MENYUSUN RANSUM - · PDF fileSetelah pemilihan bahan makanan ternak yang akan digunakan untuk...
-
Upload
phungthien -
Category
Documents
-
view
234 -
download
15
Transcript of MENYUSUN RANSUM - · PDF fileSetelah pemilihan bahan makanan ternak yang akan digunakan untuk...
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 1
MENYUSUN RANSUM
PENDAHULUAN
Setelah pemilihan bahan makanan ternak yang akan digunakan untuk menyusun
ransum dilakukan, maka beberapa bahan makanan ternak yang telah dipilih tersebut harus
ditentukan jumlahnya sebelum dicampur menjadi suatu ransum dengan menggunakan suatu
metode tertentu. Prinsipnya ada 4 macam metode yang lazim digunakan secara luas, yaitu:
1. Metode Pearson Square
2. Metode Trial and Error
3. Metode Persamaan Aljabar
4. Metode Linear Programming
Walaupun demikian, modifikasi dapat dilakukan untuk mendapatkan kemudahan dan
menutupi kelemahan diantara metode-metode diatas (terutama kombinasi antara metode
Pearson Square dengan Trial and Error). Untuk praktikum ini hanya akan diperdalam tentang
metode Trial and Error, karena metode Paerson Square paling mudah dan banyak dibahas
dalam bahan kuliah sedangkan metode Persamaan Aljabar dan Linier Programming akan
dibahas dan menjadi porsi mata kuliah Industri Makanan Ternak.
Metode Trial and Error dapat hanya merupakan metode yang sederhana jika yang
menjadi kriteria hanya satu zat makanan saja (misalnya protein atau energi metabolis) dan
bahan makanan ternak yang digunakan tidak terlalu banyak. Tetapi dapat juga menjadi
metode yang kompleks artinya memerlukan langkah perhitungan yang panjang jika yang
menjadi kriteria lebih dari 5 macam (misalnya protein, energi metabolis, lemak, serat kasar,
Ca, P, harga bahan makanan ternak dsb.) dan bahan makanan ternak yang digunakan sangat
banyak (misalnya lebih dari bahan pakan ternak). Perhitungan untuk metode Trial and Error
yang disebut terakhir memang panjang dan rumit, tetapi masih mudah dilakukan oleh
peternak sekalipun. Oleh karena itu, metode ini diterapkan secara luas sampai ke tingkat
peternakan menengah bahkan besar yang tidak menggunakan ransum komersiil (pabrik) saja
dan menyusun ransumnya sendiri dengan belum mempergunakan komputer. Hanya saja,
untuk peternakan menengah atau besar perhitungan dilakukan dengan komputer dan tidak
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 2
hanya menggunakan table-tabel yang ada dalam literatur yang kebanyakan berasal dari luar
negeri tetapi melakukan analisa sendiri terhadap setiap bahan makanan ternak yang
digunakan untuk menyusun ransum. Bahkan lebih dari itu, untuk bahan makanan ternak yang
sama (misalnya jagung) tetapi berasal dari daerah yang berbeda (misalnya ada yang berasal
dari Pasuruan, Blitar, Tulungagung) dilakukan analisa sendiri-sendiri. Hal ini akan
memudahkan jika sewaktu-waktu terjadi perubahan terhadap jagung yang digunakan, yaitu
misalnya semula digunakan jagung dari Pasuruan akan diganti dengan jagung dari Blitar
karena berbagai alas an, harga yang lebih murah, ketersediaan bahan tersebut dipasaran, dsb.
Bahan makanan ternak yang sama tetapi dihasilkan dari daerah sentra produksi yang berbeda
akan memiliki kualitas yang berbeda, disebabkan karena perbedaan varietas yang digunakan,
pola pemupukan, kondisi hara tanah, umur pemotongan atau pemanenan sehingga perlu
dilakukan analisa sendiri-sendiri.
Untuk dapat menyusun ransum dengan menggunakan metode Trial and Error ini
dengan efektif, diperlukan pengalaman berkali-kali agar dapat melakukan Trial terhadap
jumlah bahan makanan ternak yang harus digunakan atau proporsinya dalam ransum dengan
jeli sehingga tidak harus berkali-kali melakukan revisi terhadap proporsi bahan makanan
ternak dalam ransum karena underestimate atau overestimate dalam menetapkan proporsi
tersebut sehingga ransum yang telah disusun tersebut juga akan kelebihan atau kekurangan
terhadap satu atau lebih zat makanan.
TUJUAN
Agar mahasiswa memiliki pengalaman menyusun ransum dengan menggunakan
metode Trial and Error yang telah digunakan secara luas dengan baik dan secara ekonomis
menguntungkan.
PRINSIP
Menyusun ransum yang sesuai dengan kriteria yang disyaratkan dan memiliki harga
yang serendah mungkin.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 3
PROSEDUR
1. Tentukan 10 macam bahan pakan ternak yang hendak digunakan untuk menyusun ransum
2. Carilah table yang memuat kandungan zat-zat makanan dari setiap bahan pakan ternak
yang digunakan
3. Carilah pula harga dari setiap bahan pakan ternak di pasaran.
4. Untuk kriteria dari ransum yang hendak disususn ada 7 macam, tetapi setiap mahasiswa
hanya diwajibkan menggunakan satu diantara kriteria tersebut seperti yang telah
ditetapkan oleh pembimbing praktikum.
5. Tuliskan formula dari ransum yang berhasil saudara susun, untuk ransum sebanyak 100
kg.
6. Berapakah harga ransum per kg yang saudara dapatkan?
7. Berikan komentar tentang kelebihan dan kekurangan ransum yang saudara susun, jika
dibandingkan dengan ransum yang sejenis yang berhasil disusun oleh rekan saudara.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 4
LEMBARAN KERJA
NAMA MAHASISWA : ……………………… DISETUJUI OLEH : ………..
NIM : ………………………
ACARA : MENYUSUN RANSUM TGL :…………
1. Bahan makanan ternak yang hendak digunakan untuk menyusun ransum dan komposisinya
adalah sebagai berikut :
NO Nama Bahan Kandungan (%)
Harga per kg PK EM* L SK Ca P
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
*Kkal/kg
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 5
2. Jenis ransum yang akan dibuat : ……………………………………….. (Petunjuk asisten)
dengan kriteria sebagai berikut :
Protein : ………… %
Energi metabolis : …………kkal/kg
Lemak tidak kurang dari : ………… %
Serat kasar tidak lebih : ………….%
Ca : ………….%
P : ………….%
3. Trial terhadap proporsi bahan yang digunakan.
No. Nama bahan makanan Proporsi dalam ransum
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 6
4. Contoh perhitungan :
Nama bahan makanan ternak :
Proporsi : ………………………
Protein : ………………………
Energy metabolis : ………………………
Lemak : ………………………
Serat kasar : ………………………
Ca : ………………………
P : ………………………
Harga : ………………………
5. Tabulasi hasil perhitungan.
NO Nama Bahan Kandungan (%)
Harga PK EM* L SK Ca P
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
*Kkal/kg
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 7
6. Jadi formula ransum yang diperoleh :
No. Nama bahan makanan Proporsi dalam ransum
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 8
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN :
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 9
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 10
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 11
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 12
LAMPIRAN :
Berikut adalah kriteria ransum (3 untuk ayam petelur, 2 untuk ayam pedaging dan 2
untuk babi), asisten memilih untuk praktikan 1 jenis ransum, tetapi karena angkanya (misal
protein dalam kisaran) maka asisten yang menentukan :
I. Ransum Puyuh Petelur (Laying) berdasarkan SNI 01-3907-2006, dengan kriteria :
Protein 17,0%
Energi Metabolis 2700,0 Kkal/kg
Lemak kasar maks 7%
Serat kasar maks 7%
Ca 2.5 - 3,5%
P 0,6 – 1,0%
II. Ransum Itik Petelur (Grower) berdasarkan SNI 01-3909-2006, dengan kriteria:
Protein 14,0%
Energi Metabolis 2600,0 Kkal/kg
Lemak maks 7%
Serat kasar maks 8%
Ca 0,9 – 1,20%
P 0,6 – 1,0%
III. Ransum Itik Petelur (Laying) berdasarkan SNI 01-3910-2006, dengan kriteria:
Protein 15,0%
Energi Metabolis 2650,0 Kkal/kg
Lemak kasar maks 7%
Serat kasar maks 8%
Ca 3,0 – 4,0%
P 0,6 – 1,0%
IV. Ransum Ayam Pedaging (Starter) berdasarkan SNI 01-3930-2006, dengan kriteria :
Protein 19,0%
Energi Metabolis 2900,0 Kkal/kg
Lemak kasar maks 7,4%
Serat kasar maks 6,0%
Ca 0,9 – 1,20%
P 0,60 – 1,00%
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 13
V. Ransum Ayam Pedaging (Finisher) berdasarkan SNI 01-3931-2006, dengan kriteria :
Protein 18,0%
Energi Metabolis 2900,0 Kkal/kg
Lemak kasar maks 8,0%
Serat kasar maks 6,0%
Ca 0,9 – 1,2%
P 0,6 – 1,0%
VI. Ransum Ayam Ras Petelur (Starter) berdasarkan SNI 01-3927-2006, dengan kriteria :
Protein 18,0%
Energi Metabolis 2700,0 Kkal/kg
Lemak kasar maks 7,0%
Serat kasar maks 6.5,0%
Ca 0,9 – 1,2%
P 0,6 – 1,0%
VII. Ransum Ayam Ras Petelur (Laying) berdasarkan SNI 01-3930-2006, dengan kriteria
Protein 17,0%
Energi Metabolis 2650,0 Kkal/kg
Lemak kasar min 3,0%
Serat kasar maks 10,0%
Ca 2,9 – 4,25%
P min 0,45%
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 14
EVALUASI BIOLOGIS RANSUM
PENDAHULUAN
Menyusun ransum ternak bukanlah hal yang teramat sulit untuk dikerjakan, asalkan
tersedia tabel-tabel komposisi dari setiap bahan makanan yang digunakan baik yang
didapatkan dari sumber kepustakaan luar negeri seperti McDonald (1988), Scott (1982), NRC
(1984), ARC (1975) atau table yang merupakan hasil analisis di dalam negeri seperti Lubis
(1963) dan Hartadi (1984) maupun menganalisis bahan makanan sendiri, memiliki table
kebutuhan zat makanan bagi ternak yang juga banyka didapatkan, serta memiliki pengalaman
atau kemauan untuk mempelajarinya.
Dari ransum yang telah berhasil dibuat (misalnya ransum untuk ayam pedaging
finisher) dengan metode Trial and Error, jika hal itu dilakukan oleh banyak mahasiswa maka
akan didapatkan formula sebanyak mahasiswa yang menyusun ransum tersebut. Oleh karena
itu, apabila ransum yang memiliki formula yang berbeda tersebut diberikan pada ternak
tentunya akan mendapatkan respon biologis yang berbeda pula. Dengan lain perkataan,
respon biologis dipengaruhi oleh ransum yang digunakan yang dapat diamati dari
pertumbuhan ternak tersebut.
Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kecepatan pertumbuhan dari
ternak adalah melalui pertambahan bobot badan, pada ayam biasanya dinyatakan sebagai
pertambahan bobot per minggu. Namun demikian, pertumbuhan saja tidak cukup karena itu
sebaiknya harus dilakukan perhitungan terhadap efisiensi ransum adalah jumlah bobot badan
yang dapat dihasilkan dari satu kilogram ransum, dinyatakan dalam persen. Sedangkan untuk
mengetahui nilai ekonomis ransum tersebut dapat digunakan parameter “Income Over Feed
Cost”, yaitu besarnya pendapatan yang didapatkan jika hasil penjualan ternak telah dikurangi
dengan biaya yang dikeluarkan untuk ransum.
TUJUAN
Agar mahasiswa mengetahui cara melakukan evaluasi biologis terhadap penggunaan
ransum yang berbeda.
PRINSIP
Melakukan evaluasi terhadap penggunaan ransum yang bebeda untuk mengetahui
respon biologisnya, dalam hal ini pertambahan bobot badannya.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 15
ALAT-ALAT
1. Kandang battery
2. Tempat pakan
3. Tempat minum
4. Timbangan
BAHAN-BAHAN
1. Ransum
2. Obat-obatan dan vaksin
3. Ayam Pedaging
CARA KERJA
1. Persiapkan kandang yang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum yang
telah dicuci bersih dan disanitasi.
2. Timbang setiap ekor ayam yang akan digunakan.
3. Tempatkan ayam sedemikian rupa sesuai dengan perlakuan yang diberikan.
4. Pakan dan air minum diberikan secara ad libitum.
5. Timbanglah konsumsi pakan dan bobot badannya setiap minggu.
6. Hitunglah pertumbuhan, efisiensi ransum dan income over feed cost.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 16
LEMBARAN KERJA
NAMA MAHASISWA : ……………………… DISETUJUI OLEH : ………..
NIM : ………………………
ACARA : EVALUASI BIOLOGIS RANSUM TGL : …………
1. Praktikum ini dilaksanakan di ……………………………… mulai tanggal
………………………s/d ………………………….
2. Ayam pedaging yang digunakan strain …………....................... umur……..minggu
(………hari).
3. Ransum yang digunakan adalah sebagai berikut:
No. Nama bahan Proporsi bahan dalam ransum (%)
P 0 P 1 P II P III
1.
2.
4. Kandungan zat makanan berdasarkan perhitungan.
No Kandungan Nutrisi P 0 P I P II P III
1. Protein
2. Energy Metabolis
3. Lemak kasar
4. Serat kasar
5. Ca
6. P
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 17
Perhitungan :
Diketahui :
No Bahan pakan
Kandungan Nutrisi (%)
Protein EM LK SK Ca P
Perhitungan sesuai dengan proporsi penggunaan bahan pakan dalam perlakuan :
P 0 =
P I =
P II =
P III =
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 18
5. Data hasil pengamatan selama praktikum
P U BB (gram) minggu ke:
PBB (gram)
minggu ke:
KP (gram)
Minggu ke :
EP (%)
Minggu ke : FCR
Awal I II I II I II I II I II
P 0
1
2
3
4
5
6
7
P I
1
2
3
4
5
6
7
P II
1
2
3
4
5
6
7
P
III
1
2
3
4
5
6
7
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 19
Keterangan :
EP = (PBB/KP) x 100%
FCR = KP / PBB
Perhitungan :
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 20
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 21
6. Ringkasan hasil pengamatan.
No Variabel Perlakuan (rata-rata)
I II III IV
1 PBB (gr/ekor/hari)
2 KP (gr/ekor/hari)
3 EP (PBB/KP,%)
4 FCR
Perhitungan :
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 22
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 23
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 24
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 25
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 26
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 27
PENENTUAN KADAR ENERGI METABOLIS UNTUK UNGGAS
PENDAHULUAN
Bahan organik dibutuhkan oleh hewan selain sebagai bahan pembangun jaringan
tubuh dan sintesa hasil produksi seperti susu dan telur juga dibutuhkan sebagai sumber energi
gerak bagi hewan.
Pembagian energi bahan makanan pada hewan dapat digambarkan seperi terlihat pada
gambar 1.
Gross energy
Faecal Energy Digestible energy
Urine energy Methane Energy Metabolizable energy
Heat increment Net energy
Maintenance Production
Total heat production
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 28
Gambar 1. Skema pembagian energi bahan makanan (McDonald et al., 1988)
Unggas cenderung mengatur konsumsi kebutuhan makanan sesuai dengan kebutuhan
energi. Dengan demikian kemampuan bahan makanan untuk menyediakan energi bagi hewan
merupakan hal yang penting sebagai salah satu penentu nilai nutrisi bahan makanan tersebut.
Petunjuk praktikum ini bertujuan untuk mengutarakan beberapa metode penentuan
kandungan energi metabolis bahan makanan bagi ternak unggas.
ENERGI METABOLIS
Sebeleum mengulas satu per satu mengenai metoda penentuan kandungan energi
metabolis, terlebih dahulu ingin dijelaskan akan pengertian akan energi metabolis. Yang
dimaksud dengan energi metabolis dalam tulisan ini ialah energi yang dapat dicerna
(digestible energy) dikurangi dengan energi yang hilang lewat air kencing (urine) dan gas.
Mengingat bahwa pada unggas, urine dan faeces sukar dipisahkan, maka jelaslah mengapa
untuk unggas digunakan energi metabolis dan bukan energi dapat dicerna.
Sampai saat ini energi metabolis bagi unggas masih menggunakan nilai apparent
metabolizable energi (AME) (ARC 1975; AEC 1978; NRC 1984).
Sejak dicetuskannya nilai True Metabolizable Energy (TME) untuk unggas (Sibbald,
1976) pada pertengahan dekade tujuh puluhan, sampai saat ini pertikaian ilmiah mengenai
ketepatan penggunaan kedua bentuk nilai energi metabolis tersebut masih terus berlangsung.
AME adalah energi metabolis yang didapat dengan mengurangi gross energi bahan makanan
dengan energi yang terdapat dalam faeces (untuk selanjutnya akan disebut dengan excreta)
jika bahan makanan tersebut diberikan pada unggas. Sedangkan TME adalah gross energi
bahan makanan dikurangi dengan energi yang terdapat dalam excreta, setelah yang terakhir
ini dikurangi dengan energi endogen yang hilang (EEL).
Adapun metoda penentuan kandungan energi metabolis bahan makanan sampai saat ini
dikenal ada 3 macam, yaitu :
1. Metoda conventional (total collection)
2. Metoda cepat (Rapid method)
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 29
3. Dual semi quick (DSQ)
1. METODE KONVENTIONAL
Penentuan energi metabolis pada dasarnya adalah mengukur jumlah energi yang
masuk dan yang dibuang lewat excreta.
1.1 Hewan
Pada metoda konventional ini digunakan ayam berumur 7 sampai 21 hari. Dapat
digunakan ayam-ayam cross-breed atau ayam pedaging.
1.2 Alat dan Bahan
Sangkar yang digunakan adalah sangkar battery berukuran panjang 24 cm, lebar 24
cm, dan tinggi 27 cm, terbuat dari bahan kawat. Dibawah tiap battery ditempatkan nampan
(tray) yang terbuat dari seng yang dengan mudah dapat dilepas. Tiap battery dilengkapi
dengan sebuah tempat makan yang mudah dilepas untuk penimbangan dan dirancang
sedemikian rupa untuk mengurangi tertumpahnya makanan sekecil mungkin. Tempat minum
disediakan secara kelompok dan ditempatkan secara kelompok dan ditempatkan ditengah
diantara deretan dua battery.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 30
Gambar 2. Kandang battery untuk penentuan energi metabolis secara conventional.
Bentuk kandang battery dan contoh penyusunannya dapat dilihat pada gambar 2. Untuk lebih
jelasnya, pada gambar 3. ditunjukkan secara lebih terinci gambar dari sebuah sangkar battery.
a
b
c
d e
Keterangan :
a. Battery individual ukuran 24 x 24 x 27 cm yang dapat dilepas dari rak-nya.
b. Tempat makan yang dapat dengan mudah dilepas.
c. Nampan (Tray) yang dapat dengan mudah dilepas untuk menampung excreta.
d. Tempat minum kelompok.
e. Rak tempat battery.
Untuk menampung excreta digunakan plastik lembaran dan faeces container yang
terbuat dari aluminium foil. Sedang untuk menampung makanan yang kemungkinan tercecer
dinampan penampung, dapat digunakan botol plastik.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 31
Ransum basal dapat disusun dari bahan makanan sumber energi seperti jagung atau
sorghum, dan bahan makanan sumber protein seperti tepung ikan (fish meal) atau tepung
daging (meat meal) ditambah dengan campuran vitamin dan mineral.
Contoh ransum basal dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Susunan ransum basal (g/kg)
Bahan Jumlah
Sorghum 800,0
Tepung daging tulang 200,0
Premix 2,0
-. Bahan makanan yang akan dianalisa kandungan energy metabolisnya.
-. Oven, timbangan dan bomb calorimeter.
1.3 Prosedur
Sangkar battery diletakkan dalam kandang yang suhunya diatur sesuai dengan
kebutuhan ayam dan diberi penerangan siang malam selama penelitian berlangsung.
Digunakan dua atau tiga ekor ayam per group dan diulang tiga kali atau lebih.
Ayam diberi makan selama empat hari (periode pengumpulan) yang didahului dengan
pemberian makanan pendahuluan (periode adaptasi) selama tiga hari. Selama periode
adaptasi, jumlah makanan yang diberikan tidak perlu ditimbang. Pada periode pengumpulan
(4 hari) konsumsi makanan dicatat dan semua excreta yang dikeluarkan dikumpulkan dan
ditimbang. Excreta dikeringkan dalam oven kemudian dibiarkan beradaptasi dengan udara
sekeliling. Untuk selanjutnya digiling untuk analisa gross energi.
Bahan makanan yang akan dianalisa kandungan energi metabolisnya dicampur
dengan ransum basal dengan perbandingan 50 : 50. Assay dilakukan baik terhadap ransum
basal maupun terhadap campuran antara ransum basal dengan bahan makanan yang akan
ditest (ransum test).
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 32
Energi metabolis dapat dihitung sebagai berikut :
ME = ( A x B) – (C x D) x 100 ( 1 )
A DM
Dimana:
A = jumlah makanan yang dikonsumsi
B = gross energi makanan
C = Jumlah excreta
D = gross energi excreta
DM = bahan kering (dry matter)
ME = energi metabolis pada DM basis
Jika bahan makanan yang ditest energi metabolisnya dicampur dengan ransum basal,
maka dibutuhkan data tentang :
Kandungan ME ransum basal ( DM basis )
DM ransum basal
DM bahan makanan yang ditest
Perbandingan campuran antara ransum basal dan bahan makanan yang ditest.
Adapun rumus perhitungannya menjadi sebagai berikut:
ME = A – B ( 2 )
C
Dimana :
ME = energi metabolis bahan makanan (BM) yang ditest, pada DM basis
A = ( DM BM x % campuran) + ( DM basal x % campuran ) dikalikan
ME ransum test pada DM basis
B = DM ransum basal x % campuran x ME ransum basal pada DM basis
C = DM BM x % campuran
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 33
`Contoh perhitungan
Suatu bahan makanan ternak (jagung) akan dianalisa kandungan energi metabolisnya
untuk ayam dengna menggunakan metoda konventional. Ransum basal terdiri dari 800g/kg
sorghum, 200g/kg meat and bone meal, ditambah dengan campuran vitamin mineral
(premix). Jagung yang akan ditest dicampur dengan ransum basal dengan perbandingan 60 :
40 (ransum test). Dari penelitian ini diperoleh data sebagai berikut :
DM jagung = 91 %
Feed intake ransum test = 430 g
DM ransum test = 92 %
Gross energi ransum test = 3,9500 kkal/g
Jumlah excreta ransum test = 100 g
DM excreta = 100%
Gross energi excreta = 3,7500 kkal/g
DM ransum basal = 92,5%
Feed intake ransum basal = 514 g
Gross energi ransum basal = 3,8800 kkal/g
Jumlah excreta = 110 g
DM excreta = 100%
Gross energi excreta = 3,4100 kkal/g
PERHITUNGAN
Dengan menggunakan rumus ( 1 ) maka ME ransum test pada DM basis :
= ( 430 x 3,9500 ) – ( 100 x 3,7500 ) x 100
430 92
= 3,3455 kkal/g
ME ransum basal pada DM basis:
= ( 514 x 3,8800 ) – ( 110 x 3,4100 ) x 100
514 92,5
= 3,4056 kkal/g
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 34
Dengan menggunakan rumus ( 2 ) maka ME jagung dapat dihitumg sebagai berikut :
ME = { ( 91 x 60 ) + ( 92,5 x 40 ) x 3,3455 } – { ( 92,5 x 40 x 3,4056)}
( 91 x 60 )
= 3,2689 kkal/g pada DM basis, atau :
= 3,2689 x 91
100
= 2,9747 kkal/g pada kering udara (as fed)
2. RAPID METHOD ( METODE CEPAT )
Mengingat bahwa penentuan kandungan energi metabolis dengan menggunakan
metoda conventional tidak saja memerlukan waktu cukup lama, melainkan juga
menghabiskan makanan cukup banyak, maka pada pertengahan dekade tujuh puluhan muncul
dua cara penentuan kandungan energi metabolis bahan makanan. Yang pertama adalah
penentuan true metabolizable energy (TME) yang dicetuskan oleh Sibbald (1976) dan yang
kedua ialah Apparent Metabolizable Energy (AME) yang dicetuskan oleh Farrell (1978).
Penentuan kandungan energi dengan menggunakan kedua metoda ini tidak memerlukan
banyak waktu dan makanan. Pada kedua metoda ini digunakan ayam jantan dewasa yang
sudah dilatih untuk tujuan ini.
2.1. Metode cepat untuk penentuan AME (Farrell, 1978)
2.1.1. Melatih ayam
Metode ini tergantung pada latihan ayam jantan dewasa (jago) secara individual
dalam suatu sangkar yang sesuai untuk penentuan energy metabolis, yaitu dengan ukuran
lebar 35 cm, panjang 45 cm dan tinggi 50 cm dan dilengkapi dengan tempat minum dan
tempat makan yang dirancang sedemikian untuk mengurangi tumpahnya makanan sekecil
mungkin, untuk dapat menghabiskan makanan dalam waktu satu jam.
Dapat digunakan pejantan ayam petelur dengan berat badan 2-2,5 kg. dalam latihan,
ayam-ayam yang tidak dapat menghabiskan makanan dalam waktu satu jam dan ayam-ayam
yang terlihat mempunyai tabiat tidak baik, dikeluarkan dari latihan dan tidak dapat digunakan
untuk penelitian.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 35
2.1.2. Prosedur
Selama tidak digunakan untuk penelitian ayam diberi makanan standard dalam bentuk
pellet yang terdiri dari sorghum (99%), tepung tulang (1%) dan campuran vitamin mineral.
Biji-bijian yang lain dapat juga digunakan seperti jagung, beras gandum dan sebagainya.
Yang penting ransum harus sederhana dan rendah kandungan serat kasarnya, sehingga
mempunyai kecepatan melewati saluran pencernaan (rate of passage) dengan waktu
pengosongan (clearance time) kira-kira 24 jam. Jumlah pemberian makan kurang lebih 120
kg.
Jika akan digunakan untuk penelitian ayam dipuasakan selama 32 jam. Nampan (tray)
penampung excreta dilapisi dengan selembar plastik yang telah diketahui beratnya. Nampan
agak sedikit ditarik keluar selama pemberian makan berlangsung, untuk menampung
makanan yang kemungkinan tercecer. Makanan diberikan dalam bentuk pellet (dipellet
dengan proses dingin) dalam jumlah tertentu (85-100 g). setelah satu jam, tempat makanan
diambil. Makanan yang tercecer dikembalikan kedalam tempat makan dan ditimbang,
sehingga jumlah makanan yang dikonsumsi dapat dihitung.
Nampan didorong kedalam sehingga semua excreta dapat ditampung. Pengumpulan
excreta berlangsung selama 42 jam. Bulu-bulu dan sisik-sisik yang masuk dalam nampan
dibuang. Jika ada ayam yang muntah (regurgitasi), maka ini tidak dipakai dalam penelitian
(ditolak). Setelah 42 jam, plastik penampung beserta excreta dikeringkan dalam oven pada
suhu 70° C selama 24 jam. Jika kotoran terlalu basah, maka plastic beserta nampannya dapat
langsung dimasukkan dalam oven dan mungkin memerlukan waktu lebih lama, kira-kira 48
jam.
Ayam dapat langsung digunakan untuk penelitian berikutnya, atau jika tidak, diberi
makana standard seperti biasa.
Excreta yang telah kering diambil bersama plastiknya, dibiarkan dalam udara terbuka
selama 3 jam, kemudian excreta digiling untuk analisa kandungan gross energi. Analisa gross
energy, baik terhadap makanan maupun excreta, dilakukan secara duplo (diulang dua kali)
dan hasilnya boleh berbeda tidak lebih dari 3%.
Seperti halnya pada metode conventional, pada metode ini juga diperlukan data
tentang kandungan DM bahan makanan yang ditest. Adapun cara perhitungan ME, sama
dengan perhitungan ME pada metode conventional.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 36
2.2. Metode cepat untuk penentuan TME (Sibbald, 1976).
Tidak seperti pada kedua metode yang terdahulu, pada metode ini kandungan energy
dinyatakan dalam bentuk TME dimana kandungan energy endogen yang hilang (EEL)
diperhitungkan.
2.2.1. Materi
Pada metode ini digunakan pejantan ayam petelur. Seperti halnya pada penentuan
AME dengan metode cepat, pada metode ini ayam dikandangkan dalam sangkar individual
dalam kandang tanpa jendela (windowless system). Suhu ruangan dijaga pada 25°C dan
penerangan berlangsung selama 12 jam. Untuk daerah tropis, seperti Indonesia, dimana tidak
ada hari panjang (long day length) atau hari pendek (short day length), cukup digunakan
penerangan alami. Jadi tidak perlu penambahan penerangan pada malam hari. Setiap sangkar
dilengkapi dengan tempat makan dan tempat minum.
Menjelang digunakan untuk assay, ayam dipuasakan selama 21 jam untuk
mengosongkan saluran pencernaan.
2.2.2. Prosedur
Pada setiap dimulainya assay, ayam ditimbang satu persatu. Selanjutnya diberi makan
(ransum test) secara paksa (force feeding) dengan menggunakan pipa gelas berdiameter
dalam 5,5 mm. Makanan langsung ditempatkan dalam tembolok (crop) melalui oesophagus.
Makanan diberikan dalam bentuk pellet dengan diameter 4,67 mm, yang dibuat dengan cara
proses dingin. Setelah pemberian makan, ayam dikembalikan dalam sangkar. Diatas nampan
penampung excreta diletakkan swlwmbar plastik yang telah diketahui beratnya. Tepat 24 jam
setelah pemberian makan, ayam ditimbang kembali, exkreta dikumpulkan dan dikeringkan
dengan cara kering beku. Exkreta kemudian dibiarkan dalam udara terbuka, untuk
selanjutnya digiling.
Makanan yang ditest dan excreta dianalisa kandungan gross energinya dengan
menggunakan bomb calorimeter.
Disamping itu juga dibuat control untuk mengukur energy endogen yang hilang
(EEL), yaitu dengan cara seperti tersebut diatas tetapi ayam tidak diberi makan.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 37
2.2.3. Cara perhitungan
Berdasarkan hipotesa bahwa untuk bahan makanan tertentu ada hubungan linier
antara jumlah makanan yang dikonsumsi dengan energy yang dikeluarkan lewat excreta,
maka jika hipotesa ini benar jumlah makanan yang diberikan pada waktu melakukan
penelitian kandungan energy tidaklah menjadi masalah. Dengan demikian jika prosedur assay
ini akan digunakan secara berkala, maka dugaan linearitas antara feed intake dan energy yang
dikeluarkan melalui excreta adalah sangat penting.
Sibbald (1976) dalam percobaannya dengan menggunakan ayam jantan dengan berat
badan rata-rata 2,42 ± 0,04 kg mendapatkan energy endogen yang hilang (EEL) pada ayam
yang dipuasakan adalah sebesar 9,84 ± 0,28 kcal per ekor per 24 jam.
Dari percobaan tersebut didapatkan persamaan regresi antara energy yang dibuang
lewat excreta (Ye) dengan feed intake (X) dari beberapa bahan makanan sebagaimana
tercantum pada tabel 2.
Adapun rumus perhitungan ME atau TME adalah sebagai berikut:
ME (kkal/g) = (GEf x X) – Ye
X
TME (kkal/g) = (GEf x X ) – (Ye – 9,84)
X
Dimana :
GEf = gross energy makanan
X = jumlah makanan yang dikonsumsi
Ye = gross energy excreta
9,84 = energy endogen yang hilang jika ayam tidak diberi makan.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 38
Table 2. Regresi antara energy yang hilang lewat excreta (Ye) dengan feed intake (X)
(Sibbald, 1976)*
Jenis bahan Ye r df
Barley 10,03 + 0,600 X 0,852 62
Jagung 9,79 + 0,199 X 0,775 61
Tepung ikan 9,89 + 0,867 X 0,945 54
Padi 9,81 + 0,685 X 0,930 57
Bungkil kedelai 9,93 + 1,290 X 0,958 56
Gandum 9,72 + 0,646 X 0,938 59
R = koefisien relasi * partial data
3. DUAL SEMI QUICK (DSQ) (du preez,1981)
Meskipun kedua metode cepat tersebut diatas mempunyai beberapa keuntungan,
antara lain hanya memerlukan waktu ynag singkat untuk menganalisa kandungan ME suatu
bahan makanan, du preez melihat bahwa ada kelemahan, teruatama pada metode sibbald.
Pemberian makanan yang ahanya berjumlah 30 gr diikuti dengan waktu pengumpulan excreta
selama 48 jam tanpa pemberian makanan berarti ayam berada tidak saja dalam keseimbangan
energy yang negative, melainkan juga ada kemungkinan ayam berada pada status
keseimbangan nitrogen yang negative pula. Dengan metode dual semi quick yang dicetuskan
oleh du preez ini, diharapkan kelemahan – kelemahan tersebut dapat diatasi.
3.1. Materi
Dalam metode ini digunakan auam jantan dewasa yang dilengkapi dengan kantong
plastic penampung excreta yang dipasang pada semacam pipa plastic yang ditempel
sekeliling cloaca dengan cara dijahit.
Bahan makanan yang akan dianalisa kandungan ME-nya dicampur dengan ransum
basal dengan perbandingan 29,7 : 70,3.
3.2. Prosedur
Ayam dikandangkan dalam sangkar battery secara individual dan diberi makan
makanan yang ditest secara adlibitum selama 2 hari. Pol akonsumsi makan diamati dan ayam
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 39
– ayam yang mempunyai konsumsi makan paling banyak diberi makan sebanyak 40 atau 70
% dari kebutuhan ad libitummua.
Pemberian makan empat hari pertama merupakan periode adaptasi, sedangkan selama
3 hari berikutnya merupakan periode pengamatan excreta yang dikleuarkan ditampung.
Meskipun penampungan excreta secara kwallitatif sebenarnya cukup praktis san
representative, dalam metode ini juga ditambahkan indicator warna dalam makanan yang
ditest, untuk menyakinkan jumlah makanan yang dikonsumsi.
Tempat makanan yang dirancang secara khusus (de haart, 1977) digunakan pada
metode ini , untuk mengurangi tumpahnya makanan sesekali mungkin.
Untuk menampung excreta, seperti telah disebut dimuka, digunakan kantong plastic
(Hayes and Austic, 1992) yang dipasang pada semacam pipa plastic yang ditempel sekeliling
cloaca dengan dijahit. Dengan cara ini tidak saja semua exctreta dapat ditampung tanpa ada
yang tercecer , tetapi juga excreta tidak tercampur dengan bulu – bulu dan sisik – sisik ynag
tanggal.
Sampelexcreta yang dikumpulkan selama 24 jam pada hari kedua dari periode
pengamatan digunakan untuk analisa gross energy. Sampel dikeringkan secara beku dan
ditimbang.
Dalam metode ini hubungan linier antara jumlah makanan yang dikonsumsi dan
jumlah excreta yang dikeluarkan juga dianalisa.
3.3. Cara Perhitungan
Analisa gross energy dilakaukan baik terhadap makanan yang ditest maupun terhadap
excreta. Untuk perhitungan MEN, kandungan nitrogen bahan makanan yang ditest dan excreta
dianalisa dengan cara kyeldhal.
ME per gr diet = GE per gr diet – (BM x R)
Dimana :
ME = energy metabolis
GE = gross energy
BM = gross energy per g excreta
R = ratio indicator warna pada makanan ; pada excreta
MEN dihitung dengan cara mengurangi ME dengan NB x 34,4 KJ/g. Dimana NB adalah
nitrogen balance yang dihitung sebagai berikut :
NB = NM – NE X 100%
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 40
NM
Dimana : NM = jumlah makanan ; NE = jumlah N dalam excreta
PEMBAHASAN
Perdebatan mengenai kebaikan akan metode cepat unutk penentuan kandungan
energy metabolis bagi unggas, sampai saat ini masih terus berlangsung. Banyak kritik
dilontarkan terutama tehadap metode Sibbaid untuk penentuan TME (Farrel 1981, 1987,
1987 ; Sibbald 1982 - 1985). Sebagian kritik berdasarkan pada kandungan energy endogen
yang hilang (ELL) yang diukur dari ayam yang dipuasakan (du Preeez et al, 1981 ; Farrell
1981).
Tidak perlu disangsikan lagi bahwa nitrogen metabolism pada yam yang diberi makan
secara penuh akan berbeda dengan ayam yang dipuasakan. Yang pada akhirnya juga akan
berpengaruh pada metabolism energy.
Ayam jantan dewasa jika diberi makan seara jinventional akan berbeda atau dekat
dengan keseimbangan nitrogen yang seimbang (N-equillibrium). Sedangkan ayam yang
dipuasakan tidak dapat disangkal lagi tentu akan berada pada keseimbangan nitrogen yang
negative. Ini berarti akan berpengaruh secara nyata pada perhitungan TMEN, tetapi tidak
begitu nyata pada perhitungan AMEN.
Hartel (1986) berkesimpulan bahwa AME dan TME pada ayam yang diberi makan
secara continue akan sama.
Sibbal (1977) dalam penelitihnannya dengan menggunakan ayam broiler,
berkesimpulan bahwa AME dan TME pada ayam yang diberi makan secara continue akan
sama.
Jika pada akhirnya terbukti bahwa nilai TME lebih tepat digunakan dalam menyusun
ransum unggas, maka akan ada pekerjaan besar untuk menentukan kembali nilai kandungan
energy metabolis bahan – bahan makanan.
Perdebatan tidak saja terjadi antar metode, tetapi juga terjadi dalam masing – masing
metode itu sendiri. Pada metode conventional misalnya, penggunaan ayam yang lebih banyak
tiap group dengan jumlah ulangan yang lebih sedikit memberikan hasil yang lebih konsisten
dari pada penggunaan ayam yang lebih sedikit pada tiap group dengan jumlah ulangan yang
lebih banyak. Disamping itu terbukti bahwa perbandingan antara makanan yang idtest dengan
ransum basal berpengaruh pada nilai energy metabolism.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 41
Pada penentuan TME, Guillaume dan Summer (1970) berpendapat bahwa perbedaan
antara ME dan TME menjadi kecil dengan meningkatnya konsumsi energy oleh ayam. Dari
hal itu dapat disimpulkan bahwa yang mendapat energy kurang dari pada kebutuhan
minimalnya akan mengkatabolis energy dari jaringan tubuhnya. Berdaarkan hal ini du Preez
et al (1981) berpendapat bahwa penentuan ME dengan menggunakan ayam jantan dewasa,
minimal 75 g makanan harus diberikan untuk memenuhi kebutuhan energy minimal sebesar
1,086 KJ per hari.
Disamping itu umur ayam juga berpengaruh pada kandunagn ME. Mollah et al,
(1983) dan Johnson (1987) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ayam dewasa pada
umumnya memberikan nilai ME yang secara nyata lebih besar daripada ayam muda. Farreall
et al, (1988) menganalisa kandungan energy dari 13 jenis gandum dengan menggunakan
ayam muda dan ayam dewasa, dan melaporkan bahwa ayam dewasa memberikan nilai MEN
13,92 MJ/Kg, sedangkan ayam nuda hanya 13.35 MJ/Kg (P<0,05). Hal yang sama dilaporkan
juga oleh Pesti et al , (1988) dengan menggunakan sample feather meal.
Farrell et al, (1988) menganalisa kandungan ME bahan makanan dengan
menggunakan 4 macam metoda yang berbeda yaitu: metoda konvensional, DSQ, metoda
Sibbald dan metoda Farrell. Lima ekor ayam, sebagai ulangan, diberi makan salah satu dari
ransum dimana 0, 20, 40 atau 60% dedak padi ditambahkan pada ransum basal yang terdiri
dari 98%jagung dan 2% campuran vitamin dan mineral, dengan level pemberian 75, 35 atau
10 g per ekor. Hasilnya dapat dilihat pada table 3.
Baik metoda, jenis ransum maupun level pemberian makan memberikan hasil ME
yang berbeda sangat nyata (p<0,01). Juga ada interaksi (p<0,01) antara metoda x ransum,
metode x level pemberian makan dan antara ramsum x level pemberian makan.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 42
Tabel 3. Kandungan energy rata2 (MJ/Kg) dari suatu bahan makanan yang ditest dengan 4
macam metoda, 4 jenis ransum dan 3 level pemberian makan (Farrell et al, 1988).
Energy rata – rata
AME AMEN TME TMEN
Metode :
DSQ
11,64a*
12,16a
13,86ab
13,28a
konventional 11,37a 12,05ab 13,66a 13,21a
Sibbald 9,06b 10,48b 14,17b 13,06a
Farrel 11,49a 11,78b 15,97c 14,06b
LSD (0,05) 0,338 0,282 0,340 0,279
Ransum :
1 12,44a 13,13a 15,90a 14,88a
2 11,18b 11,89b 14,72b 13,68b
3 10,57c 11,25c 14,09c 13,04c
4 9,39a 10,20d 12,97d 12,02d
LSD (0,050 0,338 0,282 0,340 0,270
Feed intake :
75 12,24a 12,19a 15,93a 14,21a
35 11,73b 12,11a 14,05b 13,20b
10 8,71c 10,56b 13,27c 12,72c
LSD (0,050 0,267 0,223 0,268 0,220
*)Nilai dalam kolom dengan tanda yang sama tidak berbeda secara nyata.
Dari table 3. Dapat dilihat bahwa, seperti diharapkan, nilai energy akan menurun dengan
meningkatnya jumlah dedak padi yang ditambahkan.
Hasil selengkapnnya dari penelitian Farrell tersebut dapat dilihat pada table 4.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 43
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 44
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 45
Untuk AME pada umumnya tidak ada perbedaan yang nyata antara metoda
conventional, metoda DSQ dan metoda Farrell (P<0,05). Pada ransum 2-4 pada semua level
pemberian makan, metode Sibbald memberikan nilai ME yang secara nyata menurun dengan
menurunnya level pemberian makan. Hal ini hanya terjadi pada rannsum 4 denang metoda
Farrell. Pada semua metoda, nilai ME secara konsisten menurun pada level pemberian makan
10 g/hari. Dilaporkan juga bahwa variasi diantara ulangan cenderung meningkat dengan
meningkatnya penambahan dedak padi dan menurunnya level pemberian makan.
Yang menaraik dari hasil penelitian Farrell tersebut adalah, terlepas dari jenis ransum
maupun level pemberian makan, nilai AME dan AMEN yang ditest dengan menggunakan
metoda DSQ, metoda conventional, ataupun metoda Farrell adalah konsisten. Hal ini berbeda
dengan apa yang dilaporkan oleh Johnson dan McNab (1983), Sibbald (1985), dimana pada
umumnya dengan metoda Farrell mereka mendapatkan nilai ME yang lebih rendah.
Hasil lain yang menarik dari penelitian tersebut adalalh, nilai AME dan AMEN pada
level pemberian makan 75 dan 35 g/hari adalah sama. Hal ini bertentangan dengan konsep
yang diajukan oleh Guillaume dan Summer (1970) dimana pada tingkat intake 35 g/hari nilai
ME diharapkan menurun.
Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa penentuan AME dengan menggunakan
metoda conventional, DSQ dan Farrell pada umumnya memberikan hasil yang tidak berbeda
secara nyata.
Usulan untuk menggunakan nilai TME pada bidang makanan unggas saat ini masih
terlalu pagi.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 46
DAFTAR PUSTAKA
AEC (1978) Animal Feeding : Energi, Amino Acids, Vitamins, Minerals. Document no.4
aec, Commentry Franc.
ARC (1975) The Nutrient Requirement of Farm Livestock. No.1 Poultry. 2nd Ed. HMSO
London.
de Haart,N (1977) Rapport 182,77 Spelderholt Institute for Poultry Research.
du Preez,J.J., du Minnaar,A and Duckitt,J.S (1984). World Poult.Sci.J., 40:121-129
du Preez,J.J., Hayes,J.P and Duckitt,J/S (1981). S.Afr.J.Anim.Sci., 11:269-272
Farrell,D.J (1978). Brit.Poult.Sci., 19:303
Farrell,D.J (1981). World Poult.Sci.j., 37:72-82
Farrell,D.J (1982). Proc.Maryland Nutr. Conf. pp. 79-87
Farrell,D.J (1987). Proc.3rd.Conf.WPSA.Far East & S.Pacific Fdn. P14. Hamilton, New
Zealand. Feb.87
Farrell,D.J., Surisdiarto and Thomson,E (1988). Proc.Poult.Res.Fdn. D3. University of
Sydney
Guillaume,J and Summer,J.D (1970). Can.J.Anim.Sci. 50:363-369
Hartel,H (1986). Brit.Poult.Sci., 27:11-39
Haynes,J.P and Austic,R.E (1982). Poult.Sci., 61:2294
Hill,F.W and Anderson,D.L (1958). J.Nutr., 64:587-603
Johnson,G and McNab,J.M (1983). Brit.Poult.Sci., 24:349-359
McDonald,P., Edwards,R.A and Greenhalgh,J.F.D (1988). Animal nutrition. 4th.Ed. Jon
Wiley Sons.Inc. New York
NRC (1984). Nutrient Requirements of Farm Livestock. No.1. Poultry. 2nd.Ed.London
Pesti,G.M., Dale,N.M and Farrell,D.J (1988). Polut S.ci., in press.
Sibbald,I.R (1976). Poult.S.ci., 55:303
Sibbald,I.R (1977). Peedstuffs. 49:21
Sibbald,I.R (1985). World Poult.Sci.J., 41:179-187
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 47
LEMBARAN KERJA
NAMA MAHASISWA : ……………………… DISETUJUI OLEH : ………..
NIM : ……………………… TGL : …………
ACARA : PENENTUAN KANDUNGAN ENERGI METABOLIS
DENGAN MENGGUNAKAN METODE KONVENSIONAL
1. Ayam
Jenis :……………….. umur:…………….
2. Bahan makanan yang ditest : ………………..
3. Susunan ransum basal :
Bahan makanan jumlah
4. Perbandingan antara bahan makanan yang ditest dengan ransum basal : …………….. ransum
ini selanjutnya disebut dengan ransum test.
5. Kandungan bahan kering (BK) dari :
Bahan makanan = …………… %
Ransum basal = ……………%
Ransum test = ……………%
6. Data penelitian :
Variable
Ulangan
I II III IV V VI VII
P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3
Konsumsi pakan
(g)
Jumlah excreta
(g)
Energy bruto
(kkal/g)
Ransum basal
Ransum test
Energy
metabolis
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 48
PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 49
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 50
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 51
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 52
METODE UNTUK MENENTUKAN
AVAILABILITAS ASAM AMINO PADA UNGGAS
1. Pendahuluan
Pengetahuan mengenai availabilitas biologis dari asam amino dalam bahan makanan
adalah kunci yang penting dalam menyusun formula pakan untuk hewan monogastrik (misal
ayam) untuk menjamin bahwa kebutuhan akan asam amino dapat dipenuhi untuk penampilan
produksi yang optimum.
Beberapa metode penentuan nilai nutrisi dari protein dan asam amino telah banyak
dipelajari. Metode-metode tersebut dapat dikelompokkan kedalam metode in vivo dan in
vitro. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mempelajari beberapa metode penentuan
availabilitas asam amino untuk unggas.
Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan daya cerna semu (apparent digestibility)
adalah perbedaan antara jumlah asam amino yang terdapat dalam pakan yang dikonsumsi
dengan jumlah asam amino yang terdapat dalam faeces, dibagi dengan jumlah pakan yang
dikonsumsi. Sedangkan daya cerna sejati (true digestibility) adalah sama seperti daya cerna
semu, tetapi asam amino yang terdapat dalam faeces yang berasal dari tubuh (endogenous
amino acid) dperhitumgkan. Jadi jumlah asam amino yang terdapat dalam faeces dikurangi
dulu dengan jumlah asam amino endogen. Yang dimaksud dengan daya serap adalah tingkat
dimana asam amino melewati dinding usus kecil. Adapun yang dimaksud dengan availability
adalah tingkat dimana asam amino terdapat dalam bentuk yang serasi untuk pencernaan,
penyerapan dan proses metabolism.
2. Metode penentuan availabilitay asam amino
2.1. In Vivo.
2.2. 1. Growth assay (uji pertumbuhan).
Parameter global dalam percobaan ini adalah tingkat penggunaan asam amino yang
berasal dari pakan (dietary amino acid) untuk pertumbuhan. Prinsip dari percobaan uji
pertumbuhan ini adalah mengukkur kemampuan protein (yang diteliti availabilitasnya) untuk
mengganti fungsi asam amino tertentu pada pertumbuhan. Laju pertumbuhan ayam yang
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 53
diberi pakan yang kekurangan (defisien) akan asam amino yang duikur availabilitasnya
dibandingkan dengan laju pertumbuhan dari ayam yang diberi pakan dimana asam amino
yang kekurangan sudah dipenuhi dengan penambahan asam amino sintesis, dengan asumsi
bahwa availabilitas dari asam amino sintesis tersebut adalah 100%. Perhitungan availabilitas
berdasarkan hubungan antara laju pertumbuhan dengan kandungan asam amino dalam pakan
percobaan.
Metode ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain bahwa pertumbuhan itu
sendiri dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain tingkat konsumsi, kandungan protein
dalam pakan dan interaksi antar asam amino. Disamping itu kriteria yang digunakan untuk
menentukan availabilitas, apakah laju pertumbuhan, konversi pakan, kenaikan protein dalam
karkas atau jumlah nitrogen yang diretensi masih membuka peluang untuk diskusi lebih jauh.
Selanjutnya percobaan dengan menggunakan metode ini sangat mahal dan menghabiskan
waktu, karena hanya dapat diterapkan untuk menentukan satu jenis asam amino setiap
percobaan. Bahkan kadang-kadang tidak mungkin membuat suatu formula (dari bahan-bahan
makanan yang umum digunakan) yang benar-benar defisien akan asam amino yang akan
diteliti. Seringkali penggantian bahan makanan yang ditest menimbulkan penurunan
kandungan energi. Penambahan asam amino melebihi kebutuhan untuk simulasi protein yang
ditest telah dibuktikan menghasilkan depresi pertumbuhan dan pada akhirnya menghasilkan
tingkat availabilitas yang tinggi, yang kadang-kadang mencapai angka diatas 100%.
Koefisien availabilitas yang diperoleh bervariasi tergantung dari cara menentukan
availabilitas tersebut. estimasi menggunakan parameter laju pertumbuhan akan berbeda
dengan estimasi menggunakan parameter konversi pakan. Juga dibuktikan bahwa laju
pertumbuhan adalah berkorelasi lebih baik dengan konsumsi asam amino daripada
kandungan asam amino dalam pakan.
Beberapa factor lain yang mempengaruhi hasil availabilitas dengan metode uji
pertumbuhan ini adalah tempertaur llingkungan, kandungan energi dalam pakan dan interaksi
antara asam amino dengan beberapa mineral seperti natrium, kalium, chlor.
2.1.2 Kandungan asam amino bebas dalam darah.
Asam amino yang dihasilkan dari proses pencernaan akan diserap oleh dinding usus
dan dikirim ke jaringan-jaringan mealui aliran darah. Oleh karena itu jumlah asam amino
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 54
dalam darah dapat dipakai sebagai indikator availabilitasnya.namun demikian, seperti
diketahui, jumlah asam amino dalam darah tidak hanya tergantung dari jumlah asam amino
dalam makanan tetapi juga dipengaruhi status nutrisi dari hewan. Pembentukan protein
jaringan (anabolisme) akan menghasilkan pengambilan asam amino dari aliran darah,
sedangkan katabolisme protein akan meningkatkan kandungan asam amio dalam darah.
2.1.3. Daya cerna (digestibility method)
Prinsip dari metode ini adalah availabilitas dapat ditentukan dari daya cerna
(digestibility). Yang dimaksud dengan daya cerna dalam hal ini adalah perbedaan antara
jumlah asam amino yang dikonsumsi dengan jumlah asam amino yang terdapat dalam faeces.
Metode ini mempunyai beberapa kelemahan. Dua diantaranya yang menonjol ialah:
asam amino endogen (endogenous amino acid) dan mikroorganisme. Jika akan menentukan
daya cerna asam amino maka kontribusi asam amino endogen harus diperhatikan. Sumber
asam amino endogen adalah sel-sel yang telah mati dan sekresi dari saluran gastro intestinal.
Sekresi dari glandula salivaris, perut, hati, pancreas, dan mukosa sel yang berguna dalam
proses pencernaan adalah pada umumnya berupa enzyme. Enzyme ini sebenarnya adalah
berbentuk protein atau mucoprotein.
Efek mikroorganisme pada pencernaan protein. Enzyme dari mokroorganisme
mungkin akan dicerna dan diserap sehingga dapat digunakan oleh hewan. Tetapi
mikroorganisme juga mempunyai kemampuan memecah protein dan menggunakan asam
amino untuk kehidupannya. Sebagai tambahan mikroorganisme bukan saja sebagai konsumen
asam amino, tetapi mikroorganisme dapat juga bertindak sebagai produsen asam amino.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian asam amino dalam faeces adalah berasal dari
bakteri. Kontribusi asam amino oleh mikroorganisme dalam faeces kira-kira sebesar 25%.
Hal ini dapat dibuktikan dengan perbedaan nilai daya cerna asam amino yang ditentukan
dengan menganalisa faeces yang diambil dari ileum dan dari seluruh saluran pencernaan.
Pada hampir semua kasus perbedaan ini besarnya dapat mencapai 10%.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 55
2.2.In Vitro
2.2.1 Uji Kimia ( chemical assay)
Carpenter (1960) mengukur availabilitas asam amino secara kimia berdasarkan
pengukuran presentase gugus amino epsilon beas daro lysine yang dapat diikat oleh
flurodinitribenzene (FDHB). Availabilitas lysine dapat juga diukur dengan dye binding atau
dengan reaksi quanidin. Untuk availabilitas methionine dapat ditentukan dengan gas
chromatography.
2.2.2 Metode Enzimatis
Beberapa usaha telah dilakukan untuk membuat simulasi pencernaan secara in vitro.
Dengan metode ini lysine dapat diisolasi dari bahan makanan setelah dicerna dengan pronase
dan lysine – decarboxylase dan cystine digunakan pancreatin.
2.2.3 Metode Mikrobiologis
Penentuan availabilitas asam amino secara mikrobiologis adalah berdasarkan
kenyataan bahwa beberapa mikroorganosme mempunyai kemampuan proteolitik.
Mikroorganisme yang sudah biasa digunakan untuk test adalah Streptococcus zymogenes,
Tetrahymena pyriformis, streptococcus faecalis, streptococcus durens, Lactobacillus
arabinosus, dan Eschirichia coli.
3.Faktor – factor yang mempengaruhi availabilitas asa, amino dari bahan makanan.
3.1. protease in hibitor
Protease in hibitor adalah protein dalam tumbuh – tumbuhan yang mempengaruhi
kerja enzim proteolitik pada hewan. Protease inhibitor yang telah umum dikenal adalah yang
terdapat dalam biji kedelai. Protease in hibitor akan bergabung dengan enzim pencernaan,
sehingga enzim ini tidak dapat berfungsi. Dengan demikian protein makanan, protein enzim
dan protein ini hibitor akan melewati saja saluran gastrointestinal dan keluar lewat feses.
Protease in hibitor dalam biji kedelai akan mengurangi availabilitas methionine dan
cystin lebi daripada asam amino yang lain. Dengan demikian hewan yang diberi makan
kedelai yang mengandung protease in hibitor maka pancreas akan bekerja lebih berat untuk
memproduksi enzim pencernaan lebih banyak. Kita tahu bahwa enzim pencernaan itu sendiri
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 56
adalah kaya akan cystine. Dengan demikian hewan tidak saja kehilangan cystine dari protein
makanan melainkan juga kehilangan cystine dari tubuhnya lewat enzim pencernaan.
Selanjutnya methionine dari makanan akan dengan cepat diubah menjadi cystine untuk
memenuhi kebutuhan cystine untuk produksi enzim pencernaan. Dengan demikian jumlah
metionin yang dapat dipakai oleh hewan juga menjadi berkurang.
Bahan makanan lain seperti jagung, padi, gandum, dan barley juga mengadung
protease in hibitor, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga keberadaannya tidak menimbulkan
gangguan pada pencernaan.
3.2. lectin
Lectin adalah suatu glucoprotein yang mempunyai berat molekul antara 91.000 –
130.000. lectin juga biasa disebut phytohaemaglutinin dan mempunyai kemampuan untuk
menggumpalkan butir darah merah. Lectin menempel pada mukosa sel pada usus kecil dan
menyebabkan kerusakan sel. Dengan demikian kemampuan dinding usus untuk menyerap zat
makanan menjadi berkurang atau hilang sama sekali, sehingga asam amino hasil digesti
protein tidak dapat diserap. Disamping itu lecin juga menyebabkan peningkatan katabolisme
protein jaringan. Sebagai konsekuensi penggunaan seluruh asam amino akan menurun.
Lectin terdapat banyak dalam biji – biji leguminosa,tetapi dalam jumlah kecil juga
terdapat pada butir – butiran seperti padi, jagung dan sebagainya. Aktivitas lectin akan rusak
oleh pengaruh panas.
3.3. letak protein dalam biji – bijian
Availabilitas asam amino dari biji – bijian dipengaruhi oleh letak protein didalam biji
tersebut. protein dari barley dan gandum yang terletak pada endosperm lebih mudah dicerna
daripada protein yang terletak pada lapisan aleuron. Ini disebabkan karena protein dalam
lapisan aleuron terletak berdekatan dengan kulit biji dan bertaut erat pada matriks selulosa.
Oleh karena itu pada barley dan gandum lysine merupakan asam amino yang tingkat
availabilitasnya paling rendah, karena protein yang kaya akan lysine (yaitu albumin dan
globulin) pada barley dan gandum terletak pada lapisan aleuron.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 57
3.4. serat kasar
Pada penentuan nilai availabilitas asam amino, serat kasar dalam bahan makanan
ternyata mengurangi availabilitas asam amino dan mempertinggi kehilangan asam amino
endogen. Diduga serat kasar mempertinggi produksi mucus. Adapun mekanisme penurunan
availabilitas asam amino , diduga serat kasar membentuk semacam gel disekitar asam amino
atau dengan jalan menyerap enzim pencernaan.
3.5. Daya larut protein
Protein diklasifikasikan kedalam beberapa golongan antara lain berdasarkan sifat
kelarutannya. Protein yang lebih mudah larut pada umumnya lebih mudah dicerna. Fibrous
protein cenderung untuk tidak mudah larut, oleh karena itu sukar dicerna. Contoh protein
yang masuk golongan ini adalah collagen, keratin dan elastin. Sedangkan globular protein
cenderung untuk mudah larut, oleh karena itu sangat mudah dicerna. Contoh protein yang
termasuk dalam golongan ini adalah albumin, globulin, prolamin dan glutenin. Protein dalam
kedelai adalah terstruktur sehingga daya cernanya rendah. Pemanasan akan merubah struktur
protein, sehingga memperbaiki daya cerna. Protein dengan kandungan cystine dalam jumlah
tinggi dan ikatan disulfide biasanya sebagian tahan terhadap enzyme pencernaan. Zein,
protein dalam jagung, mempunyai daya cerna rendah karena daya larutnya dalam cairan perut
rendah.
3.6. Reaksi mailard
Reaksi ini terjadi bila karbohidrat yang mereduksi bergabung dengan gugus amino
bebas dari protein. Reaksi ini dipercepat dengan adanya panas. Dengan terjadinya ikatan
tersebut maka enzim pencernaan tidak dapat memecah protein. Gugus epsilon amino bebas
dari lysine adalah tempat utama dalam protein dimana karbohidrat akan bergabung selama
terjadinya reaksi. Dengan terjadinya ikatan tersebut maka daya cerna protein menjadi rendah,
karena kemampuan tripsin untuk memecah ikatan peptida terganggu. Kemampuan hewan
untuk dapat menyerap ikatan karbohidrat-asam amino dapat diserap oleh hewan tetapi asam
aminonya tidak dapat digunakan dan akan hilang lewat urine.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 58
3.7. Oksidasi Lemak
Oksidasi lemak yang terjadi dalam bahan makanan mungkin akan menghasilkan
ikatan carbonyl seperti aldehid dan keton yang dapat bereaksi dengan gugus amino bebas
seperti pada Mailard. Oksidasi lemak dan pembentukan ikatan amino-carbonyl dipercepat
dengan adanya panas. Problem utama adalah dengan lemak tidak jenuh yang mempunyai
kecenderungan untuk dapat mengadakan oksidasi sendiri (auto oksidasi) dan menghasilkan
panas. Proses oksidasi ini dapat dihambat dengan menggunakan anti oksidan.
3.8. Gugus karbonyi bebas
Gugus carbonyl bebas dari asam aspartat dan asam glutamat dalam protein mungkin
bergabung dengan gugus amino bebas dari protein yang sama atau dari protein lain. Reaksi
ini juga dipercepat dengan adanya panas dan akan menurunkan daya cerna protein seperti
halnya reaksi Millard.
Hilangnya availabilitas asam amino dari protein hewani terutama disebabkan karena
adanya interaksi antar protein. Oleh karena itu saat ini pada proses pembuatan bahan
makanan hewani (misal tepung darah) ditambahkan lemak sebagai “protecting agent” untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya interaksi antar protein.
4.Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa uji pertumbuhan (growth assay) untuk
penentuan availabilitas asam amino pada ayam merupakan satu alternatif yang terus
digalakkan. Beberapa ahli berpendapat bahwa uji pertumbuhan sebaiknya digunakan sebagai
referensi untuk membandingkan dengan uji biologis yang lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya cerna asam amino yang ditentukan dengan
metode “total collection” adalah sesuai dengan hasil dari uji pertumbuhan. Kontribusi
“urinary amino acid” pada daya cerna protein adalah kecil sekali. Dengan demikian
penggunaan ayam yang diambil colonnya untuk penentuan daya cerna kelihatannya tidak
perlu. Namun demikian untuk mendapatkan estimasi yang tepat dari asam amino endogen
yang hilang lewat urine, ransum percobaan sebaiknya disusun tanpa mengandung nitrogen.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 59
LEMBARAN KERJA
NAMA MAHASISWA : ……………………… DISETUJUI OLEH : ………..
NIM : ……………………… TGL : …………
ACARA : MENENTUKAN AVAILABILITAS ASAM AMINO
DENGAN MENGGUNAKAN METODE SLOPE-RATIO
1. Ayam.
2. Asam amino yang ditest : METHIONINE PADA KACANG HIJAU.
3. Susunan ransum basal (defisien akan methionin)
Bahan Makanan Jumlah
4. Ransum perlakuan yaitu satu kelompok ransum yang terdiri dari 5 macam ransum
yang mengandung methionine yang berbeda yang diperoleh dengan cara menambah
methionine sintetis pada ransum basal dalam jumlah yang berbeda dan satu kelompok
ransum (II) terdiri dari 5 macam ransum yang mengandung methionine yang sama
dengan kelompok ransum I yang diperoleh dengan cara menambahkan kacang hijau
pada ransum basal dalam jumlah yang berbeda.
No. Keterangan Kelompok I Kelompok II
Methionine (%) Kacang hijau (%)
1 Basal ditambah
2 Basal ditambah
3 Basal ditambah
4 Basal ditambah
5 Basal ditambah
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 60
5. Menentukan Availabilitas Asam Amino dengan Menggunakan Metode Slope-Ratio
Jika kebutuhan metionin pada ayam pedaging finisher adalah 0,45 %. Susunlah
ransum basal yang mengandung metionin sebesar 0.40 %. Buat 2 kelompok ransum yang
pertama mengandung metionin sintetis dan yang kedua mengandung bahan Kacang Hijau
dengan presentase metionin 81 % dan 1.5 % (Masing-masing ransum dalam tiap kelompok
mengandung metionin secara berjenjang mulai dibawah kebutuhan sampai diatas kebutuhan,
yaitu 0.400 %, 0.425 %, 0,450 %, 0,475 %, dan 0,500 %). Dengan penambahan metionin
sintetis didapatkan data rata-rata konsumsi pakan ransum tes (kelompok metionin) secara
berurutan adalah 122, 124, 127, 128, dan 129 dengan penambahan rata-rata bobot badan
secara berurutan adalah 98, 99, 102, 105, dan 106. Sedangkan kelompok kacang kedelai
secara berurutan rata-rata konsumsi pakan adalah 116, 117, 118, 119, dan 120 dengan rata-
rata pertambahan bobot badan 98, 99, 101, 102 dan 104. Hitunglah availabilitas metionin
dalam kacang hijau!
RUMUS REGRESI LINEAR SEDERHANA
Y = a + bx
a = Y – Xb
b =
Rumus :
TB =
TA =
Table t
Df 5% 1% df 5% 1%
1 12,706 53,657 6 2,447 3,707
2 4,303 9,925 7 2,365 3,499
3 3,182 5,841 8 2,306 3,355
4 2,776 1,604 9 2,262 3,250
5 2,571 4,032 10 2,223 3,169
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 61
PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 62
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 63
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 64
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 65
MENENTUKAN NILAI KECERNAAN PAKAN
PADA TERNAK KELINCI
PENDAHULUAN
Pakan merupakan faktor yang sangat menentukan produksi ternak menjadi optimal,
sehingga pakan yang diberikan harus memiliki kualitas yang baik. Kualitas pakan dapat
dilihat dari kandungan zat makanan yang ada pada pakan dan jumlah pemberian pada ternak
yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Kualitas pakan tidak hanya ditentukan oleh kandungan
zat makanan yang ada pada pakan melainkan juga tingkat kecernaan pakan dalam saluran
pencernaan.
Kecernaan atau daya cerna pakan adalah kemampuan pakan untuk dicerna di dalam
saluran pencernaan. Semakin besar nilai kecernaan pakan dalam saluran pencernaan maka
kualitas pakan tersebut semakin baik, karena dengan tingkat kecernaan pakan yang besar
maka kemampuan nilai guna zat makanan semakin besar yang mengakibatkan produksi
menjadi optimal. Kecernaan pakan sebaiknya di lakukan oleh setiap peternak untuk
mengetahui seberapa besar kualitas pakan yang diberikan pada ternak. Melihat pentingnya
pakan yang benar-benar berkualitas agar produksi menjadi optimal sehingga perlu dilakukan
perhitungan kecernaan pakan yang digunakan.
Kelinci merupakan hewan herbivora non ruminansia pemakan tumbuh-tumbuhan,
sistem pencernaanya unik karena hanya mempunyai satu lambung/perut (monogastric). Pada
proses pencernaanya kelinci memfermentasi bahan makanan (selain serat) pada sekum dan
mengeluarkannya pada anus berupa butiran-butiran menyerupai kotoran tapi berwarna pekat
dan lembek, butiran ini disebut cecotropes. Kelinci seringkali terlihat memakan cecotropes
itu langsung dari anusnya, dan proses ini disebut copraphagy atau cecotrophy. Karena
keunikanya tersebut maka pemberian pakan pada kelinci tidak boleh sembarangan, harus
diperhatikan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi proses pencernaanya. Aspek-aspek yang
perlu diperhatikan salah satunya adalah kualitas pakan. Salah satu penentu kualitas pakan
adalah tingkat kecernaan pakan kelinci. Dalam pratikum ini mahasiswa diharapkan dapat
menghitung tingkat kecernaan pakan yang diberikan pada ternak kelinci.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 66
Menentukan tingkat kecernaan pakan yang pertama harus dilakukan koleksi pakan dan
koleksi ekskreta. Pakan awal dan ekskreta yang sudah terkumpul masing-masing dihitung
prosentase bahan keringnya. Dengan mengetahui nilai bahan kering masing-masing sampel
maka nilai kecernaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
BK Kecernaan (%) = BK intake – BK Ekskreta
BK intake
Proses simulasi kecernaan pakan dalam tubuh kelinci dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.
TUJUAN
Agar mahasiswa memiliki pengalaman dan mengetahui menentukan nilai kecernaan
pakan untuk mengetahui kualitas pakan yang digunakan sehingga mampu meningkatkan
produksi .
PRINSIP
Menghitung nilai kecernaan pakan untuk menentukan kualitas pakan.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 67
Mouth Food is chopped,
ground and mix with saliva.
Stomach Food is mixed with acid to
sterylise it and enzymes to bigin the proses of digestion.
Small Intestines Most nutrients are
absorbed here more enzymes are added
breaking down the food so that nutrient can
pass through the lining and be absorbed in to
the blood stream
Colon Enzymes can’t break
down fibre so it continues on to the colon to be sorted.
Small particles of digestible fibre are temporarily diverted to the caecum.
Caecum Here bacteria ferment the fibre breaking it
down to digestible nutrients
Large particles of digestable fibre are formit in to droppings and excreated
Fermented fibre from the caecum is coated in
protective mucus than excreated as cicle droppings with are reingested so the nutrients can pass through
the small intestine to be absorbed.
100%
80%
20%
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 68
LEMBARAN KERJA
NAMA MAHASISWA : ……………………… DISETUJUI OLEH : ………..
NIM : ………………………
ACARA : Menghitung Kecernaan Pakan TGL : …………
1. Praktikum ini dilaksanakan di ……………………………… mulai tanggal
………………………s/d ………………………….
2. Kelinci yang digunakan strain …………....................... umur……..minggu
(………hari).
3. Jenis ransum yang akan dibuat : ……………………………………….. (Petunjuk asisten)
dengan kriteria sebagai berikut :
BK :………….%
Protein : ………… %
Energi metabolis : …………kkal/kg
Lemak tidak kurang dari : ………… %
Serat kasar tidak lebih : ………….%
Ca : ………….%
P : ………….%
4. Ransum yang digunakan adalah sebagai berikut:
No. Nama bahan Formula ransum
I II III IV
1.
2.
3.
4.
5.
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 69
6.
7.
8.
9.
10.
5. Kandungan zat makanan berdasarkan perhitungan.
NO Zat Makanan Formula ransum
I II III IV
1. Protein
2. Energy Metabolis
3. Lemak
4. Serat kasar
5. BK
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 70
6. Kandungan Bahan Kering (BK) berdasarkan perhitungan.
NO Keterangan Formula ransum
I II III IV
Pakan yang diberikan
1 BK
Ekskreta
1 BK
7. Nilai Kecernaan pakan berdasarkan perhitungan.
NO Keterangan Formula ransum
I II III IV
1 BK Kecernaan
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN :
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 71
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 72
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 73
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 74
DAFTAR PUSTAKA
Batterham, E.S. and Major, E.J. (1982). Determining The Availability of Lysine in Proteins
For Chicks Using The Slope-Ratio Assay and Comparisons With Pig, Rat and
Chemical Assays. In Poult. Husb. Res. Fd. Symposium. The University of Sydney.
Paper no. 9
Battarham, E.S. and Major, E.J. (1987). The Slope-Ratio Assay Technique as A Measure of
Availability of Amino Acids For Chicks-Experiments With Local Feeds. In Poult. Husb.
Res. Fd. Symposium. The University of Sydney. pp. 96-103
Carpenter, K.J. (1960). The Estimation of The Available Lysine in Animal-Protein Food.
Biochem. J. 77:604-610
Cave, N. A. and William, C. j. (1980). A Chicks Assay For Availability of Lysine in Wheat.
Poult. Sci., 59:799-804
Crissey, S.D. and Thomas, O.P. (1983). The Amuont of Fecal Amino Acids From Roosters
Fasted, Fed Non-Protein Diets, Soybean Meal or Autoclaved Soybean Meal. Poult.
Sci. 62:1406
Fernell, W.R. and Rosen, G.D. (1956). Microbiological Evaluation of Protein Quality With
Tetrahymena Pyriformis 1. Characteristics of Growth of The Organism and
Determination of Relative Nutritive Values of Intact Proteins. Br. J. Nutr., 10:143-156
Whitacre,M.E. (1987). Methods of Determining The Bioavailability of Amino Acid For
Poultry. In Puolt. Husb. Res. Fd. Symposium. The University of Sydney. pp. 81-95
Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 75