Penerjemahan Tiga Puisi Taufik Ismail--Mklh Teori Terjemahan
mklh MG
-
Upload
m-syaqib-arsalan -
Category
Documents
-
view
37 -
download
1
Transcript of mklh MG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang menyerang mekanisme
transmisi impuls neuromuskuler yang belum diketahui secara pasti penyebabnya.
Penyakit ini cenderung menyerang orang-orang muda umumnya para wanita.
Dugaan bahwa pathogenesis penyakit ini melibatkan sistem imun, didasarkan
adanya kenyataan bahwa umumnya dibarengi dengan adanya timoma, hyperplasia
timus, auto-antibodi atau penyakit-penyakit autoimun. Belakangan ini diketahui
bahwa antibody anti-reseptor untuk asetilkolin yang ada akan menghambat
transmisi neuromuskuler apabila auto-antibodi tersebut mengikat reseptor pada
“motor endplate”. Hambatan transmisi disebabkan pula karena terjadinya
peningkatan endositosis reseptor oleh sel otot disamping terjadinya kerusakan
motor endplate oleh aktivitas komplemen karena terbentuknya kompleks imun1.
Dengan adanya gangguan transmisi neuromuskuler tersebut maka
penderita mengalami kelemahan pada otot-otot seran lintang, tidak saja pada otot-
otot kerangka tetapi juga menyerang otot penggerak bola mata, otot wajah dan
otot pengunyah, otot faring,ehingga individu tersebut mengalami penderitaan
sebagai akibat kelemahan otot-otot bersangkutan. Hamper pada 90% dari
penderita MG diketemukan antibody anti-reseptor asetilkolin dalam serumnya1.
Sindrom klinis pertama kali dijelaskan pada tahun 1600. Pada akhirnya
tahun 1800-an, miastenia gravis (MG) dibedakan dari kelemahan otot akibat palsi
bulbaris sebenarnya. Pada tahun 1920-an, seorang dokter yang menderita MG
merasakan perbaikan setelah minum efedrin untuk mengatasi kejang perut saat
amenstruasi. Akhirnya pada tahun 1934, dokter lain dari Inggris (Mary Walker)
memperhatikan kemiripan gejala pada MG dan keracunan kurare. Dia
menggunakan fisotigmin antagonis kurare untuk mengobati MG dan mengamati
perbaikan yang terjadi2.
Usaha pengobatan terhadap penyakit ini yaitu pemberian obat-obatan anti-
cholinesterase (pyridogstimine dan neostigmine) dalam jangka panjang dan kalau
1
perlu timektomi. Pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif sangat
memberikan harapan. Dengan adanya usaha pengobatan tersebut maka terjadi
perbaikan prognosis terhadap penyakit tersebut, karena dapat diharapkan sekitar
90% penderita yang diobati mengalami perbaikan selama 5 tahun1.
Kematian umumnya disebabkan oleh insufisiensi pernapasan, walaupun
dengan perkembangan dalam perawatan intensif pernapasan, komplikasi baru ini
lebih dapat ditangani. Remisi spontan dapat timbul pada 10% hingga 20% pasien
dan dapat disebabkan oleh timektomi elektif pada pasien tertentu. Perempuan
muda yang berada pada stadium dini penyakit ini (5 tahun pertama setelah awitan)
dan yang tidak merespons terapi obat dengan baik sebagian besar mendapat
keuntungan dari prosedur ini2.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat :
a. Memahami tentang penyakit Miastenia Gravis
b. Memahami Epidemiologi Miastenia Gravis
c. Memahami patofisiologis Miastenia Gravis
d. Memahami klasifikasi Miastenia Gravis
e. Memahami manifestasi klinis Miastenia Gravis
f. Memahami pemeriksaan penunjang Miastenia Gravis
g. Memahami penatalaksanaan medis Miastenia Gravis
h. Memahami asuhan keperawatan untuk Miastenia Gravis
1.3 Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
a. Apa pengertian Miastenia Gravis ?
b. Bagaimana Epidemiologi Miastenia Gravis ?
c. Bagaimana patofisiologis pada Miastenia Gravis ?
d. Apa saja jenis klasifikasi Miastenia Gravis ?
e. Bagaimana manifestasi klinis pada Miastenia Gravis ?
f. Bagaimana pemeriksaan penunjang Miastenia Gravis ?
2
g. Bagaimana penatalaksanaan medis Miastenia Gravis ?
h. Bagaimana asuhan keperawatan Miastenia Gravis ?
1.4 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam makalah ini, yaitu:
a. Menjelaskan pengertian Miastenia Gravis
b. Bagaimana Epidemiologi Miastenia Gravis ?
c. Bagaimana patofisiologis pada Miastenia Gravis ?
d. Apa saja jenis klasifikasi Miastenia Gravis ?
e. Bagaimana manifestasi klinis pada Miastenia Gravis ?
f. Bagaimana pemeriksaan penunjang Miastenia Gravis ?
g. Bagaimana penatalaksanaan medis Miastenia Gravis ?
h. Bagaimana asuhan keperawatan Miastenia Gravis ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit muscular miastenia
gravis adalah gangguan yang memengaaruhi transmisi neuromuskular pada otot
tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang(volunter). Miastenia gravis
merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuscular
dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunteer dan
lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal)
(price dan Wilson, 1995)3.
Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang secara bertahap
menyebabkan kehilangan kekuatan otot-otot dan fungsinya. Miastenia gravis
(MG) adalah penyakit autoimun yang melemahkan otot. Nama berasal dari kata
Yunani dan Latin yang berarti "kelemahan otot"4,5.
Miastenia gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah satu-
satunya penyakit neuromuscular yang menggabungkan kelelahan ccepat otot
voluntary dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan dapat butuh waktu
10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal)2.
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf kranial6.
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan
transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan
unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler
yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba
pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat
4
memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat
otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian
terjadilah kontraksi otot.1
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
berperanan.1
2.3 Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis diantaranya:
1. Pengobatan
a. Obatan-obatan antikolinesterase
b. Laksative atau enema
c. Tranq’uilizer atau sedatif
d. Potasium depleting diuretic
e. Antibiotik seperti aminoglikosid, tetrasiklin, polimiksin, antiaritmia,
prokainamide, quinine
f. Narkotik analgetik
g. diphenilhydramine
2. Alkohol
3. Perubahan hormonal
4. Stress
5. Infeksi
6. Perubahan suhu/temperatur
7. Panas
8. pembedahan
2.4 Epidemiologi
Miastenia gravis banyak dijumpai pada orang berusia 10-30 tahun.
Dibawah 40 tahun, miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita.
Sementara di atas 40 tahun banyak pada pria dengan puncak usia awitan adalah 20
5
tahun, dengan rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 3:1.
Puncak kedua walaupun lebih rendah daripada yang pertama, terjadi pada laki-laki
tua usia dalam decade tujuh puluhan atau delapan puluhan2, 7.
Prevalensi miastenia gravis diperkirakan 14 per 100.000 populasi, namun
ada juga yang mengatakan 15 per 100.000 populasi, dengan insidensi kasus baru 1
per 100.000 populasi per tahun. Dan 36.000 kasus terjadi di Amerika Serikat2, 8.
2.5 Patofisiologis
Otot rangka atau otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin yang
berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak. Nervus ini
mengirim keluar aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis menuju perifer.
Nervus yang bersangkutan bercabang berkali-kali dan mampu merangsang 2000
serabut otot yang dipersarafinya disebut unit motorik. Walaupun masing-masing
neuron motorik mempersarafi banyak serabut otot, namun masing-masing serabut
otot dipersarafi oleh neuron motorik2.
Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan serabut
otot disebut sinaps atau taut neuromuscular. Taut neuromuscular adalah sinaps
kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: elemaen
parasinaptik, elemen pascasinaptik, dan celah sinaptik dengan lebar sekitar 200 Ǻ
diantara dua elemen. Elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang berisi
vesikel sinaptik dengan neurotransmitter asetilkolin. Asetilkolin disintesis dan
disimpan dalam akson terminal (buoton). Membrane plasma akson terminal
disebut membrane prasinaps. Elemen pascasinaps (membran pasca enghubung),
atau ujung lempeng motorik dari serat otot. Membrane pascasinaps dibentuk oleh
invaginasi yang disebut saluran sinaps membrane otot atau sarkolema ke dalam
tonjolan banyak lipatan (celah subneural), yang sangat meningkatkan luas
permukaan. Membrane pascasinaps juga mengandung reseptor asetilkolin dan
mampu membangkitkan lempeng potensial aksi otot. Asetilkolinesterase yaitu
enzim yang merusak asetilkolin juga terdapat dalam membrane pascasinaps.
Celah sinaptik mengacu pada ruangan antara membrane prasinaptik. Ruang
6
tersebut terisi oleh bahan gelatin yang dapat menyebar melalui cairan ekstraselular
(CSF)2.
Apabila inpuls saraf mencapai taut neuromuscular, membrane akson
prasinaptik terminal terpolarisasi, menyebabkan pelepasan asetilkolin ke dalam
celah sinaptik. Asetilkolin menyeberangi celah sinaptik secara difus dan menyatu
dengan bagian reseptor asetilkolin dalam membrane pascasinaptik. Masuknya ion
Na secara mendadak dan keluarnya ion K menyebabkan depolarisasi ujung
lempeng yang diketahui sebagai ujung lempeng potensial (end-plate potential,
EPP). Ketika EPP mencapai puncak membrane otot tidak bertaut yang menyebar
sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini merangkai serangkaian reaksi yang
menyebabkan kontraksi serabut otot. Begitu terjadi transmisi melewati celah
penghubung neuromuscular, asetilkolin akan dirusak oleh enzim
asetilkolinesterase. Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan lebih
dari cukup untuk menyebabkan suatu potensial aksi2.
Dalam MG, konduksi neuromuskularnya terganggu. Jumlah reseptor
asetilkolin normal menjadi menurun yang diyakini terjadi akibat cedera autoimun.
Antibody terhadap protein reseptor asetilkolin telah ditemukan dalam serum
banyak penderita MG. penentuan bahwa hal ini akibat kerusakan reseptor primer
atau sekunder yang disebabkan oleh agen primer yang tidak diketahui akan sangat
bermanfaat dalam menentukan pathogenesis pasti dari MG2.
7
Gambar 1. Proses pada neuromuscular junction
8
Gambar 2. Perbedaan dari neuromuscular junction normal dan neuromuscular
junction pada miastenia gravis
Pada penderita MG, otot tampaknya normal secara makroskopik,
walaupun mungkin terdapat atrofi disuse. Atrofi terjadi akibat kurangnya latihan
atau aktivitas. Secara mikroskopik, pada beberapa pasien dapat ditemukan
infiltrate limfosit dalam otot dan organ lain namun kelainan tidak selalu
ditemukan dalam otot rangka2.
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan
pada transmisi implus saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan
atau hilangnya reseptor normal membaran postsinaps pada sambungan
9
neuromuskular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70% sampai 90%
reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular setiap individu. Miastenia
gravis dipertimbangkan sebagai penyakit aut oimun yang bersikap melawan
reseptot asetilkolin (AchR) yang merusak transmisi neuromuskular6.
Antibodi anti asetilkolin reseptor ditemukan pada 80-90% penderita
miastenia gravis. Mekanisme pasti hilangnya toleransi imunologis terhadap
reseptor asetilkolin belum dapat di pahami. Miastenia gravis dapat dianggap
penyakit yang dimediasi sel B, sebagai antibodi (produk B) yang melawan
reseptor asetilkolin adalah penyebab penyakit ini. Meski demikian, peran sel T
dalam patogenesis Miastenia gravis menjadi semakin jelas. Timus adalah organ
pusat dalam imunitas yang dimediasi sel T. Abnormalitas timus seperti hiperplasia
timus atau timoma,terlihat jelas pada penderita miastenia gravis7.
Pengikatan antibodi reseptor asetilkolin terhadap reseptor tersebut,
menyebabkan gangguan transmisi neuromuskular melalui beberapa jalan.
Hubungan silang 2 reseptor asetilkolin berdekatan dengan antibodi anti reseptor
asetilkolin, mempercepat internalisasi dan degradasi molekul reseptor asetilkolin,
menyebabkan kerusakan pada lipatan junction dari membran post sinapsis. Jalan
lainnya adalah dengan menghambat pengikatan asetilkolin pada reseptor
asetilkolin, dan menurunkan jumlah reseptor asetilkolin reseptor pada
neuromuskular junction dengan merusak lipatan junction pada membran
postsinapsis, yang akhirnya menyebabkan penurunan daerah permukaan yang
tersedia untukinseri reseptor asetilkolin yang baru disintesa7.
Pasien tanpa antibodi anti-reseptor asetilkolin, dikenal sebagai miastenia
gravis seronegatif. Banyak dari pasien-pasien ini dengan SNMG yang memiliki
antibodi terhadap muscle-specific-kinase (MuSK). MuSK berperan penting dalam
diferensiasi postsinaps dan mengumpulkan reseptor asetilkolin. Pasien dengan
antibodi anti-MuSK sebagian besar adalh perempuan,dan sering mengenai otot
respirasi dan bulbar. Penelitian lain melaporkan, beberapa pasien mengalami
kelemahan respirasi, bahu dan leher yang dominan7.
10
Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membran postsinaps pada sambungan neuromuskular
Penurunan hubungan neuromuskular
Gangguan autoimun yang merusak reseptor asetilkolin
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada membran postsinaps
Kelemahan otot-otot
11
Kematian
Krisis miastenia
Otot-otot okular Otot wajah, laring, faring
Otot volunter Otot pernapasan
Kelemahan otot-otot rangka
Gangguan otot levator palpebra Regurgitasi
makanan ke hidung pada saat menelan, suara
abnormal, ketidakmampuan menutup rahang
Ketidakmampuan batuk efektif,
kelemahan otot-otot pernapasan
Ptosis dan diplopia
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi 4, yaitu7:
1. Kelompok I: Miastenia okular. Hanya menyerang otot-otot okular, disertai
ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan. Awitan lambat, biasanya pada mata,
lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang. Awitan bertahap, seing disertai
gejala-gejala okular, berlanjut semaki berat dengan terserangnya seluruh
otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia dan sukar mengunyah lebih
nyata dibanding miastenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena.
Respon terhadap trapi obat kurng memuaskan dan aktivitas pasien terbatas,
tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut. Awitan yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai trserangnya otot-otot
pernafasan. Biasany penyakit berkembang maksimal dala 6 bulan. Respon
terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis
gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok V: Miastenia berat lanjut. Miastenia gravis berat lanjut timbul
paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala kelompok I& II. Miastenia gravis
berkembang perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respn terhadap obat dan
prognosis buruk.
Disamping klasifikasi tersebut, dikenal pula adanya beberapa bentuk
varian miastenia gravis, yaitu9:
a. Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari satu bulan. Jenis
ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan
kemungkinan 1:8 dan disebabkan oleh masuknya antibodi anti-reseptor asetilkolin
ke dalam janin melalui plasenta.
12
b. Miastenia anak-anak (juvenile myasthenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis
pada dewasa.
c. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat atau tak lama setelah bayi lahir. Tak ada
kelainan imunologik dan antibodi anti-reeptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis
ini tidak progresif.
d. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas.
Biasa terjadi pada miastenia kogenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis
dewasa.
e. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh
terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Seringkali berkaitan
dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda
dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-
otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan ocular tidak
mencolok, dan reflex tendo menurun atau negative. Sering kali penderita
mengeluh mulutnya kering.
f. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang dari ¼ dari para penderita miastenia gravis tidak menunjukkan
adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian ini terdapat pada pria dari
golongan I (okular) dan IIB. Tiadanya antibodi tidak menunjukkan bahwa
penderita tidak akan memberi respon terhadap pemberian prednison, obat
sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.
g. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid,
penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan,
penderita dapat mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan
menghilang setelah D-P dihentikan.
13
h. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum,
yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf mmotorik. Akibatnbya
adalahparalisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin
botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E
terdapat pada ikan laut (sea food). Intotoksikasi biasanya terjadi sesudah makan
makanan dalam kaleng yang tidak sterilisasi secara sempurna.
Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin.
Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia dan disartri. Pupil dapat dilatasi
maksimal. Kelemahan terjadi pola desenden selama 4-5 hari, kemudian mencapai
taha stabil (plateau). Paralisis otot penafasan dapat terjadi begitu cepat dan
bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan
lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering,
konstipasi, retensi urin).
2.7 Manifestasi Klinis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat hipotesis terbaru
bahwa MG adalah suatu gangguan autoimun yang mengganggu fungsi reseptor
asetilkolin dan menurunkan efisiensi taut neuromuscular. MG paling sering timbul
sebagai penyakit tersembunyi bersifat progresif, yang ditandai oleh kelemahan
dan kelelahan otot. Namun keadaan tersebut tetap terbatas pada kelompok otot
tertentu. Perjalanan penyakit sangat bervariasi pada setiap pasien sehingga sulit
untuk menentukan prognosis2.
Tanda dan gejala yang terdapat pada penderita miastenia gravis antara lain,
sebagai berikut 4,7,10,11,12:
- Kelemahan otot
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang
setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini mengalami kelelahan hanya karena
penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir rambut, mengunyah dan
14
berbicara, dan harus menghentikan segalanya untuk istirahat. Gejala yang muncul
sesuai dengan otot yang terpengaruh. Otot-otot simetris terkena, umumnya itu
dihubungkan dengan saraf kranial.
- Terkulai/turunnya salah satu atau kedua kelopak mata(ptosis)
Gambar 3. Ptosis (drooping eyelid)
Pada 90% pasien gejala awal melibatkan otot okular yang menyebabkan
ptosis dan diplopia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot
levator palpebra kelopak mata. Bila penyakit terbatas pada otot mata, perjalanan
penyakit sangat ringan dan tidak meningkatkan angka mortalitas. Mata terlihat
tidak terbuka sepenuhnya, jika kelopak mata kemudian penglihatan akan
terhalang., hal ini disebut dengan ptosis.
- Penglihatan kabur atau penglihatan ganda (diplopia) karena kelemahan otot
mengendalikan pergerakan mata
Penglihatan terhadap gambar lebih dari satu, akibat dari kelemahan otot-
otot yang menggerakkan mata bersama-sama secara sejajar. Sebagian orang
mengalami penglihatan yang samar (kabur) dibandingkan penglihatan ganda
ketika mata melihat.
- Kelemahan dalam pelukan, tangan, jari, kaki, leher, dan anggota gerak,
masalah berjalan dan kesulitan duduk
Juga mengenai otot-otot yang mengendalikan pernapasan, leher, dan
anggota gerak. Gelang bahu dan pelvis dapat terkena pada kasus berat; dapat
terjadi kelemahan umum pada otot skelet. Beberapa pasien sekitar 15% sampai
20% meneluh lemah pada tangan dan otot-otot lengan, dan biasanya berkurang,
15
pada otot kaki mengalami kelemahan, yang membuat pasien jatuh. Berdiri,
berjalan, atau bahkan menahan lengan di atas kepala (misal, ketika menyisir
rambut) dapat sulit dilakukan.
- Kelemahan otot wajah, perubahan dalam ekspresi wajah
Ekpresi wajah pasien yang sedang tidur terlihat seperti patung, hal ini
disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Otot wajah, laring, dan faring juga
sering terlibat dalam MG. keterlibatan ini dapat mengakibatkan regurgitasi
melalui hidung ketika berusaha menelan (otot patum); bicara hidung yang
abnormal; dan tidak dapat menutup mulut, yang disebut sebagai tanda rahang
menggantung (hanging jaw sign). Dengan terkenanya otot wajah, pasien akan
terlihat seperti menggeram bila mencoba tersenyum
- Sulit menelan
Kelemahan pada otot-otot bulbar menyebabkan masalah menguyah dan
menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.
- Gangguan berbicara (dysarthia)
Pengaruhnya pada laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam
membentuk bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata.
- Sesak napas (merasa seperti Anda tidak bisa mendapatkan cukup udara)
Tingkat kelemahan otot yang terjadi pada miastenia gravis, berbeda antara
pasien satu dengan pasien yang lain. Mulai dari terlokalisasi yang melibatkan
banyak otot, termasuk otot yang mengendalikan pernapasan. Kelemahan
diafragma dan otot-otot interkostal progresif menyebabkan gawat napas, yang
merupakan keadaan darurat akut. Keterlibatan otot pernapasan dibuktikan dengan
batuk lemah, dan akhirnya serangan dispnea, dan ketidakmampuan untuk
membersihkan mucus dari cabang trakheobronkial.
Secara umum, beristirahat dan agen antikolinesterase dapat meringankan
gejala MG. gejala diperberat oleh (1) peubahan keseimbangan hormonal (missal,
selama kehamilan, fluktuasi dalam siklus menstruasi, atau gangguan fungsi
tiroid); (2) penyakit yang terjadi pada waktu yang bersamaan khususnya infeksi
traktus pernapasan atas dan yang berkaitan dengan diare dan demam; (3) emosi
kekecewaan, sebagian besar pasien mengalami kelemahan otot yang lebih ketika
16
kecewa; (4) alcohol (khususnya dengan air tonik yang terdiri dari kuinin, yaitu
obat yang meningkatkan kelemahan otot) dan obat-obat lain2.
2.8 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi
bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat
menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan
respirator untuk membantu pernapasan selama krisis berlangsung. Komplikasi
lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasi makanan, dan pneumonia.
Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat
penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi,
pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih
(terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stress emosional.
2.9 Diagnostik
1. Penegakan diagnostik Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di
kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam
batas normal4.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like
face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal4.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
17
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher4.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-
jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan4.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi4.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut3 :
18
Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.
Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau
atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian
tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis,dapat dilakukan beberapa
tes antara lain3 :
Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-
otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis.
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu
akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.
Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan
lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
19
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis miastenia gravis pada awalnya didasarkan pada gambaran klinis
sebagai berikut: bangun tidur merasa segar atau tidak merasakan gangguan apa-
apa, makan siang (penderita melakukan aktivitas tertentu sebagai suatu aktivitas
tertentu sebagai suatu aktivitas rutin) penderita merasa makin lemah atau mudah
lelah, pandangan ganda (diplopia), atau suara makin lemah dan kesulitan menelan.
Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnosis sebagai berikut6,7,9:
a. Tes tensilon (edrofonium klorida) atau Acetylcholinesterase Inhibitor
Obat-obat aksi pendek seperti endrophonium atau neostigmine, diberikan
untuk menegakkan apakah paresis disebabkan difesiensi aktivasi reseptor
asetilkolin postsinapsis. Dengan menghambat asetilkolinestarase pada synaptic
cleft.usia hidup transmitter asetilkolinyang dilepaskan dari terminal presinapsis
menjadi lebih lama, meningkatkan kemungkinan interaksi dengan reseptor post
sinapsis7.
Pada subyek normal, usia asetilkolin sinaps lebih dari cukup untuk
melakukan interaksi yang memadai agar otot dapat bekerja, sehingga
memperpanjang usia asetilkolin lebih jauh tidak meningkatkan kekuatan otot. Ada
beberapa bukti bahwa dosis standar edrophonium sebesar 10 mg melemahkan otot
normal, kemungkinan melalui hambatan depolarisasi ringan. Sensifitas uji
edrophonium sekitar 95% pada myasthenia tergeneralisasi, dan di laporkan serupa
pada myasthenia okuler dengan ptosi7.
Meski begitu, diplopia gagal merespon pada sekitar sepertiga pasien.
Myasthenia yang telah berlangsung lama, mungkin tidak merespon sama
sekali.hasil positif palsu juga ditemukan pada kondisi neuromuscular, neuropatik
dan sentral lainnya, meliputi brain stem gliomas dan tumor lain7.
Endrophonium intervena diberikan dengan dosis awal 2 mg, diikuti setelah
satu menit oleh dosis 3-4 mg. Efeknya mulai dirasakan dalam 30-40 detik dan
menghilangkan setelah 8-10 menit. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-
2 mg intravena, mka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Dosis pada anak-anak
adalah 1 mg untuk pasien dibawah 34 kg dan 2 mg untuk pasien di atas berat
20
tersebut. Efek samping yang umum terjadi adalah aktivitas muskarinik yang
berlebihan termasuk keluarnya air mata, air liur, berkeringat, keram perut dan
mual. Bradikardi, hipotensi dan sinkope dapat terjadi. Untuk mengatasinya
biasanya digunakan atropine. Tes ini berkontarindikasi pada penderita asma dan
penyakit kardiak. Sebagai gantinya dapat dilakukan tes tidur7,9.
Penilaian efek endrophonium pada myasthenia okuler, harus dilakukan
dengan cermat. perbaikan ptosis adalah tanda yang paling meyakinkan. Untuk otot
ekstra okuler, pemeriksaan posisi yand digunakan, terkadang disertai Lancaster
red-green test atau skrining Hess. Meski begitu, posisi okuler pada sekitar 25%
pasien dengan myasthenia akan memburuk dengan penggunaan endrophonium7.
Tes ini akan bermanfaat apabila pemeriksaan antibody antireseptor
asetilkkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negative sementara
secara kllinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Injeksi endrofonium
(Tensilon), merupakan medikasi yang memudahkan transmisi impuls sambungan
mioneural, yang digunakan untuk menentukan diagnosa. Dalam 30 detik setelah
injeksi intarvena endrofonium, pada banyak pasien miastenia mengalami
peningkatan yang banyak sekali tetapi hanya sementara waktu. Peningkatan
kekuatan otot muncul setelah pengobatan agens-agens yang menggambarkan tes
positif ini dan selalu digunakan dalam menentukan diagnosis6,9.
Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas
(misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangkan ptosis, lengan dapat
dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital.
Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Tes ini dapat
dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG9.
a. Elektrofisiologis
Ini digunakan untuk menunjukkan dan menilai kelelahan dan variabIlitas.
Penurunan amplitude campuran sebesar 10% setelah diberikan stimulasi repetitif
terhadap saraf motorik pada 2-5Hz, dianggap kelemahan abnormal. Stimulasi
repetitif menunjukkan hasil positif pada sebagaian besar pasien dengan
21
myastenian tergeneralisasi, tetapi bisa normal pada 50% pasien myasthenia
okuler7.
Single-fibre EMG memungkinkan dilakukan pemeriksaan hubungan
temporal, antara aksi dua serat berbeda dalam satu otot selama kontraksi. Pada
penderita myasthenia ketidakstabian trasmisi neuromuscular di tunjukkan oleh
variabilitas jitter interval ini. Sensifitas lebih dari 90% pada myasthenia
tergeneralisasi dan sekitar 85% pada myasthenia okuler. Karenanya, cara ini lebih
baik dari pada stimulasi saraf secara berulang untuk pasien dengan temuan okuler
saja. Jitter pada single fiber EMG dalam otot anggota gerak, hanya menunjukkan
hasil positif pada 63% pasien dengan myasthenia okuler7.
b. Pemeriksaan antibody reseptor asetilkolin
Ini mengkonfirmasi imunopatologis pada penyakit ini, dan muncul pada 80-
90% pasien dengan myasthenia tergeneralisasi dan pada sekitar 50-75% pasien
dengan myasthenia gravis okuler. Beberapa pasien denga myasthenia okuler dan
titer antibody normal, akan mengalami titer positif yang rendah setelah beberapa
bulan. Titer antibody actual tidak berhubungan dengan severitas penyakit, meski
perubahan severitas penyakit berhubungan dengan perubahan titer antibody7.
Beberpa penelitian menunjukkan titer antibodi positif lebih rendah pada
pasien dengan myasthenia okuler, meski penelitian ain tidak menunjukan
perbedaan. Antibody pada myasthenia okuler juga dapat berbeda secara kualitatif
dari mereka dengan myasthenia tergeneralisasi. Hasil antibody positif palsu tidak
biasa, tetapi dapat terjadi pada anggota keluarga pasien myasthenia dan pasien
dengan kondisi otoimun lain, seperti systemic lupus erythematosis dan Grave’s
ophthalmopathy7.
c. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk
melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan scan
tomografik9.
d. Tes Wartenberg
22
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.
Penderita diminta menatap mata tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas
bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang
terkenaa akan menujukkan ptosis9.
e. Tes prostigmin
Prostigmin 0.5-1.0 mg dicampur dengan 0.1 mg atropine sulfas disuntikkan
intramuskularis atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala
menghilang dan tenaga membaik9.
2.11 Diagnosa Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia
gravis, antara lain3,4:
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
2.12 Penatalaksaan Medis
Tujuan dari pengobatan dari penyakit ini yaitu adalah untuk mengeleminasi
atau setidaknya meminimalisasikan gejala. Perlemahan otot yang berat, diobati
dengan plasmaferesis atau terapi immunoglobulin intervena (IVIg) dengan onset
kerja cepat, terapi berdurasi pendek. Modalitas ini terkadang digunakan secara
teru-menerus, jika pasien tidak dapat mentoleransi dengan baik terapi
imunosupresan standar. Timektomi dapat meningkatlkan remisi pasien MG7.
23
a. Antikonesterase
Obat ini beraksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang relatif
tersedia pada persimpangan neuromuskular. Mereka diberikan untuk
meningkatkan respons otot-otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan
otot. Kadang-kadang mereka diberikan hanya mengurangi simtomatik6,7.
Obat-obatan dalam pengobatan digunakan piridostigmin bromida (Mestinon),
ambenonium khlorida (Mytelase), dan neostigmin bromida (Prostigmine)6.
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromide 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang mencolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral settara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atripin 0.5-1.0 mg. pemberian antikolinesterase akan
sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB7.
Banyak pasien lebih suka dengan piridostigmin karena obat ini menghasilkan
efek samping yang sedikit. Dosis ditingkatkan berangsur-angsur sampai tercapai
hasil maksimal yang diinginkan (bertambahnya kekuatan, berkurangnya
kelelahan), walaupun kekuatan otot normal tidak dapat tercapai dan pasien akan
mempunyai kekuatan beradaptasi terhadap beberapa ketidakmampuan6.
Obat-obat anti kolinesterase diberikan dengan susu, krekers, atau substansi
penyangga makanan lainnya. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, kram
abdominal, mual, muntah, diare, salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan
sekresi bronchial berlebihan. Efek samping gastro-intestinal dapat dilatasi dengan
pemberian propantelin bromide atau atropine.Dosis kecil atrofin, diberikan satu
atau dua kali sehari, dapat menurunkan atau mencegah efek samping. Efek
samping lain dari terapi antikolinesterase mencakup efek samping pada otot-otot
skelet, seperti adanya fasikulasi (kedutan halus), spasme otot dan kelemahan.
Pengaruh terhadap sistem saraf terdiri dari pasien cepat marah, cemas, insomnia
(tidak dapat tidur), sakit kepala, disartria (gangguan pengucapan), sinkope, atau
pusing, kejang dan koma. Peningkatan ekskresi saliva dan keringat, meningkatnya
24
sekresi bronkhial dan kulit lembab, dan gejala-gejala ini sebaiknya juga dicatat.
Perawat (dan pasien) memprioritaskan untuk memberi obat-obatan yang
ditentukan menurut jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol gejala-
gejala pasien. Pemberian obat-obatan dapat menyebabkan pasien tidak mampu
untuk menelan obat-obat oral dan ini menjadi masalah. Meningkatnya kekuatan
otot dalam satu jam setelah pemberian obat antikolinesterase merupakan hasil
yang diharapkan6,7.
Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk mengambil
obat sesuai dengan kebutuhan individu dan rencena waktu yang ditentukan.
Penyesuaian lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau emosional dan
terhadap infeksi baru yang muncul sepanjang perjalanan penyakit6.
b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon sesuai uuntuk miastenia gravis, dan
diberkan sekali sehari secara selang-seling (alternatedays) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap 5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaiman halnya apabila obat
dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol
tatau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat,
prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari. Hal ini
untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi
tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5mg/bulan) dengan tujuan memperokeh dosis
minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari7.
Prednison, digunakan dalam beberapa hari untuk menurunkan insiden efek
samping, dan terlihat dengan akses adanya penekanan penyakit. Kadang-kadang
pasien memperlihatkan adanya penurunan kekuatan otot setelah terapi dimulai,
tetapi ini biasanya hanya sementara. Pada perawatan dirumah sakit, pasien dapat
diberikan bel pemanggil yyang digunakan dalam situasi darurat dan harus
dipantau ketat tentang adanya tanda-tanda gagal napas6.
c. Plasmaferesis
25
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis
50ml/KgBB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu
singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat
imunosupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian
belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat member hasil yang
baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah7.
d. Penatalaksanaan Pembedahan13,14,15
Pada pasien miastenia gravis timus tampak terlibat dalam proses produksi
antibodi AChR. Timektomi (pembedahan mengangkat timus) menyebabkan
pengurangan penyakit substansial, terutama pada pasien dengan tumor atau
hiperplasia kelenjar timus. Timektomi yaitu membuka sternum karena seluruh
timus harus dibuang13.
Hal ini dianggap bahwa timektomi pada awal perjalanan penyakit adalah
terapi spesifik, sehingga tindakan ini mencegah pembentukan antireseptor
antibodi. Setelah pembedahan, pasien dipantau diruang perawatan intensif untuk
memberikan perhatian khusus dalam fungsi pernapasan13.
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia
gravis sejak tahun 1940dan untuk pengobatanthymomadenga atau tanpa miastenia
gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang
hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis1.
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggung jawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru
menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia
gravis13.
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien13.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi
memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun
kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskandan masih tidak dapat dibuktikan
26
oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasienmulai mengalami
perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit
yangmenunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-
obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka resmi setelah pembedahan adalah
antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya
percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif
adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan13.
Gambar 4. Letak Kelenjar Timus
Krisis miastenik adalah awitan tiba-tiba kelemahan otot pada pasien miastenia
dan biasanya akibat dari kurangnya medikasi atau tanpa medikasi kolinergik sama
sekali. Selain itu krisis miastenik akibat dari progresi penyakit itu sendiri,
gangguan emosional, infeksi sistemik, medikasi khusus, pembedahan atau trauma.
Krisis ini bermanifestasi dengan awitan tiba-tiba berupa gawat napas akut dan
ketidakmampuan menelan atau bicara. Kelemahan respirasi, laring, dan bulbar
muskulatur dapat menyebabkan depresi pernapasan, dan obstruksi jalan napas jika
tidak diobati dengan tepat6.
Krisis miastenik dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara
cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian ini
adalah sebagai berikut7:
27
- Kontrol jalan nafas
- Pemberian antikolinesterase
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Krisis kolinergik disebabkan oleh kelebihan obat-obatan kolinergik atau agens
antikholinesterase. Selain itu kelemahan otot dan depresi pernapasan pada krisis
miastenik, pasien ini mengalami bervariasi gejala gastrointestinal, yang mencakup
mual, muntah dan diare, demikian pula berkeringat, peningkatan produksi saliva
dan bradikardi6.
Krisis kolinergik disebabkan oleh pemberian antikolinesterase yang
berlebihan. Tindakan terhadap kasus demikian ini adalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, kemudian diberikan
lagi dengan dosis yang lebih rendah
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Kewaspadaan medikasi. Sejumlah medikasi memperberat miastenia gravis,
dan pasien dianjurkan untuk konsul dengan dokter sebleum, mengkonsumsi
medikasi apa pun termasuk antibiotik, obat kardiovaskuler, antikejang, obat
psikotropik, morfin, quinin, dan agens-agens yang berhubungan, penyakit beta
dan obat yang tidak diresepkan. Novokain harus dihindari dan juga nasehat pada
pasien dengan gangguan gigi6.
2.13 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada
saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu
dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan degan cara memberikan
pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit Miastenia gravis yang
dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum minuman
beralkohol, khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur dengan
air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini merupakan suatu obat yang
memudahkan terjadinya kelemahan otot.
28
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan
menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien
Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah dan
tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan
adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara
pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh
individu, yang bisa dilaksanakan dengan; Timektomi, Kortikosteroid,
Imunosupresif yang biasanya menggunakan Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar
penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi
komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan.
Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita
oleh individu.
b. Istirahat yang cukup
c. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan
kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d. Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat
antikolinesterase secara berlebihan.
2.14 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada
orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang,
terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada
otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal,
10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat,
mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-
20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal
penyakit terjadi pada 10% Miastenia gravis. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
29
2.14 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pasien miastenia gravis selalu dikelola sebagai paien di luar rumah sakit yang
membutuhkan tes diagnostik atau untuk menatalaksanakan gejala atau komplikasi.
Riwayat kesehatan dan pengkajian berfokus pada pasien dan pengetahuan
keluarga tentang penyakit dan program pengobatan perlu dikembangkan. Makin
mereka banyak mengetahui, makin kecil pasien mengalami komplikasi6.
- Riwayat Penyakit Saat Ini
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Keadaan
ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien mencoba menelan
(otot-otot palatum); menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal; dank lien
tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung3.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah dan
akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan klien tak lagi mampu membersihkan
lendir dari trachea dan cabang-cabangnya3.
Pertanyaan yang diajukan dapat berupa8:
Apa yang diperhatikan oleh pasien atau orang lain?
Kapan kelemahan tampak paling jelas: setelah aktivitas; menjelang malam
hari?
Adakah kelelahan?
Pernahkah ada penglihatan ganda?
Adakah msalah bicara, menelan, atau bernapas?
Peernahkah pasien menjalani terpai; imunosupresi; anti-kolinergik, atau
plasmaferesis?
- Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat
kondisi miastenia gravis seperti hipertensi dan diabetes mellitus3.
Pertanyaan yang diajukan dapat berupa8:
Adakah riwayat kondisi autoimiun lain?
Adakah riwayta timoma atau timektomi?
30
- Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan
dengan keluhan klien saat ini3.
Pengkajian Psikososiokultural
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi pada kebanyakan
klien kelemahan otot jika mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya
kelemahan pada kelopak mata ptosis, diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi
verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri3.
Pengkajian Fisik
Seperti telah disebutkan sebelumnya, akhir-akhir ini miastenia gravis diduga
merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan
mengurangi efisiensi hubungan neuro muscular. Keadaan ini sering
bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Penyakit ini
dapat tetap terlokalisasi pada sekelompok otot tertentu saja. Oleh karena
perjalanan penyakitnya sangat berbeda pada masing-masing klien, maka
prognosisnya sulit ditentukan3.
Pengkajian yang dapat dilakukan berupa8:
Adakah kelemahan otot?
Periksa setelah gerakan berulang.
Periksa gerakan mata
Cari ptosis dan gerakan mata abnormal
Minta pasien melihat ke atas
Apakah bicara pasien normal atau melemah saat bicara panjang?
Minta pasien menghitung sampai 100
Jika ada dugaan gejala pernapasan atau kelemahan, nilai fungsi pernapasan
dengan spirometri dan analisa gas darah.
B1 (Breathing)
31
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien yang disertai adanya
kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi
atau stridor pada klien, menunjukkan adanya akumulasi secret pada jalan napas
dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan3.
B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular terutama dilakukan untuk memantau
perkembangan dari status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan darah
yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya
status pernapasan3.
B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pengkajian yang paling banyak di antara
pengkajian lain pada system persarafan3.
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf I-XII.
Saraf I. Biasanya pada klien epilepsy tidak ada kelainan, terutama pada fungsi
penciuman.
Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh
adanya penglihatan ganda.
Saraf III, IV, dan VI. Sring didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia,
mimik dari pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada
nervus VI.
Pengkajian Refleks. Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal3.
Pengkajian Sistem Sensorik. Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya
didapatkan sensasi raba dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh3.
B4 (Bladder)
32
Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membran postsinaps pada sambungan neuromuskular
Penurunan hubungan neuromuskular
Gangguan autoimun yang merusak reseptor asetilkolin
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada membran postsinaps
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya menunjukkan berkurangnya
volume pengeluaran urin, yang berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal3.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena ketidakmampuan menelan
makanan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan3.
B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunteer memberikan hambatan pada mobilitas
dan mengganggu aktivitas perawatan diri3.
33
Otot-otot okular Otot wajah, laring, faring
Otot volunter Otot pernapasan
Kelemahan otot-otot rangka
Gangguan otot levator palpebra Regurgitasi
makanan ke hidung pada saat menelan, suara
abnormal, ketidakmampuan menutup rahang
Ketidakmampuan batuk efektif,
kelemahan otot-otot pernapasan
Ptosis dan diplopia
Kelemahan otot-otot
Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d kelemahan otot pernapasan
2. Jalan napas tidak efektif b.d akumulasi secret, kemampuan batuk menurun
3. Risiko tinggi aspirasi b.d penurunan control tersedak dan batuk efektif
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan
5. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan otot-otot volunteer
6. Intoleransi aktifitas
7. Gangguan komunikasi verbal b.d disfonia, gangguan bicara
8. Gangguan citra diri b.d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
34
5. Hambatan mobilitas fisik
6. Intoleransi aktivitas8. Gangguan
citra diri
1. Ketidakefektifan pola napas
2. Ketidakefektifdan bersihan jalan napas3. Risiko tinggi
aspirasi4. Gangguan
pemenuhan nutrisi
7. Kerusakan komunikasi verbal
Kematian
Krisis miastenia
Perencanaan
Sasaran pada klien ini meliputi kemampuan klien untuk berkomunikasi dan klien
mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi yang dihadapi.
1. Pola napas tidak efektif
Pola napas tidak efektif b.d kelemahan otot pernapasan
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien
kembali efektif
Kriteria hasil : irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, bunyi
napas terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan kapasitas
ventilasi, perawat mengkaji frekuensi
pernapasan, kedalaman, dan bunyi napas,
pantau hasil tes fungsi paru-paru (volume
tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi),
dengan interval yang sering dalam
mendeteksi masalah paru-paru, sebelum
perubahan kadar gas darah arteri dan
sebelum tampak gejala klinik
Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman
pernapasan, laporkan setiap perubahan yang
terjadi
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan
kedalaman pernapasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan
kondisi klien
Baringkan klien dalam posisi yang nyaman
dalam posisi duduk
Penurunan diafragma memperluas daerah
dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal
Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR) Peningkatan RR dan takikardia merupakan
indikasi adanya penurunan fungsi paru
Lakukan auskultasi suara napas tiap 2-4 jam Auskultasi dapat menentukan kelainan
suara napas paru-paru
Kemungkinan akibat dari berkurangnya
atau tidak berfungsinya lobus, segmen, dan
35
salah satu dari paru-paru
Pada daerah kolaps paru suara pernapasan
tidak terdengar dengan jelas
Hal tersebut dapat menentukan fungsi paru
yang baik dan ada tidaknya atelektasis
paru.
Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan
napas dalam yang efektif
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk
atau napas dalam. Penekanan otot-otot
dada serta abdomen membuat batuk lebih
efektif
Kolaborasi untuk pemasangan respirator Respirator mengambil alih fungsi ventilasi
yang terganggu akibat kelemahan dari otot-
otot pernapasan
2. Intoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik secara umum, keletihan
Tujuan: infeksi brunkhopulmonal dapat dkendalikan untuk mengendalikan edema
inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernafasan minor
yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki paru-paru normal
Kriteria hasil: frekuensi nafas 16-0x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit, dan kemampuan
batuk efektif dapat optimal, tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas
Menjadi data dasar dalam melakuakn
itervensi selanjutnya.
Atur cara beraktivitas klien sesuai
kemampuan
Sasaran klien adalah memperbaiki
kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klen harus
belajar tentang fakta-fakta dasar mengenai
agen-agen antikolineserase-kerja, waktu,
penyesuaian dosis, dan efek toksik. Dan
yang terpenting pada penggunaan medikasi
36
dengan tepat waktu adalah ketegasan.
Evaluasi kemampauan aktivitas motorik Menilai tingkat keberhasilan dn terapi yang
telah diberikan.
3. Gangguan citra diri
Gangguan citra diri b.d adanya ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan : citra diri klien meningkat
Kriteria : mampu menyatakan atau mengomunikasikan dengan orang terdekat tentang
situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap
situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negative.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan
hubungan dengan derajat ketidakmampuan
Menentukan bantuan individual dalam
menyusun rencana perawatan atau
pemelihara intervensi
Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi
pada klien
Beberapa klien dapat menerima dan
mengatur perubahan fungsi secara efektif
dengan sedikit penyesuaian diri,
sedangkan yang lain mempunyai
kesulitan membandingkan mengenal dan
mengatur kekurangan
Catat ketika klien menyatakan terpengaruh
seperti sekarat atau mengingkari dan
menyatakan inilah kematian
Mendukung penolakan terhadap bagian
tubuh atau perasaan negative terhadap
gambaran tubuh dan kemampuan yang
menunjukkan kebutuhan dan intervensi
serta dukungan emosional
Pernyataan pengakuan terhadap penolakan
tubuh, mengingatkan kembali fakta kejadian
tentang realitas bahwa masih dapat
menggunakan sisi yang sakit dan belajar
mengontrol sisi yang sehat
Membantu klien untuk melihat bahwa
perawat menerima kedua bagian sebagai
bagian dari seluruh tubuh. Mengizinkan
klien untuk merasakan adanya harapan
dan mulai menerima situasi baru
37
Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan
memperbaiki kebiasaan
Membantu meningkatkan perasaan harga
diri dan mengontrol lebih dari satu area
kehidupan
Anjurkan orang yang terdekat mengizinkan
klien melakukan sebanyak-banyaknya hal-hal
untuk dirinya
Menghidupkan kembali perasaan
kemandirian dan membantu
perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi
Dukung perilaku atau usaha seperti
peningkatan minat atau partisipasi dalam
aktivitas rehabilitasi
Klien dapat beradaptasi terhadap
perubahan dan pengertian tentang peran
individu masa mendatang
Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan
konsentrasi lethargi, dan menarik diri
Dapat mengindikasikan terjadinya
depresi umunya terjadi sebagai pengaruh
dari stroke di mana memerlukan
intervensi dan evaluasi lebih lanjut
Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi
dan konseling bila ada indikasi
Dapat memfasilitasi perubahan peran
yang penting untuk perkembangan
perasaan
BAB III
38
PENUTUP
A. Kesimpulan
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf kranial.
Tanda dan gejala yang terdapat pada penderita miastenia gravis antara lain,
sebagai berikut:Kelemahan otot, terkulai/turunnya salah satu atau kedua kelopak
mata(ptosis), penglihatan kabur atau penglihatan ganda (diplopia) karena
kelemahan otot mengendalikan pergerakan mata, masalah berjalan, cara berjalan
yang tidak stabil, kelemahan dalam pelukan, tangan, jari, kaki, leher, dan anggota
gerak, kelemahan otot wajah, perubahan dalam ekspresi wajah ,sulit menelan,
gangguan berbicara (dysarthia),sesak napas (merasa seperti Anda tidak bisa
mendapatkan cukup udara),kesulitan duduk.
Diagnosa Keperawatan yang muncul yaitu;Pola napas tidak efektif b.d
kelemahan otot pernapasan,jalan napas tidak efektif b.d akumulasi secret,
kemampuan batuk menurun,risiko tinggi aspirasi b.d penurunan control tersedak
dan batuk efektif, ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan,kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan otot-otot
volunteer,intoleransi aktifitas,gangguan komunikasi verbal b.d disfonia, gangguan
bicara, gangguan citra diri b.d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal.
B. Saran
Guna menyempurnakan makalah ini, diharapkan adanya masukan saran dan
kritik dari para pembaca. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis
maupun pembaca agar dapat memahami lebih lanjut tentang asuhan keperawatan
untuk penyakit miastenia gravis. Untuk dosen yang mengampu atau dosen yang
memberikan tugas dalam pembuatan makalah ini agar dapat menjelaskan pada
39
mahasiswa lebih detail lagi pada bagian yang masih kurang pada pembahasan
yang dilakukan pada saat diskusi.
DAFTAR PUSTAKA
40
1. Prof. Subowo, dr.MSc., PhD. Imunologi klinik edisi ke-2. Bandung: Sagung Setoy. 2010.
2. Price SA, Lorraine MW. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC, 2005.
3. Muttaqin, Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika. 2008.
4. Torpy JM., Tiffany JG., Richard MG. Myasthenia Gravis. The Journal of the American Medical Association. 2005; 293(15).
5. Penn AS., Henry JK. Myasthenia Gravis. U.S. Department of Health and Human Services, Office on Women’s Health. 2008; 1-5.
6. Brunner, Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3 Edisi 8. Jakarta: EGC. 2002.
7. Anonymous. Gangguan Otoimun Pada Otot. Ethical Digest. 2008;49.
8. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005.
9. Jonathan Gleadle.At a glance Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : penerbit Erlangga. 2007.
41