minor media edisi (R)UANG

16
MINOR Media Orang Biasa Edisi 2/2012

description

tentang ruang dan uang

Transcript of minor media edisi (R)UANG

Page 1: minor media edisi (R)UANG

MINORM e d i a O r a n g B i a s a Edisi 2/2012

Page 2: minor media edisi (R)UANG

Butuh uang demi mendapatkan

ruang dan butuh ruang untuk

membrojolkan uang. Jadi

seperti kasus “telor atau ayam duluan?”

atau seperti dua sisi mata uang. Mata

uang pencaharian demi mendapatkan

obat pencahar. Pencahar untuk

menggelontorkan kesumpekan segala

input terhadap ruang gerak dan ekspresi

manusia kota saat ini yang sudah terpola

dan dibelai rutinitas. Selamat.

Mau ho’oh manggut aja ngikudin

rutinitas hari gini? hey hey, sisakanlah

beberapa spasi ruang dalam diri anda

mungkin untuk sekedar berkontemplasi

atau mengimajinasikan hal-hal yang

menyenangkan diri. Setelah diri sendiri

senang cobalah hadirkan ruang untuk

menyenangkan orang lain. Semua usaha

akan selalu demi orang lain pada akhirnya.

Anda tahu segala yang Anda konsumsi

adalah hasil imajinasi mereka mereka yang

benar-benar gila untuk mengoptimalkan

kekuatan pemikirannya.

Dan sekarang Anda yang mengonsumsinya

dengan uang yang Anda dapatkan dari

rutinitas yang tentu saja mengecilkan

ruang potensi diri.

Jadi kenapa saja mengeluh menghidupkan

ruang imajinasi yang jelas-jelas gratis

bahkan bisa diperluas melebihi kontrakan

tiga petak yang sudah amat sangat lumrah

bagi manusia-manusia indonesia ini.

ternyata masih ada kan ruang yang tanpa

mengeluarkan uang? :D

TERAS

(R)UA

NG

2

Page 3: minor media edisi (R)UANG

Huruf-huruf yang berantakan namun

secara tidak sadar itu merupakan

keteraturan. Pastinya berlebihan

menyesaki ruang yang memiliki

keterbatasan, tapi apa daya memang

harus dimasukkan menjadi sampul

majalah yang ternyata mini ini.

Sempit, namun menggelitik. Tinggal

memilih lebih suka membaca uang

atau ruang? yang jelas kedua hal itu

sangat menarik dan merupakan hal

yang krusial dalam menunjang hidup.

Uang untuk mendapatkan ruang atau

ruang untuk mendapatkan uang?

•Teks & Desain Sampul oleh:

SAmpUl hikAyAt

temAN ke temA

TERAS | MINORITA “kioS mini Sendiri berjendela dUnia” - “membajak Tambak”

“SelalU ada jalan, SeSemPiT aPaPUn iTU celah” | MINORAKSI “moToroToar ProjecT”

NGUPINI “mencari laPak di megaPoliTan” - “(b)Uang” - “Telor molor”- “norak TaPi enak”

MERAPATAN - “aSem dUa,ciPeTe” | MAjU jAyA

DAPATKAN DI TEMPAT-TEMPAT YANG TIDAK BIASA, JIKALAU TIDAK MENDAPATKAN

SILAKAN MAMPIRLAH KE:

Desain Sampul“M”

Desain HalamanMurethy

Zulfikar Arief

Kontributor TulisanBhatara B. Nasution

Adhitya DwisetyoAstrid Septriana

Kontributor FotoCipun

Adhitya DwisetyoRhandy Murethy

Kontributor KreasiCipun

Adhitya DwisetyoIndra Porhas Siagian

Chika LandisHalimatu Syadiyah

Lendy Bambang PutraYesy Marchita

Kontake-mail:

[email protected]

twitter: @media_minor

blog:www.minor.tumblr.com

sms:0857 1925 5751

www.issuu.com/minormedia

MINORM e d i a O r a n g B i a s a

MUGENIH, Juragan kambing“au’ apah!”

M. PRASETYA, Tattoo artist “Jikalau mencari wanita sebaiknya memiliki ruang yang sempit”

FARAH WARDANI, Art Writers“Dua2nya (ruang & uang)

sesuatu yg diperebutkan :)”

M. Fariza, Teknik SIpil“r’uang..dengan uang memang

bisa mendapat segala ‘ruang’ yg nyaman,kecuali ruang kubur...”

3

Page 4: minor media edisi (R)UANG

MINORITA

Pada hari minggu itu terlihat keramaian di pinggir jalan. Puluhan orang berjalan

disana melihat-lihat, kadang berhenti kadang tidak peduli. Kalau di luar negeri namanya windows shopping disini juga sama ,namun tidak pakai window. Di pertigaan Rempoa, Jakarta Selatan terlihat berbagai macam usaha kaki lima. Diantaranya terlihat biasa saja, namun Kios buku bekas yang terbangun dari material kayu yang dijaga oleh seorang pria berkulit sawo matang dan tegap itu memancing mata memandang.

Bang Sisco yang bernama lengkap Fransisco Siahaan berasal dari Medan, datang ke Jakarta untuk mengadu nasib bersama sepupunya. Berbekal ijazah SMK Akuntasi dan nyali dikumpulkan keberaniannya untuk pergi merantau. Bertahan di Jakarta harus pintar-pintar, “Jakarta keras lae!” pernah sepupunya berkata.

Kios Mini Sendiri

Berjendela Dunia

4

Page 5: minor media edisi (R)UANG

Sepupu, yang namanya tidak disebutkan oleh Bang Sisco, adalah orang yang mengajaknya dan berinisiatif untuk membuka kios buku bekas ini. Sebelumnya, sepupu Bang Sisco pernah bekerja di toko buku. Namun karena jenuh dan merasa kurang puas terhadap lingkungan kerjanya, ia keluar. Pengalaman bekerja tersebut memberikan banyak pengetahuan tentang bagaimana menjalankan sebuah bisnis toko buku. Mulai dari manajemen, mengatur keuangan hingga hal-hal detil seperti koneksi dan mengatur pasokan buku bekas terus mengalir.Kios buku bekas, menurut Bang Sisco, adalah pasar yang

belum tergarap dengan baik, dan sedikit yang masih memilih bisnis ini. Kios buku bekas di tiap tempat keramaian dapat dibilang masih bisa dihitung dengan jari. Pemain yang masuk pasar terbilang sedikit dan kebutuhan akan buku murah, terutama mahasiswa, terus meningkat seiring bertambahnya jumlah mahasiswa dan tidak akan punah. Wah hebat juga, pikir Saya tentang bagaimana pengetahuan Bang Sisco tentang dunia yang digelutinya.

Mungkin abang yang satu ini tidak hanya menjaga kios namun membaca buku-bukunya juga. Dan benar, di tangannya terdapat buku berjudul “Reinkarnasi” yang ditandai dengan lipatan kertas pada halaman terakhir yang ia baca sebelum Kami mengganggu dan membombardirnya dengan pertanyaan. Bagus lah, makin banyak kios buku makin bertambah kesadaran akan membaca.

*Salah seorang dari kami pun memboyong buku “Pengantar Antropologi” karya Koentjaraningrat dan empat buah komik yang sedang diincar beberapa waktu ini.

Hati girang, Bang Sisco pun senang.

Teks: Bhatara B. Nasution | Foto : Cipun

Kios buKu beKas di tiap tempat Keramaian dapat dibilang masih bisa dihitung dengan jari. pemain yang masuK pasar terbilang sediKit dan Kebutuhan aKan buKu murah, terutama mahasiswa, terus meningKat seiring bertambahnya jumlah mahasiswa dan tidaK aKan punah.

5

Page 6: minor media edisi (R)UANG

memBAJAk “tAmBAk”

Teks: Bhatara B. Nasution | Foto : Cipun

Sore itu di Manggarai, dua tim bermain sepakbola. Satu dua operan dilakukan, satu dua tackle diperagakan, satu dua kartu dikeluarkan. Tidak jarang emosi tersulut,

namun sama-sama mereka belajar sportifitas. Pukul 6 petang, mereka masih beradu keringat dengan semangat, di jalan aspal bukan di rerumputan. Fenomena ini terletak tepatnya di Jalan Tambak, sebuah jalan raya di kawasan manggarai.

Setiap akhir pekan, sore hari jalan tambak dipergunakan untuk bermain futsal. Puluhan anak-anak sampai usia remaja berseragam klub kesayangannya dan bersepatu futsal berkumpul, prinsipnya asal ada bola dan teman semua orang bisa bermain bola, dimana saja. Meskipun tidak semegah lapangan futsal yang dimiliki swasta, fasilitas di jalan tambak tidak kalah, walaupun dengan sedikit perubahan.

MINORITA

6

Page 7: minor media edisi (R)UANG

Bukan karena alasan “kere”, menggunakan bola sepak plastik agar apabila keluar jalan tidak menganggu kendaraan yang lewat, tiang gawang yang biasanya terbuat dari besi digantikan dengan bambu agar mudah dipindah-pindahkan. Biaya bermain? Tidak ada. Uang keamanan pun tidak dipunggut, hal ini karena semua tahu tempat itu adalah jalan raya.

Jalan tambak terbagi dua arah pada hari biasa untuk kendaraan berlalu-lalang. Namun pada akhir pekan, satu sisi ditutup dengan bangku kayu yang menandakan sedang ada pertandingan futsal disitu. Warga sekitar juga mafhum dengan keadaan tersebut. Disamping sering juga digunakan untuk sekedar bocah-bocah bermain ala kadarnya mereka berpikir bahwa pertandingan futsal dapat menjadi sarana untuk menyalurkan adrenalin ketimbang tawuran yang sudah identik tersemat pada kawasan Manggarai.

Selain untuk bermain futsal pada akhir pekan, Jalan Tambak juga sering menjadi pasar malam atau bazaar rakyat setiap hari Kamis. Selain itu pernah juga dilangsungkan acara pelantikan Ketua RT/RW di kawasan tersebut. Ruang publik yang benar-benar “public” pantas diberikan pada Jalan Tambak mengingat kepemilikan lahan untuk beraktivitas di daerah ini terbilang jarang dan mahal. Dan bukankah inisiatif untuk berkegiatan adalah hal yang tidak dapat mungkin dicegah pada setiap manusia?

Biaya Bermain? Tidak ada. Uang keamanan pUn Tidak dipUnggUT, hal ini karena semUa TahU TempaT iTU adalah jalan raya.

7

Page 8: minor media edisi (R)UANG

MINORITA

Bukan, kalimat tersebut bukan pepatah atau kalimat motivasi yang sedang in saat ini kok. Kalimat tersebut cocok untuk menggambarkan pangkas rambut Salwa yang terletak di jalan Purisakti, Jakarta Selatan.

Tersebutlah Pak Anwar yang menggawangi ruangan mungil yang cukup bagi satu orang untuk dipangkas rambutnya plus gang kecil dibelakangnya persis untuk lalu lalang pejalan kaki dan kendaraan roda dua.

Ruangan yang terhubung dengan gang rupa-rupanya yang membuat perlalulalangan terjadi. Terhubung menuju beberapa kontrakan dibelakangnya dan bisa dikatakan kios pangkas rambut Salwa sebagai welcome view nya.

Dulunya adalah warung sebelum menjadi kios pangkas rambut. Agaknya memang inilah bentuk optimalisasi manusia urban dalam menyiasati ruangan yang terbatas dalam menjalankan usaha. Tidak

ada komplain dan gerutuan baik dari pelanggan maupun warga sekitar yang lalu lalang. Malah tampak bagai sebuah kekhasan tersendiri ketika mana ada lagi kios pangkas rambut yang ketika pelanggan sedang dicukur rambutnya bisa diinterupsi karena ada sepeda motor yang lewat.

Selalu ada jalan, sesempit apapun itu celah..

Teks: Shandy MurethyFoto: Rhandy Murethy

SElalu aDa jalaN, SESEMpIT apapuN iTu Celah...

8

Page 9: minor media edisi (R)UANG

MINORAKSI

MOTOROTOaRProjecT

sepeda motor masuK trotoar,

harap didorong!

mari Kembali hargai haK

pejalan KaKi.

Sok peduli? bagaimana kalau kita sebut “menjajal” peduli? Ini hanyalah perkara bagaimana memosisikan diri saja. Tidak usahlah mengukur ke wilayah “benar” atawa “salah”

terlebih lagi tanpa mencoba berbuat apa-apa. Dan “berbuat apa-apa” Minoraksi kali ini mencoba merasakan bagaimana menjadi pejalan kaki yang di perkosa haknya oleh pengendara sepeda motor di trotoar sekaligus mempertanyakan dari sisi desain grafis terkait efektifitas desain rambu. Sebenarnya bukan hanya pengendara sepeda motor saja yang berperan merongrong kenyamanan pejalan kaki bisa kita perhatikan seperti warung-warung semi permanen, kendaraan parkir seenaknya dan sebagainya juga turut berperan.

Kont

ribu

tor

Proy

ekan

sem

i-kam

pany

e ol

eh:

CiPu

N |

aDh

iTYa

DW

iSeT

YO |

iNDR

a P.

Sia

Gia

N |

hal

iMaT

u |

Chi

Ka l

aNDi

S

Ada

juga

dok

umen

tasi

vid

eony

a, s

ilaka

n m

ampi

r ke

blo

g M

inor

: htt

p://

min

orm

edia

.tum

blr.c

om/p

ost/

2005

6399

221/

min

i-cam

paig

n-m

otor

otoa

r-pr

ojec

t-mot

or-m

asuk

9

Page 10: minor media edisi (R)UANG

Sudah jadi pilihan lumrah sepeda motor saat ini merupakan solusi yang jitu untuk bepergian. Dari

sisi ongkos yang lebih masuk akal bila dibandingkan kita menggunakan angkutan umum sehingga mengambil kredit sepeda motorpun saat ini menjadi suatu ritual wajib tersendiri bagi warga urban. Jalan kaki kemudian naik angkutan umum pun sudah terlihat seperti “idealisme tersendiri” saat ini jika kita bisa pinggirkan sejenak urusan perekonomian masing-masing.

Namun ada satu sisi yang kontras terlihat jika kita melihat pengendara sepeda motor dengan pejalan kaki. Kontras antara kontrol kita terhadap tanggung jawab dalam mengendalikan sesuatu dan dampaknya terhadap yang lain. Jadi kalau boleh Saya yang notabene

pengendara sepeda motor juga berasumsi tentang sikap berkendara, sepertinya ada keengganan ketika kita menurunkan kaki menopang berat tubuh dan kendaraan saat berhenti, entah karena malas ataupun capek. Nah, ketika datang saat macet ataupun tersendatnya arus lalu lintas datanglah hasrat untuk “menyimpan” energi dengan masuk ke trotoar. Disinilah bukti bagaimana kontras itu tadi terlihat, sudah enak naik kendaraan yang memiliki tenaga diluar tenaga manusia itu sendiri namun masih saja menggunakan ruang bagi mereka yang masih menggunakan energi lahiriah. yes, pedestrian (pejalan kaki) pun jadi korban.

Korban? jangan berlebihan ah, memangnya pejalan kaki kami tabrak? kami kan hanya lewat, menyolek pejalan

kaki saja tidak kok! Mungkin benar juga asumsi seperti itu terlebih lagi orang kita ini kan memang tenggang rasa dan welas asih. Tapi hal itu kurang tepat ketika Saya suatu waktu berjalan kaki di trotoar kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Ketika ada pengendara sepeda motor yang sangat “sopan” masuk ke trotoar dan menglakson Saya dan pejalan kaki sekitar (pergeseran fungsi klakson atau otak pengendara tersebut yang sudah “geser”?). Tersinggung dan tidak percaya merupakan rasa yang paling awal muncul mengingat saat itu merupakan jam pulang kantor yang pastilah banyak yang berjalan kaki di trotoar. Sontak saja pejalan kaki di samping Saya berteriak marah kepada si pengendara. Hanya itu yang bisa dilakukan.

MINORAKSI - motorotoar project

10

Page 11: minor media edisi (R)UANG

11

Tapi tunggu dulu, itu termasuk “wajar” beberapa hari kemudian Saya melihat ada pengojek berpenumpang wanita yang terlihat canggung melintasi trotoar itu melawan arah di tengah orang-orang berjalan pada waktu yang sama, dan parahnya lagi saat itu sedang ada proyek galian tanah yang masih menganga di pinggirannya.

Para pelaku Minoraksi kali ini pun juga pernah melakukan hal seperti itu pastinya termasuk Saya. Sembari mengkritik kesadaran pribadi ini agaknya Saya mulai menaruh perhatian bagaimana dari sisi desain rambu yang sepertinya tidak berfungsi atau lebih tepatnya lebih “berbunyi”. Rambu untuk para pedestrian pun sudah tercipta, tapi jujur saja, apa sih magisnya desain rambu tersebut? hanya plat logam berwarna berdiri tanpa interupsi apapun.

Setelah melalui beberapa obrolan, teman-teman Minor pun sepakat mendesain sebuah rambu nyeleneh - “Motorotoar”. Rambu yang gambarnya tidak lumrah -orang yang sedang mendorong sepeda motor- sebagai sebuah “gangguan mata” bagi yang melihatnya dan gangguan kecil yang mengharuskan mendorong sepeda motor jika memang ingin masuk ke trotoar, ya sama seperti para pedestrian, harap jalan kaki!

Minoraksi kali ini digerakkan oleh Halimatu Syadiyah (memegang rambu Motorotoar yang menunjukkan kegiatan ini bersifat semi kampanye dan sebagai bentuk kritik rambu yang kaku dan tidak “bunyi” jika hanya berdiri sendiri dan

mencoba melihat bagaimana reaksi orang terhadapnya) , Adhitya Dwisetyo dan Cipun Iqbal (mendokumentasikan), Chika Landis (pejalan kaki yang melambatkan jalannya agar pengendara sepeda motor resah dan sekaligus membagikan stiker Motorotoar sebagai materi kampanye,) Indra Porhas dan Murethy (memeragakan bagaimana mendorong sepeda motornya adalah Indra Porhas dan Murethy dengan cara menganggu barisan sepeda motor yang masuk ke trotoar) yang mengambil lokasi di halte bilangan Fatmawati, jakarta selatan pada saat sore hari.

Pemilihan lokasi ini juga menunjukkan ternyata kecenderungan pengendara yang melihat trotoar yang terbuka jalannya untuk masuk, seperti ketinggian trotoar yang terjangkau, atau tidak adanya semacam pembatas di ujung trotoar. Cemoohan-cemoohan terdengar ketika Kami berhasil mendorong tunggangan di tengah barisan Sepeda motor yang masuk trotoar. Namun ada juga yang minta maaf karena terlanjur tidak bisa mengikuti perintah rambu Motorotoar yang dipegang. Mungkin karena terlihat sok peduli? atau mungkin karena memang sebenarnya malu sendiri? yang pasti ini semua dilakukan karena Kita harus sadar PORSI.

*kami juga membagikan stiker

sebagai bentuk bahwa kegiatan ini

bersifat mini-kampanye. kunjungi

blog minor agar bisa mendownload

dan ikut membagikannya.

Teks: MurethyFoto : Cipun & adhitya Dwisetyo

sepertinya ada Keengganan KetiKa Kita menurunKan KaKi menopang berat tubuh dan Kendaraan saat berhenti, entah Karena malas atau capeK. nah, KetiKa datang saat macet ataupun tersendatnya arus lalu lintas datanglah hasrat untuK “menyimpan” energi dengan masuK Ke trotoar.

Page 12: minor media edisi (R)UANG

NGUPINI

Ditulis oleh:

Adhitya DwisetyoReporter dan

mahasiswa

apik nan resik

menggelitik

“Deret ukur berbanding terbalik dengan deret hitung, laju pertumbuhan penduduk berbanding terbalik dengan sumber daya alam yang tersedia,” kalau tidak salah kalimat itu yang dulu sering diucapkan guru ekonomi saya semasa SLTP. Saat itu sebagai bocah yang enggak terlalu peduli dengan masalah kepadatan penduduk, saya cuma coba menangkap maksudnya, ngerti, dan berharap bakal keluar untuk bahan ulangan (*pada masa itu namanya belum direvisi jadi ujian). Bertahun-tahun kalimat itu luntur dalam ingatan, dan kini seperti mendadak muncul seketika mengagetkan saya! Apalagi ditambah dengan perjalanan pulang kantor sore tadi, yang bisa dibilang amat ngehek.. Biasalah, problema pekerja 9-5 di area urban, tapi kali ini ditambah dengan menjamurnya pengemudi “raja jalanan” yang seenak-enak udelnya. Ditengah-tengah kemacetan saya jadi berpikir, mungkin memang benar ramalan bangsa Maya kalau tahun depan kiamat. Tapi kiamat yang terjadi cuma di kota bernama MEgapolitan ini, dimana para penduduknya bakal mati kemacetan. Ada yang mati kelaparan di mobil gara-gara tukang bakpao enggak bisa jualan lagi, karena lapaknya di separator jalan sudah jadi jalur untuk meyalip. Ada juga pengemudi motor yang mati sambil sms, karena sudah ribuan sms yang ia kirim tapi 1 cm pun enggak gerak tuh ban motor. Atau bahkan pejalan kaki yang sudah enggak leluasa melangkah, maju kena mundur kena (*pinjem quotesnya ndro).

Yup, lahan, tanah, space, apapun namanya itu merupakan barang yang tidak akan bertambah, dan sebenarnya enggak bakal berkurang juga. Terlihat seperti itu, karena manusia yang rupanya terlalu rajin bereproduksi. Para ahli tata ruang kota sudah mencoba beragam cara untuk mengakalinya. Seperti kita lihat pulau nyiur melambai di Dubai yang berhasil memodifikasi area maritim jadi lapak, atau parkiran bertingkat yang sudah diterapkan Republik Nippon sebagai solusi pungli. Tidak seperti dua kota tadi, MEgapolitan punya cara sendiri untuk menangulangi kepadatan penduduk, meskipun belum bisa dibilang tertanggulangi. Maklum,

caranya sendiri, kerjanya sendiri, untungnya pun sendiri, namanya juga MEgapolitan. Sebagai salah satu penduduk MEgapolitan yang sudah muak dengan segala macam keruwetannya, secara enggak sadar saya telah mengubah mindset tentang ruang. Di dalam benak saya, ruang di dunia maya terasa lebih real daripada benda-benda fisik di luar sana. Semua itu bermula ketika saya sedang rajin-rajinnya memantau lapak belanja online, kini malah ketagihan bergabung dalam beberapa forum. Sampai satu waktu, ada iklan pop up game online yang cukup ganggu di salah satu forum. Awalnya sih saya tidak acuh dengan tampilan dan copy yang sedikit menggoda, apalagi saya bukan tipe online gamers. Tapi ternyata game ini mampu mengingatkan saya pada game simulasi kehidupan sehari-hari, yang dulu sering saya mainkan. Bedanya, jika dulu saya cuma bisa berinteraksi dengan karakter-karakter ciptaan sendiri, kini juga bisa berinteraksi dengan karakter lain yang notabene mewakili identitas seseorang di luar sana. Enggak cuma sekedar chitt chatt dengan para penghuni di dunia game tadi, kita juga dapat memilih gaya karakternya, menata ruangan tempat ia tinggal, bahkan bekerja di bidang yang diinginkan. Pikiran saya pun kembali mengawang, “apakah saat penduduk MEgapolitan mengalami stagnasi total, mereka akah beralih menuju kehidupan di dunia maya?” Mereka nantinya saling berinteraksi, bertukar informasi dengan format data, kemudian menyimpan memorinya di file hosting. Semua aktivitas bisa dilakukan di kubikal yang hanya berukuran 4 x 4. Tiap kubikal ditanami sebuah komputer terintegrasi jaringan pemerintah, yang sudah disupport program dari MEgapolitan Sedayu Grup, selaku pengembang terbesar saat MEgapolitan masih berbentuk fisik. Beberapa menit kemudian saya tersadar dari lamunan yang enggak jorok tadi, karena saat hendak melakukan hal yang sedikit jorok dengan lawan bicara di game yang saya mainkan, tiba-tiba ada sebuah ikon yang membuat resah “flirt : $150, kiss : $400” bangsat!

Bum

i, ai

r dan

kek

ayaa

n al

am y

ang

terk

andu

ng d

idal

amny

a di

kuas

ai o

leh

Neg

ara

dan

dipe

rgun

akan

un

tuk

sebe

sar-

besa

rnya

kem

akm

uran

raky

at p

emod

al. P

asal

33

(3) U

ndan

g U

ndan

g Re

publ

ik R

upia

h.

Men

cari

Lapa

k Di

MEg

apol

itan

12

Page 13: minor media edisi (R)UANG

NGUPINI

Beragam alasan logis akan bercucuran keluar un-tuk membela prakarya hidup yang dimulai sejak mentari mulai menyapa, berkelut dengan kerumi-

tan jalanan, bersosialisasi, interaksi, berkata-kata dalam jejaring sosial saat penat pekerjaan tidak terbendung, hingga membenam-kan diri pada malam dan begitu seterus-nya. Lalu apa? rotasi perputaran uang. Senjata utama (kini) untuk bertahan pada ramainya tag price dalam keseharian. Memupuk sisihan uang, untuk rencana di masa yang akan dijelang nanti. Tapi tubuh seakan keha-bisan daya, mungkin akan segera habis sebelum kegilaan be-rakhir. Ya, memang tidak seironis itu. Uang pun membawa tawa, kadang secibir senyuman, kepuasan atau setidaknya nya-man, dan status dalam ranah sosial.

Entah ini hanya saya, atau bisa dilihat sebagai tren pekerja muda ibu kota. Tapi, saya merasa ada yang mengganggu isi kepala dengan mekanisme hidup sebagai pekerja ini. Seolah dalam keseharian ada kata ‘Produktif’! tapi disatu sisi ‘Spending’, bukan untuk menyebut konsumtif, lalu im-bang atau tidaknya, ketika berfikir kembali kadang hanya membuat saya malu sendiri. Hal yang paling membentak saya, adalah bagaimana tanggung jawab saya atas tubuh saya sendiri. Mungkin ia kelelahan, butuh oksigen lebih

untuk bernafas, ingin berlari dan lompat bebas.. persis seperti ketika saya masih kecil. Tapi logika kembali duduk tegap dan bertanya “bukankah kamu butuh makan? paka-ian layak? dan bersentuhan dengan aktivitas??! sudah jangan munafik, atau banyak mengeluh!”

Malam semakin kabur, hampir berganti pagi.. Hal ini tetap tidak menuju pencerahan. Justru semakin memb-esit pikiran liar, dan suatu titik saya men-emukan, mengapa tu-buh dan pikiran tidak sepakat? mengapa saya merasa ‘dekat’ dengan pikiran, tapi ‘berjarak’ dengan tu-buh? dan hanya bisa menerka maksud dari sakit kepala, tenggoro-kan perih, dan linu antara otot dengan tulang. Dalam jarak semacam ini, tercipta ruang berinterpretasi, berefleksi, berima-

jinasi. Uang yang turut membentuk pola hidup, perlu didapat perlu dikeluarkan, tapi ia juga perlu diberi ruang untuk dimaknai fungsinya. Ia manifestasi kehidupam kita sebagai manusia. Bukan untuk tunduk! Bukan untuk ditentang! tapi disesuaikan, dengan pemahaman dalam diri mengenai fungsinya, untuk memperlakukannya ses-uai dengan batasan tubuh kita sendiri. Untuk memaksa “mendapat” sebesar-besarnya dalam nominal uang. Atau “mengeluarkan” nominal tersebut diluar kemam-puan, Hanya terus membebani tubuh oleh kebendaan. Totalitas keduniaan!

Teks : Astrid Septriana (www.astridseptriana.wordpress.com)

Ilustrasi & Tata Letak : Zulfikar Arief (www.zulfikararief.blogspot.com)

13

Page 14: minor media edisi (R)UANG

NGUPINI

Malam

minggu ternyata malam yang

panjang. Jadi rada panjang ceritanya kalau ketika

tukang mie aceh dihadapkan pada situasi dimana dirinya dikibuli

oleh tukang nasi goreng. penjual versus penjual. Sebut saja om Helmi

(memang nama sebenarnya) seorang aceh yang juga membuka kedai mie aceh

disamping rumah pujaan hati saya. Ketika malam minggu yang panjang bersama pujaan hati

itu sedang digerecoki keponakannya yang cerewet bak mainan dengan baterai tak pernah habis, om

Helmi datang hendak meminjam motor untuk beli nasi goreng di ujung jalan.

Dua puluh menitan berlalu dan masih digerecoki sang keponakan, syahdunya malam minggu itu kita pindah ke

teras rumah. Tepat ketika om Helmi kembali dengan bungkusan nasi gorengnya plus gerutuan. Ya, gerutuan yang

ternyata sebuah pengalamannya terkait telor, dirinya begitu kaget sekaligus puas mengenai porsi telor. Alkisah, memang

nasi goreng ujung jalan itu (yah kita sebut saja seperti itu) sering menyajikan porsi dengan telur yang sedikit, tentu saja

dengan harga rata-rata nasi goreng, para pembeli pastilah tidak sreg dengan porsi telor yang ternyata di utak-atik. Apalah

maksud sepiring nasi goreng tanpa porsi telor yang sempurna.

Bertuturlah om Helmi tentang urusan telor ini, yang ternyata skill kecepatan tangan seorang pesulap juga ada pada tukang nasi

goreng tersebut, yakni kecepatan mengocok dan menuangkan telor yang ternyata tidak sempurna habis tuangannya ke atas wajan.

“Emang sih dalem tuh wadah ada telornya dan emang diaduk, tapi masalahnya gak dituang bener-bener” , cerocos om Helmi .gak

dituang bener-bener maksudnya itu adalah pada saat menuangkan telor, ternyata wadah berisi telor itu digerakkan sedemikian

rupa sehingga porsi satu telor yang sudah jadi hak om Helmi masih menyisa di wadah tersebut. “ Nah, sisanya buat pembeli

berikutnya…” tambahnya sembari geleng-geleng.

Valid atau tidak ceritanya sepertinya urusan ke tujuh, yang jadi soal adalah agak lucu bagi Saya, mengingat om Helmi yang

notabene ternyata seorang penjual mie aceh, dihadapkan pada situasi tersebut. Ibarat kata, om Helmi memnyelidiki

sebuah trik ekonomis yang kurang etis seorang penjual. “ Emang udah saya pantengin dari sudut mata, yah emang

gak abis pikir juga ternyata caranya kaya’ gitu” ujar om Helmi rada sotoy seraya pamit untuk menyantap nasi

gorengnya. Sebuah panggung pertunjukan telah terjadi disana: tempat nasi goreng ujung jalan, dengan

pemainnya: tukang nasi goreng dan pembelinya yang ternyata tukang mie aceh yang jeli. Diramu dengan

waktu yang tepat untuk membuat suatu trik diselidiki terjadi. Andaikata paranormal sekalipun

yang membeli, saya sangsi ia dapat memperhatikan permasalahan perteloran itu. Atau lebih

tepatnya meramalkan kejadian tuang porsi telor tersebut.

Malam minggu malam yang panjang, hati senang bertemu pujaan

sayang ditambah wawasan yang jarang-jarang dari

cerita sang pedagang…

Teks: Murethy

13

Page 15: minor media edisi (R)UANG

NGUPINI

Sepertinya lidah ini selalu gatal mencela mereka yang suka

hinggap di atas fly over pada malam hari, berderet panjang berhenti dengan sepeda motornya, syahdu bercengkerama dengan pasangannya. “Norak”, mungkin kata itu yang sering terlintas tertuju pada mereka, namun apa sepenuhnya benar?

Persetan dengan motivasi mereka untuk apa betah berada disana, tapi yang jelas dapat dipahami ini bukti bahwa masyarakat urban memang kekurangan ruang terbuka untuk berinteraksi. Coba

saja pikir ngedapetin dimana lagi pemandangan city night-skyview dengan gratis di Jakarta saat ini selain di mall atau tempat-tempat yang pastinya berbentuk gedung bertingkat?

Pemandangan dari ketinggian pada malam hari rupanya memang menjadi sudut pandang dan pengalaman asyik tersendiri. Ditengah-tengah sesak, sibuk, hiruk-pikuk ibu kota Jakarta yang tak kenal lelah, mungkin cara seperti inilah yang sedikitnya dapat memberikan waktu sejenak untuk berkontemplasi, gratis

dan mudah pula, yah, walaupun beberapa waktu ini ada himbauan dari pemerintah agar tidak menggunakan fly over sebagai tempat pacaran (tanpa memberi solusi seperti menyediakan ruang terbuka lebih dan inovatif).

Dari sini saja Saya pribadi dapat melihat hal yang bertolak belakang ketika melihat suasana macet yang sering kita “nikmati” bersama… ternyata cukup indah melihatnya dari ketinggian…. waduh?

Teks & Foto: Murethy

Norak tapi ENaktentang “wisata” di fly over

15

Page 16: minor media edisi (R)UANG

MAjU jAyA

Dengan ketepatan dan kecermatan dalam mengerjakan ide gagasan yang muncul bersama diharapkan hasil yang masimal sesuai dengan harapan kita semua. SWORKS dibangun sebagai sebuah pengrajin solutif, didukung oleh para tenaga ahli yang berpengalaman untuk memberikan layanan terbaik pada tingkat yang sangat kompetitif sekaligus tarif yang masuk akal untuk menjadi solusi dan karena itu SWORKS ada dan lebih baik.

JL. M Kafi 1 no 76 jagakarsa Jakarta selatan 12620T: 0217890477, 021 94650347, 02199928269E: [email protected]

MOTOROTOaRPROJecT

Motor Masuk Trotoar, Harap Didorong!Mari Hargai Hak Pejalan Kaki.

16