Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru

3
RAD Journal 2013:04:006 Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru, Robertus Arian Datusanantyo | 1 Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru Oleh: Robertus Arian Datusanantyo Dalam tulisan saya terdahulu dan ikutannya, telah dipaparkan mengenai standar baru akreditasi rumah sakit. Mulai tahun 2012 akhir, standar ini sudah mulai diberlakukan dan ada beberapa rumah sakit yang sudah terakreditasi mempergunakan sistem yang baru ini. Bagi rumah sakit yang sudah terakreditasi 5, 12, atau 16 pelayanan di masa lalu, timbul pertanyaan bagaimana panitia akreditasi dibentuk dengan acuan sistem yang baru ini. Sebagaimana diketahui, sistem akreditasi baru ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok standar pelayanan berfokus pada pasien dan kelompok standar manajemen rumah sakit dan dilengkapi dengan dua sasaran yaitu sasaran keselamatan pasien rumah sakit dan sasaran millennium development goals (MDGs). Core business pelayanan rumah sakit ada di kelompok pertama, sementara sistem pendukung ada di kelompok kedua. Sasaran keselamatan pasien sejatinya berada di dalam kelompok dua, namun oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dibuatkan kelompok khusus. Bila dalam sistem akreditasi 5, 12, dan 16 pelayanan setiap pelayanan merupakan tanggung jawab satu pokja, muncullah pertanyaan mengenai bagaimana manajemen kepanitiaan akreditasi di sistem yang baru ini. Belum banyak pengalaman rumah sakit yang sudah melaluinya menjadikan beberapa rumah sakit yang akan memulai menjadi gamang, karena kawatir sistem kepanitiaan yang dibangun tidak sesuai dengan standar akreditasi yang baru. Tulisan ini akan berupaya membagikan pengalaman penulis dalam hal kepanitiaan ini dengan mengacu pada sistem di RS Panti Rapih (RSPR), sebuah RS swasta publik besar di Yogyakarta tempat penulis berkarya seharihari. Apakah kelompok kerja (pokja) harus ada? Jawabannya iya. Mengapa begitu? Karena berdasarkan pengamatan pada rumah sakit yang sudah memulai proses pembimbingan, surveyor akan tetap berhadapan dengan pokja ketika melakukan survei. Sebaik apapun konsep yang selama ini dipresentasikan oleh KARS, audit dokumen bersama dengan pokja nampak masih akan mendominasi proses survei akreditasi. Bila pokja masih harus ada, berapa jumlah pokja yang ideal? Jawaban pertanyaan ini bisa bervariasi. Saya sarankan 17 pokja. Satu untuk masingmasing bab di kelompok satu dan dua, satu untuk keenam sasaran keselamatan pasien, dan tiga untuk masingmasing sasaran MDGs. Pikirkan untuk selalu berorientasi pada keselamatan pasien, namun jangan menjadikan keselamatan pasien sebagai satusatunya panglima dalam sistem akreditasi baru ini. Pokja pertama adalah pokja akses dan kontinuitas pelayanan (APK). Pokja ini akan mengurus bagaiman pasien masuk, diterima, didaftar, dilanjutkan perawatannya, dirujuk, dipulangkan, dan ditransportasi. Melihat lingkup kerjanya, anggota pokja ini harus melibatkan bagian yang membawahi pendaftaran pasien, pendaftaran rawat inap, IGD, rawat jalan, rawat inap, dan bagian yang membawahi transportasi. Perhitungkan pula bagian yang membawahi lingkungan hidup dan bangunan sebagai pertimbangan tambahan ketika membahas akses pasien. Pokja kedua adalah pokja hak pasien dan keluarga (HPK). Entah kenapa KARS dan badan akreditasi di dunia ini mencantumkan hak pasien terlebih dulu, bukan kewajibannya. Pokja HPK akan membantu rumah sakit dalam memberdayakan pasien lewat pengenalan terhadap haknya sampai dengan proses informed consent. Ada dua bagian lain, yaitu donor dan penelitian yang mungkin tidak secara umum terjadi di sebagian besar rumah sakit di Indonesia. Dengan demikian, pertimbangkan untuk melibatkan komite medis, rekam medis, perawat, dan bagian hukum (bila ada) di rumah sakit. Bila bagian diklat rumah sakit anda menaungi penelitian, libatkan juga. Pokja ketiga adalah pokja asesmen pasien (AP). Inilah pokja yang paling gila karena elemen penilaiannya (EP) paling banyak dan berkalikali lipat dari ratarata EP milik pokja lain. Pokja AP banyak mengatur soal pemeriksaan penunjang diagnostik jadi unitunit kerja penunjang diagnostik harus mengambil peranan paling banyak, seperti laboratorium klinik, laboratorium patologi anatomi, dan radiologi. Usahakan pokja ini juga mempunyai akses kepada unitunit kerja yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik seperti IGD, rawat jalan, dan rawat inap.

description

Sistem akreditasi rumah sakit yang baru menyisakan kegelisahan mengenai bagaimana panitia akreditasi harus dibentuk. Walaupun struktur belum tentu menunjukkan kinerja, struktur yang baik membantu panitia mencapai tujuan dengan lebih terarah.

Transcript of Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru

Page 1: Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru

RAD Journal 2013:04:006

Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru, Robertus Arian Datusanantyo | 1

Menyusun  Panitia  Akreditasi  Rumah  Sakit  Versi  Baru    Oleh:  Robertus  Arian  Datusanantyo      Dalam   tulisan   saya   terdahulu   dan   ikutannya,   telah   dipaparkan   mengenai   standar   baru   akreditasi  rumah  sakit.  Mulai  tahun  2012  akhir,  standar  ini  sudah  mulai  diberlakukan  dan  ada  beberapa  rumah  sakit  yang  sudah  terakreditasi  mempergunakan  sistem  yang  baru   ini.  Bagi   rumah  sakit  yang  sudah  terakreditasi   5,   12,   atau   16  pelayanan  di  masa   lalu,   timbul  pertanyaan  bagaimana  panitia  akreditasi  dibentuk  dengan  acuan  sistem  yang  baru  ini.    

Sebagaimana   diketahui,   sistem   akreditasi   baru   ini   dibagi   menjadi   dua   kelompok   yaitu  kelompok  standar  pelayanan  berfokus  pada  pasien  dan  kelompok  standar  manajemen  rumah  sakit  dan   dilengkapi   dengan   dua   sasaran   yaitu   sasaran   keselamatan   pasien   rumah   sakit   dan   sasaran  millennium   development   goals   (MDGs).   Core   business   pelayanan   rumah   sakit   ada   di   kelompok  pertama,  sementara  sistem  pendukung  ada  di  kelompok  kedua.  Sasaran  keselamatan  pasien  sejatinya  berada   di   dalam   kelompok   dua,   namun   oleh   Komisi   Akreditasi   Rumah   Sakit   (KARS)   dibuatkan  kelompok  khusus.  

Bila  dalam   sistem  akreditasi   5,   12,   dan   16  pelayanan   setiap  pelayanan  merupakan   tanggung  jawab  satu  pokja,  muncullah  pertanyaan  mengenai  bagaimana  manajemen  kepanitiaan  akreditasi  di  sistem   yang   baru   ini.   Belum   banyak   pengalaman   rumah   sakit   yang   sudah  melaluinya  menjadikan  beberapa  rumah  sakit  yang  akan  memulai  menjadi  gamang,  karena  kawatir  sistem  kepanitiaan  yang  dibangun  tidak  sesuai  dengan  standar  akreditasi  yang  baru.  Tulisan  ini  akan  berupaya  membagikan  pengalaman   penulis   dalam   hal   kepanitiaan   ini   dengan   mengacu   pada   sistem   di   RS   Panti   Rapih  (RSPR),  sebuah  RS  swasta  publik  besar  di  Yogyakarta  tempat  penulis  berkarya  sehari-­‐hari.    

Apakah   kelompok   kerja   (pokja)   harus   ada?   Jawabannya   iya.   Mengapa   begitu?   Karena  berdasarkan   pengamatan   pada   rumah   sakit   yang   sudah  memulai   proses   pembimbingan,   surveyor  akan  tetap  berhadapan  dengan  pokja  ketika  melakukan  survei.  Sebaik  apapun  konsep  yang  selama  ini   dipresentasikan   oleh   KARS,   audit   dokumen   bersama   dengan   pokja   nampak   masih   akan  mendominasi  proses  survei  akreditasi.    

Bila   pokja  masih   harus   ada,   berapa   jumlah   pokja   yang   ideal?   Jawaban   pertanyaan   ini   bisa  bervariasi.  Saya  sarankan   17  pokja.  Satu  untuk  masing-­‐masing  bab  di  kelompok  satu  dan  dua,   satu  untuk  keenam  sasaran  keselamatan  pasien,  dan  tiga  untuk  masing-­‐masing  sasaran  MDGs.  Pikirkan  untuk   selalu  berorientasi  pada  keselamatan  pasien,  namun   jangan  menjadikan  keselamatan  pasien  sebagai  satu-­‐satunya  panglima  dalam  sistem  akreditasi  baru  ini.    

Pokja  pertama  adalah  pokja  akses  dan  kontinuitas  pelayanan  (APK).  Pokja  ini  akan  mengurus  bagaiman   pasien   masuk,   diterima,   didaftar,   dilanjutkan   perawatannya,   dirujuk,   dipulangkan,   dan  ditransportasi.   Melihat   lingkup   kerjanya,   anggota   pokja   ini   harus   melibatkan   bagian   yang  membawahi  pendaftaran  pasien,  pendaftaran   rawat   inap,   IGD,   rawat   jalan,   rawat   inap,  dan  bagian  yang  membawahi   transportasi.   Perhitungkan  pula   bagian   yang  membawahi   lingkungan  hidup  dan  bangunan  sebagai  pertimbangan  tambahan  ketika  membahas  akses  pasien.  

Pokja   kedua   adalah   pokja   hak   pasien   dan   keluarga   (HPK).   Entah   kenapa  KARS  dan   badan  akreditasi   di   dunia   ini  mencantumkan   hak   pasien   terlebih   dulu,   bukan   kewajibannya.   Pokja  HPK  akan   membantu   rumah   sakit   dalam   memberdayakan   pasien   lewat   pengenalan   terhadap   haknya  sampai   dengan   proses   informed   consent.   Ada   dua   bagian   lain,   yaitu   donor   dan   penelitian   yang  mungkin  tidak  secara  umum  terjadi  di  sebagian  besar  rumah  sakit  di  Indonesia.  Dengan  demikian,  pertimbangkan   untuk   melibatkan   komite   medis,   rekam  medis,   perawat,   dan   bagian   hukum   (bila  ada)  di  rumah  sakit.  Bila  bagian  diklat  rumah  sakit  anda  menaungi  penelitian,  libatkan  juga.  

Pokja  ketiga  adalah  pokja  asesmen  pasien  (AP).  Inilah  pokja  yang  paling  gila  karena  elemen  penilaiannya   (EP)  paling  banyak  dan  berkali-­‐kali   lipat  dari   rata-­‐rata  EP  milik  pokja   lain.   Pokja  AP  banyak  mengatur  soal  pemeriksaan  penunjang  diagnostik  jadi  unit-­‐unit  kerja  penunjang  diagnostik  harus   mengambil   peranan   paling   banyak,   seperti   laboratorium   klinik,   laboratorium   patologi  anatomi,   dan   radiologi.   Usahakan   pokja   ini   juga   mempunyai   akses   kepada   unit-­‐unit   kerja   yang  membutuhkan  pemeriksaan  penunjang  diagnostik  seperti  IGD,  rawat  jalan,  dan  rawat  inap.    

Page 2: Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru

RAD Journal 2013:04:006

Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru, Robertus Arian Datusanantyo | 2

Pokja  keempat  adalah  pokja  pelayanan  pasien  (PP).  Pokja  ini  akan  mengatur  berbagai  proses  pelayanan  di  rumah  sakit  pada  unit-­‐unit  kerja.  Pilihlah  dokter,  perawat,  dan  kepala-­‐kepala  unit  kerja  yang   berkaitan   langsung   dengan   pelayanan   langsung   pada   pasien.   Orang-­‐orang   ini   haruslah  berwawasan   cukup   luas   dan   disegani   karena   akan  mengatur   berbagai   implementasi   kebijakan   inti  pelayanan.   Kebijakan   khusus   tersebut  misalnya   pelayanan   pasien   populasi   khusus   (geriatri,   anak-­‐anak,  korban  kekerasan,  dll),  resusitasi,  kemoterapi,  dan  lain-­‐lain.    

Pokja  kelima  adalah  pokja  pelayanan  anestesi  dan  bedah  (PAB).  Seperti  namanya,  pokja   ini  akan  mengeksekusi  berbagai  kebijakan  soal  pembedahan  dan  pembiusan.  Hendaknya  pokja  ini  berisi  orang-­‐orang   yang   berkompeten   di   bidang   manajemen   kamar   bedah   dan   segala   yang   terkait   di  dalamnya.    

Manajemen  dan  penggunaan  obat  (MPO)  adalah  pokja  yang  keenam.  Ini  adalah  satu-­‐satunya  pokja   yang   dapat   diwakili   oleh   satu   instalasi   saja   sebagai   pemain   utama,   yaitu   instalasi   farmasi.  Walau  demikian,  perawat  dan  dokter  yang  juga  berkepentingan  dengan  obat  perlu  terlibat  juga.  Bila  memungkinkan,   tunjuklah   satu   atau   dua   orang   kepala   ruang   rawat   inap   yang   berpengaruh   agar  kebijakan  pengelolaan  obat-­‐obatan  di  ruang  rawat  inap  dapat  terimplementasi  dengan  baik.    

Di  akhir  kelompok  satu  adalah  pokja  pendidikan  pasien  dan  keluarga   (PPK).  Pokja  PPK   ini  mengarahkan  rumah  sakit  agar  mempunyai  satu  unit  khusus  yang  mengatur  mengenai  pendidikan  kesehatan.  Pendidikan  kesehatan  ini  dilakukan  di  dalam  rumah  sakit  dan  sebenarnya  sampai  batas  tertentu  berkaitan  erat  dengan  pemberdayaan  pasien  utamanya  dalam  proses  penerimaan  informasi  terkait   pelayanan   kesehatan.   Pilihlah   unit   yang   sering   melakukan   proses   ini,   seperti   ruang   rawat  inap,   rawat   jalan,   IGD,   kamar   bedah,   dan   komite   medis   beserta   unit-­‐unit   yang   membawahi   soal  informed  consent.    

Kelompok   dua,   sejatinya   terdiri   dari   tujuh   pokja.   Karena   sasaran   keselamatan   pasien   oleh  KARS   dipisahkan   dari   kelompok   dua,   maka   ada   enam   pokja   yang   tersisa.   Keenam   pokja   ini  sebenarnya  mewakili  oraganizational  context   sesuai  konsep  chain  of  effect   in   improving  health  care  quality  seperti  yang  disampaikan  Donald  Berwick.    

Pokja  kedelapan  disebut  pokja  peningkatan  mutu  dan  keselamatan  pasien  (PMKP).  Pokja  ini  memang   terlihat   agak   tumpang   tindih   dengan   keenam   sasaran   keselamatan   pasien,   walau  sebenarnya   tidak.   Mutu   menjadi   panglima   dalam   pokja   ini.   Oleh   karena   itu,   anggota   pokja   ini  sebenarnya  adalah  mereka  yang  selama  ini  mengelola  panitia  mutu  rumah  sakit.  Mutu  rumah  sakit  ini   dibedakan  menjadi  mutu   klinis   dan  mutu  manajerial.   Banyak   rumah   sakit   beranjak  mengukur  mutu   lewat   standar   pelayanan  minimal.   Anggota   pokok   dalam   pokja   ini   hendaklah   mereka   yang  menguasai  soal  mutu  rumah  sakit.    

Pokja  berikutnya  adalah  pokja  pencegahan  dan  pengendalian  infeksi  (PPI).  Seperti  namanya,  pokja  kesembilan  ini  sebaiknya  berisi  orang-­‐orang  yang  sehari-­‐harinya  mengurus  soal  pengendalian  infeksi.  Walaupun  pengendalian  infeksi  tidak  dapat  dilepaskan  dari  keselamatan  pasien,  hendaklah  diingat  bahwa  pencegahan  dan  pengendalian  infeksi  sesungguhnya  mempunyai  cakupan  kerja  yang  jauh   lebih   luas   daripada   keselamatan   pasien.   Selain   anggota   PPI   RS   sendiri,   hendaklah   pokja   ini  mengikutsertakan   mereka   yang   selama   ini   juga   mengelola   limbah,   lingkungan   hidup,   teknik,  pemulasaraan  sarana  rumah  sakit,  dan  sentral  sterilisasi  rumah  sakit,  dan  perwakilan  dari  unit-­‐unit  pelayanan.   Lebih  baik   bila   pokja   ini   bisa   dipimpin   seorang  dokter   yang  bersertifikat   pengendalian  infeksi  atau  seorang  ahli  mikrobiologi  klinis.    

Pokja   kesepuluh   disebut   sebagai   pokja   tata   kelola,   kepemimpinan,   dan   pengarahan   (TKP).  Anggota-­‐anggota  pokja  ini  seperti  namanya,  perlu  mengetahui  dengan  rinci  dokumen-­‐dokumen  dan  implementasi   yang   sifatnya   mendasar.   Salah   satu   direktur   atau   justru   direktur   utama   hendaknya  memimpin   sendiri   pokja   ini,   dan  mulai   dengan  pembahasan  mengenai  hospital   bylaws   bila   belum  ada.   Rumah   sakit   yang  mempunyai   unit   research   and   design   bisa   mengikutsertakan   anggota   unit  tersebut  dalam  pokja  ini.    

Pokja   kesebelas   adalah   pokja   manajemen   fasilitas   dan   keselamatan   (MFK).   Pokja   ini  mengurus   apa   yang   dalam   terminologi   kita   disebut   pemulasaraan   sarana   RS,   kesehatan   dan  keselamatan   kerja   (K3),   dan   hal-­‐hal   yang   terkait   antara   fasilitas   dan   pelayanan.   Oleh   karena   itu,  ketua   panitia   pembina   K3RS   dan   orang-­‐orang   dari   unit   pemeliharaan   sarana   RS   perlu  masuk   dan  berkolaborasi  di  dalam  pokja  ini.    

Page 3: Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru

RAD Journal 2013:04:006

Menyusun Panitia Akreditasi Rumah Sakit Versi Baru, Robertus Arian Datusanantyo | 3

Pokja   selanjutnya   disebut   pokja   kualifikasi   dan   pendidikan   staf   (KPS).   Pokja   ini  mengurus  tugas  yang  menurut  penulis  adalah  tugas  terberat  karena  terkait  dengan  pengembangan  staf.  Rumah  sakit  di  Indonesia  nampak  tidak  mempunyai  plafon  anggaran  yang  besar  untuk  pengembangan  staf.  Dalam  praktek  sehari-­‐hari,  continuing  professional  development  dilakukan  sendiri  oleh  para  dokter.  Para   perawat   menunggu   giliran   dengan   sabar,   sementara   para   administrator   menanti   jatah  pengembangan  yang  tak  kunjung  datang.  Pokja  KPS  terbeban  dengan  amanat  mengurus  hal  ini,  oleh  karena  itu  harus  diisi  oleh  pimpinan  unit  pengelolaan  sumber  daya  manusia  (personalia),  wakil  dari  komite  medis,  wakil  dari  komite  keperawatan,  dan  bagian  diklat  rumah  sakit.    

Pokja  terakhir  di  kelompok  dua  adalah  pokja  manajemen  komunikasi  dan   informasi  (MKI).  Pokja   ini   unik   karena   telah   memandang   rumah   sakit   sebagai   institusi   yang   memerlukan   (dan  tergantung)   pada   sistem   informasi.  Diakui   atau   tidak,   dewasa   ini   sistem   informasi   di   rumah   sakit  memang   mulai   memegang   peranan   yang   vital.   Peran   ini   mulai   dari   sistem   billing   sampai  pengambilan  keputusan  di  manajemen  puncak.  Pokja  ini  hendaknya  beranggotakan  pimpinan  rekam  medis,  dan  beranggotakan  orang-­‐orang  yang  memanfaatkan   informasi  dalam  pekerjaan  sehari-­‐hari  seperti  bagian  keuangan,  akuntansi,  pembelian,  dan  lain-­‐lain.  

Pokja   keempat   belas   dalam   panitia   akreditasi   sistem   baru   ini   adalah   pokja   sasaran  keselamatan  pasien   (SKP).   Seperti   sudah  dikampanyekan   sejak   pertengahan  dekade   ini,   ada   enam  sasaran   keselamatan   pasien.   Masing-­‐masing   harus   diurus   dengan   baik   karena   melibatkan   banyak  proses   bisnis   dan   proses   pelayanan   di   rumah   sakit.   Pokja   ini   bisa   diisi   seluruhnya   oleh   panitia  keselamatan   pasien   yang   telah   ada   dan   harus   dibuat   sistem   sehingga   bisa   berhubungan   erat  terutama  dengan  pokja  PAB,  MPO,  PP,  PMPK,  dan  PPI.    

Pokja   kelimabelas   sampai   ketujuh   belas   adalah   pokja-­‐pokja   yang   terkait   dengan   sasaran  MDGs.  Satu  pokja  mengurus  satu  sasaran,  yaitu  Tuberkulosis,  HIV/AIDS,  dan  penurunan  kematian  ibu  dan  bayi.   Pokja   yang  mengurus   tuberkulosis   dan  HIV/AIDS  bisa   dipimpin  dan  beranggotakan  tim   yang   selama   ini  mengurus   bidang   terkait   di   rumah   sakit.   Keduanya   juga   perlu   beranggotakan  dokter  yang  kompeten  di  bidang  itu,   terutama  dokter  ahli   infeksi  dan  dokter  paru.  Seorang  dokter  penyakit  dalam  dengan  wawasan  yang  luas  bisa  menggantikan  apabila  tidak  tersedia  ahli  infeksi  dan  ahli   paru.   Sementara   itu,   tim   PONEK   rumah   sakit   bisa   menjadi   pokja   yang   mengurus   bidang  penurunan  angka  kematian  ibu  dan  bayi.  Pokja  ini  bisa  juga  memanfaatkan  panitia  yang  mengurus  soal  rumah  sakit  sayang  ibu  dan  sayang  bayi  dan  juga  tim  advokasi  menyusui  di  rumah  sakit.  Ketiga  pokja   terakhir   ini   akan  masuk   ke   berbagai   sistem   dan   layanan   sehingga   perlu  melibatkan   orang-­‐orang  dari  berbagai  unit  yang  bersinggungan  langsung.    

Selanjutnya,   selain   pokja   siapa   lagi   yang   perlu   duduk   dalam   kepanitiaan?   Penulis  menganjurkan  ada  satu  ketua  umum  yang  memimpin  seluruh  panitia,  dibantu  dua  orang  sekretaris.  Dapat   pula   ditambah   dengan   koordinator   kelompok   satu   (membawahi   tujuh   pokja),   dan  koordinator  kelompok  dua   (membawahi  enam  pokja).  Ketua  masing-­‐masing  pokja  SKP  dan  ketiga  pokja  MDG  dapat  langsung  berada  di  bawah  koordinasi  ketua  panitia.  Akan  lebih  sempurna  bila  ada  seorang  sekretaris  purna  waktu  yang  mengurus  kepanitiaan  besar  ini.  Demikian  mengenai  susunan  kepanitiaan.  Semoga  bermanfaat!  (RAD)