METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

88
METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID BAB I PENDAHULUAN A. Mengenali Demam Typhoid Demam tifoid (typhoid fever) atau yang lebih dikenal dengan penyakit tifus ini merupakan suatu penyakit pada saluran pencernaan yang sering menyerang anak-anak bahkan juga orang dewasa. Penyebab penyakit tersebut adalah bakteri Salmonella Typhi. Gejala-gejala yang kerap terjadi antara lain seperti nyeri pada perut, mual, muntah, demam tinggi, sakit kepala dan diare yang kadang-kadang bercampur darah. Penularan penyakit tifus ini, pada umumnya itu disebabkan oleh karena melalui makanan ataupun minuman yang sudah tercemar oleh agen penyakit tersebut. Bisa juga, karena penanganan yang kurang begitu higenis ataupun juga disebabkan dari sumber air yang sering digunakan untuk mencuci dan yang dipakai untuk sehari-hari. Struktur Antigen Salmonella a. Antigen “H” atau antigen flagel dibuat tidak aktif oleh pemanasan di atas 600C dan juga oleh alcohol dan asam. Kuman ini paling baik disiapkan untuk tes serologi dengan menambahkan formalin pada biakan kaldu muda yang bergerak dengan serum yang mengandung antibody anti H. antigen demikian akan beraglutinasi dengan cepat dalam gumpalan besar menyerupai kapas. Antigen H ini mengandung beberapa unsure imunologik. Dalam satu spesies Salmonella antigen flagel dapat ditemukan dalam salah satu atau kedua bentuk yang dinamakan fase 1 dan fase 2. organisme cenderung berubah dari satu fase ke fase lainnya. Ini dinamakan variase fase anti bodi terdapat antigen H adalah terutama Ig C.

Transcript of METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Page 1: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID

BAB I

PENDAHULUAN

A Mengenali Demam Typhoid

Demam tifoid (typhoid fever) atau yang lebih dikenal dengan penyakit tifus ini

merupakan suatu penyakit pada saluran pencernaan yang sering menyerang

anak-anak bahkan juga orang dewasa Penyebab penyakit tersebut adalah

bakteri Salmonella Typhi

Gejala-gejala yang kerap terjadi antara lain seperti nyeri pada perut mual

muntah demam tinggi sakit kepala dan diare yang kadang-kadang

bercampur darah

Penularan penyakit tifus ini pada umumnya itu disebabkan oleh karena

melalui makanan ataupun minuman yang sudah tercemar oleh agen penyakit

tersebut Bisa juga karena penanganan yang kurang begitu higenis ataupun

juga disebabkan dari sumber air yang sering digunakan untuk mencuci dan

yang dipakai untuk sehari-hari

Struktur Antigen Salmonella

a Antigen ldquoHrdquo atau antigen flagel dibuat tidak aktif oleh pemanasan di atas

600C dan juga oleh alcohol dan asam Kuman ini paling baik disiapkan untuk

tes serologi dengan menambahkan formalin pada biakan kaldu muda yang

bergerak dengan serum yang mengandung antibody anti H antigen demikian

akan beraglutinasi dengan cepat dalam gumpalan besar menyerupai kapas

Antigen H ini mengandung beberapa unsure imunologik Dalam satu spesies

Salmonella antigen flagel dapat ditemukan dalam salah satu atau kedua

bentuk yang dinamakan fase 1 dan fase 2 organisme cenderung berubah

dari satu fase ke fase lainnya Ini dinamakan variase fase anti bodi terdapat

antigen H adalah terutama Ig C

b Antigen ldquoOrdquo atau antigen somatic adalah bagian dari dinding sel pada

1000C terdapat alcohol dan terdapat asam yang encer Antigen ldquoOrdquo dibuat

dari kuman yang tidak bergerak atau dengan pemberian panas dan alcohol

Dengan serum yang mengandung anti ldquoOrdquo antigen ini mengadakan aglutinasi

dengan lambat membentuk gumpalan berpasir Antigen terdapat antigen ldquoOrdquo

terutama Ig M anti somatic O adalah Lipopolisakarida Beberapa polisakarida

spesifik O mengandung gula yang unik diosiribosa

c Antigen ldquoVrdquo antigen kapsul K khusus yang terdapat pada bagian paling

pinggir dari kuman Strain-strain yang baru diisolasi dengan anti sera yang

mengandung agglutinin anti ldquoOrdquo antigen ldquoVirdquo dirusak oleh pemanasan

selama satu jam pada 60ordmC dan oleh asam fenol Biakan yang mempunyai

antigen ldquoVirdquo cenderung lebih virulen Antigen K mirip polisakarida kapsul

meningokokus atau Haemophilus sp (E JawetJL Melnick EA Adelberg

1982)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A Patogenesis

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif termasuk keluarga

Enterobacteriaceae Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 LPS antigen

protein flagelar Hd dan antigen kapsular Vi Di Indonesia beberapa isolate

memiliki jenis flagella yang unik yaitu Hj (2) Seseorang terinfeksi Salmonella

typhi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut

Waktu inkubasi sangat tergantung pada kuantitas bakteri dan juga host

factors Waktu inkubasi umumnya berkisar antara 3 hari sampai gt 60 hari

Organisme yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pilorus dan mencapai

usus kecil Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa

melalui sel-sel microfold atau enterocytes dan mencapai lamina propria di

mana secara cepat ditelan oleh makrofag Beberapa bakteri masih berada di

dalam makrofag jaringan limfoid usus kecil Beberapa mikroorganisme

melewati sel-sel retikuloendotelial hati dan limpa Salmonella typhi dapat

bertahan dan bermultiplikasi dalam sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel

limfoid hati dan limpa (3)

Pada fase bakteremia organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh Tempat

yang paling banyak untuk infeksi sekunder adalah hati limpa sumsum tulang

empedu dan Peyerrsquos Patches dari terminal ileum Invasi empedu terjadi

secara langsung dari darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile

Organisme diekskresikan ke dalam empedu (melalui reinvasi dinding

intestinal) atau ke dalam feses Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat

keparahan dan outcome klinis demam tifoid Faktor-faktor tersebut adalah

lamanya sakit sebelum memperoleh terapi yang sesuai pilihan antimikroba

yang digunakan paparan sebelumnyariwayat vaksinasi virulensi strain

bakterikuantitas inokulum yang tertelan host factors (tipe HLA keadaan

imunosupresi dan pengobatan lain seperti H2blockers atau antasida yang

mengurangi asam lambung) (3)

B Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi urinalis kimia

klinik imunoreologi mikrobiologi dan biologi molekular Pemeriksaan ini

ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan

menjadi penentu diagnosis) menetapkan prognosis memantau perjalanan

penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit

1 Hematologi

bull Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit

perdarahan usus atau perforasi

bull Hitung leukosit sering rendah (leukopenia) tetapi dapat pula normal atau

tinggi

bull Hitung jenis leukosit sering neutropenia dengan limfositosis relatif

bull LED ( Laju Endap Darah ) Meningkat

bull Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)

2 Urinalis

bull Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)

bull Leukosit dan eritrosit normal bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit

3 Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan

sampai hepatitis Akut

4 Imunorologi

bull Widal

Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi

(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi paratyphi

(reagen) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling

sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di

Indonesia Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui

Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi Karena itu antibodi jenis ini

dikenal sebagai Febrile agglutinin

Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil

positif palsu atau negatif palsu Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh

faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (Enterobacteriaceae sp) reaksi anamnestik (pernah sakit) dan

adanya faktor rheumatoid (RF) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh

karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika waktu

pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit keadaan umum pasien yang

buruk dan adanya penyakit imunologik lain

Diagnosis Demam Tifoid Paratifoid dinyatakan bila atiter O = 1160 bahkan

mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit

demam tifoid ini endemis di Indonesia Titer O meningkat setelah akhir

minggu Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita

yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat Bila hasil reaktif

(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu

tetapi dari kontrak sebelumnya

bull Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM

Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru yang dianggap

lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam

Tifoid Paratifoid Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera

di ketahui Diagnosis Demam Typhoid Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM

positif menandakan infeksi akut 2 jika lgG positif menandakan pernah

kontak pernah terinfeksi reinfeksi daerah endemik

5 Mikrobiologi

bull Kultur (Gall culture Biakan empedu)

Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam

Typhoid paratyphoid Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosis pasti

untuk Demam Tifoid Paratifoid Sebalikanya jika hasil negati belum tentu

bukan Demam Tifoid Paratifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit

kurang dari 2mL) darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah

dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam

bekuan) saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit sudah

mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi

Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu

waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari bila belum

ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari) Pilihan bahan spesimen

yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium

lanjut carrier digunakan urin dan tinja

6 Biologi molekular

bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan

Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian

diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat

mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)

serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat

berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa

keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di

sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa

diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang

yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi

hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu

Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan

agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid

dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada

penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering

menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung

pada saat yang tepat

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi

manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk

mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau

dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-

masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan

untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman

Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui

Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah

akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau

negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan

Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial

karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi

tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi

aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari

ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase

akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens

Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan

karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal

kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki

antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan

enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil

positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria

typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis

BAB IV

KESIMPULAN

Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak

memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari

makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena

keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium

penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid

Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit

yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk

dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan

timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari

hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan

sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan

waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode

pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan

spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan

BAB V

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan

data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan

kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman

yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan

lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak

terinfksi

Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita

sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui

Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak

sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil

reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H

DAFTAR PUSTAKA

Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang

Djambatan 1989 hal 197

E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan

EGC edisi 141982 hal 325-326

Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk

Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109

Disusun oleh

1 Istiqomah G032005001040

2 Farida P G032005001042

3 Alvinofa G032005001043

4 A Syaiful M G032005001044

5 Heru Eko S G032005001045

6 A Heri Wibowo G032005001046

7 Herlina W G032005001047

8 Arita Aprilia G032005001048

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Demam tipus

Penyebab

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui

makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum

sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke

dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan

perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan

bagian tubuh lainnya

Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan

bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini

demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari

400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 2: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

terutama Ig M anti somatic O adalah Lipopolisakarida Beberapa polisakarida

spesifik O mengandung gula yang unik diosiribosa

c Antigen ldquoVrdquo antigen kapsul K khusus yang terdapat pada bagian paling

pinggir dari kuman Strain-strain yang baru diisolasi dengan anti sera yang

mengandung agglutinin anti ldquoOrdquo antigen ldquoVirdquo dirusak oleh pemanasan

selama satu jam pada 60ordmC dan oleh asam fenol Biakan yang mempunyai

antigen ldquoVirdquo cenderung lebih virulen Antigen K mirip polisakarida kapsul

meningokokus atau Haemophilus sp (E JawetJL Melnick EA Adelberg

1982)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A Patogenesis

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif termasuk keluarga

Enterobacteriaceae Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 LPS antigen

protein flagelar Hd dan antigen kapsular Vi Di Indonesia beberapa isolate

memiliki jenis flagella yang unik yaitu Hj (2) Seseorang terinfeksi Salmonella

typhi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut

Waktu inkubasi sangat tergantung pada kuantitas bakteri dan juga host

factors Waktu inkubasi umumnya berkisar antara 3 hari sampai gt 60 hari

Organisme yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pilorus dan mencapai

usus kecil Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa

melalui sel-sel microfold atau enterocytes dan mencapai lamina propria di

mana secara cepat ditelan oleh makrofag Beberapa bakteri masih berada di

dalam makrofag jaringan limfoid usus kecil Beberapa mikroorganisme

melewati sel-sel retikuloendotelial hati dan limpa Salmonella typhi dapat

bertahan dan bermultiplikasi dalam sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel

limfoid hati dan limpa (3)

Pada fase bakteremia organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh Tempat

yang paling banyak untuk infeksi sekunder adalah hati limpa sumsum tulang

empedu dan Peyerrsquos Patches dari terminal ileum Invasi empedu terjadi

secara langsung dari darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile

Organisme diekskresikan ke dalam empedu (melalui reinvasi dinding

intestinal) atau ke dalam feses Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat

keparahan dan outcome klinis demam tifoid Faktor-faktor tersebut adalah

lamanya sakit sebelum memperoleh terapi yang sesuai pilihan antimikroba

yang digunakan paparan sebelumnyariwayat vaksinasi virulensi strain

bakterikuantitas inokulum yang tertelan host factors (tipe HLA keadaan

imunosupresi dan pengobatan lain seperti H2blockers atau antasida yang

mengurangi asam lambung) (3)

B Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi urinalis kimia

klinik imunoreologi mikrobiologi dan biologi molekular Pemeriksaan ini

ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan

menjadi penentu diagnosis) menetapkan prognosis memantau perjalanan

penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit

1 Hematologi

bull Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit

perdarahan usus atau perforasi

bull Hitung leukosit sering rendah (leukopenia) tetapi dapat pula normal atau

tinggi

bull Hitung jenis leukosit sering neutropenia dengan limfositosis relatif

bull LED ( Laju Endap Darah ) Meningkat

bull Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)

2 Urinalis

bull Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)

bull Leukosit dan eritrosit normal bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit

3 Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan

sampai hepatitis Akut

4 Imunorologi

bull Widal

Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi

(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi paratyphi

(reagen) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling

sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di

Indonesia Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui

Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi Karena itu antibodi jenis ini

dikenal sebagai Febrile agglutinin

Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil

positif palsu atau negatif palsu Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh

faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (Enterobacteriaceae sp) reaksi anamnestik (pernah sakit) dan

adanya faktor rheumatoid (RF) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh

karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika waktu

pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit keadaan umum pasien yang

buruk dan adanya penyakit imunologik lain

Diagnosis Demam Tifoid Paratifoid dinyatakan bila atiter O = 1160 bahkan

mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit

demam tifoid ini endemis di Indonesia Titer O meningkat setelah akhir

minggu Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita

yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat Bila hasil reaktif

(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu

tetapi dari kontrak sebelumnya

bull Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM

Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru yang dianggap

lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam

Tifoid Paratifoid Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera

di ketahui Diagnosis Demam Typhoid Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM

positif menandakan infeksi akut 2 jika lgG positif menandakan pernah

kontak pernah terinfeksi reinfeksi daerah endemik

5 Mikrobiologi

bull Kultur (Gall culture Biakan empedu)

Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam

Typhoid paratyphoid Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosis pasti

untuk Demam Tifoid Paratifoid Sebalikanya jika hasil negati belum tentu

bukan Demam Tifoid Paratifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit

kurang dari 2mL) darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah

dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam

bekuan) saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit sudah

mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi

Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu

waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari bila belum

ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari) Pilihan bahan spesimen

yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium

lanjut carrier digunakan urin dan tinja

6 Biologi molekular

bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan

Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian

diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat

mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)

serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat

berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa

keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di

sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa

diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang

yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi

hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu

Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan

agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid

dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada

penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering

menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung

pada saat yang tepat

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi

manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk

mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau

dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-

masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan

untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman

Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui

Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah

akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau

negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan

Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial

karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi

tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi

aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari

ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase

akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens

Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan

karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal

kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki

antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan

enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil

positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria

typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis

BAB IV

KESIMPULAN

Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak

memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari

makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena

keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium

penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid

Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit

yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk

dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan

timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari

hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan

sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan

waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode

pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan

spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan

BAB V

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan

data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan

kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman

yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan

lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak

terinfksi

Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita

sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui

Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak

sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil

reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H

DAFTAR PUSTAKA

Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang

Djambatan 1989 hal 197

E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan

EGC edisi 141982 hal 325-326

Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk

Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109

Disusun oleh

1 Istiqomah G032005001040

2 Farida P G032005001042

3 Alvinofa G032005001043

4 A Syaiful M G032005001044

5 Heru Eko S G032005001045

6 A Heri Wibowo G032005001046

7 Herlina W G032005001047

8 Arita Aprilia G032005001048

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Demam tipus

Penyebab

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui

makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum

sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke

dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan

perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan

bagian tubuh lainnya

Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan

bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini

demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari

400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 3: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

yang digunakan paparan sebelumnyariwayat vaksinasi virulensi strain

bakterikuantitas inokulum yang tertelan host factors (tipe HLA keadaan

imunosupresi dan pengobatan lain seperti H2blockers atau antasida yang

mengurangi asam lambung) (3)

B Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi urinalis kimia

klinik imunoreologi mikrobiologi dan biologi molekular Pemeriksaan ini

ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan

menjadi penentu diagnosis) menetapkan prognosis memantau perjalanan

penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit

1 Hematologi

bull Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit

perdarahan usus atau perforasi

bull Hitung leukosit sering rendah (leukopenia) tetapi dapat pula normal atau

tinggi

bull Hitung jenis leukosit sering neutropenia dengan limfositosis relatif

bull LED ( Laju Endap Darah ) Meningkat

bull Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)

2 Urinalis

bull Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)

bull Leukosit dan eritrosit normal bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit

3 Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan

sampai hepatitis Akut

4 Imunorologi

bull Widal

Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi

(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi paratyphi

(reagen) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling

sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di

Indonesia Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui

Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi Karena itu antibodi jenis ini

dikenal sebagai Febrile agglutinin

Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil

positif palsu atau negatif palsu Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh

faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (Enterobacteriaceae sp) reaksi anamnestik (pernah sakit) dan

adanya faktor rheumatoid (RF) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh

karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika waktu

pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit keadaan umum pasien yang

buruk dan adanya penyakit imunologik lain

Diagnosis Demam Tifoid Paratifoid dinyatakan bila atiter O = 1160 bahkan

mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit

demam tifoid ini endemis di Indonesia Titer O meningkat setelah akhir

minggu Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita

yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat Bila hasil reaktif

(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu

tetapi dari kontrak sebelumnya

bull Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM

Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru yang dianggap

lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam

Tifoid Paratifoid Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera

di ketahui Diagnosis Demam Typhoid Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM

positif menandakan infeksi akut 2 jika lgG positif menandakan pernah

kontak pernah terinfeksi reinfeksi daerah endemik

5 Mikrobiologi

bull Kultur (Gall culture Biakan empedu)

Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam

Typhoid paratyphoid Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosis pasti

untuk Demam Tifoid Paratifoid Sebalikanya jika hasil negati belum tentu

bukan Demam Tifoid Paratifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit

kurang dari 2mL) darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah

dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam

bekuan) saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit sudah

mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi

Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu

waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari bila belum

ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari) Pilihan bahan spesimen

yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium

lanjut carrier digunakan urin dan tinja

6 Biologi molekular

bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan

Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian

diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat

mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)

serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat

berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa

keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di

sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa

diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang

yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi

hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu

Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan

agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid

dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada

penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering

menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung

pada saat yang tepat

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi

manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk

mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau

dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-

masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan

untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman

Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui

Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah

akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau

negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan

Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial

karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi

tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi

aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari

ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase

akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens

Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan

karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal

kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki

antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan

enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil

positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria

typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis

BAB IV

KESIMPULAN

Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak

memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari

makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena

keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium

penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid

Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit

yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk

dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan

timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari

hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan

sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan

waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode

pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan

spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan

BAB V

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan

data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan

kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman

yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan

lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak

terinfksi

Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita

sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui

Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak

sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil

reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H

DAFTAR PUSTAKA

Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang

Djambatan 1989 hal 197

E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan

EGC edisi 141982 hal 325-326

Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk

Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109

Disusun oleh

1 Istiqomah G032005001040

2 Farida P G032005001042

3 Alvinofa G032005001043

4 A Syaiful M G032005001044

5 Heru Eko S G032005001045

6 A Heri Wibowo G032005001046

7 Herlina W G032005001047

8 Arita Aprilia G032005001048

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Demam tipus

Penyebab

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui

makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum

sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke

dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan

perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan

bagian tubuh lainnya

Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan

bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini

demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari

400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 4: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (Enterobacteriaceae sp) reaksi anamnestik (pernah sakit) dan

adanya faktor rheumatoid (RF) Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh

karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika waktu

pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit keadaan umum pasien yang

buruk dan adanya penyakit imunologik lain

Diagnosis Demam Tifoid Paratifoid dinyatakan bila atiter O = 1160 bahkan

mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit

demam tifoid ini endemis di Indonesia Titer O meningkat setelah akhir

minggu Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita

yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat Bila hasil reaktif

(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu

tetapi dari kontrak sebelumnya

bull Elisa Salmonella typhi paratyphi lgG dan lgM

Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru yang dianggap

lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam

Tifoid Paratifoid Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera

di ketahui Diagnosis Demam Typhoid Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM

positif menandakan infeksi akut 2 jika lgG positif menandakan pernah

kontak pernah terinfeksi reinfeksi daerah endemik

5 Mikrobiologi

bull Kultur (Gall culture Biakan empedu)

Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam

Typhoid paratyphoid Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosis pasti

untuk Demam Tifoid Paratifoid Sebalikanya jika hasil negati belum tentu

bukan Demam Tifoid Paratifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit

kurang dari 2mL) darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah

dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam

bekuan) saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit sudah

mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi

Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu

waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari bila belum

ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari) Pilihan bahan spesimen

yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium

lanjut carrier digunakan urin dan tinja

6 Biologi molekular

bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan

Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian

diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat

mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)

serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat

berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa

keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di

sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa

diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang

yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi

hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu

Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan

agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid

dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada

penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering

menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung

pada saat yang tepat

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi

manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk

mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau

dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-

masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan

untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman

Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui

Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah

akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau

negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan

Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial

karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi

tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi

aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari

ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase

akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens

Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan

karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal

kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki

antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan

enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil

positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria

typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis

BAB IV

KESIMPULAN

Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak

memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari

makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena

keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium

penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid

Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit

yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk

dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan

timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari

hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan

sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan

waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode

pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan

spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan

BAB V

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan

data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan

kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman

yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan

lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak

terinfksi

Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita

sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui

Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak

sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil

reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H

DAFTAR PUSTAKA

Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang

Djambatan 1989 hal 197

E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan

EGC edisi 141982 hal 325-326

Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk

Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109

Disusun oleh

1 Istiqomah G032005001040

2 Farida P G032005001042

3 Alvinofa G032005001043

4 A Syaiful M G032005001044

5 Heru Eko S G032005001045

6 A Heri Wibowo G032005001046

7 Herlina W G032005001047

8 Arita Aprilia G032005001048

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Demam tipus

Penyebab

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui

makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum

sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke

dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan

perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan

bagian tubuh lainnya

Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan

bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini

demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari

400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 5: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

6 Biologi molekular

bull PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan

Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian

diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik Kelebihan uji ini dapat

mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)

serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula Spesimen yang digunakan dapat

berupa darah urin cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa

keterbatasan Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di

sekeliling kita sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa

diketahui Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang

yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi

hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H di samping itu

Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan

agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H Adanya factor rheumatoid

dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu Sebaliknya pada

penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering

menunjukkan hasil negativ demikian pula bila specimen tidak ditampung

pada saat yang tepat

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi

manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi Untuk

mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau

dengan metode ELISA dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-

masing keunggulan dan kelemahan Pemeriksaan Widal sering di lakukan

untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman

Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui

Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah

akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau

negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan

Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial

karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi

tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi

aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari

ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase

akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens

Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan

karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal

kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki

antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan

enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil

positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria

typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis

BAB IV

KESIMPULAN

Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak

memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari

makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena

keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium

penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid

Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit

yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk

dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan

timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari

hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan

sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan

waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode

pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan

spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan

BAB V

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan

data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan

kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman

yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan

lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak

terinfksi

Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita

sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui

Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak

sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil

reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H

DAFTAR PUSTAKA

Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang

Djambatan 1989 hal 197

E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan

EGC edisi 141982 hal 325-326

Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk

Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109

Disusun oleh

1 Istiqomah G032005001040

2 Farida P G032005001042

3 Alvinofa G032005001043

4 A Syaiful M G032005001044

5 Heru Eko S G032005001045

6 A Heri Wibowo G032005001046

7 Herlina W G032005001047

8 Arita Aprilia G032005001048

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Demam tipus

Penyebab

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui

makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum

sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke

dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan

perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan

bagian tubuh lainnya

Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan

bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini

demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari

400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 6: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial

karena sensitivitas spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi

tergantung daerah geografis Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi

aglutinasi terhadap antigen O dan H Biasanya antibodi O muncul pada hari

ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit Pemeriksaan pada fase

akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens

Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30 Hal ini disebabkan

karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya Spesifisitas pemeriksaan widal

kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki

antigen O dan H Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan

enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu Hasil

positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria

typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis

BAB IV

KESIMPULAN

Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak

memperhatikan kebesihan makanan dan air Salmonella yang mencari

makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena

keadaan lingkungan Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium

penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid

Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit

yang dapat menyebabkan kematian Kemampuan para tenaga medis untuk

dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan

timbulnya penyulit Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari

hematologi urinalisis kimia klinis imunoserologis mikrobiologi biakan

sampai PCR Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan

waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode

pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan

spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan

BAB V

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan

data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan

kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman

yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan

lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak

terinfksi

Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita

sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui

Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak

sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil

reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H

DAFTAR PUSTAKA

Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang

Djambatan 1989 hal 197

E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan

EGC edisi 141982 hal 325-326

Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk

Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109

Disusun oleh

1 Istiqomah G032005001040

2 Farida P G032005001042

3 Alvinofa G032005001043

4 A Syaiful M G032005001044

5 Heru Eko S G032005001045

6 A Heri Wibowo G032005001046

7 Herlina W G032005001047

8 Arita Aprilia G032005001048

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Demam tipus

Penyebab

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui

makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum

sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke

dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan

perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan

bagian tubuh lainnya

Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan

bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini

demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari

400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 7: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan

data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan

kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan

Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman

yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut Maka dari itu kebersihan

lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak

terinfksi

Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita

sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui

Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak

sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap SalmonellaInterprestasi hasil

reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah

Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 140 atau 180

masih dianggap normal Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang

dapat meningkatkan titer agglutinin khususnya agglutinin H

DAFTAR PUSTAKA

Dwijoseputro Dasar - dasar Mikrobiologi Malang

Djambatan 1989 hal 197

E Jawet JLMelnik E A Adelberg Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan

EGC edisi 141982 hal 325-326

Gerard Bonang Enggar S Koeswardono Mikrobiologi Kedokteran untuk

Laboratorium dan Klinik Jakarta Gramedia 1982 hal 105-109

Disusun oleh

1 Istiqomah G032005001040

2 Farida P G032005001042

3 Alvinofa G032005001043

4 A Syaiful M G032005001044

5 Heru Eko S G032005001045

6 A Heri Wibowo G032005001046

7 Herlina W G032005001047

8 Arita Aprilia G032005001048

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Demam tipus

Penyebab

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui

makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum

sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke

dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan

perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan

bagian tubuh lainnya

Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan

bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini

demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari

400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 8: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

1 Istiqomah G032005001040

2 Farida P G032005001042

3 Alvinofa G032005001043

4 A Syaiful M G032005001044

5 Heru Eko S G032005001045

6 A Heri Wibowo G032005001046

7 Herlina W G032005001047

8 Arita Aprilia G032005001048

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Demam tipus

Penyebab

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid - S typhi - menyebar melalui

makanan yang tercemar minum atau air Jika Anda makan atau minum

sesuatu yang terkontaminasi bakteri memasuki tubuh Anda dan masuk ke

dalam usus Anda dan kemudian ke aliran darah dimana dapat melakukan

perjalanan ke kelenjar getah bening Anda kandung empedu hati limpa dan

bagian tubuh lainnya

Beberapa orang bisa menjadi pembawa S typhi dan terus melepaskan

bakteri dalam kotorannya selama bertahun-tahun menyebarkan penyakit ini

demam tipus adalah umum di negara-negara berkembang tapi kurang dari

400 kasus yang dilaporkan di AS setiap tahun Kebanyakan kasus di AS yang

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 9: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

didatangkan dari luar negeri

Gejala

Awal gejala termasuk demam sakit umum-perasaan dan sakit perut A tinggi

(lebih dari 103 derajat) demam dan diare parah terjadi sebagai penyakit

semakin memburuk

Beberapa orang dengan demam tifoid mengalami ruam yang disebut mawar

bintik-bintik bintik-bintik merah yang kecil di perut dan dada

Gejala lain yang terjadi meliputi

bull abdomen kelembutan

bull Agitasi

bull Bloody stools

bull Kedinginan

bull Kebingungan

bull Kesulitan membayar perhatian (defisit perhatian)

bull Delirium

bull Fluktuasi mood

bull Halusinasi

bull Mimisan

bull kelelahan berat

bull Lambat lambat merasa lesu

bull Kelemahan

Ujian dan Tes

Sebuah hitung darah lengkap (CBC) akan menunjukkan sejumlah besar sel

darah putih

Budaya darah selama minggu pertama demam dapat menunjukkan bakteri S

typhi

Tes lain yang dapat membantu mendiagnosa kondisi ini termasuk

bull feses budaya

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 10: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

bull tes urine ELISA untuk mencari bakteri yang menyebabkan demam tipus

bull jumlah trombosit (platelet count akan rendah)

bull studi antibodi fluorescent untuk mencari bahan khusus untuk bakteri tipus

Pengobatan

Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui vena (intravena) antibiotik yang

tepat diberikan untuk membunuh bakteri Ada peningkatan tingkat resistensi

antibiotik di seluruh dunia sehingga dokter akan memeriksa rekomendasi

saat ini sebelum memilih antibiotik

Outlook (Prognosis)

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan

pengobatan Hasilnya mungkin akan baik dengan perawatan dini tetapi

menjadi miskin jika komplikasi berkembang

Gejala dapat kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya disembuhkan infeksi

Kemungkinan Komplikasi

bull perdarahan usus (berat pendarahan GI)

bull perforasi usus

bull kegagalan ginjal

bull Peritonitis

Ketika ke Kontak Profesional Medis

Hubungi penyedia pelayanan kesehatan Anda jika Anda punya eksposur

dikenal tipus demam atau jika Anda telah dalam endemicarea dan gejala

demam tipus berkembang Juga menghubungi pemberi layanan kesehatan

Anda jika Anda memiliki demam tipus dan kambuh terjadi atau jika sakit perut

parah penurunan output urine atau gejala baru lainnya berkembang

Pencegahan

Vaksin ini dianjurkan untuk perjalanan di luar Amerika Serikat Kanada Eropa

Utara Australia dan Selandia Baru dan selama wabah epidemi

Imunisasi tidak selalu benar-benar efektif dan berisiko pelancong harus

minum hanya direbus atau botol air dan makan makanan matang Percobaan

dengan vaksin tifoid oral hidup dilemahkan sekarang berlangsung dan tampak

menjanjikan

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 11: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Pengolahan air yang memadai pembuangan limbah dan perlindungan

pasokan makanan dari kontaminasi yang penting tindakan kesehatan

masyarakat Pembawa tifus tidak harus diizinkan untuk bekerja sebagai

penangan makanan

Nama Alternatif

Demam tipus

Referensi

Bhutta ZA Demam tipus Dalam P Rakel Bope ET eds Conn Lancar Terapi

2008 60 edPhiladelphia Pa Saunders Elsevier 2008 bab 48

Kaye KS Kaye D infeksi Salmonella (termasuk demam tifoid) In Goldman L

Ausiello D edsCecil Kedokteran 23 ed Philadelphia Pa Saunders Elsevier

2007 chap 329

Update Tanggal 20090530

Diperbarui oleh David C Dugdale III MD Profesor Kedokteran Divisi

Kedokteran Umum Departemen Kedokteran Universitas Washington School

of Medicine dan Jatin M Vyas MD PhD Asisten Profesor Kedokteran

Sekolah Kedokteran Harvard Asisten di Kedokteran Divisi Penyakit Infeksi

Departemen Kedokteran Rumah Sakit Umum Massachusetts Juga ditinjau

oleh David Zieve MD MHA Direktur Medis ADAM Inc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 12: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Cystic fibrosis

cystic fibrosis (juga dikenal sebagai CF) adalah penyakit umum yang

mempengaruhi seluruh tubuh menyebabkan kecacatan progresif dan sering

kematian dini Nama cystic fibrosis mengacu pada karakteristik jaringan parut

(fibrosis) dan pembentukan kista dalam pankreas pertama yang diakui di

tahun 1930-an [1] Kesulitan bernapas adalah gejala yang paling serius dan

hasil dari infeksi paru-paru yang sering diperlakukan meskipun tidak sembuh

olehantibiotik dan obat lain Sebuah banyak gejala lainnya termasuk infeksi

sinus pertumbuhan yang buruk diare dan infertilityresult dari efek CF pada

bagian lain dari tubuh [Rujukan]

CF disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein cystic fibrosis

transmembran konduktansi regulator (CFTR) gen ini diperlukan untuk

mengatur komponen keringat cairan pencernaan dan lendir Meskipun

kebanyakan orang tanpa CF memiliki dua copy pekerjaan dari gen CFTR

hanya satu yang diperlukan untuk mencegah fibrosis kistik CF terjadi ketika

gen tidak bekerja normal Oleh karena itu CF adalah dianggap sebagai

penyakit resesif autosom [Rujukan]

CF yang paling umum di antara orang Kaukasia dan Yahudi Ashkenazi satu

dalam 25 orang-orang keturunan Eropa membawa satu gen untuk

CF [Rujukan] Sekitar 30000 orang Amerika telah CF membuatnya menjadi

salah satu yang paling umum hidup-shortening penyakit warisan Individu

dengan fibrosis kistik dapat didiagnosis sebelum lahir dengan pengujian

genetika atau dengan tes keringat pada anak usia dini Akhirnya

transplantasi paru-paru sering diperlukan sebagai memperburuk CF [sunting]

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 13: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Demam Typhoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi Demam tifoid merupakan

manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang

mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di

banyak negara berkembang Secara global diperkirakan 17 juta

orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya Kebanyakan penyakit

ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah

terutama pada daerah Asia Tenggara Afrika dan Amerika Latin Di

Sulawesi Selatan Indonesia Demam typhoid merupakan salah satu

dari penyakit infeksi terpenting Penyakit ini endemik diseluruh

daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak

keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten Di Sulawesi

Selatan typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya

septisemia terkait komunitas dengan insiden rate yang dilaporkan

melebihi 2500100000 penduduk2

Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia Karier serotype

typhi merupakan reservoir utamanya Beberapa pasien dapat

menjadi karier kronik selama bertahun-tahun terutama karena

infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan

Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah

yang endemik sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah

pasien atau orang lain yang menyediakan makanan Bakteri ini

dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 14: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air

bersih Penyebaran melalui rute fekal-oral Dosis infeksius adalah

105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler3

Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri

Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati limpa

nodus limfe dan peyer patches dari ileum Setelah tertelan

organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke

usus halus tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau

berganda sebelum invasi Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi

Peyerrsquos patches merupakan tempat potensial Styphii untuk

menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan

lympoid sekitar Setelah penetrasi ini terjadi organisme ini menuju

ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica Salmonella

dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom sehingga dapat

bertahan pada follikel lymphoid nodus lymphoid hati dan limpa

Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif proliferatif dan

granulomatosa pada villi kelenjar kript dan lamina propria pada

usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica Pada keadaan tertentu

yang dipengaruhi oleh keadaan imun host jumlah dan virulensi

bakteri akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan

masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang

akan memicu gejala klinis 4

Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak yang

dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang

berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang

ulkus sejajar dengan sumbu usus Pada umumnya ulkus tidak dalam

meskipun tidak jarang jika submukosa terkena dasar ulkus dapat

mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran

serosa

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk

ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 15: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

perforasi dari usus Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan

hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid Meskipun

demikian beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai

dengan beratnya ulserasi Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat

Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa

telah terjadi ulserasi yang berat Pada serangan demam tifoid yang

ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi1

Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi

pada beberapa populasi yang diteliti Sekitar 60 hingga 90 pasien

dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang

cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

Setelah pasien menelan Senterica serotype typhi suatu periode

asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari

Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise Pasien

biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu

pertama setelah onset gekala demam terjadi gejala mirip influenza

seperti menggigil nyeri kepala bagian frontal malaise anorexia

nausea nyeri abdominal yang tidak terlokalisir batuk kering dan

myalgia namun dengan sedikit tanda fisik5 Lidah kotor nyeri perut

hepatomegali dan splenomegali umum terjadi Bradikardia relatif

cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu

bukan merupakan gejala yang umum didapatkan1

Pada mulanya demam berderajat rendah akan tetapi kemudian

meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih

tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C) Ruam kulit

(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen disalah satu sisi dan tidak merata bercak-bercak ros

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 16: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit

gelap5

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir

minggu Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati

Bila keadaan membaik gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat

lepasnya kerak dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin

memburuk dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-

tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorisme dan timpani

masih terjadi juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut Penderita kemudian mengalami kolaps Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus

sedangkan keringat dingingelisahsukar bernapas dan kolaps dari

nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya

perdarahan Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada

minggu ketiga1

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemahkekambuhan dapat

terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendekKekambuhan

dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebutSepuluh persen

dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps1

Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis

typhoid adalah kultur darah positif tes ini hanya menunjukkan

positif pada 40 ndash 60 kasus Biasanya pada perjalanan awal

penyakit ini Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 17: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

akhir minggu pertama atau minggu kedua akan tetapi

sensitivitasnya sangatlah kecil Pada kebanyakan negara

berkembang tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian

antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas

kultur darah Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif

pemeriksaan ini sulit dilakukan karena relatif infasif dan kurang

dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum Kebanyakan

pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik Leukosit darah

biasanya rendah akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada

anak yang lebih mudaThrombositopenia mungkin menjadi petanda

beratnya penyakit Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi

disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi Pemeriksaan tes widal

mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Styphi dan telah

digunakan berpuluh-puluh tahun Walaupun sepertinya sederhana

dan mudah dikerjakan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan

pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis

Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti

Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM

terhadap antigen spesifik S typhi ndash akan tetapi pemeriksaan ini tidak

terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada

komunitas Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer

telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada

darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk

menegakkan diagnosis dengan cepat267

Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath ditemukan pula teknik

mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA

yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil

dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan

didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii Pemeriksaan ini terbukti

sangat sensitif spesifik dan efisien Penelitian ini menyimpulkan

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 18: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga

ketiga setelah demam terjadi8

Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini

diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis Hal ini dapat menimbulkan masalah

karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya

tanpa tanda yang khas Pada anak dengan gejala multisistemik

stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan

seperti gastroenteritis akut bronkitis dan bronchopneumonia

Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria sepsis

akibat patogen lainnya leptospirosis dan penyakit rickets atau

infeksi virus seperti demam dengue hepatitis akut dan

mononucleosis infeksiosa Sehingga dibutuhkan alat untuk

mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit

yang dapat menyebabkan demam 6

Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa

komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian

hingga lt1 Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat

endemik dari suatu lokasi Untuk penanganan pasien yang sangat

dicurigai mengidap typhoid fluoroquinolones merupakan agen yang

paling efektif dengan angka penyembuhan hingga ~98 serta

angka relaps dan karier lt2 Penggunaan ciprofloxacin telah

banyak digunakan secara luas Terapi ofloxacin jangka pendek

sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain

asam nalidixic Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap

terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan

fluoroquinolon pada apotik yang meluas menyebabkan jenis

antibiotik ini jarang digunakan9

Ceftriaxon cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif

untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant Antibiotik ini

menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu dengan angka

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 19: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

kegagalan 5-10 dan angka relas 3-6 Walaupun secara efisien

membunuh Salmonella secara in vitro cephalosporin generasi

pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif

menangani infeksi klinis9 Penanganan standard dengan

chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara

berturut-turut sebesar 5-15 atau 4-8 dimana quinolon jenis

terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka

penyembuhan yang lebih tinggi Merebaknya typhoid multi drug

resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon

sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek

typhoid terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara

dimana penyakit ini menjadi endemik56

Secara teoritis memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae

yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya

bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau

makanan terkontaminasi Akan tetapi dengan tingkat prevalensi

yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan

dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk

pencegahan sepertinya sulit dicapai Sehingga pengunjung pada

daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan

atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin

menggunakan air minuman botol Vaksinasi sebagai jalan untuk

mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu

dipertimbangkan Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia

yaitu Ty21a dan Vi CPS dengan bukti efektivitas sebesar 60-80

dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah

endemik69

REFERENSI

1 Aru Sudoyo 2006 Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Jakarta

Pusat Penerbitan IPD FKUI

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 20: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

2 Hatta M Smits HL 2007 Detection of Salmonella Typhii By

Nested Polimerase Chain in Blood Urine and Stools Samples

In American Journal of Hygine and Therapy [online]2007 [cited 12

November 2008] Available from httpwwwajtmhorg

3 Ryan KJ Ray CG 2004 Sherris Medical Microbiology Fourth

edition New YorkMcGraw-Hill Medical Publishing Division p365-366

4 Eipstein J Hoffman S Typhoid Fever In Tropical Infectious

Disease Volume 1 Editors Guerrant RL Walker DH 2006 USA

Elsevier Churchill Livingstone

5 Parry CM Hien TT Typhoid Fever In New England Journal Of

Medicine [online] 2002[cited 10 November 2008] Available from

httpwwwnejmcom

6 Bhutta ZA Current Concept in Diagnosis and Treatment of

Typhoid Fever In British Medical Journals [online] 2006 [cited 11

November 2008] Available from httpwwwbmjcom

7 M Hatta MG Goris E Heerkens J Gooskens AND HL Smits Simple

dipstick assay for detection of Salmonella typhi-specific IgM

antibodies and the evolution of the response in patients with

typhoid fever Am J Trop Med Hyg Apr 200266416- 421

8 Herath HM Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of

Salivary IgA In Journals Clinical Patology [online] 2003 [cited 11

November 2008] Available from httpjcpbmjjournalscom

9 Fauci A Braunwald E and friends 2008 Harrisonrsquos Principles of

Internal Medicine Seventeenth Edition 2008 United States The

McGraw-Hill Companies Inc

PRINSIP 6 ( ENAM ) BENAR DALA M PEMBERIAN OBAT

1Benar Pasien

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 21: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Sebelum obat diberikan identitas pasien harus diperiksa (papan

identitas di tempat tidur gelang identitas) atau ditanyakan langsung

kepada pasien atau keluarganya Jika pasien tidak sanggup berespon

secara verbal respon non verbal dapat dipakai misalnya pasien

mengangguk Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat

gangguan mental atau kesadaran harus dicari cara identifikasi yang lain

seperti menanyakan langsung kepada keluarganya Bayi harus selalu

diidentifikasi dari gelang identitasnya

2Benar Obat

Obat memiliki nama dagang dan nama generik Setiap obat dengan

nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa

nama generiknya bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama

generiknya atau kandungan obat Sebelum memberi obat kepada pasien

label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali Pertama saat

membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat kedua label

botol dibandingkan dengan obat yang diminta ketiga saat dikembalikan

ke rak obat Jika labelnya tidak terbaca isinya tidak boleh dipakai dan

harus dikembalikan ke bagian farmasi

Jika pasien meragukan obatnya perawat harus memeriksanya lagi

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya

3Benar Dosis

Sebelum memberi obat perawat harus memeriksa dosisnya Jika ragu

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi Ada beberapa obat baik ampul

maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya

Misalnya ondansentron 1 amp dosisnya berapa Ini penting karena 1

amp ondansentron dosisnya ada 4 mg ada juga 8 mg ada antibiotik 1 vial

dosisnya 1 gr ada juga 1 vial 500 mg jadi Anda harus tetap hati-hati dan

teliti

4Benar CaraRute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 22: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

pasien kecepatan respon yang diinginkan sifat kimiawi dan fisik obat

serta tempat kerja yang diinginkan Obat dapat diberikan peroral

sublingual parenteral topikal rektal inhalasi

a Oral

Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai

karena ekonomis paling nyaman dan aman Obat dapat juga diabsorpsi

melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN

b Parenteral

Kata ini berasal dari bahasa Yunani para berarti disamping enteron

berarti usus jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran

cerna yaitu melalui vena (perset perinfus)

c Topikal

Yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa Misalnya

salep losion krim spray tetes mata

d Rektal

Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria

yang akan mencair pada suhu badan Pemberian rektal dilakukan untuk

memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp) hemoroid

(anusol) pasien yang tidak sadar kejang (stesolid supp) Pemberian obat

perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat

dalam bentuk oral namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam

bentuk supositoria

e Inhalasi

Yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan Saluran nafas

memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas dengan demikian

berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya misalnya

salbotamol (ventolin) combivent berotek untuk asma atau dalam

keadaan darurat misalnya terapi oksigen

5Benar Waktu

Ini sangat penting khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung

untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai Jika

obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang

diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan Ingat dalam pemberian

antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 23: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap Ada obat yang

harus diminum setelah makan untuk menghindari iritasi yang berlebihan

pada lambung misalnya asam mefenamat

6Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan harus didokumentasikan dosis rute waktu

dan oleh siapa obat itu diberikan Bila pasien menolak meminum obatnya

atau obat itu tidak dapat diminum harus dicatat alasannya dan dilaporkan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 1 JUNI 2004 27-31 27

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID

ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif mengenai alternatif pengobatan

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 24: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan

terhadap Salmolella typhi Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson

merupakan salah satu antibiotika alternatif yang

menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak

Abstract

The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with

Typhoid Fever in Fatmawati Hospital

Jakarta 2001-2002 This study was a retrospective study using a descriptive

design on the treatment of typhoid fever

involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta Chloramphenicol was

still the drug of choice againts Salmolella

typhi It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather

frequently for typhoid fever in children

Keywords typhoid fever chloramphenicol retrospective ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus

yang disebabkan kuman Salmonella typhi

dengan gejala demam lebih dari satu minggu gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang 12

Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara

23 ndash 1681 Angka kematian penderita

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6 pada

tahun 1969 menjadi 374 pada tahun

1977 dan sebesar 34 pada tahun 197834

Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid

termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 25: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

penyakit rawat inap Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid

yang dirawat sebesar 414 orang tahun

2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001

Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3

ndash 19 tahun suatu golongan masyarakat

yang terdiri dari anak-anak usia sekolah Hal ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar karena

apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu

kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu15

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi biasanya

kontaminasi dari bahan feses muntahan maupun cairan badan Salmonella

typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita lalat dan serangga lain Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan

kuman Salmonella thypi Kontak langsung berarti ada kontak antara orang

sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid Kontak tidak langsung

dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak air es yang dibuat

dari air yang terkontaminasi atau dilayani oleh orang yang membawa kuman

baik penderita aktif maupun carrier6

Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka

pada usus yang dapat menimbulkan syok dan

kematian bagi si penderita Untuk mencegah kejadian bahaya akibat penyakit

tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika yang sesuai pada

waktu yang tepat sehingga si penderita dapat

disembuhkan7

Pemilihan obat atau obat alternatif lainnya oleh dokter merupakan basis

terakhir dari mata rantai distribusi obat yang

legal ke masyarakat dan merupakan pilihan terapi pada sebagian besar

penyakit atau gejala ikutannya Oleh karena itu

dokter memainkan peran yang sangat vital dalam pelayanan kesehatan

khususnya dalam melaksanakan pengobatan8

Penggunaan obat sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan sosial ekonomi

politik ilmu dan teknologi Keberadaan

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 26: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar

dalam pengobatan menyebabkan obat

menjadi bagian yang terpenting dalam praktek medik bagi profesional

kesehatan910

Perilaku dokter dalam memilih obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain pengetahuan tentang

farmakologifarmakoterapi pendidikan yang berkelanjutan pengalaman

psikologi dan informasi obat yang diterima

Selain faktor tersebut diatas faktor lain seperti diagnosis obat itu sendiri dan

karakteristik pasien dapat juga

mempengaruhi dokter dalam pemilihan atau alternatif pengobatan11

Perilaku dokter ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan

untuk memilih obat yang benar untuk pasien

yang sesuai diberikan pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang cukup

serta mempertimbangkan biaya Jika

pengobatan kurang tepat maka akan terjadi ketidaksesuaian dalam

pengobatan penyakit jumlah dan pemberian obat

yang tidak tepat serta peningkatan terhadap biaya8

Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk demam

tifoid karena efektivitasnya terhadap

Salmonella typhi disamping harga obat tersebut relatif murah Namun dengan

banyaknya informasi mengenai timbulnya

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol membuat para

ahli mencari alternatif obat lain yang

terbaik untuk demam tifoid Kenyataan ini menunjukkan masih diperlukannya

penelitian untuk mengetahui pola

pemberian antibiotika dalam memperoleh antibiotika alternatif lain untuk

demam tifoid41213

Sebelum dilakukan pengujian pada pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid beberapa faktor seperti

faktor dokter telah dimasukkan dalam pengambilan keputusan diagnosis

Faktor lain adalah pasien dan obat Faktor

pasien seperti umur pasien telah dipisahkan karena pasien yang dijadikan

sampel penelitian adalah pasien anak Data

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 27: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

lain yang

dikumpulkan adalah jenis kelamin berat badan kelas perawatan cara

pembayaran dan lama hari rawat inap Sementara

faktor obat diamati dari jenis antibiotika yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid anak

2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain

deskriptif yang diambil dari catatan medis

penderita demam tifoid anak yang dirawat inap di Bagian Kesehatan Anak

Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Sampel adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap selama

Januari 2001 ndash Desember 2002 di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Kriteria Inklusi sampel yang akan diambil adalah sampel yang memenuhi

kriteria inklusi sebagai berikut

1048621 Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap sepanjang

periode Januari 2001 ndash Desember 2002

1048621 Pasien demam tifoid anak yang tidak mempunyai penyakit penyerta

1048621 Pasien yang menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh oleh

dokter

Kriteria Eksklusi sampel yang dikeluarkan dari penelitian adalah

1048621 Pasien anak demam tifoid dengan penyakit penyerta

1048621 Pasien anak yang pulang paksa

Dalam penelitian pendahuluan data pasien demam tifoid anak diambil dari

Sub Bagian Rekam Medik dan Registrasi

Bagian Kesehatan Anak lantai III sepanjang periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Berdasarkan nomor register pasien terdapat nama anak nomor rekam medik

diagnosis tanggal masuk dan tanggal

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 28: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

keluar Dari data tersebut status pasien diambil dari bagian rekam medik

Seluruh data yang diperlukan dicatat dari

status pasien yang terdiri dari umur jenis kelamin berat badan indikasi

medis kelas perawatan tanggal masuk dan

keluar cara pembayaran jenis antibiotika yang digunakan Data dikeluarkan

dari penelitian apabila catatan rusak tidak

lengkap hilang maupun tidak jelas terbaca sehingga tidak mungkin untuk

diteliti Data yang terkumpul akan diperiksa

divalidasi kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis Analisis data

dilakukan secara univariat terhadap hasil

pengamatan dan perhitungan untuk memperoleh hasil secara deskriptif

3 Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 pasien demam tifoid anak sebanyak 244 pasien Pasien tersebut terdiri

dari 182 pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta sebanyak 53 pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta dan 9 pasien demam tifoid anak

yang tidak menyelesaikan pengobatan atau pasien pulang paksa

Karakteristik demografi dari penderita dapat dilihat

pada Tabel 1

Analisis data selanjutnya dilakukan terhadap pasien demam tifoid anak tanpa

penyakit penyerta untuk melihat distribusi

jenis antibiotika yang digunakan kelas perawatan cara pembayaran dan

distribusi rawat inap Jenis antibiotika yang

diberikan untuk pengobatan demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 2

Rentang kelas perawatan pasien demam tifoid anak adalah kelas 1 kelas 2

AC (Air Conditioning) kelas 2 non AC dan

kelas 3 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa kelas perawatan pasien

demam tifoid anak lebih banyak di kelas 3 yaitu

sebanyak 81 pasien (441) Kelas perawatan 1 VIP menjadi kelas

perawatan yang paling sedikit terdapat pasien

demam tifoid anak yaitu sebanyak 10 pasien (549)

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 29: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Tabel 1 Karakteristik demografi pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Januari 2001 ndash Desember 2002Tifoid

(n = 182)

n

Tifoid dg

Penyakit

Penyerta

(n = 53)

n

Pasien

Pulang

Paksa

(n = 9)

n

J Kelamin

Laki-laki 101 5549 31 5849 2 2222

Perempuan 81 4451 22 4151 7 7778

Umur (thn)

1 ndash 3 23 1264 10 1887 2 2222

4- 6 47 2582 22 4151 3 3334

7 ndash 9 51 2802 2 377 2 2222

10 ndash 12 45 2473 15 2830 2 2222

13 ndash 15 16 879 4 755 -

BB (kg)

10 ndash 14 25 1374 9 1698 2 2222

15 ndash 19 50 2747 7 1321 4 4444

20 ndash24 42 2308 12 2265 3 3334

25 ndash 29 36 1978 18 3396 - -

30 ndash 35 18 989 5 943 - -

gt 35 11 604 2 377 - -

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 30: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Tabel 2 Distribusi jenis antibiotika pengobatan pasien demam tifoid

anak yang dirawat inap

Jenis Antibiotika Jumlah

Ampisilin 4 219

Amoksisilin 3 165

Sefiksim 4 219

Siprofloksasin 1 055

Seftriakson 49 2692

Kloramfenikol 97 5355

Kotrimoksazol 8 439

Tiamfenikol 3 165

Kombinasi

1048621 Kloramfenikol+Ampisilin (9)

1048621 Kotrimoksazol+Ampisilin (2)

1048621 Kloramfenikol-Kotrimoksazol (2)

922

494

110

110

Tabel 3 Distribusi lama hari rawat inap pasien demam tifoid anak di

Bagian Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta

Lama hari rawat (hari)

Jumlah pasien( n = 182)

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 31: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Persentase()

3 ndash 4 33 1813

5 ndash 6 82 4505

7 ndash 8 42 2308

9 ndash 10 17 934

11 ndash 12 8 440

Mengenai cara pembayaran pasien demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati sepanjang periode Januari 2001 - Desember

2002 terlihat bahwa cara pembayaran terbagi dalam 6 kelompok yaitu tunai

Askes asuransi lain perusahaan fasilitas dan tidak mampu Dari cara

pembayaran terlihat bahwa pembayaran secara tunai paling banyak

dilakukan yaitu oleh 139 pasien (7637) Dari 182 pasien demam tifoid anak

tanpa penyakit penyerta yang dirawat terlihat bahwa rentang hari rawat inap

berkisar antara 3 - 12 hari Rincian dari hari rawat inap dapat dilihat pada

Tabel 3 Pemilihan pasien demam tifoid anak tidak dilakukan secara acak

namun seluruh data yang ada diambil sebagai sampel Hal ini dilakukan untuk

menghindari bias yang mungkin terjadi dan sesuai dengan kriteria inklusi

serta tujuan penelitian awal yaitu melihat pola pemberian antibiotika pada

pengobatan demam tifoid anak Melihat jumlah pasien demam tifoid anak ini

cukup besar maka faktor higienis perorangan khususnya pada anak-anak

dan sanitasi lingkungan masih perlu perhatian khusus guna mencegah

terjadinya penyebaran penyakit demam tifoid ini1 Jenis kelamin laki-laki pada

pasien anak demam tifoid tanpa penyakit penyerta sebanyak 101 pasien

(5549) dan sisanya berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 pasien

(4451) Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan karena

anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah Hal ini

memungkinkan anak laki - laki mendapatkan resiko lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan14

Usia kejadian demam tifoid tanpa penyakit penyerta terdapat pada pasien

berumur 7 - 9 tahun dengan berat badan antara 15 - 19 kg Ini menunjukkan

bahwa pada usia tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 32: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

karena pada usia tersebut adalah usia sekolah dan biasanya mereka masih

menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan di

pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi15

Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid anak terlihat bahwa kloramfenikol (5355) masih merupakan antibiotika

pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan

Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 ndash Desember 2002

karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya

terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah Namun

Suharyo dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada

pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol1

Selain itu pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa negara

mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal yang

disebabkan oleh strain Salmonella Ttphi yang resisten terhadap

kloramfenikol Angka kematian di Indonesia mencapai 12 akibat strain

Salmonella typhi ini116

Hasil lain menunjukkan adanya pemberian obat golongan sefalosporin

generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid anak yakni

seftriakson (2692) dan sefiksim (219) Namun dari 2 jenis obat ini

seftriakson menjadi pilihan alternatif pengobatan demam tifoid anak yang

banyak digunakan di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

sepanjang periode Januari 2001 -Desember 2002

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan

demam tifoid jangka pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel

tubuh manusia mempunyai spektrum luas penetrasi jaringan cukup baik dan

resistensi kuman masih terbatas 116 Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia

pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap

di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari1

Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa

seftriakson dengan dosis 65 mgkg BB sekali sehari selama 5 hari tidak

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 33: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2) angka relaps

hampir

mendekati 2 Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mgkgBB sekali

sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis

3 meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1 1317 Hasil ini tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan

dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98 dalam mengobati demam

tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 216

Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (439) ampisilin

(219) amoksisilin (165) dan tiamfenikol (165) jarang diberikan pada

pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan

untuk pengobatan demam tifoid Namun dalam hal kemampuan untuk

menurunkan demam efektivitas amoksisilin ampisilin dan tiamfenikol lebih

kecil dibandingkan dengan kloramfenikol Sedangkan kotrimoksazol

efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol2

Pemakaian kombinasi antibiotika seperti kloramfenikol- ampisilin (494)

kotrimoksazol -ampisilin (110) dan kloramfenikol - kotrimoksazol (110)

hanya diberikan pada pasien yang secara klinis tidak jelas menderita demam

tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih Namun pemberian kombinasi ini

seringkali tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan

tunggal baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam atau

menurunkan angka kejadian relaps Ini dibuktikan dengan penelitian Schubair

terhadap terapi kombinasi 2 antibiotika klramfenikol ndash ampisilin

memperlihatkan hasil tidak adanya perbedaan klinis antara kloramfenikol

yang diberikan secara tunggal dengan kloramfenikol yang dikombinasi

dengan ampisilin1

Antibiotika siprofloksasin (055) dapat diberikan pada anak apabila tidak

ada antibiotika lain yang sensitif pada demam tifoid yang kuat13 Hal ini

dikarenakan belum banyak tersedianya siprofloksasin untuk anak-anak dan

remaja yang bebas efek samping Obat ini dapat menyebabkan efek samping

pada tulang dan sendi bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan

mengganggu pertumbuhan tulang di masa pertumbuhan anak1819

Dari distribusi kelas perawatan terlihat bahwa sebanyak 81 pasien (4451)

di rawat di kelas 3 Hal ini mungkin berkaitan dengan kemampuan membayar

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 34: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

dari orang tua pasien Sementara itu pasien yang dirawat kelas 1 atau VIP

sebanyak 10 pasien (549) Ini bisa dimengerti karena Rumah Sakit

Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan sekaligus Rumah Sakit Pemerintah

tipe B banyak menerima pasien dengan sosial ekonomi menengah ke

bawah20

Kebanyakan pasien demam tifoid anak yang di rawat inap di Bagian

Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati mempunyai lama hari rawat inap

antara 5 ndash 6 hari Hal ini disebabkan oleh karena anjuran dokter agar pasien

terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps yang tidak diinginkan dapat

dihindari Selanjutnya terdapat juga pasien yang dirawat lebih dari 9 hari Hal

itu kemungkinkan disebabkan oleh faktor derajat berat penyakit yang

berbeda-beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain

demam tifoid

4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapat ditarik kesimpulan bahwa

antibiotika kloramfenikol masih merupakan pilihan utama yang digunakan

untuk pengobatan demam tifoid anak Selain itu seftriakson merupakan

antibiotika kedua yang menjadi pilihan dalam alternatif pengobatan demam

tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002

Daftar Acuan

1 Hadisaputro S Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh

Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi2828

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 35: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK

MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH

SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN 2001 ndash 2002

Lili Musnelina1 A Fuad Afdhal1 Ascobat Gani2 Pratiwi Andayani3

1 Jurusan Farmasi FMIPA Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta

12640 Indonesia

2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok 16424

Indonesia

3 Rumah Sakit Fatmawati Jakarta 12430 Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 36: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan

data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak Sebanyak 97

penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien diberikan

seftriakson

Usia pasien berkisar antara 1 ndash 15 tahun Lama perawatan di rumah sakit

berkisar antara 3- 12 hari dengan rata-rata hari rawat 4408 hari untuk pasien

anak yang diberikan seftriakson dan 6598 hari untuk pasien anak yang

diberikan

kloramfenikol Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada

anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan

kloramfenikol

Abstract

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children

with Chloramphenicol and Ceftriaxone

in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 ndash 2002 This study was a cross-

sectional study using secondary data related to

treatment of typhoid fever in childhood A total of 97 patients received

chloramphenicol and 45 patients received

ceftriaxone The patients ranged in age from 1 to 15 years Length of stay in

hospital range from 3 to 12 days (mean

4408 days for patients receiving ceftriaxone and 6598 days for patients

receiving chloramphenicol) Ceftriaxone is a

more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat

typhoid fever in childhood

Keywords cost effectiveness analysis chloramphenicol ceftriaxone

1 Pendahuluan

Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi

bakteri yang banyak ditemukan di negara - negara

berkembang seperti Indonesia Angka kesakitan demam

tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat

dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2

diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 pada

tahun 1981 sampai dengan 1986 Angka kematian

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 37: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 33

pada tahun 1978 Selain itu beberapa peneliti juga

melaporkan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk

terapi demam tifoid 12

Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anakanak

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi

klinis yang ringan Masa tunas demam tifoid

berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang

timbul sangat bervariasi 3

Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan obat pilihan

untuk demam tifoid 34 Dosis kloramfenikol pada orang

dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena selama

4 ndash 5 hari bebas demam dengan lama perawatan

berkisar antara 17 ndash 23 hari 5

Pada lima tahun terakhir ini para klinisi di beberapa

negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak

yang berat bahkan fatal yang ternyata disebabkan oleh

strain Salmonella typhi yang resisten terhadap

kloramfenikol 6 Peneliti India ini melaporkan adanya

kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol pada tahun 1970 sedangkan di Mexico

untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1972

Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi

selanjutnya beberapa negara melaporkan adanya strain

multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi yang

resisten terhadap dua atau lebih antibiotika yang lazim

digunakan yaitu ampisilin kloramfenikol dan

kotrimoksazol Thailand (1984) merupakan negara

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 38: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

yang pertama kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid anak selanjutnya diikuti oleh negara lain

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 39: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

seperti China (1987) Pakistan (1988) India (1990)

Bahrain (1990) Malaysia (1991) Vietnam dan Mesir

(1993) 37

Perkembangan MDR Salmonella typhi begitu cepat di

beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas

kasus demam tifoid pada anak meningkat maka para

ahli mencari alternatif pengobatan lain untuk demam

tifoid agar demam cepat turun masa perawatan pendek

dan relaps berkurang 8

Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan

efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka

pendek Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah

secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak

mengganggu sel tubuh manusia mempunyai spektrum

luas penetrasi jaringan cukup baik resistensi kuman

masih terbatas Tetapi harga obat tersebut cukup

mahal 69 Menurut Lim Hu Yoe yang dikutip oleh

Hadisaputro 9 seorang peneliti dari Malaysia dengan

seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat

inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol

yaitu selama 21 hari

Dengan ditemukannya MDR salmonella typhi maka

pemilihan antibiotika alternatif menjadi faktor utama

yang harus diperhatikan selain kendala biaya Efisiensi

ekonomi kesehatan dilakukan dengan tujuan agar

sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk

meningkatkan dan menjamin kesehatan masyarakat

seoptimal mungkin Efisiensi juga berhubungan dengan

biaya satuan sumber daya yang digunakan dan

hasilnya dengan demikian terlihat adanya

maksimalisasi luaran dan pemilihan alternatif proses

pelayanan kesehatan yang terbaik Untuk mencapai

tujuan tersebut dapat dilakukan dengan analisis ekonomi

kesehatan yang disebut analisis biaya hasil atau analisis

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 40: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

efektivitas biaya 10

Analisis efektivitas biaya atau cost effectiveness

analysis (CEA) merupakan suatu metode evaluasi

ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan dalam memilih alternatif terbaik dari

beberapa alternatif yang ada Analisis efektivitas biaya

biasanya dipergunakan untuk menilai beberapa

alternatif yang tujuan atau luarannya sama dan

efektivitas diukur dalam satuan luaran seperti jumlah

pasien yang sembuh jumlah tindakan kematian yang

dapat dicegah atau satuan lainnya 10-13

Biaya pelayanan kesehatan dari sisi konsumen dalam

bentuk biaya langsung dan tidak langsung Biaya

langsung adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang

berkaitan langsung dengan biaya pengobatan misalnya

biaya rawat inap biaya obat biaya laboratorium biaya

dokter Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak

langsung berkaitan dengan biaya pengobatan seperti

biaya transportasi biaya konsumsi biaya hilangnya

waktu produktif karena pasien sakit atau menunggu

anggota keluarga sakit ketika dirawat di rumah

sakit 1114

Ruang lingkup penelitian adalah pasien anak demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan antibiotika seftriakson yang dirawat

inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati pada periode Januari 2001 ndash Desember

2002 Perhitungan biaya ditinjau dari sisi konsumen

terhadap biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan

selama rawat inap

2 Bahan dan Metodologi

Penelitian merupakan penelitian cross - sectional

dengan melihat data sekunder yang diambil dari catatan

medisrekam medis pasien demam tifoid anak yang

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 41: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

menjalani rawat inap di Bagian Kesehatan Anak Rumah

Sakit Fatmawati selama periode Januari 2001 ndash

Desember 2002

Penelitian ini membandingkan biaya pengobatan

demam tifoid anak antara antibiotika kloramfenikol

dengan antibiotika seftriakson serta membandingkan

efektivitas dari masing-masing obat tersebut Sampel

yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut

21 Kriteria inklusi

a Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di

Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta selama periode Januari

2001ndash Desember 2002

b Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kloramfenikol atau seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang dinyatakan

sembuh dari demam tifoid oleh dokter

d Usia 1 ndash 15 tahun

22 Kriteria eksklusi

a Pasien demam tifoid anak dengan penyakit

penyerta

b Pasien demam tifoid anak yang

diberikan antibiotika lain selain

kloramfenikol dan seftriakson

c Pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika kombinasi

d Pasien demam tifoid anak yang pulang paksa

e Data status pasien yang tidak lengkap hilang

tidak jelas terbaca

23 Batasan operasional

a Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang

disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dengan

gejala demam sakit kepala sakit perut dan gejala

gangguan intestinal lain seperti konstipasi dan

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 42: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

diare Pada laboratorium didapatkan leukopeni 8

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 61

Diagnosis demam tifoid pada penelitian ini hanya

diperkuat oleh uji widal yang dilakukan

b Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala

demam dan gejala-gejala lain setelah pemberian

obat dan tidak terdapat relaps pada pemeriksaan

tindak lanjut Pernyataan sembuh ini diberikan

oleh dokter kepada pasien anak yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak berdasarkan perbaikan

klinis kemudian pasien diizinkan untuk pulang

c Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah suatu

analisis untuk mendapatkan biaya satuan yang

lebih murah dan memuaskan Cara pengukuran

dengan membandingkan biaya satuan per episode

antara kloramfenikol dan seftriakson

Analisis dilakukan untuk memperoleh ada atau tidaknya

perbedaan terhadap efektivitas dan efisiensi biaya

pengobatan demam tifoid antara obat kloramfenikol

dengan seftriakson dilakukan pengujian bivariat dengan

bantuan analisis statistik Student - t menggunakan

program SPSS for Window

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 43: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Untuk analisis efektivitas biaya dilakukan dengan

membandingkan biaya satuan perepisode dengan luaran

pengobatan antara kloramfenikol dan seftriakson

3 Hasil

Dari data Sub Bagian Rekam medik dan Bagian

Kesehatan Anak Fatmawati periode Januari 2001 ndash

Desember 2002 diperoleh data seluruh pasien demam

tifoid anak sebanyak 244 pasien Berdasarkan kriteria

eksklusi data yang tidak lengkap pasien demam tifoid

anak dengan penyakit penyerta pasien pulang paksa

jumlah pasien menjadi 182 Kriteria eksklusi

berdasarkan jenis antibiotika yang diberikan sebanyak

36 pasien sehingga didapatkan total subyek yang

tersedia adalah 146 dengan perincian 97 pasien

menggunakan antibiotika kloramfenikol dan 49 pasien

menggunakan antibiotika seftriakson

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dari lamanya hari

rawat inap (3 ndash 12 hari) perubahan suhu hilangnya

demam hilangnya gejala ikutan leukosit kembali

normal Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1

Dengan pengujian ndash t (CI) 95 ada perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas pengobatan antara pasien

demam tifoid yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Efisiensi Biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan

biaya pemeriksaaan laboratorium biaya pemeriksaaan

laboratorium biaya doktr dan biaya penggunaan obat

Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2

Efektivitas pengobatan

(Hari)

661

441

397

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 44: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

276

464

345

556

422

576

473

0

1

2

3

4

5

6

7

Lamanya hari

rawat inap

Penurunan

suhu tubuh

Hilangnya

demam

Hilangnya

gejala ikutan

Leukosit

kembai normal

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 1 Perbandingan efektivitas pengobatan demam

tifoid anak menggunakan antibiotika

kloramfenikol dan seftriakson

Efisiensi

Biaya (Rp-)

4970158

4265960

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 45: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

4184194

5408442

1329278

1881625

7436207

11256537

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Biaya kelas

perawatan

Biaya laboratorium Biaya kunjungan

dokter

Biaya obat

Kloramfenikol

Seftriakson

Gambar 2 Perbandingan efisiensi biaya satuan

pengobatan demam tifoid anak

menggunakan antibiotika kloramfenikol

dan seftriakson

Pada hasil pengujian - t dengan batas kepercayaan

(CI) 95 menunjukkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap efektivitas biaya pengobatan antara

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

62 MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson

Hasil analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

anak dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 46: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

sebesar Rp 118235084- per pasien dengan lamanya

hari rawat inap rata-rata sebanyak 6598 hari Hasil

analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid

dengan antibiotika seftriakson sebesar Rp

100567039- perpasien dengan lamanya hari rawat

inap rata-rata sebanyak 4408 hari

4 Pembahasan

Jumlah seluruh pasien demam tifoid anak yang diambil

sebagai sampel sebanyak 146 pasien dengan perincian

97 pasien dengan pengobatan antibiotika kloramfenikol

dan 46 pasien dengan pengobatan antibiotika

seftriakson Pemilihan pasien anak demam tifoid ini

tidak dilakukan dengan cara sampling namun seluruh

data yang ada diambil dalam penelitian ini

Rata-rata lama hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol adalah 6598

hari Rata-rata hari rawat inap pasien yang

menggunakan antibiotika seftriakson adalah 4408 hari

Menurut Kinnear (1971) yang dikutip oleh

Hadisaputro9 perawatan di rumah sakit sangat

dianjurkan pada penyakit demam tifoid dengan tujuan

untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak

diinginkan Namun menurut Christie14 yang dikutip oleh

Hadisaputro9 setelah bebas demam pasien tidak selalu

harus berada di rumah sakit sampai 10 hari bebas

demam Hal ini kemungkinan berkaitan dengan biaya

yang harus dikeluarkan oleh pasien

Pasien demam tifoid anak yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol mengalami penurunan suhu

tubuh rata-rata pada hari ke 3969 dan rata-rata pada

hari ke 2755 pasien demam tifoid anak yang diberikan

antibiotika seftriakson Umumnya suhu tubuh meninggi

sampai 40 ndash 41o Celcius pada minggu pertama

Temperatur tersebut kemudian menurun secara klinis

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 47: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

mencapai normal Pada beberapa kasus temperatur

dapat menurun pada akhir minggu kedua mencapai

normal pada kurun waktu 12 ndash 24 jam Banyak ahli

berpendapat bahwa kekhususan kenaikan temperatur

pada demam tifoid berlangsung secara bertahap 14

Hilangnya demam pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan obat kloramfenikol rata-rata dialami pada

hari ke 4639 dan rata-rata terjadi pada hari ke 3449

untuk pasien demam tifoid anak yang menggunakan

obat seftriakson Menurut Noer5 dengan penggunaan

kloramfenikol pada demam tifoid akan menghilang

setelah 5 hari dengan dosis dewasa 4 kali 500 mg sehari

oral atau intravena selama 7 hari Sedangkan dengan

seftriakson demam akan turun setelah 3 hari dengan

dosis 65 mg kg BB anak sekali sehari selama 5 hari 7

Hilangnya gejala ikutan dialami oleh pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol rata-rata pada hari ke 5557 dan pada hari

ke 4224 bagi pasien anak yang menggunakan

antibiotika seftriakson Gejala ikutan yang dimaksud

dalam hal ini adalah nyeri perut keluhan buang air

besar sakit kepala pusing nyeri otot mual muntah

diare5 Dalam penelitian yang dilakukan Indro2

dikatakan bahwa nyeri perut adalah keluhan yang

terdapat pada semua penderita demam tifoid diikuti

keluhan buang air besar demam sakit kepala perut

kembung Hilangnya keluhan terhadap gejala ikutan

kemungkinan akan berbeda pada setiap pasien demam

tifoid dengan pemberian antibiotika yang berbeda

Dari 97 pasien anak demam tifoid yang menggunakan

antibiotika kloramfenikol hanya 93 pasien yang

mengalami leukosit kembali normal ketika diizinkan

pulang dengan rata-rata terjadi pada hari ke 5763

Sementara itu dari 49 pasien anak demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 48: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

menggunakan antibiotika seftriakson terdapat 45 pasien

yang jumlah leukositnya kembali normal pada hari ke

4733

Menurut Noer5 pada demam tifoid seringkali terdapat

leukopenia dan limfositosis relatif tetapi kenyataannya

tidaklah sering dijumpai Pada kebanyakan kasus

demam tifoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi

berada dalam batas-batas normal Oleh karena itu

pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

diagnosis demam tifoid Namun pada penelitian ini

pencatatan tetap dilakukan untuk melihat pada hari

keberapa leukosit kembali ke kondisi normal

Biaya kelas perawatan bagi pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson lebih murah

dibandingkan dengan pasien demam tifoid yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol karena hasil

luaran rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson lebih singkat Oleh karena itu

kemungkinan biaya yang ditanggung oleh pasien yang

menggunakan seftriakson menjadi berkurang

Pada biaya laboratorium terlihat bahwa pasien demam

tifoid yang menggunakan antibiotika seftriakson

mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan dengan

pasien yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keraguan

dalam menetapkan diagnosis sehingga pemeriksaan

laboratorium dilakukan sesering mungkin agar dapat

menetapkan diagnosis secara tepat dan menghindari

kesalahan dalam menetapkan terapi pengobatan

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 49: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

MAKARA KESEHATAN VOL 8 NO 2 DESEMBER 2004 59-64 63

Biaya kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat kloramfenikol berbeda dengan biaya

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 50: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

kunjungan dokter pada pasien demam tifoid yang

menggunakan obat seftriakson Hal ini kemungkinan

disebabkan jumlah kunjungan yang dialami oleh pasien

yang menggunakan antibiotika seftriakson lebih banyak

sehingga biaya kunjungan dokter tersebut menjadi lebih

tinggi Biaya kunjungan dokter yang harus ditanggung

oleh pasien pada tiap-tiap kelas saling berbeda oleh

karena pasien yang menggunakan antibiotika

seftriakson lebih banyak dirawat pada kelas 2 non AC

kemungkinan menjadi salah satu penyebab tingginya

biaya kunjungan dokter tersebut

Biaya obat memperlihatkan adanya perbedaan secara

bermakna terhadap biaya obat antara pasien yang

menggunakan antibiotika kloramfenikol dengan pasien

yang menggunakan antibiotika seftrikason Hal ini

kemungkinan terjadi karena biaya obat seftriakson lebih

mahal dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga

pasien demam tifoid yang menggunakan antibiotika

seftriakson harus membayar lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang menggunakan obat kloramfenikol

Menurut Smith dan Wheitheimer 15 banyak faktor yang

mempengaruhi suatu harga obat yaitu struktur supply

and demand biaya produksi biaya promosi kompetitor

jalur distribusi pembeli aturan pemerintah asuransi

dan strategi produsen

Bila dilihat dari biaya satuan pengobatan demam tifoid

anak yang menggunakan antibiotika kloramfenikol

Rp 17919837- lebih murah dibandingkan dengan

biaya satuan pengobatan demam tifoid yang

menggunakan antibiotika seftriakson Rp 22814564-

Akan tetapi bila dibandingkan dengan luaran hari rawat

inap biaya tersebut akan berbeda Dengan analisis

efektivitas biaya perbedaan tersebut sangat terlihat jelas

dimana rata-rata hari rawat inap pengobatan demam

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 51: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

tifoid dengan kloramfenikol sebanyak 6598 hari lebih

lama dibandingkan dengan rata-rata hari rawat inap bagi

pasien demam tifoid yang menggunakan seftriakson

Dengan adanya perbedaan hari rawat inap tersebut maka

biaya pengobatan untuk pasien demam tifoid dengan

kloramfenikol sebesar Rp 118235084- dan

Rp 100567039- untuk biaya pengobatan demam

tifoid dengan seftriakson Perbedaan hasil dari biaya

satuan dengan biaya pada analisis efektivitas biaya

dikarenakan mahalnya harga obat seftriakson

dibandingkan dengan kloramfenikol Demikian juga

pada biaya laboratorium dan kunjungan dokter Namun

dengan adanya perpendekkan hari rawat inap

memungkinkan adanya pengurangan biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan oleh pasien demam tifoid yang

diobati dengan antibiotika seftriakson sehingga dapat

dikatakan bahwa biaya pengobatan dengan seftriakson

akan lebih murah dibandingkan dengan biaya

pengobatan dengan kloramfenikol

Menurut Gani10 penilaian analisis efektivitas biaya

dilakukan untuk menghitung rasio antara biaya masingmasing

alternatif obat dengan luaran efektivitas

pengobatan yang dihasilkan Keputusan yang diambil

adalah pemilihan obat alternatif dengan biaya yang

paling kecil

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah simulasi perbandingan

biaya pengobatan demam tifoid anak jika pasien

yang diobati dengan antibiotika kloramfenikol

diberikan pengobatan dengan antibiotika

seftriakson Analisis sensitivitas dilakukan dengan

mensimulasikan biaya pengobatan menggunakan

seftriakson pada 97 pasien demam tifoid dengan ratarata

hari rawat inap 4408 hari Dari hasil simulasi

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 52: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

tersebut terlihat bahwa biaya pengobatan dengan

antibiotika seftriakson jauh lebih efektif biaya

dibandingkan dengan kloramfenikol dimana selisih dari

biaya simulasi tersebut sebesar Rp 1713800425-

Dengan adanya selisih ini dapat dipertimbangkan oleh

para praktisi bahwa seftriakson bisa dijadikan salah satu

antibiotika alternatif yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid Demikian halnya bagi pihak

asuransi dengan adanya selisih biaya pada simulasi ini

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencantumkan

seftriakson dalam daftar obat-obat Askes

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap analisis efektivitas biaya antara pasien demam

tifoid anak yang menggunakan antibiotika

kloramfenikol dengan pasien demam tifoid anak yang

menggunakan antibiotika seftriakson yang dirawat inap

di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati

Jakarta pada periode waktu Januari 2001 ndash Desember

2002 dapat disimpulkan bahwa rata-rata lamanya hari

rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang

menggunakan kloramfenikol adalah 6598 hari

sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien

demam tifoid anak yang menggunakan seftriakson

adalah 4408 hari Secara farmakoekonomi Seftriakson

lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

pada pengobatan demam tifoid anak Selain itu dapat

terlihat jelas adanya perbedaan secara bermakna

terhadap efektivitas dan efisiensi pengobatan demam

tifoid anak antara kloramfenikol dan seftriakson

Daftar Acuan

1 Harjono H Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta

Dalam Simposium demam tifoid Jakarta 1980 1-10

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 53: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

2 Indro H Nilai diagnostik uji Elisa tak langsung pada penyakit demam tifoid

Surabaya Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1995

3 Hadinegoro SR Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak

Cermin Dunia Kedokteran 1999 124 5-10

4 Lolekha S Salmonella carrier Its evolution and treatment Southeast Asian

Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 77-79

5 Noer S dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta Balai Penerbit FKUI

1996 435-442

6 Bhuta AZ Third generation cephalosphorins in multidrug-resistant typhoidal

salmonellosis in childhood The karachi experience Southeast Asian Journal

of Tropical Medicine and Public Health 1995 23 88-89

7 Girgis NI Sultan Y Hammad O Farid ZH

Comparison of the efficacy safety and cost of cefixime ceftriaxone and

aztreonarm in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia

in children Pediatric Infect Dis Journal 1995 14 603-605

8 Sibuea WH Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi deksametason

kloramfenikol dan antibiotika sesuai uji resistensi guna mempercepat

penyembuhan Majalah Kedokteran Indonesia 1992 42 (8) 438-443

9 Hadisaputro S Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian

perdarahan dan atau perforasi usus pada demam tifoid Jakarta Direktorat

Pembinaan Penelitian pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 1990

10 Gani AT Analisis Ekonomi dalam Pelayanan Bedah Jakarta Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1999

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 54: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

11 Bootman JL et al Principles of Pharmacoeconomics Cincinnati Harvey

Witney Books Company 1996

12 Drummond MF etal Methods for the Economic Evaluation of Health

Care ProgrammesOxford University Press 1997

13 Gani A Analisa Ekonomi dalam Pengadaan Alat Kedokteran Canggih

Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 1993

14 Christie AB Typhoid and paratyphoid fevers

Infections Diseases Epidemiology and Clinical Practice New York Churchill

Livingstone 1980

15 Smith MC Wertheimer AI Social and Behavioral Aspects of

Pharmaceutical Care New York Pharmaceutical Products Press 1996

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 55: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Volume 16 Number 5ndashMay 2010

Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa

Karen H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Husna Ismail and Stephen Oliver

Author affiliations National Institute of Communicable Diseases Johannesburg South Africa (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) University of the Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) National Health Laboratory Service Groote Schuur Cape Town South Africa (S Oliver) and University of Cape Town Cape Town (S Oliver)

Suggested citation for this article

Salmonella enterica serotype Typhi the causal pathogen for typhoid is a

major public health hazard in many parts of the world with an estimated 216

million cases of typhoid and 217000 deaths occurring each year (1) Most

isolates in South Africa are susceptible to quinolones and fluoroquinolones

remain the treatment of choice (2) The disease is primarily water or

foodborne but person-to-person spread is well recognized (3) Travelers to

disease-endemic regions may be at risk for typhoid which may result in the

importation of strains of S Typhi with unfamiliar or unusual resistance

patterns (4) Such infections present a challenge to local clinicians on optimal

patient management

S Typhi was isolated from the blood culture of a woman 65 years of age from

Cape Town she had been in contact with a traveler to Bangladesh The

patient was treated first with ciprofloxacin but this medication was changed to

high-dose ceftriaxone combined with doxycycline for 8 days she recovered

well Contact tracing indicated no family members had typhoid fever or carried

the organism The person who had traveled to Bangladesh was unavailable to

provide further history or a stool specimen No other potential source of

infection could be elucidated the patient lived in an urban area with safe

water sources and shared meals with her family

The isolate was referred to the Enteric Diseases Reference Unit for

confirmation of identification serotyping (Kauffman-White scheme) and

antimicrobial drug susceptibility testing using the Etest (bioMeacuterieux Marcy

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 56: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

lEacutetoile France) and agar dilution methods according to criteria of the Clinical

and Laboratory Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) The

isolate was resistant to ampicillin chloramphenicol sulfamethoxazole

nalidixic acid and ciprofloxacin but susceptible to ceftriaxone and

tetracycline

Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) analysis was performed on the

isolate following the standard PulseNet protocol (5) The PFGE pattern was

compared with a database of S Typhi PFGE patterns from South Africa by

using BioNumerics version 601 software (Applied Maths Sint-Martens-

Latem Belgium) The PFGE pattern of this isolate was 100 identical to

pattern JPPX010026 in the Global PulseNet Salmonella Typhi Database

This pattern which has been reported to PulseNet from India Kenya

Tanzania and Taiwan is the most common pattern in the database

(wwwpulsenetinternationalorgprojectsstyphidatabaseasp) it is rarely seen

in South Africa (Figure)

Figure

Figure Dendrogram

of pulsed-field gel

electrophoresis

patterns representative

of the 15 largest

clusters of Salmonella

enterica serotype

Typhi isolates

identified in South

Africa during 2005ndash

2009

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 57: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Figure Dendrogram of pulsed-field gel electrophoresis patterns

representative of the 15 largest clusters of Salmonella enterica serotype Typhi

isolates identified in South Africa during 2005ndash2009

PCR was used to isolate the quinolone resistance-determining region (QRDR)

of gyrA gyrB parC and parE (6) Genes were sequenced by using the

BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems Foster City

CA USA) and an Applied Biosystems 3130 genetic analyzer The QRDR

DNA sequences were compared with those of S Typhi strain Ty2 (GenBank

accession no AE014613) PCR also used to confirm the presence

of qnrAqnrB and qnrS genes (6) Analysis for mutations in the QRDR

of gyrA gyrBparC and par found a single amino-acid mutation (Ser83 to Tyr)

in gyrA No amino acid mutations were identified in gyrB parC and parE

PCR for detection of qnr genes confirmed the presence of a qnrS gene which

was identified as the qnrS1 variant by nucleotide sequence analysis

The efflux of quinolones from bacterial cells was investigated in the following

manner For nalidixic acid and ciprofloxacin agar dilution MIC testing was

performed in the absence and presence of 40 μgmL of the efflux pump

inhibitor Phe-Arg-β-naphthylamide (6) In the presence of efflux pump

inhibitor the MIC to ciprofloxacin decreased from 4 μgmL to 1 μgmL and the

MIC to nalidixic acid decreased from gt512 μgmL to 32 μgmL establishing

the involvement of an efflux pump in conferring quinolone resistance

The mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) confers reduced susceptibility to

ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL (7) and the QnrS1 protein

confers reduced susceptibility to ciprofloxacin to a maximum MIC asymp05 μgmL

(8) We showed that a single amino acid mutation in gyrA (Ser83 to Tyr) with

the QnrS1 protein and active efflux conferred ciprofloxacin resistance at

least to an MIC level of 4 μgmL Previously Smith et al reported quinolone

resistance in South African isolates of S Typhi mediated by mutations

in gyrA and parCin combination with active efflux (6) We report qnrS1 from S

Typhi confirming the role of plasmid-mediated fluoroquinolone resistance

in S Typhi (9) and a fluoroquinolone- resistant strain in South Africa

Fluoroquinolone resistance is well recognized in Bangladesh other

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 58: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

researchers have described multidrug-resistant S Typhi isolates imported

from that country (10) Molecular epidemiology supports the conclusion that

this strain likely originated in Bangladesh (L Theobald perscomm)

In conclusion fluoroquinolone-resistant typhoid fever is a reality in South

Africa in patients who have a history of travel or contact with travelers Blood

cultures are mandatory to guide antimicrobial drug management Plasmid-

mediated fluoroquinolone resistance has implications for cotransference of

resistance to the major antimicrobial agents used to treat typhoid fever and for

the potential for rapid spread of fluoroquinolone resistance through S Typhi

strains in South Africa The presence of fluoroquinolone-resistant typhoid

fever could force a change in current treatment guidelines for this disease

Acknowledgments

We thank Lisa Theobald and the Centers for Disease Control and Prevention

Atlanta GA USA for information on comparative PFGE patterns in the Global

PulseNet Salmonella Typhi Database We also thank George Jacoby for

providing control strains for qnr PCR and Malcolm Cupido for providing

information on tracing of the patient and of the patients contacts

The following institutions have contributed PFGE patterns to the Global

PulseNet SalmonellaTyphi Database with which our strain was compared

National Institute of Cholera and Enteric Diseases Kolkata India Central

Laboratories Ministry of Health Jerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Research Institute for Tropical Medicine

Department of Health Manila the Philippines China Center for Disease

Control and Prevention Beijing China Duke UniversityndashKilimanjaro Christian

Medical Centre Collaboration Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Ireland This study was undertaken as part of the mandated

responsibility of the Enteric Diseases Reference Unit of the National Institute

for Communicable Diseases

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 59: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

References

1 Crump JA Luby SP Mintz ED The global burden of typhoid fever Bull

World Health Organ 200482346ndash53

2 Group for Enteric Respiratory and Meningeal Disease Surveillance in

South Africa GERMS-SA Annual Report 2008 2009 [cited 2010 Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 World Health Organization Background document the diagnosis

treatment and prevention of typhoid fever Geneva The Organization

2003

4 Kubota K Barrett TJ Ackers ML Brachman PS Mintz ED Analysis

of Salmonella enterica serotype Typhi pulsed-field gel electrophoresis

patterns associated with international travel J Clin Microbiol

2005431205ndash9 PubMed DOI

5 Ribot EM Fair MA Gautom R Cameron DN Hunter SB Swaminathan

B et al Standardization of pulsed-field gel electrophoresis protocols for

the subtyping of Escherichia coli O157H7Salmonella and Shigella for

PulseNet Foodborne Pathog Dis 2006359ndash67 PubMed DOI

6 Smith AM Govender N Keddy KH Quinolone-

resistant Salmonella Typhi in South Africa 2003ndash2007 Epidemiol

Infect 201013886ndash90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A Tamura K Kawamura Y Ezaki T Sagara H et

al DNA sequence analysis of DNA gyrase and DNA topoisomerase IV

quinolone resistancendashdetermining regions of Salmonella

enterica serovar typhi and serovar paratyphi A Antimicrob Agents

Chemother 2002463249ndash52PubMed DOI

8 Gunell M Webber MA Kotilainen P Lilly AJ Caddick JM Jalava J et

al Mechanisms of resistance in nontyphoidal Salmonella

enterica strains exhibiting a nonclassical quinolone resistance

phenotype Antimicrob Agents Chemother 2009533832ndash

6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 60: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

9 Pfeifer Y Matten J Rabsch W Salmonella enterica serovar Typhi with

CTX-M beta-lactamase Germany Emerg Infect Dis 2009151533ndash

5 PubMed DOI

10Ackers ML Puhr ND Tauxe RV Mintz ED Laboratory-based

surveillance of Salmonella serotype Typhi infections in the United

States antimicrobial resistance on the rise JAMA 20002832668ndash

73PubMed DOI

Suggested Citation for this Article

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S Fluoroquinolone-resistant

typhoid South Africa [letter] Emerg Infect Dis [serial on the Internet] 2010

May [date cited] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 61: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

Volume 16 Nomor 5-Mei 2010

Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika SelatanKaren H Keddy Anthony M Smith Arvinda Sooka Ismail Husna dan Oliver StephenAfiliasi Pengarang Lembaga Nasional Penyakit Menular Johannesburg Afrika Selatan (KH Keddy AM Smith A Sooka H Ismail) Universitas Witwatersrand Johannesburg (KH Keddy AM Smith H Ismail) Nasional Laboratorium Kesehatan Layanan Groote Schuur Cape Town Afrika Selatan S (Oliver) dan Universitas Cape Town Cape Town (S Oliver)

Salmonella enterica serotype Typhi patogen kausal untuk tifus adalah

bahaya kesehatan publik utama di banyak bagian dunia dengan estimasi

kasus 21600000 dari tifus dan 217000 kematian terjadi setiap tahun

(1) Kebanyakan isolat di Afrika Selatan rentan terhadap kuinolon dan

fluoroquinolones tetap terapi pilihan (2) Penyakit ini terutama air atau bawaan

makanan tetapi orang-ke-orang menyebar baik yang diakui (3) Wisatawan

untuk-daerah endemik penyakit mungkin beresiko untuk tifoid yang dapat

menyebabkan impor strain S Typhi dengan pola resistensi yang tidak biasa

atau familiar (4) infeksi tersebut menyajikan sebuah tantangan bagi dokter

setempat pada manajemen pasien yang optimal

S Typhi diisolasi dari kultur darah seorang wanita berusia 65 tahun dari Cape

Town dia telah berhubungan dengan perjalanan ke Bangladesh Pasien

dirawat pertama dengan ciprofloxacin tapi obat ini diubah menjadi ceftriaxone

dosis tinggi dikombinasikan dengan doksisiklin selama 8 hari dia

pulihHubungi menelusuri menunjukkan bahwa tidak ada anggota keluarga

demam atau tifus dilakukan organisme Orang yang telah melakukan

perjalanan ke Bangladesh tidak tersedia untuk memberikan sejarah lebih

lanjut atau spesimen tinja Tidak ada sumber potensial lain infeksi dapat

dijelaskan pasien tinggal di daerah perkotaan dengan sumber air yang aman

dan makan bersama dengan keluarganya

Isolat yang dirujuk ke Unit Referensi Penyakit enterik untuk konfirmasi

identifikasi serotipe (-Putih skema Kauffman) dan pengujian obat

antimikroba kerentanan menggunakan Etest (bioMeacuterieux Marcy lEacutetoile

Perancis) dan metode pengenceran agar menurut kriteria Klinik dan

Laboratorium Standards Institute (Wayne PA USA) (wwwclsiorg) Isolat

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 62: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

resisten terhadap ampisilin kloramfenikol sulfametoksazol nalidiksat asam

dan ciprofloxacin tetapi rentan terhadap ceftriaxone dan tetrasiklin

lapangan elektroforesis gel-Pulsed (PFGE) analisis dilakukan pada isolat

mengikuti standar protokol PulseNet (5) PFGE Pola dibandingkan dengan

database S Typhi PFGE pola dari Afrika Selatan dengan menggunakan versi

601 BioNumerics perangkat lunak (Matematika Terapan Sint-Martens-

Latem Belgia) Pola PFGE dari isolat ini adalah 100 identik dengan pola

JPPX010026 dalam Global PulseNet Salmonella Typhi Database Pola ini

yang telah dilaporkan ke PulseNet dari India Kenya Tanzania dan Taiwan

adalah pola umum yang paling dalam database

(wwwpulsenetinternationalorg proyek styphidatabaseasp) itu jarang

terlihat di Afrika Selatan (Gambar)

TokohGambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesar enterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

PCR digunakan untuk mengisolasi wilayah resistensi-

menentukan quinolone (QRDR) dari gyrA gyrB parc

dan pare (6) Gen disekuensing dengan

menggunakan BigDye Terminator Siklus Sequencing

Kit (Applied Biosystems Foster City CA USA) dan

sebuah Terapan Biosystems genetik analyzer

3130 The QRDR urutan DNA itu dibandingkan

dengan S Typhi strain Ty2 (GenBank aksesi tidak ada) AE014613 PCR juga

digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan qnrA qnrB dan qnrS gen (6)

Analisis untuk mutasi pada QRDR dari gyrA gyrB parc

dan nominal menemukan mutasi asam amino tunggal (Ser83 untuk Tyr) di

Tokoh

Gambar dendrogram dari berdenyut-bidang pola elektroforesis gel perwakilan dari 15 kelompok terbesarenterica Salmonella Typhi serotipe isolat diidentifikasi di Afrika Selatan selama 2005-2009

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 63: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

gyrA Tidak ada mutasi asam amino telah diidentifikasi di gyrB parc

dan pare PCR untuk mendeteksi qnr gen dikonfirmasi adanya qnrS gen

yang diidentifikasi sebagai qnrS1 varian dengan analisis urutan nukleotida

The penghabisan dari kuinolon dari sel bakteri diselidiki dengan cara sebagai

berikut Untuk asam nalidiksat dan ciprofloxacin pengujian KHM

pengenceran agar dilakukan dalam ketiadaan dan kehadiran 40 ug mL

inhibitor pompa penghabisan Phe-Arg-β-naphthylamide (6) Dengan adanya

inhibitor pompa penghabisan MIC untuk ciprofloxacin menurun dari 4 ug mL

sampai 1 ug mL dan MIC untuk asam nalidiksat menurun darigt 512 ug mL

sampai 32 ug mL mendirikan keterlibatan pompa penghabisan dalam

berunding quinolone perlawanan

Mutasi di gyrA (Ser83 untuk Tyr) menganugerahkan mengurangi kerentanan

terhadap ciprofloxacin ke MIC maksimum 05 asymp ug mL (7) dan protein

berkurang QnrS1 menganugerahkan kerentanan terhadap ciprofloxacin ke

MIC maksimum 05 asymp ug mL (8) Kami menunjukkan bahwa mutasi asam

amino tunggal dalam gyrA (Ser83 untuk Tyr) dengan protein QnrS1 dan

penembusan aktif dianugerahkan resistensi siprofloksasin setidaknya untuk

tingkat KHM sebesar 4 ug mL Sebelumnya Smith et al resistensi quinolone

dilaporkan di Afrika Selatan isolat S Typhi dimediasi oleh mutasi

pada gyrA dan parc dalam kombinasi dengan penembusan aktif (6) Kami

Laporan qnrS1 dari S Typhi mengkonfirmasikan peran fluorokuinolon

dimediasi plasmid dalam perlawanan- S Typhi (9) dan tahan strain

fluorokuinolon di Afrika Selatan resistensi fluorokuinolon diketahui dengan

baik di Bangladesh peneliti lain telah diuraikan resisten S Typhi isolat yang

diimpor dari negara (10) epidemiologi molekuler mendukung kesimpulan

bahwa jenis virus ini mungkin berasal di Bangladesh (L Theobald

perscomm)

Sebagai kesimpulan tahan demam tipus-fluorokuinolon adalah realitas di

Afrika Selatan pada pasien yang memiliki sejarah perjalanan atau kontak

dengan wisatawan Darah budaya yang wajib untuk membimbing manajemen

obat antimikroba-dimediasi plasmid fluorokuinolon resistensi Memiliki

implikasi untuk cotransference perlawanan terhadap agen antimikroba utama

yang digunakan untuk mengobati demam tipus dan potensi penyebaran

resistensi fluorokuinolon melalui S Typhi strain di Afrika Selatan Kehadiran

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 64: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

tahan demam tipus-fluorokuinolon bisa memaksa perubahan pedoman

pengobatan terkini untuk penyakit ini

Ucapan Terima Kasih

Kami berterima kasih kepada Lisa Theobald dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Atlanta GA USA untuk informasi tentang pola PFGE

komparatif dalam Global PulseNetSalmonella Typhi Database Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada George Jacoby untuk memberikan strain

kontrol untuk qnr PCR dan Malcolm Cupido untuk memberikan informasi

mengenai penelusuran pasien dan pasien kontak tersebut

Lembaga-lembaga berikut telah memberikan kontribusi pola PFGE Global

PulseNetSalmonella Typhi Database yang strain kami dibandingkan National

Institute of Cholera dan Penyakit enterik Kolkata India Laboratorium

Tengah Departemen Kesehatan Yerusalem Israel Taiwan Centers for

Disease Control Taipei Taiwan Balai Penelitian Kedokteran Tropis

Departemen Kesehatan Manila Filipina Cina Pusat Pengendalian Penyakit

dan Pencegahan Beijing Cina Universitas Kilimanjaro Christian Medical

Centre Kolaborasi-Duke Moshi Tanzania University College Hospital

Galway Irlandia Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab

mandat dari Penyakit enterik Referensi Unit Institut Nasional untuk Penyakit

Menular

Referensi

1 Crump JA Luby SP Mintz ED Beban global demam tipus Bull World

Health Organ 2004 82346-53

2 Group untuk dan meningeal Surveilans Penyakit Pernafasan enterik di

Afrika Selatan Kuman-SA Laporan Tahunan 2008 2009 [dikutip 2010

Mar

9]httpwwwnicdaczaunitsgermsannualgermssa_ann_report_2008

pdf

3 Organisasi Kesehatan Dunia Latar Belakang dokumen diagnosis

pengobatan dan pencegahan demam tipus Jenewa Organisasi 2003

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 65: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

4 Kubota K TJ Barrett Ackers ML Brachman PS Mintz

DE Analisis enterica Salmonella serotipe-field gel elektroforesis

berdenyut pola Typhi yang terkait dengan perjalanan internasional J

Clin Microbiol 2005 431205-9 PubMed DOI

5 Ribot EM MA Fair R Gautom DN Cameron SB Hunter Swaminathan

B et al Standardisasi lapangan elektroforesis gel protokol-berdenyut

untuk subtyping dari Escherichia coli O157 H7Salmonella

dan Shigella untuk PulseNet Bawaan makanan Pathog Dis 2006

359-67 PubMed DOI

6 Smith AM N Govender KH Keddy Quinolone-tahan Salmonella Typhi

di Afrika Selatan 2003-2007Epidemiol menginfeksi 2010 13886-

90 PubMed DOI

7 Hirose K Hashimoto A K Tamura Y Kawamura T Ezaki H Sagara et

al Hasil analisis urutan DNA girase DNA dan DNA topoisomerase IV

quinolone perlawanan-menentukan daerah Salmonella

enterica serovar typhi dan paratyphi serovar Antimicrob Agen

Chemother 2002 463249-52PubMed DOI

8 Gunell M MA Webber P Kotilainen Lilly AJ JM Caddick Jalava J et

al Mekanisme resistensi di nontyphoidal enterica Salmonella galur

menunjukkan fenotipe resistensi quinolone nonclassicalAgen

Antimicrob Chemother 2009 533832-6 PubMed DOI

9 Pfeifer Y Matten J W Rabsch enterica Salmonella Typhi serovar

dengan CTX-M beta-laktamase Jerman Pgl menginfeksi Dis 2009

151533-5 PubMed DOI

10Ackers ML ND Puhr RV Tauxe Mintz ED Laboratorium berbasis

surveilans Salmonella infeksi serotipe Typhi di Amerika Serikat

resistansi antimikroba meningkat JAMA 2000 2832668-

73PubMed DOI

Citation Disarankan untuk Pasal ini

Keddy KH Smith AM Sooka A Ismail H Oliver S-tahan tifus fluorokuinolon

Afrika Selatan [] surat Pgl menginfeksi Dis serial [pada] 2010 Mei [tanggal

dikutip] httpwwwcdcgovEIDcontent165879htm

DOI 103201eid1605091917

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini
Page 66: METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID.doc

httpwwwcdcgoveidcontent165879htm

  • METODE PEMERIKSAAN DEMAM TYPHOID
  • Demam Typhoid
    • Volume 16 Number 5ndashMay 2010
      • Fluoroquinolone-Resistant Typhoid South Africa
        • Acknowledgments
        • References
        • Suggested Citation for this Article
          • Volume 16 Nomor 5-Mei 2010
              • Tipus fluorokuinolon-Tahan Afrika Selatan
                • Tokoh
                  • Ucapan Terima Kasih
                  • Referensi
                    • Citation Disarankan untuk Pasal ini