KELEMBAGAAN IRIGASI
Transcript of KELEMBAGAAN IRIGASI
KELEMBAGAAN IRIGASIPendekatan Model Kontrak
KELEMBAGAAN IRIGASI
M. RONDHI, SP, MP, Ph.D
Pendekatan Model Kontrak
PRAKATA
rigasi merupakan cara untuk mengalirkan air dari sumber ke petak
petani untuk dimanfaatkan keperluan pertanian. Secara garis besar
terdapat dua pendekatan dalam irigasi, pendekatan fisik dan
pendekatan pengelolaan (kelembagaan). Pengelolaan irigasi dikatakan
efisien jika distribusi air ke petak petani sesuai dalam hal jumlah dan waktu.
Pemberian air yang tidak sesuai menyebabkan pertumbuhan tanaman
kurang optimal. Dampaknya produksi tanaman dapat terganggu.
Pembahasan pengelolaan irigasi secara kelambagaan telah dilakukan
secara komprehensif oleh Ambler dengan peneliti-peneliti pengairan
terkemuka di Indonesia dan telah dipublikasn dalam sebuah buku menarik
yang berjudul Irigasi di Indonesia yang terbit pada tahun 1991. Pembahasan
buku tersebut terutama pada kearifan lokal yang mampu mengelola irigasi
dengan efisien. Terlepas dari kelebihan penelitian tersebut, masih ada satu
poin yang belum disentuh yaitu dari pendekatan ekonomi.
Seiring perkembangan keilmuan ekonomi pertanian yang mengarah
ke ekonomi kelembagaan, dirasa perlu membahas irigasi dari interaksi antar
pelaku ekonomi dengan motif ekonomi (insentif) yang ada di dalamnya. Hal
ini mengingat kelembagaan irigasi yang ada di salah satu pengelola sangat
sulit untuk ditransfer ke pengelola yang lain tanpa mengetahui motif
(ekonomi) pengelolaan irigasi tersebut. Buku ini mengungkapkan bahwa
pengelolaan irigasi dapat efisien jika masing-masing pelaku irigasi (petani
dan pengelola air irigasi) dapat menemukan titik kepuasan. Artinya petani
I
vi Kelembagaan Irigasi
mendapatkan hak air untuk mengelola usahataninya, sedangkan pengelola
irigasi mendapatkan insentif ekonomi atas pengelolaan irigasi tersebut. Ter-
dapat dua model utama yang dibahas dalam buku ini yaitu model swakelola
(yang sudah dipraktekkan sejak lama) dan model lelang (yang dipraktekkan
sejak tahun 2005). Kedua model tersebut merupakan model kontrak dalam
pengelolaan irigasi yang memiliki masing-masing kelebihan dan keku-
rangan. Bahasan kontrak merupakan salah satu bahasan penting dalam
ekonomi kelembagaan.
Secara sistematis buku ini disusun dalam lima bagian. Bagian pertama
menjelaskan tentang pentingnya irigasi dan kebijakan irigasi di Indonesia.
Bagian Kedua mengulas teori kelembagaan dan evolusinya (termasuk teori
kontrak). Bagian ketiga merupakan review beberapa contoh pengelolaan ir-
igasi di Indonesia. Selanjutnya, bagian keempat mendiskripsikan hasil
penelitian penulis yang dilakukan di Jawa Tengah sebagai contoh kasus
pengelolaan irigasi berbasis kontrak. Terakhir, bagian kelima menarik pela-
jaran yang didapatkan dari hasil penelitian pada bagian empat. Empat ba-
gian tersebut dijabarkan dalam Sembilan bab.
Buku ini ditulis berdasarkan penelitian intensif dan ekstensif selama
lebih dari lima tahun (2012-2017) pada Daerah Irigasi (DI) Klambu Wilalung
yang merupakan salah satu DI di Bendungan Kedung Ombo. Pentingnya
daerah penelitian tersebut karena secara indegenues model lelang (salah satu
model kontrak) dalam pengelolaan irigasi telah ditemukan dan diaplikasi-
kan pada DI tersebut. Beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan
pada beberapa jurnal dan proceeding kami sarikan dan kami tulis ulang un-
tuk memberikan gambaran secara utuh model pengelolaan irigasi. Kami
mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan luar biasa pada Profesor
Takumi Kondo (Universitas Hokkaido, Jepang) atas kesempatan untuk
melakukan penelitian ini. Selanjutnya pada teman kuliah S3 di Universitas
Hokkaido Jepang, Yasuhiro Mori, yang telah banyak meluangkan waktu un-
tuk ke lapang, menggali data, berdiskusi, dan juga berdebat tentang model
irigasi. Kami juga mengucapkan terima kasih atas diskusi integrative pada
mahasiswa S-1 di Universitas Jember, Sohibul Ulum yang telah mencu-
rahkan waktu untuk berdiskusi dan berkontribusi pada pengembangan
Prakata vii
model matematis pada salah satu bagian pada bab 5. Juga terima kasih yang
tidak terhingga pada mahasiswa S-2, Achmad Fatihul Hasan yang telah ber-
sama-sama membedah pemodelan kelembagaan irigasi menurut Meinzen
Dick dan berusaha keras mengembangkannya berdasarkan hasil temuan di
lapang.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga kami berikan pada Profesor
Efendi Pasandaran yang telah melakukan review draft buku ini, mem-
berikan masukan yang sangat membangun, dan memberikan tambahan
pemahaman keterkaitan antara pengelolaan air dan pengelolaan lahan
secara keseluruhan. Masukan, kritikan, dan tambahan pengetahuan mem-
berikan dorongan kuat bagi penulis untuk terus memperdalam, mengem-
bangkan keilmuan dalam ekonomi dan manajemen lahan dan air.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh ketua dan
anggota P3A di Daerah Irigasi (DI) Klambu Wilalung yang dengan tulus dan
ikhlas memberikan informasi dan data untuk kebutuhan penelitian. Dari
mereka penulis mendapatkan ide dan gagasan dalam menulis buku ini. Pak
Tamkin, Pak Subhan, Pak Rowi, Pak Ikhwan, Pak Kaspono merupakan se-
bagian dari keseluruhan yang memberi kemudahan di lapang, mengijinkan
penulis mengikuti proses “lelang” P3A, dan mendampingi penulis dalam
menggali data. Juga kepada petugas irigasi di DI Klambu Wilalung (Pak
Noor Ali) yang telah menyediakan informasi dan data untuk keperluan
penelitian di lapang.
Buku ini secara umum diperuntukkan untuk pihak pengambil ke-
bijakan dalam bidang irigasi. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan oleh
pelaku pengelola irigasi sebagai tambahan wawasan dalam pengelolaan iri-
gasi. Buku ini juga dapat dibaca untuk pelaku pendampingan dalam pengel-
olaan irigasi. Secara khusus buku ini juga diperuntukkan untuk mahasiswa
S1 yang menempuh matakuliah kebijakan dan peraturan Bidang Pertanian
dan Manajemen Sumberdaya Lahan dan Air.
Terakhir, penulis berharap dengan membaca buku ini pembaca akan
mendapatkan tambahan wawasan dalam irigasi dan pengelolaannya. Cara
viii Kelembagaan Irigasi
urut membaca buku ini adalah dengan sesuai urutan bagian yang telah di-
jelaskan. Namun bagi pembaca yang ingin mendapatkan keterbaruan dapat
membaca buku ini pada bagian dua (teori ekonomi kelembagaan baru ter-
masuk di dalamnya adalah teori kontrak) dan pada bagian empat (hasil
penelitian penulis). Kami paham bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan dan penyajiannya. Karenanya saran, kritik, dan saran yang mem-
bangun sangat diharapkan.
Kebonsari-Jember, Juni 2018
M. Rondhi
Prakata ix
PENGANTAR PAKAR
uku yang ditulis oleh Dr M. Rondhi mengemukakan pemikiran
pemikiran terobosan dalam mendukung perkembangan
kelembagaan pengelolaan irigasi khususnya yang terkait dengan
kelembagaan tingkat petani yang disebut P3A atau Perkumpulan Petani
Pemakai Air . P3A sebenarnya adalah nama generik dari berbagai
kelembagaan petani lokal seperti Dharma Tirta di Jawa Tengah, Mitra Cai di
Jawa Barat, dan berbagai nama lokal di luar Jawa. Di Pulau Jawa lembaga
tersebut berakar dari lembaga traditisional pedesaan yang disebut Ulu-Ulu
Desa. Di Pulau Bali lembaga pengelolaan air irigasi yang sudah berlangsung
lama dan terkenal adalah Subak yang kinerjanya diakui secara historis
walaupun dalam perkembangannya mengalami berbagai intrevensi
kebijakan yang kadang kala memperlemah kinerjanya. Lembaga Subak
sering juga disebut sebagai P3A.
Perkembangan P3A secara luas terjadi setelah mengalami intervensi
pemerintah melalui bantuan proyek yang disponsori oleh Bank Dunia da-
lam mendukung pembiayaan rehabilitasi irigasi yang disebut dengan PRO-
SIDA (Proyek Irigasi International Development Agency- IDA) sejak 1970. Oleh
karena itu di berbagai tempat kinerja P3A sampai sekarang sering tergan-
tung dari bantuan pemerintah. Namun tidak demikian halnya dengan lem-
baga P3A yang terdapat di daerah irigasi Klambu Wilalung di wilayah ben-
dungan Kedung Ombo yang juga dibangun dengan bantuan Bank Dunia
pada tahun 1980-an. Berdasarkan penelitian yang dilakukan secara intensif
B
x Kelembagaan Irigasi
antara tahun 2012 – 2017 oleh penulis buku ini model lelang dalam pengel-
olaan air irigasi oleh P3A telah ditemukan dan diaplikasikan pada daerah
tersebut. Pelajaran penting yang dapat ditarik dari penelitian tersebut antara
lain menunjukan bahwa ada peluang untuk mengembangkan lebih lanjut
inisiatif dan inovasi oleh P3A sendiri dalam mengelola irigasi yang antara
lain ditujukan oleh pendekatan kontrak berdasarkan lelang. Model lelang
tersebut juga dibandingkan dengan model inovatif swakelola yang juga ter-
dapat didaerah irigasi tersebut.
Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca oleh berbagai kalangan yang
berminat dan berwenang dalam kebijakan pengelolaan irigasi seperti Ke-
menterian PUPR dan Kementerian Pertanian, dan birokrasi yang ada di dae-
rah, para peneliti yang terkait dengan pengelolaan irigasi, para mahasiswa
yang berminat dalam masalah irigasi, lembaga swadaya masyarakat yang
melaksanakan pendekatan kemitraan, penyuluh pertanian yang menjadi
fasilitator inovasi P3A dan pihak swasta di pedesaan yang juga berpeluang
untuk bekerjasama dengan P3A.
Saya berharap buku ini turut memberi inspirasi kepada pemerintah
pusat dan daerah dalam penyusunan langkah langkah kebijakan yang har-
monis dan terpadu untuk mendorong terwujudnya kegiatan kegiatan ino-
vatif di pedesaan khususnya irigasi dan pertanian yang merupakan salah
satu penggerak ekonomi nasional secara berlanjut di masa yang akan da-
tang.
Jakarta,
Effendi Pasandaran
Editor
DAFTAR ISI
PRAKATA v
PENGANTAR PAKAR ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR TABEL xvii
Bab 1 PENTINGNYA KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM KE-
BIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 1
1.1 Pendahuluan: Pentingnya Arah Kebijakan 1
1.2 Penggunaan Lahan dan Konversi Lahan Irigasi 3
1.3 Kelembagaan Irigasi: Arah Kebijakan Irigasi Nasional 5
1.4 Pengelolaan Irigasi dalam Sebuah Tinjauan Keilmuan 6
1.5 Sistematika Penulisan Buku 17
1.6 Penutup 18
Bab 2 KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN IRIGASI NA-
SIONAL 23
2.1 Pendahuluan: Perjalanan Sejarah 23
2.2 Kebijakan Irigasi Sebelum Tahun 1975an 25
2.3 Kebijakan Irigasi 1975an – 2005an 26
2.4 Kebijakan Iriagsi 2005an - sekarang 30
xii Mengupas Konsep Dasar dan Pembelajaran Trigonometri
2.5 Perkembangan Pengelola Jaringan Tersier 31
Istilah-Istilah Penting 32
Sumber Perundangan 33
BAB 3 EKONOMI KELEMBAGAAN BARU 35
3.1 Pendahuluan 35
3.2 Kelembagaan dan Organisasi
(Institution and Organizations) 37
3.3 Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics) 39
3.3 Cakupan dan Aplikasi Ekonomi Kelembagaan Baru 40
3.4 Penutup 47
Istilah penting 48
Daftar Pustaka 48
BAB 4 INSENTIF, TEORI KONTRAK, DAN BIAYA TRANSAKSI 51
4.1 Pendahuluan 51
4.2 Insentif 53
4.3 Kontrak pada Pertanian 54
4.4 Kontrak Lahan dan Tenaga Kerja 57
4.5 Kontrak Produksi dan Pasar 59
4.6 Biaya Transkasi 60
4.7 Penutup 61
Istilah Penting 61
Referensi 62
BAB 5 PEMODELAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI
PENDEKATAN PRINSIPAL-AGEN DAN GAME THEORY 63
5.1 Pendahuluan 63
5.2 Pengelolaan Air Irigasi : Model Prinsipal-Agen 64
5.3 Game Theory dalam Pengelolaan Air Irigasi 71
5.4 Pengelolaan Sumberdaya 72
Istilah Penting 75
Referensi 75
Daftar Isi xiii
BAB 6 BEBERAPA KELEMBAGAAN IRIGASI LOKAL DALAM
PENGELOLAAN IRIGASI 77
6.1 Pendahuluan 77
6.2 Kelembagaan Irigasi Lokal di Indonesia 79
Subak di Bali 79
6.3 Beberapa Kelembagaan Irigasi Lokal di Luar Negeri 87
6.4 Penutup 89
Istilah-istilah penting 90
Daftar Bacaan 90
BAB 7 MODEL “LELANG” DAN MODEL “SWAKELOLA”
DALAM KELEMBAGAAN IRIGASI DI TINGKAT TERSIER 93
7.1 Pendahuluan 93
7.2 Model Irigasi “Lelang” dan Model Irigasi “Swakelola” 95
7.3 Sejarah dan Evolusi Model Swakelola dan Model Lelang 100
7.4 Diskripsi Singkat Daerah Irigasi Klambu Wilalung 103
7.5 Proses Penentuan Model Pengelolaan Air Irigasi Model
Lelang dan Model Swakelola 108
7.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Lelang dan Model
Swakelola 111
7.7 Penutup 112
Istilah Penting 113
Referensi 113
BAB 8 KELEMBAGAAN IRIGASI PADA JARINGAN TERSIER
(PENDEKATAN EKONOMI KELEMBAGAAN) 115
8.1 Pendahuluan 115
8.2 Private Insentive dalam Pengelolaan Air Irigasi 117
8.3 Biaya Transaksi dan Pilihan Petani pada Model Pengelolaan
Irigasi di Tingkat Tersier 123
8.4 Aplikasi Game Theory pada Pengelolaan Irigasi 125
8.5 Penutup 127
Istilah-istilah Penting 127
Referensi 128
xiv Mengupas Konsep Dasar dan Pembelajaran Trigonometri
BAB 9 PELAJARAN DARI SISTEM KONTRAK DAN ISU-ISU
STRATEGIS PENELITIAN KE DEPAN 129
9.1 Pelajaran (Lessons Learned) dari Sistem Kontrak di Daerah
Irigasi (DI) Klambu Wilalung 129
9.2 Isu Penelitian Ke Depan 132
Referensi 134
GLOSARIUM 135
DAFTAR INDEKS 139
-oo0oo-
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Tingkatan dalam aktivitas dan pengambilan
keputusan dalam pembangunan. 38
Gambar 5.1 Perluasan bentuk “dilema tawanan” satu sisi
dalam game theory 73
Gambar 6.1 Susunan organisasi Subak yang Lengkap. 81
Gambar 7.1 Skema Ringkas Aliran Irigasi Bendung Kedungombo 105
Gambar 7.2 Daerah Irigasi Klambu Wilalung yang melintasi
dua kabupaten. 106
Gambar 7.3 Aliran irigasi pada Daerah Irigasi Klambu Wilalung
dari Hulu ke Hilir 107
Gambar 8.1 Pilihan strategi petani dan pengelola
dalam pengelolaan air irigasi 125
Gambar 8.2 Pilihan petani dan pengelola dalam pengelolaan
air irigasi di Daerah Irigasi Klambu Wilalung,
Jawa Tengah 126
-oo0oo-
xii Mengupas Konsep Dasar dan Pembelajaran Trigonometri
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Luas lahan, produksi, dan produktivitas lahan periode 1973-
2012 2
Tabel 1.2. Luas lahan menurut jaringan irigasi teknis, semi teknis,
sederhana, tadah hujan, pasang surut, dan lainnya. 4
Tabel 4.1. Gambaran Tipe-tipe Kontrak pada Pertanian 56
Tabel 5.1 Perluasan bentuk “dilema tawanan” satu sisi dalam game
theory 73
Tabel 7.1 Persamaan dan Perbedaan Model Irigasi Lelang dan
Swakelola 96
Tabel 7.2 Lama Kontrak, Nilai Lelang dan Kegunaan Dana Lelang
pada P3A Sido Makmur, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. 97
Tabel 7.3 Lama Kontrak, Pengelolaan Dana Iuran Air pada P3A
Waduk Rejo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. 99
Tabel 7.4. Besarnya biaya invetasi pembangunan infrastruktur
persatuan luas. 99
Tabel 7.5 Daerah irigasi di cakupan wilayah bendungan
Kedungombo, Jawa Tengah. 104
Tabel 8.1 Produktivitas P3A Berdasarkan Model Lelang dan Model
Swakelola pada Musim Tanam 2 (MT2) Tahun 2015. 118
-oo0oo-
xii Mengupas Konsep Dasar dan Pembelajaran Trigonometri
PENTINGNYA KELEMBAGAAN
IRIGASI DALAM KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN PERTANIAN
1.1 Pendahuluan: Pentingnya Arah Kebijakan
ejarah mencatat bahwa adanya irigasi (dan kombinasi input lainnya)
telah mampu meningkatkan produktivtas pertanian terutama
produksi pangan. Dijelaskan bahwa semakin tinggi rasio lahan yang
terairi irigasi dengan total lahan dapat meningkatkan produktivitas lahan.
Data series menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio irigasi dan total lahan,
maka semakin tinggi produktivitas lahan (tabel 1.1). Berdasarkan data
tersebut diketahui bahwa luas lahan mengalami kenaikan dari 1973 (periode
orde baru) hingga 2012. Pada era orde baru, pemerintah memiliki prioritas
peningkatan infrastruktur irigasi sebagai paket kebijakan peningkatan
produksi dalam Kebijakan Panca usahatani. Setelah itu produksi padi
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi pangan
(padi) dapat dicapai dengan peningkatan luas lahan, produktivitas, dan
intensitas tanam. Tentu, peningkatan luas lahan sangat didukung oleh
penyediaan infrastruktur irigasi. Dilihat dari historisnya, pembangunan
infrastruktur irigasi sudah dimulai sejak jaman pra-kolonialisme,
S
MODEL “LELANG” DAN MODEL
“SWAKELOLA” DALAM
KELEMBAGAAN IRIGASI DI
TINGKAT TERSIER1
7.1 Pendahuluan
Dua pertanyaan mendasar bab ini adalah apakah model kelembagaan
irigasi bisa ditranformasikan dari satu daerah ke daerah yang lain? dan
apakah dalam jangka panjang model kelembagaan tersebut bersifat tetap
atau dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat?.
Beberapa contoh pengelolaan irigasi yang diungkapkan dalam bab 6
mengilustrasikan kelembagaan irigasi yang ada di Indonesia (keunggulan
dan kekurangannya masing-masing) berdasarkan karakteristik adat, aturan
yang disepakati bersama, dan kebiasaan masyarakat petani setempat.
1 Bab ini disarikan dari empat makalah:
1. Institutional Arrangement of Irrigation Water Management in Rural Area (A Case Study of a WUA in Central Java, Indonesia) yang dipresentasikan dalam seminar internasional:
2. Institutional Change and its Effect to Performance of Water Usage Association in Irrigation Water Managements.
3. Sistem Lelang dan Sistem Swkalola dalam Manajemen Irigasi di Tingkat Jaringan Tersier. 4. Diffusion of “Lelang System” and Farmer Choice on Irrigation Water Management Model.
94 Kelembagaan Irigasi
Subak merupakan model pengelolaan irigasi tradisional yang
dipraktikkan di Bali. Model ini diklaim menjadi salah satu model
kelembagaan irigasi yang sukses di dunia dilihat dari efisiensinya. Model
pengelolaan secara adat ini dianggap mampu untuk mengelola air irigasi
dilihat dari pengaturan air dari hulu ke hilir, adanya pemeliharaan jaringan,
dan minimnya konflik dalam pengaturan air irigasi tersebut. Ambler (1991)
menyebutkan bahwa terdapat tiga dimensi untuk menjelaskan terminologi
efisien dalam pengelolaan irigasi, yaitu efisiensi teknis, efisiensi ekonomi,
dan efisiensi sosial. Namun demikian, model subak ini sulit ditransformasi-
kan dari daerah asalnya (Bali) ke daerah lain, misalnya Jawa atau daerah
lain. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa model kelembagaan subak
tersebut tidak bisa ditransformasikan ke daerah lain, akan tetapi tidak
berlebihan jika mengenalkan model kelembagaan lain yang barangkali
dapat digunakan sebagai alternatif model pengelolaan air irigasi di
Indonesia.
Bab ini merupakan implementasi teori yang dijelaskan pada bagian 2
(bab 4 dan 5, sekaligus membuat kerangka baru (selain pendekatan
kelembagaan “lama” seperti pada bagian 3, bab 6) pembahasan pengelolaan
irigasi. Bagian 3 bab 6 mendiskripsikan secara singkat beberapa contoh
pengelolaan irigasi dengan pendekatan kelembagaan di mana model
pengelolaan irigasi sangat spesifik dipengaruhi karakteristik budaya, adat,
dan norma (aturan) yang berlaku di daerah tersebut. Karenanya model
pengelolaan irigasi secara “adat” ini sulit untuk ditransformasikan ke
daerah lain. Bab ini muncul untuk menjawab premis sulitnya transformasi
model kelembagaan pengelolaan air irigasi dari satu daerah ke daerah lain.
Oleh karenanya bab ini mencoba mengenalkan salah satu model
pengelolaan irigasi yang dikenal dengan sistem kontrak dengan “model
swakelola” dan “model lelang”. Model ini merupakan perubahan dari
sistem yang sebelumnya pernah dipraktekkan oleh masyarakat tani di Jawa
Tengah, dari model sistem tradisional “ulu-ulu”, dharma tirta, P3A, P3A
swakelola, dan P3A lelang.
Bab ini diawali penjelasan singkat tentang model irigasi lelang dan
swakelola, sejarah model irigasi sistem lelang, proses dalam model irigasi
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 95
lelang, dan keuntungan dan kerugian model sistem irigasi lelang. Beberapa
contoh kasus aplikasi model swakelola dan model lelang dijelaskan pada
sub bab model lelang dan swakelola untuk memberikan gambaran
bagaimana model tersebut diaplikasikan.
7.2 Model Irigasi “Lelang” dan Model Irigasi “Swakelola”
Model irigasi lelang merupakan model irigasi kontrak antara petani
(sebagai pemilik lahan, pengguna air) dengan pengelola air (sebagai
pengelola air) untuk mengelola air irigasi selama periode tertentu (biasanya
3-10 tahun) dengan menyediakan biaya investasi di awal pengelolaan untuk
mendapatkan hak pengelolaan. Model irigasi lelang, selanjutnya disebut
“model lelang”.
Istilah “Model lelang” diambil dari sistem kontrak yang penentuan
pengelola air irigasi didasarkan pada pemenang lelang. Pihak desa selaku
fasilitator akan memfasilitasi pertemuan “rapat anggota” yang di dalamnya
terdapat petani dan “calon pengelola air”. Dalam pertemuan itu pihak desa
akan mengawali pertemuan dengan pertanyaan bagaimana pengelolaan air
irigasi di kelompok P3A ini? Biasanya terdapat dua model kontrak yang
selama ditawarkan, yaitu “model P3A lelang” dan “model P3A swakelola”.
Kedua model ini berbasis kontrak antara petani dan pengelola air
irigasi (P3A) di mana petani menyerahkan urusan pengelolaan air irigasi
kepada pengelola termasuk penyediaan investasi dalam pengelolaan
infrastuktur pengairan, drainase dan infrastruktur usahatani. Perbedaan
kedua model ini adalah dalam model lelang biaya investasi disediakan oleh
pengelola P3A pada awal penentuan pengelola sebagai syarat dalam
memenangkan lelang. Sedangkan dalam model swakelola biaya investasi
disediakan oleh pengelola secara periodik setelah pengelola mendapatkan
penerimaan dari pengelolaan tersebut. Penentuan pengelola dalam model
swakelola ditentukan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Kedua model pengelolaan ini banyak diaplikasikan oleh petani di
daerah irigasi Klambu Wilalung, Jawa Tengah. Sebagian petani lebih
memilih model lelang dan sebagian lainnya lebih memilih model swakelola.
Pemilihan model ini tergantung kesepakatan (kontrak) antara petani dan
96 Kelembagaan Irigasi
calon pengelola P3A. Petani dapat memilih atau mengganti model tersebut
jika dirasa tidak sesuai dengan keinginan (harapan) berdasarkan capaian
pada periode sebelumnya. Tabel 7.1 berikut digunakan untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan model lelang dan model swakelola.
Tabel 7.1 Persamaan dan Perbedaan Model Irigasi Lelang dan Swakelola
Deskripsi Lelang Swakelola
Perbedaan Cara penentuan pengelola Lelang terbuka di mana
penawar tertinggi akan jadi pengelola
Musyawarah
Pembayaran investasi pengairan (infrastruktur pertanian)
Di awal pengelolaan Di akhir pengelolaan
Penggunaan dana investasi Dilakukan oleh panitia
yang ditunjuk bersama P3A dan pihak desa.
Dilakukan swakelola oleh P3A dan petani
Persamaan - Terdapat kontrak (petani membayar iuran
air, P3A mengelola air) - Kontrak pengelolaan air dalam durasi
waktu tertentu
Sumber: Rondhi, 2016
Terlihat bahwa pada kedua model terdapat sistem kontrak yang
dibangun oleh petani dan P3A untuk memastikan kewajiban masing-masing
pelaku dan hak-hak yang diterima. Hak yang diterima satu pelaku ekonomi
adalah kewajiban yang dilakukan oleh pelaku ekonomi lainnya. Kewajiban
petani adalah membayar iuran air sedangkan haknya adalah mendapatkan
distribusi air baik kuantitas maupun kualitas (termasuk waktu sampainya
air di lahan). Kewajiban P3A adalah mendistribusikan air ke lahan petani
dan membangun infstruktur, sedangkan haknya adalah menerima iuran
petani yang digunakan untuk biaya operasional, simpanan untuk investasi
di akhir musim, dan sebagian untuk pendapatan pengelola (pengurus P3A).
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 97
Perbedaan keduanya adalah pada model lelang biaya investasi
dibayarkan di muka (di awal) untuk mendapatkan hak atas pengelolaan air
irigasi, sedangkan pada model swakelola biaya investasi dibayarkan di akhir
(di tengah) pengelolaan air irigasi. Perbedaan lainnya adalah penentuan
pengelola model lelang dilakukan dengan sistem lelang, sedangkan
penentuan model swakelola ditentukan dengan musyawarah. Untuk
memperjelas model lelang berikut diberikan ilustrasi model kontrak lelang
yang pernah dilakukan di salah satu P3A di Jawa Tengah.
Besar dana lelang periode kontrak 4 tahun (2007-2011) pada luas lahan
88 bahu2 adalah Rp 40 juta. Dana tersebut digunakan untuk membangun
infrastruktur pengairan dan pertanian secara umum dalam menunjang
usahatani di wilayah P3A tersebut. Nilai kontrak tersebut disepakati men-
jadi Rp 50 juta pada periode lelang selanjutnya (2011-2015). Kenaikan ini
dengan pertimbangan kenaikan harga barang-barang (inflasi) sehingga
barang-barang untuk pembelian bahan bangunan juga mengalami kenaikan.
Penggunaan dana investasi tersebut telah disepakati pada saat rapat
anggota.
Tabel 7.2 Lama Kontrak, Nilai Lelang dan Kegunaan Dana Lelang pada P3A Sido
Makmur, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Tahun
kontrak
Lama
kontrak
(tahun)
Nilai Lelang
(Rp000.000)*
Kegunaan dana hasil
lelang
Besarnya
iuran air
2007-2011 4 40.000.000 Pembangunan jembatan
penyebrangan,
pembangunan drainase,
betonisasi jaringan
tersier
100 kg gabah
kering sawah
2011-2015 4 50.000.000 Pembangunan jembatan
penyebrangan sisi barat,
pengerasan jalan
100 kg gabah
kering sawah
Sumber: diolah dari Rondhi, 2016 Keterangan: * Nilai lelang untuk luas areal 88 bahu.
2 1 bahu = ¾ ha. Satuan ini secara umum digunakan pada pengukuran lahan (termasuk jual beli) di
wilayah penelitian, Jawa Tengah.
98 Kelembagaan Irigasi
Dalam model lelang pembangunan infrastruktur pertanian dan
pengairan dilakukan oleh pihak yang ditunjuk (semacam komisi
pembangunan) berdasarkan kesepakatan bersama antara P3A terpilih dan
pihak desa. Dalam proses pembangunan pihak P3A mengontrol apa yang
dilakukan oleh komisi pembangunan tersebut.
Kewajiban petani adalah membayar iuran air yang besarnya 100
kg/bahu. Pengumpulan iuran air (yang berupa gabah tersebut) dilakukan
oleh pengurus P3A pada saat petani memanen padinya di lahan. Pengurus
menjual gabah jika gabah sudah terkumpul sejumlah satu rit (biasanya
sekitar 7 ton) kepada pembeli yang biasanya datang ke gudang yang dimiliki
P3A. Hasil penjualan gabah tersebut digunakan untuk membayar biaya
operasional selama satu musim dan sisanya dibagikan kepada pengurus
P3A.
Pada model swakelola pengelola P3A tidak perlu membayar sejumlah
uang di awal pengelolaan untuk mendapatkan hak pengelolaan. Akan tetapi
hak pengelolaan lebih didasarkan pada musyawarah bersama antara petani,
calon pengelola P3A difasilitasi oleh pihak desa. Model ini juga bagian dari
model kontrak untuk mengelola air irigasi, akan tetapi tidak seperti lelang
yang harus menyediakan uang di awal pengelolaan untuk investasi
membangun infrastruktur pengairan dan pertanian, namun lebih
menekanan asas kebersamaan.
Selanjutnya dalam model swakelola juga disepakati tentang hak dan
kewajiban P3A dan petani. P3A berkewajiban menyediakan air irigasi
dengan kuantitas dan kualitas tertentu dan juga menyediakan infrastruktur
fisik (sesuai yang disepekati) pada akhir periode pengelolaan. Selain itu,
P3A menerima hak berupa penerimaan yang didapatkan dari iuran air
petani. Di sisi pengguna air petani memiliki hak untuk medapatkan air
dalam kuantitas dan kualitas tertentu, di sisi lain memiliki kewajiban
membayar iuran air yang besarnya 100kg/bahu. Untuk memperjelas berikut
diberikan ilustrasi model swakelola.
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 99
Tabel 7.3 Lama Kontrak, Pengelolaan Dana Iuran Air pada P3A Waduk Rejo,
Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Tahun kontrak
Lama kontrak (tahun)
Alokasi dana keuangan untuk pembangunan
Penggunaan dana bangunan
Besarnya iuran air
2014-2016
3 70% untuk biaya operasional (termasuk pendapatan pengurus),
30% untuk pembangunan infrastruktur :
Rp 70,850,000
Pembuatan infrastur irigasi, dan pengerasan dan pelebaran jalan usaha tani.
100kg gabah kering sawah
Sumber: Laporan Hasil Pembangunan P3A Waduk Redjo,2010-2013.
Luas lahan yang dikelola P3A Waduk Rejo seluas 112 bahu dengan
periode kontrak selama 3 tahun. Selama periode kontrak tersebut P3A telah
melakukan pembangunan sebanyak 6 kali setelah panen setiap musimnya
yang total nilainya sebesar Rp 70,1 juta. Pada model swakelola
pembangunan infrastuktur dilakukan secara swakelola oleh P3A tersebut.
Pihak desa melakukan kontrol pada proses pembangunan tersebut.
Berdasarkan dua model tersebut perlu diketahui besarnya dana
pembangunan persatuan luas. Untuk mengetahui besarnya dana
pembangunan pada kedua model kontrak tersebut, berikut dibandingkan
besarnya kontrak persatuan luas (bahu). Namun perlu ditegaskan kembali
bahwa pembayaran untuk model lelang dilakukan di awal, sedangkan
untuk model swakelola setelah panen waktu berjalan.
Tabel 7.4. Besarnya biaya invetasi pembangunan infrastruktur persatuan luas.
Deskripsi Model kontrak
Lelang Swakelola
Besarnya dana pembangunan 50.000.000 70.850.000
Waktu kontrak 8 musim (4 tahun) 6 musim (3 tahun)
Luas lahan (bahu) 88 112
Dana pembangunan per luas lahan/musim
71,000 113.800
Sumber: Tabel 7.2 dan tabel 7.3
100 Kelembagaan Irigasi
Terlihat bahwa besarnya dana investasi persatuan luas permusim dengan
model swakelola lebih besar dibandingkan dengan model lelang.
Perbandingan mungkin terasa tidak adil karena tidak memperhitungkan
nilai uang berdasarkan waktu dan juga tidak memperhitungkan resiko yang
ditanggung. Dalam model swakelola resiko biaya investasi tersebut
ditanggung dua pihak (pengelola P3A dan petani) sedangkan pada model
lelang, semuanya ditanggung oleh pengelola P3A.
Tentu, kedua model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing yang akan dibahas pada sub bab berikutnya. Namun yang
ditekankan di sini adalah adanya model kontrak (baik lelang maupun
swakelola) merupakan salah satu model yang muncul di masyarakat petani
dalam mengelolan air irigasi untuk mendapatkan kemanfaatan yang lebih
besar.
7.3 Sejarah dan Evolusi Model Swakelola dan Model Lelang
Model lelang adalah salah satu bentuk model kontrak dalam
pengelolaan air irigasi (barang sumberdaya bersama). Model ini hadir dari
perjalanan “evolusi” panjang pengelolaan air irigasi yang berusaha mencari
bentuk terbaiknya dari waktu ke waktu. Hal ini dapat diartikan bahwa
model yang diaplikasikan pada waktu tertentu bisa jadi model terbaik pada
waktu tersebut. Namun karena pergeseran waktu (termasuk kebutuhan
pengairan), maka suatu model bisa dikatakan tidak relevan, dan perlu
penyesuaian kembali.
Sejarah model lelang tidak terlepas dari sejarah awal sistem tersebut
di mulai dari sebuah bendungan Kedung Ombo di Jawa Tengah. Beberapa
dekade sebelum model lelang ditemukan dan diaplikasikan secara luas pada
masyarakat tani. Model pengelolaan air irigasi di tingkat tersier Jawa Tengah
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sebelum tahun 1976 irigasi
dikelola oleh ulu-ulu3 (Both, 1977). Pada saat itu sawah dialiri dengan air
3 Ulu-ulu adalah seseorang yang ditunjuk oleh pihak otoritas desa untuk mengatur air pada
petak petani. Ulu tidak menerima iuran air dari petani sebagai usahanya mengatur air, akan tetapi dia menerima tanah adat yang dapat ditanami. Masyarakat menyebut ulu-ulu
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 101
yang berasal dari air hujan atau dikenal dengan tadah hujan. Setalah itu,
irigasi dikelola oleh dharma tirta dengan menggunakan air yang berasal dari
air hujan dan air dari sungai (kali) pembuangan dengan menggunakan
pompa air (Duewel, 1984). Perbedaan keduanya adalah dharma merupakan
kesatuan (perkumpulan) dari orang-orang yang bersatu dalam wadah
organisasi. Selain itu, dharma tirta melakukan usaha untuk mendapatkan air
dengan bantuan pompa air. Sebagai kompensasinya, dharma tirta menerima
iuran air dari petani. Karena dharma tirta mengeluarkan usaha untuk
mendapatkan air dan mendistribusikan air maka dharma tirta menerima
iuran air. Iuran air digunakan untuk beberapa keperluan utama dalam
operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, diantara pembuatan saluran
tersier (yang biasanya tidak permanen), pemeliharaan saluran sekunder.
Sistem tersebut disebut dengan sistem swakelola. Secara sederhana, sistem
swakelola adalah sistem yang mengatur air dengan mandiri. Karena
besarnya usaha dharma tirta dalam memperoleh air, maka iuran air yang
dibayarkan oleh petani ke dharma tirta juga relatif besar. Pada saat itu iuran
air bisa sampai 1/8 (moro 8), satu bagian untuk dharma tirta dan 7/8 untuk
petani.
Sejak tahun 1990, saat bendungan Kedung Ombo mulai dioperasikan,
pemerintah menyamakan nama organisasi pengatur air pada tingkat saluran
tersier dengan nama Persatuan Petani Pemakai Air (P3A). Dengan adanya
bendungan Kedung Ombo tersebut akses untuk mendapat air menjadi lebih
mudah. Karenanya biaya operasi dan pemeliharaan saluran juga mengalami
penurunan. Karenanya, iuran air yang dibayarkan petani juga mengalami
penurunan dari 1/8, 1/10, 1/12 hingga 1/25 selama 20 tahun terakhir.
Perubahan sistem ulu-ulu ke sistem dharma tirta dan juga perubahan
besarnya iuran air merupakan bentuk-bentuk perubahan kelembagaan
irigasi yang sangat menarik untuk dipelajari. Terlebih lagi, sejak sepuluh
tahun terakhir (sejak tahun 2005) beberapa P3A ada yang mengaplikasikan
model baru yang disebut dengan model lelang.
sebagai sebuah sistem dibandingkan hanya seseorang yang mengatur air, meskipun sebenarnya adalah pengatur air secara individu.
102 Kelembagaan Irigasi
Model lelang muncul secara endogen dari masyarkat petani di Desa
Undaan Tengah (salah satu daerah irigasi Klambu Wilalung), Kecamatan
Undaan, Kabupaten Kudus tahun 2005 yang merasa prihatin dengan kondisi
infrastruktur pertaniannya (pengairan irigasi). Daerah pertanian di desa ini
merupakan daerah dataran bawah yang mudah tergenang air pada saat
musim hujan. Pada saat tersebut petani berfikir untuk membuat drainase
(pembuangan air), dan membuat jalan usahatani untuk mengangkut hasil
pertanian dari lahan ke jalan utama. Mereka mengalami kesulitan sumber
pendanaan. Hingga akhirnya disepakati untuk melelangkan pengelolaan air
irigasi kepada pihak yang bersedia membangun infrastruktur yang
dimaksud (pembuangan air saat musim hujan dan infrastruktur jalan
usahatani).
Pada saat itu pengelolaan air irigasi masih menggunakan model
swakelola yang sebenarnya juga ada kontrak untuk membangun sarana
irigasi secara periodik (setelah panen saat iuran air dari petani terkumpul).
Namun, karena dana yang terkumpul secara periodik tersebut jumlahnya
kecil, maka dana tersebut tidak bisa digunakan untuk pembangunan
infrstruktur yang membutuhkan dana besar seperti drainase (pembuangan
air) dan pembangunan infrastruktur jalan usahatani. Selain dana yang
terkumpul tiap musim yang jumlahnya kecil, terdapat alasan lain terkait
pengelolaan keuangan model swakelola yang dianggap tidak akuntabel.
Luas areal lahan pertanian di Desa Undaan Tengah seluas 716 bahu.
Nilai Lelang pada periode 2005-2010 sebesar Rp 300 juta yang dibayarkan
pada tahun 2005. Nilai tersebut dialokasikan untuk pembangunan jalan
usahatani, saluran drainase untuk membuang kelebihan air saat musim
penghujan. Pada saat tersebut proses pembangunan dilakukan oleh pihak
yang ditunjuk bersama (komisi pembangunan antara P3A terpilih dengan
pihak desa).
Besarnya nilai lelang tergantung luas lahan, kondisi lahan (subur
tidaknya), dan lama waktu pengelolaan air irigasi tersebut (Rondhi, 2017).
Semakin luas lahan yang akan dikelola, maka nilai lelang akan semakin
besar. Selanjutnya, semakin subur lahan yang dilelang (potensi panen,
tergenang tidaknya lahan), maka nilai lelang semakin besar. Terakhir,
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 103
semakin lama lelang pengelolaan air irigasi pada lahan, maka nilai lelang
akan semakin tinggi. Biasanya nilai lelang merupakan kombinasi dari
ketiganya.
Semenjak saat itu model lelang mulai dikenal masyarakat petani pada
daerah irigasi Klambu Wilalung yang mengairi lahan petani seluas 6.844
bahu. Adanya sistem kontrak model lelang merupakan upaya masyarakat
untuk mengelola air irigasi (termasuk pembuatan dan pemeliharaan
infrastrukturnya) pada kondisi keterbatasan anggaran pemerintah.
Sebenarnya model swakelola juga merupakan sistem kontrak yang
berupaya untuk mengelola air irigasi dengan keterbatasan penganggaran
pemerintah, akan tetapi model pembayaran di akhir musim memungkinkan
pengelola P3A berbuat mengingkari kontrak. Pembahasan ini lebih jelas
pada bab 8.
7.4 Diskripsi Singkat Daerah Irigasi Klambu Wilalung
Sebagaimana telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa
kelembagaan irigasi pada tingkat tersier berevolusi dari waktu ke waktu
untuk menemukan bentuk terbaiknya. Evolusi tersbut terjadi dalam waktu
yang panjang disebabkan oleh interaksi antara pelaku pengelolaan irigasi
tersebut di support (dipicu) oleh peran pemerintah.
Peran (intervensi) pemerintah dalam pengelolaan irigasi dapat berupa
dua hal: (1) peran pembangunan fisik, (2) peran pembangunan kelembagaan
(termasuk sumberdaya manusia) (Funnel, 1994). Kedua peran tersebut dapat
dilakukan secara bersama-sama (integrative) atau saling terpisah dalam
waktu tertentu. Di lokasi penelitian kami, peran pemerintah untuk
pengelolaan irigasi dimulai dari intervensi secara fisik. Pada tahun 1990
pemerintah membangun bendungan Kedungombo yang mengairi tidak
kurang dari 60.000 ha lahan yang terbagi pada 5 daerah irigasi sebagaimana
tabel 7.1.
104 Kelembagaan Irigasi
Tabel 7.5 Daerah irigasi di cakupan wilayah bendungan Kedungombo, Jawa
Tengah.
No Daerah irigasi Luas lahan cakupan (ha)
1. Sidorejo Grobogan 6.038
2. Sideorejo kiri 1.900
3. Sedadi 16.055
4. Klambu Kanan 20.646
5. Klambu Kiri 10.354
6. Klambu Wilalung 7.872
Total 62.865
Sumber: Kantor Pengairan Bendungan Kedung Ombo, 1990
Daerah Irigasi Sidorejo merupakan daerah irigasi yang berada di
daerah hulu, sedangkan DI Klambu kanan, DI Klambu Kiri, dan DI Klambu
Wilalung merupakan DI di bagian hilir4 (lihat Gambar 7.1). Setelah 20 tahun
penggunaan bendungan tersebut untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di
wilayah cakupannya, tentu, terjadi berbagai permasalahan utamanya dalam
distribusi air dalam kondisi bangunan sarana irigasi yang mengalami
kersakan.
4 Penyebutan istilah hulu dan hilir dapat dilakukan dalam satu wilayah bendung (misalnya
Bendungan Kedungombo), atau dalam masing-masing daerah irigasi (misalnya DI Klambu Wilalung), atau dalam saluran yang lebih kecil (saluran tersier) yang dikelola oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 105
Gambar 7.1 Skema Ringkas Aliran Irigasi Bendung Kedungombo
Penelitian kami bermula tahun 2012 yang mempelajari model
pengelolaan pada salah satu P3A pada DI Klambu Wilalung yang
ditentukan secara lelang. Pada penelitian itu, fokus penelitian kami adalah
insentif bagi pengurus dalam mengelola P3A. Penelitian selanjutnya adalah
mempelajari secara mendalam sejarah model pengelolaan P3A secara lelang.
Beberapa penelitian telah kami lakukan dengan tema utama adalah
kelembagaan pengelolaan irigasi tersier pada Daerah Irigasi (DI) Klambu
Wilalung seperti pada gambar 7.2.
DI Klambu Wilalung merupakan DI yang airnya berasal dari Bendung
Klambu. DI Klambu menjadi konsentrasi penelitian kami karena pada
daerah irigasi ini sistem lelang secara indegeneus muncul dan menyebar
secara massif pada satu daerah irigasi. Gambar 5.2 menjelaskan bahwa satu
Daerah Irigasi mencakup lintas dua kabupaten (Kabupaten Grobogan dan
Kudus). Artinya, meskipun P3A merupakan model pengelolaan irigasi yang
berbasis cakupan desa, namun cakupan dalam wilayah koordinasi
pembagian air perlu berkoordinasi dengan P3A lain dalam satu daerah
irigasi.
Waduk Kedung Ombo
Bendung
Klambu
Bendung
Klambu Kanan
Bendung
Klambu Kiri
Bendung Klambu
Wilalung
Bendung Sedadi
Bendung
Sidorejo KAB. DEMAK
KAB. GROBOGAN,
PATI, KUDUS
KAB. PATI
106 Kelembagaan Irigasi
Gambar 7.2 Daerah Irigasi Klambu Wilalung yang melintasi dua kabupaten.
Seperti dalam tabel 7.1 tampak bahwa DI Klambu Wilalung seluas
7.872 ha. Luasan tersebut adalah luasan awal pada saat jaringan ini
terbentuk. Dua puluh tahun setelah itu mulai terjadi kerusakan dan
kebocoran saluran karenanya beberapa daerah hilir tidak mendapatkan air
dalam kuantitas dan kualitas yang cukup. Karena luasan riel yang
berkurang menjadi 6.844 bahu (5.133ha).
Salah satu ilustrasi sederhana adalah waktu distribusi air yang
semakin panjang (dari hulu-hilir) dengan adanya kerusakan jaringan
tersebut. Lihat Gambar 5.3 yang menggambarkan aliran air irigasi dari hulu
(bagian selatan di Desa Klambu) hingga hilir (bagian utara peta di Desa
Ngemplak) sepanjang 25 kilometer yang melewati 21 desa pada tiga
kecamatan yang saling berbatasan. Aliran irigasi tersebut membutuhkan
waktu 1,5 bulan (6 minggu) yang seharusnya bisa dikurangi jika saluran
irigasi tidak rusak. Kerusakan tersebut dikarenakan faktor usia bangunan
dan adanya pemeliharaan yang kurang optimal.
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 107
Gambar 7.3 Aliran irigasi pada Daerah Irigasi Klambu Wilalung dari Hulu ke
Hilir
Kurang optimalnya jaringan irigasi tersebut menyebabkan produksi
usahatani tidak optimal. Selain itu, beberapa petak lahan sawah mengalami
kesulitan dalam membuang air irigasi saat musim penghujan. Hingga pada
tahun 2005 salah satu P3A di daerah irigasi tersebut memunculkan model
lelang dalam pengelolaan air irigasi. Pada intinya, model lelang tersebut
berupaya mengumpulkan dana untuk investasi pembangunan sarana
infrastruktur pengairan dan pertanian.
108 Kelembagaan Irigasi
Sepuluh tahun setelah ditemukannya model lelang tersebut (2005-
2015), sistem lelang menjadi menjadi model utama dalam pengelolaan
irigasi tersier di daerah tersebut. Rondhi (2017) menyebutkan bahwa lebih
dari 60% P3A di DI Klambu Wilalung mengaplikasikan model ini. Sebaran
tersebut dapat dilihat dalam gambar 5.3. Tidak kurang dari 22 P3A di DI
Klambu Wilalung mengaplikasikan model lelang.
Sebaran model lelang terkosentrasi pada bagian tengah DI Klambu
Wilalung, meskipun tidak semua bagian tengah mengaplikasikannya.
Berdasarkan sebarannya, nampak sulit diidentifikasi bahwa sebaran (difusi)
model lelang disebabkan karena faktor geografis (kedekatan dengan sumber
air, pintu air, jalan raya). Terdapat faktor lain seperti kelembagaan dan
karakter dari model tersebut yang menyebabkan difusi model tersebut.
7.5 Proses Penentuan Model Pengelolaan Air Irigasi
Model Lelang dan Model Swakelola
Menurut Inpres No.3 Tahun 1999 pengelolaan irigasi di tingkat desa
diserahkan kepada petani dengan membentuk Persatuan Petani Pengguna
Air (P3A). P3A dibentuk oleh petani dengan koordinasi di pihak desa.
Jumlah P3A dibentuk dengan pertimbangan aliran air. Berdasarkan
hasil penelitian Rondhi dkk (2016a, 2016b, 2017) menyebutkan bahwa dalam
satu desa terdapat terdapat 1 hingga 5 unit P3A yang dipimpin oleh seorang
ketua dengan beberapa anggota tergantung musyawarah dengan anggota.
Jumlah P3A pada masing-masing desa tergantung pada kesepakatan antara
petani, pihak desa, dan calon pengelola P3A tersebut. Luas hamparan
masing-masing P3A bervariasi mulai 64 ha hingga 500 ha tergantung
kesepakatannya.
Pembagian air dalam Daerah Irigasi Klambu Wilalung berdasarkan
pada kesepakatan antara wakil P3A-P3A yang ada dalam daerah irigasi
tersebut.
Pembagian air (waktu dan jumlah) dalam Daerah Irigasi Klambu
Wilalung tergantung pada musimnya, musim hujan 1 (MH1), musim hujan
2 (MH2), dan musim kemarau (MK). Pada musim hujan satu (MH1)
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 109
pembagian air dalam satu daerah irigasi membutuhkan waktu antara satu
hingga satu setengah bulan. Hal ini karena jarak antara daerah hulu (intake)
hingga hilir (down stream) sejauh kurang lebih sepanjang 30 km. Pembagian
air dilakukan dengan memenuhi kebutuhan air pada daerah hulu, setelah
itu baru memenuhi kebutuhan air daerah hilir. Pada musim hujan 2 (MH2),
pembagian air tidak terlalu membutuhkan curahan tenaga dan waktu yang
lebih banyak. Hal ini karena jumlah air (baik air hujan maupun air tergenang
dari musim sebelumnya) masih banyak. Selanjutnya pembagian air pada
Proses lelang secara detail telah dijelaskan dalam Rondhi (2016b) yang
menjelaskan bahwa penentuan model pengelolaan air irigasi oleh P3A
dilakukan melalui rapat anggota. Sama dengan organisasi masyasrakat
lainnya, rapat anggota merupakan keputusan tertinggi dalam struktur
kepengurusan P3A. Terdapat beberapa poin penting yang dibahas dalam
rapat ini yaitu model pengelolaan air irigasi, penentuan (pemilihan) Ketua
P3A, besarnya iuran air dari petani ke P3A, jangka waktu kepengurusan
P3A, dan hal-hal yang akan dilakukan pada kepengurusan mendatang.
Rapat ini banyak ditunggu oleh petani maupun calon pengurus P3A. Karena
pada rapat ini menentukan “arah” P3A pada periode mendatang (lama
sesuai hasil kesepakatan).
Layaknya sebuah pesta demokrasi, terdapat tiga tahap penting dalam
rapat anggota, (1) sebelum rapat anggota (pra-rapat anggota), (2) saat rapat
anggota, (3) setelah rapat anggota (post-rapat anggota). Ketiga proses
tersebut berjalan dalam waktu kurang lebih satu bulan. Beberapa pihak yang
terlibat dalam ketiga tahap tersebut adalah (1) petani pengguna air, (2)
perwakilan desa, (3) calon pengurus P3A (baik petani atau bukan petani).
Pra-Rapat Anggota
Pada periode pra-rapat anggota petani (pengguna air) mengevaluasi
pengelolaan air pada periode kepengurusan sebelumnya termasuk di
dalamnya (kegiatan pemeliharaan saluran, pemeliharaan infrastruktur,
pelayanan aktivitas pertanian lainnya seperti penangangan serangan hama
tikus). Evaluasi ini bersifat diskusi informal pada tingkat petani dan juga
pada tingkat yang lebih luas wakil-wakil pemerintahan desa. Pada tahap ini
110 Kelembagaan Irigasi
juga petani membentuk kelompok-kelompok informal untuk mengusulkan
pengelolaan air irigasi yang diharapkan pada periode selanjutnya termasuk
juga calon ketua pengurus yang diinginkan.
Rapat Anggota
Rapat anggota adalah tahap paling penting untuk menentukan sistem
pengelolaan air di P3A. Rapat anggota dimoderatori oleh pihak perwakilan
desa. Rapat anggota diawali dengan laporan pertanggungjawaban
kepengurusan P3A periode sebelumnya. Tahap selanjutnya adalah
musyawarah tentang keinginan petani pengguna air pada P3A periode
kepengurusan selanjutnya. Biasanya isi musyawarah meliputi (1) sistem
manajemen air irigasi pada P3A, (2) infratrsuktur pertanian yang akan
dibangun pada periode kepengurusan selanjutnya, (3) Bagaimana
pengelolaan jaringan tersier, dan (4) bagaimana mengontrol hama penyakit
tanaman. Poin 1 sampai 3 berkaitan dengan operasi dan manajemen irigasi,
sedangkan poin 4 berkaitan dengan pelayanan pertanian lainnya. Dalam
proses rapat anggota juga disepakati besarnya iuran air yang wajib
dibayarkan oleh petani kepada P3A.
Dalam rapat anggota biasa terjadi diskusi yang panjang (alot) dalam
menentukan jenis pengelolaan irigasi apakah model lelang atau model
swakelola terutama dalam mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan-
nya. Selain itu, petani juga mengusulkan fasilitas yang diinginkan untuk
memudahkan usaha pertanian, misalkan pengerasan dan pelebaran jalan
usaha tani, jembatan penyebarangan usahatani, dan sebagainya. Terkait
dengan fasilitas pertanian yang ingin diperbaiki tersebut, jika sistem lelang
disepakati maka berapa besarnya lelang (termasuk mekanisme
pembayarannya), dan jika sistem swakelola disepakati bagaimana model
pengumpulan dananya dan jangka waktu pembangunan tersebut.
Pasca Rapat Anggota
Tahap ketiga adalah pasca-rapat anggota yang berupa pembahasan
tentang pengurus P3A, hak dan kewajiban. Dalam model swakelola calon
pengurus P3A ditentukan berdasakan kesediaan calon pengurus untuk
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 111
bekerja, sedangkan dalam model lelang calon pengurus ditentukan dengan
kesediaan calon pengurus untuk membayar dan bekerja. Sistem lelang
mensyaratkan pelunasan pada tahap ini yang biasanya berkisar satu minggu
setelah rapat anggota. Setelah pelunasan pembayaran dana lelang kepada
pihak desa, tahap selanjutnya adalah pembangunan infrastruktur yang
disepakati dalam lelang. P3A terpilih dan pihak desa membentuk panitia
pelaksana pembangunan di mana pihak desa sebagai penanggungjawab
pembangunan dan pihak P3A sebagai pengawas.
Sebenarnya proses tersebut adalah proses yang umum dalam sebuah
keorganisasian. Namun yang membedakan adalah adanya investasi di awal
yang harus disediakan oleh kandidat pengelola P3A. Selain itu,
pembentukan panitia pembangunan dari pihak ketiga yang sulit dikontrol
pihak petani berpeluang munculnya ketidaksesuaian yang diinginkan
petani dan pelaksanaan pembangunan di lapangan.
7.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Lelang dan Model
Swakelola
Seperti telah dibahas di awal bahwa sistem kontrak merupakan dasar
dari model lelang dan model swakelola dalam pengelolaan irigasi pada
tingkat petani. Sistem kontrak ini dapat bersifat tertulis maupun tidak
tertulis. Pada awal sistem ini dimulai (sekitar tahun 1980an) kontrak tertulis
bersifat sederhana, namun sekarang kontrak tersebut sudah menjadi bentuk
tertulis lengkap dengan legitimasi dari pihak berwenang.
Adanya pergeseran dari model swakelola ke model lelang meng-
indikasikan adanya keinginan masyarakat petani untuk mencari model
terbaik dalam pengelolaan air irigasi. Adanya keinginan mendapatkan dana
investasi yang lebih besar (yang dapat digunakan untuk pembangunan
infrastruktur usahatani) mengindikasikan bahwa model lelang direspon
secara positif oleh petani. Namun demikian, ada kekahwatiran pada
sebagian pihak petani bahwa
“jika pengelolaan air irigasi (P3A) dikelola oleh sekelompok orang yang hanya
berdasarkan ketersediaan dana (pemenang lelang) dan terkadang bukan petani,
112 Kelembagaan Irigasi
dimungkinkan pengelolaan air irigasi menjadi kurang optimal, karena model ini
akan menyebabbkan hilangnya rasa bekerjasama antara petani dan P3A” .
Beberapa petani lain juga berpendapat:
“Pembangunan infrastruktur yang diserahkan kepada panita pembangunan dapat
menyebabkan kurang sesuainya model bangunan yang diinginkan petani. Hal ini
berbeda jika pembangunan dilakukan oleh petani dan P3A sendiri, akan lebih mudah
menyesuaikan keinginan petani”
Meskipun demikian beberapa petani berpendapat tentang kelebihan sistem
lelang diantaranya adalah:
“Hasil lelang dapat digunakan untuk membangun infrastruktur yang membutuh-
kan dana besar. Dana dari model swakelola yang dikumpulkan dari swakelola hanya
sedikit karena hanya dikumpulkan tiap musim dan terkadang tidak dapat terkumpul.
Karenanya model lelang lebih baik dibandingkan dengan model swakelola”
Beberapa petikan di atas mengilustrasikan bahwa kedua model
tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tentu, kedua
sistem tersebut masih mencari bentuk terbaiknya yang dapat diamati dari
waktu ke waktu.
7.7 Penutup
Model kelembagaan pengelolaan air irigasi di Daerah Irigasi Klambu
Wilalung mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam 40 dekade
terakhir. Sebelum tahun 1980 petani mengaplikasikan model ulu-ulu,
selanjutnya dari tahun 1980-1990 petani mengaplikasikan model dharma
tirta (yang merupakan embrio model swakelola). Dari tahun 1990 – sekarang
petani mengaplikasikan model P3A-swakelola. Selanjutnya model lelang
yang mulai dipraktekkan tahun 2005 merupakan transformasi kelembagaan
pengelolaan irigasi dari model swakelola. Namun demikian tidak semua
P3A mempraktekkan model lelang ini.
Kedua model tersebut memiliki basis yang sama yaitu sistem kontrak
yang dibuat antara petani dan pengelola P3A. Sistem kontrak dibuat untuk
memastikan masing-masing pelaku (petani dan pengelola P3A) bekerja
Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 113
sesuai yang tertera dalam kontrak. Setelah kontrak dibuat, apakah ada
jaminan masing-masing pelaku bekerja sesuai dengan kontrak tersebut. Di
sini ranah ekonomi kelembagaan baru berada. Bagaimana cara mengontrol
sistem kontrak tersebut. Dalam kondisi keterbatasan sumber pendanaan
untuk pengelolaan irigasi, jaminan pelaksanaan kontrak menjadi penting.
Petani akan memilih model yang menjalan kontrak dengan baik.
Istilah Penting
Sistem kontrak
Model lelang
Model swakelola
Ulu-ulu
Dharma tirta
Perkumpulan petani pemakai air (P3A)
Daerah hulu (Upstream area)
Daerah hilir (downstream area)
Referensi
Ambler, J.S. 1991. Irigasi di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, LP3ES,
Jakarta.
Booth, A., 1977. Irrigation in Indonesia Part I, Bulletin of Indonesian Economic
Studies. Volume 13, Issue 1. Australian National University. Australia.
Duewel, J. 1984. Central Java`s Dharma Tirta WUA Model: Peasant Irrigation
Organization Under Condition of Population Pressure, Agricultural
Administration (17) 261-285.
Funnel, D.C. 1994. Intervention and Indigeneus management. Land uses
policy. 11, 45-54.
Mori, Y., 2014, Irrigation water management based on Lelang System: Case
Study in Bendung Wilalung Induk 6, Master Thesis. Hokkaido
University. Japan.
114 Kelembagaan Irigasi
Mori, Y., Rondhi, M., Kondo T., 2015, Supplying Irrigation Water based on
Private Incentive: A Case Study of a WUA in Central Java. The paper
presented in 15th study conference of Farm Management Society of Japan.
September 2015.
Norton, R.D., 2004. Agricultural Development Policy: Concept and Experiences.
John Wiley & Sons, Ltd. West Susex.
Rondhi M., Mori, Y., Kondo, T. 2015. Sistem Lelang dan Sistem Swakelola
dalam Manajemen Irigasi pada Tingkat Tersier. Jurnal Agroteknologi,
Vol. 9 No.2 halaman 174-183.
Rondhi M., Mori, Y., Kondo, T., 2016, Institutional Change of Its Effect to
Water Usagae Association Performance in Irrigation Water
Management, The paper presented at international conference, Agribusiness
Development for Human Welafare. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 14-15 Mei 2016.
Rondhi M., Mori, Y., Kondo, T., 2016. Institutional Arrangement of Irrigation
Water Management in Rural Area: Case Study of a WUA in Central
Java, Indonesia. The paper presented in International Conference:
Strengthening Indonesian Agribusiness: Rural Development and Global
Market Linkages: IPB Convention Center. 25-26 April 2016
Rondhi, M. Y. Mori, T. Kondo., 2017, Diffusion of “Lelang System” and
Farmer Choice on Irrigation Water Management Model, Proceeding of
The International Conference on Food Sovereignty and Sustainable
Agriculture, page 361-366.
-oo0oo-
GLOSARIUM
Adverse selection merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan
adanya upaya untuk mennyembunyikan informasi kepada pihak lain
dengan tujuan tertentu.
Biaya informasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan
informasi.
Biaya monitoring adalah biaya yang dikeluarkan untuk memastikan tujuan
yang diharapkan sesuai dengan keinginan (kesepakatam).
Biaya negosisasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan tujuan
yang ingin dituju.
Biaya transaksi adalah biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan
(memastikan) sesuatu sesuai tujuan.
Daerah hilir merupakan daerah irigasi pada bagian yang jauh dengan
sumber air.
Daerah hulu merupakan daerah irigasi pada bagian yang dekat dengan
sumber air.
Daerah irigasi adalah kesatuan wilayah yang mendapat air dari satu
jaringan irigasi (mendapatkan air dari intake yang sama).
Dharma tirta adalah model pengelolaan irigasi di Jawa Tengah.
136 Kelembagaan Irigasi
Ekonomi bermoral adalh istilah yang digunakan untuk menjelaskan model
ekonomi yang menekankan pada pembagian yang lebih merata antar
pelaku usaha.
Ekonomi kelembagaan baru merupakan sebuah ilmu yang membahas
tentang bagaimana pengaturan sesuatu.
fixed payment merupakan model pembayaran air irigasi berdasarkan besaran
yang tetap.
Insentif merupakan rangsangan (dorongan) yang diberikan satu pihak
kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu sesuai kesepakatan.
Model prinsipel-agen: adalah model yang digunakan untuk menjelaskan
hubungan antar dua pihak di mana pihak pertama mendelegasikan
tugasnya kepada pihak kedua.
Model Swakelola adalah model pengelolaan irigasi di mana penentuan
pengelola irigasi didasarkan pada musyawarah mufakat (tidak
menggunakan model lelang).
Moral hazard adalah istilah untuk menjelaskan adanya tindakan
menyimpang dari ikatan yang telah disepakati.
Moro adalah istilah untuk menjelaskan pembagian hasil suatu usahatani.
one-sided prisoner dilemma adalah dilemma yang dialami oleh pelaku (pihak
I) yang menjalin hubungan dengan pihak lain (pihak II), akan tetapi
pihak lain tidak melakukan seperti yang diinginkan pihak I.
Perkumpulan petani pemakai air (P3A) merupakan istilah generik (umum)
yang digunakan untuk menyebut pengelola air irigasi.
prisoner dilemma merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk
mengammbarkan dilemma (masalah) yang dialami oleh seseorang
(diibaratkan tawanan) dengan pilihan-pilihan yang ada (cenderung
sulit).
Private information adalah adalah istilah dalam menjelaskan informasi yang
hanya dimiliki oleh pemilik informasi.
Glosarium 137
Sharing output merupakan model pembayaran air irigasi berdasarkan
besaran yang tergantung pada besarnya output usahatani.
Sistem Irigasi merupakan istilah kesatuan sistem (tata cara) pengelolaan
irigasi yang meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi,
kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia.
Sistem kontrak adalah sebuah sistem dalam pengelolaan irigasi di man
terdapat paling tidak dua pihak yang beerjasama, di mana pihak
pertama sebagai pemberi mandate, dan pihak lainnya yang diberikan
mandat dengan sistem tertentu.
Sistem lelang merupakan sebuah sistem dalam pengelolaan irigasi di mana
dalam penentuan pengelolaan irigasi detneukan secara lelang.
Subak adalah sistem irigasi yang dijalankan oleh sebagian besar pengelolaan
irigasi di Bali.
Teori collective action merupakan teori sosial untuk menggambarkan
perilaku orang dalam suatu kelompok pada barang sumberdaya
bersama.
Ulu-ulu adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam mengatur air
irigasi dalam jaringan tersier (petak petani).
Utilitas adalah tingkat kepuasan yang dialami oleh pelaku dalam
berhubungan dengan pihak lain.
-oo0oo-
138 Kelembagaan Irigasi
DAFTAR INDEKS
A
adverse selection, 54, 124, 127
Adverse selection, 61
Adverse selection (hidden
knowledge), 61
Algemeen Water Reglement, 32
Algemeen Water Reglement XE
“Algemeen Water
Reglement” (AWR ), 32
Awig-awig, 90, 91
B
Bahaya moral Moral hazard
(hidden action), 61
Barang sumberdaya bersama, 7,
10, 46, 75
Biaya informasi, 48
Biaya monitoring, 42, 48, 125
Biaya negosiasi, 41, 48
Biaya transaksi (transaction cost),
61
D
Daerah hilir (downstream area),
113
Daerah hulu (Upstream area), 113
Daerah Irigasi, vi, 17, 29, 32, 103,
104, 105, 106, 107, 108, 112,
117, 126, 129
Dharma tirta, 79, 85, 86, 90, 113,
130
Dilema tawanan (prisonner
dilemma), 75
Dilema tawanan satu sisi (one-
sided prisoner dilemma), 75
E
140 Kelembagaan Irigasi
Ekonomi bermoral, 90
Ekonomi biaya transaksi, 48
Ekonomi kelembagaan baru, 48
Ekonomi pasar neoklasik, 48
Ekonomi sosiologi, 48
F
FAO (Food and Agricultural
Organization), 90
fixed payment, 119, 120, 121, 127
G
game theory, 12, 73, 74, 117, 125,
127
Gotong royong, 90
H
Himpunan Petani Pemakai Air,
15, 16, 32
I
Insentif, 51, 53, 61, 129
IWMI (international Water
Management Institute), 90
J
Jaringan irigasi, 29, 32
K
Kelembagaan legal, 43, 46, 48
Keseimbangan Nash (Nash
Equilibrium), 75
Kontrak, 42, 51, 54, 56, 57, 59, 60,
61, 96, 97, 99, 129
M
model lelang, vi, 18, 94, 95, 96, 98,
99, 100, 101, 103, 107, 108, 110,
111, 112, 115, 117, 118, 119,
120, 121, 122, 123, 124, 125,
126, 127
Model lelang, 95, 100, 102, 113
Model prinsipal-agen, 75
model swakelola, vi, 79, 94, 95, 96,
98, 99, 100, 102, 103, 110, 111,
112, 115, 117, 118, 119, 120,
121, 122, 124, 125, 126, 127
Model swakelola, 18, 113, 115
moral hazard, 54, 61, 124, 127
Moro, 90
P
Pasar dan output, 48
Pekaseh, 82, 83, 90
Perkumpulan Petani Pemakai Air,
30, 32, 33, 52, 63, 75, 78, 84,
104, 115, 129
Perkumpulan petani pemakai air
(P3A), 113
Perkumpulan Petani Pemakai Air
(P3A), 32, 78, 84, 104, 115
Private information, 61
Regulasi, 45, 46, 48
S
Daftar Indeks 141
sharing output, 121, 127
Sistem Irigasi, 29, 32, 79, 91
Sistem kontrak, 17, 45, 48, 55, 111,
112, 113, 123, 131
Subak, 28, 79, 80, 81, 83, 89, 90, 91,
93
sustainable model, 127
T
Tektek, 90
Teori Permainan (Game Theory),
75
Tri hita kirana, 90
U
Ulu-ulu, 26, 29, 32, 85, 90, 100, 113
Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA), 25, 32
Utilitas P3A (Agen), 75
utilitas pengelola, 116, 127
utilitas petani, 59, 116, 119, 120,
122, 127
Utilitas Petani (Prinsipal), 75
W
Water Code, 87, 90
-oo0oo-
142 Kelembagaan Irigasi