Mengungkap Maha Karya Tafsir AL-Thabari

41
Kajian Reguler Al-I’jaz Ikatan Keluarga Pondok Modern Cab. Kairo Kamis, 8 Jumadilakhir 1434 H 18 April 2013 M Mengungkap Maha Karya Tafsir Al-Thabari (Telisik Penerapan Israiliyat dan Metode Penafsiran Al-Quran Perspektif Imam Thabari) A. Pendahuluan Aktifitas penafsiran seolah tiada habisnya. Semenjak zaman Rasulullah hingga sekarang, penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran terus dilakukan oleh para ulama pada masa mereka masing-masing. Penafsiran pun berkembang mengikuti kebutuhan manusia yang semakin beraneka ragam. Salah satu faktor perkembangan tafsir tersebut adalah perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran dengan segala kandungannya akan terus berlaku, tak lekang oleh zaman dan tak terbatas oleh tempat. Sebagaimana yang disamapaikan oleh Muhammad Al-Mutawali Al-Sya’rawi bahwa kandungan Al-Quran mampu memberikan anugerah kepada seluruh umat, meski masa mereka yang berbeda-beda. Artinya, segala kebutuhan umat –pada masa apa pun itu- maka Al-Quran mampu memenuhi kebutuhan tersebut. 1 1 Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Quran, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 2011), Cet. VIII, hal. 63.

description

Kajian Al-I'jaz

Transcript of Mengungkap Maha Karya Tafsir AL-Thabari

Kajian Reguler Al-I’jaz

Ikatan Keluarga Pondok Modern Cab. Kairo

Kamis, 8 Jumadilakhir 1434 H

18 April 2013 M

Mengungkap Maha Karya Tafsir Al-Thabari

(Telisik Penerapan Israiliyat dan Metode Penafsiran Al-Quran

Perspektif Imam Thabari)

A. Pendahuluan

Aktifitas penafsiran seolah tiada habisnya. Semenjak zaman Rasulullah

hingga sekarang, penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran terus dilakukan

oleh para ulama pada masa mereka masing-masing. Penafsiran pun

berkembang mengikuti kebutuhan manusia yang semakin beraneka ragam.

Salah satu faktor perkembangan tafsir tersebut adalah perkembangan ilmu

pengetahuan itu sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran dengan segala kandungannya akan

terus berlaku, tak lekang oleh zaman dan tak terbatas oleh tempat.

Sebagaimana yang disamapaikan oleh Muhammad Al-Mutawali Al-Sya’rawi

bahwa kandungan Al-Quran mampu memberikan anugerah kepada seluruh

umat, meski masa mereka yang berbeda-beda. Artinya, segala kebutuhan

umat –pada masa apa pun itu- maka Al-Quran mampu memenuhi kebutuhan

tersebut.1

Seiring waktu berjalan, maka muncullah Imam Thabari pada abad ke-2.

Dengan metode yang dimilikinya, ia berusaha untuk mengungkap segala

sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran. Meski hal itu tak akan pernah terjadi,

tetapi Imam Thabari telah berhasil menulis buku tafsir yang pembahasannya

meliputi banyak hal. Oleh karena itu, para ulama pun menilai tafsir Al-1 Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Quran, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 2011), Cet. VIII, hal. 63.

Thabari sebagai tafsir yang terbaik dan terluas pembahasannya dan

merupakan tafsir pertama yang tertulis berjilid.

Karena pentingnya mengetahui induk penafsiran tersebut, maka makalah

sederhana ini berusaha untuk mengupas tuntas metode Imam Thabari dalam

menafsirkan Al-Quran, sikapnya terhadap periwayatan Israiliyat dan

perjalanan hidupnya, sehingga mampu menguasai banyak disiplin ilmu dan

berkontribusi positif terhadap khazanah intelektual Islam.

B. Lahirnya Imam Multitalented

Imam Thabari hidup di antara abad ke-2 dan ke-3. Masa tersebut terkenal

dengan perkembangan ilmu pengetahuannya yang begitu pesat. Sejarah

mencatat, pada masa tersebut kodifikasi berbagai macam ilmu begitu gencar.

Hal ini salah satunya karena masa tersebut masih dipenuhi oleh para ulama

dari kalangan tabiin yang kadar keimanan dan ketakwaannya masih suci.

Sebagaimana hadis Nabi dari Umran bin Al-Hishin, “Sebaik-baik umatku

adalah –umat- pada zamanku, setelah itu adalah yang datang setelah mereka,

setelah mereka dan seterusnya.”2

Perkembangan ilmu ketika itu bukan hanya dilihat dari maraknya kodifikasi

berbagai macam ilmu, tetapi juga bisa dilihat dari tersebarnya halakah,

madrasah, perpustakaan yang tujuan pembangunannya tiada lain untuk

menyebarkan ilmu pengetahuan. Masjid-masjid ketika itu dipenuhi oleh para

ulama yang ikhlas mengajarkan ilmunya, khususnya para ulama hadis yang

mengajarkan hadis Nabi, baik secara riwayat atau dirayah. Sehingga bisa

disimpulkan bahwa hampir setiap orang yang hidup pada masa tersebut

seakan-akan saling berlomba dalam mencari dan menyebarkan ilmu.

Perkembangan ilmu seperti ini –sebagaimana diamini oleh Ibnu Khaldun

dalam karyanya, “Muqaddimah,” ternyata tidak terjadi di kawasan Iran saja,

tetapi juga terjadi di banyak tempat, seperti Irak, Yaman, Bashrah, Kufah,

2 Ali bin Abd Al-Aziz, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, (Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 2004), Cet. I, hal. 9.

Syam, Damaskus, Palestina, Mesir, Andalusia, Mekah, Madinah dan lain

sebagainya.3

Imam Thabari hampir menghabiskan umurnya di bawah kepemerintahan

Abasiah. Para ahli sejarah menuliskan bahwa Imam Thabari melewati hampir

sebelas kekhilafahan yang berbeda-beda, yaitu Al-Mu’tashim, Al-Watsiq, Al-

Mutawakil, Al-Muntashir, Al-Musta’in, Al-Mu’taz, Al-Muhtadi, Al-Mu’tamid,

Al-Muqtashid, Al-Muktafi dan terakhir Al-Muqtadir. Ia pun menyaksikan

bagaimana kekuasaan ketika itu berpindah dari Abasiah ke Turki Utsmani

dan bagaimana kawasan Abasiah ketika itu terpecah menjadi beberapa

kawasan, yaitu ketika zaman setelah kepemerintahan Al-Mutawakil (232-247

H).4

Namun pada masa tersebut, beberapa keburukan pun tersebar luas. Di

antaranya, tersebarnya paham ateisme, lunturnya budaya masyarakat dari

budaya Islami, seperti pada masa-masa sebelumnya, munculnya pembagian

kasta dalam tatanan masyarakat. Ahmad Nashri dalam bukunya, “Al-Manhaj

Al-Naqdi Fī Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu” membagi

tatanan masyarakat ketika zaman Abasiah tersebut menjadi tiga kasta. Kasta

pertama diberi istilah kasta “Astaqrathiyah.” Golongan yang termasuk pada

kasta ini di antaranya, keluarga khalifah, menteri, hakim, para pejabat dan

para saudagar. Selanjutnya kasta kedua. Golongan yang termasuk kasta ini di

antaranya, para pedagang, penyair, pujangga, penulis dan pekerja biasa yang

diberi biaya hidup oleh golongan kasta yang ada di atasnya. Terakhir kasta

yang paling rendah. Golongan yang termasuk kasta ini di antaranya, para

petani dan mereka yang termasuk pekerja kasar. Golongan ini rentan dengan

kesengsaraan, karena tidak sama sekali mendapatkan tunjangan hidup dari

3 Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2008), Cet. I, hal. 171. Hal lain yang menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat kala itu adalah banyaknya aktifitas periwayatan, penerjemahan, dan pencetakan ulang karya-karya ulama yang dilakukan oleh para pencari ilmu kala itu. Lihat, Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi Fī Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, (Beirut: Dar Ibn Hazm. 2012). Cet. I, hal. 22.

4 Op. cit., hal. 12.

golongan lainnya. Dan ternyata, masyarakat waktu itu secara dominan

termasuk pada golongan ini.5

Menengahi hal –yang saling bertolak belakang- tersebut, Ahmad Nashri

menukil perkataan Syauqi Dhaif, bahwa termasuk sikap yang salah jika kita

menilai dengan negatif keadaan masa Abasiah waktu itu secara keseluruhan,

karena hal tersebut tidak menutup kemungkinan munculnya kelompok-

kelompok yang zuhud dan saleh pada waktu itu dan di sebagian wilayah lain

masih terdapat masyarakat yang berbudaya islami yang sarat dengan akhlak

karimah.6

Ahli sejarah sepakat bahwa Imam Thabari dilahirkan di kota Amol, ibu kota

Tabaristan.7 Kawasan ini kini berada di Iran bagian barat. Dari sebelah utara,

kawasan tersebut berbatasan dengan Laut Kaspia. Sedangkan di bagian

barat, kawasan tersebut berdekatan dengan pegunungan Albers. Kawasan

tersebut dikuasai Islam setelah ditaklukkan pasukan Islam yang dipimpin

oleh Said bin Ash pada tahun 650 M. Pada awalnya, kawasan tersebut

bernama Mazandaran, tapi seiring waktu berjalan, berubah menjadi

Tabaristan. Nama Tabaristan diambil karena kawasan tersebut dipenuhi debu

bekas peperangan.

Sedangkan untuk tanggal, mereka masih berbeda pendapat. Sebagian

mereka berpendapat bahwa ia dilahirkan di akhir tahun 224 H (838 M) dan

5 Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi Fī Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, hal. 18-20.

6 Ibid., hal. 19. 7 Melihat kenyataan seperti ini, orientalis Jerman, Carl Brockelmann menyatakan

bahwa Imam Thabari termasuk ulama non Arab. Akan tetapi tuduhan ini tidak benar dan terbantahkan dengan beberapa faktor, yaitu, karya-karyanya yang sarat dengan kaidah bahasa Arab yang benar, kedalaman ilmunya tentang kaidah qiraat, komentar dalam buku sejarahnya, “Non Arab mengira atau Orang Persia mengira,” dan nama-nama nasabnya yang terlepas dari nama asing. Lihat, Amal Muhammad Rabi,’ Al-Israiliyat Fi Tafsir Al-Thabary, dirasah fii Al-lughah wa Al-Mashadir Al-‘Ibryah, (Kairo: Al-Majlis Al-A’la, 2010), t.c., hal. 13-14.

sebagian lainnya berpendapat, ia dilahirkan pada awal tahun 225 H (839 M).8

Laki-laki yang bernama lengkap Abu Jakfar bin Muhammad bin Jarir bin

Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Thabari9 ini tumbuh besar di dalam lingkungan

keluarga yang menjunjung tinggi perkara agama dan ilmu pengetahuan,

karena sebagaimana tadi disebutkan, bahwa masa tersebut adalah masa di

mana ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan semua orang

berlomba untuk mencari dan mengamalkannya.10 Keilmuan dan keluasan

wawasannya sudah terlihat semenjak kecil. Terbukti pada umur ke-7, Imam

Thabari kecil sudah menghafal seluruh isi al-Quran, selanjutnya pada umur

ke-8, ia sudah mampu memimpin masyarakat dalam Shalat dan pada umur

ke-9, ia sudah memulai menulis hadis dengan belajar dari para Syaikh yang

ada di Tabaristan dan sekitarnya seperti kawasan Ray.11

Ada beberapa riwayat yang datang dari Imam Thabari, di mana ia

menceritakan rutinitasnya dalam mencari ilmu, “Ketika itu kami selalu pergi

ke daerah Ray menemui Muhammad bin Ahmad Al-Daulabi untuk

mempelajari ilmu sejarah, setelah itu kami kembali dengan segera demi

bertemu dengan Muhammad bin Hamid Al-Razy untuk mendengarkan

8 Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qadhi Ibnu Al-Kamil, bahwa ia bertanya kepada Imam Thabari tentang waktu kelahirannya, “Bagaimana kamu ragu terhadap tanggal lahirmu sendiri?” Imam Thabari pun menjawab, “Ketika itu masyarakat di kawasan kami menulis atau mengingat sejarah dengan kejadian, bukan dengan waktu, sehingga ketika aku bertanya kepada mereka tentang waktu kelahiranku, maka mereka pun berbeda pendapat, di antaranya ada yang mengatakan pada akhir tahun 224 H, sebagian lain berpendapat pada tahun 225 H. Op. cit., hal. 30.

9. Op. cit., hal. 26-27. Lihat juga, Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 174; Abu Jakfar Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jāmi’ Al-bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qurān, (Kairo: Dar al-Salam, 2009), Cet. IV, hal. 1.

10Ayahnya benar-benar mendukung Imam Thabari dalam proses pengembangan ilmu pengetahuannya. Selain faktor di atas, juga karena mimpi yang dialami ayahnya. Diriwayatkan dari Imam Thabari sendiri, bahwa suatu malam, Ayah Imam Thabari bermimpi melihatnya berada di samping Rasulullah Saw. sambil membawa tas yang berisi batu dan ia pun melemparkan batu-batu tersebut dengan tas yang ada pada dirinya. Ketika ditanya, Ahli tabir mimpi menjawab bahwa Imam Thabari kecil, kelak ketika besar akan menjadi penasihat dalam perkara agama dan penjelas terhadap syariat Allah dan Rasul-Nya. Ali bin Abd Al-Aziz, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, (Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 2004), Cet. I, hal. 16.

11 Ibid.

pendiktean hadis Nabi darinya.12 Selain itu, kami pun mempelajari Fikih dari

Abu Muqatil, Ahli Fikih yang ada di kawasan Ray.”

Tak puas menimba ilmu di tanah kelahirannya, pada umur 16 tahun, Imam

Thabari memutuskan untuk berkelana dari tanah kelahirannya demi

memperluas wawasan dan menambah ilmu pengetahuannya. Tujuan pertama

Imam Thabari saat itu adalah menemui Ahmad bin Hambal yang ada di

kawasan Irak untuk menimba ilmu darinya, namun takdir berkata lain,

karena Ahmad bin Hambal terlebih dahulu meninggal dunia, sebelum Imam

Thabari menemuinya.13 Namun demikian, ia tidak putus asa, ia pun

meneruskan perjalanan ilmiahnya ke kawasan yang bernama Wāsith untuk

menimba ilmu hadis dari Jama’ah yang ada di kawasan tersebut. Merasa

masih kurang dengan kadar ilmu yang dimiliki, ia meneruskan perjalanannya

ke Kufah. Di kawasan ini, selain mempelajari hadis dari Abu Kuraib

Muhammad bin Al’-Ala Al-Hamdani, ia pun berguru kepada Sulaiman Al-

Thalhi dalam bidang ilmu qiraah. Pengembaraan tidak hanya berhenti di

Kufah saja, tetapi Imam Thabari muda meneruskan perjalanan ilmiahnya ke

Baghdad. Di sini ia mempelajari ilmu qiraah dari Ahmad bin Yusuf Al-

Taghlabi dan fikih Syafii dari Al-Hasan bin Muhammad Al-Shabah Al-Za’farani

dan Abu Sa’id Al-Ishthakhari.14

Umar Muhyiddin dalam bukunya, “Manhaj Al-Tafsir ‘Inda Al-Imam Al-

Thabari” menuliskan bahwa pada tahun 253 H, Imam Thabari meneruskan

perjalanan ilmiahnya ke Mesir. Ketika itu, Mesir di bawah kepemimpinan

Ahmad bin Thulun. Ia menetap di kawasan Fustat. Setelah itu ia keluar lagi

ke Syam dan kembali lagi pada tahun 256 H. Di Mesir ia tinggal di Kairo dan

berguru kepada murid-murid Abdullah bin Wahb guna mempelajari fikih

Maliki. Selain itu, ia pun mempelajari fikih Syafii kepada tokoh-tokoh yang

ada di kawasan tersebut, seperti Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Maradi,

12 Ibid.13 Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 177.14 Ibid., hal. 176.

Muhammad bin Abdullah bin Al-Hikam, Abdurrahman dan Ismail bin Ibrahim

Al-Mazni.15

Selain terkenal dengan kerja kerasnya dalam mencari ilmu, ia juga terkenal

sebagai guru yang memiliki wibawa baik di depan murid-muridnya. Tiada

lain, hal tersebut karena kadar ilmu dan wawasannya yang begitu luas.

Proses mengajar yang dilakukan oleh Imam Thabari memakan waktu hampir

40 tahun. Setiap harinya ia mendiktekan ilmu kepada murid-muridnya

sebanyak 40 lembar. Di hadapan murid-muridnya, ia pun dikenal sebagai

guru yang penuh kasih sayang. Suatu hari ada seseorang di antara muridnya

yang izin karena sakit. Imam Thabari pun sengaja tidak meneruskan

pelajaran, kecuali murid yang sakit itu sehat kembali. Hal tersebut dilakukan,

karena ia sadar bahwa hanya merekalah yang akan mewarisi ilmu yang ia

miliki.16

Banyak tokoh yang muncul setelah berguru kepadanya, diataranya Syaikh Al-

Qadli Abu Bakar Ahmad bin Kamil, seorang qādhi di kawasan Kufah dan

memiliki banyak karya, seperti “Al-Syuruth Al-Kabir” dalam bidang fikih. Abu

15 Al-Farghani Abu Muhammad berkata, “Telah berbicara kepadaku Harun bin ‘Abd Al-‘Aziz, bahwa Abu Ja’far Al-Thabari telah berkata kepaku, ‘Aku bermazhab Syafii. Aku mempelajarinya selama dua puluh tahun. Proses belajar tersebut aku lalui sebagiannya (10 tahun) di Baghdad. Ibnu Bassyar Al-Ahwal guru Ibnu Suraih pun belajar fikih Syafii kepadaku.” Namun setelah kadar ilmu fikih dan ushul al-fiqh yang ia miliki matang, maka ia pun –sebagaimana dikatakan Al-Khatib Al-Baghdadi- berijtihad dan menyelesaikan sebuah permasalahan dengan perkataan dan ilmunya sendiri. Hal tersebut menghantarkan dia sebagai seorang Mujtahid –sebagaimana yang disepakati Syeikh Ibnu Taimiyah, sekaligus dianggap sebagai mazhab tersendiri yang diikuti oleh seluruh murid-muridnya. Mazhab tersebut dinamai oleh para muridnya dengan nama “Al-Jaririyah.” Akan tetapi mazhab ini tidak bertahan lama –setelah wafatnya Imam Thabari- karena murid-muridnya tidak berusaha untuk menyebarkannya, kecuali ijitihad-ijtihad yang dilakukan Imam Thabari yang tertulis di dalam karya-karyanya. Ibid., hal. 182. Lihat juga, ‘Ali bin ‘Abd Al-Aziz, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, hal. 47-48.

16 Imam Thabari selama hidupnya pun memilih untuk tidak berkeluarga. Ia memutuskan hal tersebut, tiada lain untuk kepentingan mencari dan menyebarkan ilmu. Baginya jika ia berkeluarga, maka proses mencari dan mengajar ilmu akan terganggu, sehingga hal ini membentuk karakter Imam Thabari yang penyayang terhadap murid-muridnya. Dengan kata lain, Ia menganggap murid-muridnya sebagai anak kandungnya sendiri. Ibid., hal. 179.

Syu’aib ‘Abdullah bin Al-Hasan Al-Harani, umurnya lebih tua daripada Imam

Thabari dan meiliki karya dalam bidang hadis yang masih terjaga hingga

sekarang di Universitas Riyadh. Al-Imam Al-Hafiz Abu Al-Qasim Sulaiman bin

Ahmad Al-Thabrani, seorang ahli Jarh wa Ta’dil, memiliki beberapa karuya

dalam bidang sunah, hadis dan ma’ājim. Al-Imam Abu Ahmad ‘Abdullah bin

‘Adi, penulis buku “Al-Kāmil Fī Dlu’afā’ Al-Rijāl” dan buku “’Ilalu Al-Hadist.”

Al-Qadli Abu Al-Faraj Al-Ma’afi bin Zakaria Al-Nahrani yang dikenal dengan

sebutan “Ibnu Tharar,” merupakan murid terbaik Imam Thabari, ia

menghafal hampir seluruh perkataan gurunya tersebut, khususnya dalam

bidang fikih. Ia pun memiliki karya dalam bidang tafsir yang diberi nama “Al-

Bayan Al-Mujaz ‘An ‘Ulum Al-Quran Al-Mu’jaz.”17

Proses ilmiah yang ia lewati di atas, menghantarkan dia menjadi seorang

Ulama yang dikagumi oleh seluruh Ulama lainnya, baik klasik atau

kontemporer.18 Kadar ilmu yang ia miliki benar-benar diakui oleh seluruh

Umat Islam. Jika setiap masa memiliki seseorang yang diunggulkan, maka

Imam Thabari lah yang diungulkan pada masanya. Yaqut Al-Hamwi berkata,

“Imam Thabari adalah seorang Muqri yang mengetahui seluruh ilmu yang

berkaitan dengan qiraah, ia seorang ahli hadis yang mengetahui seluruh ilmu

tentang hadis, ia pun seorang ahli fikih yang mengetahui seluruh

permasalahan fikih, ia seorang ahli nahu yang mengetahui seluruh ilmu

tentang nahu, dan ia pun seorang ahli hisab yang mengetahui seluruh

permasalahan tentang hisab.” Ada sebuah riwayat yang datang dari Imam

Thabari sendiri yang membuktikan bagaimana ia benar-benar seorang pelajar

dan guru yang sangat berkompeten dalam seluruh bidang ilmu dan benar-

benar memiliki himmah besar dalam menguasainya. Ia berkata, “Suatu hari,

seorang laki-laki mendatangiku dan bertanya tentang ilmu ‘Arudh. Ketika itu

aku belum menguasai ilmu tersebut, aku pun berkata kepadanya, “Jika kau

17 Ali bin Abd Al-Aziz, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, hal. 32-33.

18 Dengan kadar ilmu yang begitu luas, ia memiliki banyak julukan, yaitu Al-Imām, Al-Mujtahid, Al-Mufassir, Al-Muhaddis, Al-Hāfiz, Al-Fakīh, Al-Muarrikh, Al-‘Allāmah, Al-Lughawi, Al-Tsiqah Al-Tsubut, Al-Muqri.’ Ibid., hal. 15.

mau, datanglah kemari lagi esok pagi.” Setelah laki-laki tersebut pergi, aku

pun langsung menemui Khalil bin Ahmad untuk mempelajari ilmu ‘Arudh.

Sehingga sore itu aku benar-benar tidak tahu tentang ilmu ‘Arudh, tetapi

pagi setelah itu –melalui proses belajar- aku pun menjadi ahli dalam bidang

ilmu ‘Arudh”19

‘Ali bin ‘Abd Al-‘Aziz menuliskan bahwa aktifitas sehari-hari yang dilewati

Imam Thabari tidak terlepas dari perkara belajar dan mengamalkan ilmu. Di

pagi hari, setelah makan, ia tidur dengan pakaian sederhana yang kain

lengannya begitu pendek dari ukuran badannya. Setelah ia bangun, ia pun

berwudlu guna melaksanakan shalat dzuhur. Setelah itu ia menulis hingga

waktu shalat Asar tiba. Setelah melaksanakan shalat Asar, ia duduk bersama

murid-muridnya guna menyampaikan ilmu sampai waktu Maghrib tiba.

Setelah shalat Maghrib, ia melanjutkan pengajarannya dalam bidang fikih

sampai waktu shalat Isya datang. Setelah melaksanakan shalat berjama’ah, ia

kembali ke rumahnhya dan membagi malamnya antara istirahat dan

kebutuhan lainnya. Aktifitas seperti ini benar-benar sangat efektif dan

menjadikannya termasuk dari ulama-ulama yang produktif dalam

menghasilkan karya dalam banyak disiplin ilmu. Di antaranya, Jāmi’ Al-Bayān

‘An Ta’wīl Āyi Al-Qurān dalam bidang tafsir; Ikhtilāf ‘Ulamā’ Al-Amshār Fī

Ahkām Syarāii’ Al-Islām dalam bidang fikih; Tārīkh Al-Umam wa Al-Mamlūk

dalam bidang sejarah; Shārih Al-Sunnah dalam bidang Sunah; Tahdzīb Al-

Ātsār wa Tafshīl Al-Tsābit ‘An Rasūlillah min Al-Akhbār dalam bidang hadis

dan karya-karya lainnya yang sangat banyak dan bermafaat untuk umat.20

Imam Thabari termasuk Ulama yang “lurus,” tidak terlepas dari cobaan dan

rintangan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Manusia yang paling berat

ujiannya adalah para Nabi, setelah itu orang-orang shalih, dan setelah

mereka dan seterusnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar

keimanannya. Jika keimanannya tinggi, maka ujiannya pun akan semakin 19 Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 181. 20 Op. cit., hal. 35. Lihat juga, Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-

Thabari, hal. 189-190.

besar.”21 Dalam proses belajar dan mengajarnya, sering kali ia tertimpa

cobaan, salah satunya adalah fitnah terhadapnya bahwa ia termasuk ulama

Syi’ah. Dalam “Lisan Al-Mizan,” Ibnu Hajar menuliskan bahwa Imam Thabari

termasuk ulama yang jujur terpercaya dan sedikit terpengaruhi oleh

pemikiran Syi’ah. Yaqut Al-Hamwi berkata, “Imam Thabari benar-benar

dituduh termasuk ulama Syi’ah, sehingga disebutkan bahwa ia dikuburkan

pada malam hari, karena rasa takut terhadap masyarakat sekitar.” Al-

Dzahabi dalam “Al-Mizan” menuliskan bahwa yang dimaksud oleh Yaqut Al-

Hamwi adalah perkataan Al-Hafiz Ahmad bin Ali Al-Sulaimani.22 Ada tiga

sebab mengapa Imam Thabari tertimpa fitnah seperti ini. Pertama, Imam

Thabari telah menulis hadis ( خم (... غدير dan menuliskan dalam salah satu

karyanya hadis-hadis tentang keutamaan yang dimiliki oleh Imam Ali ra.

Kedua, ada sebuah hukum dalam permasalahan fikih yang bersumber

darinya, yaitu bolehnya mengusap kaki sebagai ganti dari mencuci kaki

(dalam proses berwudlu) dan tidak mewajibkannya. Terakhir, karena buku

“Basyarah Al-Mushthafa” yang berisi tentang Syi’ah dan derajatnya yang

disematkan kepada Imam Thabari.23

Sebab-sebab tersebut dengan sendirinya terbantahkan, karena dalil yang

digunakan ketiga sebab tersebut tidak sama sekali masuk akal dan tidak

dibenarkan. Sebab pertama tidak dibenarkan, karena hadis ( خم (... غدير

merupakan hadis sahih yang Imam Thabari dengar sendiri dari ulama-ulama

Baghdad. Sedangkan hadis-hadis yang dikumpulkan yang berisi tentang

keutamaan Ali ra., benar-benar kosong dari untur syiah. Dan hadis-hadis

yang digunakan pun memiliki sanad yang sahih dan jelas. Sebab kedua pun

salah, karena hukum tersebut sebenarnya bukan berasal dari Imam Al-

Thabari, tetapi dari salah satu ulama Syi’ah yang memiliki nama mirip

dengannya, yaitu Abu Jakfar Muhammad bin Jarir bin Rustam Al-Thabari.24

21 Ibid., hal. 84.22 Ibid.23 Ibid., hal. 86-87.24 Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi Fī Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa

Muqawwamatuhu, hal. 27.

Adapun sebab yang terakhir juga salah. Karena Imam Thabari belum pernah

menulis buku dengan judul “Basyarah Al-Mushthafa.” Selain itu, ia pun belum

pernah menuliskannya dan tidak ada ulama yang menisbahkannya kepada

Imam Thabari. Kemungkinan besar yang ada, buku tersebut merupakan

karya seorang ulama syi’ah abad ke-6 yang namanya hampir mirip dengan

Imam Thabari, yaitu Abu Jakfar Muhammad bin Ali bin Muslim bin Al-Thabari

Al-Amoli.25

Segala sesuatu yang berawal pasti berakhir. Begitu juga Imam Thabari

sebagai manusia. Meski ilmu dan wawasannya sangat luas, tetap saja ia

lemah di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui. Setelah hampir 85 tahun

yang dilewatinya untuk mencari dan menyebarkan ilmu, akhirnya pada hari

senin, tanggal 26 Syawal 310 H ia mengakhiri hayatnya. Para ahli sejarah

sepakat bahwa ia meninggal dan dikuburkan di Baghdad. Ketika itu pada

masa Abasiah yang dipimpin oleh Al-Muqtadir billah. Para ahli sejarah

sempat berbeda pendapat tentang tempat di mana Imam Thabari dikuburkan,

karena di Mesir, yaitu di kawasan gunung Mukattam terdapat makam yang

bernisankan Imam Thabari. Akan tetapi hal tersebut tidak benar,

sebagaimana yang disepakati Ibnu Khallikan, Ibnu Yunus dalam kitab

sejarahnya, muridnya, Ahmad bin Kamil yang menyebutkan bahwa ia

dikuburkan di tempat keharibaan Nabi Ya’qub, yaitu Baghdad.26

C. Induk Penafsiran

Para ulama sepakat bahwa Tafsir Al-Thabari merupakan tafsir pertama yang

muncul dengan hasil akhir penafsirannya dicetak berjilid. Tapi hal ini tidak

memberikan sebuah kesimpulan bahwa sebelum Imam Thabari, tidak ada

aktifitas penafsiran, karena sebagaimana yang diketahui bahwa aktifitas

penafsiran sudah dilakukan semenjak zaman Nabi, sahabat, tabiin dan

setelahnya.

25 Ibid., hal. 87.26 Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 191-192..

Penafsiran pun dengan sendirinya berkembang. Salah satunya dipengaruhi

oleh munculnya kelompok-kelompok, mazhab-mazhab dan lain sebagainya,

sehingga penafsiran pun semakin bercorak, tergantung siapa atau kelompok

mana yang menafsirkan. Selain itu, perkembangan penafsiran tersebut

dipengaruhi oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, sehingga setiap orang

menafsirkan ayat Al-Quran sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka kuasai,

seperti Al-Zujaj yang menafsirkan Al-Quran dengan berkonsentrasi pada

nahunya; Abu Ubaidah yang berkonsentrasi terhadap kegariban yang ada di

dalam Al-Quran dan lain sebagainya.27

Tafsir Jāmi’ Al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi Al-Qurān, sesuai dengan namanya, tafsir

ini benar-benar mencakup seluruh penafsiran yang dibutuhkan oleh umat. Di

dalamnya terkumpul penafsiran-penafsiran dengan berbagai metode, dari

metode bi al-ma’tsur, bi ra’yi, fiqih dan lain sebagainya. Penulis tafsir yang

berakidah ahlusunnah ini sengaja mengarang tafsir tersebut, karena ia

merasa akan pentingnya disiplin ilmu tafsir terhadap kehidupan Umat.

Artinya, dengan ilmu tersebut mampu memahami kandungan Al-Quran dan

menimbulkan rasa tentram ketika mendengarnya. Abu Bakr Muhammad bin

Mujahid berkata, “Aku mendengar Abu Jakfar berkata, ‘Aku sangat heran

dengan mereka bagaimana mungkin merasa tentram dalam membaca Al-

Quran tanpa mengetahui penafsirannya?’”28

Selain kedudukan ilmu tafsir tersebut, juga karena keinginan Imam Thabari

sendiri. “Hal ini –penafsiran ayat Al-Quran- sudah datang kepadaku saat aku

kecil.” Setelah melewati perjalanan ilmiah dan merasa telah cukup

menguasai berbagai macam ilmu, ia pun beristikharah untuk melaksanakan

azam tersebut. Imam Thabari berkata, “Aku telah beristikharah kepada Allah

untuk melaksanakan proses penafsiran tersebut. Aku pun meminta kepada-

27 Op. cit., hal. 20.28 Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi Fī Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa

Muqawwamatuhu, hal. 111.

Nya untuk menolongku atas apa yang aku sudah niatkan tersebut selama tiga

tahun, maka Allah pun menolongku.”29

Buku tafsir yang menjadi induk penafsiran ini mengalami proses penulisan

selama tujuh tahun. Merupakan prestasi yang menkjubkan, dengan waktu

sesingkat itu, Imam Thabari mampu menulis buku tafsir yang isinya

mengandung banyak hal. Suatu hari Imam Thabari bertanya pada murid-

muridnya, “Apakah kalian bersemangat untuk menafsirkan Al-Quran?”

mereka berkata, “Mampu mencakup berapa halaman?” “tiga puluh ribu

lembar” “kalau seperti itu, sebelum habis menyelesaikannya, umur pun sudah

habis terlebih dahulu.” Maka Imam Thabari pun meringkasnya menjadi tiga

ribu lembar. Artinya, setiap sepuluh lembar, ia jadikan menjadi satu lembar.

Jika riwayat tersebut benar, maka banyak hal yang sengaja dihilangkan oleh

Imam Thabari yang mungkin sangat bermanfaat untuk umat.30

Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub berkata, telah berkata Muhammad bin

Abdullah Al-Nisaburi Al-Hafiz, Aku mendengar Abu Bakr bin Bilwaih berkata,

Abu Bakr bin Ishaq telah berkata kepadaku, “Beri tahu aku bahwa kau telah

menulis tafsir dari Muhammad bin Jarir.” Aku berkata, “Iya aku menulis

darinya secara dikte, maka Abu Bakr pun meminjamnya dan

mengembalikannya setelah beberapa tahun seraya berkata, “Aku sudah

melihat dari awal hingga akhir kitab tersebut, dan aku tidak tahu apakah ada

orang di atas muka bumi ini yang lebih tahu daripada Muhammad bin Jarir.”31

Sumber penafsiran yang digunakan Imam Thabari terbagi menjadi dua,

sumber tertulis dan sumber verbal (syafahi). Menurut Ahmad Nashri,

merupakan hal yang tidak bahaya ketika kita tidak tahu perbedaan keduanya,

namun yang harus diperhatikan adalah syubhat yang datang dari Fuad

Sazkin. Ia mengatakan bahwa Imam Thabari dalam membuat tafsirnya,

merujuk kepada buku tafsir yang telah dicetak. Perkataan ini otomatis salah,

29 Ibid., hal. 110.30 Ibid., hal. 112.31 Ibid., hal. 111.

karena sebagaimana yang disepakati para Ulama, tidak mungkin ada buku

tafsir yang tercetak sebelum buku tafsir Imam Thabari muncul. Fuad Sazkin

pun menambahkan bahwa ia mampu menyebutkan nama-nama pengarang

buku tafsir yang dirujuk oleh Imam Thabari, salah satunya buku tafsir yang

dimiliki Mujahid. “Imam Thabari telah merujuk tafsir Mujahid kira-kira

sebanyak 700 kali.”32

Syubhat di atas kembali terbantahkan dengan dua hal. Pertama, tidak adanya

bekas penukilan Imam Thabari dalam tafsirnya yang dilakukan dari buku

tafsir Mujahid. Kedua, apa yang telah dilakukan oleh Abdu al-Rahman Al-

Thahir, di mana ia menahkik tafsir Mujahid dengan merujuk kepada tafsir Al-

Thabari.33

D. Metode Imam Thabari dalam Penafsiran

Banyak ulama yang mengategorikan tafsir Thabari sebagai tafasir yang

menggunakan metode bi Al-Ma’tsur. Metode ini merupakan metode paling

baik dalam menafsirkan Al-Quran, karena yang apa yang datang dari

Rasulullah Saw. (sunah) merupakan penjelas isi kandungan Al-Quran. Namun

demikian, ada beberapa hadis, khususnya yang datang dari sahabat atau

tabiin yang tidak benar-benar datang dari Rasulullah Saw., alias hadis

mauquf atau bahkan palsu. Oleh karena itu, dalam memakai metode tersebut

pun tetap harus berhati-hati.

Kita tidak bisa menyalahkan apa yang diyakini para ulama tersebut. Akan

tetapi, pada kenyataannya Imam Thabari tidak hanya fokus pada metode bi

Al-Ma’tsur saja, tetapi metode lain pun ia gunakan, seperti metode penafsiran

bi Al-Ra’yi, fiqhi, bayani, sehingga tafsirnya membahas banyak hal. Secara

umum, ketika Imam Thabari menafsirkan Al-Quran, maka ia akan

menjelaskan makna ayat tersebut sejelas mungkin, sehingga mudah difahami.

Setiap lafal di dalam ayat tersebut, ia jelaskan dari segi maknanya,

32 Ibid., hal. 125.33 Ibid.

menafsirkannya dengan riwayat-riwayat hadis yang datang dari Rasulullah

Saw.. Jika tidak ada, maka ia akan menafsirkannya dengan atsar yang datang

dari sahabat dan tabiin. Setelah itu, ia menjelaskan kedudukan setiap riwayat

tersebut, sehingga jika ada sebuah riwayat yang penafsirannya tidak

berhubungan dengan ayat tersebut, maka ia akan menolaknya, termasuk jika

sanad hadis tersebut tidak sempurna. Selain itu, ia pun menafsirkan ayat

tersebut dengan penafsiran-penafsiran para ulama yang telah mendahuluinya

dan pada akhirnya ia memakai akal pikirannyaa guna memfilter riwayat-

riwayat atau penafsiran-penafsiran tersebut dan menguatkan penafsiran yang

sebenarnya.34

1. Konsentrasi terhadap metode penafsiran bi al-Ma’tsur.35

Sebagaimana disebutkan, bahwa riwayat pertama yang digunakan Imam

Thabari dalam menafsirkn auta Al-Quran adalah riwayat yang datang dari

Rasulullah Saw.. Sebagaimana yang dilakukannya ketika menafsirkan ayat

89-90 surat Al-Naml.

: : : قال البجلى ايوب بن يحي ثنا قال دكين بن الفضل ثنى قال العسقالنى خلف بن محمد حدثنى

: : : قال النبي عن احسبه يحي قال هريرة ابو قال قال زرعة ابا ) سمعت

) , : إالالله( الإله وهي قال

. : الشرك( وهي قال

Namun jika Imam Thabari tidak menemukan hadis dari Rasulullah untuk

menjelaskan ayat sebuah ayat, maka ia akan mencari atsar yang datang dari

para sahabat dan menggunakannya untuk menafsirkan Al-Quran.

Sebagaimana yang dilakukannya ketika menafsirkan ayat tiga surat Al-

Fatihah.

: : : عبد: عن روق أبو حدثنا قال عمارة بن بشر حدثنا قال سعد بن عثمان حدثنا قال كريب أبو حدثنا قال

) : عباس بن : الله . قال( العرب كالم من وهو الرحمة من (الفعالن

34 Ibid., hal. 131. Lihat juga, Musa’id Ali Jakfar, Manahij Al-Mufasirin, (t.t.: Dar Al-Ma’rifah, 1980), Cet. I, hal. 55.

35 Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 241-257.

, يعنف( أن أحب من على الشديد والبعيد يرحمه أن أحب بمن يرحمه أن الرقيق الرفيق

. كلها أسماؤه كذلك و عليه

Begitu juga ketika Imam Thabari tidak menemukan penafsiran dari hadis

Rasulullah Saw. atau dari para sahabat, maka ia akan menggunakan

periwayatan dari kalangan Tabiin. Para tabiin yang sering dinukil olehnya di

antaranya, Mujahid bin Jabar, Qatadah bin Da’amah Al-Dusi, Sa’id bin Jabir,

Abu Al-Aliyah, Al-Dlahak dan yang lainnya. Metode ini digunakan, salah

satunya ketika menafsirkan ayat 24 surat Al-Baqarah.

: القاسم حدثنا الطبري (قال : : تعالى: قوله فى جريج ابن عن حجاج حدثنى قال الحسين حدثنا قال

. : النار( فى أسود كبريت من حجارة قال

2. Mengupas tuntas sanad hadis36

Sebagaimana metode sebelumnya, selain meriwayatkan hadis untuk

menafsirkan Al-Quran, Imam Thabari juga mengkritisi sanad setiap hadis

tersebut. hal ini dilakukan untuk mengetahui benar tidaknya riwayat

tersebut. Cara ini benar-benar ilmiah, karena selain untuk menilai kedudukan

sebuah riwayat, juga bisa mengetahui sumber riwayat tersebut. Maka tak

heran, jika sebagian ulama berkata bahwa sanad sebagian daripada agama.

Oleh karena itu, Imam Thabari sangat memperhatikan sanad dalam

meriwayatkan hadis. Termasuk kelebihannya, ketika meriwayatkan hadis

atau atsar, maka ia akan menuliskan semua sanad dengan sempurna dari

awal hingga akhir dan mengoreksinya. Hak tersebut tiada lain karena kadar

ilmu pengetahuannya, khusunya dalam ilmu hadis dan konsentrasinya dalam

belajar, di mana sebagaimana disebutkan bahwa ia tidak pernah berumah

tangga demi aktifitas mencari dan mengajarkan ilmu.

37

36 Ibid., hal. 258-265.37 QS. Al-Naml: 87.

Imam Thabari berkata: Abu Kuraib telah berkata: Abdurrahman bin

Muhammad bin Al-Muharibi telah berkata dari Ismail bin Rafi; Al-Madani dari

Yazid bin Ziyad. Melihat kesalahan pada sanad ini, Imam Thabari pun

berkomentar, “Yang benar adalah Yazid bin Abu Ziyad.”

3. Mengoreksi beberapa riwayat dan menguatkan salah satunya.38

Dalam menafsirkan ayat Al-Quran, Imam Thabari tidak cukup menyebutkan

satu riwayat saja. Artinya, ia menyebutkan seluruh riwayat hadis atau atsar

dan pada akhirnya menguatkan salah satu riwayat tersebut dengan rasionya

sendiri. Hal ini sebagaimana dilakukannya ketika menafsirkan ayat sepuluh

syrat Al-Qashash.

(

)

Imam Thabari berkata, “Sebagian ulama berbeda pendapat dalam memaknai

firman Allah yang menunjukkan bahwa hati ibu Nabi Musa As. menjadi

kosong. Apakah hati tersebut kosong dari kesedihan atau kepedihan atau adri

hal lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa hati Sang Ibu menjadi

kosong dari segala sesuatu, kecuali ingatannya terhadap anaknya. Dari Sa’id

bin Jabir dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘hatinya menjadi kosong dari segala

sesuatu, kecuali ingatan kepada anaknya.’

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hati Sang Ibu kosong dari wahyu

yang memerintahkannya untuk menghanyutkan anaknya di sungai. Dari Abu

Bakr bin Abdullah, Ia berkata: Al-Hasan telah berkata, ‘Hatinya menjadi

kosong dati janji yang dijanjikan kepadanya akan kembalinya sang anak

kepada pangkuannya, bahkan ia melupakan semuanya, sehingga hampir saja

ia menyatakan rahasia tentang Nabi Musa As. jika saja tidak kami kuatkan

hati Ibu Musa As.’ Dan sebagian lainnya pun ada yang manafsirkan bahwa

38 Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 264-267.

hati Sang Ibu kosong dari kesedihan, karena ia tahu bahwa anaknya tidak

akan tenggelam.39

Adapun pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa

hati ibu Musa As. kosong dari segala sesuatu kecuali keinginannya terhadap

Musa As. itu sendiri. Penafsiran ini paling kuat, karena kalimat sebelumnya

sesuai dan maknanya saling berkaitan. Aapun penafsiran bahwa hati Sang

Ibu kosong dari segala sesuatu, kecuali wahyu, maka ini keliru. Karena jika

penafsiran benar seperti ini, maka tidak akan diiringi setelahnya dengan

kalimat ‘ .’

4. Penafsiran dengan metode bi Al-Ra’yi.40

Imam Thabari meyakini bahwa metode ini memiliki peran penting dalam

ranah penafsiran. Al-Darini berkata, “Imam Syatibi menyepakati sebagian

besar Al-Quran sengaja tidak ditafsirkan oleh pemilik syariat, agar mampu

diketahui oleh para mujtahid dengan menggunakan pikiran mereka. Oleh

karena itu, hal tersebut –menggunakan pikiran untuk menafsirkan ayat Al-

Quran- merupakan ibadah.” Namun di sisi lain, banyak orang atau kelompok

yang menafsirkan Al-Quran dengan pikiran yang batil, sehingga makna ayat

pun jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu selain mendukung metode

ini, Imam Thabari pun mencelanya tatkala menggunakan pikiran yang batil.

Bahkan di dalam mukadimah tafsirnya, ia menuliskan beberapa hadis yang

berkaitan tentang penggunaan akal pikiran untuk menafsirkan Al-Quran.

Metode ini Imam Thabari gunakan salah satunya ketika menafsirkan ayat 25

surat Al-Baqarah.

) )

Dari Mujahid, ia berkata, “Hati-hati mereka berubah menjadi hati monyet.

Dan hal ini adalah pemisalan yang datang dari Allah, sebagaimana mereka

dimisalkan dengan keledai yang membawa kitab. Imam Thabari berkata,

“Apa yang ditafsirkan oleh Mujahid adalah tidak benar dan tidak sesuai,

39 Ibid.40 Ibid., hal. 268-277.

karena hal tersebut bertentangan dengan zahir ayat Al-Quran itu sendiri.

Sedangkan penafasiran yang sesuai, bahwa mereka secara zahir berubah

menjadi monyet, babi dan hamba tagut.”41

5. Konsentrasi penafsiran terhadap segi bahasa.42

Sebagaiman yang diketahui bahwa Al-Quran diturunkan dengan

menggunakan bahasa arab, sehingga bangsa arab kala itu akan mudah untuk

memahaminya. Hal ini sebagaimana tercantum pada ayat 17 surat Al-Qamar.

Para mufasir, termasuk Imam Thabari pun menilai bahwa bahasa memiliki

kedudukan penting dalam ranah penafsiran. Akan tetapi, ada yang berbeda

dengan Imam Thabari dalam menggunakan metode ini, yaitu selain untuk

mencari makna sebuah lafal, juga pembahasan bahasa ini ia gunakan untuk

menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu

dalam menafsirkan sebuah ayat. Selain itu, Imam Thabari pun tidak hanya

berkonsentrasi pasa sisi nahu atau saraf saja, tetapi semua yang berkaitan

dengan bahasa, ia gunakan.

a. Segi Makna.43

Penafsiran ayat dari segi makna sering ia lakukan demi ayat tersebut bisa

difahami dengan baik. Salah satunya ia gunakan ketika menafsirkan (أعوذ

الرجيم الشيطان من ,Abu Jakfar berkata .(بالله isti’adzah bermakna meminta

perlindungan. Salah satu penafsiran seorang mufasir mengatakan, ‘aku

berlindung kepada Allah, tanpa selainnya dari makhluk-makhluk seperti

setan yang dapat membahayakanku dalam perkara agama atau

menghalangiku dari kebenaran yang harus aku kerjakan untuk tuhanku.’

Sedangkan “الشيطان” dalam percakapan arab, bermakna segala sesuatu

yang berpaling, baik dari jin, manusia, hewan atau segala sesuatu lainnya.

Selain itu juga dikatakan bahwa “الشيطان” berasal dari kata kerja “شطن”

yang bermakna “ دارك ” “بعد من دارى شطنت ” yang bermakna “بعدت”

41 Ibid.42 Ibid., hal. 281.43 Ibid., hal. 283.

b. Menguatkan makna dengan syair.44

45

Imam Thabari berkata bahwa kata yang digaris bawahi merupakan bentuk

plural dari kata “المحراب” yang bermakna masjid atau musala atau rumah.

Sebagaimana yang diucapkan ‘Adi bin Ziyad dalam syairnya, فى العاج كدمى

مسنتير # زهره الروض فى كالبيض أو 46.المحاريب

c. Segi I’rab47

Dalam penafsiran secara bahasa, Imam Thabari tidak meninggalkan

pembahasan ayat dari sisi I’rab, karena ia tahu bahwa dengan mengupas

ayat dari sisi I’rab, maka mampu memunculkan penafsiran yang mudah

difahami. Salah satunya ia lakukan pada ayaht 26 surat Al-Baqarah.

Huruf “ما” pada ayat di atas berkududukan manshub, salah satunya karena

“ Dan kata ”.يضرب“ berkedudukan manshub karena adanya kata kerja ”ما“

memiliki ”البعوضة ikatan dengan ,tersebut ”ما“ maka ia pun di-I’rab-kan

dengan kedudukan yang ia miliki, yaitu manshub. Seperti yang dilakukan

Hasan bin Tsabit: “ . # إيانا محمد النبي حب غيرنا من على فضال بنا “وكفى غير ”dalam

syair tersebut di-I’rab-kan dengan kedudukan yang sama dengan ”من“

karena keduanya memiliki hubungan. Dan bangsa arab sering melakukan

ini, khususnya pada “من” dan “ما.”

6. Konsentrasi penafsiran terhadap segi qiraat.48

Dalam hal ini, Imam Thabari memiliki standar tersendiri terhadap kesahihan

qiraat. Ada tiga ayarat untuk menjadikan qiraat tersebut sahih dan bisa

diterima. Pertama, sesuai dengan riwayat yang mutawatir. Kedua, sesuai

44 Ibid., hal. 322.45 QS. Saba’: 13. 46 Ibid. 47 Ibid., hal. 323.48 Ibid., hal. 337.

dengan mushaf. Ketiga, sesuai dengan kaidah bahasa arab. Selain

menyajikan beberapa qiraat, Imam Thabari pun berusaha untuk menguatkan

salah satunya sesuai dengan kaidahnya dan dalil yang menguatkannya. Hal

ini dilakukan tiada lain untuk membuat sevuah ayat yang ditafsirkan mampu

difahami dengan baik. Seperti yang dilakukannya pada ayat 94 surat Al-Kahfi.

Imam Thabari menuliskan bahwa para ulama berbeda qiraat dalam membaca

ayat tersebut. Ulama Qura’ dari Ahlu Hijaz, Irak dan selainnya membaca ayat

tersebut dengan “ما يا ” tanpa menggunakan hamzah, karena

kedua isim di atas memiliki bentuk ”.فاعول“ Adapun hamzah setelahnya,

hanya hamzah pemabah saja, bukan asli dari kata tersebut. Sedangkan

‘Ashim bin Abu Al-Nujud dan Al-A’raj, mereka berdua membacanya dengan

menggunakan hamzah. Adapun qiraat yang benar adalah qiraat yang tidak

menggunakan hamzah, karena kuatnya alasan mereka dan kata tersebut

masyhur di kalangan masyarakat Arab, sebagaimana yang dikatakan Ru’yah

bin Al-‘Ajaj, “. تبعا # واستجاشوا عادوا وعاد معا ماجوج و ياجوج ان 49”لو

7. Konsentrasi penafsiran terhadap segi fikih.50

Ilmu fikih yang dimilikinya tidak membuat Imam Thabari ketinggalan dari

penafsiran dengan metode fikih. Artinya, ketika ada ayat Al-Quran yang

berkaitan dengan fikih, maka ia akan berusaha untuk membahasnya dengan

mencantumka beberapa pendapat ulama yang mendahuluinya berseta

dalilnya dan pada akhirnya ia memfilter serta menguatkan satu dari

pendapat-pendapat tersebut. Salah satunya sebagaimana yang dilakukan

ketika menafsirkan ayat 222 surat Al-Baqarah.

Menurut Imam Thabari para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan

ayat di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa suami harus menjauhi

seluruh badan istrinya yang haid (ketika dalam keadaan bersetubuh). Mereka

49 Ibrahim Rafidah, Al-Nahu wa Kutub Al-Tafsir, (Tharablis: Al-Dar Al-Jamahiriyah, 1990), Cet. III, hal. 625-630. 50 Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 346-351.

berdalil dengan riwayat yang datang dari ‘Auf dari Muhammad, ia bertanya

kepada Ubaidah, ‘Apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia dalam keadaan

haid?’ Ia menjawab, ‘satu selimut dan beda kasur.’ Sebagian lainnya

berpendapat bahwa perintah Allah tersebut sebenarnya menjauhi bagian

yang ‘kotor’ saja. Dari Masruq bin Al-Ajda’, ia berkata: Aku bertanya kepada

Aisyah: ‘Apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia dalam keadaan haid?’

Aisyah pun menjawab, ‘Segala sesuatu kecuali jimak.’ Sebagian ulama

lainnya berpendapat, bahwa bagian yang harus dijauhi suami adalah antara

pusar dan lutut. Mereka berdalil dengan riwayat yang datang dari dari Ibnu

Syirin dari Al-Aswad dari Aisyah, ia berkata, ‘Jika di antara kami (Ummu Al-

Mu’minin) sedang haid, maka Rasulullah menyuruhnya untuk menggunakan

sarung, lalu melakukan jimak dengannya.’51

Imam Thabari berkata, “sebab perbedaan antara mereka adalah pemahaman

mereka terhadap nas hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah tetap

melaksanakan jimak, meski istrinya dalam keadaan haid. Jika ayat tersebut

bermakna untuk menjauhi seluruhnya, maka Rasulullah pun tidak akan

melakukannya. Adapun pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang

mengatakan bahwa seorang laki-laki diperbolehkan untuk melakukan jimak

dengan istrinya, kecuali pada bagian yang bersarung, yaitu antara pusar dan

lutut.”52

8. Konsentrasi penafsiran terhadap akidah dan corak pemikiran sebuah

kelompok.53

Sebagaimana disebutkan di awal makalah, bahwa perkembangan tafsir salah

satunya dipengaruhi oleh munculnya kelompok-kelompok di kalangan

masyarakat, sehingga setiap kelompok tersebut menafsirkan Al-Quran sesuai

dengan apa yang diyakini oleh kelompok tersebut, meski jauh dari makna

sebenarnya atau bertentangan dengan akidah. Oleh karena itu, Imam Thabari

pun selain menafsirkan ayat Al-Quran agar mudah difahami, juga terkadang

51 Ibid.52 Ibid.53 Ibid., hal. 352.

mengkritik penafsiran kelompok-kelompok yang bertentangan dengan

akidah, seperti penafsiran Al-Qadariyah, Al-Muktazilah, Khawarij, Al-

Jamhiyah, Al-Musyabbihah dan kelompok lainnya.54

Contohnya ketika ia mengkritisi keyakinan kelompok Al-Qadariyah dalam

menafsirkan ayat 6 surat Al-Fatihah.( ). Imam

Thabari berkata, menurut kami ayat tersebut menunjukkan permintaan

seorang hamba kepada Tuhannya berupa taufik agar bisa melaksanakan apa

yang telah dibebankan kepadanya berupa ibadah selama ia memiliki umur.

Apa yang kami ucapkan ini adalah benar. Sedangkan Al-Qadariyah melihat

ayat ini, mereka menafsirkan bahwa apa yang telah diperintahkan dan

dibebankan kepada kita, maka itu sudah sekaligus dengan pemberian

pertolongan untuk melaksanakannya, sehingga untuk melaksanakan itu

semua tidak perlu kepada Tuhan lagi. Apa yang mereka yakini adalah salah,

karena jika memang seperti itu, maka ayat Allah sebelumnya salah. Oleh

karena itu, agar ayat tersebut tetap benar, maka penafsiran yang benar

adalah apa yang kami gunakan.55

E. Israiliyat Perspektif Imam Thabari

Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap keturunan Nabi Adam pasti memiliki dosa

dan sebaik-baik yang berdosa adalah mereka yang bertaubat.” Hadis ini

menunjukkan bahwa kita semua tidak ada yang sempurna, pasti memiliki

kekurangan dan kelebihan. Termasuk dengan Imam Thabari, meski

menguasai banyak ilmu pengetahuan, tetap saja tidak terlepas dari

kesalahan. Salah satunya apa yang ia lakukan di dalam buku tafsirnya yang

menjadi rujukan utama para pencari ilmu di dalam bidang tafsir. Imam Al-

Suyuthi berkata, “kitab –milik Imam Thabari- merupakan kitab tafsir terbaik

dan teragung. Di dalamnya terdapat riwayat-riwayat untuk menafsirkan

sebuah ayat serta penguatan antara riwayat tersebut. Selain itu, terdapat

54 Ibid.55 Ibid., hal. 353.

I’rab kosa kata, pengambilan hukum yang benar-benar membuatnya berbeda

dengan penafsiran para Ulama sebelumnya.56

Sebagaimana dituliskan Umar Muhyiddin dalam bukunya “Manhaj Al-Tafsir

‘inda Al-Imam Al-Thabari,” salah satu kekurangan Imam Al-Thabari dalam

buku tafsirnya, yaitu pemakaian riwayat Israiliyat dalam penafsiran ayat Al-

Quran.57 Dalam mukadimah tafsirnya, Imam Thabari menyebutkan para

mufasir yang tergolong ke dalam penafsir dengan tafsiran yang buruk,

seperti Al-Saddi dan Al-Kalbi. Akan tetapi anehnya, Imam Thabari pun

terbukti meriwayatkan dari mereka berdua dan selain mereka yang masyhur

meriwayatkan dari kalangan Banī Isrāil, seperti Wahb bin Munabbih, Ka’ab

Al-Ahbar, Ibnu Juraij dan lain sebagainya.58

Kaidah mengatakan bahwa musabab tidak akan terlepas dari sebab. Begitu

pun adanya pencantuman riwayat Israiliyat di dalam tafsir Al-Thabari.

Mustahil, jika Imam Thabari dengan kadar keilmuannya yang tidak diragukan

lagi, menggunakan riwayat Israiliyat dalam menafsirkan al-Quran tanpa

alasan.

Lima faktor yang membuat Imam Thabari riwayatkan Israiliyat di dalam

tafsirnya –dan kesengajaannya untuk tidak menkritisi sebuah riwayat yang

daif atau maudlu.’ Pertama, sengaja menyerahkan urusan yang berat kepada

para Ulama lainya, ahli hadis, baik dari segi riwayat atau ilmu

pengetahuannya. Seolah ia berkata, “Aku hanya mengumpulkan, merekalah

yang akan memurnikan dan menerangkannya.” Kedua, ia berpendapat bahwa

siapa yang menyerahkan sesuatu kepada seseorang, maka ia

bertanggungjawab terhadap yang diserahkan tersebut. Ketiga, ia

56 Ahmad Nashri, Al-Manhaj Al-Naqdi Fī Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa Muqawwamatuhu, hal. 122. Lihat juga, Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsrir wa Al-Mufasirun, (Kairo: Dar Al-Salam, 2005), t.c., hal. 182.

57 Kebanyakan dari riwayat tersebut mengandung khurafat yang bertentangan dengan akidah dan bisa menghilangkan kemuliaan para Nabi dan Rasul, sehingga dapat merusak keimanan dan ketakwaan seseorang.

58 Op. cit., hal. 367.

berprasangka baik bahwa ulama pada zamannya dan setelahnya benar-benar

mengetahui tentang sanad, kesahihan, kedaifan hadis. Keempat, ia tidak

mengkritisi riwayat-riwayat tersebut ditakutkan akan memperpanjang dan

memperluas pembahasan yang ada di dalam tafsirnya tersebut. Kelima,

penggunaan Israiliyat bertujuan hanya untuk menjelaskan arti kosa kata yang

sebenarnya, karena terkadang ada beberapa kosa kata yang mirip tapi

berbeda makna.59

Alasan di atas dijawab lugas oleh Amal Muhammad Rabi,’ jika menyerahkan

perkara besar tersebut kepada para Ulama, ahli hadis dan ahli tafsir

setelahnya, maka alasan tersebut tidak sama sekali benar, karena kenyataan

saat ini, buku tersebut sampai kepada orang-orang yang tidak termasuk ahli

hadis, ahli tafsir dan kalangan ulama lainnya. Kedua, kaidah yang digunakan

Imam Thabari tersebut tidaklah benar, apalagi dalam perkara penafsiran ayat

al-Quran. Ketiga, jika prasangka baik yang dilakukan oleh Imam Thabari

tidak tapat, maka ia bersalah. Keempat, kami tidak menerima alasan yang

tidak logis ini, karena bukan merupakan perkara yang bahaya, jika

pembahasan riwayat tersebut membuat tafsirnya semakin banyak jilidnya.60

Adapun alasan kelima –sebagaimana yang dipaparkan salah satu penahkik

tafsir Al-Thabari- masih diterima oleh sebagian orang, karena terkadang ada

benarnya, seperti halnya penggunaan syair dalam menafsirkan ayat Al-

Quran.61

Terlepas itu semua, kita harus mengetahui hakikat yang sebenarnya, bahwa

Israiliyat meski memiliki sanad sahih yang sampai kepada Tabiin –seperti

Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah dan lainnya- atau bersumber dari buku klasik

Bani Israil yang penuh dengan khurafat, tetap saja riwayat Israiliyat tersebut

tidak sama sekali bersumber dari Rasulullah Saw. Oleh karena itu, riwayat

59 Amal Muhammad Rabi,’ Al-Israiliyat Fi Tafsir Al-Thabary, dirasah fii Al-lughah wa Al-Mashadir Al-‘Ibryah, hal. 142.

60 Ibid., hal. 143-145.61 Ibid.

tersebut benar-benar tidak bisa digunakan untuk menafsirkan Al-Quran,

kecuali untuk menjelaskan kesalahan dan kebatilannya.62

Imam Thabari, selain meriwayatkan dari para tabiin yang masyhur

meriwayatkan dari kalangan Banī Isrāil, juga menukil dari buku-buku klasik

yang mengandung khurafat-khurafat yang tidak masuk akal dan benar-benar

tidak sesuai dengan disiplin ilmu apapun.63 Hal ini terbukti pada beberapa

penafsiran Imam Al-Thabari, di mana riwayat yang digunakan olehnya benar-

benar percis dengan isi Taurat.

1. ( كلها األسماء آدم 64(وعلVم

Ketika Imam Al-Thabari menafsirkan ayat di atas, ia menuliskan beberapa

riwayat, pertama, Ali bin Al-Hasan telah berkata kepada kami, ia berkata,

telah berkata Muslim Al-Jurmi dari Muhammad bin Mush’ab dari Qais bin Al-

Rabi’ dari Khafish dari Mujahid, bahwa ia berkata, “Ia telah mengajarkan

kepadanya nama gagak, merpati dan segala benda lainnya.” Dan kedua, telah

berkata kepada kami Ibnu Waki,’ ia berkata: ayahku telah berkata kepada

kami dari Syarik dari Salim Al-Afthas dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ia

mengajarinya nama unta, sapi dan domba.” Dua riwayat tersebut

menerangkan bahwa gagak dan merpati termasuk jenis burung, sedangkan

unta, sapi dan domba termasuk hewan darat, sehingga pembatasan jenis

hewan macam ini sama halnya apa yang ada di dalam Taurat, “Maka Adam

diberi ilmu tentang nama seluruh hewan-hewan, burung-burung yang

terbang di langit dan seluruh hewan darat.” (Sifr Al-Takwin, Ishah: 20).65

62 Ibid.63 Umar Muhyiddin, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, hal. 362. 64 QS. Al-Baqarah: 31. 65 Para ulama telah menyepakati Taurat sebagai sumber utama Israiliyat. Menurut

kalangan Yahudi, Taurat merupakan penjanjian lama yang sangat berbeda dengan perjanjian baru yang dimiliki oleh Kaum Nashrani. Adapun istilah (سفر) adalah istilah yang sama dengan makna (سورة) di dalam Al-Quran. Sedangkan (إصحاح) merupakan istilah yang sama dengan (آية) di dalam Al-Quran. Adapun Sifr yang ada di dalam Taurat di antaranya, sifr Al-Takwin; Al-Khuruj; Al-Lawiyyin; Al-‘Adad; Al-Tatsniyah dan lain sebagainya. Op. cit., hal. 55.

2. 66) نساء و كثيرا رجاال منهما Vوبّث زوجها منها (وخلق

Dalam ayat ini Imam Thabari menafsirkannya dengan sebuah riwayat dari

Tabiin yang isinya benar-benar percis dengan apa yang ada di sifr takwin,

ishah: 21-23. Ibnu Hamid telah berkata kepada kami, ia berkata, telah

berkata kepada kami Salmah, ia berkata, “Setelah penciptaan Adam sudah

pada tahap sempurna, selanjutnya diambil dari tulang rusuk sebelah kirinya

dan ia dalam keadaan tidur sampai terciptanya Hawa dari tulang rusuk yang

diambil tersebut. Setelah terbangun dari tidurnya, Adam melihat Hawa di

sampingnya seraya berkata, ‘Wahai darah dagingku, wahai darahku, wahai

wahai istriku,’ Adam pun merasa tentram bersamanya.” Adapun yang ada di

dalam Taurat, “Diceritakan bahwa Adam pingsan dan tertidur. Setelah itu,

salah satu tulang rusuknya diambil dan diisi –ruang kosong tersebut- dengan

daging. Tuhan pun menciptakan dari tulang rusuk yang diambil tersebut

seorang perempuan untuk dipersembahkan kepada Adam. Ia pun berkata,

‘Kini kau adalah bagian dari tulang rusukku, kesatuan dari darah dagingku’.”

3. ( المشحون الفلك في معه ومن Zه 67(فأنجين

Seperti contoh sebelumnya, Imam Thabari menafsirkan ayat ini dengan

memakai riwayat Israiliyat yang benar-benar sama dengan apa yang ada di

Sifr Al-Takwin, Ishah: 15-16. Basyar telah bercerita kepada kita bahwa ia

berkata, Yazid telah berkata kepada kita bahwa ia berkata, Sa’id telah

berkata kepada kita bahwa ia berkata, dari Qatadah, ia berkata, “Disebutkan

kepada kami, sesungguhnya perahu Nabi Nuh memiliki panjang 300 hasta,

lebarnya 50 hasta dan tingginya 30 hasta. Sedangkan pintu perahu tersebut

terdapat di sampingnya.” Adapun redaksi yang ada di Taurat, “Dan seperti

inilah perahu Nuh diciptakan. Ia memiliki panjang 300 hasta, lebarnya 50

hasta, tingginya 30 hasta dan pintu masuk perahu tersebut ada pada bagian

pinggir perahu tersebut.” Kemiripan redaksi antara riwayat yang dinukil

66 QS. Al-Nisa: 1. 67 QS. Al-Syu’ara: 119.

Imam Thabari dengan isi Taurat, merupakan bukti kuat penukilan Imam

Thabari dari Bani Israil, baik melalui tabiin Ahlulkitab yang menjadi Muslim

atau langsung dari Taurat itu sendiri.

Sikap Imam Thabari terhadap periwayatan Israiliyat pun bukan hanya

mencantumkan tanpa mengoreksinya saja. Menurut Amal Muhammad Rabi,’

sikap Imam Thabari tersebut dibagi menjadi tiga.68 Pertama, mencantunmkan

Israiliyat serta menyetujui tanpa mengoreksinya, sebagaimana yang

dilakukannya dalam menafsirkan ayat ) بكم قنا Vفر) ia berkata, “Arti dari ayat

tersebut adalah membelah lautan menjadi dua belas, karena mereka

berjumlah dua belas kelompok. Sehingga Allah pun membelah lautan menjadi

dua belas, agar semua orang kala itu mampu menyebrangi lautan.” Hal ini

menunjukkan bahwa Imam Thabari menyetujui hal tersebut, meski pada

nyatanya pembelahan laut menjadi dua belas bagian tersebut sama halnya

dengan apa yang ada di dalam Taurat.69

Kedua, mencantumkan Israiliyat dan mengingkarinya, sebagaimana yang ia

lakukan pada ayat 70( قلي[[ل Vإال مع[[ه .(وم[[اآمن Setelah mencantumkan beberapa

riwayat yang penuh dengan Israiliyat, di mana sebagian riwayat tersebut

mengatakan bahwa yang beriman hanya berjumlah delapan orang. Sebagian

riwayat lainnya mengatakan sepuluh orang, riwayat lainnya mengatakan

berjumlah tujuh orang, bahkan ada yang mengatakan bahwa jumlahnya

mencapai delapan puluh orang. Imam Al-Thabari pun mengoreksi riwayat-

riwayat tersebut seraya berkata, “Sikap yang benar dalam menentukan

jumlah tersebut adalah dengan menyerahkannya kepada Allah dan meyakini

bahwa jumlahnya adalah sedikit. Adapun jumlah dalam angka, kita tidak bisa

menentukannya begitu saja, karena di dalam Al-Quran dan hadis Nabi Saw.

68Apa yang dijelaskan Amal Muhammad Rabi’ ini, membantah mereka yang mengatakan bahwa Tafsir Al-Thabari merupakan tafsir yang penuh dengan khurafat tanpa ada pengoreksian atau pembenaran yang dilakukan oleh pengarangnya, karena kenyataannya sebagian Israiliyat tersebut, Imam Thabari koreksi, bahkan menolaknya jika bertentangan dengan akidah.

69 Op. cit., hal. 145.70 Hud: 40.

pun tidak terdapat penentuan tersebut.”71 Sikap yang diambil Imam Thabari

menunjukkan ia tahu bahwa tidak ada hadis yang datang dari Rasulullah

Saw. atau ayat Al-Quran lainnya yang menjelaskan jumlah tersebut yang

sebenarnya.

Ketiga, mencantumkan Israiliyat serta menyetujuinya sekaligus menolaknya.

Sikap terakhir ini sedikit membingungkan, karena sikap Imam Thabari

tersebut seolah tidak konsisten terhadap pendiriannya sendiri. Sikap ini

muncul, sebagaimana ketika menafsirkan 72( رب[[ه بره[[ان رأى أن ال .(ل[[و Setelah

menuliskan riwayat-riwayat yang penuh dengan khurafat, di mana sebagian

riwayat tersebut mengatakan bahwa “برهان” tersebut bermakna Nabi Ya’qub

As.. Sebagian lain mengatakan bahwa kata tersebut bermakna penjelmaan

Malaikat dan lain sebagainya yang jauh dari kebenaran. Imam Thabari

berkata, “perkataan yang paling benar yaitu bahwa Allah memberi tahu

kepada kita tentang perkara Yusuf As. dengan Zulaikha. Keduanya –sebagai

manusia biasa- saling menginginkan satu sama lain. Jika Yusuf As. tidak

melihat petunjuk dari Allah, maka ia akan melakukan apa yang ia inginkan

dan terjerumus ke lubang kehinaan.” Perkataan Imam Thabari sampai bagian

ini masih dalam koridor yang benar dan sesuai dengan akidah. Akan tetapi ia

melanjutkan perkataannya yang di mana dengan jelas ia menyetujui apa yang

datang dari riwayat Israiliyat sebelumnya yang penuh dengan khurafat, “Dan

diperbolehkan untuk memaknai kata tersebut ”برهان“ jelmaan dari Nabi

Ya’qub As., atau malaikat, atau ancaman bagi mereka yang melakukan

perbuatan zina.”73

F. Penutup

Tafsir Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Quran merupakan salah satu maha

karya Imam Thabari yang dipersembahkan untuk Umat Islam. Tafsir tersebut

menjadi saksi bahwa Al-Quran dengan segala kandungannya akan terus

menjadi pedoman hingga hari akhir dan menjadi titik awal di mana para 71 Op. cit., hal. 155.72 QS. Yusuf: 24.73 Op. cit., hal. 160.

ulama setelahnya berlomba-lomba untuk menulis tafsir Al-Quran. Hal

tersebut tiada lain karena kegigihan Imam Thabari sendiri dalam mencari

dan mengajarkan ilmu. Karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwa ilmu

tidak akan berguna, kecuali diamalkan.

Apa yang diyakini para ulama bahwa tafsir Al-Thabari merupakan tafsir yang

menggunakan metode bi Al-Ma’tsur pun sedikit keliru. Memang benar, Imam

Thabari merupakan mufasir pertama yang menulis tafsir dengan metode

tersebut, tapi kenyataannya di dalam tafsir Al-Thabari tersebut mengandung

banyak pembahasan yang tentunya dengan metode berbeda-beda. Dengan

kata lain, tafsir Al-Thabari –sebagaimana diyakini oleh Ibnu ‘Asyur

merupakan tafsir ilmiah yang mengandung banyak hal yang sangan penting

bagi umat. Adapun mereka yang menilainya termasuk tafsir bi Al-Ma’tsur,

maka mereka hanya melihatnya dari sisi zahir saja. Ibnu ‘Asyur berkata,

“Mereka tidak melihat bagaimana usaha Imam Thabari selain dalam

meriwayatkan hadis, juga memfilternya, baik dari segi matan atau sanadnya.”

Bahkan sebagian ulama ada yang mengategorikan tafsir tersebut termasuk

tafsir Naqli wa ‘Aqli.74

Terlepas dari itu semua, kelebihan yang dimiliki tafsir Thabari tersebut,

menjadikan para ulama mengapresiasi dan menjadikannya sebagai rujukan

utama dalam manafsirkan Al-Quran. Oleh karena itu, kelemahan Imam

Thabari dalam mencamtumkan Israiliyat di dalam tafsirnya seolah-olah bias

dengan kelebihan tersebut. Wallahu A’lam.

Bab Al-Ahmar, dalam naungan cinta

dan kasih-Nya

Hilmy

Mubarok

74 Ibnu ‘Asyur, Al-Tafsir wa Rijaluhu, (Kairo, Dar Al-Salam, 2008), Cet. I, hal. 46-47.

Mahasiswa Ushuluddin Jur. Tafsir, Universitas

Al-Azhar Kairo

Daftar Pustaka

Abd Al-Aziz, Ali, Imam Al-Mufasirin wa Al-Muhadditsin wa Al-Muarrikhin Abu

Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Riyadh: Maktabah Al-Rusyd,

2004.

Al-Dzahabi, Husain, Al-Tafsrir wa Al-Mufasirun, Kairo: Dar Al-Salam, 2005.

Ali Jakfar, Musa’id, Manahij Al-Mufasirin, t.t.: Dar Al-Ma’rifah, 1980.

Al-Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Quran, Kairo: Dar Al-Syuruq,

2011.

Al-Thabari, Abu Jakfar Muhammad bin Jarir, Jāmi’ Al-bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-

Qurān, Kairo: Dar al-Salam, 2009.

‘Asyur, Ibnu, Al-Tafsir wa Rijaluhu, Kairo, Dar Al-Salam, 2008.

Muhyiddin, Umar, Manhaj Al-Tafsir ‘inda Al-Imam Al-Thabari, Damaskus: Dar

Al-Fikr, 2008.

Nashri, Ahmad, Al-Manhaj Al-Naqdi Fī Tafsir Al-Thabari Ushuluhu wa

Muqawwamatuhu, Beirut: Dar Ibnu Hazm. 2012.

Rabi,’ Amal Muhammad, Al-Israiliyat Fi Tafsir Al-Thabary, dirasah fii Al-

lughah wa Al-Mashadir Al-‘Ibryah, Kairo: Al-Majlis Al-A’la, 2010

Rafidah, Ibrahim, Al-Nahu wa Kutub Al-Tafsir, Tharablis: Al-Dar Al-

Jamahiriyah, 1990.