Muluk demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

15
1 NEW PUBLIC SERVICE DAN PEMERINTAHAN LOKAL PARTISIPATIF M.R. Khairul Muluk Staf Pengajar Administrasi Publik Universitas Brawijaya Kandidat Doktor Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia Sistem administrasi publik di Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenal tiga tingkatan pemerintahan, yakni pemerintahan pusat, pemerintahan propinsi, dan pemerintahan kabupaten atau kota. Secara resmi tidak terdapat tingkatan pemerintahan di luar hal tersebut. Dengan demikian, semua urusan pemerintahan dibagi habis dalam tiga tingkatan pemerintahan tersebut. Namun demikian masih terdapat satu jenis pemerintahan lain yang memperoleh tempat khusus baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam kajian administrasi publik. Jenis pemerintahan tersebut adalah pemerintahan lokal yang dimanifestasikan baik dalam bentuk pemerintahan kelurahan maupun desa. Penyelenggaraan administrasi publik di berbagai tingkatan pemerintahan ini pada dasarnya tidak terlepas dari perkembangan pemikiran administrasi publik. Tulisan ini bertujuan untuk membahas perkembangan pemikiran mutakhir tentang administrasi publik dan berusaha meletakkannya dalam jenis pemerintahan sub-regional yang cukup strategis, yakni pemerintahan lokal. Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Denhardt & Denhardt mengungkapkan bahwa terdapat tiga perspektif dalam administrasi publik. 1 Perspektif tersebut adalah old public administration, new public management, dan new public service. 2 Perspektif 1 Janet Vinzant Denhardt and Robert B. Denhardt. The New Public Service: Serving, Not Steering. (New York: M.E. Sharpe, 2004). 2 Senada dengan pembagian tiga perspektif dalam administrasi publik ini, Tony Bovaird dan Elke Loffler (2003) juga mengemukakan pandangan yang sangat mirip. Kedua penulis tersebut menyimpulkan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam administrasi publik, yakni public administration, public management, dan public governance. Tiga pendekatan ini mirip dengan tiga perspektif yang dijelaskan oleh Denhardt & Denhardt, namun dengan istilah yang berbeda. Baik Bovaird & Loffler dan Denhardt & Denhardt mengemukakan adanya pendekatan baru administrasi publik sebagai

Transcript of Muluk demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

Page 1: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

1

NEW PUBLIC SERVICE DAN PEMERINTAHAN

LOKAL PARTISIPATIF

M.R. Khairul Muluk

Staf Pengajar Administrasi Publik Universitas Brawijaya Kandidat Doktor Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia

Sistem administrasi publik di Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenal tiga

tingkatan pemerintahan, yakni pemerintahan pusat, pemerintahan propinsi, dan

pemerintahan kabupaten atau kota. Secara resmi tidak terdapat tingkatan pemerintahan di

luar hal tersebut. Dengan demikian, semua urusan pemerintahan dibagi habis dalam tiga

tingkatan pemerintahan tersebut. Namun demikian masih terdapat satu jenis pemerintahan

lain yang memperoleh tempat khusus baik dalam peraturan perundang-undangan maupun

dalam kajian administrasi publik. Jenis pemerintahan tersebut adalah pemerintahan lokal

yang dimanifestasikan baik dalam bentuk pemerintahan kelurahan maupun desa.

Penyelenggaraan administrasi publik di berbagai tingkatan pemerintahan ini pada dasarnya

tidak terlepas dari perkembangan pemikiran administrasi publik. Tulisan ini bertujuan

untuk membahas perkembangan pemikiran mutakhir tentang administrasi publik dan

berusaha meletakkannya dalam jenis pemerintahan sub-regional yang cukup strategis,

yakni pemerintahan lokal.

Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang.

Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang

dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan

terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Denhardt & Denhardt mengungkapkan

bahwa terdapat tiga perspektif dalam administrasi publik.1 Perspektif tersebut adalah old

public administration, new public management, dan new public service.2 Perspektif

1 Janet Vinzant Denhardt and Robert B. Denhardt. The New Public Service: Serving, Not Steering. (New

York: M.E. Sharpe, 2004). 2 Senada dengan pembagian tiga perspektif dalam administrasi publik ini, Tony Bovaird dan Elke Loffler

(2003) juga mengemukakan pandangan yang sangat mirip. Kedua penulis tersebut menyimpulkan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam administrasi publik, yakni public administration, public management, dan public governance. Tiga pendekatan ini mirip dengan tiga perspektif yang dijelaskan oleh Denhardt & Denhardt, namun dengan istilah yang berbeda. Baik Bovaird & Loffler dan Denhardt & Denhardt mengemukakan adanya pendekatan baru administrasi publik sebagai

Page 2: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

2

pertama yang merupakan perspektif klasik berkembang sejak tulisan Woodrow Wilson di

tahun 1887 yang berjudul “the study of administration”. Terdapat dua gagasan utama

dalam perspektif ini. Gagasan pertama menyangkut pemisahan politik dan administrasi.

Administrasi publik tidak secara aktif dan ekstensif terlibat dalam pembentukan kebijakan

karena tugas utamanya adalah implementasi kebijakan dan penyediaan layanan publik.

Dalam menjalankan tugasnya, administrasi publik menampilkan netralitas dan

profesionalitas. Administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada pejabat

politik yang dipilih.3

Gagasan kedua menyangkut nilai yang dikedepankan oleh perspektif ini, bahwa

administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi dalam

pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi yang terpadu

dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus berkembang melalui para pakar seperti Frederick

Winslow Taylor (1923) dengan “scientific management”, Leonard D. White (1926) dan

W.F. Willoughby (1927) yang mengembangkan struktur organisasi yang sangat efisien,

dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya POSDCORB.4

Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini menaruh

perhatian pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara langsung kepada

masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini berpandangan bahwa organisasi

publik beroperasi paling efisien sebagai suatu sistem tertutup sehingga keterlibatan warga

negara dalam pemerintahan dibatasi. Perspektif ini berpandangan pula bahwa peran utama

administrator publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan, pengorganisasian,

pengelolaan pegawai, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan, dan penganggaran.5

Selama masa berlakunya perspektif old public administration ini, terdapat dua

pandangan utama yang lainnya yang berada dalam arus besar tersebut. Pertama adalah

pandangan Herbert A. Simon yang tertuang dalam karya klasiknya (1957) “administrative

behavior”. Simon mengungkapkan bahwa preferensi individu dan kelompok seringkali

berpengaruh pada berbagai urusan manusia. Organisasi pada dasarnya tidak sekedar

berkenaan dengan standar tunggal efisiensi, tetapi juga dengan berbagai standar lainnya.

Konsep utama yang ditampilkan oleh Simon adalah rasionalitas. Manusia pada dasarnya

kelanjutan dari pendekatan public management. Pendekatan baru tersebut adalah new public service menurut Denhardt & Denhardt atau public governance menurut Bovaird & Loffler.

3 Denhardt & Denhardt, op.cit., pp. 5-7. 4 Ibid., pp. 7-8. 5 Ibid., pp. 11-12.

Page 3: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

3

dibatasi oleh derajat rasionalitas tertentu yang dapat dicapainya dalam menghadapi suatu

persoalan, sehingga untuk mempertipis batas tersebut manusia bergabung dengan yang

lainnya guna mengatasi segala persoalannya secara efektif. Meski nilai utama yang hendak

dijadikan dasar bertindak manusia adalah rasionalitasnya, namun Simon mengungkapkan

bahwa dalam organisasi manusia yang rasional adalah yang menerima tujuan organisasi

sebagai nilai dasar bagi pengambilan keputusannya. Dengan demikian orang akan berusaha

mencapai tujuan organisasi dengan cara yang rasional dan menjamin perilaku manusia

untuk mengikuti langkah yang paling efisien bagi organisasi. Dengan pandangan ini

akhirnya posisi rasionalitas dipersamakan dengan efisiensi. Hal ini tampak dalam

pandangan Denhardt & Denhardt bahwa “for what Simon called ‘administrative man,’

the most rational behavior is that which moves an organization efficiently toward its

objective.”6

Pandangan berbeda kedua dalam perspektif old public administration adalah public

choice (pilihan publik). Pandangan ini merupakan penafsiran baru atas perilaku

administrasinya Simon, dan yang lebih dekat dengan pandangan economic man. Teori

pilihan publik ini didasarkan pada tiga asumsi kunci.7 Pertama, teori ini memusatkan

perhatian pada individu dengan asumsi bahwa pengambil keputusan perorangan adalah

orang yang rasional, mementingkan dirinya sendiri, dan berusaha memaksimalkan manfaat

yang diperolehnya. Dengan demikian, seseorang senantiasa berusaha mencari keuntungan

sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Kedua, teori ini memusatkan

perhatian pada public goods (komoditas publik) sebagai output dari badan-badan publik.

Ketiga, teori ini didasarkan pada asumsi bahwa situasi keputusan yang berbeda akan

menghasilkan pendekatan yang berbeda dalam penentuan pilihan. Dengan alasan ini, teori

pilihan publik berupaya menstrukturasi proses pembuatan keputusan sehingga dapat

mempengaruhi pilihan-pilihan manusia. Hal ini merupakan kunci beroperasinya badan-

badan publik. Teori pilihan publik inilah yang merupakan jembatan penghubung antara old

public administration dengan new public management.

Perspektif administrasi publik kedua, new public management, berusaha

menggunakan pendekatan sektor swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor publik. Selain

berbasis pada teori pilihan publik, dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari

public policy schools (aliran kebijakan publik) dan managerialism movement. Aliran 6 Ibid. p. 9. 7 Ibid, pp. 10-11.

Page 4: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

4

kebijakan publik dalam beberapa dekade sebelum ini memiliki akar yang cukup kuat dalam

ilmu ekonomi, sehingga analis kebijakan dan para ahli yang menggeluti evaluasi kebijakan

terlatih dengan konsep market economics, costs and benefit, dan rational models of choice.

Selanjutnya, aliran ini mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang

selanjutnya mereka sebut sebagai public management. Penggunaan istilah yang berbeda ini

dilakukan untuk membedakannya dari public administration dengan mengabaikan fakta

bahwa keduanya memiliki perhatian yang sama, yakni implementasi kebijakan publik.

Denhardt & Denhardt mengakui bahwa public administration merupakan sinonim

dengan public management, namun jika antara keduanya ada yang membedakan maka

istilah public management cenderung bias pada interpretasi ekonomi terhadap perilaku

manajerial sementara istilah public administration cenderung dipergunakan dalam ilmu

politik, sosiologi, atau analisis organisasi.8

Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari pandangan bahwa

keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan profesionalisme para

manajernya. Kemajuan dapat dicapai melalui produktivitas yang lebih besar, dan

produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui disiplin yang ditegakkan oleh para manajer

yang berorientasi pada efisiensi dan produktivitas. Untuk memainkan peran penting ini,

para manajer harus diberi “the freedom to manage” dan bahkan “the right to manage.”9

Secara praktek, gerakan manajerialis memperoleh pengaruh besar dalam reformasi

administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan

Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan sejak masa PM

Margaret Thatcher. Dukungan intelektual dalam gerakan ini di Inggris tampak dari karya

Emmanual Savas10 dengan “Privatization”nya, Normann Flynn 11dengan “Public Sector

Management”nya. Di Amerika Serikat, gerakan ini memperoleh popularitas besar berkat

karya terkenal David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government.12 Gerakan ini

menyebar ke seluruh dunia sehingga menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam

8 Ibid., p. 20. 9 Ibid., pp. 21-22. 10 Emanuel S. Savas. 2000. Privatization and Public-Private Partnerships. (New York : Chatam House

Publishers). 11 Norman Flynn. 1990. Public Sector Management. (Brighton: Wheatsheaf). 12 David Osborne and Ted Gaebler. Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is

Transforming the Public Sector. (New York : A William Patrick Book, 1992).

Page 5: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

5

mereformasi administrasi publik baik dengan melakukan privatisasi gaya Inggris atau

dengan gerakan mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat.

Perspektif ini menekankan penggunaan mekanisme dan terminologi pasar sehingga

memandang hubungan antara badan-badan publik dengan pelanggannya sebagai layaknya

transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Peran manajer publik berubah karena

ditantang untuk selalu menemukan cara-cara baru dan inovatif dalam mencapai tujuan,

atau menswastakan berbagai fungsi yang semula dijalankan oleh pemerintah. Manajer

publik didesak untuk “mengarahkan bukannya mengayuh,” yang bermakna bahwa beban

pelayanan publik tidak dijalankan sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan

oleh pihak lain melalui mekanisme pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan

perhatian pada akuntabilitas kepada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-

badan publik, mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi,

dan mendesentralisasi pembuatan keputusan.

Gambaran yang lebih utuh tentang perspektif new public management ini dapat

dilihat dari pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh prinsip

“reinventing government” karya Osborne & Gaebler. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

catalytic government: steering rather than rowing, community-owned government:

empowering rather than serving, competitive government: injecting competition into

service delivery, mission-driven government: transforming rule-driven organizations,

results-oriented government: funding outcomes not inputs, customer-driven government:

meeting the needs of the customer not the bureaucracy, entreprising government: earning

rather than spending, anticipatory government: prevention rather than cure, decentralized

government: from hierarchy to participation and team work, market-oriented government:

leveraging change through the market.13

PERSPEKTIF BARU ADMINISTRASI PUBLIK

Perspektif new public management memperoleh kritik keras dari banyak pakar

seperti Wamsley & Wolf (1996), Box (1998), King & Stivers (1998), Bovaird & Loffler

(2003), dan Denhardt & Denhardt (2003). Mereka memandang bahwa perspektif ini,

seperti halnya perspektif old public administration, tidak hanya membawa teknik

administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu. Masalahnya terletak pada nilai-

13 Ibid.

Page 6: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

6

nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi, rasionalitas, produktivitas dan bisnis

karena dapat bertentangan dengan nilai-nilai kepentingan publik dan demokrasi. Jika

pemerintahan dijalankan seperti halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan

tujuan pelayanan publik maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari

kepentingan publik dan pelayanan publik? Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt &

Denhardt memberikan kritik terhadap perspektif new public management sebagaimana

yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the

boat.”14

Menurut Denhardt & Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang

sebenarnya adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan

perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui

pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi

tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini

memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service.

Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak seharusnya

membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana

membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas. Pada

intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public

administration in the governance system that place public service, democratic governance,

and civic engagement at the center.”15

Perspektif new public service mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga

negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri warga

negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self interest)

namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga

negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan mampu

bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan publik

tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog

dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.16

Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk

melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat.

14 Denhardt & Denhardt, op.cit., p. 23. 15 Ibid., p. 24. 16 Denhardt & Denhardt, op.cit., p. 170.

Page 7: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

7

Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari adanya beberapa

lapisan kompleks tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas dalam suatu sistem demokrasi.

Administrator yang bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat tidak hanya dalam

perencanaan tetapi juga pelaksanaan program guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat.

Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik

tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pekerjaan administrator

publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada

masyarakat.17

Secara ringkas, perspektif new public service dapat dilihat dari beberapa prinsip

yang dilontarkan oleh Denhardt & Denhardt.18 Prinsip-prinsip tersebut adalah: Pertama

adalah serve citizens, not customers. Karena kepentingan publik merupakan hasil dialog

tentang nilai-nilai bersama daripada agregasi kepentingan pribadi perorangan maka abdi

masyarakat tidak semata-mata merespon tuntutan pelanggan tetapi justeru memusatkan

perhatian untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan diantara warga

negara. Kedua, seek the public interest. Administartor publik harus memberikan

sumbangsih untuk membangun kepentingan publik bersama. Tujuannya tidak untuk

menemukan solusi cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan tetapi

menciptakan kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama. Ketiga, value citizenship

over entrepreneurship. Kepentingan publik lebih baik dijalankan oleh abdi masyarakat dan

warga negara yang memiliki komitmen untuk memberikan sumbangsih bagi masyarakat

daripada dijalankan oleh para manajer wirausaha yang bertindak seolah-olah uang

masyarakat adalah milik mereka sendiri. Keempat, think strategically, act democratically.

Kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan

bertanggungjawab melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif. Kelima, recognize that

accountability is not simple. Dalam perspektif ini abdi masyarakat seharusnya lebih peduli

daripada mekanisme pasar. Selain itu, abdi masyarakat juga harus mematuhi peraturan

perundang-undangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan

kepentingan warga negara. Keenam, serve rather than steer. Penting sekali bagi abdi

masyarakat untuk menggunakan kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama dalam

membantu warga negara mengemukakan kepentingan bersama dan memenuhinya daripada

mengontrol atau mengarahkan masyarakat ke arah nilai baru. Ketujuh, value people, not 17 Ibid. 18 ibid., pp. 42-43.

Page 8: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

8

just productivity. Organisasi publik beserta jaringannya lebih memungkinkan mencapai

keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi dan

kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada semua orang.

Munculnya perspektif new public service ini didukung oleh beberapa tulisan lain

yang berkembang beberapa tahun sebelumnya sebagai reaksi terhadap dominasi perspektif

new public management di berbagai belahan dunia. Pertama, Wamsley & Wolf (1996)

melakukan kritik keras atas reinventing government dengan menyunting buku berjudul

“refounding democratic public administration.” Wamsley & Wolf mengumpulkan banyak

tulisan yang melukiskan betapa pentingnya melibatkan masyarakat dalam administrasi

publik dalam posisi sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan. Buku tersebut

menekankan betapa pentingnya democratic government yang mengedepankan partisipasi

masyarakat dalam administrasi publik.19 Tulisan Little dalam buku tersebut yang berjudul

“thinking government: bringing democratic awareness to public administration”

menjelaskan konsepsi democratic public administration dengan memaparkan konsekuensi

tiga substansi demokrasi. Government of the people berarti pemerintahan masyarakat akan

membawa legitimasi bagi administrasi publik. Government by the people berarti menjamin

adanya representasi administrator publik dan akuntabilitas administrasi publik terhadap

masyarakat. Government for the people berarti bahwa administrasi publik akan benar-

benar menjalankan kepentingan publik, bukan kepentingan birokrasi.20

Tulisan lainnya dipersembahkan oleh King & Stivers (1998) dengan judul

‘government is us: public administration in an anti-government era.” Gagasan yang

diusung ke dua penulis tersebut adalah seyogyanya administrasi publik memandang warga

negara sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan karena pemerintahan itu

adalah milik masyarakat. Untuk itu, tema utama buku tersebut tertuang dalam ungkapan

“Government is Us is a democratic public administration that involves active citizenship

and active administration.”21 Yang dimaksud dengan active administration adalah tidak

sekedar meningkatkan kekuasaan administrasi tetapi memperkuat kerja kolaboratif dengan

warga negara. Untuk itu, administrator publik seharusnya berbagi kuasa dengan 19 Gary L. Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding democratic public administration: modern

paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996). 20 John H. Little. “Thinking government: bringing democratic awareness to public administration” in Gary L.

Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding democratic public administration: modern paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996), Pp. 327-350.

21 Cheryl Simrell King and Camilla Stivers. Government is us: public administration in an anti-government era. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1998). P. 195.

Page 9: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

9

masyarakat dan mengurangi kendali terhadap masyarakat serta meningkatkan kepercayaan

kepada masyarakat melalui kolaborasi penyelenggaraan pemerintahan dengan masyarakat.

Pemerintahan masyarakat ini merupakan partisipasi integratif antara masyarakat aktif

dengan administrator aktif untuk memenuhi kebutuhan, tujuan, dan sasaran bersama.

PEMERINTAHAN LOKAL PARTISIPATIF

Perspektif new public service juga memperoleh dukungan intelektual dari karya

Box (1998) yang berjudul “citizen governance”. Karya ini sekaligus juga menjelaskan

bahwa gagasan dari perspektif ini juga telah merambah administrasi publik pada tingkatan

pemerintahan daerah. Box menyarankan bahwa pemerintahan daerah seyogyanya

direstrukturisasi sehingga mampu meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses

kepemerintahan. Box mengungkapkan bahwa terdapat empat prinsip yang dipergunakan

untuk menjelaskan mengapa demokratisasi administrasi publik perlu dilakukan pada

tingkatan pemerintahan daerah.22

Pertama adalah the scale principle yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa

fungsi yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan pemerintah pusat dan terdapat

beberapa fungsi lain yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan pemerintahan

daerah. Jika penyelenggaraan suatu fungsi ingin melibatkan partisipasi masyarakat yang

lebih besar maka sebaiknya diberikan pada tingkatan pemerintahan daerah karena lebih

memungkinkan masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan efektif.

Kedua adalah the democracy principle yang menjelaskan bahwa pada dasarnya

proses pemerintahan seharusnya melibatkan masyarakat. Prinsip menekankan perlunya

pembahasan kebijakan dan pengambilan keputusan secara terbuka dan bebas. Partisipasi

masyarakat merupakan kunci penyelenggaraan prinsip ini.

Ketiga adalah the accountability principle yang menjelaskan bahwa pemerintahan

pada dasarnya adalah milik masyarakat. Oleh karena itu, akuntabilitas publik berarti

pertanggung jawaban kepada masyarakat sebagai pemilik pemerintahan. Untuk mencapai

akuntabilitas publik dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan bersama

dengan para wakilnya dan administrator publik. Akuntabilitas publik menuntut adanya

22 Richard C. Box. Citizen governance: Leading American communities into the 21st century. (Thousand

Oaks: Sage Publications. 1998), p. 163.

Page 10: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

10

keterkaitan langsung warga masyarakat dengan penyusunan dan pelaksanaan program-

program publik.

Keempat adalah the rationality principle yang menjelaskan bahwa proses

partisipasi publik dalam pemerintahan daerah haruslah ditanggapi secara rasional.

Pengertian rasional dalam hal ini lebih mengacu pada kesadaran dan pengakuan bahwa

proses partisipasi membutuhkan waktu yang memadai, pemikiran yang cermat,

kesempatan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapatnya, perlunya mendengar

beragam pendapat yang muncul serta penghargaan atas perbedaan pendapat.23

Berdasarkan seluruh uraian di atas, perspektif new public service membawa angin

perubahan dalam administrasi publik. Perubahan ini pada dasarnya menyangkut perubahan

dalam cara memandang masyarakat dalam proses pemerintahan, perubahan dalam

memandang apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat, perubahan dalam cara

bagaimana kepentingan tersebut diselenggarakan, dan perubahan dalam bagaimana

administrator publik menjalankan tugas memenuhi kepentingan publik. Perspektif ini

mengedepankan posisi masyarakat sebagai warga negara dalam konteks penyelenggaraan

pemerintahan. Perspektif ini membawa upaya demokratisasi administrasi publik.

Pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas utama bagi administrator publik sekaligus

sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan publik dan partisipasi masyarakat dalam

pemerintahan. Perspektif ini juga mengakui bahkan menuntut adanya partisipasi

masyarakat dalam berbagai jenjang pemerintahan, termasuk daerah. Dalam

penyelenggaraan pemerintahan lokal, partisipasi masyarakat merupakan unsur penting

dalam perspektif new public service, yang merupakan perspektif baru dalam administrasi

publik.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah secara partisipatoris pada dasarnya dapat

dilakukan dengan berbagai cara. Norton menjelaskan bahwa ada empat bentuk partisipasi

masyarakat dalam praktek pemerintahan daerah di seluruh dunia. Pertama adalah referenda

yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap isu-isu vital di daerah tersebut.

Kedua adalah konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai kebutuhan dan tuntutan

lokal. Ketiga adalah penempatan pejabat lokal yang diisi berdasarkan prosedur pemilihan

(elected member) sebagai bentuk pemerintahan perwakilan sehingga para pejabat memiliki

akuntabilitas yang lebih besar kepada masyarakat. Keempat adalah melakukan

23 Ibid., pp. 20-21.

Page 11: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

11

desentralisasi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil dalam lingkup daerah itu

sendiri. Bentuk yang keempat ini seringkali disebut dengan decentralization within cities.24

Desentralisasi dalam bentuk partisipasi yang keempat tersebut dapat diterjemahkan

secara luas sehingga meliputi desentralisasi secara politis, administratif, fungsional,

maupun ekonomis. Desentralisasi secara ekonomis berarti terjadi pembentukan badan

usaha milik daerah atau penyerahan sebagaian fungsi pemerintah daerah kepada usaha

swasta. Desentralisasi secara fungsional berarti pembentukan lembaga fungsional untuk

menjalan urusan tertentu dari pemerintah daerah. Dalam kebijakan pemerintahan daerah di

Indonesia, decentralization within cities diterjemahkan secara langsung dalam dua

pengertian yakni desentralisasi secara administratif dan politik.

Desentralisasi secara administrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah

diwujudkan dalam bentuk pemerintahan kelurahan. Pemerintahan kelurahan pada dasarnya

dipilih dan dibentuk untuk memberikan layanan kepada masyarakat yang memiliki corak

perkotaan. Nilai dasar yang hendak dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintah

kelurahan adalah efisiensi struktural sehingga kebutuhan masyarakat perkotaan yang lebih

bersifat majemuk, dinamis, individualistis lebih terpenuhi. Aparat pemerintah kelurahan

seluruhnya diisi berdasarkan prosedur pengangkatan (selected officer) sehingga merupakan

pejabat birokrasi dengan jalur karir yang terintegrasi dengan perangkat daerah lainnya.

Secara umum, karena merupakan bagian integral dari pemerintah daerah maka

akuntabilitas pemerintah kelurahan lebih kuat pada pemerintah daerah dibandingkan

kepada masyarakat.

Desentralisasi secara politis dilakukan oleh pemerintah daerah dengan

menyerahkan sebahagian urusan dan dana yang ada kepada pemerintah desa. Pemerintahan

desa dipilih dan dibentuk dengan dasar melestarikan nilai-nilai tradisional yang sudah

berkembang dalam corak masyarakat pedesaan. Corak masyarakat demikian bercirikan

adanya iklim paguyuban, cenderung statis, dan cenderung homogen. Nilai dasar yang

hendak dikembangkan dalam pemerintahan desa adalah partisipasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Pejabat pemerintah desa diisi berdasarkan prosedur pemilihan (elected

officer). Dengan demikian, masyarakat sejak awal telah terlibat secara langsung dalam

menentukan pejabat pemerintahan desa. Pamong desa ini tidak memiliki jalur karir

birokrasi yang terintegrasi dengan perangkat daerah lainnya. Karena dipilih oleh 24 Alan Norton. International handbook of local and regional government: a comparative analysis of

advanced democracies. (Cheltenham: Edwar Elgar, 1994).

Page 12: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

12

masyarakat dan pengambilan keputusan desa dilangsungkan secara musyawarah maka

akuntabilitas publik dari pemerintah desa kepada masyarakat lebih besar dibandingkan

dengan akuntabilitas publik pemerintah kelurahan kepada mayarakat.

Berdasarkan karakteristik pemerintahan desa sebagaimana dijelaskan di atas maka

unit pemerintahan ini merupakan laboratorium yang tepat untuk menjalankan perspektif

new public service. Posisi penting desa sebagai pengejawantahan pemerintahan lokal

dalam demokratisasi administrasi publik didukung pula oleh Diana Conyers yang

mengatakan bahwa tingkatan yang lebih tepat bagi partisipasi ideal adalah pada level

komunitas desa. Pendapat ini dilatari alasan bahwa partisipasi membutuhkan batasan-

batasan masyarakat dan keterjangkauan masyarakat terhadap proses partisipasi. Dengan

mempertimbangkan bahwa tidak mudah menentukan batas-batas masyarakat dan bahwa

tidak satupun komunitas yang sifatnya sederhana dan merupakan kesatuan yang homogen

maka partisipasi masyarakat akan dapat berlangsung ideal justeru pada tingkatan

pemerintahan desa.25

Dukungan penerapan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan pada level desa

juga dikemukakan oleh Timothy D. Sisk, dkk. Ada tiga pertimbangan mendasar mengapa

hal ini terjadi. Pertama, penerapan secara lebih nyata subsidiarity principle, yakni prinsip

yang menyatakan bahwa keputusan seharusnya dibuat pada level yang paling dekat dengan

rakyat sepanjang ia masih layak dan tidak memerlukan koordinasi regional dan nasional.

Kedua, pengutamaan capaian partisipasi yang efektif yang diyakini sebagai situasi

partisipasi ketika warga memiliki peluang yang sama dan memadai untuk mengungkapkan

keinginan mereka, mengajukan pertanyaan tentang agenda tertentu, dan mengartikulasikan

alasan untuk mengesahkan suatu kebijakan. Ketiga, penguatan sistem demokrasi pada aras

lokal merupakan basis utama bagi penguatan sistem demokrasi pada jenjang pemerintahan

yang lebih tinggi sehingga sistem demokrasi suatu negara akan menjadi lebih efektif dan

berkelanjutan.26

Dengan mengacu pada pendapat Box, Conyers, dan Sisk, dkk. Maka dapat

dimengerti mengapa perspektif new public service mestinya dapat diterapkan secara lebih

efektif pada pemerintahan desa dibandingkan tingkatan pemerintahan lainnya. Peluang

25 Diana Conyers. Perencanaan sosial di dunia ketiga: suatu pengantar. (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1992) 26 Timothy D. Sisk, et.al. Democracy at the local level: the International IDEA Handbook on participation,

conflict management, and governance. (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2001).

Page 13: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

13

pemerintahan desa secara partisipatif di Indonesia telah terbuka lebar seiring terjadinya

perubahan pengaturan pemerintahan desa dari UU No. 5 tahun 1979 menjadi UU No. 22

tahun 1999. Landasan pemikiran dalam pengaturan pemerintahan desa dalam UU era

reformasi tersebut adalah pengakuan atas keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,

demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai perwujduan demokrasi dalam

pemerintahan desa maka dibentuklah di setiap desa sebuah Badan Perwakilan Desa atau

sebutan lainnya yang sesuai dengan budaya setempat. Fungsi yang diemban lembaga ini

adalah legislasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Melalui UU ini pula

demokratisasi pemerintahan desa berjalan sesuai dengan budaya asli setempat. Namun

demikian, sebenarnya terdapat keraguan tentang apakah budaya setempat sebagaimana

diinginkan masih ada dan bertahan hidup setelah 20 tahun terjadi perubahan melalui UU

No. 5 tahun 1979. Hal ini tentu memerlukan pengkajian secara seksama.

Penelitian yang dilakukan oleh Desna Aromatica tentang Pemerintahan Nagari di

Sumatera Barat dan Andreas Bernath Sekolengo tentang Perbandingan antara BPD dan

Mosalaki di Nusa Tenggara Timur menarik untuk disimak. Temuan dari dua kajian

tersebut menunjukkan bahwa Pemerintahan Desa pasca berlakunya UU 22 tahun 1999

memang menunjukkan adanya pertanda kemajuan penyelenggaraan pemerintahan yang

demokratis dan berbasis pada budaya lokal. Namun hal lain yang perlu dicermati sebagai

hasil dari temuan tersebut adalah budaya patrimonial di masyarakat yang diteliti juga

masih sangat kuat. Ketaatan masyarakat pada elit lokal sedemikian kuatnya sehingga

pemerintahan bersifat elitis karena penyelenggara pemerintahan desa adalah elit lokal

tradisional. Meski hal ini dapat diterima secara umum oleh masyarakat namun muncul

pertanda non-demokratis seperti tertutupnya peluang masyarakat pendatang sebagai

pamong desa dan penentuan pemimpin desa berdasarkan garis keturunan. Ini berarti

menunjukkan bahwa tidak setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi

pejabat publik. Kondisi ini tentu perlu dicermati di masa mendatang karena dapat

mempengaruhi corak pemerintahan desa di Indonesia.

Kini UU No. 22 tahun 1999 telah diperbaharui menjadi UU No. 32 tahun 2004.

Banyak pihak mengkritik kebijakan baru sebagai telah mengurangi otonomi desa dan

memperkuat posisi Negara terhadap desa.27 Pada dasarnya penyelenggaraan urusan desa

27 Abdur Rozaki, dkk. Prakarsa desentralisasi dan otonomi desa. (Yogyakarta: IRE, 2005).

Page 14: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

14

tidak mengalami perubahan namun secara kelembagaan terdapat perubahan yang cukup

berarti. Badan Perwakilan Desa kini berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa.

Perubahan nomenklatur ini didasarkan pada pertimbangan untuk mengoptimalkan proses

pembuatan keputusan bersama dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa dan

tidak dimaksudkan untuk menciptakan kondisi check and balance antara Kepala Desa dan

BPD. Dalam peraturan baru ini, Kepala Desa tidak lagi bertanggung jawab kepada BPD

namun secara substansial lebih bertanggung jawab Kepada Kepala Daerah. Ini berarti

hubungan desa dengan pemerintahan supra desa dalam UU No. 32 tahun 2004 lebih kuat

dibandingkan UU No. 22 tahun 1999.

Terlepas dari polemik yang ada dalam penerapan UU No. 32 tahun 2004 dan

sejumlah masalah yang masih tersisa, secara mendasar kini pemerintahan desa dianggap

jauh lebih demokratis dibandingkan pengaturan dalam UU No. 5 tahun 1979 karena

adanya pengakuan terhadap keanekaragaman, partisipasi masyarakat, otonomi asli dan

demokratisasi. Kondisi ini sebenarnya merupakan landasan yang kuat bagi penerapan

perspektif baru administrasi publik, new public service. Karena partisipasi masyarakat

yang ideal lebih dapat terlaksana pada komunitas yang lebih kecil maka sesuai dengan

subsidiarity principle perspektif baru administrasi publik akan terlaksana dengan lebih baik

pada pemerintahan desa. Jika penyelenggaraan pemerintahan desa dapat berlangsung

secara partisipatif maka partisipasi masyarakat dalam tingkatan pemerintahan yang lebih

tinggi dapat diharapkan dapat terjadi.

Page 15: Muluk  demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan

15

DAFTAR PUSTAKA

Aromatica, D. “Perubahan pemerintahan desa menjadi pemerintahan nagari dalam rangka otonomi

daerah: suatu studi pada Pemerintah Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat.” Skripsi tidak dipublikasikan pada Jurusan Administrasi Publik Universitas Brawijaya. Malang: 2004.

Bovaird, T. & Loffler, E. (ed.). Public Management and Governance. (London: Routledge, 2003).

Box, R.C. Citizen governance: Leading American communities into the 21st century. (Thousand Oaks: Sage Publications. 1998)

Conyers, D. Perencanaan sosial di dunia ketiga: suatu pengantar. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992)

Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. The New Public Service: Serving, Not Steering. (New York: M.E. Sharpe, 2004).

Flynn, N. Public Sector Management. (Brighton: Wheatsheaf, 1990).

King, C.S. & Stivers, C. Government is us: public administration in an anti-government era. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1998).

Little, J.H. “Thinking government: bringing democratic awareness to public administration” in Gary L. Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding democratic public administration: modern paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996).

Norton, A. International handbook of local and regional government: a comparative analysis of advanced democracies. (Cheltenham: Edwar Elgar, 1994)

Osborne, D. & Gaebler, T. Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. (New York : A William Patrick Book, 1992).

Rozaki, A. dkk. Prakarsa desentralisasi dan otonomi desa. (Yogyakarta: IRE, 2005).

Savas, E.S. Privatization and Public-Private Partnerships. (New York : Chatam House Publishers, 2000).

Sekolengo, A.B. “Fungsi BPD dan Lembaga Adat (Mosalaki) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa: suatu studi di Desa Sokoria, Kecamatan Ndona Timur, Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur.” Skripsi tidak dipublikasikan pada Jurusan Administrasi Publik Universitas Brawijaya. Malang: 2004.

Sisk, T.D., et.al. Democracy at the local level: the International IDEA Handbook on participation, conflict management, and governance. (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2001).

Wamsley, G.L. & Wolf, J.F. (ed.) Refounding democratic public administration: modern paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996).