Modul 1 Pembangunan Kepariwisataan Indonesia JD

9
No Modul 1: Pembangunan Kepariwisataan di Indonesia 1. Tujuan Pembelajaran 1. Peserta meng et ahui kondisi eksisting kepariwisataan di Indonesia. 2. Peserta mampu meng ga mbarkan dampa k positif dan n egatif  pembangunan kepariwisataan global maupun lokal bagi kawasan/masyarakat setempat 2. Kegiatan Belajar 1. Identifikasi kegiatan kepariwisataan di Indonesia serta hubungannya dengan globalisasi p embangunan na sional dan daerah/lokal. 2. Identifikasi dampak po sitif d an neg atif pe mbangunan pariwisata dari sisi ekonomi sosial dan budaya di Indonesia !. "etode 1. #eramah. 2. #urah pendapat !. diskusi kelompo k $. %aktu 2 jam pelajaran & $' menit '. (rutan Pelaksanaan Kegiatan Pelatihan 1. Pe mbuk aan & P eng antar (15 Menit) a. (#apkan salam atau selamat pagi siang atau sore sesuai keadaan tany akan apa kabar hari ini. Ta ny akan pu la bagaimana kesiapan peserta mengikuti pelatihan ini. )ika dipe rluk an *mis alny a ini adal ah pelatihan awal+ #air kan suasana melalui i#e breaking apakah melalui perkenalan menuliskan nama panggilan di kertas yang ditaruh di depan meja atau permainan bersama. b. ,amp ai kan pokok bahasan dan moti-asi mereka dengan menyampaikan Tujuan Pembelajaran dan Kegiatan Belajar. )elaskan apa yang diharapkan dalam sesi pelatihan ini. #. )e la sk an "ater i kepada peserta se su ai deng an "odul berikut . "odul 0eramah PEM!N"#N!N KEP!$I%I!'!!N I INNEI! (*erama+ ,- Menit) 1. is tem Pariwisata Nasi onal Industri pariwisata nasional merupakan suatu sistem yang terdiri dari permintaan penawaran dan lingkungan. 1.1. permintaan merup aka n ses uatu yang diing ink an ole h wisatawan sesuatu yang di#ari wisatawan atau keinginan wisata wan. Permintaan  ini dipengaruhi oleh aktor indi/idual  yaitu sosok wisatawan baik yang menyangkut demograis wisatawan *umur jenis kelamin status sosial ekon omi pend idika n dan seba gainy a+ maup un psiko0 grai *seperti sikap gayahi dup moti-a si berper gian dan minat wi satawan+. )enis permintaan keinginan da n sesuatu yan g di#ari wi sata wan ini akan berbe da beda terga ntu ng dari beber ap a faktor diatas. ,eba ga i #ontohnya wi sat awan den gan usi a muda 1$ ! tahun ak an memilik i permintaan yang berbeda dengan wisatawan usia '' tahun keatas. %isatawan man#anegara dari 3r opa ak an memiliki pe rmintaan yang berbed a dengan wisatawan asal )epang. 1.. penawaran. Terdiri dari sejumlah faktor seperti atraksi akomodasi trans port asi ,4" kele mbag aan amenitas 1

description

aing

Transcript of Modul 1 Pembangunan Kepariwisataan Indonesia JD

No

NoModul 1: Pembangunan Kepariwisataan di Indonesia

1. Tujuan Pembelajaran1. Peserta mengetahui kondisi eksisting kepariwisataan di Indonesia.

2. Peserta mampu menggambarkan dampak positif dan negatif pembangunan kepariwisataan global maupun lokal bagi kawasan/masyarakat setempat

2. Kegiatan Belajar1. Identifikasi kegiatan kepariwisataan di Indonesia, serta hubungannya dengan globalisasi, pembangunan nasional dan daerah/lokal.

2. Identifikasi dampak positif dan negatif pembangunan pariwisata dari sisi ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia

3. Metode1. ceramah.

2. curah pendapat3. diskusi kelompok

4. Waktu2 jam pelajaran @ 45 menit

5. Urutan Pelaksanaan Kegiatan Pelatihan1. Pembukaan & Pengantar (15 Menit) a. Ucapkan salam, atau selamat pagi, siang atau sore sesuai keadaan, tanyakan apa kabar hari ini. Tanyakan pula bagaimana kesiapan peserta mengikuti pelatihan ini. Jika diperlukan (misalnya ini adalah pelatihan awal), cairkan suasana melalui ice breaking, apakah melalui perkenalan, menuliskan nama panggilan di kertas yang ditaruh di depan meja, atau permainan bersama.

b. Sampaikan pokok bahasan dan motivasi mereka dengan menyampaikan Tujuan Pembelajaran dan Kegiatan Belajar. Jelaskan apa yang diharapkan dalam sesi pelatihan ini.

c. Jelaskan Materi kepada peserta sesuai dengan Modul berikut:

6. Modul CeramahPEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DI INDONESIA (Ceramah 30 Menit)1. Sistem Pariwisata Nasional

Industri pariwisata nasional merupakan suatu sistem yang terdiri dari permintaan, penawaran dan lingkungan. 1.1. permintaan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh wisatawan, sesuatu yang dicari wisatawan atau keinginan wisatawan. Permintaan ini dipengaruhi oleh faktor individual yaitu sosok wisatawan, baik yang menyangkut demografis wisatawan (umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pendidikan, dan sebagainya), maupun psiko-grafi, (seperti sikap, gaya-hidup, motivasi berpergian dan minat wisatawan). Jenis permintaan, keinginan dan sesuatu yang dicari wisatawan ini akan berbeda-beda tergantung dari beberapa faktor diatas. Sebagai contohnya, wisatawan dengan usia muda 14-30 tahun, akan memiliki permintaan yang berbeda dengan wisatawan usia 55 tahun keatas. Wisatawan mancanegara dari Eropa, akan memiliki permintaan yang berbeda dengan wisatawan asal Jepang. 1.2. penawaran. Terdiri dari sejumlah faktor, seperti atraksi, akomodasi, transportasi, SDM, kelembagaan, amenitas, dan sebagainya. Berbeda dengan permintaan, penawaran ini berada sepenuhnya dalam jangkauan perumus kebijakan (Misalnya: Departemen pariwisata, Dinas Pariwisata, Pengelola Desa Wisata). Bentuk kebijakan kepariwisataan ini akan ditentukan oleh visi pembangunan pariwisata yang diadopsi oleh suatu negara dan bangsa dengan memperhatikan dinamika sisi permintaan tadi. Misalnya, pengembangan pariwisata di Candi Borobudur, direncanakan dan dibiayai oleh Dinas Pariwisata bekerjasama dengan Departemen Pariwisata dan Masyarakat setempat. Pengembangan berupa: Pusat informasi, parkir, Toilet, Gedung Pertemuan, mushola, homestay, papan penunjuk arah, dan sebagainya. Produk yang telah siap inilah yang ditawarkan kepada calon wisatawan. 1.3. Lingkungan Kepariwisataan. Mencakup situasi politik, ekonomi, keamanan dan sebagainya di negara tujuan wisata yang dapat mempengaruhi sifat interaksi antara permintaan dan penawaran. Pembangunan pariwisata pada hakekatnya merupakan upaya untuk membawa kepariwisataan menuju sistem kepariwisataan yang dipandang lebih bermanfaat atau lebih baik, melalui proses perencanaan, dengan memperhatikan perubahan yang terjadi. Proses perencanaan tadi dilakukan dengan merubah faktor permintaan dan penawaran tadi sesuai dengan visi yang menjadi referensi pembangunan suatu negara.2. Hal-Hal Penting Dalam Pembangunan KepariwisataanDi dalam proses pembangunan nasional pada umumnya, serta pembangunan kepariwisataan pada khususnya, hal-hal penting pembangunan selalu akan muncul, baik pada tataran paradigmatik, kebijakan, strategi, maupun program. Hal ini disebabkan karena di dalam proses pembangunan, para perumus kebijakan dan pengambil keputusan akan selalu dihadapkan pada berbagai pilihan. Apa yang dipandang sebagai lebih baik atau lebih bermanfaat bersifat relatif, dan seringkali bersifat subjektif. 2.1. Orientasi Pembangunan Kepariwisataan: Pertumbuhan versus Pemerataan

Di satu sisi sektor pariwisata dipandang sebagai sektor andalan yang akan menjadi penghasil devisa utama, di sisi lain sektor ini juga diharapkan untuk dapat berfungsi sebagai wacana pemerataan melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Kedua misi tadi akan menentukan sosok wisatawan yang akan menjadi prioritas utama, dan implikasinya pada strategi promosi, pengembangan produk dan attraksi, pembangunan akomodasi dan prasarana, kebijakan pemanfaatan sumber, impor dan sebagainya. Kebijakan pembangunan pariwisata yang berorientasi pada peningkatan perolehan devisa cenderung menempatkan wisatawan nusantara pada posisi sekunder serta memberi prioritas yang tinggi pada wisata-mancanegara yang bersifat wisata massal. Sifat-sifatnya seperti (i) program perjalananannya distandardisasikan, dikemas secara tegas, dan tidak lentur; (ii) program perjalanannya disusun berdasarkan peniruan massal dari unit-unit yang sama yang mengandalkan skala ekonomi sebagai pendorong utamanya; (iii) program perjalanannya dipasarkan secara massal pada seluruh lapisan masyarakat;(iv) program perjalannya dikonsumsi secara massal dan kurang memperhatikan norma, budaya, masyarakat dan lingkungan setempat di daerah tujuan wisata.

memang hal ini mempunyai potensi yang lebih besar untuk menghasilkan devisa. Namun karena wisata massal ini cenderung memanfaatkan teknologi canggih yang padat modal serta menggantungkan berbagai inputnya pada komoditi yang diimpor, maka peluang kerja yang ditimbulkan cenderung terbatas, karena sosok pariwisata yang demikian terutama menyerap tenaga kerja professional yang berpendidikan dan berketrampilan tinggi. Obsesi untuk meningkatkan perolehan devisa dan manfaat ekonomi menyebabkan wisata massal tadi berwawasan jangka pendek, karena mekanisme pembentukan harga di pasar dan proses ekonomi cenderung kurang memperhatikan pengorbanan sosial yang ditimbulkan pariwisata, seperti sempitnya akses pada peluang kerja. Apabila industri kepariwisataan ingin berhasil dalam mengemban misinya sebagai wacana pemerataan pendapatan melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, maka pembangunan kepariwisataan harus memberi perhatian pada pariwisata alternatif. Secara umum pariwisata alternatif ini dapat didefinisikan sebagai:

Berbagai bentuk pariwisata yang sesuai dengan nilai-nilai alami, sosial dan komunitas dan yang memungkinkan baik wisatawan maupun masyarakat setempat menikmati interaksi yang positif dan bermanfaat dan bertukar pengalaman.

Karena sifatnya yang demikian, maka berbagai variant dari pariwisata alternatif ini seperti pariwisata minat khusus dan pariwisata yang berbasis komunitas dan sebagainya, lebih memberi kemungkinan bagi perwujudan misi pariwisata sebagai wacana pemerataan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Sifat-sifat spesifik yang menjadi esensi pariwisata yang berbasis komunitas, seperti:

(ii) berskala kecil sehingga bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang berskala massif; (iii) memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil dan oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal serta menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian mempunyai peluang yang lebih besar untuk diterima masyarakat;(iv) memberi peluang yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam menikmati keuntungan yang dihasilkan oleh industri pariwisata dan karenanya lebih memberdayakan masyarakat; dan (v) mendorong keberlanjutan budaya dan membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal. Secara formal pengembangan pariwisata yang berbasis komunitas ini merupakan kebijakan resmi pemerintah sebagaimana tersirat dalam prinsip kepariwisataan Indonesia yang dirumuskan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang mencakup prinsip:1. Masyarakat sebagai kekuatan dasar;2. Pariwisata: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat; serta 3. Pariwisata adalah kegiatan seluruh lapisan masyarakat, sedang pemerintah hanya merupakan fasilitator dari kegiatan pariwisata. Sedangkan realisasi dari prinsip ini tertuang di dalam 7 Program Pokok dalam Kaitannya dengan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Sektor Pariwisata yang terdiri dari:(i) Pengembangan Ekowisata; (ii) Desa Wisata; (iii) Pariwisata Inti Rakyat;(iv) Kemitraan;(v) Pengembangan usaha rakyat kecil & rumah makan; (vi) Pemberdayaan masyarakat sekitar obyek wisata; dan (vii) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata.

Di dalam perspektif jangka pendek, pilihan itu menuntut kesediaan pemerintah yang sulit dilakukan untuk mengkompromikan menurunnya penurunan devisa dari sektor pariwisata untuk memperoleh efek distributif yang lebih besar, namun di dalam jangka panjang perubahan segmentasi psikografi akan mengarahkan pembangunan pariwisata kearah perwujudan pariwisata alternatif tadi.2.2. Pemanfaatan versus Konservasi dan Pelestarian

Misi untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber devisa utama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi seringkali membawa pemikiran perumus kebijakan pada aspek-aspek kwantitatif pariwisata. Pembangunan pariwisata diartikan sebagai bagaimana memfasilitasi kedatangan wisatawan sebanyak mungkin, dengan lama tinggal selama mungkin dan membelanjakan uangnya sebanyak mungkin. Proyeksi-proyeksi dilakukan untuk mengestimasi efek pengganda pariwisata. Obsesi untuk memfasilitasi datangnya wisatawan ini seringkali melupakan pertimbangan daya-dukung daerah tujuan wisata, yaitu jumlah maksimum wisata yang dapat memanfaatkan kawasan wisata tanpa merubah lingkungan fisik dalam intensitas yang tidak dapat diterima dan tanpa menurunkan kualitas pengalaman wisata dalam intensitas yang tidak dapat diterima, serta tanpa menimbulkan efek negatif pada masyarakat, ekonomi dan budaya di sekitar kawasan wisata di dalam intensitas yang tidak dapat diterima.Di sini timbul dilema antara pemanfaatan dan pelestarian obyek dan daya tarik wisata (warisan alam, cagar budaya, dan sebagainya). Pada hakekatnya warisan alam dan cagar budaya hanya dapat mempunyai makna apabila dimanfaatkan melalui interpretasi-interpretasi, dan interpretasi ini dilakukan melalui pewngalaman wisatawan yang seringkali dibantu oleh para pemandu wisata. Akan tetapi di sisi lain pemanfaatan yang melampaui daya-dukung cenderung berdampak negatif dan karenanya perlu upaya konservasi dan pelestarian. Untuk mengatasi hal ini timbullah konsep pariwisata berkelanjutan.

Konsep pariwisata yang berkelanjutan ini sebenarnya merupakan derivasi dari konsep sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan yang oleh United Nations Environmental Programme (UNEP) didefinisikan sebagai:

. . . pembangunan yang memperbaiki kualitas hidup manusia dalam kisi-kisi daya dukung yang mendukungnya.

Dari apa yang dirumuskan oleh UNEP tersebut di atas, World Tourism Organization (WTO) kemudian merumuskan konsep pariwisata yang berkelanjutan tadi sebagai berikut

. . . pariwisata yang memuaskan kebutuhan wisatawan dan kawasan wisata pasa saat ini seraya melindungi dan meningkatkan peluang di masa datang. Hal ini diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada manajemen berbagai sumber sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, estetika dapat terpenuhi seraya mempertahankan integritas kultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan sistem penopang hidup.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah meletakkan rambu-rambu menuju terciptanya pariwisata yang berkelanjutan ini, antara lain sebagaimana dirumuskan dalam berbagai perundang-undangan seperti UU no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya: dan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Adalah menjadi tanggung-jawab mereka yang bergerak di dalam bidang industri wisata yang harus dapat merekonsiliasikan antara pemanfaatan dan penafsiran di satu pihak, dan pelestarian dan konservasi di lain pihak. Namun, lebih dari itu, untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan tadi diperlukan visi yang luas yang mencakup kerangka waktu dan kerangka ruang yang lebih luas dari apa yang biasanya berlaku di dalam perencanaan pembangunan pariwisata yang konvensional. Tidaklah cukup untuk sekedar menerapkan prinsip-prinsip perencanaan pembangunan pariwisata yang konvensional seperti pengaturan tata-ruang, pengelompokan, pengintegrasian antara atraksi dan fasilitas, interdependensi antara atraksi dan fasilitas, interdependensi antara atraksi alam dan atraksi budaya, berbagai cara untuk memperluas akses, elastisitas, diversitas dan komplementaritas, analisis biaya dan manfaat, serta analisis daya dukung, dan lain sebagainya. Di samping itu, beberapa acuan perlu diikuti, seperti: (i) Adanya kebijakan kepariwisataan umum yang mencantumkan tujuan pariwisata yang berkelanjutan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal; (ii) Parameter-parameter yang digunakan untuk merencanakan, mengembangkan, dan melaksanakan industri pariwisata haruslah terintegrasi dan bersifat lintas sektoral yang mengikutsertakan berbagai departemen, pemerintah dan swasta, para pakar, masyarakat sehingga menjamin kesuksesan; (iii) Di dalam merencanakan proyek-proyek pembangunan kepariwisatan perlu penekanan pada perlindungan aset alam dan budaya dengan mempertimbangkan pemanfaatan sosio-ekonomis yang layak dari lingkungan fisik-alami dan lingkungan buatan serta dampak kegiatan manusia atas dampak tadi; (iv) Perlu ada upaya-upaya agar para wisatawan serta mereka yang terkait dengan industri pariwisata mengikuti etika dan aturan-aturan yang mengatur perilaku yang sehat dan konservatif yang menyangkut alam, budaya, ekonomi, sistim nilai masyarakat, sistem politik, pengelompokan sosial dan kepemimpinan; (v) Distribusi proyek pembangunan pariwisata haruslah mengacu pada nilai-nilai keadilan, yang mendistribusikan secara adil manfaat pariwisata di antara berbagai kelompok dan regional; (vi) Kesadaran masyarakat akan manfaat pariwisata serta bagaimana memitigasikan dampak negatif pariwisata haruslah selalu ditingkatkan; dan (vii) Masyarakat setempat perlu didorong untuk memainkan peranan kepemimpinan dalam pembangunan pariwisata dengan bantuan pemerintah, swasta, lembaga-lembaga keuangan serta universitas.

2.3. Peranan Negara dan Peranan Swasta dalam Industri Pariwisata.

Hal penting lain yang mewarnai pembangunan pariwisata adalah pilihan antara industri pariwisata yang didorong oleh kekuatan-kekuatan pasar dan pembangunan pariwisata yang dipimpin oleh negara. Pilihan di antara kedua kutub tadi akan dipengaruhi oleh paradigma pembangunan yang diadopsi oleh suatu negara, akan tetapi juga tidak lepas dari pengaruh konfigurasi yang melingkupinya, khususnya kecenderungan globalisasi dan liberalisasi yang agaknya menjadi alur pikir yang dominan pada saat ini. Namun agaknya pilihan di antara kedua kutub alternatif peranan negara dan swasta ini tidaklah bersifat statis. Meskipun kecenderungan di banyak negara pada umumnya adalah mengacu pada pemikiran konvensional yang menyerahkan pembangunan pariwisata pada mekanisme pasar dan dengan demikian memberi peranan yang lebih besar pada sektor swasta, namun bergeraknya pendulum ke kutub pemberian peranan yang lebih besar pada negara juga dapat dicermati. Dalam hubungan ini Butler menegaskan bahwa sifat pariwisata dalam batas-batas tertentu menentukan sifat dan pola pertumbuhan suatu negara dan, apabila tidak dikendalikan dan dikuasai, industri pariwisata akan dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Interaksi yang tidak terkendali di dalam mekanisme pasar pada akhirnya akan dapat melampaui batas daya dukung kawasan wisata, dan karenanya akan mengganggu keberlanjutan wisata. Oleh karenanya, banyak pakar yang menganjurkan perlunya kesadaran para pengambil keputusan akan ketidak-sempurnaan pasar dan melalui kebijakan pemerintah ketidak-sempurnaan pasar tadi akan dapat dikoreksi sehingga kecenderungan terjadinya ketidakseimbangan dan timbulnya posisi monopolistik swasta maupun pemerintah dapat dicegah.Di samping itu mempercayakan sepenuhnya industri pariwisata pada interaksi antara pelaku ekonomi di dalam mekanisme pasar mungkin dapat meningkatkan efisiensi, akan tetapi efisiensi di dalam konotasi Pareto optimum dan di samping itu dapat pula memperlebar kesenjangan. Oleh karena itu perlu diciptakan keseimbangan antara kedua sistem tadi. Oleh karena itu di dalam batas-batas tertentu perlu upaya yang oleh Robert Wade diistilahkan sebagai mengendalikan pasar.Bentuk kebijakan pemerintah dalam industri pariwisata tadi dapat bermacam-macam, mulai dari menetapkan syarat-syarat dan mengarahkan investasi, mengatur akses terhadap tanah, misalnya hanya memperbolehkan sewa-tanah untuk jangka panjang, membangun infrastruktur, mempengaruhi nilai-tukar, dan sebagainya. Keikutsertaan pemerintah dalam orientasi, pengaturan, dan pengawasan industri pariwisata mungkin masih diperlukan di dalam konteks ketidaksempurnan pasar, upaya untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan, maupun pemeratan pendapatan.

2.4. Wisman dan Wisnus: Persaingan atau Komplementaritas

Di dalam berbagai ketentuan formal maupun di dalam berbagai fora pemerintah selalu menegaskan bahwa industri pariwisata diharapkan akan menjadi sumber devisa utama. Implikasi dari kebijakan ini adalah bahwa segmen pasar utama yang menjadi fokus perhatian pemerintah adalah Wisatawan Mancanegara. Kebijakan ini menimbulkan dilemma bagaimana posisi Wisatawan Nusantara vis-vis Wisatawan Mancanegara. Persoalan ini timbul karena menurut hasil penelitian Myra P. Gunawan Wisatawan Nusantara mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusinya pada pembangunan nasional. Memang Efek pengganda pengeluaran Wisatawan Mancanegara lebih besar dibandingkan dengan Wisatawan Nusantara, yaitu 2,99 berbanding 1, karena mata rantai transaksi untuk memenuhi kebutuhan Wisatawan Mancanegara lebih panjang dibandingkan Wisatawan Nusantara. Akan tetapi karena jumlah Wisatawan Nusantara jauh lebih banyak, maka kontribusinya terhadap penciptaan peluang kerja tidak dapat diabaikan. Memang pengeluaran Wisatawan Nusantara ini mungkin lebih sederhana jika dibandingkan dengan pengeluaran Wisatawan Mancanegara, akan tetapi pengeluaran tadi lebih langsung diterima oleh masyarakat penghasil barang konsumsi dan melalui mata rantai yang lebih pendek.Memang di antara kedua pilihan tadi ada plus dan minusnya. Komoditi yang dikonsumsi Wisatawan Mancanegara merupakan komditi berteknologi tinggi dan menyentuh kepentingan kelompok atas serta mempunyai kaitan yang panjang, sedangkan komoditi yang dikonsumsi Wisatawan Nusantara merupakan komoditi yang sederhana, akan tetapi lebih terkait dengan pendapatan masyarakat kecil. Karena bulan-bulan puncak kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Nusantara tumpang-tindih atau berkoinsidensi, yaitu pada bulan Juni-Juli dan Desember, dan karena distribusi spatial Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Nusantara sama, maka akan terjadi kompetisi pemanfaatan kapasitas fasilitas maupun sarana dan prasarana wisata. Hal ini merupakan isu yang harus dipecahkan oleh perumus kebijakan.

7. Diskusi & Latihan

(40 menit)1. Bagi peserta dalam 2 kelompok besar, bagikan kertas metaplan, dan mintalah tiap orang dalam kelompok A mengidentifikasi jenis-jenis permintaan pariwisata, dan kelompok B mengidentifikasi jenis-jenis penawaran pariwisata. Masing-masing peserta hanya boleh mengidentifikasi 1 jenis yang tidak boleh sama satu dengan yang lain

2. Tempel metaplan tersebut di papan tulis, dan kelompokkan jawaban yang mungkin sejenis. Jika ada yang ragu-ragu di tempatkan dalam kelompok jawaban, fasilitator dapat meminta klarifikasi kepada yang menyusun.

3. Tanyakan pada peserta apa kesulitannya mengidentifikasi jenis permintaan dan penawaran pariwisata. Diskusikan jawaban mereka. Dalam mendiskusikan gunakan pengetahuan dan pengalaman peserta dalam berinteraksi dengan pengetahuan dan pengalaman berwisata masing-masing.

4. Jelaskan mengapa memahami permintaan, penawaran dan lingkungan pariwisata itu penting.

5. Bagikan lagi kertas metaplan, tanyakan Hal-hal penting apa saja dalam pembangunan pariwisata, yang bermakna positif. Masing-masing nilai ditulis dalam satu metaplan.

6. Tempel metaplan tersebut di papan tulis, dan kelompokkan jawaban yang mungkin sejenis. Jika ada yang ragu-ragu di tempatkan dalam kelompok jawaban, fasilitator dapat meminta klarifikasi kepada yang menyusun.

7. Tanyakan pada peserta apa kesulitannya mengidentifikasi hal-hal penting dalam pembangunan pariwisata tersebut. Diskusikan jawaban mereka. Dalam mendiskusikan gunakan contoh-contoh keseharian yang berasal dari pengetahuan dan pengalaman peserta dalam mewujudkan pembangunan pariwisata tersebut.

8. Bagikan lagi kertas metaplan, tanyakan hal penting dalam pembangunan pariwisata yang bermakna negatif.

9. Tempel metaplan tersebut di papan tulis, dan kelompokkan jawaban yang mungkin sejenis. Jika ada yang ragu-ragu di tempatkan dalam kelompok jawaban, fasilitator dapat meminta klarifikasi kepada yang menyusun.

10. Tanyakan pada peserta apa kesulitannya mengidentifikasi unsur-unsur tersebut. Diskusikan jawaban mereka. Jika ada, pancing peserta lain untuk menceritakan contoh kasus yang terjadi.

11. Rangkum hasil ketiga tahapan diskusi di atas dalam sebuah presentasi singkat oleh perwakilan peserta dan meminta klarifikasi mengenai pemahaman seluruh peserta yang lain

8. Penutup (5 menit)Tutup pertemuan dengan bertepuk tangan bersama, dilanjutkan berfoto bersama.

9. Bahan bacaan1. UU No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

2. Berbagai informasi tentang daerah tujuan wisata di Indonesia.

3. Profil wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara.

PAGE 9