Model Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutam Alam Produksi

3
Model Kelembagaan Masyarakat dalam pengelolaan Hutam Alam Produksi Kartodiharjo (1999) menggambarkan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksal. Kebijakan pengusahaan hutan cenderung membela pencapain target kuantum produksi kayu gelendongan. Sementara itu, instrument untuk memelihara kelestarian hutan tidak berjalan secara efektif, sehingga keadaan yang mengkhawatirkan. Selanjutnya ia mengusulkan agar segera dilakukan penilaian ulang terhadap arah dan muatan kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber paradoks itu, antara lain: 1. menyehatkan prakondissi agar asumsi dalam teori ekonomi dapat dipenuhi denagn baik 2. memberikan penghargaan yang tinggi terhadap modal alam 3. memberikan penghargaan ynag tinggi terhadap modal sosial 4. menghentikan perkambing-hitaman kemampuan organisasi sebagai pangkal kerusakan hutan 5. memberikan dukungan yang nyata terhadap kebijakan pelestarian hutan Persengketaan yang terkait dengan masalah hutan alam produksi dipandang dalam garis hirakies yang linier yakni tata nilai, hak kepemilikan, dan modal pengelola. Ketiga hal itu dikaitkan dengan pelaku- pelaku terkait (stakeholder) yang sekurang-kurangnya terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan swasta. Jika tata nilai itu diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka hutan memiliki nilai yang berbeda di setiap mata stakeholder. Bagi masyarakat setempat, hutan barangkali habitat tempat mereka menggantungkan kehidupan perekonomiannya serta mengejawantahkan kehidupan budaya dan spiritualnya. Bagi swasta mungkin hutan hanya komoditas yang dapat ditransformasikan menjadi uang tunai. Nilai hutan bagi pemerintah lebih plastis. Dalam konsideran-konsideran. Pelbagai pertauran perundang-

Transcript of Model Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutam Alam Produksi

Page 1: Model Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutam Alam Produksi

Model Kelembagaan Masyarakat dalam pengelolaan Hutam Alam Produksi

Kartodiharjo (1999) menggambarkan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksal. Kebijakan pengusahaan hutan cenderung membela pencapain target kuantum produksi kayu gelendongan. Sementara itu, instrument untuk memelihara kelestarian hutan tidak berjalan secara efektif, sehingga keadaan yang mengkhawatirkan. Selanjutnya ia mengusulkan agar segera dilakukan penilaian ulang terhadap arah dan muatan kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber paradoks itu, antara lain:

1. menyehatkan prakondissi agar asumsi dalam teori ekonomi dapat dipenuhi denagn baik

2. memberikan penghargaan yang tinggi terhadap modal alam

3. memberikan penghargaan ynag tinggi terhadap modal sosial

4. menghentikan perkambing-hitaman kemampuan organisasi sebagai pangkal kerusakan hutan

5. memberikan dukungan yang nyata terhadap kebijakan pelestarian hutan

Persengketaan yang terkait dengan masalah hutan alam produksi dipandang dalam garis hirakies yang linier yakni tata nilai, hak kepemilikan, dan modal pengelola. Ketiga hal itu dikaitkan dengan pelaku-pelaku terkait (stakeholder) yang sekurang-kurangnya terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Jika tata nilai itu diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka hutan memiliki nilai yang berbeda di setiap mata stakeholder. Bagi masyarakat setempat, hutan barangkali habitat tempat mereka menggantungkan kehidupan perekonomiannya serta mengejawantahkan kehidupan budaya dan spiritualnya. Bagi swasta mungkin hutan hanya komoditas yang dapat ditransformasikan menjadi uang tunai. Nilai hutan bagi pemerintah lebih plastis. Dalam konsideran-konsideran. Pelbagai pertauran perundang-undangan, hutan kerap digambarkan amat religius sebagi rahmat Tuhan.

Akuan kepemilikan sumber daya hutan berkembang menurut kurun waktu. Dalam perjalanan praktek, pengelolaan sumber daya hitan, sekurang-kurangnya ada ampat pilar penting akuan hak yaitu : common poll resources yaitu masyarakat merasa merdeka mengelola sumber daya ala mini. State property yakni pemerintah landas bertindak sebagai pengelola, pemilik, dan pengawas terhadap sumber daya yang bersangkutan. Private proverty sebagian fungsi engelolaan diserahkan kepada swasta. Common proverty merupakan penegelolaan hutan yang dilkukakan pemerintah ataupun swasta meninggalkan kerusakan lingkungan dan peminggiran masyarakat lokal.

Menimbang keunggulan konsep HKM, pemerintah mencoba mengadaptasikannya yang diformalkan melalui keputusan mentri kehutanan dan perkebunan No. 667/1998 tentang “hutan kemasyarkatan” (skm) yang diundangkan pada 7 Oktober 1998. namun subsatnsi keberadaan tersebut mengundang banyak hal yang memberatkan seperti makna masyarakat setempat, hak masyarakat lokal adalah “hadiah”, batas yuridiksi, koperas, sentralisme,

Page 2: Model Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutam Alam Produksi

identitas masyarakat= persepsi pemerintah, going concern principle, dan masyarakat sebagi perusahaan.

Format kelembagaan yang diusulkan dalam pengelolaan sumber daya hutan alam oleh masyarakat, kelmbagaan itu hendaknya mengandung unsur-unsur pokok: bats yuridisi, aturan main, dan aturan perwakilan. Karena kelembagaan ini sekeranjang tata nilai, aturan main, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dimensi ruang dan waktu: maka format kelembagaan itu sendiri harus bersifat dinamis, dalam arti adaptik terhadap perubahan.

System Bagi Hasil Di Jawa Tengah Penelitian Hukum Pemilikan Tanah Disebuah Daerah Pertanian Yang Penduduknya Sangat Padat

System bagi garap yang menybar luas merupakn pencerminan kekurangn tanah yang terlihat jelas dan tidak adanya peluang pekerjaan alternatif. Asal-usul sistem bagi hasil menjakau jauh ke sejarah dan berakar pad hokum kepemlikian tanah feodal di kerajaan Surakata dan Yogyakarta serta para pendahulunya. Sistem ini mensyahkan kepemilikan tanah oleh bangsawan terhadap apa saja yang berada di daerah kekuasaanya. Penduduk tidak memiliki tanah dan lahan yang merupakan alat produksi utama. Melalui hirarki pemerintah, tanah-tanah bangsawan diserahkan kepada masyarakat untuk diolah. Tergantung kualiatas dan penggunaan untuk ijin pengolahan ini, biasanya petani panen 2 kali dalam setahun dan harus menyerahkan separuh dari hasil panen pertanian dan sepertiga atau seperlima dari panen tegalan melalui pemungut pajak istana (bekel).

Orang yang menjdi penggarap terutama dari kelompok social pedesaan bawah yaitu petani setengah kenceng (pemilik rumah dan pekaranagan), petani ngindung (pemilik rumah yang dimiliki orang lain), petani templek (tidak memiliki tanah, menjalankan rumah tangga secara mandiri dipekarangan orang lain), petani hosor (orang yang hidup pada sebuah keluarga, tidak memiliki tanah atau tempat tinggal).

Sebagi ukuran dasar perbandingan bagi hasil adalah kualitas tanah, pengolhan tanah dan sebaginya. Bentuk bagi hasil yang sering digunakan yakni system masro (garap sepro,bagi separo), system mertelu (garap 3, bagi hasil 3), system mrapat (4 garap, 4 bagi hasil).