Meningitis Neonatorum

download Meningitis Neonatorum

of 18

description

Meningitis

Transcript of Meningitis Neonatorum

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangMeningitis adalah peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh selaput otak (meningen) yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel darah putih dalam cairan serebrospinal. Kejadian meningitis memiliki tingkat kematian yang tinggi, terutama pada periode neonatal.1Meningitis neonatorum adalah penyakit yang ditandai sebagai hasil dari infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak (meningen) dan biasanya terjadi antara 0 - 28 hari kehidupan.2Inisiden meningitis neonatorum bervariasi antara 0,2 - 2,7 per 1.000 kelahiran dan cenderung meningkat di negara-negara yang sedang berkembang. Tingkat kematian mencapai 25 - 50 % kasus. Selain angka kematian yang cukup tinggi, banyak penderita meningitis yang menjadi cacat akibat keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan. Meningitis bakteri selalu menjadi ancaman besar bagi kesehatan dunia. Data WHO (2009) memperkirakan jumlah kasus meningitis dan kasus kecacatan neurologis lainnya sekitar 500.000 dengan Case Fatality Rate (CFR) 10% di seluruh dunia.3Dari tahun ke tahun insiden meningitis tidak banyak mengalami perbaikan meskipun sudah tersedia antimikroba yang ampuh dan vaksin yang efektif, akan tetapi penyakit ini tetap menjadi penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada bayi dan neonatus.4Mengingat angka kejadian meningitis saat ini masih cukup tinggi, kemampuan diagnosis dini yang tepat dan terapi agresif adekuat sangat diperlukan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas pada meningitis. Penulis berkeinginan menyajikan masalah ini agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri penulis dan petugas kesehatan serta menjadi bekal yang berharga dalam perpustakaan pengetahuan para klinisi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 MeningitisMeningitis adalah peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh selaput otak (meningen) yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel darah putih dalam cairan serebrospinal.

2.2 Meningitis NeonatorumMeningitis neonatorum adalah penyakit yang ditandai sebagai hasil dari infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak (meningen) dan biasanya terjadi antara 0 - 28 hari kehidupan.

2.3 Etiologi

a. Etiologi meningitis pada neonatusMeningitis neonatorum merupakan hasil dari bakteremia yang berperan penting dalam sepsis neonatorum; semakin tinggi jumlah koloni dalam kultur darah, semakin tinggi risiko meningitis. Organisme yang paling banyak berperan menyebabkan sindrom sepsis onset lambat adalah Stafilokokus koagulase negatif, Staphylococcus aureus, E. Coli, Klebsiella, pseudomonas, Enterobacter, Candida, Streptokokus grup B, Serratia, Acinobacter dan bakteri Anaerob.Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkanStaphilococcus epidermidisdanCandida spsebagai penyebab meningitis.Listeria monocytogenesmerupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas.MeningitisStreptococcusgrup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah7 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal.Streptococcusgrup B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis olehSerratia marcescens, Pseudomonas aeruginosadanProteus mirabilis. Infeksi olehCitrobacter diversusdanSalmonella spjarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga menderita abses otak.

b. Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anakPada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalahStreptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B(HIB). HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau pneumonia.Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural.S. pneumoniaesering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.

2.4. PatogenesisPertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan tubuh (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun ( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.Mekanisme spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun tubuh karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor).TNF- merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal.Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachiamerupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.Tekanan tinggi intra kranial (TIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI.Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.

2.5. Manifesatsi KlinikGejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:a. Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya disertai febris dan fotofobia.b. Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis.Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.c. Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf.d. Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka panjang.e. Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.f. Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak.g. Enam persen (6%) bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)h. Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.

Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi meningitis:a. Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.b. Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksiStreptococcus pneumoniaeatau Haemophilus influenzaedan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.c. Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap pertumbuhan bakteri di meningen.

2.6. Pemeriksaan PenunjangMeningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal pungsi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan LCS.Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi tanpamelakukan lumbal pungsi. Lumbal pungsi dapat dilakukan di lain waktu saat tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan herniasi.Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total leukosit dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi. Pewarnaan gram daricytocentrifugedLCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apusbuffy coatjuga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler.

2.7. Diagnosis Banding1. Sepsis Neonatorum2. Abses otak3. Encephalitis4. Tumor otak

2.8. KomplikasiSekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae.Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral.Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.

2.9. Penatalaksanaana. Perawatan medikPemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis.Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus mencapai normal.Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran.Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan: memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.

b. Terapi antimikroba untuk neonatusAntimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasukStreptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes,beberapa strainEscherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS.Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram negatif termasukPseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawanL. monocytogenesdanEnterococcussehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration) yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan kebanyakanS. pneumoniaeyang resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderitaS. pneumoniaemeningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau penicillin juga memiliki efek sinergis melawanStreptococcusgrup B danEnterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya resistensi.Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida.Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar 3-4 minggu.Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS berguna dalam 48-72 jam setelah terapiinisial untuk memantau respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh basil gram negatif.

Antibiotics(dosage inmg/kg/day)RouteOf AdministrationBodyweight

BodyWeight

BodyWeight>2000 gBodyWeight>2000 g

Age 0-7daysAge > 7daysAge 0-7daysAge > 7days

Penicillins

AmpicillinIV,IM100 divq12h150 divq8h150 divq8h300 divq6h

Penicillin-GIV100,000 Udiv q12h150,000 Udiv q8h150,000 Udiv q8h250,000 Udiv q6h

OxacillinIV,IM100 divq12h150 divq8h150 divq8h200 divq6h

TicarcillinIV,IM150 divq12h225 divq8h225 divq8h300 divq6h

Cephalosporins

CefotaximeIV,IM100 divq12h150 divq8h100 divq12h150 divq8h

CeftriaxoneIV,IM50 oncedaily75 onceDaily50 oncedaily75 oncedaily

CeftazidimeIV,IM100 divq12h150 divq8h100 divq8h150 divq8h

2.10 PrognosisPenderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau resiko kematian. Adanya kejang dalam suatu episode meningitis merupakan faktor resiko timbul sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan olehS. pneumoniae, L. monocytogenesdan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain.Korban meningitis neonatorum berada pada risiko untuk terjadinya kecacatan sedang hingga berat. Sebanyak 25-50% memiliki masalah yang signifikan dengan bahasa, fungsi motorik, pendengaran, penglihatan, dan kognisi; 5-20% mengalami epilepsi di masa mendatang. Korban juga lebih cenderung mengalami defisit visual, penyakit telinga tengah, dan masalah perilaku. Sebanyak 20% dari anak-anak, diidentifikasi normal hingga usia 5 tahun, selanjutnya mungkin mengalami kesulitan pendidikan yang signifikan berlangsung hingga akhir masa remaja.Indikator prognosis yang buruk meliputi berat badan lahir rendah, prematur, leukopenia signifikan atau neutropenia, tingkat tinggi protein dalam cairan serebrospinal (CSF), sterilisasi CSF tertunda, dan koma.

2.11 PencegahanPencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.a. Kemoprofilaksis untukN.meningitidismeningitisSemua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang yang kontak dengan penderita harus segera mencari pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis rifampisin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari.b. Kemoprofilaksis untuk HIB meningitisRifampisin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak dengan penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan kontak adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama dengan penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum diagnosis ditegakkan.Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.c. ImunisasiImunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat adanya wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y, W-135 dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan imunodefisiensi, penderita dengan asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen.Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan.The Advisory Committee on Imunization Practices (ACIP) menganjurkan penggunaan vaksin ini untuk siswa sekolah yang tinggal di asrama-asrama.

REFERAT

MENINGITIS NEONATORUM

Oleh:Okky Rizka Sesarina, S.KedNIM : 70 2010 049

Pembimbing:dr. Liza Chairani, Sp. A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG2014

DAFTAR PUSTAKA

1. Airede, Kareem. 2012. Perspectives of Neonatal Perinatal Bacterial Meningitis. ISBN, (www.intecophen.com, Diakses 17 July 2014).2. Neonatal Bacterial Meningitis, (www.merckmanuals.com, Diakses 17 July 2014).3. Silva LP, dkk. 2007. Prevalence of Newborn Bacterial Meningitis and Sepsis During the Pregnancy Period for Public Health Care System Participants in Salvador, Bahia, Brazil: The Brazilian Journal of Infectious Disease, 11 (2): 272-276, (http://www.scielo.br, Diakses 17 July 2014).4. Brouwer MC dkk. 2010. Epidemiologi, Diagnosis and Antimicrobal Treatment of Acute Bacterial Meningitis.Clinical Microbiology Reviews. 23 (3) Hal 467-492.5. Behrman RE, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Edisi 15 Vol.2. Jakarta, Indonesia: EGC. Hal 872 - 880.6. Kosim MS, dkk. 2012. Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama. Jakarta, Indonesia: IDAI. Hal 170-187.7. Mardjono Mahar dan Sidharta Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dasar Edisi kelima. Jakarta, Indonesia: Penerbit Dian Rakyat. Hal. 318-320.8. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2013. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. Palembang, Indonesia: FK UNSRI. Hal. 245-246.