Mph Proposal Helen Dua

22
A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “ aman “.Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen padaumumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji. 1 Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas. Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk 1 Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia , Ghalia- Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie I), h. 17. 4 Happy Susanto, 2008, Hak- Hak Konsumen Jika Dirugikan , Visimedia, Jakarta, h. 39

Transcript of Mph Proposal Helen Dua

A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang aman .Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen padaumumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.1 Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas. Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk1

Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ghalia-

Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie I), h. 17. 4 Happy Susanto, 2008, HakHak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, h. 39

tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.2 Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yangsangat penting.6 Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual. 7 Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. 3 Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau

2 3

Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, h. 12. Taufik Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13.

pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasilhasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen. Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih. Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 4Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang

4

Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,h.31.

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain : a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan d) barang dan/atau jasa; e) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; f) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; g) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; h) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak i) diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; j) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumennyang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.5Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk5

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 18.

menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar (reasonable). Disisi lain konsumen harus pula menyadari hakhaknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial (social control) terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain: Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar menjadi melemah. Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

3. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 4. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. 5. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas 6. perdagangan, memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.6 Dalam pasal 1 UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.. Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar. Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya. 7 Dari informasi pada label,6

Endrah, 2009, Kasus Tentang Perundangan Pangan diakses 27 Mei 2012, available

From URL : http://endrah.blogspot.com.7

Purwiyatno Hariyadi, 2009, Mencermati Label dan Iklan Pangan , diakses 29 Mei 2012,

konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangankecurangan dapat terjadi.8 Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagimakanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau perbuatanperbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anakanak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 9Label yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia. Selain diatur didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih spesifiknya adalah PP No.8

Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra

Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Yusuf Shofie II), h. 15.9

Dedi Barnadi YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen Cerdas

Majalengka, 2009, Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah , Diakses 28 Mei 2012, Available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc

69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan. Didalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Lebih lanjut didalam pasal 2 ditentukan bahwa : (1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. (2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa : (1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa

Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini. Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan : (1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri. (2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam. Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya. Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor. Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada 4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang dikonsumsinya, yaitu 10: 1) Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan bahan berbahaya

10

Konsumen Cerdas, 2009, Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait Perlindungan

Konsumen , diakses 23 Mei 2012, available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc.

2) Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan 3) Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya 4) Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999) beserta Permenkes. 5) Produk-produk industri makanan dan minuman yang kedaluarsa. 6) Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui adalah 11: Penggunaan

label tidak berbahasa Indonesia dan tidak

menggunakan huruf latin, terutama produk impor. Label Tidak Tidak Tidak

yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan mencantumkan waktu kedaluarsa mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan

gizi yang tidak konsisten. Tidak

mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)

Hasil kajian menemukan bahwa masalah label kurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan kelengkapannya. Khusus menyangkut keterangan halal sebagai bagian dari label, data lembaga pemeriksa halal (LP-POM MUI) menyebutkan saat ini baru sekitar 15% dari produk pangan di Indonesia yang telah memiliki sertifikat halal. LP POM MUI telah menerbitkan 3.742 sertifikat halal untuk sekitar 12.000 produk pangan. Sementara itu, industri pangan di Indonesia mencapai lebih dari satu juta, dimana sekitar 2000 diantaranya merupakan industri besar dan sisanya merupakan industri kecil dan menengah. Konsumen dituntut untuk

11

Konsumen Cerdas, 2012, Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait Perlindungan

Konsumen , diakses 18 Mei 2012, available from : URL http://www.konsumencerdas.co.cc.

selalu berhati-hati dalam berkonsumsi rasanya tidak adil. Harus ada langkah perlindungan yang nyata dari Pemerintah kepada konsumen. Penegakan hukum dengan menerapkan sanksi yang benar bagi pelaku usaha yang melanggar aturan harus dilaksanakan. Itu penting untuk mengajarkan tanggung jawab moral kepada pelaku usaha. Dalam kasus-kasus perlindungan konsumen ada beberapa hal yang perlu dicermati, yakni : 1. Perbuatan pelaku usaha baik sengaja maupun karena kelalaiannya dan mengabaikan etika bisnis, ternyata berdampak serius dan meluas. Akibatnya kerugian yang diderita konsumen missal (massive effect) karena menimpa apa saja dan siapa saja. 2. Dampak yang ditimbulkan juga bisa bersifat seketika (rapidy effect), sebagai contoh konsumen yang dirugikan (dari mengkonsumsi produk) bisa pingsan, sakit atau bahkan meninggal dunia. Ada juga yang ditimbulkan baru terasa beberapa waktu kemudian (hidden defect), contoh yang paling nyata dari dampak ini adalah maraknya penggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan dalam sejumlah produk yang bisa mengakibatkan kanker di kemudian hari. 3. Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karena tidak punya pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengkonsumsi barang/jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitas dan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan dirimereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan dirinya kapan saja. Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono , Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus

memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka 1. dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya di masyarakat? 2. Bagaimanakah upaya hukum dari konsumen yang dirugikan akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang ataupun masa kadaluarsa yang berbahaya?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui Tinjauan Pustaka Hukum senantiasa berkembang dinamis, hukum yang baik adalah hukum sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) di masyarakat atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dan bertujuan untuk menjadi dasar memelihara ketertiban, keadilan, dan kesejahteran dalam masyarakat. Hukum juga berfungsi mengabdi kepada masyarakat, dalam hal ini mengatur tata tertib, menjaga agar perilaku masyarakat sesuai dengan peraturan hukum, sehingga kepentingan-kepentingannya dilindungi hukum. Jika perkembangan kepentingan masyarakat bertambah, maka harus diikuti pula dengan perkembangan hukum, sehingga kebutuhan akan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sejalan dengan perkembangan pembangunan.12 Terlebih lagi dalam era globalisasi, maka hukum harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat12

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, Sinar

Garafika, Jakarta, 2008, hlm. 12.

banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian pada konsumen. Kerugian-kerugian yang diderita konsumen merupakan akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen. Menghindari agar konsumen tidak tertipu dan menyebabkan kerugian pada konsumen akibat tindakan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku usaha (produsen), maka diperlukan suatu perlindungan hukum. Oleh karena itu, dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang ada, permasalahan yang berkaitan dengan konsumen dan pelaku usaha telah diatur dalam UUPK. Peraturan perundangundangan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. UUPK memberikan pengertian perlindungan konsumen pada Pasal 1 angka 1 yaitu: Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pentingnya hukum perlindungan konsumen juga disadari, karena setiap konsumen selalu memerlukan produk barang dan/atau jasa (pangan) yang aman bagi keselamatan dan kesehatan serta jiwa manusia. Untuk menjamin hal-hal tersebut, maka diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia yang harus dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur dan bertanggungjawab.13 Perlindungan hukum bagi konsumen berdimensi banyak, salah satunya adalah perlindungan hukum bila dikaitkan dengan keseluruhan individu dalam masyarakat yang secara sendiri sebagai konsumen. Dengan demikian, merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat dihindarkan bagi Negara untuk selalu berupaya memberikan perlindungan kepada konsumen.14 Hukum perlindungan konsumen timbul akibat adanya posisi konsumen yang sangat lemah, kelemahan konsumen itu adalah lemah dari segi

13

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Ctk. Pertama, Diadit

Media, Jakarta, 2001, hlm. 16.14

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniati, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama,

CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 68.

pendidikan, kemampuan ekonomis atau daya tawar (bargaining position), dan juga dari segi organisasi.15 Konsumen sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam hubungannya dengan para penyedia barang atau jasa konsumen akibat kelemahan konsumen tersebut. Dilihat dari aspek hukum, lemahnya posisi konsumen terjadi tidak hanya dari aspek materi (substansi) hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum.9 Miskinnya hukum Indonesia berkenaan dengan perlindungan pada kepentingan konsumen ini, tidak jarang konsumen yang dirugikan tanpa kesalahan pada pihaknya dalam berhubungan dengan penyedia barang atau jasa, hampir dapat dikatakan tidak mampu menuntut ganti rugi dan atau menegakkan hak-haknya. Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah: 1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya; 2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya; 3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya; 4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan; 5. Posisi konsumen yang lemah.16 Pengaturan terhadap perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha yang pada dasarnya mereka berprinsip untuk mendapatkan15

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Ctk. Pertama, Diadit

Media, Jakarta, 200., hlm. 83.16

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Laporan Akhir Penelitian Perlindungan

Konsumen Atas Kelalaian Produsen, sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan dalam: Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, hlm. 15.

keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal yang seminim mungkin. Prinsip ini sangat potensial untuk merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan: 1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; 2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya; 3. 4. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan; dan 5. Memadukan penyelengaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.17 Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan haknya, tetapi juga adanya persepsi yang salah di kalangan sebagian besar produsen bahwa perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap produsen. Persepsi yang keliru di kalangan pengusaha ini akan dengan mudah diluruskan apabila disadari beberapa pertimbangan berikut ini: 1. Bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan, usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik bila konsumen berada pada posisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat; 2. Bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan produsen yang jujur dan bertanggungjawab; 3. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi produsen yang bertanggungjawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan

17

Sofyan Lubis, Quo Vadis Perlindungan Konsumen, terdapat dalam

http:\\www.articlewisdom.com, 28 Mei 2012, 17.42.

kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui penindakan terhadap produsen yang melakukuan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya; 4. Bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakaian produk cacat telah diperhitungkan sebagai kompensasi produksi, tetapi ditanggung bersama oleh seluruh konsumen yang memakai produk yang tidak cacat.12 Bertolak dari keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap hak konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang simultan dan komprehensif, sehingga terjadi persaingan yang jujur yang secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen. Antara konsumen dan pelaku usaha memungkinkan terjadinya hubungan hukum, misalnya saja hubungan hukum dalam perjanjian jual-beli. Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen sering terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai harga dan barang/jasa tanpa diikuti atau ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Padahal, jika ada salah satu pihak melakukan wanprestasi ataupun melakukan perbuatan melawan hukum, maka dengan adanya bentuk perjanjian tertulis tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat (bukti otentik) untuk melakukan penuntutan ganti rugi, yang semuanya itu merupakan tujuan untuk melindungi para pihak Ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu. Di dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata secara tegas dikatakan bahwa perjanjian adalah sah jika : 1. Dibuat berdasarkan kata sepakat dari para pihak: tanpa adanya paksaan, kekhilafan, maupun penipuan; 2. Dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum;

3. Memiliki objek perjanjian yang jelas; 4. Didasarkan pada suatu klausula yang halal. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ditegaskan lagi bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai

undang-undang diantara mereka. Persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara bersama oleh kedua belah pihak atau berdasarkan alasan yang dianggap cukup oleh Undang- Undang. Artinya, selama terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai harga yang harus dibayar oleh konsumen dan barang dan/atau jasa yang wajib disediakan oleh pelaku usaha, maka perjanjian telah mengikat, baik untuk konsumen maupun untuk pelaku usaha, kecuali terdapat suatu paksaan, kekhilafan maupun penipuan atas diri konsumen. Ditinjau dari segi hukum perdata hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dalam arti luas yaitu sebagai penghasil maupun penjual barang adalah merupakan suatu perikatan. Buku III KUH Perdata tentang perikatan, Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang, sedangkan Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila penjual dalam melakukan transaksi jual beli tidak melaksanakan prestasinya maka dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.13 Sehubungan dengan perjanjian jual beli, maka menurut pasal 1457 KUH perdata, jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Di dalam hubungan jual beli, kepada kedua belah pihak dibebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sebagaiman diatur dalam Pasal 1513 - Pasal 1518 KUH Perdata untuk pembeli dan Pasal 1474 - Pasal 1512 KUH Perdata untuk penjual. Kewajiban utama penjual menurut Pasal 1473 dan Pasal 1474 KUH Perdata terdiri atas: 1. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. Menyerahkan barang artinya memindahkan penguasaan atas barang yang dijual dari tangan penjual kepada pembeli. Penyerahan dapat dilakukan bersamaan dengan pembayaran dari pembeli, atau dalam waktu yang hampir sama, tetapi

selalu terbuka kemungkinan untuk melakukan penyerahan pada waktu yang berbeda dengan saat tercapainya kesepakatan; 2. Kewajiban penjual untuk memberi pertanggungan atau jaminan. Menanggung di sini adalah kewajiban penjual untuk memberi jaminan atas kenikmatan tenteram dan jaminan dari cacat tersembunyi (hidden defects). Konsumen dapat melakukan upaya perlindungan apabila mengalami kerugian akibat tidak dipenuhinya apa yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha, maka konsumen yang menjadi korban dapat melakukan upaya hukum untuk menuntut hak-haknya. Tuntutan konsumen atas kerugian yang dideritanya diatur dalam Pasal 7 UUPK mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap produsen secara hukum perdata dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni:18 a. Kerugian transaksi, yaitu kerugian yang timbul dari jual beli barang yang tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi; b. Kerugian produk, ialah kerugian yang langsung atau tidak langsung diderita akibat dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko produksi akibat dari perbuatan melawan hukum Selanjutnya setiap pengaduan konsumen terhadap kerugian yang dideritanya dari pelaku usaha/produsen dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yang disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) UUPK: 1. Gugatan kepada pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di luar pengadilan, dalam hal ini melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); 2. Gugatan kepada pelaku usaha melalui pengadilan umum. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui18

Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam

Perwujudan Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 19.

pengadilan hanya dapat ditempuh, apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (4) UUPK). Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara konsiliasi, mediasi atau arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha baik secara individual maupun secara kelompok. Berdasarkan Pasal 46 UUPK, gugatan konsumen atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, oleh seorang konsumen atau ahli warisnya. Kedua, sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (class action). Ketiga, oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) atau pemerintah dan/atau instansi terkait (legal standing). Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai penggugat, dalam pasal ini sifatnya sangat limitatif, artinya gugatan baru bisa diajukan pemerintah bila mengakibatkan kerugian yang besar dan korban yang tidak sedikit. Adapun penyelesaian melalui pengadilan ditempuh dengan menggunakan ketentuan hukum acara perdata, sebagaimana penyelesaian kasus-kasus perdata pada umumnya. Memperhatikan berbagai cara yang dapat ditempuh dalam penyelesaian gugatan konsumen terhadap kerugian produk, maka konsumen dapat memilih berbagai pilihan hukum dalam membela haknya dengan mempergunakan cara mana yang akan dipakai. Dengan demikian, maka konsumen yang selama ini selalu dalam posisi lemah, baik secara ekonomi, maupun pengetahuannya, akan dapat lebih mantap dalam membela haknya.

E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Obyek dari penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi konsumen tehadap penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya di Pasar Beringharjo dan upaya hukum dari konsumen yang dirugikan

akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya. 2. Subjek Penelitian a. Konsumen

b. Pelaku Usaha (Penjual) c. Kepala Balai Besar POM Yogyakarta d. Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta

3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri atas: 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari : a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata b) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen d) Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makana e) Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 239/Menkes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu Yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya f) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku20 buku literatur, makalah, hasil penelitian terdahulu, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan cara:

a. Wawancara (interview), yaitu pengumpulan data dengan menggunakan tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian guna memperoleh jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini. b. Studi Kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dengan cara menelusuri dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis permasalahan dalam penelitian ini dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundangundangan yang berlaku. 6. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian. b. c. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan

d. dasar dalam mengambil kesimpulan.

F. Sistematika Pembahasan Guna memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini, berikut disajikan sistematika penulisan dari skripsi ini yang terbagi ke dalam 4 (empat) bab dan masing-masing bab terbagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun masingmasing bab dan sub bab tersebut adalah: BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang merupakan bekal awal bagi penulis dalam melakukan penelitian. Selanjutnya pada bab ini juga diuraikan tentang metode

penelitian yang merupakan panduan bagi penulis dalam melakukan penelitian guna penyusunan skripsi dan sistematika pembahasan. BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Pada bab ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen. Adapun uraian pada bab ini meliputi pengertian perlindungan konsumen, asas, tujuan, dan norma perlindungan konsumen, prinsip-prinsip perlindungan konsumen, landasan hukum perlindungan konsumen, pengertian konsumen, hak dan kewajiban konsumen, pengertian pelaku usaha (produsen), hak dan kewajiban pelaku usaha (produsen), tanggung jawab pelaku usaha (produsen), serta penyelesaian sengketa konsumen. BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN YANG BERBAHAYA Pada bab ini disajikan hasil penelitian dan sekaligus dilakukan pembahasan terhadap perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya. Adapun uraian dan pembahasan pada bab ini meliputi perlindungan hukum bagi konsumen tehadap penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya di Pasar Beringharjo dan upaya hukum dari konsumen yang dirugikan akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya. BAB IV PENUTUP Pada bab ini disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini dan sekaligus disampaikan saran yang merupakan rekomendasi dan sumbangan pemikiran dari penulis untuk mengatasi permasalahan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya.