METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc
-
Upload
ramadhan-ananda-putra -
Category
Documents
-
view
53 -
download
7
Transcript of METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc
METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
BAB I
PENDAHULUAN
A Mengenali Demam Typhoid
Demam tifoid (typhoid fever) atau yang lebih dikenal dengan penyakit tifus ini
merupakan suatu penyakit pada saluran pencernaan yang sering menyerang
anak-anak bahkan juga orang dewasa Penyebab penyakit tersebut adalah
bakteri Salmonella Typhi
Gejala-gejala yang kerap terjadi antara lain seperti nyeri pada perut mual
muntah demam tinggi sakit kepala dan diare yang kadang-kadang
bercampur darah
Penularan penyakit tifus ini pada umumnya itu disebabkan oleh karena
melalui makanan ataupun minuman yang sudah tercemar oleh agen penyakit
tersebut Bisa juga karena penanganan yang kurang begitu higenis ataupun
juga disebabkan dari sumber air yang sering digunakan untuk mencuci dan
yang dipakai untuk sehari-hari
Struktur Antigen Salmonella
a Antigen ldquoHrdquo atau antigen flagel dibuat tidak aktif oleh pemanasan di atas
600C dan juga oleh alcohol dan asam Kuman ini paling baik disiapkan untuk
tes serologi dengan menambahkan formalin pada biakan kaldu muda yang
bergerak dengan serum yang mengandung antibody anti H antigen demikian
akan beraglutinasi dengan cepat dalam gumpalan besar menyerupai kapas
Antigen H ini mengandung beberapa unsure imunologik Dalam satu spesies
Salmonella antigen flagel dapat ditemukan dalam salah satu atau kedua
bentuk yang dinamakan fase 1 dan fase 2 organisme cenderung berubah
dari satu fase ke fase lainnya Ini dinamakan variase fase anti bodi terdapat
antigen H adalah terutama Ig C
b Antigen ldquoOrdquo atau antigen somatic adalah bagian dari dinding sel pada
1000C terdapat alcohol dan terdapat asam yang encer Antigen ldquoOrdquo dibuat
dari kuman yang tidak bergerak atau dengan pemberian panas dan alcohol
Dengan serum yang mengandung anti ldquoOrdquo antigen ini mengadakan aglutinasi
dengan lambat membentuk gumpalan berpasir Antigen terdapat antigen ldquoOrdquo
terutama Ig M anti somatic O adalah Lipopolisakarida Beberapa polisakarida
spesifik O mengandung gula yang unik diosiribosa
c Antigen ldquoVrdquo antigen kapsul K khusus yang terdapat pada bagian paling
pinggir dari kuman Strain-strain yang baru diisolasi dengan anti sera yang
mengandung agglutinin anti ldquoOrdquo antigen ldquoVirdquo dirusak oleh pemanasan
selama satu jam pada 60ordmC dan oleh asam fenol Biakan yang mempunyai
antigen ldquoVirdquo cenderung lebih virulen Antigen K mirip polisakarida kapsul
meningokokus atau Haemophilus sp (E JawetJL Melnick EA Adelberg
1982)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A Patogenesis
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif termasuk keluarga
Enterobacteriaceae Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 LPS antigen
protein flagelar Hd dan antigen kapsular Vi Di Indonesia beberapa isolate
memiliki jenis flagella yang unik yaitu Hj (2) Seseorang terinfeksi Salmonella
typhi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut
Waktu inkubasi sangat tergantung pada kuantitas bakteri dan juga host
factors Waktu inkubasi umumnya berkisar antara 3 hari sampai gt 60 hari
Organisme yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pilorus dan mencapai
usus kecil Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa
melalui sel-sel microfold atau enterocytes dan mencapai lamina propria di
mana secara cepat ditelan oleh makrofag Beberapa bakteri masih berada di
dalam makrofag jaringan limfoid usus kecil Beberapa mikroorganisme
melewati sel-sel retikuloendotelial hati dan limpa Salmonella typhi dapat
bertahan dan bermultiplikasi dalam sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel
limfoid hati dan limpa (3)
Pada fase bakteremia organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh Tempat
yang paling banyak untuk infeksi sekunder adalah hati limpa sumsum tulang
empedu dan Peyerrsquos Patches dari terminal ileum Invasi empedu terjadi
secara langsung dari darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile
Organisme diekskresikan ke dalam empedu (melalui reinvasi dinding
intestinal) atau ke dalam feses Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat
keparahan dan outcome klinis demam tifoid Faktor-faktor tersebut adalah
lamanya sakit sebelum memperoleh terapi yang sesuai pilihan antimikroba
yang digunakan paparan sebelumnyariwayat vaksinasi virulensi strain
bakterikuantitas inokulum yang tertelan host factors (tipe HLA keadaan
imunosupresi dan pengobatan lain seperti H2blockers atau antasida yang
mengurangi asam lambung) (3)
B Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi urinalis kimia
klinik imunoreologi mikrobiologi dan biologi molekular Pemeriksaan ini
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan
menjadi penentu diagnosis) menetapkan prognosis memantau perjalanan
penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit
1 Hematologi
bull Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi
bull Hitung leukosit sering rendah (leukopenia) tetapi dapat pula normal atau
tinggi
bull Hitung jenis leukosit sering neutropenia dengan limfositosis relatif
bull LED ( Laju Endap Darah ) Meningkat
bull Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)
2 Urinalis
bull Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
bull Leukosit dan eritrosit normal bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit
3 Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan
sampai hepatitis Akut
4 Imunorologi
bull Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi paratyphi
(reagen) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling
sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di
Indonesia Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui
Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi Karena itu antibodi jenis ini
dikenal sebagai Febrile agglutinin
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil
positif palsu atau negatif palsu Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh
faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (Enterobacteriaceae sp) reaksi anamnestik (pernah sakit) dan
adanya faktor rheumatoid (RF) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh
karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika waktu
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit keadaan umum pasien yang
buruk dan adanya penyakit imunologik lain
Diagnosis Demam Tifoid Paratifoid dinyatakan bila atiter O = 1160 bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit
demam tifoid ini endemis di Indonesia Titer O meningkat setelah akhir
minggu Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita
yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu
tetapi dari kontrak sebelumnya
bull Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru yang dianggap
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam
Tifoid Paratifoid Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera
di ketahui Diagnosis Demam Typhoid Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM
positif menandakan infeksi akut 2 jika lgG positif menandakan pernah
kontak pernah terinfeksi reinfeksi daerah endemik
5 Mikrobiologi
bull Kultur (Gall culture Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid paratyphoid Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid Paratifoid Sebalikanya jika hasil negati belum tentu
bukan Demam Tifoid Paratifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2mL) darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan) saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit sudah
mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari bila belum
ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari) Pilihan bahan spesimen
yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium
lanjut carrier digunakan urin dan tinja
6 Biologi molekular
bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan
Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat
mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)
serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa
keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di
sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa
diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang
yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi
hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu
Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan
agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid
dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada
penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering
menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung
pada saat yang tepat
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi
manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk
mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau
dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-
masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan
untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman
Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui
Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah
akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau
negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan
Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial
karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi
tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi
aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari
ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase
akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens
Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan
karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal
kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki
antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan
enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil
positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria
typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis
BAB IV
KESIMPULAN
Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak
memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari
makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena
keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium
penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid
Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit
yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk
dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan
timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari
hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan
sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan
waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode
pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan
spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
BAB V
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan
data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan
kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman
yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan
lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak
terinfksi
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak
sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil
reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H
DAFTAR PUSTAKA
Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang
Djambatan 1989 hal 197
E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan
EGC edisi 141982 hal 325-326
Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk
Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109
Disusun oleh
1 Istiqomah G032005001040
2 Farida P G032005001042
3 Alvinofa G032005001043
4 A Syaiful M G032005001044
5 Heru Eko S G032005001045
6 A Heri Wibowo G032005001046
7 Herlina W G032005001047
8 Arita Aprilia G032005001048
PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Demam tipus
Penyebab
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui
makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum
sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke
dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan
perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan
bagian tubuh lainnya
Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan
bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini
demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari
400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
terutama Ig M anti somatic O adalah Lipopolisakarida Beberapa polisakarida
spesifik O mengandung gula yang unik diosiribosa
c Antigen ldquoVrdquo antigen kapsul K khusus yang terdapat pada bagian paling
pinggir dari kuman Strain-strain yang baru diisolasi dengan anti sera yang
mengandung agglutinin anti ldquoOrdquo antigen ldquoVirdquo dirusak oleh pemanasan
selama satu jam pada 60ordmC dan oleh asam fenol Biakan yang mempunyai
antigen ldquoVirdquo cenderung lebih virulen Antigen K mirip polisakarida kapsul
meningokokus atau Haemophilus sp (E JawetJL Melnick EA Adelberg
1982)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A Patogenesis
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif termasuk keluarga
Enterobacteriaceae Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 LPS antigen
protein flagelar Hd dan antigen kapsular Vi Di Indonesia beberapa isolate
memiliki jenis flagella yang unik yaitu Hj (2) Seseorang terinfeksi Salmonella
typhi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut
Waktu inkubasi sangat tergantung pada kuantitas bakteri dan juga host
factors Waktu inkubasi umumnya berkisar antara 3 hari sampai gt 60 hari
Organisme yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pilorus dan mencapai
usus kecil Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa
melalui sel-sel microfold atau enterocytes dan mencapai lamina propria di
mana secara cepat ditelan oleh makrofag Beberapa bakteri masih berada di
dalam makrofag jaringan limfoid usus kecil Beberapa mikroorganisme
melewati sel-sel retikuloendotelial hati dan limpa Salmonella typhi dapat
bertahan dan bermultiplikasi dalam sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel
limfoid hati dan limpa (3)
Pada fase bakteremia organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh Tempat
yang paling banyak untuk infeksi sekunder adalah hati limpa sumsum tulang
empedu dan Peyerrsquos Patches dari terminal ileum Invasi empedu terjadi
secara langsung dari darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile
Organisme diekskresikan ke dalam empedu (melalui reinvasi dinding
intestinal) atau ke dalam feses Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat
keparahan dan outcome klinis demam tifoid Faktor-faktor tersebut adalah
lamanya sakit sebelum memperoleh terapi yang sesuai pilihan antimikroba
yang digunakan paparan sebelumnyariwayat vaksinasi virulensi strain
bakterikuantitas inokulum yang tertelan host factors (tipe HLA keadaan
imunosupresi dan pengobatan lain seperti H2blockers atau antasida yang
mengurangi asam lambung) (3)
B Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi urinalis kimia
klinik imunoreologi mikrobiologi dan biologi molekular Pemeriksaan ini
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan
menjadi penentu diagnosis) menetapkan prognosis memantau perjalanan
penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit
1 Hematologi
bull Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi
bull Hitung leukosit sering rendah (leukopenia) tetapi dapat pula normal atau
tinggi
bull Hitung jenis leukosit sering neutropenia dengan limfositosis relatif
bull LED ( Laju Endap Darah ) Meningkat
bull Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)
2 Urinalis
bull Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
bull Leukosit dan eritrosit normal bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit
3 Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan
sampai hepatitis Akut
4 Imunorologi
bull Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi paratyphi
(reagen) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling
sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di
Indonesia Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui
Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi Karena itu antibodi jenis ini
dikenal sebagai Febrile agglutinin
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil
positif palsu atau negatif palsu Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh
faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (Enterobacteriaceae sp) reaksi anamnestik (pernah sakit) dan
adanya faktor rheumatoid (RF) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh
karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika waktu
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit keadaan umum pasien yang
buruk dan adanya penyakit imunologik lain
Diagnosis Demam Tifoid Paratifoid dinyatakan bila atiter O = 1160 bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit
demam tifoid ini endemis di Indonesia Titer O meningkat setelah akhir
minggu Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita
yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu
tetapi dari kontrak sebelumnya
bull Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru yang dianggap
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam
Tifoid Paratifoid Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera
di ketahui Diagnosis Demam Typhoid Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM
positif menandakan infeksi akut 2 jika lgG positif menandakan pernah
kontak pernah terinfeksi reinfeksi daerah endemik
5 Mikrobiologi
bull Kultur (Gall culture Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid paratyphoid Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid Paratifoid Sebalikanya jika hasil negati belum tentu
bukan Demam Tifoid Paratifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2mL) darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan) saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit sudah
mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari bila belum
ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari) Pilihan bahan spesimen
yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium
lanjut carrier digunakan urin dan tinja
6 Biologi molekular
bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan
Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat
mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)
serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa
keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di
sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa
diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang
yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi
hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu
Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan
agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid
dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada
penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering
menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung
pada saat yang tepat
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi
manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk
mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau
dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-
masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan
untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman
Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui
Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah
akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau
negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan
Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial
karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi
tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi
aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari
ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase
akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens
Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan
karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal
kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki
antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan
enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil
positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria
typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis
BAB IV
KESIMPULAN
Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak
memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari
makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena
keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium
penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid
Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit
yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk
dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan
timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari
hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan
sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan
waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode
pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan
spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
BAB V
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan
data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan
kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman
yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan
lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak
terinfksi
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak
sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil
reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H
DAFTAR PUSTAKA
Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang
Djambatan 1989 hal 197
E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan
EGC edisi 141982 hal 325-326
Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk
Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109
Disusun oleh
1 Istiqomah G032005001040
2 Farida P G032005001042
3 Alvinofa G032005001043
4 A Syaiful M G032005001044
5 Heru Eko S G032005001045
6 A Heri Wibowo G032005001046
7 Herlina W G032005001047
8 Arita Aprilia G032005001048
PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Demam tipus
Penyebab
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui
makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum
sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke
dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan
perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan
bagian tubuh lainnya
Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan
bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini
demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari
400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
yang digunakan paparan sebelumnyariwayat vaksinasi virulensi strain
bakterikuantitas inokulum yang tertelan host factors (tipe HLA keadaan
imunosupresi dan pengobatan lain seperti H2blockers atau antasida yang
mengurangi asam lambung) (3)
B Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi urinalis kimia
klinik imunoreologi mikrobiologi dan biologi molekular Pemeriksaan ini
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan
menjadi penentu diagnosis) menetapkan prognosis memantau perjalanan
penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit
1 Hematologi
bull Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi
bull Hitung leukosit sering rendah (leukopenia) tetapi dapat pula normal atau
tinggi
bull Hitung jenis leukosit sering neutropenia dengan limfositosis relatif
bull LED ( Laju Endap Darah ) Meningkat
bull Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)
2 Urinalis
bull Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
bull Leukosit dan eritrosit normal bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit
3 Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan
sampai hepatitis Akut
4 Imunorologi
bull Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi paratyphi
(reagen) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling
sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di
Indonesia Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui
Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi Karena itu antibodi jenis ini
dikenal sebagai Febrile agglutinin
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil
positif palsu atau negatif palsu Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh
faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (Enterobacteriaceae sp) reaksi anamnestik (pernah sakit) dan
adanya faktor rheumatoid (RF) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh
karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika waktu
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit keadaan umum pasien yang
buruk dan adanya penyakit imunologik lain
Diagnosis Demam Tifoid Paratifoid dinyatakan bila atiter O = 1160 bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit
demam tifoid ini endemis di Indonesia Titer O meningkat setelah akhir
minggu Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita
yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu
tetapi dari kontrak sebelumnya
bull Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru yang dianggap
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam
Tifoid Paratifoid Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera
di ketahui Diagnosis Demam Typhoid Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM
positif menandakan infeksi akut 2 jika lgG positif menandakan pernah
kontak pernah terinfeksi reinfeksi daerah endemik
5 Mikrobiologi
bull Kultur (Gall culture Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid paratyphoid Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid Paratifoid Sebalikanya jika hasil negati belum tentu
bukan Demam Tifoid Paratifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2mL) darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan) saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit sudah
mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari bila belum
ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari) Pilihan bahan spesimen
yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium
lanjut carrier digunakan urin dan tinja
6 Biologi molekular
bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan
Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat
mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)
serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa
keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di
sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa
diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang
yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi
hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu
Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan
agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid
dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada
penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering
menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung
pada saat yang tepat
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi
manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk
mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau
dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-
masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan
untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman
Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui
Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah
akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau
negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan
Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial
karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi
tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi
aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari
ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase
akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens
Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan
karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal
kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki
antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan
enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil
positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria
typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis
BAB IV
KESIMPULAN
Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak
memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari
makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena
keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium
penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid
Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit
yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk
dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan
timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari
hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan
sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan
waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode
pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan
spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
BAB V
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan
data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan
kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman
yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan
lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak
terinfksi
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak
sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil
reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H
DAFTAR PUSTAKA
Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang
Djambatan 1989 hal 197
E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan
EGC edisi 141982 hal 325-326
Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk
Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109
Disusun oleh
1 Istiqomah G032005001040
2 Farida P G032005001042
3 Alvinofa G032005001043
4 A Syaiful M G032005001044
5 Heru Eko S G032005001045
6 A Heri Wibowo G032005001046
7 Herlina W G032005001047
8 Arita Aprilia G032005001048
PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Demam tipus
Penyebab
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui
makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum
sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke
dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan
perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan
bagian tubuh lainnya
Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan
bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini
demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari
400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (Enterobacteriaceae sp) reaksi anamnestik (pernah sakit) dan
adanya faktor rheumatoid (RF) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh
karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika waktu
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit keadaan umum pasien yang
buruk dan adanya penyakit imunologik lain
Diagnosis Demam Tifoid Paratifoid dinyatakan bila atiter O = 1160 bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit
demam tifoid ini endemis di Indonesia Titer O meningkat setelah akhir
minggu Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita
yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu
tetapi dari kontrak sebelumnya
bull Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru yang dianggap
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam
Tifoid Paratifoid Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera
di ketahui Diagnosis Demam Typhoid Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM
positif menandakan infeksi akut 2 jika lgG positif menandakan pernah
kontak pernah terinfeksi reinfeksi daerah endemik
5 Mikrobiologi
bull Kultur (Gall culture Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid paratyphoid Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid Paratifoid Sebalikanya jika hasil negati belum tentu
bukan Demam Tifoid Paratifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2mL) darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan) saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit sudah
mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari bila belum
ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari) Pilihan bahan spesimen
yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium
lanjut carrier digunakan urin dan tinja
6 Biologi molekular
bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan
Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat
mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)
serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa
keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di
sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa
diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang
yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi
hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu
Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan
agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid
dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada
penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering
menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung
pada saat yang tepat
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi
manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk
mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau
dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-
masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan
untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman
Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui
Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah
akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau
negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan
Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial
karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi
tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi
aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari
ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase
akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens
Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan
karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal
kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki
antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan
enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil
positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria
typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis
BAB IV
KESIMPULAN
Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak
memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari
makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena
keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium
penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid
Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit
yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk
dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan
timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari
hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan
sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan
waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode
pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan
spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
BAB V
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan
data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan
kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman
yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan
lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak
terinfksi
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak
sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil
reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H
DAFTAR PUSTAKA
Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang
Djambatan 1989 hal 197
E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan
EGC edisi 141982 hal 325-326
Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk
Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109
Disusun oleh
1 Istiqomah G032005001040
2 Farida P G032005001042
3 Alvinofa G032005001043
4 A Syaiful M G032005001044
5 Heru Eko S G032005001045
6 A Heri Wibowo G032005001046
7 Herlina W G032005001047
8 Arita Aprilia G032005001048
PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Demam tipus
Penyebab
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui
makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum
sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke
dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan
perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan
bagian tubuh lainnya
Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan
bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini
demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari
400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
6 Biologi molekular
bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan
Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat
mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)
serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa
keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di
sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa
diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang
yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi
hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu
Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan
agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid
dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada
penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering
menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung
pada saat yang tepat
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi
manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk
mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau
dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-
masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan
untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman
Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui
Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah
akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau
negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan
Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial
karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi
tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi
aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari
ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase
akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens
Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan
karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal
kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki
antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan
enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil
positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria
typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis
BAB IV
KESIMPULAN
Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak
memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari
makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena
keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium
penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid
Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit
yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk
dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan
timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari
hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan
sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan
waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode
pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan
spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
BAB V
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan
data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan
kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman
yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan
lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak
terinfksi
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak
sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil
reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H
DAFTAR PUSTAKA
Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang
Djambatan 1989 hal 197
E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan
EGC edisi 141982 hal 325-326
Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk
Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109
Disusun oleh
1 Istiqomah G032005001040
2 Farida P G032005001042
3 Alvinofa G032005001043
4 A Syaiful M G032005001044
5 Heru Eko S G032005001045
6 A Heri Wibowo G032005001046
7 Herlina W G032005001047
8 Arita Aprilia G032005001048
PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Demam tipus
Penyebab
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui
makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum
sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke
dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan
perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan
bagian tubuh lainnya
Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan
bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini
demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari
400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial
karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi
tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi
aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari
ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase
akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens
Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan
karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal
kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki
antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan
enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil
positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria
typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis
BAB IV
KESIMPULAN
Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak
memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari
makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena
keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium
penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid
Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit
yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk
dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan
timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari
hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan
sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan
waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode
pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan
spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
BAB V
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan
data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan
kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman
yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan
lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak
terinfksi
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak
sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil
reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H
DAFTAR PUSTAKA
Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang
Djambatan 1989 hal 197
E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan
EGC edisi 141982 hal 325-326
Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk
Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109
Disusun oleh
1 Istiqomah G032005001040
2 Farida P G032005001042
3 Alvinofa G032005001043
4 A Syaiful M G032005001044
5 Heru Eko S G032005001045
6 A Heri Wibowo G032005001046
7 Herlina W G032005001047
8 Arita Aprilia G032005001048
PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Demam tipus
Penyebab
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui
makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum
sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke
dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan
perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan
bagian tubuh lainnya
Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan
bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini
demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari
400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan
data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan
kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan
Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman
yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan
lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak
terinfksi
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak
sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil
reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah
Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180
masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang
dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H
DAFTAR PUSTAKA
Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang
Djambatan 1989 hal 197
E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan
EGC edisi 141982 hal 325-326
Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk
Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109
Disusun oleh
1 Istiqomah G032005001040
2 Farida P G032005001042
3 Alvinofa G032005001043
4 A Syaiful M G032005001044
5 Heru Eko S G032005001045
6 A Heri Wibowo G032005001046
7 Herlina W G032005001047
8 Arita Aprilia G032005001048
PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Demam tipus
Penyebab
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui
makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum
sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke
dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan
perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan
bagian tubuh lainnya
Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan
bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini
demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari
400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
1 Istiqomah G032005001040
2 Farida P G032005001042
3 Alvinofa G032005001043
4 A Syaiful M G032005001044
5 Heru Eko S G032005001045
6 A Heri Wibowo G032005001046
7 Herlina W G032005001047
8 Arita Aprilia G032005001048
PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Demam tipus
Penyebab
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui
makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum
sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke
dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan
perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan
bagian tubuh lainnya
Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan
bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini
demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari
400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
didatangkan dari luar negeri
Gejala
Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi
(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit
semakin memburuk
Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar
bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada
Gejala lain yang terjadi meliputi
bull abdomen kelembutan
bull Agitasi
bull Bloody stools
bull Kedinginan
bull Kebingungan
bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)
bull Delirium
bull Fluktuasi mood
bull Halusinasi
bull Mimisan
bull kelelahan berat
bull Lambat lambat merasa lesu
bull Kelemahan
Ujian dan Tes
Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel
darah putih
Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S
typhi
Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk
bull feses budaya
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus
bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)
bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus
Pengobatan
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang
tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi
antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi
saat ini sebelum memilih antibiotik
Outlook (Prognosis)
Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan
pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi
menjadi miskin jika komplikasi berkembang
Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi
Kemungkinan Komplikasi
bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)
bull perforasi usus
bull kegagalan ginjal
bull Peritonitis
Ketika ke Kontak Profesional Medis
Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur
dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala
demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan
Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut
parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang
Pencegahan
Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa
Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi
Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus
minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan
dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak
menjanjikan
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan
pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan
masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai
penangan makanan
Nama Alternatif
Demam tipus
Referensi
Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi
2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48
Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L
Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier
2007 chap 329
Update Tanggal 20090530
Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi
Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School
of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran
Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi
Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau
oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Cystic fibrosis
cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang
mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering
kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut
(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di
tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan
hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh
olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi
sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada
bagian lain dari tubuh [Rujukan]
CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis
transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk
mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun
kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR
hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika
gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai
penyakit resesif autosom [Rujukan]
CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu
dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk
CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi
salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu
dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian
genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya
transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Demam Typhoid
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan
manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang
mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di
banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta
orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit
ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah
terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di
Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu
dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh
daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak
keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi
Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan
melebihi 2500100000 penduduk2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype
typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat
menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena
infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan
Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah
yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah
pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini
dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air
bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah
105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa
nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan
organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke
usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi
Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk
menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan
lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju
ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella
dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat
bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa
Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan
granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada
usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu
yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi
bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan
masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang
akan memicu gejala klinis 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang
berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang
ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam
meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran
serosa
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun
demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan
demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat
Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang
ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi
pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien
dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang
cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan
Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode
asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari
Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien
biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu
pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza
seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia
nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan
myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut
hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif
cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu
bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1
Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih
tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit
gelap5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati
Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat
lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani
masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti
dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika
denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun
umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya
perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada
minggu ketiga1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat
terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis
typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan
positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal
penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi
sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara
berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas
kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang
dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan
pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah
biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada
anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi
disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah
digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana
dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan
pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis
Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti
Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada
komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer
telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada
darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk
menegakkan diagnosis dengan cepat267
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik
mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA
yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil
dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan
didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga
ketiga setelah demam terjadi8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini
diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah
karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya
tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik
stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan
seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia
Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis
akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau
infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan
mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk
mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan demam 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa
komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian
hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat
endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat
dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang
paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta
angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah
banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek
sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain
asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap
terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan
fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis
antibiotik ini jarang digunakan9
Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini
menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien
membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi
pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif
menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan
chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara
berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis
terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka
penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug
resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon
sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek
typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara
dimana penyakit ini menjadi endemik56
Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae
yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya
bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau
makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi
yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan
dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk
pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada
daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan
atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin
menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk
mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu
dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia
yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80
dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah
endemik69
REFERENSI
1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta
Pusat Penerbitan IPD FKUI
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By
Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples
In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12
November 2008] Available from httpwwwajtmhorg
3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth
edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366
4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious
Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA
Elsevier Churchill Livingstone
5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of
Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from
httpwwwnejmcom
6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11
November 2008] Available from httpwwwbmjcom
7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple
dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM
antibodies and the evolution of the response in patients with
typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421
8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of
Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11
November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom
9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of
Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The
McGraw-Hill Companies Inc
PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT
1Benar Pasien
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien
mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya
2Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa
nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien
label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat
membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label
botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan
ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi
Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini
membantu mengingat nama obat dan kerjanya
3Benar Dosis
Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya
perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul
maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti
4Benar CaraRute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat
serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral
sublingual parenteral topikal rektal inhalasi
a Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai
karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN
b Parenteral
Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron
berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran
cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)
c Topikal
Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya
salep losion krim spray tetes mata
d Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk
memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid
(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat
perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria
e Inhalasi
Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian
berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya
salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen
5Benar Waktu
Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung
untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika
obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang
harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat
6Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu
dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya
atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif mengenai alternatif pengobatan
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan
terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson
merupakan salah satu antibiotika alternatif yang
menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak
Abstract
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with
Typhoid Fever in Fatmawati Hospital
Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive
design on the treatment of typhoid fever
involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was
still the drug of choice againts Salmolella
typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather
frequently for typhoid fever in children
Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman Salmonella typhi
dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang
banyak orang dan masih merupakan
masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang
berkembang 12
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara
23 ndash 1681 Angka kematian penderita
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada
tahun 1969 menjadi 374 pada tahun
1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid
yang dirawat sebesar 414 orang tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3
ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat
yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi prestasi belajar karena
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu
kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi biasanya
kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella
typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan
kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang
sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung
dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat
dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman
baik penderita aktif maupun carrier6
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan
kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada
waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan7
Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis
terakhir dari mata rantai distribusi obat yang
legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar
penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu
dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan
khususnya dalam melaksanakan pengobatan8
Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi
politik ilmu dan teknologi Keberadaan
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar
dalam pengobatan menyebabkan obat
menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional
kesehatan910
Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pengetahuan tentang
farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman
psikologi dan informasi obat yang diterima
Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan
karakteristik pasien dapat juga
mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11
Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan
untuk memilih obat yang benar untuk pasien
yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup
serta mempertimbangkan biaya Jika
pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam
pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat
yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam
tifoid karena efektivitasnya terhadap
Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan
banyaknya informasi mengenai timbulnya
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para
ahli mencari alternatif obat lain yang
terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya
penelitian untuk mengetahui pola
pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk
demam tifoid41213
Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti
faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis
Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor
pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan
sampel penelitian adalah pasien anak Data
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
lain yang
dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara
pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara
faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid anak
2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain
deskriptif yang diambil dari catatan medis
penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama
Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut
1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang
periode Januari 2001 ndash Desember 2002
1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta
1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh
dokter
Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah
1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta
1048621 Pasien anak yang pulang paksa
Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari
Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi
Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik
diagnosis tanggal masuk dan tanggal
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik
Seluruh data yang diperlukan dicatat dari
status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi
medis kelas perawatan tanggal masuk dan
keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan
dari penelitian apabila catatan rusak tidak
lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk
diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa
divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data
dilakukan secara univariat terhadap hasil
pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif
3 Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri
dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak
yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa
Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat
pada Tabel 1
Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa
penyakit penyerta untuk melihat distribusi
jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan
distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang
diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2
Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2
AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan
kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien
demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu
sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas
perawatan yang paling sedikit terdapat pasien
demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid
(n = 182)
n
Tifoid dg
Penyakit
Penyerta
(n = 53)
n
Pasien
Pulang
Paksa
(n = 9)
n
J Kelamin
Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222
Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778
Umur (thn)
1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222
4- 6 47 2582 22 4151 3 3334
7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222
10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222
13 ndash 15 16 879 4 755 -
BB (kg)
10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222
15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444
20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334
25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -
30 ndash 35 18 989 5 943 - -
gt 35 11 604 2 377 - -
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid
anak yang dirawat inap
Jenis Antibiotika Jumlah
Ampisilin 4 219
Amoksisilin 3 165
Sefiksim 4 219
Siprofloksasin 1 055
Seftriakson 49 2692
Kloramfenikol 97 5355
Kotrimoksazol 8 439
Tiamfenikol 3 165
Kombinasi
1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)
1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)
1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)
922
494
110
110
Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di
Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta
Lama hari rawat (hari)
Jumlah pasien( n = 182)
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Persentase()
3 ndash 4 33 1813
5 ndash 6 82 4505
7 ndash 8 42 2308
9 ndash 10 17 934
11 ndash 12 8 440
Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember
2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai
Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara
pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak
dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak
tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap
berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada
Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak
namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk
menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi
serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada
pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini
cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak
dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah
terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada
pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien
(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien
(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih
banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena
anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini
memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14
Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien
berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan
bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih
menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di
pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut
berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam
tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika
pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan
Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002
karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya
terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun
Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada
pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1
Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara
mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang
disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap
kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain
Salmonella typhi ini116
Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni
seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini
seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang
banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel
tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan
resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia
pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap
di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1
Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa
seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps
hampir
mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali
sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis
3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan
dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam
tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin
(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih
kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol
efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2
Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)
kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)
hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini
seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan
tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau
menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair
terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin
memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol
yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi
dengan ampisilin1
Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak
ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini
dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan
remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping
pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan
mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819
Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)
di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP
sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit
Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah
tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke
bawah20
Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian
Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap
antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien
terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat
dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal
itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang
berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain
demam tifoid
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa
antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan
untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan
antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam
tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002
Daftar Acuan
1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh
Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK
MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH
SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002
Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3
1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta
12640 Indonesia
2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424
Indonesia
3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan
data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97
penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan
seftriakson
Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit
berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien
anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang
diberikan
kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada
anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan
kloramfenikol
Abstract
Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children
with Chloramphenicol and Ceftriaxone
in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-
sectional study using secondary data related to
treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received
chloramphenicol and 45 patients received
ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in
hospital range from 3 to 12 days (mean
4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients
receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a
more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat
typhoid fever in childhood
Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone
1 Pendahuluan
Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi
bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara
berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam
tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat
dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2
diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada
tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33
pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga
melaporkan adanya kecenderungan terjadinya
peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk
terapi demam tifoid 12
Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak
Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada
umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi
klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid
berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang
timbul sangat bervariasi 3
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan
untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang
dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama
4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan
berkisar antara 17 ndash 23 hari 5
Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa
negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak
yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh
strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya
kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico
untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972
Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi
selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain
multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang
resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim
digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan
kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)
Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir
(1993) 37
Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas
kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para
ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam
tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek
dan relaps berkurang 8
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan
efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka
pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah
secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum
luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman
masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup
mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh
Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan
seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
yaitu selama 21 hari
Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka
pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama
yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi
ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar
sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat
seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan
biaya satuan sumber daya yang digunakan dan
hasilnya dengan demikian terlihat adanya
maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses
pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi
kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
efektivitas biaya 10
Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness
analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi
ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari
beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya
biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan
efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah
pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang
dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13
Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam
bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang
berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya
biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya
dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak
langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti
biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya
waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu
anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah
sakit 1114
Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat
inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember
2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen
terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan
selama rawat inap
2 Bahan dan Metodologi
Penelitian merupakan penelitian cross - sectional
dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan
medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah
Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash
Desember 2002
Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan
demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol
dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan
efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel
yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut
21 Kriteria inklusi
a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di
Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta selama periode Januari
2001ndash Desember 2002
b Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kloramfenikol atau seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan
sembuh dari demam tifoid oleh dokter
d Usia 1 ndash 15 tahun
22 Kriteria eksklusi
a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit
penyerta
b Pasien demam tifoid anak yang
diberikan antibiotika lain selain
kloramfenikol dan seftriakson
c Pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika kombinasi
d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa
e Data status pasien yang tidak lengkap hilang
tidak jelas terbaca
23 Batasan operasional
a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan
gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala
gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61
Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya
diperkuat oleh uji widal yang dilakukan
b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala
demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian
obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan
tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan
oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan
klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang
c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu
analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang
lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran
dengan membandingkan biaya satuan per episode
antara kloramfenikol dan seftriakson
Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya
perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya
pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol
dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan
bantuan analisis statistik Student - t menggunakan
program SPSS for Window
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan
membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran
pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson
3 Hasil
Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian
Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash
Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam
tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria
eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid
anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa
jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi
berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak
36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang
tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien
menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien
menggunakan antibiotika seftriakson
Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari
rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya
demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali
normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien
demam tifoid yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan
biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan
laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat
Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
Efektivitas pengobatan
(Hari)
661
441
397
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
276
464
345
556
422
576
473
0
1
2
3
4
5
6
7
Lamanya hari
rawat inap
Penurunan
suhu tubuh
Hilangnya
demam
Hilangnya
gejala ikutan
Leukosit
kembai normal
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam
tifoid anak menggunakan antibiotika
kloramfenikol dan seftriakson
Efisiensi
Biaya (Rp-)
4970158
4265960
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
4184194
5408442
1329278
1881625
7436207
11256537
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Biaya kelas
perawatan
Biaya laboratorium Biaya kunjungan
dokter
Biaya obat
Kloramfenikol
Seftriakson
Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan
pengobatan demam tifoid anak
menggunakan antibiotika kloramfenikol
dan seftriakson
Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan
(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson
Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya
hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil
analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid
dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp
100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat
inap rata-rata sebanyak 4408 hari
4 Pembahasan
Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil
sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian
97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol
dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika
seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini
tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh
data yang ada diambil dalam penelitian ini
Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598
hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang
menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari
Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh
Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan
untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak
diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh
Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu
harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas
demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pasien
Pasien demam tifoid anak yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu
tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada
hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan
antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi
sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama
Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur
dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai
normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli
berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur
pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14
Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada
hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449
untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan
obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan
kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang
setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari
oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan
seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan
dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7
Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari
ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan
antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud
dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air
besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah
diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2
dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang
terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti
keluhan buang air besar demam sakit kepala perut
kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan
kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam
tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda
Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan
antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang
mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan
pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763
Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien
yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke
4733
Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat
leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya
tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus
demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini
pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari
keberapa leukosit kembali ke kondisi normal
Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah
dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil
luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu
kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang
menggunakan seftriakson menjadi berkurang
Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam
tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson
mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan
pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan
dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan
laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat
menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari
kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63
Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang
menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan
disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien
yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak
sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih
tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung
oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh
karena pasien yang menggunakan antibiotika
seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC
kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya
biaya kunjungan dokter tersebut
Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang
menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien
yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini
kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih
mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga
pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika
seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol
Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang
mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply
and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor
jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi
dan strategi produsen
Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid
anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol
Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan
biaya satuan pengobatan demam tifoid yang
menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-
Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat
inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis
efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas
dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih
lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi
pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson
Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka
biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan
kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan
Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam
tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya
satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya
dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson
dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga
pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun
dengan adanya perpendekkan hari rawat inap
memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang
diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson
akan lebih murah dibandingkan dengan biaya
pengobatan dengan kloramfenikol
Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya
dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing
alternatif obat dengan luaran efektivitas
pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil
adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang
paling kecil
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan
biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien
yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol
diberikan pengobatan dengan antibiotika
seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan
seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata
hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan
antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya
dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari
biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-
Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh
para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu
antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam
pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak
asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan
seftriakson dalam daftar obat-obat Askes
5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam
tifoid anak yang menggunakan antibiotika
kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang
menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap
di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember
2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari
rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang
menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari
sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien
demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson
adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson
lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol
pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat
terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna
terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam
tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson
Daftar Acuan
1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta
Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid
Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995
3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak
Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10
4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79
5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI
1996 435-442
6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal
salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89
7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH
Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and
aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia
in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605
8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason
kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat
penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443
9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian
perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat
Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1990
10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey
Witney Books Company 1996
12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health
Care ProgrammesOxford University Press 1997
13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih
Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993
14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers
Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill
Livingstone 1980
15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of
Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Volume 16 Number 5ndashMay 2010
Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver
Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)
Suggested citation for this article
Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a
major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216
million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most
isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones
remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or
foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to
disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the
importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance
patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal
patient management
S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from
Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The
patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to
high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered
well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried
the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to
provide further history or a stool specimen No other potential source of
infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe
water sources and shared meals with her family
The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for
confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and
antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical
and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The
isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole
nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and
tetracycline
Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the
isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was
compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by
using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-
Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to
pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database
This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya
Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database
(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen
in South Africa (Figure)
Figure
Figure Dendrogram
of pulsed-field gel
electrophoresis
patterns representative
of the 15 largest
clusters of Salmonella
enterica serotype
Typhi isolates
identified in South
Africa during 2005ndash
2009
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns
representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi
isolates identified in South Africa during 2005ndash2009
PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)
of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the
BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City
CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR
DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank
accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence
of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR
of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)
in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE
PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which
was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis
The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following
manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was
performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump
inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump
inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the
MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing
the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance
The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to
ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein
confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL
(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with
the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at
least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone
resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations
in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S
Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance
in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa
Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported
from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that
this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)
In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South
Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood
cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-
mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of
resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for
the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi
strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid
fever could force a change in current treatment guidelines for this disease
Acknowledgments
We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention
Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global
PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for
providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing
information on tracing of the patient and of the patients contacts
The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global
PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared
National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central
Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine
Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease
Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian
Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated
responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute
for Communicable Diseases
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
References
1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull
World Health Organ 200482346ndash53
2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in
South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 World Health Organization Background document the diagnosis
treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization
2003
4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis
of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis
patterns associated with international travel J Clin Microbiol
2005431205ndash9 PubMed DOI
5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan
B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for
the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for
PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI
6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-
resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol
Infect 201013886ndash90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et
al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV
quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella
enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents
Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI
8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et
al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella
enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance
phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash
6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with
CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash
5 PubMed DOI
10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based
surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United
States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash
73PubMed DOI
Suggested Citation for this Article
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant
typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010
May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)
Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah
bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi
kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun
(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan
fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan
makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan
untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat
menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa
atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter
setempat pada manajemen pasien yang optimal
S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape
Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien
dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone
dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia
pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga
demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan
perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih
lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat
dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman
dan makan bersama dengan keluarganya
Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi
identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat
antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile
Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan
Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam
dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin
lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat
mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan
database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi
601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-
Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola
JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini
yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan
adalah pola umum yang paling dalam database
(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang
terlihat di Afrika Selatan (Gambar)
TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-
menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc
dan pare (6) Gen disekuensing dengan
menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing
Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan
sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer
3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan
dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga
digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)
Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc
dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di
Tokoh
Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc
dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen
yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida
The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai
berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM
pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL
inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya
inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL
sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL
sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam
berunding quinolone perlawanan
Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan
terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein
berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke
MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam
amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan
penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk
tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone
dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi
pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami
Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon
dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain
fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan
baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang
diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan
bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald
perscomm)
Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di
Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak
dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen
obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki
implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama
yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran
resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman
pengobatan terkini untuk penyakit ini
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE
komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain
kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi
mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut
Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global
PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National
Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium
Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for
Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis
Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit
dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical
Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital
Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab
mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit
Menular
Referensi
1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World
Health Organ 2004 82346-53
2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di
Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010
Mar
9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008
3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis
pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz
DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis
berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J
Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI
5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan
B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut
untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella
dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006
359-67 PubMed DOI
6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi
di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-
90 PubMed DOI
7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et
al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV
quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella
enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen
Chemother 2002 463249-52PubMed DOI
8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et
al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur
menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen
Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI
9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar
dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009
151533-5 PubMed DOI
10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis
surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat
resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-
73PubMed DOI
Citation Disarankan untuk Pasal ini
Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon
Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal
dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm
DOI 103201eid1605091917
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-
httpwwwcdcgoveidcontent165879htm
- METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
- Demam Typhoid
-
- Volume 16 Number 5ndashMay 2010
-
- Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
-
- Acknowledgments
- References
- Suggested Citation for this Article
-
- Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
-
- Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
-
- Tokoh
-
- Ucapan Terima Kasih
- Referensi
-
- Citation Disarankan untuk Pasal ini
-