MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

71
MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA‘ DALAM TAREKAT MAULAWIYAH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.) Oleh : Zaenal Abidin NIM : 102033124744 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/1428 H

Transcript of MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Page 1: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA‘ DALAM TAREKAT MAULAWIYAH

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh :

Zaenal Abidin NIM : 102033124744

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2008 M/1428 H

Page 2: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA‘

DALAM TAREKAT MAULAWIYAH telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pada 18 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.) pada Program Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 18 Juni 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Drs. Ramlan A. Gani, M.A. NIP: 150 262 447 NIP: 150 254 185

Anggota,

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, M.A. Drs. Syamsuri, M.A. NIP: 150 209 685 NIP: 150 240 089

Prof. Dr. Raden Mulyadhi Kartanegara, M.A. NIP: 150 227 576

Page 3: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

PEDOMAN TRANSLITERASI

h = ة a = ا

h = ه b = ب

’ = ء t = ت

y = ي ts = ث

w = و j = ج

h Untuk Mad Diftong = ح

ai = أ ْى kh = خ

au = أ وْ d = د

dz â = a panjang = ذ

r î = i panjang = ر

z û = u panjang = ز

s = س

sy = ش

s = ص

d = ض

t = ط

z = ظ

، = ع

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

Page 4: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

m = م

n = ن

Page 5: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perhatian kepada pendidikan musik telah diberikan semenjak akhir zaman

Umawiyah. Dalam zaman ‘Abbâsiyyah perhatian yang amat besar untuk

perkembangan pendidikan musik diberikan oleh para khalifah dan pembesar.

Sekolah musik tingkat menengah dan tinggi didirikan di berbagai kota.1 Pabrik

alat-alat musik dibangun di berbagai negeri Islam. Sejarah telah mencatat bahwa

pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang sangat terkenal ada di kota Sevilla

(Andalusia atau Spanyol).2

Catatan tentang kesenian umat Islam begitu banyak disebut orang. Para

penemu dan pencipta alat musik Islam juga cukup banyak jumlahnya, yang

muncul sejak pertengahan abad kedua Hijriah, misalnya Yûnus al-Khâtib (w. 135

H), Khalîl ibn Ahmad (170 H), Ibn al-Nadîm al-Nausillî (235 H), Hunain ibn

Ishâq (264 H), dan lain-lain.3

Pada masa itu cakrawala umat Islam juga diramaikan oleh biduan dan

biduanita yang status umumnya adalah pelayan. Mereka ini bukan penyanyi

bayaran yang disewa untuk setiap pertunjukannya. Merekalah yang bernyanyi

untuk menghibur khalifah dan para penguasa lainnya di istana dan rumah mereka

masing-masing.4

1 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian : Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya

Manusia, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), hlm.169. 2 ’Abdurrahman al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam : Seni Vocal, Musik dan Tari,

(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm.97. 3 Ibid., h.97-98. 4 Ibid., h. 98.

1

Page 6: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Sejak kejatuhan negeri-negeri Islam ke tangan penjajah Timur (Rusia) dan

Barat pada abad ke-19 M (ke-13 H) berbagai tragedi melingkupi umat Islam,

termasuk bidang kesenian yang mulai pula diwarnai oleh seni budaya penjajah.

Kini para generasi muda telah sulit melepaskan diri dari seni Barat yang telah

merasuk kedalam dirinya. Mereka bahkan sudah keranjingan dan menggilai

seniman-senimannya. Mereka menjadi fans grup band heavy metal dan

menciptakan idola, misalnya Madonna, Mick Jagger, Jason Danovan, Rod

Stewart, dan masih banyak idola-idola lainnya.5

Seiring maraknya dunia musik, membuat bermunculan group-group musik

yang tidak bisa dibendung keberadaannya. Bermusik tampaknya menjadi sebuah

gaya anak muda zaman sekarang yang ingin mengeksplorasi bakatnya dalam

bermain musik. Hal ini membuat penikmat musik memiliki banyak pilihan untuk

menikmati musik yang ditawarkan para seniman musik, dengan karakter dan gaya

yang berbeda.

Menurut penulis, kecenderungan terhadap musik Barat memang bukanlah

suatu masalah. Hanya saja, penulis melihat ada dampak negatif dari

kecenderungan itu. Seharusnya, musik dijadikan sumber inspirasi spiritual bagi

remaja, bukan menjadi kemerosotan spiritual. Penulis sendiri melihat banyak dari

mereka yang mengonsumsi narkoba atau minum-minuman keras terlebih dahulu

ketika mereka hendak bermain musik, seharusnya hal ini tidak perlu dilakukan

oleh mereka para seniman musik.

Sering kita melihat anak-anak muda di siang hari dan malam harinya

berkumpul di rumah dan di pinggir-pinggir jalan dalam mencari kesenangan

5 Ibid., h. 7.

Page 7: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

dengan bernyanyi menggunakan gitar dan alat musik lainnya, menari bersama

sambil berjoget dan ditambah dengan minum-minuman keras, terkadang dan

sering menggangu orang-orang yang lewat, serta mengganggu ketenteraman

masyarakat sekitar dengan tingkah laku mereka yang kurang menjaga adab dan

etika masrayakat.

Media elektronika telah lama mempengaruhi kehidupan para generasi

muda, baik yang ada di pedesaan maupun di perkotaan, bahkan yang lebih buruk

lagi, tempat-tempat hiburan (maksiat) seperti night club, bioskop dan panggung

pertunjukan jumlahnya sangat banyak dan telah mewarnai kehidupan pemuda-

pemudanya.

Menurut Plato, musik itu bertujuan untuk membentuk manusia yang

bermoral tinggi sehingga mereka menjadi orang-orang yang tahu mencintai

keindahan. Masyarakat yang memandang musik hanya sebagai hiburan semata,

sebagai alat dalam bersenang-senang, serta hanya sebagai media untuk mabuk-

mabukan, masyarakat tersebut pastilah masyarakat yang bermoral rendah.6

Dalam hal ini, penulis melihat musik sufi tampaknya dapat menjadi

sebuah solusi. Musik sufi mempunyai pengaruh positif dalam hal spiritual, karena

mereka umumnya yang berkecimpung dalam tasawuf tidak pernah meninggalkan

aspek spiritual dalam kegiatan apapun termasuk bermain musik, apapun jenis

musik yang mereka mainkan baik itu musik Rock, Pop, Jazz, Dang Dut, dan yang

lainnya. Bagi para sufi, musik adalah merupakan tajallinya sifat Jamaliyah Allah.

Allah sendiri menyifatkan DiriNya dengan yang Maha Indah dan menyukai hal-

hal yang berkaitan dengan keindahan. Musik sendiri adalah indah, orang yang

6 Sukatmi Susantina, Nada-Nada Radikal: Perbincangan para Filsuf tentang Musik,

(Yogyakarta: Panta Rhei, 2004), hlm.24

Page 8: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

bermain musik dan mendengarkannya akan menjadi tenteram dan menenangkan

hati, bukan menjadi sebaliknya.

Mungkin jika semua pemain dan penikmat musik tidak melupakan aspek

spiritual dari musik, kita tidak akan mendengar dan melihat adanya kerusuhan

yang banyak menelan korban jiwa ketika menyaksikan sebuah pertunjukan musik,

seperti yang terjadi di Pekalongan, yang menelan korban jiwa 10 orang ketika

menyaksikan pertunjukan Band Ungu. Dan tidak lagi mengkonsumsi narkoba atau

minum-minuman keras ketika bermain dan menikmati musik, sehingga adab dan

etika dalam masyarakat dapat terjaga.

Rhoma Irama sebagai motor grup Soneta berpendapat, bahwa musik

bukanlah sekedar arena untuk hura-hura semata. Musik adalah kebutuhan

manusia yang tidak bisa diabaikan kehadirannya. Menurutnya, bahwa pada

dasarnya musik itu fitrah (suci), namun tangan manusialah musik itu menjadi

maksiat, depends on the man behind the instrument.7 Pandangan Rhoma Irama ini

sejalan dengan pendapat para sufi, yang mengatakan bahwa musik bukanlah

media yang hanya mencari kesenangan dan bermain-main saja, keindahan suara

juga termasuk nikmat Allah SWT, jadi pada dasarnya musik adalah sarana untuk

lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Menurut Imam al-Ghazâlî musik dan nyanyi sangat penting untuk

memperoleh gairat Tuhan. Dengan musik dan nyanyian, kita akan memperoleh

nikmat Tuhan. Ahli-ahli tasawuf berpendapat, bahwa musik dapat menjadi obat,

musik dan nyanyian dapat menyembuhkan penyakit jiwa dan badan.8 Di balik

musik ada sebuah kekuatan pendorong, seorang pemusik harus mempunyai hati

7 W, Siwi, ”Rhoma Irama : Hidayah Usus Kusut”, dalam Majalah Hidayah, Edisi 22, Mei 2003, h. 18-23.

8 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian….., h. 170.

Page 9: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

yang dimulai dengan niat menghadirkan Tuhan dalam setiap alunan irama musik

yang keluar, sehingga ada kontak dengan pendengar musik. Musik hanyalah

sebagai media untuk mendekatkan diri dengan Allah SWT, bukan menjadikan

jauh dari Allah SWT. Memang para sufi dalam memaknai musik lebih mendalam

dan lebih menjiwai.9

Tasawuf sendiri telah banyak mempengaruhi sebagian besar literatur dunia

dan telah menembus pelbagai ranah budaya, dari Eropa Selatan dan Eropa Timur

hingga Afrika Utara dan Afrika Tengah, dari Timur Tengah hingga ke wilayah

daratan barat Cina. Dampak tasawuf terhadap budaya Islam dapat dengan mudah

dideteksi. Desain pelbagai bangunan dan arsitektural secara umum, pola puisi dan

musik, serta efek-efek visual warna dan kaligrafi, semuanya berada dalam wilayah

pengaruh sufi di Timur Tengah.1

Dalam hal musik, pengaruh tasawuf belakangan ini sangat terlihat. Musik

sufi ditemukan di semua kawasan Muslim di mana syair sufi dibaca. Musik lokal

yang digunakan dalam musik sufi sangat bervariasi, dan masing-masing memiliki

sejarah panjang dan kompleks, yang seringkali tidak diketahui oleh orang luar.

Musik sufi kini telah banyak dipopulerkan di Barat, dan kini juga bisa disimak

lewat kaset-kaset rekaman.2

Mungkin tidak ada aspek tasawuf yang lebih kontroversial, dan sekaligus

populer, dibanding praktik musik. Memang musik tidak dianut secara universal di

kalangan kaum sufi, karena ada beberapa tarekat yang tidak setuju dengan

9 Talk Show dan Live Musik Sufi “Debu”, dengan tema Peran Musik dalam Meretas

Pembeningan Nurani, Nara Sumber Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, dan Drs. Rahmat Ismail, bertempat di Wisma Syahida UIN Syahid Jakarta, 24 Maret 2004.

1 Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia, Para Sufi Agung : Kisah dan Legenda, (Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2003), h. 13.

2 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 239.

Page 10: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

pertunjukan musik. Walaupun banyak ulama yang mendukung tentang kebolehan

musik, namun banyak juga yang tidak setuju bahkan mengharamkannya. Padahal

tasawuf hakikatnya memperjelas, melapangkan dan membersihkan jalan menuju

al-Ihsan, yang merupakan puncak dari prestasi amaliah dan komunikasi seorang

hamba dengan Allah secara eksistensial dan esensial. Al-Ihsân merupakan wujud

nyata dari praktik al-Islâm dan al-Imân. Karena itu, tasawuf mengintegrasikan

dunia syariat dengan dunia hakikat, melalui jembatan tarekat.3

Berdasarkan latar belakang di atas, dan masih jarangnya pembahasan

mengenai musik, memang ada beberapa skripsi yang menulis tentang musik,

namun penulis tidak menemukan pembahasan musik yang lebih mendalam

terutama dalam tradisi tasawuf. Untuk itulah penulis ingin mencoba membahas

persolan tersebut dalam skripsi ini.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan skripsi ini akan dibatasi sekitar musik dalam tradisi tasawuf,

agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis mencoba untuk merumuskan

masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah musik (Samâ‘) dipraktekkan dalam Tarekat Mawlawiyah ?

3 Imam al-Qusyairy al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah : Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Risalah Gusti, 2001), h. V.

Page 11: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

C. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Penelitian skripsi ini termasuk penelitian kepustakaan (Library Research),

suatu metode dengan cara mengumpulkan data dan informasi, baik berupa buku-

buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasikan secara sistematis

dan analitis, dengan didukung dan dibantu dengan berbagai macam sarana yang

terdapat di ruang pustaka.

Sedangkan data-data yang diperlukan dapat dicari dari sumber-sumber

kepustakaan yang bersifat primer, yaitu disebut sebagai sumber utama, dalam hal

ini yang menjadi sumber utama adalah buku-buku yang khususnya membahas

tentang musik dan tasawuf. Kemudian data yang bersifat sekunder, yaitu data-data

dari sumber-sumber yang lain, yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti

yang kemudian disebut dengan data atau sumber pendukung.

2. Metode Pembahasan

Dalam metode ini penulis menggunakan :

a. Metode Deskriptif, yaitu suatu pembahasan yang bermaksud untuk

menggambarkan mengenai data-data dalam rangka menguji hipotesa atau

menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu sedang

berjalan dari pokok masalah. Langkah ini diambil sebagai awal yang

sangat penting karena akan menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya

b. Metode Analisis, yaitu suatu bahasan dengan cara memberikan

interpretasi-interpretasi terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun.

Jadi metode deskriptif analitis adalah suatu pembahasan yang bertujuan

Page 12: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah tersusun dan

terkumpul dengan cara memberikan interpretasi terhadap data tersebut.

3. Karena penulisan ini membahas tentang tasawuf, maka Pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan tasawuf.

Adapun metode penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh

CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendapatkan sebuah pemahaman

baru dan lebih mendalam tentang musik yang pada saat ini sudah agak jauh

menyimpang dari tujuan bermusik itu sendiri, dan dapat menambah khazanah

literatur Islam khususnya mengenai pandangan, gagasan dan ajaran tasawuf

mengenai musik. Penelitian ini juga untuk memenuhi salah satu persyaratan guna

meraih gelar Sarjana Strata Satu ( S-1 )

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini,

maka penulis membagi tulisan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai

berikut :

Bab I, pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II, menguraikan pengertian, sejarah dan perkembangan musik dalam

dunia Islam yang meliputi pengertiannya dan sejarah perkembangan musik

Page 13: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

khususnya di dunia Islam. Dilanjutkan dengan jenis-jenis musik apa saja yang ada

dan juga pengertiannya. Berikutnya, akan dijelaskan bagaimana pandangan para

ulama mengenai hukum musik itu sendiri, yang terdiri dari pendapat empat

mazhab fiqih terbesar, dan tokoh-tokoh yang terkenal.

Bab III adalah Rumî dan Tarekat Mawlawiyahnya, dimulai dengan

biografi Rumi, karya-karya Rumî, dan tarekat Mawlawiyah itu sendiri.

Bab IV, menjelaskan hasil penelitian mengenai samâ‘ dalam tarekat

Mawlawiyah, pembahasan sekilas tentang sama‘, dilanjutkan dengan sama‘ dalam

ritual Maulawiyah, yang akan menjelaskan symbol-simbol dalam sama‘, seperti

prosesnya, simbol dari tarian, dan dapur dalam tradisi Maulawiyah. Setelah itu,

akan diterangkan bagaimana sama‘ dalam dunia kontemporer dipertunjukkan.

Bab V, penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran penulis.

Page 14: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK DALAM DUNIA ISLAM

A. Pengertian, dan Sejarah Perkembangan Musik dalam Dunia Islam

Di abad yang semakin maju ini kehidupan menjadi semakin kompleks. Hal

demikian tidak saja terjadi pada kehidupan sehari-hari akan tetapi juga pada

kehidupan ilmu pengetahuan dengan segala cabang-cabangnya. Cabang-cabang

ilmu pengetahuan inilah yang membuat adanya keterkaitan, saling mengisi serta

saling melengkapi dalam kehidupan ini. Dalam bidang kesenian pada umumnya,

serta musik pada khususnya. Seni sebagai media informasi, media pendidikan,

maupun media komunikasi, membutuhkan keterlibatan bidang-bidang ataupun

ilmu pengetahuan yang lain. Seni musik sendiri juga memiliki sejarah, bentuk,

dan strukturnya, teori-teorinya dan juga filsafat dan ide penciptaannya.1

Kita tidak dapat mengingkari bahwa musik memiliki fungsi yang banyak

dalam kehidupan manusia. Sebagaimana pepatah mengatakan "Men die for want

of cheerfulness as plants die for want of light" (Manusia mati karena kekurangan

kebahagiaan sebagaimana tumbuh-tumbuhan mati karena kekurangan cahaya).

Pepatah ini menunjukan bahwa musik merupakan sesuatu yang tidak bisa

dipisahkan dari kehidupan manusia karena musik dapat membuat manusia

menjadi gembira, segar, dan terhibur. Dengan kata lain, musik itu merupakan

pemulih energi yang hilang, penyejuk perasaan, serta pengobar perasaan dan

aspirasi yang halus.2

1 Sukatmi Susantina, Nada-Nada Radikal: Perbincangan Para Filsuf Tentang Musik,

(Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2004), h.12-13. 2 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al-

Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 6.

Page 15: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Secara etimologis, kata musik berasal dari bahasa Yunani mousike yang

memiliki beberapa arti yaitu:3

a. Seni dan ilmu pengetahuan yang membahas cara meramu vokal atau

suara alat-alat musik dalam berbagai lagu, yang dapat menyentuh

perasaan.

b. Susunan dari suara atau nada.

c. Pergantian ritme dari suara yang indah, seperti suara burung dan air.

d. Kemampuan untuk merespon atau menikmati musik.

Dalam bahasa Yunani, musik bukanlah sekedar seni, tetapi memiliki

cakupan yang sangat luas, seperti pendidikan, ilmu, tingkah laku yang baik,

bahkan dipercayai sebagai sesuatu yang memiliki dimensi ritual, magis, dan etik.4

Seni musik adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik

dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Di samping itu, seni musik juga

membahas cara membuat not dan bermacam aliran musik, misalnya musik vokal

dan musik instrumentalia.

Musik sebagai seni, menurut para filosof mampu mengungkapkan hal-hal

yang tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata, ataupun oleh jenis seni lainnya.

Atau dapat dikatakan bahwa musik akan lebih mampu dan ekspresif

mengungkapkan perasaan daripada bahasa, baik lisan maupun tulisan. Hal

demikian, menurut para ahli (filsafat dan musikologi) adalah disebabkan bentuk-

bentuk perasaan manusia jauh lebih dekat atau sesuai dengan bentuk-bentuk

musikal daripada bentuk bahasa.5

3 Ibid., h.17. 4 Ibid., h.17 5 Susantina, Nada-Nada Radikal, h. 2.

Page 16: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Definisi tentang musik memang bermacam-macam, namun dari pengertian

diatas, dapat disimpulkan bahwa musik itu merupakan bentuk induksi bunyi yang

mempunyai susunan suara atau nada yang indah, baik itu musik vokal (tanpa

iringan instrumen musik), maupun musik instrumentalia (dengan instrumen musik

saja), dan bagi yang mendengarnya dapat menyentuh perasaan. Ada sebagian

orang menganggap musik tidak berwujud sama sekali, artinya tidak dapat

didefinisikan.

Bangsa Yunani menganggap bahwa musik adalah salah satu cabang seni

yang amat penting, sehingga mereka beranggapan bahwa orang-orang yang

berpendidikan tinggi dan berbudi luhur disebut orang musikal sedang orang-orang

yang bodoh dan berbudi rendah disebut orang tidak musikal atau orang yang tidak

memiliki musik.6

Secara historis, ide-ide yang berkaitan dengan fungsi dan pengaruh musik

dalam Islam dipengaruhi oleh pemikiran Yunani. Bangsa Yunani memperoleh

ide-ide ini dari bangsa Semit kuno, Babilonia-Assyiria. Kitâb al-Siyâsah, sebuah

buku yang dikenal sebagai hasil dari pseudo Aristotelian, yang diterjemahkan ke

dalam bahasa Syiria oleh Yuhannâ ibn Batrîq (w. 200/815), sangat mempengaruhi

pemikiran bangsa Arab.7

Bicara tentang sejarah itu berarti berbicara tentang peristiwa-peristiwa

yang terikat oleh perjalanan waktu. Pada umumnya, orang Arab berbakat musik

sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zaman

jahilliyah. Di Hijâz kita dapati orang menggunakan musik yang mereka namakan

dengan iqa (irama yang berasal dari semacam gendang). Mereka menggunakan

6 Ibid., h. 116. 7 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 7.

Page 17: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

berbagai alat musik, antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.

Setelah bangsa Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat

jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasûlullâh, ketika Hijâz menjadi pusat politik,

perkembangan musik tidak menjadi berkurang.8

‘Abd al-Hay al-Kattânî mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa

Rasûlullâh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup kalangan wanita saja pada

pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hamamah dan Arnab.

Sedangkan kaum lelaki pada masa Rasûlullâh saw dan sesudahnya suka

memanggil penyanyi budak (jawarî) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan.

Buktinya Amîr ibn Sa‘d (seorang tabi‘in) pernah meriwayatkan tentang apa yang

terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata: 9

ÏóÎóáúÊõ Úóáóì ÞõÑó ÙóÉó Èúäö ßóÚúÈò æóÇóÈöì

ãóÓúÚõæúÏò ÇúáÇó äúÕóÇÑöíøö Ýöí ÚõÑúÓò æóÇöÐóÇ

ÌóæóÇÑöì íõÛóäøöíúäó, ÝóÞõáúÊõ : ÇóäúÊõãóÇ ÕóÇÍöÈóÇ

ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøó Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó : æóãöäú

Çóåúáö ÈóÏúÑò, íõÝúÚóáõ åóÐóÇ ÚöäúÏó ßõãú¿ ÝóÞóÇáó:

ÇöÌúáöÓó Çöäú ÔöÆúÊó ÝóÇÓúãóÚú ãóÚóäóÇ æóÇöäú

ÔöÆúÊó ÇöÐúåóÈú ÞóÏú ÑõÎøöÕó áóäóÇ Ýöì Çááøóåúæö

ÚöäúÏó ÇáúÚõÑúÓö

“Saya masuk kerumah Qurazah ibn Ka‘ab dan Abû Mas‘ud al-Ansari. Ketika itu sedang berlangsung pesta pernikahan, tiba-tiba ada beberapa budak perempuan mulai bernyanyi. Maka saya bertanya, "Kalian berdua adalah sahabat Rasûlulullah SAW dan pejuang di perang Badar, kenapa hal ini kalian lakukan?" Qurazah menjawab: "Duduklah, kalau engkau mau, mari kita dengar bersama-sama, kalau tidak, silahkan pergi.

8 Abdurrahman al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam : Seni Vocal, Musik dan Tari

(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h.15. 9 Ibid.,h. 17.

Page 18: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan.” (HR. Al-Nasai)

Kehidupan masyarakat Islam pada masa awal ditandai oleh dua

karakteristik, yaitu kesederhanaan, dan berbuat banyak untuk berjuang di jalan

Allah (jihâd fî sabîlillâh). Pada masa ini mereka lebih tertarik oleh seruan berjihad

daripada bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik)

apalagi menikmatinya. Ini membuktikan pada masa Rasûlullâh bukan tanah yang

subur untuk kesenian (seni musik). Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum

muslimin berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai

kebudayaan dan kesenian, sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian

dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.10

Umat Islam yang fleksibel, menerima musik-musik khas Persia, Arab,

Syria, dan Turki di berbagai kota dan pusat kekhalifahan. Supaya musik-musik

tersebut dapat beradaptasi dengan daerah tertentu, dibutuhkan metode pemaduan

dan peramuan. Orang Arab yang berhasil menemukan metode ini adalah Ibn

Misjah (w. 715 M). Metode Ibn Misjah tersebut diperoleh setelah ia mengadakan

perjalanan ke Syria dan Persia untuk belajar musik dari para ahli dan praktisi

musik.11

Pada abad 9 M., para cendikiawan Islam mulai tertarik pada ilmu tentang

musik. Di Bayt al-Hikmah, Baghdad, tulisan-tulisan Yunani yang berkaitan

dengan musik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, termasuk tulisan

Nichomachus, Aristoteles, dan lain-lainnya.12 Mereka mengarang kitab-kitab

musik dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik

10 Ibid., h. 19. 11 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 7. 12 Ibid., h. 7

Page 19: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

dari segi alat-alat musik, maupun sistem dan tekhnisnya. Di antara pengarang teori

musik Islam yang terkenal adalah, Yûnus ibn Sulayman al-Khâtib (w.785 M)

yang menjadi rujukan para pengarang teori musik Eropa, Khalîl ibn Ahmad

(w.791 M) pengarang buku teori musik mengenai not dan irama, Ishâq ibn

Ibrâhîm al-Mausûlî (w. 850 M) yang berhasil memperbaiki musik Arab jahiliyah

dengan sistem baru. Karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Han wa al-Angham

(Buku Not dan Irama), beliau mendapat julukan Imam al-Mughanniyyin (Raja

Penyanyi),13Ibn Munajjim (w. 913 M) dengan bukunya Risalah fî al-Musiqa, Abû

Bakr al-Razî (w. 925 M) pengarang Kitâb fî Jumâl al-Musiqa.14

Al-Kindi (w. 260/873M) seorang filosof Islam yang pertama, telah

menaruh perhatian dalam bidang musik secara serius. Ia tidak hanya

menggunakan musik sebagai alat hiburan, tetapi dia juga menggunakannya

sebagai obat terapi menyembuhkan penyakit jiwa dan raga. Menurutnya, segala

sesuatu yang ada di alam raya selalu berkaitan dan setiap nada pada sebuah alat

musik yang bersenar berkaitan dengan cara menyanyikannya, ritme, dan perasaan.

Semua ini pada gilirannya berhubungan dengan planet-planet, musim, hawa,

humor, warna, dan parfum.15

Kemudian pada abad 10 M, Ikhwân al-Safâ mengikuti hampir seluruh ide

al-Kindi. Mereka menyebutkan secara rinci tentang pengaruh psikologis yang

ditimbulkan oeh nyanyian dan ritme. Teori ini dikenal dengan sebutan al-Ta'tsir

(pengaruh), sebuah teori yang memiliki pengaruh besar di dunia Islam abad ke-

13 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 19-20. 14 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 8. 15 Ibid., h. 8.

Page 20: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

20.16 Di dalam Rasa’il Ikhwan al-Safâ seperti yang dikatakan oleh Mulyadhi

bahwa musik itu termasuk dalam kategori ilmu matematika.17

Al-Farâbî (w. 339/950M), seorang filosof Islam yang terkenal dengan teori

emanasinya, dan juga seorang ahli dalam teori musik melalui bukunya Kitâb al-

Mûsiqa al-Kabîr, seperti yang dikutip oleh Muhaya, adalah sebuah karya dalam

bidang teori musik yang terbesar pada masanya. Ia tidak sekedar mengikuti

pendapat-pendapat bangsa Yunani, tetapi ia mengikutinya secara kritis. Hal itu

dibuktikan dengan penolakannya terhadap teori bangsa Yunani yang mengatakan

bahwa suara akan lebih pelan jika didengar di air daripada di udara dan teori yang

mengatakan bahwa wol tidak akan mengeluarkan suara bila menabrak (pendapat

Aristoteles). Dia juga tidak mengulangi kesalahan Nichomachus yang menyatakan

bahwa Pythagoras menemukan konsonan dengan cara membandingkan berat palu-

palu yang ada di toko tukang besi. Al-Farabi juga mengembangkan teori al-ta'tsir

jauh lebih maju jika dibanding teori Yunani dan al-Kindi.18

Muhaya juga menulis bahwa Ibn Sîna (w. 428/1037), dalam bukunya al-

Syifâ', menulis satu bab tentang musik, demikian juga dalam kitab al-Najât. Salah

seorang murid Ibn Sîna, Abû Mansûr ibn Zailah (w. 440/1048), menulis Kitâb al-

Kâfi fî al-Mûsiqa. Kitab ini dari segi isinya dipandang lebih komprehensif jika

dibanding dengan tulisan-tulisan Ibn Sîna tentang musik karena memuat banyak

materi yang tidak dijumpai di dalam buku-buku yang lain, terutama dalam hal

praktik musik. Kita juga tidak boleh lupa terhadap jasa Ibn al-Sid (w. 458/1066),

seorang ahli dari Andalusia yang telah menulis beberapa pasal tentang musik dan

16 Ibid., h. 9. 17 Bimbingan dan perbaikan skripsi dengan Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara pada

tanggal 19 Juni 2008. 18 Ibid., h. 9.

Page 21: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

alat-alat musik dalam bukunya Kitab al-Mukhassas, Abû al-Salt Umayyah al-

Andalusi (w. 529/1134), orang yang ahli dalam teori dan praktik musik, yang

menulis Risalah fî al-Musiqi, sebuah buku yang telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Hebru. Ibn Bajjah (w. 533/1139), seorang filsuf dari Andalusia juga

mengarang Kitâb al-Musiqa, sebuah kitab musik yang terkenal di Barat

sebagaimana terkenalnya Kitâb al-Musiqa karya al-Farâbî di belahan dunia

Timur.19

.Selain dari penyusunan kitab musik oleh para cendikiawan, timbul

perhatian dalam bidang pendidikan musik yang dicurahkan pada akhir masa

Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalifah dan para pejabat lainnya

memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik.

Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah,

baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik

yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘îd ‘Abd al-

Mu'min (w. 1294 M).19

Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbâsiyyah didirikan banyak

sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu

syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah

pejabat negara ataupun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan.

Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk

mempelajari musik.20 Bahkan di Sevilla (Andalusia) telah didirikan pabrik alat-

alat musik, alat-alat yang dikeluarkan oleh pabrik ini ialah Mizbar (kecapi klasik),

19 Ibid., h. 10. 19 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 20. 20 Ibid., h. 20.

Page 22: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

‘Ud qadim (kecapi lama), ‘Ud kamil (kecapi lengkap), syahrud (kecapi lengkung),

Murabba' (semacam gitar), qitara (gitar), dan kamanja (semacam rebab).21

Kehadiran musik dalam dunia Islam, baik itu pada masa awal Islam

maupun pada masa kini telah menyentuh berbagai aspek tradisi umat Islam yang

sangat fundamental. Panggilan untuk shalat (al-adzân) hampir selalu

dikumandangkan dengan lagu,22 sebagaimana halnya al-Qur'an al-Karim yang

dengan melagukannya merupakan hidangan yang sangat bergizi bagi jiwa kaum

mukminin, sekalipun secara teknis melagukan al-Qur'an tidak pernah disebut

sebagai "musik". Sekarang pun, selama bulan Ramadhan, di beberapa kota Islam,

dapat ditemukan tradisi lama yaitu pada waktu makan sahur banyak orang

membangunkan orang untuk sahur berjalan-jalan sambil bernyanyi, dan terkadang

menggunakan alat musik gendang, gitar, dan yang lainnya.

Selain itu, orasi-orasi pada pemakaman yang diselenggarakan dengan

peraturan agama yang sangat ketat umumnya dibacakan dengan lagu dan di

beberapa tempat keramat, musik menyertai upacara-upacara religius seperti yang

terjadi di makam Imam ‘Ali al-Ridâ, di Masyhad Persia, di mana tambur-tambur

dan obo (semacam seruling) dibunyikan untuk menyambut terbitnya sinar

matahari di setiap pagi hari. Bahkan di masa lalu, tentara muslim yang berangkat

menunaikan perang suci (jihâd fî sabîlillâh) diiringi dengan musik untuk

meningkatkan keberanian dan keteguhan hati perjuangan mereka. Sebenarnya

21 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian : Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya

Manusia (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), h. 170. 22 Dibeberapa bagian dunia Islam seperti Indonesia, adzan didahului dengan pemukulan

gendang (beduk) yang gemanya lebih jauh daripada suara muadzin itu sendiri.

Page 23: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

kelompok musik militer pun pertama kali diciptakan oleh Dinasti Ottoman dan

kemudian ditiru oleh seluruh negara Eropa.23

Beberapa tabib muslim menggunakan musik sebagai sarana penyembuhan

penyakit, baik jasmani maupun ruhani dan telah ditulis pula beberapa risalah

tentang ilmu pengobatan melalui musik seperti karya al-Farâbî yang berjudul al-

‘Ilaj fî al-Mûsiqa (pengobatan melalui musik) dan Ikhwân al-Safâ membahas

tentang pengaruh musik pada jiwa dalam Rasa’il mereka. Para pujangga pun pada

umumnya memahami musik. Syair pada khususnya hampir tidak dapat dipisahkan

dari musik sepanjang sejarah Islam seperti kitab al-Aghanî karya Abû Faraj al-

Asfahânî yang menjelaskan kisah pada permulaan periode Islam. Dalam sastra

Arab maupun Persia, perpaduan yang erat antara syair-syair terkemuka seperti

Burdah atau ghazal-ghazal karya Hafîz dengan pembacaannya secara musikal

terlihat di hampir setiap masa dan kesempatan. Hal yang sama terjadi pula di

Turki, Urdu, dan di berbagai negeri belahan dunia Islam lainnya.24

B. Jenis-Jenis Musik

Manusia dengan daya kreatifitasnya yang terus berkembang terus-menerus

dapat menghasilkan sebuah karya yang berbeda-beda, manusia mampu

memadukan antara satu suara dengan suara yang lainnya dalam susunan yang

harmonis, yang akhirnya melahirkan musik yang dapat menyebabkan

kegembiraan atau kesedihan pendengarnya. Untuk keperluan tersebut

diciptakanlah alat musik.

23 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 165-

166. 24 Ibid., h. 167.

Page 24: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Pada perkembangan selanjutnya, musik berkembang bersamaan dengan

berkembangnya suatu bangsa. Karena itu, kualitas musik dapat dijadikan salah

satu indikator bagi kualitas kebudayaan suatu bangsa. Ilmu yang mempelajari hal

ini disebut ethnomusicology, suatu cabang ilmu yang berpangkal dari sebuah

pemikiran bahwa musik adalah bagian dari tingkah laku manusia sehingga tidak

dapat dilepaskan dari budaya tertentu.25

Secara ontologis, musik merupakan perpaduan antara unsur material

dengan immaterial. Ia tersusun dari elemen-elemen yang bersifat jasmaniah dan

ruhaniah. Karena itu, musik memiliki kekuatan untuk menspiritualkan hal yang

materi dan sebaliknya, mematerikan hal yang spiritual. Adapun esensi musik itu

berupa substansi ruhaniah, yaitu jiwa pendengar.26

Dalam sejarah musik, kita dapat mengenal adanya tiga jenis musik yang

ada dalam dunia musik. Pertama, musik vokal yaitu melagukan sebuah syair yang

hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen

musik,27 Seperti paduan suara, dan acapela. Kedua, musik instrumentalia yaitu

musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik itu sendiri sehingga terdengar

harmonis dan teratur, seperti pertunjukan-pertunjukan musik orkestra, dan musik-

musik klasik ciptaan Mozart, Beethoven, dan Sebastian Bach. Ketiga, musik

campuran yang merupakan perpaduan antara musik vokal dan musik

instrumentalia. Walaupun pengkategorian jenis musik seperti ini, terkadang

merupakan hal yang subjektif, namun merupakan salah satu ilmu yang dipelajari

dan ditetapkan oleh para ahli musik.

25 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 27 26 Ibid., h. 30. 27 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 13.

Page 25: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Biasanya, jenis musik pertama lebih tinggi nilainya daripada yang kedua

dan ketiga.28 Keutamaan musik vokal disebabkan oleh kemampuan kapasitasnya

dalam berkomunikasi dengan makna (pesan). Al-Farâbî mengatakan bahwa dilihat

dari fungsinya, musik dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam:

1. Musik yang digunakan oleh pendengarnya sebagai alat untuk menghibur

diri, ini adalah fenomena yang sering kita jumpai.

2. Musik yang bertujuan untuk terjadinya suatu aksi dan reaksi (perbuatan

tertentu).

3. Musik yang membangunkan (membangkitkan) imajinasi.

Ketiga jenis musik itu terangkum dan termuat dalam suara manusia. Di

samping alasan di atas, keutamaan musik vokal juga disebabkan sumber musik.

Pendapat ini berkeyakinan musik vokal lebih mulia daripada musik instrumentalia

karena keutamaan sumbernya. Musik vokal bersumber dari manusia, sedangkan

musik instrumental berasal dari benda. Karena manusia lebih mulia daripada

benda. Musik vokal diciptakan oleh Tuhan, sedangkan instrumen musik

diciptakan oleh manusia.29

Apresiasi terhadap musik vokal, secara historis sudah ada sejak masa pra-

Islam, baik di kalangan bangsa Arab maupun bangsa-bangsa lain. Posisi tersebut

tidak bergeser pada masa Islam. Hal itu dapat dilihat pada sikap Nabi Muhammad

saw yang membiarkan kehadiran penyanyi di hadapan istrinya.30 Nabi pun pernah

28 Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrument musik) tidak

diperselisihkan oleh ulama fiqih. 29 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 30-31.

30 Ibid., h. 31.

Page 26: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

meminta Ka‘ab ibn Mâlik untuk melantunkan sebuah syair, di kala beliau menaiki

unta dalam perjalanannya untuk menyerang Taif setelah Perang Hûnain.31

Ada juga bentuk musik yang lebih populer, yang sering disebut dengan

musik rakyat. Keberadaannya merupakan bagian integral dari pola kehidupan

berbagai kelompok, terutama pedalaman dan di antara suku pengembara di

seluruh dunia Islam dan dinyanyikan atau dimainkan oleh orang-orang yang

benar-benar berpegang teguh pada syariat. Terkadang, jenis musik ini, menjadi

inspirasi bagi para tokoh sufi untuk kesempurnaan tujuan spiritual pada pertemua-

pertemuan mereka. Bahkan Jalâl al-Dîn Rûmî sering mengambil nyanyian dari

kedai-kedai minuman di Anatolia dan mengubahnya menjadi sarana untuk

mengungkapkan kerinduan yang sangat mendalam kepada Tuhan.32

Di samping jenis-jenis musik tersebut, harus disebutkan pula tradisi musik

klasik yang menonjol dalam dunia Islam seperti musik klasik Persia, Andalusia

(Spanyol), Arab Timur Dekat, Turki, dan India Utara yang masih terus hidup

sampai saat ini. Meskipun tradisi musik ini bersumber dari peradaban kuno,

namun semua terpadu utuh dalam semesta Islami dan jantung seni Islam. 33

C. Pandangan para Ulama tentang Hukum Musik

Seiring dengan berkembangnya musik, terlebih di dalam dunia Islam,

mungkin timbul pertanyaan mengapa banyak orang, tidak hanya para orientalis

tetapi juga beberapa cendikiawan muslim klasik maupun modern, menegaskan

bahwa musik adalah dilarang atau haram. Apakah dasar hukum Islam yang

dipakai, dan manakah bukti larangan atas musik seandainya memang ada larangan

31Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Energi Zikir dan Shalawat (Jakarta: Serambi, 2007), h. 82-83.

32 Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 166. 33Ibid., h. 166.

Page 27: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

seperti itu. Bagian musik yang mana dan jenis musik apa yang dilarang oleh

ketentuan syariat? Tidak diragukan lagi bahwa masalah ini diperdebatkan oleh

para ahli hukum dan teologi terkemuka termasuk para tokoh pemikir Islam yang

terkenal seperti Ibn Hazm dan al-Ghazâlî.

Persoalan tentang signifikansi serta legitimasi musik dalam keseluruhan

struktur tradisi Islam, bagaimanapun juga, bukanlah bersifat yuridis (fiqih) dan

teologi (kalam) semata. Hal itu mencakup seluruh aspek batin dan spiritual Islam,

oleh karena itu apapun ambiguitas yang ada secara yuridis, jawaban akhirnya,

terutama sejauh menyangkut hubungan musik dengan spiritualitas Islam, harus

dicari dalam tasawuf.34

Ironisnya, diskursus tentang kehalalan musik masih belum berakhir dan

bahkan mungkin tidak akan berakhir manakala hal tersebut hanya didekati melalui

pendekatan normatif. Baik yang menghalalkan maupun yang menolak

(mengharamkan) musik sama-sama menggunakan dalil al-Qur’an dan hadits serta

berbagai pendapat sahabat dan tabi‘in serta perkataan ulama.

Meskipun demikian, persoalan tentang hukum musik (al-sama’)

merupakan hal yang belum terjawab secara memuaskan, bahkan mungkin

persoalan tersebut tidak hanya akan berakhir kalau hanya menggunakan

pendekatan normatif semata. Sebagian ulama mengategorikan sama’ sebagai

perbuatan yang tidak bermanfaat (lahw), dapat menumbuhkan kemunafikan, dan

termasuk hal yang dilarang oleh agama. Pandangan ini didukung oleh keempat

imam mazhab fiqh meskipun dalam catatan sejarah hidup imam Abû Hanîfah,

imam Mâlik, dan imam Syâfi‘i diriwayatkan menghargai musik.35

34 Ibid., h. 168. 35 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 2-3.

Page 28: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Ahli fiqh yang mengharamkan musik mempertimbangkan berbagai

dampak negatif yang ditimbulkan oleh musik sebagai alasan keharamannya.

Mereka memasukkan kebiasaan yang jelek yang sering diiringi dengan musik dan

selanjutnya memutuskan bahwa musik itu jelek atau paling tidak dipandang

sebagai sesuatu yang mendatangkan mudharat yang lebih banyak jika dibanding

dengan manfaat yang diperoleh darinya. Oleh karena itu, musik harus

disingkirkan dari kehidupan sosial.

Sebelum kita membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqaha, terlebih

dahulu kami akan mengutip beberapa pendapat, baik dari golongan yang

mengharamkan maupun yang membolehkan. Dalam hal ini, al-Baghdadi menulis

di dalam bukunya bahwa Imam Syaukânî dalam kitabnya Nail al-Autâr

menyatakan sebagai berikut:36

1. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik.

Menurut jumhur adalah haram, sedangkan mazhab Ahl al-Madînah, al-

Zahîriyah, dan jama‘ah sufiyah memperbolehkannya.

2. Abû Mansûr al-Baghdâdi (ulama mazhab Syafi‘î) menyatakan: ‘Abd

Allâh ibn Ja‘far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi

masalah. Dia sendiri pernah menciptakan lagu untuk dinyanyikan oleh

para pelayan wanita dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa

Imam ‘Alî ibn Abî Tâlib.

3. Imam al-Haramain didalam kitabnya al-Nihâyah mengatakan bahwa ‘Abd

Allâh ibn Zubair memiliki beberapa jariyah (budak wanita) yang biasa

memainkan alat gambus. Pada suatu hari ‘Abd Allâh ibn ‘Umar datang

36 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 21.

Page 29: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibn

‘Umar bertanya, “Apa ini wahai sahabat Rasûlullâh?” setelah diamati

sejenak, lalu ia berkata, “oh, barangkali timbangan buatan negeri Syam,”

ejeknya. Mendengar itu Ibn Zubair berkata, “digunakan untuk menimbang

akal manusia.”

4. al-Ruyâni meriwayatkan dari al-Qaffâl bahwa mazhab Mâliki

membolehkan menyanyi dengan ma’azif (alat musik yang berdawai).

5. Abû al-Fadl ibn Tâhir mengatakan: “Tidak ada perselisihan pendapat

antara ahli Madinah tentang menggunakan alat gambus, mereka

berpendapat boleh saja.”

Ibn al-Nahwî didalam kitabnya al-Umdah mengatakan bahwa para sahabat

Rasûlullâh saw yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain

‘Umar ibn al-Khattâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân, ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, sa‘ad ibn

Abî Waqâs, dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan Tabi‘în antara lain Sa‘id al-

Musayyâb, Salîm ibn ‘Umar, Ibn Hibbân, Khârijah ibn Zaid, dan lain-lain.37

Ibn Hajar menukil pendapat Imam Nawâwî dan Imam Syâfi‘i yang

mengatakan bahwa haramnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat

dimengerti karena hal demikian biasanya disertai dengan minum-minuman keras,

bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat.

Adapun nyanyian pada saat bekerja, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya,

dan nyanyian perang, menurut Imam Auzâ‘î adalah sunnah. Begitu juga dengan

nyanyian pada perayaan-perayaan seperti pesta nikah, khitanan, hari raya, dan

37 Ibid., h. 22.

Page 30: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

hari-hari lainnya dibolehkan. Para sufi berpendapat boleh bernyanyi dengan atau

tanpa iringan alat-alat musik.38

Al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Adapun

nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada akhirat tidak mengapa

bahkan sunnah dinyanyikan. Imam al-Mawardî berkata, “Kalau kami

mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian alat-alat permainan itu maka maksud

kami adalah dosa kecil bukan dosa besar.39

Ibn Qayyim al-Jauziyâh seorang ulama fikih mazhâb Hanbalî, yang

merupakan murid Ibn Taimîyah mengaitkan bahaya musik dengan sifat buruk

yang dimiiki oleh manusia, al-nafs al-ammârah (nafsu yang mendorong seseorang

untuk berbuat hal-hal yang jelek). Ia juga berpendapat bahwa mendengarkan

musik itu menjadikan hati jauh dari pancaran Allâh cahaya Allâh dan RahmatNya.

Musik dapat membuat manusia lupa akan kesederhanaan dan mengganggu

pikiran.40

‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî di dalam kitabnya al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhîb al-

Arba‘a mengatakan bahwa ulama Syâfi‘iyah dan Hanafiyah mengharamkan

nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang oleh syara’, selain itu

dibolehkan. Sedangkan ulama Malikiyah membolehkan musik itu untuk perayaan-

perayaan khusus, dengan alat musik khusus seperti gendang, rebana yang tidak

memakai genta, seruling dan terompet. Selanjutnya. Ulama Hanbaliyah

mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik, seperti gambus,

seruling, gendang, rebana, dan alat yang serupa dengannya. Adapun tentang

nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunnah melagukannya ketika

38 Ibid., h. 23. 39 Ibid., h. 23-24. 40 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 4.

Page 31: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

membacakan ayat-ayat al-Qur’an asal tidak sampai mengubah aturan-aturan

bacaannya.41

Golongan yang kurang setuju tentang musik, hanya membolehkan

nyanyian dalam pesta pernikahan dan hari-hari raya, juga untuk memenuhi nazar.

Untuk menguatkan pendapatnya, mereka mengutip sebuah hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhârî dari ‘Âۥisyah ra:42

ÇóäøóåóÇ Òó ÞøóÊú ÇöãúÑóÇóÉð Çöáóì ÑóÌõáò ãöäó ÇúáÇó

äúÕóÇÑöì ÝóÞóÇáó ÇáäøóöÈíøõ Õóáøó Çááåõ Úóáóíúåö

æóÓóáøóãó : íÇó ÚóÇÆöÔóÉõ ãóÇ ßóÇäó ãóÚóßõãú ãöäú

áóåúæò ÝóÅöäøó ÇúáÇó äúÕóÇÑó íõÚúÌöÈõåõãõ Çááøóåúæö

“Bahwa ia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Ansâr. Maka Nabi SAW bersabda: ″Hai ‘A’isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Ansâr senang dengan hiburan.”

Dalam kisah lain diceritakan bahwa Rasûlullâh saw pergi menghadapi

suatu peperangan. Setelah perang usai, seorang budak wanita (jariyah)kulit hitam

menjumpai beliau dan mengutarakan nazarnya untuk menyanyi sambil menabuh

rebana bila Rasûlullâh saw pulang dengan selamat dari medan perang. Dengan

izin Rasûlullâh saw, jariyah itu bernyanyi dan memainkan rebana di hadapannya.

Tak lama kemudian datang Abû Bakr, disusul ‘Utsmân serta ‘Alî turut menikmati

nyanyiannya. Namun sewaktu yang datang adalah ‘Umar ibn al-Khattâb, si

jariyah berhenti seketika dan cepat-cepat menyembunyikan rebananya.43

41 Al-Baghdadi, h. 24-25. 42 Ibid., h. 16-17. 43 Fathi Utsman, Ijtihad Pakar Islam Masa Lalu, (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h.72.

Page 32: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Dalam hal ini, Ibn Hazm menyanggah pendapat mereka. Dia mengatakan

bahwa tidak ada dalil yang menerangkan kekhususan itu. Masalah nazar tersebut

tak bisa digolongkan dalam kekhususan karena tidak boleh bernazar dalam

maksiat kepada Allâh swt. Izin yang diberikan Rasûlullâh saw terhadap jariah itu

untuk menyanyi sambil memainkan rebana membuktikan bahwa perbuatan itu

bukanlah maksiat kepada Allâh swt.44

Abû Tâlib al-Makkî pengarang kitab Qut al-Qulûb meriwayatkan dari

Syu’bah bahwa dia mendengar permainan genderang di rumah al-Minhâl ibn

Amrû, seorang ahli hadits terkenal. Abû al-Fadl ibn Tâhir juga menulis dalam

bukunya bahwa tak ada selisih pendapat di antara ulama Madinah tentang

diperbolehkannya permainan gambus. Al-Mawardî jiga mengatakan bahwa

sebagian golongan Syâfi‘iyah mengizinkan permainan gambus. Serta masih

banyak lagi yang berpendapat sama, misalnya penulis buku al-Imtâ al-Idfawî dari

Abû Bakr ibn al-‘Arabî.45

Golongan yang membolehkan nyanyian dan permainan musik,

berargumentasi bahwa kitabullah maupun sunnah Rasul tidak cukup

menghasilkan qiyas dan istidlal yang mengharamkan mendengarkan suara-suara

indah dan teratur dengan instrumen pengiringnya. Menurut Fathi ‘Utsmân,

Golongan ini juga menolak hadis yang diriwayatkan oleh Abû Amir dan Abû

Mâlik al-Asy‘arî yang dikutip al-Bukhârî: 46

áóíóßõæúäóäøó ãöäú Çõ ãøóÊöíú Þóæúãñ íóÓúÊóÍöáøõæúäó

ÇáúÍöÑøó æóÇáúÍóÑöíúÑó æó ÇáúÎóãúÑó æóÇáúãóÚóÇÒöÝó.

44 Ibid., h. 72. 45 Ibid., h. 69. 46 Ibid., h. 70.

Page 33: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

“Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera, arak, dan alat-alat musik.”

Mereka menganggap sanad dan matan hadis tersebut lemah, ada perbedaan

dalam menentukan aat-alat musik yang diperbolehkan, alat-alat musik yang

dilarang tidak bisa disamakan hukumnya dengan arak yang memang sudah jelas-

jelas haram, dan menghalalkan hal-hal tersebut pada waktu-waktu dan syarat-

syarat tertentu.47

Golongan yang membolehkan musik juga berargumentasi bahwa sekiranya

musik dan lagu dihukumi haram karena merupakan lahw (senda gurau, perkataan

yang tak berguna), maka pada hakikatnya yang ada di dunia ini juga haram.

Dasarnya adalah firman Allâh swt:

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (Q.S: Muhammad: 36)

Segala macam keramaian dan hiburan dalam pesta perkawinan merupakan

sarana dan arena kegembiraan bagi bangsa Arab. Oleh karena itu, Rasûlullâh saw

mewasiatkan agar hiburan tetap dipelihara dalam kehidupan bermasyarakat.48

Ibn Hazm juga mengatakan bahwa pendapat yang mengharamkan

nyanyian dan memainkan alat musik rebana, serta setiap alat musik termasuk

seruling, tambur, tidak dapat dijadikan hujjah karena tidak ada hujjah dalam

47 Ibid., h. 70. 48 Ibid., h. 71.

Page 34: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

ucapan manusia manapun selain ucapan Rasûlullâh saw. Ibn Hazm membantah

pendapat mereka dengan menggunakan dalil yang sama, yaitu surat Luqman ayat

6. 49

Dari uraian di atas kita dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu tergantung

dari niatnya, sesuai dengan hadits Rasûlullâh saw. Oleh karena itu siapa saja yang

niatnya mendengar nyanyian untuk melakukan suatu kemaksiatan kepada Allâh

swt, maka ia adalah seorang fasiq. Begitu pula halnya tiap sesuatu (hiburan) selain

nyanyian.

Para ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah musik

(nyanyian). Sebagian dari mereka tidak menganggap hadis-hadis yang

mengharamkan nyanyian adalah sahîh. Sedangkan yang lain telah menjadikan

hadis-hadis tersebut sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan musik.

Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai dasar pengambilan

hukum sesuai dengan ijtihadnya. Oleh karena itu, siapa saja yang ijtihadnya telah

menghasilkan suatu dugaan yang kuat bahwa bermusik dan mendengarkannya

adalah haram, maka itulah hukum Allâh swt terhadapnya, juga terhadap setiap

orang yang mengikutinya.

Sedangkan bagi orang yang belum terbukti bagi kesahîhan hadis-hadis

yang mengharamkan musik, disertai dengan dugaan yang kuat dan dengan ijtihad

yang benar, maka itulah hukum Allâh swt terhadapnya, juga terhadap setiap orang

yang mengikutinya sebab masalah ini adalah masalah khilafiyah yang tidak perlu

dibesar-besarkan. Dan seyogyanya, setiap golongan saling menghargai

pendapatnya masing-masing, tidak saling mengafirkan satu sama lain.

49 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 57.

Page 35: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

BAB III

RÛMÎ DAN TAREKAT MAWLAWIYAH

A. Biografi Rûmî

Setiap orang yang akrab dengan mistisisme Barat, khususnya tasawuf,

pasti pernah mendengar nama Jalâl al-Dîn Rûmî, karena dia merupakan salah

seorang guru sufi terkemuka di segala zaman dan karyanya banyak yang

diterjemahkan. Di samping itu, orang-orang yang mempelajari puisi, khususnya

yang tertarik dengan hasil karya dari Persia, melihat bahwa karya Rûmî sebagai

model terbaik dalam bahasa Persia. Bahkan, kaum terpelajar seperti Reynold A.

Nicholson dan A.J. Arberry, menggambarkan Rûmi sebagai penyair mistis

terbesar di segala zaman. Begitu juga dengan William Chittick dan Annemarie

Schimmel, telah menyelesaikan dan menginterpretasi ajaran-ajaran Rûmî.1

Nama asli Rûmî adalah Jalâl al-Dîn Muhammad, tetapi kemudian dia lebih

dikenal sebagai Mawlânâ Jalâl al-Dîn Rûmî, atau Rûmî saja.2 Ia dilahirkan di

Balkh pada 6 Rabi‘ul awwal 604 Hijriyah atau bertepatan 30 September 1207.

dari pihak ayahnya, ia merupakan keturunan dari khalifah Abû Bakr al-Siddîq,

sedangkan dari pihak ibu, dari ‘Ali ibn Abî Tâlib, khalifah keempat.3

Ayahnya bernama Muhammad, bergelar Bahaۥ al-Dîn Walad, adalah

ulama dan guru besar di negerinya, yang juga bergelar Sultân al-‘Ulama.4 Ia

adalah seorang ulama Sunni yang memegang teguh opini-opini ortodoks dan

kecenderungan-kecenderungan anti rasionalis. Ia tidak saja menentang para filosof

1 Mojdeh Bayat dan Mohammad ‘Ali Jamnia, Para Sufi Agung: Kisah dan Legenda, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 147.

2 Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Maulawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan MemahamiTarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 321.

3 Ibid., h. 322. 4 Abû al-Hasan al-Nadwi, Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar, Terj. M. Adib Bisri.,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 2.

Page 36: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

dan rasionalis pada masanya, namun juga berulang kali mengritik kebijaka-

kebijakan politik Sultan. Aflakî, pengikut tarekat Mawlawiyah dan murid dari

Salabi Amir ‘Arîf cucu dari Rûmî, pengarang Manâqib al-‘Arifîn, seperti yang

dikutip oleh Mulyadhi, menyatakan bahwa Bahaۥ al-Dîn Walad berdakwah

menentang “pembangunan” yang dilakukan penguasa Muhammad Qutb al-Dîn

Khawârizimsyah dan mendorong masyarakat untuk mempelajari dan menjalankan

pandangan-pandangan Islam. Oposisi ini melahirkan rasa antipati Sultan

kepadanya.5

Sekitar 616/1219, pada usia kira-kira 12 tahun, Rûmî bersama seluruh

anggota keluarganya, diam-diam meninggalkan kampung halamannya, untuk

beribadah haji, namun tidak untuk kembali, karena ayahnya telah mendengar

tentang invasi Mongol ke arah kota kelahiran Rûmî, Balkh.6

Dalam perjalanannya mereka singgah di Nisyapur, kota kediaman Farîd al-

Dîn al-‘Attâr pengarang kitab Mantiq al-Tair (Musyawarah Burung), Rûmî dan

keluarganya disambut hangat oleh ‘Attâr. Bahaۥ al-Dîn Walad dan ‘Attâr duduk

bersama sambil minum teh, dan memperbincangkan al-Qur’an. Kemudian,

keluarga itu bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Ketika Rûmî muda

berjalan tepat di belakang ayahnya, ‘Attâr menoleh kepada salah seorang

muridnya dan berkata, “Lihalah situasi khusus ini, di sana berjalan lautan yang

diikuti samudera.”7 Tampaknya, pandangan mata ‘Attâr telah kasyaf dan melihat

potensi besar Rûmî walaupun ia masih muda, dan belakangan pernyataan ‘Attâr

ini terbukti.

5 Mulyadhi Kartanegara, Jalâl al-Dîn Rûmî: Guru Sufi dan Penyair Agung, (Jakarta:

Teraju, 2004), h. 2. 6 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed.,Mengenal dan Memahami, h.

322. 7 Mojdeh Bayat, dan ‘Ali Jamnia, Para Sufi Agung, h. 150.

Page 37: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Pada kunjungan tersebut, ‘Attâr menghadiahi Rûmî dengan kitab Asrâr

Nameh (Kitab Misteri-Misteri). Ia memberitahu Baha’ al-Dîn bahwa puteranya,

Rûmî akan menyalakan api dunia pencinta ilahi. Ia juga bertemu guru agung,

Syaikh Sihab al-Dîn ‘Umar Surahwardî, seorang sufi terkenal lainnya di sana.8

Dari Nisyapur, keluarga Rûmî pergi ke Baghdad menuju Mekkah, untuk

menunaikan ibadah haji. Dari Mekkah perjalanan diteruskan ke Damaskus, Syria,

kemudian ke Malatiya (Melitene). Dari Malatiya ia menuju ke Arzijan (Armenia),

dan kemudian Zaranda, sekitar empat puluh mil dari barat daya Konya, yang

menjadi tempat tinggalnya bersama keluarganya selama empat tahun. Di kota

Zaranda inilah Rumi menikahi seorang gadis muda bernama Jauhar Khatun, putri

Lala Syaraf al-Dîn dari Samarqand pada tahun 622/1225, jadi Rûmî menikah kira-

kira umur 18 tahun.9

Kota Zaranda pada saat itu dikuasai oleh dinasti Seljuk, dan penguasanya

yang bernama ‘Alâ al-Dîn Kaiqabad, mengundang Keluarga Rûmî ke Konya, ibu

kota kekaisaran Seljuk Barat. Diriwayatkan bahwa ayah Rûmî sangat dihormati

oleh Sultan dan menjadi pembimbing spiritualnya. Bahkan sang penguasa

memberinya gelar kehormatan sebagai “Sultân al-‘Ulama,” rajanya para ulama.

Baha’ al-Dîn Walad, sang guru terkemuka memperoleh ketenaran dan posisi

terhormat hingga wafat pada tahun 1230 M.10

Setelah ayahnya wafat, Rûmî meneruskan posisi ayahnya sebagai

penasehat para ulama Konya dan murid-murid ayahnya. Terkesan oleh kedalaman

pengetahuan dan keluasan pengalamannya, guru sultan, Badr al-Dîn Gohartâs,

8 Mulyadhi, Jalâl al-Dîn Rûmî, h. 2. 9 Ibid., h. 3 10 Mulyadhi, Tarekat Maulawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 323.

Page 38: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

mendirikan sebuah perguruan tinggi yang dikenal sebagai Madrasa-i

Khudavandgar, di sini Rûmî mengajar dan berdakwah kepada orang-orang.

Rûmî diperkirakan akrab dengan ajaran-ajaran tasawuf karena bimbingan

ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, salah seorang murid ayah Rûmî Burhan al-

Dîn Muhaqqiq dari Tirmidz memberikan pendidikan lanjutan untuknya. Atas

anjuran Burhan al-Dîn, Rûmî meneruskan pendidikannya di Aleppo. Kemudian, ia

melanjutkan perjalanannya ke Damaskus. Di sini ia bertemu dan bercakap-cakap

dengan tokoh-tokoh besar yang paling berpengaruh pada zamannya, seperti Muhy

al-Dîn ibn ‘Arabî, Sa‘ad al-Dîn al-Hamawî, ‘Utsman al-Rûmî, Awahad al-Dîn al-

Kirmanî, dan Sadr al-Dîn al-Qunyawî.11

Rûmî tetap menduduki jabatannya di Universitas Konya, meskipun ia

sudah diakui sebagai guru sufi. Ia memperoleh kehormatan dan ketenaran yang

tesebar luas, banyak orang dari seluruh penjuru wilayah datang untuk

menemuinya untuk belajar padanya. Mungkin ia akan tetap seperti itu andai ia

tidak bertemu dengan seseorang yang paling menentukan kehidupan spiritualnya,

yaitu Syams al-Dîn Tabriz.

Syams al-Dîn Tabriz yang misterius pertama kali bertemu dengan Rûmî

pada tahun 642/1244, usia Rûmî pada saat itu sekitar 37 tahun. Peristiwa ini

mendorong Rûmî meninggalkan ketenaran dan mengubahnya dari seorang teolog

terkemuka menjadi seorang penyair mistik.

Begitu kuatnya pesona kepribadian Syams-al-Dîn Tabriz ini, membuat

Rûmî lebih memilih untuk menghentikan aktivitasnya sebagai guru. Ia banyak

menghabiskan waktu dengan Syams al-Dîn, akibatnya, murid-muridnya merasa iri

11 Ibid., h. 323.

Page 39: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

dan cemburu karena hubungannya dengan sang guru terputus begitu saja karena

kehadiran orang asing seperti Syams al-Dîn. Akhirnya, mengetahui keadaan

seperti ini Syams al-Dîn meninggalkan Rûmî, setelah tinggal di Konya selama 16

bulan, lalu ia pergi ke Damaskus.

Rûmî yang tidak kuat berpisah dengan gurunya itu, mengirimkan putranya

Sultân Walad untuk mencari Syams al-Dîn agar kembali ke Konya. Syams al-Dîn

akhirnya kembali ke Konya, namun tak lama setelah kedatangannya, dia

menghilang lagi secara misterius. Perpisahan ini membuat Rûmî sedih dan

tertekan kondisi mentalnya.

Menurut Idris Syah, seperti yang dikutip oleh Mojdeh dan ‘Alî

mengatakan bahwa sebagaian sufi termasuk anak Rûmî yaitu Sultân Walad,

menyamakan Syams al-Dîn dengan nabi Khidr yang misterius, penuntun, dan

guru para sufi.12

Untuk mengobati kesedihannya, dan mengungkapkan berbagai perasaan

dan pandangannya, Rûmî mengangkat Syaikh Salah al-Dîn Faridun Zarkub,

seorang darwis dan tukang emas, untuk menjadi khalifah yang menggantikan

Syams al-Dîn. Setelah Salah al-Dîn wafat, Rûmî menunjuk Chelebi (Sayyid)

Husam al-Dîn ibn Muhammad ibn Hasan Akhis menggantikannya. Dengan

sahabat baru inilah Rûmî menemukan sumber inspirasi yang segar dan ak kunjung

kering untuk magnum opusnya Matsnâwî. Itulah alasan mengapa karya ini disebut

juga sebagai kitab-i Husam (bukunya Husam).13

Setelah menyelesaikan penulisan Matsnâwî, kesehatan Rûmî terus

menurun dan tak lama kemudian jatuh sakit. Diriwayatkan, selama masa sakit ini

12 Mojdeh Bayat, dan ‘Ali Jamnia, Para Sufi Agung, h. 152. 13 Mulyadhi, Jalâl al-Dîn Rûmî, h. 8.

Page 40: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Sadr al-Dîn al-Qunyawî, murid Ibn ‘Arabî menjenguk Rûmî dan sempat

mendoakan keselamatan sang Maulânâ, tetapi yang didoakan justru telah tak sabar

untuk berjumpa dengan Sang Kekasih. Akhirnya pada hari Minggu, tanggal 16

Desember 1273 Mawlânâ Rûmî menghembuskan nafasnya yang terakhir di kota

Konya.14

Ketika jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-

desak ingin menyaksikan. Para pemeluk agama lain pun ikut menangisi

kepergiannya. Orang Yahudi dan Nasrani, misalnya, membacakan Taurat dan

Injil. Hadir juga para penguasa negeri. Kepada para pastur dan rahib, penguasa

setempat bertanya: “Peduli apa kalian dengan suasana berkabung saat ini?

Bukankah yang meninggal ini jenazahnya seorang muslim yang alim.” Para pastur

dan rahib itu menjawab: “Berkat dialah kami mengetahui kebenaran para nabi

terdahulu, dan pada dirinya kami memahami prilaku para wali yang sempurna.”15

Sebagian orang mengatakan kalau Rûmî adalah orang Turki, karena Rûmî

menjalani sebagian hidupnya di Konya, sebuah kota di wilayahTurki. Sementara

itu, sebagian lagi mengatakan Rûmî adalah orang Afghanistan, karena ia

dilahirkan di Balkh, kota yang berada di wilayah Afghanistan sekarang. Tetapi

sebagian yang lain menyepakati bahwa Rûmî adalah orang Persia. Alasannya

adalah, karena Balkh, kota kelahiran Rûmî, pada saat ia dilahirkan merupakan

termasuk wilayah kekuasaan Persia, dan karya-karya Rûmî banyak yang ditulis

dalam bahasa Persia. Bagaimanapun juga, Rûmî memang telah memilih Konya

sebagai tempat tinggalnya hingga ajal menjemputnya. Tentunya, tempat lahir dan

14 Mulyadhi, Tarekat Maulawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan Memahami,

h.325. 15 al-Nadwi, Jalâl al-Din Rûmî, h. 9.

Page 41: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

kebangsaan bukan hal yang sangat penting bagi Rûmî, karena jiwa mistik sejati

bersifat universal.

B. Karya-Karya Rûmî

Setelah wafat, Rûmi meninggalkan karya-karya yang indah lagi kaya,

bukan saja bagi kaum Muslim tapi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Rûmî

melalui murid-murid dan karya-karyanya dihargai dan dimanfaatkan oleh guru-

guru sufi sesudahnya, tidak hanya kaum sufi bahkan mereka penikmat puisi,

dimabukkan oleh kata-kata Rûmî yang magis. Dalam contoh berikut ini, yang

diterjemahkan oleh Nicholson, yang dikutip oleh Mojdeh dan ‘Alî, puisi Rûmî

yang mengisahkan tentang seruling (menyimbolkan jiwa manusia) yang meratapi

perpisahannya dengan asalnya (Tuhan), yang diwakili oleh bambu.16

Dengarkan seruling sebagaimana ia berkisah, karena perpisahannya ia adukan derita.

Katanya, “Sejak aku terpisah dari rumpun bambuku, laki-perempuan telah merintih dalam jeritku.”

Kuingin dada yang terkoyak-koyak perceraian biar kuungkapkan semua derita kerinduan.

Siapa saja yang terlempar dari asalnya mencari saat kembali ia bergabung dengannya.

Pada setiap kelompok, jeritan kugubah lagu dan dendang, aku bergabung dengan yang malang dan senang.

Setiap orang menduga dia sudah menjadi kawanku. Tapi tak seorang pun ingin tahu rahasia apa yang sedang ku

kandung. Rahasiaku tak jauh dari jeritanku, namun mata dan telinga tak cukup

punya cahaya (untuk menyerapku). Raga bukan selubung ruh, ruh pun bukan selubung raga, tapi tak

seorang pun diizinkan memandang ruh Karya-karya Rûmî sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan

popularitas Tarekat Mawlawiyah, baik yang ditulis oleh Rûmî sendiri, maupun

para pengikutnya, baik pada masa lalu maupun pada masa kini. Popularitas

16 Mojdeh dan ‘Ali, Para Sufi Agung, h. 148.

Page 42: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Tarekat Mawlawiyah tentu sangat terikat dengan karya utama Rûmî, yang

berjudul Matsnâwî al-Ma‘nâwî, atau Matsnâwî Jalâl al-Dîn Rûmî. Ini adalah

maha karya yang sangat agung, yang telah mendapat pujian dari ‘Abd al-Rahmân

Jâmî sebagai al-Qur’an dalam bahasa Persia.17

Matsnâwî merupakan syair panjang sekitar 25.000 untaian bait bersajak,

yang terbagi dalam enam kitab. Karya ini ditulis selama lima belas tahun terakhir

hidup Rûmî dan dimulai untuk memenuhi permintaan Husyâm al-Dîn. Karya ini

menyajikan ajaran-ajaran mistik Rumi dengan indah dan kreatif melalui anekdot,

hadis-hadis nabi, dongeng, tema-tema foklor, dan kutipan-kutipan dari al-Qur’an.

Bagi para pengikut Rûmî, Matsnâwî adalah penyibakan makna batin al-Qur’an,

sedangkan bagi Rûmî sendiri, Matsnâwî adalah akar dari akarnya akar agama

Islam dalam hal penyingkapannya terhadap misteri-misteri dalam memperoleh

kebenaran dan keyakinan.18

Selain Matsnâwî, Rûmî juga menulis ghazal (puisi cinta) yang ditujukan

untuk gurunya, yang menghilang secara misterius. Ghazal-ghazal ini sekarang

dikenal dengan Divan-i Syams-i Tabriz (Ode Mistik Syamsi Tabriz). Karya

memukau ini dipersembahkan Rûmî kepada gurunya tercinta, Syams al-Dîn

Tabriz, dan ditulis untuk mengenangnya (in memoriam). Disini Rûmî

mengekspresikan penghormatannya kepada Syams, yang namanya sering dikutip

diakhir setiap bait. Karya ini berisikan koleksi yang sangat banyak, sekitar 2.500

ode mistik. Nama Syams al-Dîn Tabriz (Matahari Agama) itu sendiri sangat

simbolik dan Rûmî sering kali menggunakan simbolisme nama ini pada syair-

17 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 334. 18 Ibid., h. 334.

Page 43: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

syair yang tampaknya merujuk pada guru dan Tuhan sekaligus.19 Mojdeh dan ‘Ali

mengatakan, dibandingkan dengan Matsnâwî, yang merupakan karya yang lebih

tenang, Divan-i Syams-i Tabriz lebih jelas mewakili rasa mabuknya keadaan

mistik 20

Karya besar lainnya yang patut disinggung disini adalah sebuah karya posa

yang berjudul Fîhi Mâ Fîhi, yang arti harfiahnya, “Di dalamnya ada di sana”, dan

telah diterjemahkan menjadi Discourse of Rûmî atau “Percakapan Rûmî”. Karya

prosa ini mencakup ucapan-ucapan Rûmî yang ditulis oleh putra sulungnya Sultân

Walad. Eve de Vitray-Meyerovitch yang menerjemahkannya ke dalam bahasa

Prancis, menggambarkannya sebagai “benar-benar menarik, bukan saja untuk

memahami pemikiran Rumi dan tasawuf pada umumnya, tapi juga karena

kedalaman dan keunggulan analisis isinya, yang menjadikannya inisiasi tentang

dirinya sendiri”.21

Sebenarnya masih ada karya-karya Rûmî yang lain, seperti Ruba’iyat

(syair empat baris dari Rûmî), berisikan sekitar 1.600 kuatren orisinal, yang

mencakup ide-ide Rûmî tentang tema-tema yang beragam dalam tasawuf, seperti

tawakal, ikhlas, cinta, iman, akal, dan penyatuan. al-Maktûbât, karya Rûmî yang

lain berisikan 145 surat yang rata-rata sepanjang dua halaman, yang ditujukan

kepada para keluarga raja dan bangsawan Konya, tetapi karya ini tidak begitu

dikenal dan berpengaruh.22 Maqalat-i Syams-i Tabriz (Percakapan Syamsi

Tabriz), karya Rûmî yang lain, dianggap sebagai buah persahabatan intim Rûmî

dengan guru dan sahabatnya, Syams-al-Dîn Tabriz. Ia berisikan beberapa dialog

19 Mulyadhi, Jalâl al-Din Rumi, h. 11. 20 Mojdeh dan ‘Ali, Para Sufi Agung, h. 162. 21 Mulyadhi, Jalâl al-Din Rumi, h. 12-13. 22 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 336.

Page 44: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

mistik antara Syams sebagai guru dan Rûmî sebagai murid. Sekalipun karya

tersebut menjelaskan prihal kehidupan, namun menurut Mulyadhi, mengutip

Nicholson, mengatakan bahwa karya ini menerangkan beberapa ide dan doktrin

sang penyair.23 Majlis-i Sab‘ah (Tujuh Pembahasan), karya Rûmî yang

merupakan prosa juga, berisikan sejumlah pidato dan kuliah Rûmî yang diberikan

bukan saja untuk kaum sufi, tapi juga khalayak umum. Pidatonya kebanyakan

dalam bentuk nasehat dan konseling, dan agaknya disampaikan sebelum

pertemuannya dengan Syams al-Dîn Tabriz.24

Inilah beberapa karya yang sangat penting sebagai sumber informasi dan

ajaran Tarekat Mawlawiyah yang telah menjadi warisan abadi tarekat ini, dan juga

mempengaruhi para sufi sesudah Rûmî.

C. Tarekat Mawlawiyah

Selain karya-karya sastra, Rûmî juga melatih banyak sekali murid yang

menjadi cikal-bakal Tarekat Mawlawiyah. Sementara karya-karyanya

menyediakan para murid dengan pandangan-pandangan teoritis, tarekatnya

menyediakan mereka jalan praktis, sejenis metode psikologis untuk membimbing

setiap individu dengan membuka jalan jiwanya menuju Tuhan, membimbingnya

melalui beberapa tahap, dari ketaatan yang tegas terhadap hukum (syariat) hingga

kenyataan ketuhanan (hakikat).25

Nama Mawlawiyah berasal dari kata “Mawlânâ”, (guru kami atau our

master) yaitu gelar yang diberikan murid-murid Jalâl al-Dîn Rûmî. Oleh karena

itu, jelas bahwa Rûmî adalah pendiri tarkat ini, yang didirikan sekitar 15 tahun

23 Mulyadhi, Jalâl al-Din Rûmî, h. 10-11. 24 Ibid., h.14. 25 Ibid., h. 14.

Page 45: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

terakhir hidup Rûmî. Walaupun dapat dibilang tidak terlalu besar dibanding

misalnya dengan tarekat Naqsyabandi, tetapi tarekat ini masih bertahan hidup

hingga akhir-akhir ini dan salah satu mursyid (spiritual guide) dan sekaligus wakil

yang terkenal secara internasional dari tarekat ini adalah Syaikh Kabîr Helminski,

yang bermarkas di California, Amerika Serikat.26

Ciri utama tarekat ini adalah konser spiritual, sama‘, yang dilembagakan

Rûmî pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai, Syams al-Dîn

Tabrîz. Peristiwa ini menjadikan Rûmî sangat sensitif terhadap musik, sehingga

tempaan palu dari seorang pandai besi saja cukup untuk membuatnya menari dan

berpuisi.27 Bahasan tentang sama‘ akan dijelaskan secara lebih mendalam pada

Bab IV.

Sekalipun sama‘, dalam bentuk tarian berputar, telah dimainkan oleh

banyak tarekat sufi, Rûmî menjadikannya sebagai ciri khas dasar dari tarekatnya.

Karena itu, tarekat tersebut dikenal di Barat sebagai Para Darwis yang Berputar

(the Whirling Darvish).

Setelah Rûmî wafat, pimpinan tarekat Mawlawiyah diambil alih oleh

sahabat karibnya dan khalifahnya, Husyâm al-Dîn. Demikian juga ketika Husyâm

al-Dîn wafat, pimpinan tarekat diambil alih oleh Sultân Walad, putra sulung

Rûmî, yang sangat berperan penting dalam mengembangkan dan menyebarkan

ajaran-ajaran Rumi melalui tarekatnya.

Setelah kematian Sultân Walad pada 1312, ia digantikan oleh putranya Ulu

‘Arîf Chelebi, guru Syams al-Dîn Aflâkî, yang telah memainkan sebuah peran

utama dalam pendirian dan organisasi tarekat Mawlawiyah. Ketika ia meninggal

26 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 321. 27 Ibid., h.337.

Page 46: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

pada 1320 M., saudaranya Syams al-Dîn Emir ‘Alîm menjadi syaikh tarekat ini.

Setelah kematiannya pada 1328 M., putra-putranya dan keturunannya meneruskan

jabatan syaikh ini.28 Pada saat itu Tarekat Mawlawiyah telah menyebar ke seluruh

Anatolia (Romawi), dan ke wilayah-wilayah bukan saja di Turki dan Anatolia

saja tapi ke seluruh dunia.29

Pada 1925, Kemal Pasya Attaturk, presiden Republik Turki, memberikan

tekanan terhadap semua tarekat di Turki dan sekarang takyas (pusat-pusat sufi)

yang tua, termasuk milik tarekat Mawlawiyah, dijadikan museum. Pada 1927,

presiden ini mengizinkan makam Rûmî dibuka sebagai museum, tempat para

pencinta Rûmî bisa berkunjung. Sekarang terdapat sekitar “25.000 orang datang

dari seluruh dunia setiap Desember ke Konya dan menonton para pengikut tarekat

Mawlawiyah berputar dengan tarian suci mereka untuk menghormati pendiri

tarekat mereka, Jalâl al-Dîn Rûmî”.30

Pada abad ke 19, Tarekat Mawlawiyah adalah salah satu dari sekitar

tarekat sufi yang aktif di Turki, sedangkan diseluruh wilayah kerajaan Turki

‘Utsmani, dahulu terdapat sekitar tiga puluh tujuh tarekat. Dari sekitar tiga ratusan

tekke (tempat para sufi) yang ada di Istambul, hanya empat di antaranya yang

menjadi milik tarekat Mawlawiyah. Sekalipun demikian, menurut Ernst, orang

Barat, sampai sekarang tetap menganggap Darwis yang Berputar-putar (the

whirling darvish) sebagai representasi sufisme secara keseluruhan. Ini disebabkan

oleh adanya Galata Mevlevihane, sebuah bukit di Isambul yang menjadi situs

tekke Mawlawiyah selama berabad-abad. Bukit Galata menjadi tempat tinggal

kaum Mawlawiyah, dan pertunjukan sama‘ yang diselenggarakan tiap dua kali

28 Ibid., h. 339-340. 29 Mulyadhi, Jalâl al-Dîn Rumi, h. 18. 30 Ibid., h. 18.

Page 47: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

seminggu pun menjadi atraksi yang menarik bagi para turis pada pertengahan

abad itu.31

Berbeda dengan sarjana-sarjana sebelumnya, pada masa kini, Syaikh Kabir

Helminski menulis dan memperkenalkan Rûmî dan tarekatnya dari dalam tradisi

Mawlawi sendiri, kepada audiens internasional, karena ia adalah anggota Tarekat

Mawlawiyah. Lebih dari itu, ia kini telah menjadi salah seorang mursyid (spiritual

guide) terkemuka dari tarekat Mawlawiyah, setelah berpindah agama dan bahkan

dianggap sebagai wakil (representative) dari tarekat Mawlawiyah. Kini ia dan

istrinya Cemille Helminski, adalah co-direktur dari Threshold society sebuah

organisasi nonprofit yang dipersembahkan untuk berbagi pengetahuan dan praktik

tasawuf, dan merupakan pusat kajian Rûmî internasional.32

31 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 247. 32 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 346-348.

Page 48: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

BAB IV

SAM‘ DALAM TAREKAT MAWLAWIYAH

Sekilas Tentang Sama‘

Mungkin tidak ada aspek tasawuf yang lebih kontroversial, dan sekaligus

populer, dibanding praktik musik (al-sama‘). Musik dan nyanyian dalam zikir ini

(ada yang memakai tarian), dalam literatur tasawuf disebut sama‘. Walaupun

dalam sistem peribadatan formal Islam, sama‘ bisa dikatakan tidak mempunyai

tempat yang real, tetapi ia memainkan peranan yang besar dalam praktik kesufian.

Para sufi berkeyakinan, bahwa sama‘ bukan hanya memiliki daya mistik untuk

memperdalam perasaan, tetapi juga, ketika dikoordinasikan dengan kata-kata

simbolis dan gerakan-gerakan berirama, memiliki kekuatan atas kemauan

manusia.1

Secara etimologis, sama‘ adalah masdar dari fi‘il madi sami‘a yang berarti

mendengarkan. Kata sama‘ dalam bahasa Inggris berarti hearing, listening,

listening in auditioning, audition. Dalam kamus al-Munjid, kata sama‘ diartikan

mengindera suara melalui pendengaran dan juga dapat berarti al-ghina’

(nyanyian). Kata al-sama‘ dalam bahasa Arab klasik bisa berarti nyanyian (musik)

atau alat musik.2

Dalam terminologi tasawuf, kata sama‘ memiliki konotasi yang sangat

beragam, sebagaimana terefleksi dalam berbagai pendapat tokoh sufi. Dzû al-Nûn

al-Misrî mengatakan, “Mendengarkan (musik) adalah sentuhan (warîd) Allâh

1 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000),

h.259. 2 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al-

Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 12-13.

Page 49: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

yang membangkitkan hati untuk menuju Allâh. Barang siapa yang

mendengarkannya dengan Allâh (al-Haqq) akan sampai padaNya, sedangkan

orang-orang yang mendengarkannya dengan hawa nafsu (nafs) akan jatuh ke

dalam kesesatan (tazandaqa)”. 3

Ucapan Dzû al-Nûn al-Misrî menjelaskan pada kita bahwa musik itu suci

dan merupakan pengaruh ilahi. Barang siapa yang mendengarkan musik karena

dorongan jiwa rendahnya (nafs), maka ia akan tersesat, dan siapa yang

mendengarkannya dengan kecintaan kepada Allâh, maka ia akan dapat mencapai

derajat spiritualitas yang tinggi dan mulia serta memperoleh anugerah spiritualitas

(hal) dari Allâh. Karena itulah Abû Ya’qub Ishaq ibn Muhammad, sufi dan

sahabat al-Junaid, wafat pada tahun 330 H berkata. “Mendengarkan (musik)

adalah kondisi spiritual (hal) yang melahirkan keberpulangan (al-ruju‘) kepada

cahaya ruhani yang ada dalam hati (asrâr) setelah mengalami proses iluminasi

yang mengarah pada fanâ’”.4

Masih banyak ungkapan para sufi tentang sama’ yang berbeda-beda.

Adanya keragaman ucapan para sufi tentang sama’ itu karena, secara substansial,

sama’ merupakan bagian dari pengalaman mistik, dan setiap sufi memiliki

pengalaman yang berbeda-beda.

Bagi kaum sufi, musik memiliki fungsi yang beragam, membawa jiwa ke

alam realitas, menyejukkan hati, mengeluarkan permata ilahiah yang tersimpan

dalam relung hati, membersihkan hati dan meningkatkan kerinduan serta

kecintaan kepada Allah. Bahkan, musik juga dijadikan sebagai sarana

3 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 13. 4 Ibid., h.13-14.

Page 50: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mencapai derajat wusul (sampai kepada

Zat yang dituju yaitu Allah).5

Beberapa ulama sufi yang membahas musik (sama’) dan

memanfaatkannya, yaitu Abû Tâlib al-Makkî, Abû Nasr al-Sarrâj, al-Qusyairi, al-

Hujwirî, Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ahmad al-Ghazâlî, Jalâl al-Dîn al-Rûmî, dan

Muhammad al-Syâdzilî al-Tûnisî.6

Dalam buku-buku tasawuf, kata sama’ diterjemahkan kedalam bahasa

Inggris oleh kebanyakan sarjana Barat seperti Nicholson diartikan dengan

listening to music and singing, Javad Nurbakhsh mengartikannya dengan spitiual

music, dan Sayyed Hossein Nasr mengartikannya dengan spitual concert. Hal itu

karena sama’, dari segi praktik lahiriahnya, merupakan kegiatan mendengarkan

sya‘ir, nyanyian yang diiringi dengan instrumen musik yang dilakukan dalam

bentuk kelompok (konser musik).7

Sebenarnya sama’ telah dipraktikkan oleh sufi-sufi awal, tetapi

bagaimana sama’ ini dipraktikkan tidak begitu jelas digambarkan oleh sumber-

sumber awal, karena sumber-sumber ini lebih banyak membicarakan perdebatan

tentang boleh tidaknya sama’ menurut syariat. Ahmad al-Ghazâlî, adik dari Imam

al-Ghazâlî, yang nampaknya termasuk kelompok ulama yang membolehkan

sama’, bahkan membela praktik sama’, menjelaskan praktik sama’ yang ia

saksikan pada perguliran abad ke-11.8

Menurut Ahmad al-Ghazâlî, sama’ meliputi tiga teknik fisik: menari,

berputar, dan melompat, dan masing-masing gerakan tersebut memiliki fungsi

5 Ibid.,h. 11-12. 6 Ibid., h. 11. 7 Ibid., h.17. 8 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.259-260.

Page 51: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

sebagai simbol dan realitas spiritual. Selain menari, berputar, dan meloncat, sama’

juga meliputi kegiatan mengajar. Jamaah berkumpul di pagi hari setelah selesai

salat Subuh, atau setelah salat Isya. Selepas wirid, dan dalam keadaan duduk,

seseorang dengan suara yang paling lembut membacakan bagian tertentu dari al-

Qur’an. Kemudian sang syekh mendiskusikan makna ayat-ayat tersebut dengan

pengertian yang cocok sesuai dengan maqâm para sâlik-nya.9

Setelah pengajaran selesai, maka seorang qawwâl atau penyanyi mulai

menyanyikan puisi-puisi sufi untuk membawa mereka ke ekstase. Setelah itu

mereka bangkit dari tempat tersebut dan pulang ke tempat tinggal masing-masing

dan duduk sejenak untuk merenungkan penyingkapan-penyingkapan yang muncul

kepada mereka dalam keadaan tenggelam dalam ekstase. Setelah audisi, beberapa

dari mereka berpuasa selama beberapa hari sebagai makanan bagi jiwa dan hati

mereka berupa pengalaman-pengalaman mistik yang gaib (wâridât).10

Menurut al-Hujwirî, sama’ tidak boleh dilakukan hingga ia datang atas

kehendaknya sendiri, dan tidak boleh membuatnya sebagai kebiasaan, tapi

dilakukan dengan jarang, agar tidak bosan. Pembimbing ruhani (syeikh atau

mursyid) perlu hadir selama berlangsung sama’ dan tempatnya diusahakan bebas

dari orang-orang awam, dan yang menyanyi hendaklah orang yang terhormat,

hatinya bersih dari pikiran-pikiran duniawi, dan wataknya tidak boleh cenderung

kepada hiburan.11

Mulyadhi mengatakan. Bahwa bagi Rûmî sama‘ adalah makanan hati,

karena musik berhubungan dengan hati. Ia juga mengatakan kalau hal-hal yang

berkaitan melihat dengan mata hubungannya adalah dengan otak, tapi jika

9 Ibid., h.260-261. 10 Ibid., h. 261-262. 11 Ibid., h. 371.

Page 52: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

mendengar hubungannya adalah dengan hati. Sama‘ bukanlah untuk musik,

karena ia tercipta dari pengalaman spiritual seorang sufi, liriknya juga merupakan

sebuah ilham spiritual. Berbeda dengan musik kontemporer, musik dan liriknya

disesuaikan dengan nafsu dan pengalaman pribadi yang bersifat hubungan sesama

makhluk.12

Seorang ahli fiqh pernah mengritik Rûmî karena tarian mistiknya yang

dianggap menyimpang dari aturan syariat (bid‘ah). Dengan cerdik, Rûmî yang

juga ahli fiqh balik bertanya pada pengeritiknya tadi: “Seumpama aku tidak

menemukan sesuatu yang halal untuk dimakan, sementara tubuh jasmaniku sudah

sangat kritis dan akan mati kecuali dengan makanan yang haram, bolehkah aku

makan sesuatu yang haram tersebut? Dengan tegas sang ahli fiqh tadi menjawab,

“Boleh, dengan mengemukakan kaidah Usûl al-fiqh, al-darûrah tubi‘ih al-

mahzûrah.” Rûmî kemudian menimpali bahwa tubuh ruhaninya sangat dahaga

dan akan mati tanpa tarian. Kalau tubuh jasmani saja diperbolehkan untuk

memakan sesuatu yang haram, bagaimana dengan tubuh ruhani? Itu pun

seandainya tarian itu diharamkan. Demikian menurut Rûmî, yang baginya sama‘

adalah santapan ruhani seperti halnya zikir.

Ada fenomena yang agak aneh menurut pendapat awam bahwa para sufi,

dalam melakukan sama’ lebih cenderung menggunakan syair, zikir, nyanyian, dan

sebagainya daripada al-qur’an. Secara psikologis, fenomena ini sebenarnya dapat

disejajarkan dengan kondisi rindu berat akan lebih cenderung memuji-muji yang

dicintai melalui lagu-lagu, syair yang mengisyaratkan sifat, bentuk kesempurnaan

yang terdapat pada yang dicintai dibanding dengan ketertarikan mereka terhadap

12 Sidang skripsi pada tanggal 18 Juni 2008.

Page 53: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

membaca pesan-pesan yang disampaikan oleh sang Kekasih. Dengan

mendengarkan atau mendendangkan melodi cinta, kecintaan yang terpendam

dalam lubuk hati semakin menguat, dan selanjutnya dia akan masuk dalam

kondisi ekstasi. Ekstasi ini semakin kuat manakala melodi-melodi cinta tersebut

diiringi dengan tabuhan instrumen musik yang indah. Demikianlah kondisi orang

sufi yang sedang mendendangkan dan mendengarkan melodi cintanya.13

Penekanan pada sama‘ adalah pengalaman menyimak (syair) dari pada

menikmati pertunjukan musiknya, karena bagi sufi musik hanyalah sebagai media

saja bukan dijadikan sebagai yang utama. Sedangkan bagi mereka yang lebih

terfokus pada manifestasi lahir musik dari pada bentuk batinnya adalah orang-

orang yang tertipu. Efek dari sama‘ jika dilakukan dengan benar, adalah ekstase

(majdzub).14

Karena pengaruh sama‘, kadang-kadang seorang sufi mampu bertahan

berhari-hari tidak makan. Penyebabnya, ruh dan hati mereka sudah makan

berbagai pengalaman mistik yang tidak kelihatan (al-waridât al-ghaibiyâh).

Kondisi yang serupa ini tidak diingkari oleh mereka yang memiliki pengalaman

keagamaan.15

Sama‘ Dalam Ritual Mawlawiyah

Bagi para sufi ritual sama‘ memiliki makna-makna filosofis yang sangat

dalam hubungannya dengan jiwa manusia, baik dari tata cara upacaranya, maupun

alat-alat musik yang dipergunakannya. Masing-masing memiliki fungsi sebagai

simbol dari realitas spiritual. Penulis akan berusaha menjelaskan apa arti dari

13 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. xiii-xiv. 14 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 232-

236. 15 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 93.

Page 54: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

ritual sama‘ itu, baik itu prosesnya, simbol dari tarian dalam tarekat Mawlawiyah,

dan simbol dapur yang ada dalam tarekat Mawlawiyah.

Proses Sama‘

Sebelum kita membahas tentang sama‘ dalam tarekat Mawlawiyah,

terlebih dahulu akan dibahas yang berkenaan dengan “rekrutmen” anggota pada

tarekat Mawlawiyah. Hal ini penting, karena sebelum melakukan ritual sama‘ ini,

seseorang haruslah terlebih dahulu masuk dalam anggota tarekat ini.

Menurut Ira Freid Lander, seperti yang dikutip Mulyadhi, ada lima

“tekke” (zawiyah) Mawlawiyah, sebelum tahun 1925, yang merupakan pusat-

pusat tarekat yang aktif sebagai suatu bentuk kehidupan komunal. Siapa saja di

bawah usia 18 tahun, yang masuk tarekat ini diminta untuk menunjukkan izin

tertulis dari kedua orang tuanya sebelum ia diterima untuk hidup di tekke tersebut.

Sang mursyid membawa anak laki-laki tersebut kepada syaikh tekke untuk

mengutarakan maksud dan keinginannya.16

Sang syaikh akan membai‘at anak tersebut dengan upacara kecil yang

terdiri dari mambaca zikir (lâ ilâha illâ Allâh) dan “Allah Akbar” dan pemberian

topi darwisy (sikke) yang digunakan dalam upacara tersebut. Sang murid diminta

untuk mengikat janji setia kepada sang syaikh. Anak muda yang telah dibai‘at

diberikan pilihan untuk melakukan khalwat selama 1001 hari (disebut chille) dan

menjadi seorang Dede dalam tarekat Maulawiyah atau menjadi seorang “muhib”

yang tidak melakukan khalwat dan tinggal di tekke, tetapi datang setiap hari untuk

melakukan latihan yang intens dalam praktik darwis.17

16 Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Mawlawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri

Mulyati, ed., Mengenal dan MemahamiTarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 340.

17 Ibid., h. 340.

Page 55: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Bagi murid yang memilih khalwat selama 1001 hari (chille), harus

melakukan latihan-latihan yang sangat ketat selama 1001 hari itu. Sang murid

harus menyelesaikan upacara sang pemula sebelum diizinkan untuk melihat tarian

gasing (sama‘) utama, yang dilaksanakan setiap kamis malam. Setelah belajar

tarian tersebut, yang bisa berlangsung tahunan sebelum ia lulus dari status pemula.

Begitu ia selesai mempelajari putaran, yang biasanya membutuhkan waktu

sembilan puluh hari, sang murid ditempatkan pada status pemula ketika ia telah

betul-betul berpartisipasi dalam sebuah sama‘.18

Jika sang murid memilih menjadi seorang muhib (sang pecinta), ia tinggal

di rumah tetapi datang ke tekke setiap hari, untuk belajar sama‘ (musik), dan

diajarkan Matsnâwî (karya utama Rûmî yang berisi 25.000 bait bersajak, yang

terbagi dalam enam kitab) oleh beberapa guru yang berbeda. Ia juga dibai‘at

dengan sebuah sikke dan diizinkan untuk ikut menari. Berbeda dengan murid

chille, sang muhib dibolehkan melihat sama‘ pemula. Dalam tarekat Mawlawiyah

sekarang, orang-orang yang ada adalah seorang muhib, kecuali dalam Osman

Dede. Ia adalah satu-satunya orang yang masih hidup yang dapat menyelesaikan

ujian 1001 hari ujian chille.19

Dalam sama‘, yaitu tarian gasing yang terkenal dari tarekat Mawlawiyah,

tarian dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri dari Naat (sebuah puisi

yang memuji Nabi Muhammad saw), improvisasi ney (seruling) atau taksim dan

“lingkaran Sultân Walad”. Bagian kedua terdiri dari empat salam, musik

instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, dan do‘a.

18 Ibid., h. 341-342.

19 10 Ibid., h. 342.

Page 56: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Bagian yang pertama dari upacara ini ialah Naat, semacam musik religius

yang disusun oleh Buhûriz Mustafâ ‘Itrî (1640-1712), tetapi puisinya adalah puisi

Rûmî. Naat adalah pujian terhadap Nabi Muhammad saw. Sedangkan taksim

adalah sebuah improvisasi terhadap setiap makam, atau mode, yaitu konsep

penciptaan musik yang menentukan hubungan-hubungan nada, nada awal, yang

memiliki kontor dan pola-pola musik. Taksim merupakan bagian yang sangat

kreatif dari upacara Maulawi. Selanjutnya ada “lingkaran/putaran Sultân Walad”,

ini disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung Rûmî, Sultan Walad. Selama

putaran ini, para darwis yang ikut bagian dalam putaran tari, berjalan mengelilingi

sang samahane (ruang upacara) tiga kali dan menyapa satu sama lain didepan pos

(lokasi tempat pemimpin tekke atau pimpinan upacara berdiri). Dengan cara ini

mereka menyampaikan “rahasia” dari yang satu kepada yang lain.20

Bagian yang kedua terdiri dari empat salam, yaitu:

a. Salam pertama, melodi biasanya panjang. Irama yang digunakan biasanya

disebut “putaran berjalan” (devr-i Revan). Bitnya adalah 14/8.

b. Salam kedua, pola irama dari salam ini disebut “Evfer” dan terdiri dari 9/8 bit.

c. Salam ketiga, dibagi ke dalam dua bagian yang meliputi melodi dan irama.

Bagian pertama disebut “putaran”, bitnya 28/4. Bagian kedua dari salam

ketiga ini disebut “Yoruk Semai”, bitnya adalah 6/8.

d. Salam keempat, pola irama ini juga “Evfer” (6/8), yakni irama lambat dan

panjang, untuk menurunkan elastasi sehingga sang darwis bisa konsentrasi

kembali. Tiap-tiap salam dihubungkan melalui nyanyian. Pada bagian pertama

20 Ibid., h. 343-344.

Page 57: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

dan kedua, seleksi diambil dari Divan-i Syams atau Matsnawi, pada bagian

ketiga, puisi Maulawi lain dinyanyikan.21

Upacara berikutnya adalah musik instrumental terakhir, yang setelah

seleksi instrumental ini ada taksim seruling. Kadang-kadang musik ini dapat

dimainkan dengan alat-alat musik petik (senar). Setelah musik selesai, seorang

hâfiz di antara para penyanyi, membaca ayat-ayat al-Qur’an. Sama‘ masih terus

berlangsung sampai bacaan al-Qur’an dimulai. Ketika hâfiz mulai membaca al-

Qur’an, para penari tiba-tiba berhenti dan mundur ke pinggir ruangan dan duduk.

Setelah ia selesai, pimpinan sama‘ berdiri dan mulai berdoa di depan sang syaikh,

doa yang dibaca biasanya cukup panjang. Doa ini biasanya ditujukan untuk

kesehatan dan hidup sang sultan, atau para penguasa negara.22

Sampai sekarang, ritual sama‘ ini masih diperagakan secara formal, di

Konya, Turki, pada setiap Bulan Desember, untuk mengenang jasa dan karya-

karya sang Mawlânâ, yang wafat pada tanggal 12 Desember 1273.23

Nampaknya pengaruh Rûmî terhadap perkembangan musik di Turki

sangat erat, seperti yang dikatakan William Chittick. Banyak kaligrafer besar

Turki adalah anggota tarekat ini. Puisi Turki juga banyak berhutang budi, baik

dari sudut gaya atau tema, kepada puisi persia Rûmî.24

Simbol Tarian

Mengutip Profesor Nasr, Mulyadhi mengatakan, bahwa tarian Mawlawi

dimulai dengan nostalgia tentang Tuhan, lalu berkembang menjadi keterbukaan

sedikit demi sedikit terhadap limpahan rahmat dari surga, dan akhirnya

21 Ibid., h. 344. 22 Ibid., h. 344. 23 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.262. 24 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 345.

Page 58: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

menghasilkan fana’ dan penyatuan dalam diri Sang Kebenaran. Bila simbolisme

sama‘ diperhatikan, bisa dikatakan bahwa tarian berputar ini menyimbolkan

kosmos, karena menurut Rûmî seluruh kosmos adalah misteri yang sedang

menari.25

Ada metafora lain yang berkenaan dengan upacara tersebut. Topi

Mawlawi misalnya, menyimbolkan batu kuburan, jubahnya adalah peti jenazah,

dan bajunya adalah kain kafannya. Seruling buluh (ney) bukan saja

merepresentasikan terompet mitologis untuk menghidupkan kembali yang mati

pada Hari Kebangkitan, tapi juga menyimbolkan jiwa yang dikosongkan dari diri

dan diisi oleh jiwa ilahi.26

Rûmî juga menggambarkan nasib manusia tak ubahnya seperti seruling,

yang telah dipisahkan jauh dari induknya (dari pohon asalnya, dari mana sebagai

batang ia dipotong dan dipisahkan dari induknya). Tak heran kalau suara seruling,

dalam tarekat Maulawiyah merupakan salah satu alat musik yang penting dalam

ritual sama‘ mereka, sering begitu menyayat hati, menyanyikan kerinduan yang

mendalam untuk bisa berjumpa dengan tempat asalnya. Keluh kesah manusia,

ditafsirkan Rûmî sebagai bukti adanya rasa rindu yang mendalam terhadap asal-

usul mereka, yang sering tidak disadari, yaitu Tuhan sebagai “Sang Awwal”.27

Sementara itu, sembilan lubang yang ada pada seruling merupakan isyarat

sembilan lubang yang dimiliki oleh manusia dan sembilan tingkatan batin.

Sembilan lubang itu adalah, dua lubang telinga, dua lubang hidung, dua lagi di

mata, serta satu di mulut, qubul dan dubur. Adapun sembilan tingkatan batin itu

adalah, al-qalb, al-‘aql, al-rûh, al-nafs, al-sîr, al-jauhar al-insâni, al-latifah al-

25 Mulyadi Kartanegara, Jalal al-Din Rumi, h. 15-16. 26 Ibid., h. 17. 27 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 326.

Page 59: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

dzâkirah, al-fu’ad, dan al-syaqqâf. Tiupan yang masuk ke seruling adalah isyarat

ditiupkannya cahaya Allah ke dalam zat manusia.28

Gerakan (tarian) yang dilakukan ketika mendengarkan musik adalah

isyarat akan kegembiraan hakikat manusia atas terjadinya janji primordial, yaitu

sebuah janji yang terjadi di alam mitsal, yaitu suatu alam tempat ruh-ruh manusia

dengan penuh kesadarannya menyaksikan bahwa Allâh adalah Tuhan Mereka

sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an, 7:172, ketika Allah bertanya, “Bukankah

aku ini Tuhanmu?” Tarian yang dilakukan merupakan ekspresi kegembiraan yang

dirasakan ruh karena telah lepas dari belenggu jasad, dan dapat kembali ke tanah

air yang sebenar-benarnya, yaitu di alam tempat ruh Allâh ditiupkan ke dalam

tubuh Adam.29

Ernst menyatakan bahwa Junaid al-Baghdâdi pernah berkata, “Ketika

dikatakan pada anak Adam saat ditiupkannya ruh mereka pada Hari Perjanjian itu,

‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’, maka semua ruh menjadi terpikat dengan

kenikmatannya. Demikianlah, maka semua orang yang terlahir ke dunia ini, setiap

kali mendengar suara yang indah, ruh mereka akan tergetar dan terganggu oleh

ingatan akan kalam ilahi tersebut, karena pengaruh kalam itu ada di dalam suara

yang indah.” Dengan pengertian lain, sumber sama‘ adalah rasa terpesona atau

ketertarikan hati (jadzb) kepada Tuhan, rasa ini adalah suatu energi yang langsung

mengarahkan seseorang kepadaNya.30

Menari sambil berputar-putar merupakan ekspresi dari ruh yang berputar-

putar dalam lingkaran segala yang ada (al-maujûdat) setelah ruh menerima

28 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al-

Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 88-89. 29 Ibid., h. 89. 30 Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, h. 238.

Page 60: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

dampak berbagai manifestasi (al-tajalliyat) dan desendensi (al-tanzîlat) Allah.

Sebuah kondisi spritualitas (hal) orang yang telah mencapai derajat ma‘rifat.

Melingkar seperti bentuk sumbu (al-fatl) isyarat ruh yang diam beserta Allah

melalui cahaya suci yang ada pada diri manusia (sîrr), wujûd, dan jangkauan

pandangan serta pikiran manusia yang menembus ke seluruh tingkatan alam.31

Posisi tangan kanan yang menengadah dengan telapak tangan ke atas,

sedang tangan kiri diturunkan ke bawah ketika menari, menggambarkan pengaruh

dari langit yang diterima dengan telapak tangan terbuka dari atas, diteruskan ke

bawah menuju dunia oleh tangan yang lain.32 Artinya seorang sufi jika

mendapatkan berkah dan rahmat dari Tuhan maka dibagi-bagikan kembali kepada

makhluk Tuhan yang lain. Putaran yang dilakukan oleh peserta sama‘ berlawanan

dengan arah jarum jam, seperti putaran tawaf (mengelilingi Ka’bah) pada ritual

ibadah haji. Kaki lurus seperti huruf alif, melambangkan ketauhidan.

Manakala peserta sama‘ telah memperoleh aspek mistis dari kondisi-

kondisi spiritual (ahwâl) yang gaib, hati mereka telah menjadi halus, dan mereka

telah mencapai kesucian jiwa, maka peserta sama‘ hendaknya duduk. Pada saat itu

penyanyi hendaklah menyanyikan lagu-lagu yang ringan untuk mengeluarkan

kesadaran dan keterpengaruhan mereka dari berbagai pengalaman mistis dengan

cara sedikit demi sedikit. Bila masih dalam keadaan seperti itu, penyanyi

hendaknya mengulangi (apa yang telah dinyanyikan) dengan suara yang lebih

bergetar daripada bacaan yang pertama. Hal ini diulang sampai tiga kali bila

31 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 89-90. 32 Mulyadhi, Tarekat Maulawiyah, dalam Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 338.

Page 61: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

masih belum sadar. Karena keseluruhan tingkatan itu ada tiga macam: tingkatan

manusia, malaikat, dan tingkatan ketuhanan (rubûbiyyah).33

Simbol Dapur

Dalam kehidupan sehari-hari, kata dapur tentu sudah tidak asing lagi bagi

kita, karena kata itu sudah menjadi bagian dari hidup menusia, terutama mungkin

para wanita, tetapi sekarang para pria pun sudah banyak yang berkecimpung

dalam dunia dapur. Jika kita mendengar kata dapur, sudah pasti yang terbayang

adalah pengolahan makanan, dari bahan mentah menjadi matang. Setelah itu,

makanan pun siap untuk disantap, baik sendiri maupun beramai-ramai, yang

terkadang terasa lebih nikmat. Banyak dari kita tidak menyadari makna filosofis

dari kata dapur itu, karena bagi kita dapur memang seperti itu, yaitu sebuah

tempat untuk mengolah makanan. Tetapi, lain halnya Bagi pengikut tarekat

Mawlawiyah, yang memaknai dapur begitu mendalam, dan dapur juga memiliki

peranan yang sangat penting. Dapur menjadi salah satu syarat untuk menjadi

pengikut tarekat Maulawiyah.

Anak muda yang telah dibai’at, dan yang memilih untuk melakukan

khalwat selama 1001 hari (seperti yang telah dijelaskan pada proses sama‘), akan

dibawa ke ahchi Dede (ahchi artinya tukang/juru masak) dan deberikan ujian

pertama. Juru masak dalam tarekat Mawlawiyah adalah penting, bukan hanya

karena mempersiapkan makanan, tetapi juga karena “manusia adalah bahan baku

yang harus dimasak dulu untuk menjadi makanan dan enak dimakan”. Ujian

pertama si neu-niyaz (yang baru dibai’at) dibawa ke matbakh (dapur), yang

sebenarnya sebuah kamar kecil di mana sang murid duduk di atas lutut di atas

33 Ibid., h. 91.

Page 62: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

saka (pos, yang terbuat dari kulit sapi) selama tiga hari. Ia hanya boleh bergerak

untuk salat lima waktu, ke toilet dan makan makanan yang dibawakan untuknya.

Selama itu ia tidak boleh bicara ataupun tidur. Seorang Dede penguji

mengawasinya untuk melihat apakah ia telah siap untuk melanjutkan latihan

berikutnya.34

Pada hari keempat sang murid dibawa ke hammâm (tempat mandi) untuk

dimandikan, dicukur dan diberi pakaian berwarna hitam, disebut tennuresi chille

untuk dikenakan selama masa khalwat. Setelah itu ia dibawa ke ahchi Dede untuk

memberinya dzikr (doa) yang harus diulang-ulang sambil ia melaksanakan

pekerjaan sehari-harinya. Pada waktu ini, sang murid diserahkan kepada Dede

kazandji (kazandji artinya periuk besar untuk masak sup) yang bertanggung jawab

atas pendidikannya sebagai seorang darwisy.35

Kazandji Dede bertanggung jawab untuk memelihara tekke (zawiyah) dan

menugaskan sang murid untuk tugas dapur dan pembersihan. Pada waktu siang,

sang murid harus juga belajar menjadi seorang penari sama‘ dan bekerja dengan

guru tari (semazenbashi). Tugas sehari-harinya adalah berzikir, melaksanakan

salat lima waktu, melakukan tugas pelayanan, dan belajar sama‘ (tari). Kalau ia

berkeinginan menjadi seorang pemusik ia harus mendapat izin dari Dede ahchi

dan kazandji.36

Begitu besarnya peranan dapur dan juru masak dalam tarekat

Mawlawiyah, sehingga bagi para murid (chille) yang ingin menjadi bagian dalam

ritual sama‘ harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari juru masak. Ternyata,

memberi makanan terhadap tubuh jasmani ini lebih mudah dari pada memberi

34 Mulyadhi, TarekatMaulawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 341. 35 Ibid., h. 341. 36 Ibid., h. 341.

Page 63: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

makan tubuh ruhani. Oleh karena itu, makna dari dapur itu sendiri adalah

pelatihan awal bagi sang murid untuk belajar mengolah jiwa-jiwa yang belum

matang menjadi matang, yang diibaratkan dengan bahan makanan yang masih

mentah, kemudian diolah menjadi sedemikian rupa enaknya. Seperti apa yang

dikatakan oleh Syaikh Muzaffer mursyid tarekat Halveti-Jerrahi, dan guru

spiritual Robert Frager pakar Psikologi modern, “Pertama-tama bukalah sebuah

dapur. Pusat sufi sesungguhnya adalah sebuah dapur. Jika kau dapat memberi

makanan pada tubuh jasmani, maka kau akan mampu memberikan makanan bagi

ruhani mereka”.37

Sama‘ di Dunia Kontemporer

Kemampuan berseni, khususnya musik, merupakan salah satu perbedaan

manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Jika demikian, Islam pasti mendukung

kesenian itu selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci.

Oleh karena itu, Islam sangat mendukung kesenian itu dan bukan menjadi faktor

penghambat. Musik yang Islami bukan hanya terbatas untuk seni belaka, akan

tetapi dapat berfungsi sebagai sarana dakwah Islamiyah yang amat digemari oleh

setiap manusia, selain sebagai sarana hiburan saja.

Pada masa sekarang, khususnya di Indonesia musik sufi (sama‘) banyak

mempengaruhi kalangan seniman musik Indonesia. Baik itu dalam hal syairnya,

aransemen musiknya dan lainnya. Bahkan musik sufi telah mempunyai

penggemarnya tersendiri, seperti yang dilakukan oleh kelompok musik Debu yang

latar belakangnya merupakan sebuah tarekat yang dipimpin oleh Syaikh Fattâh

37 Robert Frager, Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Diri, dan Jiwa, (Jakarta:

Serambi, 2002), h. 146.

Page 64: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

yang telah diberi otorisasi untuk tiga tarekat, Rifâ‘iyyah, Chistiyyah, dan

Syâdzîliyyah, hijrah ke Indonesia. Debu telah memproduksi beberapa album

rekaman, dan penggemarnya pun tidak sedikit, baik dari kalangan muda maupun

yang tua. Penulis sendiri pernah menonton konsernya di Jakarta.

Musik dan syair-syair Debu lebih banyak dipengaruhi tarekat Chistiyah.

Karena dalam tradisi tarekat tersebut ada musik, syair-syair, dan lagu-lagu. Bagi

mereka menyanyi bukan hanya hiburan. Tapi bagian dari dzikir dan ibadah

kepada Allah. “Kami senantiasa menyanyi secara dzikir, ibadah, dan istighfar,”

tegas Najib, salah seorang koordinator Debu. Kebiasaan menyanyi tersebut

awalnya hanya dilakukan untuk kalangan sendiri, tidak untuk umum. Syaikh

Fattâh melihat dalam kebiasaan menyanyi tersebut terdapat hal-hal yang kurang

baik. Karena itu dia membuat syair-syair yang berisi nilai-nilai Islam. “Dengan

syair, Syaikh mengajar kami, dan kami selalu mengingat ajarannya karena selalu

diulang-ulang dalam syair,” katanya. Syair-syair yang dibawakan Debu

merupakan gubahan Syaikh Fattâh yang terinspirasi oleh pengalaman perjalanan

ke berbagai negara. Selain itu, ada juga syair-syair terjemahan. Tokoh-tokoh yang

mempengaruhi syair-syair musik Debu antara lain, Jalâl al- Dîn Rûmî, Hamzah

Fansûri, Yûsuf al-Makasârî, Hafîz Syirazî, dan sebagainya. Tema-tema yang

terdapat dalam syairnya sebagian besar tentang cinta dan kerinduan kepada pada

Sang Kekasih Sejati, Allah.38

Syair-syair sufi banyak diadopsi oleh seniman-seniman musik Indonesia,

seperti Ahmad Dani, yang banyak sekali mengadopsi syair-syair sufi semisal Jalâl

38 Abdul D, dan Edi Junaedi, “Konser Debu Menyentuh Lubuk Jiwa, dan Ingatkan

Cinta,” artikel diakses pada 14 Februari 2002, dari http://in.musikdebu.com/news/articles/JurnalIslamStory.htm

Page 65: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

al-Dîn al-Rûmî, Rabî‘ah al-‘Adâwiyah ke dalam lagu-lagunya, karena Dani

sendiri merupakan pengikut tarekat Naqsyabandi Haqqanî.

Penulis melihat kenapa para seniman musik banyak yang mengadopsi

sayair-syair sufi, karena syair-syair para sufi banyak menggambarkan tentang

cinta, kerinduan, dan penyatuan. Tema-tema ini zaman sekarang banyak digemari

oleh masyarakat, baik dari kalangan tua maupun muda.

Di tingkat budaya populer, musik sufi tarekat Chisytiyah mendapatkan

audiens yang semakin banyak pada abad 20 lewat industri rekaman, awalnya di

India pada masa kolonial, dan kini di dunia internasional. Selama beberapa tahun,

industri film Bombay yang sangat sukses mengandalkan musik dalam film yang

secara eksplisit didasarkan pada tradisi gazal Urdu, yang dalam tema, sajak, erat

kaitannya dengan syair-syair sufi. Bagaimanapun, ada lebih dari satu orang

peneliti yang memberikan keterangan tentang adanya pengaruh gaya musikal

Bombay terhadap penampilan-penampilan musik di tempat-tempat Chisytiyah.39

Pengaruh musik sufi belakangan ini sangat terlihat. Musik sufi ditemukan

di semua kawasan Muslim dimana syair sufi dibaca. Musik lokal yang digunakan

dalam musik sufi sangat bervariasi, dan masing-masing memilki sejarah panjang

dan kompleks, yang seringkali tidak diketahui oleh orang luar. Musik sufi kini

telah banyak dipopulerkan di Barat, dan kini juga bisa disimak melalui kaset-kaset

rekaman.40

Banyak band-band dalam dan luar negeri yang mengadopsi syair-syair

sufi, Ernst mencatat adanya sebuah album Nusrat Fateh ‘Ali Khan (pemusik sufi)

yang direkam oelh radio Perancis pada 1989. band besar seperti Rolling Stones

39 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 243. 40 Ibid., h. 239.

Page 66: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

pun pernah berkolaborasi dengan para pemain musik sufi, bahkan membuat

rekaman album musik mereka pada 1971.41

Ritual sama‘ Mawlawiyah juga belakangan banyak melakukan konser

keliling. Ernst mencatat, pada 1994 mereka konser di Duke University, yang

didahului dengan pembacaan syair-syair Rûmî versi bahasa Inggris. Setelah jeda

istirahat, para darwis naik ke atas panggung, dan dengan arahan dua pimpinan

Mawlawiyah, mempertunjukkan rangkaian dari upacara sama‘ dengan iringan alat

musik dan vokal.42

Walaupun musik sufi didasarkan pada pelbagai karya sastra, komposisi

musik, dan idiom-idiom simbolik, namun elemen sentral yang menjadikannya

disebut musik sufi adalah ritual yang menggunakan suara manusia untuk

membacakan syair-syair yang ditujukan pada Tuhan., Nabi Muhammad, dan para

wali.43

41 Ibid., h. 252. 42 Ibid., h. 249. 43 Ibid., h. 254.

Page 67: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di bab-bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa

musik bukanlah hanya sebagai hiburan semata, tetapi merupakan sebuah media

untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, dalam hal ini musik sufi (al-sama‘)

dapat menjadi sebuah solusi untuk meningkatkan perasaan cinta kepada Allah,

dapat meningkatkan kualitas spritual, dan juga dapat mengantarkan kita kepada

tauhid murni.

Islam tidak melarang seseorang untuk bermain serta mendengarkan musik,

selama mereka dalam melakukan itu semua tidak keluar dari ajaran Islam yang

berdasarkan al-qur’an dan al-hadits. Bagi para sufi, musik merupakan sesuatu

yang suci karena esensi musik itu adalah substansi ruhaniyah, musik merupakan

alat stimulus yang dapat meningkatkan kecintaan mereka kepada Allah. Melalui

cinta yang semakin kuat, seorang sufi akan lebih cepat sampai ke derajat wusul ke

hadirat Allah.

Dalam sama‘, sang sufi sering mengalami ekstase (majdzûb) dan

menemukan Allâh dalam ekstase itu. Hanya saja sebelum ekstase haqiqi bisa

dialami, sang pendengar haruslah matang secara spiritual dengan menyiapkan diri

melalui disiplin (riyâdah), dan mengingat Allâh terus menerus (dzikr Allâh).

Itulah sebabnya, menurut sebagian sufi, sama‘ tidak cocok bagi pemula.

Page 68: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

B. Saran-Saran

Pertama, pendengar musik disarankan supaya terlebih dahulu menyeleksi

jenis dan kualitas musik yang akan didengarkan, karena setiap musik besar sekali

peranannya dalam mempengaruhi jiwa si pendengarnya. Tindakan ini dilakukan

untuk memperoleh jenis musik yang memiliki kualitas yang baik. Dengan

demikian, pendengar musik akan memperoleh manfaat dari upayanya.

Kedua, pencipta lagu dan syair disarankan untuk menciptakan lagu dan

syair yang bermutu baik dari segi aransemen dan pesannya, karena musik selain

hiburan juga harus dijadikan sebagai media dakwah. Selain itu, lagu dan syair

yang bermutu dapat meningkatkan kualitas jiwa pendengarnya. Sebaliknya, lagu

dan syair yang tidak bermutu dapat menurunkan kualitas jiwa pendengarnya.

Ketiga, pemusik, penyanyi, dan penyair serta orang-orang yang

mendengarkan musik disarankan selalu menjaga kesucian seni (musik) dengan

cara melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang

olehNya. Semua itu dilakukan untuk memperoleh berbagai manfaat yang ada pada

musik dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merusak diri.

Page 69: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (Ed.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan

Peradaban. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Al-Aflaki, Syamsuddin Ahmad. Hikayat-Hikayat Sufisik Rumi. Jakarta: Hikmah,

2000. Ali Jamnia, Mojdeh Bayat dan Mohammad. Para Sufi Agung: Kisah dan

Legenda. yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003. Alaydrus, Novel bin Muhammad. Jalan Nan Lurus: Sekilas Pandang Tarekat

Bani ‘Alawi. Surakarta: Taman Ilmu, 2006. Anwar, Hamdani. Sufi al-Junayd. Jakarta: Fikahati Aneska, 1995. Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1994. Aqib, Kharisudin. Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa

Naqsyabandiyah. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000. Bahri, Saiful. ″Al-Izz bin Abdussalam As-Sulami: Sufi Lebih Tinggi Dari

Ulama.″ AlKisah, 14-27 Januari 2008: h. 135. Al-Baghdadi, Abdurrahman. Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik,

dan Tari. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Ernst, Carl W. Ajaran dan Amaliah Tasawuf. Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003. Frager, Robert. Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Diri, dan Jiwa. Jakarta:

Serambi, 2002. Gazalba, Sidi. Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya

Manusia. Jakarta: Pustaka al-Husna,1988. Al-Ghazali, Imam. Mukhtashar Ihya' ‘Ulumuddin. Terj. Zaid Husein a-Hamid,

Jakarta: Pustaka Amani, 1995. ______________. Kegelisahan al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual, Terj.

Achmad Khudori Soleh. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Al-Hujwiri. Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf. Bandung:

Mizan, 1993. Jami, Maulana ‘Abd al-Rahman. Pancaran Ilahi Kaum Sufi. Yogyakarta: Pustaka

Sufi, 2003.

Page 70: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Al-Jilani, Syeikh Abdul Qadir. Rahasia Sufi. Terj. Abdul Majid Hj. Khatib. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002.

Kartanegara, Mulyadhi. Jalâl al-Dîn Rûmî: Guru Sufi dan Penyair Agung.

Jakarta: Teraju, 2004. _________________. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006. Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam. Energi Zikir dan Salawat. Jakarta: Serambi,

2007. Lewisohn, Leonard, ed. Warisan Sufi: Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan

(1150-1500). Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003. Muhaya, Abdul. Bersufi melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh

Ahmad al-Ghazali. Yogyakarta: Gama Media, 2003. Mulyati, Sri, ed. Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di

Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. An-Naisabury, Imam al-Qusyairy. Risalatul Qusyairiyah : Induk Ilmu Tasawuf.

Terj. Mohammad Luqman Hakim. Surabaya: Risalah Gusti, 2001. An-Nadwi, Abul Hasan. Jalaluddin Rumi: SufiPenyair Terbesar. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1997. Nasr, Seyyed Hossein. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Mizan, 1993. Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1999. Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf ( Dirasah Islamiyah IV ).

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Noer, Kautsar Azhari. Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta:

Serambi, 2003. O.P., Cyprian Rice. Berdialog dengan Sufi-Sufi Persia. Bandung: Pustaka Setia,

2002. Sells, Michael A. Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spritualitas Islam

Awal. Bandung: Mizan, 2004. Siwi, Wulandari. ″Rhoma Irama: Hidayah Usus Kusut.″ Majalah Hidayah, Mei

2003: h. 18-23. Al-Suhrawardi, Abu al-Najib. Menjadi Sufi: Bimbingan untuk Para Pemula.

Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Page 71: MUSIK DALAM TRADISI TASAWUF : STUDI SAMA' DALAM ...

Sukardi, ed. Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hiadayah, 2000. Susantina, Sukatmi. Nada-Nada Radikal: Perbincangan para Filsuf tentang

Musik. Yogyakarta: Panta Rhei, 2004. Thaha, Idris, ed. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).

Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Al-Taftazani. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka Salman, 1985. Utsman, Fathi. Ijtihad Pakar Islam Masa Lalu. Solo: Pustaka Mantiq, 1994.