NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
Transcript of NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
KARYA SUWARSIH DJOJOPUSPITO DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Syarifah Aliya
1112013000013
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS
KARYA SUWARSIH DJOJOPUSPITO DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Syarifah Aliya
NIM. 1112013000013
Di Bawah Bimbingan
Ahmad Bahtiar, M. Hum
NIP. 197601182009121002
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Syarifah Aliya, 1112013000013, “Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas
Karya Suwarsih Djojopuspitodan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito merupakan novel
yang menggambarkan tentang perjuangan kaum intelektual yang setara dengan
bangsa Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir bagi kaum pribumi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai nasionalisme dalam
novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito serta implikasinya dalam
pembelajaran sastra di SMA. Metode dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan novel Manusia Bebas memiliki unsur
intrinsik yang mendukung tema nasionalisme, dimana Sulastri, Sudarmo dan
teman-temannya berjuang dalam mendirikan sekolah untuk kaum pribumi yang
harus mengalami kesulitan seperti penyitaan dan penangkapan oleh pemerintah
Belanda. Kemudian nasionalisme memiliki cita-cita dasar sebagai arah tujuan
nasionalisme yang diperjuangkan dalam novel Manusia Bebas Karya Suwarsih
Djojopuspito yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional,
serta adanya faktor internal yang mendukung adanya nasionalisme. Novel
Manusia Bebas memuat sejarah perjuangan nasionalisme yang dapat
dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam menumbuhkan nilai
nasionalisme di sekolah, siswa diharapkan mulai menumbuhkan tanggung jawab,
semngat kebangsaan, dan cinta tanah air.
Kata Kunci : Nasionalisme, Novel Manusia Bebas, dan Suwarsih Djojopuspito.
ii
ABSTRAK
.
Syarifah Aliya, 1112013000013, “Nationalism in the Manusia Bebas Novel
written by Suwarsih Djojopuspito and the Implications for Learning Indonesian
Literature in Senior High School”. Department of Language Education and
Indonesian Literature. Faculty of Tarbiyah and teacher training. Syarif
Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. Supervisor: Professor Ahmad
Bahtiar, M. Hum.
Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito is the novel which
describes the stuggle of intellectuals that par with Netherlands to establish
partikelir school for indigenous. This research aims to describe about nationalism
in the Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito and its implications
in the study of literature in Senior High School. The methode in this research is
descriptive qualitative.
The results of this study demonstrate a novel free man has intrinsic
elements that support the nationalism theme, where Sulastri, Sudarmo and his
friends fought in setting up schools for natives who had to experience difficulties
such as foreclosures and arrest by the Goverment of Netherlands. Then
nationalism have basic ideals as the direction of nationalism that fought in
Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito, i.e. national autonomy,
national unit and national identity, as well as the existence of the internal factors
that support the existence of nationalism. Manusia Bebas novel contains the
struggle of the nationalism hystory that can be utilized in the study of literature in
senior high school. In growing the value of nationalism in schools, students are
expected to begin to foster responsibility, national spirit and love of the
motherland.
Keywords: Nationalism, Manusia Bebas novel, and Suwarsih Djojopuspito.
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas Karya
Suwarsih Djojopuspito dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di Sekolah”. Salawat serta salam sudah sepatutnya mengiringi
kepada Baginda Nabi Muhammad. yang telah membawa kita kepada zaman yang
dulu gelap gulita hingga sekarang terang di semesta alam.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar
sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan ini penulis banyak
mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, semangat, dan motivasi dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan dosen
penasihat yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
3. Toto Edidarmo, M.A selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Ahmad Bahtiar, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan,
bimbingan, dan kesabaran serta waktu luang Bapak selama ini sehingga
penulisa dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Orang tua tercinta, Faridah dan Iskandar, yang selalu memberikan doa
restu dan dukungan baik motivasi maupun material kepada penulis untuk
iv
selalu bersemangat dalam penyusunan skripsi ini serta selalu memberikan
kasih sayang sampai detik ini yang tiada hentinya
6. Ella Nurrizki Amelia dan Syariefah Nazla Farah Dibha, saudara tercinta
yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis selalu
terdorong untuk mengerjakannya.
7. Sahabat-sahabatku, Herni Nopiani, Hanida Sukardi, Renaldi Prawira, dan
Randa Al-Fahreza yang memberikan dukungan dan selalu motivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-temanku Eneng Intan Lestari, Fitri Hera Febriana, Intan Ramadyla
Eka Putri, dan Ami Septiani. Mereka adalah teman sejawat dari semester
satu sampai sekarang selalu memberikan dukungan dan selalu motivasi
untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian juga sukses selalu.
9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2012 Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, khususnya kelas A. Terima kasih pengalaman dan
pembelajaran yang berharga yang penulis dapatkan selama ini.
10. Serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis
dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah senantiasa membalas
kalian semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Semoga penelitian ini
dapat bermanfaat untuk para pembaca.
Jakarta, 5 April 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH
LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 6
C. Pembatasan Masalah 6
D. Rumusan Masalah 7
E. Tujuan Penelitian 7
F. Manfaat Penelitian 7
G. Metode Penelitian 8
1. Waktu Penelitian 8
2. Objek Penelitian 8
3. Pendekatan dan Metode Penelitian 8
4. Sumber Data 9
5. Teknik Pengumpulan Data 10
6. Teknik Analisis Data 10
vi
BAB II KAJIAN TEORI 13
A. Pengertian Novel 13
B. Unsur Intrinsik Novel 15
C. Pengertian Nasionalisme 24
D. Faktor Internal dan Eksternal 27
E. Sosiologi Sastra 31
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah 33
G. Penelitian yang Relevan 35
BAB III PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA 38
A. Biografi Suwarsih Djojopuspito 38
B. Pemikiran Suwarsih Djojopuspito 40
C. Sinopsis Novel Manusia Bebas 43
BAB IV PEMBAHASAN 46
A. Unsur Intrinsik Novel 46
1) Tema 46
2) Alur 48
3) Tokoh 55
4) Latar 67
5) Sudut Pandang 74
6) Gaya Bahasa 75
7) Amanat 77
B. Analisis Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas 77
C. Faktor Nasionalisme 86
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah 90
BAB V PENUTUP 93
A. Simpulan 93
B. Saran 94
vii
DAFTAR PUSTAKA 95
LAMPIRAN
RIWAYAT PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedatangan Belanda ke Indonesia telah mengubah masyarakat
menjadi masyarakat jajahan yang berangsur-angsur kehilangan hak atas
keadilan dan kesejahteraan hidup di negerinya sendiri. Lambat laun
belenggu penjajahan tersebut membangunkan kesadaran masyarakat
terjajah untuk bangkit membebaskan diri dari penindasan karena memang
tidak ada masyarakat yang rela seterusnya hidup sebagai masyarakat
jajahan.1 Namun, kesadaran nasional untuk mewujudkan bangsa yang
merdeka baru muncul salah satunya pada awal abad XX. Kesadaran
nasional tersebut muncul salah satunya dengan memanfaatkan kebijakan
politik etis yang diterapkan kolonial Belanda sebagai bentuk ―utang-budi‖-
nya terhadap bangsa Indonesia. Kebijakan yang melalui program irigasi,
edukasi, dan emigrasi ini diberikan sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa Indonesia.2 Pendidikan merupakan salah satu
kebijakan Belanda terhadap Indonesia yang membangkitkan rasa
nasionalisme masyarakat agar mampu menjadi bangsa yang mandiri dan
terlepas dari penjajah.
Di bidang pendidikan, Belanda banyak mendirikan sekolah formal
bagi bumiputera, terutama dari kaum bangsawan. Pendidikan formal ini
banyak membawa perubahan nilai budaya Indonesia yang terutama
dipelopori oleh kalangan terpelajar. Perubahan nilai budaya itu sebenarnya
merupakan maksud yang memang ingin dicapai oleh penjajah. Sebab
dengan masuknya nilai-nilai Barat melalui pendidikan tersebut, Belanda
mengharapkan perlawanan bangsa Indonesia dapat dikendorkan. 3
1 Tan Swie Ling, Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia, (Depok: LKSI
(Lembaga Kajian Sinergi Indonesia, 2014), hlm. 17. 2Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: dari Budi Utomo sampai
Proklamasi 1908-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994). Hlm. 15-17 3Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 199),
hlm. 14-18
2
Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah kolonial mendirikan
sekolah-sekolah untuk pribumi, seperti ELS (Sekolah Dasar Eropa), HBS
(Sekolah Menengah Belanda), HIS (Sekolah Menengah Umum), dan
sekolah pendidikan tinggi OSVIA, STOVIA, Rechtschool, dan THS.4
Terbukanya kesempatan mendapatkan pendidikan, dimanfaatkan
oleh golongan elit pribumi dari golongan atas atau priyayi yang
memperoleh pendidikan Barat lanjutan yang lebih tinggi. Mereka
memanfaatkan kesempatan karena tak ingin seperti orang tuanya yang
hanya menjadi ambtenar (pegawai) rendahan di Pemerintahan Hindia-
Belanda. Mereka tidak menginginkan jabatan seperti juru tulis pemerintah,
guru negeri, dokter pemerintah, penerjemah, pengawas dinas irigasi atau
dinas pekerjaan umum, melainkan menginginkan kedudukan yang
merdeka, seperti swasta, pengacara, dan wartawan.5
Namun, keinginan Belanda tersebut justru bertolak belakang
dengan harapan yang mereka bina. Sebab nilai-nilai baru yang diterima
melalui pendidikan Barat tersebut justru dipergunakan untuk menghadapi
kondisi kolonial, dan membuka mata mereka akan kondisi mereka yang
sebenarnya. Para pelajar dan tokoh masyarakat yang sadar serta
mengetahui nasib masyarakat mulai berpikir untuk melepaskan diri dari
keadaan ini. Kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan masyarakat inilah
yang pertama kalinya menumbuhkan benih-benih nasionalisme.6
Pendidikan modern yang diajarkan kepada golongan elit, telah
menghasilkan intelektual-intelektual muda yang kelak menjadi tokoh
pergerakan nasional Indonesia. Beberapa di antaranya yaitu, H.O.S
Cokroaminoto yang mendapat julukan ― Raja tanpa Mahkota‖ dari orang-
orang Belanda karena kegigihannya menuntut kemerdekaan Indonesia
4R. Z. Leirissa, dkk, Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda, (Jakarta: Depdikbud,
1989), hlm.105—110 5Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di
Indonesia 1918-1930. Penerjemah: Sudewo Sutiman, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), hlm 3 6Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 199),
hlm. 14-18
3
melalui organisasi Sarekat Islam yang dipimpinnya.7 Perjuangan
pergerakan nasional juga dilakukan oleh Suwardi Soeryaningrat atau lebih
dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Tokoh pergerakan yang konsen
dengan pendidikan yang sampai saat ini diberi gelar ―Bapak Pendidikan
Indonesia‖. Ki Hajar Dewantaralah yang meletakan dasar pendidikan
bangsa Indonesia melalui Taman Siswa.
Penjajahan Belanda yang dihadapi bangsa Indonesia tidak luput
dari perhatian sastrawan yang kemudian diungkapkan melalui karya sastra
dengan cara sendiri-sendiri sesuai zamannya. Para sastrawan menjelaskan
persoalan kemasyarakatan, kebudayaan dan kebangsaan disampaikan
dengan cara estetik tidak untuk menyelesaikan masalah itu sendiri, tetapi
untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Kondisi bangsa Indonesia di
bawah pemerintahan kolonialisme Belanda telah menginspirasi sastrawan
untuk menciptakan karya sastra yang memuat persoalan pada masa
kolonialisme Belanda yang menyangkut identitas nasional.
Sastrawan yang telah menjadikan karyanya sebagai alat untuk
mengobarkan semangat kebangsaan, di antaranya penyair M. Yamin
dengan sajak-sajaknya yang bertemakan tanah air (1922). Sutan Takdir
Alisyahbana melalui novelnya Layar Terkembang (1936), Mas Marco
Kartadikromo dengan novelnya Student Hidjo (1919) yang ditulis saat ia
sedang di dalam penjara karena kegigihannya dalam melawan
pemerintahan kolonial, Novel Stti Nurbaya (1922) karya Marah Roesli,
Salah Asuhan (1922) karya Abdoel Moeis. Selan itu, terdapat novel
Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito.
Suwarsih sebagai pengarang dan intelektual Hindia Belanda
berasal dari masyarakat jajahan Belanda yang fasih berbahasa Belanda.
Novel Manusia Bebas terbit di Negeri Belanda dengan judul Buiten het
Gareel. Pada mulanya novel Manusia Bebas ditulis dalam bahasa Sunda.
Namun karena ditolak oleh Balai Pustaka, ia menulis kembali dalam
bahasa Belanda lalu ditebitkan di Negeri Belanda. Alasan penolakan itu,
7Firdaus A.N., Syarikat Islam bukan Budi Utomo, (Jakarta:CV. Datayasa 1997), hlm. 4
4
menurut Ajip Rosidi, karena cita-cita kesusastraan yang dibawa novel
tersebut dianggap terlampau maju oleh penerbit Balai Pustaka, sehingga
dikhawatirkan tidak dapat dimengerti oleh bangsanya.8
Novel ini berisi peristiwa tahun 1930-an di masa pergerakan
sedang hangat-hangatnya dan semangat kebangsaan mulai membangkitkan
perlawanan bangsa Indonesia kepada Belanda. Perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda diperlihatkan pengarang novel ini dengan cara
menghadirkan intelektual yang setara dengan Belanda untuk mendirikan
sekolah partikelir nasional. Akibatnya, tokoh intelektual yang berusaha
mencerdaskan kehidupan bangsanya harus berhadapan dengan politik
kolonial yang menganggap sekolah partikelir sebagai ―sekolah liar‖
sehingga rakyat menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah
tersebut. Hal ini menyebabkan tokoh intelektual mengalami kesulitan
hidup yang sangat berat, mereka harus rela hidup melarat, selalu diawasi
oleh aparat pemerintah, dan dimusuhi oleh kawan seperjuangan atau
keluarga. Namun segala beban hidup tersebut, mereka hadapi dengan
―gagah‖. Satu tekad mereka ialah mereka lebih senang bekerja untuk
bangsanya sendiri walaupun harus menderita karenanya. Novel Manusia
Bebas merupakan dokumen sejarah yang berharga tentang kehidupan
pergerakan sebelum perang dunia kedua.9
Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan
moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai
sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji
kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya
sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral.
Karya sastra yang bernilai tinggi di dalamnya terkandung pesan-pesan
moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat
dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan.
8 CH. Kiting, ―Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito‖, (Mimbar Indonesia,
XVII). No 5 9Dewan Redaksi, ―Ensiklopedia Sastra Indonesia‖, (Bandung: Titisan Ilmu, 2004), hlm.
487.
5
Karya sastra yang berupa novel dapat dijadikan sebagai media
untuk menghidupkan kembali gambaran masalalu yang menjadi pokok
cerita dan mampu memberikan informasi sejarah. Dalam novel terdapat
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman tertentu, namun tidak
dijelaskan, hal ini akan membuat siswa seolah-olah mengalami sendiri
peristiwa tersebut dengan penggambaran para tokoh dan peristiwa
tersebut.
Kegiatan menganalisis karya sastra juga bermanfaat bagi dunia
pendidikan, karena dapat memberikan sumbangan terhadap keberhasilan
pendidikan. Hal ini juga berhubungan dengan konsep Horace tentang
dulce dan utile, yakni bahwa sastra itu indah dan berguna. Maka dalam hal
ini, sastra dapat berguna untuk mengajarkan sesuatu, yaitu melalui
pendidikan sastra khususnya pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolah.
Novel Manusia Bebas sangat bermanfaat bagi siswa karena di
dalam novel ini mengajarkan siswa untuk serius dan bersungguh-sungguh
dalam belajar dengan mengahargai dan memanfaatkan fasilitas dan
teknologi yang sudah canggih untuk kegiatan belajar-mengajar. Novel ini
menggambarkan bagaimana susahnya mendapat pendidikan dengan baik
dan fasilitas yang terbatas namun semangatnya untuk mendapatkan
pendidikan tidak pernah padam. Kita sebagai generasi penerus dengan
segala fasilitas yang lengkap dan pendidikan yang baik seharusnya mampu
memanfaatkannya dengan baik, namun pada kenyataannya sering kita
jumpai siswa kurang memahami pentingnya memanfaatkan fasilitas dan
pendidikan, bahkan semangat para siswa zaman sekarang pun menurun
untuk belajar. Novel Manusia Bebas dapat dimplikasikan pada
pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sastra di sekolah, yaitu pada
kegiatan menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel.
Karya sastra mampu menjembatani hubungan realita dan fiksi, hal
ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realita dan fiksi.
Melalui karya sastra, pembaca belajar dari pengalaman orang lain dalam
6
menghadapi masalah dalam kehidupan. Di dalam sastra terdapat nilai-nilai
kehidupan yang tidak diberikan secara preskriptif.
Alasan memilih novel Manusia Bebas sebagai objek penelitian
yaitu, pertama novel ini berlatar belakang sejarah, pembaca akan tahu
mengenai keadaan Indonesia pada tahun 1930. Kedua, Suwarsih
Djojopuspito adalah satu dari sedikit penulis perempuan indonesia pada
zamanya selain selasih dan hamidah. Ketiga, adanya penolakan novel
Manusia Bebas oleh Balai Pustaka, sehingga novel tersebut diterbitkan di
negeri Belanda dengan judul Buiten het Gareel.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis
―Nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito
dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMA‖,
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka masalah
yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut.
a. Kurangnya minat siswa terhadap sejarah perjuangan Indonesia
b. Siswa kurang memahami mengenai nasionalisme dalam novel Manusia
Bebas karya Suwarsih Djojopuspito
c. Siswa kurang mengetahui sosok Suwarsih Djojopuspito karena
karyanya tidak terlalu dikenal.
d. Kurangnya semangat belajar siswa terhadap karya sastra khususnya
novel
e. Kurangnya minat siswa untuk membaca sastra, khususnya novel
f. Kurangnya implikasi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi
masalah pada novel Manusia Bebas untuk dikaji mengenai unsur intrinsik
dan masalah nasionalisme pada masa pergerakan Indonesia yang terdapat
7
pada novel tersebut serta implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, rumusan
masalah pada penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana nasionalisme yang digambarkan dalam novel Manusia
Bebas karya Suwarsih Djojopuspito
2. Bagaimana implikasi hasil pengkajian novel Manusia Bebas karya
Suwarsih Djojopuspito terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di
SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan nasionalisme yang digambarkan dalam novel
Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito
2. Mendeskripsikan implikasi hasil pengkajian novel Manusia Bebas
karya Suwarsih Djojopuspito terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoretis,
a. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam
pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang struktur
dan pembelajaran sastra.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan
referensi dalam penelitian lebih lanjut mengenai nasionalisme.
8
2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca
untuk lebih memahami struktur yang membangun novel Manusia
Bebas. Khususnya keterkaitan antara unsur-unsur cerita seperti tema,
tokoh, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang. Kemudian
membantu pembaca untuk memahami nasionalisme yang ditampilkan
dalam novel. Selain itu, pembahasan novel Manusia Bebas ini sebagai
bahan acuan dalam pembelajaran sastra di sekolah, seperti
memberikan pemahaman terhadap siswa dalam mempelajari pokok
bahasan menentukan dan menganalisis unsur-unsur instrinsik dan
ekstrinsik novel.
G. Metode Penelitian
1. Waktu Penelitian
Waktu penelitiam dalam mengkaji novel Manusia Bebas karya
Suwarsih Djojopuspito, mulai tanggal 21 Juli 2016 – 10 Maret 2017.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah apa yang menjadi perhatian dari suatu
penelitian. Sasaran untuk mendapatkan suatu data sesuai dengan
pendapat, objek penelitian menjelaskan tentang apa dan siapa yang
menjadi objek penelitian. Dapat disimpulkan bahwa objek penelitian
adalah ruang lingkup yang merupakan pokok persoalan dari suatu
penelitian. Kali ini objek penelitiannya adalah nasionalisme dalam
novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopudpito yang diterbitkan
oleh Djambatan, Jakarta tahun 2000 cetakan ke 2, tebal buku 284
halaman, novel ini diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya dari buku
edisi bahasa Belanda Buiten het Gareel (1940).
3. Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini bersifat deskriptif,
9
artinya data dari hasil analisis yaitu berupa deskripsi, bukan berupa
angka-angka atau numerik, karena objek dalam penelitian kualitatif
adalah data berupa teks.
Menurut Ratna, sumber datanya adalah karya, naskah, data
penelitiannya, sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.10
Sedangkan menurut Atar Semi, penelitian kualitatif adalah penelitian
yang mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar
konsep yang sedang dikaji secara empiris.11
Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, presepsi,
motivasi, tindakan, dll., dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.12
Dalam penelitian ini, karya sastra yang dianalisis adalah novel
Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Sementara itu, metode
yang digunakan dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode
deskriptif. Sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap
fenomena yang ditanggap. Metode deskriptif ini bertujuan untuk
mengungkapkan data dengan pendeskripsian secara cermat dan rinci
untuk menggambarkan suatu hal, keadaan, dan fenomena yang
meliputi analisis dan interpretasi terhadap objek yang diteliti.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan literatur yang membahas secara
langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu Novel Manusia
Bebas karya Suwarsih Djojopuspito diterbitkan oleh Djambatan,
Jakarta tahun 2000, tebal 284 halaman cetakan ke 2. Novel ini
10
Nyoman Khuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 47.
11M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 2012), hlm. 11.
12Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), hlm. 6.
10
diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya dari buku edisi bahasa
Belanda Buiten het Gareel (1940).
Data sekunder merupakan penunjang yang dijadikan alat bantu
penelitian, yaitu berupa bahan bacaan kepustakaan seperti buku,
artikel, dan esai, serta buku-buku dan penelitian-penelitian sebelumnya
yang terkait dengan objek penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
pustaka, dengan teknik simak dan catat. Teknik pustaka adalah teknik
yang menggunakan sumber-sumber data tertulis untuk memperoleh
data penelitian. Teknik simak dan catat digunakan sebagai instrumen
kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat, dan terarah
terhadap sumber data. Sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam
penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian karya sastra
yang diteliti. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara
cermat terhadap sumber data primer, yaitu teks novel Manusia Bebas
untuk memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut
kemudian digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan
dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian
yang akan dicapai.
6. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a) Metode Analisis Isi (Content Analysis)
Metode analisis isi dimaknai sebagai ―teknik yang sistematis untuk
menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan‖.
Analisis ini juga bisa diartikan sebagai analisis yang digunakan
untuk mengungkap, memahami, dan menangkap isi karya sastra.
Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang
disampaikan pengarang melalui karya sastranya. Analisis isi
11
berdasarkan asumsi bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya
sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada para
pembacanya.
b) Metode deskriptif
Metode deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan
untuk membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan
data-data yang diperoleh. Adapun teknik deskriptif yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Penelitian kualitatif
secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi,
aktivitas sosial, dan lain-lain.
Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut,
berulang dan terus menerus, masalah reduksi data, penyajian data
dan penarikan simpulan menjadi gambaran keberhasilan secara
berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul
menyusul. Dalam penelitian ini teknik analisis data menggunakan
teknik yang dikemukakan oleh Milles dan Huberman, analisis data
ini terdiri dari tiga kegiatan yaitu, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan simpulan.13
Dengan analisis kualitatif ini akan diperoleh
gambaran sistematik mengenai isi suatu dokumen. Dokumen
tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut kriteria
atau pola tertentu. Tujuan yang hendak dicapai adalah menjelaskan
pokok-pokok penting dalam sebuah manuskrip atau dokumen.
c) Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk
pada buku pedoman penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan tahun 2012.
13
Milles Matthew dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 1992), hlm.
17
12
d) Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Membaca novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito
secara keseluruhan, dibaca berulang.
2) Mencermati novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito
secara keseluruhan.
3) Menandai kalimat-kalimat yang menunjukkan unsur-unsur yang
membangun struktur novel Manusia Bebas dan nasionalisme yang
terdapat dalam novel.
4) Menulis data yang menunjukkan struktur unsur-unsur yang
membangun struktur novel Manusia Bebas dan nasionalisme yang
terdapat dalam novel dalam bagian pembahasan penelitian
5) Menyimpulkan hasil penelitian.
13
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Novel
Novel adalah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif. Novel
lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari
cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal
sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-
tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan
menitikberatkan pada sisi yang aneh dari naratif tersebut.1
Novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus
dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa
Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya
sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu
puisi dan drama. Di samping itu, di Indonesia juga dikenal istilah
roman. Pada masa permulaan kesusasteraan Indonesia, istilah roman
dipergunakan untuk penamaan karya sastra yang terbit pada masa-
masa itu.2 Dengan kata lain roman adalah sebutan sebuah karya sastra
pada masa zamannya.
Sebutan novel dalam bahasa Inggris novel kemudian masuk ke
Indonesia yang awalnya berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam
bahasa Jerman novella). Secara harfiah novella berarti ‗sebuah barang
baru yang kecil‘ dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam
bentuk prosa. Dewasa ini istilah novel dan novella mengandung
pengertian yang sama dengan istilah Indonesia ‗novelet‘, yang berarti
sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu
panjang, namun juga tidak terlalu pendek.3 Novel merupakan bentuk
1 Ratih Mihardja, Buku Pintar: Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara, 2012), hlm. 39.
2Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010), h. 125. 3Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2010), hlm. 11 – 12.
14
prosa rekaan yang lebih pendek dari roman. Novel merupakan
karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat pelaku.4 Biasanya novel menceritakan peristiwa pada
masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari.
Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur instrinsiknya masih
lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan penokohan.5
Dari perspektif historis, novel memiliki garis perkembangan
yang membentang ke belakang, ke tradisi-tradisi fiksi pendahulunya.
Dalam buku Furqonul Aziez, R.J. Rees menjabarkan bahwa hakikat
novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup
panjang yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan
nyata dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks.
Sebagaimana kita pahami, novel merupakan suatu karya fiksi yaitu
karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh
dan peristiwa rekaan.6
Permasalahan dalam novel biasanya mempersoalkan manusia
dengan berbagai aspek kehidupan. Di dalamnya tercermin masalah-
masalah kehidupan yang dihadapi manusia pada suatu waktu dan
pemecahannya sesuai dengan pandangan dan cita-cita pengarang.7
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa novel merupakan
karangan panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
sikap-sikap pelaku. Permasalahan yang diungkapkan di dalam novel
diantaranya masalah sosiologis, psikologis dan agama. Masalah yang
ditampilkan itu seirama dengan perkembangan kehidupan dan sosial
masyarakat. Oleh sebab itu, sastrawan mencoba memilih pokok
4Suprapto, Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra, (Surabaya: Indah, 1993), hlm. 53.
5Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141.
6Furqonul Aziez dan Abdul Hamid, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 1 – 4. 7Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI
Press, 2006), hlm. 41.
15
permasalahan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk novel
dengan bahasa sebagai medianya.
B. Unsur Intrinsik Novel
Unsur-unsur pembangun sebuah novel terbagi menjadi unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang
menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang
secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur
intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut
serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik
inilah yang membuat novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat
dari sudut kita membaca, unsur-unsur cerita inilah yang akan dijumpai
jika kita membaca sebuah novel.8
Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel adalah sebagai
berikut:
1. Tema
Brooks dan Werren dalam Traigan mengatakan bahwa ―tema
adalah dasar atau makna suatu cerita tau novel‖. Sementara
Boorks, Purser, dan Werren dalam buku lain mengatakan bahwa
―tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu
mengenai kehidupan atau rangkaian nilai—nilai tertentu yang
membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu
karya sastra‖.9
Tema menyajikan cerita yang menggambarkan kondisi
emosi atau kejiwaan pengarang seperti cinta, derita, rasa takut,
kedewasaan, keyakinan, penghianatan, hal ini merupakan wujud
dari tema sebagai aspek cerita yang sejajar dengan ‗makna‘ dalam
8Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2013), hlm. 29 – 30. 9Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1984), h.
125.
16
pengalaman manusia.10
Menurut Stanton dan Kenny dalam
Nurgiantoro menjelaskan tema adalah makna yang dikandung oleh
sebuah cerita.11
Makna sebuah cerita dapat lebih dari satu. Oleh
sebab itu, banyak interpretasi yang muncul dari sebuah karya
sastra. Hal ini yang menyebabkan sulitnya untuk menentukan tema
pokok atau dapat disebut tema mayor.
Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi
dasar atau gagasan utama suatu karya. Menentukan tema pokok
sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih,
mempertimbangkan dan menilai, di antara sejumlah makna yang
ditafsirkan dan dikandung oleh karya yang bersangkutan.
Sedangkan tema minor merupakan makna yang hanya terdapat
pada bagian-bagian tertentu cerita dan dapat diidentifikasikan
sebagai makna bagian, makna tambahan.12
Menentukan tema merupakan pekerjaan yang tidak mudah
karena harus memperhatiakan berbagai aspek, termasuk
pemahaman cerita secara keseluruhan dan sudut pandang yang
dipilih. Untuk menentukan sebuah tema dapat disimpulkan dari
keseluruhan cerita bukan hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu
cerita. Kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan
cerita.13
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakan bahwa tema
adalah ide dasar atau gagasan pokok yang secara eksplisit
terkandung dalam sebuah novel. serangkaian peristiwa dapat
diidentifikasi berdasarkan tema mayor dan tema minor. Secara
keseluruhan, untuk mendapatkan tema dalam sebuah novel
diperlukan proses kesimpulan dari keseluruhan cerira.
10
Robert Staton, Teori Fiksi, terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta:
Pustaka Pealajar, 2007), hlm. 36—37. 11
Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit. hlm. 67-68 12
Ibid, hlm. 133 13
Ibid, hlm. 116
17
2. Alur
Unsur yang juga sangat penting adalah alur yang
membentuk kerangka cerita. Rangkaian peristiwa direka dan dijalin
dengan saksama membentuk alur yang menggerakkan jalannya
cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.14
Untuk
menyebut plot, secara tradisional orang juga sering
mempergunakan istilah alur atau jalan cerita. Stanton dalam
Widjojoko mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
terjadinya peristiwa yang lain.15
Plot dibangun oleh beberapa
peristiwa yang biasa disebut alur. Unsur-unsur alur ialah:
perkenalan, pertikaian, klimaks atau puncak masalah, peleraian,
dan akhir cerita.16
Untuk menjelaskan tahapan-tahapan alur ini, penulis memakai
pendapat Tasrif dalam Burhan Nurgiyantoro, tahapan-tahapan
dalam alur dijelaskan menjadi lima bagian, tahapan tersebut
sebagai berikut.
1) Tahapan Penyituasian
Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan
tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-
lain, yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang
dikasihkan pada tahap berikutnya.
14
Melani Budianta dkk, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hlm. 86. 15
Nurgiyantoro, Op.Cit., hlm. 165 – 167. 16
Widjodjoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI
PRESS, 2006), hlm. 20.
18
2) Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan
masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Tahap
ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu
sendiri yang akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya.
3) Tahap Peningkatan Konflik
Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap
sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar
intensitasnya. Peristiwa yang dramatik menjadi inti cerita
semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang
terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-
pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah,
dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat
dihindarkan.
4) Tahap Klimaks
Tahap klimaks yaitu tahap di mana konflik dan pertentangan-
pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan ditimpakan kepada
para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Pada tahap
ini klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang
berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik
utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih
dari satu klimaks atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.
5) Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang
telah mencapai klimaks diberikan penyelesaian. Konflik-
konflik yang lain, sub-sub konflik, dan konflik-konflik
tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini
disebut juga sebagai tahap akhir dari sebuah cerita.17
17
Nurgiantoro, op.cit, hlm. 9 – 10
19
Pemaparan alur di atas dapat disimpulkan bahwa alur adlah
berbagai peristiwa yang dialami oleh tokoh, diseleksi dan diurutkan
berdasarkan sebab akibat.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam
cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita
sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.
Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah
laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu
karya oleh sastrawan disebut perwatakan. 18
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.
Penggunaan istilah karakter sendiri dalam berbagai literatur bahasa
inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda yaitu sebagai
tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan,
keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh
tersebut. Dengan demikian, istilah ―penokohan‖ lebih luas
pengertiannya daripada ―tokoh‖ dan ―perwatakan‖ sebab ia
sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam
sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas
kepada pembaca.19
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat
dibedakan berdasarkan pada peran dan pentingnya seorang tokoh
dalam cerita fiksi secara keseluruhan yang terdiri dari tokoh utama
dan tokoh tambahan. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat
dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis, dilihat
berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan dalam kategori tokoh
sederhana dan tokoh bulat, berdasarkan kriteria berkembang atau
tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam
18
Budianta, Op cit., hlm 142 – 143. 19
Nurgiantoro, Op cit., hlm. 247 – 248.
20
tokoh statis dan tokoh berkembang, dan berdasarkan kemungkinan
pencerminan tokoh cerita terhadap manusia dari kehidupan nyata
dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh netral.20
Penokohan ialah bagaimana cara pengarang
menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh.
Pertama, secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan
bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua, secara dramatik yaitu
pengarang tidak langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-
tokoh dalam ceritanya. Misalnya: melalui penggambaran tempat
dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir (potongan tubuh dan
sebagainnya) melalui percakapan (dialog) melalui perbuatan sang
tokoh.21
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh
adalah karakter ciptaan pengarang yang mengalami peristiwa
dalam cerita. Dalam penelitian ini tokoh dibagi menjadi tokoh
protagonis dan antagonis.
4. Latar
Latar adalah lingkungan yang dapat dianggap berfungsi
sebagai metonimia atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar
juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok; lingkungan yang
dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang
tidak dapat dikontrol individu.22
Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum
(general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan
kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode
atau bagian-bagian tempat. Hudson dalam Siswanto membagi
setting atas setting sosial dan setting fisik, setting sosial
20
Ibid, hlm. 258 – 274. 21
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 26 22
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra, Terj. dari, Theory of Literature oleh
Melani Budianta, (Jakarta:Gramedia, 1993), hlm. 282.
21
menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial
dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain
yang melatari peristiwa.
Latar fisik mengacu pada wujud fisikal, yaitu bangunan,
daerah, dan sebagainya. Tidak semua jenis latar cerita itu ada di
dalam sebuah cerita rekaan. Mungkin dalam sebuah cerita rekaaan,
latar yang menonjol adalah latar waktu dan tempat. Penggambaran
latar ini ada yang terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang
dijelaskan secara persis seperti kenyataannya; ada yang gabungan
antara kenyataan dengan khayalan; ada juga latar yang merupakan
hasil imajinasi sastrawannya.23
Secara garis besar deskripsi latar fiksi dapat dikategorikan
dalam tiga bagian, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
a. Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah
geografis, menyangkut deskripsi tempat peristiwa terjadi,
misalnya yang menunjukan latar pedesaan, perkotaan, atau
lainnya.
b. Latar waktu berkaitan dengan masalah historis, mengacu pada
saat terjadinya peristiwa dalam plot.
c. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat, merupakan
lukisan status yang menunjukkan hakikat seseorang atau
beberapa orang tokoh dalam masyarakat yang ada di
sekelilingnya.24
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar
adalah keterangan waktu, tempat, dan suasana dalam karya sastra
yang digunakan sebagai landasan untuk memberikan kesan realistis
kepada pembaca.
23
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 149 –
150. 24
Suminto A. Sayuti, Apresiasi Prosa Fiksi, (Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan,
1996), hlm. 126—127.
22
5. Titik Pandang atau Sudut Pandang
Abrams dalam Nurgiantoro mengemukakan sudut pandang
adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca. Pandangan hidup pengarang disalurkan lewat kacamata
tokoh cerita.25
Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang
ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh,
peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. Titik pandang
oleh Aminuddin diartikan sebagai cara pengarang menampilkan
para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.26
Sudut pandang
point of view merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton
dan Siswanto digolongkan sebagai sarana cerita. Sudut pandang
haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan
sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut
pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke
dalam dua macam: persona pertama, first person, gaya ―aku‖, dan
persona ketiga, third person, gaya ―dia‖. Jadi dari sudut pandang
―aku‖ atau ―dia‖, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita
dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut masing-masing
menunjuk dan menuntut konsekuensinya sendiri.27
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sudut
pandang alah cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita.
25
Nurgiantoro, op.cit., hlm. 248. 26
Wahyudi Siswanto Ibid, hlm. 151 – 152. 27
Ibid,hlm. 338 – 339.
23
6. Gaya Bahasa
Dalam sastra, gaya adalah gaya pengarang dalam
menggunakan bahasa. Meskipun dua orang pengarang memakai
alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa
sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada
bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan,
ritme, penjeng pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan,
danbanyaknya imajinasi dan metafora. Campuran dari bberbagai
aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan haya.28
Hanry Guntur Tarigan dalam bukunya mengungkapkan
bahwa dalam gaya, penggunaan majas ini sedikit banyak
tergantung pada usia, pendidikan, pengalaman, tempramen,
keterampilan, serta kecakapan para pelaku itu berbicara atau
menulis. Dalam hal-hal seperti ini, sang pengarang telah
mengemukakan majasnya sendiri yang normal dan harus
memberi kesempatan pada pencerita melaksanakan percakapan
tersebut. di samping itu juga, aneka penggunaan jenis majas
seperti metafora, personifikasi, alerogi, ironi, simbolisme,
sinekdok, dan lain-lain, bergantung pada materi, kondisi, dan
situasi cerita yang akan di garap.29
Dalam penelitian ini gaya bahasa yang digunakan yaitu
gaya bahasa kiasan hiperbola dan personifikasi serta diselipkan
bahasa Sunda.
7. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
pendengar.30
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis
28
Robert Staton, Teori Fiksi Robert Staton, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007), h. 61
29Hanry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 156
30Ibid,hlm. 162.
24
yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui
karyanya.31
C. Pengertian Nasionalisme
Istilah nation atau bangsa dapat dikatakan sebagai suatu kata
yang termasuk dalam kelompok kata-kata seperti ras, komunitas,
orang, suku bangsa, clan, masyarakat dan negara. Hans Kohn dalam
Utomo memberikan pengertian tentang nasionalisme sebagai suatu
faham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus
diserahkan kepada negara kebangsaan. Bahwa kebanyakan bangsa itu
memiliki faktor-faktor objektif tertentu yang membuat mereka itu
berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Unsur yang terpenting adalah
kemauan bersama dan hidup nyata. Kemauan itulah yang dinamakan
nasionalisme, yakni suatu faham yang memberi ilham pada sebagian
terbesar penduduk yang mewajibkan dirinya untuk mengilhami
segenap anggota-anggotanya.32
Rasa nasionalisme itu telah muncul manakala suatu bangsa
memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara
kebangsaan. Dalam buku Badri Yatim, Renan mengatakan bahwa
syarat bangsa ialah kehendak akan bersatu, merasa dirinya satu, dan
mau bersatu. Otto Bauer, bangsa adalah satu kesatuan perangai yang
timbul karena adanya persatuan nasib. Selain itu, Ki Bagoes
Hardikusumo dan Munandar mengatakan bangsa adalah persatuan
antara orang dan tempat. Dari tiga pendapat tersebut, kemudian
Soekarno menyimpulakan, bahwa nasionalisme terdiri dari rasa ingin
bersatu, persatuan perangai dan nasib, serta persatuan antara orang
31
E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012),
hlm. 71. 32
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan
Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 17, 19
25
dan tempat.33
Kata ―nasional‖ menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, nasional berarti bersifat kebangsaan; berkenaan atau
berasal dari bangsa sendiri meliputi suatu bangsa. Nasionalisme dari
kata nasional dan mendapat imbuhan isme yang bermakna paham
(ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara.34
Nasionalisme dengan
demikian, adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar
manusia perorangan hingga mereka membentuk suatu bangsa.
Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan (a sense a
belonging together) sebagai suatu bangsa.35
Nasionalisme diartikan sebagai suatu gerakan ideologis untuk
mencapai dan mempertahankan otonomi, dan identitas bagi suatu
populasi yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu
bangsa yang potensial. Selain sebagai ideologi, nasionalisme juga
sebagai paham yaitu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara.36
Nasionalisme sebagai ideologi memiliki tiga ideal fundamental
atau cita-cita yang mendasar yaitu otonomi nasional, kesatuan
nasional, dan identitas nasional. Penjelasan dari ketiga ideal
fundamental adalah sebagai berikut.
1. Otonomi Nasional
Otonomi nasional maksudnya adalah mengatur diri sendiri secara
nasional yang ditandai dengan kebebasan politik atas kehendak
kolektif dan perjuangan untuk mempunyai pemerintahan sendiri.
Pengaturan diri nasional bisa secara total dalam bentuk negara
33
Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm. 57—60. 34
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi. 3, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), hlm. 775. 35
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan
Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 20 36
Ibid, hlm. 25
26
teritorial berdaulat atau parsial melalui sejumlah bentuk
pemerintahan sendiri kemunal atau federal.
2. Kesatuan Nasional
Kesatuan nasional bukanlah menyeragamkan yang berbeda-beda
ataupun sebuah homogenitas dari berbagai perbedaan, tetapi
merupakan penyatuan dari anggota bangsa secara sosial dan
kultural. Kesatuan nasional mengupayakan penyatuan dari
keinginan-keinginan individu melalui sentimen cinta dan
persaudaraan, tidak menuntut anggota-anggota individual harus
menjadi serupa namun menjadi satu ikatan solidaritas yang sesuai
dengan kepentingan nasional.
3. Identitas Nasional
Identitas nasional secara umum menunjukan kesamaan di dalam
suatu objek pada suatu waktu dan ketetapan suatu pola khas di
dalam periode tertentu. Identitas memiliki dimensi yang
menjelaskan kekhasan suatu bangsa secara normatif berbentuk
nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis. Implikasinya
masing-masing bangsa memiliki kaitan dengan suatu budaya
historis yang khas, cara tunggal dalam berpikir, bertindak, dan
berkomunikasi yang menjadi milik bersama bagi anggota bangsa
dan tidak dimiliki oleh non-anggota.37
Kesadaran manusia, bahwa ia hidup bernegara, ternyata makin
tumbuh kuat. Hal itu, biasanya disebut nasionalisme, ternyata bisa
melebihi kesadaran seturunan (darah), sesuku, sedesa atau sewilayah,
seagama, dan sebagainya.
Nasionalisme itu lambat laun tumbuh dalam sejarah ummat
manusia untuk meledak pada abad ke-19 dan terus merupakan
37
Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori Ideologi dan Sejarah, Terjemahan dari
Nasionalism: Teori, Ideologi, History, ter. Frans Kowa, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 11.
27
kekuatan utama pada abad ke-20 ini dalam hidup politik. Untuk
tegasnya, dikemukakan beberapa unsurnya:
1. Kesadaran dan kemauan tak kunjung padam untuk hidup dalam
satu negara sendiri,
2. Pengalaman, penderitaan, perjuangan dan kemenangan-
kemenangan bersama di masa lampau, dan kesediaan untuk
berkorban lagi di masa sekarang dan yang akan datang,
3. Terpanggil untuk menjalankan peranan di antara bangsa-bangsa
4. Way of life sendiri, hidup menurut tradisi, watak, semangat dan
kepribadian sendiri.38
Nasionalisme mengikat warga negara dalam beberapa hal, yakni
(a) memiliki kesadaran sebagai satu bangsa, yang dapat memperkuat
rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan, (b) jiwa, semangat, dan
nilai-nilai patriotik, yang berkaitan dengan perasaan cinta tanah air,
cinta kepada tanah tumpah darah, cinta kepada negara dan bangsa,
cinta kepada milik budaya bangsa sendiri, kerelaan untuk membela
tanah airnya, (c) jiwa, semangat dan nilai-nilai kreatif dan inovatif,
dan (d) jiwa, semangat, dan nilai-nilai yang mampu membentuk
kepribadian, watak dan budi luhur bangsa.39
D. Faktor-faktor Nasionalisme
Secara tipologis munculnya Pergerakan Nasional Indonesia
disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor dalam negeri (faktor internal)
dan faktor pengaruh luar negeri (faktor eksternal). Munculnya
nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia
telah memiliki akar dalam tubuh masyarakat dan bangsa Indonesia
sepanjang penjajahan Barat. Faktor pengaruh luar negeri tampaknya
38
M. Hoeta Oeroek S.H, Seluk Beluk Negara: suatu pengantar sederhana, (Djakarta:
Erlangga, 1971), hlm.132—133. 39
M. Habib Mustopo. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.(Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan,1983)
28
merupakan hal yang mempercepat dan mematangkan tumbuhnya rasa
nasionalisme Indonesia.
1. Faktor Internal
Politik etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan
politik yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1900-1945. Untuk itu bangsa Belanda mempunyai kewajiban
untuk membalas budi kepada bangsa Indonesia dengan cara
memikirkan nasib dan kesejahteraan Indonesia. Sesuai dengan
anjuran C. Th. Van Deventer untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat Indonesia dapat ditempuh melalui pelaksanaan tiga prinsip
dasar, yang terkenal dengan Trilogi Van Deventer, yakni
pendidikan, perpindahan penduduk, dan pengairan. Dengan
bertumpu pada tiga prinsip itu pemikiran para Etikus rakyat
Indonesia dapat diangkat dari jurang kemelaratan dan kebodohan.40
Walaupun dari sudut pandang kolonial kebijakan pendidikan
Belanda diarahkan untuk kepentingan pemerintahan kolonial, dari
sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat
telah melahirkan Elit baru yang muncul sebagai produk pendidikan
Barat. Elit baru inilah yang kemudian menjadi pelopor Pergerakan
Nasional. Pelaksanaan politik etis ini secara tidak langsung telah
mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar
akan nasib bangsanya akibat praktik-praktik politik penjajajah.41
Menurut Kahin dalam Utomo faktor-faktor internal yaitu,
pertama penjajahan Belanda yang diikuti perluasan administrasi
dan birokrasi kolonial di hampir seluruh wilayah Nusantara secara
tidak lansung telah menyatupadukan penduduk-penduduk dari
berbagai bahasa dan kebudayaan menjadi satu unit politik dan
dengan cara demikian telah menimbulkan di kalangan rakyat
40
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan
Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 40. 41
Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Depertemen dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989), hlm 98
29
Nusantara semacam ―kesadaran‖ yang sama bahwa mereka berada
di bawah penindasan bangsa asing yang keji. Kedua selain
ditentukan oleh batas-batas geografis kekuasaan politik Belanda
nasionalisme Indonesia juga didorong oleh suatu kebanggaan
zaman keemasan Nusantara sebelum kedatangan bangsa asing ke
wilayah ini. Ketiga suatu faktor penting yang menimbulkan
nasionalisme yang kental adalah persamaan agama, yakni 90
persen penduduk Indonesia beragama Islam. Keempat adalah
bahasa melayu menjadi ciri khas atau identitas masyarakat bumi
putera yang membedakannya dari masyarakat atau orang Belanda
yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya
baik dalam kepentingan resmi maupun pergaulan. Kelima sejalan
dengan pergerakan nasional, penyatuan nasionalisme Indonesia
diakui dalam bentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), yakni
lembaga perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. keenam
pertumbuhan dan perluasan nasionalisme Indonesia sedikit banyak
telah dibantu oleh teknik-teknik penyebaran gagasan yang
dilakukan oleh surat kabar bumi putera dan radio.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa timbulnya
kesadaran nasional dan harga diri sebagai bangsa pada rakyat
Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya pendidikan
dan pengajaran. Perluasan dan peningkatan pengajaran dan
pendidikan menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa
indonesia memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin
sadar akan harga dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi
pendorong yang kuat untuk melahirkan serta menumbuhkan
nasionalisme indonesia.
30
2. Faktor Eksternal
Timbulnya pergerakan kebangsaan di Indonesia tidak lepas
dari peristiwa-peristiwa yang lahir di bagian lain di luar Indonesia.
Faktor eksternal adalah munculnya gerakan-gerakan kebangsaan di
negara-negara Asia dan Afrika, seperti: (1) gerakan Turki Muda,
suatu gerakan untuk mencapai perbaikan nasib yang akhirnya
menimbulkan revolusi antikaum kolot pada tahun 1908, (2)
munculnya Pergerakan Kebangsaan Tiongkok yang dipimpin oleh
Dr. Sunyatse, (3) Perjuangan Mahatma Ghandi di India, (4)
perjuangan Dr. Joze Rizal di Filipina, dan sebagainya. Semua
faktor itu telah mematangkan dan berkembangnya pergerakan
kebangsaan Indonesia pada awal abad XX.42
Selain itu, kaum terpelajar bangsa Indonesia sudah banyak
mendengar dan membaca gerakan-gerakan kebangsaan,
pembaharuan dan modernisasi yang terjadi dibeberapa negeri di
Asia, misalnya di Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha.
Di negeri Cina di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen yang terkenal
pula dengan San Min Chu I-nya. Di India di bawah pimpinan Bal
Gandahar Tilak dan Mohandas Karamachad Gandhi yang lebih
dikenal dengan nama Mahatma Gandhi. Kaum terpelajar Indonesia
mendengar serta membaca tentang apa yang terkenal dengan nama
―Restoransi Meiji‖ di Jepang. Demikian pula kemenangan Jepang
atas Rusia dalam peperangan tahun 1904—1905. Di dalam
peperangan itu angkatan Laut Jepang mengalahkan serta
menghancurkan angkatan laut Rusia. Kejadian itu dianggap
sebagai suatu peristiwa yang luar biasa. Sebelum kejadian itu
sudah menjadi kepercayaan bahwa orang-orang Eropa tidak dapat
diungguli atau dikalahkan oleh bangsa-bangsa Asia.
42
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan
Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 40—49.
31
Jadi kemenangan bangsa Jepang itu dianggap oleh negeri-
negeri di Asia sebagai kemenangan bangsa Asia atas bangsa Eropa.
Hal ini membangkitkan rasa harga diri pada bangsa-bangsa Asia,
termasuk bangsa Indonesia. Peristiwa kemenangan bangsa Jepang
atas bangsa Rusia besar sekali pengaruhnya di kalangan bangsa-
bangsa Asia, juga dikalangan bangsa Indonesia. terutama di
kalangan kaum mudanya yang mendengar dan membaca berita itu.
Pembangkit utama kesadaran nasional bangsa Indonesia
adalah situasi dan kondisi dalam negeri indonesia sendiri serta
diperkuat oleh faktor faktor dari luar negeri. Hari kebangkitan
nasional indonesia 20 Mei 1908.43
E. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin yang
berbeda, sosiologi dan sastra, secara harfiah mesti ditopang oleh dua
konsep yang berbeda, yaitu konsep-konsep sosiologi dan konsep-
konsep sastra. Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah
dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat
tercapai secara maksimal. Dalam sosiologi sastra seharusnya
mendominasi jelas konsep-konsep yang berkaitan dengan sastra,
sedangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi
sebagai komplementer.44
Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang
manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial.
Sosiologi mencoba mencari tahu bagaiaman masyarakat
dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaiamana ia tetap
ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah
perekonomian, kegamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu
43
Sagimun M.D, Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Museum
dan Sejarah, 1988), hlm. 188—190. 44
Suwarsih Endraswara, Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: CAPS,
2011), h. 34.
32
merupakan struktur sosial kita mendapatkan gambaran tentang cara-
cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang
mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan
anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Sastra berurusan
dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.
Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah
yang sama.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat
ini menaruh perhatian yang lebih besar terhadap aspek documenter
sastra: landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin
zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan
cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan
kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain.45
Karena sastra
memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial dan budaya
sebagai basis kehidupan penulisnya, maka sastra selalu hidup dan
dihidupi oleh masyarakat, dan masyarakat sebagai objek kajian
sosiologi menegaskan adanya hubungan antara sastra sebagai disiplin
ilmu dengan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang lainnya.46
Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa sosiologi sastra
objek kajiannya adalah sastra yang berupa karya sastra, sedangkan
sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang
ada dalam sastra, baik penulis, sastra, maupun pembaca dengan
mempertimbangkan aspek-aspek yang melatarbelakangi karya
tersebut. Dalam penelitian ini sosiologi dalan novel Manusia Bebas
merupakan cerminan nasionalisme pada zaman itu.
45
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979), h. 7—10. 46
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012), h. 3.
33
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Proses belajar mengajar di dalam lingkungan formal atau
biasanya dikenal dengan istilah ―pengajaran‖, bertujuan
mengembangkan potensi individual siswa sesuai dengan kemampuan
siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran, keterampilan, pengenalan
kemampuan dan batas kemampuannya, dan karsa mengenai dan
mempertahannkan kehormatan dirinya. Dengan kata lain, tiap
kegiatan menyiratkan upaya pendidikan, yang bertujuan membina
watak siswa. Artinya, pengajaran sastra menghasilkan manusia-
manusia yang dapat bertahan hidup tanpa menyusahkan ataupun
merepotkan orang lain.47
Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran
kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam
berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari
aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis. Dengan demikian sastra dapat meningkatkan
pengetahuan budaya, memperluas wawasan hidup, pengetahuan-
pengetahuan lain, serta mengembangkan kepribadian.
Pengajaran bahasa dan sastra dapat membangun kemanusiaan
dan kebudayaan sehingga dapat melahirkan masyarakat yang mampu
berpikir kritis mandiri, dan sanggup berekspresi dan berapresiasi
dengan baik. Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran
kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam
berbahasa. Sastra dapat membantu pensisikan secara utuh karena
sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan
cipta, rasa, dan karsa, menunjang pembentukan watak,
menembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan,
pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi.48
47
Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia, (Yogyajarta: Graha Ilmu, 2008), hlm. 30 48
Kinaryanti Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, (Yogyakarta:
Pustaka, 2006), hlm. 84—85.
34
Ketika mengajarkan sastra di sekolah, diperlukan beberapa
metode untuk mengajarkannya supaya siswa tidak merasa bosan dan
terus ingin belajar. Dalam pengajaran novel, tema dalam suatu novel
hendaknya tidak langsung diberikan oleh guru. Mereka harus
dibiarkan agar tumbuh kesadarannya, sebagai hasil pengalaman-
pengalaman mereka sendiri dalam menggauli novel-novel tersebut
lewat diskusi-diskusi yang terarah dan cermat.49
Untuk dapat mempelajari pelajaran sastra di SMA diharapkan
pendidik dapat menjabarkannya ke dalam empat kompetensi, yaitu
kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dari
keempat kompetensi tersebut, jelas bahwa pengajaran sastra dalam
pembelajaran bahasa Indonesia sangatlah bermanfaat untuk membantu
siswa dalam keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan
budaya, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan
kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi.50
Karena
pada hakikatnya, pendidik (guru) adalah pendamping siswa dalam
usaha mengungkapkan penghayatan, tanggapan, dan penilaian
pengarang terhadap kehidupan, khususnya dalam sebuah karya sastra.
Pokok materi pembelajaran sastra di sekolah terdapat dalam
pembelajaran bahasa Indonesia. Secara umum pembelajaran sastra
yaitu terkait dengan apresiasi terhadap karya sastra. Salah satu
kompetensi dasar dalam pembelajaran sastra adalah menentukan
unsur-unsur intrinsik novel. Dalam menentukan unsur-unsur intrinsik
novel, siswa diarahkan untuk membaca dan menganalisa novel,
sehingga berdampak pada pengembangan cara berpikir siswa. Serta
melalui kegiatan menganalisis novel, akan menambah wawasan sosial
dan budaya siswa.
49
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: penerbit KANISIUS, 1996),
hlm. 75 50
Kinaryanti Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, (Yogyakarta:
Pustaka, 2006), hlm. 85.
35
G. Penelitian yang Relevan
Novel Manusia Bebas ini sudah diteliti sebelumnya. Penelitian
pertama oleh Dwi Retno Setiarti yang berjudul ‖ Manusia Bebas
Analisis Tokoh, Latar dan Tema. Skripsi mahasiswa Universitas
Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia 1989. Skripsi ini memberikan
gambaran tentang tema,tokoh dan penokohan, serta latar novel
Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Novel Manusia Bebas
karya Suwarsih Djojopuspito ini berlatar waktu sekitar tahun 1930-an,
di masa kegairahan para pemuda berpikiran tentang kebangsaan,
kemerdekaan, dan semangat pembaharuan tatanan masyarakat
Indonesia. Kegairahan akan rasa nasionalis dalam novel ini diwakili
oleh sepasang suami istri, Sudarmo dan Sulastri, yang memilih bidang
pendidikan sebagai lapangan perjuangannya. Mereka (Sudarmo,
Sulastri dan kawan-kawannya) memiliki tekad yang ingin memajukan
bangsanya sendiri, walaupun harus menderita karenanya.51
Penelitian kedua oleh Bondan Patti Wanggono yang berjudul
―Poskolonial dalam Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih
Djojopuspito‖. Skripsi mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, 2006.
Penelitian ini menggambarkan mengenai poskolonial pada aspek
politik tubuh antara lain: (a) tubuh terjajah adalah suatu penghinaan
dan sumber kebodohan, (b) kreativitas yang dibelenggu, dan (c)
pengasingan. Poskolonial pada aspek ruang dan tempat antara lain: (a)
persoalan ruang antara kelas atas dan kelas bawah, (b) persoalan ruang
dan tempat yang lebih baik, (c) persoalan ruang dan tempat yang
berhubungan dengan budaya dan kesopanan, (d) persoalan ruang dan
tempat yang harus diatur, dikontrol, disayangi dan dikuasai, (e)
persoalan ruang dan tempat antara Hindia dengan Belanda, dan (f)
persoalan tempat dan menempatkan diri. 52
51
Dwi Retno Setiarti skripsi yang berjudul ‖ Manusia Bebas Analisis Tokoh, Latar dan Tema‖,
Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia 1989. 52
Bondan Patti Wanggono skripsi yang berjudul ―Poskolonial dalam Novel Manusia Bebas Karya
Suwarsih Djojopuspito‖. Universitas Negeri Surabaya, 2006.
36
Ketiga, yaitu disertasi oleh Rosliani yang berjudul ―Mimikri
dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme‖.
Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2012. Novel yang
dijadikan bahan penelitian adalah Max Havelaar karya Multatuli(1839
– 1887), Berpacu Nasib di KebunKaret karya M.H. Székely-Lulofs
(1899 – 1958), Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito(1912 –
1977), dan Oeroeg karya Hella S. Haasse (1918 – 2011). Hasil
identifikasi terhadap novel tersebut ditemukan masalah yang berkaitan
dengan struktur penceritaan, mimikri, ambivalensi, hibriditas dan
sinkretisme. Dari kelima masalah, ambivalensi muncul akibat
ketidakpastian mimikri dan sinkretisme muncul akibat fleksibelitas
hibridisasi Barat dan Timur.
Pemunculan benturan peradaban Barat dan Timur dalam novel
Hindia Belanda memunculkan masalah mimikri dan hibriditas bagi
bangsa Belanda dan Indonesia. Mimikri dalam gaya hidup yang
berterima di Hindia Belanda, misalnya, membentuk ambivalensi
kepribadian bangsa yang terjajah (Indonesia) dan bangsa yang
menjajah (Belanda). Mimikri dan ambivalensi tersebut menempatkan
hibriditas struktural dan kultural yang berpusat pada model dan wujud
kepemimpinan. Hibriditas kepemimpinan memunculkan sinkretisme
religi di mana Barat yang Kristen bertemu dengan Timur yang
memiliki keanekaragaman religi. Persoalan mimikri dan hibriditas
dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda tersebut
menjadi fokus penelitian poskolonial ini sehingga memberi gambaran
yang jelas terhadap akar persoalan kebangsaan Indonesia yang tetap
mengedepankan local geniusnya menghadapi era globalisasi. 53
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas,
peneliti tidak menemukan penelitian yang menganalisis mengenai
53
Rosliani, disertasi yang berjudul ―Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian
Poskolonialisme‖. Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan 2012.
37
tema nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih
Djojopuspito dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di SMA. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan
bagaimana tema nasionalisme yang tergambar dalam novel Manusia
Bebas dengan menganalisis secara struktural, serta implikasinya
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
38
BAB III
PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA
A. Biografi Suwarsih Djojopuspito
Suwarsih Djojopuspito dilahirkan di desa Tjibatok (Bogor), tanggal 20
April 1912. Berpendidikan Sekolah Kartini, MULO, dan Europee
Kweekschool. Ia pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat (1931), Taman
Siswa (1932), Pasundan Isteri (1937), dan HIS (1939). Pernah pula menjadi
anggota Komite Nasional Pusat (1945—1950), Wakil Kepala Biro
Perjuangan Bagian Wanita (1946—1947), serta membantu majalah berbahasa
Belanda: Critiek en Opbouw, Het Inzicht, dan Orientatie. Tahun 1953 ia
bermukim di Belanda.1
Ia keturunan Tionghoa yang berkecukupan. Ayah Suwarsih memiliki
keberanian untuk mengambil keputusan dengan mengirim kedua anaknya
Suwarsih dan Nining ke sekolah Kartini di Bogor. Jika dibandingkan dengan
pendirian orang pada umumnya pada masa itu, langkah yang diambil oleh
ayah Suwarsih tersebut jelas merupakan keberanian yang berorientasi modern
dengan berani membiarkan anak-anaknya terbang ke mana saja asal
mendapatkan ilmu. Ia begitu yakin bahwa kemajuan ada di tangan para
wanita, tidak terkecuali anak-anaknya. Oleh karena itu, sungguh beruntung
Suwarsih dan kakaknya memiliki ayah seperti itu.
Dua tahun sebelum Suwarsih dikirim, Nining sudah lebih dulu berada
di Bogor. Bersama kakanya itu dalam beberapa waktu Suwarsih tinggal di
asrama sekolah sebelum orang tuanya pindah ke Cicurug. Berkat
pengorbanan yang besar dari kedua orang tuanya, yang ketika itu sudah tidak
semakmur dulu, akhirnya Suwarsih dan kakaknya dapat menamatkan
sekolahnya.
1 Dewan Redaksi, Ensiklopeda Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), hlm. 781—782.
39
Kesadaran yang berbau politik itu, selain tumbuh karena kepintaran
mereka selaku anak ―sekolahan‖, mungkin juga disebabkan oleh kenyataan
bahwa mereka adalah anggota perkumpulan Jong Java, yang secara praktis
menumbuhkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme dalam diri para
anggotanya.
Pada tahun 1928 hingga 1931 Suwarsih masuk Gouvernments
Europese Kweekschool (sekolah guru untuk anak-anak Eropa) di Surabaya.
Keberhasilannya menjadi ―murid pilihan‖ membuat ia mendapatkan beasiswa
dari sekolah Kartini. Pada saat itu, jumlah murid di kelasnya sebanyak 30
orang dan 28 diantaranya adalah anak Belanda.
Setamat dari Kweekschool, Suwarsih menjadi guru di Perguruan
Rakyat Pasundan di Purwakarta. Setelah menikah dengan Sugondo
Djojopuspito, yang ketika itu memimpin Taman Siswa Bandung, Suwarsih
mengikuti jejak suaminya, mengajar di sekolah itu. Selama mengajar di
Bandung suami-istri, Suwarsih-Sugondo Djojopuspito tinggal di sebuah
ruangan yang ada di kompleks sekolah. Namun, karena sekolah itu ditutup
oleh Belanda (karena dianggap menjadi sarang anggota pergerakan
kebangsaan), mereka pindah ke Surabaya. Di kota Surabaya itu mereka
mengajar di HIS selama lebih kurang 13 tahun (1931—1944).
Sejak tahun 1945 hingga tahun 1959 Suwarsih tercatat sebagai
anggota Komite Nasional Pusat (KNP). Dalam kurun waktu itu pula, tepatnya
tahun 1946 –1947, Suwarsih menjadi wakil Kepala Biro Perjuangan Bagian
Wanita. Di sela-sela kesibukannya itu, ia juga membantu beberapa majalah
berbahasa Belanda, seperti Critiek en Opbouw, Het Inzicht, dan Orientatie2.
Suwarsih yang menulis pada periode 1940—1970an menulis dengan
kesadaran untuk menjadi representasi perempuan, dalam catatan kenangannya
untuk Eddy du Perron, Suwarsih menggambarkan dirinya sebagai ―seorang
penulis karangan-karangan kecil tentang emansipasi wanita‖. Suwarsih
Djojopuspito dapat dikatakan sebagai pelopor penulis perempuan Indonesia
2 Anita K. Rustapa, dkk, Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950,
(Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm.142—143.
40
karena ia adalah satu dari sedikit penulis perempuan Indonesia, selain Selasih
(Kalau Tak Untung, 1933) dan Hamidah (Kehilangan Mistika, 1935) yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka.3
Ia terkenal sebagai pengarang yang menulis dalam bahasa Belanda,
Sunda dan Indonesia. buku-bukunya ialah: Buiten het Garell (W. De Haan,
Utrecht), Tjudjuh Kumpulan Tjerita Pendek (Pusaka Rakyat, Djakarta, 1951),
Empat Serangkai (1954), Riwayat Nabi Muhammad (Timun Mas, Djakarta,
1976), Siluman Karangkobar (Pembangunan, Djakarta, 1963), Marjanah
(Romannya yang pertama, dalam bahasa Sunda, ditulis tahun 1937, tapi
diterbitkan tahun 1959 oleh Balai Pustaka, Djakarta) dan Hati Wanita (Balai
Pustaka, Djakarta, 1963).4Sejarah Sofyet Rusia (1954), Beberapa Wanita
Terkemuka (1957). Pecahan Ratna (Jakarta: Pustaka Jaya, 1950), Arlina
(1975), dan Maryati dan Kawan-Kawan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).5
B. Pemikiran Suwarsih Djojopuspito
Suwarsih dan suaminya tergolong dalam ‗kaum proletariat intelektuil‘
yang tidak tertarik pada pekerjaan yang bergaji bagus pada gupermen, tapi
memilih pekerjaan untuk mendidik rakyat yang bodoh dan tidak
berpendidikan. Bagaimana kuat cita-cita ini pada Suwarsih, dalam kenangan-
kenangan yang ditulisnya beberapa tahun lalu, dimana ia mengenang masa 18
tahun yang pertama dari hidupnya. Kenangan-kenangan ini merupakan suatu
dokumen yang unik karena isi dan jalan cerita yang sukar yang harus dijalani
seorang gadis desa yang sederhana, sampai saat menjadi wanita muda yang
akan mengabdikan diri sebagai guru kepada bangsanya.
Suwarsih berpikir dalam hati bahwa hidupnya lain dari hidup mereka.
Ia tidak mengalami masa remaja, namun baginya orang Indonesia tidak ada
masa remaja. Karena setelah kami meninggalkan bangku sekolah, sudah
menunggu tugas yang berat yaitu menjadi pemimpin bangsa kami. Suwarsih
3 Aquarini Priatina, ―Makalah Suwarsih Djojopuspito; Menciptakan Subjek Feminis
Nasionalis Melalui Autobiografi‖, Serambi Salihara, selasa 09 April 2013, pukul 19.00 WIB. 4Serba Serbi Negeri Belanda. No. 11, 27 Februari 1968. Pusat Dokumen Sastra.
5Anita K. Rustapa, op. cit., hlm.143.
41
mulai giat dalam gerakan wanita, antara lain dengan menulis karangan-
karangan. Dalam karangannya, ia menulis tentang nasib wanita ‗kawin pada
usia lima belas tahun, beroleh anak tiga orang atau lebih, hidup berkeluarga
dengan bekerja keras, mati-matian; menjelang usia tiga puluh tahun, apabila
masa berkembang yang pertama telah lewat, diceraikan oleh suaminya, tanpa
uang untuk mengurus anaknya. Itulah nasib yang lumrah wanita Indonesia
dari kalangan rakyat.
Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya membebaskan,
menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat bahu membahu dengan
suaminya melakukan perjuangan nasional dengan hak-hak dan
tanggungjawab yang sama. Hubungan suami istri juga memainkan peranan
yang penting sekali dalam Buiten het Gareel: Sulastri (salah seorang dari
kedua tokoh utama) berusaha keras menjadi patner yang setaraf dengan
suaminya Sudarmo. Tapi yang demikian itu hanya mungkin bagi wanita yang
mempunyai kesempatan untuk mengembangkan pikirannya, karena itu dalam
buku tersebut yang nampak dipentingkan ialah pengajaran sebagai jalan untuk
mencapai perkembangan itu.6
Sebagai wanita yang berpikiran maju dan hidup di negeri jajahan.
Suwarsih ternyata menyimpan keresahan-keresahan dan obsesi tertentu
sehubungan dengan kewanitaan dan kebangsaannya. Keresahan dan
obsesinya itu makin menjadi-jadi tatkala ia merasakan sendiri bagaimana
perlakuan Belanda terhadap teman-teman sekolah dan bangsanya.
Pada mulanya Suwarsih menyalurkan keresahan-keresahannya dengan
jalan menjadi guru sekolah pergerakan kebangsaan. Namun, karena dirasa
kurang cukup ia kemudian menyalurkannya melalui sastra. Keputusannya
untuk menjadikan kesusastraan sebagai wadah penyalur keresahan dan
obsesinya diawali dengan menulis sebuah novel berbahasa Sunda. Namun,
novel itu tidak mendapat tanggapan yang baik dari penerbit Balai Pustaka
sehingga tidak terbit.
6 Gerard Termorshuizen, ―Serba-serbi Negeri Belanda: ‗Mengenang Soewarsih
Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‘‖, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37.
42
Penolakan ini menurut Ajip Rosidi karena cita-cita kesusastraan yang
dibawanya dianggap terlampau maju oleh penerbit sehingga khawatir tidak
dimengerti. Namun, menurut H.B. Jassin penolakan itu karena melukiskan
perjuangan kaum pergerakan nasionalis. Cita-cita kesusastraan Suwarsih
tidak begitu revolusioner untuk menjadi alasan penolakan. Penolakan atas
novelnya itu membuat Suwarsih kecewa. Di tengah kekecewaan itulah datang
Eddie du Perron, seorang pengarang keturunan Indo Belanda yang sangat
terkenal menyarankan agar Suwarsih menulis dalam bahasa Belanda.
Sebenarnya jauh sebelum berkenalan dengan Eddie du Perron,
Suwarsih sudah banyak menulis dalam bahasa Belanda. Namun, tulisan-
tulisannya (yang disebutnya sebagai karangan kecil tentang masalah
emansipasi wanita) dikirimnya ke majalah-majalah berbahasa Belanda yang
pada saat itu. Bahkan, sekali waktu pernah majalah yang memuat Suwarsih
mendapat teguran dan peringatan keras dari pemerintah Hindia Belanda
karena melalui tulisannya itu Suwarsih meminta agar pemerintah Belanda
membebaskan para pemimpin nasionalis Indonesia yang saat itu sedang
meringkuk dalam penjara di luar Jawa.
Sebagai orang yang kebetulan mengagumi tulisan-tulisan Eddie du
Perron, dengan senang hati Suwarsih menerima saran du perron. Mulailah
Suwarsih menulis dalam bahasa Belanda kembali. Sebagaimana yang telah
kita ketahui, tak lama kemudian lahirlah Buiten het Gareel. Novel ini
mendapat sambutan yang baik ketika diterbitkan di negeri Belanda. Sejak saat
itulah tumbuh keberanian dan rasa ―percaya diri‖ pada diri Suwarsih bahwa
dirinya mampu mengarang. Setelah Buiten het Gareel ia terus menulis
bahkan sampai masa tuanya. 7
Suwarsih Djojopuspito menterjemahkan bukunya dengan judul
Manusia Bebas. Manusia bebas ialah manusia yang bebas dari prasangka,
bebas dari ketakutan, dari bentuk-bentuk dan tradisi-tradisi yang mengikat,
dalam usahanya untuk membebaskan pikiranya, seringkali mengalami
kegagalan, seringkali mendapatkan perlawanan dari kawan-kawan sendiri dan
7Anita K. Rustapa, op. cit., hlm.142—143.
43
ia sadar bahwa manusia sekalipun berulangkali jatuh dan bangun, namun
harus tetap berusaha untuk dapat memikirkan pembangunan masa depan yang
lebih baik bagi bangsanya.8
Gaya bercerita Suwarsih memikat dan tajam mengenai kekecewaan
pada masa itu, namun selalu diselipkan humor dan pandai menertawakan
dirinya sendiri.9 Persoalan yang muncul dalam karya Suwarsih Djojopuspito
memiliki persoalan yang sama, seperti pada kumpulan cerpennya yang
berjudul Empat Serangkai yang terbit pada tahun 1954. Cerpen yang
terkumpul di dalamnya adalah Seruling di Malam Sepi merupakan suatu
teriakan emansipasi kaum wanita. Cerpen yang berjudul Artinah
menceritakan mengenai kecintaannya pada suaminya dan membuat Artinah
menyetujui poligami, cerpen ini memperlihatkan kekuatan moral wanita.
Cerpen Baju Merah dan Perempuan Jahat menceritakan mengenai
permasalahan ruman tangga.10
Novel Manusia Bebas merupakan dokumen
sejarah yang berharga tentang kehidupan pergerakan sebelum perang dunia
kedua.11
C. Sinopsis Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito
Sudarmo adalah seorang direktur sekolah Perguruan Kebangsaan dan
mengajak istrinya untuk mendampinginya di Bandung. Mereka berjuang dan
bertahan bersama dengan cita-cita yang sama yaitu mendidik pribumi.
Keretakan yang terjadi antara Partai Marhaen dan Partai Kebangsaan
menimbulkan persaingan dalam mendirikan masing-masing sekolah, fitnah-
memfitnah antar guru, pemogokan murid dan penurunan banyak murid.
Penderitaan ini ditanggung bersama dengan beberapa sahabat Sudaromo,
yaitu Jamil, Gularso, dan Supardi yang bersama Soekarno mengalami
8Gerard Termorshuizen, op.cit., hlm 34—37.
9 Ibid, hlm. 34
10CH. Kiting, Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito (Diangkat dari naskah buku
antologi pengarang wanita Indonesia), (Jakarta: Pusat Dokumentasi HB. Jassin, selasa 05
November 2014). 11
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Sastra Indonesia, (Bandung: Titisan Ilmu, 2004), hlm.
487.
44
pengasingan. Rumah Sudarmo digeledah oleh serdadu Belanda dan
menyitaan surat kabar yang mereka terbitkan sendiri, surat-surat cinta yang
terpaksa dijadikan api unggun, buku-buku disita karena dianggap menjadi
bukti yang memberatkan. Guru-guru yang dianggap penghasut ditangkap oleh
serdadu Belanda. Akhirnya, setelah penggeledahan dan penangkapan
keluarlah Onderwijsverbod, larangan untuk mengajar.
Sulastri dan Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Yogja dan tinggal
bersama kakak dan iparnya, yang merupakan sesepuh di Perguruan
Kebangsaan. Di kota Yogja, Lastri menemukan respek, rasa hormat pada
Lurni, iparnya, dengan kegiatan aktivitas pendidikan. Tak lama kemudian
mereka pindah ke paviliyun kecil dan Sudarmo menerbitkan majalah
Penghidupan Rakyat tetapi gagal diteruskan karena hanya memperoleh 17
gulden lima puluh sen hasil penerbitannya pertama. Surat dari Jakarta tentang
pekerjaan baru pada pemerintah membuat Dar pergi ke Jakarta karena atas
anjuran Lastri yang segera menyusul dan mereka berdua terjebak, Dar sebagai
Klerk pemerintah kolonial membenci pekerjaannya dan menuduh Lastri
sebagai penyebabnya. Lastri tinggal bersama kakanya Marti, yang masih
ingin mengatur hidupnya. Kemudia mereka pindah lagi ke Bogor, tak tahan
mendengar pertengkaran terus-menerus suami-istri tempat mereka
menumpang dan perlakuan ayahnya Lastri yang sangat membeda-bedakan
kedua menantunya, suami Marti dan suami Lastri.
Pindah ke Bogor mereka mendapatkan masalah baru, Sudarmo segera
minta berhenti agar tidak membahayakan jabatan iparnya dan sekolah Lastri
pun belum berlangsung baik. Tetapi mereka menemukan suatu kelompok
yang bersahabat yaitu, Sutrisno, Muhammad dan Jusuf, yang sedang
mendirikan majalah Pendidikan Perekonomian Rakyat. Dunia mereka adalah
mengajar, mengurus majalah, perpustakaan dan diskusi. Setelah satu tahun,
hanya ada 5 siswa yang mendaftarkan sekolah dan akhirnya sebagai proletar
intelek mereka pindah lagi ke Semarang. Kali ini Lastri menjadi guru dengan
gaji 25 gulden, di Perguruan Kebangsaan juga, meskipun dalam dunia yang
sama. Namun, perlakuan menejemen mengecewakan Lastri karena sikapnya
45
yang dingin. Akhirnya Semarang ditinggalkan dan kembali ke Bandung
dalam kekalahan setelah mengalami kemelaratan yang paling menyiksa dan
menemukan kebersamaannya kembali dengan Sudarmo, Lastripun
mendapatkan kepercayaannya dalam menulis dan menulis lagi. Tanah
Priangan, cinta pada kawan hidup dan kreativitas yang menompangnya
hingga kini.
46
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Struktur Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito
1. Tema
Tema merupakan suatu gagasan yang mendasari cerita itu
terangkai dengan baik. Ada pengarang yang menyembunyikan tema
dalam cerita. Akan tetapi adapula pengarang yang secara terang-
terangan menampilkan tema melalui judul ceritanya. Penggolongan
tema berdasarkan keutamannya yaitu tema mayor dan tema minor.
Tema minor yang terdapat dalam novel Manusia Bebas yaitu
mengenai emansipasi wanita artinya peranan seorang istri yang
menjadi teman hidup bukan menjadi suatu alat kesenangan suaminya
dan bukan hanya menjadi orang yang bertanggungjawab atas masalah
rumah tangga, yang sekarang masih dialami oleh sebagian orang
menurut adat istiadat.
“Sayang, kau tak akan memberatkan bebanku, bukan? Lebih dari
apapun juga aku harus dapat pengertian dan pertolongan dari
padamu, Tri.”
“Dar, aku berjanji akan menolongmu dalam segala-galanya....”1
Kutipan di atas, menunjukan bahwa Sudarmo membutuhkan
bantuan Sulastri untuk membantunya mengajar di sekolah. Sudarmo
memberikan tanggungjawab di sekolah diluar peranan Sulastri sebagai
seorang istri, ia pun sangat mendukung istrinya dalam kemajuan
intelektualnya.
Novel Manusia Bebas berlatar waktu 1930an di mana masa
pergerakan dan semangat kebangsaan mulai membakar jiwa rakyat
Indonesia. Semangat akan rasa nasionalis ini yang menjadi tema mayor
dalam novel ini. Rasa nasionalis dalam novel ini diwakili oleh tokoh
1 Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas, (Jakarta: Djambatan, 2000), Cet. Ke 2, hlm. 28.
47
Sulastri dan Sudarmo sepasang suami istri yang memilih bidang
pendidikan sebagai bentuk perjuangannya. Kegiatannya sebagai tokoh
pergerakan dalam bidang pendidikan dan keterkaitannya dalam
organisasi politik, yang menyebabkan timbulnya kesulitan hidup yang
berat dimana mereka harus rela hidup serba kekurangan dan diawasi
oleh pemerintahan Belanda. Namun, mereka hadapi segala beban
hidup tersebut, satu tekad mereka ialah mereka lebih senang bekerja
untuk bangsanya sendiri walaupun harus menderita.
Dalam kata pengantar novel Manusia Bebas, Suwarsih
Djojopuspito mengatakan bahwa ia mengajak pemuda pada zamannya
untuk bertabah hati dengan segala resiko yang dialami dalam
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan:
“ Dengan demikian, maksud saya dulu itu, yaitu mengajak pemuda
seumuran saya supaya bertabah hati dalam perjuangannya
mencapai kemerdekaan Indonesia.”2
Permasalahan dalam novel ini ialah mengenai perjuangan kaum
nasionalis dimana pengarang menggambarkan kesulitan yang dialami
tokoh-tokoh dalam novel ini. Ketabahan yang digambarkan oleh tokoh
Sulastri dan Sudarmo yang harus berpindah-pindah untuk
mendapatkan kebebasan dalam mengajar bangsa Indonesia.
Nasionalisme dalam novel diperlihatkan pada saat Sulastri
memberikan komando kepada anak-anak untuk menyanyikan sebuah
lagu dan diakhiri dengan nada yang gemetar:
“ Satu, dua, tiga. Beri salam, pada tanah air kita.”
“ Lihatlah bendera kami,
Merah, putih, berkibar,
Dikibarkan hari ini,
Dengan hati yang riang,”3
2Ibid, hlm. V.
3Ibid,hlm. 39.
48
Hal ini menjadi kebanggaan Sulastri bahwa ia bisa berjuang dengan
suaminya untuk mengajar anak bangsa. Memberikan salam pada tanah
air dan mengibarkan bendera merah putih seolah menjadi simbol
kebangaan Indonesia yang ditunjukan dalam novel ini. Selain itu,
semangat nasionalisme juga digambarkan pada tokoh Sudarmo ketika
menjelaskan keinginannya pada orang tua siswa untuk bekerjasama
dalam mewujudkan cita-cita nasional.
“ Bagaimanakah seorang Indonesia yang baik menurut cita-cita kita
ini? Kita akan mengatakan dengan suara bulat: seorang Indonesia
yang baik ialah dia, yang dapat mengembangkan bakat-bakatnya
dan menggunakannya untuk keperluan pergerakan nasional.” 4
Kutipan di atas menunjukan bagaimana sebagai rakyat Indonesia
harus saling membantu dalam memajukan bangsanya sendiri
Indonesia, meski berbeda-beda tapi tetap satu tujuan saling
bekerjasama untuk kepentingan bersama.
Kesimpulan dari tema dalam novel ini adalah tema minor yang
mendukung tema mayor yakni perjuangan kaum nasionalis dalam
bidang pendidikan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme.
2. Alur
Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran. Dilihat
pada bagian 1, menceritakan kehidupan tokoh utama di masa sekarang,
menjelaskah bahwa naskahnya ditolak oleh Balai Pustaka. Dalam
novel Manusia Bebas.
a. Tahap Penyituasian
Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap penyituasian
dalam novel Manusia Bebas terdapat pada bagian 2. Pada bagian 2
digambarkan pengenalan tokoh-tokoh dan latar.
4Ibid,hlm. 63
49
“Dalam tahun 1933 Sulastri memasuki rumah kediamannya
yang baru. Beberapa perabot rumah tangga seperti meja,
kursi, dan lemari, telah dikirimkan lebih dulu dari
Purwakarta ke Bandung.”5
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa latar yang digunakan
dalam cerita tersebut adalah di Bandung pada tahun 1933. Namun
pada bagian selanjutnya tokoh-tokoh ini berpindah tempat ke
Yogjakarta, Jakarta, dan kembali ke Bandung. Selain deskripsi
latar, terdapat pengenalan tokoh-tokoh dalam cerita. Hal ini di
gambarkan dalam beberapa kutipan.
“Sudarmo adalah seorang direktur pada Sekolah Perguruan
Kebangsaan di Bandung.” 6
“Kamar-kamar di belakang itu kepunyaan tiga orang guru.
Kau kenal Jamil, bukan? Nah, dia tidur di situ.”7
Sulastri menikah dengan Sudarmo, seorang guru Sekolah
Kebangsaan dan aktivis Partai Marhaen. Ia menyadari bahwa
pernikahannya dengan seorang aktivis berarti ia senantiasa akan
hidup dalam tantangan. Sebagai anggota partai Marhaen pada
zaman pergerakan mereka harus berhadapan dengan musuh-
musuh, persoalan kebutuhan hidup yang memerlukan perhatian
khusus, misalnya mereka selalu mengalami kekurangan uang.
Keadaan seperti ini menumbuhkan sikap menerima keadaan pada
tokoh Sulastri. Ia memahami kedudukan suaminya sebagai anggota
Partai Marhaen dan kepala Sekolah Kebangsaan yang tidak
mendapatkan subsidi dari pemerintah. Sudarmo dan Sulastri
tinggal bersama tiga orang guru yaitu Jamil, Harjono, dan Waluyo.
b. Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan
masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Konflik
5Ibid,hlm. 15
6Ibid,hlm. 17
7Ibid,hlm. 21
50
awal mulai muncul dalam cerita, dan akan berkembang menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya.
Tahap pemunculan konflik dalam novel Manusia Bebas
terjadi di Bandung yaitu adanya tagihan pembelian buku yang
belum dibayarkan dan rendahnya gaji seorang guru, karena pada
saat itu pemerintah Belanda tidak memberikan dana untuk sekolah-
sekolah partikelir. Akhirnya Sudarmo memutuskan untuk meminta
istrinya (Sulastri) untuk membantunya mengajar di sekolah
tersebut karena sedang mengalami krisis keuangan.
“Ada lagi kesusahan mereka, ialah utang karena pembelian
buku-buku sebanyak F 200. Sudarmo tak mengetahui
tentang utang buku itu, waktu ia menerima jabatan sebagai
Direktur.”8
Tantangan yang dihadapi Sulastri dan Sudarmo bukan
hanya datang dari pemerintah, tetapi dari teman-teman
seperjuangannya di Sekolah Kebangsaan, teman sesama guru yang
sering kali menuntut gaji yang layak. Sementara sekolah itu
didirikan tanpa bantuan dari pemerintah, kebutuhan sekolah
sepenuhnya didapat dari murid-murid dan hasil dari penjualan surat
kabar dan majalah. Selain itu sering kali Sudarmo mengemukakan
ide-ide baru, namun ia mendapatkan cibiran dari teman-temannya.
“Saudara-saudara, di papan tulis kalian dapat lihat usul-usul
saya untuk mengatur nafkah kita. Dari sekarang kita
mempunyai harapan menerima f 8,50,-. Setiap bulan kita
harus mengeluarkan f 370,- untuk membayar sewa rumah,
utang-piutang, lampu, air, pelayan sekolah dan lain-lain
lagi. Bagi kita akan tinggal kira-kira f 500,-. Saya akan
mengaturnya begini: semua orang dapat paling sedikit f 25,-
dan jika ada kelebihan yang masih dapat dibagikan, akan
dibagi di antara kita seperti terbaca di papan tulis.”9
“Semua orang dapat f 25,-. Setahun belajar sesudah Mulo
akan diberi f5,- lebih. Untuk satu anak akan diberikan f 2,50
8 Ibid,hlm. 17
9 Ibid,hlm. 33
51
dan untuk isteri 7,50. Sehingga mas Prawira mendapat f 25+
(7x f 2,50)+f 7,50= f 50,-. Gaji tertinggi adalah f 50.” 10
Persoalan seperti inilah yang menimbulkan pertentangan di
antara mereka dan menunjukan perbedaan orientasi. Mereka
umumnya terpaku pada persoalan kebutuhan hidup sehari-hari.
“Kemudian ia memperkenalkan diri sebagai seorang
kandidat Inlands bestuurambtenar, yang didetasir di PID. Ia
diberi tugas untuk menyita koran-koran, karena ada
perkataan-perkataan yang menyinggung.” 11
Selain itu, adanya penyitaan koran-koran di sekolah
Sudarmo karena dianggap telah menyinggung pemerintah. Karena
kegiatannya ini Sudarmo selalu diburu oleh Pemerintah Belanda, ia
dipandang sebagai orang yang dianggap berbahaya bagi
pemerintah.
c. Tahap Peningkatan Konflik
Konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin
meningkat. Permasalahan mengenai pembagian gaji pada guru-
guru telah membuat renggang hubungan mereka. Disamping itu,
adanya pemogokan murid-murid dan perubahan sikap guru-guru
terhadap Sudarmo yang disebabkan oleh adanya surat kaleng ke
Pengurus Besar untuk memindahkan Sudarmo.
"Belum tahukah ibu ini? Mereka telah mengirim surat
kaleng ke Pengurus Besar dari Perguruan Kebangsaan untuk
memindahkan Sudarmo.”
Dalam surat kaleng itu Sudarmo difitnah karena banyak
sekali masalah yang dialami di sekolah Kebangsaan, setelah ia
menjabat sebagai kepala sekolah. Adanya surat kaleng tersebut
membuat Sudarmo mengadakan rapat dengan guru-guru untuk
10
Ibid,hlm. 34 11
Ibid,hlm. 106
52
menentukan sikapnya terhadap anak-anak yang mogok. Akhirnya,
mereka bersepakat bahwa yang menghasut dalam pemogokkan ini
tidak akan diterima sebagai murid lagi, namun yang ikut-ikutan
akan dimaafkan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Selain itu, mereka mengalami penyitaan surat kabar yang
mereka terbitkan, buku-buku disita karena dianggap bukti-bukti
yang memberatkan. Dan para penghasut antara lain adalah guru-
guru sekolah itu akhirnya ditangkap. Setelah penggerebekan,
penangkapan teman-teman, keluarlah Onderwijsverbod, larangan
untuk mengajar. Sudarmo, Sulastri dan bayinya tinggal bersama
kaka dan iparnya, yang merupakan sesepuh Perguruan
Kebangsaan, dengan asrama yang lebih besar dan murid-murid
yang menginap di kota Jogya.
“Sulastri mengangguk mengerti dan ia merasa dadanya
berdentum, Sudarmo membuka pintu dan sebelum pintu itu
membuka lebar, seorang Belanda yang tinggi badannya
mendesak masuk ke dalam dan ia memperkenalkan diri
dengan mengejek: “selamat pagi, kedatangan saya ini
mengganggu, bukan? Saya dari PID saya harus
menggeledah rumah.”12
Karena mendapatkan surat larangan mengajar, Sudarmo
mencoba menerbitkan majalah Penghidupan Rakyat di Yogja,
namun gagal diteruskan karena hanya mendapat sedikit uang dari
hasil penerbitan pertamanya. Kegagalan yang dialami Sudarmo
membuat Sulastri menjadi terombang-ambing antara keinginan
hatinya dan keadaan yang dihadapinya. Disatu sisi ia
mendambakan kehidupan yang layak dan di sisi lain keadaan
menuntutnya untuk terus setia membantu kesulitan suaminya. Pada
saat itu, surat yang dikirim Marti dari jakarta mengenai pekerjaan
pada pemerintahan membuat Sudarmo pergi ke Jakarta atas anjuran
Sulastri.
12
Ibid,hlm. 127
53
d. Tahap Klimaks
Kegagalan yang dialami Sudarmo di Yogjakarta, membuat
ia menerima tawaran dari iparnya Marti. Sudarmo tidak menyukai
pekerjaan itu, ia sempat menolaknya. Namun Sudarmo sadar akan
kewajibannya kepada istrinya. Mereka berdua terjebak dalam
keadaan ini, di mana Sudarmo sebagai klerk pemerintah kolonial
membenci pekerjaannya dan menuduh Sulastri sebagai
penyebabnya. Tak tahan dengan perlakuan ayahnya Sulastri yang
membedakan antara priyayi berjabatan tinggi dan guru yang miskin
membuat Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Bogor.
Di Bogor Sudarmo mendirikan sekolah untuk Sulastri,
bersama teman-temannya Muhammad, Sutrisno dan Jusuf. Namun
sekolah yang diberi nama Loka Siswa itu hanya mendapat sedikit
murid akhirnya sekolah itu tidak berjalan dengan baik. Sulastri dan
Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Bandung dan memulai
hidupnya kembali dengan membuat sebuah karangan yang ditulis
oleh Sulastri, namun karanganya itu telah di tolak oleh Balai
Pustaka.
“ Sudah nyata baginya sekarang bahwa naskahnya telah
dikembalikan. Harapan bahwa naskahnya itu akan
diterbitkan dan dengan demikian mempunyai bentuk yang
nyata pula, telah menjadi buah pikirannya dan mengekang
dirinya selama dua tahun ini. Sekarang harapan itu telah
hilang. Aku harus menangis. Kurasakan seperti dipukul.
Sekarang janganlah terumbang-ambing antara bahasa Sunda
dan bahasa Belanda. Mereka telah memberikan aku
perasaan berputus asa, bahwa aku telah bekerja dengan sia-
sia. Biar pun begitu, aku tak percaya, bahwa pekerjaanku
sejelek itu.”13
Kutipan di atas menceritakan kekecewaan Sulastri terhadap
naskahnya yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan dan telah
13
Ibid,hlm. 1
54
ditolak oleh Balai Pustaka. Sulastri menceritakan semua rasa
kecewanya pada suaminya (Sudarmo), bahwa ia mengingat
perjuangannya dalam menuliskan naskahnya itu, dengan
menggunakan uang terakhirnya untuk membeli peralatan yang
diperlukan untuk menulis, ketika hari sudah larut malam mereka
saling bergantian dalam menyalin naskah tersebut dengan rapi.
Namun, segala usaha yang telah mereka lakukan dalam penulisan
naskah tersebut, Sulastri harus merasakan kekecewaan yang
teramat dalam karena naskahnya telah ditolak.
“Sedih sekalikah kau, bahwa naskahmu telah
dikembalikan? Bukankah itu sudah wajar. Balai Pustaka
hanya membutuhkan bacaan untuk rakyat.” 14
e. Tahap Penyelesaian
Ketika Sulastri mengetahui bahwa tulisannya tidak dapat
diterbitkan. Ia berusaha untuk memulai menulis kembali karena ia
ingin menjadi salah satu perempuan Indonesia yang mampu
berjuang.
“Kau bergembira hati,” kata Sudarmo, “Ya. Berhentilah
menulis jika kau sedang bergembira.” “Lantas apa dong
yang harus aku bikin, kalau aku sedang girang, Dar? Kueh
untuk Rustini? Apalah PID dan pergerakan wanita akan
mengizinkannya, kalau aku sekarang membuat kueh untuk
Rustini?” 15
Sulastri dan Sudarmo kembali ke Bandung dalam
kekalahan setelah mengalami kemelaratan yang paling menyiksa
dan menemukan kebersamaannya kembali dengan Sudarmo,
Lastripun mendapatkan kepercayaannya dalam menulis dan
menulis lagi. Tanah Priangan, cinta pada kawan hidup dan
kreativitas yang menompangnya hingga kini.
14
Ibid,hlm. 4 15
Ibid, hlm. 292
55
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan orang yang berperan dalam cerita dan memiliki
karakter yang beragam, sehingga cerita menjadi lebih hidup dan
berwatna. Sedangkan penokohan adalah karakter yang digambarkan
oleh tokoh dalam cerita.
1) Sulastri
Tokoh Sulastri dalam novel Manusia Bebas merupakan
tokoh utama protagonis, yaitu tokoh yang memiliki intensitas
keterlibatan yang menonjol dalam setiap peristiwa pada novel.
Sulastri menikah dengan Sudarmo, seorang guru Sekolah
Kebangsaan dan aktivitas Partai Marhaen. Sebagai anggota partai
di zaman pergerakan mereka harus berhadapan dengan musuh-
musuh, baik musuh yang jelas maupun yang tidak jelas, belum lagi
persoalam kebutuhan hidup yang memerlukan perhatian khusus
karena mereka selalu mengalami kekurangan uang.
Keadaan seperti ini menumbuhkan sikap menerima keadaan
pada tokoh Sulastri. Ia memahami benar kedudukan suaminya,
baik sebagai anggota partai maupun sebagai Kepala Sekolah
Kebangsaan yang tidak mendapat subsidi dari pemerintahan.
Melihat kesulitan yang dialami suaminya, akhirnya Sulastri mau
bekerja sama membantu suaminya, seperti pada kutipan:
“Dar, aku berjanji akan menolongmu dalam segala-
galanya....”
“Dar, aku merasa gembira, kau membutuhkan aku.
Tenangkan hatimu, aku akan selalu berada di sampingmu,
biarpun musuh datang menyerang. Asalkan kau dengan
terus terang mengatakan semuanya kepadaku, ... Kita
berdua tak usah berbohong sastu sama lain. Sebab kalau
tidak begitu, kita tak usah saling menyintai.” 16
Dari kutipan di atas menggambarkan kecintaan Sulastri
pada suaminya yang menumbuhkan semangat untuk mengatasi
16
Ibid,hlm. 28
56
beban hidup yang berat dengan menghadapinya secara bersama-
sama. Setelah membantu suaminya di bidang pendidikan, ia
menjadi seorang yang selalu terombang-ambing antara keinginan
hatinya dan keadaan yang dihadapinya. Di satu pihak ia
memimpikan kehidupan yang layak, artinya tidak kekurangan
materi, hidup tentram tanpa diawasi pemerintah sehubungan
dengan aktivitas suaminya. Di lain pihak keadaan menuntutnya
terus setia pada janji yang pernah diucapkannya untuk selalu
membantu kesulitan suaminya.
“ Sulastri tak menjawab, ia tiba-tiba merasa berat
kepalanya, sehingga ia tak mempunyai pikiran lagi, hanya
dalam hatinya tiap kali ia merasakan ketukan yang berkata:
“Kita harus pergi memasuki kehidupan yang baru,
meninggalkan ini, kemana, tak kuperdulikan. Ia merasa lesu
sekali, seperti ia melihat dengan nyata, apakah artinya, pergi
kian kemari dengan tujuan yang tak dikenal.”17
Pada kutipan di atas menunjukan bahwa Suastri ingin keluar
dari kehidupannya yang tidak menentu. Konflik batin ini
menjadikan Sulastri seorang yang pasrah terhadap kenyataan hidup.
Seperti yang telah digambarkan pada bagian pertama saat novelnya
ditolak untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka. Selain itu, Sulastri
memiliki pemikiran yang maju untuk membantu Sudarmo dan
membela yang tertindas seperti tampak pada suratnya untuk Marti
(Kakaknya Sulastri), yang menjadikan Sulastri seorang yang giat di
lingkungannya, baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan
Perguruan Kebangsaan. Kutipan surat Sulastri kepada Marti:
“Marti,
Do‟akanlah aku dapat bekerja dengan penuh cita-cita. Kau
masih ingat bahwa pertalian persaudaraan antara kau dan
aku harus mengkekalkan kesetiaan kita akan sumpah kita
berdua; bekerja bagi mereka yang tertindas dan untuk
Indonesia, tanah air kita bersama,”18
17
Ibid,hlm. 216 18
Ibid,hlm. 18
57
Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya
membebaskan, menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat
bahu membahu dengan suaminya melakukan perjuangan nasional
dengan hak-hak dan tanggungjawab yang sama. Hal ini yang
digambarkan oleh Suwarsih pada tokoh Sulastri yang membantu
suaminya dalam menjalankan cita-cita nasional.
“Ia merasa gembira dalam pengorbanan ini dan ketandusan
keuangan yang mendesak seperti karunia Tuhan; sebagai suatu
kehormatan. Rasa kebahagiaan memenuhi hatinya jika ia
teringat, bahwa ia lakukan semua ini untuk tanah airnya, satu
perlambang, yang pada waktu itu mempunyai wajah Sudarmo
dan sekolah. Ia merasa berbahagia, oleh karena ia bekerja
dengan sungguh-sungguh dan mencintai Sudarmo.”19
2) Sudarmo
Tokoh Sudarmo dalam novel Manusia Bebas merupakan
tokoh utama protagonis seperti Sulastri. Sudarmo adalah seorang
aktivis partai Marhaen dan menjabat sebagai Kepala Sekolah
Kebangsaan. Akibat kegiatannya ini ia menjadi putus asa karena
memiliki musuh dan merasa tidak dihargai karena guru-guru di
sekolah tidak menginginnkannya menjadi kepala sekolah.
“Kadang-kadang aku ingin meninggalkan semua ini.
Banyak musuhku, kau tahu, aku seorang anggota Partai
Marhaen dan Perguruan Kebangsaan menginginkan orang
lain menjadi kepala sekolah.” 20
Karena kegiatannya inilah ia selalu diburu oleh pemerintah
Hindia Belanda, ia dipandang sebagai orang yang berbahaya bagi
keamanan pemerintah Belanda. Ia adalah orang yang gigih dan
berani untuk menyuarakan pendapatnya melalui koran yang ia
terbitkan.
“Apakah menurut saudara tak keterlaluan, bahwa saya
dapat menghasut anak-anak itu dengan koran saya itu.
Anak-anak kecil itu belum dapat membaca betul, sedangkan
19
Ibid, hlm. 46 20
Ibid,hlm. 27
58
anak-anak besar menggeletakkan koran itu begitu saja. Dan
juga tak ada hasutan di dalamnya. Bukankan wajar, jika
saya membandingkan sekolah gupernemen dengan sekolah
Perguruan Kebangsaan, juga wajar jika gupernemen dalam
urusan pendidikan patut dicela.” 21
Sudarmo memiliki sikap tolong-menolong dan peduli pada
kesukaran orang lain, seperti pada kutipan:
“Dalam hal ini kita tak usah hanya ingat kepada keperluan
diri sendiri. Kita masih muda. Bagaimanapun juga, kita
dapat memikul kehidupan ini. Akan tetapi kita akan merasa
bersalah, jika kita memandang ringan kewajiban untuk
mengurus keluarga. Kita harus mencoba meringankan
kesukaran orang lain.”22
Gambaran fisik memperkuat sikap dan tindakan Sudarmo
sebagai seorang aktivis ia memiliki kesulitan yang dialaminya dan
menampilkan sifat keras kepala, seperti pada kutipan:
“Parasnya kurus, berkerut, menampilkan sifat keras kepala
pada kekukuhan rahang pipinya, akan tetapi bibirnya lemah
dan alisnya hampir yak nampak.”23
Sebagai seorang aktivis Partai Marhaen, Sudarmo tidak
menyukai hal-hal yang bersifat mewah, baginya manusia harus
hidup sederhana sesuai dengan kenyataan yang ada di
sekelilingnya karena keadaan pada saat itu tidak mendukung untuk
memakai sesuatu yang mewah. Seperti pada kutipan saat Sudarmo
mengajak Sulastri untuk mengunjungi rumah Prawira:
“Terlalu bagus,” ia mengecam. “Kau harus belajar
berpakaian sederhana. Ini kunjungan biasa.”
“Biarlah,” Sulastri berkata, agak tersinggung oleh suaminya
yang bengis. “Aku senang berpakaian parlente. Aku tak
menganggu siapapun juga.”
“Tidak,” jawabanya. “Akan tetapi tak menurut perasaan
yang halus, jika kau datang dalam suasana melarat
21
Ibid,hlm. 107 22
Ibid,hlm. 35 23
Ibid,hlm. 7
59
memakai pakaian seindah itu. Jangan dipakai lagi baju itu.
Di sini terlalu bagus.”24
Sudarmo berpendapat bahwa kaum wanita tidak boleh
menyamai kedudukan laki-laki, seperti pada kutipan:
“... karena menurut adat istiadat dan kebudayaan seorang
perempuan lebih rendah kedudukannya dari pada seorang
lelaki, walaupun dia dalam teorinya mempunyai anggapan
modern tentang persamaan dan kemerdekaan kaum
wanita.”25
Namun dalam kemajuan intelektual bagi kaum wanita
Sudarmo justru menunjukkan dukungannya. Hal ini dapat kita lihat
pada kutipan:
“Pada keesokan harinya ia mengambil tiga buku tebal
tentang pendidikan dari dalam lemarinya dan meletakannya
di atas meja di hadapan Sulastri. Ia berkata dengan pendek:
“Kau bulan muka memberikan ceramah yang pertama
bersama dengan aku. Ini bacaanmu. Sebagai judul kau
mengambil: hukuman. Kau mulai sekarang juga. Aku
merasa bangga, jika isteriku memberikan contoh yang
baik.” 26
3) Marti
Marti merupakan tokoh protagonis. Marti adalah kakak
kandung Sulastri. Ia sangat peduli terhadap nasib adiknya, ia
selalu mencoba memberikan keberanian untuk memulai
kehidupan yang baru. Ia selalu bersikap sebagai pelindung
Sulastri, namun sikap seperti ini tidak terlalu disukainya karena
ia merasa harus selalu ditolong.
“Marti merasakan mempunyai kewajiban untuk
memperhatikan nasib Sulastri.”27
Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang aktif dalam
organisasi wanita. Ia pernah menjadi sekretaris Kongres
24
Ibid,hlm. 29 25
Ibid,hlm. 47 26
Ibid,hlm. 41 27
Ibid,hlm. 183
60
Perempuan Indonesia. keterlibatannya dalam organisasi
kewanitaan menunjukan niatnya untuk segera mengubah
pandangan masyarakat terhadap wanita pada masa itu.
Baginya, segala sesuatu yang dikerjakan kaum wanita harus
mengarah pada perbaikan status wanita di masyarakat.
Misalnya ia tak setuju dengan pandangan tentang poligami
yang dianut oleh rekannya, Saridah. Hal ini digambarkan pada
kutipan:
“Aku telah membuat Saridah bingung, si pro poligami itu.
Ia berkali-kali ngomong; “Ah, bagaimana ya ayat itu? Dulu
aku hafal sekali sekarang aku sudah lupa.”28
4) Lurni
Lurni merupakan tokoh protagonis. Lurni adalah adik
Sudarmo yang tinggal di Yogyakarta, ia memiliki sifat mudah
sekali marah dengan hal-hal kecil, berani bersikap kasar
terhadap orang lain, sangat sensitif terhadap sikap baik dan
buruk dari orang lain, namun ia bukan seorang pendendam.
“Lurni sebaliknya acapkali marah karena soal-soal kecil
saja; karena badanya kua, ia malahan berani bertindak kasar
terhadap orang lain, jika ia merasakan diperlakukan tidak
adil. Ia sukar melupakan satu penghinaam terhadap dirinya,
akan tetapi ia tak pernah dendam, hanya peka terhadap
sikap baik atau buruk dari orang lain kepadanya.”29
Ia mendukung sikap kakaknya dalam dunia pergerakan. Suami
Lurni yaitu Ribowo adalah seorang anggota Pengurus Besar
Perguruan Kebangsaam di Yogyakarta. Ketika Sulastri dan
Sudarmo harus pindah ke Yogyakarta, di tempat ini mereka
sama-sama mengajar di sekolah Kebangsaan. Kesamaan
aktivitas inilah yang menyatukan mereka. Sudarmo bangga
pada Lurni karena keaktifannya dibidang sosial.
28
Ibid,hlm. 197 29
Ibid,hlm. 159
61
5) Jamil
Jamil merupakan tokoh protagonis. Jamil merupakan
seorang guru di Perguruan Kebangsaan dan seorang anggota
dari partai Marhaen yang sangat aktif diluar sekolah.. Jamil
mempunyai kepala yang besar, menyerupai seekor beruang liar,
jika ia berbicara kepalanya agak dimiringkan. Segala
ucapannya dipertahankan dengan kepalan tangan atau dengan
mangangguk-anggukan kepalanya. Ia juga seorang yang
pesimis.
“Sudarmo harus tertawa akan muka Jamil yang masam itu,
karena Jamil adalah seorang pesimis.”30
Jamil sangat ahli soal tumbuh-tumbuhan dan kekhewanan,
karena telah duduk di kelas tiga Sekolah Kekhewanan. Ia
adalah orang yang pesimis, realis, tidak menyukai orang
pemalas, selalu merasa yang paling tahu segalanya.
“Jamil sendiri mempertahankan keahliannya dalam soal-
soal tumbuh-tumbuhan dan kekhewanan. Ia telah duduk di
kelas tiga Sekolah Kekhewanan. Sulastri merasa berkawan
dengan dia, biar pun ia selalu benci akan sikap jamil yang
yang merasa pintar sendiri itu.”31
6) Harjono
Harjono merupakan tokoh protagonis. Harjonomerupakan
kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia mengajar
pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis, ia
bersekolah di A.M.S bagian Sastra Barat dan telah duduk di
kelas tertinggi. Ia cukup baik dalam hal mengajar.
“... ia cukup baik dalam mengajar murid-muridnya. Ia
memberikan pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggeris,
dan Perancis. Ia bersekolah di A.M.S, bagian Sastra Barat,
Tri, dan ia telah duduk dalam kelas tertinggi di situ.”32
30
Ibid,hlm. 21 31
Ibid,hlm. 22 32
Ibid,hlm. 22
62
Selain itu Harjono memiliki sifat pemalu, selalu melamun
dan murung hatinya karena ia menganggap segala persoalan itu
berat, bahkan ia jarang sekali tertawa hal ini menunjukkan
keseriusannya dalam menanggapi sesuatu.
“... Ia datang, seorang pemuda dengan wajah kema lu-
maluan dan agak ngelamun pikirannya. Bahunya condong
ke muka dan sekitar mulutnya nampak tanda kemurungan
hati. Alisnya selalu berkerut.”
“Ia tak pernah tertawa” ujar Jamil “ Ia menganggap semua
persoalan berat....”33
Ia adalah orang yang baik dalam hal mengajar, namun saat
mengajar ia hanya fokus pada bukunya saja, tidak
menampilkan interaksi dengan murid. Harjono menyukai
kesenian.
7) Waluyo
Waluyo merupakan tokoh antagonis. Waluyo merupakan
kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia memiliki
senyum yang lebar, gaya acuh tak acuh dan sombong. Selain
itu, ia tidak memiliki pendirian yang kuat karena sering
terombang-ambing dalam pendiriannya, namun ia adalah
seorang propagandis yang ulung. Sulastri tidak menyukai
Waluyo karena ada sifat khianat padanya.
“..., tetapi ia malahan menghasut kawan dan lawan untuk
mengeluarkan Sudarmo dari pekerjaannya. Sebabnya,
karenaSudarmo pada suatu waktu mengecam kemalasan
Waluyo. Sudarmo mewajibkan Waluyo untuk ada di
sekolah dari jam 8 sampai setengah satu. Ia datang dan
pergi semaunya sendiri.” 34
Waluyo adalah seorang pegawai administrasi di Perguruan
Kebangsaan karena dilarang mengajar oleh gupernemen.
Seharusnya ia berterimakasih kepada Sudarmo karena
33
Ibid,hlm. 22 34
Ibid,hlm. 24
63
diperbolehkan bekerja di sekolah, akan tetapi ia malah
menghasut kawan-kawannya untuk mengeluarkan Sudarmo
dari pekerjaannya. Ia aktif sebagai anggota dari Partai
Marhaen. Sebagai anggota Partai Marhaen yang sama dengan
Sudarmo, membuat Waluyo menjadi semaunya sendiri dalam
melaksanakan tugasnya di sekolah dan tak tepat waktu.
“Waluyo tak ingin menurut aturan itu, ia datang dan pergi
semaunya sendiri. Sehingga orang harus mencari dia atau
menunggu datangnya untuk membayar uang sekolah. Ini
menambah kesurutan pembayaran uang sekolah.” 35
8) Prawira
Prawira merupakan tokoh protagonis. Prawira merupakan
kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia adalah seorang
guru pada Sekolah Kebangsaan. Kehidupannya sangat
sederhana dengan tujuh orang anak, tiga kemenakan dan
seorang paman tua. Gambaran fisik dan Prawira digambarkan
memiliki wajah sawo matang dan burik, ia adalah seorang
pekerja keras untuk keluarganya.
“Wajahnya Prawira sawo matang dan burik, senyumnya
selalu samar-samar. Prawira juga bekerja keras dan selalu
mempunyai utang untuk memberi makan keluarganya itu.
Dan ia takan pernah pergi dari sekolah Perguruan
Kebangsaan.”36
Hal ini menunjukan bahwa ia adalah seorang yang tidak
terbuka, namun dalam bekerja sebagai guru ia senantiasa
berusaha untuk disiplin, walaupun anak-anaknya selalu
membuatnya terlambat datang ke sekolah. Selain itu, ia adalah
orang yang pekerja keras dan bertanggung jawab untuk
menghidupi keluarganya.
35
Ibid,hlm. 24 36
Ibid,hlm. 31—32
64
9) Gularso
Gularso merupakan tokoh protagonis. Gularso adalah
teman iparnya Sudarmo, yang semula tinggal di Jawa Tengah.
Ia diminta datang oleh Sudarmo untuk menghadapi tindakan-
tindakan licik orang-orang Partai Kebangsaan. Sebagai seorang
yang berkecimpung dalam dunia politik Gularso diminta
membantu Sudarmo untuk menghadapi orang-orang licik dari
Partai Kebangsaan. Ia adalah salah satu propagandis PKI yang
sangat berkobar-kobar saat berpiato.
“Orang itu harus menghadapi fitnahan dari kiri-kanan, jadi
dia harus seorang yang mengerti cara-cara politik. Karena
inilah Sudarmo mengundang seorang kawan iparnya.
Gularso, begitulah nama kawan iparnya itu, telah dibuanh
karena ia salah satu propagandis PKI, yang sangat
berkobar-kobar pidatonya” 37
Setelah satu bulan mengajar dan mengurus administrasi,
penampilannya pun berubah terlihat menjadi lebih muda
dengan parasnya yang tadinya kurus menjadi lebih terisi,
rambutnya menjadi ikal berombak, matanya yang dulu cekung
dan lesu menjadi hitan mendalam dan bercahaya.
10) Pak Joyokuno
Pak Joyokuno merupakan tokoh protagonis. Ia adalah
seorang guru lulusan Hogere Kweekschool voor Inlandse
onderwijszers (HKS), yang dengan rajin mempelajari aliran
modern dalam pendidikan dari buku-buku pelajaran hoofdakte.
Ia belajar dengan sungguh-sungguh dengan penuh rasa
tanggung jawab. Ia memiliki keinginan untuk menguasai tiga
bahasa asing diusia yang sudah 35 tahun.
37
Ibid,hlm. 98
65
“Begitulah buku-bukunya penuh dengan garis-garis biru
dan merah, karena hampir semua kalimat ia anggap
penting”38
“Aku belajar rajin sekali. Akan tetapi dapatkah orang yang
sudah berumur tiga puluh lima tahun, dengan sekaligus
belajar tiga bahasa asing?”39
11) Idih
Idih merupakan tokoh antagonis. Ia adalah seorang pribumi
yang bekerja sebagai kandidat Inlands bestuurambtenar, yang
didetasir di PID. Ia dibertugas untuk menyita koran-koran yang
ada di sekolah Sudarmo karena ada perkataan yang
menyinggung pemerintah Belanda.
“Saya menyesal sekali, tetapi ini pekerjaan saya dan saya
harus menyalankan perintah atasan saya. Maafkan saya,
saudara?”40
Tokoh Idih muncul untuk mewakili pemerintahan Belanda
yang menyita surat kabar yang diterbitkan oleh orang-orang
pergerakan nasional seperti Sulastri dan Sudarmo.
12) Sutrisno
Sutrisno merupakan tokoh protagonis. Ia adalah teman
Sudarmo, ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Ia tak
bisa berbohong pada siapapun bahkan polisi sekalipun.
“Mereka telah mengangkat aku sebagai redaktur di atas
kertas tanpa ikut bekerja. Aku ini orang yang tak dapat
bohong juga tidak terhadap polisi.”41
Sudarmo dan Sutrisno merencanakan membuat sekolah di
Bogor, bersama sahabatnya yang lain yaitu Muhammad dan
Yusuf. Sutrisno memiliki sifat penolong, ia telah menolong
Muhammad yang tidak memiliki uang dan tinggal bersama
38
Ibid,hlm. 103 39
Ibid,hlm. 103 40
Ibid,hlm. 107 41
Ibid,hlm. 198
66
Sutrisno. Ia pun telah membantu Sudarmo dalam meringankan
kesusahannya, karena ia ingin mempertahankan cita-citanya.
13) Muhammad
Muhammad merupakan tokoh protagonis. Ia adalah seorang
mahasiswa dari Jakarta yang tidak memiliki cukup uang,
sehingga ia tinggal bersama Sutrisno. Gambaran fisik
Muhammad yaitu memiliki kepala kekar, mulut kuat, mata dan
alisnya hitam dan mengesankan seperti mata dan alis orang
Arab. Muhammad memiliki sifat setia dan pendiam
“Di belakangnya, lebar dan sederhana Muhammad, kepala
kekar, mulut kuat, mata dan alisnya hitam dan
mengesankan seperti mata dan alis seorang Arab.” 42
“Muhammad dengan kesetiannya dan sifatnya yang diam”43
Dalam menjalankan tugasnya di sekolah ia telah membuat
sebuah artikel untuk koran mereka.
14) Jusuf
Jusuf merupakan tokoh protagonis. Ia memiliki tubuh yang
tinggi, tampan dan wajah yang halus, ia adalah sahabat
Sudarmo dan Sutrisno. Wajahnya yang sawo matang dan halus
menggambarkan sikap yang ramah.
“Jusuf, tinngi perwatakannya, tampan dan dengan wajah
sehalus dan seempuk seekor kucing” 44
Dalam menjalankan sekolah yang diberi nama Loka Siswa,
Jusuf bekerja sebagai penjaga perpustakaan. Ia adalah orang
dipercaya Sutrisno untuk menjadi biliotekarisl.
42
Ibid,hlm. 210 43
Ibid,hlm. 273 44
Ibid,hlm. 218
67
4. Latar
a. Latar waktu
Peristiwa-peristiwa dalam novel Manusia Bebas berlatar
waktu sekitar tahun 1930-an.
“Dalam waktu 1933 Sulastri memasuki rumah kediaman
yang baru.”45
Pada masa itu cita-cita berbangsa dan bernegara yang
merdeka menjadi pembicaraan yang menarik terutama di kalangan
pemuda terpelajar, baik dalam obrolan sehari-hari maupun dalam
rapat-rapat organisasi yang kerap kali diadakan. Oleh karena itu
tokoh-tokohnya hampir semuanya adalah tokoh-tokoh pergerakan
yang aktif dalam berbagai kegiatan partai. Adanya partai Marhaen
yang dipimpin oleh Soekarno terjadi pada masa 1930-an.46
Selain
itu, adanya Balai Pustaka yang telah menolak novel Sulastri. Balai
Pustaka termasuk ke dalam periode sastra 1850—1933 yang
bermaksud untuk memerangi “bacaan liar” yang banyak beredar
pada awal abad ke-20.47
“Sedih sekalikah kau, bahwa naskahmu telah
dikembalikan? Bukankah itu sudah wajar. Balai Pustaka
hanya membutuhkan bacaan untuk rakyat.” 48
b. Latar tempat
Peristiwa-peristiwa dalam novel ini berlokasi di beberapa
kota besar, seperti Bandung, Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta.
Setiap tempat pada dasarnya menunjukkan domisili tokoh (sulastri
dan Sudarmo) dalam usahanya mempertahankan hidup dan cita-
citanya. Masa tinggal di kota-kota tersebut tidak dideskripsikan
secara jelas. Pada dasarnya mereka lebih lama tinggal di Bandung.
45
Ibid,hlm. 15 46
Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm.
155 47
Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 39. 48
Ibid,hlm. 4
68
Umumnya kepindahan mereka dari satu kota ke kota lain
disebabkan oleh larangan dari pemerintah untuk mendirikan
sekolah di kota tersebut.
Latar tempat juga memberi informasi kepada kita tentang
adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat.
1) Bandung
Kota Bandung merupakan kediaman pasangan Sulastri dan
Sudarmo yang baru saja menikah tahun 1933. Dimana ia harus
memikirkan kehidupan Sulastri yang baru dan harus
menyesuaikan diri. Dilihat dalam penggalan cerita pada novel
tersebut.
“Beberapa perabot rumah tangga seperti meja, kursi, dan
lemari, telah dikirimkan lebih dulu dari Purwakarta ke
Bandung. Inillah perabot rumah tangga dari kediamannya
seorang gadis. Untuk sementara tak ada kemungkinan
membeli yang baru. Tak terpikirkan pula olehnya.
Bagaimana kehidupannya nanti, ia tak tahu. Ada perasaan
yang samar-samar tentang penderitaan dan kekurangan
uang yang memberikan peringatan kepadanya, bahwa ia
harus secepat mungkin untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan yang baru.”49
Di kota Bandung inilah Sulastri dan Sudarmo memulai hidup
yang baru. Bandung merupakan awal karir Sulastri menjadi
seorang guru di sekolah untuk membantu seuaminya mencari
nafkah dan membantu membayar hutang-hutang.
“Dan pada suatu pagi hari yang cemerlang ia berdiri di
muka sebuah gedung loji di kota Bandung.”50
Perjuangan yang dilakukan Sudarmo dan Sulastri saat itu
serta merta dengan pengalaman kemelaratan, dimana sekolah
yang Sudarmo kelola sebagai direktur sekolah Perguruan
Kebangsaan mengalami kesulitan yaitu sekolah swasta tanpa
49
Ibid, hlm. 15 50
Ibid,hlm. 18
69
murid dan sasrana yang memadai, gaji guru-guru yang tidak
mencukupi, namun mereka menemukan persahabatan dalam
perjuangan bersama. Dalam kesulitan hidup solidaritas yang
dirobek-robek oleh saling iri dan curiga. Konteks politik
berlangsung dalam kerancuan yang dialami partai Marhaen
dan partai Kebangsaan hubungan yang retak menyebabkan
persaingan untuk mendirikan sekolah masing-masing.
Akhirnya terjadi fitnah-memfitnah antarguru, pemogokan
murid bahkan penurunan banyak murid. Penderitaan ini
ditanggung bersama dengan beberapa sahabat, Jamil, Gularso,
dan Supardi yang mengalami pengasingan. Selain itu, mereka
mengalami penyitaan surat kabar yang mereka terbitkan. Surat-
surat cinta terpaksa dijadikan api unggun, buku-buku disita
karena dianggap bukti-bukti yang memberatkan. Dan para
penghasut antara lain adalah guru-guru sekolah itu akhirnya
ditangkap. Setelah penggerebekan, penangkapan teman-teman,
keluarlah Onderwijsverbod, larangan untuk mengajar.
Sudarmo, Sulastri dan bayinya ditampung oleh kaka dan
iparnya, yang merupakan sesepuh Perguruan Kebangsaan,
dengan asrama yang lebih besar dan murid-murid yang
menginap di kota Jogya.
2) Yogyakarta
Yogyakarta merupakan kota singgah setelah Sulastri dan
Sudarmo telah pindah dari rumah lamanya di Bandung.
Mereka meninggalkan rumah itu karena Sudarmo
mendapatkan surat larangan mengajar dan akhirnya mereka
pindah ke Yogyakarta ke rumah iparnya yaitu Lurni dan
Ribowo.
“Sulastri akan pergi lebih dulu dengan bayinya, Sudarmo
akan ikut kemudian, karena masih banyak hal yang harus
diurus dulu. Beberapa hari kemudian Sudarmo
70
mengantarkan istri dan anaknya ke stasiun. Mereka akan
pergi ke Yogya.”51
Yogyakarta adalah tempat tinggal iparnya yang bernama
Lurni dan suaminya Ribowo. Dikota Yogya, kota andong,
panas dan berdebu tetapi sejuk dengan adat istiadat,
kebudayaan, dan keningratan.
“Waktu kereta api berhenti di stasiun Yogya, ia mencari-
cari orang di peron dengan matanya, melihat iparnya Lurni
dan Ribowo. Ia melambaikan tangannya kepada mereka,
dan sebentar kemudian ia dirangkul oleh dua tangan yang
amat ramah. Lurni menggending bayinya dengan hati-hati
....” 52
Lastri menemukan rasa hormat pada Lurni, iparnya dengan
kegiatan aktivitas pendidikan, tetapi ia tercekam rasa harga diri
dan khawatir hilang keyakinan. Ia membandingkan diri dengan
Windarti, teman lama yang hidup sebagai ibu rumah tangga
yang mengubur bakat intelektualnya. Tak lama kemudian
Sudarmo dan Sulastri pindah dari kediaman Lurni ke paviliyun
kecil. Di sana Sudarmo mencoba menerbitkan majalah
Penghidupan Rakyat, namun gagal diterusakankarena hanya
mendapatkan 17 gulden lima puluh sen dari hasil penerbitan
pertamanya. Pada saat itu, surat yang dikirim Marti dari jakarta
mengenai pekerjaan baru pada pemerintahan membuat
Sudarmo pergi ke Jakarta atas anjuran Sulastri yang segera
menyusul.
“Pada waktu ini Marti menulis surat kepada Sulastri, bahwa
di kantor suaminya ada tempat untuk seorang volunter.
Apakah Sudarmo mau? Ia dapat pergi ke Jakarta untuk
melihat-lihat dulu.”53
51
Ibid,hlm. 154 52
Ibid,hlm. 157 53
Ibid,hlm. 183
71
3) Jakarta
Kegagalan yang dialami Sudarmo di Yogjakarta, membuat
ia menerima tawaran dari iparnya Marti. Sudarmo tidak
menyukai pekerjaan itu, ia sempat menolaknya. Namun
Sudarmo sadar akan kewajibannya kepada istrinya. Sebelum
surat ketiga atau Sudarmo datang ke Yogya, Sulastri menulis
surat bahwa ia akan datang ke Jakarta.
“Sekarang Sulastri pergi dengan Rustini ke Jakarta dan
Sudarmo akan menjemput mereka, mungkin marah sekali,
mungkin juga dalam hatinya senang melihat mereka
kembali.”54
Mereka berdua terjebak dalam keadaan ini, di mana Sudarmo
sebagai klerk pemerintah kolonial membenci pekerjaannya dan
menuduh Sulastri sebagai penyebabnya. Tak tahan dengan
mendengar pertengkaran Marti dan suaminya dan perlakuan
ayahnya Sulastri yang membedakan antara priyayi berjabatan
tinggi dan guru yang miskin membuat Sudarmo memutuskan
untuk pindah ke Bogor.
4) Bogor
Di kota Bogor Sudarmo mendapat kesempatan untuk
membuat rencana mendirikan sebuah sekolah bagi Sulastri.
Rencananya itu selalu dicemooh oleh Marti dan Ayahnya yang
tidak menyetujui rencana Sudarmo. Namun hal tersebut tak
menghalangi tekad Sudarmo.
“Sudarmo membuat rancana untuk pindah ke Bogor untuk
mendirikan sekolah bagi Sulastri.” 55
“Sudarmo di Bogor telah mendapatkan sebuah rumah yang
murah dan besar dan mempersiapkan kepindahan mereka.”
20156
54
Ibid,hlm. 184 55
Ibid,hlm. 201 56
Ibid,hlm. 201
72
Namun mereka mendapatkan masalah baru, yaitu pekerjaan
iparnya yang terancam karena Sudarmo. Ia pun segera
meminta berhenti supaya tidak membahayakan jabatan
iparnya, dan sekolah yang sedang didirikan pun belum
berlangsung baik. Tetapi Sudarmo menemukan sahabat baru di
kota ini yaitu Muhammad dan Jusuf, sambil mendirikan
majalah Pendidikan Perekonomian Rakyat. Dunia mereka
adalah mengajar, mengelola majalah, mengurus perpustakaan
dan diskusi.
c. Latar Sosial
Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan
kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah
cerita. Latar sosial dalam novel Manusia Bebas yaitu masyarakat
pada tahun 1930-an tengah membangun bangsa dan persamaan
haknya. Tampilnya golongan terpelajar pada novel ini
menunjukkan semangat nasionalis di kalangan kaum muda.
Keterlibatan mereka dengan partai-partai pergerakan, misalnya
partai Marhaen dan Kebangsaan merupakan ciri masyarakat
Indonesia pada masa itu. Peranan Sulastri sebgai istri seorang
aktivis sangat menonjol dalam kegiatan sosial dan pendidikan. Hal
ini menunjukkan bahwa semangat kebangitan dan kemandirian
tengah terjadi di masyarakat.
Seperti halnya, tokoh Sulastri, Sudarmo dan kawan-
kawannya yang memiliki semangat nasionalisme dan pendidikan
menjadi bidang dalam perjuangannya. Selain itu, mereka aktif
dalam kegiatan Partai Marhaen seperti Sudarmo, Jamil, Harjono,
Waluyo dan Gularso.
Keadaan mereka pada saat itu serba kekurangan, misalnya
tokoh Prawira, seorang guru pada sekolah Kebangsaan yang hidup
dengan tujuh orang anak dan seorang istri. Keadaan sosial ekonomi
73
yang serba kekurangan seperti itu menjadi gambaran umum dalam
novel ini. Kehidupan Sulastri dan Sudarmo pun tidak jauh berbeda,
meskipun ia adalah seorang Kepala sekolah di sekolah tersebut.
Namun menurutnya yang terpenting adalah adanya kerja sama
sedangkan materi pada prinsipnya dapat dicari.
“Kekurangan uang dapat dipikul, Tri ... aku akan
menyaksikannya sendiri. Biarpun begitu, aku kerja keras
dan mencurahkannya seluruh tenagaku.” 57
Keyakinan yang seperti inilah membuat Sudarmo tetap bertahan
pada kegiatannya, meskipun ia seringkali mengalami kekurangan.
“Seringkali mereka mengalami berbulan-bulan kekurangan
uang untuk membeli makanan. Akan tetapi adakalanya
mereka mendapat sokongan yang agak lumayan. Ada lagi
kesusahan mereka ialah hutang karena pembelian buku-
buku sebanyak f. 200.” 58
Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana Sulastri dan
Sudarmo mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini
menggambarkan bagaimana situasi saat itu ikut mempengaruhi
cara hidup tokoh-tokohnya. Novel ini menggambarkan bahwa
aktivitas terjadinya pergerakan dalam masyarakat Indonesia pada
tahun 1930-an adalah di kalangan kaum pemuda terpelajar. Pada
umumnya mereka mengalami pendidikan di sekolah-sekolah
pemerintah.Selain itu, novel Manusia Bebas menggambarkan
mengenai adat-adat tradisional dengan membakar kemenyan.
“Begini Pak, bakarlah kemenyan tiap malam Jumat Kliwon,
kemudian gosoklah lidah Paman dengan ali-ali emas seperti
mereka kerjakan pada burung beo, tentu paman dapat suara
berat dari seorang Belanda mabok.”59
Adanya adat tradisional dalam novel ini, membuat pertentangan
antara Sulastri dan Sudarmo mengenai metode kuno dan modern.
57
Ibid,hlm. 28 58
Ibid,hlm. 17 59
Ibid,hlm. 104
74
“Ya, kita ini orang modern. Akan tetapi dalam hati kita, kita
masih menyediakan sedikit tempat untuk membakar
menyan pada saat-saat kehilangan harapan.” 60
“Dengan kedatangan Ibu Sulastri, mulailah pertentangan-
pertentangan antara metode kuno dan modern, ibu ingin
menutupi puser bayi dengan daun jarak.” Karena” ujar ibu,
“ daun jarak membuat perut bayi kempis, yang paling
penting untuk seorang anak perempuan”. Sudarmo tak tahan
melihat cara-cara kuno dengan daun-daun, rempah-rempah,
dan bunga melati, menggerutu.” 61
Selain itu, adanya pandangan orang sunda bahwa anak harus
menghormati kedua orang tuanya, bahwa antara orang sekaum-kerabat
harus tolong menolong bila mendapat kesusahan dan saling
memberikan maaf bila melakukan kesalahan, hal ini digambarkan
pada tokoh Marti yang selau ingin membantu adiknya Sulastri dan
tokoh Ibu yang selalu memafkan Bapak yang telah menikah lagi
dengan Ratna dan Ipah.
“Ibu cinta pada Bapak dengan kasih sayang yang memaafkan
semua perbuatanya, cintanya yang tak meminta apa-apa, malah
selalu merasakan kegembiraan telah berbaik budi kepada
dia.”62
Dapat disimpulkan bahwa novel ini latar waktu tahun 1930an.
Latar sosial yang dialami para tokoh pergerakan seperti Sulastri dan
Sudarmo yang berjuang mewujudkan cita-cita kebangsaan melalui
pendidikan, kesulitan yang harus dihadapi dan adat istiadat yang
masih melekat pada zaman itu. Serta latar tempat yang berpindah-
pindah menunjukkan situasi yang dialami oleh tokoh utama.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel adalah sudut
pandang orang ketiga, karena pengarang mengetahui dan
menceritakan segala hal yang terjadi pada tokoh baik berupa perasaan
60
Ibid,hlm. 61 61
Ibid,hlm. 140 62
Ibid,hlm. 148
75
atau pikiran. Dalam novel Manusia Bebas, pencerita menampilkan
tokoh-tokohnya dengan menggunakan nama orang, seperti Sulastri,
Sudarmo, Jamil, Harjono, Waluyo, Prawira, Lurni, Marti, dan
sebagainya. Seperti dalam kutipan berikut.
„Sulastri akan pergi lebih dulu dengan bayinya, Sudarmo akan
ikut kemudian, karena masih banyak hal yang harus diurus
dulu.‟ 63
Suwarsih menggunakan nama Sulastri dan Sudarmo pada tokoh
utamnya dalam novel Manuisa Bebas. Dibawah ini beberapa
pengisahan cerita novel Manusia Bebas yang menggunakan sudut
pandang orang ke tiga “dia” mahatahu.
“Dalam hatinya ia merasa tak enak juga seperti Sulastri, sebab
ia mengeluh, bahwa ia tak dapat duduk lagi di teras, oleh
karena Urip dengan seenaknya menerima tamunya di situ dan
menganggapnya seperti biasa saja, jika ia menyuguhkan rokok
Sudarmo kepada tamunya.” 64
Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga akan membuat
pembaca memahami keseluruhan konteks dari tema yang diangkat
dalam novel Manusia Bebas. Selain itu, penggunaan sudut pandang
orang ketiga juga memposisikan narator lebih objektif dibanding
tokoh di dalam cerita.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam novel Manusia Bebas yaitu menggunakan majas
hiperbola dan majas personifikasi, serta diselipkan beberapa bahasa
Sunda dan Belanda.
a. Majas personifikasi
Majas personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
63
Ibid,hlm. 154 64
Ibid,hlm. 45
76
Bagaikan bintang-bintang yang tersenyum dari kejauhan dapat
meringankan penderitaan batinnya. Ia mempunyai kesan, bahwa
mereka dalam ucapanya yang tak terdengar, mengatakan
padanya:”Kami mengetahui, bagaimana perasaanmu. Kau
merasa terpukul dan selalu ingin dipuji.65
Suwarsih mengumpamakan bintang-bintang yang tersenyum,
padahal bintang adalah benda mati, sedangkan tersenyum
merupakan kegiatan makhluk hidup seperti manusia. Pengertian di
sini adalah keadaan Sulastri yang merasa kecewa akan penolakan
atas novelnya. Kekecewaannya membuat Sulastri merasa bahwa
bintang-bintang dapat merasakan apa yang ia rasakan dan dapat
meringkankan kesedihanya, seperti meminta pertolongan untuk
membantunya keluar dari kesedihannya layaknya manusia.
b. Majas hiperbola
Majas hiperbola diartikan sebagai gaya bahasa yang berlebihan,
dengan membesar-besarkan sesuatu. Majas hiperbola yang
ditemukan dalam novel yaitu.
“Aku harus menangis, kurasakan seperti dipukul. Sekarang
janganlah terumbang-ambing antara bahasa Sunda dan bahasa
Belanda. Sudah nyata bagi mereka, yang kucintai, telah
menendang aku ke luar. Mereka telah memberikan aku perasaan
berputus asa, bahwa aku telah bekerja dengan sia-sia.”66
Kutipan di atas termasuk kedalam majas hiperbola karena terdapat
kalimat yang berlebihan yaitu saat menggambarkan perasaan
Sulastri yang merasa kecewa atas penolakan novelnya. Ia merasa
orang yang ia cintai telah menendangnya ke luar, dan apa yang
telah kerjakannya sia-sia.
Selain itu, terdapat bahasa Sunda, yaitu.
Ia menggambil mutu dari meja, memperhatikannya dengan
cermat dan memutuskan, bahwa mutu itu telah dipakai membuat
rujak.67
65
Ibid,hlm. 8 66
Ibid,hlm. 1 67
Ibid,hlm. 19
77
Kutipan di atas menceritakan saat Sudarmo mengajak Sulastri untuk
melihat-lihat rumah di Bandung. Kata mutu berasal dari bahasa Sunda
yang memiliki arti ulekan dalam bahasa Indonesia.
7. Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang
hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya.
Amanat dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito
yaitu bahwa niat baik tidak selamanya dianggap baik oleh orang lain,
terus berusaha untuk memperjuangkan hak rakyat dalam pendidikan
dan pantang menyerah, jangan mudah percaya kepada orang lain.
“Ia ingin menolong; orang mencacinya dengan sebaliknya. Ia
bermaksud memajukan sekolah; orang mengecam dia sebagi
seorang diktaktor, waktu dia mendesak empat orang guru yang
tak cakap dipindahkan dari sekolah itu ke sekolah dari cabang
Perguruan Kebangsaan di pedalaman.”68
“Lebih baik dibenci karena kebajikan daripada diuji-puji
karena keburukan.”69
B. Nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih
Djojopuspito
Bangsa Indonesia telah dijajah oleh bangsa Barat sejak abad XVI,
namun kesadaran nasional sebagai sebuah bangsa baru muncul pada abad
ke XX. Kesadaran itu muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang
dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Karena melalui pendidikanlah
muncul kelompok intelektual yang menjadi penggerak nasionalisme
Indonesia.70
Suwarsih sebagai seorang intelektual dan pengarang yang
menuliskan sebuah novel yang berjudul Manusia Bebas. Novel ini
menggambarkan peristiwa tahun 1933 dimana semangat bangsa Indonesia
68
Ibid, hlm. 37 69
Ibid, hlm. 81 70
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908—
1945, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 16
78
mulai membangkitkan perlawanan kepada bangsa Belanda. Perlawanan ini
digambarkan dengan adanya kaum intelektual yang setara dengan
intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Hal ini
menyebabkan tokoh intelektual mengalami kesulitan hidup yang sangat
berat, mereka harus hidup melarat dan selalu diawasi oleh aparat
pemerintahan Belanda.
Novel Manusia Bebas pada mulanya ditolak oleh Balai Pustaka,
penolakan ini menurut Ajip Rosidi karena cita-cita kesusastraan yang
dibawanya dianggap terlampau maju oleh penerbit sehingga khawatir tidak
dimengerti. Namun, menurut H.B. Jassin penolakan itu karena melukiskan
perjuangan kaum pergerakan nasionalis. Cita-cita kesusastraan Suwarsih
tidak begitu revolusioner untuk menjadi alasan penolakan.
“Tapi H.B. Jassin lebih tjoncong untuk mengatakan bahwa; buku
itu ditolak karena melukiskan perdjuangan kaum pergerakan
nasionalis.”71
Menurut Eddie Du Perron pada kata pengantar dalam novel
Manusia Bebas lebih bersifat pembelaan untuk kaum tertindas dari pada
pembelaan untuk kebagusan buku itu dari sudut kesusastraan. Sartono
melihat novel ini sebagai sumber “sejarah mentalitas” karena di dalam
novel ini melukiskan mentalitas sekelompok nasionalis di zaman
pergerakan nasional dalam keadaan yang sangat sulit. Politik kolonial yang
sangat konservatif dan represif harus mereka hadapi. Sementara itu mereka
harus hidup dalam keadaan depresi ekonomi 1930-an. Namun demikian
mereka tidak gentar memperjuangkan kemerdekaan, baik bagi diri sendiri
maupun bagi bangsa.72
Pada novelnya Suwarsih Djojopuspito mengatakan
bahwa ia mengajak pemuda pada zamannya untuk bertabah hati dengan
segala resiko yang dialami dalam perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan:
71
CH. Kiting, “Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito”, (Mimbar Indonesia,
XVII). No 5. 72
P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm. 349
79
“ Dengan demikian, maksud saya dulu itu, yaitu mengajak pemuda
seumuran saya supaya bertabah hati dalam perjuangannya
mencapai kemerdekaan Indonesia.”73
Nasionalisme memiliki ideal sebagai arah tujuan nasionalisme yang
diperjuangkan yaitu mewujudkan otonomi nasional, kesatuan nasional, dan
identitas nasional.
a. Otonomi Nasional
Otonomi nasional yaitu nasionalisme sebagai dasar perjuangan
menuju kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dengan
memiliki pemerintahan sendiri di atas tanah airnya, bebas dari tekanan
luar.
Menurut Toeti Heraty, novel Manusia Bebas atau Buiten het
Gareel yang berarti di luar jalur, khususnya di luar jalur perilaku.
Ditulis oleh seorang pribumi perempuan, dalam zaman kolonial
Belanda, artinya menjadi suatu gambaran perilaku perjuangan suami
istri bercorak patriotik dalam kebangkitan nasionalisme Indonesia
tahun 1930-an, dalam konteks kehadiran Ir. Soekarno di kota
Bandung. Selain itu, karena menyangkut seorang perempuan
bersuami, dalam perjuangan bersama suami dan dalam kegitan sehari-
hari sebagai guru sekolah swasta pribumi, kegiatan inipun terletak di
luar jalur kelaziman, sebagai kegiatan di sekolah “liar” dan sebagai
istri dengan kegiatan di luar rumah tangga.74
Suwarsih Djojopuspito menterjemahkan bukunya dengan judul
Manusia Bebas. Manusia bebas ialah manusia yang bebas dari
prasangka, bebas dari ketakutan, dari bentuk-bentuk dan tradisi-tradisi
yang mengikat, dalam usahanya untuk membebaskan pikiranya,
seringkali mengalami kegagalan, seringkali mendapatkan perlawanan
dari kawan-kawan sendiri dan ia sadar bahwa manusia sekalipun
berulangkali jatuh dan bangun, namun harus tetap berusaha untuk
73
Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. V 74
Ibid, hlm. XVI
80
dapat memikirkan pembangunan masa depan yang lebih baik bagi
bangsanya.75
Kebebasan yang digambarkan oleh Suwarsih yaitu dengan
anak-anak yang sedang bermain, menurutnya bahwa kebebasan bukan
kebebasan dengan bertindak sesuka hati dan tidak memperhatikan
apapun. Artinya kebebasan batin, dengan mendidik anak-anak dengan
baik namun tidak membuat jiwa anak-anak tertekan.
“Mereka mengira, bahwa „kebebasan‟ itu berarti „bertindak
semaunya sendiri dengan tidak mengindahkan apapun juga.
Walaupun artinya „kebebasan‟ itu mendidik anak-anak, akan
tetapi sedemikian rupa jangan sampai wataknya sendiri menjadi
tertekan.”76
Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya membebaskan,
menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat bahu membahu
dengan suaminya melakukan perjuangan nasional dengan hak-hak dan
tanggungjawab yang sama. Hubungan suami istri juga memainkan
peranan yang penting dalam novel Manusia Bebas yang digambarkan
dengan tokoh Sulastri (salah seorang dari kedua tokoh utama)
berusaha keras menjadi patner yang setaraf dengan suaminya
Sudarmo. Selain itu, Suwarsih menggambarkan tokoh-tokoh
perempuan modern dan berpendidikan, yang mampu membantu
suaminya untuk menjalankan tugas nasional, tanpa terkurung tradisi
bahwa seorang istri hanya menjalakan tugas rumah tangga saja, seperti
Sulastri, Lurni, Marti. Meraka adalah perempuan yang modern yang
sama-sama berjuang dan ikut dalam sebuah organisasi wanita. Tokoh
Sulastri digambarkan sebagai perempuan yang mampu memilih
pasangan hidupnya tanpa ada tradisi perjodohan, perempuan yang
mampu membantu suaminya dalam menjalankan tugas nasional
seperti ikut menjadi guru di sekolah Kebangsaan.
75
Gerard Termorshuizen, “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih
Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‟”, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37. 76
Suwarsih,Op.Cit, hlm. 44
81
Ia merasa gembira dalam pengorbanan ini dan ketandusan
keuangan yang mendesak seperti karunia Tuhan; sebagai suatu
kehormatan. Rasa kebahagiaan memenuhi hatinya jika ia
teringat, bahwa ia lakukan semua ini untuk tanah airnya, satu
perlambang, yang pada waktu itu mempunyai wajah Sudarmo
dan sekolah. Ia merasa berbahagia, oleh karena ia bekerja
dengan sungguh-sungguh dan mencintai Sudarmo.77
Menurutnya kesulitan ekonomi dan pengorbanan yang ia
lakukan sebagai suatu kehormatan untuk bangsanya. Ia sangat
mencintai suaminya dan memiliki tanggungjawab untuk berjuang
bersama suaminya untuk kepentingan bangsanya. Selain itu, adapula
perempuan yang lebih memilih menjadi ibu rumah tangga meskipun ia
berpendidikan, karena menurutnya mengurus anak lebih penting
dibandingkan harus memberikan kursus-kursus pada anggota-anggota
perkumpulan wanita.
Menurut Suwarsih kebebasan yaitu manusia yang bebas dari
prasangka, bebas dari ketakutan, dalam usahanya untuk membebaskan
pikiranya, seringkali mengalami kegagalan. Hal ini yang digambarkan
oleh Suwarsih dalam novelnya. Kebebasan ini digambarkan dengan
adanya tokoh Idih sebagai seorang pribumi yang bekerja sebagai
kandidat Inlands bestuurambtenar, yang didetasir di PID yang telah
menyita koran-koran yang diterbitkan oleh Sudarmo yang dianggap
dapat mengasut anak-anak. Penyitaan ini tidak membuat Sudarmo
merasa takut, karena menurutnya wajar untuk membandingkan
sekolah gupernemen dengan sekolah kebangsaan. Bahkan Ki Hajar
Dewantoro yang selama sepuluh tahun telah mendirikan sekolah yang
sama tidak memakai modal lain kecuali semangatnya dan
keinginannya untuk mengangkat derajat rakyat. Kebebasan yaitu
menjalankan tugas bagi bangsanya dalam bidang pendidikan tanpa
harus diawasi oleh pangreh praja. Meskipun untuk mendapatkan
kebebasan itu harus berhadapan dengan bangsanya sendiri.
77
Ibid, hlm. 46
82
“Sudarmo diperingatkan kepada tragik dari masyarakat kolonial,
dimana „sawo matang di lepaskan pada „sawo matang‟ untuk
mengabdikan pemerintah orang kulit putih.”78
b. Kesatuan Nasional
Kesatuan nasional atau persamaan kedudukan yaitu menyatukan
anggota bangsa secara sosial dan kultural yang berusaha
mengembalikan martabat yang telah dirusak oleh pihak eksternal
seperti yang dilakukkan oleh bangsa Belanda. Dengan adanya
Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa telah menyebabkan rakyat
Indonesia mati kelaparan di tanah airnya yang subur dan kaya raya.
Sebaliknya sistem tanam paksa ini telah memberikan keuntungan
kepada Belanda, rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera karena
cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, penciptanya yaitu Johannes
van den Bosch. Namun rakyat Indonesia sangat menderita dan banyak
yang mati kelaparan akibat pemerasan dan penindasan yang dilakukan
oleh kaum penjajah.
Rakyat Indonesia dengan sengaja dibiarkan hidup dalam
kebodohan oleh kaum penjajah. Rakyat Indonesia sangat terbelakang,
kedudukan ekonomi semakin merosot dan sangat lemah. Rakyat yang
bodoh dan terbelakang tidak akan mengerti dan tidak akan menyadari
kepincangan-kepincangan serta ketidakadilan yang berlaku di tanah
airnya, mudah diperintah dan dijajah, mudah ditindas dan diperas oleh
kaum bangsa asing yang sekolah, sehingga rakyat Indonesia tidak
dapat berbuat apa-apa ketika ditindas dan diperas dengan semena-
mena oleh kaum penjajah.79
Penderitaan dan kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat
Indonesia, digambarkan oleh Suwarsih dengan gaji guru yang rendah.
Prawira salah satu guru di Sekolah Kebangsaan harus menghidupi istri
dan tujuh orang anaknya dengan gaji yang minim. Kesulitan ekonomi
78
Ibid, hlm. 108 79
Sagimun M.D, Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Museum
dan Sejarah, 1988), hlm. 175—178
83
juga dialami oleh Sudarmo dan Sulastri yang harus berpindah-pindah
untuk mencari pekerjaan. Namun semangat Sudarmo untuk membuat
sekolah kaum pribumi tidak pernah padam dengan segala keterbatasan
ekonomi yang mereka alami, ia selalu berusaha untuk mewujudkan
cita-citanya bersama dengan teman-temannya yang memiliki cita-cita
yang sama. Kesulitan yang dialami Sudarmo dan teman-temanya
tidak membuat mereka menyerah, namun saling membantu satu sama
lain agar bisa membuat sekolah bagi pribumi. Hal ini menggambarkan
bahwa penderitaan yang mereka alami telah membuat mereka bersatu
semakin erat untuk tujuan nasional. Ketika Sudarmo mengetahui
bahwa penghasilan sekolah semakin surut Sudarmo berusaha untuk
memberikan semangat pada guru-guru kebangsaan.
Kesulitan ekonomi yang dialami Sudarmo dan Sulastri,
membuat Sudarmo mengkritik istrinya yang berpenampilan parlente,
karena menurutnya tidak pantas untuk berpenampilan seperti itu
dalam keadaan yang sulit seperti ini.
“Akan tetapi tak menurut perasaan yang halus jika kau datang
dalam suasana melarat memakai pakaian seindah itu. Jangan
dipakai lagi baju itu. Di sini terlalu bagus.”80
Selain itu, Ayah Sulastri yang selalu membandingkan antara
Kartanegoro dan Sudarmo dalam pekerjaan. Bahwa Kartanegoro
memiliki gaji yang tetap karena bekerja pada pemerintahan Belanda
sedangkan Sudarmo memiliki gaji yang rendah karena ia bekerja pada
pergerakan nasional dalam mendirikan sekolah. Hal ini, membuat
Sulastri merasa terombang ambing dalam keinginan hidup
berkecukupan, sehingga membuat Sudarmo berkerja sebagai Klerk
sama dengan iparnya Kartanegoro. Namun, Sudarmo tetap ingin
menjalankan tugasnya yaitu mendirikan sekolah, gaji yang didapatnya
digunakan sebagai modal untuk membuat sekolah di Bogor.
80
Suwarsih, Op.Cit, hlm. 29
84
Suwarsih dengan jelas menggambarkan bagaimana pengaruh
kemiskinan pada rakyat Indonesia, ia menjelaskan bagaimana murid-
murid sekolah Kebangsaan menggunakan pakaian yang sobek-sobek
dan menambalnya untuk sekolah. Selain itu, rakyat Indonesia tidak
memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengobatan yang layak, hal
ini digambarkan dengan tokoh Juhariah istri Sutrisno, yang akan
melahirkan ia lebih memilih melahirkan pada Mak Dukun dengan
kuku yang kotor dan kebersihan yang kurang, dibandingkan
melahirkan dengan bantuan bidan.
c. Identitas Nasional
Bahasa juga menjadi salah satu faktor adanya nasionalisme
karena bahasa menjadi ciri khas atau identitas masyarakat bumi putera
yang membedakannya dari masyarakat atau orang Belanda yang
menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya baik
dalam kepentingan resmi maupun pergaulan. Bahasa merupakan
bagian dari identitas nasional karena tertuang dalam sumpah pemuda
1928 yaitu sumpah pemuda yang ketiga yaitu bahasa persatuan,
bahasa Indonesia yaitu Indonesia memiliki keragaman bahasa dari
berbagai suku dan budaya. Untuk meningkatkan rasa persatuan dan
kesatuan, pemuda sepakat untuk menggunakan basa persatuan yaitu
bahasa Indonesia.
Dalam bidang pendidkan bahasa Indonesia tidak digunakan
sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, mereka lebih
memilih menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar
dalam memberikan pelajaran. Akibatnya masyarakat tidak peduli lagi
dengan pemakaian bahasa Indonesia dan mereka tidak pernah merasa
malu apabila mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
Apabila seseorang ingin disegani dan dihormati dalam kehidupan
sehari-hari maka ia harus menguasai bahasa Belanda dengan baik.
85
“Joyokuno senang menggunakan kata-kata asing, karena dengan
demikian ia dapat meninggikan derajatnya sebagai seorang
intelek terhadap orang-orang biasa.”81
Pemakaian bahasa Belanda dapat menentukan status
pemakainya, selain itu dengan menggunakan bahasa Belanda dengan
baik masyarakat Indonesia merasa lebih terpelajar dan lebih
terhormat. Akibatnya tidak banyak masyarakat Indonesia yang mau
mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia dengan serius, dan
mereka merasa cukup menguasai bahasa Indonesia hanya untuk
komunikasi umum saja. Seperti halnya tokoh Pak Joyokuno yang
sudah berusia 35 tahun yang ingin mengikuti ujian bahasa Belanda, ia
belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat lulus dalam ujian
tersebut. Pak Joyokuno senang menggunakan bahasa asing, karena
menurutnya dengan menggunakan bahasa asing akan mempu
meninggikan derajatnya sebagai seorang yang intelek terhadap orang
biasa.
Bahasa menjadi salah satu faktor tumbuhnya nasionalisme,
karena karangan yang ditulis dalam bahasa sendiri akan mudah
dipahami dan mampu menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa
Indonesia. Hal ini tergambar ketika kekecewaan Sulastri akan
karangannya yang ditolak.
“apakah tidak lebih baik kembali lagi ke bahasa sendiri. Pada
akhirnya bahasa Belanda itu tak lain tak bukan banya bahasa
asing saja dan apa lagi, semua buah pikiran Indonesia yang
ditulis dalam bahasa itu akan mempunyai arti untuk sementara
saja, sedangkan jika ditulis dalam bahasa sendiri, karangan itu
dapat hidup lebih lama.”82
Hal ini berbanding terbalik dengan tokoh Sulastri yang lebih
memilih menggunakan bahasa Indonesia, karena menurutnya suatu
pikiran yang ditulis dalam bahasa Indonesia akan memiliki arti yang
81
Ibid,hlm. 123 82
Ibid,hlm. 5
86
lebih lama dibanding dengan bahasa asing. Karena akan bermanfaat
untuk bangsanya sendiri, sedangkan bahasa asing hanya bahasa
pengantar dan digunakan untuk kepentingan sendiri, misalya sebagai
alat untuk meninggikan derajat seseorang.
C. Faktor Nasionalisme
Faktor nasionalisme terdiri dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal yaitu adanya politik etis bagi bangsa Indonesia terutama
dibidang pendidikan yang tujuannya untuk mengangkat harkat dan
martabat kaum pribumi dari kebodohan, ternyata ditujukan untuk
mencetak tenaga pada administrasi dan birokrasi Belanda, serta sebagai
buruh dalam perusahaan-perusahaan swasta. Walaupun dari sudut pandang
kolonial kebijakan pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan
pemerintah kolonial. Namun dari sudut kepentingan perjuangan bangsa
Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan elit baru. Elit baru inilah
yang menjadi pelopor pergerakan nasional.
Pelaksanaan politik etis secara tidak langsung telah mendorong
munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya
akibat penjajah. Seperti halnya Ki Hajar Dewantara yang berpendidikan
membuat Taman Siswa yang merupakan badan perjuangan yang berjiwa
nasional suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri
sebagai dasar perjuangannya.83
R.A Kartini yang berjuang khusus di
bidang pendidikan kaum perempuan, lahirnya Budi Utomo untuk
mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia melalui
pendidikan.
Pertama, Suwarsih adalah salah satu hasil dari para elit baru, ia
mendapatkan pendidikan di sekolah Kartini. Suwarsih tergolong dalam
„kaum proletariat intelektuil‟ yang tidak tertarik pada pekerjaan yang
bergaji bagus pada gupermen, namun ia lebih memilih untuk mendidik
83
Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Departemen dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989), hlm.
96
87
rakyat yang bodoh dan tidak berpendidikan.84
Ia menuangkan
pengalamannya dalam novel Manusia Bebas yaitu dengan adanya politik
etis, Suwarsih memunculkan tokoh Kartanegoro ia adalah seorang Sarjana
Hukum dan bekerja sebagai Klerk pada pemerintahan Belanda. Hal ini
didukung oleh Ayahnya Sulastri bahwa ia lebih menyukai Kartanegoro
yang memiliki perkerjaan dan gaji yang tetap sebagai klerk pada
pemerintahan Belanda dibandingkan Sudarmo yang bekerja sebagai guru
untuk kepentingan bangsanya sendiri.
Tokoh Idih adalah seorang pribumi yang bekerja sebagai kandidat
Inlands bestuurambtenar di PID. Ia dibertugas untuk menyita koran-koran
yang ada di sekolah Sudarmo karena ada perkataan yang
menyinggung.Tokoh Idih muncul untuk mewakili pemerintahan Belanda
yang menyita surat kabar yang diterbitkan oleh orang-orang pergerakan
nasional seperti Sulastri dan Sudarmo.
Selain itu, timbulnya kesadaran nasional dan harga diri sebagai
bangsa pada rakyat Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya
pendidikan dan pengajaran. Perluasan dan peningkatan pengajaran dan
pendidikan menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa indonesia
memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin sadar akan harga
dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi pendorong yang kuat untuk
melahirkan serta menumbuhkan nasionalisme indonesia. Hal ini,
digambarkan dengan tokoh-tokoh Sudarmo sebagai Sarjana Hukum dan
sebagai Kepala Sekolah di sekolah Kebangsaan, Jamil adalah seorang guru
di Perguruan Kebangsaan, ia sangat ahli soal tumbuh-tumbuhan dan
kekhewanan, karena ia telah duduk di kelas tiga Sekolah Kekhewanan.,
Harjono mengajar pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis,
ia bersekolah di A.M.S bagian Sastra Barat dan telah duduk di kelas
tertinggi, Waluyo, Prawira, Lurni, Ribowo, Sulastri, Yusuf, Muhammad,
84
Gerard Termorshuizen, “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih Djojopuspito
Pengarang Buiten het Gareel‟”, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37.
88
Marti, dll yang mendapatkan pendidikan akibat dari adanya politik etis.
Sehingga membuat para tokoh tersebut memiliki tanggungjawab untuk
mencerdaskan bangsanya sendiri. Tujuan mereka adalah untuk
mencerdaskan bangsa pribumi yang tidak memiliki kesempatan untuk
belajar di sekolah yang didirikan oleh pihak Belanda, karena keterbatasan
yang dilakukan oleh Belanda dalam mendapatkan pendidikan.
Kedua, rasa kebangsaan ini telah menjadi faktor yang kuat untuk
menggelorakan semangat nasionalisme dikalangan nasionalis. Dalam
novelnya, Suwarsih menumbuhkan semangat nasionalisme dengan
memunculkan tokoh Soekarno sebagai seorang pemimpin yang mampu
menumbuhkan semangat nasional pribumi dalam menjalankan tugasnya.
“Mereka yang meninggalkan pekerjaannya dan dengan demikian
mengorbankan upah, sehingga dapat menceburkan dirinya dalam
pengabdian kepada perguruan nasional atau kesibukan pergerakan
yang memeras keringat dan tenaga mereka, merekalah yang dicap
sebagai pendekar. Jiwa Sukarno menyalakan api dalam sanubari
kaum muda.”85
Hal ini menjelaskan bagaimana semangat yang diberikan oleh
Sukarno kepada kaum nasionalis dalam pengabdian untuk bangsanya,
mereka yang rela bekerja dengan upah minim dan rela meninggalkan
pekerjaannya pada pemerintahan Belanda untuk kepentingan bangsanya
sendiri.
Ketiga, mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam
menganggap Islam sebagai satu kesatuan yang bisa memupuk rasa
kebangsaan. Rasa kebangsaan itulah yang digunakan untuk mengobarkan
semangat nasionalisme melawan penindasan dari kekuasaan Belanda. Hal
ini terlihat pada percakapan antara Sutrisno dan Sudarmo bahwa untuk
menumbuhkan rasa kebangsaan kita harus memberikan semangat di desa
bukan hanya menebarkan semangat di kota saja. Hal ini yang
menyebabkan Sutrisno memutuskan untuk pergi ke desa untuk
85
Ibid, hlm. 16
89
menumbuhkan semangat kebangsaan. Namun, untuk menumbuhkan
semangat di Desa ia harus ikut mempelajari agama dan adat istiadat yang
mereka anut di desa.
“Jika kita ingin menawan hati mereka dan mendapat kepercayaan
mereka, maka kita harus mengalahkan ajengan-ajengan itu dengan
senjata mereka. Kita harus semngahyang dan berpuasa dan harus
mengenali adat istiadat mereka.”86
Kutipan di atas menjelaskan bahwa perjuangan untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme harus mengikuti dan mempelajari adat
istiadat serta agama yang ada di desa, agar dapat memperkokoh hubungan
antara desa dan kota dalam mewujudkan cita-cita bangsa.
Keempat, pengaruh sistem pendidikan dan pengajaran modern atau
barat banyak melahirkan dan menumbuhkan kaum terpelajar bangsa
Indonesia yang berkesimpulam bahwa bangsa Indonesia hanya dapat
mencapai kemajuan dan nasib yang lebih baik melalui jalur pendidikan
dan pengajaran. Dengan pengetahuan yang mereka peroleh, kaum
terpelajar atau kaum intelektuil bangsa Indonesia mulai mengandung cita-
cita dan pemikiran-pemikiran serta gagasan-gagasan untuk memajukan
serta meningkatkan taraf hidup bangsanya.
Dekat pintu di dinding muka selama itu telah digantungkan papan
yang lebar panjang, dimana tertulis dengan huruf merah tua dan
artistik;
REDAKSI DAN ADMINISTRASI PENGHIDUPAN RAKYAT87
Pertumbuhan dan perluasan nasionalisme Indonesia telah dibantu
oleh teknik-teknik penyebaran gagasan yang dilakukan oleh surat kabar
bumi putera dan radio. Hal ini dilakukan oleh Suwarsih dengan perjuangan
Sudarmo dan kawan-kawannya menerbitkan sebuah koran dan disebarkan
di sekolah, namun kora yang dibuat oleh Sudarmo disita oleh serdadu
Belanda, karena dianggap telah menyinggung pemerintah. Penyitaan ini
86
Ibid, hlm. 212 87
Ibid, hlm. 182
90
tak membuat semangat Sudarmo terhenti, ia lalu pindah ke Yogja dan
menerbitkan Majalah Penghidupan Rakyat.
Selain faktor-faktor dari dalam faktor-faktor dari luar juga
berpengaruh atas kelahiran nasionalisme Indonesia. Namun dalam
penelitian ini hanya faktor internal yang terdapat dalam novel Manusia
Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Karena pada novel lebih
menggambarkan mengenai perjuangan pergerakan dibidang pendidikan,
adanya kesadaran nasional dan harga diri sebagai bangsa pada rakyat
Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya pendidikan dan
pengajaran. Perluasan ini menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa
indonesia memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin sadar akan
harga dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi pendorong yang kuat
untuk melahirkan serta menumbuhkan nasionalisme indonesia.
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito dapat
diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Pembelajaran
sastra di sekolah ada dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. sedangkan
untuk materi novel sesuai dengan silabus Kurikulum 2013, diajarkan di
tingkat SMA kela XI (sebelas) semester genap (dua). Hasil analisis ini
dapat dimanfaatkan dalam rangka mengembangkan keterampilan
berbahasa dan sastra seperti yang terdapat di RPP, dengan kompetensi
dasar yang menekankan pada aspek menganalisis teks cerita fiksi dalam
novel baik lisan maupun tulisan dengan cara menentukkan sifat tokoh dan
cara penggambarannya dengan alasan yang meyakinkan. Siswa diharapkan
mampu menganalisis kedudukan dan sifat tokoh serta mampu
menginterpretasi makna yang terkandung di dalam novel.
91
Kaitan sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran
kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam
berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek
kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dengan demikian sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya,
memperluas wawasan hidup, pengetahuan-pengetahuan lain, serta
mengembangkan kepribadian. Dalam hal pengajaran sastra khususnya
novel dapat meningkatkan kemampuan membaca peserta didik. Dalam
novel sastra, peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan
wawasannya melalui kegiatan membaca, karena sastra membahas
permasalahan kemanusiaan serta kehidupan.
Pembelajaran sastra mengenai analisis novel dapat diterapkan oleh
guru untuk membangun kreativitas siswa dalam mengapresiasi karya
sastra. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pembelajaran sastra
adalah cukup mudahnya karya sastra tersebut dipahami siswa sesuai
dengan tingkat kemampuannya masing-masing. Namun karena tingkat
kemampuan setiap individu berbeda, maka guru dituntut menggunakan
strategi kerja kelompok dengan baik.
Penggunaan novel Manusia Bebas sebagai bahan pembelajaran
menarik siswa untuk mengetahui keadaan sejarah pada masa sebelum
kemerdekaan. Siswa akan lebih menarik untuk mengembangkan daya
imajinasinya dengan bahan pembelajaran karya sastra bernuansa sejarah
yang belum diketahui sebelumnya. Penggunaan bahasa yang disertai
campuran bahasa Sunda akan memperkaya kosakata siswa. Novel
Manusia Bebas menceritakan mengenai semangat nasionalisme pada masa
pergerakan melawan penjajahan Belanda dengan cara menghadirkan
intelektual yang setara dengan intelektual Belanda untuk mendirikan
sekolah partikelir nasional. Hal ini tentunya akan memberikan nilai-nilai
positif bagi siswa untuk mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
92
Saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, siswa diharapkan
telah membaca novel Manusia Bebas. Dalam pertemuan pertama dengan
indikator mampu menentukkan unsur intrinsik novel meliputi tema, alur,
tokoh, latar, dan sudut pandang. Pada pertemuan kedua dengan indikator
mampu menginterpretasikan makna yang terkandung pada teks novel, guru
mulai pembelajaran dengan meminta siswa untuk menyampaikan
pendapatnya mengenai nilai nasionalisme yang terdapat di dalam novel.
Hal ini bertujuan untuk memastikan siswa telah siap memasuki
pembelajaran. Guru dapat melengkapi pengetahuan siswa dengan
memberikan informasi mengenai nilai nasionalisme.
Terdapat keterkaitan antara sastra dengan sejarah, seperti dalam
novel Manusia Bebas erat kaitannya dengan sejarah bangsa Indonesia, hal
ini tentunya erat kaitannya dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam hal
ini guru bahasa Indonesia harus melakukan sharing atau bertukar pendapat
dengan guru sejarah, agar tidak terjadi kerancuan atau perbedaan mengenai
pengetahuan sejarah yang diajarkan oleh siswa, sehingga siswa tidak
kebingungan.
Melalui pembelajaran dengan kurikulum 2013 yang berbasis
kompetensi sekaligus berkarakter yang menggunakan pendekatan tematik
dan kontekstual, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji, dan
meninternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak
sehingga terwujud dalam prilaku sehari-hari. Selain itu, siswa diharapkan
dapat mengamalkan nilai nasionalisme, semangat kebangsaan, cinta tanah
air dan tanggung jawab.
93
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian yang dilakukan oleh penulis, mengenai nasionalisme dalam
novel Manusia Bebas dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan
sastra di SMA, maka dapat disimpulkan.
1. Novel Manusia Bebas menggambarkan adanya nasionalisme yang
digunakan untuk menggerakkan bangsa Indonesia bangkit dari
penindasan penjajah Belanda. Novel ini menjadi sejarah bangsa
Indonesia. karena dalam novel yang berlatar tahun 1930-an di mana
masa pergerakan dan semangat kebangsaan mulai membakar jiwa
rakyat Indonesia. Semangat nasionalisme diperlihatkan pengarang
novel ini dengan cara menghadirkan intelektual yang setara dengan
intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional.
Akibatnya, intelektual yang berusaha mencerdaskan kehidupan
bangsanya harus berhadapan dengan politik kolonial yang
menganggap sekolah partikelir sebagai “sekolah liar” sehingga rakyat
menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan
tetapi, pendiri dan guru-gurunya tidak takut meski harus ditangkap,
hidup serba melarat, dan selalu diawasi oleh pejabat Hindia Belanda
dan dimusuhi oleh kawan seperjuangan atau keluarga. Namun segala
beban hidup tersebut, mereka hadapi dengan “gagah”. Satu tekad
mereka ialah mereka lebih senang bekerja untuk bangsanya sendiri
walaupun harus menderita karenanya. Nasionalisme memiliki ideal
fundamental sebagai arah tujuan nasionalisme yang diperjuangkan
yaitu mewujudkan otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas
nasional, serta adanya faktor internal yang membangkitkan
nasionalisme.
2. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca dan memahami
94
karya sastra. Dalam pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus
dicapai siswa ialah menganalisis teks novel dengan menjelaskan unsur-
unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel. Tujuan dari pengajaran
novel tersebut adalah agar siswa mampu mengapresiasi novel yang
memiliki nilai-nilai nasionalisme dengan menggali hubungan antara
karya sastra dengan keadaan sosial yang ada di masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, novel Manusia Bebas sebagai karya sastra
yang menjadi dokumen sejarah perjuangan nasionalisme dapat
dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Selain itu, siswa
diharapkan dapat mengamalkan nilai nasionalisme, semangat
kebangsaan, cinta tanah air dan tanggung jawab.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran
sastra, maka penulis menyarankan.
1. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam
pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang karya
sastra novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan
referensi dalam penelitian lebih lanjut mengenai nasionalisme.
3. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih
memahami struktur yang membangun novel Manusia Bebas.
Khususnya keterkaitan antara unsur-unsur cerita seperti tema,
tokoh, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang. Kemudian
membantu pembaca untuk memahami nasionalisme yang
ditampilkan dalam novel. Selain itu, pembahasan novel Manusia
Bebas ini sebagai bahan acuan dalam pembelajaran sastra di
sekolah, seperti memberikan pemahaman terhadap siswa dalam
mempelajari pokok bahasan menentukan dan menganalisis unsur-
unsur instrinsik dan ekstrinsik novel.
95
DAFTAR PUSTAKA
A.N., Firdaus. Syarikat Islam bukan Budi Utomo. Jakarta: CV. Datayasa .1997.
Aziez, Furqonul dan Abdul Hamid, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar.
Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk
Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera. 2003.
Dahm, Bernhard. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES. 1987.
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1979.
Dewan Redaksi. “Ensiklopedia Sastra Indonesia”. Bandung: Titisan Ilmu. 2004.
Djojopuspito, Suwarsih. Manusia Bebas. Cet. Ke 2. Jakarta: Djambatan. 2000.
Djojosuroto, Kinaryanti. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta:
Pustaka. 2006.
Endraswara, Suwarsih. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
CAPS. 2011.
Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
Kiting, CH. “Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito”. Mimbar Indonesia,
XVII. No 5
Kosasih,E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012.
Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2012.
Leirissa, R. Z. Dkk. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda. Jakarta:
Depdikbud.1989.
Ling, Tan Swie. Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia. Depok:
LKSI (Lembaga Kajian Sinergi Indonesia. 2014.
M.D, Sagimun. Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta: Dinas
Museum dan Sejarah. 1988.
Matthew, Milles dan Huberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. 1992.
96
Miert,Hans Van. Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan
Pemuda di Indonesia 1918-1930. Penerjemah: Sudewo Sutiman. Jakarta:
Hasta Mitra. 2003.
Mihardja, Ratih. Buku Pintar: Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara. 2012.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2011.
Mustopo. M. Habib. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2010.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2013.
Oeroek S.H, M. Hoeta. Seluk Beluk Nrgara: suatu pengantar sederhana.
Djakarta: Erlangga.1971.
Purba, Antilan. Esai Sastra Indonesia. Yogyajarta: Graha Ilmu. 2008.
Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi. 3. Jakarta: Balai
Pustaka. 2007.
Pusat Dokumen Sastra H.B. Jassin, Biodata Sastrawan.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: penerbit KANISIUS.
1996.
Ratna, Nyoman Khuta. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. 2007.
Rustapa, Anita K., Agus Sri Danardana, dan Bambang Trisman, Antologi Biografi
Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950. Jakarta: Depertemen Pendidikan
dan Kebudayaan. 1977.
Sayuti, Suminto A. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Dep. Pendidikan dan
Kebudayaan. 1996.
Semi,M. Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 2012.
Serba Serbi Negeri Belanda. No. 11, 27 Februari 1968. Pusat Dokumen Sastra.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
97
Smith, Anthony D. Nasionalisme: Teori Ideologi dan Sejarah, Terjemahan dari
Nasionalism: Teori, Ideologi, History, ter. Frans Kowa. Jakarta: Erlangga,
2003.
Soeratman, Darsiti. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan
Dokumentasi Sejarah Nasional. 1989.
Staton, Robert . Teori Fiksi. terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad.
Yogyakarta: Pustaka Pealajar. 2007.
Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988.
Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: dari Budi Utomo sampai
Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994.
Suprapto. Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra. Surabaya: Indah. 1993.
Swantoro, P. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia. 2002.
Tarigan, Henry Guntur . Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1984.
Termorshuizen, Gerard. “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih
Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‟”. no 32 tahun 1978.
Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari
Kebangkitan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press. 1995.
Widjodjoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
UPI PRESS. 2006.
Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
1999.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan : SMA
Kelas / Semester : XI/2
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Alokasi waktu : 2 x 45 menit (1x pertemuan)
A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan
mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan
mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif
dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan
memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta
mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi
sastra Indonesia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan
sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni (ipteks).
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah
abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia
secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah
keilmuan terkait.
B. Kompetensi Dasar
3.1 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,
menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks
cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam
novel.
3.2 Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab
dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan
cerita novel dengan cara menentukan kedudukan tokoh-tokoh.
3.3 Memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun
tulisan.
3.4 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.
C. Indikator
1. Menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan konteks
untuk mempersatukan bangsa.
2. Memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam
mengunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel, baik
melalui lisan maupun tulisan dengan kreatif.
3. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun
tulisan.
4. Menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan maupun
tulisan dengan tepat.
D. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran berlangsung diharapkan peserta didik mampu
:
1. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,
menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks
dalam novel.
2. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab
dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan
cerita fiksi dalam novel.
3. Siswa mampu menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara
lisan maupun tulisan. 3
4. Siswa mampu menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan
maupun tulisan dengan tepat.
E. Materi Pelajaran
1. Penjelasan mengenai struktur novel (unsur intrinsik)
a. Tema
b. Tokoh dan penokohan
c. Alur
d. Latar (tempat, waktu, dan sosial)
e. Sudut pandang
f. Gaya bahasa
2. Menganalisis teks novel
a. Membaca teks novel
b. Menjelaskan tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut
pandang, dan gaya bahasa dengan menyertakan kutipannya.
c. Menulis hasil analisis teks novel
d. Menyampaikan hasil analisis teks novel secara lisan
F. Metode Pembelajaran
1) Diskusi.
2) Inkuiri.
3) Ceramah.
4) Penugasan.
G. Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan I
KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI
WAKTU
Kegiatan Awal 1. Guru mempersilahkan salah satu dari
peserta didik untuk memimpin doa
bersama
2. Guru mengkondisikan dan momotivasi
peserta didik dengan memberikan
informasi tentang keterkaitan
pembelajaran sebelumnya dengan
pembelajaran yang akan dilaksanakan.
3. Guru mengajak peserta didik bertanya
jawab untuk menggali pengetahuan awal
mengenai novel “Anak-anak, bagaimana
novel yang telah kalian baca? Apakah ada
tokoh yang kalian kagumi? Pada
pembelajaran kali ini kita akan belajar
tentang unsur intrinsik atau unsur yang
membangun novel”.
4. Siswa menerima informasi kompetensi,
materi, tujuan, dan langkah pembelajaran
yang akan dilakasanakan.
5. Guru membagi siswa kedalam beberapa
15 menit
kelompok
Kegiatan
Inti
Mengamati :
1. Membaca teks tentang struktur dan kaidah
teks novel.
2. Mencermati uraian yang berkaitan dengan
struktur dan kaidah teks novel.
Mempertanyakan :
1. Bertanya jawab tentang hal-hal yang
berhubungan dengan unsur intrinsik dan
nilai nasionalisme dalam novel.
Mengeksplorasi :
1. Menentukkan unsur intrinsik dalam yang
terdapat pada novel Manusia Bebas
Mengasosiasikan :
1. Mendiskusikan tentang unsur intrinsik
pada novel
2. Menyimpulkan hal-hal terpenting dalam
menentukkan unsur intrinsik novel.
Mengomunikasikan :
1. Menuliskan laporan kerja kelompok
tentang unsur intrinsik pada novel.
2. Siswa secara bergiliran menyampaikan
laporan mengenai unsur intrinsik pada
novel Manusia Bebas dan siswa lain
memberi tanggapan.
60
menit
Penutup 1. Siswa diminta mengungkapkan
pengalamannya dalam mengidentifikasi
unsur intrinsik pada novel
2. Siswa bersama guru menyimpulkan hasil
pembelajaran.
15 menit
3. Guru menjelaskan tugas pertemuan
berikutnya secara kelompok, menentukan
nilai nasionalisme yang terdapat dalam
novel.
Pertemuan II
KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN
ALOKASI
WAKTU
Kegiatan Awal 1. Guru mempersilahkan salah satu dari
peserta didik untuk memimpin doa
bersama
2. Mengkondisikan dan momotivasi peserta
didik bahwa mengerti unsur intrinsik
penting guna pemahaman novel
keseluruhan.
3. Mengajak peserta didik bertanya jawab
untuk menggali pengetahuan pelajaran
pertemuan sebelumnya.“Anak-anak,
bagaimana tugas mengenai nilai
nasionalismenya? Pada pembelajaran kali
ini kita akan belajar tentang menerangkan
nilai nasionalisme yang terdapat dalam
novel Manusia Bebas
15 Menit
Kegiatan Inti Mengamati :
1. Mencermati uraian yang berkaitan dengan
nilai nasionalisme
Mempertanyakan :
1. Bertanya jawab mengenai hal yang
60 menit
berhubungan dengan nilai nasionalisme
yang siswa ketahui
Mengeksplorasi :
1. Siswa menentukkan dan menampilkan
nilai nasionalisme yang terdapat dalam
novel Manusia Bebas
Mengasosiasi :
1. Peserta didik mendiskusikan dan
menghubungkan nilai nasionalisme dalam
novel Manusia Bebas dengan kehidupan
sehari-hari
Mengomunikasikan :
1. Siswa secara bergiliran menyampaikan
laporan mengenai nilai nasionalisme pada
novel Manusia Bebas dan siswa lain
memberikan tanggapan.
Kegiatan Akhir 1. Guru memberikan penilaian
2. Peserta didik diminta mengungkapkan
pengalamannya dalam mengidentifikasi
nilai nasionalisme yang terdapat dalam
novel Manusia Bebas
3. Guru bersama peserta didik
menyimpulkan materi pembelajaran
mengidentifikasi nilai nasionalisme yang
terdapat dalam novel Manusia Bebas
4. Guru menjelaskan tugas pertemuan
berikutnya secara individu, menulis poster
di kertas A4 dengan tema nasionalisme
15 meni
t
H. Sumber/ Media Pembelajaran
1. Buku Teks Bahasa Indonesia SMA Kelas XI
2. Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito
3. Buku referensi lain yang menunjang materi struktur novel
I. Penilaian Proses dan Hasil Belajar
Indikator Pencapaian
Kompetensi Teknik Penilaian Bentuk Instrumen
1. Menggunakan bahasa
Indonesia sesuai dengan
kaidah dan konteks untuk
mempersatukan bangsa.
Penilaian
Observasi
Lembar penilaian
sikap
2. Memiliki sikap tanggung
jawab, peduli, responsif, dan
santun dalam mengunakan
bahasa Indonesia untuk
menganalisis teks novel, baik
melalui lisan maupun tulisan
dengan kreatif
3. Menganalisis struktur dan
kaidah teks novel baik secara
lisan maupun tulisan.
Penilaian
Observasi kinerja
penulisan laporan
1. Tes Tertulis
2. Rubrik
penilaian
kinerja
4. Menyusun hasil analisis
struktur novel baik secara
lisan maupun tulisan dengan
tepat.
Latihan
menyusun hasil
analisis
1. Lembaran
tugas latihan
2. Rubrik novel
penilaian
latihan
J. Pedoman Penskoran
1. Jelaskan tema dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan 4
Kurang tepat dan disertai kutipan 3
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2
2. Jelaskan Tokoh dan Penokohonan dalam teks novel dengan
menyertakan kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan 4
Kurang tepat dan disertai kutipan 3
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2
3. Jelaskan bagaimana alur dalam teks novel dengan menyertakan
kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan 4
Kurang tepat dan disertai kutipan 3
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2
4. Jelaskan latar dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan 4
Kurang tepat dan disertai kutipan 3
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2
5. Jelaskan sudut pandang dalam teks novel dengan menyertakan
kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan 4
Kurang tepat dan disertai kutipan 3
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2
6. Jelaskan bagaimana gaya bahasa dalam teks novel dengan
menyertakan kutipannya!
No Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan 4
Kurang tepat dan disertai kutipan 3
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2
7. Jelaskan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat dalam novel
No Nama Kelompok Aspek Skor
Tepat dan disertai kutipan 5
Tepat dan tidak disertai kutipan 4
Kurang tepat dan disertai kutipan 3
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2
Perhitungan akhir:
Nilai
Akhir :
Perolehan Skor X Skor Ideal
(100) =
Skor Maksimum
Jakarta, 13 Juni 2017
Mengetahui:
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia
(.....................................) (Syarifah Aliya)
NIP. 1112013000013
Lembar pengamatan I
LEMBAR PENGAMATAN SIKAP
Mata Pelajaran :
Kelas/Semester :
Tahun Ajaran :
Waktu Pengamatan :
Bubuhkan tanda v pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.
No Nama Siawa Penggunaan
Diksi
Keefektifan
Kalimat
Kesesuaian
Konteks
1 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2
3
4
Keterangan:
1 = kurang
2 = sedang
3 = baik
4 = sangat baik
Lembar pengamatan II
LEMBAR PENGAMATAN PERKEMBANGAN
AKHLAK DAN KEPRIBADIAN
Mata Pelajaran :
Kelas/Semester :
Tahun Ajaran :
Waktu Pengamatan :
Karakter yang diintegrasikan dan dikembangkan adalah kerja keras dan tanggung
jawab
Indikator perkembangan karakter kreatif, komunikatif, dan kerja keras
1. BT (Belum Tampak) jika sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-
sungguh dalam menyelesaikan tugas
2. MT (Mulai Tampak) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas tetapi masih sedikit dan belum konsisten.
3. MB (Mulai Berkembang) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh
dalam menyelesaikan tugasyang cukup sering dan mulai konsisten.
4. MK (Membudaya) jika menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh
dalam menyelesaikan tugas terus-menerus dan konsisten.
Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom hasil pengamatan.
No Nama Siawa Kreatif Komunikatif Kerja Keras
1 BT MT MB MK BT MT MB MK BT MT MB MK
2
3
4
MATERI PEMBELAJARAN
A. Pengertian Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya
sastra itu sendiri dan dapat dikatakan unsur yang ada di dalam karya tersebut.
Unsur intrinsik dalam novel terdiri dari tema, alur, tokoh, latar, sudut
pandang, dan gaya bahasa.
1. Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang
melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Aminuddin mengungkapkan dalam
bukunya ”tema adalah ide yang mendasari suatu cerita”. Tema berperan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang
diciptakannya. Tema ada kaitannya dengan hubungan makna dengan
tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.
2. Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita, sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu
mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu.
Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut
perwatakan
3. Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang yang dapat diamati, dan suasana terjadinya peristiwa
dalam sebuah karya sastra
4. Alur
Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur
bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana
satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana
tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya
terikat dalam satu waktu
5. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam
membawakan cerita dan dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita yang
dikisahkan
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa disebut juga stile (style), adalah cara pengucapan bahasa
dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapakan sesuatu
yang akan dikemukakan.
B. Nasionalisme
Nasionalisme sebagai suatu faham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.
Nasionalisme mengikat warga negara dalam beberapa hal, yakni (a)
memiliki kesadaran sebagai satu bangsa, yang dapat memperkuat rasa
kebangsaan, persatuan dan kesatuan, (b) jiwa, semangat, dan nilai-nilai
patriotik, yang berkaitan dengan perasaan cinta tanah air, cinta kepada
tanah tumpah darah, cinta kepada negara dan bangsa, cinta kepada milik
budaya bangsa sendiri, kerelaan untuk membela tanah airnya, (c) jiwa,
semangat dan nilai-nilai kreatif dan inovatif, dan (d) jiwa, semangat, dan
nilai-nilai yang mampu membentuk kepribadian, watak dan budi luhur
bangsa.
BIOGRAFI
Syarifah Aliya, nama panggilan Aya. Lahir di Bogor 4
Agustus 1994 berjenis kelamin peremuan dan merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan yang
ditempuh yaitu TK Tunas karya tahun 1998-1999, SDN
Cikopo tahun 2000-2006, SMPN 1 Ciawi tahun 2006-
2009, SMAN 1 Ciawi 2009-2012, dan sekarang sedang menempuh pendidikan S1
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Tarbiyah dan Keguruan jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ungu adalah warna kesukaannya. Selalu
bersyukur dan berbuat baik pada siapapun.