-4, h. 32.
kekuasaannya yang menggantikan struktur-struktur sebelumnya yang
diasosiasikan dengan negara-bangsa.36
Perkembangan ekonomi global memiliki implikasi terhadap negara
kesejahteraan (welfare state). Batas dan kekuatan negara yang semakin memudar,
organisasi-organisasi independen, badan-badan supra-nasional dan perusahaan-
perusahaan multinasional. Sebuah konsekuensi logis dari kecenderungan global
dan telah memunculkan kritik terhadap sistem negara kesejahteraan yang
dipandang tidak tepat lagi untuk diterapkan sebagai pendekatan dalam
pembangunan suatu negara. Bahkan berkembangnya anggapan yang menyatakan
bahwa negara kesejahteraan telah mati (welfare state has gone away and died).37
Edi Suharto, dalam makalahnya yang berjudul “Islam dan Negara
Kesejahteraan” mengutip dari bukunya Ramesh Misrah, yang berjudul
“Globalization and welfare state” , dijelaskan bahwa globalisasi telah membatasi
kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga
internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional
(International Monetary Fund/ IMF) menjual kebijakan-kebijakan ekonomi dan
sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar
memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif
dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.38
36 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, dengan judul asli buku;
“Globalization Unmasked: Imperialism in the 21 Century” (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002),
Cet. Ke-1, h. 37.
37 Edi Suharto, “Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”, artikel diakses
pada tenggal 12 September 2008 dari
situs:http://www.policy.hu/suharto/naskah%20PDF/UGMWelfareState .pdf
38
Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan”, artikel diakses pada tanggal 25
September 2008 dari
http://www.policy.hu/suharto/Naskah20%PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf
Adanya anggapan yang mengatakan bahwa negara kesejahteraan telah
berakhir (mati), karena tidak mampu menghadapi ancaman globalisasi dan
berkuasanya sistem kapitalisme adalah sebuah anggapan yang tidak benar. Sistem
negara kesejahteraan masih tetap berdiri kokoh dengan segala skema-skema
kesejahteraan sosial yang dipraktekkan di negara-negara Skandinavia, Eropa
Barat, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberal yang kuat seperti
Amerika, Inggris dan Australia. Dalam hal ini, negara kesejahteraan sedang
mengalami reformulasi dan penyesuaian sejalan dengan tuntutan perubahan
tatanan global. Jadi, sangat salah bila menganggap sistem negara kesejahteraan
telah menemui akhir dari sejarahnya.39
Salah satu bukti yang mampu mematahkan mitos the end of welfare state,
adalah masih beroperasi 3 (tiga) model negara kesejahteraan yang dipraktekkan
oleh negara-negara di dunia, yaitu:40
1. Model Residual (Residual Welfare State)
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada dan Selandia Baru. Model negara
kesejahteraan residual dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan
pemberian jaminan sosial kepada warga negara secara terbatas dan selektif,
serta adanya kesempatan besar bagi swastanisasi pelayanan publik. Umumnya
pelayanan sosial yang diberikan berjangka pendek dan relatif kecil.
2. Model Universal (Universalist Welfare State)
Model universal sering juga disebut sebagai the Scandinavia
Welfare State. Model ini diadopsi oleh negara-negara seperti; Swedia,
39 Edi, Peta dan Dinamika Welfare State.
40 Darmawan dan Sugeng, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 14-15.
Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Belanda. Model negara kesejahteraan ini
dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan sosial demokrat dan jaminan sosial
yang diberikan kepada warga negara bersifat komprehensif.
3. Model Korporasi atau Social Insurance Welfare State
Model korporasi ini diadopsi oleh negara-negara seperti; Jerman,
Austria, Belgia, Prancis, Italia, dan Spanyol. Model negara kesejahteraan ini
dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan jaminan sosial
yang diberikan kepada warga negara dilaksanakan secara melembaga dan luas,
namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga
pilar, yaitu; pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Dalam hal ini,
pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada
mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema
asuransi sosial. Ide model negara kesejahteraan ini pertama kali
dikembangkan oleh Otto Van Bismarck dari Jerman, dan model negara
kesejahteraan ini sering disebut sebagai model Bismarck.
Globalisasi yang menjadi anak kandung dari sistem kapitalisme memiliki
peran yang besar dalam upaya pelucutan segi tiga “suci” (pertumbuhan ekonomi-
kesempatan kerja penuh-jaminan sosial) sistem negara kesejahteraan. Seiring
perubahan tatanan global dan perekonomian dunia, peristiwa itu telah memaksa
sistem negara kesejahteraan yang dipraktekkan di beberapa negara-negara
direstrukturisasi. Restrukturisasi itu sebenarnya lebih kepada upaya untuk
melucuti skema-skema kesejahteraan yang ada dalam sistem negara
kesejahteraan.41
41 Ibid., h. 29.
Negara memang bukan satu-satunya lembaga yang dapat
menyelenggarakan pelayanan sosial kepada warga negaranya. Namun, negara
memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan sosial kepada warga negaranya
sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan sosial, dan mandat negara untuk
melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat dari pada masyarakat, dunia usaha atau
lembaga-lembaga kemanusiaan internasional. Negara sebagai lembaga yang
memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, memiliki
kewajiban untuk memenuhi, melindungi dan menghargai hak-hak dasar warga
negara, ekonomi dan budaya.
1. Kebijakan Sistem Negara Kesejahteraan Modern
Negara kesejahteraan merupakan bentuk negara yang
memposisikan negara sebagai lembaga yang mampu memenuhi hak-hak
sosial warganya. Kebijakan-kebijakan politik negara yang bertujuan untuk
menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan merupakan komitmen politik
sistem negara kesejahteraan. Dalam hal ini negara kesejahteraan lebih
diidentikkan dengan kumpulan-kumpulan kebijakan sosial. kebijakan sosial
digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan hubungan negara dengan
warganya.
Kebijakan-kebijakan sosial dalam negara ksejahteraan bukanlah
suatu entitas yang memiliki wajah tunggal. Pada praktekknya, kebijakan-
kebijakan sosial yang diterapkan di satu negara kesejahteraan dengan negara
kesejahteraan lain akan bervariasi. Perbedaan kebijakan sosial disebabkan
oleh perbedaan sistem pemerintahan dan masalah-masalah yang dihadapi
negara. Namun, ada beberapa kebijakan pokok yang harus ada dalam sistem
negara kesejahteraan modern (modern welfare state), yaitu:
a. Kebijakan ketenagakerjaan
Kebijakan ketenagakerjaan merupakan kebijakan yang paling
utama dalam negara kesejahteraan. Di sini, negara harus mampu
menyediakan akses lapangan pekerjaan bagi warganya. Tujuan dari
kebijakan ketenagakerjaan tidak lain adalah untuk menciptakan daya beli
masyarakat dan mengurangi ketergantungan warga negara atas tunjangan-
tunjangan sosial yang disediakan oleh negara.
Kebijakan ketenagakerjaan (employment policy) dibagi kedalam
dua kebijakan pokok, yaitu; outset kebijakan dan kebijakan active
employment (kebijakan tenaga kerja aktif). Mengenai Outset kebijakan,
negara memiliki beberapa kewajiban: Pertama, negara harus membuat
sebuah kebijakan dan upaya untuk memberikan bantuk-bentuk asuransi
penganguran, sebagai peranan negara dalam mensiasati kompetisi yang
tidak sempurna dalam dunia lapangan kerja. Kedua, negara harus membuat
kebijakan dan upaya agar tidak tercipta tingginya angka pengangguran,
karena hal itu akan menimbulan konflik masyarakat dan meningkatnya
angka kemiskinan. Ketiga, negara membuat kebijakan dan upaya untuk
mengaitkan antara kebijakan pendidikan dengan kebijakan
ketenagakerjaan dengan tujuan untuk merespon tantangan sosial-ekonomi
yang dihadapi negara.42
42 Tim Peneliti PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 70-71.
Sedangkan kebijakan active employment yaitu kebijakan yang akan
menjawab segala permasalahan dalam ketenagakerjaan, terutama pasar
tenaga kerja. Pasar tenaga kerja merupakan penjelasan mengenai kondisi
dan status dari warga negara yang berkaitan dengan kerja, seperti;
lapangan pekerjaan, usia kerja, jenis pekerjaan, dan output kerja. Ketika
suatu lembaga statistik memberikan data mengenai pasar tenaga kerja,
kewajiban pemerintah, para ahli dan politisi adalah mampu menafsirkan
data pasar tenaga kerja secara benar dan kemudian merekomendasikan
kepada warga negara. Jika mereka gagal menafsirkan data pasar tenaga
kerja, maka warga negara akan menuai kualitas kehidupan yang buruk.
Pemerintah tidak hanya berkewajiban untuk menyediakan lapangan
pekerjaan bagi warga negara di satu sisi, disisi lain lapangan pekerjaan
yang disediakan pemerintah harus mampu mensejahterakan.43
b. Layanan pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dan mendasar yang
harus didapatkan oleh setiap warga negara. Karena proses ekonomi dan
politik suatu negara tidak terlepas dari layanan pendidikan yang
didapatkan warga negara. Negara-negara yang penduduknya memiliki
kualitas pendidikan yang rendah, maka negara tersebut akan berada pada
posisi negara miskin dan terbelakang. Hal ini disebabkan karena ketidak
mampuan warga negaranya dalam mengakses segala informasi penting.
Sedangkan negara-negara yang penduduknya memiliki kualitas pendidikan
43 Ibid.,h. 71.
yang tinggi, maka negara tersebut akan berada pada posisi negara kaya dan
maju. Ini disebabkan, karena warga negaranya memiliki bekal pendidikan
yang tinggi, sehingga mereka mampu mengakses segala informasi yang
dibutuhkan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Layanan pendidikan memiliki posisi penting dalam mewujudkan
sebuah negara yang adil, makmur dan sejahtera. Dalam hal ini pendidikan
adalah bagian penting dari pemberdayaan masyarakat untuk turut serta
dalam menciptakan kemakmuran negara. Jadi tugas negara agar bisa
menjadi negara yang kehidupan rakyatnya sejahtera adalah menyediakan
sistem pendidikan dan pengembangan pendidikan.44
Pendidikan akan menciptakan kemampuan orang perorang dan
masyarakat mengakses sumber daya dan tata kebijakan, dan
mengorganisasikannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran
mereka sendiri. Pendidikan yang didapatkan oleh warga negara akan
menciptakan kemampuan efektif dalam menghadapi situasi dimana orang
atau masyarakat terjebak dalam struktur sosial-kemasyarakatan yang bisa
menciptakan kemiskinan dan kemunduran atau deprivasi sosial. Terutama
dalam era globalisasi, kemampuan dan layanan pendidikan yang
didapatkan warga negara akan menentukan seberapa jauh kehidupan
sosial-ekonomi dapat terus berkembang, seiring berkembangnya negara-
negara lain.
44 Ibid.,h. 101.
c. Layanan kesehatan
Di negara-negara berkembang atau negara-negara yang memiliki
penduduk miskin yang relatif tinggi, layanan kesehatan sesuatu yang sulit
didapatkan. Dalam hal ini pelayanan kesehatan gratis yang disediakan oleh
negara. Dalam model negara kesejahteraan, layanan kesehatan merupakan
salah satu pilar penting yang harus disediakan oleh negara. Contohnya,
Inggris dan Swedia merupakan model negara kesejahteraan yang memiliki
skema layanan kesehatan yang paling dikagumi oleh negara-negara di
dunia.
Layanan kesehatan di Inggris diberikan secara gratis kepada
rakyatnya, padahal Inggris sendiri menganut sistem ekonomi terbuka.
Artinya, negara yang menganut sistem ekonomi terbuka sangat sulit untuk
menyediakan layanan kesehatan secara gratis.45 Karena layanan kesehatan
gratis hanya akan menguras keuangan negara sehingga bisa menciptakan
krisis ekonomi. Inggris mengembangkan model asuransi dan pemajuan
ekonomi dalam menyediakan layanan kesehatan.
Skema layanan kesehatan dalam negara kesejahteraan bertujuan
untuk warga negaranya yang tidak mampu. Akan tetapi model negara
kesejahteraan yang diterapkan di negara-negara skandinavia, layanan
kesehatan diberikan kepada seluruh warga negara tanpa harus melihat
miskin dan kaya.
45 Ibid.,h. 109.
d. Jaminan sosial
Secara definisi, jaminan sosial adalah sistem penyimpanan dan
pengelolaan dana negara yang dipakai untuk membiayai berbagai layanan
sosial publik. Dana jaminan sosial merupakan dana yang dikumpulkan
oleh negara melalui beberapa sumber pendapatan negara, seperti: melalui
perpajakan (terutama pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan
pajak bisnis), dan melalui pungutan non-pajak (misalnya potongan gaji
untuk asuransi).
Jaminan sosial (social security) memiliki beberapa tujuan penting,
yaitu:46
1) Untuk memenuhi kebutuhan finansial terhadap kejadian-kejadian yang
tidak dapat diduga, seperti meninggalnya pelaku nafkah keluarga, berhenti
bekerja atau kecelakaan kerja.
2) Untuk menjawab kebutuhan yang masih dibutuhkan yang
berhubungan dengan cacat atau perawatan. Contohnya, tunjangan
hidup kaum cacat atau orang-orang yang menderita cacat berat.
3) Untuk mendukung keluarga sebagai unit sosial, yaitu layanan yang
diperuntukkan untuk tunjangan anak dan tunjangan orang tua tunggal.
4) Untuk mencegah atau mengentaskan kemiskinan, yaitu; jaminan
sosial yang diberikan untuk individu atau keluarga yang tidak
mempunyai nafkah yang jelas disaat sosial-ekonomi mereka yang
parah.
46 Ibid.,h. 122.
5) Menjadi instrumen redistribusi, yaitu; jaminan sosial dengan
sendirinya menjadi mekanisme pengumpulan pajak dari setiap
golongan masyarakat yang kemudian diarahkan ke orang-orang atau
masyarakat yang memang layak mendapatkan dan membutuhkannya.
Bila salah mengelola jaminan sosial atau salah menggunakan
sistem yang diterapkan oleh negara, hal ini akan menimbulkan keuangan
negara yang tidak stabil, karena habis digunakan untuk membuat skema
jaminan sosial.
e. Perumahan
Masyarakat miskin identik dengan tempat tinggal yang tidak layak
atau kumuh. Dalam kebijakan negara kesejahteraan, masalah kemiskinan
menjadi perhatian utama. Kebijakan itu meliputi masalah perumahan
atau tempat tinggal. Permasalahan naiknya model dan tingkat konsumsi
menjadi justifikasi bagi naiknya harga dan model fasilitas perumahan.
Ini menjadi penyebab nilai properti naik, harga sewa naik, dan sekaligus
menyingkirkan kemampuan orang-orang yang berpendapatan rendah
untuk membeli rumah.
Warga negara yang memiliki pendapatan rendah akan semakin
kesulitan untuk memiliki tempat tinggal yang layak akibat daya beli
mereka menurun dan mereka akan semakin menjadi warga negara yang
terpuruk. Fenomena seperti ini akan melahirkan sebuah kawasan kumuh
dengan fasilitas yang amat rendah dan tanah-tanah sengketa yang tidak
jelas. Jika permasalahan mengenai perumahan tidak segera diatasi oleh
negara, maka akan menyebabkan naiknya angka kemiskinan,
keterberlakangan, dan potensi timbulnya kriminal.
Ada beberapa alasan pokok kenapa kebijakan mengenai layanan
perumahan menjadi tanggungjawab negara dalam model negara
kesejahteraan:47
1) Perumahan adalah bagian dari pasar aset yang amat rentan terhadap
spekulasi. Sektor perumahan mampu menimbulkan krisis ekonomi
apabila tidak dikendalikan dengan baik. Jadi, sektor perumahan
harus ditangani secara serius oleh negara.
2) Perumahan secara langsung melibatkan tata ruang tata wilayah.
Tata ruang tata wilayah merupakan pintu masuk terhadap
kepentingan ekonomi dan politik, sehingga membutuhkan
pengaturan yang akuntabel.
3) Berkembangnya kota-kota kecil menjadi mega-cities. Apabila
pengelolaan sektor perumahan gagal ditangani secara baik,
masalah perumahan menjadi embrio bagi kriminal.
Untuk mengatasi permasalahan diatas, negara harus melakukan
beberapa kebijakan:48
1) Negara menyediakan fasilitas tanah sekaligus bangunan untuk
layanan perumahan bagi warganya. Layanan perumahan ini bisa
berupa penyediaan rumah sederhana atau rumah susun oleh negara.
47 Ibid.,h. 128-129.
48 Ibid.,h. 131-132.
2) Negara menyediakan model-model kredit bagi warga negara sesuai
dengan jenis dan kelas perumahan, dengan tujuan agar warga
negara bisa memiliki kualitas hidup yang layak dengan tempat
tinggal yang layak dan dengan angsuran jangka panjang. Pola
kredit dengan model subsidi. Dalam hal ini negara membeli
perumahan melalui kerjasama dengan pengembang. Kemudian
warga negara membelinya dengan harga yang jauh berkurang.
Penjelasan diatas mengenai konsep negara kesejahteraan dalam
perspektif Barat, bukan bertujuan untuk menjadikan konsep kesejahteraan
yang dipraktekkan di Barat sebagai ukuran standar bagi terwujudnya
kesejahteraan, terutama dalam pembahasan penulis mengenai negara
kesejahteraan dalam kepemimpinan Umar bin Khattab. Tujuannya adalah
untuk menjelaskan konteks kesejahteraan yang dipraktekan di negara-negara
modern saat ini. Karena secara perangkat kesejahteraan mungkin hampir
sama, yaitu adanya peranan negara yang besar dalam memberikan jaminan
sosial dan pelayanan sosial.
BAB III
KEPEMIMPINAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
A. Biografi Khalifah Umar bin Khattab
Pasca meninggalnya Nabi Muhammad Saw. kepemimpinan umat Islam
dilanjutkan oleh empat sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan al-Khulafa’ ar-
Rasyidun. Umar bin Khattab adalah Khalifah kedua pengganti Abu Bakar, yang
lebih dikenal sebagai tangan kanan Nabi Muhammad Saw. Umar adalah sosok
pemimpin yang memiliki banyak keutamaan akan tetapi keutamaan yang ada
dalam dirinya tidak menjadikan ia sombong. Umar lebih dikenal sebagai
pemimpin yang tegas, sederhana dan menjungjung tinggi keadilan. Untuk itu
sebelum Penulis menulis tentang negara kesejahteraan dalam kepemimpinan
Umar bin Khattab, Penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai biogarafi
Khalifah Umar bin Khattab agar kita bisa lebih mendalami tentang
keperibadiannya.
Umar bin Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail
bin Abdul Uzza bin Riba’ah bin Abdullah bin Karth bin Razaah bin Adi bin
Ka’ab. Sedangkan nama lengkap ayahnya adalah Khattab bin Nufail al-Mahzumi
al-Quraisy, dan ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mugirah bin Abdullah
bin Umar bin Makzum. Bani Makzun adalah cabang lain dari suku Quraisy dan
sekutu dari Bani Umayah di zaman Jahiliyah. Keluarga Umar termasuk golongan
Quraisy dari Bani Adi, suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat
tinggi di kalangan orang-orang Arab.49
Umar di lahirkan di kota Makkah, dan ia lahir lebih muda empat tahun dari
Rasulullah. Selain mempunyai budi pekerti yang luhur, fasih dan adil, Umar
dikenal sebagai seorang pemberani dan pribadi yang dikenal keras sehingga ia
digelari dengan ‘Singa Padang Pasir’. Pada masa kecilnya Umar ikut membantu
ayahnya memelihara hewan ternak, dan ikut berdagang hingga ke Syiria.
Walaupun Umar merupakan keturunan Bani Adi yang sangat terpandang
dikalangan orang-orang Arab, akan tetapi ia bukan dari lingkungan keluarga kaya
raya. Lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang sangat menonjol dalam
bidang ilmu pengetahuan.50
Selain dikenal pemberani dan memiliki watak keras, Umar memiliki
postur tubuh yang tegap dan kuat. Pada masa remaja, ia dikenal sebagai pegulat
perkasa dan sering menampilkan kemampuannya itu dalam pesta tahunan pasar
Ukaz di Makkah. Umar juga memiliki kecerdasan yang luar biasa, dalam hal ini ia
mampu memperkirakan segala hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan
datang. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu menjadikannya wakil
kabilahnya, ketika terjadi perundingan-perundingan dengan suku-suku lain.
Sehingga Umar dan ayahnya sangat dikenal pandai berdiplomasi, dan dipercaya
untuk menyelesaikan barbagai perselisaihan yang terjadi baik antara suku Quraisy
atau dengan suku-suku lain.51
49 Hamdani Anwar, “Masa al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M. Din Syamsuddin, at all,
ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. II (Jakarta: P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 38.
50
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika
Press, 2003), h. 67.
51
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol. V (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 122.
Sebelumnya, Umar bin Khattab dikenal sebagai salah seorang tokoh dari
barisan non Muslim Quraisy yang sangat gigih menentang semua seruan Nabi
Muhammad Saw. Masuknya Umar ke dalam barisan sahabat Nabi Muhammad
Saw. sangat mengejutkan semua pihak baik kaum muslim maupun suku Quraisy.
Islamnya Umar bin Khattab dilatar belakangi oleh peristiwa ketika disampaikan
kepadanya tentang berita mengenai adiknya yang bernama Fatimah beserta
suaminya telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk Islam. Peristiwa
itu yang telah membuat Umar menjadi geram dan sangat murka, sehingga ia
segera pergi ke rumah adiknya. Sesampainya disana ia mendapati adiknya beserta
suaminya dan beberapa orang muslim sedang mempelajari Al-Qur’an. Ketika
mereka semua melihat Umar, semua yang ada disana terdiam membisu dan tidak
ada yang berani bergerak sedikit pun. Dengan emosi yang meluap-luap Umar
menampar adiknya beserta suaminya. Sebuah petunjuk atau hidayah dari Allah
Swt. datang pada Umar di waktu puncak emosi dan kemarahannya, lewat sebuah
lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang tertangkap oleh matanya.
Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan nyalinya menjadi ciut, dengan tangan
Umar yang gemetaran dipungutnya lembaran itu, lalu dibacanya ayat-ayat Al-
Qur’an yang tertera dilembaran tersebut. Menurut sebagian riwayat, lembaran
yang bertulisakan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca Umar adalah beberapa Ayat
dari permulaan surat at-Taha. Setelah membaca ayat-ayat itu, perasaannya
menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap dihatinya. Sehingga timbul dalam
dirinya keinginan yang sangat kuat untuk segera menemui Rasul Saw. Umar pun
bergegas meninggalkan rumah adiknya menuju rumah al-Arqam di mana Nabi
Muhammad Saw. pada saat itu sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-
sembunyi.52
Sesampainya di rumah al-Arqam, Umar segera mengetuk pintu. Para
sahabat yang sedang bersama Nabi Muhammad Saw. menjadi gentar dan
ketakutan ketika melihat yang datang adalah Umar bin Khattab, kecuali Hamzah
bin Abdul Muttalib, paman Nabi yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani.
Nabi Muhammad Saw. mempersilakan Umar untuk masuk. Melihat sikap Nabi
yang sangat lembut dan bijaksana, Umar merasa kecil dan lemah di hadapannya.
Sambil menggenggam leher baju Umar, Nabi berkata dengan suara lantang,
“Islamlah engkau, wahai Ibnu Khattab”. Umar pun akhirnya mengucapkan dua
kalimat syahadat, sebagai bukti ia telah memeluk Islam.
Banyak sumber menyatakan Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah
keNabian, dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad Saw.53
Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah dan
isterinya Zainab binti Maz’nun. Selain itu, keislaman Umar membuka jalan bagi
tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sehingga pada saat itu orang Arab banyak
yang masuk Islam dan dalam waktu yang sangat singkat pengikut Islam
bertambah dengan pesat. 54
Dakwah yang dilaksanakan oleh Nabi dan para
sahabatnya menjadi semakin terbuka setelah Islamnya Umar bin Khattab. Umar
berkorban untuk melindungi Nabi dan agama Islam, dan ikut berperang dalam
peperangan yang besar di masa Rasul Saw.
52 Ibid., h. 125.
53
Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 52.
54 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam , h. 125.
Nabi Muhammad Saw. memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
pembentukan karakter Umar bin Khattab. Karena selain sebagai sahabat terdekat
Nabi, Umar juga sangat mengagumi Nabi Muhammad Saw. Seperti telah
dijelaskan di atas, kekaguman Umar terhadap Nabi bisa terlihat ketika ia
mendatangi rumah al-Arqam untuk menemui Nabi yang mana pada waktu itu
Nabi memerintahkan para sahabat membukakan pintu dan mempersilakannya
untuk masuk. Umar kagum atas sikap Nabi yang sangat lembut dan bijaksana,
sehingga ia merasa lemah dan kecil dihadapan Nabi
Umar bin Khattab menjadi sahabat terdekat Nabi setelah ia masuk Islam.
begitu dekatnya dengan Nabi sampai Nabi Muhammad Saw. berkata; “Andaikan
masih ada Nabi sesudahku, Umarlah orangnya.” Ia juga digelari oleh Nabi
dengan gelar al-Faruq, artinya pembeda atau pemisah. Maksudnya, Allah telah
memisahkan dalam dirinya antara yang hak dan yang batil.55 Sehingga ketika
Umar menjadi Khalifah pengganti Abu Bakar, ia memimpin umat Islam dengan
sikap adil, sederhana, bijaksana dan lebih mengutamakan kesejahteraan rakyatnya.
Nabi Muhammad Saw. juga menggangap Umar seperti saudaranya sendiri.
Pada suatu hari Umar pernah mendengar Nabi memanggilnya dengan perkataan,
“wahai saudarku”. Bagi Umar panggilan saudara yang diucapkan oleh Nabi
Muhammad Saw. tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Peristiwa itu
terjadi ketika Umar ingin memohon izin kepada Nabi untuk melaksanakan Umrah.
Nabi bersabda; “wahai saudaraku, jangan lupakan kami dalam do’a mu”. Setiap
kali Umar mengingat perkataan Nabi tersebut, Umar selalu berkata; “tidak ada
kalimat yang aku sukai selama mentari masih terbit selain kalimat wahai
55Ibid., h. 125.
suadaraku yang diucapkan oleh Nabi”.56
Perhatian Nabi yang lebih terhadap Umar
merupakan hal yang masih dalam batas wajar. Karena Umar telah menunjukkan
kesetiaannya dan pengabdiannya tanpa pamerih demi kejayaan dan tegaknya
Islam. Umar menjadi pembela dan pelindung Umat Islam dari segala gangguan,
dan ia membawa cahaya terang dalam permulaan perjuangan Islam.
Sebagai bukti kebesaran Nabi Muhammad, ia menggangap saudara semua
manusia baik besar maupun kecil. Semua umat muslim yang dianggap saudara
oleh Nabi, mereka tidak akan pernah bisa melupakkannya. Karena hal itu
disebabkan oleh rasa bangga dan gembira, padahal antara mereka dan Nabi
terdapat perbedaan yang jauh. Sedangkan bukti kebesaran Umar adalah ia pantas
untuk persaudaraan itu, karena ia memahami kebesaran arti yang terkandung di
dalamnya dan mampu merasakan keridhaan di balik arti persaudaraan.
Umar dikenal sebagai sahabat yang berani dalam mengemukakan
pemikiran-pemikirannya dan pendapat-pendapatnya ke pada Nabi Muhamad
Saw., bahkan ia tidak segan-segan menyampaikan kritik untuk kebaikan dan
kemaslahatan umat Islam. Contohnya Umar pernah mengusulkan kepada Nabi
agar memerintahkan isteri-isterinya untuk memakai hijab (tirai), dengan tujuan
agar isteri-isteri Nabi ketika berbicara dengan tamu-tamunya dari belakang hijab,
sebab menurut Umar, yang berbicara dengan isteri-isteri Nabi bukan semuanya
orang baik-baik melainkan ada juga orang jahat. Tidak lama kemudian turunlah
ayat tentang hijab yang membenarkan pendapat Umar itu.
Kecerdasan yang luar biasa dan jiwa yang pemberani merupakan salah
satu kelebihan Umar. Sehingga Umar terkadang diminta oleh Nabi untuk
56Abbas Mahmud Al-Aqqad, Kejeniusan Umar bin Khaththab, terjemahan dari judul asli
buku “Abqariyun Umar bin Khattab”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. Ke-1, h. 128
mengemukakan saran-sarannya atau pemikirannya dalam menyelesaikan suatu
permaslahan. Pandangan yang jauh kedepan, keluwesan, dan keadilannya
membuat orang senang menerima pendapat-pendapat atau pemikiran-pemikiran
Umar. Ia juga banyak menengahi perselisihan yang terjadi di kalangan isteri-isteri
Nabi. Jadi Umar adalah sahabat Nabi dalam urusan rumah tangga dan sahabat
dalam urusan syariat. Hal itu terlihat dari sikap Nabi yang selalu mendengar
pendapat Umar ketika ia mengusulkan sesuatu, dan ketika Umar meminta
ditetapkan hukum-hukum, dan ketika mengharapkan wahyu dalam suatu
perkataan.
Umar bin Khatttab dikenal sebagai orang yang sederhana, ikhlas dan
zuhud dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga ia pantas dihormati dan dihargai
oleh kaum Muslimin pada masa itu. Karena Umar bukan orang yang selalu
mengutamakan kepentingannya sendiri, dan dengan hati ikhlas ia sering
memberikan pendapatannya untuk kepentingan umum. Kalau Rasullullah
memberikan kepadanya harta rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin,
Umar berkata: “berikan kepada yang lebih miskin dari saya”, kemudian Nabi
mengatakan: “terimalah dan simpan kemudian sedekahkan”.57
Ketika Nabi Muhammad Saw. sakit ia lebih memilih Abu Bakar untuk
menggantikannya menjadi imam shalat. Pernah suatu hari Abu Bakar tidak ada di
tempat untuk menjadi imam shalat sehingga Umar menggantikannya menjadi
imam dengan suara yang nyaring dan mengelegar, maka Rasulullah bertanya:
“mana Abu Bakar? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang
57 Muhammad Husein Haikal, Umar bin Khattab, terjemahan dari judul asli buku ”Al-
Faruq ’Umar,” (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2002), Cet. Ke-3, h. 63.
demikian”.58
Dalam hal ini bukan berarti Nabi tidak menghendaki Umar
menggantikan Abu Bakar menjadi imam, akan tetapi Nabi ingin menunjukkan
kepercayaan kepada Abu Bakar untuk menjadi pemimpin shalat.
Abu Bakar dan Umar bin Khattab merupakan dua sahabat Nabi yang
paling dekat. Dua sahabat Nabi itu memiliki sifat yang berbeda dan saling
melangkapi satu sama lain. Abu Bakar di kenal karena kelembutan dan
kebijaksanaannya, sedangkan Umar ibn Khattab terkenal dengan sifat keras dan
ketegasannya dalam memecahkan segala permasalahan. Kejayaan dan kemajuan
Islam pada masa Nabi tidak lepas dari peranan kedua sahabatnya itu. Kesatuan
Umat Islam pasca wafatnya Nabi diikat oleh ketegasaan Abu Bakar dan Umar
untuk menghindari perpecahan.
Kekaguman dan kecintaan Umar kepada Nabi Muhammad Saw. telah
membuatnya lemah dan tidak berdaya ketika ia mendengar berita bahwa Nabi
Muhammad Saw. telah wafat. Ia merasa amat terpukul dan bahkan tidak mau
percaya mengenai kenyataan yang harus dihadapinya. Ia mendatangi kerumunan
orang-orang dan mengatakan: “ada orang dari kaum munfik yang mengira bahwa
Rasulullah Saw. telah wafat. Tetapi, Demi Allah sebenarnya dia tidak meninggal,
melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin Imran. Ia telah menghilang
dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian kembali
lagi ke tengah-tengah mereka setelah ia dikatakan sudah mati. Sesungguhnya
Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia
telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong !”. Sehingga pada saat itu
Abu Bakar datang untuk memeriksa kondisi Nabi, dan Abu Bakar yakin bahwa
58 Ibid., h. 65.
Nabi Muhamad Saw. telah wafat. Kemudian Abu Bakar berkata di depan semua
kaum muslimin dan Umar, 59 ia membacakan firman Allah Swt. Sebagai berikut:
2)�� �Ec☺L2�� !;�F <���. DE�S
Dl��+o ��) ����'�S %W���� �
Is��v�(�� N�G) ���� :W�/�S
��K��3���F@ 8� 2%
��K1�3 �FD%�� � �2)�� �����FH2X
�8� 2% ��fR23�F2% ����( �=�2X #�
��fR⌧# 1 ]i]D��R+��� ��
2I�i�>3 pU� �AC
Arttinya : “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika
Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah
akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
(Q.S. Ali Imran ayat 144).
Sikap Umar tersebut menunjukkan bahwa ia tidak ingin ditinggal oleh
Nabi Muhammad Saw. karena Umat Islam pada saat itu baru mendapatkan masa
kejayaan dan kemajuaannya lewat kepemimpinan Nabi. Ia memikirkan mengenai
kondisi umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw.dan hanya Abu Bakar
yang mampu menyadarkan dan meyakinkan Umar bahwa Nabi telah wafat.
Setelah Umar mendengar firman Allah yang dibacakan oleh Abu Bakar, ia pun
langsung terjatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tidak mampu lagi
menahan lemas, setelah ia yakin bahwa Nabi Muhammad Saw. memang benar-
benar telah wafat. Kondisi Umar pada saat itu seolah-olah ia tidak pernah
mendengar ayat yang dibacakan oleh Abu Bakar sebelumnya.
Setelah Umar yakin mengenai wafatnya Nabi, ia sadar bahwa kaum
Muslimin telah ditinggalkan oleh pemimpinnya. Sebagai manusia politik, ia harus
59 Ibid., h. 65.
memikirkan masa depan kaum Muslimin menuju puncak kejayaan dan tegaknya
agama Islam seperti yang dicita-citakan Nabi. Kekosongan kepemimpinan dalam
Islam menjadi pusat pemikiran Umar. Karena ia takut akan terjadi perpecahan dan
permusuhan dalam Islam pasca wafatnya Nabi.
Nabi Muhammad Saw. wafat pada hari senin tanggal 12 Rabiulawal 11 H,
bertepatan dengan tanggal 9 Juli 632.60
Sepeninggalan Nabi muncullah sebuah
permasalahan baru mengenai siapa orang yang pantas dan berhak menduduki
jabatan politik untuk memimpin pemerintahan Madinah. Karena Nabi tidak
meninggalkan wasiat mengenai pergantian kepemimpinan atau suksesi. Kelompok
Muhajirin dan Anshar saling mengklaim bahwa mereka paling berhak dalam
menggantikan posisi Nabi. Pembicaran mengenai suksesi itu akhirnya terjadi di
Tsaqifah Bani Saidah, padahal pada saat itu jenazah Nabi masih diurus.
Jika tidak ada orang yang dapat mengambil strategi dan langkah yang
tepat, maka kaum Muhajirin dan Anshar akan terjerumus pada perselisihan dan
akan terjadi perpecahan dalam umat Islam. Di tengah-tengah suasana goncang dan
tidak menentu seperti itu, muncullah keajaiban yang mampu mengembalikan
keadaan seperti sedia kala. Keajaiban itu tidak lain datang dari sebuah nama Umar
bin Khattab. Semua fitnah dapat dihapuskan lewat sikap ketegasan Umar di
Tsaqifah Bani Saidah.
Mungkin peristiwa di Tsaqifah Bani Saidah merupakan kejelasan dan titik
terang mengenai karier politik Umar untuk memimpin pemerintahan Madinah.
Pada masa Nabi hidup ia sudah menjadi orang kepercayaan Nabi dan saran-
sarannya selalu diminta oleh Nabi dalam memecahkan sebuah permasalahan.
60 Hamdani Anwar, Masa al-Khulafa ar-Rasyidun, h. 35.
Lewat perhatian atau sikap Nabi itu sebenarnya karier politik Umar sudah terlihat.
Akan tetapi ia bukan tipe orang yang haus atau berambisi untuk menjadi
pemimpin. Sikap Umar ini bisa kita lihat sebelum peristiwa pembaiatan yang
dilakukannya kepada Abu Bakar.
Sebelum peristiwa bersejarah itu berlangsung, Abu Bakar dan Umar
sempat melakukan dialog. Abu Bakar berkata kepada Umar, “Bukalah tangan mu,
aku akan membai’at mu!”. Umar dengan tegas dan spontan menjawab, “anda
lebih utama dari pada aku”. Kemudian dengan penuh senyum dan keikhlasan Abu
Bakar balik menjawab, “tapi anda lebih kuat dari pada aku “. Umar selanjutnya
menjawab perkataan Abu Bakar, “kekuatan ku akan mendampingi kelemahan mu;
setelah Rasullulah wafat, tidak ada orang lain yang melebihi anda, wahai Abu
Bakar. Andalah yang telah mendampingi Rasulullah di gua. Rasulullah Saw. pun
telah mempercayakan kepada anda saat ia sakit untuk menjadi imam shalat. Maka
andalah orang yang paling tepat untuk menduduki jabatan ini”.61 Setelah itu Umar
pun segera membai’at Abu Bakar untuk menjadi pemimpin pemerintahan
Madinah setelah wafatnya Nabi.
Setelah Umar membai’at Abu Bakar, kemudian orang-orang yang
berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah segara mengikuti langkah Umar untuk
membai’at Abu Bakar. Dengan demikian, proses suksesi atau pemilihan Khalifah
dilakukan secara aklamasi oleh perorangan yaitu Umar bin Khattab lalu disetujui
oleh kaum Muslimin. Abu Bakar di bai’at dua kali, bai’at yang kedua dilakukam
di masjid Nabawi. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan al-bai’ah al-‘ammah
(bai’at umum). Dalam pidato bai’atnya ia mengatakan:
61 Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab, terjemahan dari judul asli buku
“Al-a’dzhom Umar bin Khattab,” (Solo Pustaka Mantiq, 1993), Cet. Ke-2, h. 253.
“wahai manusia! Aku telah diberi tugas memimpin kalian, padahal aku
bukan yang terbaik di antara kalian. Karena itu jika aku bertindak benar bantulah aku; jika aku bertindak salah, tegurlah aku. Orang yang kalian
pandang lemah aku pandang kuat hingga aku pulihkan hak mereka; sedangkan yang kalian pandang kuat aku pandang lemah sampai aku dapat
mengembalikan hak kepadanya. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak menaati Allah, kalian tidak wajib taat
kepadaku”.62
Umar telah tampil kedepan untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran.
Ketinggian nilai perbuatannya itu telah menempatkan Umar pada posisi yang
paling mulia diantara para sahabat, bahkan disisi Allah Swt. sehingga Abu Bakar
pun menjadikan dia sebagai tangan kanannya, yang mana nasihat-nasihat Umar
selalu diminta oleh Abu Bakar dalam menjalankan kepemimpinanya sebagai
Khalifah. Kekuatan Umar mampu mendampingi dan mengontrol kebijaksanaan
Abu Bakar. Sehingga terkadang sejumlah kaum Muslimin sulit untuk
membedakan siapa sebenarnya yang menjadi Khalifah. Sampai pernah timbul
pertanyaan kepada Abu Bakar, sebagai berikut:
“Demi Allah, kami tidak paham siapakah sesungguhnya yang menjadi Khalifah: anda ataukah Umar?’, kemudian Abu Bakar menjawab dengan
Ikhlas: “seandainya dia mau dialah yang menjadi Khalifah.”63
Segala keutamaan Abu Bakar dan kekuatan Umar merupakan sebuah
perpaduan yang memperkuat Islam pasca wafat Nabi Muhammad Saw. Bahkan
kedua orang ini walaupun berbeda kareakter atau sifat, keduanya selalu saling
tegur menegur dalam memilih antara dua pendapat yang berbeda. Sehingga
seolah-olah keduanya mantap untuk menguatkan salah satu diantara sebagian
pendapat yang nantinya tidak akan menjadi masalah yang akan menimbulkan
perselisihan antara mereka. Semua ini karena Abu Bakar dan Umar berasal dari
62 Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
dengan UIN Prss, 2007), h. 32.
63 Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab, h. 255.
satu Aqidah (keyakinan) dan demi mencapai satu tujuan, yaitu untuk menegakkan
Islam dan menyebarkan Islam keseluruh penjuru dunia.
Seperti telah dijelaskan di atas, karier politik Umar sudah sangat jelas pada
masa Abu Bakar lewat peran aktifnya dalam membantu roda pemerintahan
Madinah yang dipimpin oleh khlaifah Abu Bakar. Keduanya mengalami
perubahan sifat atau karakter, seolah-olah ada pertukaran karakter secara tidak
langsung dalam diri mereka berdua. Abu Bakar sebelum memegang jabatan
politik sebagai Khalifah ia memiliki perangai yang lemah lembut dan bijaksana.
Setelah ia menjadi pemimpin pemerintahan Madinah pasca wafat Nabi, ia
memiliki perangai atau sifat yang tegas dan keras terutama kebijakan politiknya
dalam menghadapi orang-orang murtad dan orang-orang yang tidak mau
mengeluarkan zakat. Sedangkan Umar bin Khattab pada masa Nabi ia dikenal
memiliki perangai yang tegas, keras dan berani, akan tetapi pada masa
kekahlifahan Abu Bakar ia mendadak menjadi orang yang lemah lembut dan
bijaksana. Hal ini bisa dilihat ketika ia mengungkapkan saran-sarannya dalam
menentukan kebijakan politik Abu Bakar.
Perbedaan sikap politik antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab dari segi
kekuatan dan kebijaksanaan, bisa kita lihat ketika Abu Bakar mengambil sikap
untuk meneruskan kebijakan-kebijakan politik Nabi Muhammad Saw. yang belum
sempat direalisasikannya. Terutama mengenai ekspansi (futuhat) yang akan
dipimpin oleh Usamah bin Zaid ke wilayah Syam, yang pada waktu itu diduduki
oleh pasukan Romawi. Padahal Pemerintahan Madinah sedang terancam oleh
pemberontakan yang dilakukan orang-orang murtad dan orang-orang yang tidak
mau membayar zakat. Sehingga bila ekspansi ke wilayah Syam tetap dilakukan
maka pemerintahan Madinah akan mengalami kelemahan, karena semua pasukan
muslim akan di tarik ke Syam.
Usamah bin Zaid pada waktu itu meminta kepada Umar bin Khattab untuk
meminta izin kepada Abu Bakar agar ia dan pasukannya untuk membantu
pemerintahan Madinah dalam menghadapi kaum musyrik. Kemudian kaum
Anshar pun berkata kepada Umar agar disampaikan kepada Abu Bakar untuk
mengganti Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan ke Syam, karena usianya
terlalu muda.
Kedua permintaan Usamah dan kaum Anshar tidak ditolak oleh Umar dan
disampaikan kepada Abu Bakar. Tetapi Abu Bakar Menjawab: “sekiranya saya
yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan
yang sudah diambil oleh Rasulullah Saw.”, kemudian mengenai permintaan kaum
Anshar, Abu Bakar menjawab: “celaka anda Umar, Rasulullah Saw.
menempatkan dia kemudian saya akan mencabutnya.” Ini lah perbedaan kecil
mengenai perbedaan kebijakan politik antara Umar dan Abu Bakar.64
Diantara perbedaan sikap politik yang terjadi, Umar merupakan tipe orang
yang bertanggung jawab dan patuh pada orang yang memegang jabatan
pemimpin. Ia akan menjalankan segala kebijakan politik yang dikeluar oleh
Khalifah Abu Bakar dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Sehingga perbedaan
diantara mereka bukan lah sebuah halangan dalam mencapai sebuah tujuan.
Perbedaan di antara mereka hanya muncul dalam permasalahan kebijakan
kenegaraan saja, diluar itu mereka merupakan dua sahabat yang saling
menggagumi satu sama lain.
64 Muhammad Husein Haikal, Umar bin Khattab, h. 72-73.
Kekaguman dan kepercayaan Abu Bakar kepada Umar sangat lah besar.
Sehingga ketika Abu Bakar sakit menjelang wafat, ia harus melakukan suksesi
untuk mencari penggantinya sebagai Khalifah. Agar umat Islam tidak mengalami
perpecahan hanya karena permaslahan suksesi kepemimpinan seperti yang terjadi
pasca wafatnya Nabi. Secara diam-diam Abu Bakar berpikir tentang siapa tokoh
yang pantas menggantikannya. Setelah ia meneliti pribadi masing-masing pemuka
Islam pada waktu itu, pilihannya jatuh kepada Umar bin Khattab. Untuk
meyakinkan pilihannya, Abu Bakar kemudian berkonsultasi dengan tokoh-tokoh
terkemuka Islam tentang penunjukan Umar. Mereka yang diajak berdiskusi itu
antara lain Abdur Rahman bin Auf, Usman bin Affan, Usaid bin Hudair al-
Anshari, Sa’id bin Zaid, dan Talhah bin Ubaidah.65
Pada akhirnya para pemuka Islam menyetujui pilihan Abu Bakar. Karena
mereka mengenal dengan baik siapa dan bagaimana pribadi Umar. Namun mereka
masih khawatir dengan sikap keras yang dimiliki Umar. Abu Bakar meyakinkan
mereka bahwa sikap keras Umar itu ditunjukkan untuk mengimbangi sikap
Khalifah yang lembut, ia pun yakin bahwa sikap keras itu akan berubah setelah
Umar diserahi tanggung jawab sebagai pemimpin politik pemerintahan Madinah.
Kemudian Khalifah Abu Bakar memanggil Usman bin Affan untuk mencatat
wasiatnya mengenai penetatapn Umar bin Khattab sebagai pemimpin umat dan
kepala pemerintahan setelah ia wafat.
Sebagai seorang politikus yang tidak terlalu terobsesi untuk menjadi
pemimpin politik pemerintahan Madinah, Umar tidak langsung menerima
penunjukkan dirinya oleh Abu Bakar. Sehingga ketika ia akan di bai’at oleh Abu
65 Hamdani Anwar, Masa al-Khulafa ar-Rasyidun, h. 39.
Bakar, ia merasa berat. Kemudian Umar berkata kepada Abu Bakar: “Aku tidak
butuh dengan jabatan ini.” Abu Bakar pun menjawab perkataan Umar: “Tetapi
jabatan ini membutuhkan engkau wahai Umar ibn Khattab.”66 Bahkan ketika
dalam pidato Umar setelah ia di Bai’at ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak
pantas mendapatkan jabatan ini, apabila ada orang yang lebih pantas dari pada aku
untuk menduduki jabatan ini maka lebih baik kepalaku dipenggal.”
Khalifah Umar bin Khattab di bai’at setelah jenazah Khalifah Abu Bakar
dikebumikan. Seperti telah dijelaskan di atas, Umar menjadi Khalifah atas usulan
Khalifah Abu Bakar kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah dengan para
pemuka Islam saat itu. Umar di bai’at di masjid Nabawi oleh semua umat Muslim,
dan ia mendapatkan gelar “Khalifah khalifati Rasulillah” (pengganti pengganti
Rasul). Ia juga mendapatkan gelar lainnya yaitu; Amir al-Mu’minin (pemimpin
orang-orang beriman).67
Pemerintahan Khalifah Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu
dari 13 H/634 M-23 H/644 M.68 Pemerintahan Madinah pada masa kepemimpinan
Khalifah Umar bisa dikatakan sebagai pemerintahan yang penuh dengan nilai dan
prinsip demokrasi. Ia mampu menjamin hak-hak setiap warga negaranya, dengan
cara tidak membedakan antara atasan dengan bawahan, dan antara penguasa
dengan rakyat. Khalifah Umar tidak memberikan hak istimewa kepada dirinya
sendiri dan para pejabatnya, sehingga tidak ada pengawalan baginya dan pejabat
pemerintahannya, tidak ada istana, bahkan tidak ada pakaian kebesaran.
66 Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab, h. 258.
67
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997),
Cet. Ke-6, h. 37. 68 Hamdani Anwar, Masa al-Khulafa ar-Rasyidun, h. 39.
Khalifah Umar meninggal akibat tikaman pisau yang dilakukan oleh
seorang budak berkebangsaan persia yang bernama Feroz atau Abu Lu’lu’ah,
ketika ia hendak melaksanakan shalat subuh. Umar mengalami luka yang sangat
parah, dan setelah tiga hari dari peristiwa penikaman tersebut, ia wafat pada
tanggal 1 Muharram 23 H.
B. Negara Madinah Di Bawah Kepemimpinan Umar
Khalifah Umar bin Khattab pada masa pemerintahanya melakukan
beberapa langkah politik untuk memperkuat dan memperluas pemerintahan
Madinah. Langkah politik ekspansi (futuhat) merupakan langkah politik yang
paling dominan dilakukan oleh Umar selama ia memimpin. Karena pada masa
Abu Bakar ekspansi telah dilakukan keluar semenanjung Arab, dan Umar pun
harus melanjutkan perjuangan yang telah dijalankan oleh Abu Bakar yang belum
tuntas. Selain itu pasukan-pasukan Muslim telah tersebar ke beberapa wilayah
yang akan ditaklukkan. Umar yang sangat memahami kondisi psikologis pasukan
Islam yang memiliki semangat dakwah yang sangat besar untuk menyebarkan
ajaran-ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Selain karena bangsa Arab (kaum
Badui) dikenal memiliki kebisaan berpindah-pindah tempat tinggal atau nomaden
dan kebisaan berperang. Penyatuan antara aspek-aspek dakwah, nomad dan suka
berperang dari pasukan Islam, digunakan oleh Umar untuk melanjutkan perjungan
Khalifah Abu Bakar dalam memperluas kekuasaan pemerintahan Madinah dan
menyebarkan Islam.69
69 Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik, h. 68-69.
Pemerintahan Umar merupakan pemerintahan yang paling terkenal dengan
kebijakan politik ekspansi, pada masa pemerintahnnya itu imperium Roma Timur
(Bizantium) telah kehilangan sebagian terbesar dari wilayah kekuasaannya pada
pesisir Barat Asia dan Pesisir Utara Afrika. Pasukan Islam juga pada masa itu
telah berhasil menguasai seluruh wilayah imperium Parsi (Persia) sampai pada
Asia Tengah.70
Kemenangan pasukan Islam dalam peperangan dengan Pasukan
Romawi dan pasukan Persia disebabkan oleh 2 (dua) faktor:
1. Melemahnya kondisi internal kedua kerajaan tersebut secara militer, hal
itu diakibatkan oleh peperangan di antara mereka dan peperangan
melawan pasukan Islam sebelumnya.
2. Perilaku kedua kerajaan tersebut kepada rakyatnya, bangsa-bangsa
seperti Coptik di Mesir, Nonophysit di Siria dan Nestorian di Irak yang
beragama Kristen memiliki sejarah panjang ketidakserasian hubungan
dengan pejabat-pejabat Bizantium dan Sasania yang menguasasinya.
Kondisi ini membuat mereka memilih bergabung dengan pasukan Islam
dan menerima penguasa baru dalam kekuasaan pemerintahan Umar ibn
Khattab.71
Perluasan wilayah pada zaman Khalifah Umar berlangsung dalam waktu
sepuluh tahun. Pada waktu yang relatif singkat itu, daerah yang dikuasai oleh
pemerintahan Madinah bertambah secara spektakuler. Pada saat itu daerah yang
berada dibawah kekuasaan pemerintahan Khalifah Umar, terbentang dari Tripoli
70 Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
h. 141.
71
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik, h. 70.
(Afrika Utara) di Barat sampai ke Persia di Timur, dan dari Yaman di selatan
hingga Armenia di Utara. Hal ini merupakan hasil dari para panglima dan
tentaranya, serta kebijakan Khalifah dalam mengarahkan dan membina mental
pasukan.
Ketika wilayah pemerintahan Madinah semakin luas, Umar menetapkan
kebijakan politik bagi wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan oleh pasukan
Islam. kebijakan politik itu adalah memberikan kebebasan kepada warga yang
wilayahnya telah menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan Madinah untuk
memeluk atau tidak memeluk agama Islam. Prinsip ini pernah dijalankan oleh
Rasulullah yang memberikan izin kepada pemeluk agama Yahudi dan Kristen
tetap berpegang pada agamanya, dengan catatan mereka harus membayar upeti
(pajak).
Prestasi gemilang Umar bukan hanya dalam hal pembebasan wilayah-
wilayah baru ke pangkuan kekuasaan pemerintahan Islam, melainkan dalam
aspek-aspek lain. Ia telah mampu memikirkan dan menciptakan administrasi
negara yang sebelumnya tidak ada. Umar membagi kekuasaan Islam yang
berpusat di Madinah ke dalam beberapa propinsi, yaitu; Mekkah, Madinah,
Suriah, Jazirah, Bashrah, Kufah, Mesir dan Palestina. Sebuah langkah politik yang
sangat tepat telah dilakukan Umar untuk membagi wilayah kekuasaan Islam yang
sangat luas, karena wilayah kekuasaan yang begitu luas tidak mungkin dapat
diatur oleh pemerintahan Madinah secara langsung. Setiap propinsi dipimpin oleh
para gubernur, dan kedudukan gubernur disetiap wilayah merupakan wakil
Khalifah di Madinah.
Dasar-dasar sistem pemerintahan yang tangguh telah dibentuk pada masa
pemerintahan Umar. Ia telah menciptakan lembaga-lembaga kenegaraan untuk
memudahkan urusan administrasi dan keuangan. Lembaga-lembaga dan dewan-
dewan yang dibentuk Umar seperti; Bait al Maal (perbendaharaan negara),
pengadilan dan pengangkatan hakim, jawatan pajak, penjara, jawatan kepolisian,
juga membuat aturan pemberian gaji kepada tentara dan tentara cadangan,
pemberian gaji kepada guru-guru, imam dan muadzin, pembebanan bea cukai,
pungutan pajak atas kuda-kuda yang diperdagangkan, pungutan pajak atas orang-
orang Kristen bani Tighlab sebagai ganti Jizyah. Umar juga membuat mata uang
dan kalender tahun hijriah yang dimulai dari hijrah Rasul.72
Lembaga-lembaga pemerintahan itu merupakan langkah awal bagi adanya
prinsip-prinsip negara kesejahteraan dalam kepemimpinan Umar bin Khattab.
Kemudian Umar menetapkan kebijakan politik untuk mendaftar atau mencatat
seluruh kekayaan para pejabat yang akan dilantik untuk ditempatkan di wilayah-
wilayah pemerintahan Madinah. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya
penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Sehingga kesejahteraan warga disemua
wilayah pemerintahan Madinah dapat terjamin.
Khalifah Umar bukan hanya dikenal sebagai seorang negarawan yang
mampu menciptakan sebuah peraturan baru, ia juga mampu memperbaiki dan
mengkaji ulang terhadap segala kebijaksanaan yang telah ada pada masa Nabi dan
Abu Bakar. Semua itu ia lakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan
zaman dan kemaslahatan bagi semua umat Islam. Karena bagi Umar sudah
menjadi kewajiban seorang politikus untuk mempertimbangkan semua peristiwa
72Ibid., h. 72.
disekitarnya dan dapat mengatur segala persoalan dengan pandangan yang lebih
tajam.
Negara kesejahteraan (welfare state) dalam Islam merupakan istilah yang
tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an secara eksplisit. Namun, seperti telah dijelaskan
di bab sebelumnya, bahwa Islam merupakan ajaran yang sangat menjungjung
tinggi nilai-nilai kesejahteraan sosial. Islam merupakan ajaran (agama) yang
memiliki nilai dan tujuan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya,
termasuk aspek sosial, ekonomi, dan politik. Karena semua aspek tersebut saling
terkait, sedangkan pandangan hidup Islami merupakan sebuah kesatuan yang utuh,
maka setiap tujuan dan nilai dari satu bidang kehidupan akan menentukan tujuan
dan nilai pada bidang lainnya. aspek-aspek kehidupan yang ada dalam ajaran
Islam tersebut merupakan inspirasi dan keharusan bagi Umar menciptakan sebuah
negara yang memegang teguh prinsip-prinsip kesejahteraan.
Prinsip-prinsip ‘adalah (social justice) merupakan prinsip yang ada dalam
ajaran Islam, dan merupakan keharusan bagi setiap umat Islam untuk
melaksanakannya pada semua aspek kehidupan. Sebagian penafsir menyatakan
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw. di
Makkah sangat sarat dengan ajaran-ajaran tentang keadilan sosial. seperti tentang
memperhatikan orang miskin, anak yatim dan kalangan dhua’fa lainnya. Prinsip
dasarnya adalah setiap orang memiliki hak untuk hidup dan berkembang dengan
sejahtera di dalam masyarakatnya. Kemudian Islam sangat melarang adanya
ketimpangan dalam sebuah masyarakat (negara), dimana orang lapar dan lemah,
orang miskin atau yatim, orang cacat dan buta huruf dibiarkan dalam kesulitan
sementara sebagaian masyarakat lainnya hidup dalam kondisi sejahtera dan
berkecukupan. 73
Prinsip-prinsip di atas merupakan landasan awal bagi sistem politik
kenegaraan pada masa Rasulullah untuk menjadikan negara Madinah sebagai
sebuah institusi yang dibiayai oleh rakyat lewat pembayaran pajak-pajak,
kemudian negara mencurahkan semua sumber daya negara untuk menciptakan
skema-skema kesejahteraan bagi warga negaranya. Kewajiban membayar zakat
(termasuk di dalamnya dianjurkan membayar sedekah, infaq, qurban dan wakaf)
adalah sebuah sistem yang ada dalam Al-Qur’an yang tujuannya untuk
menciptakan stabilitas dalam masyarakat (negara) agar tidak adanya ketimpangan-
ketimpangan antara si miskin dan si kaya, dan zakat juga berfungsi sebagai
penopang kesejahteraan sosial.
Periode kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab merupakan masa
keemasan (golden age) bagi Umat Islam. Walaupun sebenarnya pada masa
kepemimpinan politik Rasulullah dan Abu Bakar negara Madinah sudah menjadi
sebuah model negara sejahtera, tetapi pada masa Umar lah negara Madinah
mengalami penyempurnaan. Kesempurnaan pemerintah pada masa Umar tidak
hanya dilihat dari lahirnya institusi-institusi yang menopang pemerintahannya,
akan tetapi kesempurnaan itu bisa lebih di lihat dari bagaimana cara Umar
mencurahkan kekuasaan negara untuk kesejahteraan rakyatnya.
73 Sirojudin Abbas, “Sintesa Islam dan Kesejahteraan Sosial: Eksperimentasi Pendidikan
Kesejahteraan Sosial di UIN Jakarta,” dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai Islam dan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project, 2006), h. 39.
BAB IV
NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM KEPEMIMPINAN UMAR BIN
KHATTAB
A. Kebijakan-kebijakan Politik Umar Dalam Mewujudkan Kesejahteraan
Adiwarman Azwar Karim, dalam bukunya yang berjudul “Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam,” mengutip dari bukunya Abu Yusuf yang berjudul
“Kitab al-Kharaj,” Menurut Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah
mewujudkan serta menjamin kesejahtraan rakyatnya. Ia selalu menekankan
pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek
yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan
Khalifah Umar bin Khattab, yang mengatakan “bahwa sebaik-baik penguasa
adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-
buruknya penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah
menemui kesulitan….”74
Sesuai dengan penjelasan diatas, bahwa penguasa memiliki kewajiban
untuk menciptakan sebuah kebijakan-kebijakan politik yang bertujuan untuk
kebaikan bersama. Artinya segala kebijakan politik para penguasa harus
berorientasi pada kemakmuran rakyat, bukan untuk mencari keutungan dibalik
74 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 236.
hilangnya kesejahteraan rakyat. Fenomena kebijakan-kebijakan politik para
penguasa negara saat ini tidak selalu berpihak pada rakyat-rakyat lemah atau
miskin, melainkan lebih memihak kepada kelompok-kelompok kepentingan (para
pemilik modal, elit-elit politik, dan lain sebagainya).
Pada sub bab ini penulis, ingin mencoba menjelaskan secara rinci
mengenai kebijakan-kebijakan politik Khalifah Umar bin Khattab dalam
memimpin negara Madinah. Karena banyak kebijakan-kebijakan politik Khalifah
Umar yang pada masa Nabi Muhammad dan Abu Bakar belum pernah diterapkan,
dan kebijakan-kebijakan politik ini lebih kepada kebijakan-kebijakan dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat yang berada di bawah
pemerintahannya. Kemudian lewat kebijakan-kebijakan politik Khalifah Umar bin
Khattab, negara Madinah yang dipimpinnya telah menjadi sebuah model negara
kesejahteraan yang sangat penting untuk diaktualisasikan.
1. Pendirian Baitul Mal
Batul mal merupakan lembaga yang berfungsi sebagai tempat
untuk menyimpan harta kekayaan negara yang diperoleh dari sumber-
sumber pendapatan negara, dan digunakan untuk kepentingan kesejahteraan
sosial umat. Harta yang di simpan di Baitu mal adalah milik negara bukan
milik individu, walaupun demikian, pemimpin negara dan gubernur bisa
mengambil bagian dari harta Baitul mal untuk mencukupi kebutuhan
pribadinya.
Baitul mal dalam konteks ketatanegaraan di abad modern,
terutama di Indonesia, bisa kita identikan dengan departemen keuangan,
karena lembaga tersebut memiliki tugas untuk mengatur dan menggelola
keuangan atau kekayaan negara, dan semua pemasukan dan pengeluaran
negara dicatat di lembaga tersebut. Hal ini, bisa dilihat dari tugas dan fungsi
departemen keuangan, yaitu:75
1. Tugas
• Membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas
pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara.
2. Fungsi
• Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksana, dan kebijakan
teknis di bidang keuangan dan kekayaan negara.
• Pelaksana urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan
negara.
• Pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya.
• Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang keuangan dan kekayaan
negara.
• Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di
bidang keuangan dan kekayaan negara kepada Presiden.
Nabi adalah “kepala negara” pertama yang memperkenalkan
konsep di bidang keuangan negara di abad ke-7, yaitu Baitul mal. Fungsi
Baitul mal adalah menjamin kebutuhan hidup dan kesejahteraan sosial
75 Departemen Keuangan Republik Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 16 November 2008
dari situs http://www.depkeu.go.id/Ind/Organization/TugasFungsi.htm
minimum bagi setiap orang Muslim dan non-Muslim yang hidup dalam
pemerintahan Islam.76
Pada masa Pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab Baitul mal
semakin dikembangkan fungsinya, sehingga menjadi lembaga yang reguler
dan permanen. Baitul mal pada masa Umar juga tidah hanya ada di Ibu kota
negara (Madinah), seiring dengan luasnya wilayah kekuasaan pemerintahan
Islam, ia menetapkan kebijakan politik untuk membangun cabang-cabang
baitul mal di Ibu kota provinsi. Untuk mengawasi lembaga tersebut agar
berjalan dengan baik, Khalifah Umar menunjuk Abdullah ibn Irqam sebagai
bendahara negara dengan Abdullah ibn Ubaidah Al-Qari dan Muayqab
sebagai wakilnya. Hal itu dilakukan Umar agar kesejahteraan sosial warga
negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam tercipta secara
merata. Pembangunan institusi Baitul mal yang dilengkapi dengan sistem
administrasi yang tertata baik dan rapih merupakan kontribusi terbesar yang
diberikan oleh Khalifah Umar bin Khattab kepada dunia Islam dari segi
ketatanegaraan.77
Dalam pengelolaan Baitul mal, Khalifah Umar dan para amil hanya
sebagai pemegang amanah. Sedangkan pengelolaan Biatul mal di tingkatan
cabang-cabang atau provinsi dilakukan oleh para pejabat setempat, dan tidak
bertanggungjawab pada gubernur. Pejabat-pejabat Baitul mal di tingkatan
cabang memiliki otoritas penuh dalam mengelola harta umat serta
bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Oleh sebab itu negara
76 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi:
Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas
Paramadina, 2008), h. 51.
77 Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 59-60.
memiliki tangunggjawab untuk menyediakan makanan bagi para janda,
anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai penguburan orang-
orang miskin, membayar hutang-hutang orang yang bangkrut, membayar
diyat untuk kasus-kasus tertentu, seperti membayar diyat perajurit Shebani
yang membunuh orang Kristiani untuk menyelamatkan nyawanya, serta
memberikan pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial. Tanggung jawab
negara pada masa Khalifah Umar di atas merupakan salah satu peranan
negara dalam menghadirkan jaminan-jaminan sosial bagi orang-orang yang
lemah atau miskin.
Untuk mendukung distribusi harta umat yang ada di Baitul mal,
Khalifah Umar bin Khattab menetapkan kebijakan politik untuk mendirikan
beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:
a. Departemen Pelayanan Militer.
Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana
bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan
keluarga setiap penerima dana.
b. Departemen Kehakiman dan Eksekutif.
Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran
gaji para hakim dan para pejabat eksekutif. Besarnya gaji ini
ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus
mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap
dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi
perbedaan, hal itu tetap dalam batas-batas kewajaran.
c. Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam.
Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi
penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti
guru dan juru dakwah. Semua orang yang terlibat di dalam
penyebaran dan pengembangan ajaran Islam akan diberikan
sumbangan uang dari Baitul mal setiap tahunnya. Meskipun
pengabdian ini dilandasi karena Allah Swt. dan atas kemauan sendiri,
maka hal ini dianggap merupakan tanggung jawab negara untuk
memberikan santunan kepada keluargannya sehingga mereka tidak
akan terlantar kebutuhan hidupnya.78
d. Departemen Jaminan Sosial.
Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana
bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang
menderita. Kemudian departemen ini juga memiliki daftar bantuan
untuk mereka fakir yang menderita dan miskin. Tujuan dari
departemen ini adalah agar tidak seorang pun di negara yang
dipimpin oleh Khalifah Umar itu terabaikan kebutuhan hidupnya.
Semua orang yang sakit, lanjut usia, cacat, yatim piatu, janda atau
orang-orang yang tidak mampu memperoleh penghidupan sendiri
diberi bantuan keuangan secara tahunan dari Baitul mal. Badan ini
dibentuk oleh khalfiah Umar bin Khattab, atas dasar ayat-ayat Al-
Qur’an mengenai sadaqah dan zakat, serta sabda Rasulullah Saw.
secara eksplisit menyatakan bahwa sadaqah harus dikumpulkan dari
78 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, dengan judul asli buku “Economic Doctrines
of Islam,” Jilid 1 (Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 171.
orang-orang kaya dan diperuntukan bagi orang-orang miskin dan
mendirita di dalam masyarakat.79
Secara umum, harta umat di Baitul mal digunakan untuk
penyebaran Islam, gerakan pendidikan dan kebudayaan, pengembangan ilmu
pengetahuaan, pembangunan infrastruktur, pembangunan armada perang
dan keamanan.
Kebijakan politik Khalifah Umar bin Khattab dalam
mendistribusikan pendapatan-pendapatan negara, sangat mirip dengan
kebijakan-kebijakan pokok yang harus ada dalam sistem negara
kesejahteraan modern (modern welfare state system). Karena pendapatan
negara oleh Khalifah Umar digunakan untuk menciptakan skema-skema
yang mengarah pada terwujudnya kesejahteraan sosial. Walaupun masalah-
masalah yang dihadapi oleh pemerintahan yang dipimpin Khalifah Umar
tidak serumit permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara modern saat
ini. Akan tetapi secara cita-cita dan nilai-nilai pemerintahan Khalifah Umar
telah mengarah pada model negara kesejahteraan.
2. Pendirian Al-diwan
Selain Bitul mal, Khalifah Umar juga membentuk sebuah al-diwan
yaitu sebuah lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi untuk mengatur
tunjangan-tunjangan untuk tentara dan pensiunannya, sekaligus sebagai
perealisasian salah satu fungsi negara Islam, yakni fungsi jaminan sosial.
79 Ibid., h. 171-172.
Pembentukan al-diwan oleh Khalifah Umar, dilatar belakangi oleh peristiwa
ketika Abu Hurairah, yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Bahrain,
membawa harta hasil pengumpulan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham ke
Madinah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 16 H. Kemudian beberapa sahabat
menuntut bagiannya masing-masing. Bahkan mereka mencoba untuk
membagi-bagi sendiri. Agar pendapatan negara itu bisa didistribusikan
dengan baik, maka Khalifah Umar, berinisiatif untuk mengaturnya, dan atas
usulan Khalid bin Walid yang telah melihat konsep diwan di Syam, maka
Umar menganggap perlu untuk mengikuti usulan Khalid bin Walid untuk
membentuk al-diwan.80
Agar lembaga al-diwan berfungsi dengan baik, maka Khalifah
Umar mengeluarkan kebijakan politik untuk membentuk komite Nassab
(ahli sejarah dan keturunan), yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzam
bin Naufal, dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan sensus penduduk
Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya. Daftar
tersebut disusun dengan urutan sebagai berikut:81
a. Orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan
Rasulullah Saw.
b. Para sahabat yang ikut berperang dalam perang Badar dan Uhud.
c. Para imigran ke Abysinia dan Madinah.
d. Para pejuang perang Qadisiyyah atau orang-orang yang menghadiri
perjanjian Hudaibiyah.
80 PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 59.
81 Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 62-63.
e. Kaum wanita, anak-anak dan para budak juga mendapat tunjangan
sosial.
Jumlah tunjangan yang diberikan kepada masing-masing golongan
untuk setiap tahunnya berbeda-beda. Secara umum, jumlah tunjangan yang
diberikan kepada mereka adalah sebagai berikut:82
1. Aisyah dan Abbas ibn Abdul Muthalib, mendapatkan tunjangan
dari pemerintahan Khalifah Umar, masing-masing sebesar
12.000 dirham.
2. Para istri Rasulullah Saw. selain Aisyah, mendapatkan tunjangan
dari pemerintahan Khalifah Umar, masing-masing sebesar
10.000 dirham.
3. Ali, Hasan, Husein, dan para pejuang perang Badar,
mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah Umar,
masing-masing sebesar 5.000 dirham.
4. Para pejuang perang Uhud dan orang-orang yang migrasi ke
Abysinia, mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah
Umar, masing-masing sebesar 4.000 dirham.
5. Kaum Muhajirin sebelum peristiwa Fathul Makkah,
mendapatkan tunjangan dari pemerintahan Khalifah Umar,
masing-masing sebesar 3.000 dirham.
6. Putra-putra para pejuang perang Badar, orang-orang yang
memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathul Makkah, anak-
82 Ibid., h. 63.
anak kaum Muhajirin dan Anshar, para pejuang perang
Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian
Hudaibiyah. Mereka mendapatkan tunjangan dari pemerintahan
Khalifah Umar, masing-masing sebesar 2.000 dirham.
B. Model Negara Kesejahteraan Islam Periode Umar
Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai
sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan atau pelayanan sosial (sosial service).
Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang
menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai
haknya.83
Seperti telah dijelaskan di bab sebelumnya, dalam hal ini negara
kesejahteraan lebih sering ditengarai sebagai atribut-atribut kebijakan pelayanan
dan transfer sosial yang disediakan oleh negara untuk warga negaranya. Pelayanan
yang harus disediakan oleh negara untuk warganya seperti: pelayanan pendidikan,
transfer pendapatan, pengurangan kemiskinan, dan lain-lainnya. Oleh karena itu
negara kesejahteraan sering diidentikan dengan kebijakan-kebijakan sosial yang
diciptakan oleh negara dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Walaupun kebijakan sosial bisa diterapkan oleh negara tanpa adanya negara
kesejahteraan, akan tetapi negara kesejahteraan selalu membutuhkan kebijakan
sosial.
Secara umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan
jika memiliki empat pilar utamanya, yaitu: kewarganegaraan sosial (social
citizenship); demokrasi penuh (full democracy); sistem hubungan industri modern
83 Edi Suharto, “Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”, artikel diakses
pada tenggal 12 September 2008 dari
situs:http://www.policy.hu/suharto/naskah%20PDF/UGMWelfareState .pdf
(modern industrial relation systems); dan hak atas pendidikan dan perluasan
pendidikan massal dan modern (rights to education and the expansion of modern
mass education systems).84 Kesejahteraan warga negara harus menjadi tanggung
jawab negara, dan negara tidak bisa menyerahkan pengelolaan kesejahteraan
warga negaranya kepada pihak manapun (swasta).
Keempat pilar negara kesejahteraan diatas, bukan lah sesuatu hal yang
baru dalam politik Islam. Karena sistem ketatanegaraan yang diterapkan sejak
periode Rasulullah Saw. sebagai pemimpin negara Madinah, telah memenuhi
empat pilar negara kesejahteraan tersebut. Sehingga bukan suatu istilah yang asing
ketika mengatakan negara Madinah pada masa Rasulullah sebagai model negara
kesejahteraan (sejahtera).
Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab sebagai pemerintahan yang
dianggap demokratis, karena Umar telah meletakan prinsip-prinsip demokrasi
dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang
paripurna.85 Kekuasaan Khalifah Umar menjamin hak yang sama bagi setiap
warga negaranya, hal ini terlihat ketika Umar memberikan pelayanan sosial atau
tunjagan dari negara kepada warga negaranya baik yang Muslim atau non-
Muslim. Kemudian sistem ekonomi pada masa Khalifah Umar, merupakan sebuah
sistem yang terbaik pada masa itu. Karena Umar mampu menata sistem
administrasi ekonomi negara Madinah secara baik, dan program pekerjaan umum
sangat penting di zaman pemerintahan Umar.
84 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES, 2006), h. 9.
85
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 57.
Sedangkan pendidikan dalam Islam adalah sesuatu yang mendasar yang
harus ada dalam pemerintahan Islam, karena pendidikan menjadi pilar dasar bagi
terciptanya masyarakat yang cerdas, beriman dan sebagainya. Pentingnya
pendidikan sudah sangat jelas. Rasulullah Bersabda; “mencari ilmu menjadi
kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki dan perempuan.” Dalam Islam
pendidikan tidak terbatas pada usaha memberantas buta huruf, karena melek huruf
sebenarnya merupakan instrumen untuk “pendidikan sejati” dan bukan akhir
tujuan itu sendiri. Tujuan utama pendidikan di sini adalah membangkitkan umat
Muslim agar dapat menyesuaikan diri dengan cita-cita yang tersurat dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah.86
Islam bukan hanya sekadar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup
secara total. Islam adalah agama yang menjungjung tinggi peradaban dan harkat
martabat kemanusiaan yang memadukan antara aspek material dan spiritual
(keduniawiaan dan keukhrowian). Pada puncaknya, Islam bertujuan menciptakan
sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan semua
masyarakat. Kemudian sistem ekonomi Islam, paling tidak memiliki dua tujuan :
memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara
ekonomi dan sosial. Tujuan itu memiliki dampak agar Umat Islam dapat
beribadah kepada Allah Swt. secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya
terpenuhi dengan baik. Sehingga negara dalam Islam memiliki tanggung jawab
dalam memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya.87
86 M. Umer Chapra, “Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya Di Bidang
Ekonomi,” dalam Ainur Rofiq, ed., Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis
Pembangunan Masyarakat Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 39.
87
Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan”, artikel diakses pada tanggal 25
September 2008 dari
http://www.policy.hu/suharto/Naskah20%PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf
Islam menganggap pentingnya kesejahteran masyarakat ketimbang
sekedar menghadapkan wajah kita ke barat atau timur ketika shalat, sehingga
Islam bisa dikatakan memiliki model negara kesejahteraan tersendiri yang disebut
Negara kesejahteraan Islam (Islamic Welfare State),88 sesuai dengan nilai-nilai
kesejahteraan yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an sebagai berikut
v ��f�#� �=��f� T�� j�`����
��K1+^�%J%� :W23�S ���=D�+☺f�
�_i�f�+☺f��� c�>1 ����
�=��f� D�2) o�2)�K ���n
�����Rf��� i�>o/+
�L⌧3�w ��+☺f���
�� 2k>1f��� o��~R�[GH���
82<�K�� 2<+☺f� �8� 2%
�����3%� ]��� �g����&Ff�
�8+☺ 2k��f���
2Iy>1 N�+☺f��� 2If���
CWR�3��� 2Iz��������
8�I�� >��Si~�� ���S����
�\����x?� 82<�K�� �\��:tG]�
�"��(�☺f��� ���^�EDq+��n
���F j�E+q 2% j 2I��=�� x?��� 8�I
�K�+�(s2'f� �K��=�����
2Iy���� G(s2'f� 1 +'�w ��s���
2I��S#� j��S+EN j +'�w ��s����� %��^
2T�&F�k☺f� �ABBC
Artinya: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur
dan ke barat, tetapi kebajikan itu adalah orang-orang yang
beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang
yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk
memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan zakat,
orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang
88 Ibid.
yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan
mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Al Baqarah
Ayat 177).
Negara kesejahteraan yang diterapkan di negara-negara Barat dan model
negara kesejahteraan Islam, secara nilai-nilai dan tujuan memiliki kesamaan, yaitu
menciptakan kesejahteraan bagi semua warga negara terutama mereka yang
terlemahkan karena ke tidak sempurnaan sistem pasar. Namun, ada perbedaan
yang mendasar antara kedua model negara kesejahteraan tersebut yang terletak
pada landasan filosofisnya. Islam mengajarkan falsafah kesejahteraan yang unik,
komprehensif dan konsisten dengan fitrah manusia. Dalam ajaran Islam semua
manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu tidak boleh sampai
menciptakan kerugian terhadap umat manusia yang lain, sehingga manusia dalam
ajaran Islam bertanggung jawab atas semua tindakannya dihadapan Allah Swt. di
akhirat nanti.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa konsep kesejahteraan dalam Islam
dapatlah dikatakan tidak semata-mata “ukhrawi” atau “duniawi”. Ajaran Islam
menyerukan pada umatnya agar mampu menguasai alam serta mengelola sumber
daya yang diberikan Allah untuk kemakmuran umat manusia, dan
memperingatkan dengan keras kepada umat Islam untuk tidak terlalu rakus
dengan penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran keberhasilan
seseorang. Apalagi sampai melupakan sisi spiritual diri Manusia.
C. Sumber-Sumber Pendapatan Negara Pada Periode Umar
Umar merupakan pemimpin negara Madinah setelah Nabi Muhammad dan
Abu Bakar. Negara Madinah yang dididirkan oleh Nabi Muhammad Saw.
merupakan negara pertama yang didirikan dalam sejarah politik Islam. Namun,
negara pertama tersebut mampu melahirkan skema-skema kesejahteraan lewat
kebijakan-kebijakan politik Nabi. Sumber-sumber pendapatan negara Madinah
pada Periode Nabi merupakan penopang bagi terwujudnya kesejahteraan sosial
pada saat itu.
Sumber-sumber pendapatan negara pada masa Abu Bakar sedikit
mengalami hambatan, sehingga Abu Bakar menghadapi kesulitan dalam
mengembangkan model negara sejahtera yang telah dirintis oleh nabi. Hambatan
bagi sumber-sumber pendaptan negara pada kemimpinan Abu Bakar disebabkan
oleh orang-orang Arab yang tidak mengakui otoritas Abu Bakar sebagai
pemimpin negara Madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. kemudian
banyaknya wilayah-wilayah yang jauh dari kota Madinah (Ibu kota negara) mulai
melakukan pemberontak. Para pemberobtak berasal dari dua kelompok, Pertama,
terdiri dari mereka yang kembali menyembah berhala di bawah pimpinan
Musailamah, Tulaihah, Sajah, dan lain-lainnya. Kedua, mereka yang tidak
menyatakan permusuhan terhadap Islam, tetapi hanya memberontak kepada
negara. Hal ini dikarenakan mereka menolak membayar zakat dengan dalih bahwa
pembayaran itu hanya sah kepada Nabi Muhammad. Setelah Nabi wafat mereka
merasa bebas dan tidak lagi berkewajiban membayar pajak apa pun atau wajib
menunjukkan sesuatu kesetiaannya kepada negara Madinah.89
89 Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Al-Khatab, dengan
judul asli buku “Economic System Under Umar The Great,” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990), h.
6-7.
Kesejahteraan sosial umat Islam pada masa Abu Bakar kurang begitu
mencolok, akan tetapi bukan berarti Abu Bakar tidak meneruskan model negara
sejahtera yang dipraktekan oleh nabi. Kalau bukan karena jasa-jasa Abu Bakar,
yang berhasil memberantas atau memerangi orang-orang yang tidak mau
membayar pajak, pemerintahan pada masa Umar tidak akan sampai pada puncak
keemasan. Kesejahteraan sosial Umat Islam pada masa Abu Bakar bisa dilihat
dari kebijakan-kebijakan politiknya dalam membagun Baitul Mal dan meneruskan
sistem pendistribusian harta rakyat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Abu Bakar juga mempelopori sistem penggajian bagi aparat negara,
misalnya untuk Khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham
setiap harinya dari Baitul mal.90
Seperti telah dijelaskan di atas, negara Madinah pada periode Umar bin
Khattab merupakan periode ekspansi, sehingga wilayah kekuasaan pemerintahan
Islam semakin luas. Seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam
pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab, pendapatan negara mengalami
peningkatan yang sangat signifikan. Sumber-sumber pendapatan negara menjadi
perhatian khusus pemerintahan Umar, agar dapat dimanfaatkan secara benar,
efisien dan efektif. Setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat, Khalifah
Umar ibn Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan pendapatan
negara yang di simpan di Baitul mal sekaligus, tetapi dikeluarkan secara bertahap
sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan diantaranya disediakan dana cadangan.
90 Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 101-102.
Sumber-sumber pendapatan negara pada masa pemerintahan Khalifah
Umar bin Khattab diklasifikasikan menjadi empat macam pendapatan negara,91
yaitu:
a. Pendapatan zakat
Membayar zakat adalah wajib bagi orang-orang yang mampu
(kaya). Negara memiliki kewajiban untuk memaksa orang-orang yang
tidak mau mengeluarkan zakat agar kesejahteraan umat yang dalam posisi
lemah dan miskin tidak terabaikan. Perintah untuk mengeluarkan zakat
dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an secara jelas, sebagai berikut:
R�0 D��) �����[*��f)��
HL�S+EN ���^%��^q�e�
�M=�Zm2]� �� LM} CYWN��
���qfR��2{ j GT�F +'� ����N
⌦��1+� ���¡[ 1 ���� aaR�☺+�
�����2{ �A�iC
Artinya: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan berdo’alah untuk mereka sesungguhnya do’a kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka, dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At Taubah ayat 103)
Zakat dalam Islam pada dasarnya tidak hanya bertujuan untuk
memelihara atau membantu orang-orang miskin untuk sekedar bertahan
hidup, akan tetapi tujuan lainnya adalah untuk sebuah “transformasi”,
yaitu menjadikan orang-orang miskin untuk bangkit agar mampu
memperbaiki kehidupannya dan merubah mereka yang dahulunya menjadi
91 PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 57.
mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (pembayar zakat). 92
Dalam
hal ini, ketika orang dahulunya berada pada posisi miskin berubah menjadi
orang-orang yang terlepas dari kemiskinan, dan hidup pada posisi rakyat
yang sejahtera karena tidak lagi membutuhkan tunjangan-tunjangan yang
diberikan oleh negara.
Zakat merupakan sumber pendapatan negara yang telah ada pada
masa Rasulullah, dan zakat menjadi sumber pertama pendapatan negara
Madinah. Pada Masa Khalifah Umar, zakat dijalankan seperti yang telah
dipraktekan oleh Rasulullah dan Abu Bakar. Khalifah Umar hanya
mengembangkan sistem zakat sesuai dengan Al-Qur’an.
Pada pemerintahannya, Umar menetapkan khumus zakat atas karet
yang ditemukan di semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, dan
hasil laut. Karena ia menganggap barang-barang tersebut dianggap sebagai
hadiah dari Allah Swt. padahal, barang-barang tersebut pada masa
Khalifah Abu Bakar belum dikenakan zakat, hal itu disebabkan karena
barang-barang tersebut belum menjadi salah satu sumber utama
perekonomian.
Pada masa Rasulullah kuda merupakan binatang yang digunakan
sebagai alat transportasi untuk pribadi dan berperang. Pada perang Badar,
pasukan kaum Muslimin yang berjumlah 313 orang hanya memiliki dua
ekor kuda. Jumlah kuda pada masa Rasulullah ini tidak mengalami
peningkatan yang signifikan sehingga tidak ditetapkan zakat bagi pemilik
kuda. Namun pada masa Khalifah Umar, kegiatan berternak dan
92 Sirojudin Abbas, “Sintesa Islam dan Kesejahteraan Sosial: Eksperimentasi Pendidikan
Kesejahteraan Sosial di UIN Jakarta,” dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai Islam dan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project, 2006), h. 39-40.
memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syiria dan
wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya. Sehingga Umar menetapkan
zakat atas kuda sebesar satu dinar, dan pendapatan zakat atas kuda
didistribusikan kepada para fakir miskin.
Khalifah Umar sangat memahami tujuan utama kewajiban zakat,
selain sebagai sumber pendapatan negara, zakat bertujuan untuk
menghindari adanya penumpukan harta di bawah kekuasaan kelampok
kecil (orang-orang kaya). Oleh sebab itu, agar distribusi kekayaan
dikalangan umat dapat berjalan secara adil dan merata, zakat harus diambil
dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Untuk
mencapai tujuan ini Khalifah Umar, membuat berbagai kebijaksanan
politik, yaitu dengan menambah jenis barang yang wajib dizakati bila
dirasa perlu dan menghilangkannya jika dianggap sudah tidak relevan lagi
bagi struktur perpajakan pada sewaktu-waktu, seperti telah dijelaskan
diatas mengenai contoh zakat yang dikembangkan pada pemerintahan
Khalifah Umar.
Umar menetapkan sangsi yang sangat tegas bagi orang-orang kaya
yang tidak mau mengeluarkan zakat. Permasalahan mengenai orang-orang
kaya yang tidak mau membayar zakat telah ada pada periode pemerintahan
Rasulullah Saw. dan Abu Bakar. Pada masa Rasulullah orang-orang yang
tidak mau membayar zakat dikenakan denda sebesar 50% dari seluruh
jumlah kekayaannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah:
“orang-orang yang tidak mau membayar zakat, akan saya ambil zakatnya
setengah dari seluruh kekayaannya.”
Pemerintahan Khalifah Abu Bakar merupakan pemerintahan yang
disibukkan dengan perang Riddah, yaitu perang untuk menumpas orang-
orang yang tidak mengakui otoritas pemerintahan Madinah dan orang-
orang yang tidak mau membayar zakat. Khalifah Abu Bakar mengingatkan
orang-orang yang tidak mau membayar zakat dengan mengatakan: “Demi
Allah, akan saya perangi mereka yang membedakan antara kewajiban
ibadah dan kewajiban membayar zakat, karena zakat berurusan dengan
harta benda. Ya Allah, jika mereka menghindari kewajiban mereka
membayar zakat kepada saya, walaupun hanya seekor anak kambing, yang
seharusnya itu telah mereka bayar kepada Rasulullah, saya akan perangi
mereka – saya akan perangi mereka karena penolakkannya itu….”93
Ketegasan Rasulullah Saw. dan Khalifah Abu Bakar dalam
menghadapi orang-orang yang menghambat sumber kesejahteraan (zakat)
masyarakat Madinah menjadi rujukan Khalifah Umar Bin Khattab, ketika
memimpin negara Madinah. Khalifah Umar mengaplikasikan hukuman
bagi para pembangkang zakat seperti yang telah dijalankan oleh
Rasulullah dan Abu Bakar.
Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat
surplus, sisa pendapatan tersebut di simpan di baitul mal pusat dan
dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-
Qur’an.
b. Pendapatan khums dan sedekah.
93 Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 87-88.
Khumus adalah pajak yang dikumpulkan dari berbagai jenis
ghanimah, terutama dipungut dari tabungan konsumen dan keuntungan
produsen, 20 persen dari dana yang terkumpul setiap tahunnya berupa
khumus. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau
untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia
seorang Muslim atau non-Muslim. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan
menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang
menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut
yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambil
dari persediaan untuk para petugas.94
Peristiwa di atas merupakan contoh adanya nilai-nilai
kesejahteraan dalam kepemimpinan Khalifah Umar, dan merupakan
kebijakan kesejahteraan berupa jaminan kesehatan bagi warga negaranya.
Secara tidak langsung Khalifah Umar telah menerapkan nilai-nilai negara
kesejahteraan (welfare state).
c. Pendapatan kharaj, fai, jizyah, ‘ushr (pajak perdagangan), dan sewa
tanah.
Kharaj atau pajak hasil bumi, adalah sejenis pajak yang
dibebankan atas tanah yang dimiliki oleh non Muslim, yang berada di
bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Kharaj akan tetap dikenakan
kepada non-Muslim walapun pada selanjutnya mereka memeluk Islam.
Pajak jenis ini dibebankan atas tanah tanpa membedakan apakah
94 Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 74.
pemiliknya anak-anak atau dewasa, orang merdeka atau budak, dan laki-
laki atau perempuan.95
Khalifah Umar menentukan beban kharaj kepada tanah Sawad96 di
Irak. Umar amat teliti mengenai jumlah kharaj yang dibebankan kepada
para petani, misalnya, Umar melarang petugas pajak untuk memungut
pajak melebihi kemampuan wajib pajak, sambil memperhatikan luas
tanahnya. Kharaj hanya dibayar sekali dalam satu tahun, kendati lahan
yang dimiliki warga negara Madinah bisa ditanami dan dipanen lebih dari
satu kali dalam setahun. Sehingga pajak dari kharaj yang ada pada
pemerintahan Umar tidak menjadi beban yang memberatkan bagi
masyarakat yang berada di bawah kekuasan Madinah.
Pendapatan Kharaj pada masa Umar jumlah begitu besar, jumlah
kharaj dari Irak berkisar 86.000.000,- dirham setiap tahunnya, dan
mengalami peningkatan pada tahun berikutnya menjadi 100.020.000,-
dirham. Sedangankan dari wilayah Mesir, jumlah kharaj berkisar
12.000.000,- dirham setiap tahunnya.97
Pendapatan Baitul mal bisa
mencapai 160.000.000,- dirham dari pajak tanah setiap tahunnya.98
Sedangkan definisi jizyah seperti telah dijelaskan di atas adalah
pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim yang menetap di
bahwah kekuasaan pemerintahan Islam. Pajak jizyah lebih berupa
pengganti (kompensasi) bagi perlindungan yang diberikan kepada mereka,
keluarga, dan harta miliknya oleh negara Madinah. Kemudian jizyah juga
95 Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 118-119.
96
Sawad adalah nama sebuah wilayah di Irak, dan menjadi bagian dari wilayah
kekuasaan negara Islam pada periode Khalifah Umar bin Khattab.
97
Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 126.
98 PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 59.
sebagai pajak pengganti tugas kemiliteran, karena orang-orang non-
Muslim yang menjadi warga negara Madinah dibebaskan dari tugas
kemiliteran (perang).
Aplikasi pajak jizyah pada masa Khalifah Umar tidak jauh berbeda
dengan yang diterapkan oleh Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar. Dalam
hal ini, Khalifah Umar tidak membebankan jizyah kepada; kaum wanita,
anak-anak, orang-orang miskin, para budak dan rahib-rahib pun
dibebaskan dari kewajiban pajak ini jika mereka miskin, tetapi bila kaya
mereka tetap harus membayar. Pemerintahan Khalifah Umar sangat
berlaku lemah lembut terhadap orang-orang miskin dan lemah, namun
bersikap keras terhadp orang-orang kaya agar mereka tidak menghindar
dari kewajiban membayar jizyah.99
Pembebasan pembayaran jizyah untuk orang-orang yang lemah dan
miskin pada masa Khalifah Umar, dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika
Khalifah Umar berkunjung ke suatu tempat dan menjumpai seorang
pengemis pria yang buta. Khalifah Umar bertanya kepada pengemis
tersebut, siapa sebenarnya dirinya (pengemis), Kemudian pengemis
tersebut menjawab dia adalah seorang Yahudi. Kemudian Khalifah Umar
bertanya, apa yang telah memaksa dirinya untuk meminta-minta, dan ia
menjawab bahwa yang memaksa dirinya meminta-minta adalah
kewajiaban membayar jizyah, kebutuhan ekonomi dan usia lanjut. Oleh
sebab itu, Khalifah Umar memerintahkan petugas Baitul mal untuk
membebaskan orang-orang non-Muslim yang lemah dan miskin dari
99 Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 100-101.
kewajiban membayar jizyah, dan menetapkan bantuan bagi mereka setiap
tahunnya dari Baitul mal.100
Perbedaan pengaplikasian jizyah pada masa Khalifah Umar dengan
masa Rasulullah dan Abu Bakar, terletak pada besarnya jumlah jizyah
yang harus dibayar oleh non-Muslim. Jumlah pembayaran jizyah pada
masa Khalifah Umar dinaikkan satu dinar. Pembayaran jizyah bagi setiap
orang dalam setahun, menjadi empat dinar bagi orang-orang kaya dan dua
dinar untuk kelas menengah.
Sumber lain pendapatan negara pada pemerintahan Khalifah Umar
adalah fai, yaitu harta rampasan perang (ghanimah) yang didapat tanpa
adanya perlawanan dari musuh. Harta rampasan perang merupakan sumber
pendapatan negara yang fungsinya tidak kalah penting dengan sumber-
sumber pendapatn negara lainnya. Apapun jenis barang harta rampasan
perang harus dibagikan sesuai dengan aturan yang telah berlaku sejak
masa Rasulullah.
Pada Masa Khalifah Umar, tanah-tanah yang berasal dari fai sangat
luas, sehingga pada selanjutnya tanah-tanah tersebut dikuasai oleh negara,
namun penduduknya diberikan hak untuk mengelola dengan sistem sewa
tanah. Khalifah Umar tidak membagi-bagikan tanah-tanah fai, dikarenakan
kekhwatirannya mengenai timbulnya kesejahteraan yang tidak merata.
Untuk harta umat dari ghanimah Umar mempergunakannya sesuai dengan
ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
100 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, dengan judul asli buku “Economic
Doctrines of Islam,” Jilid 1 (Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 174-175.
v j¢�☺���{�� +☺w@��
�kD☺�£⌧� ��4) �K�¤⌧� GT�s�( ��
$�N���¥ �<���������
]�S���� �8����&Ff�
�8+☺ 2k��f���
CIy>1 N�+☺f��� ���n��
CWR�3��� T�F ��k£Km
�k£2)�K ���n �2)��
�Hf�2]@�� �8� 2% 2@�E�32%
2¦��2X CT�S��&hf� 2¦��2X
.�F2kf� CT+�D☺+�f� 1 ���� �8� 2% CYW&t �K�¤⌧�
��X�E�S �AC
Artinya: “ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu
peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya
seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al Anfal
ayat 41)
‘ushr merupakan suatu jenis pajak perdagangan yang dikenakan
kepada para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di wilayah
kekuasaan pemerintahan Islam. Penetapan pajak atas perdagangan pada
masa Khalifah Umar dilatar belakangi oleh peristiwa ketika orang-orang
Manbij (orang-orang harabi) yang meminta izin kepada Khalifah Umar
untuk diperbolehkan berdagang di negara Muslim dengan membayar
sepersepuluh dari nilai barang. Setelah berkonsultasi dengan para sahabat,
Khalifah Umar menyetujui permintaan orang-orang Manbij. Tetapi, ada
peristiwa khusus yang melatar belakangi diberlakukannya ‘ushr oleh
Khalifah Umar, yaitu ketika Abu Musa Al-Asy’ari menulis surat kepada
Khalifah Umar yang menyatakan bahwa para pedagang Muslim yang
melakukan aktivitas perdagangan di tanah harabi dikenakan pajak
sepersepuluh dari total dagangan mereka. Khalifah Umar memerintahkan
kepada para pejabatnya agar para pedagang non-Muslim yang memasuki
wilayah kekuasaan umat Islam juga harus dibebankan pajak seperti yang
dibebankan kepada para pedagang Muslim di negeri-negeri asing.101
Pajak ‘ushr ini dibebankan hanya satu kali dalam setahun, dan
dengan asumsi bahwa barang yang diperdagangkan jumlahnya melebihi
200 dirham. Sedangkan jumlah pajak yang harus dibayar adalah 2,5 %
untuk para pedagang Muslim, 5% untuk para pedagang kafir dzimmi, dan
10% untuk para pedagang kafir harabi. Khalifah Umar juga melarang para
petugas pajak untuk mengambil ‘ushr lebih dari satu kali dalam satu tahun.
Pendapatan negara ini didistribusikan untuk membayar dana
pensiun dan dana bantuan, serta untuk menutupi biaya oprasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d. Pendapatan lain-lain.
Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan
anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
D. Jaminan Sosial Pada Era Pemerintahan Umar
Dalam menciptakan kesejahteraan, Islam lebih menekankan pada orientasi
spiritual dalam usaha-usaha material dan menciptakan keselarasan antara
dorongan lahir dan batin individu maupun kelompok. Dengan demikian Islam
sangat menjungjung tinggi aspek spiritual dan material kehidupan manusia,
101 Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 71.
sebagai sumber kekuatan bersama serta menjadikannya sebagai tonggak
kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.102
Di dalam model negara kesejahteraan Islam (Islamic Welfare State),
sedikitnya ada dua mekanisme yang membuat negara kesejahteraan Islam
beroperasi, yaitu melalui pajak dan jaminan sosial. Pajak yang dimaksud adalah
sumber-sumber pendapatan negara Islam yang disimpan di Baitul mal. Sedangkan
jaminan sosial adalah skema-skema yang berupa tunjangan-tunjagan atau
pelayanan sosial yang diberikan oleh negara Islam kepada orang-orang yang
berhak mendapatkannya.103
Menurut beberapa ahli, baik Islam maupun non-Islam berpendapat bahwa
memberikan jaminan terhadap berbagai macam malapetaka yang dialami
masyarakat adalah sebagian dari tugas negara, misalnya; pengangguran, cacat
yang diakibatkan suatu penyakit atau kecelakaan, ancaman kelaparan yang
mengakibatkan kematian dan sebagainya. Kemudian apabila negara tidak mampu
membantu orang-orang yang terlemahkan seperti orang miskin, fakir, orang sakit
atau cacat dan lain sebagainya, maka negara (pemerintah) tidak berhak untuk
menuntut kepada masyarakat untuk mematuhi yang berlaku. Dengan alasan
pemerintah sudah tidak pantas lagi menduduki posisi sebagai wakil rakyat.
Kemudian jika negara memiliki sumber dana yang sangat minim dalam mencapai
sebuah tujuan, maka negara berkewajiban untuk mencari jalan dan sarana untuk
tersedianya dana untuk menghadapi situasi yang dihadapi.104
102 Umer Chapra, Negara Kesejahteraan Islami, h. 28.
103
Edi, Islam dan Negara Kesejahteraan.
104
Azalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, dengan judul asli buku “Economic Doctrines
of Islam,” Jilid 4 (Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1996), h. 305-306.
Ketika negara-negara Eropa belum memiliki asuaransi pengangguran
(unemployment insurance) hingga akhir abad ke-19, dunia Islam telah
memilikinya sejak awal berdirinya negara Madinah. Negara Madinah memberikan
jaminan sosial kepada orang-orang yang cacat atau orang-orang yang kehilangan
kemampuannya untuk mencari nafkah, mereka dan keluargannya kemudian
menjadi tanggungan negara untuk memastikan bahwa kebutuhan dasarnya
terpenuhi. Tunjangan yang diberikan bersumber dari dana publik atau Baitul mal.
Beberapa jaminan sosial yang dibuat pada masa Khalifah Umar bin Khattab masih
bersifat fleksibel dan terbuka bagi perkembangan dan penyesuaian.105
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, mutualitas dan unit-unit asuransi
diatur berdasaran profesi, administrasi militer atau sipil, serta wilayah. Pemerintah
pusat atau provinsi memberikan bantuan dan dukungan dana terhadap unit-unit
tersebut berdasarkan peraturan anggaran belanja negara yang telah ditetapkan.
Asuransi pada masa Khalifah Umar sudah mencerminkan prinsip gotong royong
dalam meringankan resiko-resiko yang dihadapi oleh anggota masyarakat seperti
prinsip asuransi modern saat ini. Tetapi, berbeda dengan perusahaan asuransi
kapitalistik, asuransi Islam mengatur mekanismenya berdasarkan prinsip
kebersamaan dan kerja sama yang saling menguntungkan yang ditopang oleh
gradasi piramid unit-unit asuransi yang kemudian memuncak di pemerintahan
pusat.
Prestasi gemilang lain Khalifah Umar dalam menciptakan kesejahteraan,
adalah ia berhasil menciptakan skema asuransi pensiun. Asuransi ini mencakup
semua warga negara yang berada dibawah pemerintahan negara madinah, baik
105 Edi, Islam dan Negara Kesejahteraan.
yang Muslim atau non-Muslim. Bahkan seorang bayi semenjak dilahirkan telah
memiliki hak untuk memperoleh asuransi pensiun. Sedangkan untuk orang
dewasa, mereka memperoleh tunjagan minimum yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya dari negara. Pengeluaran negara Madinah pada masa Umar
banyak diprioritaskan untuk dana pensiun, pertahanan negara, dan
pembangunan.106
Model negera kesejahteraan Islam (Islamic welfare state), yang diciptakan
oleh Khalifah Umar, tidak hanya mampu membuat skema-skema jaminan sosial
atau pelayanan sosial. Tetapi, untuk mendukung skema-skema kesejahteraan yang
dibuat oleh Khalifah Umar, agar bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup warga
negaranya, Umar berhasil membuat sistem untuk menentukan standar minimum
yang kelak menjadi rujukan dalam membuat garis kemiskinan (poverty line
made). Saat itu, orang-orang miskin selain menerima tunjagan uang, mereka juga
menerima 50 kg terigu setiap bulannya.107
Negara kesejahteraan menurut orang-orang kapitalis, hanya akan
menciptakan masyarakat yang malas, karena keterlenaan mereka terhadap jaminan
sosial dan layanan sosial yang diberikan oleh negara. Sehingga negara-negara
yang berhaluan kapitalis, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris dan lainnya,
walaupun mereka menerapkan sistem negara kesejahteraan, tetapi mereka
menciptakan skema-skema kesejahteraan yang terbatas. Selain itu, negara-negara
tersebut menganggap bahwa kesejahteraan warga negaranya bisa diserahkan
kepada swasta, dengan alasan untuk menghindari krisis keuangan negara. Karena
106 PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 58.
107 Edi, Islam dan Negara Kesejahteraan.
keuangan negara akan habis bila negara terus-menerus menciptakan skema
jaminan sosial atau layanan sosial.
Negara Kesejahteraan Islam yang dipraktekan Khalifah Umar, tidak hanya
bertujuan untuk membantu rakyat miskin. Tujuan utamanya adalah untuk
membangkitkan perekonomiaan warga negara Madinah selama meraka berada
dalam kesulitan ekonomi yang diakibatkan, karena pengangguran, dan hal-hal
yang membuat mereka tidak mampu mencari nafkah. Untuk menghindari
ketergantungan, mengemis dan malas-malasan tidak diberi toleransi. Mereka yang
menerima bantuan sosial dari negara diupayakan untuk dapat memberikan
kontribusi kepada negara dan masyarakat. Khalifah Umar melarang warga
negaranya untuk bergantung pada negara dan berhenti mencari nafkah selama
mereka mampu dan sehat, Umar mengatakan kepada rakyatnya: “Jangan ada
diantara kalian yang melepaskan diri dari usaha mencari nafkah sambil berkata,
Ya, Allah berilah aku ketabahan hidup.’ Karena tidak mungkin langit
menjatuhkan emas dan perak,” dan “carilah kekayaan Allah dan jangan menjadi
beban bagi orang lain….” 108
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa Islam memiliki model negara
kesejahteraan yang memiliki perbedaan dengan negara kesejahteraan yang
dipraktekkan di Barat. Sistem negara kesejahteraan bukan sesuatu yang baru
dalam politik Islam. Sebelum negara-negara Barat menerapkan model negara
kesejahteraan, dunia Islam telah mempraktikannya lebih dahulu.
108 Umer Chapra, Negara Kesejahteraan Islami, h. 33.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengetahui pembahasan
dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan. Kesimpulan mengenai
bagaimana model negara kesejahteraan dalam kepemimpinan Umar bin Khattab,
sebagai berikut:
1. Luasnya wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode Khalifah
Umar bin Khattab, tidak menjadi hambatan bagi Umar untuk memberikan
peranan yang lebih besar dalam pembangunan kesejahteraan sosial warga
negaranya.
2. Banyaknya wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh pemerintahan
Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab berdampak pada
meninggkatnya pendapatan negara Madinah secara signifikan. Sehingga
Umar menetapkan kebijakan-kebijakan politik untuk mengatur sistem
administrasi kenegaraannya, khususnya dengan membangun lembaga
Baitul mal secara permanen, dan mendirikan cabang-cabang Baitul mal di
tingkatan provinsi sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan sosial
secara merata di seluruh wilayah pemerintahan Islam yang dipimpinnya.
Kemudian Umar juga mendirikan Al-diwan (kantor) sebagai lembaga
untuk mengatur tunjangan-tunjangan dan pensiunan tentaranya.
3. Bahwa Khalifah Umar bin Khattab, telah berhasil menyempurnakan model
negara kesejahteraan yang dahulu dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. dan
Khalifah Abu Bakar. Hal ini, terlihat dari peran dan tata cara Umar dalam
menggelola kekayaan negara yang disimpan di Baitul mal, yang tidak lain
digunakan untuk menciptakan skema-skema kesejahteraan berupa jaminan
sosial dan pelayanan sosial. Sehingga negara Madinah pada periode
Khalifah Umar bin Khattab merupakan sebuah model negara kesejahteraan
Islam, karena selain mengandung prinsip-prinsip negara kesejahteraan,
ajaran Islam dijadikan sebagai dasar landasan bagi model negera
kesejahteraan Islam.
4. Jaminan sosial pada masa Khalifah Umar diberikan kepada warganya
secara komprehensif, dalam arti semua warga negara yang Muslim dan
non Muslim mendapatkan jaminan sosial dari negara tanpa adanya
diskriminasi. Umar juga tidak menetapkan peraturan pajak yang
memberatkan bagi warga negaranya, bahkan bagi orang-orang yang
miskin dibebaskan dari kewajiban membayar pajak-pajak yang ditetapkan
oleh negara.
5. Negera kesejahteraan (welfare state) yang dipraktekan di negara-negara
Barat, memiliki perbedaan dengan model negara kesejahteraan Islam
(Islamic welfare state model) yang dipraktekkan Khalifah Umar dalam
menentukan ukuran kesejahteraan seseorang. Kesejahteraan di negara
Barat hanya didasarkan pada aspek materil saja, sedangkan dalam negara
kesejahteraan Islam, kesejahteraan seseorang dilihat dari aspek materil dan
spiritual.
B. Saran-saran
Sungguh amat disayangkan, ketika negara-negara Barat berlomba-lomba
menciptakan skema-skema kesejahteraan sosial bagi warga negaranya. Akan
tetapi, negara-negara Muslim malah berbalik meninggalkannya. Hal ini terlihat
dari tata cara atau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara-negara
Muslim yang tidak mengacu pada upaya pembangunan kesejahteraan. Sedikitnya
anggaran negara yang dikeluarkan oleh negara-negara Muslim bagi pelayanan
sosial adalah bukti lainnya, bahwa mereka sudah tidak lagi menjadi negara-negara
“budiman”, yakni negara yang mencurahkan kekuasaannya untuk kepentingan
rakyat.
Penerapan welfare state pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang
kini diadopsi negara-negara Barat, merupakan referensi yang berharga yang telah
dilupakan oleh negara-negara Muslim. Jika di negara-negara Barat, orang miskin,
jompo, cacat, anak-anak, dan kelompok rentan mendapatkan perhatian dan
perlindungan sosial dari negara secara komprehensif sebagaimana diajarkan
Islam. Sedangkan di negara-negara Muslim jaminan sosial bagi kelompok-
kelompok kurang beruntung seringkali hanya diberikan secara sporadis. Kondisi
ini pernah disinggung oleh Muhammad Abduh, ia mengatakan: “Di Barat saya
sering melihat Islam tanpa Muslim, tetapi di Timur, saya banyak menjumpai
Muslim tanpa Islam.” Harapan penulis, tema tentang kesejahteraan di negara-
negara Muslim mudah-mudahan tidak hanya menjadi istilah yang selalu mewarnai
debat politik, pidato kenegaraan, dan lain-lainnya, akan tetapi menjadi sebuah
praktek yang dijalankan secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirojudin. “Sintesa Islam dan Kesejahteraan Sosial: Eksperimentasi
Pendidikan Kesejahteraan Sosial di UIN Jakarta,” dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: IAIN
Indonesia Social Equity Project, 2006.
Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History. Bandung: Mizan Pustaka, 2004. Cet. Ke-1.
Aqqad, Abbas Mahmud. Keagungan Umar bin Khatta. Solo Pustaka Mantiq,
1993. Cet. Ke-2.
----------------------. Kejeniusan Umar bin Khaththab. Jakarta: Pustaka Azzam,
2002. Cet. Ke-1.
Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman.
Yogyakarta: UII Press, 2006.
Anwar, Hamdani, “Masa al-Khulafa ar-Rasyidun,” Dalam M. Din Syamsuddin,
at all, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. II. Jakarta: P.T Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002.
Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Cet. Ke-1.
Chapra, M. Umer. “Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya Di Bidang
Ekonomi,” Dalam Ainur Rofiq, ed., Etika Ekonomi Politik: Elemen-
elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam. Surabaya: Risalah
Gusti, 1997.
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LPKN, 2000.
Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:
InsistPress dan Pustaka Pelajar, 2002.
George, Vic dan Wilding, Paul, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Giddens, Anthony. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002. Cet. Ke-4.
Haikal, Muhammad Husein. Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Litera
AntarNusa, 2002.
Hasjmy, A. Di Mana Letaknya Negara Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984.
Herzt, Noreena. Perampok Negara: Kuasa Kafitalisme Global dan Matinya
Demokrasi. Yogyakarta: Alinea, 2005.
Ja’fariyan,Rasul. Sejarah Khilafat. Jakarta: Al-Huda, 2006.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004.Cet. Ke-3.
Kencana, Inu. Ilmu Pemerintahan dan Al Qur’an. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Mufrodi, Ali. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Naqvi, Syed Nawab Haider. Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islam.
Bandung: Mizan, 1985.
Penyusun Deawan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol. V. Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Petras, James dan Veltmeyer, Henry. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2002. Cet. Ke-1.
Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. Cet. Ke-1.
Ra’ana, Irfan Mahmud. Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Al-Khatab., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 1. Yogyakarta: P.T Dana Bhakti
Wakaf, 1995.
--------------------. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 4. Yogyakarta: P.T Dana Bhakti
Wakaf, 1996.
Saepudin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta dengan UIN Prss, 2007.
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang,
1979. Cet. Ke-1.
Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya: Pustaka
Islamika Press, 2003.
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina. Negara Kesejahteraan dan
Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan
Pengalaman. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008.
Triwibowo, Darmawan dan Bahagijo, Sugeng. Mimpi Negara Kesejahteraan. Jakarta: LP3ES, 2006.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997. Cet. Ke-6.
Literatur Internet
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 16
November 2008 dari situs http://www.depkeu.go.id/Ind/Organization/TugasFungsi.htm
Hambali, Muhammad. “Paradigma Sistem Kapitalisme dan Islam Tentang
Welfare State.” Artikel diakses pada 12 September 2008 dari
http://marx83.wordpress.com/2008/08/09/paradigma-sistem-kapitalisme-dan-islam-tentang-welfare-state/
Halim, Abdul Muhammad. “Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Di Indonesia.” Artikel diakses pada 25 September 2008 dari http://penaimm.com/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=
9
Negara dan Kesejahteraan. artikel diakses pada 6 September 2008 dari http://www.inilah.com/berita/2008/07/24/40004/negara-dan-kesejahteraan/
Suharto, Edi. “Islam dan Negara Kesejahteraan.” Artikel diakses pada tanggal 25
September 2008 dari
http://www.policy.hu/suharto/Naskah20%PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf
---------------. “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos.” Artikel diakses
pada 6 September 2008 dari
http://209.85.175.104/search?q=cache:gBlPSii64oJ:www.depsos.go.id/modules.p
hp%3Fname%3DDownloads%26d_op%3Dgetit%26lid%3D24+sejarah+lahir+neg
ara+kesejahteraan&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id
---------------. “Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara.” Artikel
diakses pada tenggal 12 September 2008 dari situs:http://www.policy.hu/suharto/naskah%20PDF/UGMWelfareState .pdf