Mengungkap mafia beasiswa

24
MENGUNGKAP MAFIA BEASISWA WEBSITE IAIN TAK MAKSIMAL MEMPERINDAH TAMAN KAMPUS MEMOTRET JEJAK KOLONIAL

description

Tabloid SKM Amanat

Transcript of Mengungkap mafia beasiswa

Page 1: Mengungkap mafia beasiswa

MENGUNGKAP MAFIA BEASISWA

WEBSITE IAIN TAK MAKSIMAL

MEMPERINDAH TAMAN KAMPUS

MEMOTRET JEJAK KOLONIAL

Page 2: Mengungkap mafia beasiswa

� AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

TERAS

Edisi lalu, redaksi menyajikan kisah pohon apel sebagai salam pem-buka. Tak jauh beda, masih saja

seputar singkap-menyingkap sesuatu yang nampak nyenyak di tempatnya. Atau barangkali sesuatu yang oleh ban-yak orang hanya dibicarakan mulut ke mulut dengan nada lirih.

Seperti misalnya kisah pengumu-man penerima beasiswa, yang oleh se-bagian pihak menganggapnya sebagai kabar baik, tapi oleh sebagian pihak lain justru menganggapnya sebagai kabar buruk. Pembaca tentu tahu siapa yang menganggapnya sebagai kabar buruk. Ya, mereka adalah pemilik nama yang tidak tercantum dalam daftar peneri-ma.

Dengan kuota terbatas, sebenarn-ya wajar jika pembagian beasiswa tak merata. Namun yang menjadi perma-salahan di sini adalah; ketidak merataan itu diakibatkan beberapa orang yang bermain-main dalam proses seleksi. Ke-jadian itu terjadi di salah satu fakultas.

Lebih parah dari itu, sebagaimana diangkat dalam Laporan Utama, ada indikasi beberapa mahasiswa men-coba menjadi mafia beasiswa. Artinya, mereka mengaku sebagai orang yang bisa meloloskan nama ke dalam daftar penerima beasiswa. Namun sebenarnya mereka tak punya andil apapun.

Bisa saja, saat seleksi berlangsung mereka berada di lapak-lapak nasi kuc-

ing atau bisa juga mereka tengah tidur santai di kamar kos. Lalu secara kebetu-lan, mahasiswa yang terlanjur membuat “kontrak” dengannya lolos seleksi dan mendapatkan beasiswa. Berlandaskan “kontrak” yang telah mereka buat lalu mereka menagih janji si penerima bea-siswa tersebut.

Ujung dari kesemua itu ialah uang. Ya, kasus pertama dan kasus kedua bermuara pada duduk soal yang sama; potongan sekian persen. Begitulah paling tidak ke-lakuan beberapa mahasiswa yang dalam beberapa kesempatan terkadang men-gaku sebagai generasi penerus bangsa itu.

Tak hanya menyoroti mahasiswa, dalam Laporan Pendukung redaksi men-coba menelisik kualitas dosen di IAIN Walisongo Semarang. Ibarat kata pepatah “jauh panggang daripada api”. Dengan ba-hasa yang lebih jelas, ada ketidak sesuaian antara mata kuliah dengan disiplin ilmu yang dimiliki dosen.

Tak cukup di situ, masih banyak sajian yang bisa pembaca nikmati sembari men-genali kampus yang telah lama kita huni. Ibarat berbicara, tentu ada salah ucap. Menulis tentu ada salah tulis, atau barang-kali apapun yang bagi pembaca adalah sesuatu yang tak bisa mendapat ruang nyaman di hati, maka redaksi membuka pintu lebar-lebar untuk pembaca dan redaksi agar bisa saling berdiskusi. n

Redaksi

S A L A M R E D A K S I

Redaksi menerima artikel, resensi, dan puisi, maksimal 5.000 karakter (termasuk spasi), sedang cerpen maksimal 8.000 karakter (termasuk spasi). Naskah yang dimuat akan mendapat imbalan seder-hana, yang tidak dimuat akan dikemba-likan jika disertai perangko balasan. Re-daksi berhak mengedit tulisan selama tidak mengubah isi. Tulisan dapat dikirim melalui email: [email protected]

Cover Abdul Arif

Mahasiswa serbu Beasiswa DIPA Ayo, yang miskin-yang miskin.

Mafia Beasiswa berkeliaran di kampus!Bagus-bagus, kaderisasi koruptor lancar.

Kemarin bilang, tahun depan jadi UIN?Uinsya Allah tahun depannya lagi, mas.

Selamat datang mahasiswa baru IAINHusss...bukan IAIN tapi UIN, Bos!

IAIN tingkatkan kerjasama luar negeripejabatnya mesti belajar bahasa Inggris.

Pohon kampus pada ditebangi ya?Wajar, kayu laku mahal

Website IAIN Walisongo tidak maksimalBingung mau diisi apa.

Kepanitiaan OPAK ada di tangan mahasiswaCk...ck...ck...ck...eh,, mahasiswa yang mana ya?

Taman di IAIN kurang menarikEmang IAIN punya taman?

Sekarang IAIN punya PR IVSemoga IAIN lebih dikenal. Amin

Dana kemahasiswaan dipegang DEMAWah, bakalan ada pesta nih...

Lebaran harga sembako melambungPuasanya diperpanjang saja.

Apa kabar Olimpiade London?Seperti yang sudah banyak diberitakan di koran mas. :(

Bang Aman yang kadang pakewuh

PELINDUNGRektor IAIN Walisongo

PENANGGUNG JAWABPembantu Rektor III IAIN Walisongo

PEMBINAKabag. Akademik dan Kemahasiswaan

Dosen Bina SKKPEMIMPIN UMUM

Khoirul MuzakkiBENDAHARA

Nazilatun NihlahYestik Arum

PEMIMPIN REDAKSIHammidun Nafi’ SyifauddinSEKRETARIS REDAKSI

Abdul ArifDESK BERITA

ShodiqinDESK ARTIKEL

NgabidinDESK SASTRA BUDAYA

Eny Rifa’atul MLAYOUTER

Akhmad Baihaqi ArsyadRohman Kusriyono

ILUSTRATORAufal Marom

FOTOGRAFERSlamet Tridadi

KOORDINATOR REPORTERAlfian Guntur A

REPORTERYulianti, Azid Fitriyah, Irma Muflikhah,

M Faizun, Anik Sukhaifah, Ulfa Mutmainnah,

PEMIMPIN USAHAFathul Jamil

PUSAT DOKUMENTASIAfiyati BadriyahPERIKLANANNur Ayu Rizqiya

SIRKULASIM Izzudin

HUMAN RESOURCES DEPARTMENTAmin Fauzi, Farih Lidinillah, Musyafak,

Munaseh, Suhardiman, Fani Setyaningrum, Nanik Kurniawati, Farid

Helmi.STAF AHLI

Zamhuri, Joko Tri Haryanto, Abdullah Ibnu Thalhah, Ajang ZA, Sohirin, Siti

Alfiah, Ingwuri Handayani, Lutfil Kirom, Heri Nugroho, Abdul Hakim, Khusnul

Huda, Ali Romdhoni, Muh Slamet, Rosidi, Siswanto, Ali Mustofa, Fakhrudin

Karmani, Edi Purnomo, Pujianto, M Olies, Afida Masyitoh.

SURAT KABAR MAHASISWAAMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa

Penerbit: Unit Kegiatan Mahasiswa

Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANATIAIN Walisongo Semarang

Izin Terbit: SK Rektor IAIN Walisongo Semarang

No. 026 Tahun 1984 International Standart Serial Number (ISSN):

0853-487X

Masih Seputar Singkap-menyingkapSentilan Amanat

Page 3: Mengungkap mafia beasiswa

�AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

LAPORAN UTAMA

Beasiswa dari Kemenag yang ditujukan kepada mahasiswa miskin berprestasi terindikasi meleset. Pelibatan mahasiswa jadikan proses seleksi diragukan

Oleh Akhmad Baihaqi Arsyad

BEASISWA DIPA

Muka Lani, bukan nama sebenarn-ya, seketika tertunduk lesu saat mengetahui namanya tak tertera dalam daftar nama calon peneri-

ma beasiswa DIPA yang terpampang di papan pengumuman kantor dekanat Fakultas Tarbi-yah. Kekecewaan lani bertambah saat mengeta-hui temannya, Lia (bukan nama sebenarnya) kegirangan karena namanya lolos sebagai calon penerima beasiswa DIPA.

Bagi Lani, prestasi akademik Lia jauh di ba-wahnya. Pun, ia bukan golongan orang miskin yang wajib dibantu.

“Ini tidak adil,” ketusnya.Lani tak sendirian, menurutnya, banyak

kawannya yang mengalami hal serupa. Yaitu, memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi dan miskin namun sulit mendapatkan beasiswa DIPA.

Hasil beasiswa DIPA terus mengundang gugatan dari mahasiswa. Terutama, bagi maha-siswa yang tak terlibat aktif di lembaga kemaha-siswaan. Meski Lani dan sejumlah kawannya memiliki IPK tinggi, namun sulit mendapatkan beasiswa. Hal itu menurut Lani lantaran ia tak aktif di lembaga kemasiswaan.

“Saya bukan aktivis, jadi gak dapat.”Seleksi perekrutan beasiswa DIPA terus

mengundang gugatan. Lantaran jatah beasiswa masing-masing fakultas sudah dikaveling untuk sebagian mahasiswa. Di Fakultas Tarbiyah mis-alnya, tiap lembaga kemahasiswaan, atau lem-baga milik fakultas lain seperti, perpustakaan dan laboratorium boleh merekomendasikan mahasiswa yang aktif di dalamnya. Padahal, ja-tah beasiswa untuk Fakultas Tarbiyah terbilang paling sedikit jika diukur dengan perbandingan mahasiswanya.

Sama halnya di Fakultas Dakwah. Jatah beasiswa sudah dikaveling untuk sebagian ma-hasiswa. Dalam rapat beasiswa DIPA semester genap lalu (2012) yang dikuti Pembantu Dekan (PD) III, Bagian Akademik dan Kemahasiswaan, serta ketua lembaga kemahasiswaan Fakultas Dakwah, ditetapkan, sebanyak 50 kuota bea-siswa diperuntukkan untuk lembaga kemaha-siswaa, antara lain, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Seban-yak 20 kuota beasiswa diperuntukkan untuk mahasiswa yang mendapatkan rekomendasi dari dosen atau pejabat IAIN. Sebanyak 40 kuo-ta beasiswa diperuntukkan untuk mahasiswa baru yang tidak mendapatkan beasiswa pada semester gasal. Sisanya, baru didistribusikan kepada mahasiswa umum melalui prosedur seleksi murni.

Bukan untuk Si Miskin

Jum’at, 16 Desember 2011, IAIN Walisongo menerima Surat Peraturan Menteri Keuangan (permenkeu) Nomor.101/pmk.02/2011 tentang Klasifikasi Anggaran dan Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintah Nomor 10. Oleh, Kemen-trian Agama (Kemenag) dan diedarkan kepada seluruh Perguruan Tinggi yang berada di bawah naungannya. Surat itu dimaksudkan untuk dig-andakan dan digunakan sebagai acuan dalam penyusunan anggaran.

Di dalam surat itu dijelaskan secara eksplisit ihwal kriteria calon penerima beasiswa. Pada salah satu lampiran (hal.25) misalnya, diconto-hkan beberapa kasus perihal pemberian bea-siswa. Di antaranya, kasus tentang ketepatan atau ketidaktepatan pemberian beasiswa.

Beberapa kasus pemberian beasiswa yang tak tepat antara lain, pemberian beasiswa ke-pada pegawai instansi pemerintah, atau pem-berian beasiswa prestasi atau penghargaan. Ia dianggap tak tepat karena tidak memenuhi kri-teria dan tujuan penggunaan beasiswa. Yaitu, beasiswa yang tepat digunakan untuk kegiatan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pember-dayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana.

Kasub. Bag Administrasi dan Kemaha-siswaan, Moch. Muhaemin menjelaskan, pasca menerima surat edaran itu IAIN langsung men-gadakan rapat guna menindaklanjuti isi surat edaran tersebut. Hasilnya, mulai tahun 2012 diputuskan, syarat utama pengajuan beasiswa yang bersumber dari anggaran pemerintah atau Kemenag harus malampirkan surat ket-erangan miskin dari kelurahan. Beasiswa DIPA sendiri termasuk beasiswa yang bersumber dari pemerintah atau kemenag. Hanya, karena me-lewati DIPA IAIN, beasiswa tersebut dinamai beasiswa DIPA. Karena bersumber dari dana Kemenag, maka beasiswa DIPA wajib mema-tuhi aturan surat edaran tersebut.

“Mulai 2012, harus ada surat miskin”, terang Muhaimin.

IAIN memang mendapatkan jatah beasiswa dari Kemenag setiap tahun. Penentuan jumlah beasiswa disesuaikan dengan jumlah kuota ma-hasiswa. Pada tahun 2012 ini, seperti disebutkan Muhaimin, IAIN Walisongo mendapatkan jatah beasiswa dari Kemenag sejumlah 1796 orang, sama seperti tahun sebelumnya. Kuota tersebut kemudian didistribusikan kepada empat fakul-tas. IAIN membagi alokasi beasiswa ke dalam dua tahap. Yaitu, untuk mahasiswa lama dan baru.

Dari 1796 jatah beasiswa, 961 di antaranya dialokasikan untuk mahasiswa lama. Sisanya, atau 875 beasiswa diperuntukkan untuk ma-hasiswa baru. Untuk mahasiswa lama, seleksi dilakukan oleh masing-masing fakultas sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan oleh pihak kemahasiswaan institut.

Untuk mahasiswa baru, pendaftaran bea-siswa DIPA diadakan setelah Orientasi Pen-genalan Akademik (OPAK) dan Olah Raga Seni dan Keahlian (ORSENIK) usai. Beasiswa untuk mahasiswa baru dijadikan momentum un-tuk memberikan apresiasi terhadap para atlit yang memperjuangkan nama fakultas mas-ing-masing. Prosedurnya, Penanggung Jawab (PJ) masing-masing cabang lomba ORSENIK merekomendasikan atlet binaannya untuk mendapatkan beasiswa DIPA. Hasil rekomen-dasi tersebut dijadikan acuan dalam proses perekrutan calon penerima beasiswa.

Padahal, jika mengacu pada pedoman dari kementerian keuangan, pemberian beasiswa berprestasi atau penghargaan termasuk ke dalam kasus ketidaktepatan pemberian bea-siswa. Muhaemin mengatakan, untuk semester gasal tahun ini belum diadakan rapat penen-tuan kriteria penerima beasiswa DIPA bagi ma-hasiswa baru.

Pembagian beasiswa menurut Muhaimin harus benar-benar tepat sasaran sesuai dengan kriteria yang ditetapkan kementerian. Makanya, ia mensyaratkan pencantuman surat keteran-gan miskin. Namun ia menyadari, kemung-kinan terjadinya manipulasi kemiskinan oleh oknum mahasiswa tetap ada. Surat keterangan miskin bisa direkayasa dengan teknologi kom-puter.

“Surat keterangan miskin juga bisa dibuat sendiri”, kata Muhaemin.

Pembantu Dekan (PD) III fakultas Ushulud-din, Hasyim Muhammad menyatakan, pihak penyeleksi hanya menerima surat miskin itu di tempat tanpa melakukan observasi lang-sung ke tempat mahasiswa yang bersangkutan. Penyeleksi hanya sebatas menerima selembar bukti surat keterangan miskin dari kelurahan. Selebihnya, dipercayakan kepada mahasiswa.

“Kami khusnudzon saja”, ujar Hasyim.

Efek Pelibatan

Pemerintah memang hanya menetapkan rambu-rambu umum terkait kriteria calon penerima beasiswa. Namun, mekanisme pelaksanaan, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing fakultas. Termasuk, kebijakan masing-masing fakultas di IAIN walisongo menyangkut pelibatan mahasiswa yang diwakili BEM/SMF dalam proses seleksi.

Ditemui di kantor, Pembantu Dekan (PD) III Fakultas Tarbiyah, Muhammad Ridwan men-egaskan, pelibatan BEM/SMF dalam penyele-ksian beasiswa tak lebih hanya sebagai peserta rapat penentuan syarat penerima beasiswa.

BEM/SMF, lanjut Ridwan, tak mempunyai kewenangan untuk ikut menyeleksi dan me-nentukan siapa yang berhak untuk mendap-atkan beasiswa.

“Mereka hanya menyaksikan rapat.”

Senada Ridwan, Kepala Subbagian (kas-ubag) Kemahasiswaan Fakultas Tarbiyah Munif menjelaskan, suara Ketua BEM/SMF dalam ra-pat tersebut sebatas rekomendasi atau usulan. Pun, nama-nama yang diusulkan ketua BEM/

SMF tersebut belum tentu diterima dan masih dipertimbangkan tim seleksi. BEM/SMF menu-rut Munif memang diberi hak untuk mengusul-kan anggotanya untuk menjadi calon penerima beasiswa maksimal lima orang.

“Usulan mereka dibatasi maksimal lima.”

Lain halnya di Fakultas Syari’ah, PD III Fakultas Syari’ah, Arif Budiman mengatakan, dalam menyaring calon penerima beasiswa, Fakultas Syari’ah memberlakukan sistem sele-ksi menggunakan tes kemampuan bahasa Arab dan Inggris. Namun, tetap saja, unsur BEM dan lembaga kemahasiswaan fakultas lainnya dili-batkan dalam tahapan seleksi.

Meski birokrasi fakultas menegaskan BEM/SMF tak memiliki otoritas dalam menyele-ksi atau menentukan calon penerima beasiswa

DIPA, mahasiswa pada umumnya kadung salah persepsi. Mereka menganggap BEM/SMF mempunyai otoritas dan bisa membantu melo-loskan calon penerima beasiswa DIPA. Seperti diakui Ina, samaran, ia mengaku bersedia dita-wari salah satu oknum mahasiswa yang men-gaku dekat dengan BEM karena percaya BEM bisa meloloskan.

Ya, sejak BEM/SMF dilibatkan dalam proses perekrutan calon penerima beasiswa DIPA, fenomena “jual-beli” atau “percaloan” beasiswa lazim terjadi di masing-masing fakultas. Menja-murnya praktik tersebut berangkat dari premis, BEM/SMF bisa meloloskan calon penerima beasiswa DIPA. Padahal, seperti ditegaskan PD III Fakultas Ridwan, BEM/SMF tidak bisa menyeleksi, terlebih menentukan siapa yang bakal lolos menerima beasiswa.

“Putusan penerima beasiswa bukan we-wenang mereka.”

Kondisi demikian tak terjadi di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga. Di STAIN Salatiga, seperti diutarakan Pembantu Ketua (Puket) III STAIN Salatiga, tidak ada kasus jual-beli beasiswa yang dilakukan oknum ma-hasiswa. Ini terjadi lantaran birokrasi tak meli-batkan mahasiswa atau BEM/SMF dalam pros-es perekrutan calon penerima beasiswa. Meski, ia tak menampik, lembaga kemahasiswaan di STAIN diperbolehkan untuk mengusulkan calon penerima beasiswa. Namun, mereka tak terlibat secara langsung dalam rapat proses pe-nentuan calon penerima beasiswa.

“Tak ada kasus calo beasiswa di sini oleh oknum mahasiswa.”, kata Agus

Agus Waluyo menambahkan, tim penyele-ksi beasiswa terdiri dari tiga unsur birokrasi. Yaitu, Unit Pembinaan Kemahasiswaan (UPK), Kepala Program Pendidikan (Kaprodi), dan Pembantu Ketua(Puket) III.

“Mahasiswa tidak dilibatkan.” Kebijakan itu diambil dengan pertimban-

gan, pelibatan BEM/SMF dalam proses seleksi dapat menimbulkan kecemburuan mahasiswa lain karena keputusan mereka yang cenderung subjektif.

“Jika sebatas mengusulkan, tidak masalah”, ujar Agus

Di lain pihak, mantan Pembantu Rektor (PR) III IAIN Walisongo, Erfan Soebahar men-gatakan, pelibatan mahasiswa dalam seleksi beasiswa tidak sepenuhnya salah. Dengan cata-tan, pelibatan itu untuk memperlancar jalannya proses seleksi. Bukan malah sebaliknya.

“Fakultas kadang butuh informasi mereka.”Untuk menjamin kelancaran proses seleksi,

Erfan mengimbau agar mekanisme perekrutan beasiswa di tiap fakultas dilakukan secara serag-am. Semua pimpinan fakultas, sarannya, perlu melakukan rapat terlebih dahulu untuk men-gambil kebijakan terkait rekrutmen agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.n

Mahasiswa tidak dilibatkan dalam proses

seleksi untuk meng-hindari kecemburuan

mahasiswa lain

Agus WaluyoPuket III STAIN Salatiga

BEASISWA REKOMENDASI

Page 4: Mengungkap mafia beasiswa

� AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

LAPORAN UTAMA

Sebelumnya, Ina (bukan nama sebe-narnya) memang sudah mengajukan permohonan beasiswa Dana Isian Pengajuan Anggaran (DIPA). Semua

persyaratan sudah Ia kumpulkan di kantor Fakultas Syari’ah.

Tak berselang lama dari hari pengumpu-lan itu, Ina menerima pesan singkat melalui hand phone pribadinya. “Ina, mau beasiswa nggak?” kata Ina, sambil mengingat-ingat isi

pesan yang sudah lama ia hapus itu.Merasa tergiur Ina menanggapi pesan itu.

Tawar-menawar pun terjadi. Sampai pada keputusan terakhir, Ina menyetujui sebuah perjanjian, “Kalau nama saya keluar, uang yang saya terima akan dipotong 50 persen,” jelasnya.

Di rumah kosnya, Ina melanjutkan cerita ihwal perjokian beasiswa itu. “Sebenarnya saya sempat mundur di tengah jalan, tapi

nama saya telanjur didaftarkan,” katanya.Mahasiswa semester akhir Fakultas

Syari’ah itu mengaku ditawari beasiswa oleh seorang oknum mahasiswa. Orang itu, kata Ina, berjanji akan meloloskan namanya ke daftar penerima beasiswa DIPA. “Waktu itu saya sudah mengikuti tes seleksi, tiba-tiba saya ditawari seorang teman, Suci (bu-kan nama sebenarnya),” ungkapnya ketika ditemui Amanat usai menjalani ujian mu-naqosah skripsi.

Tibalah saatnya pengumuman peneri-ma beasiswa. Beberapa lembar kertas berisi nama-nama penerima beasiswa dipampang di papan informasi kantor Dekanat Fakultas Syari’ah, nama Ina tercantum. Dan benar, setelah uang beasiswa cair, Ina diminta meny-erahkan sebagian uangnya.

“Saya menyerahkan hampir 50 persen beasiswa DIPA kepada Suci,” aku Ina kepada Amanat.

Bukan Ina seorang yang mendapat ta-waran itu. Kepada beberapa mahasiswa Tar-biyah yang menjadi teman dekatnya, Suci memberi tawaran serupa. Satu persatu te-mannya dihubungi via SMS. Tawaran meng-giurkan itu pun dengan cepat menyebar ke teman-teman dekat Suci yang lain.

Meski ada syarat bakal dipotong sekian persen, tak sedikit yang dengan suka rela menyerahkan identitasnya untuk didaftarkan beasiswa. Teman-teman satu kosnya pun tu-rut mendaftarkan diri.

Suci tidak sendirian. Ia hanya orang ke dua. Di atasnya masih ada Lepi. Kepada Lepi lah semua identitas yang diperoleh Suci itu dikumpulkan.

Daftar nama mahasiswa yang dikantongi Suci lantas disetorkan ke Lepi. Salah satu sumber Amanat menceritakan, Suci hanya menyetorkan nama dan NIM kepada Lepi. Setelah itu prosesnya bagaimana Ia tak tahu.

Sayangnya, Suci memilih bungkam ketika dihubungi Amanat. Ia menolak ketika disoal beasiswa.

Mengungkap Mafia Beasiswa

Mafia Beasiswa DIPA 2012 berkeliaran.

Modusnya, mengatas namakan organisasi intra dan

kemahasiswaan.

MAFIA BEASISWA

Oleh Hammidun Nafi’ Syifauddin dan Abdul Arif

Beberapa mahasiswa melihat pengumuman beasiswa

Seleksi beasiswa DIPA di masing-masing fakultas berbeda-beda. Menurut anda bagaimana?

Saya lebih cenderung rekrutmennya itu diatur secara seragam. Para Pembantu Dekan (PD) III perlu merapat untuk mengambil kebijakan agar antara fakultas satu dengan fakultas yang lain tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Dengan adanya rapat dan kesepakatan bersama, dimungkinkan cara rekrutmennya relatif lebih seragam, kompak, dan mudah diikuti oleh banyak pihak, dan lebih terbuka.

Kalau dulu bagaimana?Dulu, kami rapat dulu untuk

menyiapkan seleksi beasiswa DIPA. Dalam rapat itu kami mengambil langkah yang disepakati bersama untuk diterapkan di fakultas, di bawah koordinasi para PD III. Jadi, kalau ada masalah jawabannya hampir sepaham dan sepakat. Pada porsi-porsi tertentu, tokoh-tokoh mahasiswa kita beri porsi. Mereka juga memikirkan kampus ini dan kebanyakan bukan tergolong orang kaya.

Apakah porsi itu bisa disebut “jatah”?

Saya pertimbangkan dengan betul siapa yang berdedikasi kuat dalam kampus ini untuk diberi perhatian yang cukup. Tanpa mereka kampus ini tidak,

dinamik tidak sejuk. Maka mereka layak diberi perhatian.

Mahasiswa dilibatkan dalam seleksi, tepatkah?

Terkadang, pimpinan fakultas ingin seleksi beasiswa berjalan dengan lancar. Biasanya mereka bertanya kepada mahasiswa. Menurut saya, tidak sepenuhya keliru. Bisa jadi hal itu untuk memperlancar. Karena yang bisa langsung turun ke mahasiswa itu kan mahasiswa sendiri.

Bagaimana dengan oknum yang melakukan perjokian?

Itu seharusnya tidak boleh terjadi di dunia kemahasiswaan. Ada baiknya dirapatkan sajalah bagaimana langkah terbaiknya mahasiswa yang seperti itu. Itu oknum kan namanya. Dirapatkan pemecahannya. Langkah-langkah seperti itu perlu dilaporkan, itu merugikan orang lain.Ya diambil tindakan saja kalau seperti itu. Jelas-jelas merugikan. Beasiswa kan hak. Mahasiswa berprestasi dan tidak mampu layak mendapat beasiswa.

Bagaimana dengan pemotongan beasiswa oleh oknum?

Kalau dia dengan kemauan sendiri kepada mahasiswa atau siapa karena ucapan terima kasihnya, itu lain. Tapi

kalau dipaksa menyumbang itu tidak benar. Sejak dulu tidak ada seperti itu. Tapi di luar dugaan kok ada juga mafianya. Ada baiknya dilaporkan. Semacam pelanggaran disiplin. Mahasiswa bisa terlibat tapi secara terbatas. Agar bisa lebih terbuka seperti yang kita harapkan. Prosesnya diketahui banyak mahasiswa. Potong memotong tergantung kesepakatan juga. Kalau fifty-fifty tidak boleh. Sekedar sedekah itu layak, kalau motongnya tinggi itu ilegal. Di organisasi sudah ada dana tersendiri.

Lalu, bagaimana idealnya?Beasiswa itu dijadikan wahana untuk

membantu mahasiswa dalam rangka memenuhi kebutuhan studinya. Dan itu dilakukan rekrutmen secara bijak dan seimbang. Sehingga mahasiswa mendapat beasiswa yang wajar. Bagi tokoh mahasiswa jangan ditinggal. Mereka juga punya hak untuk mendapat beasiswa. Mahasiswa yang lain juga punya hak. Dan tidak ada iming-iming yang mengarahkan dipotong sekian persen. Tindakan seperti ini kurang bagus. Seharusnya diarahkan pada hal berisi kejujuran, tanggung jawab, dan santun. Ada kesan merata antara satu mahasiswa dengan yang lain.n

Abdul Arif

n Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag.

Mantan Pembantu Rektor (PR) III IAIN Walisongo

Perlu Pemerataan

Page 5: Mengungkap mafia beasiswa

�AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

sambil bekerja. Kosnya jauh dari kampus dan jalan kaki karena kurang mampu membayar transport.

“Kalau saya yang menentukan pantas atau tidaknya, kan saya tidak tahu. Maka, mahasiswa yang menjadi sumber informasi,” tegasnya.

Arif melanjutkan, perwakilan mahasiswa dalam rapat penentuan itu adalah ketua BEM, SMF, HMJ dan UKM.

Di sinilah rupanya celah yang mereka manfaatkan, memasukkan nama-nama yang mereka kenali ke dalam “posisi aman”. Sebagaimana pengakuan AD, salah satu ma-hasiswa Siyasah Jinayah (SJ) angkatan 2009 yang enggan disebutkan identitasnya. Malam ketika seleksi berlangsung, ia menerima pe-

LAPORAN UTAMA

Apakah di STAIN Salatiga ada beasiswa DIPA?

Seperti Perguruan Tinggi lain di bawah naungan Kememtrian Agama (Kemenag), STAIN Salatiga juga ada beasiswa DIPA dari Kemenag. Jatah untuk STAIN setiap tahunnya disesuaikan dengan kuota mahasiswa.

Apa saja syarat mengajukan beasiswa DIPA?

Seperti yang telah menjadi syarat umum, Syarat pengajuan beasiswa DIPA STAIN Salatiga adalah mengumpulkan surat keterangan miskin ,Indeks Prestasi Komulatif (IPK) minimal 3,0, fotokopi HSS dan kartu registrasi. Namun yang menjadi prioritas adalah mahasiswa yang benar-benar miskin dengan mencantumkan surat keterangan miskin dan juga tingkat keseringan mendapat beasiswa, karena memang benar-benar miskin dan membutuhkan.

Bagaimana proses seleksi yang ada di STAIN Salatiga?

Proses seleksi yang ada di STAIN Salatiga ada beberapa tahap. Diantaranya adalah sosialisasi. Pengumuman

pendaftaran beasiswa DIPA disebarkan kepada mahasiswa. Sekitar setengah bulan mahasiswa bisa mendaftarkan diri ke Unit Pembinaan Kemahasiswaan (UPK). Mahasiswa yang terdaftar kemudian diseleksi. Nama-nama yang lolos diumumkan sekaligus diserahkan ke bendahara dan diusulkan Surat Keputusan (SK). Selanjutnya bendahara membuat form tanda tangan beasiswa.

Mahasiswa bisa mengisikan identitasnya pada form tanda tangan tersebut yang kemudian akan crosscheck daftar nama sesuai dengan rekening. Kemudian data yang telah fix dikirimkan ke Kemenag dan uang dapat langsung cair ke rekening masing-masing. Dan yang terakhir adalah mahasiswa penerima beasiswa menandatangani form tanda tangan sebagai bukti terima.

Apakah seleksi beasiswa DIPA STAINSalatiga melibatkan mahasiswa (BEM)?

Proses seleksi beasiswa DIPA STAIN Salatiga tidak melibatkan mahasiswa. Yang terlibat dalam penyeleksian adalah Unit Pembinaan Kemahasiswaan (UPK), Kepala Program Pendidikan (Kaprodi),

dan Pembantu Ketua (Puket) III

Bagaimana jika proses seleksi beasiswa yang melibatkan mahasiswa (BEM)?

Kalau hanya sebatas mengusulkan saja tidak masalah. Jika mahasiswa ikut andil dalam tahap penyeleksian akhir (finishing) dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan dari pihak mahasiswa lain karena itu subyektif. Jadi semisal mahasiswa hanya sebatas mengusulkan calon penerima beasiswa dengan berbagai pertimbangan yang ada tidak masalah. Namun keputusan akhir tetap berada di tangan tim penyeleksi.

Apa harapan dengan pengadaan beasiswa DIPA?

Besar harapan, dengan adanya dana bantuan seperti DIPA, mahasiswa yang terhambat faktor finansial dapat meneruskan proses pendidikannya dengan semestinya, dan beasiswa itu bisa dimanfaatkan denga sebaik-baiknya.n

Akhmad Baihaqi Arsyad

n H. Agus Waluyo, M. Ag

Pembantu Ketua (Puket) III STAIN Salatiga

Amanat pun mencoba menelusuri ke-beradaan Lepi. Melalui teman sekelasnya, Amanat berhasil mendapatkan nomor hand-phone-nya. Rabu (4/7) Amanat mencoba menghubungi Lepi via SMS. Namun sayang, ternyata Lepi sedang menjalani cuti semester ini.

“Saya tidak di Semarang. Saya ambil cuti di Kalimantan sekarang,” jawabnya lewat SMS. Lepi pun tak menjawab ketika dihubun-gi Amanat lagi.

Kepada teman dekat dan para korbannya, Lepi mengaku, ia memiliki teman dekat di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah yang ikut terlibat dalam penyelek-sian beasiswa DIPA tahun ini.

Penelusuran berlanjut. Amanat mencoba mengklarifikasikan itu kepada BEM Fakultas Tarbiyah. Setelah dilacak, ternyata sosok Lepi tidak memiliki hubungan sama sekali den-gan anggota BEM. Hal itu diakui oleh ketua BEM Fakultas Tarbiyah, Ahmad Hakim. “Saya tidak mengenal dia,” tegasnya ketika ditemui Amanat di kantin Tarbiyah, Senin (9/7).

Mereka yang TerlibatPapan informasi Fakultas Syari’ah itu tak

lagi padat. Beberapa mahasiswa berlalu den-gan raut kecewa setelah membaca beberapa nama yang kurang memenuhi kriteria, na-mun tetap lolos dan masuk dalam daftar penerima beasiswa.

Cukup mengejutkan, mengingat proses seleksi yang dilakukan di Fakultas Syari’ah lebih rumit dibanding fakultas lain. Dari se-mula, mengumpulkan persyaratan, berlan-jut pada tes bahasa bagi yang lolos verifikasi, baru kemudian rapat penentuan penerima beasiswa.

Pembantu Dekan (PD) III Fakultas Sya-riah Ahmad Arif Budiman menjelaskan, pendaftar yang lolos verifikasi berjumlah 631 mahasiswa. Dengan standar kelulusan 120 ternyata jumlah mahasiswa yang lolos masih melebihi kuota.

“Rangkingnya sudah disodorkan oleh fakultas, tapi saya ingin tahu kehidupan yang sebenarnya dari mahasiwa,” kata Arif.

Menurutnya, informasi yang lebih detil terkait calon penerima beasiswa ada pada mahasiswa. Ia mencontohkan, ada seorang mahasiswa yang tak lagi menggantungkan biaya kuliah kepada orang tuanya. Ia kuliah

san dari ketua HMJ SJ bahwa namanya telah dimasukkan “posisi aman”. Tak hanya itu, ket-ua HMJ itu pun meminta sebagian dari uang beasiswa yang ia terima.

Kepada AD ketua HMJ SJ mengaku akan membagi-bagikan uang potongan yang di-kumpulkan itu kepada mahasiswa yang ni-lainya bagus tapi tidak lolos seleksi beasiswa. “Salah satu yang menerima adalah AN” ka-tanya kepada AD. Namun kepada Amanat, AN Mengaku tak menerima apapun.

Tak jauh beda, Andi (bukan nama sebe-narnya) juga mengaku ditawari oleh ketua BEM Syari’ah. Andi memang mendapat beasiswa, namun ketika diminta potongan, Andi menolak. Ketua BEM Syari’ah Fu’adi mengaku, potongan itu akan dimasukkan kas BEM.

Lain Syari’ah lain Tarbiyah. Ditemui di kantornya PD III Fakultas Tarbiyah, Ridwan menegaskan, pelibatan mahasiswa yang dalam hal ini diwakili ketua BEM dan SMF, tak lebih hanya sebagai peserta rapat penen-tuan syarat dan lain sebagainya. Keputusan siapa yang menerima atau tidak bukanlah wewenang mereka.

Senada Ridwan, Kasubag Kemahasiswaan Fakultas Tarbiyah Munif mengatakan, suara ketua BEM hanya sekadar rekomendasi. Arti-nya nama-nama yang diusulkan ketua BEM masih dipertimbangkan tim seleksi. Nama yang diusulkan pun tidak banyak. “Ada sekitar lima,” jelas Munif.

Ridwan yakin, seleksi beasiswa Fakul-tas Tarbiyah untuk tahun ini bersih. Proses-nya sangat ketat dan tidak mungkin terjadi penyelewengan. Namun keyakinan ridwan itu tertepis oleh ulah beberapa oknum yang diaktori mahasiswa.

Salah satu mahasiswai Fakultas Tarbiyah angkatan 2009 yang meminta identitasnya di-rahasiakan, mengaku ditawari beasiswa oleh oknum dari BEM Tarbiyah dengan potongan 50 persen. Namun berapa persen yang diberi-kan kepada oknum tersebut, ia tak mau mem-beri keterangan pasti.

Ketua BEM Ahmad Hakim saat dimintai keterangan mengaku, untuk beasiswa dirinya tidak pernah memberikan tawaran kepada siapapun selain pengurus lembaga intra. “Ka-lau ada yang menawari seperti itu, berarti di luar rekomendasi lembaga intra,” terangnya.

Ia juga mengatakan, pengurus intra yang ditawari beasiswa harus mematuhi persyara-tan. Syaratnya, lanjut Hakim, dipotong sekian persen untuk organisasi intra. “Masing-mas-ing organisasi intra punya kebijakan. Kalau di BEM fifty-fifty,” katanya.

Disoal merebaknya oknum mengatasna-makan organisasi intra yang menawari bea-siswa dengan syarat dipotong sekian persen, Ridwan turut berkomentar. Menurutnya, tak ada satupun yang bisa membantu mahasiswa untuk mendapat beasiswa kecuali dirinya sendiri. “Jika seorang mahasiswa mendapat beasiswa, itu karena dia memang pantas da-pat beasiswa, bukan karena siapapun!” tegas-nya.

Jika ada seorang oknum menawari bea-siswa mengatasnamakan siapapun, itu perlu diwaspadai. “Bisa saja itu oknum tak bertang-gung jawab,” kata Ridwan.

Berbagai modus“Mau Beasiswa nggak? nanti akan saya

usahakan. Saya punya link di birokrasi. Tapi nanti saya potong 50 persen.”

Begitulah isi SMS yang disebar oleh pelaku melalui hand phone pribadinya. melalui SMS itu, pelaku mengaku memiliki hubungan dengan birokrasi atau pihak yang menyeleksi beasiswa.

Bukan hanya itu, SMS dengan nada meminta potongan dengan mengatas na-makan kemahasiswaan pun pernah terjadi.

Kasubag Kemahasiswaan IAIN Moch Mu-haemin mengaku pernah menerima SMS dari mahasiswa. Ia menceritakan, ada seorang oknum meminta potongan beasiswa kepada mahasiswa dengan mengatas namakan ke-mahasiswaan. Untungnya, mahasiswa yang dimintai potongan itu langsung menghubun-gi Muhaemin untuk klarifikasi. Dengan tegas Muhaemin mengelak.

Mendengar hal itu Pembantu Rektor (PR) II IAIN Ruswan sangat menyayangkan. Na-mun hal itu sudah terlanjur terjadi.

Untuk ke depan, Ruswan menegaskan, seleksi beasiswa ke depan akan lebih baik. Jika ditemukan masih ada oknum yang meminta potongan beasiswa akan diberi sanksi tegas.

“Itu termasuk tindakan amoral!” tegas Ruswan. n

Jika seorang mahasiswa mendapat beasiswa,

itu karena dia memang pantas dapat beasiswa,

bukan karena siapapun.

RidwanPD III Fakultas Tarbiyah

Suara ketua BEM hanya sekadar rekomen-

dasi. Nama-nama yang diusulkan ketua BEM

masih dipertimbangkan tim seleksi

MunifKasubag Kemahasiswaan

Fakultas Tarbiyah

Tak Libatkan Mahasiswa

MAFIA BEASISWA

Page 6: Mengungkap mafia beasiswa

� AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

Memilih perguruan tinggi bagi Ratih Karim Astuti bukan asal daftar. Di era teknologi saat ini, tak sulit bagi Ratih untuk

mencari informasi tentang perguruan tinggi lewat media internet. Apalagi, tiap perguruan tinggi memiliki alamat website yang bisa diakses bebas. Satu persatu website perguruan tinggi ia telusuri untuk mendapatkan segala informasi tentang perguruan tinggi terkait. Tak terkecuali website IAIN Walisongo. Namun, alangkah kecewanya, tak seperti website PT lain, website IAIN tak memberinya informasi lengkap yang ia butuhkan.

“Website IAIN informasinya terbatas,” ketusnya.

Dalam Website itu, lanjut Ratih, infor-masi hanya bersifat global tanpa penjelasan spesifik. Tak puas dengan informasi di web-site, Ratih lantas mencoba menghubungi nomor telepon pada profil yang disediakan. Alangkah kagetnya, ternyata, nomor tele-pon yang terhubung bukan nomor telepon IAIN Walisongo Semarang.

Hal senada disampaikan Hidayah, ma-hasiswa Tasawuf Psikoterapi angkatan 2010 turut menyampaikan pengalamannya saat awal mencari informasi tentang IAIN di website. Menurutnya, website IAIN memb-ingungkan, terutama bagi calon mahasiswa baru karena keterbatasan informasi yang ada. Padahal, sebagai media publikasi kam-pus, website semestinya memberikan infor-masi lengkap dan menarik untuk menjaring calon mahasiswa baru.

“Anak SLTA cari tahu IAIN lewat web-site,” katanya.

Saat dikonfirmasi ke Pusat Komputer (Puskom) IAIN Walisongo, ketua Puskom Cahyo mengelak terkait tanggung jawab terhadap konten Website IAIN. Menurutnya, Puskom hanya memfasilitasi atau sebatas sebagai admin yang menyediakan software saja. Masalah pengelolaan dan penyediaan informasi diserahkan sepenuhnya kepada Hubungan Masyarakat (Humas) dan opera-tor masing-pmasing fakultas.

Minim Sosialisasi

Sebenarnya, website IAIN bisa digu-nakan untuk banyak hal dan kepentin-gan terutama bagi mahasiswa. Misalnya, sebagaimana diterangkan Fauzin, kepala Humas IAIN Walisongo, mahasiswa bisa membuka alamat email dengan domain walisongo.ac.id dengan terlebih dahulu melakukan konfirmasi ke Puskom.

Sayangnya, informasi terkait itu, tak banyak mahasiswa tahu. Nur Syaifi mis-alnya, mahasiswa yang sekaligus asisten Laboratorium Matematika dan senantiasa membuka website IAIN justru mengaku ti-dak tahu terkait informasi tersebut.

“Saya punya alamat [email protected], tapi tidak tahu cara meng-gunakannya,” katanya.

Yang dialami Syaifi tak jauh beda dengan beberapa mahasiswa lain. Syaifi menenga-rai, ketidaktahuannya dan mahasiswa lain tentang pemanfaatan website karena min-im sosialisasi. Jika mahasiswa mengetahui informasi terkait itu, menurutnya, maha-siswa akan bisa memanfaatkannya.

“Mahasiswa harus mendapat informasi

terkait fasilitas email, fungsi, sekaligus cara menggunakannya,” tegasnya.

Tak Maksimal

Di beberapa perguruan tinggi lain, web-site kampus benar-benar dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan civi-tas akademika dan kampus. Website Uni-versitas Muria Kudus (UMK) misalnya, di samping informasi yang tersedia lengkap, pengelola website mampu mendorong ma-hasiswa untuk turut memanfaatkan website kampus.

Antara lain, mahasiswa diberi ruang khusus untuk turut menyuplai tulisan, baik berbentuk berita maupun artikel ke dalam ruang yang telah disediakan. Untuk memo-tivasi mahasiswa, kampus tak segan mem-berikan apresiasi atau honor terhadap ma-hasiswa yang tulisannya berhasil dimuat. Cara itu, menurut staf Humas UMK Farih Lidinillah terbukti bisa menggaet maha-siswa untuk lebih giat memanfaatkan web-site kampus.

“Website bayar, sayang jika tak diman-faatkan,” tambahnya.

Berbeda dengan website IAIN, tidak ada ruang mahasiswa untuk ikut memanfaat-kan website, tak luput dosen. Hanya ada ko-lom artikel yang disediakan khusus untuk rektor.

Muhammad Harun, salah satu maha-siswa yang aktif mengirim berita di website UMK mengamini hal tersebut. Ia mengaku puas dengan kinerja pengelola website kampusnya sebab berhasil mendorong ma-hasiswa untuk mamanfaatkan website. Ma-hasiswa, menurut Harun, juga diuntungkan

dengan optimalisasi website karena dapat membuat web secara gratis dengan domain website UMK. Ia mencontohkan, organisasi kampus yang ia pimpin berhasil membuat web dengan domain website kampus.

“Kami buat secara gratis,” terang Pe-mimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Peka itu.

Minim Isi

“Maaf sementara data belum ada. Silah-kan kembali ke beranda”. Itu adalah kutipan keterangan yang muncul saat mahasiswa membuka Profil-Agenda dalam website IAIN. Ya, beberapa konten di website IAIN memang masih kosong. Sebagian besar konten hanya berisi nama lembaga dan struktur organisasi. Untuk konten fakultas misalnya, sebagian besar hanya berisi visi misi, struktur birokrasi fakultas. Informasi penting lain misalnya, tentang spesifikasi Program Studi (Prodi), atau unit kegiatan fakultas dan mahasiswa tidak ada.

Rupanya, pemanfaatan website IAIN juga kurang mendapatkan respon fakultas. Terkait hal itu, dekan Fakultas Ushulud-din, Nasihun Amin, justru menyayangkan minimnya koordinasi website dari Puskom. Ushuluddin sebelumnya, menujrut Nasi-hun, sudah menunggu realisasi website dari Puskom untuk fakultas. Namun, hal tersebut tak kunjung direalisasikan. Tak sabar, Ushuludin selanjutnya memutuskan untuk membuat blog sendiri pada Desem-ber 2011.

Terkait hal itu, Cahyo mengakui selama ini fakultas belum bisa memanfaatkan web-site yang ada di IAIN Walisongo secara op-timal.

Selama ini, konten website IAIN yang di up-date oleh Humas sebatas berita. Pa-dahal fungsi website sebenarnya sangat beragam. Terutama, menyangkut fungsi publikasi. Pasalnya, selama ini, IAIN ma-sih kerap menggunakan papan informasi manual untuk memberikan pengumuman penting bagi mahasiswa. Misalnya, pengu-muman beasiswa, jadwal akademik, peng-umuman terkait Kuliah Kerja Nyata (KKN), jadwal munaqosah, dan kegiatan akademik lainnya yang dibutuhkan mahasiswa.

Salah seorang mahasiswi Nia menyay-angkan, banyak informasi akademik masih dipublikasikan melaui majalah dinding. Pa-dahal, informasi yang ditempel di majalah dinding tidak bisa diakses seluruh maha-siswa dan mudah copot. Seluruh pengu-muman atau informasi yang berhubungan dengan kepentingan mahasiswa semes-tinya dipublikasikan lewat website IAIN. Mengingat, ia mudah diakses dan praktis. Apalagi, menurutnya, mahasiswa kini tidak pernah lepas dari media internet.

“Pengumuman lewat online lebih prak-tis dan efektif.”

Menyikapi hal itu, Cahyo berencana un-tuk lebih mengoptimalkan pemanfaatkan website IAIN. Antara lain, membuat ruang khusus untuk tiap fakultas, dan membentuk server pada setiap Program Studi (Prodi). Sehingga, harapnya, seluruh kegiatan dan informasi fakultas dapat terpublikasi me-lalui website yang disediakan untuk mas-ing-masing fakultas.n

Siti Yuliyanti

WEBSITE IAIN TAK MAKSIMAL

LAPORAN PENDUKUNG WEBSITE

Website IAIN minim informasi. Beberapa isi menu kosong, bahkan ada file yang rusak. Pengelolaan dipertanyakan.

Salah satu menu bar website IAIN yanng masihkosong.

Page 7: Mengungkap mafia beasiswa

�AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

transparansi agar seleksi beasiswa berjalan transparan dan objektif.

Sayangnya, fakta di lapangan tak sesuai dengan harapan. Otoritas BEM dan SMF sebagai partisipan dalam proses seleksi beasiswa justru disalahgunakan sejumlah oknum untuk melakukan “penyelewengan”. Beasiswa diperjualbelikan dengan modus mahasiswa diiming-imingi beasiswa dan diminta menyetorkan sebagian beasiswa kepada oknum jika lolos seleksi.

Dalam hal ini BEM dan SMF tidak men-jalankan fungsinya dengan baik. Jika terus dibiarkan lambat laun perjokian beasiswa akan menjadi budaya baru di kampus.

BEM dan SMF sebagai wakil dari maha-siswa harus berani mengawal, mengontrol segala urusan yang berkaitan dengan ma-hasiswa dan birokrasi, tak terkecuali dalam proses seleksi beasiswa. Jangan sampai lembaga yang sudah dipercaya membawa amanat mahasiswa malah menjadi antek para oknum.

Jika suatu saat terbukti ada lembaga kemahasiswaan yang ikut serta “memper-mainkan” beasiswa, maka jangan harap nama baik dan integritas lembaga tersebut disanjung mahasiswa. Malah jika perlu dibubarkan saja.n

nOPINI MAHASISWA

Tiap semester kucuran dana beasiswa DIPA terus mengalir di masing-mas-

ing fakultas (Tarbiyah, Syari’ah, Dakwah, dan Ushuluddin). Tak jarang pada masa orientasi pengenalan akademik (OPAK), beasiswa dijadikan sebagai iming-iming bagi mahasiswa baru.

Sudah hal yang wajar mahasiswa baru mendapat beasiswa. Di Fakultas Dakwah misalnya, setiap mahasiswa baru pasti mendapatkan beasiswa DIPA. Hal ini su-dah digembar-gemborkan pihak birokra-si. Namun, pada semester selanjutnya banyak mahasiswa yang kecewa karena tidak mendapatkan beasiswa DIPA.

Hasil seleksi yang diumumkan seringkali tidak sesuai dengan kriteria persyaratan penerima beasiswa. Bah-kan ada beberapa mahasiswa yang rutin mendapatkan beasiswa tiap semester. Padahal mahasiswa lain ada yang belum pernah mendapatkanya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan be-sar, bagaimana proses seleksi beasiswa? Kenapa penerima beasiswa hanya orang itu-itu saja? Di sisi lain masih banyak ma-hasiswa yang lebih berhak.Nepotisme

Bukan rahasia lagi, beasiswa DIPA dijadikan proyek oleh oknum-oknum tertentu. Umumnya orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pihak birokrat. Mereka lebih gampang mengutil beasiswa tersebut. Akibatnya proses seleksi sarat dengan nepotisme.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) se-bagai wakil mahasiswa, yang dilibatkan dalam proses seleksi diharapkan mam-pu menyampaikan aspirasi mahasiswa. Keterlibatan mereka sebagai bentuk

Nepotisme Seleksi BeasiswaOleh Muhammad Khoiruddin

Beasiswa merupakan bentuk “penghar-gaan” yang diberikan oleh pemerintah

atau instansi untuk mahasiswa. Biasanya untuk mahasiswa yang tergolong berpresta-si, aktivis, atau tidak mampu. Maka dalam rekrutmen penerima beasiswa perlu seleksi yang bijak. Artinya, seleksi dilakukan secara objektif tanpa intervensi pihak manapun.

Di kampus kita, seleksi penerima bea-siswa belum bisa dikatakan bijak. Hal itu nampak dari campur tangan mahasiswa dalam seleksi. Pelibatan mahasiswa (BEM dan SMF) dalam proses seleksi beasiswa, cukup rentan terhadap penyelewengan.

Sebagai dampak, momentum rekrut-men beasiswa seringkali disalahgunakan oleh seorang oknum yang mengaku terlibat menyeleksi. Modus lainnya, ia mengaku dekat dengan seorang yang terlibat dalam penyeleksian.

Hemat penulis, pelibatan mahasiswa dalam seleksi beasiswa kurang tepat. Bagaimana tidak, mahasiswa yang seha-rusnya menjadi objek beasiswa justru ikut menyeleksi. Objektivitasnya perlu diper-tanyakan!

Maka, sebelum timbul hal-hal yang ti-dak diinginkan, perlu adanya format baru dalam seleksi beasiswa. Terus terang, penu-lis tidak sepakat jika mahasiswa dilibatkan dalam penyeleksian. Sebab, dengan terlibat dalam penyeleksian, mahasiswa berpotensi untuk berbuat curang. Bisa saja teman-te-man dekatnya saja yang direkomendasi-kan.

Format baru seleksi beasiswa menun-tut untuk segera dilakukan. Sudah saatnya beasiswa terulurkan ke tangan-tangan ma-hasiswa yang membutuhkan. Tanpa cam-pur tangan mahasiswa, birokrasi tentu bisa menentukan siapa yang berhak.

Format Baru Seleksi BeasiswaOleh Hamidulloh Ibda

Setidaknya, ada beberapa upaya yang perlu dilakukan birokrasi agar seleksi bea-siswa terhindar kecurangan. Pertama, pa-nitia seleksi hendaknya murni dari pihak birokrasi kampus. Hendaknya birokrasi membentuk tim khusus yang dipercaya dan mampu bertugas secara objektif. Kedua, mengklarifikasi calon penerima beasiswa. Apakah dia benar-benar me-menuhi persyaratan sebagai penerima beasiswa atau tidak. Tak jarang kita temui penerima beasiswa adalah mahasiswa yang tergolong dari keluarga mampu.

Ketiga, mengalokasikan 50% uang beasiswa untuk melunasi SPP. Meski men-jadi hak mahasiswa penerima beasiswa, tentu hal ini lebih bermanfaat. Sebab tak jarang kita temui kawan-kawan kita yang mendapat beasiswa justru dipakai untuk hal-hal yang tidak penting. Untuk mem-beli hp, jalan-jalan, mentraktir teman dan sebagainya. Artinya, distribusi beasiswa belum mengena sasaran. Begitu!n

Hamidulloh Ibda, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo Semarang.

Muhammad Khoiruddin, Aktif di LPM MISSI IAIN Walisongo

Semarang.

Zaman sak iki, orang bersikap jujur,

berperilaku bersih, memperjuangkan anti korupsi kolusi dan nepotisme dianggap seperti orang antik,

wong aneh, dianggap kuno, ketinggalan zaman, bahkan banyak yang mencurigai sampai berimbas pada pengucilan atau pelibasan.

Kita lihat Munir sang pembela dan aktifis hak asasi manusia (HAM), Baha-rudin Lopa yang meninggal terbunuh, Antasari Azhar sampai masuk penjara, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dilengserkan dari jabatan presiden dan yang lainnya.

Kita patut mengacungi empat jempol buat KPK, ketua KPK Abraham Samad, meski rencana pembuatan gedung baru terhambat, ia tetap berjuang melawan Bedil Bareskrim dalam mengungkap Ir-jend Djoko Susilo sebagai tersangka ka-sus pengadaan simulasi pembuatan SIM di Korlantas. Sekarang, sudah saatnya cicak melibas buaya.

Ini ceritaku tentang orang antik, saya punya saudara pegawai negeri di kota Ukir. sebut saja dia Hamid, ia sering kali dimutasi oleh pimpinannya, hanya kare-na ia tidak mau menerima uang yang dia tidak tau sumbernya. Pertama menjadi

Antikpegawai negeri ia ditempatkan di kepega-waian Pemerintah daerah. Karena sikapnya yang sering bertanya jika diberi uang yang tidak jelas juntrungannya. Ia lalu dipindah ke Kecamatan, selang beberapa bulan di situ, dia juga dimutasi ke Dinas Pencatatan Sipil, selain itu dia banyak dicurigai rekan kerjanya dan selalu diperlalukan dengan sikap yang tidak wajar.

Menjadi orang jujur lha kok malah sering dimutasi, tidak dipertahankan dedikasi dan kejujurannya, apa enggak aneh itu? Orang baik malah menjadi hantu dalam istana kerajaan kabupaten. Katanya, kalo tidak di-mutasi dia bisa menjadi duri dalam daging, bisa berbahaya dalam proses kelancaran proyek-proyek yang telah ditangani.

Memang benar, menjadi orang jujur merupakan beban moral yang sangat ma-hal harganya. Banyak resiko buruk yang harus ditanggung dalam mempertahankan kejujuran. Membuat barang menjadi ba-rang antik memerlukan waktu yang sangat lama serta perjuangan keras. Dan menjadi orang baik itu memang susah.

Dunia kok semakin gila, kalo enggak korupsi, enggak selingkuh, enggak bertato atau tindikan enggak keren enggak gaul, bahkan makhluk aneh atau antik. Ataukah ini jamane jaman edan kalau enggak ikut edan malah lucu? Memang, jujur itu sudah menjadi barang langka dan mahal.

Kalo sudah demikian, orang akan lupa

surga dan neraka. Lha wong Allah sudah menyuruh manusia untuk berbuat baik dan memperbanyak pahala, lah kok milih yang berbuat dosa. Surga dan neraka ibarat dua keping mata uang, sulit membedakannya, misalnya sudah berbuat amal saja kalo di-buntuti dengan ria takabur bisa jadi dosa kok. Jadi memang ada persoalan pilihan dalam hidup ini, karena surga dan neraka memang dibuat oleh Tuhan, untuk manu-sia terserah mereka.

Nanti kalau ternyata masuk neraka, ting-gal bilang saja “Salahmu dewe, lha wong dis-uruh ngaji kok malah belok ke lokalisasi, lha wong diamanati jadi pemimpin kok malah korupsi, lha wong ngurusi anak yatim kok malah duwite dipangan dewe, lha wong di-suruh poso kok ngombe Frestea karo udud jedas jedus di kamar mandi, bareng muleh omah melu-melu buko.

Opo maneh, sekarang kita sedang melaksanakan puasa Ramadhan yang penuh rahmat maghfiroh dan dijauhkan dari api neraka. Semoga kita mendapatkan semua yang dijanjikan Allah sebagai orang Muttaqin, Kita hanya bisa mengajak ke ja-lan yang dianjurkan dalam al-Quran. Kalo ngajak, yang tidak mau diajak ya jangan dipaksa. Rasulullah Muhammad saja me-galami hal yang sama, ketika pamannya ti-dak mau masuk Islam sampai wafat.

Seperti lagunya Roma Irama, “Mau ma-buk-mabukan eh harus pakai uang, mau

haram-haraman eh harus pake uang. Ternyata jalan ke neraka mahal harganya, walaupun mahal anehnya banyak yang suka”. Lha lalu siapa yang paling dulu ma-suk surga? Nggak usah dijawab. Tapi kalau mau masuk surga ya mbok ngajak-ngajak yang lain jangan egois gitu dech.

Kita contoh Abu Nawas yang bijaksa-na, ketika mau masuk surga menyatakan “Duh Gusti, aku ini kelihatannya nggak pantas menjadi penghuni surga Firdaus tetapi aku juga tidak kuat kalau dimasuk-kan dalam neraka Jahim, maka berikanlah kesempatan taubat dan ampuni dosaku karena engkau maha pengampun segala dosa. Hal itu merupakan respon blakasu-ta wong jujur tur nduweni rumongso, Abu Nawas waktu itu juga dianggap orang an-tik pada zamannya. Semoga bermanfaat!

Wallahu a’lam bissawab.n

Akhmad Shoim,Alumni SKM “AMANAT” IAIN

Walisongo Semarang.

nKOLOM

Page 8: Mengungkap mafia beasiswa

8 AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

Oleh Jamil

KAJIAN

Perempuan yang menjadi kepala keluarga dalam rumah tangga se-benarnya mempunyai peran yang sama layaknya laki-laki. Sayang-

nya, peran dan hak perempuan sebagai kepala keluarga kurang diakui oleh sebagi-an masyarakat dan tidak mendapatkan per-lindungan pemerintah.

Nunuk Murniati, dalam buku Getar Gender (2004) menjelaskan bahwa ke-luarga adalah sebuah organisasi yang di-dalamya terdiri atas seorang suami, seorang istri, baik dengan anak maupun tidak, dan mungkin masih ada orang lain lagi.

Sebagai sebuah organisasi, tiap orang menempati posisi masing-masing dan ber-sinergi. Sehingga, roda organisasi itu bisa bergerak dan berfungsi. Tetapi, dalam or-ganisasi rumah tangga bisa berjalan tidak normal jika di satu sisi dominan pada sisi yang lain. Bagaimana mungkin, dalam satu keluarga, yang seharusnya saling mengisi, malah terjadi ketidakadilan, penindasan dan pemerkosaan terhadap hak-hak mere-ka.

Penindasan tersebut terutama dialami oleh perempuan yang menjadi kepala ke-luarga. Dalam buku Sangkan Paran Gender (1997) Irwan Abdullah mengatakan, ke-beradaan perempuan sebagai kepala kelu-arga memang belum diakui oleh sebagian masyarakat. Bahkan juga oleh undang-un-dang yang ada. Sebaliknya, justru menda-patkan stigma negatif di masyarakat. Dari situ dapat di katakan bahwa perhatian ter-hadap perempuan sebagai kepala keluarga hampir dikatakan tidak ada.

Perempuan sebagai kepala keluarga tidak mendapatkan penghargan se-bagaimana laki-laki. Padahal, dalam se-buah keluarga, perempuan tersebutlah yang mengurusi dan mencukupi kebutu-han keluarganya. Namun, laki-laki tetap dijadikan sebagai kepala keluarga.

Banyak kasus menunjukkan, sebuah keluarga berantakan justru karena tuntu-tan agar laki-laki menjadi kepala keluarga. Hal itu terjadi lantaran, pada kenyataannya tidak semua laki-laki mampu menjadi pem-

Melindungi Perempuan Kepala Keluarga

impin, maupun mengorganisasikan sebuah keluarga.

Perempuan sebagai kepala keluarga adalah perempuan yang karena berbagai alasan berperan sebagai kepala keluarga dan bertanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Jika melihat defin-isi tersebut, maka di antara para perempuan itu, termasuk istri sebagai pencari nafkah karena suami sakit menahun, atau cacat tu-buh maupun mental, dan karena ditinggal oleh suami.

Perempuan kepala keluarga dulu terk-enal dengan sebutan “janda”, tapi sejalan dengan waktu, kata tersebut diubah men-jadi “perempuan kepala keluarga”. Terden-gar lebih provokatif dan ideologis (Nunuk munrniati, Getar gender:2004)

Tentunya, perubahan sebutan itu di-maksudkan untuk menempatkan janda pada peran dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dalam rumah tangganya. Bukan sebagai perempuan dengan stereo-type masyarakat yang beraneka ragam.

Data yang ditunjukan Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah keluar-ga di Indonesia yang di kepalai perempuan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 saja terdapat 14% dari jumlah 65 juta keluarga di Indonesia yang di kepalai oleh perempuan.Kurang Perhatian

Memang tak mudah bagi perempuan untuk menjadi kepala keluarga. Pasalnya, perempuan yang menjadi kepala keluarga harus mengurusi keluarga secara total.

Ada tiga faktor yang menyebabkan per-empuan menjadi kepala keluarga. Pertama, faktor penceraian. Penceraian di dalam rumah tangga sering menyebabkan perem-puan harus menjadi kepala keluarga (single parent). Lantaran pasca di ceraikan, bias-anya ia ditinggal bersama anak-anaknya.

Kedua, perempuan yang ditinggal merantau oleh suaminya. Sang suami cenderung tak memperhatikan kondisi ke-luarga saat berada di perantauan. Kondisi itu memaksa istri mandiri untuk mencuku-pi kebutuhan sehari-hari, termasuk kebutu-

han pendidikan anak. Hal itu menyebabkan perempuan lebih memilih berumah tangga sendiri tanpa mengandalkan suami.

Ketiga, perempuan yang suaminya lemah secara fisik atau mental. Akibatnya, suami tidak mampu mengelola rumah tangga dan mencukupi kebutuhan keluar-ganya. Jalan yang ditempuh, mau tak mau, perempuanlah yang harus mencari nafkah. Bagi perempuan seperti ini, sudah barang tentu harus menafkahi kebutuhan suami dan anak-anaknya.

Dalam kontruksi masyarakat, menurut Irwan abdullah, lelaki rumah tangga yang penganguran dianggap sebuah cacat. Lebih parah, jika justru perempuanlah yang bek-erja, mempunyai penghasilan cukup, dan menjadi tiang keluarga. Anak-anak tentu akan merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

Sayangnya, kenyataan semacam itu tak mendapatkan perhatian dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan UU negara kita. Hal itu dapat dilihat pada UU Perkawinan RI No. 1/1974, Pasal 31 Ayat 3 yang menyebutkan, suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Jika diamati, UU tersebut ternyata masih terkungkung pada budaya patri-arki yang melakukan pembagian peran antara suami dan istri secara kaku.

Tidak diakuinya perempuan sebagai kepala keluarga mengakibatkan tidak adan-ya pembagian kerja yang seimbang diantara perempuan sebagai kepala keluarga den-gan anggota keluarganya. Akibatnya, per-empuan mempunyai peran ganda dalam rumah tangganya. Yaitu mengurus rumah sekaligus mencari nafkah.

Memang tak di pungkiri, di Indonesia sudah ada UU yang mengatur tentang ru-mah tangga, yaitu UU perkawinan. Akan tetapi dalam UU perkawinan tersebut, ban-yak sekali pasal yang secara jelas dan tegas mendukung pembagian peran berdasar-kan jenis kelamin yang berkembang dalam masyarakat.

Peraturan mengenai peran tersebut, pa-da dasarnya sangat merugikan pihak perem-

puan. Lantaran banyak kasus perempuan yang menjadi korban. Misal, keretakan ru-mah tangga yang disebabkan kekerasan yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Pada prinsipnya, fenomena terse-but disebabkan tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan. Kaji Ulang

Untuk itu, nasib perempuan yang tidak mendapatkan perlakuan adil di dalam ru-mah tangga harus dilindungi dan diper-hatikan terutama oleh pemerintah. Upaya perlindungan terhadap perempuan tentun-ya dengan mengkaji UU yang sudah ada.

Bagaimanapun, hukumlah yang dapat memberikan keadilan terhadap perem-puan. Sebab hukum merupakan institusi yang menyerap banyak aspek kehidupan perempuan, sekaligus memperkuat nor-ma patriarki, dan bias rasial dan kultural.

Adanya UU Perkawinan Pasal 31 ayat 3 yang menyebutkan suami sebagai kepala rumah tangga, dan istri adalah ibu rumah tangga perlu dikaji ulang. Sebab, jika tidak ditelaah kembali, kedepan kaum perem-puan akan semakin termarginalkan.

Jika sudah dikaji ulang, maka ada ke-mungkinan bahwa perempuan yang sela-ma ini mencukupi kebutuhan keluarganya tanpa suami akan terjaga, terlindungi dan diakui di masyarakat.

Dengan demikian, hak-hak kesetaraan dan keadilan akan dimiliki oleh setiap per-empuan. Sehingga, nasib perempuan se-bagai kepala keluarga akan terlindungi dan tidak mendapatkan stigma negatif oleh se-bagian masyarakat.

Proses perubahan dalam keluarga, menurut William, dapat dilakukan ketika seseorang mengalami perubahan cara pandang secara radikal, serta menga-lami revolusi dalam dirinya. Perubahan itu mesti dilakukan oleh suami, istri dan anak-anaknya, atau siapapun yang terlibat dalam keluarga.n

Di era kesetaraan saat ini, eksploitasi terhadap perempuan justru semakin akut. Fenomena perempuan kepala keluarga misalnya. Perempuan yang secara fisik lemah justru dibebani tanggung jawab ganda. Mengurus rumah, sekaligus pencari

nafkah untuk kebutuhan keluarga.

Page 9: Mengungkap mafia beasiswa

�AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

Pendidikan di Genggam BirokrasiOleh Khoirul Muzakki

Kebijakan pemerintah menyang-kut pendidikan sering kali men-gundang kontroversi. Misalnya, beberapa waktu lalu, Pendidikan

tinggi (PT) kembali terusik dengan isu Ran-cangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang kini telah disahkan. Bebera-pa pasal di antaranya dianggap memasung kebebasan PT dalam menyelenggarakan pendidikan. Di lain pihak, kasus tersebut kian mengukuhkan kekuasaan pemerintah dalam mengatur kebijakan pendidikan ter-lampau jauh.

Idealisme pemerintah memang kerap tak sejalan dengan kultur masyarakat dan realitas pendidikan yang sebenarnya. Seh-ingga, keputusan yang dihasilkan lebih ber-nada pemaksaan atau “pemasungan”. Tam-paknya, kita perlu merumuskan kembali, seberapa jauh peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Apakah masyarakat tak memiliki wewenang untuk turut berpartisipasi dalam penye-lenggaraan pendidikan sesuai dengan ciri khas dan kebudayaan masing-masing?

Pendidikan memang tak bisa seluruhnya dilepaskan dari unsur kekuasaan. Keduan-ya saling mengisi, saling menopang, dalam proses transformasi kebudayaan. Proses pendidikan hanya dapat berjalan jika ada kekuasaan yang mengatur. Dengan catatan, kekuasaan tersebut sesuai dengan arah dari proses pendidikan yang sebenarnya.

Proses pendidikan yang sebenarnya itu, seperti dikemukakan Paulo Freire, sebagai proses pembebasan dengan jalan mem-berikan kesadaran kepada peserta didik akan kemampuan kemandiriannya, serta memberikan kebebasan kepada mereka untuk menjadi individu.

Proses pendidikan yang berlangsung di Indonesia saat ini tampaknya belum mengarah pada proses pendidikan yang sebenarnya. Alih-alih membebaskan, sis-tem pendidikan yang ada justru menjadi belenggu bagi pengembangan kreativitas peserta didik. Negara belum menempatkan pendidikan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).

H.A.R Tilaar membedakan kekuasaan dalam pendidikan yang bersifat transfor-matif dengan kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Dalam kekuasaan trans-formatif, proses hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi dengan subjek lain-nya. Orientasi kekuasaan bersifat advokatif.

Sebaliknya, dalam kekuasaan transmi-tif, terjadi proses transmisi yang diinginkan penguasa terhadap yang dikuasai. Orien-tasi kekuasaan hanyalah bersifat legitimatif. Proses pendidikan berdasarkan kekuasaan transmitif akan menghasilkan proses do-mestifikasi (penjinakan) yang pada akhirn-ya mengarah pada stupidifikasi (pembodo-han).

Terjadi proses pembunuhan kreativi-tas peserta didik karena mereka dijadikan sebagai robot yang sekadar menerima transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Proses demostifikasi dalam pendidikan disebut juga imperialisme pendidikan dan kekuasaan. Peserta didik hanya menjadi subjek eksploitasi suatu kekuasaan di luar pendidikan. (Pendidikan dan Kekuasaan : 2003)

Proses demostifikasi dalam pendidikan dapat kita lihat misalnya dalam efek pem-berlakuan kebijakan Ujian Nasional (UN) pada tingkat sekolah. Kebijakan yang di-

WACANA

maksudkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan justru menjadi momok karena pelaksanaannya yang memaksakan. Tidak ada ruang kebebasan bagi sekolah, teru-tama siswa untuk berkreasi sesuai dengan minat dan potensi yang dimiliki.

Pendidikan Birokratis

Pendidikan yang bertumpu pada kekua-saan negara sama halnya pendidikan birok-ratis. Warisan model pendidikan birokratis yang berkembang pada era Orde Baru masih

lestari hingga kini. Di alam demokrasi yang semestinya kekuasaan birokrasi dipersem-pit, justru kian meluas dalam menginter-vensi sistem pendidikan yang mengarah pada rigiditas. Dalam praktiknya, birokrasi pusat cenderung menekankan proses pen-didikan secara klasikal dan bersifat mekan-istis.

Berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin meluas dan kaku menjadikan “keseragaman” sebagai tujuan. Pedoman

dan dasar bertindak bagi pendidik misal-nya, bukan mengacu pada profesionalitas, melainkan berdasarkan instruksi, juklas dan juknis dari atasan. Akibatnya, terben-tuk manusia-manusia rigid dengan mental-itas “juklak-juknis” yang siap diberlakukan secara seragam.

Kebijakan pendidikan birokratis terbuk-ti tidak berpihak pada masyarakat karena cenderung menekankan pada target stabili-

tas dan pertumbuhan, bukan pemerataan. Stabilitas berarti penekanan pada pendeka-tan politis keamanan, pertumbuhan men-garahkan kemampuan untuk mengejar target kuantitatif sebagai parameter keber-hasilan. Untuk memenuhi ambisi tersebut, pemerintah mesti mengontrol kekuatan dan perkembangan yang ada di masyarakat.

Akibatnya, kebijakan yang diambil bersi-fat sentralistis. Pendekatan seperti itu mem-bawa dampak negatif terhadap proses pen-didikan dan masyarakat umum. Pendidikan

birokratis hanya akan menghasilkan proses dehumanisasi, mencipta manusia penurut dan tak berani mengambil keputusan, serta kemandekan berpikir. (Pendidikan untuk Demokrasi, 2001)

Negara dengan sistem birokrasi yang kuat memang cenderung melemahkan masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan. Kuntowidjoyo (1991) mengi-dentifikasi masyarakat dimana birokrasi memiliki peranan besar dalam masyarakat

birokratis. Namun, birokrasi yang kuat itu sejatinya bukan mengabdi untuk kepent-ingan masyarakat, sebaliknya, masyarakat yang harus mengabdi pada birokrasi. Bi-rokrasi semacam ini sebenarnya hanya be-rambisi untuk merengkuh kekuasaan, dan akan melahirkan kebudayaan birokratis, kebudayaan yang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Pemerintah semestinya mengembang-

kan pendidikan yang mengembangkan prinsip demokrasi. Mendorong setiap war-ga untuk berpikir kritis, bersikap demok-ratis, dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan secara rasional untuk ikut me-nentukan arah pendidikan.

Batas Kuasa

Kekuasaan dalam pendidikan memberi-kan kesempatan individu untuk menemu-kan kebebasannya. Dari kebebasan itulah ia dibimbing pada kemampuan sendiri untuk mengambil keputusan berdasarkan pilihan bebasnya, dan secara bersama-sama mem-bangun masyarakat yang lebih baik.

Dengan demikian, pendidikan semesti-nya diorientasikan sebagai proses pengem-bangan demokrasi. Kesadaran kritis sese-orang dipertimbangkan, bukan pemaksaan untuk berbuat sesuai permintaan sumber kekuasaan yang ada. Pendidikan sejatinya proses sosialisasi nilai-nilai demokrasi un-tuk mendukung terwujudnya masyarakat demokratis.

Kekuasaan dalam pendidikan bukan kekuasaan absolut. Ia mengenal batas. Batasan itu bukan pada pengertian pencar-ian dasar legitimatif yang mengatur, sep-erti pada batas kekuasaan pemerintahan yang diatur oleh hukum. Melainkan, dari segi pemaknaan kekuasaan itu sendiri bagi pengembangan kebebasan manusia. Keter-batasan kekuasaan dalam pendidikan se-jatinya terletak pada makna kemerdekaan seorang individu.

Manusia pada hakikatnya dikaruniai kemampuan berbeda-beda yang men-jadikannya sebagai pribadi unik. Dalam ke-unikannya itu manusia justru menemukan kebebasannya untuk mengembangkan po-tensi yang ada dalam dirinya. Proses pen-didikan yang sebenarnya dengan demikian mengakui keterbatasan dan perbedaan yang melekat pada individu.

Kekuasaan negara dalam pendidikan terbatas pada penentuan rambu-rambu umum dalam penyelenggaraan pendidikan. Selebihnya memberikan kebebasan penuh kepada masyarakat untuk menyelenggar-akan pendidikannya sendiri sesuai dengan ciri khasnya masing-masing. Inilah yang disebut otonomisasi pendidikan.

Campur tangan pemerintah tentunya tetap ada dalam manajemen pendidikan, namun batas kekuasaannya tidak boleh bertentangan dengan HAM. Jika kebijakan pemerintah dalam pendidikan melanggar prinsip tersebut, berarti kekuasaan yang dijalankan telah melampaui batas. Negara bukan lagi sebagai partner kekuasaan yang memberikan kesempatan pada warga ne-garanya untuk berkembang. Melainkan diktator yang menggunakan kedigdayaan-nya untuk menindas. n

Idealisme pemerintah memang kerap tak sejalan dengan kultur masyarakat dan realitas pendidikan yang sebenarnya.

Sehingga, keputusan yang dihasilkan lebih bernada pemaksaan atau “pemasungan”.

Page 10: Mengungkap mafia beasiswa

10 AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

Pelibatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Senat Mahasiswa Fakultas dalam proses seleksi beasiswa DIPA justru menimbulkan masalah. Mulanya, kebija-

kan itu memang untuk memberikan ruang terhadap maha-siswa yang diwakili BEM dan SMF untuk turut berpartisipasi dalam proses seleksi penerimaan beasiswa. Sekaligus, sebagai bentuk transparasi birokrasi untuk menjamin proses sele-ksi berjalan secara adil dan objektif. Sesuai fungsinya, kedua lembaga kemahasiswaan itu memang wajib mengontrol dan mengawal kebijakan birokrasi, termasuk dalam proses seleksi beasiswa. Jika fungsi itu dilaksanakan betul, besar kemungki-nan, distribusi beasiswa akan tepat sasaran karena sejak dari proses terus dikawal.

Namun, target itu melenceng jauh dan berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Nyatanya, distribusi beasiswa masih jauh dari sasaran. Beasiswa belum menyentuh mahasiswa yang benar-benar membutuhkan. Fenomena paling kentara, banyak mahasiswa dengan Indeks Prestasi Akademik (IPK) tinggi, lagi miskin, selalu gagal dalam seleksi beasiswa DIPA. Di sisi lain, mahasiswa lain dengan IPK rendah, bukan kate-gori miskin, hanya saja aktivis, hampir selalu mendapatkan beasiswa saban tahun. Ada beberapa indikasi terkait fenom-ena tersebut. Pertama, patokan kriteria mahasiswa penerima beasiswa masing-masing fakultas belum jelas. Kedua, ada in-dikasi kecurangan dalam proses seleksi beasiswa.

Indikasi kedua tampaknya lebih kuat mengingat kriteria mahasiswa penerima beasiswa sebenarnya sudah jelas ber-dasar undang-undang. Yaitu, berprestasi dan miskin. Jika distribusi tak tepat sasaran, inti masalahnya bisa dipastikan ada dalam proses seleksi. Semakin mengerucut, pihak paling bertanggungjawab dalam carut marut seleksi beasiswa adalah tim penyeleksi, sebagai pemegang kunci, yang memiliki otori-tas penuh untuk memutuskan siapa yang berhak mendap-atkan beasiswa.

Persoalannya, adakah jaminan tim seleksi beasiswa terse-but bersih, bersikap adil dan objektif terhadap mahasiswa tanpa pandang bulu?

Masalah kian semrawut saat BEM dan SMF diikutkan dalam proses seleksi. Secara struktural, mereka memang mewakili mahasiswa. Namun, secara fungsional, belum tentu mereka benar-benar mewakili dan mengayomi kepentingan mahasiswa jamak. Bukan kepentingan individu atau kelom-pok.

Sebab, logikanya, bagaimanapun, mereka adalah bagian dari mahasiswa yang sama-sama memiliki hak dan kepent-ingan untuk mendapatkan beasiswa. Mestinya, mereka ikut menjadi objek yang ikut diseleksi, bukan malah diberi ke-wenangan untuk turut menyeleksi. Karena bisa dipastikan akan berpihak.

Efek paling parah dari pelibatan tersebut yang kini dirasa-kan adalah maraknya aksi “percaloan” beasiswa. Pemberian wewenang BEM dan SMF dalam proses seleksi dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan penyelewengan. Beasiswa diperjualbelikan, atau dibisniskan. Modusnya cukup cer-dik, mahasiswa diiming-imingi beasiswa dan diminta untuk menyetorkan sebagian beasiswa kepada oknum jika lolos se-leksi. Kenyataannya, banyak mahasiswa yang tertarik bujukan tersebut. Sebab di tingkat hilir, mahasiswa kadung percaya, bahwa BEM dan SMF punya otoritas untuk meloloskan atau menggagalkan mereka dalam proses seleksi beasiswa. Asum-sinya, lebih baik lolos beasiswa meski anggaran beasiswa ha-rus dipangkas, ketimbang tidak dapat sama sekali. Meskipun, sebenarnya, otoritas penuh untuk meloloskan beasiswa bu-kan pada kendali mereka.

Selama BEM dan SMF masih dilibatkan dalam proses se-leksi beasiswa, praktik “calo” beasiswa tampaknya akan tetap lestari. Korban dari praktik tersebut tentu mahasiswa, sebab seleksi beasiswa berjalan tidak fair dan menyimpang dari tu-juan beasiswa itu sendiri.

Pola seleksi beasiswa mesti dibenahi. Beberapa opsi un-tuk menghentikan praktik calo beasiswa antara lain. Per-tama, BEM dan SMF tak perlu dilibatkan dalam proses sele-ksi beasiswa. Sebab pelibatan tersebut terbukti mengundang praktik percaloan beasiswa. Kedua, BEM dan SMF tetap dili-batkan, namun sebatas menyaksikan dan mengawal proses seleksi, tanpa boleh mengusulkan, apalagi ikut memutuskan. Bisakah?n

n TAJUK

“Proyek” Beasiswa DIPA

Mengenal Ideologi MadrasahOleh Aji Sofanudin

ARTIKEL

Secara etimologi kata “Ma-drasah” berasal dari bahasa Arab dari akar kata darasa.

Madrasah merupakan zharaf makan atau bentuk “keterangan tempat” yang diartikan sebagai tempat belajar, atau tempat untuk memberikan pelajaran. Dari akar kata darasa juga bisa diturunkan kata midras yang mempunyai arti, buku yang dipelajari, atau tem-pat belajar. Kata al-midras juga diartikan sebagai rumah untuk mempelajari kitab Taurat.

A.L.Tibawi dan Mehdi Nako-steen, mengatakan, madrasah (bahasa Arab) merujuk pada lem-baga pendidikan tinggi yang luas di dunia Islam klasik pra-modern. Artinya, secara istilah, madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa Indo-nesia. Para peneliti sejarah pen-didikan Islam menulis kata terse-but secara bervariasi misalnya, schule atau hochschule (Jerman), school, college atau academy (Ing-gris). Nakosteen menerjemahkan madrasah dengan kata university atau the institution of higher learn-ing.

Dalam praktek kesehar-ian kita, kata madrasah merujuk pada dua pengertian. Pertama, madrasah diniyah (Madin) ya-kni madrasah yang didirikan se-bagai lembaga pendidikan yang semata-mata untuk mendalami agama, atau biasa disebut ma-drasah diniyah salafiyah. Kegiatan pembelajaran biasanya dilakukan pada sore hari. Di dalam kes-eharian ada yang menyebutnya sekolah arab. Kedua, madrasah yang didirikan tidak hanya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, tapi juga memasukkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-se-kolah. Dalam pengertian sekarang madrasah ini dikenal dengan seb-utan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Undang-undang mengartikan madrasah sebagai sekolah umum dengan ciri khas Islam. Madrasah dalam pengertian yang kedua inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Kebanyakan status madrasah di Indonesia adalah swasta. Han-ya sebagian kecil yang berstatus negeri. Madrasah swasta keban-yakan dikelola oleh lembaga atau organisasi keagamaan tertentu, misalnya NU, Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Nahdlatul Wa-thon, dan sebagainya. Masing-masing madrasah yang dikelola oleh organisasi yang berbeda akan memberikan ‘cita rasa’ yang ber-beda. Rasa keagamaan berbeda karena perbedaan paham keaga-maan tertentu.

Dulu, menurut Harun Nasu-tion (1986), paham keagamaan Islam itu terdiri atas: Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Syiah, Ahl-ussunah Waljamaah, Qodariah, Jabariah. Warna-warni paham keagamaan tersebut sedikit ban-yak masih mewarnai kehidupan kita, tidak terkecuali dalam ling-

kup madrasah. Secara sederhana, pada madrasah berkembang em-pat varian ideologi, yaitu varian ideologi tradisionalis, reformis, salafi, dan nasionalis agama.

Pertama, ideologi tradisiona-lis. Pengikut ideologi tradisionalis adalah orang-orang yang sangat menghormati tradisi, khususnya tradisi ulama-ulama terdahulu. Tradisionalis di sini bukan ber-makna peyoratif dalam arti anti modern, tidak profesional, atau istilah negatif lainnya. Ideologi tradisionalis merupakan paham keagamaan yang mensemaikan paham ahl sunnah wal jamaah.

Bentuk madrasah ini mem-berikan atribut secara eksplisit menggunakan NU ataupun Ma’arif. Beberapa madrasah (MI/MTs/MA) secara langsung menyebutkan Madrasah Ma’arif ataupun Madrasah NU. Madrasah ini juga bisa menyebut dengan atribut-atribut lain misalnya Sul-tan Fatah, Arrosyidin, dan lain se-bagainya. Esensinya, di madrasah ini diajarkan paham ahl sunnah wal jamaah dalam kurikulum for-malnya. Pelajaran aswaja menjadi penting dan sentral dalam aktivi-tas pembelajaran.

Selain itu, bentuk partisi-pasi masyarakat dalam bentuk madrasah tradisionalis ini lebih pada bentuk kesadaran masyar-akat. Biasanya, dalam madrasah ini dikembangkan bentuk-bentuk infak harian, bulanan, dan sebag-inya. Selain itu, pada madrasah ini dikembangkan tradisi istighosah dan mujahadah. Kegiatan mu-jahadah banyak dilakukan pada madrasah ini minimal satu bulan sekali yang melibatkan orang tua wali dan masyarakat di lingkungan madrasah. Idealisme madrasah model ini adalah fungsi madrasah sebagai pencetak ulama.

Kedua, ideologi reformis. Madrasah dengan ideologi re-formis adalah madrasah yang mengumandangkan pembaha-ruan dalam bidang pendidikan. Modernisme pendidikan kencang disuarakan dengan memberikan penekananan pada ilmu-ilmu umum. Selain itu, manajemen modern menjadi ciri utama pengelolaan madrasah model ini. Pemanfaatan teknologi informasi menjadi sesuatu yang diunggul-kan.

Pada ideologi ini dikembang-kan pentingnya tajdid dan pem-baharuan pemikiran Islam. Bu-daya yang dikembangkan dalam madrasah ini adalah penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab.

Penguasaan kedua bahasa terse-but menjadi sentral kegiatan dalam proses pembelajaran. Se-cara materi akademik, ada tam-bahan mata pelajaran keislaman yang khas dengan ideologi re-formis. Biasanya madrasah model ini berafilisasi ke Muhammadi-yah dan yayasan lain yang seja-lan dengan model ini. Madrasah Assalam Surakarta maupun Ma-drasah yang dikembangkan pada pesantren Gontor lebih dekat dengan ideologi reformis. Selain bahasa, aspek hafalan al-Qur’an juga menjadi sentral dan penting pada madrasah ini.

Ketiga, ideologi salafi. Ma-drasah yang mengembangkan ideologi ini adalah madrasah yang umumnya berafiliasi ke salah satu partai politik tertentu (baca PKS). Model madrasah ini sejatinya menekankan pada pela-jaran umum dan pelajaran agama sebagai komplementer. Artinya, prestasi-prestasi umum menjadi perhatian utama. Nilai-nilai aga-ma lebih ditekankan pada aplika-si/praktek, daripada pengetahuan agama. Model salafi menekankan perilaku taat beribadah.

Madrasah yang menekankan ideologi salafi murni biasanya su-lit ditemukan. Model ini biasanya tidak menyebutkan nama identitas tertentu, namun kerap kali meng-gunakan istilah ‘terpadu’. Ideologi ini sejatinya lebih banyak muncul pada SD Islam Terpadu (IT), atau SMP IT, karena pada dasarnya kurikulum SD IT itu sama persis dengan madrasah. Bedanya, SD IT dibawah Kemendikbud semen-tara madrasah berada di bawah Kementerian Agama. Namun, dari sisi isi kurikulum sama persis. Ke-unggulan madrasah terpadu bias-anya pada percepatan pemban-gunan gedung atau sarana dan prasarana yang umumnya sangat menonjol (megah).

Keempat, ideologi nasionalis-agama. Madrasah yang berstatus negeri pada umumnya bersifat netral terhadap beragam ideologi yang berkembang di masyarakat. Madrasah negeri tidak punya be-ban ideologis untuk menyemaikan salah satu paham keagamaan ter-tentu. Madrasah negeri biasanya tergantung di lingkungan mana madrasah tersebut berdiri. Lokasi madrasah menjadi penentu war-na keagamaan suatu madrasah. Selain itu, pribadi guru-guru lah yang sangat dominan mengajar-kan keislaman pada madrasah negeri.

Meskipun ada beragam ide-ologi yang dikembangkan pada madrasah, sejatinya seluruh ma-drasah mengajarkan satu paham Islam yakni Islam Rahmatan Lil Alamin. Tidak ada satupun ma-drasah yang mengajarkan kek-erasan, radikalisme, dan teroris-me dalam kurikulumnya. Seluruh madrasah mengajarkan penting-nya ibadah, baik ibadah mahdoh ataupun ghairu mahdah, serta akhlak mulia.n

Aji SofanudinPeneliti Balitbang Agama

Semarang

Page 11: Mengungkap mafia beasiswa

11AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Ke-mendikbud) dalam perin-

gatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012 lalu mencanangkan “ Bangkitnya generasi Emas Indo-nesia”. Gagasan ini diusung untuk merealisasikan upaya penyiapan Generasi 2045, yakni generasi pada saat 100 tahun Indonesia merdeka. Mendikbud Moham-mad Nuh mengemukakan bahwa penyiapan generasi 2045 adalah sebuah keharusan, mengingat pada priode tahun 2010 sampai dengan 2035, bangsa Indonesia dikarunia potensi sumberdaya manusia yang luar biasa berupa populasi usia produktif yang jum-lahnya sangat luarbiasa. ( Gatra, 9 Mei 2012). Lebih lanjut, Moham-mad Nuh mengemukakan , jika kesempatan emas yang baru per-tama kalinya terjadi sejak Indone-sia merdeka ini dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka populasi usia produktif yang jum-lahnya luarbiasa tersebut, insya Allah akan menjadi bonus de-mografi ( demografhic dividend) yang sangat berharga bagi masa depan bangsa.

Gagasan atau azam ( tekad) membangun generasi emas in-donesia sebagai upaya penyia-pan generasi 2045 dalam mengisi 100 tahun Indonesia merdeka, merupakan impian dan harapan kita semua. Karena dengan adanya generasi yang berkualitas, baik fisik, mental, keterampilan dan etik akan da-pat membawa bangsa ini sejajar dengan bangsa besar lainnya di dunia. Selain itu, dengan adanya SDM yang berkualitas, maka kita akan dapat mengelola dan menata berbagai modal sosial dan potensi Sumberdaya Alam ( SDA) yang kian melimpah terse-but untuk kemakmuran dan kes-ejahteraan bersama.

Persoalan Krusial

Berbagai persoalan nampa-knya siap menghadang untuk mewujudkan generasi emas Indonesia tersebut. Dunia pen-didikan kita sampai saat ini masih bagaikan benang kusut yang belum ada titik penyelesa-iannya. Berbagai persoalan yang dimaksud antara lain;

Pertama, persoalan paradig-ma pendidikan kita. Paradigma pendidikan kita sampai saat ini belum begitu jelas arah dan filos-ofinya. Jargon pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bang-sa belum jelas implementasinya. Yang terjadi justru, pendidikan hanya untuk memenuhi selera pasar, industri, kekuasaan poli-tik dan ideologi tertentu. Mesti-nya, paradigma pendidikan kita adalah bagaimana memanu-siakan manusia Indonesia, agar

Melahirkan Generasi Emas, Mungkinkah ?

Oleh Umar Natuna

ia menjadi tuan di negerinya sendiri. Sehingga ia berdaulat dan mampu mengelola dan menikmati potensi dan modal sosial yang dianugerahkan Al-lah Swt. Dalam kenyataannya, paradigma pendidikan hanya memenuhi selara perdagangan masal, yang kian hari makin mengarah pada komersialisasi manusia itu sendiri.

Karena itu, persoalan para-digma pendidikan ini harus seg-era dituntas. Sebab dengan dasar itulah, sosok dan watak manusia emas yang akan dilahirkan itu akan dapat digambarkan. Tan-pa ini, maka akan sulit bagi kita untuk membayangkan bagaim-ana sosok manusia emas yang kita dambakan tersebut. Bukan mustahil, ia seorang ahli, pintar atau cerdas, tapi tidak memiliki jatidiri sebagai bangsa Indone-sia. Atau sebaliknya, memiliki jatidiri bangsa Indonesia, tetapi ia gagap akan teknologi dan kec-erdasan intelektual lainya. Jadi paradigma pendidikan yang kita anut sangat menentukan sosok generasi emas yang akan dila-hirkan. Makanya, pencanangan generasi emas harus diikuti den-gan pembenahan paradigma pendidikan itu terlebih dahulu. Tanpa itu itu kita akan kehilan-gan orientasi dalam implmen-tasinya.

Kedua, persoalan infrastruk-tur pendidikan. Dalam keny-ataanya masih banyak daerah yang belum memiliki infrastruk-tur pendidikan yang standar. Karenanya, akan sangat sulit jika kemudian akan dijadikan sara-na untuk melahirkan generasi emas. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) saja misalnya, kita dihadapkan dengan berb-

agai persoalan terkait infrastruk-tur. Bagaimana sekolah harus melaksanakan ujian praktik un-tuk bidang studi bahasa Inggris, Kimia, dan Fisika, jika sekolah tersebut tak memiliki sarana pendukung seperti laboratori-um bahasa, Kimia, atau Fisika. Belum persoalan lain yang sal-ing terkait, seperti ketersediaan listrik, jaringan komunikasi dan kemampuan sumberdaya tena-ga pendidik/kependidikan.

Ketiga, persoalan biaya pen-didikan. Soal biaya pendidikan juga masih menjadi kendala dalam penyiapan generasi emas indonesia. Saat ini, kita memiliki 17, 6 % penduduk miskin atau 38,4 juta dari total jumlah pen-duduk. Akibat dari kemiskinan tersebut tidak kurang 1,18 juta siswa yang putus sekolah dan 2,33 juta orang lulusan SD dan SMP yang tidak melanjutkan pendidikannya. Dengan kondisi demikian, tentu tidak mudah untuk mewujudkan generasi emas Indonesia tersebut. Karena ketiadaan biaya, semakin hari, pendidikan kita akan semakin mahal seiring dengan semakin tingginya biaya hidup.

Keempat, persoalan pemer-ataan guru. Soal ketersediaan guru untuk melaksanakan pros-es pembelajaran di kelas juga masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Sebagaim-ana dikemukan oleh Anies Bas-wedan- pengagagas indonesia mengajar ( GIM), kekurangan tenaga guru di daerah terpencil, terluar atau perbatasan menca-pai 66 %. Sedangkan kekuran-gan guru di daerah pedesaan mencapai 37 % dan perkotaan 21 %. Persoalannya, bukan tidak adanya tenaga guru, melain-

kan distribusinya tidak merata. Kini walaupun sudah ada regu-lasi bersama lima menteri ten-tang pemerataan guru, namun belum tentu akan dapat dilak-sanakan. Karena selain faktor geografis, motivasi guru, juga karena persoalan mutasi dan ro-tasi guru yang kendalinya dipe-gang oleh Bupati atau Walikota. Dalam konteks ini, belum tentu Pemerintah Daerah/ Kota mau menjalankan regulasi tersebut, karena berbenturan denggan kebijakan dan janji politik ke-tika ia mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota.

Kelima, kebijakan pen-didikan di daerah. Di era ot-onomi daerah antara kebijakan pusat seringkali tidak sejalan. Dalam konteks ini, gerakan un-tuk melahirkan generasi emas Indonesia yang digagas oleh pemerintah pusat belum tentu sejalan dengan kebijakan di daerah. Acapkali, di daerah pen-didikan hanya dijadikan komod-itas anggaran, namun realisas-inya jauh dari harapan. Kegiatan dan orientasinya hanya bersifat fisik dan seremonial. Karena itu, adalah tantangan berat un-tuk mengsinkronkan antara ke-bijakan pusat dan dearah dalam pendidikan. Tanpa ada sinkro-nisasi kebijakan dan program, maka mustahil generasi emas akan dapat dilahirkan. Karena sebagian besar persoalan pen-didikan justru berada di daerah.

Penataan

Meski demikian, impian untuk melahirkan generasi emas indonesia sebagaimana diazamkan oleh Kemendikbud Mohammad Nuh tersebut bu-kan tanpa dasar, modal dan po-

tensi. Berbagai kebijakan, modal dan potensi yang ada memang memiliki harapan untuk mela-hirkan generasi emas. Dari sisi kebijakan politik dan anggaran kita memiliki potensi untuk itu. Dengan angaran 20 % dari total anggaran yang dikucurkan tiap tahun sebenarnya sudah me-madai untuk menggerakkan in-vestasi untuk membangun gen-erasi emas tersebut.

Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana menata berbagai persoalan yang dikemukakan di atas agar lebih produktif. Persoa-lan insfrastruktur pendidikan, tinggal bagaimana menkonk-ritkan tugas-tugas pemerintah pusat dan daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih angga-ran. Demikian juga pembiayaan pendidikan, untuk beberapa daerah ada yang sudah mampu mengakomodasi pembiayaan pendidikan sampai 12 tahun. Untuk daerah-daerah yang su-dah mampu, maka fokus pemer-intah pusat adalah bagaimana meningkatkan proses pembela-jarannya, dengan meningkatkan kompetensi tenaga pendidiknya. Demikian juga soal kesenjangan distribusi guru, pemerintah pu-sat sebenarnya punya kekuatan untuk meminta Bupati dan Wa-likota untuk menerapkan regu-lasi tentang pemerataan dan distribusi guru. Sehingga per-soalan pemerataan guru dapat terjawab.

Karena itu, jika pertanyaan-nya apakah tekad untuk mela-hirkan generasi emas Indonesia dalam mengisi 100 tahun ke-merdekaan RI pada tahun 2045 mendatang dapat diwujudkan? Jawabannya adalah tentu bisa diwujudkan. Persoalannya, ting-gal bagaimana kita menata dan mengefektifkan berbagai kebi-jakan, modal sosial dan potensi yang ada agar lebih efektif dan efesien. Selain itu, bagaimana memperkuat sinergitas antara kebijakan pusat dan daerah, se-hingga tidak ada lagi tumpang tindih kebijakan dan angga-ran-yang pada akhirnya men-gakibatkan tidak produktifnya kinerja. Jika berbagai persoalan dan modal sosial yang ada dapat kita tata dan kita aktualisasikan dengan penuh optimisme, maka bukan sesuatu yang mustahil generasi emas Indonesia terse-but akan menjadi kenyataan. Semoga!!!.n

Umar Natuna, Ketua Sekolah Tinggi Agama

Islam (STAI) Natuna

ARTIKEL

Page 12: Mengungkap mafia beasiswa

1� AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

Taman kampus yang sarat manfaat ternyata belum optimal difungsikan. Kurangnya perhatian pihak birokrasi serta rendahnya kepedulian sivitas akademik terhadap lingkungan menjadi kendala untuk

menciptakan taman yang ideal.

Kondisi muka salah satu gedung fakultas syariah

Memperindah Taman Kampus

HUMANIORA TAMAN KAMPUS

Pagi jam 09.00 WIB, jadwal perkuliahan jam pertama Fakultas Syari’ah usai. Tampak, puluhan mahasiswa keluar

dari kelas langsung menuju parkiran tempat kendaraan mereka. Sebagian mahasiswa berjalan kaki meninggalkan fakultas. Salah satu di antaranya, Zubaidi, dengan raut wajah yang lelah, mahasiswa Jurusan Ahwalus Sahsiyah ia mengaku tak betah berlama-lama di fakultas.

“Cari tempat nyaman di luar,” katanya.

Kondisi serupa terjadi di lain Fakultas. Nafiul Huda misalnya. Mahasiswa fakultas Tarbiyah Nafiul Huda memilih keluar kampus saat tak ada jam kuliah. Ia lebih memilih bolak-balik tempat kos saat jam kosong ketimbang tetap berada di fakultas. Pilihan Nafiul bukan tanpa alasan. Ia mengaku tak punya pilihan lain, lantaran di fakultas tak ada tempat yang nyaman untuk rehat.

“Taman gak nyaman buat rehat,” katanya.

Nafi menyebut, banyak temannya yang mengeluhkan hal serupa.

Keberadaan taman sangat bermakna bagi sivitas akademika bukan sekadar pelengkap tata ruang. Taman, bagi sivitas akademika memiliki fungsi fleksibel. Di samping memenuhi fungsi estetis, taman dapat dimanfaatkan untuk banyak hal. Di antaranya, untuk penunjang aktivitas perkuliahan atau pembelajaran. Seperti diungkapkan mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Imam Fadholi. Ia bersama teman-temannya sering memanfaatkan taman di fakultasnya untuk kepentingan akademis.

“Kami sering berdiskusi dan rapat

di taman,” ungkapnya.Pun, sesekali, dosen mengadakan

kuliah di taman untuk menunjang pembelajaran. Seperti diungkapkan Nurbini, Pembantu Dekan II fakultas dakwah. Ia terkadang melihat beberapa dosen Fakultas Dakwah memberikan kuliah di taman. Kondisi taman yang alami dianggap bisa menyegarkan pikiran.

“Adakalanya, dosen dan mahasiswa belajar bersama di taman,” ujarnya

Sayangnya, seperti dikeluhkan Nafi, kondisi taman pada tiap fakultas di IAIN tak memenuhi standar layak dalam memberikan kenyamanan bagi sivitas akademika. Sehingga, tak banyak yang memanfaatkannya.

Taman Ideal Penciptaan taman didasarkan pada

tujuan tata ruang yang berkelanjutan. Hal itu diatur dalam pasal 3 huruf C UU nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. UU tersebut menyebutkan, penataan tata ruang diselenggarakan berdasarkan asas keberlanjutan yang mengutamakan kepada lingkungan yang hijau, subur serta untuk kepentingan generasi mendatang.

Keberadaan taman dalam konsepsi tata ruang adalah keharusan sebagai perwujudan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. UU tersebut mengamanatkan, perlunya penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan proporsi minimal 30 persen dari luas wilayah bangunan.

Penyediaan RTH sebagaimana diamanatkan UU, menurut Guru Besar Arsitektur Universitas Diponegoro, Eko Budiharjo, berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang sehat. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, kampus wajib

mendukung serta menerapkan aturan tersebut. Hal itu menurut Eko, dapat dilakukan dengan menciptakan tata ruang yang indah, serta berguna bagi masyarakat, terutama sivitas akademika. Penciptaan taman yang ideal merupakan ejawantah dari penerapan peraturan tersebut.

“Kampus perlu membuat taman yang ideal,” imbaunya.

Peraturan itu dibuat tak lain untuk mengakomodir kepentingan dan kebutuhan sivitas akademika. Mestinya, fungsi taman tak boleh diabaikan.

Lebih jauh, Eko mengatakan, RTH, atau taman mampu menjaga kesehatan sivitas akademika karena dapat menyerap serta mengolah gas berbahaya bagi kesehatan. Seperti, karbondioksida, sulfur oksida, ozon, nitrogendioksida, karbonmonoksida, dan timbal. Taman juga berfungsi sebagai filter terhadap pencemaran udara.

“Taman mampu menyaring polusi udara sehingga menyehatkan kita,” tuturnya.

Di samping untuk kesehatan, taman juga berfungsi memenuhi kebutuhan estetika sebuah tata ruang. Maka, perwujudan taman yang baik selalu diasosiasikan dengan pemandangan yang indah. Keindahan taman akan mengundang daya tarik sivitas akademika untuk memanfaatkannya. Makanya, bagi Eko, penciptaan taman yang menawan mutlak dilakukan.

“Taman menjadi seni tata ruang yang bernilai jual tinggi,” ujarnya.

Urgensi taman meniscayakan konsepsi matang. Baik dari perencanaan maupun pengelolaan. Untuk mencipta konsep tata ruang taman yang bagus, saran Eko, kampus mesti bersikap terbuka dengan berbagai pihak. Misalnya, dengan mengadakan diskusi yang melibatkan seluruh sivitas akademika, termasuk

mengundang para pakar tata ruang, untuk menghasilkan ide serta konsep taman yang ideal. Eko Budiharjo mencontohkan, untuk menghasilkan tata ruang yang ideal, Undip mensayembarakan konsep tata ruang hingga keluar kampus.

“Kampus perlu terbuka untuk mengonsep taman,” tuturnya.

TerabaikanNafi menyayangkan ketidakseriusan

birokrasi kampus dalam mengoptimalkan fungsi taman untuk kepentingan sivitas akademika.

“Taman tak bagus, fakultas kurang perhatian,” ujarnya.

Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah Abdul Wahid mengaku masih ada kesulitan dan kendala dalam pengelolaan taman. Di antaranya, ia menilai, rendahnya kepedulian mahasiswa terhadap kebersihan lingkungan membuat taman menjadi tak menarik lantaran kotor.

“Mahasiswa sering membuang sampah sembarangan,” katanya.

Hal tersebut diamini mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Irham. Ia mengaku sering menjumpai sampah berserakan di taman.

“Taman tak nyaman karena kotor,” katanya.

Selain itu, Irham menyayangkan sikap birokrasi fakultas yang dinilainya tak tanggap terhadap persoalan tersebut.

“Mestinya fakultas responsif,” tambahnya.

Persoalan kebersihan taman tak semata tanggung jawab mahasiswa. Abdul Wahid mengakui, hal tersebut juga terkait dengan minimnya jumlah tenaga kebersihan taman fakultas. Ia menilai, luas area Fakultas Tarbiyah tak sebanding dengan jumlah petugas kebersihan yang ada. Hal itu membuat pengelolaan taman tak maksimal.

“Petugas tak mencukupi.”Di sisi lain, keterbatasan dana dari

birokrasi juga menyulitkan pengelola untuk menciptakan taman yang lebih baik dan ideal. Menurut Wahid, dana kurang dari 10 juta dari fakultas tidak mencukupi untuk membuat pengadaan taman baru yang ideal, dana itu hanya sebatas perawatan taman yang ada.

“Dana dari fakultas sebatas untuk perawatan saja,” katanya. Hal itu juga diamini oleh pembantu dekan II syariah, Syaifullah, “Sementara ini pihak fakultas hanya mengalokasikan dana untuk perawatan,” tuturnya.n

Rohman Kusriyono

Page 13: Mengungkap mafia beasiswa

1�AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

Aman

at.Z

akki

Seorang mahasiswa tengah mengajar secara privat kepada seorang siswa.

Langit mendung disertai kilatan petir sore itu tak mengurungkan niat Ulya yang kala itu hendak mengajar privat. Mahasiswi

Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah ini tak mau mengecewakan anak didiknya. Dengan semangat, ia tetap menstarter motornya menuju tempat anak didiknya.

Mengajar privat bagi mahasiswa barangkali bukanlah hal baru. Menariknya, akhir-akhir ini fenomena tersebut kian semarak seiring dengan tingginya permintaan masyarakat terhadap guru privat. Dalam masyarakat perkotaan terutama, kesadaran terhadap kebutuhan pendidikan anak memaksa orang tua untuk mencari tambahan jam pelajaran di luar sekolah. Pengajaran privat bukan semata menguntungkan mahasiswa, pun bagi orang tua, karena dapat memantau perkembangan akademik anaknya secara langsung.

Jasa Bimbingan Belajar (bimbel) baik berbentuk lembaga, maupun perorangan (guru privat) pun kian merebak . Pun, mahasiswa IAIN tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kini, banyak mahasiswa IAIN memiliki kesibukan di luar kuliah dengan mengajar privat. Ulya misalnya, ia mengaku punya kesibukan mengajar privat di sela-sela kuliah. Ia memilih mengajar privat sebab pekerjaan itu mudah dikerjakan dan dijangkau oleh kemampuan mahasiswa.

“Freelance mudah, ya ngelesi.” Untuk mempermudah akses menjadi

guru privat, sebagian mahasiswa IAIN ada yang bergabung dengan lembaga Bimbel yang berdomisili di sekitar Ngalian. Lembaga Bimbel di seputar Ngalian masing-pmasing punya cara tersendiri dalam menyaring dan memberdayakan

Mengajar untuk Kemandirian

tentor. Di Genius School misalnya, seperti diungkapkan Aprin Wahyu, salah satu pengelola, lembaganya menerapkan seleksi ketat terhadap calon guru privat. Mahasiswa mesti melalui tahapan tes psikotes, tes wawancara, dan tes micro teaching sebelum diterima di Genius School.

Namun, ada juga mahasiswa yang menjadi guru privat tanpa bergabung dengan lembaga Bimbel. Mereka biasanya mendapatkan tawaran langsung dari orang tua atau teman tanpa perantara Bimbel. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, Muflikhah mengaku lebih nyaman tak bergabung dengan lembaga Bimbel, di samping tak terikat oleh lembaga, honor mengajar tak terpotong.

“Nyaman karena tak diatur-atur”Dunia ngelesi memang lebih mudah

dimasuki mahasiswa, karena untuk menjadi guru privat tak seribet menjadi guru sekolah. Pun, latar belakang pendidikan tak terlalu diperhatikan. Pun, meski identik dengan pengajaran, mengajar privat ternyata tak hanya digemari mahasiswa jurusan keguruan (tarbiyah), mahasiswa dari fakultas non keguruan pun turut serta.

Miftahul Ulya misalnya, mahasiswa jurusan Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah ini menjadi guru privat sejak setahun lalu. Meskipun tak memiliki kualifikasi keilmuan yang sesuai dengan mata pelajaran utama sekolah, seperti Matematika atau Bahasa Inggris. Ia masih tetap bisa mengajar privat. Meski terbatas pada mata pelajaran Sekolah Dasar (SD) atau privat mengaji.

“Saya ngelesi anak SD.” Melatih Kemandirian

Menjadi tentor bagi sebagian mahasiswa merupakan sarana yang menjanjikan

untuk mendapatkan uang tambahan. Untuk ukuran kerja, waktu mengajar privat terbilang singkat, yaitu antara 1-1,5 jam. Di samping itu, beban kerja dalam mengajar privat tak begitu berat. Namun, penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan singkat itu cukup menggiurkan. Dalam jangka waktu tersebut, mahasiswa dapat meraup penghasilan antara 15.000-25.000.

Hal tersebut disikapi sebagian mahasiswa untuk melatih kemandirian. Seperti dituturkan Siti Qomsatun, mahasiswi Fakultas Syari’ah ini merasa lebih mandiri usai mengajar privat. Dari hasil mengajar, ia bahkan mengaku tak lagi menggantungkan uang saku dari orang tua untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya.

“Lumayan, bisa tambah uang saku.”

Demikian halnya Eny Nur Aini, mahasiswi Fakultas Tarbiyah ini mengatakan, honor dari hasil mengajar privat dapat membantunya untuk meringankan beban orang tuanya. Semenjak mengajar privat, ia mengaku tak lagi bergantung dari orang tua.

“Saya tak lagi berharap jatah bulanan dari rumah,” Tutur Eny.

Dosen Fakultas Tarbiyah Suwahono, mengapresiasi mahasiswa yang mau mengajar privat. Sebab, ia bisa melatih mahasiswa untuk belajar hidup mandiri dan tak bergantung pada orang tua.

Arena Pembelajaran

Meski menyita waktu, aktivitas mengajar privat tak membuat mahasiswa melupakan tanggung jawab kuliah. Apalagi, waktu mengajar privat biasanya berada di luar jam perkuliahan. Justru, bagi mahasiswa, aktivitas mengajar privat bisa mendukung pengembangan akademik mahasiswa di kampus.

Seperti dituturkan dosen Jurusan Kimia Fakultas Tarbiyah, Suwahono. Ia mengaku respek dan menilai positif terhadap mahasiswa yang mau memanfaatkan waktu luangnya untuk mengajar privat. Menurutnya, mahasiswa bisa mendapatkan banyak hal positif dari aktivitas mengajar privat. Di samping melatih kemandirian, aktivitas mengajar privat dapat mendongkrak kualitas akademik mahasiswa. Itu terbukti, sambung Wahono, mereka yang mengajar privat justru memiliki prestasi akademiik yang bagus.

“Mereka yang ngelesi pandai-pandai,” jelas Wahono.

Mengajar privat bagi sebagian mahasiswa di samping memberikan keuntungan ekonomis, juga sebagai ajang pematangan akademik. Hal itu diamini Mahasiswa Jurusan Kimia Muhammad Zammi, ia merasakan banyak manfaat dari mengajar privat.Kebiasaan mengajar privat baginya dapat membangun kepercayaan diri mahasiswa sehingga tak canggung saat berhadapan dengan siswa. Hal tersebut ia buktikan sendiri saat mengikuti Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di sekolah.

“Saya lebih PD terhadap siswa.”

Lain halnya dengan Muntafiatul Ulya, mahasiswi Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah ini mengatakan, dari pengalaman mengajar privat, ia banyak mendapatkan banyak pengetahuan baru serta mengingatkan kembali materi yang dulu pernah ia terima.

“Mengajar namun sejatinya belajar,” tuturnya. n

Nur Alawiyah

HUMANIORAMENGAJAR PRIVAT

Mengajar privat seolah menjadi tren bagi mahasiswa IAIN. Motif kemandirian menjadi prioritas.

Page 14: Mengungkap mafia beasiswa

1� AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

1. Menurut anda, apakah distribusi beasiswa DIPA sudah tepat sasaran?a. Sudah b. Belum

3. Menurut anda apakah seleksi beasiswa DIPA sudah transparan?a. Sudahb. Belum

2. Setujukah anda jika sebagian kuota bea-siswa dialokasikan untuk para aktivis or-ganisasi kemahasiswaan?a. Setujub. Tidak setuju

Jajak pendapat ini diambil den-gan metode Cluster Random Sampling. Sampel yang diambil, mahasiswa semester 4 ke atas. Tingkat kepercayaan 95%.

PELIBATAN MAHASISWA TIDAK EFEKTIF

POLING BEASISWA

Seperti dihembus angin surga, ke-tika pengumuman beasiswa ber-lalu dari telinga ke telinga. Seber-kas harapan seketika muncul. Na-

mun tak lepas dari satu kenyataan bahwa antara rasa syukur dan kecewa pada akh-irnya mempunyai tingkat kemungkinan yang sama.

Namun kemudian, yang ada hanya kecewa ketika kabar yang didengar hany-alah mereka-mereka yang selalu dapat beasiswa. Kecurigaan yang muncul ke-mudian adalah, ada apa di balik seleksi beasiswa?

Apalagi dalam beberapa fakultas ma-sih ditemukan campur tangan mahasiswa yang diwakili Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan lain-lain.

Pelibatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Senat Mahasiswa Fakultas dalam proses seleksi beasiswa DIPA jus-tru menimbulkan masalah. Maksud awal-nya mungkin baik. Pelibatan mereka tak lebih untuk memberikan ruang terhadap mahasiswa. “Yang lebih tahu keadaan mahasiswa adalah mahasiswa sendiri,” kata Pembantu Dekan III Fakultas syari’ah ketika ditemui Amanat.

Langkah itu sekaligus sebagai bentuk transparansi birokrasi untuk menjamin proses seleksi berjalan secara adil dan objektif. Sesuai fungsinya, kedua lem-

baga kemahasiswaan itu memang wajib mengontrol dan mengawal kebijakan bi-rokrasi.

Namun, hal tersebut ternyata berben-turan dengan fakta di lapangan. Otoritas BEM dan SMF sebagai partisipan dalam proses seleksi beasiswa justru disalahgu-nakan sejumlah oknum untuk melakukan “penyelewengan”. Beasiswa diperjualbe-likan. Modusnya, mahasiswa diiming-im-ingi beasiswa dan diminta untuk menye-torkan sebagian beasiswa kepada oknum jika lolos seleksi. Akhirnya, hasil seleksi beasiswa diragukan objektivitasnya, tak tepat sasaran, dan rawan penyelewen-gan.

Berangkat dari itu, Surat Kabar Maha-siswa (SKM) AMANAT mengadakan jajak pendapat kepada 150 mahasiswa, efek-tifkah BEM dan SMF dilibatkan dalam proses seleksi beasiswa DIPA? Sampel di-ambil secara random dari empat fakultas.

Dimulai dari transparansi seleksi. Mayoritas mahasiswa menilai kurang transparan. Fakta itu barang kali tidak ditemui di semua fakultas. Namun di be-berapa fakultas, seperti Fakultas Dakwah dinilai kurang transparan dalam penen-tuan siapa yang berhak menerima bea-siswa DIPA. Kepada Amanat, beberapa mahasiswa mengaku namanya sudah ter-cantum dalam daftar penerima beasiswa padahal proses pendaftaran masih ber-langsung.

Terkait distribusi, tak sedikit yang mengatakan distribusi beasiswa belum tepat sasaran. Sebanyak 91% menentukan jawaban pada pilihan itu. Dan hanya 9% menjawab distribusi beasiswa sudah te-pat sasaran.

Pendapat itu wajar, mengingat pros-es seleksi yang dilakukan di beberapa fakultas seperti Fakultas Syari’ah masih melibatkan mahasiswa dalam proses seleksi. Seperti disebutkan sebelumnya, mungkin maksud pelibatan itu baik. Na-mun ternyata sebagian mahasiswa yang mewakili itu tidak benar-benar menjadi wakil bagi keseluruhan mahasiswa.

Pengkhususan kuota untuk aktivis ternyata kurang mendapat dukungan dari mayoritas mahasiswa. Sebanyak 76% condong pada pilihan tidak setuju. Sele-bihnya 26% menyetujui penjatahan untuk aktivis.

Cukup rumit memang. Di satu sisi, ak-tivis memiliki peran penting bagi kehidu-pan organisasi kampus. Di sisi lain, me-milih tidak menjadi aktivis bukan berarti tidak berkeingnan untuk aktif. Sebab se-bagian mahasiswa ada yang lebih memil-ih bekerja di waktu luang daripada aktif di organisasi. Meski tak semua demikian, paling tidak ada sebagian yang bernasib demikian.

Itu baru dari sisi individual maha-siswa. Jika diuraikan berdasarkan total kuota yang tersedia, besar kemungkinan

jatah beasiswa habis untuk aktivis saja. Bisa dihitung, berapa jumlah organisasi intra di tingkat fakultas dan institut? Jika semua mendapat jatah, tentu tinggal se-dikit jatah untuk mahasiswa bukan akti-vis.

Beralih pada kasus percaloan. Me-mang, hanya sekitar 24%, namun jumlah itu membuktikan bahwa oknum-oknum itu memang ada. Hal itu tentu tak bisa dibiarkan. Harus ada ketegasan terkait hal tersebut.

Oleh karena itu, pelibatan mahasiswa dalam proses seleksi memang sangat ti-dak efektif. Dengan adanya pelibatan itu, mahasiswa akan mudah terjebak. Hanya dengan mengaku berasal dari intra ter-tentu, korban yang tertipu bisa dengan mudah jatuh ke tangan.

Mayoritas mahasiswa juga menilai, pelibatan mahasiswa dalam seleksi tidak efektif. Angkanya mencapai 82%. Akhir dari semua itu, kampus harus tegas. Ma-hasiswa tidak boleh dilibatkan dalam proses seleksi. Jika mahasiswa (BEM, SMF, dll) tidak dilibatkan, sudah tentu tak ada oknum tak bertanggung jawab yang mengatas namakan organisasi-organisasi intra tersebut.n

a = 9 %

b = 91 %

a = 26 %

b = 74 %

a = 10 %

b = 90 %

a = 18 %

b = 82 %

a = 24 %

b = 76 %

4. Apakah anda pernah ditawari beasiswa oleh seorang oknum mahasiswa?a. Pernahb. Tidak pernah

5. Menurut anda efektifkah mahasiswa (BEM/SMF) didlibatkan dalam proses seleksi beasiswa DIPA?a. Efektifb. Tidak efektif

Page 15: Mengungkap mafia beasiswa

1�AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

Kuis Asah Otak (KAO ) 05/2012Kupon KAO

(KAO) 06/2012

Ketentuan Menebak:1. Tulis jawaban di kertas, cantumkan

nama, alamat, foto kopi KTM/KTP dan nomor HP yang bisa dihubungi.

2. Masukkan ke dalam amplop, tempel kupon di sampul luar.

3. Kirim jawaban ke alamat redaksi: Gedung PKM Lantai 1 Kampus 3 IAIN Walisongo Semarang Jl. Boja-Ngaliy-an Km. 2 Semarang 50185.

4. Jawaban ditunggu paling lambat 30 Oktober 2012.

5. Pemenang akan diumumkan di Tab-loid Amanat edisi berikutnya.

6. Diambil 2 pemenang. Masing-masing mendapat buku menarik.

Pemenang KAO 05/2012Khusus edisi lalu, semua pengirim KAO 05/2012 akan mendapatkan reward dari SKM Amanat. Yang ber-sangkutan akan dihubungi via SMS.

REHAT

ULAH SI UNYU

1 3 4 5 6

2 7

8

9

10 11 12

13 14 15 16

17 18

19 20 21

22 23 24 25

26 27

Mendatar1. Daerah pemusatan penduduk

dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern

2. Berhubungan, bersangkut paut3. Kuno5. Judul, kepala6. Ketetapan hati7. Kacau (pikiran)8. Garis tengah9. Bertambah banyak/luas10. Bagus, elok, cantik11. Perantara13. Papan bagi olah raga peseluncur15. Sakit ingatan17. Rubrik Tabloid Amanat hal. 1219. Sebutan kota Jakarta 20. Perbuatan berbakti kepada Allah21. Tempat ibadat umat Hindhu22. Lolos23. Uni Emirat Arab

Menurun1. Ahli dalam seni boga3. Ramalan4. Berkata5. Buku acuan6. Pantai Utara Jawa10. Petapa di Biara11. Benda cair di sumur12. Bahasa Banyumasan14. Di antara mati dan hidup16. Ibukota negara Peru18. Dapat dipercaya

20. Khayalan21. Zat yang diperlukan tumbuhan

atau hewan untuk pertumbuhan.23. Kegunaan (Inggris)24. Perekat25. Komisi Penyiaran Indonesia

Page 16: Mengungkap mafia beasiswa

1� AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

Kretek dan PerempuanApa yang terlintas di benak

anda jika melihat se-orang perempuan sedang

merokok? Anda pasti akan men-yangka bahwa si perokok adalah seorang perempuan nakal.

Entah, sejak kapan rokok dan perempuan menjadi dua hal yang saling menegasikan. Sejak kapan pula perempuan merokok identik dengan perilaku menyimpang. Berbeda dengan pria perokok yang dianggap wajar.

Di negeri penganut sistem patriarki, perempuan memang cenderung dinomorduakan dalam segala hal. Perempuan kes-ulitan menemukan ruang untuk berekspresi. Banyak aktivitas yang dianggap tak pantas untuk diker-jakan seorang perempuan. Kretek misalnya, belum bisa dinikmati kaum perempuan dengan leluasa. Berbeda dengan kaum lelaki yang leluasa mengepulkan asap kretek.

Hal itu diungkap dalam buku “Perempuan Berbicara Kretek.” Perempuan seolah tak mendapat tempat yang layak untuk meng-hisap kretek. Pandangan miring selalu tertuju pada perempuan yang nekat. Padahal kretek send-iri merupakan karya para buruh pabrik yang tak lain adalah per-empuan.

Astrid Reza dalam tulisan-nya “Perempuan Juga (Berhak) Merokok” menunjukkan ekspresi merokok seorang perempuan

sebagai bentuk pemberontakan. Perempuan sudah lelah berpura-pura menjadi anak manis. Perem-puan menuntut perubahan besar dalam kehidupannya (hal. 125).

Pemberontakan itu dilakukan untuk menolak pencitraan terha-dap perempuan. Perempuan yang ditampilkan selama ini adalah sosok yang baik, penurut dan lem-but. Pilihan-pilihan perempuan masih dijajah kaum lelaki.

Maka, merokok menjadi pi-lihan untuk melakukan agenda pemberontakan dan pembeba-san. Perempuan-perempuan yang berani merokok di ruang publik adalah perempuan den-gan keberanian tinggi. Merokok menenangkan mereka dan menja-di pilihan hidup mereka di tengah

moral. Merokok tidak dapat digu-nakan untuk menilai kepribadian seseorang (hal 136). Kontroversi

Rokok masih menjadi isu yang diperdebatkan. Mulai dari isu kes-ehatan, budaya, ekonomi bahkan relasi paling pribadi antara manu-sia dengan Tuhan yakni agama. Opini yang berkembang seakan tarik-menarik dari dua kelompok, yang satu anti dan yang kedua pro terhadap rokok.

Dimulai dari isu kesehatan, pada kemasan rokok terdapat la-bel peringatan yang jelas bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impo-tensi, gangguan kehamilan dan janin. Kampanye anti rokok pun mulai gencar dilakukan. Namun, hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh anak bangsa.

Peneliti dari pusat penelitian bioteknologi lembaga ilmu peng-etahuan Indonesia (LIPI), Arief Budi Winarto telah menemukan khasiat daun tembakau. Ia menya-takan bahwa tembakau bisa digu-nakan sebagai reaktor penghasil protein Growth Colony Stimulat-ing Factor (GCSF), suatu hormon yang sangat penting dalam men-stimulasi produksi darah.

Protein dibuat oleh DNA (Deoxyribonucleic Acid) dalam tubuh. Jika DNA manusia dipin-dahkan ke tembakau melalui

bakteri, maka tumbuhan itu akan memuat protein sesuai DNA yang awal. Saat panen tiba maka akan didapatkan protein. Protein inilah yang bisa dipakai sebagai protein anti kanker. Selain untuk protein anti kanker, GSCF bisa pula men-stimulasi perbanyakan sel tunas guna memulihkan jaringan tubuh yang rusak (hal. 174).

Di sisi lain, benarkah merokok itu dilarang? Quraish Shihab mengatakan bahwa alasan kretek haram adalah karena ia memiliki dampak yang sangat buruk bagi kesehatan, harta benda, akal serta kehormatan. Padahal dalam Is-lam merokok hukumnya makruh. Merokok diqiyaskan dengan makan bawang, yaitu sehabis merokok tidak boleh masuk ke masjid. Di luar masjid merokok boleh-boleh saja.

Kretek merupakan warisan budaya yang tak dimiliki bangsa lain. Melestarikannya menjadi tugas anak bangsa agar industri ini tak diambil bangsa lain. Begitu juga soal perempuan merokok tak perlu diperdebatkan. Merokok bagi perempuan adalah pilihan. Begitulah setidaknya apa yang di-teriakkan para perempuan mela-lui buku ini. Tentu pembaca bisa memilih. n

RESENSI

Tuhan dalam Pusaran Zaman

Karen Amstrong lewat buku ini, kembali menyuguhkan wacana tentang “Tuhan”

yang tak pernah usang diperde-batkan sepanjang zaman. Diskusi tentang “Tuhan” tak pernah sele-sai meski sebagian telah memiliki klaim kebenaran tentang “definisi” Tuhan berdasarkan agama mas-ing-masing.

Dalam sejarahnya, manusia menyebut Tuhan yang maha Esa dan Mutlak itu dengan berbagai nama dan istilah, namun secara substansial, beragam nama itu menunjuk pada dzat yang sama. Tuhan sebagai wujud absolut inilah yang menjadi objek pujaan karena fungsi dan posisi-Nya yang diyakini manusia sebagai pencipta dan penguasa jagat raya. Karena maha absolut, antara Tuhan dan manusia selalu terdapat jarak yang amat jauh sehingga manu-sia bersikap paradoksal dalam memposisikan Tuhan. Tuhan di-yakini teramat jauh, bahkan tidak terjangkau (transendent), tetapi sekaligus berada bersama, bahkan di dalam diri kita (immanent).

Sifat absolut itu yang mem-buatnya mustahil ditaklukkan oleh kapasitas pemahaman nalar manusia. Ia hanya bisa ditangkap kehadiran-Nya melalui simbol-simbol yang disakralkan, sehingga di mata manusia lalu muncul ben-

tuk Tuhan-tuhan yang plural. Ses-uatu yang tak terjangkau dan tak bisa dipahami bukan berarti hal itu tidak ada, melainkan semata karena kemampuan akal manusia yang belum sampai atau memang tak terjangkau akal manusia.

Karenanya, perdebatan dalam buku ini bukan lagi bicara ada atau tidak adanya Tuhan, melain-kan berangkat dari premis bahwa Tuhan ada dan keberadaan serta kekuasaan-Nya telah diyakini se-jak zaman dahulu yang secara historis tidak bisa lagi ditelusuri dengan pasti.

Seperti ditegaskan Amstrong, sejak mula pertama umat manusia sudah mampu menangkap ten-tang adanya satu kekuatan yang mengatasi dan maha kuat, yang di-yakini telah menciptaan dan men-guasai kehidupan umat manusia. Inilah yang kemudian manusia disebut sebagai homo religious. Kita lihat misalnya, di goa bawah tanah Lascaux yang didekorasi oleh leluhur manusia Paleolitik pada zaman batu, tujuh belas ribu tahun yang lalu, ditemukan luk-isan-lukisan yang secara simbolis mengekspresikan misteri yang menunjukkan hubungan makhluk dengan yang transenden.

Shamanisme dipercaya merupakan praktisi religius uta-ma masyarakat pemburu selama

periode Paleotik. Mereka percaya, dahulu kala binatang-binatang membuat sebuah perjanjian-perjanjian dengan manusia, dan Dewa yang dikenal sebagai Pen-guasa Hewan secara rutin men-girimkan ternak ke dunia untuk diburu, karena para pemburu itu berjanji untuk melaksanakan up-acara ritual yang akan memberi-kan kehidupan setelah mati.

Pada sekitar 9000 SM, pada zaman neolitik, ketika manusia sudah mulai mengembangkan sektor pertanian dan tidak lagi bergantung pada daging binatang, ritus berburu kehilangan daya ta-riknya dan orang mulai berhenti mengunjungi goa. Tetapi mereka tak membuang agama sama seka-li. Sebaliknya, mereka mengem-bangkan sehinpunan mitos dan ritual baru. Membajak ladang menjadi ritual yang menggantikan berburu. Kultus pemujaan pun bergeser dari Penguasa Hewan ke Dewa Pertanian yang diang-gap sebagai penguasa tertinggi dan terpenting karena dipercaya memberikan kesuburan tanah

untuk menopang hidup mereka.

Tuhan Modern

Buku ini tak hanya mengupas “perjalanan” Tuhan dalam seja-rah. Tapi sekaligus mendeskrip-sikan masa depan Tuhan yang dianggap oleh beberapa kalangan semakin suram seiring dengan perkembangan pemikiran umat manusia. Memasuki zaman mod-ern, ide ketuhanan (teisme) yang menanamkan keyakinan kepada manusia tentang adanya kekuatan transendental semakin terkikis.

Budaya saintisme hanya men-gajarkan manusia untuk memper-hatikan gejala fisikal dan material. Konsekuensi dari cara pandang masyarakat yang posivistik terse-but adalah hilangnya kesadaran akan nilai-nilai spiritual yang ber-sifat transendental. Karena agama yang kuat menamkan ide-ide transendental, maka agama pun turut terpinggirkan.

Dunia telah dibawa ke arah sekulerisme yang mulai meni-piskan peran agama dalam ke-hidupan sehari-hari. Maka lahir-

lah orang-orang semacam Comte yang dikenal anti metafisis, Mark dengan gagasannya yang men-yatakan agama adalah candu masyarakat, atau Nietzche dengan pernyataan kontroversialnya : the God is dead.

Tak sedikit kemudian yang menyitir pernyataan tokoh-tokoh tersebut sebagai doktrin ateisme. Tanpa menyelami dunia mereka sesungguhnya dan hanya men-gutipnya secara parsial. Frie-drich Nietzche misalnya, meski menggiring ke arah nihilisme, pemikirannya tak bermaksud me-niadakan Tuhan. Nietzche jusru mengkritik pengetahuan manu-sia tentang Tuhan yang justru merupakan reduksi terselubung terhadap Tuhan yang Maha Besar.

Di sisi lain, ada usaha untuk mengembalikan kehidupan ke akar agama sebagai reaksi atas gerakan “kematian Tuhan” dan kekecewaan atas kegagalan mod-ernisasi (fundamentalisme). Say-angnya, upaya itu tak dibarengi dengan pemahaman agama yang mendalam dan hanya dilatar-belakangi kebencian mendalam terhadap modernitas berikut seg-ala perangkatnya. Sehingga yang tercermin dari paham itu adalah sikap inklusif, rigid, dan anarkis terhadap golongan yang berada di luar sekte mereka.

Argumentasi yang dibawakan Karen Amstrong dalam buku ini cukup untuk meruntuhkan se-jumlah pendapat kaum ateis yang menolak kehadiran Tuhan, seka-ligus menyanggah kaum funda-mentalis yang “menyeret” Tuhan untuk pemuasan kepentingan.n

tekanan kultural yang memand-ang negatif perempuan perokok.

Kalau menilik sejarah, merokok merupakan sudah menjadi bagian dari tradisi. Roro Mendut men-unjukkan ekspresi penolakannya terhadap pinangan Tumenggung Wiraguna, panglima perang Sul-tan Agung, dengan merokok. Sang Tumenggung marah. Hal ini be-rakibat Roro Mendut harus mem-bayar pajak. Namun hal tersebut tak mematahkan pendirian Men-dut. Akhirnya, ia menjual kretek sambil menari.

Roro Mendut telah menjadikan rokok sebagai senjata dalam rang-ka mempertahankan hak memilih jalan hidup. Pelajaran dari Men-dut, wanita perokok bukan wan-ita dengan segala penyimpangan

Judul : Masa Depan TuhanPenul is : Karen AmstrongPenerbi t : Mizan Publ ikaCetakan : 2011Tebal : 608 halamanResensator:Khoirul Muzaki

Judul : Perempuan Berbicara KretekPenulis :Abmi Handayani, dkk Penerbit : Indonesia BerdikariCetakan : Januari, 2012Tebal : 320 halamanResentator :Azid Fitr iyah

Page 17: Mengungkap mafia beasiswa

1�AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

SURAT PEMBACA

Redaksi menerima saran dan kritik mengenai kampus maupun SKM AMANAT. Surat dikirim melalui jasa pos/ kurir/ e-mail. Atau ke dapur redaksi SKM AMANAT di Student Centre Kampus 3 IAIN Walisongo. Surat harus dilengkapi KTM, KTP, SIM

atau identitas lainnya.

Bertempat di Gor PT Damatex Salatiga, Kenshi-kenshi Shorinji Kempo

Dojo Miftahul Jannah IAIN Walisongo Semarang mengikuti Kejuaraan Kempo Antar pelajar I se-Jateng di GOR PT Damatex Salatiga sabtu-minggu (23-24/6/2012) lalu.

Kejuaraan yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia (Perkemi) Jateng tersebut diikuti 218 kenshi dari seluruh kabupaten/kota se-Jateng. Kegiatan ini memperebutkan 29 emas untuk tiga kelompok yakni pemula, remaja, dan dewasa.

Memperkuat kontingen Semarang, 7 kenshi IAIN Walisongo tampil sebagai juara umum dengan mengantongi dua emas, satu perak, dan tiga perunggu untuk kelompok dewasa. Medali emas tersebut masing-masing diraih oleh Ahmad Agus Dzuhri (randori putra 55 kg) dan Septi Dini Lestari (randori putri 48 kg). sementara medali perak diraih oleh Siti Faridah (randori putri kelas 48 kg) dan medali perunggu masing-masing diraih oleh Nanang Taufik Masruri (randori putra kelas 65 kg), Wirda Taqiya (randori putri kelas 48 kg), dan Siti Inayatul Umaroh (randori putri kelas 54 kg).

Septi Dini Lestari peserta yang menjabat sebagai ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kempomengaku bangga karena dapat menunjukan bahwa UKM Kempo dapat berprestasi dan mengharumkan IAIN baik ditingkat kota maipun provinsi. Ia juga berharap, dengan raihan ini dapat menjadi semangat bagi UKM Kempo untuk terus berprestasi hingga tingkat nasional.n

Irma Muflikhah

UKM Kempo Juara Lomba Antar Pelajar

se-Jateng

VARIA KAMPUS

KEBERADAAN mushola di Fakul-tas Dakwah seolah diabaikan di tengah pembangunan gedung-gedung megah di IAIN. Civitas akademika Dakwah sering kesulitan mencari tempat untuk melak-sanakan ibadah sholat. Apalagi, fakultas punya kebijakan sholat dhuhur berjamaah. Pertanyaannya, mau sholat berjama’ah gimana kalau musholanya saja tidak ada? Sungguh ironis, fakultas Islam namun tidak memiliki tempat ibadah (mushola).

Selain itu, keberadaan tempat wudlu alternatif yang disediakan tak memenuhi standar syari’at. Yang mana, tempat wud-hu, yang aslinya kamar mandi itu, tidak dip-isahkan antara laki-laki dan perempuan.n

Afif Nur HidayahMahasiswi Fakultas Dakwah

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Angkatan 2009

Fakultas Dakwah Butuh Mushola

PERUBAHAN kurikulum pada tahun 2010 menyebabkan beberapa perbedaan mata kuliah antara angkatan 2010 dan ang-katan sebelumnya. Disamping nama mata kuliah berubah, kode mata kuliah pun ikut berubah. Hal ini menjadikan problem bagi angkatan 2010. Khususnya untuk jurusan Tadris Matematika. Pihak prodi mengan-jurkan tidak mengambil mata kuliah yang kodenya berbeda dengan buku panduan akedemik. Dengan alasan akan memper-sulit ketika kelulusan. Padahal untuk juru-san lain hal tersebut tak jadi soal.

Akibatnya, mahasiswa Tadris Matema-tika 2010 tidak dapat mengambil mata kuliah angkatan atas, meskipun ia memi-liki kelebihan SKS. Pada semester awal, hal tersebut masih dapat disiasati dengan mengambil mata kuliah dasar dari jurusan

Problem SKS Mahasiswa Matematika

KATANYA, Beasiswa DIPA tunjangan bagi mahasiswa miskin dan berprestasi. Namun, realisasinya tak tepat sasaran. Nyatanya, mahasiswa mendapat beasiswa bukan karena prestasi atau miskin, tetapi karena adanya rekomendasi.

Beasiswa berdasar rekomendasi itu tampaknya dimanfaatkan para calo yang mengaku bisa meloloskan beasiswa un-tuk mengeksploitasi mahasiswa. Buktinya, saya sendiri pernah ditawari seorang calo beasiswa, tetapi saya menolaknya. Akhirn-ya saya pun tak dapat beasiswa.

Saya berharap, proses seleksi Bea-siswa DIPA murni karena prestasi dan benar-benar miskin. Selain itu, pihak bi-rokrasi harus mengawal jalannya seleksi beasiswa. Agar tak ada kasus percaloan. Terima kasih.n

Amelia IntanMahasiswa Fakultas Syari’ah 2007

Ditawari Calo Beasiswa

MAHASISWA Ushuluddin khususnya jurusan Tasawuf Psikoteraphy jarang mem-injam buku. Saya selaku salah satu ang-gota laborat volunter (LV) berharap agar mahasiswa Ushuluddin memanfaatkan buku yang telah disediakan di laboratorium. Khususnya Jurusan Tasawuf Psikoteraphy. Kenapa? Karena buku-buku yang tersedia hanya condong ke pada jurusan Tasawuf Psikoterapi. Misalnya, buku kesehatan, buku terapi,dan buku sufistik lainya.

Padahal sayang sekali kalo tidak diman-faatkan. Selain kesediaan buku, di labora-torium juga banyak kegiatan. Di antaranya tester yang dapat menangani anak-anak bermasalah. Misalnya,Emosional Spiritual Quotion (ESQ), kurang perhatian orang tua. Terima kasih.n

Siti AfriyantiMahasiswa Ushuluddin,

Jurusan Tasawuf Psikoteraphy 2010

Optimalkan Laboratorium Ushuludin

SANGAT disayangkan, di depan ge-dung-gedung Fakultas Syari’ah tak ter-dapat taman. Saya sebagai mahasiswa Fakultas Syariah merasa kurang nya-man. Tak ada tempat untuk mengobrol santai. Tak seperti di kampus-kanpus lain yang memiliki taman indah dan dipenuhi pepohonan rindang. Serta, tempat-tempat duduk untuk mahasiswa bersantai.

Saya sangat berharap di Fakultas Syari’ah dibangun taman-taman. Taman juga membuat suasana pembelajaran se-makin semangat. Karena, bisa digunakan tempat diskusi para mahasiswa. Terima kasih.n

Miftachul KhoiriyahMahasiswa Fakultas Syari’ah 2007

Fakultas Syari’ah Tanpa Taman

lain yang memiliki kode sama. Namun persoalannya, saat ini mata kuliah dasar sudah habis. Mau tidak mau, mahasiswa yang mendapat jatah 24 SKS harus men-gambil mata kuliah jurusan angkatan di atasnya.

Jika peraturan tersebut masih diberlaku-kan, banyak mahasiswa yang seharusnya punya jatah 24 SKS tapi hanya dapat men-gambil sedikit SKS. Hal ini dirasa tidak fair, karena tak ada bedanya dengan memiliki nilai jelek. Toh, tidak dapat mengejar mata kuliah atas. Tidak ada apresiasi terhadap mahasiswa yang mendapat IP tinggi.n

Anton Riva’iMahasiswa TM 2010

Sejarah mencatat, banyak intelektual Is-lam yang lahir di Jawa. Sebut saja Kiai

Nawawi Albantani yang memiliki karya hebat dan hingga kini masih dikaji di ber-bagai pondok pesantren di Jawa.

Namun, dewasa ini geliat intelektual-isme Islam di Jawa, terutama Jawa Ten-gah (Jateng) melemah. Hal itulah yang menjadi pengantar dalam Seminar Re-gional ’’Penguatan Intelektualisme Islam di Jateng (Perspektif Sunni-Syi’ah).’’Acara yang digelar Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Semarang di Auditorium I lan-tai 2, Selasa 17 April 2012.

Kepala Lembaga Pengabdian Masyar-akat (LPM) IAIN Walisongo Dr M Mukhsin Jamil MAg danDeputi Institute of Philoso-phy Falsafatuna Jakarta Ki Herman Sinung Janutama, didapuk sebagai pembicara.

Rektor IAIN Walisongo Prof Dr Muhibbin MAg, dalam sambutan menga-takan, semua civitas academica, terutama

Menguatkan Intelektualisme Islam

IAIN Walisongo perlu menulis karya ilmiah atau artikel ilmiah untuk dipublikasikan.

’’Dengan mempublikasikan tulisan, masyarakat akan tahu perkembangan intelektual pergu-ruan tinggi (PT),’’tandasnya.

Intelektualisme JawaKi Herman menyatakan men-

dukung penguatan intelektual-isme ala Jawa. Dia melihat fakta, budaya Jawa saat ini dijalani tidak dengan falsafah Jawa. ’’Wong Jawa ilang jawane,’’ kata lelaki yang suka

nembang itu.Menurutnya, budaya Jawa tak lepas

dari pengaruh agama Islam. Dia menun-jukkan banyak karya pujangga Jawa yang sarat dengan ajaran Islam.

Mukhsin Jamil menjabarkan upaya untuk menguatkan intelektualisme Islam dengan membaca ulang tradisi. Dia ber-pendapat, budaya Jawa hendaknya tidak hanya diawetkan dalam adiluhung, tetapi diterjemahkan kembali untuk menjawab persoalan dewasa ini.

Dekan Fakultas Ushuludin Dr Nasihun Amin MAg berharap, seminar tersebut dapat mendorong pembentukan forum komunikasi untuk membangun intelektu-alisme Islam di Jateng.

Forum ini yang kemudian meru-muskan karakteristik intelektualisme Is-lam di Jateng.n

Abdul Arif

Divisi Tradisional Laboratorium Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Se-

marang bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bimbingan Konseling Islam dan Program Khusus Penyuluh Agama menggelar pelatihan panatacara dan pamedharsabda

Acara tersebut dalam rangka mening-katkan kemampuan berbahasa Jawa bagi mahasiswa. Acara berlangsung di lantai 2 gedung Laboratorium Dakwah.

Sunaryo Dono Suworo dari Persau-daraan Masyarakat Budaya Nasional In-donesia (Permadani) Semarang dan Agus Riyadi dosen Fakultas Dakwah didapuk sebagai pembicara. Menurut Sunaryo, Bahasa Jawa sudah menjadi bahasa asing. Terbukti banyak orang Jawa yang tak pa-ham bahasanya. “Lebih asing ketimbang Bahasa Inggris dan Arab,” kata lelaki yang ahli nembang itu.

Menanggapi hal itu, Sunaryo men-jelaskan, bahwa Bahasa Jawa termasuk kekayaan budaya. “Budaya itu dinamis, elastis. Tidak bisa dipaksakan,” tegasnya. Maka lunturnya bahasa Jawa adalah ke-niscayaan. Ia hanya berharap komitmen pemerintah agar budaya yang ada di neg-eri ini tak diambil orang lain.

Sunaryo menjelaskan, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan oleh pembawa acara. Pertama, seorang pembawa acara hendaknya sering melakukan latiha olah vokal. Hal ini agar pelafalan Bahasa Jawa bisa jelas dan baik. Kedua, pembawa acara harus tampil dengan wajah berseri. Ketiga, perlu memperhatikan etika berbu-sana. Busana disesuaikan dengan kondisi setempat.n

Abdul Arif

Nguri-nguri Bahasa Jawa

Rektor tengah memberi sambutan seminar

Page 18: Mengungkap mafia beasiswa

18 AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

kan guru–guru besar dari luar, prakarya, dosen-dosen studi lanjutan ke luar negeri dan masih banyak lagi lainnya”, jelas Gu-naryo.Kerja Sama

Muhibbin menjelaskan, untuk tahun ini kerja sama dan pengembangan masih difokuskan dalam negeri saja. “Kerja sama dan Pengembangan fokus dalam negeri terlebih dahulu, di antaranya Pemerintah Kota,” jelasnya.

Kerjasama ini, lanjut Muhibbin, melipu-ti penelitian-penelitian, kerjasama dengan dinas sosial. Muhibbin menjelaskan, sebe-lum menjalin kerjasama maka dibuatkan MOU. “Kami sudah membuat MOU den-gan Universitas Teknologi Malaysia yang kerjasamanya dengan fakultas Tarbiah”, terangnya.

Sholihan yang juga aktif di Walisongo Mediation Center (WMC) sebagai Koor-dinator bidang Layanan Mediasi menam-bahkan, kerjasama yang dijalin nantinya meliputi dunia perbankan, Pemerintah Ka-bupaten, Kementerian Sosial, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum-ham), serta perguruan tinggi baik yang ada di dalam maupun di luar.

Dengan cara ini diharapkan nama IAIN Walisongo Semarang semakin di kenal di luar. “Diharapkan lewat kerjasama ini, le-wat promosi, silaturrahmi, pameran, citra positif akan naik, sehingga masyarakat luar akan semakin tertarik untuk menimba ilmu di IAIN Walisongo Semarang”, kata Sholi-han penuh harap.Mulai Melangkah

Gunaryo mengatakan, IAIN sudah menjalin kerjasama. Terbukti sudah pernah diadakan Seminar Internasional yang pem-bukaannya dilaksanakan di Gedung Au-ditorium II Kampus 3 dengan tema “Islam dan Demokrasi”.

IAIN memiliki Pembantu Rektor IV baru. Pengembangan jaringan mulai diperhatikan

Pelantikan Pembantu Rektor IV bersama kepala lembaga lain.

Dok

.Hum

as IA

IN

“IAIN itu negeri atau swasta?” celetuk seorang pejabat Provinsi Jateng dalam se-buah pertemuan. Rektor IAIN Walisongo, Muhibbin, yang kebetulan berada dalam satu forum hanya bisa menyayangkan dalam hati. “Kok bisa pejabat provinsi tidak mengenali IAIN,” batinnya.

Dengan alasan itulah kemudian IAIN membentuk Pembantu Rektor (PR) IV. Tu-juannya, kata Muhibbin, untuk menyebar-luaskan informasi mengenai IAIN.

Mantan PR I Ahmad Gunaryo, men-gatakan, dibentuknya PR IV karena IAIN semakin bertambah besar, maka perlu dibentuk PR IV yang khusus menangani pengembangan dan kerjasama.

Melalui rapat Senat, ditunjuklah Sholi-han sebagai pengemban jabatan tersebut. Setelah sebelumnya Muhibbin mengaju-kan surat permohonan kepada Dirjen Pen-didikan Tinggi Islam untuk memberikan ijin eksekusi. Setelah mendapatkan ijin tersebut, pada tanggal 25 Januari 2012 di-lantiklah Sholihan menjadi PR IV.

PR IV sebenarnya bukan hal baru. Pada periode 1992-1996 PR IV sudah ada. Gu-naryo menceritakan, pada periode itu PR IV memang ada, namun kemudian diha-puskan. Gunaryo berasumsi, penghapusan itu dikarenakan ada temuan (kejanggalan-red) oleh BPK. Hal itu terjadi karena dalam statuta tidak tercantum PR IV.

Penghapusan itu membuat tugas PR IV harus dialihkan ke PR I. Sehingga kin-erja terkait hubungan dengan pihak luar menjadi tidak fokus. Maka kehadiran PR IV dirasa sangat penting. Gunaryo menga-takan, dibentuknya PR IV, agar tugas dan tanggungjawab dalam hal pengembangan dan kerjasama luar lebih terfokus.

“Kerjasama Internasional yang harus dijalin meliputi pengembangan resources, Walisongo Mediation Center, mendatang-

Melebarkan Sayap“Pesertanya banyak yang datang dari

luar negeri, seperti Amerika, Belanda, Leb-anon, Thailand, dan Filipina,” jelasnya.

Sholihan, yang juga menjabat dosen Fakultas Dakwah menambahkan, di Fakul-tas Dakwah misalnya kemarin juga telah mengadakan kerjasama dengan Dinas So-sial dalam memberikan penyuluhan di balai-balai sosial. “Selain itu Usno Univer-sity Norwegia sempat mengadakan kuliah di pascasarjana dalam pembahasan Islam dan Human Right,” tambahnya.

Ke depan, Sholihan berharap kepada semua lapisan yang ada di IAIN Walisongo baik dosen maupun mahasiswa untuk bek-erjasama menjadi inisiator kerjasama, hal ini dilakukan karena PR IV memang tidak memiliki penunjang seperti PR I, PR II, dan PR III yang di masing-masing fakultas ada

Pembantu Dekan I, II, dan III. “Sehingga nantinya akan dibentuk

lembaga add hoc sebagai gugus kerjasama. Artinya Mahasiswa pun dapat menjalin ker-jasama dengan pihak luar untuk mening-katkan keterampilan dan pengembangan keilmuannya atas rekomendasi dari PR IV,” jelas Sholihan.n

Yestik Arum

SKETSA PEMBANTU REKTOR IV

Pembantu Rektor (PR) IV tengah menandatangani kerjasama .

Page 19: Mengungkap mafia beasiswa

1�AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

Doc

. Hum

as IA

IN

Mahasiswa tidak dapat merasa-kan atmosfer kegiatan Dies Na-talis sebab pesertanya bukan dari

unsur mahasiswa

Fitri

Mahasiswa KPI Fakultas Dakwah

‘,

Dies Natalis Sepi MahasiswaDies Natalis IAIN ke-42 kurang greget. Mahasiswa tak ikut merayakan.

Jalan santai pegawai dan dosen pada Dies Natalis IAIN ke-42

Pukul 08.00 WIB, sebagian kelas di IAIN lengang. Tak ada aktivitas pembelajaran seperti biasa. Dewi yang saat itu ada jadwal kuliah jam

pertama hanya duduk termangu di depan kelas karena kelas kosong. Sesaat, ia baru tahu, dosennya tak hadir lantaran sedang mengikuti acara “jalan sehat” di kampus III.

Jalan sehat hanyalah salah satu rangka-ian acara ulang tahun (dies natalis) IAIN ke-42. April ini IAIN punya hajat besar. Bu-lan itu, tepatnya tanggal 6 April disakralkan sebagai hari kelahiran IAIN. Terhitung mu-lai tanggal 16 Maret sampai 5 April, IAIN disibukkan dengan berbagai kegiatan un-tuk merayakan hari jadi IAIN. Sayangnya, atmosfer selebrasi itu tak sampai dirasakan mahasiswa. Ironisnya, sebagian mahasiswa malah mengaku tak mengetahui perihal ka-pan hari lahir IAIN Walisongo.

Fitri misalnya, mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) ini hanya mengetahui dies natalis IAIN pada bulan April. Hal itu terjadi lantaran kurang-nya sosialisasi terhadap mahasiswa. Fitri menyayangkan minimnya sosialisasi seh-ingga atmosfer dies natalis tidak sampai ke mahasiswa. Ia mengklaim, birokrasi kam-pus tidak berniat mengajak mahasiswa un-tuk ikut serta merayakan dies natalis IAIN.

“Dies natalis milik semua, termasuk mahasiswa.”

Haryana, mengatakan, sosialisasi resmi hanya dilakukan terhadap dosen dan pega-wai di masing-masing fakultas melalui su-rat edaran. Terhadap mahasiswa, Haryana yakin, tanpa sosialisasi resmi, pun maha-siswa akan mengetahui dengan sendiri le-wat rangkaian kegiatan yang telah diseleng-garakan.

Pernyataan Haryana berbenturan den-gan fakta di lapangan. Lantaran, berbagai rangkaian kegiatan dies natalis kebanyakan berorientasi kepada pegawai dan dosen. Elemen terbesar kampus, mahasiswa, tidak dilibatkan secara masif dalam rangkaian kegiatan dies natalis.

Rangkaian kegiatan dies natalis terse-but antara lain, Pekan Olahraga dan Seni Terbatas (Pornitas). Cabang olahraga yang dilombakan antara lain, bulu tangkis, tenis meja, catur, voli, dan tenis. Cabang seni meliputi, lomba karaoke dan tartil Qur’an. Kegiatan lain meliputi, lomba Kebersihan, Keindahan, dan Kerapian (K 3), kegiatan ilmiah (seminar), kegiatan rohani (tahtimul Qur’an), dan kegiatan sosial berupa santu-nan yatim piatu.

Dari kegiatan tersebut, hanya beberapa kegiatan, seperti seminar, yang pesertanya melibatkan banyak mahasiswa. Selain itu, Pornitas misalnya, hanya melibatkan ele-men pegawai dan dosen masing-masing fakultas dan Biro sebagai peserta.

Terlibat Panitia

Menyoal keterlibatan mahasiswa, Hary-ana mengatakan, meski mahasiswa tak dili-batkan seluruhnya, ada perwakilan maha-siswa, seperti UKM, yang dilibatkan dalam kepanitiaan untuk turut menyelenggarakan kegiatan dies natalis. Harapannya, lewat kegiatan tersebut, UKM bisa mewakili dan dapat mengakomodir keikutsertaan maha-siswa.

Memang, beberapa UKM seperti WEC dan WSC diajak oleh panitia dies natalis un-tuk turut menyelenggarakan kegiatan atas nama dies natalis. Namun, dalam perjalan-annya, kerja sama itu justru bermasalah.

Hal itu pula yang dialami UKM WEC.

Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Walisongo English Club (WEC), Waliadin awalnya kaget. Pasalnya, lembaganya tiba-tiba ditawari untuk menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memeriahkan dies natalis. Tak butuh waktu lama, pria asal Brebes itu langsung mengamini tawaran tersebut. Pikirnya, tawaran itu berarti se-buah perhormatan bagi WEC karena di-percaya sebagai penyelenggara salah satu kegiatan dies natalis.

Demi memenuhi tawaran itu, WEC ter-paksa merombak program kerja yang telah disusun. Waliadin mengungkapkan, kegia-tan itu tidak ada dalam program kerja WEC. Lembaganya memang memiliki program kegiatan, English Festival tingkat SMA, na-mun pelaksanaannya masih lama.

“Acara kami sebenarnya bulan Mei,” kata Waliadin.

Untuk mensiasatinya, WEC terpaksa memajukan agenda tersebut pada bulan April guna memeriahkan dies natalis. Na-mun, konsekuensi yang ditanggung WEC karena telah mengubah program kerja tak berbuah manis. Pasalnya, beban biaya penyelenggaraan kegiatan sepenuhnya di-tanggung WEC, tidak ada suplai dana dari panitia dies natalis pusat.

Dana kegiatan sepenuhnya bersumber dari kas WEC. Untuk menyelenggarakan

acara tersebut, WEC mengeluarkan angga-ran sebesar tiga juta rupiah. Waliadin men-gungkapkan, pihak institut hanya mem-berikan bantuan berupa tropi untuk para pemenang lomba.

Waliadin mengandaikan, kerja sama itu seharusnya melahirkan hubungan timbal balik antara WEC dengan panitia dies na-talis pusat. Padahal, ada alokasi anggaran khusus untuk kegiatan dies natalis yang berjumlah besar.

“Tema dies natalis, tapi biaya dari WEC,” keluh Waliadin.

Menurut Fitri, salah seorang aktivis UKM, keterlibatan mahasiswa melalui UKM dalam kepanitiaan dies natalis tidak dapat mewakili. Bagaimanapun, mahasiswa tidak dapat merasakan atmosfer kegiatan terse-but sebab pesertanya bukan dari unsur mahasiswa. Terlebih, ia mengklaim, peng-gabungan kegiatan UKM dengan agenda dies natalis sebagai upaya politisasi ter-hadap UKM. Terkesan, panitia dies nata-lis hanya numpang nama namun enggan memfasilitasi kegiatan tersebut.

“Ini adalah sebuah manipulasi, agar terkesan euforianya” katanya.

Terbatas Dana

Menanggapi hal itu, Haryana menga-takan, kebijakan memberikan wewenang UKM untuk menyelenggarakan kegiatan dengan label Dies natalis adalah solusi untuk mensiasati keterbatasan dana dies natalis. Minimnya alokasi dana dies natalis menyebabkan panitia dies natalis tak mam-pu memfasilitasi kegiatan UKM.

“Anggaran untuk dies natalis hanya Rp 30.000.000-,” katanya.

Tak hanya UKM, untuk mensiasati ket-erbatasan dana dies natalis, masing-masing fakultas juga diminta untuk menyeleng-garakan kegiatan dies natalis dengan biaya fakultas. Dengan cara itu, lanjut Haryana, perayaan dies natalis dapat berlangsung meriah meski terbatas dana.

Langkah tersebut direspon tiap fakul-tas dengan menyelenggarakan kegiatan seminar dengan label dies natalis. Seminar merupakan satu-satunya kegiatan yang melibatkan paling banyak peserta dari

mahasiswa. Meski, pelaksanaannya masih terkesan ekskulif sebab tak semua maha-siswa bisa mengikuti acara tersebut. Dalam seminar yang diselenggarakan Fakultas Tarbiyah misalnya, calon peserta harus mendaftarkan terlebih dahulu minimal dua hari sebelum pelaksanaan seminar.

Beberapa mahasiswa mengaku kecewa lantaran tak diperbolehkan masuk mengikuti seminar. Eva Liana dan bebera-pa rekannya mengaku kesal dengan pani-tia seminar yang tak memperbolehkan-nya masuk ke ruang seminar lantaran tak memiliki undangan.

“Padahal kami sudah jalan kaki dari kampus 2 ke kampus 1,” ungkapnya kecewa. Ia pun meninggalkan tempat tersebut den-gan kepala tertunduk.

Seminar serupa dalam rangka dies nata-lis juga digelar di Fakultas Dakwah dengan tema “Perkembangan Profesionalitas Lay-anan Bimbingan Rohani Islam pada Pasien Menuju Pola Pelayanan Holistik Rumah Sakit di Jawa tengah.” Namun, tak seperti biasanya, seminar tersebut tak gratis. Setiap mahasiswa diwajibkan membayar 10.000 untuk mahasiswa jurusan Bimbingan Peny-uluhan Islam (BPI), dan 20.000 untuk ma-hasiswa jurusan lain.

Eksklusivisme kegiatan dies natalis terhadap mahasiswa membuat rangkaian acara dies natalis IAIN tak bergereget. Kata lain, merayakan dies natalis tanpa kehad-iran mahasiswa. n

Irma Muflikhah

SKETSADIES NATALIS

Page 20: Mengungkap mafia beasiswa

�0 AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

CERITA PENDEKCERITA PENDEK

Ada Apa dengan Setan?n Cerpen Amilia Indriyanti*

DAN semua bermula dari cinta. Semua pun berakhir dengan cinta. Cinta adalah permulaan yang indah. Men-gusung pertemuan dan rasa cemburu.

Kelak kita semua merasakan. Dengan siapa dan di mana hal itu tidak perlu dipertanyakan. Mem-pertanyakan berarti mengukuhkan kebodohan-kebodohan, sedangkan kita adalah pembawa-pembawa risalah.

Cinta selalu diawali dengan pertemuan. Sebuah danau berair hijau kebiruan telah mem-pertemukan kita. Dalam belenggu rindu dan kalut yang utuh: tempat kuharapkan anak-anakku kelak akan dikandung, dilahirkan, oleh kau sebagai istriku.

Dari atas sebuah sampan yang merangsek perlahan ke tengah danau, kutulis puisi untuk kekasih. Tentang keindahan pertemuan. Perte-muan yang alpa untuk dijadikan sebuah janji. Mungkin karena enggan mengangankan sebelum-nya. Sering angan membuat majikannya menjadi pesakitan. Sementara, hal itu tidak perlu terjadi.

***MEI, Kamis pukul 11.13. Kuciptakan sebuah

pertemuan di antara kita. Di tepi sebuah danau yang berair hijau kebiruan. Tempat pertama kali kau membuatku terpaku dan berlanjut dengan bertukar kartu nama.

Di bawah cemara, ketika angin berembus membawa kabar hari mulai petang, di telingamu kubisikkan: Dik, kita tidak usah pulang malam ini.

”Kenapa?” ujarmu penuh tanya. Kedua pipimu merona merah. Kupandang wajahmu dengan sorot mata ter-

lembut yang aku punya. Kupu-kupu saja cemburu melihat cara memandangku kepadamu, sehingga ia memilih terbang melewati wajahku dan aku berkedip. Kemudian kujawab pertanyaanmu.

”Karena ingin kupetik buah khuldi di dadamu. “Jangan!” kau memekik tertahan. ”Kau ingin kita bertemu, bukan karena kau

rindu? Tapi karena kau ingin aku menjadi Hawa yang membuat Adam terlempar ke bumi.

“Bukankah karena Hawa dan Adam terlempar ke bumi yang menyebabkan surga menjadi lebih berarti dan lebih indah?”

“Iya, kau benar. Tetapi aku tidak mau men-gambil risiko untuk menjadi orang yang terlem-par.”

“Kita tidak akan terlempar, tetapi ditempat-kan. Kita saling mencinta. Pencipta cinta pasti merestui kita.”

“Ya, kau benar. Kita tercipta dari cinta. Kita musnah juga karena cinta. Dan aku tidak ingin gara-gara cinta bumi menjadi ajang perang.”

“Oh, Sayang, tidak mungkin cinta menjadi alasan sebuah pertikaian.”

“Yah, Sayang! Bagaimana tidak mungkin? Kan bisa saja semua wanita yang melihatmu, mencemburuiku, karena kemesraan yang kauberikan kepadaku.”

“Ya, Sayang, kau benar. Dan semua laki-laki pasti akan iri padaku, karena kekasih-kekasih mereka akan memutusnya, karena merasa cinta yang diberikan sangatlah kurang.”

Semua makhluk cemburu melihat betapa mesranya kita sore itu. Danau yang berair hijau kebiruan sampai menangis karena iri. Ia sangat menyesal, kenapa mesti melihat adegan semesra ini. Ia pun berterima kasih kepada senja, sebab senja terus mengetuk-ngetuk kaki kita supaya cepat pergi menjauhinya.

Ingin sekali aku mengubahmu menjadi Hawa yang rela merayu dan merengek kepada Adam untuk memetik buah khuldi. Kenyataannya kau bukan Hawa dan terpaksa aku mengukuhkan ke-inginanku untuk mencicipi buah khuldi itu. Kata banyak orang, buah khuldi adalah buah terlezat yang pernah ada. Sekarang aku baru bisa memaf-humi mengapa sampai ada hikayat Siti Zubaidah, Layla-Majnun, Zulaikha-Yusuf, Yatim Asmara, Seribu Satu Malam. Legenda orang-orang yang sedang jatuh cinta. Perempuan dan pria penguasa semesta lamunan karena hati-hati mereka terben-tuk oleh cinta.

***FEBRUARI, pukul 13.12. Dering telepon mem-

ecah suasana siang. ”Halo…” sungguh

mesra suara itu. Memutuskan

sebuah pertemuan tidak sesulit yang pernah kuduga. Suara itu suaramu. Kau ingin kita bertemu dan aku setuju. “Aku rindu,” katamu singkat mem-beri alasan.

Mungkin karena kekuatan “suara mesra”-mu yang membuatku cepat membuat keputusan. Segera aku menemuimu di tempat yang telah kita tentu-kan.

Dan kita ber-temu di tepi danau yang berair hijau kebiruan, danau terin-dah. Tempat itu akhirnya bisa kita jangkau kurang dari satu jam. Einstein benar, imajinasi sering lebih penting dari ilmu pasti. Dalam perjalanan kubuat banyak daftar rencana. Bukan karena logi-kaku yang hebat tapi karena khayalku yang ingin menyelamatkan pertemuan kita. Sebelumnya kita pernah bertemu dan gagal. Setelah sembilan bu-lan kita tak pernah berjumpa. Ragamu tidak ada perubahan yang mencolok. Masih seperti dulu. Tetapi danau ini sudah banyak berubah. Airnya tidak bening lagi seperti dulu, tetapi agak keruh.

Kau sudah menungguku. Duduk di antara bunga melati dan anyelir. Aku menghampir-imu. Seperti menahan rindu yang terlalu. Sinar matamu bersinar mengikuti gerak tubuhku yang mendekatimu. Ada kelembutan di sana.

***MENGHABISKAN waktu bersama, membuat

kita tidak menyadari gelap yang sehelai demi seh-elai membawa dingin menggiring langkah malam. Beberapa bunga melati bersiap mekar dengan kesaksian kita. Kita selalu tersenyum melihat tingkahnya. Dan tiba-tiba kau memintaku meng-hisap kokain di bibirmu. Bibir yang ranum. Aku tak pernah menyangka kau bisa seberani itu.

”Apa?” “Kau bergurau, Sayang. Kita tahu itu men-

gandung candu.” “Ayo, isaplah untukku. Rinduku akan kuhabis-

kan petang ini.” “Tidak. Di bibirmu tidak ada kokain.” “Masa?” “Iya! Sadarlah, Sayang. Jangan suruh aku

menjadi Romeo yang mati karena racun yang ditawarkan Juliet.”

“Dan mereka bahagia.” “Aku tidak pernah tahu mereka bahagia atau

tidak setelah mati.” “Kalau begitu, sekarang petiklah buah khuldi

di dadaku saja, habisilah rinduku.” “Oh!” “Dulu kau pernah memintanya dan tidak aku

berikan. Sekarang ambillah.” “Sayang, buah khuldi itu sudah tidak ada lagi

di sana.” “Kau berbohong ya….,” Kau merengek persis

seperti Hawa yang aku inginkan sembilan bulan lalu. Keinginan itu sudah aku timbun. Sekarang aku hanya ingin menatapmu, tanpa berupaya dan tanpa berbuat apa-apa pada tubuhmu. Cintaku suci. Untuk menghindari hal-hal yang diinginkan akhirnya aku mengajakmu pulang.

“Sebaiknya sekarang kita pulang, di sini san-gat sepi, hanya tinggal kita bertiga.”

“Hanya berdua.” “Bertiga. Yang ketiga setan.” “Ada apa dengan setan? Jangan pernah ber-

pikir mencari kambing hitam untuk menolakku.” “Aku hanya ingin menjagamu, Sayang.” “Menjaga? Kata itu telah kehilangan makna.

Kau bilang mau menjagaku, bagaimana mungkin? Kau toh seorang yang tidak bertanggung jawab.”

“Aku tidak bertanggung jawab? Petang ini kau aneh sekali, Sayang.”

“Kau juga aneh. Men-gaku bertanggung jawab, tetapi tidak berani berbuat. Terus bagaimana bentuk tanggung jawabmu?”

“Maksudmu?” “Tidak akan pernah

ada neraka kalau Adam tetap berada di surga.

Dan nur Muhammad yang bahkan dibuat jauh sebelum Adam juga tidak akan per-nah menjadi sesosok idola. Adam berani berbuat untuk Hawa. Dan dia telah menun-

jukkan tanggung jaw-abnya. Karena itu dia

dipercaya menjadi nabi. Bahkan dianggap sebagai

orang suci.” “Sedang kita tidak akan

menjadi apa pun, siapa pun, kalau tidak mau berbuat apa-apa, hanya karena takut dosa. Dosa itu pencarian. Dosa itu bukan awal juga bukan akhir. Tidak apa-apa setan menemani kita malam ini. Bukankah setan sekarang sudah menjadi kambing hitam yang paling layak? Lagi pula manusia lebih suka memilih untuk lemah sehingga merasa sah untuk mereguk kenikmatan godaan dan senang disesatkan.”

“Tidak. Kau salah, Sayang, aku tidak mencari alasan untuk menolakmu. Aku mencintaimu. Dan aku ingin kau menjadi Zulaikha yang seluruh tubuhnya bergelimang cinta. Pada saat yang tepat aku akan mengisap kokain dan mengambil buah khuldi yang kautawarkan yang dulu pernah aku minta.”

“Pada saat aku sudah tidak menginginkan-nya? Kau mengelak dari cintaiku. Kau tidak ingin aku bahagia, mesti sebentar.”

“Oh, bukan itu maksudku, Sayang.”“Kalau kau ingin aku jadi Zulaikha, lebih baik

kau menjadi Majnun saja. Dan kita tidak akan pernah bertemu, biarkan rinduku membatu.”

***KARENA cinta tidak lebih dari sepotong ka-

but yang kadang hitam kadang putih, tidak aku turuti hasratku untuk mendekapmu, hasratmu untuk kudekap. Karena cintaku padamu sung-guh terlalu, kubiarkan setetes demi setetes air hujan dari matamu membanjiri pipi. Tidak akan kubiarkan Tuhan cemburu melihat kemesraan kita dan akhirnya mengirim kutukan. Meskipun mati-matian aku mempertahankan diri, kalau saja aku punya hak atas tubuhku aku sudah bunuh diri di hadapanmu untuk membuktikan betapa aku mencintaimu. Semua keputusan memang ada konsekuensinya.

”Kau tahu, Sayang, untuk tidak memenuhi keinginanmu (juga keinginanku) aku harus ber-lapar-lapar puasa, berhari-hari, berminggu-min-ggu, bahkan berbulan-bulan. Kau yang telah men-gajariku tentang ‘bertahan’ setelah kita bertemu bulan Mei tahun kemarin.”

“Untuk apa kau lakukan itu, sedangkan aku ti-dak tahu apakah besok kita masih bisa bertemu?”

“Kenapa? Kita akan mengikatkan diri dalam pernikahan.”

“Pernikahan? Kalau esok hari aku harus me-nikah dengan orang lain, bukan dirimu? Mungkin aku sudah menolak, tetapi ternyata aku harus menerimanya. Aku tidak bisa melakukan apa pun seperti yang kuinginkan, makanya aku besok ha-rus bersedia dinikahkan dengannya.”

Kau menangis. Terisak-isak. Mendekap wa-jahmu dengan kedua tangan. Aku sangat paham. Aku telah memerawani hatimu dan kau ingin aku memerawani tubuhmu juga. Aku tidak mau melakukan bukan karena aku tidak ingin. Sesung-guhnya tidak ada yang lebih benar, ketika hasrat nafsu tersalurkan antara dua manusia yang belum menikah. Tidak lelaki tidak juga perempuan ked-

uanya benar. Keduanya salah. Kalau salah satunya lebih kuat, dosa itu tidak akan ternikmati. Dan aku laki-laki harus lebih kuat, karena aku adalah calon pemimpin, setidaknya bagi keluargaku nanti.

”Oh, sudahlah, kalau memang kita tidak dapat bersama di dunia, kita bisa bersama di surga nanti.”

Tenggorokanku tersekat tidak bisa berkata. Akhirnya keluar juga kalimat yang selalu menjadi pelegal sebuah perpisahan untuk kasih tak sam-pai. Tiba-tiba kau menatapku tajam. Air mukamu memukauku dengan senyum. Itu sebuah cibiran dan kau berkata,

“Kau masih ingin bertemu denganku setelah kita mati nanti?”

“Ya, Sayang, aku begitu mencintaimu. Dunia dan akhirat.”

“Kalau begitu maafkan aku.” “Kau telah menyiksaku dengan sakit rindu,

menolak untuk menyembuhkannya, kemudian aku harus menerima orang yang tidak aku cintai. Kau menolak kutuk, tapi kauciptakan kutuk un-tukku, bahkan sebelum aku merasa bahagia. Di surga aku tidak ingin bertemu denganmu.”

“Di dunia aku banyak bertemu dengan orang-orang menyebalkan, masa di surga pun aku harus ketemu denganmu lagi, orang yang menganggap diri penuh cinta, kenyataannya tanpa cinta.”

Diam, lengang, air danau yang sudah tidak bening lagi berubah menjadi danau air mata karena ia menangis. Ia bahagia karena tidak ada lagi kemesraan dari kita yang dapat membuat-nya iri. Diakui atau tidak kita sedang bertengkar. Bahkan semua makhluk pun terasa mencemooh kebodohanku, yang tidak bisa mempertahankan kemesraan cinta, kemesraan yang dapat membuat siapa pun atau apa pun cemburu.

Kau berdiri. Tubuhmu meliuk sebentar, menyibakkan rambut yang menutupi separo wa-jahmu ke punggung. Kau membuatku terkesima, entah sudah berapa ribu kali senja ini kau mem-buatku terpedaya. Lenganmu kau ulurkan untuk menjabat tanganku. Akhirnya aku berdiri, kita sama-sama tersenyum. Setelah itu kau berkata,

“Aku tidak ingin bertemu denganmu di surga nanti.”

“Kenapa? Kita bisa memuaskan cinta dan rindu di sana!”

“Hidup sekali, mati sekali. Jatuh cinta boleh berkali-kali, sedangkan cinta sejati hanya terjadi sekali. Aku mencintaimu saat ini. Bukan harga mati. Tetapi merupakan proses. Ini hanya arena berlatih. Lagi pula cinta pertama adalah kenangan dan cinta terakhir adalah masa depan. Aku tidak akan mengorbankan diri demi sebuah kenangan. Mungkin perlu kamu tahu sebelum aku jatuh cin-ta padamu, aku tidak tahu siapa yang paling layak aku cintai. Tetapi sekarang aku tahu dan rasanya sekarang aku sedang mabuk cinta kepada-Nya. Hatiku bergetar. Kau tahu Rumi, Balkis, Majnun, Siti Khatidjah? Mereka bisa tahu cinta sejatinya, setelah merasakan jatuh cinta. Rumi jatuh cinta dengan Tabris. Balkis dengan Sulaiman. Majnun dengan Layla. Siti Khatidjah dengan Muhammad.”

“Aku minta maaf, mungkin aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Aku pikir setelah di surga nanti, aku akan berjumpa dengan Yusuf dan Muhammad. Pada saat itu apakah aku masih bisa mengingatmu. Apalagi kalau Tuhan melumatku dengan cinta. Aku yakin, benar-benar yakin, pada saat itu, jangankan bertemu denganmu, meng-ingatmu saja aku tidak mau. Lagi pula aku ingin ada peningkatan dalam hidupku. Masa jauh-jauh di surga yang kutemui hanya kau. Tidak usah di surga pun aku bisa ketemu denganmu. Yang jelas, di sana aku tidak mungkin mau menemui orang-orang menyebalkan macam kau. Di surga aku hanya ingin ketemu dengan kekasihku, Tuhanku, dan akan kuhabiskan cintaku di sana. Sepuasku. Titik.”

”Dadah… Selamat tinggal.” Hah!!!n

*Penulis adalah Alumni SKM AMANAT IAIN Walisongo Semarang

Cerpen pernah Dimuat di Suara Merdeka, 2002.

Page 21: Mengungkap mafia beasiswa

�1AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

SASTRA BUDAYASASTRA BUDAYA

n Sajak-sajak Mohammad Faizun

Oleh Aufal Marom

n Tembang Macapat

Dedalane guno lawan sekti

kudu andhap asor

Wani ngalah dhuwur wekasane

Tumungkula yen dipun dukani

Bapang den simpangi

ono catur mungkur

Barangkali, bait tersebut masih asing bagi sebagian masyarakat. Namun, bagi

sebagian kecil masyarakat lain, bait yang merupakan potongan tem-bang macapat Mijil tersebut sangat lekat dan menginspirasi karena mengandung makna filsafat yang dalam. Di antaranya, menyangkut etika, tata krama, perdamaian, dan penyeru kebajikan.

Itu pula yang menginspirasi Mariono, salah seorang pegiat macapat, untuk melestarikan tem-bang macapat. Baginya, macapat merupakan kekayaan kebudayaan jawa yang patut dilestarikan. Kesa-daran itulah yang membawa lelaki kelahiran Klaten tersebut setiap minggu menyempatkan diri untuk belajar macapat di museum Rong-gowarsito, Kalibanteng.

Tak berhenti sampai di situ, di rumah, Mariono giliran menularkan kesadaran tersebut pada cucu-cu-cunya. Menurutnya, macapat harus diajarkan kepada anak-cucu agar budaya tersebut tak putus generasi.

Mariono adalah satu contoh pelestari macapat yang saat ini tak banyak diminati masyarakat, teru-tama kalangan muda. Hal itu turut diamini dosen Kebudayaan Jawa, Sudharto. Menurutnya, masyarakat, terutama pemuda tak memiliki kepedulian terlebih tanggung jawab terhadap pelestarian tembang macapat.

Sudharto menambahkan,

Macapat merupakan budaya Jawa sarat nilai. Minimnya kepedulian masyarakat membuatnya “sekarat”.

Tembang Penyeru Kebajikan

tembang macapat adalah salah satu kebudayaan Jawa yang mulai mm-ditinggalkan oleh masyarakat Jawa itu sendiri.

“Kalau tidak orang Jawa yang melestarikan budaya jawa, lalu siapa lagi,” tutur Sudarto.

Pernyataan Sudharto menemu-kan relevansinya saat berkunjung di salah satu tempat belajar tembang macapat di museum Ronggowarsi-to. Peserta kursus di tempat tersebut hanya terdiri dari segelintir orang. Parahnya, kebanyakan peserta terdiri dari kalangan orang tua, atau seniman.

Hal itu diakui salah seorang guru macapat Tukino, ia mengungkap-kan, 90% orang yang mau belajar macapat adalah seorang seniman. Itupun, tambahnya, kebanyakan orang tua.

Kenyataan itu dianggap Tukino sebagai lonceng kematian maca-pat. Budaya macapat, menurutnya, akan mati jika peminatnya hanya terdiri dari kalangan orang tua. Sebab, pemudalah yang semestinya menjadi generasi penerus pelestari macapat. Makanya, ia mengimbau, pelajaran macapat mesti ditan-amkan sejak dini untuk menjaga budaya macapat dari ancaman kepunahan.

“Macapat terancam mati.”

Budaya Tinggi

Menurut sejarah, macapat sudah ada sejak menjelang bera-khirnya kerajaan Majapahit. Konon, antara abad kelima belas sampai enam belas, banyak karya sastra yang bermunculan. Salah satunya, tembang macapat yang berarti pitutur kebaikan. Tembang macapat yang dikenal sampai saat ini ber-jumlah sebelas. Yaitu, maskumam-

bang, mijil, sinom, kinanthi, asmarand-hana, gambuh, dandanggula, durma, pangkur, megatruh dan pocung.

Di balik nama masing-masing tembang tersebut tersirat makna yang dalam tentang filsafat hidup manu-sia. Mulai dari “maskumambang” yang memvisualisasikan kehidupan manusia di alam rahim, sampai pada “pocung” yang berarti titik akhir ke-hidupan manusia (kematian).

Ya, macapat, seperti dituturkan Tukino, memang mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Di samp-ing itu, pelafalan macapat lebih sulit karena menggunakan bahasa Jawa asli. Itulah, tambahnya, salah satu sebab mengapa masyarakat enggan mem-pelajari macapat. Terlebih, macapat dianggap tidak memiliki prospek yang bisa memberikan keuntungan materi.

“Anak muda tak suka tembang macapat,” tuturnya.

Budaya macapat kian terpinggirkan akibat tergerus kebudayaan populer. Peminggiran macapat itu tampak pada penggunaan tembang macapat yang hanya digunakan pada resepsi pernika-han Jawa, atau ritual Jawa tertentu.

Peminggiran macapat menurut Tukino juga tampak pada penihilan pelajaran macapat pada kurikulum sekolah. Padahal, sekolah merupakan lembaga strategis untuk menanamkan kecintaan anak terhadap macapat. Sayangnya, hal itu tak disadari betul terutama oleh para pendidik.

“Siswa hanya disuguhi tembang dolanan,” tutup Tukino.n

– Cogito Ergo Sum – :kepada Puisisebongkah rasa kusemai maknaselaksa kata kuuntai “ada”sederai sepi kuukir puisi sedari puisi kucari diri:di mana aku kau curi?

Hujan Bulan MeiAdalah cinta yang ditumpahkan langit kepada rekah padi di sawah sebelum akhir hasratkan menjadikannya kekasih jahat.

Adalah rinai rindu yang dihabiskan senjakepada emas yang tetap mengempas di ufukmengurai panah sendu,lalu dilukislah sebuah kenangan.

Adalah puisi yang dilampiaskan malam kepada detak jam di atas genting dengan terpaksa sebelum melepas air mata.

Bagimu, hujan bulan Mei adalah Ketika rindu benar-benar menunggu di halamanlalu kau habiskan suaramu yang parau kepada matahari, “kau akan menjaga ingatanku pada sisa rintik bulan ini, kan?atau kau kan temukanku pada hati Sapardinanti?!”

Semarang, 5 Mei 2012

Sepulang dari Jalan Pemuda:bersama Arif Srabi Loraku tekan-tekan tinta pelangidari jemari bocah yang sedang berlomba mengurai imajinasi menyerupai konstruk masalaluku di ufuk timur.lalu selaksa bayang matahari menemaniku mencari-cari titik sketsapada tiap fatamorgana aspal kota.

senja pun tiba mengantarkan malamnyasedang aku masih mencari wajahku di lembar-lembar buku gambarhingga malam yang akhirnya sama-sama kehilangan kunang-kunang bintangmemberiku pensil-pensil baru.

Semarang, 29 April 2012

AmsalaronPada awalnya laron mengira akan lama menerbangkan sayapnya.Pada akhirnya manusia menyadariakan hidup yang serupa sayap laron juga.

Semarang, 20 Mei 2012

Sinden yang menghibur penonton dalam sebuah acara dengan tembang macapat

Mohammad Faizun, mahasiswa jurusan Tafsir Hadits 2009. Sejumlah puisinya pernah terbit di media lokal. Juga turut terhimpun dalam beberapa antologi bersama dan nomi-nasi lomba. Sekarang bergiat di komunitas sastra, Soeket Teki dan Forum Lingkar Pena (FLP) Ngaliyan.

Page 22: Mengungkap mafia beasiswa

�� AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

Memotret Jejak KolonialKota dengan aura Belanda ini menyimpan riwayat panjang. Bangunan-bangunan kuno berjajar-berhadapan menarik perhatian. Orang-orang datang untuk mengabadikan gambar. Sayang, Kota Lama tak terawat.

Berjalan dari Pasar Johar Sema-rang menuju arah timur (jurusan Surabaya), kita akan merasakan sesuatu yang berbeda. Beberapa

meter setelah melewati kantor Pos kita akan menjumpai bangunan-bangunan dengan arsitek khas. Dari sinilah, kita mulai memasuki kawasan kota lama. Jem-batan Berok atau orang-orang Belanda dahulu menyebutnya dengan De Zuider port menjadi salah satu pintu gerbang memasuki kota dengan sebutan the litle netherland itu.

Melewati jembatan Berok kita benar-benar memasuki kawasan Belanda. Dari Berok ke timur adalah jalan Letjen Soe-prapto. Jalan tersebut searah (ke barat). Akan lebih nyaman dan romantis jika kita bersepeda atau malah berjalan kaki. Jalan ini merupakan jalur utama di masa kolo-nial Belanda. Jalan yang pada masa lalu bernama Heeren Straat ini menghubung-kan antara gerbang satu dengan gerbang lainnya. Gerbang barat bernama De Wester Poort, sedangkan gerbang timur bernama De Oost Poort.

Kota Lama Semarang berada di Kelu-rahan Bandarharjo, kecamatan Semarang Utara. Luasnya mencapai 0,3125 km2. Sebelah utara berbatasan dengan Jalan Merak, sebelah timur berbatasan den-gan jalan Cendrawasih, sebelah selatan berbatasan dengan jalan Sendowo dan sebelah barat dengan jalan Mpu Tantular.

Peneliti Fakultas Teknik Universitas Katolik Sugijopranoto, LMF Purwanto menunjukkan kawasan Kota Lama merupakan pusat pemerintahan kolonial Belanda. Pada 15/01/1678 Kerajaan Mata-ram menyerahkan pelabuhan utamanya kepada VOC yang telah berjasa mem-bantu Mataram menumpas pemberon-takan Trunojoyo. Sejak itu muncul pula berbagai pemberontakan atas pendudu-kan Belanda di Semarang. Lantas VOC membangun benteng yang mengelilingi pemukiman warga Belanda di atas tanah pemberian itu.

Lambat laun, kehidupan di dalam

Oleh Abdul Arif dan Afiyati Badriyah

benteng tersebut berkembang dengan baik. Satu persatu bangunan baru didiri-kan. Sebuah peta tahun 1708 menun-jukkan bentuk benteng yang bernama Vijhoek itu berbentuk segi lima. Benteng tersebut dikelilingi lima menara: Zee-land, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk, dan Bunschoten. Benteng ini berfungsi sebagai pusat militer.

Pemerintah Belanda juga membangun gereja Emmanuel atau sekarang dikenal dengan nama Gereja Blenduk di dalam benteng. Jika dihitung, usia Gereja Blen-duk ini mencapai 257 tahun. Bangunan tersebut pertama kali didirikan pada 1753 oleh Belanda. Menurut data, bangunan tersebut sudah mengalami perombakan beberapa kali. Bentuk bangunan yang sekarang ini merupakan karya HPA De Wilde dan W Westmaas yang saat ini difungsikan sebagai tempat ibadah jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel Semarang.

Arsitektur Kota Lama Semarang yang terlihat saat ini lebih nampak sebagai perpaduan gaya eropa dengan sentuhan lokal. Menurut B Adji Murtomo (2008) gaya arsitektur Kota Lama dikembangkan dari hasil pencarian kelompok pelukis de stijl oleh W M Dudok arsitek Liem Bwan tjie (1930) dan JEL Blankenberg (1938). Rancangan mereka memiliki ciri dind-ing polos dan jendela kaca yang menerus membentuk garis-garis horizontal kuat. Dengan paduan menara menjulang ber-hiaskan panel kaca sebagai titik tangkap, membuat kontras dengan sekitar.

Menghidupkan Seni dan BudayaKawasan kota lama dengan kekayaan

urban menjadi salah satu ikon wisata bu-daya di Kota Semarang. Banyak pengun-jung yang tertarik pada bangunan-bangu-nan yang unik. Wawan misalnya, pria asal Jepara itu rela menghabiskan berjam-jam untuk mengambil gambar di kawasan Kota Lama. Ia datang bersama tiga orang kawannya, Ila, Marlin dan Reni. Mereka bergantian saling memotret. Berpindah dari satu bangunan ke bangunan yang

lain.“Tempat ini sangat asyik untuk foto-

foto. Banyak gedung-gedung yang bagus,” jawab Wawan ketika ditanya alasan memi-lih kawasan Kota Lama.

Selain Wawan ada juga Pleb yang da-tang dari Demak untuk pembuatan video klip. Ia bersama grup band dan sejumlah kru seharian mengambil gambar di sekitar Gereja Blenduk. Taman Srigunting men-jadi objek paling lama dalam pengambi-lan gambar.

“Ya, kita di sini sedang membuat video klip untuk album perdana berjudul Ju-wita,” ungkapnya. Menurutnya, latar Kota Lama sangat cocok dengan cerita dalam album Juwita.

Namun, di balik romantisme Kota Lama ternyata tidak didukung dengan in-frastruktur yang memadai. Hal itu diakui aktivis Oude Stad Art and Culture Sema-rang (Oase), Harry Suryo. Menurutnya kawasan Kota Lama belum bisa mengun-dang wisatawan. “Orang yang datang ke sini, ingin makan atau buang air, susah. Harus nyari di tempat lain,” ungkap lelaki pecinta sejarah itu.

Namun, Harry menilai, untuk mem-bangun Kota Lama tak cukup hanya dengan modal infrastruktur saja. Lebih dari itu, kehidupan seni dan budaya di kawasan Kota Lama harus digalakkan. Ia pun bersama beberapa komunitas, seperti sepeda, photografer, seni dan lainnya mencoba menghidupkan kembali atmos-fer kebudayaan di Kota Lama.

Ia memiliki angan-angan untuk meny-uguhkan sesuatu yang khas Semarang di Kota Lama. “Kalau kita bisa mengenalkan seni atau cendera mata yang memiliki nilai jual, akan mengangkat Kota Lama,” ungkap Harry optimistis. Selain itu, Oase juga membuka ojek sepeda kuno. Ojek ini melayani masyarakat yang ingin berkelil-ing menikmati pemandangan di Kawasan Kota Lama.

Kendala KepemilikanHarry mengatakan, pengelolaan ka-

wasan Kota Lama masih menuai kendala.

Hal itu diakui oleh Kepala Bidang Pena-taan dan Pemanfaatan Bangunan DTKP Kota Semarang Irwansyah sebagaimana dilansir Suara Merdeka (3/5). Menu-rutnya, dalam melakukan inventarisasi bangunan cagar budaya di Kota Sema-rang terkendala soal kepemilikan. Ia men jelaskan, sebagian besar bangunan itu milik perorangan.

Setidaknya ada sekitar 300 bangu-nan cagar budaya di Kota Semarang. Dari jumlah itu, hanya lima persen yang menjadi milik Pemerintah Kota (pemkot). Irwansyah mengatakan, kendala dalam melakukan inventarisasi bangunan karena pemiliknya sulit diajak komunikasi.

Meskipun dalam Undang-undang dijelaskan bahwa pengalihan aset ban-gunan diperbolehkan dalam batas waktu tertentu. Pemkot hati-hati dalam men-gambil keputusan. Menurut Irwansyah, butuh kajian mendalam dan melibatkan banyak kalangan untuk mengambil alih aset bangunan tersebut.

Sementara itu, Dewan Pengelola Kawasan Kota Lama (DPK2L) sebagai petugas inventarisasi, merasa kesulitan menemukan pemilik bangunan-bangu-nan tersebut. Hal itu diakui oleh ketua DPK2L Kota Semarang Surachman. Ia mengatakan selama ini pihaknya sudah menyebar surat inventarisasi yang ditu-jukan kepada penghuni atau pihak yang menempati bangunan di Kota Lama, tapi belum efektif.

Melalui surat itu, DPK2L meminta agar penghuni bangunan menyerahkan foto kopi surat hak milik (HM) bangunan dan data pemilik bangunan. Tenyata tak sedikit yang menyerahkan fotokopi surat Hak Guna Bangunan (HGB). Surachman mengaku, DPK2L masih menunggu hasil koordinasi dari Dinas Tata Kota dan Peru-mahan (DTKP) Kota Semarang.n

Suasana Kota Lama di siang hari (kiri) dan pada saat malam hari (kanan)

CERMIN KOTA LAMA

Page 23: Mengungkap mafia beasiswa

��AMANAT Edisi 118 AGUSTUS �01�

MIMBAR

Gerakan untuk—dan umumnya mengatasnamakan—pemur-nian Islam merupakan fenome-na yang lazim ditemukan dalam

sejarah perkembangan pemikiran dan dakwah Islam. Gerakan itu silih berganti bermunculan dan saling mengklaim diri sebagai pengamal Islam yang paling oten-tik dan sempurna.

Citra diri (self-image) sebagai muslim yang otentik dan murni dibangun sedemi-kian rupa dan dihubungkan dengan suatu periode ma qabla al-khilaf (Islam pra-perselisihan dan perbedaan), sebagaima-na dikampanyekan oleh para tokoh pem-baru dan reformis (salafi) di Timur Tengah (Baso, 2005: 87).

Setiap gerakan purifikasi Islam—baik yang berbentuk organisasi (jam’iyyah), perkumpulan (jama’ah), perseorangan maupun manhaj pemikiran atau gaya hidup (life style)—umumnya—bila dianal-isis melalui teori kolonialisme—menggu-nakan politik belah bambu (yakni tangan mengangkat, kaki menginjak) bila berha-dapan dengan pihak-pihak yang berbeda dengannya (the other). Dalam kolonialis-me, selalu muncul karakter menaklukan—baik terhadap tanah dan teritori maupun pikiran dan budaya—untuk menguasai segalanya (Nandy, 1983).

Dengan meminjam ungkapan Nietsc-zhe “the will to know, the will to power” (Baso, Ibid), apa yang dimaksud sebagai Is-lam tradisional, Islam puritan, Islam mur-ni, Islam sinkretis, kaum Salaf, ahl bid’ah dan lain-lain ditentukan oleh proses-pros-es identifikasi dalam ruang subyektifitas.

Dalam proses ini, negative labelling mulai dikenakan pihak lain (the others) dan positive labelling dicitrakan kepada diri sendiri (self). Maksudnya adalah mereka—yang mengaku sebagi pemur-nian Islam—mengecap organisasi dan orang yang berada di luar dirinya sebagai yang sesat dan menyimpang dari Islam murni, sementara diri dan organisasi yang digelutinya berjalan di atas syari’at Islam.

The Other ditundukkan dan dimargin-alisasikan sebagai pembuat bid’ah dan ahli neraka berdasarkan justifikasi dok-trin-doktrin agama yang dipahami secara harfiah dan literal. Padahal paham yang dibawa oleh Islam puritan belum tentu sahih menurut Allah Swt. Kebenaran yang mereka promosikan belum tentu sejalan dengan kebenaran yang dibawa oleh al-Qur’an dan al-Hadits.

Cermin Yang RetakGerakan pemurnian Islam selalu men-

Dakwah ‘Belah Bambu‘ Islam Puritan

jadikan masa Rasulullah SAW, shahabat dan tabi’in sebagai cermin dan panutan utama dalam kehidupan. Islam pada tiga masa itulah yang didefinisikan sebagai Is-lam ideal, murni dan otentik (al-ashalah).

Asumsi tersebut berasal dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ab-dullah ibn Mas’ud bahwa: ”Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, ke-mudian orang-orang setelahnya (khair al-quruni qarni tsumma alladzina yaluna-hum tsumma alladzina yalunahum). (HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635).

Inilah salah satu hadits yang biasa digunakan oleh kaum salafiyyun dalam mendakwahkan pemahaman dan keyaki-nannya. Melalui hadits ini pula, mereka menyusun teori dan kriteria tentang ke-haraman bid’ah; melakukan amaliah iba-dah yang tidak pernah ada contohnya pada generasi tersebut.

Dalam bayangan gerakan pemurnian, Islam yang seperti inilah yang telah lama hilang dari masyarakat muslim, baik dis-ebabkan karena kelalaian atau ’disengaja dicuri’ orang lain (Boulatta, 2000: 19-20). Oleh karena itu, sebagian umat Islam di setiap babakan sejarah memandang perlu selalu mencari otentisitas Islam agar mem-peroleh kembali zaman keemasannya.

Lahirnya gerakan pemurnian Islam ini—selain kata pemurnian, juga dipakai istilah purifikasi [pelakunya disebut pu-ritan], tajdid atau pembaharuan—dipicu oleh beragam sebab, sesuai dengan moti-vasi dan latar belakang tokoh pembaharu, situasi dan kondisi negara atau wilayah tertentu. Bahkan aksentuasi dan garis per-juangannya juga berbeda-beda.

Pembaharuan yang terjadi di Mesir, misalnya yang dilakukan oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), sangat berbeda latar belakang, aksentuasi perjuangan dan semangatnya dengan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ibn ’Abdul Wahhab (1703-1787) di Saudi Arabia.

Al-Afghani menganggap kemunduran umat Islam disebabkan banyak hal, antara lain adalah umat Islam yang telah men-inggalkan ajaran-ajaran Islam. Padahal umat Islam pernah berjaya dengan ajaran itu pada masa lalu, dan sempat berkuasa terhadap bangsa-bangsa lain. Untuk men-capai tujuannya, al-Afghani tidak menggu-nakan kekerasan melainkan dengan cara-cara persuasif dan intelektual.

Menurut al-Afghani, obatnya yang pal-ing manjur adalah kembali pada dasar-dasar agama mereka, berpegang teguh pada segenap hukumnya sesuai dengan apa yang pernah dulu diamalkan dengan kukuh oleh umat Islam pada masa awal perkembangannya.

Bandingkan dengan klaim pembaharu-an yang terjadi di Saudi Arabia. Pemikiran yang dicetuskan Muhammad Ibn Abd al-Wahhab untuk memperbaiki umat Islam bukan sebagai reaksi atas situasi politik, tetapi sebagai reaksi atas merebaknya ajaran tarekat atau tasawuf yang dianggap merusak aqidah umat Islam.

Ziarah kubur, washilah, tabarruk, bid’ah dan sejenisnya harus dihapuskan dari keyakinan umat Islam. Untuk mengemba-likan kemurnian tauhid, Ibn Abd al-Wah-hab tidak segan menghancurkan makam-makam yang disucikan umat Islam di daerah itu. Karbala—tempat makam al-

Husain—diserang, hiasan-hiasan yang ada di atas makam Nabi Muhammad Saw di Madinah dirusak, dan kiswah sutra yang menutup Ka’bah di Makkah dirusak pula (Abbas, 2004: 352-361).

Ibn Abdul Wahhab, tokoh yang pada masa mudanya adalah seorang penganut sufi tetapi kemudian terkena pengaruh tu-lisan-tulisan Ibn Taymiyyah, menentang otorita aliran-aliran zaman pertengahan dan hanya mengakui Al-Qur’an dan Ha-dits serta penjelasan dari para shahabat. Dalam kenyataannya kini, Wahabisme telah menjadi istilah generik, yang dapat diterapkan tidak hanya kepada gerakan yang dinisbatkan kepada Ibn Abdul Wah-hab, tapi juga pada semua jenis fenomena yang analog di seluruh dunia Islam yang mencanangkan ”pemurnian” agama dari bid’ah-bid’ah (Rahman, 2000: 289).

Politik Pemurnian IslamApabila dikaitkan dengan lahirnya

kelompok-kelompok Islam baru yang mengaku sebagai paling otentik, maka pemaknaan istilah pemurnian, reformasi, purifikasi, puritanisme, modernisme, taj-did atau pembaharuan Islam sangat ter-gantung dengan ’politik, sasaran dan tu-juan dakwah’ yang diinginkan.

Jangan heran bila istilah-istilah di atas menjadi ajang ”pencitraan diri’ (image building)—sebagai yang paling Islam—se-mata. Oleh karena itu, makna pemurnian Islam menjadi menyempit dan diartikan sekedar perlawanan terhadap tradisi dan kepercayaan yang koruptif dan menyim-pang, serta seruannya untuk kembali ke-pada ajaran yang murni (Mughni, 2001: 5).

Dengan makna semacam ini berarti gerakan pemurnian Islam sejatinya bu-kanlah agenda eksklusif milik satu kelom-pok tertentu, melainkan menjadi agenda bersama seluruh umat Islam yang meng-inginkan hidupnya sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Terbukti tidak ada satupun umat Islam yang mengakui bersalah jika dituduh oleh kelompok lain sebagai gerakan Islam yang menyimpang. Bahkan yang sudah nyata-nyata berlawanan dengan pemahaman mainstream (aliran induk) sekalipun, tetap saja ia merasa masih berada dalam arena perjuangan mencari Islam yang otentik.

Sebutlah misalnya kelompok yang dikenal dengan inkar al-sunnah, mereka juga mengklaim diri ingin memperta-hankan Islam hanya dari sumbernya yang asli saja. Seperti diketahui, mereka kurang yakin akan keaslian hadits, dan mengang-gap hanya al-Qur’an sebagai sumber asli. Oleh karena itu, nama yang mereka pakai sendiri adalah Islam Qur’ani (Bruinessen, 1992: 22).

Gerakan pemurnian Islam merupakan fenomena penting dalam perkembangan Islam, baik ditinjau dari aspek pemikiran maupun gerakan dakwah. Sepintas tam-paknya, gerakan pemurnian ini muncul secara periodik dan terutama selalu di-hubungkan dengan keadaan ketika umat Islam mulai menyimpang dari ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadits), kemerosotan mor-al, dan keterdesakan umat akibat masalah-masalah politik, baik karena politik dalam negeri atau akibat kolonialisme. Penyim-pangan itu dipandang oleh para pengan-jur purifikasi sebagai kemerosotan agama dan masyarakat Islam. Untuk mencapai

kejayaan Islam kembali, agama harus dib-ersihkan dari segala penyimpangan.

Pembaharuan yang SejukPada umumnya, ada tiga unsur dalam

wacana pembaruan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh pembaru dan seringkali menimbulkan polemik di internal umat Islam (Baso, 2005: 97-8). Pertama, meno-lak dasar-dasar modernitas Barat; kedua, menuduh orang-orang yang mengadopsi modernitas Barat sebagai orang yang lalai, pentaklid buta, dan bahkan sebagai peng-khianat dan antek Barat; ketiga, sebagai al-ternatif, yang dibutuhkan adalah menyeru umat Islam untuk kembali kepada agama Islam sebagaimana yang diamalkan pada masa awal, yaitu masa Nabi Muhammad dan khalifah penggantinya.

Kemunduran umat Islam di satu sisi dan kemajuan bangsa Barat di sisi lain, memang menggemaskan bagi para pem-baru. Mereka selalu mendorong gerakan kebangkitan (al-nahdah) dari umat Islam untuk menggapai kejayaannya sebagaim-ana umat pada masa pertengahan. Say-angnya, seruan kembali kepada ajaran Islam yang murni justru malah memantik kekecewaan dari umat Islam sendiri kare-na pemahaman dan praktik keagamaan yang sudah ratusan tahun diamalkan oleh masyarakat setempat dianggap sebagai bid’ah dan menyimpang dari ajaran Islam.

Konsekuensi dari kredo al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah (back to the Qur’an and the Sunna) memang cukup berat. Seo-lah-olah agama selalu menolak apa saja yang berbau budaya atau tradisi. Muham-madiyah misalnya, yang telah mengklaim diri sebagai pembaru, pelaku tajdid, atau penyuara reformasi Islam, kadang terden-gar seperti anti-kebudayaan. Padahal—menurut Kuntowijoyo, tidaklah demikian maksudnya (2001:158-9).

Pembaruan pola pikir, pemahaman dan strategi perjuangan yang berusaha menjawab tantangan zaman memang se-lalu muncul di setiap babakan sejarah. Untuk sebagian, pembaruan itu dilakukan oleh para mujaddid, sebagian oleh para penguasa dan sebagian lagi adalah kolab-orasi antara mujaddid dan penguasa. Mas-ing-masing memiliki ragam pemikiran, ak-sentuasi gerakan dan langgam perjuangan yang tidak sama.

Oleh karena itu, tidak semua umat Is-lam setuju atau tidak setuju dengan ger-akan tersebut. Maka yang terpenting dari slogan ”kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” adalah segi pelaksanaannya yang beragam. Slogan ini menyangkut tingkat pengetahuan dan pengertian: menyeluruh atau parsial, aksentuasi yang tepat atau tidak, latar belakang pendidikan, lingkun-gan dan kepentingan (interest) (Madjid, 1997: 237).

Penting untuk dicamkan oleh umat Islam bahwa pembaruan Islam mesti dil-etakkan pada posisinya yang mulia. Ia tidak sekedar koreksi dan lalu menggang-gap dirinya paling benar dan orang lain dianggap salah. Pembaruan Islam adalah ruh Islam yang menyatukan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman, bu-kan malah memecah belah.n

Abu Rokhmad,Dosen IAIN Walisongo Semarang

Oleh Abu Rokhmad

Page 24: Mengungkap mafia beasiswa

�� AMANAT Edisi 118AGUSTUS �01�

OSOKS

Tanamkan Optimismen Muhammad Amirudin

Beberapa orang terdekat Amir sem-pat pesimis terhadap tekad Amir menjadi seorang atlet bela diri. Ter-

masuk, ibu kandungnya. Ibu Amir seo-lah tahu betul, tubuh Amir yang ringkih dan kala kecil sering sakit-sakitan itu, tak pantas menjadi atlet bela diri yang lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik. Na-mun, itu tak lantas menyurutkan tekad Amir untuk menerjuni bela diri. Toh, pili-han Amir itu mulanya didorong oleh ke-inginan untuk melindungi diri dan ibunya sepeninggal sang ayah.

Untuk memenuhi citanya, setiap malam, Amir menghabiskan waktu untuk latihan dengan guru silat di kampungnya. Tekad dan konsistensi Amir pada akh-irnya berbuah hasil. Kemampuan bela diri Amir mulai teruji saat ia menginjak usia dewasa dengan mengikuti berbagai

kejuaraan tingkat SMA. Dalam berbagai turnamen yang ia ikuti, Amir berhasil me-nyabet delapan medali.

Menjadi juara, bagi Amir, bukan perka-ra gampang, butuh kerja keras disertai do’a. Kerja keras dalam bela diri ia maknai dengan memperbanyak latihan. Latihan, baginya tak melulu mematangkan kekua-tan fisik, namun juga mempersiapkan strategi dan taktik untuk melumpuhkan lawan atau memenangi pertandingan. Tanpa itu, seorang pendekar, sebutan untuk pesilat, tak mungkin berhasil atau menang.

“Silat bukan hanya soal fisik, namun strategi.”

Kemampuan bela diri Amir kian terasah saat ia menginjakkan kaki di IAIN. Terlebih, di IAIN ada beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang menekuni bela diri. Tanpa pikir pan-

jang, ia lantas berlabuh di Persauda-raan Setia Hati Terate (PSHT). Di PSHT

Amir mengaku banyak mendapatkan pe-lajaran. Salah satu ajaran penting yang ia terima dari PSHT adalah tentang etika dalam pertandingan yang sebelumnya terabaikan.

Ia menyadari, menjunjung etika dalam pertandingan sangat penting. Apalagi, egoisme untuk menang seringkali mem-buat seorang mengabaikan etika dalam pertandingan. Misalnya, memancing emosi lawan, atau mencederai lawan dengan sengaja. Idealisme PSHT selalu mengedepankan dan menjunjung tinggi etika dalam pertandingan.

“Etika bertanding adalah menghormati lawan,” tuturnya.

Berbeda saat duduk di bangku sekolah, di IAIN tak banyak mengikuti turnamen bela diri. Tanggung jawab besar sebagai

pengurus inti di PSHT membuat jadwal-nya semakin padat. Namun, prestasi Amir di bidang lain justru kian menanjak. Kali ini ia tak lagi duduk sebagai peserta, lewat seleksi ketat, Amir ditunjuk sebagai wasit dalam beberapa kejuaraan silat. Penun-jukan Amir sebagai wasit merupakan prestasi yang mengagumkan. Apalagi, di usianya yang masih belia untuk kategori seorang wasit.

Termasuk, keberhasilannya saat di-tunjuk menjadi Official Team PSHT IAIN Walisongo pada kejuaraan internasional bertajuk “Kejuaraan Sebelas Maret Inter-national Pencak Silat Championship”, di Solo, Maret lusa.

Dalam event tersebut, tiga anggota PSHT, yaitu, Ansori, M Abdul Kahar, dan Faisal Habibi berhasil memboyong med-ali emas untuk cabang seni beregu putra dalam kejuaraan internasional tersebut. Mahasiswa lain, Faisal Kharis, juga ber-hasil mempersembahkan medali perak cabang laga putra untuk IAIN.

Amanat menjadi Official bagi Amir lebih berat ketimbang peserta. Di samp-ing mendampingi, ia dituntut bisa mem-berikan masukan kepada pemain. Mem-berikan masukan kepada pemain dalam pertandingan bukan perkara gampang. Sebab, official hanya diberi waktu 20 de-tik untuk mengarahkan atletnya.

“Harus pandai merangkum kata.”Amir berbagi tip keberhasilannya dan

tim dalam memenangi pertandingan.Yaitu, tetap menanamkan sikap optimis. Prinsip tersebut mesti selalu dipegang un-tuk meraih kesuksesan. Ia tak mengelak-kan mental pesimisme selalu menghantui tim saat pertandingan. Pemicunya, antara lain, soal keterbatasan sarana dan pera-latan untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan anggota PSHT. Ia

Nama: Muhammad Amiruddin

Prestasi: mendapat piala emas Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) 2007, piala perak Popda eks-karisedenan 2007, piala perak Kejurda Pelajar Jateng-DIY di Sultan Agung 2008, piala perunggu SH Cup di IAIN Walisongo 2008, piala emas seleksi pra Prov di Kendal 2008, seleksi pra Prov se-Jateng di Grobogan 2008, piala perak Rector Cup 1 IAIN Walison-go 2009, piala perunggu Djunaedi Cup 1 2010, piala perunggu Pekan Olahraga Mahasiswa provinsi (POMPROV) 2011

Pengalaman: menjadi Pengurus PSHT IAIN Walisongo (2009 s/d), Oficial PSHT IAIN Walisongo pada Silat Internasional di UNS 2012 yang merebut piala emas, menjadi wasit juri pencak silat penataran di Kendal dalam: Kejuaraan Ranting Cup 2010, Seleksi Kejurda Kendal 2011, Dju-naedi Cup 2011, Popda 2012 di Kendal, POPDA 2012 di Semarang, Try out Kota Semarang Pplp Jawabarat 2012, Kejur-nas di Bekasi 2012, dan Seleksi Porprov SHT 2012 di Kendal.n

Selamat atas terbitnyaantologi cerpen Soeket Teki“Pembunuh Bulan Perawan”

dan kawan menepis keterbatasan itu den-gan optimisme. Berbekal itu, nyatanya, mereka berhasil menorehkan prestasi di kancah internasional.

Di sela ambisinya untuk terus menge-jar prestasi, Amir aktif mendampingi dan menularkan ilmunya kepada generasi setelahnya. Harapnya, bibit baru akan terus muncul mengharumkan bangsa.nn

M. Faizun

Selamat atas diwisudanya:Khoirul MuzakkiFathul JamilFarid HelmiIke RahmawatiSiti Nur AnisahAnik Sukhaifah

Nantikan launchingnya, segera . . .