Metode Pemanenan Perkebunan teh.doc
-
Upload
christopher-myers -
Category
Documents
-
view
45 -
download
7
Transcript of Metode Pemanenan Perkebunan teh.doc
Metode Pemanenan Perkebunan teh
1. Analisis Petik dan Pucuk
Untuk mengevaluasi pelaksanaan pemetikan setiap hari, baik cara pemetikan, bekas
petikan maupun hasilnya, perlu dilaksanakan analisis pemetikan yang terdiri dari analisis
pucuk dan analisis petik. Analisis pucuk dan analisis petik ini dilakukan setelah pembeberan.
Analisis Petik
Analisis petik adalah pemisahan menurut formula pucuk hasil petikan (tanpa potesan).
Kegunaan analisis petik adalah untuk menilai ketepatan pelaksanaan kebijakan pemetikan
dan kondisi tanaman, antara lain:
a. Menilai kondisi tanaman, tanaman yang kurang sehat ditandai dengan banyaknya
persentase pucuk burung.
b. Menilai ketepatan pelaksanaan pemetikan, baik daur petik maupun cara
pemetikannya:
Daur pemetikan panjang akan tampak dalam analisis persentase pucuk kasar
(p+4, b+1t, b+2t, b+3t).
Daur petik yang pendek sesuai kondisi akan tampak persentase pucuk medium
p+2, p+3, b+1m dan b+2m akan meningkat.
Menilai ketelitian pemetik.
Cara pelaksanaan analisis petik, yaitu:
a. Analisis dilaksanakan setiap hari oleh petugas khusus kemudian dievaluasi oleh mandor
besar dan sinder afdeling.
b. Dari setiap kemandoran diambil contoh (sampel) pucuk untuk kemudian dianalisis.
Analisis Pucuk
Analisis pucuk adalah pemisahan menurut formula keadaan pucuk muda-tua (dengan
potesan). Analisis pucuk bertujuan untuk mengevaluasi mutu pucuk yang merupakan dasar
pendugaan mutu hasil olahan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Analisis pucuk dilaksanakan di pabrik oleh petugas khusus.
b. Kriteria pucuk medium :
Pucuk medium (p+2, p+3, b+1m, b+2m).
10
Kondisi pucuk segar dan mulus.
Bebas dari bahan di luar pucuk yang dapat menimbulkan kontaminasi.
Cara pelaksanaan analisis pucuk, yaitu :
a. Contoh pucuk diambil sebanyak 1 kg, dari pucuk yang telah dibeberkan di atas trough,
secara acak per kemandoran, saat pucuk tiba di pabrik.
b. Dari 1 kg contoh pucuk diambil lebih kurang 100 g untuk dipisahkan sesuai formula
pucuknya.
c. Lembar daun yang terkena hama-penyakit dikeluarkan dari analisis.
d. Masing-masing kelompok formula pucuk hasil pemisahan ditimbang.
e. Angka persentase formula pucuk diperoleh dengan membandingkan berat dari kelompok
pucuk yang bersangkutan dengan berat total pucuk contoh dikalikan 100%.
2. Pelayuan
Pelayuan merupakan proses tahap awal dari rangkaian tahap pengolahan teh hitam.
Pelayuan menggunakan aliran udara segar yang dialirkan melalui bagian bawah palung
dengan tujuan untuk: Menurunkan kandungan air bebas sampai kadar air tertentu, Membuat
daun menjadi lemas, tidak mudah patah dan mudah digulung,Mengurangi jumlah air yang
harus diuapkan dalam proses pengeringan,Memberi kesempatan terjadinya perubahan
senyawa kimia dalam daun. Perubahan kimia berlangsung setelah pucuk dipetik di kebun
sampai proses pelayuan. Dalam proses pelayuan ini terdapat 3 kegiatan, yaitu pembeberan,
pelayuan itu sendiri dan turun layu.
3. Pembeberan
Pembeberan berfungsi untuk meratakan pucuk segar di palung pelayu agar
ketebalannya merata. Penguapan air dipengaruhi oleh ketebalan dan kerataan beberan.
Beberan yang terlalu tebal akan mengahalangi aliran udara dari bagian bawah withering
trough ke pucuk yang terletak di bagian atas sehingga derajat layu tidak seragam.Pucuk segar
yang telah ditimbang diletakkan di atas monorail yang berjalan mengitari withering trough.
Kemudian pucuk segar diturunkan dari monorail, dimasukkan dalam withering trough dan
diratakan. Dengan batas maksimum setiap withering trough 1.500 kg. Tinggi hamparan
kurang lebih 30-40 cm.
Pembeberan pucuk dilakukan dari ujung yang berlawanan arah dengan fan, agar udara
segar tertahan oleh pucuk yang telah dibeberkan di ujung withering trough. Kemudian
dilakukan pengkiraban dengan hamburan. Pengkiraban merupakan pembalikan pucuk.
Pembalikan ini bertujuan untuk memindahkan posisi pucuk yang semula di atas dipindahkan
ke bagian bawah sehingga pelayuan berlangsung sempurna, selain itu untuk memisahkan
pucuk yang masih lengket. Udara segar yang digunakan dialirkan dengan menggunakan fan.
Fungsi udara segar adalah untuk mempercepat proses pelayuan dan menghilangkan air di
permukaan daun. Setelah pembeberan, dilakukan analisis pucuk dan analisis petikan. Syarat
untuk analisis pucuk sekurang-kurangnya 65% dan optimalnya 70%, sementara untuk analisis
petik 70%.
4. Pelayuan
Pelayuan pada dasarnya menurunkan kadar air pucuk sampai 68-76% basis basah untuk
proses CTC. Waktu yang dibutuhkan untuk proses pelayuan adalah 14-16 jam. Suhu pada
proses pelayuan di pabrik Ciater berkisar antara 20-22 ˚C tergantung dari cuaca luar, apabila
malam hari suhunya bisa di bawah 20 ˚C. Besarnya udara yang dialirkan pada withering
trough dari fan adalam sebesar 15-20 CFM/kg. Untuk mendapatkan hasil layu yang baik,
perlu dilakukan pembalikan pucuk 2-3 kali dan apabila pucuk terlalu kering, fan dihentikan
dan pintu withering trough dibuka sehingga kuantitas udara yang mengenai pucuk berkurang.
Prosentase kerataan layu di pabrik Ciater adalah berkisar 90%. Pelayuan dihentikan jika:
Pucuk layu sudah berwarna kekuningan;
Jika pucuk layu digenggam akan membentuk gumpalan, jika dilepas akan
mengembang secara perlahan; dan
Tangkai daun lentur, jika dibengkokkan tidak patah.
Namun, pada kenyataannya, sering dijumpai pucuk yang kadar airnya belum mencapai
kadar air yang ditentukan meskipun waktu pelayuannya melebihi 28 jam. Menurut
Kustamiyati (1982), selama proses pelayuan terjadi perubahan-perubahan kimia, antara lain:
Kandungan zat padat menurun; Kandungan pati dan gum menurun, kadar gula meningkat;
Kandungan protein menurun dan asam amino meningkat karena terjadi pembongkaran
protein menjadi asam-asam amino; Kadar katekin meningkat karena kandungan air turun;
dan Sebagian klorofil berubah menjadi feoforbid.
5. Turun Layu
Merupakan proses pemindahan pucuk dari ruang pelayuan ke ruang penggilingan.
Pengambilan pucuk layu dengan menggunakan tong-tong yang dilewatkan monorail
berwarna kuning. Kemudian pucuk dimasukkan ke lorong menuju GLS. Selama proses
pelayuan, terdapat hal-hal yang mempengaruhi proses, antara lain:
Kondisi Pucuk Teh
Pucuk dapat berupa pucuk kasar, halus, tua, dan muda. Ditinjau dari keadaan airnya
terdapat pucuk kering dan pucuk basah. Pucuk teh yang muda dan halus, layunya
lebih cepat daripada pucuk kasar, sedangkan pucuk kering layunya lebih cepat
daripada pucuk teh basah.
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu pelayuan dianjurkan tidak melebihi 28 °C karena pada suhu di atas 28 °C,
bagian protein dari enzim mulai terdenaturasi sehingga enzim menjadi inaktif dan hal
ini dapat menghambat reaksi oksidasi enzimatis pada tahap pengolahan berikutnya
atau bahkan dapat menyebabkan tidak terjadinya reaksi oksidasi enzimatis tersebut.
Tidak terjadinya atau terhambatnya reaksi oksidasi enzimatis akan menyebabkan
sifat-sifat khas (warna, rasa, dan aroma) teh hitam yang diinginkan tidak terbentuk
(Arifin, 1994). Kelembaban udara yang digunakan pada proses pelayuan di pabrik
Ciater adalah 90-98%.
Waktu Pelayuan
Pelayuan yang dilakukan di pabrik Ciater berkisar antara 14-16 jam. Pelayuan yang
terlalu cepat akan menghasilkan teh yang berbau harum tetapi sifat-sifat lainnya
kurang. Sedangkan pelayuan yang lama akan menghasilkan teh dengan air seduhan
berwarna gelap, rasa sepat, dan bau tidak enak.
Tebal Hamparan
Tebal hamparan pucuk di palung pelayuan di pabrik Ciater adalah sekitar 30-40 cm,
tergantung dari banyaknya produksi. Apabila produksi sedang banyak, maka biasanya
tebal hamparan lebih tebal dari 40 cm. Akan tetapi hamparan pucuk teh tidak boleh
terlalu tebal karena dapat menyebabkan panas udara tidak merata sehingga pelayuan
menjadi lebih lama.
Untuk mengetahui kadar air pada saat pelayuan apakah sudah sesuai standar atau
belum, yaitu dengan cara mengambil sampel sebanyak ±100 g pucuk layu secara acak dari
withering trough setiap ±6 jam sekali pada awal pembeberan, pertengahan, dan menjelang
turun layu. Setelah itu dari sampel diambil 3-5 g kemudian diiris tipis-tipis dengan ketebalan
±1 mm dan diukur kadar airnya dengan alat Mettler Toledo. Apabila hasil pengukuran kadar
air sudah mencapai 69-73% basis basah, maka hasil pelayuan segera dimasukkan ke ruang
penggilingan. Sementara itu, jika daun teh tidak mencapai kadar layu yang ditentukan maka
waktu pelayuan akan ditambah.
6. Penggulungan dan Penggilingan
Proses ini merupakan proses penting karena proses pembentukan mutu teh secara fisik
dan kimiawi. Pada proses CTC, tidak dilakukan proses sortasi basah. Tetapi, sesuai dengan
namanya, yaitu Crushing, Tearing dan Curling, proses penggilingannya meliputi 3 hal, yaitu
perobekan (pemotongan), pengepresan dan penggulungan.
Tujuan penggilingan dan penggulungan yaitu:
a. Memperkecil ukuran pucuk teh layu;
b. Menggiling pucuk teh agar cairan sel keluar semaksimal mungkin sehingga terjadi
kontak dengan oksigen, enzim dan substrat sehingga terjadi oksidasi enzimatis; dan
c. Mengoptimalkan terbentuknya inner quality.
Untuk penggilingan awal digunakan mesin Rotorvane (RV) “15 dan jumlah mesin
CTC ada 4 buah. Penggilingan pada proses CTC ini dimulai dari ketika pucuk teh layu
diturunkan dari ruang pelayuan ke ruang penggilingan melalui corong menuju GLS (Green
Leaf Shifter). GLS digunakan untuk memisahkan pucuk layu dengan kotoran seperti tangkai,
pasir, logam sehingga kotoran tidak merusak pisau CTC dan membuat macet pisau CTC.
Dari GLS, masuk ke RV untuk dilakukan penggilingan awal. Pada alat ini, pucuk belum
sepenuhnya halus. Tujuan penggilingan awal ini untuk memudahkan penggilingan berikutnya
di mesin CTC. Setelah masuk CTC, potongan pucuk akan dirobek lagi, dipress dan digulung
sehingga dihasilkan bubuk teh yang sangat halus. Selanjutnya menuju CFU (Continuous
Fermenting Unit) untuk proses fermentasi.
Dalam proses ini pucuk daun teh digulung menggunakan Rotorvane (RV). Pada proses
yang menggunakan gilingan persiapan BLC pucuk tergiling setelah melewati roll ke-3 masih
memiliki ukuran yang kurang seragam. Sementara pada proses yang menggunakan RV,
pucuk tergiling yang telah melewati pisau roll ke-3 telah memiliki ukuran yang seragam
sehingga dapat segera dilanjutkan pada tahap fermentasi. Singkatnya, untuk mendapatkan
hasil gilingan yang optimal, proses CTC dengan BLC memerlukan minimal 4 pisau roll CTC
sedangkan proses CTC dengan RV memerlukan minimal 3 pisau roll CTC.
Untuk mendukung proses ini, suhu udara ruangan adalah 18-24 °C dan kelembaban
relatif udaranya adalah 90-98%. Kadar air bubuk teh hasil penggilingan adalah 72,4% basis
basah. Untuk mempertahankan suhu udara dan kelembaban relatif udara yang dipersyaratkan
dan dapat menghasilkan teh yang baik maka dipasang humidifier untuk menjaga kelembaban
udara dan suhu ruangan. Selama proses penggilingan dan penggulungan, terjadi perubahan
fisik maupun kimia pada pucuk yang sudah tergiling.
7. Perubahan Fisik
Perubahan fisik yang terjadi pada pucuk teh layu pada proses CTC adalah (1) Pucuk teh
layu akan terpisah dari kotoran seperti tangkai, pasir dan logam menggunakan GLS; (2)
Pucuk teh akan mengalami pengecilan ukuran menjadi bubuk kasar teh menggunakan
Rotorvane; (3) Bubuk kasar teh akan mengalami perobekan, pengepresan dan penggulungan
menjadi bubuk teh halus menggunakan CTC; dan (4) Bubuk halus teh akan mengalami
perubahan warna menjadi hijau kecoklatan.
8. Perubahan Kimia
Perubahan kimia selama proses penggilingan ini yaitu terjadinya peristiwa oksidasi
enzimatis yaitu karena adanya kontak antara substrat polifenol dengan enzim polifenol
oksidase yang dibantu dengan oksigen. Reaksi ini akan membuat warna bubuk teh menjadi
kecoklatan karena hasil dari reaksi ini adalah senyawa quinon yang menyebabkan bubuk
berwarna coklat.
9. Fermentasi (Oksidasi Enzimatis)
Fermentasi merupakan proses pembentukan sifat-sifat teh yang paling penting dalam
pengolahan teh hitam. Proses ini lebih tepat jika disebut sebagai proses oksidasi enzimatis,
karena reaksi yang terjadi adalah reaksi oksidasi senyawa polifenol dengan enzim polifenol
oksidase dengan adanya oksigen. Sifat-sifat teh hitam yang terpenting seperti warna, aroma,
rasa, dan warna air seduhan timbul selama proses ini.
Fermentasi dalam pabrik teh ialah bercampurnya zat-zat yang terdapat di dalam cairan
sel yang terperas keluar selama proses penggilingan yang selanjutnya mengalami perubahan
kimiawi dengan bantuan enzim-enzim dan oksigen dari udara (Lehninger et al, 1951;
Adiprayoga, 1971; Eden, 1958). Tujuan dari oksidasi enzimatis ini adalah untuk memberikan
kesempatan terjadinya reaksi oksidasi enzimatis antara substrat polifenol dengan enzim
polifenol oksidase pada pucuk teh yang dibantu oleh oksigen.
Oksidasi senyawa polifenol, terutama epigalochatekin dan galatnya akan menghasilkan
quinon-quinon yang kemudian akan mengkondensasi lebih lanjut menjadi senyawa-senyawa
bisflavanol, teaflavin dan tearubigin. Proses kondensasi dan polimerasi berjalan membentuk
substansi-substansi tidak larut.
Jumlah total antara teaflavin dan tearubigin mempengaruhi rasa teh (Roberts, 1958).
Untuk teh kering yang berkualitas baik, yaitu baik kekuatan dan kesegarannya, maka jumlah
teaflavin dan tearubigin kemungkinan mempunyai perbandingan 1 : 10 atau 1 : 12. Tetapi
untuk teh yang kekurangan kesegaran dan kekuatan, kemungkinan mempunyai perbandingan
1 : 20 atau lebih (Harler, 1970). Teaflavin berhubungan erat dengan karakteristik air seduhan
(liquor) seperti kecerahan (brightness), kesegaran (briskness), dan kekuatan (strength).
Sedangkan tearubigin berhubungan dengan penampakan terutama warna air seduhan.
Pada sistem CTC, proses fermentasi dilakukan pada CFU (Continuous Fermenting
Unit). CFU merupakan conveyor berjalan. Setelah keluar dari mesin CTC, bubuk teh segera
masuk ke CFU melalui conveyor. Pada CFU terdapat alat penggaru yang berfungsi untuk
meratakan bubuk teh yang melalui CFU sehingga tebal hamparan bubuk merata. Selain itu
ada pembalik yang berfungsi untuk membalik bubuk teh yang berada di CFU sehingga bubuk
yang awalnya berada di bawah berpindah ke atas dan yang berada di atas berpindah ke
bawah. Sepanjang bubuk teh bergerak melalui conveyor pada CFU, bubuk sedikit demi
sedikit berubah warna menjadi kecoklatan.
Sebenarnya reaksi oksidasi enzimatis sudah terjadi sejak pucuk layu dirobek oleh
Rotorvane. Sejak pucuk layu jatuh dari GLS dan masuk ke Rotorvane atau BLC, cairan sel
pucuk keluar. Cairan sel tersebut mengandung senyawa polifenol. Senyawa tersebut
kemudian bereaksi dengan enzim polifenol oksidase pada daun. Karena kontak dengan udara
sekitar (oksigen), maka terjadi reaksi oksidasi enzimatis. Kemudian bubuk teh menuju ke
pengeringan.
24
Proses fermentasi harus didukung dengan adanya kondisi yang dapat menjamin
keberhasilan proses tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengendalian proses
maupun pengendalian mutu.
10. Pengendalian Proses
Pengendalian suhu dan kelembaban menggunakan humidifier agar suhu terjaga pada
range 18 – 24 °C. Apabila suhu di bawah 18 °C, maka proses fermentasi akan berjalan
lambat. Sedangkan apabila suhu terlalu tinggi, maka enzim akan rusak. Sementara
kelembaban udara yang dipersyaratkan adalah 90 – 98%. Apabila kelembaban udara di
bawah 90%, maka menyebabkan bubuk yang diproses akan mengalami penguapan air dan
menurunkan mutu teh. Pada Proses CTC, pengendalian waktu sudah diatur oleh alat.
Berjalannya CFU sudah diset sehingga waktu untuk fermentasi sudah diatur. Waktu
fermentasi pada sistem CTC adalah 60 – 120 menit. Waktu yang dibutuhkan untuk fermentasi
pada sistem CTC cukup singkat, karena pada sistem CTC prosesnya continue.
Pengaturan keadaan bubuk selama proses fermentasi berlangsung. Yang dimaksud
keadaan bubuk adalah keadaan bubuk selama proses fermentasi. Meliputi suhu bubuk,
ketebalan bubuk, kerataan bubuk dan kadar air bubuk. Suhu bubuk selama proses fermentasi
diupayakan 26,7 °C. Ketebalan bubuk diatur 6 – 10 cm, dan diupayakan bubuk rata pada
setiap tray. Pengaturan ketebalan bubuk dengan garu dan pembalik. Pengaturan kadar air
bubuk terfermentasi adalah 72,4 % basis basah (untuk CTC).
11. Pengendalian Mutu
Pemeriksaan mutu hasil fermentasi secara visual dengan cara di lihat, diraba dan
dihirup aroma bubuk tehnya. Pemeriksaan mutu hasil fermentasi dengan Green Dhool Test.
Selama oksidasi enzimatis, terjadi perubahan pada senyawa polifenol yaitu katekin. Katekin
yang mengalami perubahan adalah epigalokatekin dan epigalokatekin galat, yang dengan
adanya O2 dari udara dan polifenol oksidase, katekin akan mengalami reaksi oksidasi
enzimatis membentuk ortoquinon. Sebagian ortoquinon akan diendapkan oleh protein
(Harler, 1963). Ortoquinon akan berkondensasi membentuk bisflavanol, kemudian
mengalami kondensasi lagi membentuk teaflavin yang berwarna kuning dan akan mengalami
kondensasi membentuk teharubigin yang berwarna merah dan coklat (Kirk dan Othmer,
1965). Tearubigin bersama protein yang tersedia membentuk senyawa tidak larut.
25
Menurut Pintauro (1997), teaflavin akan terbentuk dalam jumlah maksimal pada jam
kesatu dan kedua dari tahap fermentasi. Pada jam berikutnya, senyawa ini akan turun dan
disusul naiknya senyawa tearubigin. Perbedaan keduanya juga akan menentukan sifat
seduhan teh seperti briskness (kesegaran), kualitas, warna dan strength (kekuatan rasa).
Teaflavin lebih banyak terbentuk pada suhu rendah.
Perubahan fisik yang terjadi selama proses oksidasi enzimatis adalah dihasilkannya
panas sebagai akibat reaksi oksidasi enzimatis dan kondensasi. Selain itu juga terjadi
perubahan warna bubuk teh dari berwarna hijau menjadi merah tembaga sebagai akibat
pembentukan tehaflavin yang berwarna kuning cerah dan teharubigin yang berwarna merah
coklat. Senyawa yang menimbulkan aroma pada teh adalah senyawa-senyawa aldehid yang
merupakan hasil oksidasi dari senyawa karotenoid. Oksidasi senyawa karotenoid
menghasilkan substansi volatil yang menimbulkan aroma pada teh (Stahl, 1969). Menurut
Bokuchava dan Skobeleva (1969), yang menimbulkan aroma teh adalah senyawa aldehid
sebagai hasil oksidasi senyawa asam amino dengan quinon dan sebagai hasil reaksi asam
amino dengan gula sederhana. Sedangkan menurut Deuss (1915) dalam Bokuchava dan
Skobeleva (1969), mengatakan bahwa aroma teh dihasilkan dari hasil dekomposisi rantai
glikosida tanin teh, menghasilkan tanin sederhana dan karbohidrat, yang selanjutnya
mengalami transformasi menjadi ester-ester. Pamaswamy (1958) mengemukakan bahwa
aroma akan bertambah baik bila kadar padatan yang larut, total zat yang dapat dioksidasi,
tehaflavin dan zat yang larut dalam asam dan dioksidasi, terbentuk dalam jumlah yang
banyak. Tetapi ada batas tertentu agar diperoleh aroma yang baik, karena aroma dapat hilang
jika oksidasi enzimatis terlalu lama.
Hasil oksidasi enzimatis yang diharapkan adalah apabila bubuk teh telah memiliki
warna merah kecoklatan (coklat tembaga) dan beraroma khas (harum). Pemeriksaan mutu
hasil fermentasi dilakukan dengan Green Dhool Test, yang bertujuan untuk memberikan
penilaian bubuk teh hasil oksidasi enzimatis untuk menentukan lamanya oksidasi enzimatis
yang optimal. Penilaian rasa dilakukan dengan menimbang 2,8 g dan diseduh dengan air
panas selama 6 menit. Selanjutnya air dituang dalam mangkuk seduhan. Penilaian rasa
dilakukan dengan mencicipi air seduhan. Kriteria penilaiannya adalah warna air (colory),
kesegaran (briskness), kekuatan (strength) dan warna ampas. Warna ampas seduhan
dilakukan dengan cara memindahkan ampas seduhan ke atas tutup cangkir, dan diamati
warna ampasnya.
26
12. Pengeringan
Pengeringan merupakan proses pengaliran udara panas pada bubuk hasil fermentasi
sehingga diperoleh bubuk yang kering. Pengeringan pada pengolahan teh hitam di pabrik
Ciater dilakukan dengan VFBD (Vibro Fluid Bed Dryer). Udara panas yang digunakan untuk
pengeringan berasal dari udara luar yang dipanaskan dengan Heat Exchanger yang
menggunakan bahan bakar bahan padat berupa kayu bakar. Udara panas yang dimaksud
disini merupakan panas rambatan hasil dari pembakaran.
Udara panas yang dihasilkan kemudian masuk melaui lorong (ducting) di sebelah
bawah FVBD akibat adanya tarikan dari main fan. Selanjutnya udara panas bersih dialirkan
menuju FVBD dan udara panas kotor dibuang ke lingkungan akibat hisapan ID fan melalui
ducting. Di dalam FVBD terdapat blower yang membuat bubuk teh bergerak dancing selama
proses pengeringan. Selama proses pengeringan, akan ada serat-serat dari bubuk teh yang
terhisap ke cyclone kering dan cyclone basah. Serat yang terhisap oleh cylone basah
dikembalikan ke unit fermentasi karena serat tersebut masih dapat diproses. Sedangkan untuk
serat yang terhisap cyclone kering masuk ke karung dan dibuang karena biasanya yang
terhisap cyclone kering berupa debu dan tidak dapat diproses.
Menurut Arifin (1994), pengeringan pada pengolahan teh hitam memiliki tujuan, yaitu :
a. Menghentikan proses oksidasi enzimatis;
b. Menjaga sifat-sifat spesifik teh pada saat teh mencapai kualitas optimum; dan
c. Menurunkan kadar air sampai mencapai 2,0 – 3,5% basis basah, sehingga teh hitam
mempunyai daya simpan yang lama.
Selain itu, pengeringan pada pengolahan teh hitam juga dapat membunuh adanya
mikroba karena pada suhu tinggi mikrobia tidak tahan dan mati. Kadar air yang dapat dicapai
proses pengeringan di pabrik Ciater adalah 3% basis basah. Pengeringan pada sistem CTC
dengan menggunakan alat Vibro Fluid Bed Dryer (VFBD). Setelah proses penggilingan dan
oksidasi enzimatis, bubuk teh segera masuk ke pengeringan melalui conveyor. Suhu udara
yang masuk ke dalam mesin pengering VFBD (suhu inlet) adalah sebesar 110 – 120 ˚C dan
suhu udara yang keluar (suhu outlet) 85 – 90 ˚C.
Waktu yang diperlukan untuk proses pengeringan sistem CTC di Pabrik Teh Ciater
adalah 18-24 menit. Pengeringan pada CTC lebih lama dan suhunya lebih tinggi daripada
pada pengeringan di Orthodoks. Hal ini karena kadar air dari bubuk teh pada sistem CTC
27
lebih tinggi daripada sistem Orthodoks sehingga perlu waktu dan suhu yang lebih tinggi
untuk bisa mendapatkan kadar air yang rendah.
Bubuk teh masuk ke pada plat/tray VFBD. Udara panas akan mengenai bubuk teh dari
bagian bawah VFBD dengan bantuan blower. Pada VFBD, juga terdapat ball breaker yang
berfungsi untuk menghancurkan gumpalan bubuk teh. Berbeda dengan sistem Orthodoks,
pada VFBD tidak terdapat osilator yang digunakan untuk meratakan bubuk pada plat
pengering. Pada VFBD, plat pengeringnya bergerak secara vibro (getaran), sehingga bubuk
bergerak secara dancing di atas plat pengering dan menjadikan tebal bubuk merata. Jadi tidak
perlu osilator lagi untuk meratakan bubuk. Pada VFBD, juga terdapat tiga cyclone yang
prinsip kerjanya sama dengan pada FBD.
Perubahan Fisik
1. Terjadi pengurangan kadar air pada bubuk teh menjadi 2,5 – 3,5% basis basah.
2. Warna bubuk teh menjadi coklat kehitaman setelah proses pengeringan.
Perubahan Kimiawi
a. Reaksi oksidasi enzimatis terhenti karena enzim polifenol oksidase
terdenaturasi.
b. Lapisan gel pectin di permukaan bubuk teh akan mengering sehingga
permukaan bubuk teh menjadi mengkilap.
c. Pembentukan teaflavin dan tearubigin terhenti.
d. Terjadi karamelisasi karbohidrat.
Selain itu juga diperlukan adanya pengendalian mutu dalam proses ini. Pengendalian
mutu tersebut antara lain:
a. Dilakukan pengujian suhu bubuk hasil pengeringan sebelum masuk ruang sortasi.
b. Inner Test untuk pengujian teh kering yang meliputi pengujian kenampakan, rasa,
aroma, dan warna air seduhan.
c. Pengujian kadar air basis kering bubuk teh dilakukan 2 jam sekali dengan sasaran
kadar air 2,0-3,5% basis basah.
d. Bubuk teh yang diinginkan setelah pengeringan adalah yang memenuhi kriteria:
e. Bubuk teh kering berwarna coklat mengkilap.
f. Partikel bubuk teh ringan dan saling terpisah.
g. Terbentuknya aroma yang kuat.
13. Sortasi Kering
Sortasi kering pada dasarnya merupakan upaya untuk memperoleh produk teh hitam
yang seragam dan baik ukurannya, bentuknya maupun beratnya, di samping teh tersebut
harus bersih dari kotoran, tulang, atau serat-serat daun. Berdasarkan dasar tersebut, maka
pelaksanaan sortasi kering meliputi: memotong/mengecilkan ukuran, mengayak,
membersihkan dari kotoran, dan menghembus teh untuk mendapatkan berat partikel yang
seragam. Bubuk halus minimal harus 70%, BP harus 5%. Jangan terlalu banyak perlakuan di
bagian sortasi karena dapat menyebabkan warna menjadi kusam
Bubuk teh hasil pengeringan dipindahkan ke ruang sortasi kering dengan conveyor.
Pemisahan berdasarkan ukuran partikel menggunakan mesin chota shifter. Pemisahan
berdasarkan kandungan tulang atau serat menggunakan midleton dan vibrex. Pemisahan
berdasarkan berat jenis menggunakan winnower. Dalam sortasi kering ini juga dilakukan
pengecilan ukuran bagian-bagian teh yang belum memenuhi standar dengan menggunakan
alat pemotong dan peremuk (druckroll dan crusher). Menurut Arifin (1994), sortasi kering
bertujuan untuk mendapatkan ukuran dan warna partikel teh yang seragam sesuai dengan
standar yang diinginkan oleh konsumen, meliputi:
a) Memisahkan teh kering menjadi beberapa grade yang sesuai dengan standar
perdagangan teh.
b) Membersihkan teh kering dari partikel-partikel lainnya seperti serat, tangkai,
batu, partikel kayu dan sebagainya.
c) Menyeragamkan bentuk, ukuran, dan warna pada masing-masing grade.
Untuk mendapatkan hasil sortasi yang baik dan sesuai dengan kualitas yang diinginkan,
perlu dilakukan pengendalian proses, antara lain:
1) Pengaturan Suhu Udara
Di ruang sortasi pabrik Ciater, suhu bola kering udara t(db) 22 °C dan suhu bola
basah t(wb) adalah 21 °C. Dengan suhu ini, diharapkan dapat mempertahankan
kadar air bubuk teh sehingga kadar air bubuk teh tidak naik selama proses
sortasi. Namun, untuk menjaga suhu tetap konstan sangat sulit karena
banyaknya ventilasi di ruang sortasi tersebut.
2) Pengaturan Kelembaban Udara
Kelembaban udara yang dipersyaratkan selama proses sortasi adalah 80%.
Kondisi ini sesuai dengan ruangan sortasi di pabrik Ciater. Kelembaban ini
sangat penting untuk dipertahankan untuk menjaga agar bubuk teh tidak
menyerap uap air dari udara yang dapat menimbulkan kadar air bubuk
meningkat.
14. Pengepakan
Pengepakan merupakan penuangan bubuk teh ke dalam kemasan sesuai dengan berat
yang sudah ditentukan setiap grade-nya. Berat untuk setiap grade berbeda dalam setiap paper
sack. Kemasan yang digunakan adalah sack yang terbuat dari kertas namun di bagian dalam
dilapisi aluminium foil. Pengepakan mempunyai tujuan:
a) Melindungi bubuk teh dari kontaminasi mikroba ataupun kotoran fisik;
b) Memudahkan di dalam pengangkutan dan pemasaran;
c) Memperbaiki penampilan dalam rangka kepentingan penjualan; dan
d) Memudahkan di dalam penyimpanan dalam gudang (efektivitas tempat).
selanjutnya dikirim ke pabrik seinduk untuk kemudian nantinya dicampur dengan
produk dari sana dan komposisinya diatur oleh bagian teknologi. Hasil teh jadi yang
dihasilkan rasa dan aromanya tidak bisa bersaing seperti hasil teh jadi dari dataran tinggi
sehingga perlu dilakukan pencampuran di pabrik seinduk.
15. Penyimpanan
Meskipun tahap pengolahan teh terakhir adalah pengepakan, tetapi setelah dikemas, teh
dilakukan penyimpanan di gudang penyimpanan. Ruang penyimpanan sama dengan ruang
pengepakan. Hal ini untuk memudahkan penataan, sehingga setelah dilakukan pengepakan,
teh dalam sack dapat dilakukan pengechopan dan langsung ditata di ruangan tersebut.
Penyimpanan dalam bentuk chop-chop. Satu chop terdiri atas 1 bottom pallet, 1 bottom
pallet terdiri atas 20 sack. Ketinggian bottom pallet maksimal 220 cm. Hal ini untuk menjaga
agar teh yang berada di bagian bawah tidak tergencet dan tidak rusak. Kemudian, ditutup
plastik sungkup yang sebelumnya diikat dengan strapping plastik. Akhirnya, untuk chop
yang siap dipasarkan diberi tulisan “OK”.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Pengaruh Wadah dan Jumlah Pengisian Pucuk Teh Terhadap Mutu Daun Segar. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Dana ARM. Pusat Penelitian Perkebunan Gambung.
Adiprayoga. 1971. Bercocok Tanam & Fabrikasi Teh. Lembaga Pendidikan Perkebunan Yogyakarta.
Arifin, S. 1994. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Pusat Penelitian Teh dan Kina. Gembong. Bandung.
Bokuchava, M. A. and N. I. Skobeleva. 1969. The Chemistry and Biochemistry of Tea and Tea Manufacture. Advances in Food Research. USSR Academy of Science. Moscow.
Darmawan, O. 2011. Standard Operating Procedure (SOP) Aplikasi Bahan Bakar Padat (BBP) di Pabrik Teh. PT. Perkebunan Nusantara VIII (Persero).
Eden, T. 1958. Tea. 1st Edition. Longmars green and Co. London. New York. Toronto.
Halik, H. A. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Teh. PT. Perkebunana Nusantara VIII (Persero).
Harler, C. R. 1963. Tea Manufacture. Oxford University Press London.
Lehninger, H. A., H. R. Break., and E. Verhaan. 1951. Harleiding Veor de Tehe Bereiding. Deel II. De Centrale Vereniging Tot Beneer Proefstations Voor de Over Jarige culture in Indonesia Jakarta.
Kirk, R. E. and P. F. Othmer, 1965. Chemistry of Tea. Encyclopedia of Chemical Technology. Vol 13 2nd. John Wiley and Sons Inc. New York.
Kustamiyati, B., Ratna B., Saripah H., dan Betty D. 1987. Warna dan Rasa Seduhan Teh Hitam dengan Berbagai Macam Air Penyeduh. Buletin Penelitian Teh dan Kina. Vol 2 (1) : 29-38.
Putratama, M. 2009. Pengolahan Teh Hitam Secara CTC di PT. Perkebunan Nusantara VIII, Kebun Kertamanah Pangalengan-Bandung. Universitas Gadjah Mada
Rachmat, E. 2008. Standar Operasional Prosedur Pengolahan Teh Hitam CTC. PT. Perkebunan Nusantara VIII (Persero).