METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi...

172
METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag) Oleh: Ira Nur Azizah NIM: 21170340000014 PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Transcript of METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi...

Page 1: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA:

Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Magister Agama (M.Ag)

Oleh:

Ira Nur Azizah

NIM: 21170340000014

PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

Page 2: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata dua (S2) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 10 Desember 2019

Ira Nur Azizah

Page 3: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA:

STUDI ATAS PEMIKIRAN T.M. HASBI ASH-SHIDDEIQY” yang ditulis oleh

Ira Nur Azizah, NIM. 21170340000014, telah diujikan dan dinyatakan lulus dalam

sidang munaqasyah Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 17 Desember 2019. Tesis

tersebut telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim Penguji serta

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag) pada

Program Studi Tafsir Hadis dengan Konsentrasi Hadis.

TIM PENGUJI

Dr. Bustamin, M.Si.

NIP. 19630701 199803 1 003

Ketua Tim Penguji

………………………………………….

Dr. Atiyatul Ulya, M.A.

NIP. 19700112 199603 2011

Penguji I

………………………………………….

Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag

NIP. 19650817 200003 1 001

Penguji II

………………………………………….

Dr. Ahmad Fudhaili, M.A.

NIP. 19740510 200501 1 009

Pembimbing I/Penguji III

………………………………………….

Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A.

NIP. 19780424 201503 1 001

Pembimbing II/Penguji IV

………………………………………….

Dr. Ahmad Fudhaili, M.A.

NIP. 19740510 200501 1 009

Sekretaris Tim Penguji

………………………………………….

Page 4: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam tesis ini berdasarkan pada

Pedoman Penulisan Tesis yang digunakan oleh Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j je ج

h h dengan garis di bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis di bawah ص

ḏ de dengan garis di bawah ض

ṯ te dengan garis di bawah ط

ẕ zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

Page 5: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

iv

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

apostrof ` ء

y ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih

aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasra

u ḏammah و

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i ي

au a dan u و

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara untuk vokal panjang (madd) di dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ā a dengan garis di atas ا

Page 6: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

v

ī i dengan daris di atas ي

ū u dengan garis di atas و

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif

dan lam, kemudian dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-zahrah bukan az-zahrah, al-

nisā` bukan an-nisā`.

5. Syaddah (Tasydīd)

Dalam sistem tulisan Arab, syaddah atau tasydīd dilambangkan dengan tanda

( ). Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-turut,

seperti الدين = al-dīn.

6. Ta marbūṯah

Jika huruf ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/, seperti عائشة = „Āisyah. Hal yang sama

juga diterapkan jika huruf ta marbūṯah diikuti dengan na’at, seperti معة اإلسالميةالجا

= al-jāmi‟ah al-Islāmiyyah. Namun jika ta marbūṯah diikuti dengan isim maka

huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/, seperti وحدة الوجود = wahdat al-

wujūd.

7. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal atau kata sandangnya, seperti الغزالي = al-Ghazāli.

Page 7: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

vi

DAFTAR ISTILAH

Metode : Berasal dari kata method yang berarti cara dan langkah.

Secara umum metode dapat didefinisikan sebagai sebuah

prosedur atau cara yang ditempuh untuk menggapai

sebuah tujuan tertentu.

Metodologi : Berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan “logos” yang

berarti cara dan ilmu. Sedangkan menurut istilah,

metodologi berarti ilmu tentang cara atau analisis teoritis

tentang suatu cara.

Integral : Meliputi semua bagiannya yang utuh, lengkap dan

sempurna serta saling mengikat satu sama lain.

Meunasah : Sebutan yang digunakan oleh masyarakat Aceh terhadap

bangunan umum di desa-desa yang berfungsi sebagai

tempat dilaksanakannya upacara agama, proses belajar-

mengajar materi ke-Islaman dan bermusyawarah.

Page 8: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

vii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi metode pemahaman hadis T.M.

Hasbi Ash-Shiddieqy dan upayanya dalam mengembangkan kajian pemahaman hadis

di Indonesia. Pembacaan terhadap karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada bidang

hadis menunjukkan bahwa dalam memahami hadis ia menggunakan beberapa

langkah dan metode, yaitu memahami hadis dengan petunjuk al-Qur‟an, mentakwil

hadis-hadis musykīl, mengkompromikan hadis-hadis yang bertentangan, merujuk

pada sejumlah referensi dan menggunakan beberapa pendekatan yang meliputi

pendekatan historis, bahasa dan kesehatan. Adapun upaya Hasbi dalam

mengembangkan kajian hadis di Indonesia tergambar dari langkahnya untuk

menyajikan karya syarah hadis berbahasa lokal disaat hal tersebut masih jarang

ditemui pada awal sampai pertengahan abad ke-20 karena ulama-ulama yang hidup

sebelum Hasbi menulis kitab syarah hadis dalam bahasa Melayu dan Arab. Di

samping itu, konsumen atau pembaca dari karya Hasbi adalah para mahasiswa dan

masyarakat secara umum, sehingga membuatnya berbeda dari karya-karya

sebelumnya yang lebih cenderung dikaji oleh para santri di pesantren.

Penelitian ini mendukung pendapat Hasep Saputra dan Dede Rodliyana yang

menyatakan bahwa kajian terhadap metode pemahaman hadis di Indonesia telah

sampai pada perkembangan yang dinamis. Hal tersebut tercermin dari usaha para

pengkaji hadis di Indonesia dalam merekonstruksi metodologi pemahaman hadis agar

dapat menyesuaikan dengan kondisi zaman sehingga lebih dapat diterima oleh

masyarakat. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menjadi salah seorang ulama yang

mengambil peran dalam bidang ini, yaitu dengan menerapkan metode pemahaman

kontekstual dalam menjelaskan hadis-hadis Nabi Saw. Karakteristik yang melekat

pada karya-karya hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga merupakan bukti bahwa

perkembangan kajian terhadap metode pemahaman hadis di Indonesia adalah benar

adanya.

Sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah karya-karya T.M.

Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis meliputi buku 2002 Mutiara Hadis, Koleksi

Hadis-hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah

Hadis, Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam dan Sejarah

Perkembangan Hadis. Di samping itu, ada juga sumber sekunder yang diambil dari

tulisan-tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitatif dalam bentuk library research (riset kepustakaan).

Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikaji dengan analisis deskriptif.

Page 9: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

viii

الملخص

يهدف ىذا البحث إىل استكشاف طرق فهم احلديث لألستاذ تنكو حممد حسيب الصديقييبدو يف جمال احلديث بعد االستقراء اىل تصانيفو. و وجهوده ىف تطوير دراسة فهم احلديث ىف إندونيسيا

لكرمي، القرآن ا داللةفهم احلديث، وىي فهم احلديث النبوي مستندا إىل لنو يستخدم عدة الطرق أعدة ادلراجع ومستخدما إىلمستمدا و وتأويل األحاديث ادلشكلة، واجلمع بني األحاديث ادلختلفة،

جهوده ىف تطوير دراسة احلديث اموأ اليت تشمل ادلنهج التارخيي واللغوي والصحي. العديد ادلناىجب يفكان نادر احلدوث ذإ شرح احلديث باللغة احملليةكتب تقدمي لو يفمن عمالنبوي بإندونسيا يتصور

و واللغة يمنتصف القرن العشرين حيث كان العلماء الذين عاشوا حينئذ يكتبون كتب احلديث باللغة ادلالدما جيعلها خمتلفة ،ىم الطالب وعامة الناس حسيب الصديقيمصنفات اء قر جبانب ذلك ان العربية. و

ادلعاىد اإلسالمية. الطالب يف متيل اىل تعلمهاالسابقة اليت التصانيف عن طرق عنيدعم ىذا البحث رأي ىاسيب سابوترا وديدي رضيانا اللذين صرحا بأن البحوث

ديث دارسي احلجهود وذلك يتصور من .السريعتطور الفهم احلديث يف إندونيسيا قد وصلت إىل أكثر لدى ببوال قمتكون حىتالزمان لتكون مطابقا حبالة إعادة بناء طرق فهم احلديث يف إندونيسيا ب

ىذا اجملال بتطبيق طريقة فهم دورا ىاما يف اخذاجملتمع. أصبح األستاذ حسيب عادلا من العلماء الذي احلديثية، ىي دليل على تصانيفوديث السياقي يف شرح األحاديث النبوي. واخلصائص الكامنة يف احل

طرق فهم احلديث يف إندونيسيا. دراسة صحة تطوير، األستاذ حسيب يف احلديث النبوي مصنفاتيسية ادلستخدمة يف ىذا البحث ىي وادلصادر الرئ

التاريخ وادلقدمة يف علم احلديث، ،جمموعات أحايث األحكام ،احلديث درر 2002كتاب منها: والنقاط الرئيسية يف علم الدراية ، مشاكل احلديث كأساس لتعزيز الشريعة اإلسالميةو تاريخ تطور

ذا البحث. هبذات صلة اليت كانت إىل ادلصادر األخرى من الكتبويستخدم الباحث احلديث النبوي.حتليلها يتم ، والبحث ادلكتيبجمال نوعية يفالطريقة الوالطريقة ادلستخدمة يف ىذا البحث ىي

طريق التحليل الوصفى. مباستخدا

Page 10: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

ix

ABSTRACT

This study aims to explore the methods of T.M. Hasbi Ash Shiddiqy on

understanding of Hadith and his efforts in developing hadith studies in Indonesia. The

reading of his works in the field of Hadith shows that he used a several methods in

understanding the Hadith, namely understanding the Hadith with the guidance of the

Qur'an, interpreting the problematic Hadiths, compromising the contradictory

Hadiths, referring on a number of references and using several approaches which

include historical, language and health approaches. As for his efforts in developing

hadith studies in Indonesia it is reflected in his steps to present the explanation of

Hadiths in the local language at a time in which it was still rarely encountered in the

early to mid-20th century when the scholars who lived before Hasbi wrote the book

of hadith in the Malay and Arabic language. In addition, the readers of his writings

are students and the general public that makes it different from previous works that

are more likely to be studied by students in the Islamic boardings.

This study supports the opinions of Hasep Saputra and Dede Rodliyana who

stated that the studies of the methods of understanding of Hadith in Indonesia has

reached a dynamic development. This is reflected in the efforts of the Hadith scholars

in Indonesia to reconstruct the methodology of Hadith understandings so that it can

adjust to the conditions of the times and more acceptable to the community. Hasbi

became one of the scholars who took a role in this field by applying the method of

contextual understanding in explaining the Hadiths of the Prophet – pbuh - . The

characteristics inherent in the works of Hasbi, are also the evidence of the

development of studies on the methods of understanding of Hadith in Indonesia.

The main sources used in this research are the works of T.M Hasbi Ash

Shiddiqy in the field of Hadith including the book of 2002 pearls of Hadith, the

collections of legal Hadiths, the history and introduction to the science of Hadith, the

main points of science of diraya, the problems of Hadith as a basis for the

development of Islamic law and the history of the development of Hadith. In

addition, the other sources are also taken from relevant books in this study. The

method used in this research is qualitative in the form of library research. The data

that had been collected was then processed and analyzed using descriptive-analysis

method.

Page 11: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Swt yang berkat limpahan

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Metode

Pemahaman Hadis di Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” ini

dengan baik. Salawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad Saw, kepada keluarganya, sahabat dan para pengikutnya.

Selesainya tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak. Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A selaku Rektor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Bustamin, SE, M.Si selaku Ketua Program Magister Fakultas

Ushuluddin dan Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag selaku Sekretaris Program

S-2 Magister Fakultas Ushuluddin.

4. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.A. dan Bapak Dr. Abdul Wahid Hakim M.A.

selaku dosen pembimbing penulisan tesis. Penulis mengucapkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya karena telah dengan sabar membimbing,

mengarahkan dan memotivasi penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Dr. Bustamin, SE, M.Si, Ibu Dr. Atiyatul Ulya, M.A. dan Bapak Dr.

Muhammad Zuhdi Zaini, M.A. selaku Tim Penguji sidang munasqasyah yang

telah memberi banyak saran dan masukan dalam perbaikan tesis ini.

6. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen yang mengajar

di Program Magister yang telah mendidik dan memberikan berbagai macam

ilmu kepada penulis. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu berikan dapat

bermanfaat dan menjadi amal jariyah.

7. Teruntuk Ayahanda Sari Muda dan Ibunda Desi Narti, penulis menyampaikan

rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas kasih sayang,

Page 12: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

xi

kesabaran, kepercayaan, dukungan dan doa yang tidak henti-hentinya

diberikan kepada penulis. Semoga Ayah dan Ibu selalu disayang Allah Swt

dan bahagia di dunia maupun di akhirat nanti. Dan juga, untuk Adinda

Muhammad Aldi Aripan yang selalu menyemangati kakaknya, terimakasih

sudah tumbuh menjadi anak yang baik, terimakasih untuk segalanya.

8. Segenap karyawan/i akademik Fakultas Ushuluddin yang telah membantu

penulis selama menjalani perkuliahan.

9. Teman-teman di Magister Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah yang telah

berjuang bersama penulis selama duduk di bangku kuliah. Perjalanan masih

panjang, kawan!

10. Keluarga besar di kampung, Maknga, Makwo (almh.), Wak Rilo (alm.), Wo

Ang, Wak Abang Yon, Wak Oki, Wak Dang Lik, Wak Ema, Datuk Gajah,

Mamang Cut dan semua nama yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis

selama ini.

11. Teman-teman penulis di manapun berada, Martiyul, Mbak Apil, Chapap,

Ipeh, Ciul, Nelfi, Alumni PPAH Bengkulu, MF 2023, TXT members dan

semua rekan seperjuangan yang selalu memberi support dalam menyelesaikan

penulisan tesis ini.

Semoga bantuan dan dukungan yang mereka berikan menjadi amal jariyah

bagi mereka dan Allah Swt balas dengan sebaik-baiknya balasan.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa ilmu yang dimiliki penulis masih

sangat minim sehingga tulisan ini pasti memiliki kekurangan dan jauh dari kata

sempurna. Untuk itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan di masa

yang akan datang. Akhirnya, hanya kepada Allah penulis mengharap ridha dan

mengucap rasa syukur. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan yang memberi

motivasi kepada kita agar senantiasa mengkaji hadisnya. Amin.

Ciputat, 24 Desember 2019

Ira Nur Azizah

Page 13: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. iii

DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. vi

ABSTRAK ................................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR .............................................................................................. x

DAFTAR ISI ............................................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................. 9

D. Kajian Terdahulu yang Relevan ........................................................... 9

E. Kerangka Teoritik ................................................................................. 14

F. Metodologi Penelitian ........................................................................... 17

G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 18

BAB II PERKEMBANGAN METODE PEMAHAMAN HADIS

A. Sejarah Metode Pemahaman Hadis ..................................................... 20

B. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia ........................................... 31

C. Dinamika Metode Pemahaman Hadis di Indonesia .............................. 36

BAB III SKETSA BIOGRAFIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY

A. Biografi T.M. Ash-Shiddieqy ............................................................... 48

1. Riwayat Hidup ................................................................................ 48

2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir ............................................. 50

3. Karya-karya .................................................................................... 57

B. Sumbangsih Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy ............................. 63

1. Bidang Tafsir .................................................................................. 64

2. Bidang Fiqih ................................................................................... 68

3. Bidang Hadis ................................................................................... 71

Page 14: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

xiii

BAB IV PEMAHAMAN HADIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY

A. Metode Pemahaman Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy ....................... 89

1. Memahami Hadis dengan Petunjuk Al-Qur‟an .............................. 89

2. Mentakwil Hadis-hadis Musykīl ..................................................... 94

3. Merujuk pada Sejumlah Referensi .................................................. 101

4. Mengkompromikan Hadis-hadis Mukhtalif .................................... 106

5. Memahami Hadis dengan Berbagai Pendekatan ............................ 111

B. Upaya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Mengembangkan

Kajian Pemahaman Hadis di Indonesia ................................................ 142

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................... 146

B. Saran-saran ............................................................................................ 147

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 148

Page 15: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis menempati posisi yang istimewa dalam Islam yaitu sebagai salah satu

sumber syariat dan hujjah bagi kaum muslimin.1 Di samping itu, hadis juga

mempunyai peran yang strategis berupa penjelas bagi ajaran-ajaran yang masih

umum dan global dalam Al-Qur‟an.2 Karena kedudukannya tersebut, ia dijadikan

pedoman hidup sekaligus referensi untuk permasalahan-permasalahan yang dihadapi

manusia. Sama halnya dengan Al-Qur‟an, proses pembacaan terhadap hadis juga

membutuhkan interpretasi lebih lanjut dan mendalam untuk mendapatkan

pemahaman yang utuh dan komprehensif, terutama pada hadis-hadis yang redaksinya

sulit dipahami atau tampak bertentangan. Jika penjelasan terhadap Al-Qur‟an disebut

dengan tafsir, maka pada kajian hadis dikenal istilah fahm, fiqh dan syarh. Beberapa

istilah tersebut mengacu pada satu definisi yaitu aktivitas memahami makna yang

terkandung dalam hadis.

Kajian terhadap pemahaman hadis tidak lepas dari perkembangan hadis itu

sendiri. Hadis mulai berkembang dan menjadi kajian yang mandiri didukung oleh

pengkodifikasian yang diprakarsai oleh Muhammad bin Syihāb al-Zuhri (w. 124 H)

atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azīz (w. 101 H) pada masa Dinasti Umayyah.

Hal tersebut telah memberi dampak yang sangat besar pada kelanjutan kajian hadis

dalam Islam.3 Namun pada awalnya, kajian mengenai pemahaman hadis memang

tidak se-intens kajian terhadap periwayatannya. Hal ini dikarenakan ulama

1 Ibnu Naṣiruddīn al-Dimasyqī, Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis Permata Salaf

yang Terpendam (833H/1429M), Terj. oleh Faisal Saleh Dkk (Jakarta: Penerbit Akbar, 2008), h. 107. 2 Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada Media Group 2016), h. 24.

3 Meskipun hasil tadwīn yang dilakukan oleh al-Zuhri tidak sampai kepada kita, namun sudah

cukup memotivasi ulama yang lain untuk mengumpulkan dan menyusun kitab tadwin hadis pada masa

selanjutnya. Ulama yang berhasil menyusun kitab hadis dan karyanya dapat dibaca oleh umat Islam

saat ini adalah Malik bin Anas dengan karyanya Al-Muwaṭṭa’. Sehingga kitab ini dianggap sebagai

kitab hadis pertama yang terkodifikasi secara utuh. Lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada

Media Group, 2010), h. 47-48.

Page 16: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

2

mutaqaddimīn lebih terfokus pada pembuktian ke-otentikan sebuah hadis.4 Di

samping itu, pada masa awal Islam hampir tidak ada permasalahan yang berkenaan

dengan pemahaman redaksi hadis, karena para sahabat dapat bertanya langsung

kepada Nabi Saw mengenai hal-hal yang belum jelas dan belum mereka pahami.5

Kalaupun terjadi perselisihan di antara sahabat, maka penyelesaiannya selalu

dikembalikan kepada Nabi Saw.6

Setelah beberapa generasi terlewati, barulah sebagian dari hadis-hadis Nabi

Saw mulai terlihat sulit untuk dipahami (musykīl) dan bahkan beberapa darinya

dipandang mukhtalīf atau bertentangan satu sama lain.7 Salah satu faktor yang

melatarbelakangi hal tersebut adalah ekspansi wilayah Islam yang semakin meluas ke

luar wilayah Arab. Sehingga muncul berbagai masalah mengenai pemahaman redaksi

hadis yang terasa aneh dan asing pada masa-masa berikutya.8 Menanggapi hal

tersebut, para ulama kemudian menulis dan melahirkan karya berupa kitab-kitab yang

secara khusus membahas tentang penjelasan terhadap hadis. Maka satu per-satu kitab

syarah hadis pun mulai bermunculan, diawali dengan kitab Tafsīr fī Al-Muwaṯṯā’

yang ditulis oleh Abdullah bin Nāfi‟ al-Masr al-Saigh (w. 186 H) yang merupakan

syarah dari kitab Al-Muwaṯṯā’. Kemudian diikuti dengan kitab A’lām al-Sunan karya

Abu Sulaimān Hammād bin Muhammad al-Khiṯābi (w. 388 H) yang merupakan

syarah kitab Shahih al-Bukhāri dan lain-lain. Geliat terhadap penulisan kitab syarah

ini semakin marak dilakukan pada abad pertengahan yang pada masa tersebut lahir

4 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan

Metode Memahami Hadis Nabi, Cet-2 (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 5. 5 Nabi Muhammad Saw merupakan mufassir dan mubayyin yang diberi legitimasi langsung

oleh Allah Swt untuk menerangkan semua dalil-dalil agama. ketika beliau masih hidup, para sahabat

tidak mengalami kesulitan dalam memahami ajaran agama karena kehadiran Nabi Saw sebagai tempat

bertanya. Lihat: Mustafa al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah

Pembelaan Kaum Sunni, Terjemah Oleh Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 3-8. 6 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits, Cet-2 ( Jakarta: Bulan Bintang,

1988), h. 22. 7 Hasep Saputra, “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia,” Studi Al-Qur’an dan

Hadis 1, No. 1 (2017): h. 45. 8 Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode

Memahami Hadis Nabi, h. 6.

Page 17: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

3

kitab-kitab syarah legendaris seperti Fath al-Bāri Syarh Sahīh al-Bukhāri dan Al-

Minhāj Syarh Sahīh Muslim.9

Perkembangan hadis semakin mengalami peningkatan dari masa ke masa.

Pada awalnya ia hanya dikaji di wilayah Arab dan sekitarnya saja. Namun setelah

Islam menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia, kajian-kajian ke-Islaman seperti

syarah dan pemahaman hadis juga turut mengalami perkembangan. Perluasan

wilayah yang dilakukan pada masa ke-khalifahan Islam lambat laun juga berhasil

menyentuh daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.10

Adapun Islam pertama kali

masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke-7, beberapa pendapat mengatakan

abad ke-8 dan ke-1311

yang masing-masing darinya mempunyai argumentasi

pembuktian yang kuat. Terlepas dari teori-teori tersebut, sudah dapat dipastikan

bahwa kajian terhadap pemahaman hadis terjadi jauh setelah masuknya Islam ke

Indonesia.

Hal tersebut erat kaitannya dengan kenyataan bahwa perkembangan kajian

hadis di Indonesia tergolong sedikit lebih lambat dibandingkan ilmu-ilmu ke-Islaman

yang lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen, hadis

merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren dan dan belum dijadikan

kurikulum resmi pada lembaga pendidikan sebelum abad ke-20 di Indonesia. Pada

saat itu, para santri hanya menemui hadis-hadis sebagai pendukung dan penjelas mata

9 Sandi Santosa, “Melacak Jejak Pensyarahan Kitab Hadis,” Diroyah: Ilmu Hadis 1, No. 1

(September 2016), h. 82-83. 10

Masuknya Islam ke daerah Asia Tenggara lewat media dakwah dan dagang, bukan

penaklukan. Hal ini tidak lepas dari peran para pedagang muslim yang berasal dari India (ada juga

yang menyebutnya pedagang dari Arab). Para pedagang tersebut melakukan aktifitas perdagangan dan

sekaligus memperkenalkan tata cara jual beli dalam Islam. Karena dalam berinteraksi dengan

penduduk pribumi para pedagang tersebut menanamkan adab-adab yang ramah dan toleran, ajaran-

ajaran Islam yang mereka bawa dapat cepat diserap dan diterima. Lihat: Dudung Abdurrahman Dkk,

Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Cet-2 (Yogyakarta: LESFI, 2004), h. 318. 11

Teori pertama mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, yaitu pada

abad ke-7 M. Pendapat ini diperkuat dengan dokumen yang ditulis oleh Chu Fan Chi yang dikutipnya

dari catatan Chou Ku-Fei mengenai sebuah perkampungan Islam di Pantai Barus yang dikenal dengan

sebutan Ta-Shih. Teori kedua menyatakan kalau Islam datang dari Gujarat pada abad ke-8 M dengan

bukti berupa batu nisan Sultan Malik as-Saleh yang bertuliskan angka 1297 bercorak Gujarat.

Sedangkan teori yang terakhir mengatakan kalau Islam datang dari Persia pada abad ke-12 M karena

maraknya paham Syi‟ah pada awal kemunculan Islam di Indonesia, seperti tabuik atau tabot. Lihat:

Latifa Annum D, “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia,” Studi Agama dan Masyarakat 12, No. 1

(Juni 2016), h. 117-119 dan Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Selatan: UIN Jakarta

Press, 2007), h. 193-196.

Page 18: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

4

pelajaran yang lain seperti fiqih dan akidah.12

Namun meskipun perkembangannya

mengalami keterlambatan, hal tersebut bukan berarti para ulama sama sekali tidak

memberi perhatian pada kajian hadis, terbukti dengan lahirnya beberapa karya dalam

bidang tersebut pada masa-masa selanjutnya.

Adapun mengenai kajian terhadap metodologi pemahaman hadis di Indonesia

pada awalnya dilakukan dengan sangat sederhana yaitu dengan mengambil penjelasan

dari kitab-kitab syarah yang ditulis oleh para ulama. Tercatat bahwa pada abad ke-17

sampai 19 M belum ada buku yang secara mandiri memaparkan langkah-langkah

sistematis dalam memahami hadis. Sehingga, untuk memetakan metode yang

ditempuh para ulama Indonesia dalam memahami hadis hanya dapat ditelusuri dari

kitab-kitab syarah yang mereka tulis.13

Kitab-kitab tersebut sudah mempunyai

karakteristik tersendiri baik dari segi metodologi,14

pendekatan,15

dan mazhab16

yang

digunakan, hanya saja para ulama yang menulis tidak menjelaskannya secara

langsung dan detail mengenai metode yang mereka gunakan.

Memasuki abad ke-20, kajian hadis di Indonesia menapaki babak baru dengan

munculnya banyak pemikir hadis yang mumpuni dan menghasilkan karya-karya yang

cemerlang. Salah seorang tokoh yang ikut mengambil peran dalam pengembangan

kajian pemahaman hadis di Indonesia adalah T.M. Hasbi Ash Shiddieqy. Ia

merupakan ulama yang berasal dari Aceh dan termasuk salah seorang tokoh

12

Lihat: Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Cet-3 (Bandung:

Mizan, 1999), h. 29 dan 161. 13

Geliat penulisan kitab syarah hadis di Indonesia sudah dimulai pada abad ke 17 dengan

munculnya karya yang ditulis para ulama seperti Abdul Rauf al-Sinkili yang menulis kitab Syaraḥ

Latīef ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi. Disusul dengan Hidāyat al-Ḥabīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb

yang ditulis oleh Nuruddin al-Raniri. Keterangan lebih lanjut baca: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di

Nusantra (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 47-50. 14

Dalam kajian syarah hadis dikenal beberapa metode yang sering digunakan oleh para ulama

dalam mensyarah yaitu tahlili (analisis), ijmali (global) dan muqarin (komparatif). Lihat: Moh.

Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Studi Hadis 2, No. 2

(2016): h. 266. 15

Menurut Alfatih Suryadilaga, terdapat tiga pendekatan dalam syarah hadis yaitu:

pendekatan historis, pendekatan sosiologi dan pendekatan antropoloogi. Lihat: M. Alfatih Suryadilaga,

Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 57-83. 16

Mazhab atau aliran syarah hadis terbagi dalam dua kategori, yaitu mazhab ulama hadis

klasik dan ulama hadis kontemporer. Mazhab klasik lebih cenderung tekstual (original meaning) dan

tema sesuai dengan susunan kitab induknya, sedangkan mazhab kontemporer tema kajian syarah

bersifat kontekstual (applicable meaning) dan tema kajian tidak harus sesuai dengan kitab induknya.

Lihat: Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. xx.

Page 19: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

5

pembaharu yang giat menyuarakan tentang pentingnya ijtihad. Hasbi juga dikenal

sebagai seorang akademisi yang produktif menulis. Sepanjang hidupnya ia telah

menghasilkan 72 judul buku (142 jilid) dan 8 judul (26 jilid) di antaranya merupakan

tulisannya dalam bidang hadis yang meliputi tentang sejarah perkembangan hadis,

ulūm al-hadīts dan syarah hadis.17

Jika dilihat dari beberapa karya Hasbi dalam bidang hadis, memang tidak ada

yang secara khusus membahas tentang metode pemahaman hadis. Namun metode

yang ia gunakan dapat dilihat dari langkahnya menjelaskan hadis-hadis di dalam

karya syarahnya.18

Dari pembacaan terhadap karyanya tersebut, diketahui bahwa di

samping memahami hadis secara tekstual Hasbi juga menerapkan pemahaman

kontekstual pada hadis.19

Menurutnya, dalam memahami hadis adalah sesuatu yang

sangat penting untuk memperhatikan „illat yang terkandung di dalamnya, karena hal

tersebut dapat mempengaruhi status hukum dan pengamalannya.20

Di samping itu,

dalam memahami hadis Hasbi juga sangat berpedoman kepada Al-Qur‟an. Langkah

inilah yang kemudian membuatnya berkesimpulan bahwa tidak ada syafa’at kubra

karena tidak ada ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan keberadaannya secara tegas.21

17

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya, h. 265-276. 18

Diketahui bahwa Hasbi menulis dua karya dalam bidang syarah hadis yang ia kemas dalam

beberapa jilid. Karyanya dalam bidang syarah juga dipandang unik karena ditulis dalam bahasa lokal.

Hal tersebut membuatnya berbeda dari ulama-ulama sebelumnya yang menulis kitab syarah dalam

bahasa Arab seperti Nawawi al-Bantani (1815-1897) yang menulis kitab syarah berjudul Tanqīh al-

Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubab al-Hadīs dan Mahmūd al-Tarmasi (1868-1920) yang menulis kitab Al-

Khil’ah al-Fikriyyah Syaraḥ al-Mihnaḥ al-Khairiyyah. Maka hadirnya syarah hadis dalam bahasa

Indonesia merupakan sesuatu yang baru kala itu. Langkah yang dilakukan oleh Hasbi ini bukan tidak

mempunyai alasan. Sebagaimana dikutip oleh Noer Chalida, bahwa Hasbi mengungkapkan tujuannya

menulis syarah hadis dalam bahasa Indonesia adalah agar masyarakat dapat dengan mudah memahami

ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Saw, dengan begitu Islam juga dapat lebih cepat diterima oleh

mereka. Lihat; Noer Chalida, “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis,” Al-Hikmah 5, No. 2

(Oktober 2017): h. 90. 19

Menurut Ramli istilah kontekstual belum familiar dalam kajian hadis di Indonesia sebelum

abad ke-20. Lihat: Ramli Abdul Wahid, Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia,

Jurnal Analytica Islamica, Volume 4 No. 2, 2015, h. 232. 20

“Disaat „illat dari sesuatu hilang, maka hukum yang terkandung di dalamnya juga lenyap”,

hal ini seringkali disebutkan oleh Hasbi di beberapa pembahasannya tentang hadis (hadis tentang

jenggot dan hadis tentang larangan memakan dua kurma dalam satu suapan. Lihat: Ash-Shiddieqy,

Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212; Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid

VII, h. 65. 21

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I 9Jakarta; Buan Bintang, 1961) h. 409.

Page 20: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

6

Pada sisi lain, Hasbi juga seringkali mengemukakan pendapat yang dinilai

berbeda dari ulama kebanyakan seperti pemahamannya mengenai shalat Jum‟at yang

menurutnya merupakan pengganti shalat Zuhur pada hari Jum‟at sehingga semua

laki-laki dan perempuan wajib mendirikan shalat Jum‟at baik di masjid atau

sendirian.22

Ia juga berpendapat bahwa mengqashar shalat diperbolehkan di dalam

safar selama si musāfir tidak berniat untuk mukim di tempat yang ia kunjungi dan

tidak ada batasan waktunya karena hadis yang menjelaskan hal tersebut juga tidak

ditemukan.23

Pendapat-pendapat yang ia kemukakan selalu ia sandarkan dengan hadis

Nabi Saw. Maka menjadi sesuatu yang penting untuk diteliti bagaimana cara Hasbi

dalam menetapkan sebuah hukum dan apa metode yang ia gunakan dalam memahami

hadis hingga ia mempunyai kesimpulan yang berbeda dari ulama jumhur.

Dari pemaparan di atas, penulis merasa penting untuk melakukan penelitian

terhadap metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy

melalui beberapa karyanya dalam bidang hadis. Selain dikarenakan belum ada

penelitian yang menyoroti hal tersebut secara komprehensif, Hasbi juga tidak

mengungkapkan secara pribadi metode yang ia gunakan dalam memahami hadis dan

juga tidak menulis karya khusus dalam bidang tersebut. Sehingga jalan untuk

mengetahui hal tersebut adalah dengan mengkaji karya-karya beliau dalam bidang

hadis untuk kemudian dipetakan secara sistematis. Dengan mempertimbangkan

alasan-alasan tersebut, maka tesis ini dengan judul “Metode Pemahaman Hadis di

Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” laik untuk dikaji pada

penelitian lebih lanjut.

22

Hasbi menjelaskan tentang hal ini dalam sebuah bab yang cukup panjang. Penjelasan

selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4 (Bandung: Al-

Ma‟arif, 1974), h. 209. Lihat juga: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11 (Jakarta:

Bulan Bintang, 1983), h. 389. 23

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4, h. 332 dan Ash-Shiddieqy, Pedoman

Shalat, Cet-11, h. 430.

Page 21: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

7

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan, terdapat beberapa

masalah yang dapat diidentifikasi, antara lain:

a. Dari konteks sejarah, perkembangan kajian hadis di Indonesia dianggap

mengalami keterlambatan jika dibandingkan dengan cabang-cabang keilmuan

yang lain seperti Tafsir dan Fikih.

b. Metode pemahaman hadis di Indonesia terus mengalami dinamika dan

perkembangan. Seperti halnya pemahaman kontekstual yang sebelumnya

tidak dikenal dalam kajian pemahaman hadis dan baru muncul serta

diperkenalkan oleh tokoh-tokoh hadis Indonesia pada pertengahan abad ke-20.

Kemunculan metode ini menimbulkan tanda tanya, apakah metode yang

diterapkan oleh ulama klasik sudah tidak relevan untuk dijadikan pegangan

dalam memahami hadis Nabi Saw pada masa kontemporer ini.

c. Dalam upayanya untuk mengembangkan kajian hadis di Indonesia T.M. Hasbi

Ash-Shiddieqy mempunyai cara tersendiri yaitu dengan menghadirkan kitab

syarah dalam bahasa lokal. Hal tersebut menjadikan karyanya berbeda dari

ulama-ulama sebelumnya karena mayoritas dari mereka menulis kitab hadis

dalam bahasa Arab dan Melayu. Namun langkah yang ditempuh oleh Hasbi

ini tidak sepenuhnya menguntungkan karena karya syarahnya sulit untuk

mendunia dan tidak populer di kalangan pesantren yang mayoritas pesantren

lebih mengutamakan kitab-kitab berbahasa Arab.

d. Di samping dikenal sebagai ulama hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga

disebut sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Paham

pembaharuan yang ia anut sedikit banyaknya telah mempengaruhi pola pikir

dan caranya dalam membaca teks agama, sehingga tidak jarang pendapatnya

mengenai suatu hukum sangat berbeda dengan yang diyakini oleh ulama

jumhur.

e. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan ulama yang produktif. Ia

menghasilkan 72 judul buku (142 jilid) yang 8 judul (26 jilid) di antaranya

Page 22: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

8

membahas tentang hadis. Namun dari delapan karyanya pada bidang hadis, ia

tidak menulis karya khusus terkait metode pemahaman hadis. T.M. Hasbi

Ash-Shiddieqy juga tidak menjelaskan secara eksplisit metode yang ia

gunakan dalam memahami hadis, sehingga jalan untuk mengetahui

metodologinya adalah dengan mengkaji semua karyanya dalam bidang hadis

dan kemudian memetakannya.

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa masalah yang sudah diidentifikasi, penelitian ini akan dibatasi

hanya pada pembahasan seputar metodologi yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-

Shiddieqy dalam memahami hadis Nabi Saw dengan merujuk pada karya-karyanya

pada bidang hadis. Adapun karya yang ia tulis dalam bidang hadis antara lain adalah

2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu

Hadis, Sejarah Perkembangan Hadis Sejarah Perkembangan Hadis Pokok-pokok

Ilmu Dirayah Hadis, Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam,

Beberapa Rangkuman Hadis, dan Rijal al-Hadith. Dari delapan karyanya tersebut,

penulis hanya akan meneliti enam buku yang disebutkan paling awal karena pokok

pembahasan dalam tesis ini terkait dengan metode pemahaman hadis sehingga karya

beliau seperti Beberapa Rangkuman Hadis dan Rijal al-Hadith tidak dijadikan

sebagai sumber penelitian.

Adapun alasan penulis memilih T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy sebagai tokoh

yang akan dikaji pada penelitian ini karena beliau merupakan salah seorang tokoh

pembaharu di Indonesia. Di samping itu, beliau juga merupakan seorang akademisi

yang mempunyai kontribusi besar dalam dunia pendidikan. Beliau aktif mengajar di

berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia, dan juga mempunyai banyak karya di bidang

hadis yang karya-karyanya tersebut terus dicetak dan dikaji. Dengan ini tentu saja

pemikiran-pemikirannya sangat berpengaruh pada cara pandang murid-murid,

pembaca setianya dan juga masyarakat Indonesia secara umum.

Page 23: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

9

3. Rumusan masalah

Berdasarkan pembatasan di atas, maka penulis merumuskan dua masalah

pokok, yaitu:

a. Bagaimana metode T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis Nabi

Saw?

b. Bagaimana upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam mengembangkan kajian

pemahaman hadis di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka secara

garis besar tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan, mengetahui dan

memetakan metode pemahaman hadis yang diterapkan oleh T.M. Hasbi Ash-

Shiddieqy di dalam karya-karyanya pada bidang hadis.

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Sebagai sumbangan ilmiah bagi para akademisi dan para peminat kajian hadis

terutama yang berkenaan dengan perkembangan metodologi pemahaman

hadis di Indonesia.

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam kemajuan kajian

hadis di Indonesia dan dapat menarik minat peneliti lain untuk melakukan

penelitian-penelitian lanjutan yang berkenaan dengan tema yang sama.

D. Kajian Terdahulu yang Relevan

Dalam mempersiapkan tesis ini, penulis telah melakukan penelusuran

terhadap beberapa penelitian terdahulu yang mempunyai keterkaitan dengan tema

tentang metode pemahaman hadis dan pemikiran hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

Penelitian-penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:

M. Alfatih Suryadilaga menulis sebuah buku berjudul Metodologi Syarah

Hadis dari Klasik hingga Kontemporer.24

Buku ini berisi pembahasan tentang

24

M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer

(Yogyakarta: Kalimedia, 2017).

Page 24: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

10

beberapa metode, pendekatan dan pola yang digunakan para ulama dalam mensyarah

hadis. Alfatih menyimpulkan bahwa ada tiga metode dalam syarah hadis, yaitu

metode tahlili, metode ijmali dan metode muqaran. Pendekatan dalam kajian syarah

hadis juga ada tiga yaitu pendekatan historis, sosiologi dan antropologi. Adapun pola

dalam syarah hadis ada empat, antara lain memahami hadis dengan Al-Qur‟an,

memahami hadis dengan hadis, memahami hadis dengan literasi bahasa dan dengan

ijtihad. Di dalam buku ini, Alfatih juga menguraikan metodologi dari beberapa kitab

kitab hadis sebagai pelengkap.

Sebuah tulisan yang berjudul Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis

ditulis oleh A. Shamad juga membahas mengenai pendekatan-pendekatan yang bisa

digunakan dalam kajian pemahaman hadis.25

Tulisan ini diterbitkan oleh SEAR

(South East Asia Regional Forum Intellectual Qoran Hadith) dan berkolaborasi

dengan UIN Ar-Raniry. Penelitiannya berkenaan dengan beberapa pendekatan dalam

memahami hadis, yaitu pendekatan linguistik, historis dan sosiologis. Dalam

penelitiannya, A. Shamad juga membuat pembahasan khusus tentang pendekatan

kontekstual dalam memahami hadis. Ia menuturkan bahwa sudah seharusnya

pendekatan kontekstual berupa peninjauan terhadap historisitas hadis lebih

dikembangkan, karena ada hadis-hadis yang jika dipahami secara tekstual akan

terlihat seperti tidak komunikatif lagi dengan zaman.

Sebelumnya Yūsuf al-Qarḍāwi juga pernah menulis sebuah buku yang

berjudul Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Dalam bukunya ini, ia

menguraikan beberapa metode yang dapat digunakan untuk memahami hadis Nabi

Saw. Muḥammad al-Ghazāli juga mengarang sebuah kitab yang berjudul Al-Sunnah

al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīts dan sudah diterjemahkan ke

dalam Bahasa Indonesia dengan judul Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw antara

Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.26

Di dalam buku tersebut dibahas mengenai

otoritas Nabi Saw dalam menyampaikan hadis sebagai sumber hukum Islam,

25

A. Shamad, “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis,” Al-Mu’assirah 13, No. 1

(Januari 2016): 34-45. 26

Muḥammad al-Ghazāli, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman Tekstual dan

Kontekstual (Bandung: Mizan, 1996).

Page 25: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

11

metodologi kritik hadis dan beberapa pemahaman hadis ditinjau dari pendekatan para

ulama Fiqh dan ulama Hadis.

Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Liliek Channa AW dengan judul

Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual.27

Penelitiannya

membahas tentang metode dalam memahami hadis secara tekstual dan kontekstual

dan beberapa cara dalam menginterpretasi hadis dari konteksnya. Menurutnya, untuk

merealisasikan hadis sebagai dalil yang berlaku sepanjang zaman dibutuhkan

pendekatan dari segi konteks hadis. Namun, ada konsekuensi yang harus dihadapi

dari pemahaman hadis kontekstual yaitu, arti hadis bisa saja menjadi tawaqquf

(diabaikan) jika hadisnya bersifat temporal, selain itu pemahaman kontekstual juga

akan memberikan penjelasan yang berbeda dengan yang tersurat dalam teks.

Mewakili beberapa pemikir hadis modern di Indonesia Said Agil al-

Munawwar menghasilkan sebuah karya berjudul Asbābul Wurūd: Studi Kritik Hadis

Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual.28

Buku ini merupakan terjemahan dari

kitab Asbāb al-Wurūd al-Hadīts wa al-Luma’ fi Asbāb al-Hadīts karya Jalāl al-Dīn

al-Suyūṯi dengan penambahan beberapa bab mengenai pemahaman hadis. Buku ini

berupaya untuk memberikan penjelasan tentang asbāb al-wurūd, fungsi dan

urgensinya dalam memahami hadis. Di samping itu, M. Syuhudi Ismail juga menulis

sebuah buku yang berkenaan dengan metodologi memahami hadis ia beri judul Hadis

yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani Al-Hadis tentang Ajaran Islam yang

Universal, Temporal dan Lokal29

yang secara umum memaparkan tentang penjelasan

beberapa hadis berdasarkan pengelompokannya secara tekstual dan kontekstual.

Penelitian yang dilakukan oleh Badri Khaeruman berjudul Perkembangan

Hadis di Indonesia pada Abad XX30

menjelaskan tentang perjalanan perkembangan

kajian hadis di Indonesia. Agung Danarta juga melakukan penelitian serupa dengan

27

Liliek Channa AW, “Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual,” Ulumuna

XV, No. 2 (Desember 2011): 391-414. 28

Said Agil al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritik Hadis Nabi

Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). 29

M. Syuhudi Ismail, Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani Al-Hadis tentang

Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 2009). 30

Badri Khaeruman, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX,” Dirayah Ilmu

Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 187-202.

Page 26: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

12

judul Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya Pemetaan.31

Muhajirin menulis sebuah buku berjudul Kebangkitan Hadits din Nusantara.32

Karya

lain yang berhubungan dengan kajian hadis di Indonesia juga dihasilkan oleh Muh.

Tasrif dengan judul Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dari Abad

XVII-Sekarang.33

Pada awalnya tulisannya ini dipublikasikan dalam jurnal namun

sekarang sudah dicetak dalam bentuk buku dengan judul Kajian Hadis di Indonesia:

Sejarah dan Pemikiran.

Adapun sebuah penelitian terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia

juga pernah dilakukan oleh Muhammad Dede Rodliyana. Penelitiannya terfokus pada

pergeseran pemikiran Ulūm al-Hadīts di Indonesia yang pada kesimpulannya ia

mengungkapkan bahwa seiring berjalannya waktu metodologi yang digunakan oleh

para ulama terkait Ulūm al-Hadīts telah mengalami perkembangan.34

Kesimpulan

yang serupa juga disampaikan oleh Hasep Saputera di dalam penelitiannya. Ia

menyatakan bahwa telah terjadi perkembangan pada kajian pemahaman hadis di

Indonesia, terbukti dengan langkah yang ditempuh oleh para pengkaji hadisnya yang

berusaha untuk merekonstruksi metodologi kajian hadis agar dapat diterima oleh

masyarakat pada saat ini. pergeseran yang terjadi pada pemahaman hadis di Indonesia

juga tampak dari munculnya metode-metode baru yang digunakan oleh para ulama

dalam memahami hadis seperti antropologi, sosiologi dan hermeneutic. Namun secara

keseluruhan metode-metode tersebut terangkum dalam dua tipologi, yaitu

pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual.35

Sedangkan penelitian yang khusus membahas tentang M. Hasbi Ash-

Shiddieqy salah satunya adalah yang ditulis oleh Nourouzzaman Shiddiqi berjudul

Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Di dalam buku ini dijelaskan secara

31

Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya Pemetaan,”

Tarjih, Edisi 7 (Januari 2004): h. 73-82. 32

Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantra (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016). 33

Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dari Abad XVII-

Sekarang,” Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis 5, No. 1 (Januari 2004). 34

Muhammad Dede Rodliyana, “Pergeseran Pemikiran Ulum al-Hadis dan Pengaruhnya

terhadap Pemikiran Ulum al-Hadis di Indonesia,” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2003. 35

Hasep Saputra. “Perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan dan Analisis

Genealogi.” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2014.

Page 27: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

13

lengkap mengenai biografi M. Hasbi Ash-Shiddieqy berikut beberapa poin-poin

penting dari ide pemikirannya.36

Penelitian lainnya berjudul Kontribusi Pemikiran

Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis yang ditulis oleh Aan Supian.

Penelitian ini berisi tentang pemikiran Hasbi mengenai periode hadis, kriteria hadis

shahih dan dhaif serta sedikit pembahasan tentang metode syarah hadis yang beliau

gunakan.37

Hefni Julidar Daulay melakukan penelitian dengan judul Pemikiran Hadis

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid Satu

Pembahasan Pertama (Taharah).38

Secara umum penelitian ini membahas tentang

perbedaan antara pemikiran fikih Hasbi dengan pemahaman yang dianut oleh umat

Islam kebanyakan.

Setelah melacak dan menelusuri literatur-literatur yang berkenaan dengan

tema yang dibahas dalam tesis ini, penulis melihat bahwa kebanyakan dari penelitian

tersebut hanya menguraikan pembahasannya secara sepintas dan dalam bab-bab

tertentu saja. Di samping itu, terdapat beberapa hal yang menjadikan penelitian ini

berbeda dari kajian terdahulu, yaitu:

1. Penelitian ini akan mengkaji tentang metodologi T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy

dalam memahami hadis. Kajian terdahulu mengenai kontribusi T.M. Hasbi

Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis sudah pernah dilakukan, namun masih

dalam porsi yang sangat umum dan belum menyentuh ranah metodologi

pemahaman hadis yang ditawarkan oleh beliau.

2. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy

merupakan salah satu tokoh awal yang membuka wacana baru dalam kajian

pemahaman hadis di Indonesia, baik dari segi metodologi atau

karakteristiknya.

36

Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1997). 37

Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis,”

Mutawatir: Jurnal Tafsir Hadis 4, No. 2 (Desember 2014): 270-291. 38

Hefni Julidar Daulay, Pemikiran Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku Koleksi

Hadits-hadits Hukum Jilid Satu Pembahasan Pertama (Thaharah), Tesis Prodi Tafsir Hadis UIN

Sumatera Utara.

Page 28: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

14

E. Kerangka Teoritik

Salah satu bentuk kajian dalam bidang hadis adalah studi tokoh. Studi yang

dimaksud berupa kajian terhadap kontribusi tokoh dalam bidang hadis meliputi

karya-karya dan pemikiran serta ide yang disampaikan secara langsung maupun

dalam bentuk tulisan. Maka dari itu metode yang digunakan oleh seorang tokoh

dalam memahami hadis merupakan bagian dari kajian dalam kategori ini. Adapun

penelitian ini berupaya untuk mengetahui metode pemahaman hadis salah seorang

tokoh di Indonesia yang hidup pada pertengahan abad ke-20, T.M. Hasbi Ash-

Shiddieqy. Juga include di dalam penelitian ini pembahasan mengenai perkembangan

kajian hadis di Indonesia dan epistemologi hadis beliau secara umum.

Dalam meneliti metode pemahaman hadis yang digunakan oleh Hasbi, penulis

menggunakan teori komparatif tekstual-kontekstual. Sebagaimana sudah lumrah di

dunia akademik bahwa komparatif berarti perbandingan. Maka dalam penelitian ini

selain mengkaji pemikiran Hasbi penulis juga melakukan peninjauan terhadap

pemikiran ulama-ulama lain dalam tema yang sama. Hal ini ditujukan untuk memilah

antara pemikiran serta idenya yang original dan pemikirannya yang terinspirasi dari

ulama lain atau bahkan memang secara jelas mengutipnya sebagai rujukan. Di dalam

karya-karyanya, Hasbi seringkali mengutip perkataan-perkataan ulama seperti Ibnu

Hajar dan imam mazhab fikih yang empat, namun pada beberapa tempat ia tidak

menyebutkan sumbernya sehingga besar kemungkinan hal tersebut merupakan hasil

ijtihadnya sendiri.

Dalam praktiknya terdapat sebuah metode yang sangat menonjol dari Hasbi

dalam memahami hadis yaitu dengan berpegang teguh pada petunjuk al-Qur‟an. Jika

ia menemukan sebuah hadis bertentangan kandungannya dengan yang tertera di

dalam al-Qur‟an, maka ia akan menolak hadis tersebut sekalipun sanadnya shahih.

Sebagai contoh pemahamannya tentang syafa‟at berupa penyelamatan manusia dari

api neraka. Menurutnya hal tersebut bertentangan dengan firman Allah Swt yang

menyatakan bahwa tidak ada manusia yang dapat menyelamatkan manusia dari api

neraka. Pemahaman hadis dengan merujuk kepada petunjuk al-Qur‟an sebenarnya

telah dipraktikkan oleh ulama-ulama terdahulu dan juga ulama kekinian seperti Yusuf

Page 29: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

15

al-Qarḏāwi dan Muhammad al-Ghāzali,39

sehingga metode ini bukanlah original dari

Hasbi. Namun dalam hal ini memang Hasbi terlihat lebih berani dibandingkan ulama-

ulama yang lain karena dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap hadis yang

kandungannya bertentangan dengan al-Qur‟an.

Adapun tekstual dan kontekstual merupakan istilah yang juga sudah familiar

di kalangan pengkaji hadis. Tekstual merupakan pemahaman terhadap hadis yang

terfokus pada makna harfiyah teks, sedangkan kontekstual merupakan pemahaman

hadis yang bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan asal usul (asbab al-wurud)

hadis serta konteks yang mengitarinya.40

Dalam kajian hadis, pemahaman kontekstual

sulit untuk dihindari karena hadis disampaikan oleh Nabi Saw dalam berbagai corak

dan bentuk yang terkadang dianggap bertolak belakang dan tidak sesuai dengan

perkembangan zaman.41

Di samping itu, karena semakin kompleksnya problem hidup

manusia, ada ranah yang tidak tersentuh oleh hadis sebagai sumber ajaran kedua

setelah al-Qur‟an.42

Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif untuk menjawab semua

tuntutan yang ada serta untuk menghindari misunderstanding dan misperception

terhadap kandungan hadis.

Sebuah konsep yang disampaikan oleh Muhammad „Abid al-Jābiri tentang

tradisi menunjukkan bahwa pemahaman hadis yang hanya ditarik dari literal teksnya

tanpa mempertimbangkan asumsi sosial yang melingkupinya sangat rentan

menimbulkan kesalahpahaman. Dengan demikian dibutuhkan alternatif dan

kreatifitas dari para ulama yang diharapkan dapat mengatasi krisis makna yang

dimunculkannya. Beliau menyatakan bahwa hadis yang sampai kepada umat Islam

adalah warisan tradisi masa lalu yang tidak lain merupakan gambaran dari aktifitas-

aktifitas yang dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabat, dan setiap tradisi pasti

39 Penjelasan selengkapnya lihat: Yusuf Qardhawi, Metode Memahami as-Sunnah dengan

Benar, Penerjemah Saifullah Kamalie (Jakarta: Media Dakwah, 1994), h. 105, dan Muhammad al-

Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penerjemah

Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996), h. 11. 40

Liliek Channa AW, Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal

Ulumuna Vo. XV Nomor 2, Desember 2011, h. 395. 41

Tasbih, Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis: Refleksi terhadap Wacana Islam

Nusantara, Jurnal Al-Ulum Vol. 16 No. 1, Juni 2016, h. 82. 42

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),

h. 182.

Page 30: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

16

mengalami transformasi yang dinamis. Secara tekstual memang interpretasi dari

sebuah hadis tidak berubah, namun jika terus dipahami secara tekstual maka makna

teks tidak akan mampu berdialaog dengan keadaan zaman.43

Dalam perkembangannya, metode pemahaman hadis telah menunjukkan

dinamika yang nyata. Ulama klasik misalnya, mereka lebih cenderung memahami

hadis secara tekstual karena pada saat itu memang pemahamahan dengan

mempertimbangkan hal-hal yang berada di luar teks belum terlalu dibutuhkan.

Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, metode yang pada

awalnya hanya diwarnai dengan corak tekstual kemudian berkembang hingga

memunculkan istilah seperti pemahaman kontekstual dan lain sebagainya. Maka

berangkat dari kenyataan bahwa terdapat dua aliran pemahaman hadis, penelitian ini

dititikberatkan pada upaya melihat kecenderungan Hasbi, apakah beliau seorang

tokoh yang tekstualis atau kontekstualis.

Dari beberapa penjelasan Hasbi terhadap hadis-hadis yang terdapat di dalam

karya-karyanya, terlihat bahwa ia tidak konsisten dengan satu pemahaman saja. Pada

satu kesempatan ia memahami hadis secara tekstual dan pada kesempatan yang lain ia

memahami hadis secara kontekstual. Sebagai contoh, ia memahami hadis tentang

mengqashar shalat dalam safar secara tekstual dan memahami hadis tentang perintah

untuk mematikan lampu ketika hendak tidur secara kontekstual dan mengatakan

bahwa karena ‘illat yang terkandung di dalamnya telah hilang maka perintah tersebut

sudah tidak berlaku lagi. Para pembaca yang mengkaji penjelasan Hasbi mengenai

hadis ini tentu akan menilai dan menggolongkannya sebagai tokoh yang

kontekstualis. Namun sejatinya beliau merupakan tokoh yang lebih cenderung

memahami hadis secara tekstual.

43

Teori ini diungkapkan oleh Muhammad Abid al-Jābiri di dalam kitabnya al-Turāts wa al-

Hadatsah: Dirāsah wa Munāqasyah, cetakan Beirut tahun 1991 halaman 45 dan dikutip oleh

Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syahrūr dan al-Qarḏāwi,”

Disertasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tahun 2004, h. 13.

Page 31: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

17

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan riset kepustakaan (Library Research) yang bersifat

kualitatif. Langkah yang ditempuh adalah dengan mengumpulkan data dan menelaah

buku-buku, literatur-literatur, catatan dan laporan sehingga menghasilkan data yang

dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang sudah dirumuskan.44

2. Sumber Data

Sumber yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan

sumber sekunder. Adapun yang menjadi sumber primer adalah karya-karya T.M.

Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis, yaitu 2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis-

hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis

dan Sejarah Perkembangan Hadis. Sedangkan sumber sekunder diambil dari karya-

karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang keilmuan Islam secara umum. Di

samping itu juga diambil dari karya-karya yang mengangkat tema yang relevan

dengan penelitian ini seperti jurnal, artikel, majalah dan tulisan-tulisan lainnya.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri literatur primer yaitu buku-

buku M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis. Adapun metode yang digunakan

dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode ini

dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan tema yang akan

dibahas pada penelitian berupa buku, jurnal dan lain sebagainya.45

Maka pada

penelitian ini, penulis akan mengumpulkan semua data yang relevan dengan tema

penelitian, baik berupa karya-karya dalam bidang metodologi pemahaman hadis

ataupun yang membahas tentang kontekstualisasi hadis secara umum.

44

M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27. 45

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina Aksara,

1989), h. 231.

Page 32: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

18

4. Analisis Data

Dalam mengolah dan menganalisa data yang sudah dikumpulkan, penulis

menggunakan metode deskriptif-analisis. Metode deskriptif dalam penelitian

bertujuan untuk menjelaskan suatu keadaan, peristiwa, objek, ataupun segala sesuatu

yang berkaitan dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan.46

Adapun pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu hadis. Lebih lanjut,

langkah operasional yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a)

Mendeskripsikan gambaran umum tokoh yang dibahas pada penelitian ini, mulai dari

riwayat hidup, latar belakang pendidikan dan karya-karyanya; b) Membaca secara

teliti karya-karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis; c) Menganalisa

metodologi yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis;

d) Merumuskan dan memetakan secara komprehensif langkah-langkah yang T.M.

Hasbi Ash-Shiddieqy gunakan dalam memahami hadis; e) Langkah terakhir adalah

menarik kesimpulan dari analisa yang dilakukan dalam penelitian untuk melihat

metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dalam lima bab yang terdiri dari pasal-pasal terkait, dengan

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan sebagai bangunan awal penulisan tesis.

Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka atau

penelitian terdahulu yang relevan, kerangka teori, metodologi penelitian dan

sitematika penulisan. Bab ini sangat penting karena sebagai pondasi yang menunjang

jalannya proses penelitian pada bab-bab selanjutnya.

Bab kedua membahas gambaran umum tentang metode pemahaman hadis di

Indonesia. Hal ini perlu untuk dibahas sebagai bagian landasan teori. Pada awal bab

diuraikan mengenai mengenai sejarah metode pemahaman hadis secara umum dari

46

Setyosar Punaji, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: PT. Kencana,

2010), h. 36.

Page 33: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

19

masa klasik hingga kontemporer. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang

perkembangan hadis di Indonesia. Pada akhir bab diuraikan tentang dinamika yang

terjadi pada metodologi pemahaman hadis di Indonesia.

Bab ketiga membahas tentang sketsa biografis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

Pembahasan pada bab ini diawali dengan uraian mengenai riwayat hidup T.M. Hasbi

Ash-Shiddieqy, latar belakang pendidikan dan karya-karya yang beliau hasilkan.

Kemudian dilanjutkan dengan uraian mengenai kotokohan beliau di Indonesia. Di

samping sebagai tokoh hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga dikenal sebagai tokoh

tafsir dan fikih. Maka pada bab ini dipaparkan mengenai kontribusi beliau dalam

bidang hadis, tafsir dan fikih serta sekilas tentang pemikirannya pada masing-masing

bidang tersebut.

Bab keempat berisi jawaban atas masalah yang telah dirumuskan pada bab

pertama. Pada bab ini dibahas mengenai metode yang digunakan oleh T.M. Hasbi

Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis. Karena beliau diketahui tidak

mengungkapkan sendiri metodologi pemahaman hadis yang ia gunakan dan juga

tidak menulis karya khusus dalam bidang tersebut, maka pada bab ini akan dibahas

mengenai metode yang ia terapkan ketika memahami hadis dengan menyandarkannya

pada penjelasan-penjelasan terhadap hadis yang ia paparkan di dalam karya-

karyanya. Pada akhir bab diuraikan tentang upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam

mengembangkan kajian hadis di Indonesia.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang ditarik dari

pembahasan-pembahasan pada bab sebelumnya. Pada kesimpulan akan terjawab

pertanyaan dari masalah-masalah yang sudah dirumuskan pada bab pertama. Di

samping itu, juga berisi beberapa saran bagi dunia akademik untuk menggali lebih

spesifik tentang tema terkait dan mengembangkannya. Terakhir adalah daftar pustaka

yang menjadi rujukan penulis dan lampiran-lampiran.

Page 34: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

20

BAB II

PERKEMBANGAN METODE PEMAHAMAN HADIS

A. Sejarah Metode Pemahaman Hadis

Hadis memegang peranan yang sangat penting dalam Islam yakni sebagai

salah satu sumber otoritatif yang dijadikan hujjah dalam berbagai permasalahan hidup

manusia. Darinya dapat diketahui perkataan dan perbuatan Nabi Saw yang harus

diteladani oleh kaum muslimin. Banyak nash yang menjelaskan tentang kehujjahan

hadis, mulai dari al-Qur‟an, perbuatan sahabat dan perintah Allah Swt yang mujmāl

dalam al-Qur‟an yang membutuhkan penjelasan dari Nabi Saw.1 Salah satu ayat al-

Qur‟an yang menjelaskan tentang kehujjahan hadis adalah QS. An-Nisa ayat 59

tentang perintah mentaati Allah Swt dan Nabi Saw.2 Taat kepada Nabi Saw di dalam

ayat ini maksudnya adalah mengikuti semua perintahnya, baik perintah untuk

melakukan sesuatu atau perintah agar tidak melakukannya, sebagaimana yang tertera

dalam sunnahnya yang shahih.3 Maka mengikuti dan meneladani Nabi Saw

merupakan sebuah keharusan bagi kaum muslimin.4

Untuk menempati kedudukan yang tinggi dan istimewa sebagai sumber

hukum kedua setelah al-Quran, pada prakteknya hadis harus melalui fase yang

1 Mannā‟ al-Qaṯṯān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman

(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 30-34. 2 Ayat yang dimaksud berbunyi “…ياأيها الريي أهىا أطيعىا هللا وأطيعىا السسىل وأولي األهس هكن” yang

artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan

kepada ūlil amri di antara kalian” 3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Lentera

Hati: Jakarta, 2002), h. 483. 4 Meskipun telah jelas dalil yang menyebutkan tentang kehujjahan hadis, namun masih ada

golongan yang enggan menerima hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Mereka menganggap al-

Qur‟an sebagai satu-satunya sumber otoritatif dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Padahal

langkah yang mereka tempuh sungguh keliru karena hampir seluruh hukum yang tertera di dalam al-

Qur‟an masih bersifat ām dan penjelasannya hanya dapat ditemukan di dalam hadis Nabi Saw.

Kelompok yang menolak hadis sebagai sumber hukum dalam Islam dikenal dengan sebutan kaum

inkar sunnah. Sebagai contoh kelompok ini adalah Jam’iyyah Ahli Qur’an yang muncul pada tahun

1906 di India dan Pakistan. Di samping itu gerakan serupa juga muncul di Mesir yang tergambar

dalam tulisan Muhammad Taufīq Ṣidqi dalam majalah al-Manār. Pada tahun 1080-an di wilayah Asia

Tenggara juga muncul gerakan inkar sunnah di Malaysia yang dipelopori oleh Kassim Ahmad.

Pemikirannya tentang inkar sunnah tertuang dengan jelas dalam buku Hadis Satu Penilaian Semula

yang merupakan kumpulan ceramah-ceramah Kassim di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).

Lihat: Zikri Darussamin, “Kassim Ahmad Pelopor Inkar Sunnah di Malaysia,” Alfikra: Jurnal Ilmiah

Keislaman 8, No. 1 (Januari-Juni 2009): h. 3.

Page 35: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

21

panjang.5 Sebut saja pada sejarah awal pengkodifikasiannya, hadis baru

dikodifikasikan pada masa Umar bin Abdul Azīz (w. 101 H) yang memerintah

Dinasti Umayyah di saat al-Qur‟an telah dikumpulkan dan dikodifikasi lebih awal

pada masa Al-Khulafā` Al-Rāsyidūn.6 Dari segi kitābah pun al-Qur‟an mendapat

mandat khusus dari Nabi Saw agar para sahabat menulis setiap kali wahyu turun.

Sedangkan untuk penulisan hadis para sahabat lebih cenderung berhati-hati dan

menahan diri karena mereka ingin menjaga dan menyelamatkan al-Qur‟an. Oleh

sebab itu, permasalahan yang timbul pada kajian hadis yang notabennya adalah ẕanni

al-wurūd lebih kompleks dibanding al-Qur‟an yang bersifat qaṯ’iy al-wurūd.7

Dalam kajian hadis terdapat dua unsur penting yaitu sanad dan matan. Sanad

merupakan rangkaian nama perawi yang memindahkan matan dari sumber

primernya.8 Ia adalah gerbang awal yang harus dilalui sebelum memasuki

pembahasan yang lebih mendalam terhadap matan hadis.9 Studi sanad akan

mengantarkan pada pengetahuan mengenai otentisitas sebuah hadis dengan melihat

ketersambungannya sampai kepada Nabi Saw. Sedangkan matan adalah redaksi atau

isi hadis. Penamaan “matan/mutūn” didasarkan karena ia adalah bagian yang tampak

atau yang menjadi poin dari sebuah hadis. Oleh sebab itulah definisi matan

sebenarnya merupakan representasi dari maknanya secara bahasa.10

Baik sanad

maupun matan sama-sama mempunyai kedudukan yang penting dalam kajian hadis.

5 Abdul Malik Ghozali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam

Ta‟wīl Mukhtalaf al-Ḥadīs,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 8, No. 1 (Juni 2014): h.

120. 6 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia, 1986), h.11. 7 Dalam penetapan hukum istilah qaṯ’iy al-wurūd dan ẕanni al-wurūd bukanlah sesuatu yang

asing. Safi Hasan Abu Ṯalib mengatakan bahwa qaṭ’iy al-wurūd merupakan nash-nash yang sampai

kepada kita secara pasti dan tidak ada keraguan terhadapnya karena ia diriwayatkan secara mutawātir.

Sedangkan ẕanni al-wurūd adalah nash-nash yang tidak diriwayatkan secara mutawātir sehingga masih

sering diperdebatkan Al-Qur‟an sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam bersifat qaṯ’iy al-wurūd

sedangkan hadis keberadaanya bersifat ẕanni al-wurūd. Lihat: Safi Hasan Abu Ṯālib, Tatbi al-Syarī’ah

al-Islāmiyah fī al-Bilād al-Arabiyyah (Kairo: Dār al-Nahḏah al-Arabiyah, 1990), h. 62. 8 Muḥammad „Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Hadīs Ulūmuhu wa Musṯalāhuh (Beirut: Dār al-Fikr,

1989), h. 32. 9 Ali Imron, “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil,” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 2, No. 2

(Desember 2017): h. 288. 10

Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis,” Esensia 16, No. 2

(Oktober 2015): h. 180.

Page 36: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

22

Jika sebuah hadis matannya shahih namun sanadnya tidak shahih, maka hadis

tersebut tidak bisa dijadikan hujjah begitupun sebaliknya.11

Meskipun keduanya merupakan komponen yang sama-sama penting, namun

tidak dapat dipungkiri bahwa kajian hadis kontemporer lebih terfokus pada bagian

matan. Sementara jika melirik pada catatan sejarah, keadaan ini berbanding terbalik

dengan ketika hadis pertama kali hadir di tengah-tengah umat Islam.12

Sebenarnya hal

ini cukup beralasan karena kajian sanad bisa dianggap sudah selesai. Kitab-kitab al-

Jarh Wa al-Ta’dīl13 sudah merangkum dengan jelas nama-nama perawi lengkap

dengan riwayat hidup, guru dan murid, serta komentar para ulama kritikus hadis

terhadap mereka. Sedangkan kajian matan belum dapat dikatakan selesai. Hal ini

dikarenakan peradaban yang terus berkembang, ditambah lagi situasi dan kondisi di

saat hadis disampaikan dan konteks saat ini sungguh berbeda. Sehingga kajian

11

Menurut Kamaruddin, penting untuk melakukan pengkajian pada sanad dan matan dengan

tidak menganaktirikan salah satunya. Karena shahihnya sebuah sanad belum dapat menjamin

matannya juga shahih. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa penilaian “buruk” yang disematkan

kepada perawi merupakan sebuah asumsi, ditambah lagi seorang perawi yang dianggap tsiqah pada

saat yang sama juga dapat dinilai sebaliknya oleh kritikus hadis yang lain. Dengan adanya kritik

matan, penilaian seorang kritikus terhadap sebuah hadis dapat diverifikasi. Beberapa hal yang telah

disebutkan merupakan alasan mengapa kajian matan juga penting dan tidak dapat diabaikan serta

mendapat kedudukan yang sama dengan kajian sanad. Lihat: Kamaruddin Amin, Menguji Kembali

Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2009), h. 56. 12

Dahulunya, ulama-ulama klasik terutama pada periode sahabat dan tabi‟in lebih terfokus

pada pembuktian ke-otentikan sebuah hadis dibanding pada kajian redaksi hadis. Lihat: Abdul

Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami

Hadis Nabi, Cet-2 (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 5. 13

Al-Jarh dan al-Ta’dīl merupakan disiplin ilmu dalam kajian hadis yang meneliti para

periwayat dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Al-Jarh berasal dari Bahasa Arab

jaraha-yajrahu-jarhan-jarahan yang berarti melukai. Menurut istilah al-Jarh adalah sifat yang terlihat

pada seorang perawi yang membuat cacat pada keadilannya atau hafalnnya sehingga ia gugur dan

ditolak periwayatannya. Sedangkan al-ta’dīl adalah kebalikan dari al-jarh yaitu memberikan sifat

kepada perawi sehingga bersihlah namanya dan tampaklah keadilan pada dirinya. Ilmu Al-Jarh wa al-

Ta’dīl merupakan salah satu hal pokok yang harus dipahami oleh pengkaji hadis. IImu ini sudah ada

semenjak dahulu, bahkan pada masa Nabi Saw masih hidup. Beberapa sahabat contohnya menguji

kedhabitan sahabat lain yang menyampaikan sebuah riwayat dengan menanyai sahabat yang lain

sebagai saksi. Hal inilah yang dipraktikkan oleh Umar bin al-Khattāb sebelum beliau menerima

periwayatan dari seorang sahabat. Para ulama terdahulu telah mengumpulkan informasi mengenai

kredibilitas perawi dipandang dari keadilan dan kedhabitannya. Informasi tersebut kemudian mereka

rangkum dalam bentuk kitab dan mayoritas dari kitab-kitab tersebut dapat kita akses pada saat ini,

seperti kitab al-Jarh wa al-Ta’dīl karya Abu Harim al-Rāzi, Ma’rīfah al-Rijāl karya Yahya bin Ma‟īn,

al-Ḏu’afā` karya al-Bukhāri, al-Tsiqāt karya Ibnu Hibbān dan lain-lain. Dari kitab-kitab inilah

diperoleh pengetahuan tentang riwayat hidup dan kepribadian perawi yang sangat membantu dalam

aktifitas pengkajian sanad hadis. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis

(Jakarta: Amzah, 2014), h. 98-100 dan Ali Imron, “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil,” h. 287-302.

Page 37: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

23

terhadap matan hadis masih menjadi fokus para ulama hingga saat ini dalam usaha

mereka untuk mendapatkan makna yang komprehensif dan acceptable.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pada awalnya perhatian ulama

lebih terfokus pada kajian sanad atau lebih tepatnya pada pembuktian keorisinilan

sabda Rasulullah Saw. Sebagai contoh sikap Abu Bakr Al-Siddīq (w. 13 H) dan

Umar bin al-Khaṯṯāb (w. 23 H) yang sangat ketat dalam menyeleksi hadis-hadis yang

menyebar di kalangan para sahabat pasca wafatnya Rasulullah Saw. Al-Hāfiẕ Al-

Dzahabi (w. 131 H) dalam kitabnya Tadzkirāt al-Huffāẕ mengatakan bahwa Abu

Bakr Al-Siddīq (w. 13 H) merupakan orang yang pertama kali bersifat hati-hati dalam

menerima hadis.14

Pernah suatu kali seorang nenek datang menemui Abu Bakr untuk

meminta pembagian waris. Kemudian ia mengatakan bahwa ia tidak menemukan

dalam al-Qur‟an dan juga tidak mengetahui kalau Nabi Saw pernah menyebutkan

sesuatu mengenai harta warisan untuk nenek tersebut. Kemudian Abu Bakr bertanya

kepada para sahabat yang hadir kala itu dan berdirilah al-Mughīrah sembari

mengatakan, “Rasulullah Saw pernah memberikan nenek seperti dia sepertiga

bagian.” Lalu Abu Bakr bertanya lagi, “Apakah ada orang lain bersamamu?”

Kemudian Muhammad bin Maslamah (w. 46 H) mengiyakan bahwa ia menyaksikan

hal serupa. Maka setelah mendengar dua kesaksian sahabat tersebut, Abu Bakr pun

melaksanakan ketentuan itu untuk sang nenek.15

Selain Abu Bakr al-Siddīq, Umar bin al-Khaṯṯāb juga dikenal dengan

kebijaksanaan dan kehati-hatiannya dalam menyampaikan dan menerima hadis.16

14

Walaupun banyak menerima hadis, Abu Bakar diketahui sangat sedikit dalam

meriwayatkannya. Beliau hanya meriwayatkan 132 hadis padahal beliau adalah sahabat terdekat yang

selalu membersamai Nabi Muhammad Saw. Ini menunjukkan bahwa selain berhati-hati dalam

menerima hadis, Abu Bakr juga sangat berhati-hati dalam meriwayatkan. Lihat: T.M. Hasbi Ash

Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 23. 15

Mustafa al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah

Pembelaan Kaum Sunni, Penerjemah Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 25. 16

Karena kehati-hatiannya tersebut, sempat beredar kabar yang menyatakan bahwa Umar

menahan tiga orang sahabat karena banyak menuturkan hadis. Tiga orang sahabat tersebut adalah Ibnu

Mas‟ūd, Abu al-Dardā‟ dan Abu Dzar. Namun kabar ini diragukan kebenarannya karena banyak

kejanggalan seperti tidak mungkinnya Umar menahan Ibnu Mas‟ūd agar tidak menyampaikan hadis di

saat Ibnu Mas‟ūd adalah seorang tokoh besar dari kalangan sahabat yang bahkan Umar sendiri yang

mengirimnya ke Irak untuk berdakwah di sana. Rasanya mustahil jika Umar menahan atau melarang

Ibnu Mas‟ūd menyampaikan hadis. Meskipun kisah di atas diragukan kebenarannya, namun tidak

menghilangkan fakta bahwa Umar adalah sosok sahabat yang tegas dalam penyeleksian hadis. Lihat:

Page 38: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

24

Sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah riwayat bahwa suatu hari ada seorang

sahabat datang ke rumah Umar. Ia mengucapkan salam kepada Umar dari balik pintu

tiga kali, namun karena tidak ada jawaban dan tidak dipersilahkan masuk ia pun

pergi. Lalu Umar menyuruh seseorang untuk mengejarnya, dan Umar pun bertanya

kepadanya, “Kenapa engkau pergi?” Sahabat tersebut pun menjawab, “Aku

mendengar Rasulullah Saw bersabda, „Jika salah seorang dari kamu memberi salam

tiga kali dan tidak dijawab maka hendaklah ia kembali‟.” Mendengar ucapan sahabat

tersebut Umar tidak langsung mempercayainya dan berkata kepadanya, “Kamu harus

mendatangkan bukti kepadaku untuk itu atau aku akan berbuat sesuatu kepadamu

(jika hal tersebut tidak benar)”. Maka ia pun menghampiri para sahabat yang lain

dengan pucat pasi dan menceritakan kepada mereka. Lalu diutuslah salah seorang di

antara mereka untuk datang menemui Umar dan menyampaikan bahwa berita yang

dibawa oleh sahabat itu adalah benar.17

Dari beberapa riwayat yang telah disebutkan, terlihat bahwa Abu Bakr dan

Umar tidak akan menerima periwayatan kecuali jika orang yang menyampaikannya

dapat mendatangkan saksi atau sahabat lain yang juga mendengar dari Nabi Saw hal

yang sama.18

Namun bukan berarti mereka tidak menerima hadis yang hanya

disampaikan oleh seorang periwayat. Pada beberapa kesempatan Umar diketahui juga

menerima periwayatan dari satu orang perawi. Sebagai contoh adalah penerimaan

Umar terhadap riwayat dari Sa‟ad bin Abi Waqqās (w. 54 H) tentang dibolehkannya

mengusap kedua kasut ketika berwudhu. Juga pada kasus tentang Umar hendak

merajam wanita yang gila. Namun hal tersebut ia urungkan setelah mendengar

G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan,

1999), h. 110. 17

Al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan

Kaum Sunni, h. 25-26. 18

Fakta mengenai para sahabat mutaqaddimīn, terutama Umar bin al-Khaṭṭāb, yang sangat

berhati-hati dalam mengambil riwayat dan meminta bukti serta saksi dari sahabat lain ditafsirkan

dengan cara yang berbeda oleh kaum ortodoks dan modernis. Kaum ortodoks memandang bahwa sikap

tegas dari Umar tersebut dikarenakan semangatnya terhadap agama dan kesungguhannya untuk

membukukan al-Qur‟an dengan cermat. Sedangkan kaum modernis memandang sikap tegas Umar

dalam menyeleksi hadis dikarenakan kecurigaannya terhadap kebiasaan berdusta atas nama Nabi Saw.

Lihat: Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, h. 68.

Page 39: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

25

riwayat dari seorang sahabat mengenai diangkatnya pena dari tiga perkara dan salah

satunya adalah dari orang yang gila.19

Adapun wacana terhadap kajian matan sebenarnya juga sudah muncul sejak

masa Nabi Saw dan setelah wafatnya beliau. Ummu al-Mukminīn Siti Aisyah (w. 58

H) dikenal memiliki kecerdasan dan banyak bertanya kepada Nabi Saw, suaminya.

Dengan pengetahuannya yang luas dan ketelitian yang luar biasa, dalam berbagai

kesempatan Aisyah diketahui mengkitik riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para

sahabat jika tidak sesuai dengan pemahaman yang seharusnya. Sebagai contoh sebuah

riwayat dari Umar tentang menangisi mayat, berbunyi, “Sesungguhnya mayat akan

diazab karena tangis/ratapan keluarganya atas kematiannya”. Menanggapi riwayat

tersebut, Aisyah berkata:

رحم اهلل عمر واهلل ما حدث رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أن اهلل يعذب املؤمن ببكاء أحد, ولكن 20ىوزرا أخر وازرة قال: حسبكم القرأن: وال تزر , مثقال: أن اهلل يزيد الكافر عذابا ببكاء أهله عليه

“Semoga Allah merahmati Umar, demi Allah Rasulullah Saw tidak pernah

berkata bahwa Allah akan mengazab orang mukmin dengan tangisan seseorang, akan

tetapi beliau berkata: Sesungguhnya Allah menambah siksaan pada orang kafir

karena tangisan keluarganya. Kemudian Rasulullah melanjutkan: Cukuplah bagi

kamu ayat al-Qur‟an “Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain.”

Riwayat di atas merupakan salah satu contoh kritik yang Aisyah berikan

kepada sahabat Umar karena menurutnya isi dari riwayat tersebut tidak sesuai dengan

pemahamannya sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur‟an. Namun yang perlu

digaris bawahi, kritikan yang dilontarkan oleh Aisyah kepada riwayat yang

disampaikan oleh para sahabat bukanlah karena tidak percaya atau menuduh mereka

berdusta, namun ia hanya berprasangka bahwa mungkin saja sahabat yang

meriwayatkan keliru dalam memahami sabda Nabi Saw atau salah mendengar.

19

Al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan

Kaum Sunni, h. 29. 20

Lihat: Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah Al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab Al-

Janā`iz Bab 32 (Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 2006), h. 172 dan Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-

Naisabūry, Sahih Muslim, Kitab Al-Janā`iz Bab 9, hadis nomor 22, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah,

1991), h. 638.

Page 40: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

26

Sebagaimana pernah berkata, “Sesungguhnya engkau menceritakan riwayat kepadaku

bukan dari orang yang berdusta dan engkau tidak termasuk orang yang berdusta,

namun hanya salah mendengar.”21

Kehati-hatian Aisyah terhadap riwayat para

sahabat dan kritikannya terhadap matan hadis yang disampaikan oleh Umar

merupakan bukti bahwa para sahabat juga memberikan perhatian terhadap kajian

matan hadis, meskipun porsinya tidak sebesar perhatian mereka terhadap kajian sanad

hadis/pembuktian keorisinilan sabda Nabi Saw.

Lebih lanjut, dalam memahami matan hadis para ulama terbagi menjadi dua

golongan yaitu yang memahami secara tekstual dan yang memahami secara

kontekstual. Pemahaman tekstual merupakan metode paling awal yang digunakan

dalam memahami hadis Nabi Saw. Para sababat dan tabi‟in lebih cenderung

menggunakan metode ini. Di samping karena dahulu ketika Nabi Saw masih hidup di

tengah-tengah kaum muslimin, ia dijadikan tumpuan dan tempat bertanya,

pemahaman tekstual menjadi metode paling awal dalam memahami hadis karena hal

yang akan pertama kali terbesit ketika membaca sebuah teks tentu adalah apa yang

tesurat. Tekstual sendiri berasal dari kata teks yang sesuatu yang tertulis atau kata-

kata asli dari pengarangnya.22

Namun metode ini memiliki sebuah kelemahaman yang

paling mendasar yaitu makna dan ruh yang terkandung di dalam redaksi hadis

menjadi asing di tengah konteks yang terus berkembang.23

Sedangkan waktu dan

kondisi sosial tidak mungkin mundur atau berhenti, maka kenyataan bahwa dalam

memahami hadis memerlukan pendekatan lain di samping pendekatan tekstual tidak

dapat diabaikan.

21

Hal ini disampaikan oleh Badruddin al-Zarkasyi, sebagaimana dikutip oleh Mimi Rahma

dalam penelitiannya. Selengkapnya lihat: Mimi Rahma Sari, “Aisyah dan Kontribusinya dalam Ilmu

Kritik Hadis,” (Tesis S2 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 7-8. Adapun hadis

tentang Aisyah menganggap bahwa sahabat salah dengar atau mungkin lupa berbunyi sebagai berikut:

...أها سوعت عائشح وذكس لها أى اتي عوس يقىل: إى الويت ليعرب تثكاء الحي عليه فقالت عائسح: غفس هللا ألتي عثد السحوي أها إه لن

عليه وسلن يهىديح يثكى عليها فقال: إهن ليثكىى عليها وإها لتعرب في قثسها يكرب ولكه سي أو أخطأ إوا هس زسىل هللا صلى هللا

Lihat: Abu Īsa Muhammad bin Saura al-Tirmidzī, Jāmi’al-Tirmidzī, Kitab al-Janā`iz Bab 24 Hadis

nomor 1006 (Beirūt: Bait al-Afkār al-Dauliyyah t.t) h. 180. 22

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h.

1035. 23

Liliek Channa AW, “Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual,” Ulumuna

17, No. 2 (Desember 2011): h. 393.

Page 41: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

27

Berbeda halnya dengan pemahaman tekstual yang lebih mengunggulkan

pemaknaan berdasarkan unsur linguistik, pemahaman kontekstual mencoba keluar

dari ranah tersebut dan mempertimbangkan unsur lain seperti sosial, politik, sejarah,

budaya dan lain-lain dalam usaha memahami kandungan teks pada saat diturunkan,

dipahami dan diterapkan.24

Pemahaman kontekstual terhadap hadis diharapkan dapat

menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di kehidupan manusia sekaligus

menjadi alternatif dalam memahami hadis-hadis yang musykīl dan diragukan oleh

sebagian kelompok disebabkan redaksi matannya. Karena tidak dapat dipungkiri,

dewasa ini banyak pemahaman yang sempit terhadap hadis yang menyebabkan

timbulnya sikap radikalisme, anarkisme dan berbagai sikap lainnya dengan

mengatasnamakan ajaran agama.25

Metodologi pemahaman hadis kontekstual sebenarnya sudah dipraktikkan

pada masa Nabi Saw, hanya saja belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang terkonsep

seperti yang dipakai pada saat ini.26

Salah satu riwayat yang membuktikan bahwa

wacana kontekstual dalam memahami hadis sudah ada sejak masa Nabi Saw adalah

pemahaman para sahabat terhadap sabda Nabi Saw mengenai pelaksanaan shalat

Ashar di perkampungan Bani Quraizah. Hadis tersebut diriwayatkan dari Abdullah

bin Umar (w. 73 H), berbunyi:

حدثنا عبد اهلل بن حممد بن أمساء: حدثنا جويرية بن أمساء عن نافع عن ابن عمر قال: قال النيب صلى ال يصلي أحد العصر إال ف بن ق ريظة. فأدرك ب عضهم العصر ف الطريق، اهلل عليه وسلم يوم األحزاب:

24

Muhammad Hasbiyallah, “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya Membumikan Nilai-nilai

Al-Qur‟an,” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits 12, No. 1 (Juni 2018): h. 34. 25

Muhammad Nurudin, “Signifikansi Pemahaman Kontekstual pada Era Global (Analisis

Hadis Ijtima‟i),” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 228. 26

Ketika Nabi Saw masih hidup, beliau adalah teks Islam yang menjadi rujukan dan tempat

mengadu para sahabat. Semua teks yang beliau ucapkan dari lisannya dapat dengan mudah dipahami.

Begitupun jika para sahabat ragu dan kurang mengerti, mereka dapat langsung menanyakannya kepada

Nabi Saw. Kondisi berubah pasca wafatnya Nabi Saw, karena teks hidup yang selama ini hadir di

tengah-tengah sahabat telah tiada. Maka kala itu yang tersisa hanyalah para sahabat selaku saksi

sejarah, yang masing-masing dari mereka mempunyai kenangan dan pengalaman yang berbeda-beda.

Lihat: Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat Berbasis

Tekstualisme (Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2018), h. 170.

Page 42: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

28

فذكر ذلك للنيب صلى .نصلي حت نأتي ها. وقال ب عضهم: بل نصلي، ل يرد منا ذلك ف قال ب عضهم: ال هم 27اهلل عليه وسلم ف لم ي عنف واحدا من

“Janganlah ada satupun yang shalat „Ashar kecuali di perkampungan Bani

Quraiẕah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu „Ashar di tengah jalan, maka

berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain

mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari

kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah Saw, namun beliau tidak

mencela salah satunya.”

Dalam menyikapi sabda Nabi Saw tersebut, sebagian sahabat memahaminya

secara tekstual sebagai perintah untuk shalat di kampung Bani Quraiẕah. Sebagian

sahabat yang lain memandang hadis tersebut sebagai isyarat Nabi Saw agar para

sahabat bersegera menuju Bani Quraiẕah. Para sahabat dari golongan kedua tetap

melaksanakan shalat meskipun belum sampai di kampung Bani Quraiẕah sedangkan

sahabat yang memahami sabda Nabi Saw tersebut secara tekstual menunggu tiba di

tempat tujuan baru kemudian melaksanakan shalat meskipun sebenarnya waktu shalat

sudah masuk.28

Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi Saw, beliau tidak mencela

salah satu dari dua golongan sahabat yang bersangkutan. Hal ini memberi pengertian

bahwa tidak ada dosa atau larangan bagi mereka yang ingin berijtihad dalam

memahami teks agama.

Fakta di atas merupakan bukti bahwa wacana pemahaman kontekstual sudah

ada pada masa Nabi Saw. Akan tetapi hal tersebut tidak serta-merta menjadikannya

langsung populer di kalangan pengkaji hadis. Pendapat yang kuat menyatakan bahwa

kajian kontekstual terhadap hadis Nabi Saw semakin menunjukkan perkembangannya

ketika Imam al-Syāfi‟i (w. 204 H) menulis kitab yang berkenaan dengan penyelesaian

terhadap hadis mukhtalīf. Karya yang beliau beri judul Ikhtilāf al-Hadīs29

telah

membuka cakrawala baru dalam kajian pemahaman hadis dalam Islam.

27

Al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab Al-Maghāzi Bab 30 Hadis nomor 4119, h. 562. 28

Uraian ini disampaiakan oleh M. Quraish Shihab di “Kata Pengantar” dalam buku

Muhammad Al-Ghazāli, Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw, Cet-6 (Bandung: Mizan, 1998), h. 8-9. 29

Kitab ini berisi penyelesaian hadis-hadis yang secara zahirnya tampak bertentangan. Kitab

ini merupakan karya pertama al-Syāfi‟ī yang memperbincangkan tentang mukhtalaf al-hadīs, dan

karya beliau yang terakhir di sepanjang hidupnya menurut Joseph Schacht. Lihat: Abu Irfah, “Karya

Page 43: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

29

Dalam menyelesaikan hadis-hadis yang kontradiktif, al-Syāfi‟ī (w. 204 H)

menawarkan beberapa metode penyelesaian. Selain dengan langkah nasakh mansūkh

dan tarjīḥ, beliau juga menggunakan metode kompromi. Menurut Edi Safri,

sebagaimana yang dikutip oleh Kaizal Bay, metode penyelesaian hadis yang

dikemukakan oleh al-Syāfi‟ī dengan metode kompromi terdiri dari beberapa bentuk,

di antaranya adalah penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual, penyelesaian

dengan kaidah Ushul Fiqih, pemahaman koleratif dan penyelesaian dengan takwīl.

Terkhusus dalam bidang penyelesaian dengan pemahaman kontekstual, al-Syāfi‟ī

fokus memperhatikan keterkaitan hadis dengan peristiwa yang melatarbelakanginya

(konteksnya).30

Salah satu contoh adalah pemahamannya terhadap hadis tentang

larangan meminang seorang perempuan yang berada di bawah pinangan orang lain.

Dalam sebuah riwayat Nabi Saw melarang perbuatan tersebut, namun di riwayat yang

lain disebutkan bahwa beliau pernah meminangkan Fāṯimah binti Qais (w. 50 H)

untuk Usāmah bin Zaid (w. 54 H) yang sebenarnya telah dipinang oleh Abu Jahm dan

Mu‟āwiyah (w. 60 H). Kedua hadis yang kontra ini diselesaikan oleh al-Syāfi‟ī (w.

204 H) dengan menggunakan pendekatan asbāb al-wurūd. Menurut beliau, kedua

riwayat tidaklah bertentangan, karena disampaikan oleh Nabi Saw dalam kasus yang

berbeda.31

Ulama: Kitab Ikhtilaf al-Hadith,” artikel diakses pada 14 Juni 2019 dari

abusyahmin.blogspot.com/2013/07/kitab-ikhtilaf-al-hadith.html 30

Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i,” Ushuluddin

17, No. 2 (Juli 2011): h. 189. 31

Hadis tentang pinangan ini mempunyai dua sisi yang bertentangan. Hadis pertama

melarang pinangan di atas pinangan orang lain, sedangkan hadis kedua menyatakan bahwa Nabi Saw

sendiri pernah meminang Fāṯimah binti Qais untuk Usāmah bin Zaid yang kala itu telah dipinang oleh

Abu Jahm dan Mu‟āwiyah. Secara lahiriyah, kedua hadis ini memang tampak kontradiktif. Namun al-

Syāfi‟ī menjelaskan bahwa kedua hadis ini pada hakikatnya tidaklah bertentangan, karena mempunyai

konteks yang berbeda. Hadis pertama memiliki makna tersendiri dan berlaku pada kondisi dan situasi

tertentu, tidak pada kondisi yang lainnya. Sedangkan hadis kedua tidak termasuk dalam kondisi dan

situasi yang dimaksud oleh hadis pertama. Hadis pertama mempunyai latar belakang dimana seorang

sahabat bertanya kepada Nabi Saw tentang seseorang yang meminang perempuan disaat saudaranya

telah meminang perempuan terlebih dahulu. Maka dijawablah oleh Nabi Saw sebagaimana yang tertera

dalam hadis pertama. Pada hadis kedua ada dua hal yang mesti diperhatikan yaitu: a) kenyataan bahwa

Nabi Saw meminang Fāṯimah untuk Usāmah karena sebenarnya Fatimah secara pribadi belum

menerima pinangan Mu‟āwiyah maupun Abu Jahm; b) Al-Syāfi‟ī meyakini bahwa keadaan yang

terjadi pada Fatimah tidaklah sama dengan keadaan yang dijelaskan pada hadis pertama. Maka

sebenarnya tidak ada pertentangan pada dua hadis ini dan penyelesaiannya adalah dengan

Page 44: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

30

Metode pemahaman hadis kontekstual semakin dilirik oleh para pengkaji

hadis terutama pada abad kontemporer ini. Pada paruh pertama abad ke-20

Muhammad Syahrūr32

hadir dan mengemukakan idenya mengenai dua tipologi yaitu

al-sunnah al-Rasūliyah dan al-sunnah al-Nabawiyah. Al-sunnah al-Rasūliyah adalah

istilah yang ia maksudkan untuk risalah yang diturunkan kepada Nabi Saw sebagai

wahyu berupa syi‟ar agama, tatanan nilai, amar ma’rūf dan nahi munkar yang wajib

diikuti, ditaati dan dijadikan uswah. Sedangkan al-sunnah al-Nabawiyah dijelaskan

Syahrūr sebagai apa yang dikatakan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi Saw.

Termasuk semua hal yang berhubungan dengan Nabi Saw sebagaimana yang tertera

dalam kitab-kitab sirah, meliputi kisah tentang kepribadian beliau dan ijtihad-ijtihad

yang beliau lakukan dalam perkara sosial dan kepemimpinan militer. Menurut

Syahrūr, sunnah dalam kategori kedua bukan tergolong wahyu dan tidak bersifat

mutlak sehingga tidak mengharuskan pengaplikasiannya di semua zaman.33

Pemahaman kontekstual hadis yang ditawarkan oleh Syahrūr sebenarnya telah

dikemukakan terlebih dahulu oleh al-Dahlawy34

dua abad sebelumnya. Perbedaannya

hanya dari segi istilah yang mereka gunakan. Al-Dahlawy juga mengategorikan

sunnah kepada dua tipologi yaitu sunnah risālah dan sunnah ghairu risālah.

Pembagian ini berdasarkan fungsi Nabi Saw yang menurut al-Dahlawy bisa

berkedudukan sebagai pembawa risalah dan bisa sebagai manusia biasa. Maka

terhadap hadis-hadis yang disampaikan Nabi Saw ranah risālah (wahyu), wajib untuk

mempertimbangkan konteks saat hadis yang bersangkutan disampaikan oleh Nabi Saw (kontekstual).

Lihat: Kaizal Bay, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’ī, h. 191-192. 32

Nama lengkapnya adalah Muhammad Syahrūr ibn Daib ibn Daib Syahrūr dan berasal dari

Damaskus, Syiria. Ia lahir pada 11 April 1938. Sama seperti tokoh-tokoh pemikir Islam yang lain,

Syahrūr juga menghasilkan karya-karya dalam berbagai bidang keilmuan. Namun karyanya yang

paling mendapatkan sorotan adalah Al-Sunnah Al-Rasūliyyah wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah: Ru’yah

Jadīdah. Karyanya ini menjadi fenomenal tidak lain dikarenakan oleh kontroversinya. Di dalam kitab

tersebutlah Syahrūr mengemukakan pendapatnya mengenai tipologi sunnah. 33

Azhari Andi, dkk., “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran Muhammad Syahrur terhadap

Sunnah,” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89. 34

Nama lengkapnya adalah Quṯ al-Dīn Ahmad bin al-Syah Abd al-Rahīm bin Wajih al-

Syahīd bin Muqaddam bin Mansūr bin Ahmad bin Mahmūd bin Qiwām al-Dīn. Namun ia lebih

dikenal dengan nama Syah al-Dahlawy. Ia lahir pada tahun 1114 H/1703 M di Delhi, India. Dari kecil

ia sudah dididik dalam lingkungan yang islami, bahkan pada usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur‟an

seluruhnya. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah Ḥujjatullah al-Bālighah, bahkan W.C.

Smith menyebut kitab ini sebagai karya terbesar al-Dahlawy. Lihat: Ghazali Munir, “Pemikiran

Pembaharuan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-Dahlawi,” Teologia 23, No. 1 (Januari 2012): h. 18.

Page 45: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

31

ditaati dan diikuti. Yang tergolong dalam sunnah risālah adalah segala berita tentang

alam akhirat, keberadaan malaikat serta ijtihad dan istinbāṯ hukum yang dilakukan

oleh Nabi Saw yang merupakan petunjuk dari Allah Swt. Sedangkan sunnah kategori

kedua atau sunnah ghairu risālah adalah berita yang disampaikan Nabi Saw dalam

posisinya sebagai manusia biasa, seperti pengobatan, kebiasaan-kebiasaan beliau

yang tidak berhubungan dengan ibadah dan hal-hal lain yang sifatnya insidental.

Maka, umat Islam tidak diwajibkan untuk mengikuti sunnah dalam kategori ini.35

Demikianlah kemudian pemahaman kontekstual semakin menjamur di masa

kontemporer ini. Ia menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikaji oleh para ulama, bahkan

beberapa dari mereka menulis kitab khusus yang berkenaan dengannya. Di Indonesia

sendiri, dikenal tokoh seperti M. Syuhudi Ismail yang menulis buku “Hadis Nabi

yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani Al-Hadits tentang Ajaran Islam yang

Universal, Temporal dan Lokal” dan Ali Mustafa Yaqub yang menulis buku “Cara

Benar Memahami Hadis”. Tidak hanya berbentuk buku, dewasa ini banyak pengkaji

hadis yang juga menulis tentang metode kontekstual dalam memahami hadis dan

menerbitkannya di dalam jurnal dan artikel yang lebih mudah diakses melalui

internet.

Demikianlah sejarah perkembangan metode pemahaman hadis yang pada

awalnya sangat sederhana dan cenderung tekstualis hingga akhirnya terus

berkembang dan memunculkan metode-metode baru seiring dengan majunya

peradaban. Konteks zaman yang terus berubah dan semakin kompleksnya problem

hidup manusia menjadi faktor penting dari terjadinya perkembangan metode dalam

memahami hadis.

B. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia

Sejarah perkembangan hadis di Indonesia tentu tidak dapat dipisahkan dari

sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara. Diketahui bahwa Islam

35

Fatichatus Sa‟diyah, “Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode

Pemahaman Hadis,” (Tesis S2 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 82-84.

Page 46: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

32

pertama kali hadir di Nusantara melalui kegiatan perdagangan.36

Pada awalnya para

pedagang yang datang tidak tertarik pada permasalahan politik, budaya dan agama.

Namun karena Islam semakin berjaya di wilayah Timur Tengah, menjadikan para

pelancong dan pelaut muslim termotivasi untuk menyebarkan Islam bersamaan

dengan melakukan transaksi dagang.37

Adapun pedagang yang datang selain berasal

dari Timur Tengah, diketahui juga datang dari India dan Cina. Menurut Sartono

Kartodirdjo, sebagaimana dikutip oleh Atno, hubungan perdagangan antara India dan

Cina sudah terjalin sejak awal Masehi. Salah satu alasan yang melatarbelakangi

terjadinya transaksi perdagangan ini kemungkinan besar dikarenakan sudah

familiarnya sistem angin dan bintang yang berlaku di Laut Cina dan Laut Hindia,

sehingga pelayaran dari Barat dan Timur atau sebaliknya dapat berpola dengan teratur

dan tetap.38

Kegiatan perdagangan yang berlangsung pun menjadikan beberapa titik

wilayah di Nusantara sebagai tempat berlabuh dan singgah kapal-kapal yang datang.39

Islam datang ke wilayah Nusantara dengan damai, bukan melalui perang

ataupun penaklukkan. Sementara itu, ada beberapa teori tentang masuknya Islam ke

Indonesia. Salah satu teori mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali

di Pesisir Aceh pada abad ke-7 M. Teori ini didukung oleh beberapa tokoh seperti

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Niemann, Hamka, M. Yunus Jamil dan A.

Hasjmi.40

Teori ini diperkuat dengan ditemukannya dokumen yang ditulis oleh Chu

Fan Chi yang dikutipnya dari catatan Chou Ku-Fei mengenai perkampungan Muslim

36

Kegiatan dagang yang berlangsung ketika itu menjadi penopang dalam proses Islamisasi.

Lihat.: Abd. Rasyid Rahman, “Perkembangan Islam di Indonesia Masa Kemerdekaan: Suatu Kajian

Historis,” Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences 12, No. 2 (Oktober 2017): h. 117. 37

Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016),

h. 25. 38

Atno, Teori Masuknya Agama dan Budaya Islam ke Indonesia, dalam RISTEKDIKTI:

Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG dalam Jabatan Kementerian Riset, Teknologi dan

Pendidikan Tinggi, h. 1. 39

Seperti para pelayar dari Arab yang berdagang di Nusantara yang memiliki rute tersendiri,

hampir separuh wilayah yang mereka lewati adalah Indonesia. Pelayaran mereka dimulai dari Aden,

kemudian menyisiri pantai menuju Maskat, Raisut, Siraf, Guadar, Daibul, Malabar (Gujarat, Keras,

Quilon dan Kalicut), lalu menyusuri pantai Karamandel, Akyab (sekarang Myanmar), Selat Malaka

Peureulak (daerah Aceh Timur), Lamno (pantai Aceh sebelah barat), Barut, Padang, Banten, Cirebon,

Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, Makassar, Ternate dan Tidore. Lihat: Ahmad Syafrizal,

“Sejarah Islam Nusantara,” Ulumuna 2, No. 2 (Desember 2015): h. 236-237. 40

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan

XVIII (Bandung: Mizan, 1994), h. 31.

Page 47: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

33

di Pantai Barus yang populer dengan sebutan Ta-Shih. Teori kedua mengatakan

bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-8 M dari Gujarat. Hal ini didukung

dengan bukti penemuan batu nisan Sultan Malik as-Saleh yang bertuliskan angka

1297 bercorak huruf Gujarat. Adapun teori ketiga menyatakan bahwa Islam datang

pada abad ke-12 M dan dibawa dari Persia. Teori ini muncul karena maraknya paham

Syi‟ah pada masa tersebut, seperti tradisi tabot atau tabuik.41

Ketika Islam masuk ke Indonesia, dengan serta-merta ajarannya pun juga

perlahan berkembang di masyarakat. Berkat peran para tokoh agama, Islam

mengalami perkembangan yang cukup signifikan.42

Berbagai cabang keilmuan Islam

mulai dikenal, seperti kajian terhadap al-Qur‟an (tafsir), fiqih, tasawuf, hadis dan

lain-lain. Namun, dibandingkan dengan keilmuan Islam yang lain, studi hadis

terbilang sulit dan tidak gampang. Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pada

abad ke-17 dan 18, kajian Islam yang dominan sangat marak dan diminati, sehingga

kajian terhadap hadis terlupakan. Padahal pada masa tersebut hadir dua ulama yang

telah berkontribusi besar dalam merintis kajian hadis pertama kali di Indonesia,

mereka adalah Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658 M) dan Abdul Rauf As-Sinkili (w. 1693

M).43

Nuruddin Ar-Raniri dianggap sebagai perintis pertama kajian hadis di

Indonesia. Beliau menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb

yang dilabeli sebagai kitab hadis Melayu yang pertama.44

Pada masa yang sama,

Abdul Rauf al-Sinkili juga menulis sebuah kitab yang berjudul Syarah Latīf ‘ala

Hadītsan li Imām al-Nawawi. Kedua kitab ini masih berbentuk manuskrip, sehingga

untuk mengadakan pengkajian terhadapnya membutuhkan usaha yang gigih. Satu-

41

Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press, 2007), h.

193-196. Sebagai perbandingan lihat: Latifa Annum D, “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia,” Studi

Agama dan Masyarakat 12, No. 1 (Juni 2016): h. 117-119. 42

Hal ini tidak luput dari peran para ulama Indonesia, yang menurut Azyumardi Azra,

sebagaimana dikutip oleh Muhajirin, para ulama secara konsekuen berangkat ke Timur Tengah untuk

menimba ilmu. Dan sebagian dari mereka juga mendapatkan ijazah untuk mengajar di halaqah

Masjidil Haram. Sekembalinya dari Timur Tengah, masing-masing dari mereka mengajar dan berkarya

dengan menulis kitab-kitab tentang Islam. Lihat: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara , h. 37. 43

Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 46. 44

Umma Farida, “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam

Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia”, Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 1 (2017): h. 2.

Page 48: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

34

satunya tempat yang menyimpan manuskrip dari kitab ini adalah PNM (Perpustakaan

Negara Malaysia).

Jika membaca catatan sejarah, diketahui perkembangan kajian hadis tergolong

sedikit lambat dibandingkan ilmu-ilmu yang lain. Menurut Ramli, keterlambatan ini

berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, mulai dari awal masuknya Islam

di Indonesia sampai sekitar abad ke-20.45

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh

Martin Van Bruinessen yang menyoroti perkembangan studi Islam di pesantren. Data

yang didapatkan dari penelitiannya menunjukkan bahwa hadis merupakan mata

pelajaran yang tergolong baru dipelajari di pesantren karena belum dijadikan sebagai

kurikulum resmi sebelum abad ke-20. Posisi hadis pada saat itu hanya “mendukung”

mata pelajaran lainnya.46

Dalam arti lain, hadis belum mendapatkan tempat yang

mandiri karena hanya dapat ditemukan sebagai pelengkap di dalam kitab-kitab pada

mata pelajaran Islam yang lain. Sebagai contoh, di dalam kitab fiqih pada bab shalat,

akan ditemui hadis-hadis tentang shalat sebagai dalil-dalil penjelas.

Namun, berkembang dengan lambat bukan berarti tidak berkembang sama

sekali. Hadis tetap diminati para ulama dan akademisi muslim, meski tidak terlalu

marak seperti kajian tafsir dan fiqih. Kehadiran Ar-Raniri dan As-Sinkili telah

memotivasi ulama-ulama pada masa selanjutnya untuk mengkaji hadis dan menulis

kitab-kitab yang berkenaan dengannya. Pada abad ke-19, dikenal sesosok ulama yang

berkontribusi besar dalam kemajuan hadis di Indonesia. Beliau adalah Muhammad

Mahfūẕ bin Abdullah bin Abdul Mannān al-Tarmasi, atau lebih familiar dengan nama

al-Tarmasi.47

Beliau merupakan pemegang isnad yang sah dalam tranmisi pengajaran

Shahih Bukhari, ia bahkan berhak untuk memberikan ijazah kepada para muridnya

yang telah menguasai Shahih Bukhari. Al-Tarmasi berjasa dalam mengembangkan

kajian hadis di pesantren, kemudian usahanya tersebut dilanjutkan oleh muridnya

KH. Hasyim Asy‟ari yang mengelola pondok hadis terkenal, Tebu Ireng. Pada masa

45

Ramli Abdul Wahid dan Dedi Masri, “Perkembangan Terkini Studi Hadis di Indonesia,”

Miqot 40, No. 2 (Juli-Desember 2018): h. 263. 46

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Cet-3 (Bandung: Mizan,

1999), h. 29 dan 161. 47

Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia Sebuah Upaya Pemetaan,”

Tarjih, Edisi 7 (Januari 1994): h. 73-74.

Page 49: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

35

KH. Hasyim Asy‟ari inilah kajian hadis mulai mengalami perkembangan di daerah

Jawa, khususnya di Jawa Timur. Beliau mengadakan pengajian hadis yang secara

khusus mengkaji kitab Shahih Bukhari. Majelis hadis tersebut mendapat respon baik

dari masyarakat dan banyak para penggiat hadis dari berbagai daerah di Jawa yang

turut serta meramaikannya.48

Pada abad ke-20, Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis.

Paham-paham pembaharuan dari Timur dan ilmu-ilmu modern dari Barat ikut

berperan dalam membuat hal ini menjadi mungkin. Dengan masuknya paham-paham

ini, banyak perubahan dan konsekuensi yang harus dihadapi. Pada bidang hadis salah

satunya, konsekuensi yang harus diterima adalah kenyataan bahwa paham tersebut

membawa studi hadis menjauh dari proses awal yang tradisional. Hal ini sontak

menimbulkan berbagai respon dari umat Islam di Indonesia. Namun satu hal yang

pasti, bahwa tidak semua umat Islam menerima ide pembaharuan ini. Maka dengan

demikian seolah-olah prospek kajian hadis di Indonesia berjalan menuju dua arah

yang berbeda. Pada satu sisi, berkeinginan untuk mempertahankan ciri Islam yang

tradisional, dan pada sisi yang lain bersemangat untuk mengadakan pembaharuan

dengan menerima ide-ide modernitas.49

Menurut Daud Rasyid, sebagaimana dikutip oleh Badri, tercatat sekitar 69

orang ulama hadis pada paruh pertama abad ke-20 di Indonesia. Namun Daud tidak

menjelaskan batasan-batasan dan kriteria yang ia gunakan ketika menilai seseorang

layak digolongkan sebagai seorang muhaddis/ulama hadis yang ia maksud.

Kemungkinan besar, angka tersebut didasarkan oleh pemahaman seseorang terhadap

hampir seluruh cabang ilmu dalam Islam. Jadi, 69 orang yang dikategorikan oleh

Daud Rasyid belum tentu semuanya merupakan ulama yang benar-benar mendalami

hadis, seperti At-Tarmasi misalnya. Sedangkan Badri mengungkapkan bahwa ulama

Indonesia hadis pada abad ke 20 ada delapan orang, antara lain Ahmad Khatib bin

Abdul Latif Minangkabau (1959-1918), Muhammad Mahfūẕ bin Abdullah At-

48

Luthfi Maulana, “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits: Dari Tradisi Lisan/Tulisan

hingga Berbasis Digital,” Esensia 17, No. 1 (April 2016): h. 117. 49

Badri Khaeruman, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX,” Diroyah: Jurnal

Ilmu Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 190.

Page 50: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

36

Tarmasi (1878-1919), Hasyim Asy‟ari (1865-1946), A. Hassan (1886-1957),

Munawar Khalil (1908-1960), T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1974), Abdul Qadir

Hassan Bangil (w.1984) dan Muhammad Yasin bin Isa Padang al-Makky (1916-

1960).50

Memasuki awal abad 21, fenomena kajian hadis menunjukkan perkembangan

yang pesat, baik kualitas maupun kuantitas. Hal ini tergambar dari semakin

banyaknya program studi Hadis dan Ilmu Hadis di Perguruan Tinggi Islam di

Indonesia. Di samping itu, semakin maraknya penulisan skripsi, tesis dan disertasi

yang meneliti hal-hal terkait dengan hadis. Tidak hanya itu, pada masa ini juga

banyak buku-buku tentang hadis yang diterbitkan.51

Muhajirin di dalam karyanya

“Kebangkitan Hadis di Nusantara” menyebutkan 78 judul buku dengan tema hadis,

dan menurutnya buku-buku tersebut belum dapat mewakili semuanya karena

jumlahnya lebih dari itu. Ia juga menambahkan bahwa perbedaan antara karya-karya

tentang hadis pada tahun tahun 90-an dan 2000-an terletak pada usaha

penerjemahannya. Pada tahun 90-an penerjemahan kitab hadis dari bahasa asing ke

dalam Bahasa Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2000-an.52

C. Dinamika Metode Pemahaman Hadis di Indonesia

Kenyataan bahwa pemahaman hadis juga merupakan bagian dari pengkajian

hadis menyebabkan perkembangan keduanya senantiasa beriringan. Di Indonesia,

perkembangan hadis memang terbilang sedikit lebih lambat dibanding cabang

keilmuan Islam yang lain. Namun kondisi tersebut sudah tidak terjadi lagi sekarang,

karena dewasa ini hadis sudah menjadi salah satu kajian yang paling diminati dan

digemari oleh para akademisi muslim di Indonesia. Mengenai kajian terhadap

pemahaman hadis, pada awalnya dilakukan dengan sangat sederhana yaitu

50

Badri, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX., h. 192. 51

Ramli Abdul Wahid dan Dedi Masri, Perkembangan Terkini Studi Hadis di Indonesia, h.

264. 52

Semakin sedikitnya penerjemahan kitab-kitab hadis ke dalam bahasa lokal pada tahun

2000-an menunjukkan bahwa para intelektual muslim, terkhusus para pengkaji hadis di Indonesia

semakin menaruh perhatian yang mendalam terhadap hadis. Hal ini bukanlah sebuah kemunduran,

melainkan pertanda bahwa kajian hadis semakin berkembang dan mendapat posisi yang layak di dalam

wacana keilmuan Islam. Lihat: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 148-153.

Page 51: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

37

mengambil penjelasan-penjelasan dari kitab syarah hadis secara tekstual dan tidak

melirik metode serta pendekatan selain dari pendekatan kebahasaan yang bersifat

tradisionalis.53

Sejak kedatangan Islam ke Indonesia, pemahaman tekstual

berkembang dengan sangat baik. Di samping nalar para ahli hadis, pemahaman

tekstual juga berperan sebagai sentral dalam mengorisinalisasi tradisi-tradisi

keagamaan dan memformulasikan kebudayaan Islam di Indonesia.54

Metode pemahaman hadis senantiasa mengalami dinamika dan

perkembangan. Sebagaimana halnya dengan metode pemahaman hadis klasik yang

terus berkembang dan memunculkan metode-metode baru pada abad kontemporer ini.

Pada awalnya metode pemahaman hadis yang digunakan oleh para ulama hadis klasik

cenderung tekstualis,55

kemudian metode tersebut terus berkembang hingga akhirnya

pada abad kontemporer dikenal istilah-istilah baru seperti hermeneutika, semiotika

dan kontekstual. Maka begitu pula dengan praktek kajian pemahaman hadis yang

berlangsung di Indonesia yang juga terus berdinamika dari masa ke masa. Karena

bagaimanapun, stuck di satu metode pemahaman hadis dirasa kurang cukup dalam

memenuhi tuntutan zaman, sehingga para ulama terus berupaya menemukan alternatif

terbaik untuk menjawab semua tuntutan tersebut.

Untuk melacak dinamika metodologi pemahaman hadis di Indonesia harus

merujuk kepada kitab-kitab syarah yang telah ditulis oleh para ulama. Karena

menurut catatan sejarah, pada awal munculnya kajian hadis di Indonesia, para ulama

belum menulis kitab-kitab yang secara khusus menerangkan tentang metodologi

dalam memahami hadis, sehingga untuk melihat langkah yang mereka tempuh dalam

memahami hadis harus merujuk pada kitab yang mereka tulis, terutama kitab syarah

hadis. Di Indonesia, tercatat bahwa penulisan kitab syarah hadis sudah mulai

53

Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Metode pemahaman Hadis di Indonesia,” Analytica

Islamica 3, No. 2 (2014): h. 209. 54

Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat

Berbasis Tekstualisme, h. xx. 55

Pada awal Islam, sebagian ulama sudah puas dengan mengatakan “Allah Yang Maha

Mengetahui maksud-Nya” (Wa Allahu a’lam). Namun ketika zaman berubah, dan peradaban yang

terus-menerus menunjukkan perkembangan sehingga problem-problem kehidupan yang muncul juga

semakin kompleks. Pada titik ini, pemahaman yang bersifat literalisme sulit untuk memuaskan

pemikiran beberapa pihak. Lihat: Hasep Saputra, “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di

Indonesia,” Al-Quds: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis 1, No. 1 (2017): h. 43-44.

Page 52: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

38

dilakukan pada abad ke 17. Langkah awal ini diprakarsai oleh Nuruddin al-Raniri

yang menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb. Usaha

pensyarahan hadis juga dilakukan oleh Abdul Rauf al-Sinkili yang melahirkan karya

berupa kitab yang ia beri judul Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi.56

Pada abad ke-19 seorang ulama asal Banten juga menghasilkan karya dalam

bidang syarah hadis. Beliau adalah Nawawi al-Bantani (1815-1897) dengan karyanya

yang berjudul Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubāb al-Hadīs. Pada akhir abad 19

dan awal abad 20, Mahmud al-Tarmasi (1868-1920) juga menulis seuah kitab syarah

hadis berjudul Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah. Meskipun

hampir semua ulama yang menulis kitab syarah hadis di atas lahir di Indonesia,

uniknya semua kitab tersebut ditulis dalam Bahasa Arab dan Melayu.57

Baru

kemudian pada pertengahan abad ke-20, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy

berinisiatif untuk menulis sebuah kitab syarah berbahasa Indonesia. Hal ini

merupakan salah satu hal yang ia cita-citakan, karena menurutnya salah satu langkah

untuk mengembangkan ajaran Islam di Indonesia adalah dengan menyajikan kajian-

kajian dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat.

Adapun kitab-kitab tersebut mempunyai karakteristiknya tersendiri baik dari

segi metodologi,58

pendekatan,59

dan mazhab60

yang digunakan, tergantung siapa

yang menulisnya. Warna dari sebuah karya juga dipengaruhi oleh latar belakang

intelektual penulis, seperti kepada siapa dia berguru dan dimana dia menuntut ilmu.

56

Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 47-50. 57

Hal ini besar kemungkinan dikarenakan latar belakang pendidikan mereka yang rata-rata

merupakan tamatan dari Timur Tengah. Di samping itu, ghirah atau semangat mereka untuk

melanjutkan tradisi penulisan kitab dalam Islam yang dari awal sudah ditulis dalam Bahasa Arab juga

bisa menjadi alasan yang lain. 58

Dalam kajian syarah hadis dikenal beberapa metode yang sering digunakan oleh para ulama

dalam mensyarah yaitu tahlili (analisis), ijmali (global) dan muqarin (komparatif). Lihat: Moh.

Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Studi Hadis 2, No. 2,

(2016): h. 266. 59

Menurut Alfatih Suryadilaga, terdapat tiga pendekatan dalam syarah hadis yaitu:

pendekatan historis, pendekatan sosiologi dan pendekatan antropoloogi. Lihat: M. Alfatih Suryadilaga,

Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 57-83. 60

Mazhab atau aliran syarah hadis terbagi dalam dua kategori, yaitu mazhab ulama hadis

klasik dan ulama hadis kontemporer. Mazhab klasik lebih cenderung tekstual (original meaning) dan

tema sesuai dengan susunan kitab induknya, sedangkan mazhab kontemporer tema kajian syarah

bersifat kontekstual (applicable meaning) dan tema kajian tidak harus sesuai dengan kitab induknya.

Lihat: Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. xx.

Page 53: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

39

Metodologi syarah hadis di Indonesia terus mengalami dinamika dan perkembangan.

Sebagaimana dahulu pada masa awal penulisan kitab syarah di Indonesia, tidak

ditemukan istilah-istilah seperti pemahaman kontekstual, semantik dan hermeneutik.

Seiring berubahnya keadaan sosial, berkembangnya peradaban dan semakin

kompleksnya problem hidup manusia, istilah-istilah tersebut kemudian muncul dan

mulai digunakan dalam kajian pemahaman hadis pada pertengahan tahun 1990-an.61

Penulisan kitab syarah hadis pertama di Indonesia dilakukan oleh Nuruddin

Ar-Raniri yang menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb.

Selain sebagai kitab syarah hadis pertama, karya Ar-Raniri ini juga merupakan kitab

hadis Melayu yang menjadi tolak ukur munculnya kajian hadis pertama kali di

sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia. Hidāyat al-Habīb fi al-

Targhīb wa al-Tarhīb juga dikenal dengan sebutan al-Fawā`id al-Bahiyah li al-

Ahādīs al-Nabawiyyah. Meskipun memiliki nama yang berbeda, kedua kitab ini

hakikatnya adalah sama, yang membedakan hanyalah Hidāyat al-Habīb masih

berbentuk manuskrip sedangkan al-Fawā`id al-Bahiyah sudah dicetak dalam bentuk

kitab. Menurut Abdullah sebagaimana dikutip Alimron, sejauh ini hanya satu tempat

yang menyimpan teks Hidāyat al-Habīb yaitu Perpustakaan Negara Malaysia (PNM).

Namun penelitian terbaru menyatakan bahwa teks kitab tersebut juga terdapat di

Perpustakaan Manuskrip Malaysia, meskipun masih dalam versi tidak lengkap.62

Literatur yang membahas mengenai kitab Hidāyat al-Habīb sangat sedikit

sehingga sulit untuk melakukan pelacakan terhadapnya. Penelitian yang mengupas

mengenai deskripsi kitab ini pernah dilakukan oleh Azyumardi Azra dan Oman

Fathurrahman. Menurut Azra, tujuan Ar-Raniri menulis kitab Hidāyat al-Habīb

adalah karena kepeduliannya terhadap pengetahuan dan pemahaman masyarakat

mengenai tuntunan Nabi Saw mengenai syariat Islam. Kitab ini memuat 831 hadis

yang diambil dari 22 kitab hadis seperti Shahih al-Bukhāri, Shahih Muslim dan kitab

hadis lainnya. Pada sisi lain, Abdul Rauf al-Sinkili juga menulis sebuah kitab dengan

judul Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi yang merupakan penjelasan

61

Ramli, “Perkembangan Metode pemahaman Hadis di Indonesia,” h. 232. 62

Alimron, “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas Naskah Hidāyat al-

Ḥabīb Karya Ar-Raniri,” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6-7.

Page 54: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

40

ringkas dari 40 hadis (al-Arba’īn al-Nawawi). Langkah yang ditempuh oleh As-

Sinkili dalam menulis kitabnya adalah dengan menghimpun hadis-hadis Nabi Saw

yang shahih, namun hanya menulis matannya saja dan tidak menulis isnad hadisnya.

Menurut Azyumardi Azra, sebagaimana yang dikutip oleh Umma Farida, As-Singkili

bertekad untuk menulis kitab syarah terhadap Arba’īn Nawawi dikarenakan

kepeduliannya terhadap kaum awam agar mereka mudah mengkaji dan memahami

kandungan hadis-hadis yang kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari.63

Baik kitab Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi maupun Hidāyat al-

Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb masih sangat minim literatur yang membahasnya.

Di samping itu, kitab tersebut diketahui masih berbentuk manuskrip dan belum

dicetak dalam bentuk buku. Namun, dari ulasan singkat yang kemukakan oleh Azra

dan Oman, tampaknya kedua kitab ini belum menerapkan metodologi pensyarahan

modern seperti kontekstual, hermeneutik dan semiotika. Hal ini tergambar dari tujuan

Ar-Raniri dan As-Sinkili menulis kitab-kitab tersebut, yakni untuk memudahkan

masyarakat dalam memahami hadis Nabi Saw. Sehingga, dalam hal ini sisi

tekstualitas dari sebuah redaksi hadis lebih memungkinkan untuk diterima dan

dicerna oleh masyarakat muslim kala itu. Ditambah lagi, persoalan-persoalan agama

yang muncul pada awal masuknya Islam di Indonesia tentu tidak serumit persoalan

yang harus dihadapi pada saat ini. Karena kajian pada saat itu terfokus pada tema

pokok ajaran agama seperti tauhid dan rukun Islam yang lima.64

Pada abad ke-19, Nawawi al-Bantani (1815-1897) menulis sebuah kitab yang

berjudul Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubāb al-Hadīs. Kitab ini berisi 404 hadis,

namun yang disyarah oleh al-Bantani hanya 360 hadis. Fakhri dalam penelitiannya

membagi metode pemahaman hadis al-Bantani kepada dua tipologi, yaitu metode

tekstual dan intertekstual. Metode tekstual untuk hadis-hadis yang bisa dipahami

63

Umma, “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam

Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia,” h. 4. 64

Hal inilah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah Saw. Sebagaimana yang tercatat dalam

sejarah, bahwa dakwah beliau terbagi pada dua periode yaitu periode Mekah dan periode Madinah.

Selama 13 tahun berdakwah di Mekah, beliau fokus mendakwahkan tauhid , memperbaiki kerusakan

akidah dan kejahiliyaan. Lihat: Hasan Basri, “Manajemen Dakwah Rasul SAW di Mekkah,” Al-Munzir

7, No. 2 (November 2014): h. 29.

Page 55: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

41

secara mandiri tanpa harus dihubungkan dengan riwayat lain, dan metode

intertekstual untuk hadis-hadis yang perlu penjelas dari selain redaksinya sendiri,

seperti riwayat lain dan pendapat-pendapat para ulama.65

Di samping menggunakan

dua metode yang telah disebutkan, al-Bantani juga menerapkan beberapa pendekatan

dalam menjelaskan potongan-potongan hadis, seperti pendekatan kebahasaan.66

Di samping itu, kitab Tanqīh al-Qaul juga kental dengan corak sufi. Dalam

menjelaskan sebuah hadis, al-Bantani seringkali mengutip pendapat ulama, seperti

Imam al-Ghazāli dan Abdul Qadīr al-Jailāni. Salah satu hadis yang beliau pahami

dengan jalan tasawuf adalah hadis tentang faḏīlah shalat wajib. Menurutnya, seluruh

gerakan yang dilakukan dalam shalat menyimpan makna yang dalam. Seperti gerakan

mengangkat kedua tangan yang bermakna seorang hamba sedang mengakui bahwa

dirinya telah melakukan maksiat dan penuh kesalahan, sehingga ia seolah berkata,

“Wahai Tuhanku, tolong hamba yang terjebak dalam jurang kemaksiatan ini.”

Kemudian gerakan rukū’ merupakan bentuk merendahkan diri di hadapan Sang Ilahi.

Gerakan bangun dari rukū’ menggambarkan permintaan seorang hamba agar ia

terbebas dari dosa-dosa. Posisi sujud seolah-olah seorang hamba berkata, “Dari

65

Fakhri Tajuddi Mahdy, “Metodologi Syarah Hadis Nabi Saw: Telaah Kitab Tanqīh al-Qaul

al-Hasīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs Karya Imam Nawawi Al-Bantani,” (Tesis S2 UIN Alauddin

Makassar, 2016), h. 98. 66

Salah satu pendekatan yang al-Bantani gunakan pendekatan kebahasaan. Hal ini tercermin

ketika beliau memahami hadis pada bab tentang Fī Faḏīlah al-Farīḏah (Bab Keutamaan shalat

fardhu). Pada hadis ketujuh dalam bab ini membahas sabda Nabi Saw (صلىا كوا زأيتوىي). Al-Bantani

menjelaskan bahwa kata “ra`aitumūnī” maknanya adalah “’alimtmūnī”. Maka, meskipun umat Islam

tidak pernah berjumpa dengan beliau, tetap memiliki kewajiban untuk mendirikan shalat karena telah

mengetahui tentang perintah shalat, dan juga tata caranya juga diketahui dari riwayat-riwayat yang

shahih. Di samping itu, al-Bantani juga menerapkan pendekatan antropologi (mempertimbangkan

tatanan nilai masyarakat tertentu). Salah satu contohnya adalah ketika al-Bantani memahami hadis

pada bab tentang Fī Faḏīlah ‘Iyādah al-Marīḏ (Bab Keutamaan Menjenguk Orang yang Sakit). Hadis

tersebut berbunyi, “ال تجة عيادج الوسيض إال تعد ثالثح أيام” (tidak wajib menjenguk orang sakit kecuali setelah

tiga hari). Al-Bantani menjelaskan hadis ini dengan mengatakan bahwa batasan tiga hari tersebut

berdasarkan kebiasaan orang Arab yang biasanya menjenguk orang sakit jika ia telah sakit selama tiga

hari. Ia menambahkan, bahwa batasan ini disesuaikan dengan ‘urf yang berlaku. Sebagaimana

diketahui bahwa pendekatan antropologis merupakan bagian dari pemahaman kontekstual. Maka

dalam hal ini, menurut penulis, al-Bantani telah mempraktekkan metode kontekstual dalam kitab

syarahnya, namun hal tersebut bersifat tidak baku dalam artian hanya dalam bentuk praktek dan belum

terkonsep secara sistematis. Karena pada saat itu belum dikenal istilah kontekstual apalagi hermeneutik

dan semiotika. Inilah yang disampaikan oleh Ramli Abdul Wahid, menurutnya istilah kontekstual,

hermeneutika, semiotika, dan beberapa pendekatan seperti pendekatan historis, sosiologis, psikologis

dan antropologis baru muncul di Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Lihat: Ramli,

“Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia,” h. 232.

Page 56: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

42

materi (tanah) inilah Engkau menciptakanku, Ya Allah”. Disaat bangun dari sujud,

seolah seorang hamba berkata, “Engkau telah mengeluarkanku”, dan gerakan sujud

yang kedua, seorang hamba seolah berkata, “Ke sinilah aku akan kembali lagi”. Pada

gerakan bangkit dari sujud yang kedua, seolah seorang hamba berkata, “Dari sini

jualah aku dikeluarkan untuk yang kedua kalinya”. Sedangkan makna salam adalah,

“Ya Allah berilah aku kitabku dari arah kanan dan jangan Engkau beri aku kitabku

dari arah kiri.”67

Tradisi penulisan kitab syarah hadis terus berlanjut hingga paruh akhir abad

19 dan awal abad 20. Pada periode ini Mahmud al-Tarmasi (1868-1920) menulis

kitab Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarḥ al-Mihnah al-Khairiyyah. Kitab ini berisi empat

puluh hadis pilihan dan ditulis dalam bahasa Arab.68

Berbeda dengan al-Bantani yang

menggunakan metode ijmali dalam kitab syarahnya,69

al-Tarmasi menggunakan

metode tahlili. Hal ini tergambar ketika beliau menjelaskan makna dari kata

“bismillah” dengan panjang lebar, mulai dari mencantumkan hadis terkait lengkap

dengan sanadnya,70

dilanjutkan dengan keutamaan-keutamaan apabila

membacanya.71

Kenyataan bahwa al-Tarmasi menggunakan metode tahlili dalam

menjelaskan hadis-hadis dalam kitab syarahnya, memberi pengertian bahwa ia

berkemungkinan besar juga memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal di luar

redaksi hadis.

Pada abad ke-20 dan paruh awal abad ke-21 di Indonesia, dikenal istilah baru

dalam memahami hadis yaitu metode pemahaman kontekstual. Pada masa tersebut

juga muncul beberapa tokoh seperti M. Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, dan Ali

Mustafa Yaqub yang menerapkan metode kontekstual di dalam karyanya. Tokoh

67

Nawawi Al-Bantani, Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs (Jakarta: Dār al-

Kutub al-Islāmiyah, 2011), h. 12. 68

Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 108-109. 69

Dalam mensyarah hadis, al-Bantani menggunakan metode ijmali. Beliau secara pribadi

mengemukakan dalam mukadimah kitabnya, bahwa penjelasan yang ia cantumkan dalam Tanqīh al-

Qaul sangat singkat. Hal tersebut ia lakukan sesuai dengan permintaan orang-orang di Jawa. Lihat: Al-

Bantani, Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs, h. 8. 70

Diketahui bahwa kitab-kitab syarah hadis yang ditulis oleh para ulama Indonesia

sebelumnya hanya mencantumkan redaksi hadisnya saja dan tidak menyertakan sanad hadisnya. 71

Mahmud al-Tarmasi, Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah

(Kementerian Agama RI: T.tp, 2008), h. 2.

Page 57: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

43

pertama yaitu M. Syuhudi Ismail, memandang Islam sebagai ajaran yang sifatnya

umum dan diperuntukkan untuk semua umat manusia serta relevan dengan perubahan

sosial. Beliau memahami bahwa posisi Nabi Saw diutus sebagai rahmat bagi semesta

alam. Namun pada sisi lain ia juga meyadari bahwa kenyataannya Nabi Saw hidup

dalam batas ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, menurutnya hadis Nabi

merupakan sumber otoritatif Islam yang pada satu sisi bersifat universal, namun pada

sisi yang lain juga bersifat temporal dan lokal.72

Atas dasar inilah, Syuhudi kemudian

membagi pemahaman hadis kepada dua tipologi, yaitu pemahaman tekstual dan

kontekstual. Langkah ini beliau tempuh agar umat Islam tidak mudah men-ḏa’if-kan

hadis-hadis yang sanadnya ṣaḥiḥ atau ḥasan hanya karena redaksinya tidak sesuai

dengan kaidah kashahihan matan.73

Salah satu contoh pemahaman Syuhudi terhadap hadis dengan metode

kontekstual tercermin dari penjelasannya mengenai hadis larangan melukis.

حدثنا احلميدي حدثنا سفيان قال حدثنا األعماش عن مسلم قال : كنا مع مسروق ف دار يسار بن منري فرأى ف صفته متاثيل فقال : مسعت عبد اهلل قال : مسعت النيب صلى اهلل عليه وسلم يقول : إن

74أشد الناس عذابا عند اهلل يوم القيامة املصورون

“Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidy, telah menceritakan kepada

kami Sufyān, ia berkata telah menceritakan kepada kami al-A‟māsy dari Muslim ia

berkata: Kami sedang bersama Masrūq di rumah Yasar bin Numair, dan kami melihat

terdapat beberapa lukisan. Maka ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw

bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat dari

Allah Swt pada hari kiamat kelak adalah para pelukis.”

Cukup banyak hadis-hadis yang menjelaskan tentang larangan menggambar

makhluk bernyawa. Pada hadis yang lain disebutkan bahwa pelakunya akan dituntut

72

Universal adalah yang berlaku umum, untuk semua orang dan setiap waktu. Temporal yaitu

sesuatu yang berhubungan dengan waktu-waktu tertentu, sedangkan lokal adalah terjadi dan berlaku

pada suatu tempat tertentu/tidak merata. 73

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits

tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h.

90. 74

Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab al-Libas Bab

89 (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 1511.

Page 58: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

44

untuk memberikan nyawa kepada yang dilukisnya pada hari kiamat dan pada riwayat

lain juga disebutkan bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat

lukisan. Berbagai hadis yang berkenaan dengan larangan melukis dan memajang

lukisan disabdakan Nabi Saw dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah Saw, karena

berhubungan dengan konsekuensi bagi pelakunya pada Hari Kiamat kelak.75

Larangan melukis yang disabdakan Nabi Saw mempunyai latar belakang

hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi Saw, masyarakat belum lama terlepas dari

kepercayaan menyekutukan Allah Swt dalam bentuk menyembah berhala-berhala.

Nabi Saw berusaha menjauhkan umat Islam dari hal-hal yang dikhawatirkan akan

mengembalikan mereka kepada kemusyrikan. Jika „illat hukumnya76

memang

demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan akan terjebak kepada

kemusyrikan, khususnya dalam penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan

memajang lukisan diperbolehkan. Berdasarkan analisis sejarah tersebut maka

Syuhudi memahami hadis itu secara kontekstual.77

Tokoh yang juga mendukung metode pemahaman hadis kontekstual adalah

Daniel Djuned. Ia menulis sebuah buku dalam bidang hadis berjudul Ilmu Hadis:

Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Di dalam buku tersebut Daniel

mengungkapkan bahwa merupakan sesuatu yang urgent untuk mencari format baru

dan melakukan rekonstruksi terhadap metodologi pemahaman hadis ulama klasik.

Karena banyak pemahaman terhadap hadis yang terlalu kaku dan hanya

mengandalkan sisi tekstualitas matan saja. Hal tersebut membuat usaha yang pada

awalnya bertujuan untuk “pemurnian” malah terjebak menjadi “pengikisan” terhadap

ajaran agama Islam itu sendiri.78

75

Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang

Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 36-37. 76

Dalam Ushul Fiqh terdapat sebuah kaidah yang berbunyi: الحكن يدوز هع العلح وجىدا و عداها

“Hukum itu berkisar pada „illatnya, keberadaan dan ketiadaannya.” Dalam arti, jika illatnya ada, maka

hukumnya ada, namun jika illatnya lenyap, maka hukumnya juga ikut lenyap. 77

Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang

Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 37. 78

Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2010), h. 5.

Page 59: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

45

Daniel menekankan pendekatan historis dan pertimbangan terhadap kondisi

sosial kultural dalam memahami hadis. Memahami hadis tanpa mempertimbangkan

latar belakang sejarah merupakan sebuah kekeliruan. Ia juga mengatakan bahwa

istilah kontekstual sangat erat kaitannya dengan asbāb al-wurūd. Ada sebagian orang

yang mendefinisikan kontekstual dengan asbāb al-wurūd itu sendiri. Namun, Daniel

secara pribadi mengatakan bahwa kontekstual lebih luas daripada sekedar asbāb al-

wurūd karena konteks tidak hanya meliputi ruang dan waktu namun juga

circumstances (lingkungan) seperti antropologis, geografis, sosio-kultural dan lain

sebagainya.79

Daniel juga menyebutkan bahwa budaya Arab dan non-Arab memiliki

ketidaksamaan sehingga dalam memahami hadis juga perlu mempertimbangkan

konteks antropologis dan geografisnya. Sebagai contoh adalah hadis tentang safar

yang dilakukan oleh perempuan. Dalam sebuah hadis disebutkan:

نافع عن ابن حممد بن املثىن قاال: حدثنا حيىي )وهو القطان( عن عبيد اهلل أخربينو حدثنا زهري بن حرب 80ال تسافر املرأة ثالثا إال مع ذي حمرم ال: لى اهلل عليه وسلم قعمر: أن رسول اهلل ص

“Menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin al-Matsna

mereka berkata: menceritakan kepada kami Yahya (yaitu al-Qaththan) dari

Ubaidillah, menceritakan kepadaku Nafi‟ dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw

berkata: Wanita dilarang berpergian selama tiga hari kecuali didampingi

mahramnya.”

Redaksi hadis tersebut di atas melarang para perempuan melakukan safar

sendirian kecuali jika ditemani oleh mahram. Sedangkan pada saat ini sangat banyak

keperluan yang menuntut perempuan untuk melakukan kegiatannya sendirian, seperti

studi ke luar negeri dan menunaikan haji. Maka tentu akan memakan biaya yang lebih

besar jika mengharuskan mereka untuk berpergian dengan mahramnya. Di samping

itu, tidak semua perempuan memiliki mahram. Sehingga hal tersebut akan

mempersulit kaum perempuan terutama ketika hendak menunaikan ibadah haji.

Menurut Daniel bukan seperti ini konklusi yang diinginkan oleh agama. Zaman

79

Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis h. 179. 80

Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-Naisabūri, Sahih Muslim, Kitab al-Hāj Bab 74

Hadis ke-413, h. 975.

Page 60: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

46

ketika hadis tersebut disampaikan oleh Nabi Saw dengan zaman sekarang sudah

berbeda. Dahulu kendaraan yang digunakan adalah kuda atau unta sedangkan

sekarang sudah ada pesawat terbang, kereta api dan kendaraan lainnya yang mudah

untuk diakses. Maka menurut Daniel jika keamanan terjamin, perempuan boleh saja

melakukan safar tanpa harus didampingi mahramnya.81

Di samping M. Syuhudi Ismail dan Daniel Djuned, Ali Mustafa Yaqub juga

mengambil andil dalam mengembangkan kajian metode pemahaman hadis di

Indonesia. Dalam wacana kajian hadis, Ali Mustafa Yaqub mengungkapkan bahwa

sebuah hadis pada dasarnya dipahami secara tekstual, namun jika tidak

memungkinkan maka boleh dipahami secara kontekstual. Menurut beliau terdapat

beberapa aspek yang harus diperhatikan ketika memahami hadis secara kontekstual,

yaitu asbāb al-wurūd al-hadīs, makāni wa zamāni (lokal dan temporal), ‘illah al-

kalām (hubungan kausalitas) dan sosio-kultural.82

Pemikiran Ali Mustafa Yaqub mengenai kontekstualisasi hadis tergambar

ketika beliau memahami hadis tentang surban. Hadis yang dimaksud berbunyi,

“Perbedaan antara kita dari kaum musyrikin adalah kain surban (yang dikenakan) di

atas kopiah.” Belakangan ini pemakaian serban sudah mengalami inflasi di Indonesia.

Para ulama dan tokoh agama tidak banyak lagi yang memakai serban, sedangkan

orang-orang yang tidak sampai kepada level para ulama malah berbondong-bondong

memakainya. Bahkan sudah menjadi hal yang biasa melihat para pemusik, pejoget

dan penabuh gendang yang mengenakannya pada bulan Ramadhan. Tidak ada yang

benar-benar mengetahui tujuan mereka memakai serban tersebut, apakah karena

sekedar fashion atau memang ingin mengikuti sunnah Nabi Saw.

Menanggapi hadis tentang serban di atas, Ali Mustafa Yaqub mengatakan

bahwa serban merupakan salah satu dari banyaknya tradisi bangsa Arab yang setiap

81

Daniel, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis h. 180-182. 82

Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 152.

Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam karyanya: Ali Mustafa Yaqub, Cara benar Memahami

Hadisi, Cet-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2019). Di dalam buku tersebut, beliau memaparkan hadis-

hadis yang dibagi kepada beberapa bagian sesuai dengan metode dalam memahaminya. Bagian-bagian

yang dimaksud seperti memahami hadis dengan majaz, takwīl, pengetahuan tentang illat dalam hadis,

pertimbangan terhadap budaya, kondisi geografis Arab dan asbāb al-wurūd.

Page 61: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

47

muslim boleh mengikuti atau mengabaikannya. Serban merupakan pakaian kemuliaan

yang dipakai oleh orang-orang yang tinggal di wilayah Arab. Sedangkan pakaian

kemuliaan di setiap wilayah berbeda-beda. Penutup kepala di Asia Tenggara dikenal

dengan songkok hitam sedangkan penduduk Turki menggunakan topi turbus.

Menurut Ali Mustafa Yaqub, selama seseorang mengenakan penutup kepala, baik

dengan songkok, turbus atau lainnya maka ia dihitung telah mengikuti sunnah Nabi

Saw.83

Ditambah lagi, karena serban yang dikenakan oleh Nabi Saw merupakan

penyesuaian dengan tradisi Arab maka hadis tentang serban tergolong dalam sunnah

yang harus dipahami secara kontekstual. Nilai moral yang didapat dari hal ini adalah

bahwa mengenakan serban bukanlah sebuah tuntutan bagi kaum muslimin.84

Dari pelacakan terhadap metode pemahaman hadis yang diterapkan oleh para

ulama Indonesia di dalam kitab syarahnya, terlihat bahwa memang benar metode

tersebut mengalami dinamika. Yang pada awalnya cenderung tekstual, kemudian

beranjak memasuki era baru yang menggunakan pendekatan di luar literalis teks

seperti pendekatan dan tasawuf, sebagaimana yang diterapkan oleh Nawawi al-

Bantani pada paruh awal abad ke-19.85

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20,

al-Tarmasi mendobrak tradisi penulisan kitab syarah hadis sebelumnya86

dengan

menerapkan metode tahlili dalam mensyarah hadis. Dinamika metode pemahaman

hadis terus terjadi hingga pada paruh akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 muncul

metode baru yang dikenal dengan sebutan metode pemahaman hadis kontekstual.

83

Ali Mustafa Yaqub, Cara benar Memahami Hadisi, h. 90-91. 84

Miski, “Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman Serban

dalam Konteks Indonesia,” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1 (2016): h. 28. 85

Pada masa ini, juga terlihat bahwa fokus para ulama adalah memberikan pemahaman yang

benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Karena Islam belum lama masuk ke Indonesia, di tambah

lagi kajian hadis yang belum begitu marak dibandingkan kajian-kajian ke-Islam-an lainnya, para ulama

berupaya menyajikan kajian yang sederhana dan mudah dimengerti saja. Seperti halnya al-Bantani

yang lebih memilih untuk menerapkan metode ijmali dibanding tahlili di dalam kitab syarahnya. Ini

menunjukkan bahwa poin utama yang ingin diraihnya adalah pemahaman umat dan mengesampingkan

dulu hal-hal di luar itu. 86

Kitab-kitab syarah hadis sebelumnya, seperti Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-

Nawawi, Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb dan Tanqīh al-Qaul al-Ḥadīs fī Syarḥ Lubāb al-

Ḥadīs ditulis dengan metode ijmali (global dan ringkas).

Page 62: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

48

BAB III

SKETSA BIOGRAFIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY

A. Biografi T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy

1. Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia

dilahirkan di Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara pada 10 Maret 1904 M atau 22

Dzulhijjah 1321 H. Orang tua Hasbi adalah tokoh dan keturunan ulama yang

terpandang di tengah masyarakat. Ayahnya merupakan seorang hakim kepala di Lhok

Seumawe bernama Teungku Muhammad Husayn bin Muhammad Su'ud yang berasal

dari anggota rumpun Teungku1 Cik di Simeuluk Semalanga, keturunan Faqir

Muhammad (Muhammad al-Ma‟ṣum). Sedangkan Ibunya bernama Teungku Amra

binti Teungku Abdul Aziz, seorang pemangku jabatan Qadhi Cik Maharaja

Mangkubumi. Ia juga merupakan keponakan Abdul Jalil yang mempunyai julukan

Teungku Cik di Awe Geutah, seorang ulama yang ikut bertempur melawan Belanda

di Aceh.2

Menurut silsilah keluarga, ayah Hasbi merupakan keturunan ke-36 dari

khalifah pertama Islam, Abu Bakr al-Shiddīq (w. 12 H). Silsilah ini menjadikan

Hasbi sebagai keturunan ke-37 dan atas dasar ini jugalah gelar Ash-Shiddieqy

melekat di belakang namanya.3 Jika dijabarkan, silsilah keluarganya adalah

Muhammad Hasbi ibn Muhammad Su‟ūd ibn Muhammad Taufīq ibn Fāṯimī ibn

Ahmad ibn Ḏiyā‟ al-Ḏīn ibn Muhammad Ma‟sūm ibn Ahmad Alfar ibn Mu‟aiy al-

Ḏīn ibn Khawajaki ibn Darwīs ibn Muhammad Zāhid ibn Marwaj al-Ḏīn ibn Ya‟qūb

ibn „Alā al-Ḏīn ibn Bahā‟ al-Ḏīn ibn Amīr Kilāl ibn Syammas ibn Abd al-Azīz ibn

Yazīd ibn Ja‟far ibn Qāsim ibn Muhammad ibn Abu Bakr al-Siddīq.4

1 Teungku adalah sapaan untuk laki-laki dewasa di Aceh dan secara khusus merupakan gelar

yang disematkan kepada seorang pakar atau tokoh agama. 2 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1997), h. 3. 3 Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah

Perjuangan Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), h. 369. 4 Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis,”

Mutawatir 4, No. 2 (Desember 2014): h. 273.

Page 63: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

49

Hasbi tumbuh dalam lingkungan yang taat beragama dan mendapatkan

pelajaran tentang Islam langsung dari ayahnya. Ia juga diasuh dalam kasih sayang dan

didikan ibunya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun 1910

ibunya meninggal dunia. Ketika itu usia Hasbi masih terbilang sangat dini yaitu enam

tahun.5 Setelah ibunya wafat, ia dirawat oleh Teungku Syamsiyah yang merupakan

saudara ibunya yang tidak mempunyai anak laki-laki.6 Ia berada dalam asuhan

bibinya hanya dalam waktu dua tahun karena pada tahun 1912 Teungku Syamsiyah

berpulang ke rahmatullah. Sejak saat itu, Hasbi pun memutuskan untuk tinggal

bersama kakaknya, Teungku Maneh. Namun meskipun tinggal dengan kakaknya,

Hasbi lebih sering tidur di meunasah atau surau sampai kemudian nyantri dari dayah

ke dayah. Ia hanya sesekali bertemu ayahnya ketika akan belajar dan mendengarkan

fatwanya.7

Sejak kecil Hasbi telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Ia juga telah

menampakkan sikapnya yang ingin bebas dan tidak mau terikat dengan kungkungan

tradisi yang berlaku. Ayahnya selalu melarang agar tidak bergaul terlalu bebas

dengan teman-temannya, sebaliknya ia justru tidur di meunasah (musholla) dengan

mereka. Ayahnya juga selalu menyuruh salah seorang muridnya untuk menggendong

Hasbi ketika bepergian. Namun Hasbi tidak ingin dimanja atau diperlakukan secara

spesial. Ketika bermain sepeda bersama teman-temannya, malah dialah yang

mengayuh sepeda dan membonceng temannya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak

kecil sifat kepemimpinan sudah mengalir dalam diri Hasbi. Ditambah lagi, sifatnya

yang enggan terikat dengan peraturan dan tradisi inilah yang dikemudian hari

menjadikan ia sangat keras dalam menolak taklid buta.8

Hasbi tumbuh menjadi pemuda yang rajin dan sangat gemar membaca. Ia

menjadikan membaca sebagai hobi terbesarnya. Seringkali ia menyibukkan dirinya

untuk membaca sendiri di kamarnya atau di tempat-tempat lain seperti perpustakaan.

5 Depag RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan

Agama Islam, 1992), h. 767. 6 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam

Menafsirkan Al-Qur‟ān, Ed. 3, Cet ke-6 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 299. 7 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 8.

8 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 9.

Page 64: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

50

Semangatnya dalam membaca tidak hanya sebatas pada buku-buku berbahasa Arab

atau aksara Arab saja. Ia juga membaca buku-buku yang ditulis dengan aksara latin

dan bahasa lain selain Arab dan Melayu, seperti Belanda. Bagi Hasbi, belajar bisa

dengan siapa saja dan darimana saja, sebagai contoh ia mempelajari aksara latin dari

sahabatnya yang bernama Teungku Muhammad. Sedangkan untuk Bahasa Belanda ia

belajar dari seorang Belanda yang minta diajari Bahasa Arab ketika ia berada di

Kutaraja.9

Menginjak usia sembilan belas tahun, Hasbi menikah dengan Siti Khadijah,

seorang perempuan yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya.

Pernikahannya ini tidak berlangsung lama karena Siti Khadijah meninggal dunia

ketika melahirkan anak pertama mereka. Kemudian, Hasbi menikah lagi dengan

Teungku Nyak Asiyah binti Teungku Haji Hanum, saudara sepupunya. Teungku Haji

Hanum atau yang juga dikenal dengan Teungku Haji Nom merupakan saudara

kandung dari ibu Hasbi, Teungku Amrah. Dengan istri keduanya inilah ia

menghabiskan sisa hidupnya hingga akhir hayatnya. Dari pernikahan tersebut ia

dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan.10

Pada tanggal 9 Desember 1975 setelah beberapa hari memasuki masa

karantina untuk pelaksanaan haji, Hasbi menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya

dikebumikan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada saat upacara

pelepasan jenazahnya, Buya Hamka hadir dan memberikan kata sambutan dan

pemakamannya dilepas oleh Mr. Moh. Rum.11

2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir

Hasbi telah khatam mengaji al-Qur‟an dari usia delapan tahun. Ayahnya

adalah guru pertamanya yang mengajarkannya banyak konten ilmu agama. Dari

ayahnya ia belajar qira‟ah dan tajwid. Ayahnya jualah yang pertama kali

9 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 14-15.

10 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 10.

11 Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-

Qur‟ān, h. 300.

Page 65: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

51

mengirimnya ke dayah.12

. Hasbi dilarang masuk ke sekolah Gubernemen karena takut

dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Nasrani dan pada sisi lain ayahnya juga

mengharapkan Hasbi untuk menjadi seorang ulama.13

Pada tahun 1912 ia belajar di

Dayah Teungku Cik di Piyeung untuk mempelajari Bahasa Arab khususnya nahwu

dan saraf. Setelah satu tahun belajar disana, kemudian Hasbi pindah ke Dayah

Teungku Cik di Bluk Bayu. Pada tahun berikutnya, ia belajar di Dayah Blang Kabu

Gendong, kemudian melanjutkan pelajarannya di Blang Manyak dan Kurok. dan pada

1916 melanjutkan pembelajarannya di dayah Teungku Cik Idris di Tanjungan Barat.

Dua tahun kemudian atau tepatnya pada 1918 ia pindah ke dayah Teungku Cik Hasan

di Kruengkale hingga tahun 1920 dan resmi mendapatkan syahadah pada tahun

berikutnya sebagai tanda bahwa ia sudah layak dan cakap untuk mendirikan dayah

sendiri.14

Sepulangnya dari Kruengkale, Hasbi bertemu dengan Syeikh Muhammad ibn

Salim al-Kalāli, salah seorang anggota kelompok pembaharu pemikiran Islam di

Indonesia yang tinggal di Lhokseumawe. Darinya Hasbi belajar banyak dan mendapat

kesempatan untuk membaca kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh pembaharu dan

juga majalah-majalah yang berisi tentang pembaharuan pemikiran Islam yang

diterbitkan di Padang, Singapura dan Pulau Pinang. Kehadiran Syeikh al-Kalāli

sangat berarti dalam kehidupan Hasbi karena selain mendapat banyak pencerahan dan

12

Dayah adalah semacam lembaga pendidikan Islam dan dakwah tertua di Aceh.

Keberadaannya telah banyak membantu perkembangan dan pembangunan peradaban Islam di Aceh.

Hingga saat ini hampir pada tiap-tiap wilayah di Nanggroe (negeri) berdiri dayah. Sebagian dayah ada

yang berpusat di masjid, tapi kebanyakan dayah mempunyai balai tersendiri seperti aula yang terpisah

dari masjid sebagai tempat belajar dan shalat berjamaah. Pelajaran di dayah diajarkan dalam berbahasa

Arab dan bersumber dari kitab-kitab berbahasa Arab juga. Di antara ilmu yang diajarkan di dayah

adalah Akidah, Tauhid, Fiqih, Tasawuf, Tarikh, Tafsir, Hadis, Nahwu dan Dakwah. Para murid yang

baru masuk dayah tidak langsung berguru pada Teungku Syeikh (Pemimpin Dayah) namun terlebih

dahulu harus belajar pada teungku-teungku di rangkang. Dan hal ini diterapkan pada hampir seluruh

dayah yang ada di Aceh, seolah sudah menjadi aturannya. Lihat: Muhsinah Ibrahim, “Dayah, Masjid,

Meunasah sebagai Lembaga Pendidikan dan Lembaga Dakwah di Aceh,” Al-Bayan 21, No. 30 (Juli-

Desember 2014): h. 24. 13

Mansun Tahir, “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan

Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia” Al-Aḥwāl 1, No. 1 (2008): h. 124. 14

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 13.

Page 66: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

52

inspirasi, Syeikh al-Kalali lah yang menyarankan agar Hasbi berangkat ke Surabaya

untuk belajar di perguruan al-Irsyad.15

Pada tahun 1926 ia berangkat ke Surabaya dan mulai belajar di Madrasah Al-

Irsyad. Pada saat itu Al-Irsyad di bawah kepemimpinan Umar Hubes, salah seorang

murid Ahmad Surkati.16

Benar kalimat bijak yang mengatakan bahwa lingkungan

dapat mempengaruhi dan membentuk seseorang. Karena menuntut ilmu dan hidup di

lingkungan yang dibina oleh para guru yang menyuarakan ijtihad dan menolak taklid,

Hasbi pun juga banyak terinspirasi dari pemikiran-pemikiran mereka, terutama

Ahmad Surkati yang mendidiknya secara langsung di kelas khusus (takhassus)

Madrasah Al-Irsyad. Di madrasah ini Hasbi berkesempatan untuk memperdalam

kemampuan Bahasa Arab dan cabang-cabang keilmuan Islam lainnya. Di samping

itu, penguasaannya terhadap Bahasa Arab juga didukung karena ia berteman dengan

orang-orang Arab di Surabaya, mereka seringkali bermain sepakbola bersama. Hasbi

juga mondok di rumah salah seorang Arab. Setelah belajar di Madrasah Al-Irsyad

selama kurang lebih satu setengah tahun Hasbi dinyatakan lulus dengan predikat baik

pada tahun 1927.17

Pendidikan di Madrasah Al-Irsyad adalah pendidikan formal terakhir yang

ditempuh oleh Hasbi. Setelah menamatkan pembelajarannya di Al-Irsyad ia

memfokuskan diri untuk memperkaya diri dengan banyak membaca dan belajar

secara otodidak. Berkat semangat belajar dan membacanyan yang tinggi, Hasbi

menghasilkan banyak sekali karya tulis baik dalam bentuk buku maupun artikel. Ia

menerima dua gelar Doktor Honoris Causa karena jasanya terhadap pengembangan

15

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 15. 16

Ahmad Surkati adalah ulama keturunan Arab yang melakukan reformasi terhadap

pendidikan dan praktek keagamaan di Indonesia. Kehidupan intelektualnya dan pemikirannya banyak

dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Jamāluddin Al-Afghāni. Nama lengkapnya adalah Ahmad

bin Muhammad Surkati Al-Anṣāri. Ia lahir di Pulau Arqu dekat Dongola pada tahun 1975. Pada

awalnya, Ahmad Surkati mengajar di Mekah, namun kemudian ia bertolak ke Hindia atau lebih

tepatnya ke Jawa, Indonesia. Kedatangannya ke Indonesia menimbulkan pertanyaan dan kontroversi

bagi kalangan muslim Arab Internasional. Hal tersebut ia jawab dengan menjelaskan bahwa

perantauannya dikarenakan ia merasa lebih bisa menebar banyak manfaat dan berkontribusi untuk

Islam di Jawa. Lihat: Rusydi Baya‟qub, “Konstruksi Pemikiran Reformasi Islam Ahmad Surkati,” Al-

Adalah 15, No. 2 (Desember 2012): h. 224. 17

Tahir, Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan Relevansinya

dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, h. 125.

Page 67: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

53

Perguruan Tinggi Islam dan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia. Salah satu gelar

tersebut ia peroleh dari Unisba (Universitas Islam Bandung) pada tanggal 22 Maret

1975, dan satu lagi dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober

1975.18

Hasbi juga mendapatkan gelar fungsional guru besar. Dalam surat keputusan

pengangkatannya sebagai guru besar tertulis Guru Besar dalam Bidang Pengetahuan

Hadis, meskipun ia juga konsen mengajar fiqih dan ushul fiqih. Pidato

pengukuhannya sebagai Guru Besar berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan

Zaman.19

Pidato ini disampaikan melaui orasi ilmiah dalam acara peringatan setengah

tahun pergantian nama PTAIN menjadi IAIN pada tahun 1961.20

Di samping giat menuntut ilmu, Hasbi juga berkeinginan kuat untuk

mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Langkah awal yang dilakukan olehnya adalah

dengan membangun dayah atau madrasah sebagai tempat belajar bagi anak-anak

muslim di Aceh.21

Pada tahun 1924, atas usahanya berdirilah madrasah di Buloh

Beureughang. Pembangunan madrasah ini mendapat dukungan penuh dari Teungku

Raja Itam Uleebalang. Namun sangat disayangkan madrasah ini harus dibubarkan

karena keberangkatan Hasbi ke Surabaya untuk menimba ilmu di Al-Irsyad. Alhasil

madrasah ini hanya berusia dua tahun. Sepulangnya dari Surabaya, pada tahun 1928

Hasbi bersama gurunya, Syeikh Kalāli22

mendirikan madrasah di Lhokseumawe yang

18

Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-

Qur‟ān, h. 300. 19

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 28. 20

Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,

2008) , h. 204. 21

Tercatat dalam sejarah bahwa menjelang abad ke-20 pendidikan di Aceh sempat mengalami

kemunduran karena terjadinya perang dengan Belanda. Kemudian mulai bangkit kembali setelah

perang usai, ditandai dengan bermunculan dayah-dayah yang didirikan oleh para ulama. Hasbi

merupakan salah satu tokoh yang ikut mengambil andil dalam memajukan pendidikan di ranah

kelahirannya ini. Lihat: Najamuddin, Perjalanan Pendidikan di Tanah Air: Tahun 1800-1945 (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2005), h. 54. 22

Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad bin Sālim al-Kalāli. Ia lahir di Hadramaut

pada tahun 1856 dan wafat di Lhokseumawe pada tahun 1946. Ia merupakan pencetus lahirnya Al-

Imam, majalah Islam pertama di dunia Melayu yang terbit dalam Bahasa Jawiy bersama dengan

sahabatnya Syekh Ṭahir Jalāl al-Dīn al-Azhāry. Majalah ini berisi suara pembaharuan untuk umat

Islam di Asia Tenggara yang kala itu masih berada di bawah tekanan para penjajah. Setelah bertemua

dengan Hasbi, ialah yang mengajari dan menunjuki Hasbi Bahasa Arab dan menyarankannya untuk

bersekolah di Al-Irsyad Surabaya. Sumber: Taqiyuddin Muhammad, Al-Kalaliy: Pembaharu yang

Terlupa di Tengah Kota, diakses pada 15 Mei 2019 pukul 15:40 WIB dari misykah.com/al-kalaliy-

pembaharu-yang-terlupa-di-tengah-kota/

Page 68: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

54

dinamai Al-Irsyad juga. Meskipun senama dengan Al-Irsyad yang ada di Surabaya,

kedua madrasah ini tidak mempunyai hubungan organisatoris yang menjadikannya

terhubung dengan gerakan al-Irsyād wa al-Islah.23

Hanya saja, dalam pemberian

materi dan proses belajar mengikuti kurikulum dan ide-ide yang dikembangkan di Al-

Irsyad Surabaya.24

Ketika sekolah Al-Irsyad dibangun dan mulai mendapat perhatian dari

masyarakat, pada saat bersamaan Abdullah TB juga sedang membangun sebuah

dayah di Uteun Bayi Lhokseumawe. Entah karena motif ingin menjatuhkan atau ada

faktor lain, Abdullah TB memulai kampanyenya dengan menyebutkan bahwa murid-

murid yang bersekolah di Al-Irsyad akan sesat seperti Hasbi. Sekolah yang memakai

kursi dan papan tulis adalah praktek orang kafir dan mengakibatkan ada anak yang

duduk di depan dan yang lain duduk di belakang. Kampanye yang disuarakan oleh

Abdullah TB rupanya berhasil membuat sekolah yang dibangun Hasbi kehabisan

murid. Hasbi tidak memberikan reaksi apapun, pikirnya untuk menghindari konflik

lebih lanjut. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya. Pada langkah

selanjutnya, ia memulai untuk membangun sekolah baru yang letaknya di Krueng

Mane, lebih kurang 20 KM dari Lhokseumawe. Berkat bantuan Teungku Ubit

23

Disebut juga dengan Jam‟iyyāt al-Iṣlaḥ wa al-Irsyād, merupakan sebuah organisasi yang

didirikan atas inisiatif Ahmad Surkati. Sebelum organisasi ini terbentuk, Ahmad Surkati telah terlebih

dahulu membuka sebuah sekolah yang bernama Madrasah Al-Irsyād Al-Islāmiyah pada tahun 1913.

Baru kemudian pada 16 September 1914 terbentuklah Jam‟iyyāt al-Iṣlaḥ wa al-Irsyād sebagai

organisasi yang akan menaungi Madrasah Al-Irsyād. Organisasi ini mempunyai misi utama yaitu

untuk melakukan reformasi pada praktek Islam dan menerapkan sistem baru dengan konsep

pendidikan modern. Di samping itu, misi penting lain yang ingin dicapai adalah untuk membasmi

semua bentuk bid‟ah, syirik dan khurafat serta mewujudkan kesetaraan dalam kehidupan dengan tidak

membeda-bedakan kedudukan sayyid dan non-sayyid. Karena menurut mereka perbedaan status

tersebut hanya akan membuat stratifikasi sosial dalam masyarakat. Salah satu pendapat Ahmad Surkati

mengenai kesetaraan ini adalah mengizinkan seorang syarīfah menikah dengan pria non-alawiyah.

Prinsip yang dibawa oleh organisasi ini juga banyak terinspirasi dari pemahaman yang dikembangkan

oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyīd Riḍa di Mesir. Baca: Abdul Aziz Bin Fauzi,

Dinamika Gerakan Al-Irsyad dalam Mempengaruhi Perubahan Sosial Warga Keturunan Arab

Kampong Ampel Surabaya Utara, dalam AntroUnairDotNet, Volume 2 No. 2, No 1, Januari-Februari

2013, h. 233. Sebagai perbandingan, baca: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-

1942 (Jakarta: LP3ES,1980) , h.73. 24

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 20.

Page 69: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

55

saudaranya Teungku Luthan, Uleebalang Krueng Mane ia berhasil mendirikan

madrasah yang ia namai Al-Huda.25

Namun lagi-lagi madrasah Al-Huda juga harus mengalami nasib yang sama

dengan madrasah Al-Irsyad. Usia madrasah ini hanya seumur jagung karena terjadi

perselisihan dan persaingan antara kakak-beradik Teungku Ubit dan Tengku Luthan.

Sengketa ini membuat Madrasah Al-Huda tidak mendapat izin dari penguasa

setempat. Akhirnya madrasah inipun harus ditutup dan dicabut izinnya berdasarkan

Ordanansi Guru tahun 1905 No. 550 yang diperbaharui pada tahun 1925. Setelah

kejadian ini Hasbi memutuskan pulang ke Lhokseumawe. Tidak berkelang lama, ia

kemudian memulai kehidupan yang baru di Kutaraja. Kepindahaannya ke Kutaraja

sebenarnya bukan murni keinginannya. Tapi dilatarbelakangi oleh protes dan reaksi

para tokoh masyarakat terhadap bukunya yang berjudul Penoetoep Moeloet.26

Sepertinya dimanapun Hasbi berada, keinginannya untuk menebar ilmu

tetaplah sama. Di Kutaraja ia juga meniti karirnya sebagai seorang guru. Ia menjadi

pengajar di beberapa tempat kursus yang dikelola oleh JIBDA (Yong Islamieten Bon

Daerah Aceh). Ia juga menjadi pengajar di sekolah HIS dan MULO

Muhammadiyah.pada tahun 1937 ia diminta untuk mengajar di Jadam Montasik.

Kemudian pada tahun 1941 ia menjadi pendidik sekaligus pembina di Ma‟had Imanul

Mukhlis atau MIM (Ma‟had Iskandar Muda) di Lampaku. Setelah beberapa tahun di

Kutaraja, Hasbi kembali lagi ke Lhokseumawe. Di Lhokseumawe ia mendirikan

sebuah dayah di samping rumahnnya sebagai tempat untuk memberi pengajaran

tentang Islam setiap usai shalat Subuh dan Magrib. Setahun sebelum

keberangkatannya ke Yogyakarta atau pada tahun 1948, ia diminta oleh Bupati Aceh

Utara untuk mengajar dan menjadi Pimpinan di Sekolah Menengah Islam (SMI) di

Lhokseumawe.27

25

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 21. 26

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 21. 27

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 25-26.

Page 70: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

56

Pada tanggal 20-25 Desember 1949 Hasbi bertolak ke Yogyakarta untuk

menghadiri KMI (Kongres Muslimin Indonesia) ke XV.28

Sepulang dari acara

tersebut, ia mendapat tawaran dari Menteri Agama, KH Wahid Hasyim untuk

menjadi salah satu tenaga Pengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri

(PTAIN). Dalam menanggapi tawaran ini, pada awalnya ia masih ragu. Pada satu sisi

ia bahagia karena ilmunya akan digunai dan mendapat penghargaan, pada sisi yang

lain ia ragu karena membayangkan kesulitan-kesulitan yang akan ia hadapi. Ia

khawatir akankah nanti ia bisa menghidupi keluarganya di Yogyakarta. Namun

karena semangatnya untuk mengabdi sangat besar, keraguan tersebut segera ia tepis

dan meyakinkan pilihannya. Maka pada bulan Januari 1951, dengan membawa anak

dan istrinya Hasbi pun berangkat ke Yogyakarta.

Setapak demi setapak jalan karir ia lalui. Pada awalnya ia hanya menjadi

tenaga pengajar biasa, kemudian naik ke jabatan direktur. Tidak berkelang lama, ia

dipercayai untuk memegang matakuliah Hadis. Pada tahun 1960 PTAIN beralih

menjadi IAIN, oleh keputusan Menteri Agama No. 35 Hasbi pun diangkat menjadi

Dekan Fakultas Syari‟ah. Ia menduduki jabatan ini selama 12 tahun, hingga tahun

1972. Pada waktu bersamaan, Hasbi juga diminta oleh Kolonel Syammun Gaharu

(Panglima Kodam I/Iskandar Muda) dan Ali Hasjmy (Gubernur Provinsi Daerah

Istimewa Aceh) untuk menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di Darussalam Aceh yang

berinduk ke IAIN Yogyakarta. Jabatan rangkap ini ia jalani selama kurang lebih dua

tahun, yaitu dari September 1960 sampai 12 Desember 1962.

Pada tahun 1963-1966 Hasbi menjadi Pembantu Rektor III di samping

menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di IAIN Yogyakarta. Di samping menjadi Dekan

dan juga Pembantu Rektor III, ia mengajar di berbagai Perguruan Tinggi Swasta. Ia

mengajar di UII (Universitas Islam Indonesia) dari tahun 1964. Ia juga mengajar dan

sekaligus menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di Unnissula (Universitas Islam Sultan

Agung) di Semarang dari tahun 1967 sampai wafatnya pada tahun 1975. Pada tahun

28

Pada acara Kongres tersebut Hasbi hadir sebagai perwakilan Muhammadiyah. Ia

menyampaikan sebuah makalah berjudul “Pedoman Perjuangan Islam Mengenai Sosial Kenegaraan.

Lihat: Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,”

Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96.

Page 71: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

57

1961 sampai tahun 1971, Hasbi menjabat sebagai rektor Universitas Al-Irsyad

Surakarta, dan rektor di Universitas Cokroaminoto yang awalnya adalah Akademi

Agama Islam (AAI) Surakarta.29

Hasbi mengabdikan dirinya untuk mengajar di berbagai lembaga pendidikan

dalam waktu yang cukup lama. Namun, kontribusinya yang paling menonjol adalah

ketika menetap di Yogyakarta. Dalam proses belajar mengajar Hasbi menggunakan

metode dialogis atau diskusi. Dalam berpendapat dan menjawab pertanyaan dari

murid-muridnya, ia juga bersikap bijaksana. Ia tidak serta-merta menolak atau

mengesampingkan pendapat yang berbeda dengannya. Namun terlebih dahulu di

komparasikan, ditarjih, baru kemudian memilih pendapat yang terkuat. Hal ini

berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Nourouzzaman Shiddiqi kepada

beberapa murid-murid Hasbi.30

3. Karya-karya

Sebuah karya akan abadi meskipun tangan yang menulisnya telah tiada. Para

ulama, tokoh agama dan ilmuan sekalipun tentu ingin mengabadikan tulisannya

dalam bentuk buku, tidak ubahnya dengan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia tergolong

ulama yang produktif dalam berkarya dan sudah mulai menulis dari tahun 1930.

Karya tulis pertamanya adalah sebuah booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet.

Pada tahun 1933 ia menulis artikel di Soeara Atjeh. Begitupun pada beberapa tahun

setelahnya ia masih giat menulis, bahkan pada 1937 ia menjadi pemimpin redaksi

sekaligus penulis sejumlah artikel majalah bulanan edisi Fiqih Islami Al-Ahkam. Pada

tahun 1939-1940 ia menjadi penulis tetap di majalah bulanan seperti Pedoman Islam

dan Pandji Islam yang diterbitkan di Medan.31

Sepanjang karir intelektualnya, ia

telah menghasilkan 72 judul buku yang mencakup di dalamnya 142 jilid. Dari 72

buah buku yang ia tulis, 36 di antaranya merupakan buku fiqih, 6 judul buku dalam

bidang ilmu Al-Quran dan tafsir, 8 judul buku dalam bidang hadis, 5 judul buku

29

Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an, h. 205. 30

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 31. 31

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 53-55.

Page 72: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

58

dalam bidang tauhid atau ilmu kalam dan 17 judul yang lain merupakan buku-buku

dalam bidang Islam secara umum.32

Berikut rincian dari karya-karya Hasbi. Dalam bidang Tafsir dan Ilmu Al-

Qur‟an ia menulis enam judul buku: 1) Beberapa Rangkaian Ajat, diterbitkan oleh

Penerbit Al-Ma‟arif Bandung dan berisi 44 halaman; 2) Sejarah dan Pengantar Ilmu

Al-Qur‟an/Tafsir, diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang di Jakarta dan berisi 308

halaman. Buku ini sudah dicetak beberapa kali, yaitu pada tahun 1954, 1955, 1961,

1965, 1972, 1974 1977 dan 1980; 3) Tafsir Al-Qur‟an Majied (An-Nur)33

, pertama

kali diterbitkan pada tahun 1956 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta; 4) Tafsir al-

Bayān 2 jilid berisi 1647 halaman, diterbitkan pertama kali pada tahun 1966 oleh

Penerbit Al-Ma‟arif Bandung; 5) Mu‟djizat Al-Qur‟an, 56 halaman, diterbitkan oleh

Penerbit Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1966; 6) Ilmu-ilmu Al-Qur‟an Media

Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur‟an, 319 halaman, diterbitkan oleh Bulan Bintang

Jakarta pada tahun 1972.34

Dalam bidang hadis Hasbi menulis delapan judul buku, di antaranya adalah:

1) Beberapa Rangkuman Hadis, 45 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Al-Ma‟arif

Bandung pada tahun 1952; 2) Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 420 halaman,

diterbitkan pertama kali pada tahun 1954 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta dan

hingga saat ini masih terus dicetak; 3) 2002 Mutiara Hadis,35

8 jilid, diterbitkan

32

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 265. 33

Tafsir An-Nur merupakan salah satu karya fenomenal dalam bidang tafsir di Indonesia.

Tafsir ini ditulis oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy selama kurang lebih 10 tahun, yaitu dari tahun 1952-

1961 dikala ia sedang sibuk menjadi tenaga pengajar dan terlibat dalam aktifitas-aktifitas ilmiah di

Yogyakarta. Di antara hal yang melatarbelakangi Hasbi tergerak untuk menulis tafsir ini adalah karena

ia merasa perlu adanya penafsiran Al-Qur‟an dalam Bahasa Indonesia agar masyarakat yang tidak

mengerti Bahasa Arab bisa memahami Al-Qur‟an dengan mudah dan praktis. Lihat: T.M. Hasbi Ash-

Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur, Jilid I (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. xi.

Tafsir An-Nur juga merupakan kitab tafsir pertama yang diterbitkan di Indonesia, menjadikannya

sebagai pelopor dan pencetus di khazanah perpustakaan tanah air. Sumber:

www.referensiagama.blogsspot.com/2011/01/tafsir-nur-karya-prof-dr-hasbi-al-html?m=1,diakses pada

12 Mei 2019 pukul 24.45 WIB. 34

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 265. 35

Buku 2002 Mutiara Hadis merupakan karya Hasbi dalam bidang syarah hadis. Buku yang

terdiri dari 8 jilid ini ditulis dalam Bahasa Indonesia dan merupakan salah satu pelopor buku tentang

syarah hadis yang penulisannya dalam Bahasa Indonesia. Karena pada masa-masa sebelumnya,

penulisan kitab syarah hadis oleh ulama Indonesia masih menggunakan Bahasa Arab, seperti Tanqih

al-Qaul al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadis karya Nawawi al-Bantani (1815-1897), Al-Khil‟ah al-

Page 73: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

59

pertama kali pada tahun 1954 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta. Tiap-tiap jilidnya

dicetak pada tahun yang berbeda, Jilid I (1954, 1955, 1961, 1975), Jilid II (1956,

1975, 1981), Jilid III (1962, 1977), Jilid IV-V (1977), Jilid VI (1979), Jilid VII

(1980). Sedangkan untuk jilid ke-delapan belum diterbitkan; 4) Pokok-pokok Ilmu

Dirayah Hadis, 2 jilid, diterbitkan pertama kali pada tahun 1958 oleh Penerbit Bulan

Bintang Jakarta; 5) Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, 63

halaman, diterbitkan pada 1964 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta; 6) Koleksi

Hadis-hadis Hukum, 11 jilid, pertama kali dicetak pada tahun 1970 oleh Penerbit Al-

Ma‟arif Bandung; 7) Ridjalul Hadis, 187 halaman, diterbitkan pada tahun 1970 oleh

Penerbit Matahari Masa Yogyakarta; 8) Sejarah Perkembangan Hadis, 187 halaman,

diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1973.36

Pada bidang fiqih, Hasbi menulis beberapa buku sebagai berikut: 1) Sedjarah

Peradilan Islam, 92 halaman; 2) Tuntunan Qurban, 68 halaman; 3) Pedoman Shalat,

520 halaman; 4) Hukum-hukum Fiqh Islam, 677 halaman; 5) Pengantar Hukum

Islam, 2 jilid; 6) Pedoman Zakat, 316 halaman; 7) Al-Ahkam (Pedoman Muslimin),

240-250 halaman, 8) Pedoman Puasa, 384 halaman; 9) Kuliah Ibadah, 272 halaman;

10) Pemindahan Darah (Blood Transfusion) Dipandang dari Sudut Hukum Agama

Islam, 25 halaman; 11) Ichtisar Tuntunan Zakat dan Fitrah, 64 halaman; 12) Sjari‟at

Islam Mendjawab Tantangan Zaman 46 halaman; 13) Peradilan dan Hukum Acara

Islam 46 halaman; 14) Poligami Menurut Sjari‟at Islam, 40 halaman; 15) Pengantar

Ilmu Fiqh, 227 halaman; 16) Baital Mal Sumber-sumber dan Penggunaan Keuangan

Negara Menurut Adjaran Islam, 48 halaman; 17) Zakat sebagai Salah Satu Unsur

Pembina Masjarakat Sedjahtera, 71 halaman; 18) Asas-asas Hukum Tatanegara

Menurut Sjari‟at Islam, 88 halaman; 19) Sedjarah Pertumbuhan dan Perkembangan

Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah karya Mahmud al-Tarmasi (1868-1920), Risalah Ahl al-

Sunnah wa al-Jama‟ah karya Hasyim Asy‟ari (1871-1947) dan Al-Tabyin al-Rawi Syarah Arba‟in

Nawawi karya Muhammad Kasyful Anwar (1887-1940). Motif Hasbi menulis syarah hadis dalam

bahasa lokal masih sama dengan latarbelakangnya ketika menulis kitab tafsir An-Nur (30 jilid) dalam

Bahasa Indonesia. Menurutnya, untuk memahamkan masyarakat Indonesia tentang ajaran Islam, maka

langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan menyajikan buku-buku tentang Islam dengan

bahasa yang mudah dimengerti. Lihat: Noer Chalida, “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis,”

Al-Hikmah 5, No. 2 (Oktober 2017): h. 90. 36

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 266-268.

Page 74: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

60

Hukum Islam, 292 halaman; 20) Hukum antar Golongan dalam Fiqh Islam, 163

halaman; 21) Perbedaan Mathla‟ Tidak Mengharuskan Kita Berlainan pada Memulai

Puasa, 35 halaman; 22) Ushul Fiqh (Sekitar Ijtihad Bir Ra‟ji dan Djalan-djalannya,

32 halaman; 23) Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, 139 halaman; 24) Beberapa

Problematika Hukum Islam, 40 halaman; 25) Kumpulan Soal Jawab, 108 halaman;

26) Pidana Mati dalam Sjari‟at Islam, 40 halaman; 27) Sebab-sebab Perbedaan

Faham para Ulama dalam Menetapkan Hukum Islam, 19 halaman; 28) Pokok-pokok

Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam, 336 halaman; 29)

Pengantar Fiqh Mu‟amalah Serie I, 215 halaman; 30) Fakta-fakta Keagungan

Syari‟at Islam, 54 halaman; 31) Falsafah Hukum Islam, 488 halaman; 32) Fiqh Islam

Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, 168 halaman; 33) Pengantar

Ilmu Perbandingan Madzhab, 92 halaman; 34) Ruang Lingkup Ijtihad Para Ulama

dalam Membina Hukum Islam, 40 halaman; 35) Dinamika dan Elastisitas Hukum

Islam, 40 halaman dan 36) Pedoman Haji, 262 halaman.37

Karya tulis Hasbi dalam bidang Tauhid/Kalam tercatat sebanyak lima judul

buku, antara lain: 1) Peladjaran Tauhid, 56 halaman, terbit pada tahun 1954; 2)

Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, 208 halaman, terbit pada tahun 1973; 3)

Fungsi Akidah dalam Kehidupan Manusia dan Perpautannya dengan Agama, terbit

pada tahun 1973; 4) Studi Aqidah Islam, 52 halaman, terbit pada tahun 1974 dan 5)

Hakikat Islam dan Unsur-unsur Agama, 117 halaman, terbit pada tahun 1977.

Selain menulis buku-buku seputar tafsir, hadis, fiqh dan kalam, Hasbi juga

menulis buku-buku tentang pengetahuan Islam yang umum, di antaranya adalah: 1)

Al-Islam, 2 jilid, terbit pertama kali tahun 1950; 2) Pedoman Berumah Tangga, terbit

tahun 1950 dan sudah dicetak sebanyak lima kali; 3) Sejarah Peradilan Islam, terbit

tahun 1952; 4) Dasar-dasar Ideologi Islam, terbit tahun 1953; 5) Sedjarah Islam,

Pemerintahan Amawijah Timur, terbit tahun 1953; 6) Sedjarah Islam Pemerintahan

Abbasiyah, terbit tahun 1953; 7) Peladjaran Sendi Islam, 67 halaman; 8) Sedjarah

dan Perdjuangan 40 Pahlawan Utama dalam Islam, terbit tahun 1955; 9) Dasar-

dasar Kehakiman dalam Pemerintahan Islam, terbit tahun 1955; 10) Pedoman Dzikir

37

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 268-273.

Page 75: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

61

dan Do‟a, terbit pertama kali tahun 1951; 11) Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah,

128 halaman; 12) Lembaga Pribadi, terbit tahun 1956; 13) Ulum al-Lisan al-Arabi

(Ilmu-ilmu Bahasa Arab), tiga jilid, terbit tahun 1967; 14) Problematika Bulan

Ramadhan, 59 halaman; 15) Lapangan Perjoangan Wanita Islam, 40 halaman; 16)

Problematika Idul Fitri, 34 halaman dan 17) Gubahan Dzikir dan Do‟a, Istimewa

dalam Pelaksanaan Ibadah Haji, terbit tahun 1975.38

Karya tulis Hasbi tidak semuanya ia bukukan, sebagian darinya berbentuk

artikel yang terbit dalam majalah-majalah dan jurnal.39

Artikel yang ia tulis mencapai

50 judul, antara lain: Ilmoe Moeshathalah Ahli Hadits (1940), Sejarah Hadis-hadis

Tasjri (1940), Dewan Tafsir (1940), Hoekoemnja Perempoean Keloear ke Tanah

Lapang Boeat Mengerdjakan Sembhjang Hari Raya atau Mendengarkan Choetbah

(1940), Islam Memboetoehi Pemoeda (1940), Pandoe Moeslimin: Moeda Pahlawan

Empat Poeloeh (1940), Mengoepas Faham Soekarno tentang Memoedakan

Pengertian Islam, Kewadjiban Kembali kepada Al-Qur‟an dan as-Soenah, Imam dan

Islam, Choetbah Idul Adha, Maulid Nabi Sepanjang Ilmoe Fiqih dan Tarich,

Me‟moedahkan Pengertian Islam, Maksoed-maksoed dan Toejoean Islam, Poeasa

Ramadhan dan Toejoean al-Qur‟an, Toentoenan Berhari Raja Menoeroet Agama

Islam, Menghidupkan Hukum Islam dalam Masjarakat (1948), Tugas Hidup Pribadi

Muslim terhadap Dirinja (1951), Status Aqiedah dalam Agama Islam (1952), Hukum-

hukum Penjembelihan Qurban (1952), Kembali kepada Sunnah Dasar Persatuan

Ummat yang Kokoh (1952), Dasar-dasar Pokok Hukum Islam (!954), Perguruan

Tinggi dan Masjarakat (1955), Apa Sebenarnya Hukum Islam Itu (1956),

Pemeliharaan Anak-anak Jatim dalam Islam, Menghadapi Bulan Rajab: Bulan

Sembahjang dan Rahasia-rahasia jang Terpendam di Dalamja (1966), Apa Hukumja

Membatasi Kelahiran Ditinjau dari Segi Hukum Sjara (1967), Kedudukan Keadilan

38

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 274-276. 39

Beberapa jurnal yang menerbitkan tulisan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy di antaranya adalah

Jurnal Pedoman Islam (4 judul), Jurnal Aliran Moeda (1 judul), Jurnal Lasjkar Islam (3 judul), Jurnal

Pandji Islam (7 judul), Jurnal Aliran Islam (2 judul), Jurnal Hikmah (6 judul), Jurnal Asj‟Sjir‟ah:

Gema Fakultas Sjari‟ah (6 judul), Jurnal Sinar Darussalam (3 judul), Jurnal Suara Muhammadijah (9

juduul), Jurnal Al-Djami‟ah (4 judul) dan Jurnal Panji Masyarakat (2 judul). Selebihnya artikel yang ia

tulis terbit di dalam majalah bulanan.

Page 76: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

62

dalam Pembangunan Masjarakat (1967), Fiqih Islam; Fakta-fakta Keistimewaannya

(1967), Hadits-hadits Ihja‟ Ulumuddin Ditinjau dari Ilmu Djarhi wa Ta‟dil (1968 dan

1969), Ulama dan Sardjana (1971), Hari Hidjrah adalah Titik Tolak Sedjarah Baru

(1968), Hukum Pidana Mati dalam Sjariat Islam (1968), Sekelumit Pembahasan

tentang Ilmu Qiraat dan Kepentingannja (1970), Muhammad Rasulullah SAW

(1969), Seljang Pandang tentang Nikah dan Talak dalam Sjariat Islam (1970),

Menjingkap Falsafah Rahasia Isra‟ dan Mi‟radj (1970), Malam Nishfu Sja‟ban

Wadjar Diperingati Sebagai Malam Pergantian Qiblat (1970), Tilawatil Qur‟an dan

Hukum Memusabaqahkannja (1971), Beberapa Masalah di Sekitar Puasa Ramadlan

(1973), Masalah Lailatul Qadr dan I‟tikaf (1973), Mengarahkan Pandangan pada

Ru‟yah Makkah Tidak Menimbulkan Problem Negatif (1973), Zakat Sebagai Salah

Satu Unsur Pembina Masjarakat Sedjahtera (!969), Dinamika dan Elastisitas Hukum

Islam (1973), Mengapa Saya Menyalahi Jumhur dan Mewajibkan Jum‟at Juga atas

Orang yang Tidak ke Mesjid (1974), Data-data Keuniversalan Syariat Islam (1975),

Tugas Para Ulama Sekarang dalam Memelihara dan Mengembangkan Qur‟an,

Hadits dan Fiqh dalam Generasi yang Sedang Berkembang (1973), Beberapa

Problematika Hukum Islam (1973), dan Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan oleh Para

Pembina Hukum Islam (1975).40

Orang bijak mengatakan, “Jika kamu ingin menjadi pembicara yang baik

maka banyak-banyaklah mendengar. Jika kamu ingin menjadi penulis yang handal

maka banyak-banyaklah membaca.” Hal ini sangat sesuai dengan perjuangan Hasbi

yang dengan ketekunannya dalam membaca, ia berhasil melahirkan karya tulis yang

sangat banyak dan diakui oleh publik. Hasbi juga menerima tanda penghargaan

sebagai salah seorang dari sepuluh penulis terkemuka di Indonesia pada tahun

1957/1958.41

40

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 276-281. 41

Andi Miswar, “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid “Al-Nūr” Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy:

Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara,” Adabiyah, XV, No. 1 (2015):

h. 85.

Page 77: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

63

B. Sumbangsih Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Islam

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy telah memulai aktifitas belajar dan mengajar dari

usia muda. Seiring dengan proses tersebut, ia juga muncul sebagai tokoh masyarakat

yang banyak memberikan pencerahan berupa ceramah agama dan kajian ke-Islaman.

Pada periode awal dakwahnya ia membawa tema pokok seperti Iman, Islam dan

Ihsan. Tema-tema tersebut menjadi lebih mendalam sejak ia bertemu dengan para

tokoh pembaharu dan menyerap pemikiran-pemikiran mereka. Ia mulai berdakwah

dengan tema-tema tajdīd (pembaharuan) seperti pemberantasan terhadap bid‟ah dan

khurafat,42

serta mengkritik praktek ushalli,43

talqin,44

kenduri atas kematian, amalan

membakar kemenyan ketika berdoa dan ziarah ke makam wali untuk membuat

permohonan. Kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh Hasbi tergolong keras, sehingga

respon yang ia terima dari masyarakat yang ingin mempertahankan tradisi-tradisi

tersebut juga sama kerasnya dengan kritikan yang ia berikan.45

Namun penolakan dan respon kurang baik yang diterima tidak berpengaruh

sedikitpun terhadap Hasbi. Ia tetap melanjutkan misinya untuk mengajarkan Islam

yang benar dan lurus kepada masyarakat di Indonesia. Tidak hanya dengan

memberikan dakwah dan ceramah secara langsung, ia juga menulis sekian banyak

buku dalam berbagai tema, seperti hadis, tafsir dan fikih. Sehingga dengan hal ini ia

tidak hanya dikenal sebagai seorang da‟i, namun juga akademisi yang mahir dalam

42

Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,”

Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96. 43

Usalli adalah melafalkan niat saat akan melaksanakan shalat. Sebenarnya hal ini sudah

menjadi topik perbincangan ulama-ulama terdahulu, seperti halnya imam empat mazhab. Menurut

kesepatakan pengikut mazhab Imam Syafi‟i (Syafi‟iyah) dan Imam Hanbal (Hanabilah) membaca niat

sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan para pengikut Imam Malik (Malikiyah) dan Imam Abu

Hanifah (Hanafiyah) mengatakan bahwa hal tersebut tidak disyari‟atkan kecuali bagi orang-orang yang

sering ragu dan was-was hatinya (mengenai apakah ia sudah berniat atau belum). Ini membuktikan

bahwa masalah tentang melafalkan niat sebelum shalat bukanlah hal yang baru. Namun karena hal

tersebut merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat (melafalkan niat), jadi

mereka sedikit terkejut ketika Hasbi mengemukakan kritikannya. 44

Talqin adalah membisikkan (menyebutkan) kalimat syahadat dekat orang yang akan

meninggal atau dalam bentuk doa untuk mayat yang baru dikuburkan. Lihat: Depdiknas, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, T.t), h. 996. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa talqin ada

dua macam, yaitu talqin sebelum meninggal dan talqin sesudah mayat dikuburkan. Yang dikritik oleh

Hasbi adalah praktek talqin yang kedua. 45

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 17.

Page 78: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

64

banyak bidang keilmuan. Pada kalangan pengkaji hadis Hasbi lebih dikenal sebagai

tokoh hadis, demikian pula halnya pada kalangan pengkaji al-Qur‟an dan fiqih ia

lebih dikenal sebagai tokoh tafsir dan fiqih. Adapun kajian lebih lanjut mengenai

pemikiran Hasbi dalam beberapa bidang ilmu ini akan dijelaskan pada pembahasan

selanjutnya.

1. Bidang Tafsir

Sepanjang riwayat hidupnya, Hasbi menghasilkan dua tafsir yang dinamai

dengan Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur dan Tafsir al-Bayan. Tafsir al-Qur‟an al-

Majid al-Nur atau lebih sering disebut dengan Tafsir al-Nur pertama kali diterbitkan

pada tahun 1956 dan menyusul cetakan kedua pada tahun 1965. Tafsir ini terdiri dari

sepuluh jilid ditulis dalam bahasa latin ejaan lama.46

Adapun Tafsir al-Bayan pertama

kali dicetak pada tahun 1966 dan dicetak kembali pada tahun 2002 karena besarnya

permintaan dari masyarakat. Tafsir ini terdiri dari dua jilid dan pada tiap jilidnya

berisi lima belas juz. Pada kata pengantar Tafsir al-Bayan, Hasbi menjelaskan bahwa

yang melatarbelakanginya menulis Tafsir al-Bayan adalah karena ia menyadari ada

hal-hal yang terlewatkan dan belum ia jelaskan secara rinci dalam Tafsir al-Nur.47

Sehingga ia berkeinginan untuk mengembangkan dan menyempurnakan karya

tafsirnya dengan menjelaskan lafaz-lafaz ayat secara lebih mendalam.48

Sebagai contoh adalah, kata alīf lām mīm pada QS. al-Baqarah: 2 di dalam

Tafsir al-Nur hanya ditafsirkan oleh Hasbi dengan “Allah lebih mengetahui

maksudnya.” Sedangkan di dalam tafsir al-Bayan, ia tafsirkan dengan, “Para

mufassirīn mempunyai beberapa pendapat dalam memaknakan alīf lām mīm. Lafaz

ini mutasyābih dan diletakkan pada permulaan surat untuk menarik perhatian

pendengar dan untuk mengisyaratkan bahwa al-Qur‟an tersusun dari huruf-huruf,

46

Andi Miswar, “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid „Al-Nur‟ Karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy:

Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara,” Adabiyah 15, No. 1 (2015): h.

86. 47

Sulaiman Ibrahim, “Khazanah Tafsir Nusantara: Telaah atas Tafsir al-Bayan Karya T.M.

Hasbi Ash-Shiddieqy,” Farabi” Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18, No. 2

(Desember 2018): h. 107-108. 48

Lihat “Pembuka Kata” dalam T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Bayan, Vol. I, Edisi II

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. xi.

Page 79: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

65

yang dari huruf-huruf tersebutlah orang Arab menyusun perkataannya. Maka mereka

tidak akan sanggup menandinginya dan nyatalah bahwa al-Qur‟an bukan perkataan

manusia.” Maka dari sampel ini jelaslah bahwa Hasbi berupaya untuk

mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara lebih mendalam di

dalam Tafsir al-Bayan.49

Di samping Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan, Hasbi juga menulis beberapa

judul buku dalam bidang Tafsir dan Ilmu Al-Qur‟an, seperti Beberapa Rangkaian

Ajat, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir, Mu‟djizat Al-Qur‟an dan Ilmu-

ilmu Al-Qur‟an Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur‟an. Di antara semua

karyanya dalam bidang ini, Tafsir al-Nur merupakan yang paling awal ditulis dan

tercatat sebagai kitab tafsir berbahasa Indonesia pertama yang diterbitkan di

Indonesia dan tentu saja ini merupakan sebuah pencapaian yang besar bagi Hasbi.50

Hadirnya kitab tafsir yang ditulisnya ini, telah membawa perubahan di Indonesia

terutama bagi masyarakat yang sangat membutuhkan penjelasan terhadap ayat-ayat

al-Qur‟an dalam bahasa Indonesia sehingga dapat dengan mudah dipahami.

Sebenarnya jauh sebelum itu, pada abad ke-17 sudah hadir sebuah kitab tafsir yang

ditulis oleh ulama Indonesia, yaitu Tarjumān al-Mustafīd karya Abdurrauf Singkili,

namun kitab ini ditulis dalam bahasa lokal Melayu dengan aksara Arab (Jawa).51

Selain dengan menulis tafsir berbahasa lokal, langkah yang juga ditempuh

oleh Hasbi untuk mengembangkan kajian tafsir di Indonesia adalah menerapkan

metodologi dan corak yang sangat memungkinkan untuk dapat dipahami dengan

mudah oleh masyarakat. Dalam penulisan tafsirnya, Hasbi menggunakan metode

tahlili dan maudhū‟i. Metode tahlili yang ia gunakan terlihat dari upayanya

menganalisa dan menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek. Sedangkan

49

Ibrahim, “Khazanah Tafsir Nusantara: Telaah atas Tafsir al-Bayan Karya T.M. Hasbi Ash-

Shiddieqy,” 107-108. 50

Pada pertengahan abad ke-20, di samping hadirnya Tafsir al-Nur dan al-Bayan, juga

dikenal Tafsir al-Azhar yang diselesaikan oleh Hamka pada tahun 1966 disaat ia menjadi tahanan

pada masa pemerintahan orde lama. Lihat: Arivaie Rahman, “Al-Fatihah dalam Perspektif Mufasir

Nusantara: Studi Komparatif Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur dan Tafsir al-Azhar,” Journal of

Contemporary Islam and Muslim Societies 2, No. 1 (Januari-Juni 2018), h. 8-9. 51

Arivaie Rahman, “Tafsir Tarjumān al-Mustafīd Karya Abd al-Rauf Al-Fanshuri: DIskursus

Biografi, Kontestasi, Politis-Teologis dan Metodologi Tafsir,” Miqot 42, No. 1 (Januari-Juni 2018): h.

3.

Page 80: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

66

metode maudhū‟i tergambar dari caranya mengelompokkan ayat-ayat ke dalam satu

tema sentral. Adapun tafsir Hasbi sangat kental dengan corak fikih. Terutama pada

ayat-ayat ahkām, ia akan lebih menonjolkan sisi hukum yang terkandung di

dalamnya. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, karena Hasbi menghasilkan lebih

dari 30 judul entri dalam bidang fikih, menunjukkan bahwa ia merupakan pakar

dalam bidang tersebut.

Dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an, sumber yang dipakai oleh Hasbi adalah

dalil naqli dan ijtihad, sehingga tafsirnya merupakan campuran dari tafsir bi al-

ma‟tsūr dan tafsir bi al-ra‟yi. Digolongkan sebagai tafsir bi al-ma‟tsūr karena dalam

menafirkan al-Qur‟an Hasbi bersandar pada nash al-Qur‟an, hadis dan riwayat dari

sahabat. Di samping itu, ia juga berpedoman pada kitab tafsir klasik seperti Tafsir al-

Qur‟an al-Adzīm karya Ibnu Katsīr (w. 774 H) dan Tafsir Jamī‟ al-Bayān karya Ibnu

Jarīr al-Ṯabary (w. 310 H). Adapun disebut sebagai tafsir bi al-ra‟yi karena Hasbi

menggunakan penalaran dan ijtihad dalam menafsirkan ayat.

Tafsir yang ditulis oleh Hasbi juga memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri,

yaitu berupaya untuk menyesuaikan maksud ayat dengan realita sosial yang

berkembang di masyarakat. Salah satu contohnya adalah penafsiran Hasbi terhadap

ayat tentang perintah mengenakan jilbab. Di dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 59

disebutkan:

وب ناتك ونساء المؤمنني يدنني عليهن من جلبيبهن ذلك أدن أن ي عرفن فل النب قل لزواجك يا أي ها .رحيما غفورا اللو وكان ي ؤذين

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan

isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh

tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena

itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.”

Dalam menafsirkan ayat di atas Hasbi terlebih dahulu menyebutkan asbāb al-

nuzūl-nya yaitu bahwa pada masa Nabi Saw kaum perempuan sering diganggu oleh

sekelompok pemuda, dan mereka juga mengganggu perempuan-perempuan yang

merdeka. Ketika ditanyakan kepada orang-orang tersebut kenapa mereka

Page 81: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

67

mengganggu perempuan yang merdeka, jawaban mereka selalu sama yaitu mereka

menyangka kalau perempuan yang diganggunya adalah budak. Maka turunlah ayat ini

yang menyuruh para perempuan untuk mengenakan jilbab agar mereka mudah

dikenali dan tidak diganggu lagi oleh orang-orang tersebut. Setelah menyajikan latar

belakang dari turunnya ayat tersebut, Hasbi kemudian mengungkapkan bahwa hukum

yang terkandung di dalamnya adalah agar para perempuan berpakaian layak dan

sopan serta menjauhkan diri dari sikap-sikap yang dapat menimbulkan fitnah. Ia tidak

menyebutkan detailnya seperti wajib menutup kepala dan seluruh badan kecuali

telapak tangan dan wajah.52

Menanggapi tafsiran yang dilakukan oleh Hasbi mengenai ayat jilbab ini,

Sudariyah dalam penelitiannya berjudul “Konstruksi Tafsir al-Qur‟anul Majid An-

Nur Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” mengungkapkan bahwa dari penjelasan Hasbi

tampak sekali ia berupaya untuk memahami kondisi sosial dan kemasyarakatan di

Indonesia. Langkah tersebut ditempuh oleh Hasbi dengan tujuan agar tafsirnya lebih

mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Pendapat ini dapat

dipertanggungjawabkan karena jika menelusuri sejarah, memang pada pertengahan

abad ke-20 mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani, baik laki-laki

maupun perempuan. Sehingga jika jilbab dipahami sebagai kain penutup kepala dan

badan, maka akan sedikit menyulitkan para perempuan yang bekerja di sawah atau di

ladang.53

Lebih lanjut, sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan, Hasbi

mempunyai enam judul buku dalam bidang tafsir dan ilmu al-Qur‟an. Jadi pemikiran

serta ide-idenya yang berkaitan dengan tafsir juga dapat ditemukan pada buku-buku

tersebut. Salah satu pemikiran Hasbi yang menarik untuk dikaji adalah tentang naskh

wa mansūkh dalam al-Qur‟an. Menurutnya tidak ada ayat al-Qur‟an yang me-naskh

dan juga tidak ada ayat yang mansukh. Hasbi memandang golongan yang mengatakan

bahwa ada ayat yang mansukh telah bersikap berlebih-lebihan. Yang demikian karena

52

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟an Majid An-Nur (Semarang: Pustaka Rizki

Putera, t.t.), h. 45. 53

Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟an Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,”

Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h, 104.

Page 82: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

68

beberapa alasan, yaitu: a) Mereka menggolongkan ayat-ayat umum yang di-takhsis

sebagai ayat yang mansūkh, padahal makna dan keadaan keduanya berbeda; Sebagian

dari mereka ada yang mengatakan bahwa ayat yang me-naskh dapat di-naskh pula,

seperti ayat ke- 6 surat al-Kāfirūn di-naskh oleh ayat ke- 5 dari surat al-Taubah, dan

kemudian ayat ke- 5 dari surat al-Taubah juga di-naskh oleh ayat ke-29 dari surat al-

Taubah dan c) Mereka membagi naskh kepada tiga, yaitu naskh hukum tidak tilawah,

naskh tilawah tidak hukum dan naskh hukum dan tilawah. Tindakan-tindakan yang

seperti ini tidaklah tepat menurut Hasbi. Lebih Dalam hal ini ia mengatakan,

“Sikap berlebih-lebihan dari sebagian ulama tentang naskh dan mansūkh

kadang-kadang tidak masuk akal. Perlulah diketahui dan dipegangi bahwa

ayat al-Qur‟an smeuanya muhkam, bukan mansūkh, terkecuali jika ada dalil

yang tegas yang menunjukkan kepada ke-mansūkhannya.”54

Adapun yang dimaksud oleh Hasbi dengan “dalil yang tegas” adalah

keterangan dari Rasulullah Saw atau dari sahabat-sahabat beliau yang menyatakan

dengan jelas bahwa sebuah ayat telah di naskh oleh ayat lain. Hasbi juga

menambahkan bahwa dalam perkara naskh tidak dapat berpegang kepada pendapat

ahli-ahli tafsir dan tidak pula dari ijtihad para mujtahid tanpa ada nukilan yang

benar.55

2. Bidang Fiqih

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan perhatian dan keseriusan yang besar

terhadap kajian fikih, terbukti dengan banyaknya karya yang ia hasilkan dalam

bidang tersebut.56

Salah satu pemikirannya yang ia tuangkan di dalam karyanya

adalah tentang sumber hukum dalam Islam yang menurutnya terbagi menjadi dua,

yaitu sumber yang disepakati (al-adillah al-muttafaq „alaihā) dan sumber yang

masih diperdebatkan (al-adillah al-mukhtalaf fīha). Sumber yang disepakati oleh para

54

T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur‟an: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam

Menafsirkan al-Qur‟an, Ed. 3 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 146. 55

Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur‟an: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-

Qur‟an, h. 147. 56

Tercatat bahwa Hasbi menghasilkan tiga puluh enam judul buku dalam bidang fikih

sepanjang hidupnya. Selengkapnya lihat: Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan

Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 268-273.

Page 83: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

69

fuqahā‟ adalah al-Qur‟an, hadis, ijmā‟ dan qiyās. Sedangkan sumber yang masih

diperdebatkan adalah istihsān, maslahah mursalah, „urf, istishāb, sadd al-zarāi‟ dan

mazhab sahabi.57

Namun dari semua sumber tersebut, yang menjadi sumber pokok

adalah al-Qur‟an dan hadis karena selebihnya merupakan kombinasi antara dalil naqli

dan akal manusia. Adapun Hasbi, sebagaimana dijelaskan oleh Nourouzzaman,

menggunakan enam sumber, yaitu empat sumber yang disepakati oleh fuqahā‟

ditambah ra‟yu dan urf.58

Di samping itu, pemikiran dalam bidang fikih yang juga dikembangkan oleh

Hasbi adalah “Fikih Indonesia”, bahkan ini dianggap sebagai tema pokok dari

pemikirannyanya di bidang hukum. Melalui tulisannya yang berjudul

“Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat” Hasbi menuturkan bahwa

eksistensi praktek hukum Islam di Indonesia telah menjadi sesuatu yang asing dan

kehadirannya tidak dianggap lagi disebabkan ketidakmampuannya dalam

mengakomodir tuntutan perubahan zaman. Berangkat dari kenyataan tersebutlah ide

tentang fikih Indonesia lahir dan terus dikembangkan oleh Hasbi. Secara umum, yang

dimaksud dengan fikih Indonesia adalah keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum

Islam pada hakikatnya memberikan ruang gerak yang luas bagi pengembangan

ijtihad-ijtihad baru. Oleh karenanya, menurut Hasbi gerakan penutupan pintu ijtihad

merupakan ide lama yang harus segera ditinggalkan.59

Fikih Indonesia juga dapat didefinisikan sebagai fikih yang ditetapkan sesuai

dengan kepribadian, watak dan tabi‟at Indonesia.60

Dari definisi ini terlihat bahwa

57

MasnunTahir, “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan

Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,” Al-Ahwal 1, No. 1 (2008): h. 133. 58

Ra‟yu yang dimaksud oleh Hasbi meliputi semua upaya ijtihad yang dilakukan oleh ulama,

seperti istihsān, istishāb, syar‟u man qablanā, maslahah mursalah, syadd al-zarāi‟ dan lain

sebagainya. Lihat: Nurouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1997), h. 105-124, dan Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis,

Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 55. 59

Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir

Syadzali,” h. 29-30. 60

Pengembangan fikih dengan jenis ini juga dapat ditemui di berbagai negara, seperti fikih

Hijaz yaitu fikih yang terbentuk atas dasar kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Hijaz, fikih

Mesir yaitu fikih yang terbentuk atas dasar kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Mesir. Lihat:

Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali,” h.

31.

Page 84: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

70

yang ingin disampaikan oleh Hasbi dari ide fikih Indonesia adalah untuk meninjau

dan mempertimbangkan lokalitas masyarakat setempat sebagai bagian dari proses

penetapan hukum, jadi hukum tidak bersifat sempit dan kaku. Karena menurut Hasbi

fikih baru berfungsi dengan baik ketika dapat menyesuaikan dengan kondisi

masyarakat sebagai objek tujuan dari pensyari‟atan hukum itu sendiri.61

Salah satu contoh pengaplikasian fikih Indonesia yang diharapkan oleh Hasbi

adalah dalam masalah zakat. Menurutnya, dalam prosesi pembayaran zakat harus ada

campur tangan dan keterlibatan pemerintah karena satu paket dengan upaya

penyejahteraan kehidupan rakyat. Ia menambahkan, bahwa zakat merupakan ibadah

yang erat kaitannya dengan aktifitas sosial antara si kaya dan si fakir. Oleh karena itu

dalam pandangannya zakat dapat dipungut dari orang-orang non muslim untuk

diserahkan kembali kepada yang membutuhkan dari golongan mereka. Pendapat ini ia

sandarkan pada kebijakan Umar bin al-Khaṯṯāb yang memberikan zakat kepada kafir

zimmi yang renta dan miskin. Umar juga pernah memungut zakat dari kaum Nasrani

Bani Tughlab. Pembayaran zakat model ini ia pandang sangat relevan dengan usaha

pembangunan negara yang membutuhkan banyak modal di samping menyejahterakan

rakyat di Indonesia.62

Poin penting lainnya yang ingin disampaikan oleh Hasbi terkait fikih

Indonesia adalah agar para mujtahid bersikap elastis dan lentur dalam memahami

nash-nash hukum. Sikap ini sudah terlebih dahulu terlihat dari diri Hasbi yang tidak

ingin terpaku pada mazhab tertentu. Jika biasanya ulama hanya berpegang pada satu

mazhab fikih yang diyakininya, berbeda halnya dengan Hasbi yang menerima dan

membuka diri kepada semua aliran mazhab dalam Islam.63

Hal ini sesuai dengan

pengakuannya sendiri, “Kita harus mempelajari fikih tingkat tinggi secara muqaranah

61

Maimun “Fiqih Nusantara: Kontekstualisasi Hukum Islam dalam Pandangan T.M. Hasbi

Ash-Shiddiqi,” Islamuna 3 No. 1 (Juni 2016): h. 30. 62

Maimun “Fiqih Nusantara: Kontekstualisasi Hukum Islam dalam Pandangan T.M. Hasbi

Ash-Shiddiqi,” h. 31. 63

Hasbi menuturkan bahwa dalam menetapkan sebuah hukum harus terlebih dahulu

melepaskan diri dari taklid terhadap mazhab tertentu. Sikap fanatik inilah yang menurutnya menjadi

penghalang bagi lahirnya fikih berkepribadian Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Lihat: Toha

Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali,”

Pengembangan Masyarakat Islam 8, No. 2 (Agustus 2015): h. 31.

Page 85: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

71

dan jangan terbatas dalam mazhab tertentu.”64

Ia menganjurkan para mujtahid untuk

melakukan perbandingan terhadap hukum yang ditetapkan oleh ulama, baik dari

sunni, syi‟ah dan lain-lain.65

Dari beberapa karyanya pun terlihat bahwa ia tidak

hanya mengambil pendapat dari satu imam mazhab saja, ia seringkali mengutip dari

Hanafiyah, namun pada kesempatan lain juga menyandarkan pendapatnya pada

pendapat kelompok Syafi‟iyah, Hanābilah dan Malikiyah.

Lebih lanjut, pemikiran Hasbi sebagai seorang tokoh pembaharu di Indonesia

dengan giat menyuarakan ijtihad kepada umat Islam. Menurutnya, sekalipun nash-

nash al-Qur‟an dan hadis yang shahih dan mutawatir adalah qath‟iyyah al-tsubūt yang

tidak ada keraguan lagi bahwa ia datang dari Allah Swt dan benar-benar dituturkan

oleh Nabi Muhammad Saw, namun tidak semuanya qath‟iyyah al-dalalah. Hal inilah

yang menuntut para ulama untuk melakukan ijtihad dalam rangka menangkap intisari

dan kandungannya secara tepat.66

Di dalam buku-bukunya, Hasbi seringkali

menyinggung tentang ijtihad dan batasan-batasannya. Ia menuturkan, bahwa boleh

saja berijtihad dan menakwilkan nash-nash yang samar maknanya, tapi dengan syarat

tidak boleh lupa dengan akarnya. Sebagai contoh, perbedaan pendapat tentang

membaca basmalah di awal shalat. Boleh saja berbeda pendapat dan berijtihad dalam

perkara ini, namun terlepas dari masalah membaca secara nyaring atau tidak

nyaringnya, tidak boleh menghilangkan hukum asal yaitu kewajiban membaca al-

Fātihah dalam shalat.

3. Bidang Hadis

Hadis merupakan salah satu dari beberapa cabang ilmu yang didalami oleh

Hasbi di samping tafsir dan fikih. Dengan ketekunannya dalam belajar dan membaca,

ia membuktikan bahwa seseorang yang hanya menempuh jalur otodidak pun dapat

menjadi pakar jika ia bersungguh-sungguh. Dalam bidang hadis Hasbi menghasilkan

64

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan

Tuntas (Jakarta: Bulan Bintang, 1975. 65

T.M. Hasbi Ahs-Shiddieqy menulis secara khusus terkait bahasan ini. Di dalam bukunya

tersebut ia menjelaskan tentang sistem dan prinsip hukum yang dipegangi oleh kelompok Sunni dan

Syi‟ah. Selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997). 66

Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 38.

Page 86: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

72

delapan judul buku yang dua di antaranya merupakan syarah atau penjelasan hadis,

sedangkan selebihnya berkenaan dengan ilmu hadis dan sejarah pengantarnya.

Seorang bijak mengatakan bahwa untuk memetakan pemikiran seseorang, dapatlah

dilihat dari karya yang ia hasilkan. Maka untuk membaca dan memetakan pemikiran

Hasbi mengenai hadis Nabi Saw, penulis merujuk kepada beberapa karya tulisnya

dalam bidang terkait. Adapun pembahasan tentang hal ini dikelompokkan menjadi

beberapa bagian, yaitu defenisi hadis dan sunnah, kedudukan sanad dan matan dalam

kajian hadis dan kriteria keshahihan hadis.

a. Definisi Hadis dan Sunnah

Keistimewaaan Islam terletak pada orisinalitas dan otentisitas sumber-sumber

hukumnya. Kaum muslimin telah sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum

kedua setelah al-Qur‟an yang disampaikan melalui metode transmisi (periwayatan)

dan kritik (naqd) dengan kaidah-kaidah tertentu yang menyertainya.67

Dengan

demikian, riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang digolongkan sebagai hadis maqbūl68

dapat dijadikan hujjah dan pedoman yang dipercaya bagi umat Islam. Kehujjahan

hadis tidak hanya dijelaskan dalam al-Qur‟an (QS. Al-Hasyr: 7 dan QS. An-Nisā`:

59), namun juga dari lisan Nabi Muhammad Saw sendiri. Sebagaimana sabda beliau:

حدثنا علي بن حجر حدثنا بقية بن الوليد عن حبري بن سعد عن خالد بن معدان عن عبد الرمحن عن ها العرباض بن عمر السلمي عن سارية قال: وعظنا رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم موعظة وجلت من

ها العي ون، ف قلنا : يا رسول اهلل، كأن ها موعظة مودع، فأوصنا، ق ال : أوصيكم القلوب، وذرفت من ر عليكم بت قوى اهلل عز مع والطاعة وإن تأم عبد، فإنو من يعش منكم فسي رى اختلفا وجل، والس

67

Umma Farida, “Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin

dan Muhadditsin” YUDISIA: Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 6, No. 1 (Juni 2015): h. 237. 68

Hadis maqbūl merupakan hadis yang memenuhi syarat-syarat penerimaannya sehingga

dapat dijadikan sebagai pedoman dan hujjah bagi kaum muslimin. Persyaratan yang dimaksud adalah

ittisāl al-sanad, diriwayatkan dari perawi yang adil dan ḏabīṯ serta tidak syādz dan tidak memiliki

cacat („illat). Ulama membagi hadis maqbūl kepada dua bagian, yaitu shahih dan hasan. Sedangkan

tingkatannya terbagi kepada empat, antara lain shahih li dzātihi, shahih li ghairih, hasan li dzātihi dan

hasan li ghairihi. Lihat: Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus, Ilmu Mustolah Hadith (Jakarta: PT

Hadikarya Agung, 1984), h. 96, dan Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah

Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 116.

Page 87: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

73

واجذ، و ها بالن اكم ومدثات المور، إي كثريا. ف عليكم بسنت وسنة اللفاء الراشدين المهدي ني عضوا علي 69فإن كل بدعة ضللة

“Menceritakan kepada kami Ali bin Hujr, menceritakan kepada kami

Baqiyyah bin al-Walīd bin Sa‟d dari Khālid bin Ma‟dān dari Abdurrahmān dari Amr

al-Sulami dari al-„Irbād bin Sāriyah ia berkata: „Rasulullah shallallahu`alaihi wa

sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata

kami berlinang. Maka kami berkata: Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan

nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat.‟ Rasulullah shallallahu`alaihi wa

sallam bersabda: „Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta‟ala, tunduk

dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang

budak. Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya

perbedaan pendapat. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan

ajaran Khulafā‟ al-Rāsyidīn yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah

dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-

adakan, karena semua perkara bid‟ah adalah sesat‟.”

Potongan hadis yang berbunyi “Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap

ajaranku……gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham” sudah cukup

untuk menunjukkan bahwa hadis dapat dijadikan pedoman bagi kaum muslimin

dalam urusan-urusannya. Di samping itu, juga terdapat sebuah hadis yang

membicarakan hal serupa yaitu, “Sungguh telah aku tinggalkan dua perkara

kepadamu yang kamu tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu

al-Qur‟an dan Sunnah Rasul-Nya.”70

Dua riwayat ini menunjukkan bahwa

kehujjahan hadis sebagai sumber hukum dalam Islam tidak hanya dijelaskan oleh al-

Qur‟an, namun juga dari lisan sang penerima wahyu sendiri, yaitu Nabi Muhammad

Saw.

Adapun terkait definisi, para muhadditsīn mengartikan hadis sebagai segala

sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa ucapan, perbuatan, taqrīr,

sifat atau sirah beliau, sebelum dan sesudah kenabian.71

Sedangkan menurut para

69

Abu Īsa Muhammad bin Saura al-Tirmidzī, Jāmi‟al-Tirmidzī, Hadis No. 2676 (Riyāḏ: Bait

al-Afkār al-Dauliyyah, t.t), h. 433. Lihat juga: Abu Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟āts al-Sijistāni, Sunan

Abī Dāwud, Hadis No. 4607 (Riyāḏ: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, t.t.), h. 504. 70

Mālik bin Anas, Al-Muwaṯṯā`, Ditahqiq oleh Muhammad Musṯafa Al-A‟ẕāmi, Jilid 5, Kitab

al-Jāmi‟, Hadis no. 3338 (Abu Dabi: Mu`assasah Zayed bin Sulṯān, 2004), h. 1323. 71

Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman, Cet-8

(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 22.

Page 88: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

74

usūliyyīn, hadis merupakan segala yang disandarkan kepada Nabi Saw setelah

kenabian. Adapun yang terjadi sebelum kenabian tidak termasuk hadis menurut

mereka, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan sesuatu yang

menjadi konsekuensinya atau yang mempunyai dampak hukum, dan hal ini hanya

dapat terjadi setelah kenabian.72

Menanggapi perbedaan yang dikemukakan oleh para

ulama mengenai definisi hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa hal

tersebut terjadi karena berlainan sudut pandang. Para muhadditsīn membahas pribadi

Nabi Saw sebagai uswah hasanah bagi umat Islam. Oleh sebab itulah mereka pada

umumnya menukil segala sesuatu yang berasal dengan Nabi Saw, dari budi

pekertinya, riwayat perjalanannya, tutur-katanya, keutamaannya, baik yang

berdampak pada hukum syar‟i maupun tidak. Berbeda halnya dengan sudut pandang

para usūliyyīn yang membahas pribadi Nabi Saw sebagai pengatur undang-undang,

sehingga mereka memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan soal penetapan

hukum saja.73

Dalam disiplin „ulūm al-hadīts dikenal beberapa istilah yang disebut-sebut

sebagai murādif dari hadis, yaitu sunnah, khabar dan atsar. Khabar merupakan

bentuk mufrad dari akhbar yang berarti berita (al-nabā`).74

Sedangkan menurut

istilah berarti segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw atau dari selain Nabi Saw

seperti dari sahabat, tābi‟īn, tābi‟ al-tābi‟īn atau yang datang dari siapapun bahkan

orang-orang pada abad ini. Hal ini memberi pengertian bahwa makna khabar lebih

umum daripada hadis, seluruh hadis adalah khabar namun tidak semua khabar adalah

hadis.75

Selanjutnya atsar menurut bahasa al-baqiyyah atau baqiyyah al-saiyk yang

berarti peninggalan atau bekas sesuatu. Sedangkan menurut istilah, ada yang

menyamakannya dengan hadis dan ada juga yang membedakan keduanya dan

72

al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, h. 22. 73

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 2009), h. 13-14. 74

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Cet-2 (Jakarta: Amzah, 2013), h. 10. 75

Amru Abd al-Mun‟im Salīm, Al-Mu‟allim Fī Ma‟rīfah „Ulūm al-Hadīs wa Taṯbīqātihi al-

„Ilmiyyah wa al-„Amaliyyah: Musṯalah al-Hadīs (Riyāḏ: Dār al-Tadmuriyyah, 2005), h. 12.

Page 89: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

75

berpendapat bahwa atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat

(mauqūf) dan tabi‟īn (maqṯū‟).76

Adapun term yang paling sering disandingkan dengan hadis adalah sunnah.

Jika ditinjau dari definisinya menurut bahasa, hadis dan sunnah memiliki makna yang

berbeda. Hadis merupakan bentuk ism dari kata al-tahdīts yang berarti al-ikhbār atau

pemberitaan77

dengan bentuk jamak ahādits78

, sedangkan sunnah menurut bahasa

berarti al-ṯarīqah atau jalan yang dilalui. Jika ditinjau dari segi istilah, sebagian

ulama ada yang menyamakan definisi keduanya dan sebagian yang lain

membedakannya. Para muhadditsīn berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara

hadis dan sunnah kecuali dalam segi etimologi.79

Dalam hal ini, Hasbi tampaknya

kurang sejalan dengan pendapat yang menyatakan hadis dan sunnah memiliki definisi

yang sama.

Menurut Hasbi, hadis dan sunnah merupakan dua term yang berbeda, baik

dari segi bahasa maupun istilah.80

Hadis adalah segala peristiwa yang disandarkan

kepada Nabi Saw, meskipun hanya terjadi sekali sepanjang hidupnya dan walaupun

hanya diriwayatkan dari seorang perawi saja. Sedangkan sunnah merupakan adalah

istilah bagi amaliyah yang mutawātir,81

yaitu cara Nabi Saw melaksanakan suatu

ibadah bersama dengan para sahabat, lalu para sabahat terus melakukannya. Begitu

seterusnya ibadah yang sama juga dilakukan pada masa tābi‟īn, meskipun lafalnya

tidak mutawātir namun cara pelaksanaannya mutawātir. Hal yang ingin ditekankan

oleh Hasbi di sini adalah bahwa sunnah merupakan pelaksanaan yang mutawātir atau

melekat dan terus dilakukan. Maka sekalipun dari segi penukilan redaksinya tidak

76

Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 11. 77

Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 1. 78

Subhi al-Sālih, Ulūm al-Hadīts wa Musṯalahuh (Malaysia: Dār al-Ilm li al-Malāyīn, 1988),

h. 3. 79

Ibnu Nashirudin al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar Klarifikasi Kitab Hadis; Permata Salaf

yang Terpendam, Penerjemah Faisal Saleh (Jakarta: AKBAR Media Eka Sarana, 2008), h. 128. 80

Menurut istilah syara‟, sunnah adalah jalan yang dijalani dalam agama, karena telah biasa

dijalani oleh Rasulullah dan oleh para salaf al-salih setelah wafatnya Rasulullah. Lihat: T.M. Hasbi

Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 29. 81

Istilah mutawatir biasanya selalu dihubungkan dengan proses penyampaian sebuah riwayat.

Adapun yang dimaksud dengan amaliyah mutawātirah adalah amalan-amalan yang dilakukan dari

masa ke masa, sehingga beberapa pihak mungkin memandangnya sebagai sebuah “tradisi” karena terus

berlangsung dan telah mendarah daging di tengah masyarakat.

Page 90: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

76

mutawātir, jika pengamalannya terus-menerus dilakukan dari generasi ke generasi,

hal tersebut tetap digolongkan sebagai sunnah menurut Hasbi.82

Lebih lanjut, menurut Hasbi sesuatu yang ditradisikan dan telah dipraktekkan

umat Islam memiliki nilai mutawātir „amaly. Praktek inilah yang digolongkan

sebagai sunnah mutawātirah, sunnah mutāba‟ah dan sunnah ma‟lūmah. Ia

menambahkan bahwa boleh jadi ada sunnah yang lepas dari rekaman sejarah atau

tidak termaktub di dalam kitab-kitab hadis dalam bentuk tulisan. Meskipun praktek-

praktek keagamaan yang tidak tertera dalam bentuk tulisan, hal tersebut masih

digolongkan sunnah menurut Hasbi.83

Dewasa ini juga dikenal istilah kajian Living

Sunnah atau penelitian terhadap “sunnah yang hidup di tengah-tengah masyarakat.”

Hal ini cukup booming dan bahkan Living Sunnah menjadi salah satu disiplin ilmu

dalam kajian hadis kontemporer yang dijadikan fokus pembahasan di beberapa

Perguruan Tinggi Islam di Indonesia.

Jika selama ini di dalam disiplin ilmu hadis dikenal istilah hadis fi‟li dan hadis

qauli, maka Hasbi pun membagi sunnah kepada dua tipologi, yaitu sunnah fi‟liyah

dan sunnah tarkiyah. Sunnah fi‟liyah merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh

Nabi Saw. Amaliyah Nabi Saw yang mengandung dasar ibadah maka hukumnya

sunnah menurut Hasbi. Sedangkan untuk amaliyah Nabi Saw dan tidak mengandung

unsur ibadah, maka hal tersebut menegaskan kebolehannya saja, dalam artian bahwa

perbuatan tersebut tidak haram jika dilakukan.84

Adapun sunnah tarkiyah merupakan

amalan yang tidak dilakukan oleh Nabi Saw. Maka meninggalkan amalan tersebut

82

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 2009), h. 17-18. 83

Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2009), h. 22. 84

Dalam hal ini Hasbi mengutip beberapa pendapat ulama seperti al-Amidi dan al-Syaukāni.

Menurut al-Amidy, perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Saw bukan atas dasar ibadah dan tidak ada

dalil yang memerintahkan untuk mengerjakannya secara tegas, maka perbuatan tersebut tidak wajib

dan juga tidak sunnah melainkan hanya pertanda bahwa hal tersebut diperbolehkan. Pada sisi lain,

menurut al-Syaukāni perbuatan yang seperti itu sunnah hukumnya. Sebagai contoh adalah pemakaian

jubah yang Nabi Saw memakainya namun tidak beliau mewajibkan umatnya untuk menggunakannya.

Menurut al-Syaukāni jubah itu sunnah sedangkan menurut al-Amidi hal tersebut menjadi tanda bahwa

memakai jubah tidak dilarang oleh Nabi Saw. Dari dua pendapat ulama di atas, Hasbi tampaknya lebih

sepandapat dengan al-Amidi. Lihat: Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 33-34.

Page 91: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

77

dihitung sebagai bentuk ketaatan.85

Namun hal ini tidak serta merta menunjukkan

kalau pengamalan terhadap hal-hal yang ditinggalkan oleh beliau menjadi sebuah

dosa atau larangan. Sebagaimana kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti

Nabi Saw pada hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt, begitu juga

dengan perintah untuk meninggalkan pekerjaan yang tidak beliau lakukan.86

Di dalam salah satu tulisannya Hasbi menjelaskan makna dari mengikuti

Rasulullah dan kewajiban umat untuk mengamalkan hadis. Ia mengatakan bahwa

makna dari mengikuti Rasulullah adalah menjalankan semua titah-titahnya jika sabda

yang beliau tuturkan bersifat umum untuk seluruh umat di setiap tempat dan waktu.

Maka dari itu, semua hadis yang dinyatakan shahih dan tidak berlawanan dengan

petunjuk al-Qur‟an wajib diikuti oleh umat muslim secara keseluruhan, tidak hanya

muslim Arab atau muslim Eropa, namun kaum muslimin seluruhnya. Pada akhir

penjelasannya Hasbi menambahkan, hal tersebut berlaku selama hadisnya bersifat

umum, dan jika ada dalil yang menunjukkan kekhususannya (jika dilihat dari asbāb

al-wurūd-nya) maka tidak ada kewajiban untuk mengikutinya.87

Dari penjelasan di atas, tampaknya tidak ada perbedaan yang signifikan antara

pendapat Hasbi dengan pendapat ulama-ulama lain terkait definisi hadis dan sunnah.

Pada beberapa bagian di dalam tulisannya, ia hanya mengungkapkan hal-hal yang

menjadi sebab perbedaan di kalangan muhadditsīn dan fuqahā‟, yang tidak lain

dikarenakan perbedaan cara pandang mereka terhadap kedudukan Nabi Saw. Ulama

hadis memandang Nabi Saw sebagai uswah sedangkan ulama fikih memandang Nabi

Saw sebagai pengatur undang-undang. Tetapi terlepas dari pendefinisian-

85

Al-Qasṯalāni sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi mengatakan, “Apabila Rasulullah Saw

tidak melakukan sebuah amalan, maka tidak mengerjakan amalan tersebut termasuk sunnah.” Baca:

Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 36. 86

Di dalam tulisannya Hasbi sudah memikirkan kemungkinan beberapa pihak yang akan

mempertanyakan mengenai amalan yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi Saw dan

mengatakan, “Bukankah amalan yang ditinggalkan oleh Nabi Saw dan dikerjakan oleh para sahabat

sangat banyak?”. Ia menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “meninggalkan sesuatu” adalah Nabi

Saw meninggalkan amalan-amalan yang sebenarnya tidak ada halangan bagi beliau untuk

mengerjakannya, seperti Nabi Saw meninggalkan azan (tidak mengumandangkannya) pada solat Hari

Raya. Lihat: Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 35. 87

Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 128.

Page 92: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

78

pendefinisian tersebut, hadis dan sunnah disepakati oleh ulama sebagai segala sesuatu

yang berasal dari Nabi Muhammad Saw.

b. Kedudukan Sanad dan Matan dalam Kajian Hadis

Sanad dan matan merupakan dua komponen penting dari hadis yang

keberadaan dan ketiadaannya sangat berpengaruh terhadap status diterima atau

ditolaknya sebuah periwayatan. Para ulama bersepakat mengenai pentingnya

pengetahuan mengenai sanad dan bahkan menyebutnya sebagai bagian dari agama.

Sebagaimana perkataan Abdullah bin Mubārak (w. 181 H), “Sanad merupakan bagian

dari agama, maka seandainya sanad hadis tidak ada, niscaya orang-orang akan dengan

bebas mengatakan apa saja yang ia kehendaki.”88

Muhammad bin Sīrīn (w. 110 H)

juga mengatakan, “Sesungguhnya pengetahuan mengenai hadis adalah agama, maka

perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama itu.”89

Begitu pula dengan

pentingnya pemahaman terhadap matan yang merupakan isi dari sebuah hadis.

Karena apa artinya sebuah rangkaian sanad jika tidak disertai matan.

Adapun mengenai pengertian sanad, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan

definisi yang tidak jauh berbeda atau bisa dikatakan sama dengan definisi menurut

para jumhur. Ia menuturkan bahwa sanad menurut bahasa berarti ssesuatu yang kita

bersandar kepadanya, baik tembok atau selainnya. Sedangkan menurut istilah artinya

jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis.90

Sebagai contoh, ada seorang

perawi mengatakan, “Telah mengabarkan kepadaku Nāfi‟, ia mendengar dari

Abdullah bahwa Rasulullah Saw bersabda begini ….” Maka perkataan perawi yang

berupa rangkaian nama yang disebutkan sampai kepada Nabi Saw dinamakan sanad.

88

Diriwayatkan oleh Iman Muslim di dalam kitab Shahihnya dengan redaksi sebagai berikut:

عثا يقىل: سعت عبد هللا ب انبازك يقىل: -ي أهم يسو –ذ صاوحدثي يحد ب عبد هللا ب قه ب قال: سعت عبدا اإلساد ي

شاء يا شاء نى ال اإلساد نقال ي اندي

Lihat: Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj Al Naisabūry, Sahih Muslim, Bab Muqadimah, Cet-1

(Beirūt: Dār al-Fikr, 2003), h. 17. 89

Ungkapan Ibnu Sīrīn ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya

dengan redaksi sebagai berikut:

قال: إ ه , فاظرحدثا حس ب انسبيع حدثا حاد ب شيد ع أيىب وهشاو ع يحد ب سيسي تأخرو ديكى ا انعهى دي سوا عLihat: Al Naisabūry, Sahih Muslim, Bab Muqadimah, h. 16.

90 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, Cet-4 (Jakarta: Bulan

Bintang, 1976), h. 42.

Page 93: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

79

Namun Hasbi juga menyebutkan bahwa rangkaian nama perawi yang sampai kepada

Nabi Saw dapat disebut dengan ṯarīq, wajh, dan terkadang juga dinamai isnad.91

Hasbi mendefinisikan isnad sebagai menerangkan sanad hadis. Maka makna

dari “Saya isnad-kan hadis” adalah saya sebutkan sanadnya, saya terangkan jalan

datangnya riwayat ini. Dalam memahami makna sanad dan isnad, Hasbi memiliki

langkah yang dapat mempermudah dalam membedakan kedua term tersebut dengan

mengkategorikan keduanya seperti ism dan fi‟il. Ia memahami sanad sebagai bentuk

dari “sesuatu”, sedangkan isnad merupakan kegiatan atau proses. Di samping sanad

dan isnad, juga dikenal istilah musnid dan musnad. Musnid merupakan sebutan bagi

orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan sanadnya, baik dia mengetahui

benar tentang sanad tersebut ataupun tidak.92

Adapun yang dinamakan dengan

musnad adalah hadis yang disebutkan dengan keterangan sanadnya sampai kepada

Nabi Saw.93

Musnad juga merupakan sebutan untuk kitab hadis yang penyusunan

babnya disesuaikan dengan daftar nama rawi tertinggi atau sahabat.94

Hasbi

menyadari bahwa sanad merupakan bagian yang sangat penting dari sebuah hadis.

Menurutnya, keberadaan sanad dalam Islam merupakan sebuah keistimewaan karena

tidak ada agama lain yang mempunyai silsilah sanad bersambung seperti yang ada di

91

Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 147. 92

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, Cet-6 (Jakarta: Bulan

Bintang, 1994), h. 384. 93

Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 147. 94

Terdapat beberapa tipologi penulis kitab hadis menurut para ulama yang salah satu di

antaranya adalah kitab musnad. Di samping itu, juga dikenal kitab juz`u yang berarti kitab yang

disusun dengan mengumpulkan hadis-hadis dengan satu tema seperti kitab al-Jihād dan al-Zuhūd

karya Ibn al-Ṯābari. Selanjutnya juga dikenal kitab aṯrāf yang merupakan kitab yang penulisannya

dengan menyebutkan potongan hadisnya saja/awal matan tanpa menyebutkan matan seluruhnya.

Contoh kitab yang ditulis dengan tipe ini adalah Atrāf Shahīhain karya Abu Mas‟ūd Ibrāhīm bin

Muhammad al-Dimasyq. Kemudian juga terdapat kitab al-Sunan yang yang disusun berdasarkan bab-

bab fikih seperti kitab Sunan Abu Dawūd karya Abu Dawūd al-Sijistani. Selanjutnya juga dikenal kitab

al-Mustadrak yang menghimpun hadis-hadis yang tidak terdapat di dalam kitab shahih seperti Shahih

al-Bukhāri dan Shahih Muslim. Salah satu contoh kitab tergolong dalam jenis ini adalah al-Mustadrak

„ala Sahīhaini karya Muhammad bin Abdullah al-Hākim al-Naisabūri. Di samping itu juga dikenal

kitab al-Mustakhraj yang disusun dengan mengambil hadis dari kitab tertentu namun mengambil jalur

sanad yang berbeda. penyusun kitab menempuh sanad dari gurunya, tapi gurunya mempunyai jalur

sanad yang sama dengan sanad dari penyusun kitab yang ia takhrijatau dua guru tersebut bertemu pada

rangkaian sanad di atasnya. Contoh kitab yang ditulis yang tergolong jenis ini adalah Mustakhraj Abu

Awanah „ala Muslim. Selengkapnya lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada Media Group

2016) h. 112-128, dan Arif Wahyudi, “Mengurai Peta Kitab-kitab Hadits: Kajian Referensi atas Kitab-

kitab Hadits,” Al-Ihkam 8, No.1 (Juni 2013): h. 5-7.

Page 94: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

80

dalam Islam. Mungkin agama lain seperti Yahudi dan Nasrani juga menggunakan

periwayatan, namun kebanyakan riwayat dari mereka tidak bersambung.95

Mengenai

keutamaan sanad Hasbi mengatakan,

“Maka nyatalah keutamaan sanad, dengan dialah diketahui maqbūl dan

mardūd mana yang sah diamalkan dan mana yang tidak sah diamalkan. Dialah

jalan yang kita tempuh untuk menetapkan hukum syari‟at Islam.”96

Adapun matan menurut bahasa adalah tengah jalan, punggung bumi atau bumi

yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah, matan adalah lafaz-lafaz hadis

yang dengan lafaz-lafaz itulah terbentuk makna.97

Matan juga disebut sebagian

bagian inti dari sebuah hadis karena berisi pesan dan berita yang disampaikan oleh

Nabi Saw.98

Menurut Hasbi, sebuah hadis belum dapat dipandang shahih hanya

karena sanadnya shahih, harus ada penelitian lebih lanjut terhadap kedudukan

matannya. Mengenai hal ini ia mengatakan,

“Kemudian perlu kita ketahui bahwa hadis itu tidak dipandang shahih dengan

karena sanadnya telah shahih, jika matannya nyata berlawanan dengan

keterangan-keterangan yang lebih kuat daripadanya. Tidak cukup untuk

menshahihkan sesuatu hadis, melihat kepada sanadnya saja, sebagaimana

yang dilakukan oleh sebahagian ahli jumud dan taqlīd.”99

Dari pernyataan Hasbi di atas, telihat bahwa ia tidak ingin mengunggulkan

salah satu dari sanad atau matan. Sikapnya ini seperti berada di tengah-tengah antara

pemikiran Muhammad al-Ghazāli (w. 1996) dan al-Albāni (w. 1999). Al Ghazāli

dikenal sebagai ulama yang lebih menekankan kajian matan dari pada kajian sanad

hadis, sementara al-Albāni lebih menekankan kepada kajian sanad hadis. Bukan

berarti menafikan keberadaan salah satunya, namun dari cara mereka dalam

menyikapi sebuah hadis dan menentukan keshahihannya sangat bergantung pada

matan hadis (menurut al-Ghazāli) dan sanad (menurut al-Albāni). Sebagai contoh, al-

95

Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 51 96

Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 49. 97

Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 44. 98

Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis,” Esensia 16, No. 2

(Oktober 2015): h. 180. 99

Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 116.

Page 95: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

81

Ghazāli berpendapat bahwa hadis yang sanadnya berstatus ḏa‟īf masih dapat

digunakan sebagai dasar fatwa ketika matan hadis tersebut tidak bertentangan dengan

al-Qur'an dan ajaran Islam. Pada sisi lain al-Albāni mendha‟ifkan beberapa hadis di

dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim karena kualitas dari sanadnya yang ia

pandang tidak memenuhi persyaratan dari hadis shahih.100

Maka adalah Hasbi yang

ingin kajian terhadap sanad dan matan imbang dan tidak berat sebelah.

Hasbi menganggap sanad dan matan sebagai dua komponen penting yang

membangun sebuah hadis. Secara teori, memang ia tidak banyak menjelaskan rincian

mengenai sanad dan matan, namun perhatiannya terhadap keberadaan keduanya

tergambar dengan jelas dari langkah-langkahnya dalam mensyarah hadis. Baik di

dalam buku 2002 Mutiara Hadits maupun Koleksi Hadis-hadis Hukum yang

merupakan karyanya dalam bidang syarah, sebelum masuk kepada penjelasan hadis,

biasanya Hasbi menyebutkan terlebih dahulu kedudukan dari sanad hadis yang akan

dibahas.101

Ia juga menjelaskan status perawi hadis, seperti tsiqah atau tidaknya rawi

yang meriwayatkan. Demikian halnya Hasbi juga menaruh perhatian yang besar

terhadap kajian matan hadis. Hal tersebut telihat dari caranya menambahkan satu

kriteria (di samping lima kriteria yang sering digunakan oleh jumhur) dalam

menetapkan keshahihan sebuah hadis, dan kriteria tersebut berhubungan dengan

matan. Penjelasan mengenai hal tersebut akan dipaparkan pada pembahasan

selanjutnya.

c. Kriteria Keshahihan Hadis

Al-Qur‟an dan hadis sama-sama mempunyai posisi istimewa dalam Islam,

namun keduanya tidaklah sama. Kehujjahan al-Qur‟an bersifat ḏarūri (harus diterima

dan diamalkan tanpa perlu diperiksa keabsahannya). Sedangkan hadis masih

100

Muhammad Nāsir al-Dīn al-Albāni, Ḏa‟īf al-Adab al-Mufrad, Penerjemah Hery Wibowo

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 16. Lihat juga: Sri Purwaningsih, “Kritik terhadap Rekonstruksi

Metode Pemahaman Hadis Muhammad Al-Ghazali,” Theologia 28, No. 1 (2017): 75-102. 101

Sebagaimana Hasbi mensyarah hadis tentang permulaan wahyu kepada Rasulullah Saw.

Pada awal syarahannya, ia menjelaskan terlebih dahulu status hadisnya yaitu bagian dari hadis mursal.

Hal tersebut dikarenakan Aisyah, selaku periwayat, tidak mendapati masa ketika hadis tersebut

disampaikan. Aisyah mendengarnya dari sahabat yang lain. Selengkapnya lihat: M. Hasbi Ash-

Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadiets, Jilid I, Cet-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h. 322.

Page 96: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

82

memerlukan penelitian lebih lanjut dalam rangka untuk membuktikan kebenarannya.

Pasalnya ketika wahyu al-Qur‟an diturunkan, Nabi Saw langsung menyuruh para

sahabat untuk menulisnya. Berbeda dengan hadis yang penulisannya tidak semarak

al-Qur‟an dan hanya dicatat oleh beberapa sahabat saja di dalam catatan pribadi

mereka.102

Sebelum pada akhirnya dikodifikasi pada masa khalifah Umar bin Abdul

Aziz (w. 101 H), selama kurang lebih seratus tahun hadis hanya beredar secara oral

tradition (dari mulut ke mulut) dengan berpegang pada ingatan para sahabat.103

Dengan jangka waktu yang cukup lama ini, tentunya mustahil para perawi yang

merupakan manusia biasa dapat luput dari keliru dan khilaf, sehingga penelitian

terhadap kredibilitas mereka menjadi sesuatu yang sangat urgent.104

Para ulama menetapkan beberapa poin yang harus dipenuhi oleh sebuah hadis

sehingga dapat digolongkan sebagai hadis shahih. Mannā‟ al-Qaṯṯān dan Nural-Dīn

„Itr mengemukakan beberapa poin tersebut, antara lain ittisāl al-sanad, „adālah al-

ruwāt, ḏabṯ al-ruwāt, „adam al-syudzūdz dan „adam al-illah.105

Lima kriteria ini juga

dikemukakan oleh ulama seperti Muhammad „Ajaj al-Khātib, Mustafa al-Sibā`i dan

102

Beberapa sahabat diketahui telah menuliskan hadis yang mereka dengar dari Nabi Saw,

seperti Abdullah bin Amru bin As, beliau mempunyai sahīfah yang dinamai sādiqah. Hal ini mungkin

akan membuat beberapa orang bingung karena pada faktanya ada riwayat yang menyebutkan tentang

larangan menulis hadis, sebagaimana sabda Nabi Saw, “Janganlah kalian menulis –apa yang kamu

dengar dariku- selain al-Qur‟an. Barangsiapa yang menulis selain al-Qur‟an maka hapuslah.” (HR.

Muslim Kitab al-Zuhd). Namun pada sisi lain juga ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada saat

Fath Makkah Nabi Saw menyuruh menulis perihal penyelesaian sebuah kasus dengan bersabda,

“Tuliskanlah ini untuk Abu Syah!” (HR. al-Bukhāri Kitab al-Ilm). Mustafa Azami mengomentari dua

hadis yang tampak kontadiktif ini dan mengungkapkan bahwa sejatinya tidaklah demikian. Ia

menjelaskan larangan menulis yang dimaksud oleh hadis yang pertama disabdakan pada situasi dan

kondisi khusus, sehingga larangan menulis hadis tidak berlaku untuk setiap saat. Di samping itu,

menulis hadis yang dilarang adalah jika menulisnya pada lembaran yang sama dengan al-Qur‟an

karena takut akan tercampur antara keduanya. Lihat: Radinal Mukhtar Harahap, “Hadis pada Masa

Nabi Muhammad Saw dan Sahabat,” Al-Bukhāri: Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 1 (Januari-Juli 2018): h.

42, dan Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 77-81. 103

Namun yang penting untuk digaris bawahi disini adalah bahwa daya ingat yang dimiliki

oleh para sahabat tentu berbeda dengan yang manusia pada umumnya. Abd al-Nasr, sebagaiman

dikutip oleh Idri, menjelaskan bahwa Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat

berupa kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga mereka dapat meriwayatkan al-Qur‟an, hadis dan

syair dengan sangat baik, seakan-akan mereka membaca sebuah buku. Lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3

(Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h. 35-36. 104

Erwati Aziz, “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik Sanad, Matan dan Pemahamannya,”

Al-A‟raf 14, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 144-145. 105

Al-Ṯahhān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, h. 34 dan Nuruddin „Itr, Ulumul Hadis, Penerjemah

Mujiyo Cet-2 (Banfung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 241-242.

Page 97: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

83

disepakati oleh jumhur muhadditsīn menyetujuinya.106

Maka bisa dikatakan bahwa

poin-poin tersebut sudah menjadi standar umum keshahihan sebuah hadis.

Sebenarnya, jauh sebelum itu ulama seperti al-Bukhāri (w. 256 H) dan Muslim (261

H) telah memiliki kriteria tersendiri dalam menetapkan keabsahan sebuah hadis.

Namun baik al-Bukhāri maupun Muslim tidak menjelaskannya secara lugas, ulama-

ulama yang hidup setelah merekalah yang meneliti dan memetakan metode yang

digunakan oleh keduanya.

Dalam penelitian terhadap sanad hadis, al-Bukhāri menetapkan beberapa

syarat yang harus dipenuhi agar hadisnya digolongkan shahih. Syarat-syarat tersebut

memiliki poin yang tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh ulama

muta`akhkhirīn, antara lain perawi yang meriwayatkan harus adil, ḏābiṯ, tsiqah dan

tidak mudallis, sanadnya harus bersambung (muttashil), tidak munqathi‟, mursal atau

mu‟dhal. Adapun berkenaan dengan ittisāl al-sanad yang ditetapkan oleh al-Bukhāri,

Ibnu Hajar al-Asqalāny (w. 852 H)107

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

bersambungnya sanad tidak hanya harus sezaman melainkan harus adanya liqa‟

(pertemuan) antara guru dan murid meskipun hanya sekali saja.108

Maka dapat ditarik

kesimpulan, bahwa al-Bukhari menetapkan syarat dari ittishal al-sanad, yaitu

mengharuskan adanya mu‟assarah (sezaman) dan liqa‟ (pertemuan).

Di samping itu itu, menurut Hammam Abdurrahim, al-Bukhari menetapkan

beberapa kriteria tingkat perawi, yaitu: a) Tingkatan pertama adalah perawi yang

106

Lihat: Mustafa al-Sibā`i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah

Pembelaan Kaum Sunni, Penerjemah Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 61 dan

Muhammad Ajaj al-Khātib sebagaimana dikutip oleh Aziz, “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik

Sanad, Matan dan Pemahamannya”, h. 146. 107

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad Abu al-Faḏl al-Kināni al-Syāfi‟i,

lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hajr al-Asqalani. Ia lahir di Mesir pada bulan Sya‟ban tahun 773 H.

Dikenal sebagai seseorang yang gemar dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Hajr telah mengelilingi banyak

negeri seperti Mekah, Hijāz, Syām, Irāq dan masih banyak lagi. Keilmuannya mencakup berbagai

cabang, tidak hanya mempelajari hadis dan ilmu hadis, ia juga mendalami ilmu tafsir dan fiqih. Selama

hidupnya ia berhasil mengarang 150 kitab yang meliputi beberapa cabang keilmuan seperti hadis,

fiqih, ilmu al-Qur‟an dan tarikh. Dari semua karyanya ini, yang paling populer adalah Fath al-Bāri

yang merupakan kitab syarah Shahih al-Bukhāri yang beliau karang selama bertahun-tahun. Biografi

Ibnu Hajar selengkapnya lihat: Muhammad bin Ismā‟īl al-San‟ani, Subul al-Salam, Jilid I (Mesir:

Maktabah Mustafa al-Bāb al-Halby, T.t), h.5. 108

Masrukin Muhsin, “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih dan

Tadh‟if menurut Bukhari,” Holistic al-Hadis 2, No. 2 (Juli-Desember 2016): h. 286.

Page 98: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

84

dikenal sebagai seorang yang adil, ḏābiṯ dan lama bersama gurunya; b) Tingkatan

kedua adalah perawi yang dikenal sebagai seorang yang adil, ḏābiṯ, namun sebentar

bersama gurunya; c) Tingkatan ketiga adalah perawi yang lama kebersamaannya

dengan gurunya namun kurang ḏābiṯ; d) Tingkatan keempat adalah perawi yang

sebentar bersama gurunya dan kurang ḏābiṯ; dan e) Tingkatan kelima adalah perawi

yang terdapat cela dan cacat pada dirinya. Dari lima tingkatan yang disebutkan di

atas, al-Bukhāri memilih tingkatan yang pertama dari para perawi untuk di ambil

periwayatannya.109

Ini menunjukkan bahwa keriteria yang dipakai oleh al-Bukhari

berkualitas sangat tinggi.

Muslim juga menerapkan kriteria keshahihan yang sama dengan al-Bukhāri,

hanya saja yang menjadi perbedaan adalah mengenai standar dari ketersambungan

sanad yang ditetapkan oleh keduanya. Menurut Muslim, walaupun sebuah hadis

diriwayatkan secara „an‟anah asal diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, maka

predikat hadisnya sudah memenuhi status qabūl al-riwayah dan bisa dijadikan

hujjah.110

Di samping itu, Muslim juga tidak mensyaratkan harus adanya liqa‟, jika

sudah terbukti bahwa guru dan murid sezaman (mu‟assarah), maka itu sudah cukup

menurutnya. Hal inilah yang mendasari para ulama lebih mengunggulkan kitab

Shahih al-Bukhari daripada Shahih Muslim.

Persyaratan dari shahihnya sebuah hadis tidak banyak mengalami perubahan.

Karena terlihat bahwa para ulama muta`akhkhirīn juga menerapkan kaidah yang sama

dengan yang telah digunakan oleh ulama terdahulu. Tidak ubahnya dengan Hasbi

yang juga mengutarakan hal serupa mengenai kriteria keshahihan hadis. Ia

mendefinisikan hadis shahih dengan:111

ما تصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثلو وسلم من شذوذ وعلة

“Hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang yang adil

dan kokoh ingatannya, tidak terdapat keganjilan dan cacat yang memburukkannya.”

109

Muhsin, “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih dan Tadh‟if

menurut Bukhari, h. 287. 110

Marzuki, Kritik terhadap Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Jurnal Humanika

Volume 6 No. 1, Maret 2006, h. 34. 111

Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 162.

Page 99: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

85

Hasbi menuturkan bahwa tidak tergolong shahih semua hadis yang munqaṯi‟

dan mursal.112

Begitu pula tidak termasuk hadis shahih jika perawinya terdapat cacat

dan tidak kuat hafalannya atau memiliki banyak kekeliruan. Adapun yang dimaksud

dengan syādz menurut Hasbi adalah keganjilan seperti menyalahi riwayat dari orang-

orang yang terpercaya. Terhindar dari „illat atau cacat maksudnya adalah tidak

mengandung kesalahan-kesalahan yang tersembunyi. Sebagai contoh adalah

didapatinya sebuah fakta bahwa di antara perawi yang meriwayatkan hadis ada yang

tidak kuat hafalannya, padahal sebelumnya ia diketahui kuat ingatannya.113

Illat yang

terdapat di dalam hadis hanya dapat ditemukan dengan pengkajian secara menyeluruh

dan mendalam dan tidak sembarang orang dapat mengetahuinya.

Dari lima syarat yang harus dipenuhi hadis shahih, tiga di antaranya berkaitan

dengan sanad yang mencakup ketersambungan sanad, „adālah al-ruwāt dan ḏabṯ al-

ruwāt, sedangkan dua lainnya berkaitan dengan matan. „Adālah al-ruwāt atau

keadilan perawi tidaklah sama maknanya dengan adālah dalam syahādah

(persaksian). Adil yang dimaksud dalam hal ini bukanlah menimbang sama rata. Di

dalam disiplin ilmu hadis, seorang perawi akan digolongkan adil jika ia muslim, taklīf

dan terbebas dari sebab-sebab kefasikan serta dapat mejaga murū`ah.114

Hasbi

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menjaga murū`ah adalah menjauhkan diri

dari segala macam dosa besar. Ia juga menambahkan, bahwa periwayatan tidak

terbatas untuk kaum laki-laki saja, wanita dan para budak riwayatnya juga dapat

112

Hadis munqaṯi‟ merupakan hadis yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi. Dari

definisi ini, maka munqaṯi‟ mencakup hadis mursal, mu‟allaq dan mu‟ḏal. Sementara itu, hadis mursal

adalah hadis yang gugur perawinya pada tingkatan sahabat. Ulama tidak sepenuhnya bersepakat

mengenai status dari hadis mursal. Jumhur muhadditsīn dan beberapa ahli ushul dan fuqahā`

berpendapat bahwa hadis mursal tergolong ḏa‟īf dan menganggapnya sebagai hadis yang tertolak atau

mardūd karena tidak ada kepastian mengenai keadaan dari perawi yang gugur. Pendapat kedua

mengatakan bahwa hadis mursal adalah shahih dan dijadikan hujjah. Pendapat ini masyhur di kalangan

mazhab Abu Hanīfah, Mālik dan Ahmad. Mereka mengatakan bahwa mustahil para tabi‟in akan

mengatakan, “Telah bersabda Rasulullah Saw…” kecuali jika mereka benar-benar mendengarnya dari

para sahabat yang tsīqah. Pendapat terakhir datang dari al-Syāfi‟i yang mengatakan bahwa hadis

mursal para tabi‟in senior dapat diterima dan dijadikan hujjah dengan syarat yang memursalkan hadis

adalah dari golongan pembesar tabi‟in dan ada hadis dari jalur lain yang mendukungnya.

Selengkapnya lihat: Al-Qattān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, h. 72-73. 113

Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 162. 114

Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 32.

Page 100: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

86

diterima. Adapun ḏabṯ, menurut Hasbi adalah perhatian penuh seorang perawi

terhadap hadis (memperhatikan dan selalu memelihara hafalannya) yang ia terima

dan memahami kandungan darinya hingga ia menyampaikannya kepada orang lain.115

Ia juga menambahkan, bahwa ḏabṯ-nya seorang perawi juga disyaratkan dengan harus

menjaga kitabnya dengan baik, tidak disentuh oleh tangan-tangan kotor jika ia

meriwayatkan dari catatannya. Karena orang yang lengah (mughaffal) tidak dapat

diterima periwayatannya.116

Jika memperhatikan definisi ḏabṯ yang dikemukakan

oleh Hasbi, tampaknya ia memilih tingkatan ḏabṯ yang paling tinggi.117

Terlepas dari lima syarat keshahihan hadis yang telah dijelaskan di atas, pada

salah satu tulisannya Hasbi menambahkan hal lain yang menjadi kriteria hadis shahih.

Menurutnya, sebuah hadis dapat digolongkan sebagai hadis shahih jika tidak

bertentangan dengan nash mutawatir dan tidak menyalahi kaidah agama yang telah

disepakati. Jadi, jika sebuah hadis memiliki sanad yang shahih namun tidak

memenuhi dua syarat di atas, maka hadis tersebut tertolak. Hal ini tergambar dari

caranya memahami hadis tentang Nabi Saw terkena sihir. Hadis tersebut diriwayatkan

dari Aisyah r.a (w. 58 H), menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah disihir oleh

seseorang sehingga beliau merasa mendatangi isteri-isterinya padahal beliau tidak

melakukannya. Beberapa ulama menolak hadis ini karena dianggap telah

merendahkan derajat kenabian. Begitu pula halnya dengan Hasbi, meskipun hadis ini

terdapat di dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim, ia tidak menerimanya

115

Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 33. 116

Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 110. 117

Para ulama diketahui memberikan definisi yang beragam terhadap term ḏabṯ. Sebagaimana

yang dikutip oleh Syuhudi Ismail di dalam salah satu bukunya, bahwa Ibnu Hajar al-Asqalāny

mengartikan ḏābiṯ sebagai seorang yang kuat hafalannya terhadap apa yang ia dengar dan mampu

menyampaikannya kapan saja ia menghendaki. Pada sisi lain juga ada ulama yang mengartikan orang

yang ḏabṯ sebagai seseorang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, memahaminya

dengan pemahaman yang mendetail dan menghafalnya secara sempurna hingga ia menyampaikannya

kepada orang lain. Meskipun redaksi yang disampaikan oleh ulama berbeda-beda, prinsip mereka

dalam mendefinisikan ḏabṯ sebenarnya sama. Dari definisi-definisi tersebut, Syuhudi kemudian

merumuskannya menjadi beberapa tingkatan, yaitu perawi yang hafal dengan sempurna hadis yang

diterimanya dan mampu menyampaikan dengan baik apa yang hafal kepada orang lain dan perawi

yang hafal hadis yang ia terima dengan sempurna dan mampu menyampaikan apa yang ia hafal serta

paham dengan baik hadis yang dihafalnya tersebut. Tingkatan yang kedua inilah yang digunakan Hasbi

dalam mendefinisikan term ḏabṯ. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah

Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet-4 (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 140.

Page 101: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

87

karena menurutnya hal ini bertentangan dengan nash mutawatir dan kaidah agama. Ia

mengatakan,

“Apabila kita perhatikan sebab-sebab menolak sebuah hadis walaupun ia

dipandang shahih sanadnya, yaitu berlawanan dengan nash-nash yang

mutawātir dan berlawanan dengan kaidah agama yang disepakati, yaitu

keharusan terpeliharanya Nabi daripada terkena sihir, maka hadis Bukhari dan

Muslim ini haruslah ditolak.”118

Pada beberapa karyanya, Hasbi juga menyinggung tentang status hadis ḏa‟īf

dan pengamalannya. Ia menjelaskan bahwa hadis ḏa‟īf tidak bisa menetapkan sebuah

hukum, baik yang wajib maupun yang sunnah.119

Menurutnya, sebuah hukum

haruslah berasal dari sumber yang kuat, dalam hal ini yang ia maksud adalah hadis

shahih dan hasan. Sedangkan hadis ḏa‟īf tidak mempunyai kedudukan yang sama

kuat dengan hadis shahih dan hasan. Beberapa ulama membolehkan penggunaan

hadis ḏa‟īf jika berhubungan dengan faḏā`il al-a‟māl. Hasbi menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan boleh menjadikan hadis ḏa‟īf dalam perkara faḏā`il al-a‟māl jika

kedudukannya sekedar untuk menjelaskan keutamaan-keutamaan amal yang telah

disebutkan di dalam hadis shahih atau hasan.120

Jadi jika hadis ḏa‟īf berdiri sendiri

dan membuat hukum (yang sebenarnya tidak pernah dijelaskan di dalam hadis shahih

atau hasan), maka hal tersebut tidak dapat diterima.

Adapun perihal kehujjahan hadis ḏa‟īf, para ulama memiliki pandangan yang

berbeda-beda. Al-Bukhāri dan Muslim menjelaskan bahwa hadis ḏa‟īf tidak dapat

diamalkan secara mutlak, baik pada perkara ahkām maupun faḏā`il al-a‟māl, karena

sebuah hukum harus didasarkan pada al-Qur‟an dan sunnah Nabi Saw yang shahih.

Hal ini berbanding jauh dengan pendapat yang dipegang oleh Abu Dawūd (w. 275 H)

dan Ahmad (w. 241 H). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nuruddin Itr dalam

kitabnya bahwa Abu Dawūd dan Ahmad membolehkan penggunaan hadis ḏa‟īf

dengan dalil bahwa hadis ḏa‟īf lebih kuat daripada ra`yi perorangan.121

Sementara itu,

Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadis ḏa‟īf boleh digunakan pada masalah faḏā`il al-

118 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 273.

119 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5 (Bandung: Al-Ma‟arif, 1976) , h. 17.

120 Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 100.

121 Nuruddin Itr, Manhāj al-Naqd fi Ulūm al-Hadīs, Cet-2 (Beirūt: Dār al-Fikr, 1979) , h. 291.

Page 102: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

88

a‟māl dengan beberapa syarat, yaitu jika ḏa‟īf-nya tidak berlebihan, atau perawi yang

meriwayatkan bukan pendusta dan hadis tersebut tidak keluar dari kaidah Islam serta

masuk dalam cakupan hadis pokok (juga dijelaskan dalam hadis shahih).122

Pendapat

yang dipegangi oleh Hasbi lebih mendekati pendapat Ibnu Hajar, bahwa hadis ḏa‟īf

dapat digunakan dalam perkara faḏā`il al-a‟māl dengan syarat hukum pokoknya

sudah dijelaskan di dalam hadis yang lebih kuat statusnya.

Dari pemaparan tentang kriteria keshahihan dalam perspektif Hasbi di atas,

tampaknya ia tetap meneruskan pondasi yang telah dibangun oleh ulama-ulama

klasik. Pondasi yang dimaksud adalah lima syarat khusus agar sebuah hadis

digolongkan sebagai hadis shahih, meliputi ittisāl al-sanad, diriwayatkan dari perawi

yang adil dan ḏābiṯ serta tidak mempunyai syazd dan „illat. Lima kriteria keshahihan

hadis ini juga dikemukakan oleh beberapa ulama seperti Mannā‟ al-Qaṯṯān, Mahmūd

al-Ṯahhān di dalam karya mereka.123

Namun Hasbi di dalam tulisannya

mengungkapkan bahwa ada satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu matan

hadisnya tidak bertentangan dengan nash mutawatir dan juga tidak menyalahi kaidah

agama yang telah disepakati.124

122

Abdul Rokhim, “Hadis Dla‟īf dan Kehujjahannya: Telaah terhadap Kontroversi Penerapan

Ulama sebagai Sumber Hukum,” Al-Ihkam 1, No. 2 (Desember 2009): h. 194-195. 123

Penjelasan selengkapnya baca: Mannā‟ Al Qaṯṯān, Pengantar Studi Ilmu Hadits,

Penerjemah Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 117 dan Mahmūd Al

Ṯahhān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, Singapura-Jeddah: Al-Haramain, t.t), h. 34-35. 124

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 273.

Page 103: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

89

BAB IV

PEMAHAMAN HADIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY

A. Metodologi Pemahaman Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memilih untuk menulis karya hadisnya dalam

bahasa Indonesia bukan tanpa alasan. Pada berbagai kesempatan beliau

mengungkapkan bahwa salah satu langkah yang harus ditempuh oleh akademisi

Islam dalam negeri untuk mengembangkan kajian hadis di Indonesia adalah dengan

menyuguhkan karya-karya yang ditulis dalam bahasa yang dapat dengan mudah

dimengerti oleh masyarakat. Hal tersebutlah yang menjadi motivasi beliau, hingga

akhirnya dengan semangat yang dimiliki ia berhasil menulis berbagai karya hadis

yang cemerlang, termasuk dua karya besarnya mengenai syarah hadis yaitu “2002

Mutiara Hadis” dan “Koleksi Hadis-hadis Hukum”. Adapun terkait dengan metode

pemahaman yang beliau gunakan dalam memahami hadis tercermin dengan jelas dari

penjelasan yang terdapat di dalam karya syarahnya tersebut dan juga dari penjelasan

secara sepintas di dalam karya-karyanya yang lain. Di bawah ini akan dipaparkan

beberapa metode pemahaman hadis yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

1. Memahami Hadis dengan Petunjuk Al-Qur’an

Untuk memahami hadis dengan benar dan agar tidak jatuh pada kekeliruan

harus di bawah naungan al-Qur‟an. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hadis dan

al-Qur‟an memiliki hubungan yang integral dan saling mengikat.1 Hubungan antara

keduanya dapat diibaratkan dengan simbiosis mutualisme. Bagaimana tidak, beberapa

ayat al-Qur‟an yang sifatnya masih umum, penjelasan dan rinciannya dapat

ditemukan di dalam hadis. Sebagai contoh, dalil tentang perintah mendirikan shalat

yang tertera dengan tegas di dalam al-Qur‟an namun masih bersifat sangat umum.

Semua tata cara dan ketentuannya dijelaskan oleh hadis. Demikian halnya dengan

1 Tasbih, Kedudukan dan Fungsi hadis sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Al-Fikr Volume

14 No. 3, Tahun 2010, h. 331.

Page 104: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

90

hadis yang keberadaannya senantiasa berkisar dalam cakrawala al-Qur‟an dan tidak

pernah melampauinya.2

Dalam memahami hadis Hasbi selalu merujuk kepada al-Qur‟an. Hal ini

tergambar dari pemahamannya terhadap hadis tentang syafa‟at berikut ini:

شاء اهلل ريرة رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: لكل نيب دعوة فأريد إنعن أيب ىيت يوم القيامة )رواه البخاري ومسلم( أن أختيب دعوت شفاعة ألم

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, telah bersabda Rasulullah Saw: Bagi tiap-

tiap Nabi ada permohonannya, maka aku insyā`Allah akan menyimpan doaku untuk

syafa‟at bagi umatku di Hari Kiamat.”3

عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: كل نيب سأل سؤاال, أو قال: يت يوم القيامة )رواه البخاري ومسلم(لكل نيب دعوة قد دعا ا فاستجيبت, فجع لت دعوت شفاعة ألم

“Dari Anas bin Mālik r.a. ia berkata, telah bersabda Nabi Saw: Tiap-tiap Nabi

telah meminta sesuatu permintaan, atau Nabi Saw berkata: Bagi tiap-tiap Nabi ada

do‟a yang diperkenankan, maka aku jadikan do‟aku syafa‟at bagi umatku di Hari

Kiamat.”4

Zahir dari hadis di atas menunjukkan bahwa setiap Nabi mempunyai satu doa

yang diyakini pasti akan dikabulkan oleh Allah Swt. Adapun Nabi Muhammad Saw

menahan doanya yang pasti dikabulkan itu untuk beliau doakan pada Hari Kiamat

sebagai syafa‟at untuk umatnya. Hasbi menjelaskan, hadis ini juga menunjukkan

betapa besarnya kasih sayang dan perhatian Nabi Saw kepada umatnya.5 Nabi Saw

tidak meminta hal lain ketika diberi kesempatan untuk meminta sesuatu yang pasti di-

ijābah oleh Allah Swt, beliau lebih memilih untuk mentakhirkan doa tersebut pada

2 Amir Hamzah Nasution Dkk, “Kontribusi Pemikiran Yusuf Al-Qaradawi dalam Kitab Kaifa

Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah Nabawiyah,” At-Tahdis: Journal of Hadith Studies 1, No. 1 (Januari-Juni

2017): h. 148 3 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h.

405. 4 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 405.

5 Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai sosok yang penyayang. Kasih sayang yang ia beri

tidak hanya kepada orang yang menyukainya saja, namun juga ia tunjukkan kepada orang yang

memusuhinya. Banyak riwayat yang menceritakan tentang beberapa orang yang memusuhi dan bahkan

berencana untuk membunuhnya, malah beliau balas dengan mendoakan orang tersebut dan justru

memohon agar mereka diberi ampunan karena mereka tidak mengerti. Lihat: Usiono, “Potret

Rasulullah sebagai Pendidik,” Ansiru 1, No. 1 (Juni 2017): h. 206.

Page 105: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

91

saat yang benar-benar dibutuhkan dan memberikannya kepada umatnya dalam bentuk

syafa‟at.6 Penjelasan Hasbi ini menujukkan bahwa ia membenarkan adanya syafa‟at

yang diberikan oleh Nabi Saw untuk umatnya. Namun ia juga menyatakan bahwa

syafa‟at itu sebenarnya tidak ada karena ada ayat al-Qur‟an menunjukkan

ketiadaannya.7 Maka dalam hal ini yang ditolak oleh Hasbi adalah syafa‟at yang

diberikan Nabi Saw kepada penghuni neraka agar mereka dikeluarkan dari neraka.8

Syafa‟at merupakan tema yang banyak diperbincangkan oleh ulama.

Mayoritas ulama meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw kelak pada Hari Akhir akan

memberikan syafa‟at kepada umatnya, yang bahkan dengan syafa‟at beliau ada umat

Islam terselamatkan dari siksa api neraka. Namun pendapat tersebut tidak bulat,

karena ada ulama yang tidak sepakat dengan hal tersebut, salah satunya adalah Hasbi.

Menurutnya, banyak ayat al-Qur‟an yang menunjukkan bahwa syafa‟at itu

sebenarnya tidak ada sama sekali. Di antara ayat al-Qur‟an yang dimaksud adalah

QS. Al-Baqarah: 254, QS. Hūd: 105; 108 dan QS. al-Anbiyā`: 28.9

(52ال بيع فيها وال خلة وال شفاعة )سورة البقرة: “(Yaitu hari) dimana tidak ada jual-beli dan tidak ada lagi syafa‟at.”

(2)سورة األنبياء: وال يشفعون إال لمن ارتضى“Dan mereka tiada memberi syafa‟at melainkan kepada orang yang diridhoi

Allah Swt.”

(1خالدين فيها مادامت السماوات واألرض إال ماشاء ربك )سورة ىود: “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika

Tuhanmu menghendaki.”

6 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 406.

7 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408.

8 Syafa‟at terbagi menjadi beberapa macam, antara lain adalah syafa‟at yang diberikan Nabi

Saw kepada umatnya pada saat di Padang Mahsyar, syafa‟at Nabi Saw kepada calon penghuni surga

agar segera masuk ke dalam surga, syafa‟at Nabi Saw untuk meringankan siksa pamannya Abu Ṯālib

di neraka dan syafa‟at yang diberikan sesama manusia (sebagaimana di dalam hadis dijelaskan bahwa

jika seorang muslim wafat dan dishalatkan oleh lebih dari empat puluh orang jama‟ah maka ia berhak

mendapatkan syafa‟at). Sumber: Abu Ibrahim Arman bin Amri, “Mengenal Syafa‟at,” diakses pada 8

Oktober 2019 dari https:// almanhaj.or.id/2734-mengenal-syafa‟at.html 9 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 407.

Page 106: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

92

Ayat pertama menyatakan bahwa tidak ada lagi syafa‟at pada Hari Akhir,

sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa syafa‟at hanya dapat diberikan kepada

orang yang Allah Swt ridhoi. Ayat ketiga memberi pengertian bahwa setiap manusia

yang telah terjerumus ke dalam neraka, maka tidak ada jalan keluar baginya, mereka

kekal di dalamnya. Ayat-ayat ini menurut Hasbi merupakan dalil yang jelas

menunjukkan bahwa sebenarnya syafa‟at itu tidak ada. Tidak ada yang dapat

menyelamatkan manusia dari siksa neraka karena dosa yang telah ia perbuat selama

di dunia. Satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari neraka adalah dirinya

sendiri. Hasbi menjelaskan,

“Kalau demikian, maka tidak ada nash di dalam al-Qur‟an yang tepat dan

tegas menyatakan adanya syafa‟at itu.”10

Ia melanjutkan penjelasannya, bahwa memang benar ada hadis yang

menyatakan tentang keberadaan syafa‟at, Di antaranya:

يت فمن كذب ا مل ي ن لها شفاعيت ألىل الكبائر من أم“Syafa‟atku untuk orang-orang yang berdosa besar dari umatku. Maka

barangsiapa yang mendustakannya (tidak percaya), tidak akan memperolehnya.”11

Namun menurutnya perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap makna

syafa‟at yang diterangkan oleh hadis tersebut dan bagaimana keadaan syafa‟at di

dunia dan di akhirat. Karena pendefinisian atas sesuatu akan sangat mempengaruhi

seluruh aspek yang berkaitan dengannya. Adapun menurut bahasa syafa‟at12

berasal

10

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408. 11

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408. 12

Definisi syafa‟at yang dikemukakan oleh para ulama berbeda-beda sesuai dengan konteks

atau nash yang sedang dibicarakan. Seperti halnya Abu al-Qāsim yang memaknai kata syafa‟at dalam

QS. al-Fajar:3 dengan tiga definisi yaitu makhluk yang tersusun, hari Idul Aḏha dan keturunan Adam.

Adapun al-Raghīb al-Asfhāni memaknai syafa‟at sebagai bergabung dengan yang lain untuk

memberikan pertolongan. Al-Syaukāni mengartikannya sebagai menghubungkan orang lain kepada

tuannya. Menurut Abu Bakr Jābir al-Jazairi syafa‟at adalah meminta orang lain menjadi perantara

antara dirinya dengan seorang penguasa untuk menyampaikan apa yang ia perlukan. Muhammad Alwy

al-Māliky memaknainya sebagai doa, sementara Abdul Aziz mengartikannya sebagai suatu

pertolongan dari Allah Swt. Selengkapnya lihat: Abu al-Qāsim al-Husain bin Muhammad, Al-

Mufradāt fi Gharīb al-Qur’ān (T.tp: Maktabah Nizar Mustafa al-Bāz, t.t.), h. 348, dan Fahruddien,

Page 107: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

93

dari kata al-syaf’u (ganda) atau lawan dari kata al-witr (tunggal), yaitu menjadikan

sesuatu yang witr menjadi ganda seperti satu menjadi dua dan tiga menjadi empat.

Sedangkan menurut istilah, syafa‟at berarti memberikan manfaat kepada seseorang

atau menolak mudharat, dalam hal ini yang dimaksud dengan memberikan manfaat

adalah dengan memohonkan ampunan baginya dari dosa-dosanya.13

Pengertian inilah

yang dipercayai oleh kaum muslimin hingga saat ini.

Hal ini tidak sama dengan pemahaman yang dipegangi oleh Hasbi.

Menurutnya, syafa‟at yang dikenal di dunia ini adalah seseorang meminta belas kasih

agar orang yang dimintainya melakukan sebuah perbuatan atau meninggalkan yang

sebaliknya. Sebagai contoh adalah seseorang yang dihukum meminta belas kasih dari

hakim yang menimpakan hukuman terhadapnya. Maka hakim yang adil tidak mau

menerima syafa‟at yang semacam ini. Jika ia memenuhi permohonan dari orang yang

meminta belas kasih agar tidak diberi hukuman padahal sudah terbukti bersalah,

maka ia tergolong hakim yang zolim. Hal seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh

Allah Swt di Hari Akhir nanti.14

Karena irādat Tuhan adalah menurut ilmu-Nya yang

azali tidak dapat di ubah dan digantikan.15

Maka jika seorang manusia yang telah

ditentukan untuk masuk neraka dikarenakan oleh dosa-dosanya, tidak ada seorang

pun yang dapat mengubah ketentuan tersebut.

Lebih lanjut, Hasbi menuturkan maksud dari hadis “Bagi tiap-tiap Nabi ada

permohonannya, maka aku insyā`Allah akan menyimpan doaku untuk syafa’at bagi

umatku di Hari Kiamat” lebih mengarah kepada kenyataan bahwa Allah Swt

memberikan kemuliaan kepada pemohon syafa‟at (para Nabi). Ia mengatakan,

“Para muta`akkhirīn seperti Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa syafa‟at

adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi lalu diperkenankan oleh Allah Sw.

Dan syafa‟at dalam arti ini tidak berarti Tuhan surut (menghentikan) dari

“Syafa‟at dalam al-QUr‟an: Suatu Kajian atas Tafsir al-Maraghi” (Tesis S2 Pascasarjana IAIN

Surakarta, 2017), h. 31-38. 13

Nurliana Damanik, “Konsep Syafa‟at dalam Perspektif al-Qur‟an dan al-Hadis”, Shahih:

Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2017): h. 72. 14

Manusia sebagai makhluk yang lalai dan tidak luput dari kesalahan tentu dapat melakukan

hal yang zolim, namun mustahil hal tersebut terjadi kepada Allah Swt. Ia adalah zat Yang Maha

Agung dan terhindar dari segala cela. 15

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 408.

Page 108: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

94

kehendak-Nya lantaran permintaan seorang pemohon syafa‟at. Hanya saja

melahirkan suatu kemuliaan terhadap pemohon syafa‟at. Tidak ada dalam

syafa‟at ini sesuatu yang memenuhi kerakusan orang-orang yang tertipu

dengan bermudah-mudah dan meringan-ringankan perintah agama karena

berharap akan syafa‟at itu.”16

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa Hasbi berupaya memahami hadis

dengan cara membandingkan kandungannya dengan ayat al-Qur‟an yang menjelaskan

tema serupa. Jika ternyata kandungannya bertentangan dengan yang dijelaskan oleh

al-Qur‟an maka ia akan lebih memilih untuk berpegang kepada al-Qur‟an.

Demikianlah langkah yang ditempuh Hasbi ketika memahami hadis syafa‟at. ia

menyatakan bahwa syafa‟at tidak akan dapat menyelamatkan manusia dari api neraka

sekalipun Nabi Muhammas Saw yang memintanya kepada Allah Saw, karena irādah-

Nya tidak dapat diubah. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan hadis-hadis

shahih yang menjelaskan tentang syafa‟at? Maka dalam hal ini hendaknya kita

mencermati hal-hal yang menjadi kriteria hadis shahih menurut Hasbi. Selain dari

lima kriteria yang sudah lumrah digunakan oleh para ulama, ia juga menetapkan satu

persyaratan lagi yaitu tidak bertentangan dengan nash mutawātir. Ayat-ayat al-Qur‟an

yang berkenaan dengan syafa‟at tidak dengan tegas menjelaskan mengenai

keberadaannya, dan bahkan pada QS. al-Baqarah: 254 disebutkan bahwa pada Hari

Akhir nanti tidak akan ada jual beli dan syafa‟at. Atas dasar inilah Hasbi kemudian

menunjukkan sikapnya yang menolak keyakinan bahwa manusia dapat diselamatkan

dan dikeluarkan dari neraka kerena syafa‟at dari Nabi Saw.

2. Mentakwil Hadis-hadis Musykīl

Hadis musykīl adalah hadis yang sulit dipahami karena ada kata-kata yang

janggal dan asing sehingga diperlukan ilmu khusus untuk memahaminya yaitu ilmu

musykīl hadīs.17 Salah satu contoh pemahaman Hasbi terhadap hadis musykīl adalah

tentang muslim makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus.

Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

16

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 409. 17

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan

Metode Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Idea Press, 2006), h. 83.

Page 109: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

95

عن ابن عمر رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إن ادلؤمن يأكل يف معى واحد ري ومسلم(وإن الكافر أو ادلنافق يأكل يف سبعة أمعاء )رواه البخا

“Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Sesungguhnya

orang-orang mukmin, makan dalam satu usus dan sesungguhnya orang kafir dan

munafik itu makan dalam tujuh usus.”18

ريا, فأسلم فكان يأكل أكل قليل, فذكر عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رجل كان يأكل أكل كث ذلك للنيب صلى اهلل عليو وسلم فقال: إن ادلؤمن يأكل يف معى واحد و الكافر يأكل يف سبعة أمعاء

)رواه البخاري ومسلم(“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Bahwasannya seorang lelaki selalu makan

banyak, maka dia masuk agama Islam lalu dia makan sedikit. Hal tersebut

diterangkan orang kepada Nabi Saw, kemudian beliau bersabda, „Sesungguhnya

orang-orang mukmin, makan dalam satu usus dan orang kafir makan dalam tujuh

usus.”19

Beberapa kalangan memandang asing bahkan sinis hadis ini karena

redaksinya yang sulit diterima oleh akal. Bagaimana mungkin seorang mempunyai

lebih dari satu usus disaat struktur tubuh manusia semuanya adalah sama, terlepas

dari agama apapun yang ia anut.20

Maka menurut Hasbi hadis ini tidak dapat

dipahami secara tekstual karena merupakan bentuk kiasan. Karenanya hendaklah

hadis tersebut ditakwil. Ia mengungkapkan,

“Maksud hadis ini adalah menggambarkan bahwa orang mukmin merelekan

sedikit yang diperoleh dari harta keduniaan, sedangkan orang kafir berlomba-

lomba mencari keduniaan sebanyak mungkin. Juga memberi pengertian

bahwa para mukmin dianjurkan supaya tidak terlalu banyak makan, karena

yang demikian itu menimbulkan nafsu kebinatangan dan lain-lain yang

menimbulkan kerusakan.”21

18

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 92. 19

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 92. 20

M. Fatih, “Pemahaman Hadis „Makan dengan Tiga Jari‟ dan „Perbedaan Usus Orang

Mumin dan Orang Kafir Ketika Makan‟: Kajian Ma‟anil Hadits,” Progressa Journal of Islamic

Religious Instruction 1, No. 1 (Februari 2017): h. 131. 21

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 93.

Page 110: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

96

Dari penjelasan di atas, hadis tentang perbedaan perut mukmin dan kafir

dipahami Hasbi dengan dua makna. Pertama, bahwa orang mukmin hendaknya tidak

tamak dengan kenikmatan duniawi karena ia bersifat fana, dan hal tersebut juga yang

membedakan antara muslim dan kafir karena orang kafir lebih mendahulukan nafsu

duniawi dibanding mengingat akhirat. Kedua, bahwa orang mukmin hendaknya tidak

menganggap makan sebagai tujuan hidup, dengan rakus dan tidak kenal kenyang.

Inilah yang menjadi poin pembeda antara mukmin dan kafir.22

Jika demikian, maka

tidak ada yang perlu diragukan dari hadis tentang perbedaan usus orang mukmin dan

kafir, karena maksud yang ingin disampaikan oleh Nabi Saw bukanlah tentang

perbedaan anatomi susunan tubuh namun perbedaan sifat dan karakter yang dimiliki

oleh keduanya.

Selanjutnya adalah pemahaman Hasbi terhadap hadis tentang tidak ada iman

pada orang yang berbuat maksiat. Hadis tersebut berbunyi:

عن أبو ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال يزن الزان حي ي زن وىو مؤمن وال مؤمن )وزاد يف رواية( وال يشرب اخلمر حي يشرا وىو مؤمن وال يسرق السارق حي يسرق وىو

)رواه البخاري ومسلم( ينتهب ن هبة ذات شرف ي رفع الناس إليو أبصارىم فيما حي ي نتهبها وىو مؤمن

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda: Tidaklah berzina

seorang pezina, ketika ia berzina sedang ia beriman. Tidaklah sesorang minum

khamar ketika ia meminumnya sedang ia beriman. (dalam riwayat lain ditambahkan)

tidaklah seseorang merampas sesuatu hak orang lain yang mempunyai nilai tinggi,

yang penglihatan manusia tertuju kepadanya, ketika ia merampasnya sedang ia

beriman.”23

Hadis ini merupakan salah satu yang diperselisihkan maknanya oleh para

ulama. Ada yang berpendapat bahwa orang yang bermaksiat telah hilang imannya

22

Dalam memahami hadis pada tema ini, Hasbi juga menyertakan beberapa hadis sebagai

penguat. Salah satunya adalah riwayat yang berbunyi: بع فى اندوياهم أهم انجوع غدا فى األخرة إن أهم انش

“Sesungguhnya orang-orang yang sangat kekenyangan di dunia, itulah orang-orang yang menderita

kelaparan di akhirat”, dan ره كثر مطعمه يقسى قهبه مه ره قم مطعمه ومه قم تفك كثر تفك “Barangsiapa banyak

bertafakkur, niscaya sedikitlah makannya, dan barangsiapa yang sedikit bertafakkur, niscaya

banyaklah makannya dan kesatlah hatinya.” Kedua hadis ini menganjurkan umat Islam untuk tidak

rakus dalam menghadapi makanan dan sederhana dalam meakan merupakan salah satu ciri orang yang

gemar bertafakkur. Lihat: Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 94-95. 23

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 451.

Page 111: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

97

sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tidak

sempurnanya imannya dan bukan hilang seluruhnya. Golongan Khawārij menjadikan

hadis ini sebagai salah satu pegangan dalam mengkafirkan para pelaku dosa besar.24

Sementara itu Ibnu Battal (w. 449 H), sebagaimana dikutip oleh Muhammad Nuh,

mengatakan bahwa hadis tersebut merupakan ancaman bagi pelaku maksiat. Ia juga

menuturkan, bahwa yang dimaksud dengan iman dalam hadis tersebut adalah iman

yang sempurna, maka jika seseorang bermaksiat imannya menjadi lebih rendah

dibanding yang terbebas dari melakukannya.25

Dalam memahami hadis ini, Hasbi memandang perlu dilakukan pentakwilan

karena mengingat ada hadis lain yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a. (w. 32 H)

bahwa Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan Lā Ilāha Illa Allah

masuk surga walaupun ia berzina dan walaupun ia mencuri.” Ia juga menampilkan

QS. An-Nisā`: 48, “Bahwasannya Allah tidak mengampuni dosa orang yang

mempersekutukannya dan mengampuni dosa yang selain itu.” Dengan dasar dua nash

ini, Hasbi menuturkan bahwa hadis tersebut tidak dapat dipahami dari zahirnya saja.

Karena baik al-Qur‟an maupun hadis mengatakan hal yang sebaliknya.26

Jika

memang pezina, pencuri dan peminum khamar tercabut iman dari hatinya, maka ia

menjadi kafir, sedangkan orang yang kafir tidak masuk surga. Hal ini tentu

berlawanan dengan kandungan hadis riwayat Abu Dzar dan ayat al-Qur‟an yang telah

disebutkan di atas.

Pada sisi lain Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr aṯ-Ṯhabary (w. 311 H)

menyatakan bahwa makna hadis tersebut adalah dicabutnya semua nama baik (seperti

wal-wali Allah) dari orang yang melakukan maksiat, kemudian dilekatkan gelar

24

Kaum Khawārij meyakini bahwa siapa saja melakukan dosa besar tergolong kafir. Pendapat

ini bermula dari kekecewaan mereka terhadap peristiwa Tahkim hingga kemudian mereka menganggap

kafir semua yang tidak berhukum dengan hukum Allah (QS. al-Mā`idah: 44). Keyakinan ini kemudian

menjadi lebih luas sehingga melingkupi perihal martakib al-kabā`ir (capital sinner), yang juga mereka

golongkan sebagai orang yang telah keluar dari agama Islam. Zina, mabuk-mabukan dan mencuri

termasuk dosa besar, maka dari itulah mereka menyebut pelakunya sebagai tidak lagi beriman. Mereka

pun menjadikan hadis ini sebagai penguat argumen mereka di samping al-Qur‟an. Selangkapnya lihat:

Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet-6 (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 1986), h. 31-32. 25

Muhammad Nuh Siregar, “Hadis tentang Keimanan Orang yang Berbuat Maksiat”, Shahih:

Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2019): h. 5-6. 26

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 169.

Page 112: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

98

“pencuri”, “pezina”, “pemabuk” kepada mereka. Hasbi secara pribadi menyatakan

bahwa pelaku maksiat berkurang imannya bukan lenyap seluruhnya. Oleh karena itu

pezina, pencuri, peminum khamar tidak dipandang kafir. Jika mereka bertaubat, maka

gugurlah dosa mereka, namun jika perbuatan tersebut terus-menerus dilakukan maka

itu merupakan urusannya dengan Allah Swt kelak di Hari Akhir.27

Ia menjelaskan,

“Apabila hadis ini dipegangi zahirnya, maka dipahami bahwa pezina kala ia

berzina tercabut daripadanya iman dan tidak dipandang mukmin lagi, dan jika

ditakwilkan makan pezina ketika berzina hanya dipandang kurang imannya.”

Dari dua keadaan ini Hasbi lebih memilih untuk mentakwil hadis tersebut. Ia

juga memberikan makna kepada pencuri, peminum khamar dan pezina dengan

perbuatan-perbuatan lain yang menurutnya masih dalam kategori yang sama.

Menurutnya, hadis ini mencakup segala rupa maksiat. Zina yang dimaksud dari hadis

pada pembahasan ini mencakup semua syahwat. Pencurian meliputi segala

kegemaran pada keduniaan dan haus pada barang yang haram. Khamar mencakup

semua yang menghambat manusia dari mengingat Allah Swt dan menyebabkan lalai

dari menunaikan hak-hakNya.28

Maka sekalipun perbuatan maksiat seperti berzina,

mencuri dan meminum khamar tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetap

saja harus dihindari. Termasuk hal-hal yang merupakan indikasi-indikasi dari ketiga

perbuatan tersebut, juga harus dijauhi dan ditinggalkan.

Selanjutnya adalah pemahaman Hasbi terhadap hadis tentang Nabi Musa

memukul malaikat maut yang datang menemuinya. Disebutkan dalam sebuah

riwayat:

و وت إىل موسى عليهم السلم. فلما جاءه صك

ف فقأ عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أرشل ملك ادلنو فرجع إ نو وقال: ارجع فقل لو يضع عي ىل ربو.فقال: أرسلتين إىل عبد ال يريد ادلوت. ف رد اهلل عليو عي

يده على مت ث ور. فلو بكل ما غطت بو يدىبكل شعرة سنة. قال: أي ريب! ث ماذا؟ قال: ث ادلوت.

27

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 170. 28

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 171.

Page 113: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

99

قدسة رمية حبجر. قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو قال: فاآلن.

فسأل اهلل أن يدنيو من األرض ادلره إىل جانب الطريق عند الكثيب األحر )رواه البخاري ومسلم( وسلم: ف لو كنت ث ألري تكم قب

“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, „Malaikat maut diutus untuk mendatangi

Nabi Mūsa. Ketika sampai di tempatnya Mūsa, beliau memukul malaikat itu, sampai

lepas matanya. Kemudian Malaikat ini kembali menemui Rabbnya. Ia mengadu,

„Engkau mengutusku untuk menemui hamba yang tidak menghendaki kematian.‟

Kemudian Allah mengembalikan matanya, dan berfirman, „Kembali temui Mūsa,

sampaikan kepadanya, „Silahkan dia letakkan tangannya di punggung sapi, maka usia

Mūsa akan ditambahkan sejumlah bulu yang ditutupi tangannya, setiap satu bulu

dihitung satu tahun.‟ Mūsa bertanya, „Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa yang

terjadi?‟ Allah menjawab, „Setelah itu, mati.‟ Mūsa berkata, „Kalau begitu, sekarang

saja.‟ Lalu Musa memohon kepada Allah agar didekatkan ke tanah suci (Baitul

Maqdis), sejauh lemparan sebuah batu‟, Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw

bersabda, „Sekiranya aku berada disana, tentulah aku perlihatkan kuburannya di

pinggir jalan di sisi tumpukan pasir merah‟.”29

Sebagian ulama kontemporer memandang hadis di atas sebagai hadis musykil

karena redaksinya yang dianggap sulit diterima oleh akal sehingga tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.30

Malaikat merupakan makhluk mulia dan

mempunyai kedudukan yang istimewa karena ketaatannya kepada Allah Swt.31

Pada

sisi lain, bagaimana mungkin seorang Nabi yang merupakan manusia pilihan

melakukan aksi seperti memukul malaikat hingga matanya terlepas. Beberapa

keadaan yang diceritakan di dalam hadis tersebut memerlukan penjelasan lebih

mendalam agar kandungannya tidak disalahpahami. Hasbi menjelaskan hadis ini

dengan cara mentakwilnya. Ia mengatakan,

“Dan dapat juga hadis ini kita takwil. Maksudnya, Mūsa dapat mengalahkan

hujjah malaikat maut dalam perdebatan. Sedangkan yang dimaksud dengan

Allah mengembalikan mata malaikat maut adalah memenangkan hujjahnya

atas hujjah Mūsa.”32

29

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 552. 30

Nizar Ali, Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil (Yogyakarta: Penerbit

Teras, 2008), h. 72. 31

Abd Kahar, “Eksistensi dan Keistimewaan Malaikat Jibril AS dalam Al-Qur‟an”, JPIK 1,

No. 2 (September 2018): h. 286. 32

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 560.

Page 114: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

100

Namun Hasbi juga tampaknya tidak begitu teguh dengan pendapatnya karena

pada penjelasan lebih lanjut terhadap hadis ini ia juga menyebutkan bahwa Nabi

Mūsa mengira yang datang menemuinya adalah manusia yang hendak berbuat jahat

kepadanya. Maka karena itulah ia memukul wajah orang yang datang menemuinya

tersebut.33

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa Hasbi tidak memahami hadis musykīl

secara tekstual. Ia memahaminya dengan memalingkan makna zahirnya kepadanya

makna yang lebih tepat dan lebih dapat diterima. Hasbi membedakan kandungan

hadis yang bermakna sebenarnya dengan makna yang berbentuk kiasan. Langkah ini

juga digunakan oleh ulama hadis yang lain, seperti Yūsuf al-Qarḏāwi. Di dalam salah

satu karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul

“Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw” ia juga menyebutkan metode tersebut.34

Untuk memahami hadis-hadis yang tidak bermakna hakiki atau mengandung kiasan,

hendaklah ditakwil. Demikian yang dijelaskan oleh Hasbi dan Yūsuf al-Qarḏāwi.

Adapun takwil secara bahasa berasal dari kata ala-ya`ūlu-aulan ( - ال – يأول

yang berarti kembali. Sedangkan menurut istilah, takwil adalah mengembalikan (اوال

atau memalingkan makna harfiyah sebuah teks kepada maknanya yang

tersembunyi.35

Hasbi menuturkan bahwa jika ditemukan pertentangan antara akal dan

naql maka jalan yang harus ditempuh adalah takwil bagi naql. Untuk mendukung

penyataannya tersebut ia mengutip perkataan Ibnu Rusyd (w. 594 H) di dalam Fashl

Maqāl, “Jika syara‟ menurut lahirnya berlawanan dengan akal, hendaklah

ditakwilkan.” Dalam proses takwil, Hasbi memberikan beberapa rambu-rambu yang

harus diingat dan dipatuhi, yaitu: a) Tidak boleh menafsirkan nash sekedar agar

menyesuaikannya dengan akal tanpa memperdulikan riwayat yang shahih b) Takwil

hanya boleh diterapkan pada nash-nash selain sifat Tuhan dan aqā`id karena nash

33

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 558. 34

Kitab aslinya berjudul Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnati al-Nabawiyyah dan sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan juga telah beberapa diterbitkan. Adapun penjelasan

Yūsuf al-Qarḏāwi mengenai metode membedakan makna hakiki dan kiasan, lihat: Yūsuf al-Qarḏāwi,

Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Penerjemah Muhammad al-Baqir, Cet- 4 (Bandung: Karisma,

1995), h. 167-188. 35

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 7 (Jakarta: Lentera hati, 2006), h. 353.

Page 115: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

101

tentang kedua hal tersebut harus dipahami sesuai dengan pemahaman salaf, sahabat

dan tabi‟in c) Takwil boleh diterapkan terus-menerus pada nash-nash yang tidak

berhubungan dengan sifat Tuhan dan aqā`id, asalkan tidak merusak suatu ketetapan

syara‟ yang sudah jelas dan tegas hukumnya.36

Maka dari pernyataan Hasbi di atas, telihat bahwa menurutnya ada beberapa

hal yang menjadikan sebuah hadis digolongkan sebagai hadis musykīl sehingga

menghendaki pentakwilan, antara lain: Pertama, ketika redaksinya sulit untuk

diterima akal. Contohnya ia mentakwil Hadis tentang muslim makan dengan satu

usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus karena hal tersebut dan hadis tentang

Nabi Musa As. memukul malaikat maut yang datang menemuinya. Kedua, ketika

redaksinya tidak satu alur dengan yang dijelaskan oleh hadis yang lain.37

Hal ini

tergambar dari pemahamannya terhadap hadis tentang tidak ada imam di dalam hati

para pemaksiat (pezina, pencuri dan peminum khamar).

3. Merujuk pada Sejumlah Referensi

Dalam memahami hadis, Hasbi banyak merujuk kepada pendapat-pendapat

para ulama. Langkah ini sebenarnya tidak hanya diterapkan oleh Hasbi, namun juga

oleh kebanyakan ulama lainnya. Seperti halnya Ibnu Hajr al-Asqalāni di dalam Fath

al-Bāri, tidak jarang beliau mengutip pendapat dari ulama lain sebagai referensi.38

Adapun Hasbi dalam memahami hadis merujuk kepada pendapat-pendapat para

fuqahā` seperti imam mazhab yang empat. Di samping itu ia juga mengutip perkataan

muhadditsīn seperti Ibnu Hajar (w. 852 H) dan al-Nawawi (w. 676 H). Bahkan dapat

dikatakan bahwa Hasbi sangat menjadikan dua ulama ini sebagai panutan, karena

hampir pada setiap penjelasan hadis, pendapat dari dua ulama ini tidak pernah

36

N. Shiddiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 130-131. 37

Namun tidak semua hadis yang semacam ini harus ditakwil karena Hasbi juga menawarkan

metode lain jika sebuah hadis redaksinya tampak bertentangan dengan hadis yang lain. Hal ini akan

akan dijelaskan pada pembahasan tersendiri. 38

Sebagai contoh Ibnu Hajar merujuk kepada pendapat Imam al-Syāfi‟i, Ahmad bin Hanbal,

Ishāq bin Rāhawaih dan lain-lain yang dinukil oleh Abu al-Qāsim al-Lālikā‟i di dalam Kitāb al-

Sunnah. Ia juga merujuk kepada pendapat Sufyān al-Tsaury, Mālik bin Anas al-Auzā‟i dan ulama-

ulama fikih lainnya yang dinukil oleh Abd al-Razzāq di dalam musannaf-nya. Lihat: Ahmad bin Ali

bin Hajr al-Asqalāni, Fath al-Bāri bi Syarh Sahīh al-Bukhāri, Jilid 1 (Riyāḏ: Dār al-Ṯibah, 2005), h.

95.

Page 116: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

102

ketinggalan. Ia juga merujuk kepada pendapat ulama seperti Ibnu Qudamah (w. 629

H), al-Baghāwi (w. 516 H) dan Ibnu Daqīq al-Īed (702 H).

Pemahaman Hasbi terhadap hadis dengan merujuk kepada berbagai referensi

atau pendapat para ulama tercermin dari penjelasannya terhadap hadis tentang

kewajiban shalat Jum‟at. Penjelasannya tentang shalat Jum‟at sedikit berbeda dengan

yang menjadi keyakinan umat Islam kebanyakan. Selama ini, pemahaman yang

berkembang di masyarakat, terutama di Indonesia, adalah shalat Jum‟at wajib untuk

laki-laki dengan jama‟ah harus lebih dari 40 orang.39

Di samping itu, khotbah

merupakan salah satu rukunnya dan siapa saja yang benar-benar memiliki uzur atau

halangan untuk tidak shalat Jum‟at berjama‟ah di masjid, maka ia melaksanakan

shalat Zuhur.

Namun hal ini sangat berbeda dengan penjelasan yang dikemukakan oleh

Hasbi. Menurutnya, pada hari Jumat tidak ada shalat Zuhur empat rakaat karena

sudah diganti oleh shalat Juma‟at dua rakaat.40

Shalat Jum‟at diwajibkan untuk semua

kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan. Jika berhalangan tidak ke masjid,

maka tidak mengapa melakukannya sendirian di rumah karena mendengarkan

khotbah bukanlah rukun dan syarat dari shalat Jumat. Jadi, bagi siapa yang tidak

sempat melaksanakan shalat Jumat di masjid, ia boleh shalat dimanapun ia bisa, dan

bukan shalat Zuhur tapi shalat Jumat. Berkenaan dengan hal ini Hasbi berkata:

“Sesungguhnya jama‟ah shalat Jum‟at itu tidak diisyaratkan mempunyai

bilangan tertentu. Perbedaan antara jama‟ah Jum‟at dengan jama‟ah yang lain-

lain hanyalah pada khutbah saja. Karena itu, wajiblah atas tiap-tiap

segolongan manusia mendirikan shalat Jum‟at, dimana saja ia berada. Dan

tidak boleh seseorang mengundurkan diri dari jama‟ah Jum‟at dan tidak boleh

mendirikan Zuhur hanya karena bilangan jama‟ahnya tidak banyak. Juga tidak

boleh mendirikan Zuhur sesudah ber-Jum‟at yang dikerjakan dengan bilangan

yang tidak cukup banyak itu (40 orang). Tidak dapat diragui bahwa

mengerjakan shalat Zuhur sesudah shalat Jum‟at atas jalan ikhtiyāṯ, adalah

39

Pendapat ini disandarkan pada ajaran Mazhab Syafi‟i yang banyak dipakai oleh masyarakat

Indonesia. Sedangkan Mazhab Hanafi menyatakan bahwa minimal jumlah jama‟ah adalah tiga orang,

Mazhab Maliki dua belas orang. Menurut Ibnu Hajr terdapat lima belas pendapat, dan yang paling

banyak adalah delapan puluh jama‟ah. Lihat: Ali Abubakar, “Reinterpretasi Shalat Jumat: Kajian Dalil

dan Pendapat Ulama”, Media Syariah XIII, No. 2 (Juli-Desember 2011): h. 171. 40

N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 179.

Page 117: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

103

bid‟ah muhdatsah. Orang yang mengerjakannya berdosa karena yang

demikian berarti menambahkan agama.”41

Mengenai kewajiban shalat Jum‟at, Hasbi menampilkan beberapa hadis,

antara lain sebagai berikut:

ع النداء )رواه أبو داود( عن عبد اهلل بن عمر قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: اجلمعة على من س“Dari Abdullah bin Amr ia berkata, Nabi Saw bersabda: Jum‟at itu wajib bagi

mereka yang mendengar seruan (azan).”42

)رواه الشوكان يف عن حفصة قالت: إن النيب صلى اهلل وسلم قال: رواح اجلمعة واجب على كل متلم ضية(

الدرر ادل

“Dari Hafsah ia berkata, bahwasannya Nabi Saw bersabda: Pergi ke Jum‟at itu

wajib bagi mereka yang sudah bermimpi (sudah sampai umur).”43

Dari dua hadis di atas, Hasbi menjadikannya dalil dari diwajibkannya shalat

Jum‟at untuk masing-masing pribadi muslim sebanyak dua raka‟at. Pemahaman ini ia

sandarkan kepada hadis Umar, “Sembahyang Jum‟at dua raka‟at, sembahyang

musafir dua raka‟at, sempurna bukan qashar.” Ia juga mengatakan bahwa tidak

mengapa tidak melakukannya secara berjam‟ah jika memang berhalangan, namun

tetap harus melaksanakannya ketika sendirian. Hasbi sendiri telah menyatakan bahwa

shalat Jum‟at dinamakan shalat Jum‟at bukan karena dilaksanakan secara berjama‟ah

tapi karena ia dilakukan pada hari Jum‟at. Sehingga sekalipun tidak dilakukan secara

berjama‟ah, tidak apa-apa.44 Ia mengatakan,

“Sebab dinamai shalat Jum‟at dengan shalat Jum‟at ialah karena kita

mengerjakannya pada hari Jum‟at, sebagaimana halnya „Ied. Dinamainya

dengan shalat „Ied disebabkan kita mengerjakannya pada hari „Ied (raya).”45

41

Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 389. 42

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974), h.

209. 43

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 209. 44

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 218. 45

Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11, h. 393.

Page 118: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

104

Pendapatnya mengenai kebolehan melaksanakan shalat Jum‟at sendirian ia

kuatkan dengan mengutip pentahqiqan yang dilakukan oleh Muhammad Ahmad

Syakir (w. 1377 H), yaitu jama‟ah bukanlah syarat sah shalat Jum‟at, hanya saja jika

dengan sengaja meninggalkan jama‟ah padahal tidak ada halangan maka orang

tersebut akan berdosa. Lebih lanjut Hasbi menjelaskan bahwa apabila seseorang tidak

menghadiri jama‟ah Jum‟at ke masjid, hendaklah ia mengerjakan dua raka‟at juga

(shalat Jum‟at sendirian). Karena menurutnya, “Tidak ada hadis –walau satupun-

yang menyuruh mengerjakan Zuhur karena tidak menghadiri jama‟ah Jum‟at.” Hasbi

juga menambahkan, “Jika saja ada yang mengatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah

melakukan shalat Jum‟at dengan tidak berjama‟ah, yang demikian itu menunjukkan

bahwa wajib berjama‟ah, maka kami akan menjawab, „Shalat fardhu yang lain pun

tidak pernah Nabi Saw lakukan dengan tidak berjama‟ah, apakah berjama‟ah menjadi

syarat sahnya?‟.”46

Di samping itu, Hasbi juga menjelaskan sebuah hadis tentang orang-orang

yang gugur dari kewajiban shalat Jum‟at berjama‟ah. Hadis tersebut berbunyi sebagai

berikut:

عن طارق بن شهاب قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: اجلمعة حق واجب على كل مسلم يف مجاعة إال أربعة, عبد مملوك أو امرأة أو صيب أو مريض

“Dari Ṯāriq bin Syihāb ia berkata, Nabi Saw bersabda: Jum‟at adalah hak

yang wajib (tugas yang diberatkan) kepada setiap muslim dalam berjama‟ah, kecuali

empat golongan yaitu budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang

sakit.”47

Menurut Hasbi, potongan hadis yang berbunyi “Jumat itu hak wajib bagi tiap-

tiap muslim dalam berjama‟ah kecuali bagi empat golongan yaitu hamba sahaya,

wanita, anak kecil dan orang sakit” menunjukkan bahwa mereka tidak wajib untuk

shalat Jum‟at berjama‟ah di masjid, bukan berarti tidak wajib mengerjakan Jum‟at.48

Karena yang dipahami oleh Hasbi bahwa shalat Jum‟at adalah wajib bagi seluruh

46

Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11, h. 393. 47

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 210. 48

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 219.

Page 119: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

105

kaum muslimin, sehingga sekalipun ada golongan yang dikecualikan oleh Nabi Saw

dari kewajiban untuk berjama‟ah, tetap wajib untuk mendirikannya di manapun ia

berada dan dalam kondisi apapun yang sedang ia hadapi.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa hal yang dipahami

Hasbi dari hadis-hadis tentang shalat Jum‟at adalah: Pertama, hukum shalat jum‟at

adalah wajib ‘ain.49

Kedua, shalat Jum‟at adalah pengganti Shalat Zuhur pada hari

Jum‟at, jadi seandainya seseorang berhalangan tidak dapat berjama‟ah maka orang

tersebut wajib shalat Jum‟at dan hal ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.

Ketiga, khutbah bukanlah rukun shalat Jum‟at, jadi tidak mengapa jika shalat Jum‟at

dilakukan tidak berjama‟ah jika sedang mempunyai uzur sehingga tidak dapat

melaksanakannya secara berjama‟ah. Keempat, menurut Hasbi yang dimaksud

dengan empat golongan yang dikecualikan dari perintah untuk shalat Jum‟at adalah

mereka yang tidak berkewajiban untuk melaksanakan shalat Jum‟at secara

berjama‟ah namun tetap wajib melaksanakannya di rumah.

Dalam memahami hadis dengan tema shalat Jum‟at ini, Hasbi juga merujuk

kepada pendapat beberapa ulama seperti Ibnul Mundzir (w. 319 H) yang mengatakan

bahwa shalat Jum‟at adalah fardhu „ain. Pada sisi lain Al-Khaṯṯābi (w. 388 H)

menyatakan bahwa di antara para ulama ada yang menetapkan hukum shalat Jum‟at

sebagai fardhu „ain dan ada juga yang fardhu kifayah. Kebanyakan fuqaha‟ yang

menetapkan fardhu kifāyah adalah dari pendapat Syafi‟iyah dalam al-Qadim. Dengan

menyandarkan pendapatnya kepada Ibnul Araby (w. 543 H), Hasbi membantah

pernyataan dari al-Khaṯṯābi (w. 388 H) mengenai kalimat “kebanyakan ulama”,

karena menurutnya imam yang empat telah muwāfakat menetapkan bahwa shalat

Jum‟at adalah fardhu „ain walaupun masing-masingnya mempunyai syarat-syaratnya

tersendiri. Hasbi mengatakan,

49

Wajib ‘ain adalah suatu kewajiban untuk mengerjakan perintah Allah Swt dan wajib mutlak

harus dilakukan oleh tiap-tiap individu muslim. Contoh amalan yang hukumnya wajib „ain adalah

shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Di samping itu juga dikenal istilah wajib kifayah yang

merupakan suatu kewajiban yang tidak menghendaki seluruh individu untuk melakukannya, jika pada

suatu lingkungan ada sebagian orang yang melaksanakannya maka hal tersebut sudah cukup. Contoh

amalan yang hukumnya wajib kifayah adalah mengurus jenazah hingga menguburkannya dan

membersihkan masjid.

Page 120: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

106

“Menurut penyelidikan kami sesudah memperhatikan pendapat-pendapat

fuqaha` dan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan masalah ini,

bahwasannya Jum‟at itu diwajibkan atas tiap-tiap pribadi (mukallaf) sebanyak

dua rakaat, baik dikerjakan sendiri-sendiri maupun dikerjakan atas

berjama‟ah. Jum‟at itu bukanlah diwajibkan atas jama‟ah saja, tetapi

diwajibkan atas masing-masing pribadi, dalam arti baik dikerjakan sendiri-

sendiri ataupun dikerjakan berjama‟ah, tetap dikerjakan sebanyak dua

raka‟at.”50

Dari pernyataan Hasbi di atas dapat dipahami bahwa menurutnya jika

seseorang tidak mengerjakan shalat Jum‟at berjama‟ah maka harus menggantinya

dengan shalat dua raka‟at sendirian.51

Pendapat ini ia sandarkan kepada pentahqiqan

ulama yang ia kutip untuk memperkuat penjelasannya. Maka di sini tampak bahwa

salah satu metode yang digunakan oleh Hasbi dalam memahami hadis adalah dengan

merujuk pada beberapa referensi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa ijtihad-ijtihad

yang dilakukan oleh para ulama sangat membantu proses pemahaman hadis, terutama

dengan membandingkan satu perndapat dengan pendapat lainnya untuk menemukan

yang lebih tepat dan mendekati kebenaran.

4. Mengkompromikan Hadis-hadis Mukhtalīf

Hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw tidak semuanya dapat langsung

dipahami dengan melihat redaksinya saja, ada sebagian darinya yang memerlukan

kajian lebih lanjut dan mendalam. Salah satu hadis yang harus dikaji secara

mendalam adalah hadis-hadis yang terlihat bertentangan atau hadis mukhtalīf. Kajian

terhadap hadis mukhtalīf mendapat sorotan lebih dari para ulama, tercermin dari

upaya mereka dalam melahirkan karya-karya pada bidang tersebut.52 Adapun

mengenai definisinya, hadis mukhtalif diartikan sebagai hadis maqbūl yang

redaksinya kontradiktif dengan hadis maqbūl lainnya dan memungkinkan untuk

50

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 217. 51

Ridwan Hasbi, “Paradigma Shalat Jum‟at dalam Hadits Nabi,” Jurnal Ushuluddin 18, No.

1 (Januari 2012): h. 78. 52

Banyak kitab dalam bidang ilmu mukhtalīf hadīs yang ditulis oleh para ulama, seperti

Ikhtilāf al-Hadīs karya Imam al-Syāfi‟i, Takwīl Mukhtalīf al-Hadīs karya al-Hāfiz Abdullah bin

Muslim bin Qutaibah al-Dainawari, Musykil al-Atsar karya al-Ṯahawi dan Musykil al-Hadis wa

Bayānuhu karya Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode

Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 208-209.

Page 121: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

107

dikompromikan.53 Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada tiga kriteria

yang menjadi patokan sehingga digolongkan sebagai hadis mukhtalīf yaitu

kontradiktif secara lahiriah, merupakan hadis yang maqbūl dan memungkinkan untuk

dikompromikan.

Para ulama berupaya memberikan alternatif dalam penyelesaian hadis yang

bertentangan. Beberapa metode yang mereka tawarkan antara lain adalah Al-jam’u wa

al-taufīq, al-naskh, al-tarjīh dan al-tawaqquf.54 Metode al-jam’u yaitu

pengkomromian antara hadis-hadis yang berlawanan dengan cara mentakhsis hadis

yang umum atau mentaqyidkan yang mutlak.55 Adapun metode al-naskh dilakukan

dengan cara meneliti sejarah datangnya dua hadis yang bertentangan kemudian hadis

yang diketahui datang terlebih dahulu akan mansūkh atau dihapus.56 Selanjutnya

metode al-tarjīh dilakukan dengan membandingkan dalil-dalil dari kedua hadis yang

tampak bertentangan untuk mengetahui di antara keduanya mana yang lebih kuat dan

dapat diunggulkan.57 Metode yang terakhir adalah al-tawaqquf atau meninggalkan

untuk beristidlal dengan kedua hadis yang bertentangan dan pindah beristidalal

dengan hadis yang lain. Metode ini hanya dilakukan ketika metode satu, dua dan tiga

tidak dapat diterapkan, namun ini sangat jarang terjadi.58

53

Mahmūd Al-Ṯahhān, Taisīr Musṯalāh al-Hadīs, (Singapura: Al-Haramain, 1980), h. 56. 54

Muhammad Misbah, “Hadis Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih: Studi

Kasus Haid dalam Kitab Bidāyatul Mujtahid”, Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1 (2016): h. 108. 55

Salah satu contoh dari penerapan metode ini adalah pada hadis tentang pencurian. Hadis

pertama berisi tentang seorang pencuri telur dan tali dipootng tangannya, sedangkan hadis kedua berisi

tentang pencuri yang mencapai ¼ dinar dipotong tangannya. Kedua hadis ini tidak bertentangan, jika

dikompromikan maka hadis kedua membatasi kemutlakan hadis pertama. Lihat: Khon, Takhrij dan

Metode Memahami Hadis, h. 200. 56

Contoh dari penerapan metode ini adalah hadis tentang pelarangan menyimpan daging

kurban selama lebih dari tiga hari dan kemudian Nabi Saw membolehkannya. Larangan tersebut telah

mansūkh karena dinaskh oleh pernyataan Nabi Saw tentang kebolehannya. Lihat: Khon, Takhrij dan

Metode Memahami Hadis, h. 201. 57

Contoh penerapan metode ini adalah hadis tentang puasa ketika belum mandi junub saat

subuh. Hadis-hadis tentangnya tampak bertentangan karena riwayat pertama (dari Abu Hurairah)

menjelaskan bahwa tidak sah puasa seseorang yang pada waktu subuh mandi wajib. Sementara riwayat

kedua (dari Aisyah) menyatakan bahwa Nabi Saw pernah mandi junub saat subuh dan siangnya

berpuasa Ramadhan. Ulama mengunggulkan hadis dari Aisyah dengan alasan Aisyah sebagai istri

Nabi Saw tentu lebih mengetahui perihal apa saja yang dilakukan oleh suaminya. Lihat: Khon, Takhrij

dan Metode Memahami Hadis, h. 204. 58

Contohnya adalah hadis tentang membaca basmalah di waktu shalat ketika membaca al-

Fātihah. Pada hadis pertama disebutkan bahwa Nabi Saw tidak membaca basmalah dan memulai al-

Fātihah dengan alhamdulillāhi rabbil’ālamīn. Sementara hadis kedua menerangkan bahwa Nabi Saw

Page 122: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

108

Salah satu hadis yang ia selesaikan dengan metode al-jam’u adalah hadis

tentang penyakit menular pada unta. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

ة, عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: ال عدوى وال صفر وال ىامنها فقال أعريب: يا ر األجرب ف يدخل ب ي ا الظباء, ف يأت البعي رسول اهلل فما بال إبلى تكون ىف الرمل كأن

ل؟ )رواه البخاري ومسلم( ف يجرا؟ فقال: فمن أعدى األو

“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda, „Tidak

ada penularan, tidak ada cacing dan tidak ada burung hantu‟, seorang Arab dusun

bertanya, „Wahai Rasulullah, mengapakah unta-untaku yang berada di padang pasir

seolah-olah dia binatang kijang, kemudian datanglah unta yang berkurap lalu

mencampurinya dan menumbuhi kurap padanya?‟, Nabi Saw menjawab, „Maka siapa

yang menimbulkan penyakit terhadap yang pertama?‟.”59

Poin penting yang digaris bawahi oleh Hasbi dari hadis di atas adalah Nabi

Saw menyatakan bahwa tidak ada istilah penularan penyakit pada unta, karena jika

memang penyakit itu dapat menular, maka siapa yang menularkan penyakit kepada

unta yang membawa penyakit pertama kali? Namun pada hadis lain disebutkan

bahwa Nabi Saw melarang seseorang membawa untanya yang sakit berbaur dengan

unta yang sehat, seolah-olah beliau memberitahu jika unta-unta tersebut berbaur maka

akan terjadi penularan. Hadis yang dimaksud berbunyi sebagai berikut:

عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال ي وردن ممرض على مصح )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda, „Janganlah orang yang

mempunyai unta yang berpenyakit membawa untanya kepada orang yang mempunyai

unta yang sehat‟.”60

membaca dengan keras basmalah di awal al-Fātihah. Kedua riwayat ini tidak dapat ditarjih karena

redaksinya yang sama-sama berbunyi “Aku shalat di belakang Nabi…” Jika saja salah satu riwayat

tidak menyebutkannya maka mungkin tarjih bisa dilakukan. Namun karena kenyataannya kedua

riwayat masing-masing menyebutkannya maka hadis-hadis tersebut dibiarkan (tawaqquf). Lihat: Khon,

Takhrij dan Metode Memahami Hadis, h. 205-207. 59

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 320. 60

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 320.

Page 123: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

109

Kedua hadis di atas statusnya adalah shahih, namun lahir teksnya

menunjukkan pertentangan. Maka untuk menyelesaikannya Hasbi menggunakan

metode kompromi. Ia menjelaskan,

“Lahir hadis ini berlawanan dengan hadis yang telah lalu, sedang keduanya

adalah shahih. Karena itu perlu kita kumpulkan. Maka cara

mengumpulkannya adalah, hadis pertama menetapkan bahwa penyakit-

penyakit itu tidak berpindah dengan sendirinya. Sementara hadis kedua

menetapkan bahwa agama menghendaki supaya kita menjauhkan diri dari

sesuatu yang dapat menghasilkan kemelaratan dengan qadar Allah, supaya

apabila kebetulan kita menjadi sakit sesudah bercampur dengan orang sakit

tidaklah tumbuh kepercayaan bahwa percampuran itu yang menyebabkan kita

sakit, sehingga menimbulkan penyesalan yang tidak habis-habisnya.”

Dari penjelasan Hasbi di atas dapat dipahami bahwa dua hadis di atas tidaklah

bertentangan. Nabi Saw menyampaikan larangan agar tidak membawa unta yang

sakit berbaur dengan unta yang sakit bertujuan agar umat Islam tidak mempunyai

kepercayaan bahwa “penyakit itu menular” jika pada akhirnya unta yang sehat

menjadi ikut sakit. Itu adalah bentuk antisipasi dari Nabi Saw karena pada waktu itu

berkembang di masyarakat kepercayaan bahwa penyakit itu dapat ditularkan dari satu

individu kepada individu yang lain. Maka tidak ada pertentangan antara hadis

pertama dan kedua, karena pada intinya tidak ada penyakit yang menular.

Metode al-jam’u juga diterapkan oleh Hasbi dalam memahami hadis tentang

perkara yang pertama kali dihisab di akhirat. Pada riwayat pertama disebutkan,

“Perkara yang pertama kali dihisab di antara manusia pada Hari Kiamat adalah

perkara darah.” Sementara pada riwayat kedua disebutkan, “Perkara yang pertama

kali dihisab dari seoarang hamba adalah shalatnya.” Jika dibaca dari redaksinya saja,

sebagian orang mungkin akan terperangkap dalam dugaan-dugaan bahwa kedua hadis

tersebut bertentangan, padahal pada hakikatnya tidak. Menurut Hasbi, hadis tersebut

tidaklah bertentangan, karena hadis pertama merupakan hisab pertama yang terjadi

antara manusia dengan manusia, sedangkan hadis kedua adalah hisab pertama antara

Page 124: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

110

manusia dalam kedudukannya sebagai hamba dengan Allah Swt. Oleh karena itu

sangat penting untuk membaca redaksi hadis secara teliti.61

Metode yang sama juga digunakan oleh Hasbi dalam menyelesaikan hadis

tentang jangka waktu pengembalian luqatah (barang temuan). Pada hadis pertama

disebutkan:

وسلم فسألو عن اللقطة عن زيد بن خالد رضي اهلل عنو قال: جاء رجل إىل رسول اهلل صلى اهلل عليو فقال: اعرف عفاضها ووكاءىا, ث عرفها سنة, فإن جاء صاحبها واال فشأنك ا, قال: فضالة الغنم؟

ئب. فضالة اإلبل؟ قال: ما لك وذلا؟ معها سقاؤىا وح ذائها, ترد ادلاء قال: ىي لك أو ألخيك أو للذا )رواه البخاري ومسلم( وتاكل الشجر حت ي لقاىا ر

“Dari Zaid bin Khālid r.a. ia berkata: Seorang lelaki pernah datang menemui

Nabi Saw dan menanyakan tentang luqaṯah, maka beliau bersabda, „Kenalilah

kantong dan talinya, lalu umumkanlah selama setahun. Jika datang pemiliknya (maka

berikanlah), jika tidak, maka itu terserahmu.‟ Lelaki tersebut bertanya lagi, „Lalu

bagaimana dengan kambing yang hilang?‟ Beliau menjawab, „Itu untukmu, untuk

saudaramu atau untuk serigala.‟ Ia bertanya lagi, „Lalu bagaimana dengan unta yang

hilang?‟ Beliau menjawab, „Apa urusanmu dengannya, sesungguhnya ia memiliki

tempat airnya dan sepatu kakinya, ia bisa mendatangi tempat air dan memakan

pepohonan sehingga ditemui oleh pemiliknya‟.”62

Sementara itu pada hadis kedua disebutkan:

وجدت صرة على عهد النيب صلى اللو عليو وسلم فيها مائة دينار عن أيب بن كعب رضي اهلل عنو قال: لى اللو عليو وسلم ف قال عرف ها حوال ف عرف ت ها حوال ث أت يت ف قال عرف ها حوال فأت يت ا النيب ص

ت ها ووكاءىا ل اع ف عرف ت ها حوال ث أت يتو ف قال عرف ها حوال ف عرف ت ها حوال ث أت يتو الرابعة ف قا رف عد )رواه البخاري ومسلم( ووعاءىا فإن جاء صاحب ها وإال استمتع ا

“Dari Ubay bin Ka‟an r.a. ia berkata: Di zaman Nabi Saw aku pernah

menemukan bungkusan berisi uang seratus dinar lalu aku menemui Nabi Saw dengan

membawa barang tersebut, maka beliau berkata, „Umumkanlah (agar diketahui orang)

selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan selama setahun. Kemudian aku datangi lagi

beliau dan beliau berkata, „Umumkanlah selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan

selama setahun lagi. Kemudian aku datangi lagi beliau dan beliau berkata,

61

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 49-50. 62

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 142.

Page 125: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

111

„Umumkanlah selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan selama setahun lagi. Kemudian

aku temui beliau untuk yang keempat kali lalu beliau berkata, „Kenalilah jumlah

isinya dan bungkusan serta penutupnya, nanti bila ada yang datang sebagai

pemiliknya berikanlah namun bila tidak ada yang datang maka nikmatilah‟.”63

Pada hadis pertama dijelaskan bahwa menurut jawaban Nabi Saw atas

pertanyaan sahabat, jika sudah ditemukan selama setahun dan tidak ada pemiliknya

yang mencarinya maka barang tersebut boleh disimpan. Sedangkan pada hadis kedua,

seorang sahabat baru bertanya kepada Nabi Saw selama empat tahun berturut-turut

dan disuruh untuk menunggu pemiliknya mencarinya. Baru pada tahun yang keempat

Nabi Saw memperbolehkannya untuk menyimpannya. Redaksi dari dua hadis ini

bertentangan karena perbedaan dalam jangka waktu sehingga barang temuan dapat

disimpan atau dimiliki. Namun menurut Hasbi, pada hakikatnya hadis-hadis tersebut

tidak bertentangan. Ia mengatakan, “Untuk mempertemukan dua hadis yang tersebut

ini, kita dapat mengatakan bahwa satu tahun adalah batas minimum, sedangkan tiga

tahun adalah batas maksimun.”64

Dengan demikian, kedua hadis tersebut tidak

bertentangan, hanya saja salah satunya mentaqyidkan yang lainnya.

Dalam memahami hadis-hadis yang bertentangan tampaknya Hasbi hanya

fokus pada satu metode saja, yaitu al-jam’u atau kompromi. Penulis tidak

menemukan metode lain yang ia gunakan untuk menyelesaikan hadis yang

bertentangan di dalam karyanya selain dari metode kompromi. Hal ini cukup berbeda

dengan ulama-ulama hadis yang lain, yang biasanya memberikan beberapa metode

dalam memahami hadis yang kontradiktif. Seperti Imam al-Syāfi‟i yang menawarkan

empat langkah penyelesaian yang dimulai dengan kompromi, al-naskh, al-tarjīh dan

al-tawaqquf.

5. Memahami Hadis dengan Berbagai Pendekatan

Dalam mengkaji hadis diperlukan seperangkat instrument seperti pendekatan-

pendekatan yang ditawarkan oleh para ulama untuk membantu proses

pemahamannya. Sebagaimana diketahui, hadis disampaikan oleh Nabi Muhammad

63

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 143. 64

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 146.

Page 126: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

112

Saw lebih kurang empat belas abad yang lalu kepada kaum muslimin di wilayah

Jazirah Arab. Riwayat-riwayat yang datang dari Nabi Saw semuanya disampaikan

berbahasa Arab, sehingga untuk memahaminya tidak dapat luput dari aturan-aturan

yang berlaku dalam bahasa Arab. Selain memahami ilmu bahasa, seorang pengkaji

hadis juga perlu memperhatikan konteks sejarah ketika hadis disampaikan oleh Nabi

Saw,65

dengan demikian keshahihan hadis tidak hanya dilihat dari satu segi saja,

namun juga dari perspektif yang lain.66

Maka dalam hal ini dikenal istilah pendekatan

historis yaitu dengan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi

sebuah hadis. Di samping itu, pendekatan-pendekatan lain seperti sains dan

antropologis juga turut mewarnai perkembangan kajian pemahaman hadis seiring

dengan berputarnya roda zaman dan semakin tersebar luasnya hadis di seluruh

kalangan.

Dengan adanya pendekatan-pendekatan dalam diskursus hadis, diharapkan

akan mampu mengantarkan umat kepada pemaknaan yang relatif lebih tepat dan

akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.67

Pendekatan-pendekatan

dalam memahami hadis telah diterapkan para ulama sesuai dengan porsi yang mereka

butuhkan. Tidak ubahnya dengan tokoh yang dibahas pada penelitian ini, T.M. Hasbi

Ash-Shiddieqy. Dalam memahami hadis, langkah yang juga ditempuh oleh Hasbi

adalah dengan menerapkan beberapa pendekatan, seperti pendekatan bahasa,

pendekatan historis, pendekatan sains dan pendekatan logika. Di bawah ini akan

diuraikan mengenai pendekatan yang digunakan oleh Hasbi dalam memahami hadis.

a. Pendekatan Bahasa

Sebagaimana telah disebutkan di atas, hadis seluruhnya disampaikan oleh

Nabi Saw dalam bahasa Arab dan beliau merupakan orang yang paling fasih lisannya

di kalangan Arab ketika itu. Maka dari itu kaidah-kaidah dalam bahasa Arab menjadi

65

Moh. Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Riwayah:

Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 268. 66

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Pemahaman Hadis Nabi, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang,

2007), h. 25. 67

M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hinga Kontemporer

(Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 60.

Page 127: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

113

sebuah poin penting yang harus senantiasa diperhatikan ketika memahami hadis.68

A.

Shamad mengemukakan beberapa objek penelitian dari pendekatan bahasa, antara

lain adalah:69

a) Struktur bahasa, apakah sesuai dengan susunan dan kaedah bahasa

Arab atau tidak; b) Kata-kata yang terdapat di dalam teks hadis, apakah menggunakan

kata-kata yang lumrah digunakan pada masa Nabi Saw atau yang muncul kemudian;

c) Matan hadis harus menggambarkan bahasa kenabian; dan d) Menelusuri makna

kata yang tertera di matan hadis, apakah kata yang diucapkan oleh Nabi Saw

memiliki kesamaan dengan yang dipahami oleh peneliti.70

Setelah memperhatikan

beberapa objek dari pendekatan bahasa ini, tampaknya Hasbi dalam memahami hadis

tidak pernah terlepas dari poin pertama. Hal ini tergambar dari langkahnya yang

hampir pada setiap bab hadis yang ia syarah selalu mencantumkan makna redaksi

hadis ditinjau dari kedudukannya di kaidah-kaidah bahasa Arab.

Sebagai contoh yaitu pemahamannya terhadap hadis tentang pemeliharaan

aurat. Hadis tersebut berbunyi:

قل معهم احلجارة رضي اهلل عنو قال جابر بن عبد اهللعن : أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان ي ن و يابن أخي! لو حللت إزار ك فجعلتو على منكب يو دون احلجارة. للكعبة وعليو إزاره فقال لو العباس عم

ا )رواه البخاري ومسلم(عليو. فما روي بعد ذالك عربان قال فحلو فجعلو على منكب يو. فسقط مغشيا

“Jābir bin Abdulllah berkata: Bahwa Rasulullah Saw mengangkat batu untuk

Ka‟bah bersama dengan jema‟ah Quraisy dan pada saat itu beliau mengenakan

sarung. Maka Abbas pamannya berkata kepadanya: “Wahai anak saudaraku! Apakah

tidak lebih baik engkau tinggalkan sarungmu dan meletakkannya di bahumu sebagai

landasan batu?” Jābir melanjutkan: Maka Nabi Saw kemudian melepaskan sarungnya

dan meletakkan di atas bahunya. Seketika itu Nabi Saw pun rebah pingsan. Maka

tidak pernah orang melihat Nabi bertelanjang setelah kejadian itu.”71

68

Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. 112. 69

Lihat: Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2004), h. 76, dan A. Shamad, “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis,”

Al-Mu’ashirah 13, No. 1 (Januari 2016): h. 35. 70

Bahasa kenabian yang dimaksud adalah disampaikan dengan singkat, padat, jelas dan

mengandung nilai dakwah. 71

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 596.

Page 128: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

114

Dalam menjelaskan hadis ini, Hasbi memperhatikan redaksi matan dari segi

susunan kalimatnya. Kata izār ia artikan sebagai mā yuttajaru bihi atau kain yang

dipinggangkan. Menurutnya, kata ini bisa dipandang muzakkar atau mu`annats. Term

yang mempunyai makna yang sama dengan izār adalah mi’zar. Lebih lanjut, Hasbi

memaknai kata lau yang terdapat dalam teks hadis ini dapat diartikan “jikalau” dan

juga dapat dimaknai “apakah tidak lebih baik” atau “mudah-mudahan”, dan masing-

masing dari makna ini dapat mempengaruhi syarahannya. Jika memaknai kata lau

dengan jikalau, maka ia menjadi syarṯiyyah dan jawab-nya dibuang, yaitu lakāna

ashala ‘alaika (maka itu akan lebih menggampangkan bagi dirimu).72

Contoh lain dari pemahaman hadis dengan pendekatan bahasa menurut Hasbi

adalah hadis tentang larangan bunuh diri.

اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: من تردى من جبل فقتل رضي عن ثابت بن ضحاكو يف يده ى سا فقتل نفسو فسم نفسو فهو يف نار جهنم يرتدى فيو خالدا خملدا فيها أبدا ومن حتس

ىاه يف نار جهنم خالدا خملدا فيها أبدا ومن قتل نفسو حبديدة فحديدتو يف يده يأ ا يف بطنو يف يتحس )رواه البخاري ومسلم( نار جهنم خالدا فيو خالدا خملدا فيها أبدا

“Dari Tsābit bin Ḏahhāk r.a. ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Siapa yang

menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati maka di neraka Jahanam dia akan

menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang meneguk racun

sampai mati, maka racun itu akan diberikan di tangannya, kemudian dia minum di

neraka Jahanam, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya

dengan senjata tajam maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia

tusuk perutnya di neraka Jahanam, kekal selamanya‟.”73

Pada salah satu potongan hadis disebutkan kata taradda,74

yang jika dilihat di

kamus berarti jatuh. Pada hal ini, Hasbi memberi penjelasan lebih rinci bahwa yang

dimaksud dengan taradda dalam hadis ini adalah menjatuhkan atau menghempas diri

dari tempat yang tinggi agar hilang nyawanya. Ia juga mengatakan makna kata

72

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 596-597. 73

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 246. 74

Di dalam kamus Bahasa Arab, akan banyak ditemukan variasi dari kata yang mirip dengan

taradda. Kata radda-yaruddu-raddan berarti mengembalikan, menolak, menjawab. Sedangkan

raddada berarti mengulang-ulang. Taraddada berarti ragu-ragu atau bimbang. Kata taradda-yataraddi

sendiri berarti jatuh atau kadaluwarsa. Lihat: Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta:

Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 1989), h. 140.

Page 129: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

115

jahannam yang tidak munsarif karena tergolong a’jamiyah atau bukan berasal dari

bahasa Arab. Ia menambahkan bahwa latar belakang penamaan jahannam, yang

dinamakan demikian karena jauh sekali dasarnya.75

Pendekatan bahasa yang

diterapkan Hasbi dalam memahami hadis terlihat sangat sederhana, namun hal ini

tentu akan memudahkan pembaca untuk memahami makna hadis karena ia memilah

kata-kata yang menurutnya perlu untuk dibahas dari segi kebahasaannya. Di samping

itu, dengan mencantumkan kaidah nahwu dan sharaf dalam penjelasan hadis juga

menjadi nilai tambah, karena mendukung umat Islam yang non-Arab untuk

mendalami dan memahami bahasa Arab.

Di samping memberikan perhatian terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab dalam

memahami hadis, Hasbi juga menunjukkan bahwa ia merupakan ulama yang

tekstualis. Hal ini tergambar dari langkahnya yang seringkali menonjolkan sisi literal

teks hadis yang sedang ia jelaskan. Ia biasanya menggunakan kalimat “zahir hadis ini

menunjukkan…” untuk menerangkan kandungan sebuah hadis. Salah satu contoh

hadis yang dipahami oleh Hasbi secara tekstual adalah hadis tentang mengqashar76

shalat dalam safar. Beberapa hadis yang ia cantumkan pada bahasan tema ini adalah

sebagai berikut:

قال: صحبت النيب صلى اهلل عليو وسلم, فكان ال يزيد يف السفر على رضي اهلل عنو عن ابن عمر ركعت ي وابا بكر وعمر وعثمان كذلك )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Aku telah menyertai Nabi Saw, maka beliau

tidak melebihi dua raka‟at (ketika shalat) dalam safar. Abu Bakr, Umar dan Utsmān

juga demikian.”77

75

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 246. 76

Secara bahasa, qasr berarti berarti memendekkan. Sedangkan menurut istilah meringkas

jumlah raka‟at shalat yang awalnya empat raka‟at menjadi dua raka‟at, dan shalat yang bisa diqasr

hanyalah yang berjumlah empat raka‟at saja sehingga Magrib dan Subuh tidak bisa diqasr. Lihat:

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 1989) , h. 344,

dan Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyien al-Kattani Dkk, Jilid II

(Jakarta: Gema Insani, 2010), h.424. 77

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, Cet-1 (Bandung: Al-Ma‟arif, 197), h.

317.

Page 130: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

116

قال: صلة السفر ركعتان وصلة األضحى ركعتان وصلة الفطر ركعتان وصلة رضي اهلل عنو عن عمر اجلمعة ركعتان, تام غري قصر, على لسان ممد صلى اهلل عليو وسلم )رواه أحد والنسائ وابن ماجو(

“Dari Umar r.a. ia berkata: Shalat safar itu dua raka‟at, shalat Ḏuha dua

raka‟at, shalat „Ied Fitri dua raka‟at, shalat Jum‟at dua raka‟at. Yang demikian itu

sempurna, bukan qasr, menurut penetapan Muhammad saw.”78

ل ف علمنا, فكان رضي اهلل عنو عن ابن عمر مما قال: إن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أتانا وحنن ضل علمنا أن اهلل عز وجل أمرنا أن نصلي ركعت ي يف السفر )رواه النسائ(

“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw datang kepada

kita sedang kita adalah orang yang tidak tau apa-apa, lalu beliau mengajari kita. Maka

di antara hal yang beliau ajarkan adalah bahwasannya Allah Azza wa Jalla

memerintahkan kita untuk shalat dua raka‟at di dalam safar.”79

Lebih lanjut, Hasbi menampilkan beberapa hadis yang berkaitan dengan

jangka waktu Nabi Saw dalam safar80

dan selama itu juga beliau terus mengqasr

shalatnya.81

: إنو )أبا ىريرة( صلى مع النيب صلى اهلل عليو وسلم إىل مكة ىف ادلسري رضي اهلل عنو قالعن أيب ىريرة إىل أن رجعوا ركعت ي ركعت ي )رواه أبو داود( وادلقام

“Dari Abu Hurairah r.a. berkata, bahwasannya beliau shalat bersama Nabi

Saw dalam perjalanan dari Mekah dan dikala bermukim di sana sampai ia kembali

dua raka‟at dua raka‟at.”82

78

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 319. 79

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 319. 80

Para ulama berbeda pendapat mengenai jangka waktu safar sehingga membolehkan

seseorang terus-menerus menqasr shalatnya. Mazhab Mālik dan Syāfi‟i berpendapat jika musafir sudah

berniat menetap di tempat tujuannya selama empat hari maka shalatnya tidak boleh di qasr lagi.

Sedangkan Mazhab Abu Hanīfah menyatakan bahwa jika musafir sudah berniat mukim di tempat

tujuannya selama lima hari maka ia tidak boleh lagi menqasr shalatnya. Lihat: Beni Firdaus,

“Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Jama‟ dan Qashr Shalat”, Alhurriyah: Jurnal Hukum

Islam 2, No. 2 (Juli-Desember 2017): h. 173. 81

Dalil mengenai keringanan bagi para musāfir untuk mengqasr shalatnya selain terdapat di

dalam hadis juga dijelaskan oleh ayat al-Qur‟an yaitu QS. An-Nisā`: 101 yang artinya, “Dan apabila

kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut

diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” 82

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 330.

Page 131: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

117

: خرجنا مع النيب صلى اهلل عليو وسلم من ادلدينة إىل مكة, فصلى مالك رضي اهلل عنو قالعن أنس بن ركعت ي حت رجعنا إىل ادلدينة. قلت: أقمتم ا شيئا؟ قال: أقمنا ا عشرا )رواه البخاري ركعت ي

ومسلم(“Dari Anas bin Mālik r.a ia berkata: Kami bepergian bersama Nabi Saw dari

Madinah ke Mekah, maka kami shalat dua raka‟at-dua raka‟at sampai kami kembali

ke Madinah. Aku berkata (Yahya bin Ishāq): Apakah kalian bermukim di sana? Anas

menjawab: Kami bermukim di sana selama sepuluh hari.”83

لة )رواه : أقام النيب صلى اهلل عليو وسلم بتب وك عشرين يوما يقصر الصرضي اهلل عنو قالعن جابر أحد وأبو داود(

“Dari Jābir r.a. ia berkata: Nabi bermukim di Tabūk selama dua puluh hari

dan beliau menqasr shalatnya.”84

: غزوت مع النيب صلى اهلل عليو وسلم وشهدت معو الفتح, رضي اهلل عنو قالعن عمران بن حصي . يقول: يا أىل الب لدة, صلوا أرب عا فإنا سفر )رواه أبو فأقام مبكة ثان عشرة ليلة ال يصلي إال ركعت ي

داود(“Dari Imrān bin Husain r.a. ia berkata: Aku ikut berperang bersama Nabi Saw

dan kami sama-sama menyaksikan penaklukkan kota Mekah, maka Nabi Saw

bermukim di Mekah selama delapan belas malam, beliau selalu shalat dua raka‟at

(ketika di Mekah). Nabi bersabda: Wahai penduduk Mekah, kalian harus shalat empat

raka‟at, kami ini orang safar (sedang dalam safar).”85

قال: خرجت إىل ابن عمر فقلت: ما صلة ادلسافر؟ قال: ركعت ي اهلل عنو رضيعن ثامة بن شراحيل جاز؟ قال: وما ذو ااز؟ قلت: مكان

ركعت ي إال صلة ادلغرب ثلثا. قلت: ارأيت أن كنا بذي ادل

لة أو خس عشرة ليلة, فقال: أيها الرجل كنت أذرب يجان. ال نتمع فيو و نبيع فيو ونكث عشرين لي ركعت ي )رواه أحد( أدري, قال: أرب عة أشهر أو شهرين, فأري ت هم يصلونا ركعت ي

“Dari Tsumāmah bin Syurāhīl r.a. ia berkata: Aku datang menemui Ibnu

Umar dan bertanya padanya: Apa itu shalat musāfir? Ibnu Umar menjawab: dua

raka‟at-dua raka‟at kecuali untuk shalat Magrib yang tetap tiga raka‟at. Aku bertanya

lagi: Bagaimana pendapatmu mengenai jika kita berada di dzi al-majāz? Ia

83

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 330. 84

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 333. 85

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 333.

Page 132: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

118

menjawab: Apa itu dzu al-majāz? Aku berkata: Sebuah tempat, kita berkumpul di

sana, dan berdagang di sana dan berdiam di sana selama dua puluh malam atau lima

belas hari. Ia kemudian menjawab: Wahai kawan, aku pernah berada di Adzrabijān,

„Tsumamah melanjutkan: aku tidak ingat empat bulan atau dua bulan yang beliau

katakan‟, maka saya lihat para sahabat shalat dua raka‟at-dua raka‟at.”86

Hasbi mempunyai pendapat yang sedikit berbeda dalam hal mengqasr shalat

ketika di perjalanan. Menurutnya ketika seseorang sedang dalam safar, maka ia boleh

mengqasr shalatnya, sekalipun safarnya dalam jangka waktu yang lama (bertahun-

tahun), selama musafir tidak berniat untuk bermukim di tempat yang ia kunjungi.87

Maka selama itu juga seseorang boleh mengqasr shalatnya menjadi dua raka‟at-dua

raka‟at.88

Ia mengatakan,

“Menurut pentahqiqan kami, apabila kita memasuki suatu tempat dan berdiam

di sana selama beberapa hari sedang kita tetap dalam keadaan safar, yakni

tidak bermaksud untuk menetap di sana, bolehlah kita terus-menerus

mengqasrkan shalat. Nabi Saw bermukim di Tabuk selama dua puluh hari

dengan terus-menerus melakukan qasr, beliau tidak mengatakan tidak boleh

qasr kalau lebih banyak dari hari beliau berada di Tabuk. Kebetulan pada

waktu itu beliau bermukim di sana selama dua puluh hari. Bermukim di suatu

tempat dalam keadaan safar tidaklah mengeluarkan kita dari hukum safar,

baik panjang atau pendek. Seperti keadaan para jama‟ah haji yang bermukim

di Mekah menanti masa pulangnya. Walaupun mereka di sana tinggal sampai

dua bulan atau lebih, namun mereka dinamakan orang musafir karena mereka

tidak bermaksud menetap di sana.”89

86

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 335. 87

Hasbi menyatakan bahwa seseorang akan tetap dihitung sebagai musāfir disaat niatnya

tidak untuk mukim, selama apapun ia bepergian. Imam al-Syāfi‟i juga mendasarkan kebolehan qasr

dalam safar dengan niat. Namun menurutnya jika seseorang menetap di suatu tempat tanpa meniatkan

batas waktunya maka otomatis ia menjadi seorang yang mukim jika lebih dari empat hari. Lihat: Yeni

Sri Whayuni dan Yusrizal bin Razali, “Batas Waktu Musafir Bermukim untuk Kebolehan Qasar

Shalat”, Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial IX, No. 1

(Januari-Juni 2019): h. 16-17. 88

Ia tidak hanya berpendapat bahwa shalat pada waktu safar boleh di qasr, lebih dari itu

menurutnya shalat dua raka‟at pada safar merupakan sebuah tuntutan. Ia mengatakan, “Apabila

seseorang pergi merantau (bersafar), maka dituntutlah adanya mengerjakan shalat yang seharusnya

empat raka‟at menjadi dua raka‟at saja.” Pendapatnya ini ia sandarkan kepada beberapa riwayat seperti

yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khaṯṯāb, Aisyah, Ibnu Abbās dan Ibnu Umar yang menyatakan

bahwa shalat pada waktu safar adalah dua raka‟at. Di samping itu Hasbi juga banyak mengutip

pendapat para ulama klasik. Selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11

(Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 430-431. 89

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 331-332.

Page 133: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

119

Hal ini ia sandarkan pada hadis-hadis yang ia cantumkan pada bab safar,

sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Pada hadis-hadis di atas disebutkan

bahwa Nabi Saw pernah melakukan safar selama delapan belas hari, dua puluh hari,

dan beliau terus menerus melakukan qashar. Di samping itu, Hasbi juga banyak

mengutip riwayat-riwayat yang berisi tentang amalan para sahabat yang menqasr

shalatnya dalam safar dengan jangka waktu yang cukup lama. Sebagaimana riwayat

dari Nāfi‟ (w. 117 H) yang mengatakan bahwa Ibnu Umar (w. 73 H) pernah menqasr

shalatnya selama enam bulan di saat safar. Hafs bin Ubaidillah mengabarkan bahwa

Anas bin Mālik (w. 93 H) tinggal di Syām selama beberapa tahun dan terus mengqasr

shalatnya. Al-Hasan berkata bahwa ia pernah bermukim bersama Abdurrahmān bin

Samurah (w. 50 H) di Qabūl selama dua tahun dengan mengqasrkan shalatnya. Hasbi

mengatakan,

“Maka setelah kita mengetahui petunjuk Nabi Saw dan petunjuk para sahabat

dalam masalah qasr sembahyang di kala kita singgah di suatu tempat, sedang

kita masih dalam keadaan safar, tertolaklah paham yang mengatakan bahwa

apabila kita bermukim di suatu tempat selama empat hari penuh tidak boleh

qasr lagi.”90

Dari pemaparan mengenai hadis safar di atas, dapat disimpulkan bahwa Hasbi

memahaminya secara tekstual. Ia menangkap makna tersurat dari redaksi hadis

tentang safar tanpa melihat sisi-sisi lain yang mengiri hadis tersebut seperti

historisitas atau kondisi sosial yang menjadi qarīnah. Sebagaimana pemahamannya

terhadap hadis tentang Nabi Saw pernah bersafar ke Tabuk selama belasan hari dan

selama itu pula beliau selalu mengqashar shalatnya. Ia menangkap makna hadis

tersebut dari redaksinya saja dan tidak melihat kondisi serta situasi yang terjadi pada

saat itu yang rupanya sedang ada gejolak perang dan keadaannya sedang tidak aman.

Maka disaat safar dilakukan selama bertahun-tahun dan bukan dalam keadaan yang

tidak aman, bukankah lebih baik jika melaksanakan shalat dengan bilangan raka‟at

yang sempurna?

90

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 332.

Page 134: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

120

b. Pendekatan Historis

Hadis disampaikan oleh Nabi Saw pada waktu dan kondisi tertentu, dan hal

tersebut merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah dan dipungkiri. Teks

hadis tidak lepas dari dampak perjalanan waktu, demikianlah yang disampaikan oleh

Daniel Djuned. Bagaimana tidak, hadis telah melalui pejalanan dari hulu ke hilir,

yaitu dari guru pertama, Rasulullah Saw sampai kepada pembuku hadis, dan telah

mengalami imbasan sejarah dengan segala konsekuensinya. Kenyataan ini

menyebabkan pemahaman atas sebuah hadis membutuhkan pendekatan yang

beragam, salah satunya dengan memperhatikan dimensi historis.91

Wacana tentang

pendekatan ini sebenarnya telah muncul di kalangan ulama hadis terdahulu, semenjak

dikenal ilmu asbāb al-wurūd.92

Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi

Saw bersifat kasuistik, lokal temporal bahkan temporal, oleh karenanya

memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis menjadi sangat penting untuk

menghindarkan dari kesalahpahaman dalam menangkap maksud sebuah hadis.93

Pertanyaan mendasar yang digunakan dalam pendekatan historis adalah

“Mengapa Nabi Saw bersabda demikian?” dan “Bagaimana kondisi pada saat hadis

tersebut disampaikan, kepada siapa dan dimana?” Jawaban dari pertanyaan-

pertanyaan ini akan memberi keterangan mengenai status sebuah hadis, apakah

bersifat umum atau khusus untuk pribadi dan wilayah tertentu. Dengan pendekatan

historis pengkaji hadis juga harus jeli dalam memperhatikan kedudukan Nabi Saw

ketika menyampaikan sebuah hadis. Karena dalam sejarah hidupnya Nabi Saw

91

Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:

Erlangga, 2010), h. 32. 92

Asbāb al-wurūd terdiri dari dua kata yaitu asbāb dan wurūd. Kata asbāb merupakan bentuk

jamak dari kata sabab yang berarti sebab. Sedangkan wurūd merupakan masdar dari kata warada-

yaridu yang berarti datang. Adapun menurut istilah, asbāb al-wurūd berarti ilmu yang menerangkan

latar belakang datangnya hadis dan beberapa hal yang relevan dengannya. Latar belakang tersebut bisa

berupa pertanyaan dari sahabat atau respon Nabi Saw mengenai sebuah kejadian. Asbab al-wurud

mempunyai peran yang sangat penting untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang

sebuah hadis. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah,

2014), h. 177. 93

Abdul Mustaqim Dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi

(Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Kalijaga, 2008), h. 7.

Page 135: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

121

mempunyai banyak peran, di antaranya adalah sebagai Rasulullah, kepala negara,

hakim dan juga sebagai manusia biasa.94

Hasbi menyadari pentingnya pendekatan historis dalam kajian pemahaman

hadis. Dalam menjelaskan kandungan sebuah hadis, ia terlebih dahulu mencantumkan

asbāb al-wurūd dari hadis tersebut baru kemudian masuk ke penjelasannya. Contoh

dari penerapan pendekatan historis oleh Hasbi adalah pemahamannya terhadap hadis

tentang meringankan bacaan shalat. Hadis tersebut berbunyi:

مسعود األنصاري رضي اهلل عنو قال: جاء رجل إىل رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: يا عن أىبر عن صلة الغداة من أجل فلن مما يطيل بنا فيها. قال: فما رأيت النيب صلى رسول اهلل إن واهلل ألتأخ

غضبا يف موعظة منو يئذ. ث ق رين فأيكم ما اهلل عليو وسلم قط أشد ال: يا أيها الناس إن منكم من ف )رواه البخاري ومسلم( صلى بالناس فليوجز فإن فيهم الكبري الضعيف وذا احلاجة

“Abu Mas‟ūd al-Ansāri berkata, “Seorang laki-laki datang menemui

Rasulullah Saw dan berkata: Wahai Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya saya

menarik diri dari shalat subuh berjama‟ah dikarenakan si Fulan, lantaran ia

memanjangkan bacaannya untuk kami”, Abu Mas‟ūd menambahkan, “Aku belum

pernah melihat Nabi Saw lebih keras marahnya dalam memberi pelajaran daripada

hari itu” , kemudian Nabi Saw bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya sebagian

dari kalian telah menjauhkan manusia (dari agama), maka siapa saja di antara kalian

yang melaksanakan shalat berjama‟ah, hendaklah ia ringkaskan, karena di antara

kalian ada yang telah tua, ada yang lemah dan ada yang mempunyai keperluan.”95

Riwayat lain dengan tema yang sama berbunyi:

عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: إذا صلى أحدكم للناس )رواه البخاري ول ما شاءفليخفف فإن منهم الضعيف والسقيم والكبري وإذا صلى أحدكم لنفسو فليط

ومسلم(

“Abu Hurairah berkata bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: Jika salah

seorang dari kalian sholat untuk manusia (menjadi imam), maka hendaklah

meringankan (bacaannya) karena di antara mereka ada yang lemah, ada yang sakit,

94 Zainuddin, “Metodologi Pemahaman Hadis Islamolog dan Ulama Kontemporer,”

Substantia 14, No. 2 (Oktober 2012): h. 181. 95

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 524.

Page 136: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

122

ada yang sudah renta. Namun jika salah seorang di antara kalian shalat sendirian,

maka panjangkanlah (bacaannya) sebagaimana yang ia mau.”96

Menanggapi hadis di atas, Hasbi menjelaskan bahwa ada peristiwa yang

menjadi latar belakang Nabi Saw menyampaikan hadis ini. Ia mengatakan,

“Bahwasannya ada seorang lelaki yang namanya tidak diketahui oleh ahli

hadis menerangkan kepada Rasulullah bahwa dia tidak menghadiri jama‟ah

sembahyang subuh karena imamnya memanjangkan shalat itu. mendengar

aduan tersebut, beliau menjadi sangat marah dan dengan nada marah beliau

memberikan pelajaran kepada para sahabat. Beliau bersabda, „Sungguh di

antara para sahabat ada yang menyebabkan orang lari dari agama dengan jalan

memanjangkan shalat yang menyebabkan para makmum mengalami

kesukaran.‟ Dan beliau memberi nasehat agar para imam yang bersembahyang

dengan jama‟ah meringkas bacaannya, tidak memanjangkannya karena di

antara jama‟ah tersebut ada orang tua, yang lemah dan bekeperluan.”97

Dua hal yang dapat dipetik dari asbāb al-wurūd hadis di atas yaitu bahwa

Nabi Saw menyuruh umatnya yang ditunjuk sebagai imam shalat agar tidak

keterlaluan dalam memanjang-memanjangkan bacaannya karena orang yang berbuat

demikian tergolong sebagai “orang yang membuat orang lain lari dari agama.”98

Di

samping itu, Hasbi menerangkan bahwa Nabi Saw menampakkan kemarahannya

untuk memberi ketegasan kepada para sahabat agar mereka memperhatikan dengan

benar setiap ajaran agama. Sekarang timbul pertanyaan, apakah Nabi Saw tetap akan

menyampaikan hal ini jika tidak ada sahabat yang mengadu tentang perkara tersebut?

Jawabannya ada para riwayat lain dari Anas bin Mālik (w. 93 H),

عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: أن النيب صلى اهلل عليو قال: إن ألدخل يف الصلة وأنا أريد و من بكائو ة وجد أم يب فأتوز يف صلت مما أعلم من شد إطالتها فأسع بكاء الص

96

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 525. 97

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 526. 98

Disebut dengan dapat membuat orang lari dari agama karena bacaan shalat dari imam shalat

sangat berkemungkinan besar dapat membuat para jama‟ah enggan untuk mengikuti shalat berjama‟ah

lagi. Terutama untuk orang-orang yang dijelaskan oleh Nabi Saw yaitu orang yang sudah tua, orang

yang sakit dan orang yang mempunyai keperluan mendesak. Maka ketika orang-orang pergi

meninggalkan shalat jama‟ah atau menjadi malas untuk berjama‟ah lagi dikarenakan bacaan shalat

yang panjang, pada saat itulah seseorang yang menjadi imam disebut telah membuat orang lain lari

dari agama.

Page 137: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

123

“Dari Anas bin Mālik r.a. ia berkata, bahwa Nabi Saw bersabda:

Sesungguhnya aku masuk menjadi imam sembahyang dan aku berniat untuk

memanjangkannya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil. Maka aku ringankan

bacaan shalatku, lantaran aku mengetahui bahwa pikiran ibunya sangat terganggu

karena tangisan bayinya itu.”99

Dari hadis di atas tampak jelas bahwa Nabi dengan sendirinya menjelaskan

sikap yang beliau ambil ketika menjadi imam dan mengurungkan niatnya untuk

memanjangkan bacaan shalat karena mendengar suara tangisan bayi. Hal ini

menunjukkan bahwa sekalipun tidak ada yang mengadu kepada Nabi Saw hukum

untuk tidak memanjang-memanjangkan bacaan shalat tetap akan ada. Maka hadis

terkait meringankan bacaan shalat hukumnya adalah umum dan universal, berlaku

untuk semua ruang dan waktu.

Berikutnya akan diuraikan mengenai hadis tentang perintah untuk

memanjangkan jenggot dan mencukur kumis yang juga dipahami Hasbi dengan

pendekatan historis. Hadis tersebut berbunyi:

صلى اهلل عليو وسلم: من لن يأخذ من شاربو فليس عن زيد بن أرقم رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل منأ )رواه أحد والنسائ والرتمذي(

“Dari Zaid bin Arqam r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa

tidak memangkas kumisnya, bukanlah dia dari golongan kami.”100

وارب وارخوا اللحى عن زيد بن أرقم رضي اهلل ع نو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: جزوا الش خالفوا اوس )رواه أحد ومسلم(

“Dari Zaid bin Arqam r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Guntinglah

kumis dan panjangkanlah jenggot, hendaklah kamu menyalahi (berbeda dengan)

orang-orang Majūsi.”101

عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: خالفوا ادلشركي وفروا اللحى وارب )رواه أحد والبخاري ومسلم( واحفوا الش

99

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 525. 100

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210. 101

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210.

Page 138: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

124

“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Hendaklah kamu

membedakan diri dari orang-orang musyrik, perihalah jenggot dan guntinglah

kumis.”102

Menurut catatan sejarah, di wilayah jazirah Arab sebelum dan setelah

datangnya Islam terdapat sejumlah kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Di

antara mereka ada yang memeluk agama Yahudi, Nasrani dan sebagiannya adalah

Majusi.103

Maka dari itu, karena kondisi kegamaan yang sangat beragam, Allah Saw

memerintahkan Nabi Muhammad Saw agar memiliki identitas untuk membedakan

umat Islam dengan kepercayaan lainnya.104

Dalam hal ini, beberapa hadis yang

disampaikan oleh Nabi Saw menjelaskan tindakan yang dapat memberi identitas

kepada umat Islam yaitu dengan memelihara jenggot dan memangkas kumis.105

Sebagaimana tertera dalam tiga hadis di atas, zahir teksnya memberi pengertian

bahwa Nabi Saw menganggap orang yang tidak memanjangkan jenggot dan tidak

memangkas kumis sebagai “laisa minna” atau bukan dari bagian kami.

Para ulama mempunyai pandangannya tersendiri dalam menanggapi hadis ini.

Para ulama salaf, sebagaimana diterangkan oleh Hasbi, menyukai untuk memelihara

jenggot. Namun jika memelihara jenggot dengan tujuan untuk aksi dan mengalimkan

diri, maka hal tersebut tidak mereka sukai. Adapun mengenai kumis, menurut ulama

seperti Abu Hanīfah (w. 148 H) dan Abu Yūsuf (w. 182 H) memelihara rambut dan

kumis lebih utama daripada menggutingnya. Al-Nawawi (w. 676 H) juga menuturkan

bahwa pendapat yang terpilih adalah kumis itu digunting hingga kelihatan tepi bibir

dan jangan dicukur seluruhnya.106

Ibnu al-Qayyim (w. 751 H) menjelaskan dalam

kitabnya, bahwa banyak ulama mazhab yang mengamalkan hadis menggunting kumis

102

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210. 103

Muhammad Yamin, “Peradaban Islam pada Masa Nabi Muhammad Saw,” Ihyā` al-

Arabiyyah: al-Sunnah 3, No. 1 (2017):, h. 110. 104

Pada masa Nabi Saw, kaum musyrikin tidak mencukur kumis dan juga tidak

memanjangkan jenggotnya hingga lebat. Sehingga Nabi Saw menyuruh kaum muslimin untuk

melakukan hal yang berbeda dari mereka yaitu dengan mencukur kumis dan memelihara jenggot.

Selengkapnya lihat: Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2019), h. 59 105

Mahmudi, “Pemahaman Hadis tentang Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian,”

Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 2 (2018): h. 272-273. 106

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 211.

Page 139: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

125

dan memelihara jenggot dan menyimpulkan bahwa perbuatan tersebut merupakan

sebuah keutamaan yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Di samping hal

tersebut perintah Nabi Saw, menggunting kumis dan memanjangkan jenggot juga

merupakan fitrah manusia yang harus diperlihara.107

Sementara itu, ulama muta`akhkhirīn seperti Yusuf Qarḏāwi menjelaskan

bahwa hadis tersebut mengandung perintah Nabi Saw agar umat Islam berbeda

dengan orang-orang yang selain Islam. Akan tetapi, bukan berarti kaum muslimin

tidak boleh mencukur jenggot karena ia akan terus tumbuh memanjang. Maka

menurut al-Qarḏāwi boleh mencukur jenggot dengan alasan untuk merapikannya.108

Ulama muta`akhkhirīn lainnya seperti Ali Mustafa Yaqub menuturkan, karena tujuan

dari disampaikannya hadis tentang jenggot dan kumis oleh Rasulullah adalah untuk

membedakan kaum muslimin dan musyrik, maka untuk berbeda tidak hanya dengan

mencukur kumis dan memelihara jenggot, tapi dapat dilakukan dengan cara yang lain

seperti dalam hal pakaian dan nama atau lain sebagainya.109

Dalam memahami hadis-hadis di atas, Hasbi berpendapat bahwa pada saat ini

memanjangkan jenggot bukanlah sesuatu yang mutlak harus dilakukan dan

mencukurnya juga tidak dilarang. Menurutnya, ada illat yang menjadi latar belakang

dari disampaikannya hadis tersebut oleh Nabi Saw. Dalam hal ini Hasbi mengatakan,

“Bila kita meninjau hadis-hadis ini dengan pandangan yang luas, jauh dan

mendalam, nyatalah bahwa sebabnya Nabi menyuruh sahabat-sahabatnya

memangkas kumis dan memelihara jenggot ialah supaya membedakan diri

dari orang-rang Majusi dan musyrikin. Orang-orang Majusi dan musyrikin di

zaman Nabi tidak memangkas kumis dan tidak memanjangkan jenggot.”110

Maka jelaslah bahwa penyebab dari perintah Nabi Saw untuk memotong

kumis dan memelihara jenggot adalah sebagai pembeda antara kaum muslimin dan

orang-orang musyrik. Lebih lanjut, Hasbi menuturkan bahwa hal tersebut telah

berubah. Memelihara jenggot tidak lagi menjadi standar pembeda antara muslim dan

107

Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, Petunjuk Nabi Saw Menjadi Hamba Teladan dalam

Berbagai Aspek Kehidupan, Penerjemah Achmad Sunarto (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 71-72. 108

Yusūf Qarḏāwi, Halal dan Haram dalam Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009),

h. 125-127. 109

Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 214. 110

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 211.

Page 140: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

126

muslim, bahkan dewasa ini banyak dijumpai orang-orang non-muslim yang

berjenggot panjang dan lebat.111

Sehingga hadis tentang perintah Nabi Saw untuk

memanjangkan jenggot dan mencukur kumis ini harus dipahami secara kontekstual,

karena bersifat lokal-temporal. Bersifat lokal karena hadis tersebut disampaikan Nabi

Saw kepada bangsa Arab muslim yang rata-rata memiliki rambut yang subur, dan

bersifat temporal karena illat yang tersembunyi di dalam hadis tersebut telah

terhapus.

Menurut Hasbi, sesuai dengan kaidah Ushul, apabila illat112

dari sesuatu telah

hilang maka hukumnya pun ikut lenyap. Oleh karena itu, umat Islam telah terlepas

dari kewajiban untuk memotong kumis dan memanjangkan jenggot di masa sekarang.

Ia mengatakan,

“Menurut kaidah Ushul, apabila telah hilang illat sesuatu, maka hilanglah

hukum yang disebabkan illat atau motif itu. Maka menurut kaidah ini,

memelihara jenggot tidaklah lagi menjadi lambang perbedaan antara orang-

orang Islam dengan orang-orang yang bukan Islam. Dengan keterangan yang

singkat ini, jelaslah sudah bahwa memotong jenggot di masa kini tidak lagi

terlarang, karena illatnya sudah tidak berlaku lagi.”113

Pendekatan historis yang diterapkan oleh Hasbi dalam memahami hadis juga

tercermin dalam pemahamannya tentang hadis rajam. Di dalam sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh al-Bukhāri dan Muslim disebutkan:

: إن اهلل بعث ممدا صلى اهلل عليو وسلم باحلق و أنزل عليو عن عمر بن اخلطاب رضي اهلل عنو قالوعيناىا, رجم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم رمجنا الكتاب فكان أنزل اهلل أية الرجم فقرأناىا وعقلناىا و

د أية الرجم يف كتاب اهلل, فيضلوا برتك بعده. فأخشى, إن طال بالناس زمان, أن يقل قائل: واهلل ما ن

111

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212. 112

Illat memegang peranan yang sangat penting dalam hukum Islam. Di kalangan ushuliyyin,

ia didefinisikan sebagai suatu dasar yang melatarbelakangi penetapan hukum syara‟. Setiap ketentuan

hukum yang diturunkan Allah dalam bentuk perintah dan larangan pasti mempunyai alasan tersendiri.

Maka disaat „illat atau alasan dari sebuah perkara hilang, hukum yang terkandung di dalamnya juga

ikut hilang. Demikianlah yang diatur di dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih. Lihat: Romli, “Illat dan

Pengembangan Hukum Islam”, Intizar 20, No. 2 (2014): h. 222. 113

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212.

Page 141: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

127

نة فريضة أنزذلا اهلل. والرجم يف كتاب اهلل حق على من زن, إذا أحصن من الرجال الن , ساء إذا قامت الب ي )رواه البخاري ومسلم( أو كان احلبل أو اإلعرتاف

“Umar bin al-Khaṯṯāb berkata: „Bahwasannya Allah Swt mengutus

Muhammad Saw membawa ajaran agama yang benar dan menurunkan kepadanya al-

Qur‟an. Maka di antara yang telah Allah Swt turunkan adalah ayat rajam. Kami telah

membacanya, kami terus memahaminya dan menghafalnya. Rasulullah Saw telah

menjatuhkan hukuman rajam dan kami juga menjatuhkan hukum rajam sesudahnya.

Aku takut jika telah berlalu beberapa masa, datanglah seseorang yang mengatakan,

„Demi Allah kami tidak mendapati ayat rajam di dalam al-Qur‟an‟, maka mereka

menjadi sesat karena meninggalkan fardhu yang telah Allah turunkan. Rajam adalah

sebuah hak dalam al-Qur‟an yang dijatuhkan pada pelaku zina, jika yang berzina

adalah laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, apabila cukup bukti atau telah

hamil atau mengaku berzina.”114

Rajam115

merupakan salah satu fenomena hukum dalam Islam yang

mengalami pro-kontra di masyarakat dan berbagai negara. Beberapa kalangan

menolak pemberlakuan rajam, karena menurut mereka perlu diadakan peninjauan

kembali terhadap dalil-dalil tentang hukuman bagi pezina yang terdapat di dalam al-

Qur‟an dan hadis. Sebagaimana diketahui bahwa dalil tentang rajam hanya terdapat di

dalam hadis dan tidak ditemukan di dalam al-Qur‟an. Yang terdapat di dalam al-

Qur‟an hanyalah penjelasan tentang hukuman cambuk seratus kali (QS. An-Nūr:

2).116

Maka dari itu, beberapa kelompok seperti Azāriqah dari golongan Khawārij

menetapkan bahwa hukuman bagi pezina baik yang muhsan dan ghairu muhsan

adalah dicambuk seratus kali. Namun ulama yang menyepakati hukuman rajam bagi

pelaku zina muhsan berpendapat bahwa hadis tentang rajam adalah shahih dan dapat

men-takhsīs QS. An-Nur:2.117

114

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 72. 115

Kata rajam berasal dari Bahasa Arab rajama-yarjumu-rajmun yang berarti melempar

dengan batu. Menurut istilah, rajam adalah hukuman yang berupa ditanam dalam tanah dan dilempari

dengan batu sampai yang diberi hukuman mati. Hukuman rajam juga dipertontonkan didepan khalayak

umum agar memberi efek jera kepada yang menyaksikannya. Lihat: Ahmad Wardi Muslich, Hukum

Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 32. 116

Ali, “Pengaruh Tradisi Arab Pra Islam terhadap Hukuman Rajam,” Ilmiah Islam Futura

14, No. 1 (Agustus 2014): h. 32. 117

Rokhmadi, “Hukuman Rajam bagi Pelaku Zina Muhsan dalam Hukum Pidana Islam,” At-

Taqaddum 7, No. 2 (November 2015): h. 311.

Page 142: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

128

Pada sisi lain, jika ditinjau dari setting historis, hukuman rajam telah

diterapkan oleh umat pra-Islam dan penjelasannya terdapat di dalam Taurat. Maka

terjadi kesulitan untuk mengetahui status dari teks hadis tentang rajam, apakah bagian

dari wahyu atau tidak karena pada kenyataannya rajam bukan hanya berasal dari

syari‟at Islam. Mengenai hal ini, Nizar Ali berpendapat bahwa dahulu hukuman rajam

pernah beliau jatuhkan kepada orang Islam dan Yahudi. Untuk kaum Yahudi,

hukuman rajam yang diberikan oleh Nabi Saw adalah wajar karena rajam merupakan

ajaran dari kitab suci mereka, Taurat. Namun, menurut Nizar hadis yang menjelaskan

tentang hukum rajam yang dijatuhkan kepada kaum muslimin tidak diketahui persis

waktunya. Sehingga timbul berbagai pendapat yang mengatakan bahwa rajam yang

diberlakukan pada masa Nabi Saw terjadi sebelum QS. An-Nūr:2 diturunkan. Maka

siapapun pasti ingin menjadikan al-Qur‟an sebagai acuan utama daripada

memberlakukan sebuah hadis yang tidak diketahui waktu pelaksanaanya secara

pasti.118

Lebih lanjut, Hasbi menjelaskan bahwa rajam bukanlah sebuah hukum yang

mutlak harus dilakukan. ia berpegang pada kenyataan bahwa tidak ada satu ayatpun

di dalam al-Qur‟an yang menyuruh umat Islam untuk menerapkan hukuman tersebut.

Ia juga berpendapat bahwa dalam memahami hadis perlu peninjauan terhadap fungsi

dan kedudukan Nabi Saw ketika menyampaikan hadis. Karena di samping

berkedudukan sebagai Rasulullah beliau juga merupakan seorang hakim dan Kepala

Negara yang mengurus berbagai hal seperti pengangkatan gubernur dan pengerahan

tentara.119

Hasbi mengatakan,

“Menurut pemeriksaan saya, hukuman rajam disini bukan hukuman mutlak,

tetapi suatu hukuman yang diserahkan pelaksanaannya kepada pertimbangan

hakim. Karenanya al-Qur‟an tidak menegaskan hukuman yang demikian saja,

hanya menyerahkan kepada pertimbangan Rasul yang bertindak sebagai

hakim.”120

118

Nizar Ali, Rekonstruksi Hukuman Rajam dalam Perspektif Hadis Nabi, h. 5-6. 119

Hasbi, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 154. 120

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 75-76.

Page 143: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

129

Ketika suatu hadis disampaikan oleh Nabi Saw dalam kedudukannya selain

sebagai “Rasulullah”, maka hadis tersebut tidak dapat menjadi sebuah ketetapan

hukum yang mutlak. Pemahaman ini juga dipegangi oleh tokoh seperti Muhammad

Syahrūr121

yang mengemukakan ide tentang sunah rasul dan sunah nabi, serta al-

Dahlawi (w. 1176 H)122

yang membagi sunnah kepada dua tipologi yaitu sunnah

risālah dan sunnah ghairu risālah. Maka pada poin ini, Hasbi telah mengkonfirmasi

bahwa dirinya membolehkan hukuman selain rajam pada pelaku zina muhsan, dengan

menyesuaikan terhadap siapa yang memiliki kuasa menjadi hakim. Hal yang sama

juga ditemukan pada pembahasan tentang hukuman cambuk bagi peminum khamar.

Menurut Hasbi, hukuman rajam ataupun peminum khamar termasuk uqūbah

tafwiḏiyyah atau uqūbah yang diserahkan kepada keputusan hakim. Jika dahulu Nabi

Saw mencambuk peminum khamar sebanyak empat puluh cambukan, kemudian

Umar mencambuk delapan puluh kali, maka dalam pandangan Hasbi pada saat ini

boleh mencambuk empat ratus kali, sesuai dengan perkembangan masa dan

keputusan hakim.123

121

Muhammad Syahrūr membagi hadis/sunnah kepada dua tipologi yaitu al-sunnah al-

rasūliyah dan al-sunnah al-nabawiyah. Al-sunnah al-rasūliyah adalah setiap yang beliau lakukan dan

ucapkan dalam kapasitasnya sebagai seorang utusan Allah Swt dan merupakan wahyu yang harus

dipatuhi. Sedangkan al-sunnah al-nabawiyah adalah semua yang Nabi Saw sampaikan atau ijtihad

yang beliau lakukan dalam kapasitasnya sebagai selain utusan Allah Swt (hakim, pemimpin dan

manusia biasa) dan sunnah dalam kriteria ini bukan termasuk wahyu sehingga tidak mengharuskan

pengamalannya pada setiap zaman. Contoh dari sunnah kategori kedua menurut Syahrūr adalah talak

(ayat al-Qur‟an berawalan “yā ayyuha al-nabi”). Menurutnya, talak merupakan praktek sunnah yang

dilakukan Rasul dalam kapasitasnya sebagai Nabi, maka diperlukan talak yang sesuai dan cocok untuk

zaman sekarang. Selengkapnya lihat: Azhari Andi, dkk., “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran

Muhammad Syahrur terhadap Sunnah,” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89, dan Fakhrul

Akmi, “Pemikiran As-Sunnah Kontemporer Muhammad Syahrur: Studi terhadap Kitab As-Sunnah Ar-

Rasuliyah wa As-Sunnah An-Nabawiyah,” (Tesis S2 Pascasarjana UIN Sumatera Utara, 2018), h. 81. 122

Ide yang dikemukakan oleh al-Dahlawy sebenarnya tidak jauh berbeda dari yang

diutarakan oleh Muhammad Syahrur. Tipologi yang beliau buat berdasarkan fungsi Nabi Saw yang

menurut al-Dahlawy dapat berkedudukan sebagai Rasulullah (pembawa risalah) atau sebagai manusia

biasa. Semua hal yang berasal dari Nabi Saw yang berkenaan dengan berita ghaib seperti keberadaan

malaikat serta ijtihad beliau atas petunjuk Allah Swt termasuk ke dalam sunnah risalah yang patut

diamalkan dan ditaati. Sedangkan semua hal yang berasal dari Nabi Saw seperti kebiasaan-kebiasaan

beliau yang tidak berhubungan dengan ibadah termasuk ke dalam sunnah ghoiru risālah, yang kaum

muslimin tidak diwajibkan untuk mengikuti dan mengamalkannya. Lihat: Fatichatus Sa‟diyah,

“Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode Pemahaman Hadis,” (Tesis S2 UIN

Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 82-84. 123

Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 78-

79.

Page 144: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

130

Hadis selanjutnya yang dipahami Hasbi dengan pendekatan historis adalah

hadis tentang larangan memakai wadah dari emas dan perak.

عن حذيفة بن اليمان رضي اهلل عنو قال: سعت رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يقول: ال تشربوا يف ي يا ولكم يف األخرة )رواه أحد و ىب والفضة والتأكلوا يف صحافهما فإنما ذلم ىف الد انية الذ

البخاري(

“Dari Huzaifah bin al-Yamāni r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw

bersabda: Janganlah kamu minum di piala emas dan perak, jangan kamu makan di

piring emas dan perak, karena sesungguhnya dua jenis barang itu buat mereka di

dalam dunia dan buat kamu di akhirat.”124

Dalam memahami hadis di atas, Hasbi mencoba menjelaskannya dari segi

latar belakang sejarah dari larangan makan dan minum dari bejana yang dibuat dari

emas dan perak. Menurut Hasbi, larangan ini tidak disampaikan oleh Nabi Saw tanpa

sebab. Nabi Saw melarang kaum muslimin kala itu memakai wadah dari emas dan

perak untuk mencegah timbulnya individualistis di tengah masyarakat. Dahulunya

emas dan perak dijadikan sebagai salah satu alat tukar, alias mata uang. Maka jika

banyak kaum muslimin yang memakai emas dan perak sebagai wadah tempat air,

dikhawatirkan akan terjadi ketidakseimbangan sosial dan menghancurkan perasaan

orang-orang miskin dan fakir. Hasbi menjelaskan,

“Menurut penyelidikan kami, mungkin sekali Nabi mencegah kita memakai

piring dan piala emas dan perak untuk tempat makan dan minum, adalah

sebagai suatu dasar untuk mencegah pembendaharaan emas dan perak oleh

seseorang. Emas dan perak dijadikan untuk alat tukar-menukar yang

diperedarkan di masyarakat. Maka jika dibenarkan membuat piring dan piala

untuk makan dan minum dari emas dan perak, dapatlah orang-orang tamak,

menumpuk-numpuk emas dan perak dalam satu rumah, yang menyebabkan

timbul kepincangan hidup dalam masyarakat.”125

Dengan mengetahui historisitas dari disampaikannya hadis tentang larangan

memakai wadah dari emas dan perak, maka dapat dipahami bahwa Nabi Saw

melarang perilaku tersebut untuk menghindari perbedaan kasta antara si kaya dan si

124

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5 (Jakarta: PT Magenta Bhakti

Guna, 1994), h. 72. 125

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 74-75.

Page 145: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

131

miskin. Islam adalah agama yang melestarikan sistem persamaan bagi sesama

manusia, hal ini tergambar dari hal yang paling kecil sekalipun yaitu shalat

berjama‟ah. Ketika shalat dilaksanakan, semua berdiri sesuai dengan shaf yang ia

dapatkan, tidak ada aturan bahwa orang yang kaya harus di barisan shaf terdepan atau

sebaliknya. Maka dari itu, hikmah dari larangan memakai emas dan perak sebagai

wadah makan selain karena menyebabkan ketimpangan sosial, namun juga

menyebabkan orang miskin bersedih hati. Jika hal ini ditarik ke zaman kontemporer,

disaat alat tukar bukan lagi menggunakan emas dan perak melainkan dengan mata

uang, maka larangan tersebut ikut hilang.126

Namun tetap saja, menggunakan emas

dan perak sebagai wadah disaat ada wadah lain dari bahan yang lebih terjangkau

tampaknya sedikit berlebihan. Karena Nabi Saw mengajarkan umatnya untuk hidup

sederhana.127

Hadis lain yang juga dipahami Hasbi dengan pendekatan historis adalah hadis

tentang mematikan lampu ketika hendak tidur. Di dalam hadis disebutkan:

ل, أو عن جابر بن عبد اهلل رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إذا كان جنح اللي نئذ فإذا ذىب ساعة من الليل واغلقوا األبواب واذكر وا صبيانكم فإن الشياطي ت نتشر حي وا أمسيتم فكف

)رواه البخاري ومسلم( اسم اهلل فإن الشيطان ال ي فتح بابا مغلقا

“Dari Jābir bin Abdillah r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Apabila

telah mulai gelap malam atau telah mulai masuk ke malam hari, maka laranglah anak-

anak kecilmu (keluar rumah), karena setan-setan berkeliaran pada saat itu. tetapi jika

telah berlalu beberapa saat dari malam hari, maka biarkanlah mereka. Dan kuncilah

126

“Disaat „illat dari sesuatu hilang, maka hukum yang terkandung di dalamnya juga lenyap”,

hal ini seringkali disebutkan oleh Hasbi di beberapa pembahasannya tentang hadis (hadis tentang

jenggot dan hadis tentang larangan memakan dua kurma dalam satu suapan. Lihat: Ash-Shiddieqy,

Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212; Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid

VII, h. 65. 127

Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang sangat sederhana dan zuhud. Beliau tidak

berlebih-lebihan dalam segala sesuatunya. Banyak riwayat yang berisikan kabar tentang sifat zuhud

yang beliau miliki. Salah satunya adalah Nabi Saw pernah menahan lapar sampai-sampai mengikat dua

batu di perutnya. Padahal kala itu beliau adalah orang paling berpengaruh di masyarakat dan sangat

dihormati, jika ingin, beliau bisa saja dengan mudah mendapatkan segala hal yang beliau mau. Namun

beliau lebih memilih hidup sederhana dan tidak menggunakan kedudukannya sebagai alasan untuk

berfoya-foya. Lihat: Khairil Ikhsan Siregar, “Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad dan

Aplikasinya dalam Fakta Sosial: Sebuah Kajian Nilai Al-Qur‟an dan Hadis,” Studi Al-Qur’an:

Membangun Tradisi Berfikir Qur’an 9, No. 1 (2013): h. 54.

Page 146: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

132

pintu-pintu rumah serta sebutlah nama Allah, sesungguhnya setan tidak dapat

membuka pintu yang telah dikunci‟.”128

ركوا النار يف ب ي وتكم حي تنامون عن ابن عمر رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال ت ت )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Janganlah kamu

membiarkan api menyala di rumah-rumahmu ketika kamu tidur‟.”129

Redaksi hadis di atas menunjukkan larangan yang disampaikan Nabi Saw agar

kaum muslimin tidak menghidupkan lampu ketika tidur. Yang demikian merupakan

pemahaman secara tekstual. Namun menurut Hasbi makna hadis ini harus digali

secara mendalam lebih dari sekedar pembacaan terhadap teksnya. Menurutnya, dalam

memahami hadis ini perlu pertimbangan terhadap konteks yang meliputinya, salah

satunya yaitu dengan melihat asbāb al-wurūd-nya. Ia kemudian menampilkan sebuah

hadis yang mengandung sebab larangan tersebut keluar dari lisan Nabi Saw. Hadis

tersebut berbunyi sebagai berikut:

ث بشأنم النيب صلى عن أيب موسى رضي اهلل عنو قال: احت رق بيت بادلدينة على أىلو من الليل فحدا ىي عدو لكم فإذا نتم فأطفئوىا عنكم )رواه البخاري ومسلم( اهلل عليو وسلم قال: إن ىذه النار إن

“Dari Abu Mūsa r.a ia berkata: Telah terbakar sebuah rumah di Madinah

beserta isinya pada suatu malam. Maka orang menceritakan hal tersebut kepada Nabi

Saw lalu beliau bersabda, „Sesungguhnya api ini adalah musuh bagi kamu, karena itu

apabila kamu tidur, maka padamkanlah api terhadap dirimu‟.”130

Dari keterangan hadis di atas terlihat bahwa ada hal yang menjadi latar

belakang Nabi Saw menyampaikan larangan tersebut yaitu karena kekhawatiran

beliau akan terjadinya kebakaran karena hal tersebut pernah menimpa penduduk

Madinah. Menurut Hasbi, jika kekhawatiran terhadap terjadinya kebakaran sudah

128

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 26. 129

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 26. 130

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 27

Page 147: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

133

tidak ada, maka perintah untuk mematikan lampu ketika tidur juga tidak harus

dijalankan lagi. Hasbi menuturkan,

“Perintah ini adalah suatu anjuran untuk menghindarkan kita dari

kemungkinan terjadinya kebakaran. Apabila tidak ada kekhawatiran kepada

terjadinya kebakaran, maka sudah barang tentu tidak diperintahkan supaya

kita memadamkan lampu di malam hari.”131

Hasbi menganggap bahwa perintah untuk memadamkan lampu ketika tidur

hanyalah sebuah petunjuk dan bukanlah sebuah kewajiban. Ia berpegang pada

kenyataan bahwa ‘illat yang terkandung di dalam hadis tersebut telah hilang sehingga

tidak menghendaki pengamalannya lagi. Maka jelas menurutnya hadis tentang

perintah memadamkan lampu ketika tidur ini merupakan bagian dari hadis yang

hukumnya bersifat sementara atau temporal. Ia menjelaskan,

“Perintah itu sebenarnya merupakan suatu petunjuk belaka, bukan sesuatu

yang diwajibkan. Untuk menghindari kebakaran. Dan di masa dahulu, lampu

yang dipakai adalah lampu minyak yang apabila tersenggol sedikit oleh tikus

dan semacamnya akan menimbulkan kebakaran. Apabila „illat tersebut tidak

ada lagi, maka tentulah hukum memadamkan lampu di malam hari tidak

tergolong perintah yang harus dijalankan lagi.”132

Lebih lanjut, Hasbi juga menjelaskan kandungan hadis tentang menjawab

salam dari orang non-muslim. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas

disebutkan bahwa cara menjawab salam dari orang non-muslim adalah dengan

mengucapkan “wa ‘alaikum”.

أنس بن بن مالك رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: إذا سلم عليكم أىل الكتاب عن فقولوا وعليكم )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Anas bin Mālik r.a ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Apabila ahli kitab

mengucapkan salam kepadamu maka jawablah dengan wa’alaikum‟.”133

131

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 28. 132

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 28. 133

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 225.

Page 148: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

134

Perihal ini menjadi perdebatan di antara para ulama. Tidak hanya seputar

menjawab salam, hukum mengucapkan salam terlebih dahulu kepada non-muslim

juga diperselisihkan.134

Ulama yang membolehkan untuk mengucapkan dan

menjawab salam dari kaum non-muslim mengatakan bahwa adalah hal yang

manusiawi untuk memberi penghormatan kepada mereka selama hati dan keyakinan

tetap pada Islam. Sementara itu juga ada ulama yang menentang keras perbuatan

tersebut karena di dalam hadis sudah dijelaskan bahwa tidak boleh memulai salam

dengan alasan apapun dan juga apabila mereka yang memulai maka jawablah dengan

“wa ‘alaikum” saja.

Adapun mengenai jawaban “wa‘alaikum” terhadap salam yang diucapkan

oleh non-muslim harus ditelusuri latar belakang historisnya, menurut Hasbi. Karena

ternyata ada hal yang menjadi penyebab Nabi Saw menjawab salam dari non-muslim

dengan ucapan tersebut. Hal ini didasarkan oleh riwayat Ibnu Umar:

عن عبد اهلل بن عمر قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو سلم: إذا سلم عليكم اليهود فإنا يقول ام عليك فقل وعليك )رواه البخاري ومسلم( أحدىم الس

“Dari Abdullah bin Umar ra.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Apabila

orang Yahudi memberi salam kepadamu maka sesungguhnya mereka mengatakan al-

sāmu ‘alaika, maka dari itu jawablah wa’alaika‟.”135

Di samping itu juga ada riwayat dari Aisyah:

عن عائشة رضي اهلل عنها قالت: دخل رىط من الي هود على رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم فقالوا: ام عليك ف فهمتها, فقلت: عليكم السام واللعنة. فقال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: مهل يا الس

134

Sayyid Quṯb mewakili ulama yang tidak menyetujui pengucapan salam kepada non-

muslim. Menurutnya, salam tidak selayaknya diucapkan kepada orang-orang yang bukan muslim

karena itu merupakan sebuah tahiyyah (penghormatan) dan budaya khas Islam. Pada sisi lain,

Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam (penulis kitab Bulūgh al-Marām) mengungkapkan bahwa

memang benar umat Islam tidak boleh memulai salam kepada non-muslim, namun jika mereka yang

terlebih dahulu mengucapkan salam maka harus dijawab dengan wa ‘alaikum (bagimu juga). Lihat:

Sayyid Quṯb, Tafsīr Fī Dzilāl al-Qur’ān, Penerjemah As‟ad Yasin Dkk, Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani

Press, 2000), h. 471, dan Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarh Bulūgh al-Marām, Penerjemah

Thahirin Suparta Dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 363. 135

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 225.

Page 149: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

135

ب الرفق يف األمر كلو. فقلت: يا رسول اهلل أومل تسمع ما قالوا؟ قال رسول اهلل صلى عائشة! فإن اهلل ي اهلل عليو وسلم: فقد قلت وعليكم )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Aisyah r.a. ia berkata: Segolongan Yahudi datang ke tempat Rasulullah

Saw dan berkata al-sāmu ‘alaika, aku memahaminya, karena itu aku menjawab

„alaikum al-sāmu wa la’natuhu‟, maka Rasulullah Saw bersabda, „Perlahan-lahan

wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah Swt menyukai kita berlemah-lembut dalam

setiap urusan‟. Aku menjawab, „Ya Rasulullah, tidakkah engkau mendengar apa yang

mereka katakan?‟ Rasulullah menjawab, „Sesungguhnya aku telah mengucapkan

wa’alaikum‟.”136

Dari riwayat di atas, tampak bahwa penyebab Nabi Saw menjawab wa

’alaikum pada salam dari orang non-muslim karena mereka bukan mengucapkan al-

salāmu melainkan al-sāmu atau kematian atasmu. Menurut Hasbi, jika salam yang

diucapkan oleh orang non-muslim benar (al-salāmu ‘alaikum) maka wajiblah dijawab

dengan wa ‘alaikum al-salām karena jawaban yang diberikan Nabi Saw sebagaimana

yang diterangkan oleh hadis di atas adalah cara beliau untuk mengimbangi salam dari

orang yang mengucapkan salam kepadanya. Hasbi menuturkan,

“Hadis ini memberi pengertian bahwa Rasulullah tetap berlaku lunak terhadap

siapa saja yang beliau hadapi dan memerintahkan pula agar kita juga

melakukan hal yang demikian walaupun yang kita hadapi itu orang kafir. Dan

dari hadis ini kita dapat mengambil pengertian pula, bahwa apabila orang kafir

itu benar-benar mengucapkan „al-salāmu ‘alaikum‟, maka wajib pula kita

menjawab, „wa ‘alaikum al-salām‟. Karena Nabi menyuruh kita menjawab

„wa ’alaikum‟ saja adalah untuk mengimbangi salam orang Yahudi yang telah

diterangkan itu.”137

Dari pemaparan mengenai beberapa hadis di atas, terlihat bahwa Hasbi

memberikan perhatian yang cukup besar terhadap kondisi dan situasi yang mengiringi

disampaikannya sebuah hadis oleh Nabi Saw. Hal ini merupakan bukti bahwa dalam

memahami hadis ia menggunakan pendekatan historis yang besar kemungkinan

keberadaannya menjadikan kandungan sesebuah hadis menjadi kondisional atau

136

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 226. 137

Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 228-229.

Page 150: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

136

menyesuaikan. Maka dengan demikian sebenarnya Hasbi juga telah menunjukkan

identitasnya sebagai ulama yang mendukung pemahaman kontekstual.

Hal ini tergambar dari penjelasannya terhadap hadis tentang perintah

memelihara jenggot yang setelah ditelusuri latar belakang dan kondisi yang

meliputinya menunjukkan adanya ‘illat atau alasan Nabi Saw memerintahkannya,

yaitu sebagai pembeda antara kaum muslimin dan yang bukan muslim. Namun alasan

yang dimaksud telah hilang seiring berkembangnya peradaban manusia, sehingga

menurut Hasbi memanjangkan jenggot tidak menjadi sebuah kewajiban lagi.

Pemahaman yang demikian hanya dilakukan oleh tokoh yang kontekstualis, karena

jika Hasbi memahaminya secara tekstual saja, tentu ia akan mengatakan bahwa

memanjangkan jenggot adalah wajib.

c. Pendekatan Sains atau Kesehatan

Di samping menggunakan pendekatan bahasa dan historis, pada beberapa

tema hadis Hasbi juga menjelaskannya dengan mengaitkannya pada pengetahuan

tentang sains dan kesehatan. Sebagaimana pemahamannya terhadap hadis tentang

cara membersihkan bejana bekas jilatan anjing. Di dalam sebuah riwayat disebutkan:

عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إذا ولغ الكلب يف إناء أحدكم سلو سبع مرات )رواه النساء(ف لريقو ولي غ

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, bersabda Rasulullah Saw: Apabila anjing

menjilat bejana seseorang, hendaklah ditumpahkan air dalam bejana itu, kemudian

hendaklah dibasuhnya tujuh kali.”138

Hasbi juga mencantumkan riwayat dari Abu Hurairah yang berbunyi sebagai

berikut:

عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيو الكلب راب )رواه البخاري ومسلم( أن ي غسلو سبع مرات أوالىن بالت

138

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 39.

Page 151: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

137

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda: Cara kamu

menyucikan bejana yang dijilati anjing ialah dengan membasuhnya tujuh kali, yang

pertama dari yang tujuh itu dengan tanah.”139

Dalam memahami hadis di atas, Hasbi terlebih dahulu menjelaskan asbāb al-

wurūd nya. Asbāb al-wurūd dari hadis tersebut adalah Abdullah bin Mughaffal (w. 57

H) menerangkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan untuk membunuh semua

anjing. Beberapa waktu kemudian, Rasulullah berkata lagi, “Mengapa anjing terus-

terusan dibunuh?” Sesudah itu beliau membolehkan orang memelihara anjing buruan,

anjing gembala dan anjing penjaga tanaman. Nabi juga bersabda: Apabila anjing

menjilati bejana kamu, basuhlah tujuh kali dan gosoklah dengan tanah pada kali ke

delapan.”140

Semua ahli fiqih dan jumhur sepakat tentang keharusan untuk membasuh

bejana bekas jilatan anjing. Yang banyak diperselisihkan adalah cara membasuhnya.

Hasbi dengan cermat mengemukakan tentang penyebab dari diwajibkannya

membasuh bejana yang dijilat anjing dari segi kesehatan. Dalam hal ini ia

mengatakan,

“Dalam ilmu kedokteran ada disebutkan, bahwa ada penyakit yang terdapat

pada moncong anjing yang tak dapat dibasmi oleh yang selain dari tanah.

Maka memakai tanah ini adalah untuk membasmi bahaya kuman-kuman di

mulut anjing. Karena itu, jika terdapat benda cair yang dapat menghilangkan

bahaya kuman moncong anjing itu, tentulah boleh kita memakainya. Para

dokter telah menerangkan hikmat dari membasuh jilatan anjing sekian kali

banyaknya. Sebab perintah membasuh jilatan anjing ditekankan ialah karena

dalam perut besar anjing ada terdapat cacing tambang yang sangat kecil

(kuman-kuman penyakit anjing gila), panjangnya 4 mm. Apabila anjing berak,

keluarlah telur-telur bersama beraknya. Apabila anjing membersihkan

badannya dengan lidahnya, seperti biasa dilakukan anjing, berlumurlah

lidahnya dengan cacing-cacing itu. Maka apabila anjing menjilat air dalam

suatu bejana, lengketlah telur-telur atau kuma-kuman itu padanya. Kalau air

itu diminum oleh manusia, masuklah ke dalam perutnya kuma-kuman dan

telur-telur itu dan beranaklah ia di dalam perut, lalu merusaklah dinding

pencernaan dan masuklah ke dalam saluran darah yang menyebabkan timbul

penyakit otak, jantung dan paru-paru. Karena membedakan antara anjing yang

berpenyakit dengan yang tidak, sukar sekali.”141

139

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 45. 140

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 46. 141

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 47-48.

Page 152: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

138

Dari keterangan yang dikemukakan oleh Hasbi di atas, terlihat bahwa ia

berusaha untuk memberikan alasan yang logis dari perintah untuk membasuh bejana

yang dijilat oleh anjing. Namun yang penulis garis bawahi dari uraian di atas adalah

sikap Hasbi yang luwes dalam tata cara membersihkan bejana yang dimaksud.

Menurutnya, karena zaman yang sudah berperadaban dan berkembang ini

menyediakan sabun dengan berbagai merek dan kualitas tinggi, maka boleh tidak

memakai tanah dan diganti dengan sabun saja. Karena alasan dari Nabi Saw

menyuruh untuk membersihkan bejana yang dijilati anjing adalah khawatir jika hal

tersebut dapat merusak kesehatan umat Islam. Maka disaat sudah ada benda yang

dapat menghilangkan “sebab” dari keharusan membasuh bejana yang dijilati anjing,

maka menurut Hasbi sah-sah saja jika memakai benda lain selain tanah. Ia juga

menambahkan, bahwa hadis-hadis di atas hanya menunjukkan kepada kenajisan

mulut anjing saja dan meqiyaskan seluruh badan anjing kepada mulutnya tidak

dibenarkan.142

Lebih lanjut, Hasbi juga menggunakan sebuah istilah “naluri budi” dalam

memahami hadis. Hadis yang ia pahami dengan naluri budi berkenaan dengan

meminum kencing unta. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

عكل أو قال عرينة قدموا على رسول اهلل صلى اهلل عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: إن رىنا منعليو وسلم فاجت ووا ادلدينة فأمر ذلم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم بلقاح وأمرىم أن يرجوا فيشرب وا من

)رواه البخاري ومسلم( أب واذلا وألبانا

“Dari Anas bin Mālik RA ia berkata: Bahwasannya serombongan orang dari

kabilah Ukal atau „Urainah datang ke Madinah, maka Nabi Saw menyuruh berikan

kepada mereka beberapa ekor unta betina dan menyuruh mereka tinggal di luar kota.

Mereka pergi bertempat di luar kota dan mereka minum kencing-kencing unta dan

susu-susunya.”143

Ia menerangkan, “Menurut pendapat kami hadis ini tidak perlu rasanya

ditegaskan syara‟. Cukup diserahkan pada naluri budi kita sendiri-sendiri. Naluri budi

142

Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 95. 143

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid I, Cet-4, Edisi 2 (Jakarta: Karya

Unipress, 1993), h. 55-57.

Page 153: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

139

yang sehat tentu menyatakan kencing unta itu menjijikkan. Kalau demikian, najislah

ia dan hendaklah kita membersihkan diri dari padanya.”144

Naluri budi yang

dimaksud oleh Hasbi adalah wijdān atau perasaan hati. Siapapun yang berpikiran dan

berperasaan yang sehat tentu akan memandang bahwa air kencing (baik yang berasal

dari manusia atau hewan) merupakan sesuatu yang kotor. Maka dari itu, patutlah hal

tersebut untuk dihindari dan tidak dikonsumsi.

Dari pemaparan pada sub-bab ini, tampak bahwa beberapa pemahaman Hasbi

terhadap hadis memang sedikit berbeda dari ulama mayoritas. Maka dalam hal ini

yang perlu diperhatikan adalah metode yang ia gunakan dalam memahami hadis.

Sama halnya dengan ulama lain, ketika memahami hadis Hasbi juga menerapkan

langkah-langkah seperti memahami hadis dengan al-Qur‟an dan riwayat hadis yang

lain. Namun tidak hanya itu, ia juga sangat menyandarkan pemahamannya kepada

amalan para sahabat dan pendapat para ulama. Karena kadar perhatiannya terhadap

perkataan para sahabat dan ulama yang besar-lah sehingga ia dengan tegas

menyatakan bahwa tidak ada shalat Zuhur pada hari Jum‟at dan mengqasr shalat

ketika safar meskipun dalam jangka waktu yang lama.145

Dalam memahami hadis, Hasbi menggunakan beberapa metode yang sebagian

darinya sama dengan yang telah dikemukakan oleh ulama klasik dan sebagian darinya

merupakan hasil dari olah pikir ia sendiri. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji

adalah kriteria keshahihan yang ditetapkan oleh Hasbi. Ia menambahkan satu kriteria

di samping lima kriteria yang sering digunakan oleh ulama, yaitu matan hadis tidak

bertentangan dengan nash mutawātir dan juga tidak bertentangan dengan kaidah

agama yang telah disepakati. Ia menolak hadis tentang Nabi Saw terkena sihir karena

144

Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid I, h. 57. 145

Hasbi merupakan tokoh yang turut serta dalam menyuarakan ijtihad dan menolak taqlid.

Ketika membaca karya-karyanya akan ditemukan fakta bahwa Hasbi banyak mengutip dan

menyandarkan pendapatnya pada pandangan ulama-ulama terdahulu, yang demikian mungkin saja

akan membuat beberapa orang menganggapnya jumud. Namun, menurut Hasbi mengutip pendapat

ulama terdahulu tidaklah termasuk taqlid. Jika menyandarkan pendapat kepada ulama terdahulu

termasuk taqlid, maka sama saja dengan mengatakan bahwa telah taqlid orang-orang yang berpegang

pada pendapat salaf dan mutaqaddimīn. Bagi Hasbi, seseorang baru dikatakan taqlid ketika ia bertaqlid

pada pendapat ulama muta’akhkhirīn yang hidup pada kurun waktu lima ratus atau dua ratus tahun

belakangan ini yang mereka lebih banyak berpegang pada pendapat imam mazhab mereka dibanding

al-Qur‟an dan hadis. Lihat: N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 125-127.

Page 154: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

140

menurutnya kandungan hadis tersebut bertentangan dengan kaidah yang telah

disepakati yaitu Nabi Saw sebagai manusia yang mulia dan senantiasa mendekatkan

diri kepada Allah Swt tidak mungkin terkena sihir. Padahal hadis tersebut terdapat di

dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim.

Hal yang sama juga terjadi ketika Hasbi memahami hadis tentang syafa‟at. Ia

berkesimpulan bahwa syafa‟at yang berupa penyelamatan manusia dari api neraka

tidak ada karena di dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang menjelaskan bahwa tidak ada

syafa‟at pada Hari Akhir. Di samping itu, adalah sebuah ketidakmungkinan jika Allah

Swt mengubah ketetapan-Nya terhadap seorang hamba. Seseorang yang telah dihisab

dan ditentukan untuk masuk neraka tidak mungkin dapat diselamatkan dari siksaan

sekalipun itu adalah syafa‟at dari Nabi Saw. Demikianlah pemahaman yang diyakini

oleh Hasbi. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam memahami hadis Hasbi sangat

berpatokan kepada petunjuk al-Qur‟an, sehingga jika ada sebuah hadis yang

kandungannya tidak satu alur dengan penjelasan yang tertera di dalam al-Qur‟an

maka ia akan cenderung menunjukkan penolakannya terhadap hadis yang

bersangkutan.

Dalam memahami hadis, di samping menggunakan pemahaman tekstual,

Hasbi juga menggunakan pemahaman kontekstual. Hasbi memberikan perhatiannya

terhadap perkembangan zaman dengan keterkaitannya dengan ketetapan hukum.

Menurut Hasbi, peradaban manusia akan membawa fatwa-fatwa baru karena hukum

timbul mengikuti keadaan. Ia menyadari bahwa perkembangan zaman dan kemajuan

peradaban yang dialami oleh umat manusia merupakan sesuatu yang tidak dapat

dielakkan. Maka ketika terjadi perkara-perkara baru, akal diharapkan mampu untuk

mengimbangi keadaan tersebut. Hal inilah yang mendorong Hasbi untuk

menggunakan metode kontekstual dalam memahami hadis.146

146

Pemahaman kontekstual meraih puncak kepopulerannya di kalangan akademisi hadis

Indonesia pada akhir abad dua puluh dan awal abad dua puluh satu. Maka dikenal-lah tokoh-tokoh

seperti KH. Ali Mustafa Yaqub, M. Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, Nizar Ali dan lain-lain sebagai

ulama yang mencurahkan perhatiannya di bidang ini. Dari beberapa tokoh ini, Hasbi tercatat telah

dahulu menulis karya yang memuat tentang pemahaman kontekstual terhadap hadis dengan terbitnya

dua bukunya sekitar tahun 1950-1970 yaitu 2002 Mutiara hadis Nabi dan Koleksi Hadis-hadis Hukum.

Meskipun dua karyanya ini tidak berisi tentang pemahaman kontekstual secara utuh dan mendalam,

Page 155: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

141

Beberapa hadis yang dipahami oleh Hasbi secara kontekstual adalah hadis

tentang memelihara jenggot, hadis menjawab salam dari non-muslim, hadis

mematikan lampu saat hendak tidur, hadis larangan menggunakan wadah dari emas

dan perak. Pemahaman hadis yang digunakan oleh Hasbi sangat erat hubungannya

dengan ‘illat yang terkandung di dalam sebuah hadis. ‘Illat yang ia maksudkan adalah

segala sesuatu yang menjadi latar belakang ditetapkannya hukum, termasuk di

dalamnya alasan, sebab dan tujuan Nabi Saw menyabdakan sebuah hadis. Menurut

Hasbi, ketika ‘illat dari sebuah hadis hilang, hukum yang terkandung di dalam hadis

tersebut juga ikut lenyap. Demikianlah ia memahami hadis tentang memelihara

jenggot, yang menurutnya ‘illat hukumnya sudah hilang sehingga perintah untuk

memanjangkan jenggot dan memotong kumis sudah tidak harus dijalankan lagi pada

saat ini. Begitupula halnya dengan hadis mematikan lampu saat hendak tidur. Karena

„illat hukum yang terkandung di dalamnya berupa kekhawatiran akan terjadinya

kebakaran sudah tidak ada lagi (sudah ada listrik), maka boleh untuk tidak mematikan

lampu ketika hendak tidur.

Hal yang sama juga berlaku pada hadis tentang menjawab salam dari orang

non-muslim. Karena alasan Nabi Saw menjawab “wa ‘alaikum” kepada non-muslim

adalah karena mereka bukan mengucap salam melainkan al-sāmu ‘alaikum, maka

disaat alasan tersebut telah berubah atau jika orang non-muslim mengucap salam

dengan benar wajib dijawab dengan benar pula. Demikian juga pada hadis tentang

larangan memakai wadah dari emas dan perak. Menurut Hasbi, karena „illat hukum

yang terkandung di dalamnya sudah lenyap, maka larangan untuk memakai wadah

dari emas dan perak juga hilang seiring dengan lenyapnya ‘illat tersebut.

Selanjutnya, dalam memahami hadis musykīl Hasbi cenderung menggunakan

takwil. Namun menurutnya tidak semua hadis musykīl boleh ditakwil. Hadis musykīl

namun beberapa hadis yang terdapat di dalamnya telah ia pahami dengan metode tersebut. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa wacana dan nalar kontekstual Hasbi sudah ada pada saat itu. Tokoh lain

menulis dan menerbitkan karyanya pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Seperti halnya M.

Syuhudi Ismail dengan karnyanya “Hadis Tekstual dan Kontekstual” pertama terbit pada tahun 1984,

Nizar Ali dengan karyanya “Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil” terbit pertama kali

pada tahun 2008, Daniel Djuned dengan karyanya “Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu

Hadis” terbit pada tahun 2010 dan K.H. Ali Mustafa Yaqub dengan karyanya “Cara Benar Memahami

Hadis” terbit pertama kali pada tahun 2014.

Page 156: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

142

yang boleh ditakwil adalah hadis yang sulit diterima oleh akal dan hadis yang

kandungannya menunjukkan perbedaan dengan yang dijelaskan oleh al-Qur‟an.

Dalam mentakwil hadis Hasbi juga memberikan rambu-rambu, yaitu tidak boleh

mensyarah hadis sekedar untuk menyesuaikannya dengan akal tanpa melirik hadis

shahih yang lain, takwil hanya boleh diterapkan pada hadis-hadis yang tidak

berkenaan dengan sifat Tuhan dan aqā`id, dan boleh menerapkan takwil terus-

menerus pada hadis-hadis yang tidak berhubungan dengan sifat Tuhan dan aqā`id

selama tidak merusak suatu ketetapan syara‟ yang sudah tegas hukumnya.147

Adapun

dalam memahami hadis yang kontradiktif Hasbi tampaknya hanya menggunakan satu

metode saja, yaitu kompromi atau al-jam’u. Hal ini tergambar dari langkahnya

memahami hadis di dalam dua karyanya pada bidang syarah, yaitu 2002 Mutiara

Hadis dan Koleksi Hadis-hadis Hukum.

B. Upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Mengembangkan Kajian

Pemahaman Hadis di Indonesia

Perkembangan kajian hadis di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga

periode, yaitu periode awal (abad ke-17-18), periode kedua (abad ke-19) dan periode

ketiga (abad ke-20 hingga sekarang). Hal inilah yang diungkapkan oleh Ahmad

Fudhaili di dalam penelitiannya mengenai geneologi perkembangan hadis di

Nusantara.148

Menurutnya, masing-masing periode memiliki ciri khas dan

karakteristik yang berbeda-beda. Pada periode pertama misalnya, karya-karya hadis

yang dihasilkan oleh ulama Indonesia masih dalam ruang lingkup yang sangat

terbatas berupa antologi hadis-hadis pilihan yang diarahkan untuk menjadi pedoman

bagi pembinaan praktek ibadah.149

Kitab-kitabnya juga ditulis dalam bahasa Melayu

147

N. Shiddiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 130-131. 148

Ahmad Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,”

Laporan Penelitian UIN Syarid Hidayatullah Jakarta, 2018, h. 203-209. 149

Hal ini juga dikemukakan oleh Muh. Tasrif di dalam penelitiannya. Hanya saja ada sedikit

perbedaan antara Muh. Tasrif dan Ahmad Fudhaili, menurut Muh. Tasrif periode pertama terjadi pada

abad ke 17-19 sedangkan menurut Ahmad Fudhaili periode pertama terjadi pada abad ke 17-18.

Namun hal ini tidak merubah kenyataan bahwa kajian hadis di Indonesia pertama kali berkembang dan

dikenal pada abad ke 17 dengan munculnya kitab-kitab hadis yang ditulis oleh ulama pada abad 17.

Page 157: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

143

dan aksara pegon.150

Pada periode kedua kitab-kitab hadis cenderung ditulis di dalam

bahasa Arab dan banyak dikaji di pesantren-pesantren. Sedangkan periode ketiga

adalah masa dimana muncul tokoh-tokoh yang melahirkan karya-karya dengan

inisiatif-inisiatif yang baru. Ulama pada periode ketiga mayoritas menulis karya-

karyanya dengan bahasa lokal, sehingga hal tersebut dapat memberi kemudahan bagi

masyarakat untuk memahaminya. Namun hal yang demikian juga berpengaruh pada

konsumen yang membaca karya mereka. Pada periode kedua karya-karya ulama

banyak dikaji oleh para santri, sedangkan karya ulama para periode ketiga lebih

banyak dikaji oleh para akademisi, mahasiswa dan masyarakat secara umum.151

Dari beberapa periode yang telah disebutkan di atas, kajian hadis meraih

puncaknya pada periode ketiga. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh hadis yang

melahirkan karya-karya yang cemerlang. Salah satu tokoh pada periode ketiga adalah

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan

dan memberikan warna baru dalam pengkajian hadis di Indonesia, terutama pada

bidang pemahaman hadis. Peran dan kontribusinya tercermin dari karya-karyanya

yang terus dikaji hingga saat ini oleh banyak kalangan, baik oleh akademisi hadis

maupun masyarakat biasa. Karya-karya yang dihasilkan oleh Hasbi juga terus dicetak

dan diperbaharui hingga awal abad ke-21. Hal tersebut menunjukkan bahwa

kontribusinya terus hidup di tengah-tengah masyarakat meskipun tangan yang

menulisnya telah tiada.

Hasbi telah berhasil mendobrak tradisi penulisan kitab hadis di Indonesia. Ia

hadir dengan delapan karyanya dalam bidang hadis yang dua di antaranya merupakan

karyanya mengenai syarah hadis. Dalam menulis karyanya, Hasbi memfokuskan

dirinya untuk menulis karya dalam bahasa Indonesia karena menurutnya hal pertama

yang harus dilakukan agar kajian Islam dapat berkembang dan tersebar di Indonesia

Lihat: Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Perkembangan (Ponorogo: STAIN

Ponorogo Press, 2007), 171. 150

Sebagai contoh adalah kitab Hidāyah al-Habīb fī al-Targhīb wa al-Tarhīb karya ar-Raniri.

Kitab ini merupakan kitab hadis berbahasa Arab yang disertai dengan penjelasan-penjelasan berbahasa

Melayu terawal yang muncul di Indonesia. Lihat: Ahmad Fudhaili, “Perkembangan Hadis di

Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 204. 151

Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 203-

209.

Page 158: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

144

adalah dengan menyajikan karya-karya dalam bahasa yang dapat dengan mudah

dipahami oleh masyarakat secara umum. Langkah yang ditempuhnya ini berbeda dari

ulama-ulama yang hidup sebelumnya yang mayoritas menulis karya syarahnya

dengan bahasa Arab dan sebagian lain dengan bahasa Melayu.

Dari konteks sejarah juga terlihat bahwa sebelum abad ke-20 hampir tidak ada

kitab hadis produk ulama dalam negeri yang berbahasa Indonesia. Sebut saja kitab

Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tarhīb karya Nuruddin al-Raniri152

yang

penjelasannya ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Pegon. Kemudian pada

abad ke-19 juga lahir beberapa kitab seperti Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubab

al-Hadīs karya Nawawi al-Bantani dan Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syaraḥ al-Mihnaḥ al-

Khairiyyah karya Mahmūd al-Tarmasi, yang keduanya ditulis dalam bahasa Arab

asli. Maka hadirnya karya Hasbi berupa syarah hadis merupakan sesuatu yang baru

dalam sejarah kajian hadis di Indonesia dan menjadi salah satu ciri khas yang melekat

pada Hasbi sebagai tokoh hadis kala itu. Tentu saja hal tersebut juga erat kaitannya

dengan perkembangan kajian pemahaman hadis, karena penjelasan Hasbi tentang

hadis dan juga metode yang beliau gunakan di dalam karya syarahnya ketika

menjelaskan sebuah hadis juga merupakan bagian dari kajian pemahaman.

Lebih lanjut, langkah yang ditempuh oleh Hasbi untuk menulis karya hadis

berbahasa Indonesia pada satu sisi memang mempunyai kelebihan, namun tidak dapat

dipungkiri bahwa hal tersebut juga memiliki kekurangan. Kelebihannya tentu saja

dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat karena ditulis dalam bahasa nasional

yang pasti diketahui oleh semua penduduk Indonesia. Sedangkan kekurangannya

terletak pada sulitnya karya tersebut untuk mendunia karena tidak ditulis dengan

bahasa Internasional seperti bahasa Arab atau bahasa Inggris. Kitab tersebut mungkin

saja dapat mendunia namun harus melalui proses yang panjang, di antaranya adalah

152

Kitab ini diklaim sebagai kitab syarah hadis pertama di Indonesia Selain sebagai kitab

syarah hadis pertama, karya Ar-Raniri ini juga merupakan kitab hadis Melayu yang menjadi tolak ukur

munculnya kajian hadis pertama kali di sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia.

Namun sejauh ini akses terhadap kitab ini sangat terbatas karena diketahui hanya satu tempat yang

menyimpan teksnya yaitu Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), dan sebuah penelitian terbaru

menyatakan bahwa teks kitab tersebut juga ada di Perpustakaan Manuskrip Malaysia, meskipun masih

dalam versi tidak lengkap. Lihat: Alimron, “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas

Naskah Hidāyat al-Ḥabīb Karya Ar-Raniri,” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6-7.

Page 159: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

145

dengan diterjemahkan terlebih dahulu. Di samping itu, karya Hasbi dalam bidang

hadis yang ia tulis dalam bahasa Indonesia juga kurang dapat diterima oleh oleh para

santri. Pesantren-pesantren yang ada di Indonesia mayoritas menggunakan kitab-kitab

berbahasa Arab. Hal ini erat hubungannya dengan “Arab oriented” yang

menyebabkan beberapa kelompok tidak menggolongkan karya berbahasa Indonesia

sebagai sebuah “kitab”. Menurut mereka sebuah karya dapat disebut sebagai kitab

hanya jika ditulis dalam bahasa Arab.153

Lebih lanjut, jika diperhatikan ulama-ulama sebelum Hasbi atau lebih

tepatnya yang hidup pada periode perkembangan hadis pertama dan kedua menulis

kitabnya dengan menyesuaikan pada kondisi dan kebutuhan masyarakat kala itu. Pada

periode awal masyarakat banyak yang baru mengenal Islam, sehingga kitab-kitab

hadis ditulis dengan ringkas dan lebih diarahkan pada praktik-praktik keagamaan saja

seperti kewajiban-kewajiban dasar yang harus dilakukan oleh kaum muslimin.154

Maka sudah jelas bahwa sasaran yang ingin dicapai oleh ulama pada periode ini

adalah masyarakat secara umum. Sedangkan pada periode kedua, sasaran yang ingin

dituju oleh para ulama tampaknya adalah para santri dan program pembelajaran hadis

di pesantren. Kitab-kitab hadis pada masa ini juga ditulis dalam bahasa Arab sangat

sesuai dengan standar yang diinginkan oleh pesantren. Adapun Hasbi sebagai tokoh

yang masuk dalam periode ketiga menjadikan mahasiswa dan masyarakat umum

sebagai sasaran dari karya-karya hadis yang ia hasilkan. Hal ini didukung oleh

kenyataan bahwa Hasbi adalah dosen yang aktif mengajar di Perguruan Tinggi Islam

kala itu. Maka adalah sesuatu yang sangat memungkinkan jika karyanya dijadikan

sebagai buku wajib mahasiswa dan rujukan pada mata kuliah hadis di tempat ia

mengajar.

153

Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 211-

212. 154

Hurin‟in Am, “Karakteristik Karya Hadis di Indonesia Abad XVII hingga Awal Abad

XXI,” Tesis Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdatul Ulama (STAINU) 2017, h. 111.

Page 160: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

146

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini

menghasilkan beberapa kesimpulan berupa jawaban dan respon yang selaras dengan

masalah yang telah dirumuskan. Kesimpulan pokok dari penelitian ini adalah terkait

dengan metode T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis. Dari pembacaan

terhadap karya-karya beliau pada bidang hadis, terutama yang berkenaan dengan

syarah seperti karyanya yang berjudul “2002 Mutiara Hadis” dan “Koleksi Hadis-

hadis Hukum”, ditemukan beberapa metode yang beliau gunakan dalam memahami

hadis, yaitu antara lain: a) Memahami hadis dengan petunjuk al-Qur’an; b)

Mentakwil hadis-hadis musykīl; c) Merujuk pada sejumlah referensi; d)

Mengkompromikan hadis-hadis yang bertentangan. Di samping itu, dalam memahami

hadis Hasbi juga menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahasa,

pendekatan historis dan pendekatan sains atau kesehatan.

Selanjutnya, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga mempunyai upaya tersendiri

untuk mengembangkan kajian pemahaman hadis di Indonesia. Upaya tersebut

tergambar dari langkah beliau dalam menyajikan kajian berbentuk karya-karya syarah

yang sengaja beliau tulis dalam bahasa lokal. Hasbi secara pribadi menyatakan bahwa

hal pertama yang harus dilakukan agar kajian hadis dapat diterima dan berkembang di

Indonesia adalah dengan memberikan kajian-kajian dalam bahasa yang mudah

dimengerti oleh masyarakat. Hal ini juga membuat Hasbi stand out karena berhasil

menghadirkan karya hadis berbahasa lokal disaat mayoritas ulama-ulama yang hidup

sebelumnya menulis karya hadis mereka dalam bahasa Melayu (abad ke 17-18) dan

bahasa Arab (abad ke-19).

Adapun langkah yang ditempuh oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam

menghasilkan karya-karya hadis berbahasa lokal mempunyai kelebihan dan

kekurangan. Kelebihannya terdapat pada sisi penerimaan dan jangkauan

perkembangannya yang dapat menyentuh masyarakat luas secara umum. Sedangkan

Page 161: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

147

kekurangannya adalah karyanya menjadi sulit untuk mendunia karena tidak ditulis

dalam bahasa Internasional (Arab atau Inggris). Di samping itu, karya-karya yang

ditulis dalam bahasa Indonesia sulit untuk masuk lembaga pesantren. Mayoritas

pesantren tidak menggunakan buku-buku berbahasa Indonesia karena menurut

mereka karya-karya tersebut adalah “buku” bukan “kitab”. Hal ini juga erat kaitannya

dengan “Arab Oriented” yang dianut oleh beberapa pesantren sehingga mereka lebih

mengutamakan kitab-kitab berbahasa Arab sebagai kajian pokok bagi para santrinya.

B. Saran-saran

Penelitian ini sifatnya tidak mutlak, sehingga jika di kemudian hari ditemukan

kekeliruan atau terdapat penelitian yang lebih akurat, maka kesimpulan dari

penelitian ini dapat disesuaikan. Oleh karena itu dengan selesainya penelitian yang

berjudul “Metode Pemahaman Hadis di Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi

Ash-Shiddieqy” ini diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca. Penulis

juga menghimbau kepada para akademisi hadis di Indonesia dapat memberikan

perhatian yang lebih besar terhadap pengkajian mengenai metodologi pemahaman

hadis. Karena sejauh ini penelitian terkait metode pemahaman hadis masih terbilang

sedikit dibandingkan kajian-kajian hadis yang lain seperti studi hadis tematik dan

sejarah perkembangan hadis.

Page 162: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

148

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. dkk. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga

Modern. Cet-2. Yogyakarta: LESFI. 2004.

Abu Ṯālib, Safi Hasan. Tatbi al-Syarī’ah al-Islāmiyah fī al-Bilād al-Arabiyyah.

Kairo: Dār al-Nahḏah al-Arabiyah, 1990.

Abubakar, Ali. “Reinterpretasi Shalat Jumat: Kajian Dalil dan Pendapat Ulama.”

Media Syariah XIII, No. 2 (Juli-Desember 2011): h. 171.

Ali. “Pengaruh Tradisi Arab Pra Islam terhadap Hukuman Rajam.” Jurnal Ilmiah

Islam Futura 14, No. 1 (Agustus 2014): h. 32.

Ali, Nizar. Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil. Yogyakarta:

Penerbit Teras, 2008.

Alimron. “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas Naskah

Hidāyat al-Ḥabīb Karya Ar-Raniri.” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6-

7.

Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta:

Penerbit Hikmah, 2009.

Andi, Azhari. dkk. “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran Muhammad Syahrur

terhadap Sunnah.” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89.

Annum, Latifa D. “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia.” Jurnal Studi Agama dan

Masyarakat 12, No. 1 (Juni 2016): h. 117-119.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina

Aksara, 1989.

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadits. Cet-2. Jakarta: Bulan

Bintang, 1988.

_______. Ilmu-ilmu Al-Qur’ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-

Qur’ān. Ed. 3. Cet ke-6. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

_______. Pedoman Shalat. Cet-11. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

_______. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

_______. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur. Jilid I. Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2000

Page 163: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

149

_______. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

_______. Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas (Jakarta:

Bulan Bintang, 1975.

_______. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Cet-2. Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2009.

_______. Pokok-pokok Dirayah Hadits. Jilid I. Cet-4. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

_______. Pokok-pokok Dirayah Hadits. Jilid 2. Cet-6. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

_______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid I. Cet-3. Jakarta: Bulan Bintang, 1961.

_______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid 2. Cet-2. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

_______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid 6. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

_______. 2002 Mutiara Hadis. Jilid 7. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

_______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 1. Cet-5. Jakarta: PT Magenta Bhakti

Guna, 1994.

_______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 3. Cet-2. Bandung: Al-Ma‟arif. 1972.

_______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 4. Bandung: Al-Ma‟arif, 1974.

_______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 5. Bandung: Al-Ma‟arif, 1976.

________. Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra,

1997.

Al Asqalāni, Ahmad bin Ali bin Hajr. Fath al-Bāri bi Syarh Sahīh al-Bukhāri. Riyāḏ:

Dār al-Ṯibah, 2005.

Atno. “Teori Masuknya Agama dan Budaya Islam ke Indonesia” RISTEKDIKTI:

Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG dalam Jabatan Kementerian

Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, h. 1.

Aziz, Erwati. “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik Sanad, Matan dan

Pemahamannya.” Al-A’raf 14, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 144-145.

Aziz, Mahmud dan Yunus, Mahmud. Ilmu Mustolah Hadith. Jakarta: PT Hadikarya

Agung, 1984.

Page 164: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

150

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.

Al Bantani, Nawawi. Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs. Jakarta: Dār

al-Kutub al-Islāmiyah, 2011.

Basri, Hasan. “Manajemen Dakwah Rasul SAW di Mekkah.” Al-Munzir 7, No. 2

(November 2014): h. 29.

Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarh Bulūgh al-Marām. Penerjemah

Thahirin Suparta Dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.

Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i.”

Ushuluddin 17, No. 2 (Juli 2011): h. 189.

Baya‟qub, Rusydi. “Konstruksi Pemikiran Reformasi Islam Ahmad Surkati.” Al-

Adalah 15, No. 2 (Desember 2012): h. 224.

Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Cet-3. Bandung:

Mizan, 1999.

Al Bukhāri, Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah. Sahih al-Bukhāri. Kitab Al-

Janā`iz Bab 32. Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 2006.

Bustamin. Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ushul Press, 2009.

Bustamin dan Salam, M. Isa H.A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2004.

Chalida, Noer. “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis.” Al-Hikmah 5, No. 2

(Oktober 2017): h. 92.

Channa, Liliek AW. Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual.”

Jurnal Ulumuna 15, No. 2 (Desember 2011): h. 395.

Damanik, Nurliana. “Konsep Syafa‟at dalam Perspektif al-Qur‟an dan al-Hadis.”

Shahih: Jurnal Kewahyuan Islam, (Jan-Des 2017): h. 72.

Danarta, Agung. “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya

Pemetaan.” Jurnal Tarjih Edisi 7 (Januari 2004): h. 73-82.

Darussamin, Zikri. “Kassim Ahmad Pelopor Inkar Sunnah di Malaysia.” Alfikra:

Jurnal Ilmiah Keislaman 8, No. 1 (Januari-Juni 2009): h. 3.

Page 165: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

151

Daulay, Hefni Julidar. “Pemikiran Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku

Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid Satu Pembahasan Pertama (Thaharah),”

(Tesis Prodi Tafsir Hadis UIN Sumatera Utara).

Al Dimasyqī, Ibnu Naṣiruddīn. Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis Permata

Salaf yang Terpendam (833H/1429M). PenerjemahaFaisal Saleh Dkk.

Jakarta: Penerbit Akbar, 2008.

Djuned, Daniel. Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2010.

Fahruddien. “Syafa‟at dalam al-Qur‟an: Suatu Kajian atas Tafsir al-Maraghi,” (Tesis

S2 Pascasarjana IAIN Surakarta, 2017), h. 31-38.

Farida, Umma. “Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif

Ushuliyyin dan Muhadditsin.” YUDISIA: Pemikiran Hukum dan Hukum

Islam 6, No. 1 (Juni 2015): h. 237.

_______. “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam

Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3,

No. 1 (2017): h. 2.

Firdaus, Beni. “Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Jama‟ dan Qashr Shalat.”

Alhurriyah: Jurnal Hukum Islam 2, No. 2 (Juli-Desember 2017): h. 173.

Fatih, M. “Pemahaman Hadis „Makan dengan Tiga Jari‟ dan „Perbedaan Usus Orang

Mumin dan Orang Kafir Ketika Makan‟: Kajian Ma‟anil Hadits.” Progressa

Journal of Islamic Religious Instruction 1, No. 1 (Februari 2017): h. 131.

Al Ghazāli, Muḥammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman

Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1996.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008.

Ghozali, Abdul Malik. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah

dalam Ta‟wīl Mukhtalaf al-Ḥadīs.” Kalam: Jurnal Studi Agama dan

Pemikiran Islam 8, No. 1 (Juni 2014): h. 120.

Harahap, Radinal Mukhtar. “Hadis pada Masa Nabi Muhammad Saw dan Sahabat.”

Al-Bukhāri: Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 1 (Januari-Juli 2018): h. 42.

Hasbi, Ridwan. “Paradigma Shalat Jum‟at dalam Hadits Nabi.” Jurnal Ushuluddin

18, No. 1 (Januari 2012): h. 78.

Page 166: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

152

Hasbillah, Ahmad Ubaydi. Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat

Berbasis Tekstualisme. Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2018.

Hasbiyallah, Muhammad. “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya Membumikan

Nilai-nilai Al-Qur‟an.” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-

Hadits 12, No. 1 (Juni 2018): h. 34.

Ibnu Amri, Abu Ibrahim Arman. Mengenal Syafa‟at,” diakses pada 8 Oktober 2019

dari https:// almanhaj.or.id/2734-mengenal-syafa‟at.html

Ibnu Anas, Mālik. Al-Muwaṯṯā`. Ditahqiq oleh Muhammad Musṯafa Al-A‟ẕāmi. Jilid

5, Kitab al-Jāmi’. Abu Dabi: Mu`assasah Zayed bin Sulṯān, 2004.

Ibnu Fauzi, Abdul Aziz. “Dinamika Gerakan Al-Irsyad dalam Mempengaruhi

Perubahan Sosial Warga Keturunan Arab Kampong Ampel Surabaya Utara.”

AntroUnairDotNet 2, No. 2 (Januari-Februari 2013): h. 233.

Ibnu Muhammad, Abu al-Qāsim al-Husain. Al-Mufradāt fi Gharīb al-Qur’ān. T.tp:

Maktabah Nizar Mustafa al-Bāz, t.t.

Ibrahim, Muhsinah. “Dayah, Masjid, Meunasah sebagai Lembaga Pendidikan dan

Lembaga Dakwah di Aceh.” Al-Bayan 21, No. 30 (Juli-Desember 2014): h.

24.

Idri. Studi Hadis. Cet-3. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

Imron, Ali. “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil.” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 2,

No. 2 (Desember 2017): h. 288.

Irfah, Abu. “Karya Ulama: Kitab Ikhtilaf al-Hadith.” Artikel diakses pada 14 Juni

2019 dari abusyahmin.blogspot.com/2013/07/kitab-ikhtilaf-al-hadith.html

Ismail, M. Syuhudi. Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits

tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Cet-2. Jakarta:

Bulan Bintang, 2009.

_______. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet-4. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.

Itr, Nuruddin. Ulumul Hadis. Penerjemah Mujiyo. Cet-2. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2012.

Al Jawziyah, Ibnu al-Qayyim. Petunjuk Nabi Saw Menjadi Hamba Teladan dalam

Berbagai Aspek Kehidupan. Penerjemah Achmad Sunarto. Jakarta: Rabbani

Press, 1998.

Page 167: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

153

Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, Penerjemah Ilyas Hasan.

Bandung: Mizan, 1999.

Kahar, Abd. “Eksistensi dan Keistimewaan Malaikat Jibril AS dalam Al-Qur‟an.”

JPIK 1, No. 2 (September 2018): h. 286.

Khaeruman, Badri. “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX.” Jurnal

Dirayah Ilmu Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 187-202.

Al Khaṭīb, Muhammad „Ajjāj. Uṣūl al-Hadīs Ulūmuhu wa Musṯalāhuh. Beirut: Dār

al-Fikr, 1989.

Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah, 2014.

Ma‟arif, Toha. “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin

dan Munawir Syadzali.” Pengembangan Masyarakat Islam 8, No. 2

(Agustus 2015): h. 31.

Mahdy, Fakhri Tajuddi. “Metodologi Syarah Hadis Nabi Saw: Telaah Kitab Tanqīh

al-Qaul al-Hasīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs Karya Imam Nawawi Al-Bantani,”

(Tesis S2 UIN Alauddin Makassar, 2016), h. 98.

Mahmudi. “Pemahaman Hadis tentang Memelihara Jenggot dalam Konteks

Kekinian.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 2 (2018): h. 272-273.

Marzuki. “Kritik terhadap Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.” Jurnal

Humanika 6, No. 1 (Maret 2006): h. 34.

Maulana, Luthfi. “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits: Dari Tradisi

Lisan/Tulisan hingga Berbasis Digital.” Esensia 17, No. 1 (April 2016): h.

117.

Misbah, Muhammad. “Hadis Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih:

Studi Kasus Haid dalam Kitab Bidāyatul Mujtahid.” Riwayah: Jurnal Studi

Hadis 2, No. 1 (2016): h. 108.

Miski. “Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman

Serban dalam Konteks Indonesia.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1

(2016): h. 28.

Miswar, Andi. “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid „Al-Nūr‟ Karya T.M. Hasbi Ash-

Shiddieqy: Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam

Nusantara.” Adabiyah XV, No. 1 (2015): h. 85.

Page 168: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

154

Muhajirin. Kebangkitan Hadits di Nusantara. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,

2016.

Muhammad, Taqiyuddin. “Al-Kalaliy: Pembaharu yang Terlupa di Tengah Kota.”

Artikel diakses pada 15 Mei 2019 dari misykah.com/al-kalaliy-pembaharu-

yang-terlupa-di-tengah-kota/

Muhsin, Masrukin. “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih

dan Tadh‟if menurut Bukhari.” Holistic al-Hadis 2, No. 2 (Juli-Desember

2016): h. 286.

Muhtador, Moh. “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis.”

Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 266.

Al Munawwar, Said Agil dan Mustaqim, Abdul. Asbabul Wurud: Studi Kritik Hadis

Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2001.

Munir, Ghazali. “Pemikiran Pembaharuan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-

Dahlawi.” Teologia 23, No. 1 (Januari 2012): h. 18.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan

Metode Memahami Hadis Nabi. Cet-2. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,

2016.

Al Naisabūry, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj. Sahih Muslim. Beirut: Dār al-

Kutub al-Ilmiyyah, 1991.

_______. Sahih Muslim. Beirūt: Dār al-Fikr, 2003.

Najamuddin. Perjalanan Pendidikan di Tanah Air: Tahun 1800-1945. Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2005.

Nasution, Amir Hamzah. Dkk. “Kontribusi Pemikiran Yusuf Al-Qaradawi dalam

Kitab Kaifa Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah Nabawiyah.” At-Tahdis: Journal of

Hadith Studies 1, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 148.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia, 1986.

Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980.

Page 169: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

155

Nurudin, Muhammad. “Signifikansi Pemahaman Kontekstual pada Era Global

(Analisis Hadis Ijtima‟i.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h.

228.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1985.

Punaji, Setyosar. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: PT.

Kencana, 2010.

Qarḏāwi, Yusūf. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,

2009.

_______. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Penerjemah Muhammad al-Baqir.

Cet- 4. Bandung: Karisma, 1995.

Al Qaṯṯān, Mannā‟. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Penerjemah Mifdhol Abdurrahman.

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.

Quṯb, Sayyid. Tafsīr Fī Dzilāl al-Qur’ān. Penerjemah As‟ad Yasin Dkk. Jilid 2.

Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Rahman, Abd. Rasyid. “Perkembangan Islam di Indonesia Masa Kemerdekaan: Suatu

Kajian Historis.” Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences 12, No. 2

(Oktober 2017): h. 117.

Rahman, Arivaie. “Al-Fatihah dalam Perspektif Mufasir Nusantara: Studi Komparatif

Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur dan Tafsir al-Azhar,.” Journal of

Contemporary Islam and Muslim Societies 2, No. 1 (Januari-Juni 2018), h.

8-9.

Rokhmadi. “Hukuman Rajam bagi Pelaku Zina Muhsan dalam Hukum Pidana

Islam.” At-Taqaddum 7, No. 2 (November 2015): h. 311.

Romli. “Illat dan Pengembangan Hukum Islam.” Intizar 20, No. 2 (2014): h. 222.

Sa‟diyah, Fatichatus. “Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode

Pemahaman Hadis.” (Tesis S2 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 82-84.

Saepudin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press, 2007.

Al Sālih, Subhi. Ulūm al-Hadīts wa Musṯalahuh. Malaysia: Dār al-Ilm li al-Malāyīn,

1988.

Page 170: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

156

Salīm, Amru Abd al-Mun‟im. Al-Mu’allim Fī Ma’rīfah ‘Ulūm al-Hadīs wa

Taṯbīqātihi al-‘Ilmiyyah wa al-‘Amaliyyah: Musṯalah al-Hadīs. Riyāḏ: Dār

al-Tadmuriyyah, 2005.

Al San‟āni, Muhammad bin Ismā‟īl. Subul al-Salam. Jilid I. Mesir: Maktabah

Mustafa al-Bāb al-Halby, t.t.

Santosa, Sandi. “Melacak Jejak Pensyarahan Kitab Hadis.” Jurnal Diroyah: Ilmu

Hadis 1, No. 1 (September 2016): h. 82-83.

Saputra, Hasep. “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia.” Jurnal Studi

Al-Qur’an dan Hadis 1, No. 1 (2017): h. 45.

Sari, Mimi Rahma. “Aisyah dan Kontribusinya dalam Ilmu Kritik Hadis,” (Tesis S2

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 7-8.

Shamad, A. “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis.” Al-Mu’ashirah 13, No.

1 (Januari 2016): h. 35.

Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1997.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

Lentera Hati: Jakarta, 2002.

Al Sibā`i, Mustafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah

Pembelaan Kaum Sunni. Penerjemah Nurcholish Madjid. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1991.

Siregar, Khairil Ikhsan. “Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad dan Aplikasinya

dalam Fakta Sosial: Sebuah Kajian Nilai Al-Qur‟an dan Hadis.” Jurnal Studi

Al-Qur’an: Membangun Tradisi Berfikir Qur’an 9, No. 1 (2013): h. 54.

Siregar, Muhammad Nuh. “Hadis tentang Keimanan Orang yang Berbuat Maksiat.”

Shahih: Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2019): h. 5-6.

Sudariyah. “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-

Shiddieqy.” Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96.

Supian, Aan. “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis.”

Mutawatir: Jurnal Tafsir Hadis 4, No. 2 (Desember 2014): h. 271.

Suprapto, Bibit. Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah

Perjuangan Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009.

Page 171: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

157

Suryadi. “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis.” Esensia 16, No.

2 (Oktober 2015): h. 180.

Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer.

Yogyakarta: Kalimedia, 2017.

Syafrizal, Ahmad. “Sejarah Islam Nusantara.” Ulumuna 2, No. 2 (Desember 2015): h.

236-237.

Al Ṯahhān, Mahmūd. Taisīr Musṯalah al-Hadīs. Singapura-Jeddah: Al-Haramain, t.t.

Tahir, Mansun. “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan

Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia.” Al-Aḥwāl 1,

No. 1 (2008): h. 124.

Al Tarmasi, Mahmud. Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah.

Kementerian Agama RI: T.tp, 2008.

Tasbih. “Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis: Refleksi terhadap Wacana Islam

Nusantara.” Jurnal Al-Ulum 16, No. 1 (Juni 2016): h. 82.

Tasrif, Muh. “Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dariAbad XVII-

Sekarang.” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis 5, No. 1 (Januari

2004).

Al Tirmidzī, Abu Īsa Muhammad bin Saura. Jāmi’al-Tirmidzī, Kitab al-Janā`iz Bab

24. Beirūt: Bait al-Afkār al-Dauliyyah t.t.

Usiono. “Potret Rasulullah sebagai Pendidik.” Ansiru 1, No. 1 (Juni 2017): h. 206.

Wahid, Ramli Abdul. “Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia.”

Jurnal Analytica Islamica 4, No. 2 (2015): h. 232.

Wahid, Ramli Abdul dan Masri, Dedi. “Perkembangan Terkini Studi Hadis di

Indonesia.” Miqot 40, No. 2 (Juli-Desember 2018): h. 263.

Wahyuni, Yeni Sri dan Bin Razali, Yusrizal. “Batas Waktu Musafir Bermukim untuk

Kebolehan Qasar Shalat.” Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-

undangan dan Pranata Sosial IX, No. 1 (Januari-Juni 2019): h. 16-17.

Yamin, Muhammad. “Peradaban Islam pada Masa Nabi Muhammad Saw.” Ihyā` al-

Arabiyyah: al-Sunnah 3, No. 1 (2017): h. 110.

Yaqub, Ali Mustafa. Cara benar Memahami Hadisi. Cet-3. Jakarta: Pustaka Firdaus,

2019.

Page 172: METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Studi …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49434...ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI

158

_______. Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa

Dzurriyyah, 1989.

Zainuddin. “Metodologi Pemahaman Hadis Islamolog dan Ulama Kontemporer.”

Jurnal Substantia 14, No. 2 (Oktober 2012): h. 181.

Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyien al-Kattani

Dkk. Jilid II. Jakarta: Gema Insani, 2010.