NEFROLITIASIS
-
Upload
gabriella-nurahmani-putri -
Category
Documents
-
view
35 -
download
0
description
Transcript of NEFROLITIASIS
LAPORAN KASUS
NEFROLITIASIS
oleh :
Gabriella Nurahmani Putri 07120110071
Pembimbing:
dr. Isdianto, SpU
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
2015
BAB I
Laporan Kasus
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 54 Tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Kalibata Selatan
Penjamin : BPJS
Tgl Masuk : 27 Agustus 2015
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tgl 29 Agustus 2015
a. Keluhan Utama
Nyeri di perut bagian kanan dan kiri bawah sejak 10 hari yang lalu.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut bagian kanan dan kiri bawah sejak 10 hari
yang lalu, nyeri bersifat terus menerus, tidak menjalar, dan berskala 8/10. Nyeri
tersebut sangat hebat sampai pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Nyeri disertai rasa mual dan muntah, kurang lebih tiga hari sekali. Muntah berisi
air, tanpa darah ataupun lendir. Rasa mual membuat napsu makan dan minum
pasien berkurang. Sebelum nyeri perut, pasien merasakan nyeri di pinggang
kanan dan kiri sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul, dan tidak
terpaku pada waktu tertentu. Nyeri dirasakan seperti rasa pegal. Skala nyeri
yang dirasakan oleh pasien adalah 6/10. Pasien tidak mengeluh adanya masalah
buang air kecil, seperti nyeri saat berkemih, pipis berdarah, susah berkemih,
anyang-anyangan, atau susah lampias saat berkemih. Pasien juga tidak mengeluh
adanya masalah pada buang air besar atau adanya demam. Pasien sudah pernah
berobat ke rumah sakit lain, dimana pasien di USG dan ditemukan batu di ginjal
kiri pasien. Pasien kemudian dirujuk ke poli bedah RSMC.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Pasien
mempunyai riwayat penyakit asam urat dan kolesterol tinggi. Riwayat tekanan
darah tinggi, kencing manis, maag, disangkal.
d. Riwayat kebiasaan
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga sehingga sehari-hari akan terbiasa
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Kebiasaan tersebut tidak
dilakukan semenjak pasien mulai mengeluh nyeri di lapang perut. Pasien juga
mempunyai kebiasaan makan makanan yang asam dan kacang-kacangan.
Kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adik pasien menderita hipertensi, namun anggota keluarga lainnya tidak
ada yang mengidap hipertensi ataupun gejala-gejala lainnya seperti asma,
diabetes, asam urat, dan kolesterol tinggi.
f. Riwayat pengobatan
Selama ini pasien mengkonsumsi obat Probenecid 500mg satu kali sehari untuk
asam uratnya. Pasien tidak minum obat apapun untuk kolesterol tinggi.
III. Pemeriksaan Fisik
Tanggal 28 Agustus 2015
a. Status Generalis
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Tingkat kesadaran : E4M6V5 (Compos Mentis)
- Tanda – tanda vital :
o Nadi : 84 kali / menit
o Tekanan darah: 120/80 mmHg
o Pernapasan : 24 kali / menit
o Suhu : 36 0C
b. Head to toe examination
Kepala
Normosefal, rambut berwarna hitam, wajah berbentuk oval dan tidak terdapat
kelainan bentuk, tidak terdapat luka / lesi.
Mata
Mata simetris, tidak ada edema palpebra, konjutiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor dengan diameter 3 mm / 3 mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+)
Telinga
Bentuk telinga normal dan simetris, tidak terdapat deformitas, liang telinga tidak
terdapat sekret, nyeri tekan tidak ada, pendengaran normal
Hidung
Bentuk hidung normal dan simetris, tidak terdapat deviasi, tidak terdapat sekret atau
darah yang keluar dari hidung
Mulut dan tengggorok
Bentuk bibir simetris, bibir berwarna merah dan tidak ada tanda – tanda sianosis.
Lidah berbentuk normal, lembab dan tidak ada tremor. Uvula tidak deviasi dan tidak
hiperemis. Tonsil tidak membesar (T1/T1), faring tidak hiperemis.
Leher
Trakea berada di tengah dan tidak terdapat deviasi. Tidak terdapat pembesaran KGB.
Thoraks
Inspeksi
Bentuk dan pergerakan dada simetris, tidak terdapat retraksi dinding dada, iktus
kordis tidak terlihat.
Palpasi
Ichtus cordis tidak teraba. Tactile fremitus kanan dan kiri simetris.
Perkusi
Perkusi pada lapang paru terdengar sonor di seluruh lapang paru. Perkusi batas
jantung tidak menunjukkan adanya pembesaran jantung.
Auskultasi
Jantung: suara dasar SI dan SII normal, tunggal murni, irama reguler, murmur (-),
gallop (-)
Paru : suara napas vesikuler, ronchi (-/-),wheezing (-/-)
Abdomen
o Inspeksi
Dinding perut terlihat simetris, bentuk dinding perut cembung,
tidak terdapat kelainan pada kulit, pergerakan dinding perut
sesuai dengan irama pernapasan, Tidak terlihat spider naevi,
bekas operasi, ataupun dam contour.
o Auskultasi
Bising usus (+) normal, tidak menurun atau meningkat dengan
frekuensi : 8 kali / menit. Tidak terdengar adanya suara metalik.
o Palpasi
Dinding perut cembung, tidak terdapat distensi abdomen dan
perut papan, nyeri tekan (+) pada bagian kanan dan kiri (regio
lumbar dan iliaka), massa (-) pada palpasi dalam dan dangkal.
Pemeriksaan Hati : Tidak teraba adanya pembesaran hati.
Pemeriksaan Spleen : Tidak teraba adanya pembesaran limpa.
Pemeriksaan Balotemen: Ginjal kiri teraba.
o Perkusi
Timpani pada seluruh regio abdomen.
Ketok CVA positif pada bagian kiri.
Regio suprapubik
Inspeksi : warna kulit sama dengan sekitar, jejas (-), sikatriks (-) , tanda-
tanda radang (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), vesika urinaria teraba tidak penuh
Ekstremitas
Akral Hangat , tidak terlihat adanya deformitas ataupun massa.
Kulit
Kulit tampak sawo matang , tidak ada ruam-ruam merah ataupun tanda-tanda
petekiae.
Kelamin
Tidak terpasang kateter, tidak terlihat adanya luka ataupun darah
IV. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil lab tgl 20/8/2015
Pemeriksaan Hasil Nilai normalHemoglobin 9.9 13 – 17 gr/dlHematokrit 30 37 – 54%Leukosit 7.3 5 – 10 ribu /ulTrombosit 272 150 – 400 ribu /ulCT /masa pembekuan 5 2 – 6 menitBT / masa pendarahan 3 1 – 3 menitGlukosa darah sewaktu 86 <200 mg/dl
b. Foto Thorax
Hasil foto thorax menunjukkan kesan aortosklerotik
c. Foto BNO Abdomen
Foto BNO Abdomen menunjukkan bayangan-bayangan radiopaque
dengan ukuran terbesar 1x1, 5cm yang terproyeksi di sebelah kiri vertebra L2.
Gambaran tersebut dapat mengarah ke suspek batu multipel di ureter kiri.
d. USG Ginjal dan Buli
USG Ginjal dan Buli menunjukkan adanya batu di pelvis renalis kiri
berukuran 2.74cm, yang disertai dengan hidronefrosis sedang. Pada ginjal
kanan tampak nefrolitiasis berukuran 1.04cm di interpole. Tidak tampak
kelainan di buli.
V. ResumeSeorang pasien wanita berinisial Ny.N, berusia 52 tahun datang dengan
keluhan nyeri pada perut bagian kanan dan kiri bawah sejak 10 hari yang lalu.
Nyeri bersifat terus menerus, dengan skala nyeri 8/10. Nyeri disertai mual dan
muntah, sekitar 3 kali sehari, berisi air. Keluhan tersebut merupakan lanjutan
dari keluhan nyeri pinggang kanan dan kiri yang muncul 3 bulan yang lalu. Pada
saat itu nyeri masih bersifat hilang timbul dan tidak menjalar sampai lapang
abdomen. Buang air kecil dan buang air besar pasien tidak dikeluhkan. Buang air
kecil lancar, dengan urin yang tidak disertai darah ataupun pasir. Demam
disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal,
status generalis menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan abdomen
yakni palpasi balotemen yang teraba (ginjal kiri), nyeri tekan perut kanan dan
kiri bawah. Ginjal kiri yang teraba pada balotemen memiliki permukaan yang
halus, konsistensi keras, dengan nyeri tekan. Pada pemeriksaan ketok sudut
kostovertebral terdapat nyeri dibagian kiri. Status urologis yakni regio
suprapubik tidak terasa penuh atau nyeri saat ditekan, dan tidak tampak adanya
kelainan pada genitalia pasien.
VI. Diagnosis KerjaNefrolitiasis VII. Diagnosis BandingAneurisme Arteri RenalisTumor WilmsStriktur UrethraBPH
VIII. Tatalaksana
Medikamentosa Pre- Op (27 Agustus 2015) Injeksi Ceftriaxone 1g IV
Non medikamentosa Pre-Op Skin test Ceftriaxone Puasa 8 jam Konsul spesialis jantung dan anestesi
Medikamentosa Post-Op (28 Agustus 2015) Pasang IV Line RL: D5% (2:1) 30tpm Injeksi Ceftriaxone 2x1g IV Injeksi Tramadol 3x50mg IV Injeksi Ranitidin 2x50mg IV injeksi Kalnex 3x500mg IV
Non medikamentosa Post-Op Rawat inap Pemasangan kateter dan pemantauan urine output per 12 jam Puasa sampai bising usus normal kembali Pemantauan selang drainase
OperatifPyelolithotomy dan pemasangan internal ureteral stent
IX. Follow upTanggal 28/8/2015 (Monitor Post Op)S: Pasien masih setengah sadar, tetapi sudah mengeluh nyeri pada luka post op.
Tidak ada rasa mual ataupun pusing post op. Operasi berlangsung jam 16.00.
O : Ku/Kes : SS/E4M5V5Tanda vital:
TD : 110/70 mmHg; HR:84x/menit;
RR : 18 x/menit; Suhu : 36°C
Kepala : normosefali
Mata : CA +/+ ; SI -/-; RC+/+
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo : Vesikuler, Rh (-/-); Wz (-/-)
Cor : S1, S2, regular; murmur(-); gallop (-)
Abd : supel, datar, BU(-) , NT (+) di luka post op (region lumbalis sinistra)
Ext : akral hangat, edema (-) CRT <2
Genitalia : terpasang DC ukuran 16
Status lokalis regio lumbalis sinistra: terdapat luka post op, tertutup verban,
berukuran sekitar 7cm, tidak terdapat rembesan darah, terdapat selang drainase,
nyeri tekan (+).
A :post op pyelolitotomi
P : IVFD : D5% = 2:1 30 tpm
Inj ceftriaxone 2 x 1g IV
Inj Ranitidin 2 x 50mg IV
Inj Kalnex 3 x 500mg IV
Non Medikamentosa: Pasien puasa sampai bising usus normalObservasi nyeri dan produksi urin pasienCek DR post op
Tanggal 29/8/2015S: Nyeri luka post op, sehingga mengganggu pergerakan pasien. Pasien masih
tirah baring dan mengeluh ingin minum air. Tidak ada keluhan pusing ataupun
mual post op. Tidak ada sesak atau batuk.
O : Ku/Kes : Tampak Sakit Sedang/ E4M6V5Tanda vital:
TD : 110/70 mmHg; HR:76x/menit
RR : 14 x/menit; Suhu : 36.3
Kepala : normosefali
Mata : CA +/+ ; SI -/-; RC+/+
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo : Vesikuler, Rhonchi terdengar di bagian apex (+/+); Wheezing (-/-)
Cor : S1/S2, regular; murmur(-); gallop (-)
Abd : supel, datar, BU(-) , NT (+) di regio lumbalis kiri (bagian operasi)
Ekestremitas: akral hangat, edema (-) CRT <2
Genitalia : terpasang kateter ukuran 16
Status lokalis: Terdapat luka operasi di regio lumbalis kiri, tertutup verban,
berukuran sekitar 7cm, tidak terdapat rembesan darah, nyeri tekan (+),
terpasang selang drainase dengan isi cairan berwarna merah.
Urine output/12 jam: 400cc
Cairan drainase: 3cc
Hasil DR post op: (tanggal 28/8 jam 22.00)
Pemeriksaan Hasil Nilai normalHemoglobin 10.1 13 – 17 gr/dlHematokrit 28 37 – 54%Leukosit 13.7 5 – 10 ribu /ulTrombosit 247 150 – 400 ribu /ul
A : Post pyelolitotomi H1
P : IVFD : D5% = 2:1 20 tpm
Inj ceftriaxone 2 x 1g IV
Inj Ranitidin 2 x 50mg IV
Inj Kalnex 3 x 500mg IV
Tanggal 30/8/2015S: Pasien merasakan mual (+), nyeri pada luka post op, dan nyeri pada pinggang kiri.
O : Ku/Kes : Tampak Sakit Sedang/ E4M6V5Tanda vital:
TD : 130/80 mmHg; HR:80x/menit
RR : 20x/menit; Suhu : 36°C
Kepala : normosefali
Mata : CA +/+ ; SI -/-; RC+/+
THT: T1-T1, faring tidak hiperemis
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo : Vesikuler, Rhonchi (-/-); Wheezing (-/-), suara napas vesicular/vesikular
Cor : S1/S2, regular; murmur(-); gallop (-)
Abd : supel, datar, BU(+) , NT (+) di regio lumbalis kiri (bagian operasi) dan di
suprapubis, CVA -/+
Ekestremitas: akral hangat, edema (-) CRT <2
Genitalia : terpasang kateter ukuran 16
Status lokalis: Terdapat luka operasi di regio lumbalis kiri, tertutup verban,
berukuran sekitar 7cm, tidak terdapat rembesan darah, nyeri tekan (+),
terpasang selang drainase dengan isi cairan berwarna merah.
Urine output/12 jam: 400 cc
Cairan drainase: 3 cc
A : Post pyelolitotomi H2
P : IVFD : D5% = 2:1 20 tpm
Inj ceftriaxone 2 x 1g IV
Inj. Tramadol 3x50mg IV
Inj Ranitidin 2 x 50mg IV
Inj Kalnex 3 x 500mg IV
Tanggal 31/8/2015S: Pasien tidak mempunyai napsu makan karena mulut terasa pahit. Mual,
muntah, pusing, disangkal. Pasien susah BAB dan flatus. Makan hanya sedikit,
namun minum banyak. Pasien masih mengeluh nyeri di bagian operasi, di regio
suprapubik. Harus mulai mobilisasi.
O : Ku/Kes : Tampak Sakit Sedang/ E4M6V5Tanda vital:
TD : 110/80 mmHg; HR:88x/menit
RR : 24x/menit; Suhu : 36°C
Kepala : normosefali
Mata : CA -/- ; SI -/-; RC+/+
THT: T1-T1, faring tidak hiperemis
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo : Vesikuler, Rhonchi (-/-); Wheezing (-/-), suara napas vesicular/vesikular
Cor : S1/S2, regular; murmur(-); gallop (-)
Abd : supel, datar, BU(+) , NT (+) di regio lumbalis kiri (bagian operasi) dan di
suprapubis, CVA -/+
Ekestremitas: akral hangat, edema (-) CRT <2
Genitalia : terpasang kateter ukuran 16
Status lokalis: Terdapat luka operasi di regio lumbalis kiri, tertutup verban,
berukuran sekitar 7cm, tidak terdapat rembesan darah, nyeri tekan (+),
terpasang selang drainase dengan isi cairan berwarna merah.
A : Post pyelolitotomi H3
Anemia
P : IVFD : D5% = 2:1 20 tpm
Inj ceftriaxone 2 x 1g IV
Inj. Tramadol 3x50mg IV
Inj Ranitidin 2 x 50mg IV
Inj Kalnex 3 x 500mg IV
Batu Ginjal Post- Pyelolitotomi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Latar Belakang
Nefrolitiasis adalah kalkuli renalis, atau lebih dikenal sebagai batu ginjal. Batu
ginjal itu sendiri (nefroliths) merupakan agregasi dari mineral-mineral yang
terkandung dalam urin. Agregasi tersebut terjadi karena adanya abnormalitas pada isi
urin, yakni tingginya konsentrasi mineral-mineral tersebut karena kurangnya
konsumsi air sehingga proses kristalisasi terjadi, membentuk batu. Maka dari itu,
dehidrasi merupakan faktor resiko terbesar pembentukan batu ginjal. Faktor resiko
lainnya adalah asam urat, konsumsi vitamin C berlebih, riwayat batu ginjal dalam
keluarga, resistensi insulin, hiperparatiroidisme primer, dan menopause.
Insidens batu ginjal bukanlah sesuatu yang jarang dilihat. Pada tahun 2002,
prevalensi batu ginjal di Indonesia adalah 13% untuk laki-laki dan 7% untuk
perempuan, pada penduduk berumur 30-40 tahun. Jumlah pasien yang dirawat adalah
19.018 orang, dengan mortalitas sebanyak 378 orang.1 Pada tahun 2013, prevalensi
batu ginjal dapat dilihat di tabel berikut.
Jika diklasifikasikan menurut umur, batu ginjal terjadi pada pasien berumur
umur 55-64 tahun (1,3%), menurun sedikit pada kelompok umur 65-74 tahun (1,2%)
dan umur ≥75 tahun (1,1%). Prevalensi lebih tinggi pada penduduk yang tidak
bersekolah dan tidak tamat SD (0.8%), penduduk wiraswasta (0.8%), dan penduduk
menengah bawah sampai menengah atas (0.6%)2
.
II. Etiologi &Klasifikasi3, 4
Ada dua etiologi utama pembentukan batu ginjal, yakni volume rendah dari urin yang
terbentuk di renal dan meningkatnya konsentrasi mineral-mineral yang terkandung
dalam urin tersebut. Etiologi lainnya adalah stasis urin, gangguan metabolik, infeksi
saluran kemih, dan idiopatik. Faktor resiko pembentukan batu ginjal dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari tubuh pasien sendiri. Faktor
intrinsik berupa herediter (batu ginjal sebagai penyakit turunan), umur (30-50 tahun),
dan jenis kelamin (pria beresiko memiliki batu ginjal tiga kali lipat dibandingkan
wanita).
Faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari lingkungan pasien. Faktor
ekstrinsik berupa geografi (insidens batu ginjal di suatu daerah dapat lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah lainnya- daerah stone belt), iklim, suhu, asupan air dan
tingginya kadar kalsium dalam air yang diminum (semakin banyak air semakin baik,
semakin tinggi kadar kalsium dalam air semakin buruk), diet (diet tinggi purin,
oksalat, dan kalsium dapat mencetuskan pembentukan batu ginjal), dan pekerjaan
(pekerjaan yang tidak melibatkan banyak aktivitas fisik meningkatkan resiko batu
ginjal).
Mineral-mineral yang terkandung dalam urin berupa kalsium, magnesium,
ammonium, sulfat, asam urat, dan cystine. Peningkatan kadar kalsium dalam urin
dapat menghasilkan batu kalsium, yang merupakan tipe batu ginjal yang paling sering
ditemukan (60-80%).
a. Batu Kalsium
Batu kalsium yang terbentuk di ginjal dapat berupa kalsium oksalat, kalsium fosfat,
dan kalsium urat. Batu kalsium adalah tipe batu ginjal yang paling sering ditemukan,
yakni 70-80% dari total insidens batu ginjal. Kondisi-kondisi yang menyebabkan
peningkatan kadar kalsium dalam darah adalah hiperparatiroidisme, hipomagnesuria,
hiperkalsiuria, hiperoksaluri, hipositraturia, dan hiperurikosuria. Kadar pH urin yang
basa akan meningkatkan resiko pembentukan batu ini.
Hiperkalsiuria adalah kadar kalsium yang tinggi dalam urin (>250-300mg/24
jam). Hiperkalsiuria terjadi karena adanya peningkatan absorbsi kalsium
dalam usus, adanya gangguan reabsorbsi kalsium dalam tubulus renal, dan
karena adanya pengingkatan penyerapan kalsium dari tulang ke darah
(hiperparatiroidisme atau karena tumor paratiroid).
Hiperoksaluria adalah oksalat yang berlebih dalam urin (>45g/24 jam). Hal ini
akan ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi makanan dan minuman yang
mengandung banyak oksalat, seperti teh, kopi instan, minuman bersoda,
coklat, stroberi, jeruk, dan bayam. Selain itu hiperoksaluria juga dapat
ditemukan pada pasien yang telah menjalani pembedahan usus.
Hiperurikosuria adalah kadar asam urat yang berlebih dalam urin (>850mg/24
jam). Hal ini dapat ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi makanan yang
bayak mengandung purin, seperti kacang-kacangan dan daging.
Hipositraturia adalah kadar sitrat yang sedikit dalam urin. Telah dijelaskan
bahwa sitrat merupakan salah satu inhibitor pembentukan batu ginjal, maka
kadarnya yang sedikit akan menghasilkan banyak kalsium oksalat atau
kalsium fosfat. Hipositraturia dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit
ginjal kronik (karena adanya renal tubular acidosis), dan pada pasien yang
menggunakan thiazide dalam jangka waktu lama.
Hipomagnesuria adalah kadar magnesium yang sedikit dalam urin.
Magnesium juga merupakan salah satu penghambat pembentukan batu ginjal,
namun jika terjadi hipomagnesuria maka kadar kalsium oksalat akan
meningkat. Hipomagnesuria dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit
inflamasi usus.
Selain konsentrasi mineral yang meningkat, kristalisasi batu juga dapat dipengaruhi
oleh infeksi nanobakteri (biasanya post infeksi Helicobacter pylori). Nanobakteri
tersebut akan membentuk cangkang yang terbuat dari kalsium fosfat. Penumpukan
kalsium fosfat dapat membesar membentuk kalkuli renal, dan pembesarannya
dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium dari diet sehari-hari, volume urin, dan
berkurangnya inhibitor kalkuli (sitrat, pyrofosfat, dan glikoprotein).
b. Batu Struvit
Peningkatan konsentrasi ammonium, magnesium, dan fosfat akan membentuk batu
struvite (10-15%). Batu struvite paling sering terbentuk sebagai hasil dari infeksi
saluran kemih oleh bakteri berbentuk batang gram negatif, karena bakteri tersebut
akan memecah urea menjadi ammonium. Penumpukan ammonium akan membuat pH
urin menjadi basa, sehingga dapat menarik magnesium dan fosfat, membentuk batu
struvite. Bakteri-bakteri tersebut biasanya berupa Proteus sp., Klebsiella sp., Serratia,
Enterobakter, Stafilokokus, atau Pseudomonas sp.
c. Batu Asam Urat
Batu asam urat juga merupakan salah satu tipe batu ginjal yang paling sering
ditemukan (5-10%) pada pasien walaupun tidak sesering batu kalsium oksalat dan
batu struvite. Faktor resiko untuk batu asam urat adalah konsumsi purin yang
berlebihan (daging, kacang-kacangan, ikan), mempunyai penyakit asam urat, penyakit
mieloproliferatif, mendapatkan terapi antikanker, dan banyak menggunakan
sulfipirazone, thiazide, dan salisilat, konsumsi alkohol, dan obesitas. Diet tinggi purin
dapat menyebabkan asam urat tinggi karena degradasi purin oleh asam inosinat
menghasilkan hipoxantin, yang kemudian diubah menjadi xantin oleh xanthin
oksidase. Xanthin kemudian akan dimetabolisir menjadi asam urat. Asam urat akan
diekskresikan melalui urin. Seperti mineral lainnya, asam urat akan kristalisasi apabila
volume urin sedikit, tetapi lain dari itu kadar asam urat harus tinggi dan pH urin asam.
Diagnosis yang mengarah pada batu asam urat adalah pH urin yang kurang dari 5.5,
dan pada pemeriksaan kreatinin dan asam urat dalam urin atau serum didapatkan
peningkatan. Ukuran batu asam urat bervariasi dari kecil sampai besar sekali, namun
bentuknya pasti halus dan bulat sehingga bisa keluar secara spontan.
d. Lainnya
Batu Cystine merupakan tipe batu ginjal yang paling jarang (1%). Batu Cystine
terbentuk karena adanya defek reabsorpsi Cystine, Ornithine, Lysine, Arginine di
mukosa usus. Batu lainnya adalah batu xanthine, yang sangat jarang ditemukan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi komposisi urin adalah suhu, pH,
konsentrasi solut dalam urin, laju aliran urin dalam saluran kemih, dan adanya korpus
alienum dalam saluran kemih yang memicu pengendapan solute di urin.
e. Lokasi
Selain dari komposisi batu, batu ginjal juga diklasifikasikan melalui lokasi batu.
Lokasi batu dibagi menjadi dua tempat utama, yaitu batu ginjal dan batu ureter. Batu
ginjal terbentuk di tubulus ginjal dan kemudian akan bergerak ke pelvis ginjal, kaliks
ginjal, infundibulum ginjal, atau bahkan pelvis dan kaliks ginjal.
Batu ureter terjadi ketika batu di pelvikaliks didorong kebawah oleh gerakan
peristalsis. Ureter kemudian akan menggunakan gerakan peristalsis untuk mendorong
batu ke buli-buli. Batu dapat dibedakan lokasinya melalui gejala klinis pasien.
IV. Patofisiologi
Batu dapat terjadi di semua bagian traktus urinarius yang biasa mengalami stasis urin,
seperti kalises ginjal dan buli-buli. Selain dari itu, kondisi-kondisi yang
memungkinkan adanya stasis urin seperti divertikel, obstruksi infravesika kronis
(hyperplasia prostat benigna), striktur urethra, dan buli-buli neurogenik memudahkan
terjadinya pembentukan batu karena stasis urin yang dihasilkannya.
Batu terbentuk karena adanya kristalisasi dari komposisi urin, yakni bahan organik
dan anorganik. Bahan-bahan tersebut akan tetap terlarut dalam urin (dikenal sebagai
kondisi metastable) apabila tidak ada faktor-faktor resiko yang menyebabkan
presipitasi kristal di urin. Ketika bahan organic dan anorganik dalam urin sudah
presipitasi, maka mereka akan agregasi sekaligus menarik komposisi urin lainnya
sehingga kristal tersebut makin lama makin besar. Setelah agregasi, kristal tersebut
masih belum dapat menyumbat saluran berkemih. Maka bagaimana cara kristal
tersebut menghambat proses berkemih? Kristal yang sudah membesar tersebut akan
menempel pada sel epitel saluran berkemih, mengalami proses pengendapan sehingga
kristal akan membesar lagi sampai menyumbat traktus urinarius.
Pembentukan batu pada urin dipengaruhi dengan seimbang atau tidaknya inhibitor
batu dan zat-zat pembentuk batu. Inhibitor batu adalah zat-zat yang menghambat
pembentukan batu, yakni dengan cara reabsorpsi kalsium dalam usus, menghambat
agregasi dan retensi kristal. Salah satu inhibitor batu adalah ion magnesium, yang jika
berikatan dengan oksalat akan membentuk magnesium oksalat. Ini akan
mengakibatkan jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium untuk membentuk
batu kalsium oksalat akan menurun. Inhibitor lain adalah sitrat, yang cara kerjanya
sama seperti magnesium. Sitrat akan berikatan dengan kalsium sehingga jumlah
kalsium yang akan berikatan dengan oksalat untuk membentuk batu kalsium oksalat
akan berkurang. Inhibitor-inhibitor batu lainnya adalah glikosaminoglikan, Tamm
Horsfall protein, uromukoid, nefrokalsin, osteopontin.
V. Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang sangat khas untuk nefrolitiasis adalah nyeri pinggang unilateral
(pada sisi ginjal yang sakit). Nyeri dapat berupa kolik atau non-kolik. Nyeri kolik
adalah nyeri yang hilang timbul, dan pada kasus batu ginjal nyeri kolik muncul karena
gerakan peristaltik ureter atau otot kalises yang meningkat dengan tujuan
mengeluarkan batu dari traktus urinarius. Gerakan peristaltik tersebut meningkatkan
tekanan intraluminal dan meregangkan terminal saraf, menghasilkan rangsangan
nyeri. Nyeri non kolik disebabkan oleh hidronefrosis atau infeksi ginjal yang
menyebabkan peregangan kapsul ginjal. Disuria akan dirasakan apabila batu terletak
di ujung ureter. Pasien juga akan merasakan frekuensi berkemih meningkat, seringkali
dikeluhkan sebagai ‘anyang-anyangan’. Hematuria juga seringkali dikeluhkan oleh
pasien. Hematuria terjadi karena iritasi mukosa saluran kemih karena gesekan batu.
Adanya gejala demam akan ada jika batu ginjal sudah menimbulkan urosepsis. Pasien
dengan urosepsis harus diobati segera karena merupakan kasus gawat darurat.
Dari gejala-gejala klinis diatas, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan nyeri ketok
pada sudut kostovertebra (di sisi yang sakit), balotemen positif pada sisi yang sakit
(karena sudah hidronefrosis), retensi urin, dan demam dan menggigil apabila infeksi.
VI. Pemeriksaan Penunjang5
Selain menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa
nefrolitiasis, pemeriksaan penunjang juga dilakukan untuk mendukung suspek
diagnosis pasien. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intra vena, dan ultrasonografi.
Foto polos abdomen dapat dilakukan untuk melihat batu radio opak di saluran kemih.
Batu radio-opak umumnya berupa batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, dibedakan
dengan batu asam urat yang radiolusen dan batu struvite yang semiopak.
Pielografi intra vena (IVU) digunakan untuk melihat adanya kelainan dalam fungsi
ginjal dengan cara menggunakan kontras dan melihat apabila ada sumbatan pada
saluran kemih. Apabila terdapat sumbatan, maka cairan kontras akan berkumpul di
bagian proksimal dari lokasi sumbatan tersebut. Selain itu, IVU juga dapat digunakan
untuk identifikasi apabila batu yang menyumbat opak, semi opak, atau tidak opak
sama sekali. Jika IVU belum dapat memastikan diagnosis maka pielogram retrograde
dapat digunakan. Pielogram retrograde memiliki konsep yang sama seperti IVU tetapi
kali ini berlawanan arah, dalam arti kontras akan dimasukkan dari ureter- kontras
akan mengalir dari distal ke proksimal saluran kemih. Pielogram retrograde akan
dilakukan bersamaan dengan sistoskopi, dimana endoskopi akan dimasukkan dari
kelamin untuk visualisasi saluran kemih dan menentukan kapan cairan kontras dapat
dimasukkan.
Ultrasonografi juga dapat dilakukan, khususnya pada pasien dengan kontraindikasi
IVU, yakni alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan wanita
hamil. Gambaran yang terlihat di USG adalah gambaran hyperechoic (batu) dengan
echoic shadow dibawahnya, hidronefrosis (dinding ginjal yang menebal), dan
pengerutan ginjal.
VII. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari nefrolitiasis adalah keganasan (Tumor Wilms’), aneurisme
arteri renalis, striktur urethra, dan Hiperplasia Prostat Benigna (BPH).
Tumor Wilms’ adalah suatu keganasan ginjal yang seringkali terlihat pada anak
berusia 3.5 tahun. Tumor Wilms’ mempunyai gejala yang dapat dikelirukan dengan
nefrolitiasis, yakni teraba massa di abdomen, demam, dan nyeri abdomen. Gejala
lainnya adalah adanya hematuria, infeksi saluran kemih, hipertensi, dan gejala
respiratorik (metastasis ke paru). 6
Aneurisme arteri renalis adalah dilatasi berlebih pada arteri renalis yang disebabkan
oleh trauma tumpul pada abdomen, dan tindakan diseksi arteri renalis. Dari etiologi
sendiri sudah dapat dibedakan dengan nefrolitiasis karena pasien dengan aneurisme
arteri renalis akan mempunyai riwayat trauma dan tindakan diseksi. Gejalanya yang
mirip dengan nefrolitiasis adalah nyeri abdomen, retensi cairan, dan nyeri pinggang
(terutama karena diseksi). Gejala lainnya adalah hipertensi (karena renal iskemia yang
dicetuskan oleh thromboemboli distal dari aneurisme). Seringkali aneurisme arteri
renalis bersifat asimptomatik dan hanya diketahui setelah CT Scan, angiografi, atau
MRI. 7
Striktur urethra adalah salah satu kelainan yang sering ditemukan di poli bedah
dengan gejala yang sangat mirip dengna nefrolitiasis. Striktur urethra mempunyai
gejala obstruktif seperti frequency (“anyang-anyangan”), urgency (sulit menahan
buang air kecil), hesitancy (susah memulai aliran urin), dribbling (urin menetes-netes
ketika berkemih), dan retensi urin. Pada nefrolitiasis yang dapat juga terjadi gejala
obstruktif apabila batu sudah bergerak sampai urerthra. Retensi urin bisa mencetuskan
infeksi saluran kemih sehingga dapat terlihat demam dan disuria. Pada striktur urethra
pasien akan mempunyai riwayat trauma atau urethritis. 8
Diagnosis banding lainnya adalah Hiperplasia Prostat Benigna (BPH). BPH hanya
terjadi pada pria, dan akan terlihat gejala-gejala obstruktif juga. BPH di diagnosa
menggunakan skor IPSS (International Prostate Symptom Score), dimana terdapat
kriteria yang harus dipenuhi seperti miksi tidak tuntas, frekuensi, intermitten, urgensi,
pancaran lemah,mengejan, dan nokturia. Masing-masing kriteria mempunyai skor
tertentu tergantung dari munculnya gejala saat miksi. Skor IPSS ditunjukkan di tabel
berikut.
Skor 1-7 berarti BPH ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 BPH berat. Seperti nefrolitiasis,
pada BPH dapat terjadi hidronefrosis dan hidroureter, termanifestasi sebagai nyeri
pinggang. Bedanya adalah pada BPH biasanya terjadi bersamaan dengan hernia
inguinalis dan hemorrhoid karena seringnya mengejan ketika berkemih. Pada
pemeriksaan rektal pun terdapat pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
VIII. Tatalaksana9,10
Tatalaksana definitif untuk batu ginjal adalah tindakan operasi, namun tidak semua
kasus batu ginjal akan diterapi secara invasif. Indikasi tindakan operasi adalah jika
batu telah menimbulkan gejala-gejala obstruktif, infeksi, atau karena masalah sosial
(seperti profesi yang tidak memungkinkan pasien untuk selalu ke kamar kecil atau
minum banyak air). Tindakan operasi yang dilakukan berupa endourologi,
laparoskopi, atau laparotomi.
1 S, M. Azhary Rully. Batu Staghorn Pada Wanita: Faktor Resiko dan Tatalaksananya. JIMKI-2010, Januari; Vol I (01); 52.
2 Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. RISKESDAS-2013, Desember; 94-95
3 Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi, Edisi 3. Malang: Sagung Seto, 2014.
4 Parmar, Malvinder S., Kidney Stones. BMJ- 2004, Jun 12: 328 (7453); 1420-1424
5 Johns Hopkins Unversity. USA. Johns Hopkins University, 2013. Dapat dilihat di: http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/urology/retrograde_pyelogram_92,P07713/
6 Paulino, Arnld C., Wilms Tumor. Arizona, Medscape, Nov 09 2014. Dapat dilihat dari: http://emedicine.medscape.com/article/989398-overview
7 Zhang LJ, Yang GF, Qi J, Shen W. Renal artery aneurysm: diagnosis and surveillance with multidetector-row computed tomography. Acta Radiol. 2007 Apr. 48(3):274-9.
8 Broghammer, Joshua A., Urethral Strictures, Illinois, Medscape. May 09 2013. Dapat dilihat dari: http://emedicine.medscape.com/article/450903-overview#a10
9 Gaol, H.L., Mochtar C.A., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV. Jakarta, Media Aesclapius, 2014.
10 American urological Association. Report on the Management of STaghorn Claculi. Nephrolithiasis Clinical Guidelines Panel. 1994: 9-21
Tatalaksana non-invasif adalah dengan cara medikamentosa atau ESWL. Terapi
medikamentosa diberikan apabila batu berukuran kurang dari 5mm, berada di ureter
distal, dan tidak terjadi obstruksi total, dengan harapan batu dapat keluar dengan
spontan. Obat yang diberikan adalah tamsulosin 0.8mg PO 1x1 (alpha blocker sebagai
vasodilator), Asam Mefenamat sebagai analgetik (antiprostaglandin), dan anjurkan
pasien untuk minum banyak air (2L per hari) agar batu dapat terdorong keluar dari
saluran kemih. NSAID supositoria dapat memberikan efek yang lebih cepat.
Pemantauan setiap 2 minggu selama 6 minggu dilakukan untuk memantau posisi batu
dan derajat hidronefrosis. Khusus untuk kasus batu asam urat, terapi pelarutan dapat
dilakukan. Terapi pelarutan adalah dimana batu dihancurkan dengan cara dilarutkan
melalui konsumsi makanan yang bersifat alkalis, pemberian natrium bikarbonat, dan
pemebrian allopurinol. Batu struvite tidak dapat dilarutkan, tetapi hanya bisa dicegah
pembesarannya melalui pemberian antiurease.
Terapi ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) adalah tindakan pemecahan
batu yang tidak meliputi suatu proses invasive, pasien bahkan tidak akan dibius. Alat
ESWL diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980, dan alat tersebut dapat memecah
batu ginjal, batu ureter proksimal, dan batu buli. Alat ESWL dapat memberikan suatu
pancaran shockwave pada suatu titik tertentu di tubuh. Shockwave kemudian akan
propagasi melewati jaringan-jaringan tubuh sampai mencapai tempat batu berada, dan
energi dari shockwave tersebut dapat memecah batu menjadi fragmen-fragmen kecil
yang bisa kemudian bisa keluar sendiri melalui urin. Fragmen yang akan dikeluarkan
masih dapat menyebabkan nyeri kolik dan hematuria.
Tindakan invasif minimal endourologi ditujukan untuk memecah batu, dan pecahan-
pecahannya kemudian akan diambil menggunakan alat yang dimasukkan ke saluran
kemih. Alat dapat dimasukkan secara perkutan atau langsung melalui uretra.
Pemecahan batu dilakukan menggunakan energi hidraulik, energi gelombang suara
(soundwave), atau dengan laser. Endourologi dibagi lagi menjadi berbagai tindakan
yang memakai alat yang berbeda-beda, namun konsepnya sama. Tindakan-tindakan
endourologi adalah sebagai berikut.
a. Ureteroskopi adalah dimana alat ureteroskopi dimasukkan melalui uretra
untuk melihat keadaan sistem pielokaliks ginjal dan ureter. Adanya batu di
saluran kemih akan dihancurkan dengan bantuan manipulasi ureteroskopi
tersebut.
b. Litotripsi adalah tindakan dimana alat litotriptor yang berfungsi untuk
memecah batu buli atau uretra dimasukkan ke buli, dan pecahan akan
dikeluarkan menggunakan evakuator Ellik.
c. Percutaneous Nephro Litholapaxy adalah dimana alat endoskopi dimasukkan
ke sistem kalises secara perkutan. Batu kemudian dipecah dan fragmen
dikeluarkan.
d. Ekstraksi Dormia adalah tindakan dimana batu ureter dikeluarkan
menggunakan alat keranjang Dormia (batu akan dijaring kemudian
dikeluarkan, tanpa dipecah terlebih dahulu).
Tindakan invasif laparotomi (pembedahan terbuka) seringkali menjadi pilihan
untuk mengeluarkan batu ginjal, karena sudah sangat sering dilakukan dan
alat-alat invasive minimal biayanya sangat mahal. Tindakan-tindakan
pembedahan terbuka adalah pielolitotomi, nefrolitotomi, dan ureterolitotomi.
Pielolitotomi adalah pengambilan batu di kaliks renal, sedangkan
nefrolitotomi terfokus pada ginjal, dan ureterolitotomi pada ureter. Nefrektomi
adalah tindakan pengambilan ginjal secara keseluruhan, yang dilakukan
apabila ginjalnya sudah tidak berfungsi, bernanah, atau ginjal sudah berkerut.
Bedah laparoskopi jarang dilakukan karena prosedur ini sedang berkembang.
Menurut American Urological Association (2014), batu pada sistem pelviokalises
dapat ditatalaksana mengikuti algoritme sebagai berikut.
Dari algoritme diatas dapat dilihat bahwa semakin besar ukuran batu maka tindakan
invasif semakin dianjurkan. Tindakan yang merupakan lini pertama adalah antara
ESWL atau PNL (Percutaneous Nephrolitholapaxy). Apabila batu terdapat di kaliks
maka dilihat apabila terdapat kontraindikasi ESWL yaitu bukan batu kalsium oksalat
monohidrat atau batu sistin, sudut pelvik-infundibulum tidak curam, infundibulum
>5mm dan kalik inferior pendek <10mm, hamil, infeksi saluran kemih yang tidak
terkontrol, obesitas berat, dan aneurisma arteri di sekitar batu. Apabila salah satu
kontraindikasi tersebut ada, maka endourologi dipilih sebagai pilihan pertama.
IX. Komplikasi 11, 12, 13
Apabila batu ginjal tidak segera diobati maka akan menimbulkan berbagai
komplikasi, dari komplikasi ringan sampai yang bersifat fatal. Komplikasi yang bisa
Pasien dengan batu ginjal
5-10mm
<5mmTerapi konservatif, medikamentosa, observasi
5-10mm 10-20mm >20mm
ESWL/Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS)PNL
Kaliks Inferior
Kaliks Superior/Medial
PNLSWL/RIRS
ESWLEndourologi
terjadi adalah overflow incontinence, gagal ginjal, abses perinefrik, hidronefrosis,
nefropati obstruktif, dan yang paling fatal berupa urosepsis.
Overflow incontinence adalah suatu kondisi dimana pasien tidak akan merasa lampias
setelah berkemih karena adanya obstruksi parsial dari saluran kemih. Overflow
incontinence ditandai dengan adanya urin yang menetes-netes setelah berkemih,
disebabkan oleh urin yang berusaha keluar dari obstruksi parsial tersebut. Teori lain
yang menjelaskan tentang overflow incontinence adalah bahwa obtruksi saluran
kemih (terutama di buli atau urethra) menyebabkan penumpukan urin di buli-buli.
Penumpukan urin menghasilkan distensi otot buli sehingga kontraksi tidak dapat
dilakukan oleh otot detrusor. Lama kelamaan distensi otot buli bertambah, otot
internal sphincter meregang, dan urin dapat keluar sedikit demi sedikit. Penumpukan
urin dapat menyebabkan refluks urin kembali ke ginjal, menyebabkan hidronefrosis,
dan apabila tidak diterapi secepatnya dapat menyebabkan kegagalan fungsi dan
11 Rule, Andrew D, et al. Kidney Stones and The Risk for Chronic Kidney Disease. CJASN-2009 Apr; 4 (4) 804-811
12 Bostwick, David G., et al. Urologic Surgial Pathology. 3rd edition. USA: Elsevier. 2014.
13 Joel Gustavo Gomez-Nunez, Ulises M. Alvarez, Francisco Fernandez, Jorge Gutierrez-Aceves, Luz Maria Lopez-Marin and Achim M. Loske (2011). Infected Urinary Stones, Endotoxins and Urosepsis, Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infection, Dr. Ahmad Nikibakhsh (Ed.), ISBN: 978-953-307-393-4, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/clinical-management-of-complicated-urinary-tractinfection/infected-urinary-stones-endotoxins-and-urosepsis
kerusakan struktur ginjal yang permanen (nefropati obstruktif).
Komplikasi lainnya adalah abses perinefrik, yang merupakan abses di antara kapsul
ginjal dengan fascia Gerota. Abses perinefrik sendiri adalah tahap lanjut dari
pyonefrosis yang dicetuskan oleh batu ginjal. Batu ginjal akan diikuti oleh obstruksi
saluran kemih, menghasilkan kondisi stasis urin atau bahkan sampai hidronefrosis.
Stasis urin adalah suatu media yang ideal bagi bakteri-bakteri saluran kemih untuk
berkolonisasi. Bakteri yang biasanya berkembang biak pada saluran kemih (stasis
urin) adalah Escherichia coli., Enterococcus sp., Candida sp., Enterobacter sp., dan
lainnya. Infeksi akan mengaktivasi reaksi imun pada fokus infeksi. Pada pyonefrosis,
reaksi imun akan terlokalisasi sampai parenkim ginjal dan akan terlihat adanya
penumpukan sel darah putih yang membentuk nanah (pus). Apabila infeksi
penumpukan sel darah putih menyebar sampai kapsul ginjal maka dapat terbentuk
abses perinefrik. Pada kondisi ini pasien akan demam menggigil, dysuria, penurunan
berat badan, dan nyeri pinggang 1-2 minggu setelah infeksi terjadi, dan gejala akan
menetap lebih dari 5 hari. Nyeri pinggang dapat menjalar ke bagian selangkangan,
paha, atau lutut. Massa di pinggang (abses) dapat teraba.
Nefrolitiasis juga dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis, walaupun
mekanismenya belum jelas. Penelitian telah memberi hasil bahwa resiko pasien
mengidap penyakit ginjal kronis setelah mengidap batu ginjal adalah 50-67%, resiko
untuk memiliki peningkatan kreatinin serum adalah 26-46%, dan penurunan laju
filtrasi glomerulus adalah 22-42%.
Komplikasi nefrolitiasis yang paling fatal adalah urosepsis. Urosepsis adalah kondisi
sepsis yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih. Sepsis sendiri adalah kondisi
sindrom respon inflamasi sistemik yang disertai dengan infeksi. Kriteria sepsis adalah
adanya bukti infeksi, suhu >38 atau <36, detak jantung >90x/menit, laju napas
>20x/menit, jumlah leukosit >12.000 atau <4.000. Urosepsis akan diawali dengan
batu ginjal yang terinfeksi. Bakteria akan menginfeksi saluran kemih secara asendens,
dan berkolonisasi di permukaan batu. Bakteria yang paling sering menyerang batu
ginjal adalah E.Coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa. Bakteri tersebut akan
melepas endotoksin (Lipopolisakarida) yang akan mengaktifkan Interleukin-1 dan
Tumor Necrosis Factor alpha, diikuti oleh stimulasi faktor-faktor komplemen. Faktor
komplemen kemudian akan memanggil sel-sel imun yang lebih banyak ke fokus
infeksi. Reaksi inflamasi yang sangat besar lah yang akan menimbulkan gejala-gejala
urosepsis.
Pemberian antibiotik pada awal infeksi tidak akan memberi perubahan besar karena
obat akan sulit mempenetrasi batu ginjal. Hal ini memungkinkan infeksi batu ginjal
untuk tetap memburuk walaupun sudah ada pemberian antibiotik. Hal tersebut
menjurus pada komplikasi urosepsis apabila tidak diterapi secara adekuat.
X. Prognosis14
Prognosis nefrolitiasis tergantung dari ukuran batu, waktu mulai tatalaksana, dan
adanya komplikasi. Semakin kecil ukuran batu (<5mm), maka prognosis akan
menjadi semakin baik karena batu dapat keluar sendiri bersamaan dengan urin.
Semakin cepat tatalaksana untuk batu ginjal maka semakin baik prognosisnya.
Tatalaksana yang cepat akan mengurangi kesempatan untuk timbulnya komplikasi
(abses atau urosepsis). Komplikasi yang fatal seperti urosepsis mempunyai prognosis
yang sangat buruk, sehingga membutuhkan penanganan invasif segera. Prognosis juga
akan lebih buruk apabila pasien memiliki batu multipel dan memiliki anggota
keluarga yang juga mengidap nefrolitiasis, karena faktor-faktor tersebut merupakan
petunjuk Apabila batu ginjal sudah ditangani, masih ada kesempatan bahwa batu
dapat terbentuk dan menyumbat saluran kemih lagi. Probabilitas rekurensi adalah
50% dalam waktu 5 tahun, dan 70% dalam waktu 10 tahun. bahwa ada kelainan
metabolik pada pasien.
X. Pembahasan Kasus
Secara kronologis, pasien mempunyai keluhan nyeri pinggang kanan dan kiri tiga
14 Wolf, Stuart. Nephrolithiasis. USA, Medscape, Apr 28, 2014. Dapat dilihat dari: http://emedicine.medscape.com/article/437096-overview
bulan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri tersebut bersifat hilang timbul, dengan skala
6/10. Pasien menyangkal adanya keluhan buang air kecil seperti anyang-anyangan,
sulit berkemih, nyeri berkemih, ataupun adanya darah atau pasir dalam urin. Pasien
juga menyangkal adanya demam. Dari keluhan awal tersebut sudah dapat diketahui
bahwa pasien tidak memiliki gejala infeksi saluran kemih. Nyeri pinggang dapat
disebabkan oleh keluhan otot atau ginjal, namun sifat nyeri yang kolik lebih mengarah
ke patologi ginjal. Nyeri kolik adalah suatu manifestasi adanya obstruksi saluran
kemih, seringkali oleh kalkuli, dan nyeri timbul karena gerakan peristaltik ureter
dalam usaha untuk mendorong kalkuli ke saluran kemih bagian distal agar dapat
keluar bersamaan dengan urin. Gesekan batu dengan dinding ureter disertai hipoksia
yang timbul menyebabkan nyeri kolik. Lokasi nyeri adalah pinggang kiri dan kanan,
dapat diperkirakan bahwa terdapat kalkuli di pelvis ginjal kiri dan kanan.
Saat masuk rumah sakit, pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan dan kiri
bawah (bagian iliaka). Nyeri bersifat terus menerus dengan skala 8/10. Pasien juga
mengalami mual dan muntah. Demam dan keluhan berkemih tetap disangkal. Dari
keluhan terebut dapat dilihat bahwa nyeri telah menjalar ke bagian suprapubik dan
bersifat non kolik. Nyeri pada bagian suprapubik lebih menandakan bahwa nyeri
berasal dari batu yang berada di ureter. Dapat diperkirakan bahwa batu dari ginjal
sudah turun sampai ke ureter, dan karena nyeri bilateral maka kemungkinan batu
ureter berada di ureter kanan dan kiri. Mual dan muntah yang dialami pasien timbul
karena adanya stimulasi nervus vagal karena iritasi mukosa gastrointestinal oleh
hidronefrosis. Nyeri non kolik muncul ketika intensitas nyeri kolik sudah mencapai
maksimum, yaitu 1-2 jam setelah onset nyeri. Nyeri di inervasi oleh serat nyeri renal,
yaitu saraf preganglionic simpatetik T11-L2, melalui traktus spinothalamikus. Nyeri
di pinggang dan area lumbalis menandakan pusat nyeri di ureter proksimal, di
suprapubik berarti pusat di ureter media, dan nyeri di daerah selangkangan
menandakan nyeri terpusat di distal ureter. Pada pasien kemungkinan batu sudah
mencapai ureter media, dengan asal dari renal pelvis, lokasi bilateral.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya nyeri tekan abdomen pada bagian
suprapubik kanan dan kiri, tidak teraba adanya massa. Pada balotemen ginjal kiri
teraba, yang bisa menandakan hidronefrosis pada ginjal kiri. Ketok CVA positif pada
ginjal kiri, hal ini juga bisa menandakan hidronefrosis karena nyeri bisa muncul
karena ketokan mengiritasi ginjal yang telah membesar.
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan kadar Hb 9.9 dan Ht 30, bisa disebabkan
oleh mikroskopik hematuria. Pada BNO polos abdomen, terdapat gambaran
radiopaque di level vertebra L2 sinistra, hal ini menandakan adanya batu di ureter
sinistra. Setelah pasien diperiksa USG terlihat ada batu di pelvis renalis kiri berukuran
2.74cm disertai hidronefrosis sedang, dan adanya nefrolitiasis di interpole ginjal
kanan. Dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki batu ginjal di pelvis renalis kiri,
dan ada yang sudah turun sampai ureter (ditandai dengan nyeri kolik yang menjalar).
Pasien juga memiliki batu di ginjal kanan, dan tidak ada bukti bahwa batu tidak ada di
ureter kanan walaupun nyeri suprapubik juga dirasakan di sisi kanan.
Pasien di operasi pielitotomi 1 hari setelah masuk rumah sakit. Pielolitotomi adalah
operasi untuk mengeluarkan batu ginjal dari renal pelvis. Teknik ini dipilih apabila
diameter batu 1-2cm. Ketika operasi, pasien berada dalam posisi lateral decubitus dan
pada pasien insisi dilakukan secara posterior lumbotomi. Insisi dibuat sekitar 2.5cm
lateral dari otot erector spinae di costae 12 sampai batas superior krista iliaka. Insisi
dilakukan sampai jaringan aponeurotik di otot latissimus dorsi. Untuk mencapai renal
pelvis, maka insisi diteruskan sampai menemukan fascia gerota dan jaringan lemak
perirenal. Dari situ pelvis bisa ditemukan, kecuali batu terdapat di pelvis intrarenal.
Setelah menemukan renal pelvis maka batu dapat dikeluarkan melalui insisi. Pada
pasien setelah batu dikeluarkan selang drainase (menggunakan selang NGT) dipasang,
untuk drainase darah post op, selang drainase disambungkan ke botol berisi cairan
NaCl. Drainase dipasang sampai selang tidak berisi darah.
Batu yang dikeluarkan dari pasien bentuknya tidak beraturan, permukaan tidak halus,
berjumlah 4, dan berwarna kuning. Dari penampakannya batu tersebut bukanlah batu
asam urat yang bulat dan halus, namun lebih menyerupai batu kalsium oksalat. Faktor
resiko untuk pembentukan batu kalsium oksalat pada pasien belum jelas,
kemungkinan besar bisa didapatkan dari pola makannya sehari-hari.
Setelah operasi pasien diberikan injeksi Ceftriaxone 2x1g IV sebagai profilaksis
infeksi post op. Pasien diberikan injeksi Tramadol 3x50 mg IV sebagai obat anti
nyeri, injeksi Ranitidin 2x50mg untuk melindungi dari asam lambung berlebih
berhubung pasien belum boleh konsumsi apapun per oral sebelum bising usus
kembali normal. Pasien diberikan injeksi Kalnex 3x500mg IV yang merupakan asam
traneksamat untuk mengurangi resiko perdarahan, dan drip IV Ringer Lactate dan
D5% 2 banding 1, sebagai pengganti cairan isotonis dan D5% untuk menjaga
normoglikemia pasien ketika puasa pre dan post op.
XI. Daftar Pustaka