MEWUJUDKAN SISTEM BERPRESIDEN MURNI DI …jlp.uum.edu.my/images/file/Volume2-Mewujudkan.pdfbaru....

22
130 MEWUJUDKAN SISTEM BERPRESIDEN MURNI DI INDONESIA (Sebuah Gagasan dalam Ikhtiar Penyempurnaan Sistem Perlembagaan Indonesia) Abdul Bari Azed Fakultas Hukum Universitas Indonesia Corresponding email: [email protected] Abstrak Undang-Undang Dasar 1945 yang diperkenankan oleh PPKI pada 18 Ogos 1945 dan perubahan pada awal era reformasi membentuk sistem pemerintahan berpresiden. Pengukuhan sistem berpresiden merupakan salah satu terma Perjanjian Dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika menyusun pelan rancangan perubahan UUD1945 (1999-2002). Namun demikian, UUD 1945 hasil perubahan dari pelbagai peruntukan UU masih menunjukkan pengaruh kuatnya “rasa Parlementer”. Atas dasar itu, telah berkembang pemikiran dari berbagai tingkat di tanah air untuk melakukan pengukuhan sistem berpresiden dalam bentuk pemurnian sistem berpresiden, terutamanya melalui pindaan Perlembagaan 1945 dalam rangka menyempurnakan sistem perlembagaan Indonesia pada masa akan datang. Tujuannya adalah agar Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat berada dalam kedudukan yang tepat dengan mandat kuasa yang tidak bertindih dan dalam garis sempadan yang tegas dan tulus sebagaimana sistem berpresiden pada umumnya yang berlaku di negara- negara maju dalam sebuah sistem yang saling mengawal dan mengimbangi (checks and balances) secara efektif. Selain itu, ianya sebagai rangka untuk mewujudkan badan kepresidenan yang kuat dan efektif serta efisien dalam menjalankan tugasan fungsi pemerintahan (eksekutif) supaya ianya sesuai dengan mandat majoriti pengundi dalam pilihan raya umum secara langsung. Kata kunci: sistem berpresiden, Presiden, DPR, mengawal dan mengimbangi CREATING GENUINE PRESIDENCY SYSTEM IN INDONESIA Abstract Act of 1945 that allowed by PPKI on August 18, 1945 and changes at the beginning of the reformed during early era of presidency administration system of government. Strengthening presidency system is one of the terms of the Perjanjian Dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat when preparing plans changes on UUD1945 (1999-2002). However, the 1945 results of the various

Transcript of MEWUJUDKAN SISTEM BERPRESIDEN MURNI DI …jlp.uum.edu.my/images/file/Volume2-Mewujudkan.pdfbaru....

130

MEWUJUDKAN SISTEM BERPRESIDEN MURNI DI INDONESIA

(Sebuah Gagasan dalam Ikhtiar Penyempurnaan Sistem Perlembagaan

Indonesia)

Abdul Bari Azed

Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

Corresponding email: [email protected]

Abstrak

Undang-Undang Dasar 1945 yang diperkenankan oleh PPKI pada 18 Ogos 1945 dan

perubahan pada awal era reformasi membentuk sistem pemerintahan berpresiden.

Pengukuhan sistem berpresiden merupakan salah satu terma Perjanjian Dasar Panitia

Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika menyusun pelan

rancangan perubahan UUD1945 (1999-2002). Namun demikian, UUD 1945 hasil

perubahan dari pelbagai peruntukan UU masih menunjukkan pengaruh kuatnya “rasa

Parlementer”. Atas dasar itu, telah berkembang pemikiran dari berbagai tingkat di

tanah air untuk melakukan pengukuhan sistem berpresiden dalam bentuk pemurnian

sistem berpresiden, terutamanya melalui pindaan Perlembagaan 1945 dalam rangka

menyempurnakan sistem perlembagaan Indonesia pada masa akan datang. Tujuannya

adalah agar Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat berada dalam kedudukan yang

tepat dengan mandat kuasa yang tidak bertindih dan dalam garis sempadan yang tegas

dan tulus sebagaimana sistem berpresiden pada umumnya yang berlaku di negara-

negara maju dalam sebuah sistem yang saling mengawal dan mengimbangi (checks

and balances) secara efektif. Selain itu, ianya sebagai rangka untuk mewujudkan

badan kepresidenan yang kuat dan efektif serta efisien dalam menjalankan tugasan

fungsi pemerintahan (eksekutif) supaya ianya sesuai dengan mandat majoriti

pengundi dalam pilihan raya umum secara langsung.

Kata kunci: sistem berpresiden, Presiden, DPR, mengawal dan mengimbangi

CREATING GENUINE PRESIDENCY SYSTEM IN INDONESIA

Abstract

Act of 1945 that allowed by PPKI on August 18, 1945 and changes at the beginning of

the reformed during early era of presidency administration system of government.

Strengthening presidency system is one of the terms of the Perjanjian Dasar Panitia

Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat when preparing plans

changes on UUD1945 (1999-2002). However, the 1945 results of the various

131

provisions of the Act showed the influence of the strong "sense of Parliamentary". On

that basis, brains of various levels has evolved in the country to do the consolidation

system in the form of presidency purification systems, mainly through the amendment

of the Constitution in 1945 in order to enhance the constitutional system of Indonesia

in the future. The aim is that the President and the Parliament are in the right

position with the mandate of the powers do not overlap and within the boundaries of

the firm and sincere as presidency system generally accepted in developed countries

in a system of mutual control and balance (checks and balances) effectively. In

addition, it's a presidential order to create the body strong and effective and efficient

in carrying out its assignment functions of government (executive) so that it is in

accordance with the mandate of the majority of voters in the general election directly.

Keywords: presidency system, President, DPR, checks and balances

1.0 PENGANTAR

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (seterusnya disebut

‘UUD 1945’) baik sebelum pindaan mahupun setelah pindaan mengamalkan sistem

pemerintahan berpresiden. Pemilihan sistem pemerintahan tersebut dipilih oleh para

pengasas negara (the founding leaders) dan kemudiannya dikuatkuasakan oleh MPR

(Majelis Permusyawaratan Rakyat) ketika melakukan pindaan UUD 1945 pada awal

era reformasi berdasarkan pertimbangan bahawa sistem pemerintahan berpresiden

dianggap sistem yang paling tepat untuk negara Indonesia sesuai dengan ciri-ciri

bangsa yang majmuk (plural) merangkumi aspek etnik, agama, budaya, luasnya

wilayah negara, perjalanan bangsa sebelum kemerdekaan dan sesuai dengan

keperluan negara Indonesia itu sendiri.

Sistem berpresiden tersebut tetap diamalkan dalam perlembagaan Indonesia

ketika terjadinya gelombang reformasi pada tahun 1998. Walaupun terdapat pelbagai

tuntutan pindaan fundamental dari kumpulan-kumpulan reformis terutama dari

kalangan mahasiswa yang dalam perkembangannya dipenuhi oleh fahaman kerajaan

baru. Namun dalam hal berkaitan sistem pemerintahan, tidak ada desakan atau

tuntutan untuk mengubah sistem tersebut. Semua kumpulan bangsa telah bersepakat

bahawa sistem pemerintahan berpresiden adalah dianggap sesuai untuk mengatur

bangsa dan negara Indonesia.1

1 Walaupun tidak muncul desakan perubahan sistem pemerintahan, namun sempat muncul wacana

perubahan susunan negara (staatform), dari negara kesatuan menjadi negara federal. Wacana yang

digulirkan Ketua MPR sekaligus Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), salah satu partai

132

Bahkan ketika berlakunya pindaan UUD 1945 oleh MPR sebagai salah satu

perwujudan tuntutan reformasi, salah satu Perjanjian Dasar yang diputuskan oleh

Jawatankuasa Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH I BP

MPR) dalam peruntukkan kelengkapan MPR yang bertugas merumuskan tentang

rancangan pindaan UUD 1945 selain bersepakat dalam mempertahankan sistem

amalan berpresiden (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan sistem berkenaan

agar secara jelas memenuhi ciri-ciri umum sistem berpresiden).2 Kesepakatan dasar

ini menjadi garis panduan bagi PAH I BP MPR dalam merumuskan rancangan

pindaan perlembagaan dan menjadi panduan bagi MPR dalam membahas dan

mengesahkan rancangan pindaan perlembagaan tersebut.

Pindaan perlembagaan tersebut telah mengubah secara mendasar struktur

perlembagaan Indonesia terutama yang berkaitan dengan pengasingan kuasa dalam

negara selain telah terjadi pertindihan kuasa dari badan eksekutif (executive heavy)

kepada badan perundangan (legislative heavy).3 Melalui pindaan perlembagaan

tersebut, badan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat = DPR) mendapat mandat kuasa

yang sangat besar, sementara kuasa Presiden dikurangkan dan sebahagian kuasa

tersebut hanya boleh dilakukan dengan peranan DPR. Dalam pandangan lain, Patrialis

Akbar (2013) menjelaskan bahawa pindaan perlembagaan mengenai Presiden dalam

UUD 1945 adalah bertujuan untuk melakukan sekatan kuasa Presiden atau eksekutif

sekaligus meningkatkan kuasa perundangan dan kehakiman supaya ianya lebih

seimbang.4

politik yang dibentuk pada awal era reformasi, Amien Rais, ini tidak sempat berkembang luas karena

kerana segera mendapat penentangan dari berbagai kelompok bangsa, terutama pemerintah dan militer

serta partai politik besar PDIP dan Partai Golkar yang mendominasi MPR dan DPR saat itu. 2 Kesepakatan Dasar tersebut tercantum dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan

Badan Pekerja MPR RI untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Lima Kesepakatan Dasar tersebut adalah: 1. Sepakat untuk tidak mengubah

Pembukaan UUD 1945. 2. Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). 3. Sepakat untuk mempertahankan sistem berpresiden (dalam pengertian sekaligus

menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem berpresiden). 4. Sepakat untuk

memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam fasal-fasal UUD 1945,

dan 5. Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan pindaan terhadap UUD 1945. Lihat

Jimly Asshiddiqie, “Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional”, dalam

Rofiqul Umam Ahmad, et.al, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Pemikiran Prof.

Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Para Pakar Hukum, Jakarta: The Biography Institute, 2007, hlm. 8. 3 Pengantar Penerbit dalam Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, Malang: Setara

Press, 2012, hlm. ix. 4 Patrialis Akbar, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika,

2013, hlm. 107.

133

Sekatan kuasa Presiden tersebut mempunyai asas sejarah yang sangat kuat di

mana selama dua pemerintahan sebelum datangnya era reformasi iaitu masa

pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, kekuasaan negara adalah

terpusat di tangan Presiden. Hal itu disebabkan kerana UUD 1945 pada ketika itu

lebih terarah kepada executive heavy. Akibat dari keadaan tersebut, kuasa Presiden

telah berkembang dan menjadi semakin kurang demokratik seterusnya beralih lebih

jauh menjadi kepimpinan yang berbentuk autoritarian dan menindas pada akhir-akhir

tempoh kepimpinan kedua Presiden Indonesia tersebut. Atas dasar itulah, ketika

momentum pindaan perlembagaan terjadi pada awal era reformasi maka dilakukan

pindaan Perlembagaan 1945 dengan mengubah peralihan kekuasaan dari badan

eksekutif kepada badan legislatif.

Selepas selesainya pindaan UUD 1945 pada 2002 dalam bentuk Pindaan

Keempat, maka Indonesia memasuki fasa pelaksanaan UUD 1945 hasil dari pindaan

tersebut. Dalam perkembangannya walaupun UUD 1945 mengamalkan sistem

berpresiden, namun muncul pendapat bahawa perlembagaan Indonesia tersebut masih

mengamalkan ciri berparlimen dan dalam praktik perlembagaan juga masih bercirikan

sistem berparlimen. Keadaan ini sering disebut sebagai “sistem presidensial rasa

parlementer”.5 Hal ini antara lain diperuntukkan dengan besarnya peranan dan kuasa

DPR dalam kekuasaan negara, bahkan pelaksanaan sebahagian kuasa Presiden perlu

mendapat kebenaran dengan DPR. Dari sudut yang lain, Presiden tetap diberi kuasa di

bidang perundangan dalam bentuk kuasa membahas rang undang-undang (RUU)

bersama DPR, menjadi pihak yang menentukan kelulusan atau penolakan rang

undang-undang menjadi undang-undang, serta mempunyai kuasa mengajukan RUU

kepada DPR. Dalam praktik perlembagaan hal itu antara lain tercermin dalam sikap

Presiden yang sering mempertimbangkan suara DPR dalam proses merumuskan

sebuah dasar, bahkan menjadi peranan DPR sebagai acuan bagi Presiden dalam

membuat sesuatu dasar. Lazimnya hal ini terjadi apabila Presiden datang atau diusung

oleh parti politik minoriti di DPR.

5 Pernyataan sistem pemerintahan Indonesia adalah “presidensial rasa parlementer” atau “presidensial

aroma parlementer” antara lain disampaikan oleh Ketua MPR, Sidharto Danusubroto dan Ketua Umum

DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie dalam sambutannya pada pembukaan acara Focus Group

Discussion “Penguatan Sistem Presidensial” di kantor DPP Partai Golkar, di Jakarta, 4 Desember 2013.

134

Dalam keadaan seperti ini, sistem berpresiden yang diamalkan dalam

perlembagaan Indonesia dan dalam praktiknya masih belum mencapai kepada tahap

yang efektif atau murni. Akibatnya penyelenggaraan negara belum berjalan secara

efektif dan berkesan serta produktif kerana penerapan sistem pemerintahan tertentu

yang masih memuatkan sistem pemerintahan lain yang berbeza mendasar dengan

sistem yang dianuti. Atas dasar itulah muncul wacana, gagasan, dan desakan untuk

melakukan pemurnian sistem berpresiden (purifikasi sistem berpresiden) agar dapat

diwujudkan sistem berpresiden murni sebagai salah satu ikhtiar penyempurnaan

sistem perlembagaan Indonesia. Tujuannya agar penyelenggaraan negara menjadi

lebih berkesan dan produktif supaya mempermudahkan tercapainya cita-cita

penubuhan negara sebagaimana dirumuskan oleh para pengasas negara (the founding

leaders) dalam Pembukaan UUD 1945.

2.0 TINJAUAN TEORITIS TENTANG SISTEM BERPRESIDEN

Pakar politik C.F. Strong, menyebut bahawa dalam sistem pentadbiran negara-negara

di dunia ini terdapat dua jenis sistem pemerintahan iaitu sistem pemerintahan

berpresiden dan sistem pemerintahan berparlimen. Pengklasifikasian perlembagaan ke

dalam dua bentuk ini didasarkan pada sistem pembahagian atau pengasingan kuasa

yang terdapat di dalam suatu negara. Dalam sistem pemerintahan berparlimen, badan

eksekutif dan badan legislatif bergantung antara satu sama lain atau hubungan kedua

badan tersebut sangatlah erat. Sedangkan dalam sistem berpresiden, kelangsungan

hidup badan eksekutif tidak bergantung pada badan perundangan dan badan eksekutif

mempunyai tempoh masa jawatan yang telah ditentukan.6

Kategori pembahagian tersebut adalah bersifat umum kerana diluar dua sistem

tersebut terdapat sistem campuran atau kuasi parlimen atau kuasi berpresiden dan

terdapat juga yang menyebut sistem referendum. Dalam sistem referendum, badan

eksekutif merupakan sebahagian daripada badan perundangan yang disebut sebagai

badan pekerja perundangan.7

Pakar undang-undang perlembagaan Jimly Asshiddiqie (2006) bahkan

merumuskan terdapat empat model sistem pemerintahan, iaitu model Amerika

Syarikat (AS), Inggeris, Perancis, dan Switzerland. Amerika Syarikat mewakili sistem

6 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 110, 112.

7 Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, Malang: Setara Press, 2012, hlm. 46.

135

berpresiden, Inggeris mewakili sistem berparlimen, Perancis mewakili sistem

campuran, dan Switzerland mewakili sistem yang lain iaitu sistem kolegial di mana

presidennya merupakan suatu badan eksekutif yang terdiri dari 7 ahli.8

Dalam perkembangan sejarah negara-negara di dunia menurut Douglas V.

Verney (1979), sistem pemerintahan berpresiden menjadi salah satu sistem

pemerintahan yang paling banyak diamalkan di negara-negara perlembagaan

demokratik.9 Beberapa contoh negara yang mengamalkan sistem ini selain AS dan

Indonesia, di benua Asia antara lain adalah Afghanistan, Filipina, Republik Rakyat

China, Korea Selatan, dan Cyprus. Manakala di benua Amerika Latin diamalkan oleh

negara Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Colombia, Mexico, Panama, Peru, Uruguay,

Venezeula, dan Nicaragua. Di benua Afrika, antara lain Nigeria, Kenya, Tanzania,

Uganda, dan Zambia.10

Bagir Manan (2003) merumuskan ciri-ciri pemerintahan berpresiden dengan

merujuk kepada model AS sebagai berikut:

a) Presiden adalah pemimpin pemerintahan yang bertanggungjawab, selain sebagai

kuasa perlembagaan yang bersifat prerogatif dan biasanya melekat pada jawatan

ketua negara;

b) Presiden tidak bertanggungjawab kepada Badan Perwakilan Rakyat (Kongres)

dan tidak boleh dikenakan undi tidak percaya oleh Kongres;

c) Presiden tidak dipilih dan diangkat oleh Kongres. Dalam praktik amalannya

langsung dipilih oleh rakyat, walaupun secara formal dipilih oleh badan pemilih

(electoral college);

d) Presiden memangku jawatan selama empat tahun (fixed) dan hanya dapat dipilih

sebanyak dua kali untuk jawatan tersebut berturut-turut;

8 Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan

Kepala Daerah, Bandung: Alumni, 2004, hlm. 213. 9 Douglas V. Verney, The Analysis of Political System, London: Outledge & Kegan Paul, 1979, hlm. 1-

56. 10

Data lengkap dapat dilihat dalam Christopher N. Lawrence, “Regime Stability and Presidential

Government: The Legacy of Authoritarian Rule, 1951-90, paper in 2000 SPSA Conference,

Department of Political Science, The University of Missisippi, hlm. 22.

136

e) Presiden boleh diberhentikan dalam masa jawatannya melalui pemecatan kerana

melakukan pengkhianatan, menerima rasuah, melakukan kesalahan berat, dan

pelanggaran lain;11

Jimly Asshiddiqie (2006), menyatakan beberapa ciri penting sistem

pemerintahan berpresiden, iaitu:

a) Tempoh waktu jawatan Presiden dan Wakil Presiden adalah ditetapkan untuk

tempoh waktu tertentu, misalnya 4 tahun atau 5 tahun. Presiden dan Wakil

Presiden tidak dapat diberhentikan dari jawatannya di tengah perkhidmatannya

kerana alasan politik;

b) Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab kepada Parlimen, melainkan

secara langsung bertanggungjawab kepada rakyat. Presiden dan Timbalan

Presiden hanya dapat diberhentikan dari jawatannya kerana alasan pelanggaran

undang-undang yang biasanya terhad pada kes-kes tindakan jenayah tertentu;

c) Presiden dan Wakil Presiden lazimnya dipilih oleh rakyat secara langsung atau

melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan kekal

sebagaimana hakikat institusi Parlimen;

d) Presiden dan Wakil Presiden tidak tunduk kepada Parlimen, tidak boleh

membubarkan Parlimen dan sebaliknya Parlimen juga tidak boleh menjatuhkan

Presiden dan membubarkan kabinet sebagaimana dalam amalan sistem

berparlimen;

e) Dalam sistem ini tidak timbul adanya perbezaan antara fungsi ketua negara dan

ketua pemerintahan. Sedangkan dalam sistem berparlimen, perbezaan dan bahkan

pengasingan kedua jawatan itu merupakan suatu kelaziman dan kemestian;

f) Tanggungjawab pemerintahan berada di Presiden dan kerana itu Presidenlah pada

prinsipnya yang berkuasa membentuk kerajaan, menyusun kabinet, melantik dan

memberhentikan para menteri serta pegawai-pegawai awam yang dilantik dan

11

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII, 2003, hlm. 48-49.

137

pemberhentiannya dilakukan berdasarkan political appointment. Di atas Presiden

tidak ada lagi yang lebih tinggi, kecuali perlembagaan.12

Jimly Asshiddiqie (2006) melanjutkan menyatakan bahawa di lingkungan

negara-negara besar dengan tahap kepelbagaian penduduknya yang luas, sistem

berpresiden ini berkesan untuk memastikan sistem pemerintahan yang kuat dan

berkesan. Namun, seringkali kerana kuatnya pihak berkuasa yang dimilikinya, timbul

persoalan berkenaan dengan dinamika sistem demokrasi. Korea Selatan, Filipina, dan

Indonesia merupakan contoh yang paling sesuai berkaitan dengan kelemahan yang

berlaku sehubungan dengan diterapkannya sistem berpresiden ini. Bahkan

kemuncaknya, menimbulkan gelombang pendemokrasian yang kuat dan akhirnya

berjaya menumbangkan rejim otoritarian di ketiga negara tersebut.13

Sesebuah sistem pemerintahan berpresiden boleh disebut sebagai sistem yang

murni apabila ia memuatkan duabelas(12) ciri seperti berikut:

a) Presiden sebagai ketua negara dan ketua kerajaan;

b) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat;

c) Tempoh masa jawatan Presiden adalah pasti;

d) Kabinet atau dewan menteri dibentuk oleh Presiden;

e) Presiden tidak bertanggungjawab kepada badan legislatif;

f) Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif;

g) Menteri tidak boleh merangkap sebagai anggota badan legislatif;

h) Menteri bertanggungjawab kepada Presiden;

i) Tempoh masa jawatan menteri bergantung pada kepercayaan Presiden;

j) Peranan badan eksekutif dan legislatif dibuat seimbang dengan sistem semak

dan imbang;

12

Jimly Asshiddiqie, Jimly Assididiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2006, hlm. 204-206. 13

Ibid., hlm. 206.

138

k) Pembentukan undang-undang oleh badan legislatif tanpa melibatkan badan

eksekutif;

l) Hak veto Presiden terhadap undang-undang diperutukkan oleh badan

legislatif;14

Secara teoritik, kekuasaan Presiden dalam sistem pemerintahan berpresiden

adalah sangat besar. Selain sebagai ketua negara (head of state), Presiden juga

berkedudukan sebagai ketua pemerintahan (chief executive). Fungsinya sebagai ketua

negara berbeza dengan fungsinya sebagai ketua pemerintahan. Kedua fungsi atau

kuasanya tersebut diatur dalam perlembagaan atau UUD.15

Menurut pakar undang-undang Soehino, sistem berpresiden merupakan sistem

yang paling mendalam dalam ajaran Trias Politica dari Montesquieu. Dalam sistem

ini, baik pemerintahan kekuasaan negara mahupun pengasingan badan-badan yang

memegang pelaksanaan kuasa negara tersebut dilakukan secara sempurna, terutama

antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Antara kedua-dua badan tersebut tidak

ada hubungan saling bertanggungjawab, sehingga tidak wujud faktor saling

menjatuhkan atau membubarkan.16

John Pieris (2007) menambah bahawa peluang Presiden menjadi penguasa

autoritarian dalam sistem berpresiden adalah sangat besar. Dengan erti kata lain,

dengan menggunakan kuasa yang mutlak pemerintahan yang dipimpinnya sering

mendatangkan ancaman bagi demokrasi. Jika dibandingkan dengan kekuasaan

Presiden dalam sistem berparlimen, hal ini jarang dijumpai. Keadaan ini dapat

difahami kerana fungsi dan kuasa Presiden dalam sistem berparlimen adalah sangat

terhad.17

3.0 SISTEM BERPRESIDEN DALAM PERJALANAN SEJARAH

INDONESIA

UUD 1945, ketika diputuskankan oleh para pengasas negara (the founding leaders)

yang terkandung dalam PPKI pada 18 Ogos 1945 dan pindaan UUD 1945 oleh MPR

14

Sulardi, ibid., hlm. 21-22. 15

Jhon Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007,

hlm. 97. 16

Ibid., hlm. 99. 17

Loc cit.

139

pada 1999-2002, telah mengidealkan sistem berpresiden yang kemudiannya

diwujudkan dalam pelbagai norma UUD 1945. Hal ini tercermin antara lain dalam

ketentuan bahawa Presiden memegang kuasa pemerintahan menurut UUD dan dalam

melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang Timbalan Presiden untuk tempoh lima

tahun dan hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu tempoh kembali (Pasal 4 dan

Pasal 7 UUD 1945). Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR

(Pasal 7C UUD 1945) dan dalam tugasnya, Presiden dibantu oleh menteri yang

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri bertanggungjawab kepada

Presiden (Pasal 17 UUD 1945).18

Sebelum pindaan dilakukan, UUD 1945 memberikan kuasa yang sangat besar

kepada Presiden kerana tidak hanya memegang kuasa eksekutif, sebaliknya UUD

1945 turut memberikan tambahan kuasa yang sangat besar kepada Presiden iaitu

memegang kuasa perundangan sebagaimana yang telah dinyatakan dalam fasal 5 ayat

(1) yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Seterusnya DPR yang nota bene

merupakan badan legislatif oleh UUD 1945 dan diberi kuasa ‘hanya’ untuk

memberikan persetujuan dan mengemukakan rang undang-undang.

Walaupun UUD 1945 mengamalkan sistem berpresiden, namun dalam praktik

perlembagaan ketika usia republik masih sangat muda, yang diterapkan adalah sistem

berparlimen. Hanya dalam masa kira-kira tiga bulan selepas UUD 1945 disahkan,

secara tepatnya pada tanggal 14 November 1945, Presiden Soekarno mengangkat

Syahrir sebagai Perdana Menteri. Amalan itu terus berlangsung selama pemerintahan

Soekarno hingga ia diberhentikan pada tahun 1967 oleh MPRS (Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara), hanya berselang ketika Indonesia menganut

Perlembagaan RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tahun 1949, iaitu penerapan

sistem berparlimen atau sekurang-kurangnya sistem pemerintahan campuran di mana

terdapat Presiden dan juga Perdana Menteri atau Menteri Utama. Sebahagian besar

pentadbiran pemerintahan yang dibentuk adalah bersifat dual executive, iaitu yang

terdiri atas ketua negara yang dipegang oleh Presiden dan ketua pemerintahan yang

18

Jimly Asshiddiqie, “Institut Peradaban dan Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan”, orasi ilmiah

dalam rangka Peluncuran Institut Peradaban (IP), di Jakarta, 16 Juli 2012.

140

dipegang oleh Perdana Menteri atau Menteri Utama ataupun dengan dirangkap oleh

Presiden atau Timbalan Presiden.19

Jimly Asshiddiqie (2006) berpendapat bahawa sistem berpresiden yang dianuti

UUD 1945 sebelum mengalami pindaan adalah bersifat tidak murni. Dalam sistem

berpresiden, tanggungjawab pada peringkat puncak kuasa pemerintahan negara

berada di tangan Presiden yang tidak tunduk dan tidak bertanggungjawab kepada

Parlimen. Namun UUD 1945 sebelum dipinda menegaskan bahawa Presiden tunduk

dan bertanggungjawab kepada MPR dan MPR-lah yang mengangkat dan

memberhentikannya. Presiden adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu

mandatnya boleh ditarik oleh MPR. Sifat adanya pertanggungjawaban Presiden

kepada MPR inilah yang memperlihatkan unsur parlimen dalam sistem berpresiden

yang dianuti UUD 1945. Oleh kerana itu menurut Jimly, sistem berpresiden yang

dianuti UUD 1945 adalah bersifat tidak murni, bersifat campuran, atau seakan-

berpresiden (quasi-presidential).20

Pemerintahan Presiden Suharto komited dalam melaksanakan UUD 1945

secara murni dan menyeluruh, termasuk melaksanakan sistem pemerintahan

berpresiden sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945. Apabila

kemudiannya kekuasaan Soeharto makin membesar dan mengukuh kemudian

mengarah pada pemusatan kuasa dan autoritarianisme, selain faktor-faktor lain juga

kerana pembinaan UUD 1945 sendiri sangat membolehkan hal itu. Selain dalam diri

Presiden terkumpul dua cabang kuasa (eksekutif dan legislatif), juga tidak terdapat

sekatan masa jawatan Presiden. UUD 1945 sebelum pindaan, tepatnya Fasal 7, hanya

merumuskan bahawa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jawatannya selama

tempoh masa selama lima tahun, dan selepas itu boleh dipilih kembali”. Seiring

dengan itu, UUD dalam penjelasannya terlalu bergantung kepada semangat penganjur

negara, bukan kepada membina sistem.

Era reformasi muncul pada tahun 1998 sebagai respon di atas terjadinya

gelombang krisis ekonomi dan kewangan bangsa ketika itu. Era reformasi muncul

membawa kepada pelbagai tuntutan kearah pendemokrasian termasuk pentingnya

melakukan pindaan bagi Perlembagaan 1945. Tuntutan itu muncul kerana

19

Ibid. 20

Ibid.

141

berkembangnya pendapat dari pelbagai kalangan yang menyatakan bahawa UUD

1945 sebagai salah satu faktor yang turut mempengaruhi dan menjadi penyebab

kerosakan bangsa dan negara. Sebagaimana lazimnya proses peralihan demokrasi dari

rejim otoritarian ke era demokrasi di pelbagai negara lain, maka pindaan besar

pertama di Indonesia adalah dalam bentuk melakukan pindaan perlembagaan oleh

MPR. Tujuannya agar UUD 1945 dapat disempurnakan supaya lebih menjamin

adanya demokrasi, menjamin hak asasi manusia, dan menghadkan kuasa negara.

Dengan perlembagaan yang sedemikian, diharapkan proses peralihan berjalan dengan

lancar sehingga bangsa Indonesia dapat menuju ke arah masa depan secara jelas untuk

memasuki era demokrasi.

Selanjutnya adalah berupa pindaan UUD 1945 oleh MPR selama tempoh

empat tahun (1999-2002) yang menghasilkan sebanyak empat kali pindaan dalam satu

peringkat: Pindaan Pertama (1999), Pindaan Kedua (2000), Pindaan Ketiga (2001),

dan Pindaan Keempat UUD 1945 (2002). Dalam perkembangannya, ketika

melakukan pindaan UUD 1945, MPR merumuskan berkaitan Perjanjian Dasar yang

menjadi panduan dalam melakukan sebarang pindaan agar ianya berlangsung sesuai

dengan arah dan tujuan yang dikehendaki bersama. Salah satu perjanjian dasar

tersebut adalah pengukuhan sistem berpresiden yang kemudian diwujudkan dalam

norma-norma undang-undang dalam UUD 1945 hasil dari pindaan tersebut.

Denny Indrayana menyatakan bahawa pindaan UUD 1945 yang dilakukan

oleh MPR selama 4 tahun (1999-2002) telah berjaya mengukuhkan sistem

berpresiden, hal itu dapat terlihat pada:

a) Terselenggaranya pemilihan Presiden secara langsung. Hal ini merupakan

pindaan radikal di mana mekanisme pemilihan Presiden dan Timbalan

Presiden dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Parti-parti politik

atau koalisinya yang mengambil bahagian dalam pilihan raya, mencadangkan

calon-ccalon Presiden dan Timbalan Presiden;

b) Adanya mekanisme pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden yang

lebih jelas, di mana alasan untuk menghentikan Presiden dan Wakil Presiden

meliputi: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, rasuah, tindakan jenayah

berat lain atau perbuatan tercela oleh Presiden dan / atau Wakil Presiden

terbukti tidak lagi memenuhi syarat jawatannya, Proses pemberhentian

142

Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak semata-mata merupakan proses

politik yang melibatkan MPR dan DPR, tetapi juga merupakan proses undang-

undang yang merangkumi proses dari Mahkamah Perlembagaan (MK). Syarat

suara untuk memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dibuat lebih

sukar dari sebelumnya yang sekadar majority menjadi majoriti mutlak;

c) Presiden tidak dapat membekukan dan / atau membubarkan DPR;

d) Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).21

Komisen Hukum Nasional (KHN) dalam sebuah kajiannya menyimpulkan

bahawa hasil pindaan UUD 1945 telah menerima pakai sistem berpresiden dan cuba

melaksanakannya, walaupun belum secara keseluruhan. KHN menyebutkan beberapa

ciri-ciri sistem berpresiden dalam hasil pindaan perlembagaan tersebut, iaitu:

a) mengasingkan secara tegas antara kuasa eksekutif dan legislatif. Pembentukan

Undang-undang (UU) adalah DPR, namun kedudukan Presiden belum

ditegaskan sebagai ketua negara dan sebagai ketua pemerintahan;

b) Tanggungjawab para menteri kepada Presiden, bukan kepada parlimen;22

Dalam disertasinya, Sulardi (2012) merumuskan ciri-ciri pemerintahan

berpresiden yang terkandung dalam UUD 1945 dalam jadual sebagai berikut.

Jadual 1

Ciri-ciri sistem pemerintahan berpresiden yang terkandung dalam UUD 1945.23

No. Ciri Sistem

Berpresiden

Dalam UUD 1945

1. Pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden

(Wapres)

Fasal 6A: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam

satu paket secara langsung oleh rakyat.”

2. Masa jawatan Presiden

dan Wapres adalah

Fasal 7 ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden

memegang jawatan selama lima tahun, dan

21

Sulardi, ibid., hlm. 162-163. 22

Ibid., hlm. 163-164. 23

Ibid, hlm. 164-165.

143

pasti (fixed) sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jawatan yang

sama, hanya untuk satu kali masa jawatan.”

3. Kedudukan Presiden

sebagai Ketua Negara

dan Ketua

Pemerintahan

Kedudukan Presiden selaku Ketua Pemerintahan

diatur dalam fasal 4 ayat (1): “Presiden Republik

Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan

menurut Undang-Undang Dasar.”

Kedudukan Presiden selaku Ketua Negara diatur

dalam fasal 10 sampai dengan fasal 15.

4. Tanggungjawab

Presiden

Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat,

sehingga difahami bahawa Pesiden dan Wakil

Presiden bertanggungjawab kepada rakyat, tetapi

ketentuan tentang tanggungjawab Presiden kepada

rakyat belum diatur dalam UUD 1945.

5. Pemberhentian

Presiden

Diatur dalam fasal 7A dan fasal 7B.

6. Pembentukan kabinet Fasal 17 ayat (2): “Menteri-menteri itu diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden.”

7. Tanggungjawab

Menteri

Fasal 17 ayat (2): “Menteri-menteri itu diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden”. Di dalam ketentuan

fasal ini tersirat tanggungjawab menteri kepada

Presiden.

8. Kedudukan Menteri Fasal 17 ayat (3): “Setiap menteri membidangi urusan

tertentu dalam pemerintahan.”

9. Kekuasaan legislatif Fasal 20: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang

kekuasaan membentuk undang-undang.”

10. Veto terhadap undang-

undang

Secara perundangan tidak diatur dalam UUD 1945

mengenai “veto” dalam pengertian menolak undang-

undang yang dibuat oleh DPR, akan tetapi terdapat

ketentuan dalam fasal 20 ayat (2): “Setiap rancangan

undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan

144

Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan

bersama”. Apabila DPR atau Presiden tidak

menyetujui rancangan undang-undang, hal ini dapat

diertikan sebagai penolakan ataau veto ditahap awal

penyusunan undang-undang.

11. Checks and balances

antara Presiden dan

DPR

Dalam hal penyusunan undang-undang, fasal 5, fasal

20, dan fasal 21.

12. Presiden tidak dapat

membubarkan parlimen

Fasal 7C: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau

membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Dari hasil pindaan UUD 1945 dikaitkan dengan kefahaman sistem berpresiden

yang diamalkan dalam perlembagaan Indonesia tersebut, Ibrahim dalam disertasinya

menyimpulkan bahawa pindaan UUD 1945 tidak mempertegaskan sistem

pemerintahan dan sistem pembahagian kuasa. Bahkan menurutnya, sistem

pemerintahan berpresiden yang dianuti UUD 1945 sebelum dan sesudah pindaan tidak

dinyatakan secara tegas.24

Seterusnya, pakar undang-undang perlembagaan Sri Soemantri menyatakan

bahawa dengan pindaan-pindaan tersebut, memang terdapat pengukuhan dalam sistem

berpresiden, tetapi masih terdapat aspek sistem berparlimennya. Sebab jika yang

diinginkan itu adalah sistem berpresiden, maka Presiden dan DPR hendaklah diberi

kuasa sesuai dengan sistem berpresiden itu. Memang dari hasil pindaan UUD 1945

selama empat tahun oleh MPR (1999-2002) itu boleh didapati ciri-ciri sistem

berpresiden dan sistem berparlimen, iaitu melalui penyusunan undang-undang yang

melibatkan Presiden dan DPR sebagaimana yang dinyatakan dalam fasal 5 ayat (1)

dan fasal 20 ayat (2) UUD 1945.25

4.0 MEWUJUDKAN SISTEM BERPRESIDEN MURNI

Daripada huraian di atas, menunjukkan bahawa tujuan pindaan UUD 1945 adalah

untuk mengukuhkan sistem berpresiden sudah dipenuhi namun masih belum

24

Dalam Sulardi, ibid., hlm. 159. 25

Ibid., hlm. 159.

145

mencapai kepada tahap sistem berpresiden yang murni. UUD 1945 hasil dari pindaan

masih memuatkan norma undang-undang campuran antara sistem pemerintahan

berpresiden dan berparlimen, iaitu dalam hal pembentukan undang-undang (UU) di

mana masih terdapat dua badan yang berkaitan dalam pembentukan UU, iaitu DPR

dan Presiden.

Memang UUD 1945 hasil dari pindaan menyatakan kekuasaan membentuk

undang - undang berada di tangan DPR sebagaimana yang dinyatakan dalam fasal 20

ayat (1). Namun kuasa DPR tersebut berkurang maknanya kerana UUD 1945 juga

menyatakan bahawa sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) akan dibincangkan

oleh dua pihak, iaitu DPR dan Presiden dan hanya diatas persetujuan kedua belah

pihak inilah sebuah rang undang-undang boleh menjadi UU. Seiring dengan itu, UUD

1945 memberikan kuasa perundangan yang lain kepada Presiden, iaitu mengajukan

RUU kepada DPR untuk dibahas bersama.

Dalam teori sistem pemerintahan berpresiden yang murni, kuasa membentuk

UU berada sepenuhnya di tangan institusi Parlimen. Parlemenlah yang sepenuhnya

menentukan untuk membentuk atau tidak membentuk sebuah UU. Presiden, walaupun

mempunyai kuasa yang sangat kuat dalam sistem berpresiden, tidak diberikan kuasa

untuk ikut campur atau ikut membahas RUU bersama parlimen. Presiden diberikan

hak veto untuk menolak sesebuah UU yang dihasilkan oleh Parlimen.

Atas dasar itulah, maka apabila hendak diwujudkan sistem berpresiden yang

murni dalam perlembagaan Indonesia, adalah penting dilakukan pindaan

perlembagaan mengenai kuasa perundangan, di mana kekuasaan membentuk UU

berada sepenuhnya di tangan DPR dan DPD sedangkan Presiden diberikan hak veto

untuk menolak sebuah UU hasil kerja DPR dan DPD apabila tidak setuju dengan UU

tersebut. Pembinaan undang-undang yang sedemikian merupakan bentuk saling

mengawal dan mengimbangi (checks and balances) antara cabang kuasa perundangan

dengan cabang kuasa eksekutif yang sangat optimum.

Sistem saling mengawal dan mengimbangi (checks and balances) antara

cabang kekuasaan negara sangat diperlukan untuk menghadkan kuasa badan-badan

negara pelaku atau pelaksana kekuasaan negara agar ianya tidak menjadi berlebihan,

sewenang-wenang, autoritarian atau bahkan diktator. Dalam sebuah sistem

pemerintahan baik parlimen mahupun sistem berpresiden, semak dan imbang menjadi

146

keperluan bahkan keniscayaan apabila hendak mewujudkan demokrasi di dalam

sistem pemerintahan tersebut.

Huraian lebih terperinci berkaitan idea pemurnian sistem berpresiden ini

adalah sebagai berikut.

4.1 Kekuasaan membentuk UU berada di tangan DPR dan DPD:

Dalam struktur perlembagaan Indonesia hasil pindaan UUD 1945, terdapat satu

institusi perundangan baru yang dinamakan sebagai Dewan Perwakilan Daerah

(DPD). Pembentukan DPD merupakan usaha melengkapi sistem perwakilan

Indonesia, iaitu setelah terdapat DPR yang merupakan badan perwakilan politik

(political representation), maka dipandang penting ada juga wakil kewilayahan

(regional representation) yang kemudian dilontarkan menjadi DPD. Dalam berbagai

kesempatan, anggota DPD sering menggelar dirinya sebagai senator dan menyamakan

badan DPD dengan Senat seperti di negara-negara lain.

Apabila sistem berpresiden murni akan diterima pakai oleh UUD 1945, maka

kekuasaan membentuk UU hendaknya diberikan sepenuhnya kepada DPR dan DPD.

Berkaitan dengan DPD, perlu disampaikan terlebih dahulu bahawa UUD 1945

merumuskan kuasa perundangan DPD yang terhad sebagaimana dinyatakan dalam

fasal 22D, sebagai berikut.

1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

serta yang berkaitan dengan perimbangan kewangan pusat dan daerah.

2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,

pemekaran, dan penggabungan daerah; pengurusan sumber daya alam dan

sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan kewangan pusat dan daerah;

serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas

rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan

147

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan

agama.

Dari rumusan perlembagaan tersebut, kuasa perundangan DPD adalah terhad

kepada:

a) Dapat mengajukan RUU tertentu yang berkaitan dengan daerah;

b) Ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan daerah;

c) Memberikan pertimbangan kepada DPPR atas RUU APBN, pajak,

pendidikan, dan agama;

Keterbatasan kuasa perundangan DPD tersebut terletak pada dua aspek,

pertama, pada ruang lingkup RUU yang dapat diajukan atau dibincangkan bersama

DPR, yakni terhad hanya pada rang undang-undang yang berkaitan dengan daerah dan

rang undang-undang bajet negeri, cukai, pendidikan, dan agama. Kedua, keterbatasan

pada pelaksanaan tugas yang tidak dapat dilakukan secara sendirian, tetapi perlu

selalu melalui “pintu” DPR. Semua kuasa DPD disampaikan kepada DPR dan

menjadi kuasa DPR untuk mendepani hasil kerja DPD tersebut, apakah akan diambil

tindakan dan menjadi bahagian pembahasan oleh DPR bersama Presiden atau cukup

dibahas oleh DPR dan DPD pada awal pembahasan sebuah rang undang-undang

sebelum pembahasan oleh DPR bersama Presiden.

Oleh kerana pembinaan perlembagaan yang demikian, iaitu kuasa yang terhad

dan pelaksanaan tugas perlu selalu melalui “pintu” DPR, para anggota DPD merasa

kurang optimum dalam bekerja. Dari sudut yang lain, seseorang anggota DPD perlu

berjuang lebih lantang dan meraih suara lebih banyak dibandingkan dengan seorang

anggota DPR untuk menjadi anggota DPD. Sebahagian calon anggota DPD meraih

suara lebih dari satu juta untuk menjadi anggota DPD, sedangkan calon anggota DPR

adalah mencukupi meraih suara ratusan ribu atau bahkan puluhan ribu suara, sudah

dapat duduk menjadi anggota DPR.

Dalam perkembangannya, keadaan yang tempang ini mendorong DPD untuk

memohon ujian undang-undang (judicial review) terhadap UU Nombor 27 Tahun

2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU Nombor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (UU P3) terhadap UUD

1945 ke MK pada tarikh 14 September 2012. Permohonan ujian dua Akta tersebut

148

terhadap UUD 1945 ditempuh dengan maksud untuk memperoleh tafsiran yang lebih

tepat dan pasti bagi kepentingan bersama dalam sistem perundangan antara DPR,

DPD RI, dan Presiden.

Permohonan ujian UU tersebut selanjutnya diproses di MK melalui sidang-

sidang, baik panel mahupun pleno. Setelah melalui proses persidangan sekitar 6 bulan

untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut, pada kemuncaknya MK menggelar

sidang pleno pada 27 Mac 2013 dengan agenda pembacaan keputusan. Dalam sidang

pleno yang terbuka untuk umum tersebut, MK memutuskan untuk menerima

permohonan yang diajukan oleh DPD tersebut.26

Dalam keputusannya tersebut, MK menegaskan lima perkara, iaitu:

1) DPD RI terlibat dalam pembuatan Program Perundangan Nasional

(Prolegnas);

2) DPD RI berhak mengajukan RUU yang dimaksudkan dalam Fasal 22D ayat

(1) UUD 1945 sebagaimana halnya atau bersama-sama dengan DPR dan

Presiden, termasuk dalam pembentukan rang undang-undang Pencabutan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3) DPD RI berhak membincangkan rang undang-undang secara penuh dalam

konteks Fasal 22D ayat (2) UUD 1945;

4) Perbahasan rang undang-undang dalam konteks Fasal 22D ayat (2) UUD 1945

bersifat tiga pihak (tripatrit), iaitu antara DPR, DPD RI, dan Presiden;

5) MK menyatakan bahawa ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak

sesuai dengan tafsir MK atas kuasa DPD RI dengan sendirinya bertentangan

dengan UUD 1945, baik yang diminta mahupun tidak.27

Sebagaimana diketahui, UUD 1945 menyatakan bahawa keputusan MK

bersifat final dan mengikat. keputusan MK berlaku ketika diucapkan pada sidang

pleno dengan agenda pembacaan putusan yang terbuka untuk umum dan mempunyai

kekuatan hukum tetap. Dengan demikian keputusan MK yang mengabulkan

permohonan DPD RI tersebut juga langsung berlaku sejak selesai diucapkan oleh

Majelis Hakim MK pada 27 Mac 2013 pukul 15.20 WIB. Atas dasar itu, sebagai

26

Putusan lengkap dapat dibaca dalam situs MK: www.mahkamahkonstitusi.go.id. 27

Sekretariat Jenderal DPD RI, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI, 2013, hlm. 6.

149

akibat logisnya maka terhitung sejak waktu tersebut maka proses pembentukan UU di

DPR perlu dilaksanakan sesuai dengan keputusan MK tersebut. Apabila proses

pembentukan UU di DPR tidak merujuk kepada keputusan MK tersebut, maka proses

pembentukan UU tersebut adalah cacat dari segi hukum, persisnya cacat formil, dan

pada akhirnya produk UU yang dihasilkannya pun menjadi tidak sah atau batal demi

hukum.28

Atas dasar pemikiran di atas, maka penting bagi disusunnya panduan

pembentukan UU yang baru sebagai pelaksanaan keputusan MK tersebut yang intinya

adalah menjadikan DPD sebagai rakan kongsi DPR dalam pembentukan UU, sejak

awal hingga akhir perbahasan rang undang-undang menjadi undang-undang. Kedua

lembaga legislatif diberikan kuasa yang sama untuk mengajukan RUU dan

membincangkan rang undang-undang. Sebuah rang undang-undang hanya menjadi

UU apabila kedua belah pihak menyatakan persetujuannya. Catatan bahawa ruang

lingkup RUU yang diajukan DPD terhad pada rang undang-undang yang berkaitan

dengan daerah sebagaimana dinyatakan dalam Fasal 22D UUD 1945.

4.2 Hak Veto Presiden:

Apabila selama ini UUD 1945 tidak secara tegas menyatakan adanya hak veto

Presiden, maka dengan sistem berpresiden murni maka Presiden diberikan hak veto

sebagai “pengganti” atau “pampasan” dicabutnya kuasa Presiden mengajukan RUU

kepada DPR dan kuasa melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan atas

RUU yang dibahas bersama DPR.

Dengan kuasa veto ini, Presiden hanya menunggu hasil pembahasan DPR dan

DPD terhadap sebuah rang undang-undang. Apabila kemudian kedua lembaga

legislatif ini meluluskan rang undang-undang tersebut menjadi UU, maka menjadi

tugas sekaligus kuasa Presiden untuk menjalankan hak veto apabila Presiden tidak

bersetuju dengan Akta tersebut. Namun apabila dalam jangka waktu tertentu, umpama

30 hari, Presiden tidak menyatakan hak vetonya, maka UU tersebut berlaku.

Sedangkan apabila Presiden menjatuhkan veto maka UU tersebut gugur dan

dinyatakan tidak berlaku.

28

Ibid., hlm. 42.

150

Walaupun demikian, ada baiknya mempertimbangkan adanya escape clausule

apabila sebuah UU hasil kerja DPR dan DPD dibatalkan oleh veto Presiden, tetapi

DPR dan DPD diberikan hak untuk memperjuangkan kembali rang undang-undang

tersebut untuk ‘dihidupkan kembali’. Dalam keadaan seperti ini, MPR dapat

difungsikan menjadi ‘lembaga negara penengah’ antara DPR-DPD dengan Presiden,

melakukan pembahasan ulang UU tersebut dan mengambil keputusan terakhir.

Apabila majoriti anggota MPR meluluskan, dengan keperluan suara sokongan yang

besar dan berat, maka UU produk DPR-DPD yang telah dibatalkan oleh Presiden,

menjadi ‘hidup kembali’ dan menjadi UU.

Presiden juga diberikan kuasa untuk melakukan ‘rayuan’ terhadap keputusan

MPR ini melalui ujian UU ke MK. MK sebagai lembaga kehakiman menjadi pemutus

akhir nasib UU yang diperdebatkan pelbagai institusi negara tersebut.

5.0 KESIMPULAN

Walaupun UUD 1945, baik sebelum pindaan mahupun setelah pindaan, menganut

sistem pemerintahan berpresiden, namun norma undang-undang dalam perlembagaan

yang menjadi ciri sistem berpresiden tersebut belum murni, masih terdapat ciri dan

unsur sistem pemerintahan berparlimen . Hal ini nyata kelihatan dari kuasa

membentuk UU yang ada di DPR (dan secara terhad ada di DPD) tetapi Presiden

diberikan kuasa perundangan tertentu.

Atas dasar itu, perlu dilakukan pemurnian sistem berpresiden agar dapat

diwujudkan sistem berpresiden murni dalam UUD 1945. Pemurnian sistem

berpresiden tersebut dilakukan dengan memberikan peruntukkan membentuk UU

sepenuhnya kepada DPR dan DPD. Presiden diberi kuasa veto apabila tidak setuju

dengan UU hasil kerja DPR-DPD. Pemurnian sistem berpresiden ini hanya boleh

dilakukan melalui pindaan UUD 1945 oleh MPR kerana norma undang-undang yang

menetapkan pokok-pokok kuasa perundangan tersebut terdapat di UUD 1945.

RUJUKAN

--------------, “Institut Peradaban dan Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan”, orasi

ilmiah dalam rangka Peluncuran Institut Peradaban (IP), di Jakarta, 16 Juli

2012.

151

--------------, “Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum

Nasional”, dalam Rofiqul Umam Ahmad, et.al, Konstitusi dan

Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Pemikiran Prof. Dr. Jimly

Asshiddiqie, S.H. dan Para Pakar Hukum, Jakarta: The Biography Institute,

2007.

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII, 2003.

Christopher N. Lawrence, “Regime Stability and Presidential Government: The

Legacy of Authoritarian Rule, 1951-90, paper in 2000 SPSA Conference,

Department of Political Science, The University of Missisippi.

Douglas V. Verney, The Analysis of Political System, London: Outledge & Kegan

Paul, 1979.

Jhon Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Jakarta: Pelangi

Cendekia, 2007.

Jimly Assididiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2006.

Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara

DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, 2004.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2002.

Patrialis Akbar, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta:

Sinar Grafika, 2013.

Sekretariat Jenderal DPD RI, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI, 2013.

Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Malang: Setara Press,

2012.