Moluskum kontagisum
-
Upload
handini-rahmi-dewi -
Category
Documents
-
view
239 -
download
0
Embed Size (px)
description
Transcript of Moluskum kontagisum

MOLLUSCUM CONTAGIOSUM
DISUSUN OLEH:
Hana Ayunda Dewayanti (1061050131)
Elda Oncossya Panggabean (1061050134)
Febrian Ramadhan Pradana (1161050167)
Vega Nitya Eridani (1161050168)
KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN
PERIODE 09 NOVEMBER – 12 DESEMBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2015

A. Definisi
Moluskum kontagisum adalah penyakit yang disebabkan oleh virus poks, klinis berupa
papul berbentuk kubah, berkilat dan pada permukaannya terdapat lekukan, berisi massa yang
mengandung badan moluskum.
B. Epidemiologi
Penyakit ini menyerang anak-anak kadang juga orang dewasa dan pasien dengan
imunokompremais. Jika pada orang dewasa digolongkan dalam penyakit infeksi menular
seksual. Transmisinya dapat melalui kontak kulit langsung, otoinokulasi atau melalui benda yang
terkontaminasi, misalnya handuk, baju, kolam renang dan mainan.
C. Etiopatogenesis
Virus moluskum tergolong virus DNA genus Molluscipox , ditemukan 4 subtipe dan tipe-
1 dianggap dapat menyerang individu yang immunokompremais. Masa inkubasi antara 2-8
minggu. Beberapa toll like receptors (TLRs) mampu mengenali struktur dan merespons infeksi
virus tersebut.
D. Gejala Klinis
Lokasi penyakit ini yaitu di daerah wajah, leher, ketiak, badan dan ekstremitas.
Sedangkan pada orang dewasa di daerah pubis dan genitalia eksterna.
Kelainan kulit berupa papul berbentuk bulat mirip kubah, berukuran miliar sampai
lentikular dan berwarna putih dan berkilat seperti lilin. Papul tersebut setelah beberapa lama
membesar kemudian ditengahnya terdapat lekukan. Jika dipijat akan tampak keluar massa yang
berwana putih mirip butiran nasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga timbul
supurasi. Sebagian papul dapat berukuran 1-5mm dan bertangkai, juga dapat berukuran besar
hingga 10-15mm disebut giant molluscum. Komplikasi dapat terjadi berupa infeksi sekunder
akibat garukan.
Pada pasien immunokompremais, misalnya HIV/AIDS, lesi moluskum menjadi cepat
tumbuh, berjumlah seampai ratusan, besar-besar dan tersebar.

D. Pemeriksaan Laboratorium dan Histopatologis
Virus dapat dideteksi dengan pemeriksaan PCR, pada pemeriksaan histopatologik di
daerah epidermis dapat ditemukan badan moluskum yang mengandung partikel virus. Badan
inklusi tersebut dinamakan Henderson-Paterson bodies. Badan moluskum juga dapat dilihat
dengan pulasan Gram, Wright atau Giemsa.
E. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan adalah mengeluarkan massa yang mengandung badan moluskum.
Pengobatan bisa dilakukan dengan cara sistemik, intervensi dan topical.
a. Sistemik
1. Cimetidine
Pengobatan sistemik dapat dilakukan dengan memberikan cimetidine. Cimetidine
merupakan antagonis receptor histamine H2 yang menstimulasi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Sebuah studi menunjukan bahwa keberhasilan
penggunaan cimetidine dosis 40mg/kgBB/oral/hari dengan dosis terbagi dua pada
pengobatan moluskum kontagisum dengan lesi ekstensif.
2. Cidofovir
Selain cimetidine, dapat juga diberikan cidofovir. Cidofovir merupakan analog
nukleosida deoxytidine 7 monophosphate yang memiliki aktivitas antivirus terhadap
sejumlah besar DNA virus meliputi citomegalovirus (CMV), virus herpes simplex
(HSV), Human Papiloma Virus (HPV) dan Molluscum Contagiosum Virus (MCV).
Didalam tubuh host, cidofovir mengalami 2 fase fosforilasi melalui jalur monofosfat
kinase dan piruvat kinase. Melalui kedua fase fosforilasi tersebut akan terbentuk
cidofovir difosfat yang merupakan metabolit aktif cidofovir. Cidofovir difosfat
bekerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap DNA polimerase virus sehingga mampu
menghambat sintesis DNA virus. Pemberian terapi cidofovir intravena pada 2 orang
pasien memberikan perbaikan lesi dalam waktu 2 bulan. Efek samping cidofovir
sistemik meliputi nefrotoksik, neutropenia dan asidosis metabolik.

b. Intervensi dan topical
1. Bedah Beku (Cryosurgery)
Merupakan salah satu terapi yang umum dan efisien digunakan dalam
pengobatan moluskum kontagiosum, terutama pada lesi predileksi perianal dan
perigenital. Bahan yang digunakan adalah nitrogen cair. Aplikasi menggunakan
lidi kapas pada masing-masing lesi selama 10-15 detik. Pemberian terapi dapat
diulang dengan interval 2-3 minggu. Efek samping meliputi rasa nyeri saat
pemberian.
2. Eviserasi
Merupakan metode yang mudah untuk menghilangkan lesi dengan cara
mengeluarkan inti umbilikasi sentral melalui penggunaan instrumen seperti
skalpel, ekstraktor komedo dan jarum suntik. Penggunaan metode ini mungkin
tidak dapat ditoleransi oleh anak-anak.
3. Podofilin dan Podofilotoksin
Suspensi podofilin 25% dalam larutan benzoin atau alkohol dapat diaplikasikan
pada lesi dengan menggunakan lidi kapas, dibiarkan selama 1-4 jam kemudian
dlakukan pembilasan dengan menggunakan air bersih. Pemberian terapi dapat
diulang sekali seminggu. Terapi ini membutuhkan perhatian khusus karena
mengandung mutagen yaitu quercetin dan kaempherol. Efek samping lokal akibat
penggunaan bahan ini meliputi erosi pada permukaan kulit normal serta
timbulnya jaringan parut. Efek samping sistemik akibat penggunaan secara luas
pada permukaan mukosa berupa neuropati saraf perifer,gangguan ginjal, ileus,
leukopeni dan trombositopenia. Podofilotoksin merupakan alternatif yang lebih
aman dibandingkan podofilin. Sebanyak 0,05 ml podofilotoksin 5% diaplikasikan
pada lesi 2 kali sehari selama 3 hari. Kontraindikasi absolut kedua bahan ini pada
wanita hamil.

4. Cantharidin
Merupakan agen keratolitik berupa larutan yang mengandung 0,9% collodian dan
acetone. Telah menunjukkan hasil memuaskan pada penanganan
infeksi Molluscum Contagiosum Virus (MCV). Pemberian bahan ini terbatas
pada puncak lesi serta didiamkan selama kurang lebih 4 jam sebelum lesi dicuci.
Cantharidin menginduksi lepuhan pada kulit sehingga perlu dilakukan tes terlebih
dahulu pada lesi sebelum digunakan. Bila pasien mampu menoleransi bahan ini,
terapi dapat diulang sekali seminggu sampai lesi hilang. Efek samping pemberian
terapi meliputi eritema, pruritus serta rasa nyeri dan terbakar pada daerah lesi.
Kontraindikasi penggunaan Cantharidin pada lesi moluskum kontagiosum
didaerah wajah.
5. Tretinoin
Tretinoin merupakan derivat vitamin A yang berfungsi sebagai agen anti -
proliferasi sel. Krim tretinoin 0,1% digunakan pada penanganan moluskum
kontagiosum. Pemberian dengan cara dioleskan 2 kali sehari pada lesi.
Penyembuhan dilaporkan terjadi dalam waktu 11 hari setelah pemberian terapi.
Efek samping terapi berupa eritema pada daerah timbulnya lesi. Pilihan lain
menggunakan krim tretinoin 0,05% menunjukkan hasil yang memuaskan dengan
efek samping berupa iritasi ringan.
6. Larutan KOH
Larutan KOH 10% diaplikasikan 2 kali sehari pada lesi dengan menggunakan lidi
kapas. Pemberian terapi dihentikan bila didapatkan respon inflamasi atau timbul
ulkus pada daerah lesi. Perbaikan lesi didapatkan setelah kurang lebih 30 hari
pemberian terapi. Efek samping berupa pembentukan jaringan parut hipertropik
serta hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pada daerah lesi. Sebuah studi
merekomendasikan penggunaan l arutan KOH 5% yang memiliki efek samping
minimal dalam pengobatan moluskum kontagiosum pada anak-anak.

7. Pulsed Dye Laser
Beberapa studi menunjukkan hasil memuaskan penggunaan modalitas terapi
pulsed dye laser pada lesi moluskum kontagiosum. Perbaikan lesi dicapai dalam
waktu 2 minggu setelah pemberian terapi tanpa disertai efek samping yang
berarti. Pulsed dye laser merupakan salah satu pilihan terapi yang efisien namun
memiliki kekurangan dari segi efektifitas biaya.
8. Imunomodulator
Penggunaan imunomodulator telah menjadi bagian dari pilihan terapi moluskum
kontagiosum. Pada pasien dengan gangguan fungsi imun dimana didapatkan lesi
ekstensif tersebar di seluruh tubuh, terapi lokal yang bersifat destruktif dikatakan
tidak efektif. Penggunaan imunomodulator telah memberikan hasil memuaskan.
Imunomodulator topikal telah digunakan pada bermacam kelainan kulit.
Molekul imunomodulator topikal memiliki kemampuan memodifikasi respon
imun lokal pada kulit, bersifat stimulator maupun supresor terhadap respon imun.
Pemilihan preparat topikal didasarkan pada beberapa alasan antara lain hasil
terapi memuaskan, kemudahan aplikasi serta tingkat keamanan lebih baik
dibandingkan preparat sistemik. Imunomodulator topikal terbagi menjadi 2
bagian besar, yaitu imunomodulator steroid dan imunomodulator non -steroid.
Berikut ini adalah klasifikasi imunomodulator non -steroid topikal di bidang
dermatologi:
1. Macrolactum
- Tacrolimus
- Pimecrolimus
- Sirolimus
- Siklosporin
2. Alergen kontak
- Dyphencyprone (DPC)
- Squaric Acid Dibutyl Ester (SADBE)
- Dinitrochlorobenzene (DNCB)
3. Imunostimulator

- Imiquimod
- Resiquimod
4. Imunomodulator lain
- Calcipotriol
- Anthralin
- Zinc topikal
- Interferon topikal
- Interferon intralesi
Mekanisme kerja imiquimod masih belum diketahui secara jelas. Pemberian
imiquimod secara topikal merangsang respon imun seluler dan respon imun
lokal melalui stimulasi monosit, makrofag dan sel dendritik di jaringan perifer
untuk memproduksi sitokin proinflamasi, terutama interferon -α 1 (IFN-α 1),
interferon-α 2 (IFN-α 2), interferon-α 5 (IFN-α 5), interferon-α 6 (IFN-α 6),
interferon-α 8 (IFN-α 8), interleukin 12 (IL-12) dan Tumor Necrosing Factor-
α (TNF- α). Mekanisme tersebut merupakan pertahanan alami primer
terhadap infeksi virus. IFN-α akan menghambat respon T helper 2 (Th2), s
edangkan IL-12 dan TNF-α menstimulasi respon T helper1 (Th1). Imiquimod
diketahui berperan pula dalam meningkatkan maturasi dan migrasi sel
Langerhans fungsional yang berperan sebagai antigen presenting cell pada
jaringan epidermis kulit, menuju kelenjar limfe regional. Keadaan ini
membuat respon imun yang diinduksi oleh imiquimod menjadi lebih spesifik
terhadap antigen tertentu. Imiquimod tersedia dalam bentuk krim 1% dan 5%,
bermanfaat dalam penanganan kelainan infeksi maupun neoplasma
dermatologi. Imiquimod digunakan 3 kali / minggu pada malam hari sampai
lesi hilang secara menyeluruh atau selama maksimal 16 minggu. Dioleskan
pada tiap lesi dan didiamkan selama 6 -10 jam. Pemakaian krim imiquimod
5%, 5 hari dalam seminggu selama 16 minggu memberikan perbaikan lesi
pada 15 pasien anak dengan moluskum kontagiosum. Penelitian lain
membandingkan krim imiquimod 1% dengan placebo pada 100 pasien laki-
laki moluskum kontagiosum, didapatkan perbaikan lesi menyeluruh pada

86% pasien yang mendapat terapi krim imiquimod 1%. Rekurensi lesi
moluskum kontagiosum terjadi 10 bulan setelah pemberian terakhir krim
imiquimod 1% pada seorang pasien. Penggunaan krim imiquimod secara
umum cukup dapat ditoleransi. Efek samping minimal berupa rasa gatal,
nyeri dan terbakar pada kulit. Pada beberapa kasus pernah dilaporkan
terjadinya efek samping berupa eritema, indurasi, erosi dan ulkus. Efek
samping sistemik berupa sakit nyeri kepala, nyeri otot dan flu like symptoms
didapatkan pada beberapa kasus. Tidak didapatkan bukti timbulnya efek
samping sistemik maupun toksik pada anak -anak.
9. Antivirus
Antivirus yang umum digunakan dalam pengobatan moluskum kontagiosum
adalah Cidofovir. Cidofovir tersedia dalam bentuk krim 3%, solusio intravena
dan intralesi. Beberapa studi menunjukkan hasil memuaskan penggunaan
cidofovir topikal maupun injeksi intralesi pada pengobatan penyakit kulit yang
disebabkan oleh virus. Resolusi lesi moluskum contagiosum didapatkan 2-6
minggu setelah pemberian terapi. Sebuah laporan kasus menyebutkan efektifitas
pemberian krim cidofovir 3% sekali sehari selama 8 minggu pada pengobatan 2
penderita moluskum kontagiosum anak dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Aplikasi krim cidofovir 3% dua kali sehari
selama 2 minggu pada seorang pasien memberikan perbaikan lesi secara
menyeluruh. Meadows dkk melaporkan keberhasilan terapi krim cidofovir 3%
dan solusio cidofovir intravena pada 3 orang penderita HIV sero-positif disertai
moluskum kontagiosum dengan predileksi lesi di daerah wajah, badan,
ekstremitas dan perianal. Cidofovir memiliki potensi cukup baik dalam
pengobatan moluskum kontagiosum, terutama pada pasien dengan penurunan
status imun. Akan tetapi kurangnya efektifitas dari segi biaya memberikan
batasan tersendiri dalam pemilihan terapi. Sebuah artikel menyebutkan harga
krim cidofovir 3% adalah sebesar US$ 65 per gram. Efek samping lokal
pemberian terapi cidofovir mencakup reaksi inflamasi pada daerah sekitar lesi.

F. Pencegahan
Pasien diminta agar menjaga kebersihan diri, tidak saling meminjam alat mandi, misalnya
handuk, pakaian dan mainan, mencegah kontak fisik sesame teman yang menderita dan selama
sakit dilarang berenang.
G. Prognosis
Dengan menghilangkan semua lesi yang ada, penyakit ini tidak atau jarang residif.