Muted Group
Click here to load reader
-
Upload
adlia-nindya-ghassani -
Category
Documents
-
view
136 -
download
4
Transcript of Muted Group
MUTED GROUP THEORY
diajukan untuk memenuhi tugas semester genap mata kuliah
Teori Komunikasi
KELOMPOK 22
ADLIA NINDYA GHASSANI F1C011066
Fitara Embun F1C011028
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NEGERI JENDERAL SOEDIRMAN
APRIL 2012
Muted Group Theory
A. Latar Belakang Teori
1
Muted group theory merupakan tindak lanjut dari bidang
antropologi budaya, dewasa ini telah dikembangkan dalam komunikasi
terutama sebagai teori feminis dan lintas budaya. Muted group theory
atau yang biasa kita dengar dengan sebutan teori kelompok dibungkam
membantu menjelaskan pola komunikasi dan representasi sosial non-
kelompok budaya dominan.
Dasar muted group theory berasal dari karya dua antropolog
budaya, Shirley dan Ardener Edwin, pada tahun 1970 : Pada seorang
perempuan pasrah (1975), mereka membuat pengamatan bahwa
antropolog budaya yang paling lain berlatih etnografi di lapangan hanya
berbicara dengan pemimpin budaya, yang pada umumnya laki - laki
dewasa. Para peneliti kemudian akan menggunakan data ini untuk
mewakili budaya secara keseluruhan, meninggalkan perspektif
perempuan, anak dan kelompok lain yang dibuat tak bersuara oleh
hirarki budaya. Ardener Edwin menulis: "Mereka terlatih dalam etnografi
ternyata memiliki bias terhadap jenis-jenis model yang laki-laki siap
untuk memberikan (atau setuju dalam) daripada terhadap segala bahwa
perempuan mungkin menyediakan. Jika laki-laki muncul
'mengartikulasikan' dibandingkan dengan perempuan, itu adalah kasus
seperti berbicara menyukai "(hal. 2). Sebagai Em Griffin menulis dalam
bukunya A First Look at Teori Komunikasi: Shirley Ardener juga termasuk
bahwa teori grup diredam tidak menunjukkan bahwa kelompok diredam
sebenarnya bisu tapi bahwa mereka bukan didiamkan oleh masyarakat.
Ide ini diterjemahkan ke dalam pikiran, apakah muted group memiliki
kemampuan untuk berbicara cara mereka ingin berbicara atau harus
mereka menerjemahkan pikiran dan tindakan mereka menjadi bentuk
yang lebih dimengerti dan diterima bagi masyarakat. Ardener
menyatakan, "struktur dibungkam adalah 'ada' tetapi tidak dapat
'menyadari' dalam bahasa dari struktur dominan."
2
B. Teori Kelompok dibungkam dengan Komunikasi
Cheris Kramarae adalah teori utama di balik teori muted group untuk
studi komunikasi. Dia adalah seorang mantan dosen, dan direktur Studi
Wanita, di University of Illinois di Urbana-Champaign. Dia juga profesor
tamu memiliki banyak dosen dan janji beberapa makhluk di Cina,
Belanda, Inggris, Afrika Selatan, dan Jerman. Dia juga menjabat sebagai
dekan internasional di Universitas Perempuan Internasional. Ide
utamanya dari teori muted group adalah bahwa komunikasi kita
diciptakan oleh pria dan masih memungkinkan mereka untuk memiliki
keuntungan lebih dari perempuan. Perempuan harus terus - menerus
bermain dalam kaidah bahasa manusia tidak pernah memiliki kata - kata
sendiri untuk mengungkapkan pikiran mereka
1. Kramarae menyatakan, "Bahasa dari budaya tertentu tidak melayani
semua speaker yang sama, karena tidak semua pembicara
berkontribusi dalam sama fashion untuk perumusannya. Perempuan
(dan anggota kelompok subordinat lainnya) yang tidak bebas atau
sebagai mampu sebagai laki - laki untuk mengatakan apa yang
mereka inginkan, karena kata - kata dan norma - norma untuk
mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, laki -
laki .
2. Cheris Kramarae sendiri menyatakan bahwa bahasa itu benar - benar
sebuah konstruksi yang dibuat oleh laki - laki.
Bahasa sebagai bagian dari budaya tidak menggunakan semua
pembicara secara sama, karena tidak semua pembicara berkontribusi pada
cara formulasi yang sama. Perempuan (dan anggota kelompok subordinat
lainnya) tidak bebas atau tidak semampu laki - laki untuk mengatakan apa
yang mereka inginkan, kapan dan dimana mereka menginginkan, karena
3
kata - kata dan norma yang mereka gunakan telah diformulasi oleh
kelompok laki-laki yang dominan (Griffin, 2003: 487).
Sebab demikian, kata atau kalimat yang dicetuskan atau dilontarkan dari
pemikiran perempuan dibatasi dan pemikiran yang mungkin bernilai tinggi
dari perempuan pun nilainya menjadi berkurang karena dibatas dalam
masyarakat kita. Saat perempuan mencoba ingin maju mengeluarkan
pendapatnya untuk mengatasi ketidakadilan ini, kontrol komunikasi yang
maskulin menempatkan mereka pada kerugian yang sangat besar. Bahasa
ataupun pendapat yang dibuat kaum laki - laki menjadi alat dalam
mendefinisikan, menurunkan dan meniadakan keberadaan perempuan,
sehingga disini terlihat sekali perempuan pun menjadi kelompok yang
dibungkam.
Teori dibungkam dewasa ini terjadi tidak lagi pada kalangan gender,
tetapi siapa yang paling mendominasi dan lebih didengar. Sebenarnya belum
tentu mereka yang dominan yang gagasannya paling benar. Mereka yang
diam tidak selalu salah atau dapat dipandang sebelah mata saja dalam
gagasan .
C. Premis dari Teori yang Ada
Teori ini melihat bahwa bahasa adalah batasan budaya, dan dalam
teori ini karena laki - laki lebih berkuasa dari perempuan, menjadikan laki
- laki lebih mempengaruhi bahasa sehingga menghasilkan bahasa yang
biasa digunakan oleh kaum laki – laki tanpa mempertimbangkan bahasa
dari kaum perempuan.
Hal ini terjadi, karena bahasa dari budaya yang khusus tidak
menyajikan semua pembicara secara sama, tidak semua pembicara ikut
serta dalam pembuatan pendapat cara yang sama. Perempuan tidak
sebebas dan semampu kalangan laki - laki untuk melontarkan apa yang
mereka inginkan, di mana, dan kapan mereka ingin mengutarakan,
karena kata - kata dan norma untuknya menggunakan pembuatan dari
kelompok dominan, yaitu laki-laki.
4
D. Asumsi-asumsi Pokok
Kramarae (1981) merancang tiga asumsi yang berpusat pada sajian
feminisnya dari teori muted group (kelompok yang dibungkam) , yaitu:
Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki - laki karena
perempuan dan laki - laki memiliki pengalaman yang sangat
berbeda. Pengalaman yang berbeda ini berakar pada divisi
kerja masyarakat.
Karena laki-laki merupakan kelompok yang dominan di masyarakat,
sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi
kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan.
Sehingga, agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus
mentransformasi modelnya dalam term sistem ekspresi yang dominan
tersebut.
Karena dapat dilihat dari pengalaman perempuan di dunia yang
berbeda itulah, maka perempuan merasakan dunia yang berbeda pula
dengan para laki - laki. Perbedaan ekspresi ini seringkali terlihat pada
perbedaan antara dunia kerja publik, komersial, dan kompetisi serta dunia
privat rumah, keluarga, dan pengasuhan. Perbedaan pengalaman ini
memperuncing perbedaan persepsi antara laki - laki dan perempuan.
Teori muted group melalui konsep persepsi ini membawa proses
komunikasi pada garis yang paling penting dalam berinteraksi.
Khususnya, teori muted group ( kelompok yang dibungkam )
mengemukakan bahwa karena kelompok dominan mengontrol makna
ekspresi publik seperti pada kamus, media, hukum, dan pemerintah,
maka gaya ekspresi mereka mempunyai hak istimewa. Dorongan
komunikasi dari kaum laki - laki ini akan memasukkan segala sesuatu dari
perspektif dominansi rasionalitas publik dan organisasional yang
berbicara dengan menggunakan perumpamaan untuk memberikan
5
komentar menyindir dan lelucon yang tertuju untuk menghina
perempuan.
Menurut Dede Lilis Ch , cara - cara perempuan dalam berbicara seperti
wacana emosional, metafora yang relevan dengan kehidupan rumah,
tidak akan memiliki tempat dalam dunia laki - laki dan laki - laki akan
mengklaim bahwa mereka tidak dapat memahami perempuan atau mode
ekspresinya. Melalui proses yang meliputi ejekan, ritual, penjagaan
gawang, dan pelecehan, perempuan akan dibuat bisu atau sukar
berbicara dalam forum diskursus publik. Tegasnya, perempuan akan
sering merasa tidak nyaman berbicara dalam arus utama masyarakat,
karena harus menerjemahkan gagasannya ke dalam bahasa komunikasi
publik yang didominasi laki - laki, sehingga perempuan dianggap tidak
sederhana/simpel dalam berbicara, atau akan menggunakan bentuk -
bentuk interaksi “bawah tanah” seperti catatan harian, jurnal, atau ruang
obrolan khusus perempuan.
Hal ini menunjukkan bukti - bukti dari teori muted group ( kelompok
yang dibungkam ) , yaitu adanya penjelasan makna yang terkandung
pada bahasa publik, seperti pada kartun, metafora, batasa cara
berbicara/logat perempuan, serta batas aktivitas seksual; perempuan
kurang disajikan dalam media, textbook, cyberspace, dsb. Disini
perempuan harus menggunakan sistem ekspresi publik yang berorientasi
terhadap laki – laki, serta perempuan menggunakan ruang privat, seperti
bercerita dengan sesama perempuan untuk mendiskusikan
pengalamannya.
Kramarae (dalam Miller, 2002: 293) juga mengembangkan tujuh
hipotesis mengenai Teori Kelompok yang Dibungkam, yaitu,
6
Perempuan kemungkinan besar lebih sulit mengekspresikan diri
mereka sendiri dalam cara - cara ekspresi publik yang dominan
dibandingkan laki - laki. Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata -
kata untuk pengalaman yang feminin, karena laki - laki tidak berbagi
pengalaman tersebut dan tidak mengembangkan istilah - istilah yang
memadai.
Laki - laki lebih sulit daripada perempuan dalam memahami makna
anggota
dari gender lain. Bukti dari hipotesis ini dapat dilihat pada berbagai
hal, misalnya laki - laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan
karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut; perempuan lebih
sering menjadi objek dari pengalaman daripada laki - laki; laki - laki
dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut
dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas,
sehingga perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki - laki,
sebaliknya laki - laki mengisolasi dirinya dari sistem komunikasi
perempuan.
Perempuan kemungkinan akan menemukan cara untuk
mengekpresikan diri mereka sendiri di luar cara - cara ekspresi publik
dominan yang digunakan oleh laki - laki baik dalam konvensi verbal
maupun perilaku nonverbal mereka. Perempuan lebih mengandalkan
ekspresi nonverbal dan menggunakan bentuk - bentuk nonverbal yang
berbeda dengan yang digunakan laki - laki, karena mereka secara verbal
dibungkam. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa misalnya, ekspresi
wajah, “vocal pauses”, dan gerak tubuh lebih penting pada komunikasi
perempuan dibanding komunikasi laki - laki. Perempuan juga cenderung
menunjukkan lebih banyak perubahan ekspresi dalam percakapan.
Perempuan kemungkinan besar lebih menyatakan ketidakpuasan pada
cara- cara ekspresi publik dominan laki - laki. Perempuan mungkin akan
berbicara lebih banyak mengenai persoalan mereka dalam
menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat
komunikasi laki- laki.
7
Perempuan menolak untuk hidup dengan gagasan - gagasan dari
organisasi sosial yang ditangani oleh kelompok dominan dan akan
mengubah cara- cara ekspresi publik dominan karena mereka secara sadar
dan secara verbal menolak gagasan tersebut. Himbauan bagi
kebebasan perempuan telah mengembangkan bentuk - bentuk komunikasi
yang berbeda yang melibatkan pengalaman - pengalaman perempuan,
seperti yang dilakukan oleh kelompok - kelompok penyadaran.
Perempuan tidak seperti laki - laki dalam menciptakan kata - kata yang
diakui secara luas dan digunakan oleh laki - laki maupun perempuan.
Konsekuensinya perempuan merasa tidak dianggap berkontribusi
terhadap perkembangan bahasa.
Selera humor perempuan akan berbeda dari selera humor laki - laki.
Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki konseptualisasi dan
ekspresi yang berbeda, sehingga seseuatu yang tampak lucu bagi laki -
laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.
Muted Group Theory merupakan teori yang menarik dari teori
komunikasi kritis dan termasuk dalam konteks kultural yang membahas
mengenai gender dan komunikasi. Teori ini memusatkan perhatiannya
pada kelompok tertentu dalam masyarakat yang mengungkap struktur -
struktur penting yang menyebabkan penindasan dan memberikan arah
bagi perubahan yang positif.
Ketika teori feminis berkutat dengan pembagian konsepsi gendar atas
maskulin dan feminin, sejumlah orang mempertanyakan manfaat dari
dualisme ini. Meskipun pembedaan maskulin - feminin dapat berguna,
namun terasa sangat menyederhanakan dan menciptakan konseptualisasi
yang tidak secara tepat mencerminkan realitas. Pemberian label
semacam itu pada kenyataannya justru mempertajam pembedaan antara
laki - laki dan perempuan yang sebenarnya coba diatasi oleh kaum
feminis. Linda Putnam menjelaskan hal tersebut sebagai berikut :
“persoalan reifikasi; penggunaan label feminis telah menimbukan efek
pengakuan eksistensi perempuan tetapi sekaligus juga mengisolasi
mereka”. Dan lagi, “usaha untuk menghapus perilaku pembedaan memiliki
8
potensi untuk membebaskan kita dari klasifikasi peran berdasarkan jenis
kelamin yang muncul dari dualisme.” Jawabannya menurut Putnam,
adalah bukan dengan mengabaikan teori feminis atau idealisme feminis,
tetapi dengan melihat pada proses komunikasi secara berbeda. Daripada
sekadar menganggap bahwa gender adalah penyebab bagi efek-efek
lainnya, kita harus mempelajari pula cara-cara dimana pola-pola
komunikasi telah membawa pada pembedaan gender itu sendiri (Sendjaja,
2002: 9.25)
E. Tujuan dari Teori
Teori ini bertujuan untuk mengubah sistem linguistik yang
diperkenalkan oleh laki – laki, seperti kamus feminis dan pelecehan
seksual terhadap kaum perempuan. Karena dalam teori ini laki – laki yang
mendominasi sistem budaya yang diteliti oleh antropolog sedangkan
perempuan ditinggalkan dan direndahkan.
F. Aplikasi Teori
Kramarae nyatakan, “pelecehan seksual merajalela tetapi tidak
random.” Kisah anonimitas di bawah ini tipikal.
“ Dia sudah 50 tahun dan Saya 21 tahun. Dia adalah profesor utama di
areaku. Saya sudah 1 tahun menjadi pelajar M.A. Posisinya aman/kokoh,
sedangkan posisiku tidak jelas dan kontingen dukungannya. Dia memberikan
nama; dan saya merasa bergantung. Dia mungkin tidak berpikir banyak
tentang apa yang telah terjadi; Saya tidak pernah melupakannya.
Seperti sebagian besar pelajar pemula, Saya merasa tak pasti dengan diri
sendiri dan kemampuanku, sehingga aku lapar penghargaan dan indikator
intelektual yang baik…Kemudian, pada pagi November Saya menemukan
sebuah catatan dalam mailboxku dari Profesor X, anggota fakultas senior di
areaku, seseorang yang sangat penting bagiku. Dalam catatannya Profesor X
9
mengundangku untuk datang ke kantornya pada sore hari untuk
mendiskusikan sebuah paper yang telah saya tulis untuknya.
Percakapan akrab dengannya mempengaruhiku sehingga kita
merencanakan untuk saling mengenal satu sama lain dan bekerja sama
secara akrab. Saya menginginkan bekerja dengannya dan sepakat. Kami
berdiri dan dia merangkul dan menciumku. Saya menarik diri ke belakang
sambil terkejut. Saya benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi. Dia
tersenyum dan mengatakan padaku bahwa menjadi “teman” dapat
melakukan bukan untuk apa-apa tetapi untuk mempertinggi hubungan kerja
kita. Saya tidak berkata apaupun, tetapi merasa sangat bingung…..Laki-laki
ini adalah seorang anggota fakultas yang sangat dihormati dan dia lebih
tahu tentang norma-norma hubungan fakultas dan pelajar. Sehingga saya
mengira salah merasakan perilakunya yang tidak pantas, pasti salah
memahami motifnya, melebih-lebihkan arti “menjadi teman.” Sehingga saya
merencanakan untuk berbicara terbuka padanya.
Saya telah dirugikan dalam “pembicaraan terbuka” kami, karena saya
didekatinya sebagai sebuah kesempatan untuk memperjelas perasaan yang
digunakannya sebagai suatu kesempatan untuk menafsirkan ulang dan
meredefinisi apa yang telah terjadi dengan cara yang sesuai dengan
maksudnya. Saya katakan padanya Saya tidak merasa baik dengan “menjadi
teman” dengannya. Dia menjawab bahwa Saya bereaksi berlebihan, dan
selanjutnya didikan kota kecil selatan saya muncul….Saya katakan bahwa
saya diperhatikan olehnya sehingga dia tidak objektif menilai pekerjaan
saya, tetapi menghargainya karena dia ingin menjadi “teman” bagi saya; dia
mengelit akan hal ini, dan menjelaskan bahwa dia menilai saya secara
benar, tetapi bahwa menjadi “teman” adalah peningkatan minatnya dalam
membantu saya secara profesional. Tidak ada yang saya katakan, dia telah
merespon saya sehingga penegasan perasaan saya menjadi tidak tepat. “
Teori muted group dapat menjelaskan kebingungan dan kekurangkuasaan
dari perempuan ini. Kisahnya banyak menceritakan tentang
10
memperjuangkan bahasa sebagaimana memperjuangkan tingkah laku
seksual yang berlebihan. Selama profesor tersebut menegaskan tindakannya
sebagai “menjadi teman”, pelajar perempuan tersebut merasa melalaikan
dirinya sendiri. Dia telah dilengkapi dengan perangkat linguistik “pelecehan
seksual,” dia akan mengesahkan perasaannya dan melabeli profesor
tersebut sebagai tidak pantas dan ilegal.
G. Penilaian Kritis pada Teori Kelompok yang Dibungkam
Penganiayaan Perempuan yang berlebihan. Teori ini dikiritik karena
terlalu menekankan pada masalah aniaya terhadap perempuan.
Ketidaktepatan politis. Teori ini bertujuan politis karena teori ini
digunakan untuk kemajuan agenda politik dalam pemberian kuasa
pada kalangan perempuan. Dan teoretisi kelompok yang dibungkam
ini akan sepakat bahwa mereka melakukan agenda politik dengan
melakukan perubahan konstruktif dalam masyarakat dengan
mengurangi ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Para
teoretisi tersebut tidak melihat masalah dengan menghadirkan nilai
dalam sebuah teori. Dalam opini mereka, nilai melekat pada semua
teori, meskipun teori konvensional menyangkal nilai yang ada dalam
pekerjaan mereka. Selanjutnya, ilmuwan kritis membantah, taori
tentang kehidupan sosial harus didasarkan pada nilai dan harus
berusaha memperbaiki masyarakat.
Tidak realistik. Kritik final terhadap teori kelompok yang dibungkam
adalah bahwa hal itu utopia. Tidak unik bagi teori ini karena telah
dilontarkan pada teori kritis secara umum (Blumler, 1983; Real, 1984).
Klaim kritis menyatakan teori-teori kritis secara umum dan teori
kleompok yang dibungkam sebagai baginnya, terlalu idealistis dalam
meyakini bahwa perubahan yang mereka inginkan dapat terealisasi.
Menurut beberapa orang yang was-was mengenai teori kritis,
perubahan yang meluas tidak mungkin karena keberadaan
ketidakadilan harus diakui dan diakomodasi. Barangkali hal itu utopia
11
dalam mengkhayalkan membuat lagi bahasa termasuk ekspresi dan
perspektif perempuan.(Wood, 2004: 272-273).
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Griffin, EM. 2003. A First Look At Communication Theory. Fifth edition. America, New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Sendjaja, S. Djuarsa. 2002. Teori Komunikasi. Cetakan 1. Jakarta: Universitas Terbuka.
Wood, Julia T. 2004. Communication Theories in Action: An Introduction. Canada: n Wadsworth, Thomson Learning Inc.
Santoso, Edi & Mite Setiansyah. 2010 . Teori Komunikasi . Cetakan 1. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Internet :
http://en.wikipedia.org/wiki/Muted_group_theory , diakses pada Kamis, 29 Maret 2012 .
http://teddykw1.wordpress.com/2008/03/03/muted-group-theory-teori-kelompok-yang-dibungkam/ , diakses pada Kamis, 29 Maret 2012
http://yearrypanji.wordpress.com/2008/05/12/muted-group-theory-cheris-kramarae/
diakses pada Sabtu, 31 Maret 2012
12
13